Dewa Arak 64 - Satria Sinting


Seorang pemuda tampan mengayunkan langkah seenaknya 
menyusuri sebuah hutan di kaki Gunung Arjuno. Sambil 
melangkahkan kaki, sesekali ditarik napas dalam-dalam dengan 
mengembangkan dadanya untuk menghirup udara pagi. 

Mendadak pemuda itu menghentikan langkah 
Pendengarannya yang tajam menangkap ada bunyi tangkah kaki 
menuju ke arahnya. 

"Hih!" 

Hanya dengan sekali jejak, tubuh pemuda itu telah 
melayang ke atas dan hinggap di atas cabang pohon yang melintang 
di atas jalan berumput. Di kanan kiri jalan itu manang ditumbuhi 
berbagai pepohonan. Dari tempat ini, pemuda yang tak lain Arya 
atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, mengintai. 

Beberapa saat kemudian. Dewa Arak telah melihat sosok 
tubuh ramping berpakaian kuning. Seorang gadis berusia sekitar 
dua puluh tahun, dan berwajah cantik jelita. 

"Hhh... hhh.J" 

Desah napas memburu, terdengar oleh A iya ketika gadis 
berpakaian kuning itu lewat di bawah cabang pohon tempatnya 
bertengger. Lari gadis itu agak terhuyung-huyung, menjadi 
pertanda jelas kalau dia telah merasa lelah. 

Semua ini menarik perhahan Arya Dia yakin gadis 
berpakaian kuning itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang 
ditakuhnya. Itulah sebabnya. Dewa Arak memutuskan untuk 
menunggu. Dibiarkannya gadis itu lewat. 

Baru saja gadis berpakaian kuning lewat, di kejauhan, dari 
arah yang sama dengan kedatangan si gadis, tampak hga sosok yang 
bergerak ke tempatnya secara cepat. Hanya dalam sekejapan, tiga 
sosok itu telah berada di dekat tempat Arya berada. Di sini mereka 
menghentikan langkah. 

Arya pun memperhatikan mereka tanpa berani bergerak 
sedikit pun. Disadari kalau orang-orang yang berada di bawahnya 
memiliki tingkat kepandaian tinggi, karena mereka memiliki 
gerakan yang gesit. Kalau tidak hati-hati, keberadaannya bisa di¬ 
ketahui mereka 

"Bagaimana, Setan Hitam? Mana arah yang harus kita 
tempuh? Kanan, kiri, atau depan?" tanya lelaki bertubuh pendek 
gemuk, berkepala botak, dari berperut gendut 

Setan Hitam yang julukan lengkapnya Setan Hitam Muka 
Kuda tidak langsung menjawab pertanyaan kawannya Lelaki 
bertubuh hnggi besar dan berbahu lebar itu memperhatikan ke 
sekitarnya sejenak. Wajahnya yang mirip kuda menoleh ke sana 
kemari. 

"Kukira dia menempuh jalan ke kiri," jawab Setan Hitam 
Muka Kuda dengan suara khasnya yang parau. "Bagaimana 
menurutmu, Iblis Pemburu Nyawa?" 

"Aku setuju. Setan Hitam! Bukankah jalan itu akan menuju 
tempat kediaman sahabat Eyang Dipayana, kakeknya?!" sahut Iblis 
Pemburu Nyawa. Lelaki bertubuh kedi dengan pinggang terlilit 
rantai baja yang berujung bola berduri sebesar kepalan tangan orang 
dewasa. 

Yakin pada dugaannya, tiga lelaki berwajah kasar dan rata- 
rata memiliki mata tajam itu melesat ke kiri. Hanya dalam beberapa 
lesatan saja, tubuh mereka telah jauh. Yang tampak hanya bayangan 
hitam yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap. 

Semua percakapan itu didengar Dewa Arak. Dan meskipun 
belum jelas persoalannya, pemuda berambut putih keperakan itu 
condong berpihak pada gadis berpakaian kuning. Maka, Arya pun 
melesat mengejar. 

"Mau lari ke mana. Bangsat Kedi?!" 

Gadis berpakaian kuning terkejut bukan kepalang 
mendengar bentakan itu. Dan sebelum dia sempat menoleh, 
dirasakan ada hembusan angin. Tahu-tahu di depannya berdiri 
sesosok tubuh pendek gemuk. 

Seketika gadis berpakaian kuning menghentikan larinya 
Dibalikkan tubuhnya untuk melarikan diri Namun ayunan kakinya 
tertahan begitu melihat di depan telah berdiri Iblis Pemburu Nyawa 
dan Setan Hitam Muka Kuda. Menyadari kalau jalan untuk 
melarikan diri sudah tertutup, gadis itu nekat. 

Srattt! 

Dengan cepat gadis berpakaian kuning mencabut 
pedangnya! 

"Ha ha ha..!" 

Lelaki pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Bertangan 
Maut, tertawa tergelak. "Bagus! Rupanya kau ingin melawan?! 
Majulah! Kulihat sampai di mana kelihaian ilmu yang kau terima 
dari Dipayanakeparat itu!" 

"Tutup mulutmu, KeibauGundul!" 

Usai berkata demikian, gadis berpakaian kuning 
melancarkan serangan pada Gajah Kedi Bertangan Maut. Sepasang 
pedang di tangannya langsung dibabatkaa Yang di kanan 
diayunkan ke arah leher, sedangkan yang di tangan kiri menebas 
kaki dengan arah gerakan berlawanan. 

Sing, sing! 

Bunyi berdesing nyaring yang terdengar, menandakan kalau 
tenaga dalam gadis berpakaian kuning cukup kuat. 

"Sebuah serangan yang bagus," puji Gajah Kecil Bertangan 
Maut seraya melompat ke atas untuk menghindari serangan yang 
mengancam kaki. Ada pun yang menuju ke leher, dipapaknya 
dengan sampokan tangan kanan. Lelaki pendek gemuk ini tidak 
khawatir tangannya akan terluka karena telah mengenakan sarung 
tangan yang menjadi senjata andalannya. Sebuah sarung tangan 
pusaka berwarna hitam yang tahan bacokan senjata tajam. 

Takkk! 

"Hah...?!" 

Tubuh gadis berpakaian kurung langsung terhuyung- 
huyung ke belakang begitu terjadi benturan. Sedangkan Gajah Kecil 
Bertangan Maut tampak tenang saja. Dari sini saja, gadis itu tahu 
kalau tenaga dalam lawan berada jauh di atasnya 

Sungguhpun demikian, gadis berpakaian kuning tidak 
merasa gentar. Setelah berhasil manperbaiki kedudukan, langsung 
dikirimkan serangan susulan kembali. 

Dewa Arak yang menyaksikan jalannya pertarungan, 
mengernyitkan alis. Hanya dengan memperhatikan sebentar, dia 
sudah dapat mengetahui kalau gadis berpakaian kuning bukan 
tandingan Gajah Kedi Bertangan Maut yang lihai! 

Setiap serangan gadis itu selalu berhasil dipatahkan lawan. 
Sebaliknya, serangan balasan yang dikirimkan Gajah Kecil 
Bertangan Maut, membuatnya kerepotan. Beberapa kali dia 
terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. 

"Hih!" 

Menginjak jurus ketiga belas, sambil menggertakkan gigi, 
Gajah Kedi Bertangan Maut merangsek maju. Tangannya pun 
disampokkan seraya memutar tubuhnya laksana kitiran. Serangan 
itu memaksa gadis berpakaian kuning terus melangkah mundur 
sambil memutar-mutarkan pedangnya di depan dada untuk 
bertahan 

Prattt! 

"Ih...!" 

Gadis berpakaian kuning memekik kesakitan ketika 
sampokan Gajah Kedi Bertangan Maut menghantam pergelangan 
tangannya Seperti terhantam sebatang baja yang amat keras, 
tangannya dirasakan nyeri sekali. Pedangnya terlepas dari tangan. 
Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. 

Saat itulah. Gajah Kedi Bertangan Maut merendahkan 
tubuhnya, mengambil sikap seperti seekor katak. Kemudian, kedua 
tangannya dihentakkan ke depan. 

"Kok kok kok...!" 

Bunyi berkokok seperti ayam habis bertelur terdengar dari 
kerongkongan Gajah Kedi Bertangan Maut. Dan dari kedua tangan 
yang dihentakkan, keluar angin keras berputar mirip angin topan. 

Wajah gadis berpakaian kuning memucat. Disadari adanya 
ancaman maut. Namun sayang dia tidak berdaya untuk berbuat 
sesuatu karena masih terbawa kekuatan yang membuat tubuhnya 
terhuyung-huyung. 

Di saat yang amat gawat itulah, Arya segera melesat 
menyambar tubuh gadis berpakaian kuning. 

Brakkk! 

Pohon besar di belakang gadis berpakaian kuning tumbang 
dan hancur berantakan, terhantam pukulan jarak jauh Gajah Kecil 
Bertangan Maut. Kepingan-kepingan kayu beterbangan dan berpu¬ 
taran seperti digulung angin topan! 

Kejadian itu bukan hanya membuat Gajah Kecil Bertangan 
Maut yang merasa terkejut. Namun juga kedua rekannya. Iblis 
Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Bagai diberi 
perintah, mereka bergerak bersama Sehingga ketika Dewa Arak 
menjejak tanah, tiga tokoh berpakaian hitam itu telah 
mengurungnya 

"Menyingkirlah Mereka bukan tandinganmu!" ujar Arya 
seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning dari 
pondongannya. 

Gadis berpakaian kuning segera melaksanakan perintah 
Dewa Arak. Dia memperhatikan dari jauh dengan hati berdebar 
tegang. Mampukah pemuda berambut putih keperakan itu 
menghadapi lawan-lawannya yang memiliki kepandaian sangat 
menggiriskan? 

Sementara itu, Gajah Kecil Bertangan Maut mengangguk- 
anggukkan kepala setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut 
sampai ujug kaki dengan penuh selidik. 

"Hm.J Rupanya kau yang berjuluk Dewa Arak. Memang, 
julukanmu telah mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh 
yang berkepandaian luar biasa. Mari, Dewa Arak! Kita bermain- 
main sebentar." 

Dewa Arak tidak memberikan tanggapan sama sekali. 
Dengan sikap tenang, diperhatikannya gerak-gerik Gajah Kecil 
Bertangan Maut. Meskipun ti dak terlihat berwaspada, seluruh urat- 
urat saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang, siap- 
siap menghadapi kemungkinan yang tidak diinginkan. Disadari 
kalau lelaki pendek gemuk itu merupakan tokoh berkepandaian 
tinggi. Terutama sekali pukulan jarak jauhnya yang dilakukan 
dengan merendahkan tubuh mirip katak. 

"Haaat...!" 

Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu 
tergetar hebat Gajah Kedi Bertangan Maut melancarkan serangan. 
Jari tangan kirinya bergerak menusuk ke mata lawan. Sedangkan ta¬ 
ngan kanannya mencengkeram lambung. 

Dewa Arak sudah terbiasa bertindak hati-hati. Meskipun 
serangan seperti ini bisa dipatenkannya dengan tangkisan, dia tidak 
melakukannya Kekuaian tenaga dalam lawan, belum diketahuinya 
Begitu pula perkambangan serangan itu Maka dilemparkan 
tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah menjauh. 

Gajah Kecil Bertangan Maut melihat adanya kesempatan 
baik untuk melancarkan serangan susulan. Keadaan Dewa Arak 
amat menguntungkan pihaknya Maka buru-buru dia meluruk 
menerjang pemuda berambut putih keperakan itu 

Gerakan lelaki gemuk berkepala botak itu begitu cepat. 
Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya Dewa Arak 
melenting ke atas mengelakkan serangan lawan 

Gajah Kecil Bertangan Maut menggereng bagai macan luka. 
Kegagalannya memanfaatkan kesempatan di saat kedudukan lawan 
tidak menguntungkan, tidak membuatnya putus asa. Dikejarnya De¬ 
wa Arak. Kemudian dengan kedua tangan terbuka dihantamnya 
dada pemuda berambut putih keperakan itu. 

Plak! Plak! 

Bunyi keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama- 
sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan Memang, 
Dewa Arak memapak serangan lawannya dengan sikap jari-jari 
tangan yang sama. 

Akibatnya, tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut dan tubuh 
Dewa Arak pun sama-sama terjengkang ke arah belakang. Hanya 
saja, lelaki pendek berbadan gemuk itu terhu yung tiga langkah 
lebih jauh daripada Dewa Arak yang hanya terhuyung satu langkah. 

Kenyataan yang menunjukkan kekalahannya manbuat 
Gajah Kecil Bertangan Maut penasaran bercampur geram. Untuk 
yang kedua kalinya direndahkan tubuhnya mirip seekor katak. Lalu, 
secara bergantian tangan kanan dan kirinya digerakkan ke atas dan 
ke bawah. Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring 
dengan gerakan kedua tangannya Kemudian kedua tangannya 
segera dihentakkan. 

Wusss! 

Hembusan angin keras berputar keluar dari kedua tangan 
yang dihentakkan. 

Kali ini Dewa Arak tidak mengelak Dipapaknya serangan 
itu dengan kedua tangan yang dihentakkan pula 

Blarrr! 

Bunyi keras terdengar memekakkan telinga dan manbuat 
sekitar tempat itu tergetar hebat, ketika dua pukulan jarak jauh 
saling beradu. Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang. 

Dewa Arak terkejut ketika menyadari ada sebuah kekuatan 
yang membuat tubuhnya berputar. Namun berkat kelihaiannya, 
pemuda berpakaian ungu itu segera mampu memperbaiki 
keseimbangan tubuhnya. 

Dewa Arak masih tetap keheranan. Entah dengan cara 
bagaimana, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan tubuh setengah 
berjongkok mirip katak tadi mengandung tenaga berlipat ganda. 
Terbukti, dirinya sempat terhuyung-huyung beberapa langkah. 

Sementara itu Gajah Kecil Bertangan Maut pun demikian. 
Meskipun begitu, dia tahu kalau ilmu pukulan mukjizatnya cukup 
membuahkan hasil. Maka setelah kekuatan yang manbuat 
tubuhnya sempoyongan berhasil dipatahkan, langsung dikirimkan 
serangan susulan dengan cara seperh tadi. 

Namun kali ini Dewa Arak hdak mau meladeninya. Dengan 
kecepatan yang mengagumkan, pemuda berambut putih keperakan 
itu melenting. Dan dari atas dilancarkan serangan bertubi-tubi. 

Tentu saja yang menjadi sasaran bagian kepala dan punggung 
lawan. 

Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat lelaki 
bertubuh gemuk pendek itu tampak kelabakan. Sama sekali tidak 
disangka kalau lawan akan melakukan perlawanan di atas. Cara 
perlawanan seperti ini membuat kedahsyatan ilmunya tak berfungsi. 
Karena dia tidak mampu melancarkan serangan ke atas kepalanya 
Tambahan lagi kecepatan gerakan Dewa Arak jauh di atasnya, 
sehingga setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengenai 
tempat kosong. 

Tak pelak lagi. Gajah Kecil Bertangan Maut kian kewalahan. 
Dia dibuat kerepotan untuk tetap berada di hadapan lawan. Namun, 
karena dirinya kalah cepat bergerak, selalu berada dalam keadaan 
dicecar. 

Melihat keadaan rekannya. Iblis Pemburu Nyawa dan Setan 
Hitam Muka Kuda pun tidak tinggal diam. Keduanya terjun ke 
dalam kancah pertarungan dan mengeroyok Dewa Arak Maka 
pertarungan yang jauh lebih sengit pun berlangsung. 

Melihat keadaan itu Dewa Arak tidak bisa bertindak 
setengah-setengah. Setan Hitam Muka Kuda dan Iblis Pemburu 
Nyawa ternyata memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding Gajah 
Kecil Bertangan Maut. 

Seperti juga lelaki pendek gemuk itu, kedua tokoh golongan 
hitam ini pun memiliki ilmu-ilmu yang aneh dan dahsyat 

Setan Hitam Muka Kuda memiliki keistimewaan dalam 
penggunaan sepasang kakinya. Itulah jurus 'Sepak Kuda'. 
Sedangkan Iblis Pemburu Nyawa mempunyai ilmu yang membuat 
tangannya seperti berjumlah puluhan pasang. 

Tidak hanya dalam satu jurus Iblis Pemburu Nyawa mampu 
melancarkan serangan dalam beberapa bentuk gerakan jari. Inilah 
ilmu andalan tokoh kedi kurus itu, 'Satu Tangan Seribu Serangan'! 

Menghadapi keroyokan lawan yang memiliki ilmu khas 
beraneka ragam. Dewa Arak semakin sibuk. Apalagi karena lawan 
menyerang dari tiga penjuru. Serangan-serangan dahsyat silih 
berganti meluncur ke arahnya 

Dewa Arak sadar kalau ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi 
andalannya tidak segera dikeluarkan, dia akan menghadapi 
kesulitan besar. Dmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan Ilmu 



'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang sejak tadi digunakan 
tampaknya tak mampu menanggulangi pengeroyokan tiga 
lawannya. 




"Hih!" 

