Dewa Arak 60 - Perawan-perawan Persembahan



Sang Surya sudah bergulir dan terbenam di 
ufuk barat. Sinarnya yang merah jingga, telah lama 
menghilang di kaki-kaki langit sebelah barat. Dan se¬ 
karang, sang Dewi Malam yang menggantikan tugas¬ 
nya untuk menerangi persada dengan sinarnya yang 
temaram. Tapi gerombolan awan tebal berwarna hitam 
yang bergumpal-gumpal di angkasa, seolah mengha¬ 
langi sinarnya. Sehingga suasana di muka bumi jadi 
remang-remang. 

Keadaan seperti ini saja sudah membuat ma¬ 
lam menjadi mencekam. Apalagi, angin dingin menggi¬ 
gil kan tulang sesekali berhembus keras. Tak heran 
kalau keadaan ini cukup membuat orang lebih suka 
tinggal di dalam rumah. 

Kalau saja di luar sana masih ada juga orang 
dalam suasana seperti itu, tentu ada hal penting yang 
harus diselesaikan nya. Dan ini dialami oleh dua sosok 
yang tampak melangkah menyusuri jalan utama Desa 
Banyu. Satu di antara mereka tampak membawa ken- 
tongan. Tentu saja, mereka adalah peronda yang hams 
menyelesaikan tugasnya hingga fajar nanti. 

Tong, tong, tong...! 

Bunyi kentongan yang terdengar keras mengi¬ 
ringi langkah kedua sosok itu. Apalagi, dalam suasana 
malam yang demikian sunyi. 

"Ginta...," panggil salah seorang. Lelaki pendek 
kekar yang memegang kentongan dan dipanggil Ginta 
menoleh. 

"Ada apa, Pertala?" tanya Ginta. 

Pertala yang memiliki tubuh tinggi kurus, ter- 
diam sesaat. Nampak kalau sikapnya ragu-ragu untuk 
berbicara, sehingga membuat Ginta kesal. 

"Kau tidak merasa ada keanehan malam ini, 
Ginta?" tanya Pertala, sebelum Ginta memuntahkan 
kekesalannya. 

Ginta kontan terperanjat, mendengar ucapan 
Pertala. Tanpa sadar kepalanya menoleh ke kanan dan 
ke kiri. Tapi, tidak ada yang dilihatnya, kecuali bentuk 
yang serba tidak jelas di tengah suasana yang remang- 
remang. 

"Apa maksudmu, Pertala?" Ginta malah balas 
mengajukan pertanyaan. Namun nada suaranya ter¬ 
dengar agak gemetar. 

Perlu diakui, lelaki pendek kekar ini memiliki 
sifat penakut, terutama jika berada di tempat-tempat 
yang menyeramkan. Dan sebenarnya, sejak tadi Ginta 
sudah merasa ketakutan yang terus ditahan-tahan. 
Tapi ucapan Pertala barusan, seperti menyergapnya 
dalam suasana yang mencekam. 

"Malam ini perasaanku tidak enak sekali, Gin¬ 
ta," desah Pertala, bernada keluh. "Bahkan bulu ku¬ 
dukku sampai berdiri." 

"Hm..., lalu?" tanya Ginta, semakin bergetar ka¬ 
rena rasa takut yang kian melunturkan keyakinannya. 

Meskipun tidak menoleh, sepasang mata Ginta 
berkeliaran liar mengawasi sekeliling. Dan perasaan 
takut itu kian menjadi-jadi ketika menyadari kalau se¬ 
karang berada dekat perbatasan desa. Di sini memang 
sudah tidak ada pondok lagi. Rumah penduduk yang 
paling dekat dengan mulut desa telah cukup jauh di 
belakang mereka. Itu pun hanya sebuah! 

"Perasaanku mengatakan, ada sesuatu yang 
akan terjadi...," sambung Pertala pelan, lebih mirip bi¬ 
sikan. 

Kali ini Ginta tidak bisa menahan rasa takut¬ 
nya lagi. Buru-buru tubuhnya berbalik, kemudian ber¬ 
lari kembali ke dalam desa! 

Karuan saja tindakan Ginta mengejutkan Per- 
tala. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dike¬ 
jarnya Ginta. 

"Ginta! Tunggu...!" 

Maka dalam suasana malam sunyi mencekam 
itu, terjadi kejar-kejaran antara dua orang peronda De¬ 
sa Banyu. 

"Akh...!" 

Belum juga sepuluh tombak berlari, Ginta men¬ 
jerit kaget. Tubuhnya langsung terjerembab ke depan 
dan jatuh ke tanah, begitu kakinya tersangkut batu 
yang menonjol di tanah. Karena Ginta berlari dalam 
suasana gelap tanpa obor, tentu saja bagai orang buta 
berlari. 

Dan tak lama, Pertala berhasil menyusul Ginta 
yang meringis-ringis kesakitan. 

"Hhh... hhh.... Apa yang terjadi, Ginta?! Hhh... 
hhh.... Mengapa kau berlari-lari seperti dikejar setan?" 
tanya Pertala dengan napas tersengal-sengal. Obor di 
tangannya hampir padam terhembus angin ketika ber¬ 
lari tadi. 

"Semua ini karena kau!" sentak Ginta keras. 

"Aku?!" dengan nada tidak percaya, Pertala 
meminta penjelasan. 

"Benar!" tandas Ginta mantap. "Kalau tidak ka¬ 
rena ceritamu, aku tidak akan ketakutan." 

"Hhh...!" Pertala menghela napas berat "Bukan 
hanya kau saja yang takut, Ginta! Aku juga! Bahkan 
mungkin lebih besar darimu! Buktinya, aku tidak 
mampu menahannya, sehingga menceritakannya pa¬ 
damu!" 

Ginta kontan terdiam. Pertala juga diam. Maka 
suasana hening langsung melingkupi tempat itu. 

"Kau dengar bunyi itu, Pertala?" tanya Ginta, 
memecah keheningan. 

Pertala menatap wajah rekannya sejenak, ke¬ 
mudian diam. Dicobanya untuk mencari tahu, tentang 
bunyi yang dikatakan Ginta. Dahinya berkernyit da¬ 
lam, dengan perhatian terpusat pada pendengarannya. 

"Ya," jawab Pertala seraya menganggukkan ke¬ 
pala. "Kalau tidak salah, bunyi derap kaki kuda. Entah 
berapa jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga." 

"Dugaanmu sama denganku, Pertala," sahut 
Ginta. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengen¬ 
darai kuda...." 

"Jangan-jangan...," Pertala menghentikan uca¬ 
pannya. Sepasang matanya langsung diarahkan ke 
arah mulut desa yang baru saja ditinggalkan tadi. 

Lelaki tinggi kurus ini segera mengalihkan per¬ 
hatian ke arah Ginta. Pada saat yang sama, Ginta me¬ 
natapnya. Maka kini dalam keremangan sinar obor, 
dua peronda Desa Banyu ini saling berpandangan. Ada 
sorot kekhawatiran dalam pancaran mata mereka. 

"Perampok...?!" 

Hampir berbareng, Ginta dan Pertala mende- 
siskan kata itu. Ada alasan kuat yang mendorong du¬ 
gaan itu muncul. Mereka memang telah mendengar 
tentang rombongan perampok berkuda yang melaku¬ 
kan penculikan terhadap wanita-wanita muda! 

Setelah menegaskan kalau arah yang dituju 
rombongan berkuda itu adalah desa mereka, maka se¬ 
perti telah disepakati, keduanya berlari cepat menuju 
lambung desa. 

Tong, tong, tongngng! 

Bunyi kentongan yang mengisyaratkan adanya 
bahaya mengancam, langsung dipukul Ginta tanpa 
menghentikan larinya. 

Isyarat yang diberikan Ginta pun langsung 
mendapatkan sambutan. Daun pintu rumah yang le¬ 
taknya paling dekat dengan tempat Ginta dan Pertala 
berada, langsung terbuka. Dari dalamnya keluar seo¬ 
rang lelaki tinggi besar yang langsung memukul ken- 
tongan, menyambung kentongan Ginta. 

Tong, tong, tongngng! 

kkk 

Pada saat yang sama, Ginta dan Pertala telah 
hampir tiba di pondok lelaki tinggi besar yang tengah 
memukul kentongan. Namun, bunyi yang terdengar di 
kejauhan semakin keras. Bergemuruh, membuat bumi 
seperti bergetar hebat. 

Seperti telah diatur saja, awan hitam bergum¬ 
pal-gumpal yang menutupi sinar rembulan, mulai 
buyar tertiup angin. Maka secara perlahan-lahan kea¬ 
daan di persada tidak remang-remang seperti sebe¬ 
lumnya. 