Dewa Arak menjejakkan kaki Dengan cepat tubuhnya 
melenting, kemudian bersalto beberapa kali di udara sambil 
mengambil gud araknya dan menuangkan ke mulut. 

Gluk.... Gluk... Gluk...! 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati 
tenggorokan Arya mengalir ke perut Hawa hangat berputar di 
sekitar perut dan kemudian secara perlahan merayap ke atas. 

Jiiggg! 

Kedua kakinya menjejak tanah dalam kedudukan yang tidak 
tetap karena pengaruh arak dan ilmu 'Belalang Sakti'. Sementara tiga 
orang musuhnya telah melancarkan serangan susulan. Malah, 
sekarang di tangan mereka tergenggam senjata. 

"Kok kok kok...!" 

Untuk yang kesekian kali. Gajah Kedi Bertangan Maut yang 
berada di depan, merendahkan tubuh dan melancarkan serangan 
khasnya. Kali ini sebelum kedua tangan dihentakkan, lehernya telah 
dikembungkan mirip leher katak. 

Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang Iblis 
Pemburu Nyawa menyerang dengan rantainya yang mengikat bola 
baja berduri. Sedangkan dari samping kanan. Setan Hitam Muka 
Kuda menusukkan tombak berujung logam bulan sabitnya ke arah 
pinggang. 

Dewa Arak tidak berani bertindak lambat. Dalam waktu 
yang demikian singkat, benaknya bekerja keras. Sehingga dia tahu 
kalau di antara semua serangan itu yang akan tiba lebih dulu adalah 
serangan Gajah Kecil Bertangan Maut, satu-satunya lawan yang 
tidak menggunakan senjata. Maka diputuskan untuk mematahkan 
serangan lelaki pendek gemuk itu lebih dulu. 

Wusss! 

Dewa Arak langsung menghentakkan kedua tangannya 
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Deru angin keras berhawa 
panas menyengat, meluruk menyambuti pukulan jarak jauh Gajah 
Kecil Bertangan Maut. 

Glarrr...! 

Ledakan keras seperti halilintar menyambar langsung 
terdengar ketika dua buah pukulan jarak jauh itu berbenturan. 
Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang dan 
bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya bangkit, wajah lelaki 
pendek gemuk itu pucat pasi! 

Begitu pula Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih 
keperakan itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. 
Namun hal itu sudah diperhitungkan. Sehingga dengan sendirinya 
serangan Setan Hitam Muka Kuda kandas, lewat beberapa jari di 
depan tubuhnya. Sedangkan tusukan Iblis Pemburu Nyawa 
dipapaknya dengan ayunan guci ke belakang 

Krakkk! 

Klang.J 

Serangan Iblis Pemburu Nyawa pun kandas Bahkan 
tubuhnya yang kecil kurus melayang kembali ke belakang akibat 
benturan itu. Dewa Arak yang cerdik menambahkan tenaga pada 
tangkisan sehingga membuat daya dorongnya jadi berlipat ganda. 

Tindakan Dewa Arak tidak terhenti sampai di situ. Kaki 
kirinya langsung mencuat ke arah leher Setan Hitam Muka Kuda. 
Hal ini memaksa tokoh tinggi besar itu melompat ke belakang. 
Kepungan terhadap Dewa Arak mengendur. 

Namun keadaan itu hanya berlangsung sesaat, karena 
kemudian ketiga lawannya kembali mehiruk ke arah Dewa Arak. 
Dan pertarungan sengit pun kembali berkobar. 

Bunyi mencicit, mengaung, dan menderu mengiringi setiap 
gerakan mereka Sesekali terdengar bunyi dentang senjata masing- 
masing yang beradu, atau ledakan ketika pukulan jarak jauh 
berbenturan di tengah jalan. 

Tanah berhamburan di sana-sini sehingga menimbulkan 
kepulan debu tebal Pepohonan beterbangan terhantam pukulan 
jarak jauh mereka. Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti habis 
diinjak puluhan ekor keihau liar. 

Gadis berpakaian kuning, satu-satunya orang yang 
menyaksikan jalannya pertarungan memandang penuh perasaan 
takjub. Hatinya diliputi perasaan kagum terutama terhadap Dewa 
Arak. Seorang tokoh yang meskipun masih belia mesti menghadapi 
keroyokan tokoh-tokoh hitam yang berkemampuan tinggi. 

Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak 
mempedulikan Kedua belah pihak sibuk mengerahkan seluruh 
kemampuan yang dimiliki untuk mengalahkan lawan masing- 
masing. 

Tak terasa pertarungan telah berlangsung delapan puluh 
jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak 
yang akan keluar sebagi pemenang. Pertarungan masih berlangsung 
seimbang. Dan kedua belah pihak masih saling bergantian 
melancarkan serangan. 

Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan 
Setan Hitam Muka Kuda kian penasaran. Memang kesaktian Dewa 
Arak telah mereka dengar. Namun merupakan sebuah berita yang 
memalukan apabila dengan mengeroyok bertiga, mereka tetap tidak 
mampu mencapai kemenangan. Apalagi ketika melihat Dewa Arak 
beberapa kali bertindak seperti merendahkan mereka. Sambil me¬ 
ngelak, pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, 
membuat ketiga tokoh sesat ini semakin kalap. Serangan-serangan 
yang mereka lancarkan pun semakin dahsyat. Namun Dewa Arak 
tetap mampu menanggulanginya, bahkan sempat mengirimkan 
serangan yang tidak kalah dahsyat. 

"Anjing-anjing Kurap! Berani kalian mengacau tempat ini?!" 
tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggetarkan. Belum lagi 
hilang gema teriakan itu, sesosok bayangan melesat ke dalam 
kancah pertarungan. Dan begitu terjun, sosok berpakaian abu-abu 
itu langsung mengirimkan serangan! 

Setan Hitam Muka Kuda yang berada paling dekat dengan 
sosok abu-abu itu yang menjadi sasaran. Buru-buru digerakkan 
tombak bulan sabitnya untuk memapak ayunan tasbih yang 
mengancam pelipisnya 

Cririggg! 

Setan Hitam Muka Kuda terperanjat ketika merasakan 
tangannya bergetar hebat begitu benturan terjadi. Apalagi ketika 
tasbih itu langsung melibat logam bulan sabitnya 

Namun lelaki berkulit legam ini tidak menjadi gugup. 
Dengan cepat ditarik tombaknya dengan maksud agar tasbih itu 
putus. Tapi dia tak berhasil ketika melihat senjata yang kelihatannya 
rapuh itu tidak putus! Tombaknya bahkan tidak bergeming dari 
belitan tasbih. Setan Hitam Muka Kuda pun sadar kalau dia tengah 
berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki tingkat 
kepandaian tinggi 

Walaupun demikian. Setan Hitam Muka Kuda tidak 
kehilangan akal. Tombaknya dengan cepat disodorkan ke arah leher 
lawan. 

"Uh!" 

Wuttt! 

Sosok berpakaian abu-abu memekik kaget. Buru-buru 
dilepaskan belitan tasbihnya seraya menarik kaki ke belakang, 
sehingga tombak lawan menyambar angin 

"Kiranya kau, Eyang Ranggalawe," desah Setan Hitam Muka 
Kuda begitu melihat wajah lawannya secara jelas. 

Kakek berpakaian abu-abu itu tersenyum sinis. 

Ditatapnya wajah calon lawannya yang tidak langsung 
melancarkan serangan begitu berhasil membebaskan senjatanya 

"Rupanya kau masih mengenaliku, Setan Hitam," ucap 
Eyang Ranggalawe, menyindir. 

"Ha ha ha...!" Setan Hitam Muka Kuda tertawa bergelak 
"Siapa yang bisa lupa padamu, Ranggalawe?! Apalagi sebentar lagi 
kita semua akan mengadakan pertemuan!" 

"Tidak usah banyak cakap, Setan Hitam!" tandas Eyang 
Ranggalawe yang tidak bisa berbasa-basi, "Sekarang katakan, apa 
urusanmu berada di tempat ini! Jangan katakan kalau kau 
bermaksud mengunjungi tempatku yang buruk!" 

"Dia mengejar-ngejarku, Paman! Ayah telah dicelakainya 
Bahkan Gusti Prabu Paso Pati!" seru gadis berpakaian kuning, 
menyela sebelum Setan Hitam Muka Kuda menjawab. 

"Apa?!" Eyang Ranggalawe tersentak seperti disambar petir. 
"Kalau begitu, kau harus mampus untuk menebus perbuatan- 
perbuatanmu yang keji itu, Setan Hitam!" 

Wungngng! 

Usai berkata demikian. Eyang Ranggalawe mengayunkan 
tasbihnya menyambar pelipis Setan Hitam Muka Kuda, setelah 
terlebih dahulu memutarnya laksana kitiran sehingga menimbulkan 
bunyi mengaung. 

"Kaulah yang akan mampus, Tua Bangka...! Hea.J" 

Setan Hitam Muka Kuda menarik kaki kanan ke belakang, 
sehingga sambaran tasbih itu lewat beberapa jari di depan wajahnya 
Kemudian, tombak bulan sabit di tangannya ditusukkan ke perut 
lawan. Daya jangkau senjatanya yang panjang memungkinkan lelaki 
berkulit legam ini untuk melakukan hal seperti itu. 

Wuttt! 

"Ah...!" 

Eyang Ranggalawe mengeluarkan pekik tertahan karena 
merasa kaget melihat serangan lawan. Buru-buru dijejakkan kaki 
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Kemudian disabetkan 
tasbihnya ke ubun-ubun lawan. Namun, Setan Hitam Muka Kuda 
dapat mengelakkannya sambil mengirimkan serangan yang tidak 
kalah dahsyat Pertarungan sengit pun berlanjut. 

Dengan terjadinya pertarungan antara Eyang Ranggalawe 
menghadapi Setan Hitam Muka Kuda, Dewa Arak jadi kehilangan 
satu lawannya. Dan hal itu membuat kedudukannya segera berubah 
Perlahan-lahan pemuda berambut putih keperakan itu berhasil 
mendesak kedua lawannya. 

Berkali-kali Gajah Kecil Bertangan Maut dan Iblis Pemburu 
Nyawa dibuat terhuyung-huyung ke belakang dalam benturaa 
Terutama sekali si Gajah Kecil Bertangan Maut. Tubuhnya beberapa 
kali bergulingan di tanah ketika pukulan mukjizatnya beibenturan 
dengan jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak. Padahal, seluruh 
tenaga mukjizatnya telah dikeluarkan dengan cara 
menggembungkan leher. Namun usahanya sia-sia! Dalam 
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak pun mengalami keku¬ 
atan tenaga yang bertambah, sehingga tetap saja Gajah Kecil 
Bertangan Maut kewalahan manghadapinya. 

Sementara Eyang Ranggalawe pun demikian. Setelah 
bertarung ketat dalam tiga puluh jurus, kakek berpakaian abu-abu 
ini berhasil mendesak lawannya. 

Kenyataan ini disadari oleh tiga tokoh golongan hitam itu. 
Mereka tampaknya tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan 
perlawanan terus. Maka bagai telah disepakati, ketiganya 
melemparkan tubuh menjauh Lalu melarikan diri. 

"Mau lari ke mana. Keparat?!" seru Eyang Ranggalawe 
seraya melesat mengejar. 

Namun hanya beberapa langkah Eyang Ranggalawe 
melakukannya Pengejarannya langsung dihentikan. Lalu kepalanya 
ditolehkan ke belakang. Dilihatnya Dewa Arak tidak melakukan 
pengejaran, hanya berdiam diri menatap kepergian lawannya. 

"Mengapa kau tidak mengejar mereka. Anak Muda?" tanya 
Eyang Ranggalawe seraya melangkah menghampiri 

"Untuk apa, Ki?" Arya balik bertanya, "Aku tidak punya 
urusan dengan mereka." 

"Mereka orang-orang jahat, Anak Muda. Tckoh-tokoh 
golongan hitam! Andaikata dibiarkan, akan banyak orang tak 
bersalah yang akan jadi koiban!" jelas Eyang Ranggalawe setengah 
memberitahukan. 

"Tapi aku tidak melihat sendiri tindak kekejaman yang 
mereka lakukan, Ki. Tanpa itu aku tak dapat sembarangan 
menjatuhkan tangan Sudah terlalu banyak aku menanam 
permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku tak ingin 
menambahnya dengan masalah-masalah yang tidak jelas." 

"He he he.J" Eyang Ranggalawe tertawa lunak. "Aku 
kagum mendengar jawabanmu, Anak Muda. Kau memiliki 
pandangan yang luas. Kalau mataku masih belum lamur, kau 
pastilah orang yang berjuluk Dewa Arak." 

"Ah, hanya sebuah julukan kosong, Ki," jawab Arya 
merendah. 

"Kalau begitu lupakanlah. Dewa Arak. Mungkin perlu 
bagimu mendengarkan sedikit ceritaku. Barangkali saja 
keputusanmu untuk tidak melenyapkan tiga tokoh golongan hitam 
itu dapat kau rubah." 

Dewa Arak tidak menjawab ucapan Eyang Ranggalawe. 
Hanya kepalanya terlihat mengangguk kecil seraya menatap lelaki 
tua itu. 

"Kalau begitu, mari kita singgah di gubukku! Sepanjang 
perjalanan menuju ke sana akan kuceritakan mengenai tokoh-tokoh 
yang tadi bertarung denganmu Mari, Dewa Arak!" 

Tanpa ragu-ragu lagi, Arya segera mengayunkan langkah, 
mengikuti Eyang Ranggalawe dan gadis berpakaian kuning yang 
telah melangkah lebih dulu 

*** 

Kriiit.

Bunyi bergerit pelan terdengar ketika pintu pondok Eyang 
Ranggalawe bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok 
tubuh ramping. Sikapnya terlihat demikian hati-hati, baik ketika 
melangkahkan kaki maupun menutupkan daun pintu. 

Kemudian sosok ramping itu melesat keluar. Sinar rembulan 
yang cukup terang di langit, menampakkan sosok ramping itu 
cukup jelas. Dia ternyata Nawangsih, murid Eyang Dipayana. 

Nawangsih semakin mempercepat larinya ketika telah 
cukup jauh dari pondok. Sekejap kemudian bentuk tubuhnya 
lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sekelebatan bayangan kuning 
dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju ke puncak. 

Meskipun yakin kalau kepergiannya tidak diketahui orang, 
Nawangsih tetap tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesekali 
kepalanya ditolehkan ke belakang untuk memastikan kalau tidak 
ada orang yang mengikutinya. 

Hati gadis berpakaian kuning itu lega kehka tidak melihat 
hal yang dikhawatirkan. Kenyataan ini membuat semangatnya 
semakin beigelora. Kecepatan larinya pun bertambah. Laksana kera 
kedua kakinya menotok ke sana kemari membuat tubuhnya 
melayang ke atas secara cepat. 

Nawangsih baru memperlambat larinya ketika telah melihat 
sebuah goa yang berjarak sekitar sepuluh tombak di hadapannya. 
Kini dirinya berada di sebuah hamparan tanah datar berumput. 
Dengan langkah satu-satu Nawangsih mendekati mulut goa. 

Wusss! 

Tiba-tiba serentetan angin dahsyat berasal dari dalam goa, 
meluruk ke arah Nawangsih, ketika gadis itu telah berjarak sekitar 
tiga tombak dari mulut goa. 

Nawangsih tersentak kaget. Hatinya menyadari ada bahaya 
maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke 
tanah dan bergulingan menjauh. Ketika akhirnya dia bangkit berdiri, 
di mulut goa telah berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian compang- 
camping. Rambutnya pun awut-awutan. 

Namun bukan hal itu yang menyebabkan Nawangsih 
merasa ngeri, melainkan sorot mata lelaki muda berpakaian 
compang-camping itu. Sinar yang keluar dari sepasang matanya 
mengingatkan Nawangsih akan tatapan seekor harimau dalam 
kegelapan. Mencorong dan bersinar kehijauan. Sepertinya ada 
kekuatan aneh terkandung di dalam diri lelaki muda berpakaian 
gembel itu. 

Dengan langkah lambat-lambat dan sikap mengancam, 
lelaki berpakaian compang-camping itu menghampiri Nawangsih 

"Pemberontak Keparat! Sungguh berani kau mendekati 
istanaku!" seru lelaki muda berpakaian compang-camping itu keras. 
"Kalau pengawal-pengawalku tahu kau akan dipancung!" 

Nawangsih tidak merasa heran sama sekali melihat sikap 
dan ucapan lelaki berpakaian compang-camping itu. Dirinya telah 
mendapat pemberitahuan kalau penghuni goa itu orang tidak waras. 
Hampir dia tertawa mendengarnya, tapi dengan sekuat tenaga 
ditahannya. Bahkan Nawangsih yang berwatak lincah ini 
bermaksud meladeni kegilaan lelaki berpakaian compang-camping 
itu. 

"Apakah kau sudah tak mengenaliku lagi, Kang? Aku bukan 
pemberontak. Aku istrimu! Aku bermaksud ikut membantumu 
membasmi pemberontak-pemberontak itu. Lihat, aku telah 
mendapatkan pedang sri baginda Beliau telah memberikan 
kepercayaan pada kita untuk membasmi para pengkhianat!" seru 
Nawangsih seraya mencabut pedang yang diberikan Eyang 
Dipayana dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas. 