Sadar kalau suasana telah terang, Pertala dan 
Ginta menoleh. 

"Oh!" 

Jeritan kaget keluar hampir berbarengan dari 
mulut mereka, ketika melihat serombongan orang ber¬ 
kuda di belakang berjarak sekitar sepuluh tombak! 
Dan kalau diperhatikan, wajah mereka rata-rata tam¬ 
pak bengis. 

Pemandangan ini membuat dua peronda Desa 
Banyu yang telah lelah itu, seperti mendapat tamba¬ 
han tenaga baru. Entah dari mana datangnya kekua¬ 
tan, tiba-tiba kecepatan lari mereka bertambah. 
Meskipun demikian, apa artinya kecepatan lari 
manusia biasa bila dibanding kecepatan kuda. Biarpun 
Pertala dan Ginta telah mengerahkan seluruh kemam¬ 
puan lari, tetap saja jaraknya dengan para penunggang 
kuda itu semakin dekat. Bahkan sudah dapat dipasti¬ 
kan akan tersusul. 

Sementara itu, para penunggang kuda tampak 
merasa gembira, memburu orang yang dilanda ketaku¬ 
tan. Sambil mencambuki agar kuda-kuda berlari lebih 
kencang, mereka terus mengumbar tawa! 

Dan tawa yang paling keras, dikeluarkan oleh 
sosok bercambang bauk lebat yang berkuda paling de¬ 
pan. Dia juga berpakaian hitam seperti yang lainnya. 
Tapi menilik tindak-tanduknya, dapat diketahui kalau 
laki-laki bercambang bauk itu adalah yang bertindak 
sebagai pemimpin. 

"Mau lari ke mana, Anjing-anjing Kecil?! Ha ha 
ha...!" kata lelaki bercambang bauk lebat itu, ketika te¬ 
lah berjarak tak lebih dari lima tombak dengan dua 
orang yang berusaha menyelamatkan diri. Begitu kata- 
katanya selesai, lelaki bercambang bauk lebat itu me¬ 
masukkan tangan kirinya ke balik baju. Dan sebentar 
saja, tangannya telah dikeluarkan bersama dua bilah 
pisau. 

"Sekarang, pergilah kalian ke neraka! Hih...!" 
dengus lelaki bercambang bauk lebat itu seraya men¬ 
gibaskan tangan kirinya. 

Seketika itu pula, dua batang pisau putih ber¬ 
kilat yang berada di tangannya, melesat cepat ke arah 
Ginta dan Pertala. Bunyi berdesing cukup nyaring, 
mengiringi tibanya serangan. 

Ginta dan Pertala yang tentu saja bukan tokoh 
persilatan memang tidak bisa menangkap desir angin 
serangan dua belah pisau. Mereka hanya mempercepat 
larinya. Sehingga akibatnya.... 

Cappp, cappp! 

"Akh, akh!" 

Hampir berbareng, Ginta dan Pertala melolong 
menyayat ketika senjata yang dilepaskan lelaki ber¬ 
cambang bauk lebat itu tepat menghunjam punggung! 
Seketika, langkah kaki mereka terhenti dengan tubuh 
tersentak ke depan. Dan mereka akhirnya ambruk di 
tanah, tidak bangkit lagi selama-lamanya. 

Tubuh kedua peronda ini tergolek hanya bebe¬ 
rapa langkah lagi saja dari tempat tinggal lelaki tinggi 
besar yang masih memukul kentongan. Dan semua ke¬ 
jadian ini terlihat jelas olehnya. 

Dan belum juga lelaki tinggi besar ini lebih la¬ 
ma memukul kentongan, tiba-tiba sebatang anak pa¬ 
nah yang dilesatkan salah seorang rombongan berkuda 
telah mendarat di dadanya. Dia kontan terjengkang 
dan ambruk di tanah. Dia tewas menyusul Ginta dan 
Pertala. 

Sesaat kemudian, lelaki bercambang bauk lebat 
dan rombongannya telah berada di depan pondok itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat tu¬ 
run dari atas punggung kudanya, diikuti belasan orang 
bertampang kasar lainnya. 

"Geledah rumah itu...!" seru lelaki bercambang 
bauk lebat itu, dengan suara keras. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, beberapa 
orang anak buahnya berserabutan masuk ke dalam 
pondok lelaki tinggi besar yang telah tewas tertancap 
panah. Hanya sebentar saja, dan begitu kembali di ba¬ 
hu kanan salah seorang telah terpanggul sesosok tu¬ 
buh ramping berambut panjang! 

"Tolong...! Manusia biadab...! Ayah...!" jerit so¬ 
sok tubuh ramping itu. 

Tapi siapa yang akan menolong sosok ramping 
itu? Lelaki tinggi besar yang rupanya adalah ayahnya, 
telah tergeletak tanpa nyawa. Sambutan yang diteri¬ 
manya hanyalah tawa gelak rombongan orang-orang 
bertampang kasar itu! 

"Ha ha ha...!" 

Untuk kesekian kalinya, lelaki bercambang 
bauk lebat itu tertawa bergelak, ketika melihat anak 
buahnya datang dengan memondong sosok ramping di 
bahunya. 

"Man kita cari yang lainnya!" 

Usai berkata demikian, lelaki bercambang bauk 
lebat itu berlari lebih dulu menuju lambung Desa 
Banyu. Dan di belakangnya, belasan anak buahnya 
mengikuti. Sementara, semua binatang itu ditam¬ 
batkan di dekat rumah lelaki tinggi besar yang telah 
tewas! 

Tapi baru beberapa tombak berlari, dari arah 
yang berlawanan tampak berbondong-bondong orang 
bergerak mendatangi. Di tangan mereka tampak ter¬ 
genggam senjata dalam berbagai jenis dan bentuk! 

"Ha ha ha...!" 

Kembali lelaki bercambang bauk lebat tertawa 
bergelak. 

"Lihat! Rupanya orang-orang dungu itu sudah 
siap mengantar nyawa. Sungguh sebuah penyambutan 
yang amat menggembirakan! Ha ha ha...!" 

Dan memang, dugaan lelaki bercambang bauk 
lebat itu tidak salah! Rombongan orang yang bergerak 
memapaki kedatangan mereka adalah penduduk Desa 
Banyu. Mereka datang secara berbondong-bondong, 
karena isyarat kentongan tanda bahaya yang terdengar 
saling bersahutan. 

Sosok yang berjalan paling depan adalah se- 
orang laki-laki setengah baya berpakaian putih. Dialah 
Kepala Desa Banyu. Namanya, Ki Buleleng. 

Sambil memberi semangat pada para penduduk 
di belakangnya, Ki Buleleng mengacung-acungkan go¬ 
lok yang tergenggam di tangan. Dan memang, tindakan 
Kepala Desa Banyu ini membuat warganya terpancing 
semangatnya. 

Dalam waktu tidak terlalu lama, pertempuran 
dua rombongan itu pun tidak dapat dielakkan lagi. 
Akibatnya, pertempuran besar-besaran pun langsung 
berkobar! 

Seketika itu pula suasana malam yang semula 
hening dan sunyi, langsung dipecahkan bunyi dentang 
senjata beradu. Bunga-bunga api pun berpercikan ke 
sana kemari, sebagai pertanda kuatnya benturan sen¬ 
jata yang terjadi. 

Sebenarnya jumlah penduduk Desa Banyu le¬ 
bih banyak. Bahkan hampir mencapai dua kali lipat 
daripada jumlah perusuh itu. Tapi karena sebagian be¬ 
sar penduduk tidak memiliki ilmu silat, akibatnya 
rombongan perampok itu sangat leluasa membinasa¬ 
kan mereka satu persatu. Maka lolong menyayat hati 
terdengar susul-menyusul diikuti robohnya para pen¬ 
duduk Desa Banyu di tanah dengan tubuh bersimbah 
darah. 

Para perampok itu mengamuk laksana harimau 
luka. Setiap kali senjata mereka berkelebat, sudah da¬ 
pat dipastikan ada sosok yang roboh dan tidak bang¬ 
kit-bangkit lagi untuk selamanya. 

Tapi, ternyata tidak semua orang di pihak Desa 
Banyu yang mudah ditundukkan. Bahkan mampu 
mengadakan perlawanan sengit, dan mampu mende¬ 
sak salah seorang perampok. Dialah, Ki Buleleng, Ke¬ 
pala Desa Banyu! 

Sambil terus mengadakan perlawanan sengit, 
laki-laki tua berpakaian putih ini tak henti-hentinya 
memberi semangat pada para penduduk Desa Banyu. 

"Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur, 
berarti desa kita hancur...!" 

Berkat teriakan Ki Buleleng, maka para pendu¬ 
duk Desa Banyu terus mengadakan perlawanan. 

Seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan. 
Mereka tahu, nasib anak dan istri tergantung perta¬ 
rungan ini. 

Tapi perlawanan yang diberikan nyatanya sia- 
sia belaka. Keadaan di pihak penduduk Desa Banyu 
bagaikan semut-semut menerjang api. Begitu berhasil 
dekat, langsung berguguran tanpa daya. 

Kini, sungguh mengerikan keadaan Desa Ba- 
njru. Di sepanjang jalan utama desa terjadi pertarun¬ 
gan mati-matian. Di sana-sini, bergeletakan sosok- 
sosok tubuh tanpa nyawa. Dan darah pun sudah 
menggenangi sekitarnya. 

Sementara wajah lelaki bercambang bauk lebat 
itu tampak berseri-seri. Sudah terbayang di benaknya 
kalau perlawanan para penduduk Desa Banjar akan 
dapat diruntuhkan. 

Tapi seri di wajah pimpinan rombongan peram¬ 
pok ini lenyap, begitu pandangannya tertumbuk pada 
salah satu pertarungan. Tampak salah seorang anak 
buahnya kerepotan menghadapi laki-laki berpakaian 
putih, yang tak lain Ki Buleleng. 

Gigi lelaki bercambang bauk lebat itu jadi ber- 
gemeletak. Lalu seketika dia melompat masuk dalam 
kancah pertarungan antara Ki Buleleng melawan anak 
buahnya. Padahal, saat ini Kepala Desa Banjar itu ten¬ 
gah menerjang dengan sebuah tusukan ke arah leher 
lawannya. 

Trangngng! 

Bunga api berpercikan ke sana kemari, ketika 
serangan Kepala Desa Banyu itu dipapak golok besar 
milik lelaki bercambang bauk lebat ini. Seketika itu 
pula tubuh Kepala Desa Banyu terpental kembali ke 
belakang. Demikian pula lelaki bercambang bauk itu. 
Jliggg! 

Begitu berhasil mendarat di tanah, Ki Buleleng 
langsung menatap sosok yang telah membuat seran¬ 
gannya kandas. 

"Siapa kau?!" tanya Ki Buleleng, keras. 

"Ha ha ha...!" lelaki bercambang bauk lebat ter¬ 
tawa bergelak penuh kegembiraan. "Aku adalah pimpi¬ 
nan rombongan ini. Prakosa, namaku! Jelas?!" 

"Prakosa...?!" 

Tanpa sadar, Ki Buleleng mendesiskan nama 
itu penuh perasaan kaget. Sebuah nama yang telah se¬ 
lalu sering didengarnya. Memang, Prakosa adalah seo¬ 
rang kepala rampok yang memiliki kepandaian tinggi 
dan berwatak kejam. Entah, telah berapa banyak desa 
yang telah dibuat porak-poranda hanya untuk mencu¬ 
lik wanita-wanita! Sungguh sama sekali tidak disangka 
kalau Ki Buleleng sekarang akan bertemu tokoh yang 
mengiriskan hati ini. 

"Rupanya kau mengenalku, Tua Bangka! Tapi 
itu tidak mengubah nasibmu! Bersiaplah untuk ma¬ 
ti...!" ancam pemimpin perampok yang ternyata ber¬ 
nama Prakosa. 

"Kaulah yang akan mati di sini, Prakosa! 
Hiyaaat...!" 

Ki Buleleng mendahului melancarkan serangan. 
Pedangnya ditusukkan ke arah perut kepala rampok 
itu. Seketika terdengar bunyi berciutan yang cukup 
nyaring mengiringi serangannya. 

"Hmh...!" 

Prakosa mendengus melihat serangan itu. Se¬ 
cercah senyum mengejek tampak tersungging di bibir¬ 
nya. Dan masih dengan senyum penuh ejekan, ka¬ 
kinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan tubuh. 
Maka tusukan pedang itu lewat di sebelah kanan ping¬ 
gangnya. 

Dan sebelum Ki Buleleng berbuat sesuatu, Pra¬ 
kosa telah lebih dulu menggerakkan tangan. 

Wuttt! Tappp! 

Tahu-tahu saja pedang di tangan Ki Buleleng 
telah lebih dulu tercengkeram tangan Prakosa! 