"Ah! Sungguhkah...?! Kalau begitu, mari kita basmi 
pemberontak-pemberontak itu sekarang. Istriku!" sambut lelaki 
berpakaian compang-camping merasa gembira Kakinya melangkah 
menghampiri Nawangsih 

Nawangsih terbelalak kaget bercampur kagum ketika 
melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tahu-tahu berada 
di dekatnya. Padahal, dia hanya melihat lelaki itu mengayunkan 
kaki selangkah secara sembarangan. 

Nawangsih bertambah kaget ketika melihat pemuda 
berpakaian compang-camping itu mengembangkan kedua lengan 
hendak memeluk. Rasa jijik melanda hati gadis berpakaian kuning 
ini, apalagi ketika hidungnya mencium bau apek, asem, dan pengak! 
Bau orang yang lama tidak mandi! 

Didorong oleh rasa jjik, dan tentu saja Nawangsih sebagai 
seorang gadis, tidak mau dipeluk oleh sembarangan orang. Dia pun 
berusaha mengelak. Gadis berpakaian kuning ini melangkahkan 
kakinya ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Namun entah 
bagaimana, Nawangsih sendiri tidak mengetahuinya, tahu-tahu 
tangan lelaki gila itu melingkari tubuhnya 

Ketika gadis itu telah berjarak tiga tombak dari mulut goa, tiba- 
tiba serentetan angin dahsyat meluruk ke arahnya. Nawangsih menyadari 
ada bahaya maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan 
diri ke tanah dan bergulingan menjauh. 

Kenyataan ini membuat Nawangsih gugup. Sebelum dia 
sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian compang-camping itu 
telah memperketat pelukan, lalu menciumi Nawangsih dengan 
buasnya. 

Hampir Nawangsih pingsan menerima perlakuan yang 
sama sekali tidak disangka-sangkanya Dia berusaha meronta dan 
kalau perlu manbunuh lelaki gila ini. Namun hanya dengan sebuah 
sentuhan pada bahu kanannya tubuh Nawangsih telah dibuat lemas 
tidak berdaya. 

"Keparat!" lelaki berpakaian compang-camping itu 
menggeram keras penuh kemarahan, dan bahkan sepasang matanya 
mengeluarkan sinar berapi "Rupanya benar berita yang kudengar 
bahwa kau telah bennain gila dengan Gusti Pangeran Laksanadewa! 
Buktinya kau sekarang tidak mau kucium!" 

Nawangsih mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya sama 
sekali kalau sandiwara yang dilakukannya akan berlanjut seperti itu 
Dia harus bertindak cepat kalau ingin nyawanya selamat. Orang gila 
yang tengah murka itu telah merenggangkan pelukan, dan tangan 
kirinya sekarang telah berada di ubun-ubun Nawangsih. Sekali saja 
lelaki gila itu mengerahkan sedikit tenaga dalam, Nawangsih akan 
tewas dengan ubun-ubun pecah! 

"Kau salah, Kakang! Bukannya aku tak mau, tapi Gusti 
Prabu memerintahkan agar kita bergegas! Kau harus buru-buru 
berkemas agar kita dapat segera pergi! Toh, nanti di perjalanan 
masih banyak waktu bagi kita untuk melakukannya," ucap Na¬ 
wangsih dengan raut wajah memerah ketika mengucapkan kata-kata 
yang terakhir. 

"Ah...! Kau benar...! Benar sekali..! Mengapa aku demikian 
pelupa?" 

Sambil mengangguk-anggukkan kepala lelaki gila itu 
melepaskan pelukannya, dan membebaskan totokan terhadap 
Nawangsih. Kemarahan yang tadi membayang jelas di wajahnya 
telah menguap pergi Bahkan sorot matanya telah melembut 
kembali meskipun tetap aneh. 

Nawangsih menghela napas. Hatinya lega melihat 
keberhasilan ucapannya Sudah kepalang, pikirnya, lebih baik 
dilanjutkan saja sandiwara ini! 

"Benar kan? Lebih baik kau mandi dulu, bersihkan tubuh, 
ganti pakaianmu dan kita berangkat," ucap Nawangsih, yang 
bingung memikirkan bagaimana dia akan tahan melakukan 
perjalanan dengan orang yang memiliki bau seperti itu! 

Lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk- 
anggukkan kepala menyetujui permintaan Nawangsih. Tubuhnya 
berbalik lalu melangkah. Namun mendadak ayunan kakinya 
terhenti. Karuan saja hal ini membuat Nawangsih yang sudah 
merasa lega jadi khawatir kembali 

"Mengapa harus, aku saja. Istriku? Bukankah lebih baik 
kalau kau ikut mandi juga? Kita mandi bersama seperti sewaktu kita 
belum mempunyai anak? Anak... anakku.... Di mana anak kita, Na¬ 
wangsih?" 

Lelaki berpakaian compang-camping itu tertegun. Seolah 
dia teringat sesuatu, anaknya, bahkan sekaligus nama istrinya 
Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar. 

Ucapan-ucapan lelaki gila itu membuat Nawangsih merasa 
kaget. Sebagai seorang dara yang cerdik, dia dapat memperkirakan 
kalau sandiwara yang dilakukannya ternyata mempunyai 
persamaan dengan riwayat hidup lelaki berpakaian compang- 
camping itu. Setidak-tidaknya membuat lelaki itu teringat akan 
masa lalunya 

"Mengapa kau demikian pelupa. Kang?" ucap Nawangsih 
ketika menemukan jawaban yang akan digunakannya untuk 
melepaskan diri dari keadaannya yang terjepit. "Anak kita diculik 
pemberontak-pemberontak keparat itu. Dan kita akan membe¬ 
baskannya setelah melenyapkan mereka" 

"Diculik?!" lelaki berpakaian compang-camping 
mengernyitkan alis, membuat hati Nawangsih berdebar-debar. 

Namun kekhawatiran Nawangsih langsung pupus ketika 
lelaki berpakaian compang-camping tidak mempedulikan hal itu 
lagi. 

"Lebih baik kau pergi mandi sendiri, Kang. Bukannya aku 
tidak mau menemani. Aku hanya khawatir kalau kita pergi berdua, 
istana kita akan diserbu pemberontak." 

"Kau benar..., kau benar...!" lagi-lagi lelaki berpakaian 
compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Kemudian, masih dengan kepala terangguk-angguk, lelaki 
gila itu membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan 
Nawangsih. 

Mendadak langkahnya dihentikan. Sepasang matanya 
menatap tajam ke depan. Nawangsih yang sejak tadi 
memperhatikan gerak-geriknya, ikut pula mengarahkan pandangan 
ke arah yang sama Seketika dia merasa gelisah. 

Di kejauhan, tampak dua sosok tubuh tengah melesat cepat 
ke arah mereka Namun bukan gerakan mereka yang menyebabkan 
Nawangsih gelisah, melainkan karena mengenali siapa dua sosok 
yang tengah menuju ke arahnya Salah seorang di antara keduanya 
benar-benar jelas dari kejauhan. 

Pakaian ungu dan rambutnya putih panjang terurai. Siapa 
lagi kalau bukan Dewa Arak? 

"Kang...! Kembali kemari..! Cepat, kita tinggalkan tempat 
ini...!" seru Nawangsih penuh perasaan gelisah 

Namun lelaki berpakaian compang-camping itu seperti 
tidak mendengar teriakan Nawangsih Dia menatap dua sosok yang 
tengah menuju tempatnya, dengan sepasang mata membelalak lebar 
laksana melihat hantu 

Sikap lelaki berpakaian compang-camping itu manbuat 
Nawangsih semakin gelisah. 

"Kang...! Cepat...! Nanti pemberontak-pemberontak itu 
keburu kabur...!" seru Nawangsih lagi dengan kegelisahan yang kian 
memuncak. 

Namun lelaki berpakaian compang-camping tetap tidak 
memberikan tanggapan sama sekali. Nawangsih ingin menghampiri 
dan mengajaknya kabur, tapi khawatir karena dia tahu lelaki itu 
memiliki sikap yang tidak bisa ditebak. Apalagi ketika dilihatnya 
tubuh lelaki itu sekarang menggigil. Bunyi berkerotokan terdengar 
dari sekujur tubuhnya, seakan tulang-tulangnya berpatahan! 
Padahal, lelaki itu tidak menggerakkan tangan atau kaki. 

Nawangsih bergidik karena tahu kalau bunyi itu timbul 
akibat tenaga dalam yang bergolak sendiri. Tenaga dalam yang amat 
dahsyat! 

Nawangsih tahu, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia 
hanya menunggu dengan jantung berdetak kencang. Tidak ada 
gunanya lagi melarikan diri karena dua sosok yang tidak lain Dewa 
A-rak dan Eyang Ranggalawe telah melihatnya. Nawangsih hanya 
berdiri di tempatnya dengan pasrah 


•kkk 


Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe memang telah melihat 
keberadaan Nawangsih dan lelaki berpakaian compang-camping itu. 
Keduanya langsung menghentikan langkah berjarak empat tombak 
dari lelaki berpakaian compang-camping itu dan memasang sikap 
waspada. 

Sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman. Dewa 
Arak dan Eyang Ranggalawe tahu kalau lelaki berpakaian compang- 
camping itu tengah dalam keadaan murka Hanya saja, mereka tidak 
tahu penyebabnya. Namun baik Eyang Ranggalawe maupun Dewa 
Arak tahu, kemarahan lelaki berpakaian compang-camping itu 
tertuju pada mereka. 

"Kau...?!" ucapan bernada penuh geram dan kemarahan 
keluar dari mulut lelaki berpakaian compang-camping dengan 
pandangan tertuju ke arah Dewa Arak. "Iblis Jahanam..! 
Nawangsih..! Tidak,..! Kubunuh kau, Jahanam!" 

Belum lenyap gema ucapannya, lelaki berpakaian compang- 
camping itu telah melompat menerjang Dewa Arak. Di udara, 
tubuhnya berputar, kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah 
pelipis Dewa Arak. 

Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersikap 
waspada langsung melompat ke belakang, sehingga serangan itu 
menyambar di depan wajahnya. Namun betapa kaget hatinya ketika 
melihat, dengan sebuah gerakan aneh lelaki berpakaian compang- 
camping itu mampu melancarkan serangan susulan berupa kibasan 
kaki yang satu lagi. 

Dewa Arak hampir tidak percaya dengan pandang matanya 
sendiri. Meskipun demikian dia tidak tampak gugup. Dengan 
gerakan cepat ia segera mengelak. 

Bukkk! 

Meskipun tidak membuahkan hasil seperti yang 
diharapkan, tindakan Arya cukup berhasil menyelamatkan selembar 
nyawanya. Serangan kaki lawan tidak menghantam kepalanya, tapi 
menyerempet bahunya Sungguhpun begitu, karena tenaga dalam 
yang terkandung pada serangan itu kuat, tubuh Dewa Arak 
terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya tampak menyeringai 
menahan sakit. 

Saat itu, lelaki berpakaian compang-camping telah 
melancarkan serangan susulan dengan gedoran kedua tangannya 
Terpaksa Arya menyambutinya lagi karena keadaan tidak 
memungkinkan 

Plakkk! 

Benturan keras antara dua tangan yang sama-sama 
mengandung tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan ketika Dewa 
Arak memapak dengan menggunakan tapak tangan kanan terbuka. 

Lelaki gila itu menggunakan tenaga tangkisan untuk 
bersalto di udara, melewati kepala lawan. Ketika berada di belakang 
Dewa Arak mengirimkan totokan dahsyat dan bertubi-tubi ke arah 
tengkuk pemuda berambut putih keperakan. 

Dewa Arak yang merasakan ada desir angin tajam di 
belakangnya, tidak berani bertindak lambat. Dia melompat ke depan 
dan bergulingan menjauh. Ketika telah berhasil bangkit lawan telah 
menjejak tanah dan menghadap ke arahnya Arya pun langsung 
bersiap sedia. Dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu 
memiliki kepandaian tinggi 

Lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras 
hingga membuat sekitar tempat itu seakan bergetar hebat. Rupanya 
dia merasa penasaran dan marah melihat serangannya gagal. Lalu, 
setelah mengeluarkan gerengan keras seperti harimau, tubuhnya 
melompat tinggi. Kemudian meluncur ke arah Dewa Arak dengan 
kedua kakinya bergerak melakukan tendangan maut bertubi-tubi 
menuju tengkuk, ubun-ubun, pelipis, dan tenggorokan. Sekali saja 
terkena tendangan ini betapa pun kuatnya tenaga dalam Dewa Arak, 
mungkin tak akan mampu bertahan. 

Dewa Arak tahu hal itu. Dengan cepat dia melompat 
mundur, ke kanan, dan ke kiri menghindarkan diri dari serangan 
gencar lawannya. Bentuk serangan yang demikian aneh membuat 
Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono dengan melakukan 
tangkisan. 

Untuk beberapa jurus lamanya pemuda berambut putih 
keperakan itu hanya mengelak ke sana kemari Bukan karena takut, 
tapi untuk mempelajari perkembangan ilmu lawan yang aneh dan 
tidak dikenalnya Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang 
pengalaman, Arya tahu kalau lelaki berpakaian compang-camping 
itu memiliki ilmu tendangan dahsyat. Dia juga menduga ilmu itu 
dari aliran putih. Ini bisa diketahuinya dari serangan-serangan yang 
jarang menggunakan tipuan. 

Dewa Arak harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan 
tubuhnya untuk dapat mengelakkan serangan lawannya yang 
bertubi-tubi. Sebab serangan-serangan itu meluncur secara cepat. 
Sebentar saja, telah tampak pemuda berambut putih keperakan itu 
terdesak hebat, karena hanya mengelak ke sana kemari dan terus- 
menerus mundur. 

Sementara itu. Eyang Ranggalawe yang tadi segera 
menghindar ketika melihat lelaki berpakaian compang-camping itu 
menerjang Dewa Arak, segera menghampiri Nawangsih 

"Apa arti perbuatanmu ini, Nawangsih?" tegur Eyang 
Ranggalawe kepada Nawangsih yang hanya menundukkan kepala 

Nawangsih tidak memberikan jawaban sama sekali. 
Kepalanya tetap ditundukkan sementara kaki kanannya digores- 
goreskan ke tanah 

"Kau bius aku dengan makanan dan minuman yang kau 
sediakan. Untung saja Dewa Arak telah menaruh curiga padamu, 
hingga dia telah lebih dulu menyiapkan penangkalnya sebelum 
mencicipi makanan dan minuman yang kau sediakan. Dialah yang 
mengetahui kepergianmu dan membangunkanku begitu dilihatnya 
kau bertemu dengan Satria Sinting," ujar Eyang Ranggalawe masih 
bernada teguran. 

"Satria Sinting?!" ulang Nawangsih dengan alis berkerut 

"Memang begitulah julukan yang kami berikan padanya 
Memang tidak cocok, tapi itu lebih baik daripada kami berikan 
julukan Pendekar Gila padanya. Sebuah julukan yang kasar dan 
bernada penghinaan, meskipun memang benar adanya. Apa 
maksud tindakanmu ini, Nawangsih?! Tidakkah kau sadari kalau 
perbuatan yang kau lakukan ini amat beibahaya?! Satria Sinting 
memiliki sifat yang tidak dapat diduga. Meskipun seiba sedikit aku 
cukup mengenalnya. Dia memiliki kepandaian yang amat tinggi. 
Terus terang saja, kalau dibandingkan dengannya aku bukan apa- 
apa. Jelaskan, Nawangsih...!" 

"Aku tidak bermaksud buruk, Eyang," jawab Nawangsih 
masih tetap menundukkan kepala "Aku hanya ingin membalaskan 
kematian Eyang D i paya na dan ayahku dengan bantuan Satria 
Sinting. " 

"Apa?! Sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar. 
"Kau tidak main-main, Nawangsih?! Kau gila! Kau bercanda dengan 
maut kalau begitu! Satria Sinting, seperti yang kukatakan tadi 
memiliki sifat yang tidak bisa diduga Meskipun demikian aku tahu 
masa lalunya. Masa lalunya penuh dengan gelimangan darah. Itulah 
sebabnya, meskipun dia telah menolong kami, aku, dan gurumu., 
kami tidak berani bergaul terlalu dekat dengannya Asal kau tahu 
saja, Nawangsih... aku hampir mati di tangannya. Untung saja 
datang gurumu yang berhasil menjinakkan sifat liarnya" 

Eyang Ranggalawe menghentikan ceritanya sejenak untuk 
mengambil napas. Sementara Nawangsih yang telanjur tertarik 
dengan cerita itu menunggunya dengan perasaan tidak sabar. Dia 
jadi ingin mengetahui riwayat hidup tokoh yang berjuluk Satria 
Sinting itu. 

"Mungkin sedikit kuberitahukan padamu, Nawangsih. Sifat 
liar dan lembutnya timbul karena ada hal-hal yang dilihatnya 
Dalam keadaan biasa dia bertingkah laku seperti orang kurang 
waras. Kadang-kadang dia bermain-main seperti anak kedi. Namun 
aku tidak tahu pasti kapan sifat lembut dan ganasnya muncul...," 
sambung Eyang Ranggalawe lagi agak tersendat-sendat 
menjelaskannya karena kesulitan mencari kata-kata untuk 
dikeluarkan. 

"Aku juga menduga demikian. Eyang," tukas Nawangsih 
mendukung dugaan kakek berpakaian abu-abu itu. 

"Kau..?!" seru Eyang Ranggalawe setengah tak percaya 
"Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?" 

"Dari kejadian yang telah kualami bersamanya akibat aku 
mencoba meladeni kegilaannya," jawab Nawangsih kalem 
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang 
dialaminya. 

Berkali-kali Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan- 
seruan kaget begitu mendengar cerita Nawangsih. Bahkan 
kepalanya digeleng-gelengkan ketika gadis berpakaian kuning itu 
mengakhiri ceritanya. 

"Kau, ahhh.., kalau tadi bdak melihat kau berdua 
dengannya, sedikit pun mungkin aku bdak akan percaya. Lalu., 
kesimpulan apa yang kau dapatkan, Nawangsih?" 


Nawangsih mengangkat wajah, dan menatap Eyang 
Ranggalawe tepat pada kedua bola matanya. 

"Satria Sinting termasuk orang penbng kerajaan, entah 
kerajaan mana Punya istri dan anak serta telah siap untuk 
berperang menghadapi pemberontak," Nawangsih menghentikan 
ucapannya sejenak. "Tapi anehnya, nama istri yang disebut-sebutkan 
sama dengan namaku." 

"Ah...!" sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar 
saking kagetnya "Nawangsih?! Kini aku mengerti, mengapa tadi 
sebelum menerjang Dewa Arak, dia menyebutkan nama Nawangsih 
Kukira tadi dia menyebut namamu." 

Kakek berpakaian abu-abu ini lalu mengalihkan perhatian 
ke arah pertarungan yang tengah berlangsung dan semakin sengit. 
Dewa Arak melakukan perlawanan begitu telah dapat mengetahui 
perkembangan ilmu lawan meskipun hanya sedikit. Pemuda 
berambut pubh keperakan itu belum mempergunakan ilmu 
andalannya. Hanya ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan 
ilmu 'Sepasang Tangan Panakluk Naga' yang terus dikerahkannya 
menghadapi Satria Sinbng. 

"Kalau begitu.. Dewa Arak mengingatkannya akan kejadian 
buruk yang telah dialaminya," ucap Eyang Ranggalawe dengan 
suara bergumam. "Dan menilik dari sikapnya yang demikian 
membenci, sepertinya Satria Sinting amat membenci orang yang 
memiliki ciri-ciri mirip dengan Dewa Arak." 

"Bukan tidak mungkin kalau orang mirip Dewa Arak itulah 
yang menjadi musuhnya. Eyang," sambut Nawangsih memberikan 
dugaan. 

Eyang Ranggalawe mengangguk-anggukkan kepala 
membenarkan dugaan yang diajukan Nawangsih. 

"Berarti dengan kejadian yang kau alami misteri yang 
menyelimuti rahasia Satria Sinting mulai terungkap. Hhh...! Sudah 
bisa kubayangkan kalau masa lalu Satria Sinting sangat menarik dan 
luar biasa untuk diketahui." 

Usai berkata demikian, karena tidak ada pembicaraan lagi. 
Eyang Ranggalawe mengalihkan perhatian pada pertarungan antara 
Dewa Arak dengan Satria Sinting. Memang, tidak ada kesenangan 
yang lebih menarik perhatian seorang tokoh persilatan kecuali 
memperhatikan sebuah pertarungan. Apalagi pertarungan antara 
tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak 
dengan Satria Sinting. 

Menggiriskan hati jalannya pertarungan antara Dewa Arak 
dengan Satria Sinting. Bentuk tubuh kedua tokoh bagaikan lenyap. 
Yang terlihat hanya dua bayangan yang saling belit dan hanya 
kadang-kadang saja saling pisah. Bahkan terkadang kedua bayangan 
itu seperti jadi satu karena begitu cepat gerakan yang dilakukan. 

Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh 
jurus. Namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak 
yang akan keluar sebagai pemenang. Jalannya pertarungan masih 
seimbang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan. 
Beberapa kali terjadi benturan antara tangan atau kaki yang 
menyebabkan masing-masing pihak terdorong ke belakang. Namun 
dengan cepat keduanya saling terjang kembali. 

"Haaat...!" 

Pada jurus kelima puluh delapan, Satria Sinting menerjang 
Dewa Arak dengan sebuah pukulan tangan terbuka ke arah dada. 
Serangan dahsyat itu mampu menimbulkan bunyi menderu, yang 
membuat Dewa Arak sempat terbelalak kaget ketika menyadari 
kalau deru angin yang meluruk ke arahnya berlainan rasanya Yang 
kanan berhawa panas sedangkan yang kiri dingin. 

Meskipun demikian. Dewa Arak tidak gentar untuk 
memapakinya dengan gerakan yang sama. Pemuda berambut putih 
keperakan ini tampaknya bermaksud mengadu keras lawan keras 

Bresss! 

Benturan keras dari dua buah tenaga dalam yang sangat 
dahsyat membuat tubuh Dewa Arak dan Satria Sinting sama-sama 
terjengkang ke belakang. Bahkan getarannya terasa oleh Eyang 
Ranggalawe dan Nawangsih yang berada cukup jauh dari tempat 
pertarungan. Keduanya segera menyingkir untuk menjauh dari 
tempat pertarungan agar lebih aman. 

Namun, rupanya Satria Sinting tidak bergairah untuk 
melanjutkan pertarungan. Kekuatan yang membuat tubuhnya 
terpental dipergunakan untuk menambah tenaga lesatannya menuju 
tempat Nawangsih berada. 

Tindakan ini tidak hanya mengejutkan Dewa Arak yang 
tidak menyangka hal itu melainkan juga Eyang Ranggalawe dan 
Nawangsih. Dan karena merasa khawatir terhadap keselamatan 
Nawangsih, lelaki tua itu berusaha menghadang gerakan Satria 
Sinting yang meluncur ke arah Nawangsih dari sebelah kiri dengan 
melancarkan tatokan ke arah pelipis dan ubun-ubun. 

Prattt! 

"Uh...?!" 

Eyang Ranggalawe memekik tertahan ketika tubuhnya 
terlempar ke belakang begitu Satria Sinting mengibaskan tangan 
memapak serangannya. 

Sementara, luncuran tubuh Satria Sinting sama sekali tidak 
terlambat. Meskipun akibat serangan Eyang Ranggalawe membuat 
kecepatan luncurannya berkurang, namun dengan sedikit 
menggerakkan tubuh di udara, dia telah kembali meluncur ke arah 
Nawangsih. 

"Hea.J" 

Tuk! Tuk! 

"Aaaa...!" 

Meskipun Nawangsih telah berusaha menghindar dan 
melakukan perlawanan lelaki berpakaian gembel itu akhirnya 
berhasil melumpuhkan. Dengan gerakan yang cepat sekali 
tangannya meluncur menotok tubuh Nawangsih. 

Melihat kejadian itu Dewa Arak tidak tinggal diam Dengan 
gerakan cepat sekali tubuhnya melesat memburu Satria Sinting yang 
berhasil membawa kabur Nawangsih. Namun rupanya lelaki 
berpakaian gembel itu cukup cerdik. Selain memiliki ilmu lari cepat, 
dia mampu mencari tempat-tempat yang tersembunyi untuk dapat 
lolos dari pengejaran Dewa Arak. 

Dewa Arak akhirnya tak melanjutkan pengejaran. Dia 
berbalik untuk melihat keadaan Eyang Ranggalawe yang sempat 
terlempar ketika beradu tenaga dengan Satria Sinting. 

"Kau tidak apa-apa. Eyang?" tanya Arya, meskipun telah 
bisa memperkirakan kalau kakek berpakaian abu-abu itu tidak 
mengalami luka apa pun 

"Dia masih hebat seperti dulu, bahkan mungkin sekarang 
ilmunya telah banyak mengalami kemajuan...," jawab Eyang 
Ranggalawe seraya menggeleng-gelengkan kepala 

"Mengapa kau tidak mengejarnya. Dewa Arak?" tanya 
Eyang Ranggalawe merasa heran. 

"Kurasa lebih baik kita melakukan pengejaran bersama- 
sama Eyang." 

Eyang Ranggalawe tidak memberikan tanggapan. Namun 
dalam hati dia menyetujui ucapan pemuda berambut putih 
keperakan itu. Sesaat kemudian kedua tokoh itu melesat 
meninggalkan tempat itu untuk mengejar Satria Sinting yang 
membawa kabur Nawangsih. 

"Kang...! Kang, turunkan aku, Kang...! Aku bisa berlari 
sendiri...!" seru Nawangsih ketika tidak melihat adanya Dewa Arak 
atau Eyang Ranggalawe mengejarnya 

Satria Sinting menghentikan lari dan menurunkan tubuh 
Nawangsih dari panggulannya, setelah membebaskan totokannya. 
Nawangsih langsung merapikan pakaiannya yang agak kusut 
karena panggulan Satria Sinting. 

"UhhhJ" 

Tiba-tiba terdengar lenguhan yang membuat Nawangsih 
kaget dan menoleh ke arah datangnya suara itu. 

"Kang...! Ada apa. Kang?" 

Nawangsih terkejut ketika melihat tubuh Satria Sinting 
limbung sambil tangannya memegangi dahi. 

Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Satria Sinting. 
Lelaki gila itu tetap memegangi dahi dengan kedua tangan sambil 
merintih seperti menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin terhuyung- 
huyung ke sana kemari. Mulutnya meringis menyiratkan sakit yang 
tengah dirasakannya 

Nawangsih yang merasa heran bercampur khawatir segera 
menghampiri Satria Sinting. Tubuh lelaki berpakaian compang- 
camping jatuh terkulai lemas seraya mengeluarkan lenguhan 
panjang. Kalau Nawangsih tidak segera mengulurkan tangan, me¬ 
nangkap, tentu Satria Sinting terbanting keras di tanah. 

"Kang..! Apa yang terjadi?" tanya Nawangsih kebingungan. 
Diguncang-guncangnya Satria Sinting yang telah berada dalam 
pelukannya Namun tetap tidak ada tanggapan sama sekali Tubuh 
berpakaian compang-camping itu terkulai lemas di pelukannya 
Satria Sinting telah pingsan secara aneh. 

Nawangsih menghentikan usahanya untuk mengguncang- 
guncangkan tubuh Satria Sinting. Dia menyadari kalau tindakannya 
akan sia-sia. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari mencari tempat 
yang enak untuk merebahkan tubuh Satria Sinting yang tak 
sadarkan diri. 

Untung tak jauh dari situ tumbuh sebatang pohon besar 
berdaun rimbun Bergegas Nawangsih memapah tubuh Satria 
Sinting dan merebahkannya di bawah pohon. Dengan hati gelisah, 
Nawangsih menunggu hingga lelaki berpakaian compang-camping 
itu sadar. Karena meskipun telah diusahakan untuk menyadarkan. 
Satria Sinting tetap pingsan. 

"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba...! Rupanya 
keberuntungan masih berpihak pada kami, sehingga di tempat 
seperti ini berhasil menemukanmu, Cah Ayu! Ha ha ha...! Sekarang 
siapa yang akan menolongmu lagi? Ha ha ha...!" 

Nawangsih tersentak kaget mendengar suara tawa itu. 
Wajahnya berubah pucat ketika menoleh ke arah suara itu. 
Dikenalinya betul siapa pemilik suara yang khas barusan 

Dugaannya tidak keliru, berjarak lima tombak dari tempatnya 
berdiri tiga sosok lelaki yang amat dikenalnya. Mereka tak lain Setan 
Hitam Muka Kuda, Iblis Pemburu Nyawa, dan Gajah Kecil 
Bertangan Maut Tokoh-tokoh hitam yang terus memburunya entah 
untuk keperluan apa 

Sing! Sing! 

Tanpa pikir panjang Nawangsih langsung melolos sepasang 
pedang yang tersampir di pundaknya Tak ada jalan lain baginya 
kecuali melakukan perlawanan. Gadis berpakaian kuning ini telah 
siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia 
terpaksa memberikan perlawanan mati-matian karena menyadari 
untuk melarikan diri merupakan hal yang tidak mungkin sama 
sekali. 

"Hoho ho.J" 

Gajah Kecil Bertangan Maut yang berwatak gembira dan 
lucu tertawa bergelak melihat tindakan Nawangsih. Perlawanan 
yang akan dilakukan gadis cantik itu dianggapnya bukan suatu 
persoalan berat. Telah diketahuinya sendiri tingkat kepandaian Na¬ 
wangsih berada jauh di bawahnya. 

"Biar aku yang menangkapnya. Gajah Kecil!" pinta Iblis 
Pemburu Nyawa seraya melangkah maju. 

Baru saja ucapan itu berhenti, Nawangsih telah melompat 
menerjang Iblis Pemburu Nyawa yang berada paling depan. Hal itu 
membuat Gajah Kedi Bertangan Maut dan Setan Hitam Muka Kuda 
melompat mundur menjauhi kancah pertarungan. 

Hal yang sama dilakukan Iblis Pemburu Nyawa. Namun 
kalau kedua rekannya menjauhi tempat pertarungan, lelaki kurus 
bersenjata rantai dengan bola baja berdiri itu melompat guna 
mengelakkan serangan Nawangsih. 

Serangan gadis berpakaian kuning itu ternyata tidak bisa 
dianggap remeh juga Bentuk sepasang pedangnya berubah menjadi 
dua gulungan sinar menyilaukan mata laksana halilintar 
menyambar. Namun gerakan Iblis Pemburu Nyawa pun tak kalah 
cepat. Sehingga serangan-serangan Nawangsih beberapa kali hanya 
menyambar tempat kosong. 

Melihat serangannya gagal Nawangsih tak tinggal diam 
Dengan gerakan cepat diluncurkannya kembali serangan-serangan 
gencar dan dahsyat Sepasang pedangnya mengaung, berputar dan 
menyambar, memburu sasaran dalam bentuk sinar-sinar kilat yang 
menyilaukan mata 

Dalam hati Iblis Pemburu Nyawa memuji kedahsyatan 
permainan pedang Nawangsih. Namun dengan mudah serangan- 
serangan itu dielakkannya. Lelaki tua bertubuh kecil kurus ini 
memang tidak percuma mendapat julukan Iblis Pemburu Nyawa. 
Gerakannya sangat cepat, bahkan seakan bembah menjadi bayangan 
yang melesat ke sana kemari dalam mengelakkan serangan lawan. 

Kenyataan ini membuat Nawangsih menggertakkan gigi 
menahan kegeraman. Dia merasa sedah menyerang bayangannya 
sendiri, sehingga ke mana pun pedangnya mduncur, tak satu pun 
yang mengenai sasaran. Padahal, telah hampir sepuluh jurus 
serangan dilancarkannya 

"Hih.J" 

Bukkk! 

"Uh...!" 

Sebuah tamparan tangan kanan Iblis Pemburu Nyawa 
mendarat telak di pundak Nawangsih. Untung saja, kakek tinggi 
kurus itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun 
demikian tubuh Nawangsih terlempar ke belakang dan jatuh bergu¬ 
lingan di tanah. Darah menetes dari mulutnya bersamaan dengan 
terlemparnya pedang di tangan kanan. 

Namun Nawangsih tampak tak merasa gentar sedikit pun 
Dia bergegas bangkit. Walaupun sekarang hanya memegang 
sebatang pedang, dengan gerakan mantap gadis itu masih berani 
menerjang Iblis Pemburu Nyawa dengan sebuah tusukan ke arah 
leher. 

Iblis Pemburu Nyawa tertawa terkekeh. Dengan ilmu 
meringankan tubuhnya yang luar biasa, dia menyelinap ke belakang 
Nawangsih. Dengan cepat tangannya bergerak menotok punggung 
Nawangsih. Seketika tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai di 
tanah. 

"Ha ha ha..!" 

Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan 
Setan Hitam Muka Kuda sama-sama tertawa bergelak menyaksikan 
robohnya tubuh Nawangsih. Dan masih dengan tawa berderai, Iblis 
Pemburu Nyawa menghampiri tubuh Nawangsih yang terkulai tak 
berdaya 

"Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan?" 

Sebuah bentakan keras membuat kedua tangan Iblis 
Pemburu Nyawa yang terjulur hendak meraih tubuh Nawangsih 
terhenti di tengah jalan. Seketika kepala Iblis Pemburu Nyawa dan 
dua rekannya menoleh ke arah asal suara. 

Dengan langkah setengah berlari, sesosok tubuh 
menghampiri tempat Nawangsih tergolek 

Iblis Pemburu Nyawa yang merasa diganggu urusannya, 
menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya menatap lelaki 
berpakaian compang-camping itu yang ternyata Satria Sinting 
adanya. Kemudian dengan secara sembarangan dikibaskan tangan 
kanannya 

Wusss! 