Karuan saja, hal ini membuat Kepala Desa 
Banyu terkejut bukan kepalang. Buru-buru senjatanya 
ditarik kembali agar bisa lepas dari cengkeraman la¬ 
wan. 

Tapi usaha Ki Buleleng sia-sia belaka. Betapa¬ 
pun seluruh tenaganya telah dikerahkan, tetap saja 
pedang itu tidak bergeming. Dan wajahnya pun seketi¬ 
ka merah padam. Seakan-akan, yang mencengkeram 
pedangnya adalah sebuah penjepit baja! 

Berbeda dengan Ki Buleleng, wajah Prakosa ter¬ 
lihat biasa-biasa saja. Malah tidak terlihat adanya tan¬ 
da-tanda kalau tengah mengerahkan tenaga. Menda¬ 
dak. .. 

Krakkk! 

Bunyi berderak keras terdengar ketika Prakosa 
menggerakkan tangan untuk meremas pedang Kepala 
Desa Banyu itu hingga hancur berkeping-keping. Pa¬ 
dahal, saat itu Ki Buleleng tengah berusaha sekuat te¬ 
naga menarik senjatanya. Tak pelak lagi, tubuh Kepala 
Desa Banyu ini pun terjengkang ke belakang terbawa 
tenaga tarikannya sendiri. 

Tapi Ki Buleleng ternyata tidak mudah dipe- 
cundangi begitu saja. Meski agak terhuyung-huyung, 
kekuatan yang membuat tubuhnya terjengkang mam¬ 
pu dipatahkan. 

Wajah Ki Buleleng langsung memucat. Sepa¬ 
sang matanya menatap berganti-ganti pada pedang 
yang tinggal setengah di tangannya. Sementara pada 
jemari Prakosa, terlihat potongan pedang yang telah 
hancur teremas. 

Kepala Desa Banyu ini pun memang telah men¬ 
dengar berita kalau Prakosa mempunyai sebuah ilmu 
yang membuat kedua tangannya sekuat baja! Dan se¬ 
karang, telah dibuktikannya sendiri kebenaran berita 
itu! Jari-jari tangan Prakosa benar-benar luar biasa! 




Meskipun perasaan gentar merayapi hati, na¬ 
mun Ki Buleleng pantang mundur. Apalagi ia tahu, 
Prakosa tidak bakal mengampuninya. Maka tidak ada 
jalan lain, kecuali melakukan perlawanan mati-matian. 

"Hiyaaat...!" 

Ki Buleleng berteriak keras. Pedang di tangan¬ 
nya yang telah tinggal setengah ditusukkan cepat ke 
arah leher Prakosa. Tapi untuk yang kesekian kalinya, 
pemimpin rampok ini tidak mengalami kesulitan untuk 
mementahkan serangan. Tanpa menggeser kakinya, 
Prakosa mendoyongkan kepala ke kanan. Maka seran¬ 
gan itu lewat beberapa jari di sebelah kiri lehernya. 

Dan pada saat yang bersamaan, tangan kiri 
Prakosa dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah da- 
da Ki Buleleng. 

Menerima kenyataan yang tidak disangka- 
sangka, Ki Buleleng menjadi gugup bukan kepalang. 
Rasanya memang tidak ada jalan lain, kecuali me¬ 
nangkis. Maka seketika tangan kirinya bergerak me¬ 
mapak serangan yang bisa saja dapat mengirim nya¬ 
wanya ke alam baka. 

Prattt! 

"Akh...!" 

Ki Buleleng menjerit memelas ketika benturan 
terjadi. Tubuhnya seketika melayang ke belakang. 
Bahkan tangan yang berbenturan terasa sakit bukan 
kepalang. Dan yang lebih mencengangkan hati, bagian 
tubuhnya yang sebelah kiri seperti lumpuh! 

Dan kali ini, Ki Buleleng rasanya memang tidak 
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tu¬ 
buhnya meluncur. Maka dengan keras, tubuhnya ja¬ 
tuh di tanah menimbulkan bunyi berdebuk. 

"Ha ha ha...!" 

Prakosa tertawa bergelak. Dengan langkah 
lambat dihampirinya Ki Buleleng yang tergolek di ta¬ 
nah. Saat itu, Kepala Desa Banyu ini memang tidak 
mampu berbuat apa-apa. Sebelah tubuhnya yang lum¬ 
puh, membuatnya tidak mampu bergerak. 