Segundukan angin keras meluruk ke arah Satria Sinting, dan 
menghantamnya secara telak. Sehingga tubuhnya terlontar deras ke 
belakang. Luncuran itu baru terhenti ketika punggung Satria Sinting 
menghantam batang pohon tempatnya berteduh tadi. 

Tanpa mempedulikan keadaan Satria Sinting, Iblis Pemburu 
Nyawa mengangkat tubuh Nawangsih dan meletakkan di bahu 
kanannya 

"Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?!" 

Seruan ini membuat Iblis Pemburu Nyawa terjingkat kaget 
bagai disengat kalajengking. Bahkan tubuh Nawangsih yang berada 
di bahunya hampir terlempar. Masih dalam keadaan diliputi rasa 
terkejut dialihkan pandangannya ke tempat lelaki berpakaian 
gembel yang tadi terlempar oleh serangannya. 

Sepasang mata Iblis Pemburu Nyawa terbelalak kaget. 
Seperti tak percaya melihat Satria Sinting kembali mengayunkan 
langkah mendekatinya. Tidak tampak tanda-tanda kalau pukulan 
jarak jauh yang menghantamnya, berpengaruh terhadap tubuh lelaki 
berpakaian gembel itu. Dan kenyataan ini tidak hanya membuat 
kaget Iblis Pemburu Nyawa. Setan Hitam Muka Kuda, dan Gajah 
Kecil Bertangan Maut sama-sama terlongo bengong. Menurut 
perhitungan mereka pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa telah 
cukup untuk mengirim nyawa lelaki berpakaian compang-camping 
itu ke akherat. Ketiga tokoh hitam itu melihat langkah Satria Sinting 
yang berat dan tidak lincah. Sungguh suatu gambaran dari seorang 
yang tidak memiliki ilmu silat. 

Itulah sebabnya kebka melihat Satria Sinting tidak 
mengalami kejadian apa pun. Iblis Pemburu Nyawa dan dua 
rekannya terkejut bukan kepalang. 

Namun kekagetan yang menyelimuti tiga tokoh hitam itu 
hanya berlangsung sesaat, karena segera berubah menjadi rasa 
penasaran dan geram. Dan karena dorongan perasaan itulah Iblis 
Pemburu Nyawa tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Dengan 
pengerahan tenaga dalam tangan kanannya dihentakkan. 

Wrrrs! 

Seketika gelombang angin pukulan meluruk ke arah Satria 
Sinting. Sebuah pukulan yang jauh lebih dahsyat daripada 
sebelumnya Bunyi menderu keras seperti badai langsung terdengar 
ketika Iblis Pemburu Nyawa menghentakkan tangan. 




Glarrr...! 

Bunyi ledakan keras terdengar ketika dari arah samping 
meluruk pula segundukan angin dahsyat, memapaki pukulan jarak 
jauh Iblis Pemburu Nyawa. Sehingga serangan lelaki tua itu pun 
kandas. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang akibat 
pengaruh benturan yang dahsyat. 

"Keparat!" 

Iblis Pemburu Nyawa memaki penuh kemarahan. Dengan 
wajah bengis, dialihkan pandangannya ke arah asal pukulan jarak 
jauh yang memapaknya 

Dalam jarak sekitar empat tombak, berdiri seorang kakek 
berpakaian serba merah Sikapnya terlihat angker dan penuh 
wibawa. 

"Siapa kau?!" tanya Iblis Pemburu Nyawa setengah 
membentak setelah beberapa saat lamanya mengawasi kakek 
berpakaian merah. 

"Siapa adanya aku, tidak penting. Yang jelas, kau dan dua 
kawanmu kuminta segera meninggalkan tempat ini, dan jangan 
coba-coba mengganggu dia!" tandas kakek berpakaian merah sambil 
menuding Satria Sinting. 

"Keparat! Berani benar kau berkata begitu pada Iblis 
Pemburu Nyawa?!" teriak Iblis Pemburu Nyawa penuh ancaman. 

"Hhh.J" 

Kakek berpakaian merah menghembuskan napas berat 
seperti menyesali Iblis Pemburu Nyawa yang mengucapkan 
perkataan seperti itu. 

"Kau menyia-nyiakan kesanpatan yang kuberikan! Sayang 
sekali! Terpaksa aku akan membunuhmu dan juga kedua rekanmu! 
Asal kalian tahu saja, aku mempunyai alasan kuat untuk 
melakukannya karena kalian telah berani lancang membunuh Eyang 
Dipayana. Padahal, akulah yang akan membunuhnya karena dia 
musuh besarku! Bersiaplah menerima kematian...!" 

"Sombong...! Kaulah yang akan mati di tanganku atas 
kelancangan sikapmu itu!" 

Iblis Pemburu Nyawa melemparkan tubuh Nawangsih ke 
tanah. Lalu tubuhnya melesat menerjang kakek berpakaian merah 
Tangan kanannya yang mengepal keras, dipukulkan ke arah dada 
lawan hingga menimbulkan bunyi menderu karena kekuatan tenaga 
dalam yang dikerahkannya 

Kakek berpakaian merah tetap bersikap tenang. Tanpa 
menunjukkan sikap gugup dia melompat ke atas dan mengirimkan 
tendangan kilat ke arah kepala lawan 

Iblis Pemburu Nyawa terkejut melihat serangan balasan 
yang tidak disangka-sangkanya. Namun, tidak percuma dia 
mendapat julukan Pemburu Nyawa karena gerakannya memang 
cepat. Dalam kesempatan yang begitu sempit dia masih mampu 
mengelakkan serangan dengan melompat ke belakang. 

Iblis Pemburu Nyawa menggereng keras karena marah. 
Sambil menggeretakkan gigi dia segera melolos rantai yang 
berujung bola berduri di pinggangnya. Kemudian diputar- 
putarkannya di atas kepala. 

Wukkk! Wukkk! 

Diiringi bunyi menderu keras, rantai berujung bola berduri 
itu melesat ke arah kepala kakek berpakaian merah. 

Kakek berpakaian merah tidak berani bertindak main-main. 
Dia sadar Iblis Pemburu Nyawa memiliki kepandaian tinggi. Maka 
segera ditariknya senjatanya yang tersimpan di balik pakaian. 
Ternyata sebuah sabuk berwarna hitam. Tanpa ragu-ragu di¬ 
sambutnya luncuran bola berduri dengan menyabetkan cambuk itu. 

Wuttt! 

Prattt! 

"Ehh.J" 

Kakek berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang 
akibat benturan itu. Hal ini terjadi karena tenaga Iblis Pemburu 
Nyawa jadi berlipat ganda setelah mendapat tambahan dari tenaga 
luncuran senjatanya. 

Kakek berpakaian merah mengeluh dalam hati. Disadari 
kalau keadaan ini terus berlangsung, dirinya dapat dilumpuhkan 
tawan. Dia sadar kalau jarak yang terlalu jauh sangat 
menguntungkan lawan. Karena senjata lawan memiliki jangkauan 
yang panjang. Dengan jarak seperti itu dia akan mengalami 
kesulitan untuk melancarkan serangan balasan. Digertakkan gigi 
seraya mengerahkan seluruh kepandaian, terutama sekali kecepatan 
geraknya agar dapat mendekati Iblis Pemburu Nyawa. Namun sam¬ 
pai dua puluh lima jurus pertarungan berlangsung, keadaan tetap 
seperti semula. Usahanya untuk memperpendek jarak selalu kandas, 
karena lawan memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal. 

Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada di atas 
lawannya Iblis Pemburu Nyawa terus menjauhkan diri setiap kali 
kakek berpakaian merah berusaha mendekat 

Pada jurus ketiga puluh dua, kakek berpakaian merah habis 
kesabarannya. Ketika mencoba melompat lagi untuk mendekati 
lawan, tangan kirinya dihentakkan berkai-kali! 

"Heh.J" 

Iblis Pemburu Nyawa terkejut juga melihat serangan jarak 
jauh yang bertubi-tubi. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan 
bergulingan menjauh, karena tidak mungkin menangkis serangan 
itu dengan tindakan serupa. Sebab, kedua tangannya memegang 
senjata andalannya 

Kesempatan baik itu dipergunakan oleh kakek berpakaian 
merah. Dikejarnya lawan yang tengah bergulingan dengan 
menyabetkan senjatanya. 

Glarrr! 

Debu bercampur bongkahan tanah berhamburan ke sana 
kemari ketika pecut kakek berpakaian merah yang ditujukan pada 
tubuh Iblis Pemburu Nyawa menghantam tanah. 

Melihat ancaman bahaya terhadap rekannya. Setan Hitam 
Muka Kuda tidak bisa tinggal diam. Tubuhnya melesat cepat dengan 
tongkat bulan sabit di tangan. 

Trangngng! 

Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika tongkat bulan 
sabit Setan Hitam Muka Kuda membentur pecut kakek berpakaian 
merah yang dihantamkan ke arah kepala Iblis Pemburu Nyawa. 

Pada saat yang hampir bersamaan. Gajah Kecil Bertangan 
Maut merendahkan tubuhnya untuk melancarkan pukulan jarak 
jauh dengan kedua tangan terbuka. 

"Kok.. Kok... Kok...!" 

Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring 
meluncurnya pukulan jarak jauh ke arah dada kakek berpakaian 
merah. Kakek itu buru-buru melemparkan tubuh ke samping 
melakukan lompatan harimau, lalu melenting dan menyambar 
Satria Sinting. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu 

Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan 
Setan Hitam Muka Kuda hanya dapat menatap kepergian kakek 
berpakaian merah dengan hati dongkol Mereka tak melakukan 
pengejaran sama sekali karena tahu akan sia-sia. Kakek itu telah jauh 
sebelum mereka sempat berbuat sesuatu. Dengan hati kesal 
ketiganya meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh 
Nawangsih. Masing-masing berjanji dalam hati setelah berhasil me¬ 
nunaikan tugas terhadap Nawangsih, akan membuat perhitungan 
dengan kakek berpakaian merah itu. 


•Jelek 


"Tunggu, Eyang...!" 

Sambil mengucapkan seruan demikian. Dewa Arak 
menghentikan larinya. Eyang Ranggalawe yang berlari di 
sebelahnya pun terpaksa melakukan hal yang sama. 

"Ada apa. Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe 
keheranan. 

"Kau lihat keadaan tempat ini, Eyang?!" ujar Arya seraya 
meneliti tanah tempatnya berpijak saat itu 

Eyang Ranggalawe mengedarkan pandangan sebentar. 

"Bekas-bekas pertempuran.desis kakek berpakaian abu- 

abu itu. 

"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala "Dan 
bukankah itu pedang milik Nawangsih?" lanjutnya seraya menunjuk 
dua buah pedang tergeletak tak jauh dari tempat mereka 

Eyang Ranggalawe mengikuti arah tudingan tangan Arya 
Dia pun menganggukkan kepala kehka mengenali pedang-pedang 
Nawangsih. Lelaki tua itu bergegas menghampiri dan 
mengambilnya 

"Celaka...!" desis Eyang Ranggalawe dengan tarikan wajah 
menyiratkan kecemasan. "Apa yang terjadi dengan anak itu? 
Mungkinkah Satria Sinting menganiaya Nawangsih? Kalau benar 
demikian, celaka...!" 

"Kurasa hdak demikian. Eyang," ujar Arya setelah 
termenung sesaat. "Aku yakin bukan Satria Sinting yang telah 
mencelakai Nawangsih. Kau lihat pohon yang hancur di sana. 
Eyang? Aku yakin semua ini tindakan Gajah Kedi Bertangan Maut 
dan rekan-rekannya Hancurnya pohon itu aku yakin akibat bola 
berduri Iblis Pemburu Nyawa!" 

"Kau benar. Dewa Arak," ujar Eyang Ranggalawe setelah 
memperhatikan lebih telih semua yang dikatakan pemuda berambut 
putih keperakan itu. Dan sekarang kecemasannya kian bertambah. 

"Berarti...," ujar kakek berpakaian abu-abu setelah tercenung 
sejenak. "Nawangsih dan Satria Sinting dibawa pergi oleh kelompok 
Gajah Kecil Bertangan Maut. Ini benar-benar ancaman bagi dunia 
persilatan! Mereka pash akan mempergunakan Satria Sinting untuk 
tujuan tidak baik!" 

"Kalau demikian... kita harus cepat-cepat mengejar mereka. 
Eyang!" tandas Dewa Arak tanggap. 

"Kita ke selatan. Dewa Arak," ucap Eyang Ranggalawe 
seraya melesat lebih dulu 

Tanpa m e m b u a n g-b u a n g waktu, Dewa Arak segera melesat 
menyusul. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, pemuda 
berpakaian ungu itu telah berlari di samping Eyang Ranggalawe. 

"Mengapa kau memilih selatan, Eyang?" tanya Dewa Arak 
sambil terus berlari 

"Gajah Kedi Bertangan Maut dan rekan-rekannya bertempat 
tinggal di sekitar Gunung Kidul. Dan jalan ini merupakan jalan 
pintas menuju ke sana. Jadi, kita bisa mendahului mereka tiba di 
sana!" jawab Eyang Ranggalawe. 

Dewa Arak tidak memberikan pertanyaan lagi kecuali 
mengangguk-anggukkan kepala Keduanya terus berlari ke selatan 

Baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe berusaha keras 
agar segera sampai di tempat tujuan. Namun, Dewa Arak tidak bisa 
mengerahkan seluruh ilmu larinya. Sebab jika hal itu dilakukan. 
Eyang Ranggalawe yang memiliki ilmu meringankan tubuh di 
bawahnya tentu akan tertinggal jauh di belakang. 

Kecepatan lari Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tidak 
mengendur, meskipun tempat yang dilalui cukup sulit. Kadang- 
kadang keduanya melewati jalan sempit yang licin, serta berkelok- 
kelok memutari dinding tebing yang menjulang tinggi. Terpelesat 
sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke akherat, 
karena sebelah kiri jalan menganga jurang terjal yang sangat dalam. 

Jalan pintas seperti yang dikatakan Eyang Ranggalawe 
ternyata amat sulit ditempuh dan penuh dengan ancaman maut. 
Kalau saja bukan orang-orang seperti Dewa Arak dan Eyang 
Ranggalawe mungkin tak akan sampai tempat tujuan. Keduanya 
meskipun sedikit kewalahan, akhirnya berhasil melewati medan 
sulit itu. Kini jalan yang mereka tempuh mulai menurun 

Begitu melewati tanah berumput yang sangat luas, dan tetap 
menurun, baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe melihat 
nyala api kuning di angkasa! Api itu kemudian memecah ke 
sekelilingnya 

Ayunan kaki Eyang Ranggalawe yang semula hendak 
menuju ke timur, dibelokkan. Sehingga keduanya tidak melewati 
hutan lebat yang tampak di depan, melainkan menyusuri jalan yang 
ditumbuhi ilalang tinggi dan rapat. 

"Mengapa menempuh arah ini. Eyang?" tanya Arya tak 
mampu menyembunyikan rasa herannya. 

"Terpaksa, Dewa Arak," jawab Eyang Ranggalawe, "Karena 
di sana ada seorang tokoh sakti yang tak pernah menyukai orang 
lain datang ke tempat itu. Tanda api kuning yang memecah di 
angkasa itulah petunjuk nyata kalau tokoh sakti itu tengah berada di 
luar." 

"Tapi bukankah semula kau hendak menempuh tempat itu, 
Eyang?" tanya Arya yang tidak puas dengan jawaban Eyang 
Ranggalawe. 

"Semula kukira dia berada di goanya," jawab Eyang 
Ranggalawe ringan sambil terus mengayunkan kaki menyusuri 
rumput ilalang 

Arya hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lagi. Dia 
terpaksa hanya mengikuti jalan yang ditempuh Eyang Ranggalawe. 


•kirk 


"Kau lihat itu. Dewa Arak...!" Eyang Ranggalawe 
mengeluarkan seruan itu sambil menudingkan telunjuk ke depan. 
Sebuah perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena 
tanpa diberitahukan pun pemuda berambut putih keperakan itu 
dapat melihatnya. Sebuah pemandangan terpampang berjarak 
sekitar dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Eyang 
Ranggalawe berada. Suatu tempat persembunyian yang cukup baik 
karena terlindung sebuah gundukan batu sebesar gajah 

Terlihat oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, tiga sosok 
yang tidak lain Gajah Kecil Bertangan Maut, Setan Hitam Muka 
Kuda, dan Iblis Pemburu Nyawa duduk bersimpuh di depan sebuah 
bangunan mirip kuil. Di depan ketiga orang itu tampak tergolek 
tubuh Nawangsih. 

"Guru...!" 

Terdengar oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, Gajah 
Kecil Bertangan Maut berseru tanpa mengangkat wajahnya yang 
tertunduk menekun tanah Begitu pula Iblis Pemburu Nyawa dan 
Setan Hitam Muka Kuda, keduanya tertunduk hormat. 

"Kami tidak berhasil membawa Eyang Dipayana kemari. 
Bukan karena ketidakmampuan kami, tapi karena telah ada orang 
yang mendahului kami membunuhnya. Entah siapa kami tidak tahu 
Dan sebagai gantinya kami bawa murid musuh besarmu kemari 
untuk kamicucurkan darahnya ke hadapanmu, Guru... Anggap saja 
muridnya ini sebagai ganti Eyang Dipayana! Harap kau terima 
persembahan kami ini. Guru!". 

Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan 
Setan Hitam Muka Kuda bangkit. 

Arya yang mendengar semua ucapan Gajah Kecil Bertangan 
Maut, langsung mengetahui adanya ancaman bahaya terhadap 
Nawangsih. Maka dia segera melesat keluar dari tempat persembu¬ 
nyiannya tanpa menunggu Eyang Ranggalawe. 

Namun, sebelum Dewa Arak bergerak, terdengar jeritan 
melengking nyaring seperti pekik seekor burung garuda yang 
tengah murka Dan belum lenyap suara pekikan itu, tak jauh dari 
tempat Gajah Kecil Bertangan Maut telah berdiri seorang pemuda 
berpakaian gembel. Di tangannya tergenggam sebatang pedang. 
Sikapnya menunjukkan kalau dia telah siap untuk bertarung. 

Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan 
Setan Hitam Muka Kuda, serentak bangkit berdiri 

"Keparat! Lagi-lagi kau..!" geram Setan Hitam Muka Kuda, 
penuh kemarahan "Kali ini nyawamu akan lenyap...!" 

Bersamaan keluarnya seruan itu, Setan Hitam Muka Kuda, 
serta dua rekannya serentak menerjang Satria Sinting. 

Singngng! 

Tongkat bulan sabit di tangan Setan Hitam Muka Kuda 
menyambar lebih dulu ke arah leher Satria Sinting. Gerakannya 
yang begitu cepat sehingga yang tampak hanya seleret sinar 
berkilauan melesat ke arah pemuda berpakaian compang-camping 
itu. 

Trangngng! 

Tangkisan Satria Sinting dengan manpergunakan pedang 
yang digerakkan dengan tenaga dalam, membuat tubuh Setan 
Hitam Muka Kuda terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan 
Satria Sinting tampak hanya teigetar tangannya 

"Kok kok kok...!" 

Suara Gajah Kecil Bertangan Maut yang siap menyerang 
membuat Satria Sinting bergegas membalikkan tubuh Sebab lelaki 
gemuk berkepala botak menyerangnya dari belakang. 

Ternyata Gajah Kecil Bertangan Maut telah siap 
melancarkan serangan. Tubuhnya telah berjongkok, tangan kiri dan 
kanannya dihentakkan beberapa kali ke arah Satria Sinting 
menimbulkan bunyi angin berddtan. Tanpa ragu-ragu Satria Sinting 
melakukan tindakan serupa dengan tangan terbuka. 

Glarrr...! 

Dua tenaga dahsyat berbenturan di udara 
memperdengarkan bunyi ledakan keras, membuat sekitar tempat itu 
tergetar hebat. Untuk kedua kalinya tubuh Satria Sinting 
terguncang. Namun Gajah Kedi Bertangan Maut terjengkang ke 
belakang, dan bergulingan ke tanah 

Saat itulah, terdengar angin keras menderu Walaupun tidak 
dapat melihat, Satria Sinting tampaknya mengetahui kalau Iblis 
Pemburu Nyawa telah melancarkan serangan dengan bola berduri 
ke arah kepalanya Maka buru-buru direndahkan tubuhnya 
sehingga hantaman bola berduri itu lewat di atas kepalanya. 

Belum lagi Satria Sinting sempat berbuat sesuatu, Setan 
Hitam Muka Kuda menyusul melancarkan serangan, diikuti Gajah 
Kecil Bertangan Maut. Namun semua itu dapat dipatahkan oleh 
pemuda berpakaian compang-camping itu. Bahkan mampu 
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sesaat 
kemudian pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. 

Tanah dan rerumputan berhamburan diterjang pukulan- 
pukulan dahsyat mereka Bahkan bebatuan yang berdekatan pecah 
berantakan Serta pepohonan di sekitar tempat itu tumbang 
mengeluarkan suara kera h seperti diamuk gajah-gajah liar. 

"Heaaattt...!" 

Pada jurus kelima puluh sambil mengeluarkan teriakan 
keras. Setan Hitam Muka Kuda menerjang maju. Tombak bulan 
sabitnya diputar laksana kiliran, kemudian ditusukkan ke arah dada 
Satria Sinting secara bertubi-tubi 

Pada saat yang bersamaan. Iblis Pemburu Nyawa yang 
berada agak jauh dari Satria Sinting mengayunkan bola berdurinya 
menyambar leher. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tidak 
sempat mengirimkan serangan karena baru saja melompat mundur 
untuk mengelakkan sambaran pedang pemuda berpakaian 
compang-camping itu. 

"Hih!" 

Satria Sinting melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa 
kali. Gerakan itu tidak semata-mata untuk mengelakkan serangan, 
karena dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, tangan kirinya 
mencengkeram batang tongkat di dekat logam bulan sabit yang 
tajam itu. Sambil menyentakkan tombak milik Setan Hitam Muka 



Kuda, tangan kanannya mengayunkan pedang memapak bola duri 
Iblis Pemburu Nyawa. 

Trakkk! 

"Huhhh.J" 

Setan Hitam Muka Kuda mengeluarkan keluhan tertahan 
karena tidak mampu menahan sentakan pemuda berpakaian gembel 
itu. Tubuhnya terseret ke depan. Bertepatan dengan itu, pedang Sa¬ 
tria Sinting membentur senjata milik Iblis Pemburu Nyawa secara 
keras. Sehingga bola berduri itu meluruk ke arah pemiliknya dengan 
kecepatan berlipat ganda. 

Hampir tidak berselisih waktu dengan terjadinya benturan 
itu, Satria Sinting mengirimkan tendangan kaki kanan ke punggung 
Setan Hitam Muka Kuda yang tengah terhuyung-huyung ke depan. 

"Aaakh..!" 

Tubuh Setan Hitam Muka Kuda melayang-layang ke depan 
seperti daun kering dihempaskan angin 

Jiiggg! 

Baru saja Satria Sinting menjejak tanah. Gajah Kecil 
Bertangan Maut yang melihat rekan-rekannya dibuat pontang- 
panting langsung meluruk dengan pukulan kedua tangan terbuka. 

Plak! Plak! 

Gajah Kedi Bertangan Maut tersenyum gembira ketika 
melihat serangannya mengenai dada lawan. Dikiranya Satria Sinting 
tidak sempat mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara 
cepat. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap ketika melihat 
pemuda berpakaian compang-camping itu tidak terpengaruh sama 
sekali dengan serangannya Bahkan kedua tangannya justru melekat 
pada dada lawan 

Gajah Kecil Bertangan Maut terbelalak kaget ketika tidak 
mampu menarik tangan. Dirasakan ada daya sedot yang amat kuat 
dari tubuh pemuda gembel itu. Ketika lelaki gemuk itu berusaha 
keras untuk membebaskan tangannya, tiba-tiba Satria Sinting 
menggedor dadanya 





Brakkk! 

"AaakhJ" 

Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terlontar ke belakang. 
Pukulan Satria Sinting menimbulkan suara berderak keras seperti 
tulang berparahan. Darah segar menyembur deras bersamaan 
dengan keluarnya jeritan menyayat dari mulut lelaki pendek gemuk 
itu. 

Hampir berbarengan jeritan Gajah Kedi Bertangan Maut, 
Iblis Pemburu Nyawa pun mengeluarkan lolongan menyayat hati. 
Dia tewas dengan kepala hancur terhantam senjatanya sendiri 

Tanpa mempedulikan nasib ketiga lawannya. Satria Sinting 
segera mengayunkan kaki menghampiri tubuh Nawangsih yang 
tergolek. Sementara Dewa Arak yang sejak tadi menyaksikan 
jalannya pertarungan terkesiap ketika melihat Satria Sinting 
mendekati Nawangsih. Namun segera diurungkan niatnya untuk 
mencegah tindakan pemuda gembel itu, ketika Eyang Ranggalawe 
menyentuh tangannya, memberi isyarat agar tidak melakukan 
tindakan apa pun. 

Arya yang tadi telah berdiri segera kembali bersembunyi di 
balik gundukan batu besar. Untung saja sejak tadi Satria Sinting 
tidak melihatnya. Rupanya pemuda berpakaian compang-camping 
itu sibuk menghadapi Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua 
rekannya 

Dari tempat terlindung dan tersembunyi Dewa Arak 
bersama Eyang Ranggalawe mengintai semua gerak-gerik Satria 
Sinting. Tampak pemuda berpakaian gembel itu telah berada di 
dekat tubuh Nawangsih. Bahkan kedua tangannya telah dijulurkan 
hendak mengangkat tubuh gadis berpakaian kurung itu. Tapi... 

"Tahan...!" 

Satria Sinting menggereng keras penuh kemarahan karena 
tahu kalau larangan itu ditujukan padanya. Tubuhnya langsung 
berbalik ke arah asal suara. Sikapnya bengis penuh ancaman. 

"Kau berani membantah perintah raja?" seru seorang kakek 
berpakaian merah yang kini telah berdiri di depan Satria Sinting. 
Kakek itu mengacungkan sebuah pedang tinggi-tinggi di atas 
kepala. Sebuah pedang berkilauan yang gagangnya berhiaskan batu 
kemala. 

Anehnya pemuda berpakaian gembel seperti orang gila itu 
tampak terkejut. Wajahnya yang semula garang langsung surut. 
Bahkan langsung menjatuhkan diri dan berlutut. 

"Sebenarnya kau harus dihukum atas tindakanmu yang 
berani melarikan diri dariku Tapi, atas dasar pertimbangan lain, aku 
atas nama raja mengampunimu. Ingat, kita hendak menghukum 
seorang pemberontak. Kau mengerti?!" 

Satria Sinting mengangguk-anggukkan kepala mengerti 
maksud kakek berpakaian merah. 

"Sekarang, ikut aku dan tinggalkan gadis itu di situ!" 

Bagai kerbau dicocok hidungnya. Satria Sinting bangkit dan 
menghampiri kakek berpakaian merah. Sesaat kemudian keduanya 
melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan beberapa kali 
lesatan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata. Baru 
Eyang Ranggalawe memberi isyarat pada Dewa Arak agar keluar 
dari tempat persembunyian. 

"Kau mengenalnya. Eyang?" tanya Arya seraya 
mengarahkah pandangan ke arah menghilangnya Satria Sinting dan 
kakek berpakaian merah. 

"Maksudmu..., lelaki berpakaian merah itu?!" Eyang 
Ranggalawe balas bertanya. "Dia Kala Tungging, seorang tokoh 
sesat. Belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu dia banyak 
melakukan tindakan yang mengganparkan. Dia pernah mengacau 
pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Bahkan maninta seluruh 
tokoh persilatan agar menganggap dirinya sebagai seorang ketua 
rimba persilatan. Dia juga menantang tokoh-tokoh persilatan guna 
membuktikan kelihaiannya Dan memang, tak satu pun tokoh yang 
sanggup melawannya Mereka dibantai satu persatu." 

"Lalu... bagaimana kelanjutannya. Eyang?" tanya Arya 
dengan perasaan tertarik 

"Hampir saja keinginan Kala Tungging terkabul. Untung 
saja di saat-saat terakhir muncul seorang kakek sakti bernama Ki 
Tambak Raga Tokoh itulah yang memupuskan harapan Kala 
Tungging untuk mendapatkan julukan jago nomor satu. Dia 
dikalahkan oleh Ki Tambak Raga. Dengan hati penuh rasa malu Kala 
Tungging pergi meninggalkan tempat Menghilang tanpa diketahui 
rimbanya Namun sekitar lima tahun kemudian dia muncul lagi dan 
mencari Ki Tambak Raga. Rupanya, dia ingin membalas dendam. 
Dia menantang Ki Tambak Raga dan bahkan bermaksud 
membunuhnya. Tapi, usahanya sia-sia. Ki Tambak Raga memang 
terlalu kuat untuknya" 

Eyang Ranggalawe menghentikan cerita lalu 
membungkukkan tubuh untuk memeriksa Nawangsih. 

"Dia tidak apa-apa, hanya pingsan...," jawab Eyang 
Ranggalawe kalem. 

"Syukurlah, Eyang," sambut Arya gembira. "Kurasa sudah 
saatnya bagiku mohon diri untuk melanjutkan perjalananku Kau 
yang lebih berhak atas Nawangsih, Eyang." 

Tanpa memberikan kesempatan pada Eyang Ranggalawe 
untuk menanggapi, Arya telah melesat meninggalkan tempat itu. 
Hanya dengan sekali langkah dia telah berada dalam jarak tak 
kurang dari tiga belas tombak. Eyang Ranggalawe semakin 
bertambah kagum, dan harus mengakui kalau Dewa Arak benar- 
benar memiliki kepandaian menakjubkan 

Kakek berpakaian abu-abu ini menatap hingga tubuh Dewa 
Arak lenyap di kejauhan Setelah itu dihampirinya tubuh 
Nawangsih. 


•kirk 


"Hey...!" 

Seruan keras tiba-tiba terdengar membuat dua sosok yang 
baru saja melewati pintu gerbang sebuah bangunan mewah, 
menghentikan langkah. 

"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Ki Tambak Raga?" 
tanya kakek berpakaian merah, salah satu dari dua orang yang 
tengah memasuki halaman rumah megah itu. Suaranya keras 
menyiratkan ketidaksenangan dalam hatinya. 

"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan seperti itu 
padamu, Ki?! Siapa kau? Dan apa maksud kedatanganmu kemari?!" 
jawab lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada yang tadi berseru 
keras. Dia telah berdiri di depan kakek berpakaian merah dan lelaki 
berpakaian compang-camping. 

"Keparat!" 

Kakek berpakaian merah menggeram keras, lalu 
mengibaskan tangan kanannya sehingga membuat tubuh lelaki 
bertelanjang dada itu terpental jauh ke belakang. Jeritan menyayat 
hati keluar dari mulut lelaki yang sial itu. Dia tak sadar apa yang 
dialami. Yang dirasakan hanya tubuhnya bagai diseruduk seekor 
kerbau liar. 

Tanpa mempedulikan keadaan lelaki bertelanjang dada itu, 
kakek berpakaian merah mengayunkan langkah untuk meneruskan 
maksudnya semula. Tanpa berkata sepatah kata pun pemuda 
berpakaian compang-camping itu mengikuti di belakangnya. 

"Keji...!" 

Terdengar seruan keras Kakek berpakaian merah yang tak 
lain Kala Tungging menghentikan langkahnya. Pemuda berpakaian 
compang-camping yang ternyata Satria Sinting pun berhenti. 

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Kala 
Tungging dan Satria Sinting berdiri seorang kakek berpakaian putih 
bersih. Jenggotnya yang juga putih panjang sampai ke dada 

"Tambak Raga...!" seru Kala Tungging antara rasa gembira 
dan kaget "Kukira kau akan bersembunyi lagi seperti biasanya..." 

Kakek berjenggot panjang yang ternyata Ki Tambak Raga 
hanya tersenyum getir. 

"Kau atau aku yang mempunyai sifat seperti itu. Kala 
Tungging?" ejek Ki Tambak Raga. "Dan apa maksud kedatanganmu 
kemari? Apa kau hendak membuat pahitungan atas kejadian lalu?" 

"Tidak salah!" tandas Kala Tungging, "Aku akan menebus 
kekalahan yang memalukan itu! Sekarang aku mengajukan jago 
untuk menandingimu!" 

"Sudah kuduga," jawab Ki Tambak Raga, kalem. "Orang 
sepertimu mana mungkin berani bertindak jujur? Pasti kau akan 
mengajukan anak muda ini. Tidak salahkah penglihatanku atas 
pilihanmu ini, Tungging? Jago yang kau bawa menderita kelainan 
jiwa!" 

"Memang itu kusengaja!" tegas Kala Tungging, "Aku ingin 
semua orang persilatan tahu, Ki Tambak Raga, tokoh sakti golongan 
putih yang diagung-agungkan, tewas di tangan orang gila...! Aku 
yakin dunia persilatan akan gempar!" 

Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala seakan 
menertawakan gagasan Kala Tungging. Meskipun di dalam hati dia 
merasa terkejut karena dapat mengetahui kalau jago yang diajukan 
Kala Tungging bukan tokoh sembarangan. Dan itu bisa diketahui Ki 
Tambak Raga dengan melihat sorot mata lelaki berpakaian 
compang-camping itu. Tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan, 
seperti mata seekor harimau dalam kegelapan. 

"Tidak usah berpanjang kata lagi, Tambak Raga! Bersiaplah 

kau!" 

Kala Tungging lalu mengeluarkan sebatang pedang 
berwarna putih berkilauan dari pinggangnya. Karuan saja hal itu 
membuat Ki Tambak Raga kaget. Bukankah Satria Sinting yang akan 
melawannya, tapi mengapa Kala Tungging yang menghunus 
senjata? 

Meskipun demikian kakek berjenggot panjang itu bersikap 
hati-hati. Dilangkahkan kakinya ke belakang untuk menghadapi hal- 
hal yang tidak diinginkan. 

Ternyata Kala Tungging tidak menyerangnya Dengan 
kedua tangan erat-erat digenggamnya pedang bergagang bulat 
penuh batu permata itu. Matanya menatap tajam sejenak pada Satria 
Sinting. 

"Atas nama kerajaan, kuperintahkan kau untuk membunuh 
pemimpin pemberontak ini!" 

Ki Tambak Raga yang sudah bersiap-siap menghadapi 
serangan Kala Tungging, tercekat hatinya. Sebagai seorang tokoh tua 
yang telah kenyang pengalaman, dia bisa merasakan adanya 
pengaruh aneh dalam ucapan Kala Tungging. Suara itu penuh 
dengan kekuatan sihir! 

Namun kakek berjenggot panjang itu tidak sempat berbuat 
sesuatu, karena Satria Sinting yang semula mengarahkan tatapan 
pada Kala Tungging kini mengalihkan kepadanya Sikap pemuda 
berpakaian compang-camping itu tampak penuh wibawa 

"Bersiaplah untuk menerima hukuman. Pemberontak 
Keparat!" 

Sebelum gema ucapannya lenyap, Satria Sinting telah 
mengirimkan sebuah tendangan ke arah lambung Ki Tambak Raga 
Gerakannya yang sangat cepat menimbulkan bunyi menderu 

Ki Tambak Raga yang sudah bersiaga sejak tadi, tampak 
tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupan di wajahnya. 
Dengan cepat dan ringan dia melompat ke samping, sehingga 
serangan itu mengenai tempat kosong. Namun Satria Sinting tidak 
berhenti sampai di situ. Dia langsung melanjutkan dengan serangan 
lainnya secara gencar dan bertubi-tubi. Kaki kanan kirinya 
mengincar bagian-bagian berbahaya di tubuh kakek berjenggot pan¬ 
jang itu. 

Berkali-kali Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget 
setiap kali serangan lawannya meluncur, meskipun dia dapat 
mengelakkan secara mudah. Karuan saja hal ini membuat Kala 
Tungging heran. Sedangkan Satria Sinting tak mempedulikannya 
sama sekali akan keterkejutan lawan, dan terus melancarkan 
serangan susul-menyusul laksana gelombang laut. 

Hampir sepuluh jurus Satria Sinting melancarkan serangan 
dengan kakinya. Dan selama itu Ki Tambak Raga hanya mengelak, 
tidak sekali pun melakukan tangkisan apalagi melancarkan serangan 
balasan. Dan hebatnya, kakek ini mampu terus mengelakkan setiap 
serangan lawan tanpa menemui kesulitan 

Kenyataan ini membuat Kala Tungging merasa khawatir, 
apakah Satria Sinting tetap tidak akan mampu mengalahkan Ki 
Tambak Raga? Sedemikian lihaikah musuh besarnya itu? Sehingga 
serangan-serangan pemuda gila suruhannya dapat dielakkannya 
dengan mudah. 

"Hih!" 

Pada jurus kelima bela$ ketika Satria Sinting melompat 
menerjang sambil mengirimkan serangan dengan kibasan kaki, Ki 
Tambak Raga melakukan hal yang sama. 

Plakkk! 

Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama 
dialiri tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan Tubuh kedua belah 
pihak sama-sama terpental balik ke tempat semula Ki Tambak Raga 
terpental lebih jauh dua langkah dan mendarat di tanah dengan 
agak terhuyung-huyung. Sementara Satria Sinting dapat mendarat 
secara mantap. 

Kala Tungging menyunggingkan senyum lebar melihat 
kenyataan itu, karena tahu kalau jagonya memiliki tenaga dalam 
jauh lebih kuat. Padahal sepengetahuannya, Ki Tambak Raga 
memiliki tenaga dalam yang amat kuat. 

Namun kegembiraan hati Kala Tungging mulai berganti 
keterkejutan dan kekhawatiran, ketika melihat tindakan Ki Tambak 
Raga. 

"Tahan..!" seru Ki Tambak Raga sambil menjulurkan tangan 
agar Satria Sinting menghentikan serangan dan mau mendengarkan 
ucapannya. 

Lelaki berpakaian compang-camping itu tidak 
mempedulikan seruan Ki Tambak Raga. Tanpa berkata apa pun 
terus diterjangnya kakek berjenggot panjang putih itu. 

"Ah...!" 

Untuk yang kesekian kalinya, Ki Tambak Raga 
mengeluarkan seruan kaget. 

"Bukankah itu ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin? Dari 
mana kau mendapatkannya. Anak Muda?" 

Ki Tambak Raga mengeluarkan pertanyaan tanpa bisa 
menyembunyikan rasa kaget yang melanda hati. Namun tidak ada 
tanggapan sama sekali atas pertanyaannya Satria Sinting tidak 
menghentikan terjangan dengan serangan yang membuat kedua 
tangannya seperti meluncur dari delapan penjuru. Ilmu yang 
dikatakan Ki Tambak Raga sebagai ilmu 'Tangan Delapan Penjuru 
Angin'. 

Ternyata Ki Tambak Raga bukan hanya mengenal ilmu itu, 
tapi juga menguasainya. Sebab beberapa kali dia mampu 
mengelakkannya dengan mudah bahkan mengirimkan serangan 
pada tempat-tempat yang memang merupakan kelemahan dari ilmu 
itu. Tidak hanya itu yang dilakukannya Kakek berjenggot panjang 
itu pun melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan 
ilmu serupa. 

Akibatnya pertarungan berlangsung kurang menarik karena 
masing-masing pihak telah dapat menerka arah yang akan dituju 
serangan lawan. 

Kala Tungging, yang sejak tadi menyaksikan jalannya 
pertarungan tampak semakin cemas bercampur khawatir. Hal ini 
timbul ketika melihat kenyataan ilmu-ilmu yang dimiliki Ki Tambak 
Raga dengan Satria Sinting berasal dari satu sumber. Manang ada 
beberapa bagian yang berlainan, tapi itu terjadi disebabkan bakat 
tubuh masing-masing pihak, selain kemampuan mengembangkan 
ilmu-ilmu yang dimiliki. Namun pada dasarnya sama, dan jelas 
berasal dari satu sumber. 

Sekarang, kakek berpakaian merah itu sudah bisa 
memperkirakan, mengapa tadi sejak pertarungan dimulai Ki 
Tambak Raga tak henti-hentinya mengeluarkan seruan kaget. Pasti 
karena melihat ilmu yang dipergunakan Satria Sinting! Mengapa 
dirinya begitu bodoh? Kala Tungging menyalahkan dirinya dalam 
hati. Mengapa dia tidak melihat kalau Satria Sinting memainkan 
ilmu-ilmu yang dulu dipergunakan Ki Tambak Raga ketika 
menghadapinya. 

Sudah telanjur basah, biar saja aku mandi sekalian! Pikir 
Kala Tungging, nekat. Diperhatikannya jalan pertarungan dengan 
mata tidak berkedip. Hatinya berdebar khawatir kalau-kalau antara 
Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting memiliki hubungan dan 
mereka jadi berdamai. Bukan tidak mungkin kalau Ki Tambak Raga 
berhasil menyadarkan Satria Sinting dari penyakit kurang warasnya! 

Plakkk! Plakkk! 

Untuk kesekian kali, pada jurus ketujuh puluh terjadi 
benturan antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting. Namun kali 
ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Dan benturan itu lebih telak. 
Tak pelak lagi tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke 
belakang. Namun berkat kemampuan masing-masing, baik Ki 
Tambak Raga maupun Satria Sinting mampu mematahkannya 
Kemudian kembali bersiap untuk menghadapi lawan. Terlihat jelas 
kalau Ki Tambak Raga yang terjengkang lebih jauh menyeringai 
kesakitan. 

Kali ini kedua belah pihak tidak langsung melanjutkan 
pertarungan, karena Satria Sinting tidak langsung mengirimkan 
serangan. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki 
Tambak Rasa. 

"Anak Muda,.., sadarlah! Antara kau danaku ada hubungan 
erat. Buktinya ada kesamaan ilmu yang kita miliki. Jangan kau 
tertipu oleh Kala Tungging yang licik dan gemar mengadu domba! 
Sadarlah, Anak Muda...! Sadar...!" 

Ucapan-ucapan Ki Tambak Raga itu tidak keluar secara 
biasa, tapi mengandung pengaruh aneh yang kuat. Kakek berjenggot 
panjang itu sengaja melakukannya untuk memunahkan kekuatan 
sihir yang membelenggu Satria Sinting. Namun usahanya sia-sia. 

Pemuda gila itu tidak mempedulikarmya sama sekali Walaupun 
demikian, Ki Tambak Raga tidak putus asa dan terus mengeluarkan 
ucapan-ucapan untuk memberi kesadaran pada Satria Sinting. Sebab 
dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu pasti mempunyai 
hubungan dengannya. Meskipun sepengetahuannya dia tidak mem¬ 
punyai hubungan lagi dengan siapa pun Dialah orang terakhir yang 
menjadi pewaris tunggal ilmu-ilmu peninggalan leluhurnya.... 



Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan 
dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa 
melepaskan tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dila¬ 
kukan secara perlahan dengan pengerahan tenaga dalam Tampak 
asap putih mengepul dari sela-sela telapak tangannya yang masih 
merapat 

Ki Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah 
laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya 
berkerut tajam seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

"Ti... tidak mungkin..! Mustahil...!" ucap kakek berjubah 
putih itu dengan suara teibata-bata karena bibirnya menggigil keras. 

Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua 
belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria 
Sinting. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia 
tahu kalau hal seperti itu hanya timbul karena pengaruh tenaga 
dalam yang menyimpang dari biasanya. Satria Sinting mempunyai 
jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya 

Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut. 
Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan 
seperti tengah melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh 
besarnya itu? 

Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki 
Tambak Raga terlihat aneh Bukan hanya bibirnya yang menggigil. 
Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai 
dibasahi keringat dingin Begitu juga di keningnya yang tampak 
berkerut bersembulan butiran-butiran keringat. 

"Hih.J" 

Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan 
lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak 
Raga, tanpa menggeser kaki Memang jarak antara mereka terpisah 
hampir satu tombak saja! 

"Ah...!" 

Tanpa sadar. Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat 
dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung- 
gulung menuju Ki Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin 
dingin yang terasa membekukan tubuh Kala Tungging. Padahal 
kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak belasan tombak dari 
Satria Sinting. 

Kalau Kala Tungging saja merasakan akibat nya, apalagi Ki Tambak 
Raga yang menjadi sasaran serangan Kakek berjubah putih itu 
merasakan sekujur tubuhnya beku. Sehingga sulit baginya untuk 
menggerakkan tangan atau kaki baik untuk mengelak maupun 
menangkis. 

Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali 
menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting 
membuatnya tidak berdaya Memang hal itu terjadi sebagian besar 
karena dirinya terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak, 
sedikit banyak akan dapat melakukan tindakan yang mampu 
membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur. 

"He he he.J" 

Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak 
Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga 
akan segera melayang 

Bresss! 

"Ah...!" 

Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging. 
Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan 
berupa asap bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak 
Raga. Asap putih yang melesat dari kedua telapak tangannya 
menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki Tambak Raga 

Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es 
yang ditimbulkan oleh asap putih tadi. 

Satria Sinting tidak peduli dengan keadaan Ki Tamtbak Raga yang 
penuh keringat dingin. Pemuda itu tetap memukulkan tangan kirinya ke 
arah Ki Tambak Raga, tanpa menggeser kaki. Memang jarak antara mereka 
hanya sehtar satu tombak saja! 

Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan 
ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki 
Tambak Raga, sebelum asap pubh bergulung-gulung itu 
menghantamnya. 

Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada, 
berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan 
kewaspadaan, pemuda berambut pubh keperakan itu menurunkan 
tubuh Ki Tambak Raga sambil menatap lekat-lekat wajah Satria 
Sinting. 

Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan 
kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak. 

"Terima kasih atas pertolonganmu. Anak Muda. Tapi, 
cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pash akan membunuhmu 
dengan mudah...!" ujar Ki Tambak Raga penuh rasakhawahr. 

"Tenangkanlah hatimu, Ki! Percayalah aku dapat 
menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia 
melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak 
Raga. 

"Ah...! Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki 
Tambak Raga setengah terkejut dan bdak percaya dengan jawaban 
Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat mengalahkan 
Satria Sinbng. 

"Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab 
Arya untuk membuat kakek itu percaya dan tidak mengkhawahrkan 
dirinya. 

Dewa Arak sengaja memperkenalkan julukannya, karena 
tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki Tambak 
Raga pasb mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti Ki Tam¬ 
bak Raga terperanjat mendengarnya Namun dia bdak bisa 
mengutarakannya karena Satria Sinbng telah melancarkan serangan 
kembali Kali ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi- 
tubi ke tempat Dewa Arak dan Ki Tambak Raga berada. 

Wusss! 

Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang manbuat 
keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan 
tubuh, meluncur ke arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali 
ini lebih banyak dari sebelumnya, karena Satria Sinbng benar-benar 
marah melihat serangannya berhasil digagalkan Dewa Arak. 

"Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki 
Tambak Raga sambil melompat menghindar. 

Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga 
Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di 
tempatnya. Dia menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat. 
Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung 
dikerahkan untuk melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih 
dulu melingkupi tubuhnya sebelum asap itu tiba 

Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak. 
Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat 
membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila 
tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Ma- 
tahari'-nya untuk bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar 
asap tipis berwarna putih, diiringi hawa panas menyengat menyebar 
ke sekitarnya 

Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar 
biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil 
diusir pergi. Namun hal itu bukan berarti telah bebas dari maut. 
Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke 
arahnya. 

Dewa Arak tidak merasa gugup sama sekali menghadapi 
kenyataan ini. Seperti juga Satria Sinting, dia pun berkali-kali 
memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara gencar ke 
depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras 
berhawa panas menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan 
asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan 

Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting 
kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera 
dilancarkan serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan 
hal yang sama, pertarungan aneh dan tidak lazim pun terjadi. Kedua 
tokoh muda itu tidak hanya melancarkan pukulan, melainkan juga 
tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan dalam 
keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang 
saling serang dan tangkis dalam jarak berjauhan. 


•kirk 


Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya 
pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan 
heran dan takjub. 

Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga 
memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh Namun 
ketika menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu 
menahan keheranannya Belum pernah seumur hidupnya 
menyaksikan pertarungan seperti itu 

Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu. 
Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti 
itu, bahaya yang mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan 
biasa. Mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak 
belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang membuat jantung 
berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas 
dan dingin silih berganti. 

Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala 
Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir 
bersebelahan tanpa sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan 
yang berlangsung seakan membuat masing-masing lupa kalau di 
sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya pertarungan aneh 
itu. 

"Luar Biasa...! Jadi... itukah ilmu 'Awan Putih' yang 
diceritakan Ayah? Luar biasa...! Entah dari mana orang gila itu 
menemukannya? Aku harus mengetahuinya! Bukankah kata Ayah 
ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu? Benar-benar dahsyat!" 
gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan 
yang tengah berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak 
pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu 
pihak roboh! 

Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih' 
memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan 
awan putih tebal yang keluar dari telapak tangan Satria Sinting 
diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Bahkan dia 
menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan dengan cara 
seperti itu. 

Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula 
berhasil didorongnya, kembali mendekatinya. Dewa Arak melompat 
ke atas. Dari udara laksana seekor garuda, dia melancarkan 
serangan bertubi-tubi ke arah kepala Satria Sinting. 

"Uh...!" 

Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan 
keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya Sebelum 
terjadi benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari 
kedua tangan lawan. Sebagai seorang pendekar yang kenyang 
makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak 
timbul karena asap putih itu. 

Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu 
sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan. 
Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh. 
Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya 
dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas 
menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit. 
Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya 

Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus 
mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' 
dipergunakan sampai ke puncaknya Bahkan telah ditenggaknya 
arak ketika mendapat satu kesempatan. 

Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh. 
Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap 
mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Jangankan mengalah¬ 
kan, mendesaknya saja merupakan hal yang amat sukar! 

Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus 
dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada 
pihak yang sanggup mengalahkan pihak lainnya Meskipun 
demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal 
yang keluar dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak 
terus terdesak. 

Sungguhpun begitu. Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat 
lebih banyak. Dia hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak 
dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti¬ 
nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya 


•kirk 


Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam 
pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki 
halaman dan langsung berdiri di sebelah Kala Tungging. 

"Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe 
salah satu dari dua sosok yang baru datang, sedangkan sosok yang 
satu lagi adalah Nawangsih. 

Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan 
tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan. 

"Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala 
Tungging tanpa menoleh. Lalu secara singkat diceritakan semua 
kejadiannya 

Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang 
langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya, 
tidak demikian halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud 
Eyang Ranggalawe mengajaknya kemari. Maka dia tidak sabar 
ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya 
pertarungan. 

"Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih 
bernada menuntut. 

"Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu," 
jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga. 

Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot 
mata beringas. Dan.. 

Sing! Sing! 

Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung 
melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis 
itu tidak menarik perhatian ketiga kakek yang memperhatikan 
pertarungan. 

"Pembunuh Biadab...! Rasakan pembalasanku!" 

Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki 
sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging 
dan Eyang Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar 
ganas ke arah Ki Tambak Raga 

Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi 
gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu- 
bulu yang diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk meng¬ 
hadapi serangan sepasang pedang Nawangsih 

Rrrttt! 

"Uh!" 

Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang 
lemas melibat batang pedang di tangan kanannya Sedangkan 
pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki 
Tambak Raga cepat memiringkan kepalanya Dan sebelum gadis itu 
sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak Raga telah menyentakkan 
kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan 
dan terlempar jauh. 

Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh 
Nawangsih yang berada di udara Tubuh gadis berpakaian kuning 
itu ikut terbawa turun Namun murid Eyang Dipayana mampu 
menunjukkan kelihaiannya Tubuhnya yang melayang turun digu¬ 
nakan untuk melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke 
arah dada lawan. 

"Bagus...!" 

Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan 
Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu 
mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke 
belakang, kanudian tangannya bergerak mencekal. 

Tappp! 

Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan. 
Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena 
langsung melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu 
mampu meremas pergelangan kaki Nawangsih hingga remuk! 

Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana 
Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan 
bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak 
tanah dengan ringan laksana seekor burung. 

Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika 
melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan 
menubruknya Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat 
ke arah leher! 

Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan 
Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya 
pertarungan. Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati 
karena merasa terganggu. Maka Ki Tambak Raga bermaksud 
memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru 
yang tengah disaksikannya tidak keburu usai. 

Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya 
dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan, 
kebutannya yang dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku 
laksana tombak, meluncur ke arah bahu kanan Nawangsih. 

Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu. 
Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun 
gerakannya kalah cepat Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu 
mengenai bahu kanannya Seketika itu tubuh gadis berpakaian ku¬ 
ning itu terkulai lemas. Dan mungkin akan ambruk ke tanah kalau 
Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu menangkapnya 

"Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah 
kau bunuh ayahnya, kau hina pula anaknya!" 

"Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki 
Tambak Raga keras Keningnya berkerut tajam dengan mata 
menunjukkan ketidaksenangan. "Siapa yang kau maksudkan?" 

"Lupakah kau pada Wiratmaja? Ataukah kau telah menjadi 

pikun?" 

"Wiratmaja putra Eyang Dipayana?!" tanya Ki Tambak Raga 
meminta penegasan setelah tercenung beberapa saat. 

"Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala "Dan 
gadis yang kau lumpuhkan ini anak Wiratmaja!" 

"Ah...!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya 
membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi 

"Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang 
Ranggalawe yang terlihat jelas masih merasa penasaran 
"Kedatangannyakemari untuk membalaskan kematian ayahnya!" 

"Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak 
Raga. Wajahnya menegang 

"Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin 
berhasil. Dia tak akan menang melawanmu, tapi masih ada aku! 
Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang 
Ranggalawe, berapi-api. 

"Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah 
kau akan tindakan yang akan kau lakukan? Kau tak berhak 
melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya! 
Dia lebih berhak daripadamu! Dia sendiri tidak melakukannya!" 

"Bukan tidak mau melakukannya. Tambak Raga!" bantah 
Eyang Ranggalawe. "Dia ingin melakukannya, tapi menunggu 
hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang melakukan. 
Dan dia hanya membantunya!" 

"Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga "Kalau 
benar demikian, apakah dia mengatakan sendiri hal itu padamu?" 

"Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin 
akan dilakukannya." 

"Mana buktinya, Ranggalawe?! Kenyataannya sekarang 
kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau 
menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak 
menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!" 

"Bukan itu alasannya. Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa 
menemani cucunya untuk membalaskan dendam terhadapmu! Dia 
telah mati! Kau dengar. Tambak Raga?! Eyang Dipayana telah tewas, 
dan aku yakin pembunuhnya adalah... kau!" 




"Apa...?!" 

Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat 
hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar 
tudunan Eyang Ranggalawe. 

"Tidak usah berpura-pura bodoh. Tambak Raga!" tandas 
Eyang Ranggalawe keraa "Akui saja kalau kau yang telah 
membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang mempunyai 
alasan untuk melakukannya!" 

"Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. 'Dan aku 
tak membiarkan begitu saja orang melakukan hal ini padaku!" 

"Tidak usah berpura-pura sud, Tambak Raga! Aku yakin 
kaulah pelakunya! Bersiaplah untuk menerima kematian!" 

"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!" 
dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah 

Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang 
Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini 
telah tahu kalau lawan memiliki kepandaian amat tinggi Maka dia 
tak ingin bersikap setengah-setengah Dalam serangan pertama telah 
dikeluarkan senjata andalannya, tasbih, yang langsung dikibaskan 
ke arah pelipis Ki Tambak Raga 

Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang 
sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian 
dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya 
menegang kaku seperti anak panah Kemudian sambil 
mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher 
Eyang Ranggalawe. 

Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia 
tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia 
buru-buru merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan 
kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan 
dengan sabetan tasbih ke wajah lawan. 

Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya, 
bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah 
hebat. Sesaat kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan 
mempergunakan seluruh kepandaian yang dimiliki 

Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga 
berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa 
Arak dengan Satria Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian 

Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria 
Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang 
dilancarkannya tidak sekuat sebelumnya Demikian pula gerakan- 
gerakan yang dilakukan, tampak telah berubah Jelas kalau pemuda 
berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan. 

Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa 
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti 
sediakala. Serangan-serangan yang dilancarkannya masih 
mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya, 
tetap gesit seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu 
karena pengaruh arak yang ditenggaknya di dalam pertempuran. 
Arak yang berasal dari gud yang tersampir di punggungnya mam¬ 
pu membuat tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti 
sediakala. 

Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan- 
lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan. 

Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang 
Satria Sinting tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan 
serangan. Beberapa kali dia mencoba menangkis karena sudah tidak 
mungkin lagi baginya untuk mengelak. Akibatnya pemuda 
berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung. Semakin lama 
keadaan Satria Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia 
mulai bennain mundur. Awan putih tebal yang keluar dari tangan 
dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak terlihat lagi Hal itu 
membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak 

Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki 
Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek 
berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan 
kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan 
kelebihannya untuk melancarkan desakan terhadap lawan. Kebutan 
di tangannya senantiasa berubah-ubah. Kadang lemas dan melentur, 
tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan mengeras. Sehingga 
senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi juga 
menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe 
terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak 
pada jurus kelima puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak 
hebat dan hanya mampu bennain mundur. 

Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan 
pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak 
menarik, Kala Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk 
membantu Eyang Ranggalawe. 

"Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu 
menghadapi tua bangka sombong ini!" 

Tarrr! 

Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah 
pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga 
yang tengah mendesak lawan, mengurungkan serangannya Segera 
dilemparkan tubuhnya ke samping untuk menyelamatkan diri. Tak 
pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa dielakkan 


•kirk 


Brettt! Bukkk! 
"Akh..!" 

Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke 
belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti 
pukulan tangan kanan menghantamnya. Tangan kiri merobek 
pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan 
kanan yang terbuka mendarat di bahu kanan 

Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi 
cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh 
pingsan. 

Dewa Arak sendiri bukan tidak menderita. Sambungan lutut 
kirinya telepas ketika ujung kaki Satria Sinting menghantamnya. 

Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu. 
Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika 
yakin kalau Satria Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya 
Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat ke¬ 
adaan Ki Tambak Raga yang terdesak hebat. 

Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih 
unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena 
tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya 
Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya 
Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan 
puluh dia terdesak hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak. 

"Arrghh..!" 

Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam 
perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang 
bertarung mendadak terhuyung-huyung dengan wajah memucat. 
Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga 
dalam itu, telah membuat mereka terpengaruh Baik Ki Tambak 
Raga, Kala Tungging, maupun Eyang Ranggalawe merasakan 
betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru 
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh 
mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam. 

Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat 
masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua 
tangannya Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan 
ke belakang dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala 
Tungging, dan Eyang Ranggalawe berbasil bangkit Dewa Arak 
telah berdiri dengan sikap angker. 

Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe 
merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa 
Arak dengan mudah Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu 
terjadi karena keadaan mereka yang tidak siap tarung. Kalau tidak, 
mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal seperti itu dengan 
sangat mudah. 

Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari 
mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah 
dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar 
tanpa disadarinya. 

Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang 
yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran. 
Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang 
itu. Tatapan mata Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh 
Satria Sinting. 

Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak 
Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek 
berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan. 
Dewa Arak bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang 
Ranggalawe pun melakukan hal yang sama Kedua kakek ini ingin 
mengetahui apa yang akan dilakukan Ki Tambak Raga. 


•kirk 


Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak 
Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya Kakek itu 
tidak melancarkan serangan sedikit pun, melainkan duduk 
bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah 
Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan 
tengkorak kepaia manusia di dada Satria Sinting. 

"Ada apa, Ki?" 

Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki 
Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali 
melongo di dekat tubuh Satria Sinting. 

Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. 
Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada 
tubuh Satria Sinting. 

"Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak! 
Hubungan yang amat dekat hubungan perguruan Hanya saja, baik 
aku maupun dia tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga 
dengan pandangan tertuju ke arah tubuh Satria Sinting. Kala 
Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar penuturan Ki 
Tambak Raga 

"Leluhurku..," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya, 
"Memiliki kepandaian amat tinggi Hanya jarang bahkan tidak ada 
di antara orang-orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka 
selalu menyembunyikan diri Tapi mereka senantiasa mewariskan 
ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba pada diriku 
sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi 
sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan 
lagi selain diriku, yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat 
tanda ini pada kedua dadanya." 

Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe 
menatap dada Satria Sinting. 

"Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu 

"Tanda gambar naga merupakan dri khas keluarga kami 
Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau 
dia keturunan dari leluhur kami yang telah diusir dari garis 
keluarga karena mempelajari ilmu larangan." 

"Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan 
keluargamu, Ki?" tanya Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula 
tidak tahu? Bukankah ilmu-ilmu yang kau miliki mempunyai 
kesamaan dengannya?" 

"Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau 
leluhurku punya garis keluarga lain yang merupakan orang 
buangan di keluarga kami Untung saja aku melihat tanda tengkorak 
itu. Dan aku pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah 
menyinggung cerita tentang keluarga buangan itu. Namun aku telah 
lama melupakan...," ujar Ki Tambak Raga, menutup ceritanya 

Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki 
Tambak Raga 

"Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau..!" 

Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan 
pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat 
mengenai sasaran Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya 
dengan sekali sambar, pedang Nawangsih telah pindah ke ta¬ 
ngannya 

"Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak 
seraya menatap wajah gadis itu. 

"Tapi..., dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih. 

"Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga 

"Bohong!" bentak Nawangsih dengan mata masih 
menyimpan dendam 

"Aku tidak bohong! Untuk apa aku membchongi cucuku 
sendiri?!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan 

"Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar 
mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga. 

"Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk 
lebih menegaskan ucapannya "Aku tidak bohong, aku kakekmu 
karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku Jadi Wiratmaja, ayahmu 
itu mantuku!" 

'Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku?!" desak Nawangsih 
dengan suara melunak. 

"Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih. 
Percayalah...! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita 
sesungguhnya. Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang 
Dipayana?" 

Nawangsih menggelengkan kepala. 

"Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh.., Eyang Dipayana 
memang bijaksana. Dia mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau 
mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki Tambak Raga, bernada 
keluh. 

"Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan terluka. 
Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui 
sama sekali apa yang terjadi terhadap ayahku" 

"Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan 
suara berdesah. "Dengar baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu 
sedangkan ibumu mati karena bunuh diri. Ibumu membunuhnya 
karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana 
dia beigaul dengan wanita secara tidak patut! Jelas?!" 

"Kakek...!" 

Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat 
terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita 
yang dituturkan Ki Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu 
menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan menangis. 

Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut 
merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu 
keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan 
tatapan ke arah lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat 
telinga mereka dipasang untuk mendengarkan pembicaraan lebih 
lanjut 

"Benarkah Dipayana telah tiada, Nawangsih?!" tanya, Ki 
Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis beberapa 
saat di dadanya. 

Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya 

"Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan 
suara serak sambil terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira 
Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya yang membunuh 
Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa 
pembunuh Eyang Dipayana?" 

"Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak 
tahu kematian Eyang Dipayana? Bukankah dia tewas di rumah." 

"Saat Itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik 
sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi., begitu aku pulang 
yang kujumpai Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya 
Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh 
Eyang teigolek Aku marah, dan menyerang mereka, tapi mereka 
terlalu kuat untukku. Maka, aku melarikan diri dan minta 
pertolongan pada Eyang Ranggalawe." 

"Hhh.J" 

Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil 
mengangguk-anggukkan kepala Dahinya berkerut-kerut seperti 
tengah berpikir keras. 

"Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya, 
Nawangsih?" Eyang Ranggalawe menyela pembicaraan itu. 
Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari 
Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu. 

"Em... aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya 
dapat melihat ada tanda merah pada dadanya berupa telapak 
tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang...." 

Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe 
tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah 
Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka. 
Dewa Arak melihat hal ini menjadi heran. 

"Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak 

Raga 

"Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada 
ucapan sungguh-sungguh "Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian 
Eyang Dipayana mengingatkan aku pada seorang tokoh luar biasa 
dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar 
memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu 
memiliki ilmu 'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat 
seperti yang dikatakan Nawangsih. Untuk kegunaan ilmu itulah, 
tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras. Luwing Sewu 
namanya!" 

"Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek?! Apakah 
di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu. 

"Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu- 
satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang 
Dipayana. Dan mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung 
orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya Mungkin, 
tokoh sesat itu memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan 
tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban 
yang manuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan...." 

"Ha ha ha..!" 

Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan 
KI Tambak Raga Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat 
kaget, dan mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang 
sama dilakukan pula oleh dua kakek lainnya 

"Luwing Sewu...!" 

Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak. 
Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga Semua terkejut 
melihat kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan 
berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah 
tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan. 

"He he he.J" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa 
terkekeh sambil melangkah maju. "Rupanya kau cerdik juga. 
Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru. Sekarang, 
biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba mengha¬ 
langi akan menerima kematian di tanganku...." 

"Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram "Kau hanya dapat 
melakukannya setelah melangkahi mayatku!" 

Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan 
terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada. 
Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan 
dengan tenaga dalam. 

"Hehehe...!" 

Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera 
diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan 
gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya 
serangan itu 

Prattt! 

"Aaakh..!" 

Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya 
yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang. 
Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang. 
Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil 
menjejak ke tanah dengan sempurna. 

"Bedebah..!" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya 
menatap kedua telapak tangannya yang memerah sebatas 
pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu 
menjalar ke atas. 

Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk 
mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan 
Darah' lawannya Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu 
tetap terus menjalar ke atas. 

Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu. 
Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam 
segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut, 
apalagi mereka? 

Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda 
berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan 
serangan mematikan ke arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan 
kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok itu memaksa Dewa 
Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis 
yang memuakkan berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing 
Sewu. 

"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo, 
siapa lagi yang ingin ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak 
Raga?! Silakan maju!" 

"Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara 
menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan 
yang lain-lain 

"Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang 

baik!" 

Setelah berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak 
dapat disembunyikan, Luwing Sewu melesat kabur dari situ. Dan 
sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri seorang kakek kecil 
kurus yang selalu tertawa cekikikaa Sepasang matanya tampak 
berputar-putar liar. 

Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya 
Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil 
itu muncul. Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu 
kenyataan yang membuktikan bahwa kakek yang tampak kurang 
waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai 
tingkat tinggi 

Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran 
liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang 
tengah mengerahkan tenaga dalam menahan menjalarnya hawa 
beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot pan¬ 
jang itu sekali Seketika warna merah yang menjalar di sekujur 
tangan Ki Tambak Raga, perlahan-lahan memudar dan akhirnya 
lenyap sama sekali 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak 
Raga dengan perasaan kagum yang tidak dapat disembunyikan. 

"He he he...! Siapa menolong siapa?! Aku hanya mencoba 
bertanggung jawab memberikan pertolongan pada orang yang telah 
berusaha menolong anakku. Kau Tambak Raga, kan? Aku telah 
sering mendengar namamu Aku bersyukur kau tidak membenci 
anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku 
Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu 
sangat beibahaya Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap. 
Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi 
kurang waras. Kau lihat aku, he he he.J Juga anakku..? Kami 
adalah saksi nyata betapa berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu! 
Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin 
membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipeigunakan baik- 
baik oleh orang yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak 
Raga!" 

Tanpa memberi kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk 
berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar tubuh Satria Sinting, 
lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya 
sudah lenyap dari-pandangan mata. 

"Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan. Dewa Arak. 
Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu...," ucap Eyang 
Ranggalawe lirih 

Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia 
masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi 
kebingungan dan heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja di¬ 
alami. Bahkan Kala Tungging pun telah kehilangan gairah untuk 
bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah perginya 
kakek kedi kurus dengan tatapan kosong.... 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Si Linglung Sakti