Sudah dapat dipastikan nyawa Ki Buleleng 
akan berakhir di tangan Prakosa! Sementara Kepala 
Desa Banyu itu pun menyadarinya. Meskipun demi¬ 
kian, hatinya tidak gentar. Bahkan sepasang matanya 
dibelalakkan lebar-lebar, untuk melihat Prakosa yang 
tengah melangkah perlahan-lahan menghampirinya. 

Selangkah demi selangkah, jarak antara Pra¬ 
kosa dengan Ki Buleleng semakin dekat. Lelaki ber¬ 
cambang bauk lebat ini tidak memperhatikan lagi per¬ 
tarungan yang tengah berlangsung di sekitarnya. Dia 
tahu, anak buahnya tengah terus mendesak ke lam¬ 
bung desa. 

Tapi di saat gawat bagi keselamatan Ki Bule¬ 
leng, mendadak.... 

"Haaat...!" 

Diawali teriakan nyaring yang memekakkan te¬ 
linga, sesosok bayangan coklat meluruk ke arah Pra- 
kosa, membawa serangan dari atas laksana seekor ga¬ 
ruda menerkam mangsa. Kedua tangannya yang ter- 
kembang membentuk cakar, diluncurkan deras ke 
arah pelipis. 

"Eh...?!" 

Prakosa jadi terperanjat. Disadari akan adanya 
ancaman maut ke bagian-bagian tubuh yang memati¬ 
kan. Bunyi angin yang mengiringi tibanya serangan, 
menunjukkan kalau tenaga dalam pemiliknya tidak 
dapat disamakan dengan Ki Buleleng! 

Itulah sebabnya, lelaki bercambang bauk lebat 
ini tidak berani bertindak main-main. Buru-buru ke¬ 
dua tangannya diayunkan dengan pengerahan tenaga 
penuh untuk memapak. 

Prangngng! 

Bunyi keras seperti benturan logam keras ter¬ 
dengar, ketika dua pasang tangan beradu. Akibatnya, 
tubuh satu sama lain sama-sama terjengkang ke arah 
yang berlawanan. 

Jliggg! 

Tepat begitu Prakosa berhasil menguasai ke¬ 
seimbangan, sosok berpakaian coklat itu pun menda¬ 
ratkan kedua kakinya di tanah. 

"Keparat! Sungguh berani kau main gila den¬ 
ganku?! Siapa kau?!" bentak Prakosa, keras penuh 
kemarahan. Kedua tangannya yang bergetar hebat dan 
kuda-kudanya yang terbongkar akibat benturan tadi- 
lah menyebabkan kemarahannya. 

Dan sekarang, dengan sepasang mata menyala- 
nyala, Prakosa merayapi sosok yang telah melancarkan 
serangan terhadapnya. 

Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga 
puluh lima tahun. Wajahnya tirus mirip tikus. Pakaian 
sederhana berwarna coklat membungkus tubuhnya 
yang tegap. 

"Kau memang lupa, atau hanya berpura-pura 
saja, Prakosa?!" lelaki berpakaian coklat malah balik 
mengajukan pertanyaan. 

Prakosa terperanjat mendengar sambutan lelaki 
berpakaian coklat itu. 

"Bangsat! Rupanya kau memang benar-benar 
orang tak waras! Kalau begitu, lebih baik kukirim saja 
kau ke neraka!" dengus Prakosa. 

Belum lenyap gema dengusannya, lelaki ber¬ 
cambang bauk lebat itu telah meluruk ke arah lelaki 
berpakaian coklat dengan sebuah serangan. Begitu de¬ 
kat, Prakosa melancarkan pukulan tangan kanan lu¬ 
rus ke arah dada. 

"Hmh!" 

Lelaki berpakaian coklat itu mendengus, seperti 
mengejek begitu melihat serangan. Sikap yang ditun¬ 
jukkan agaknya amat memandang rendah lawan. Dan 
sebelum serangan itu sempat mengenai sasaran, lang¬ 
sung dipapaknya dengan tinju kanan. 

Dukkk! 

Bunyi keras langsung terdengar, ketika kedua 
tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam berbentu¬ 
ran keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama- 
sama terhuyung mundur. Hanya saja, Prakosa selang¬ 
kah lebih jauh dibanding lelaki berpakaian coklat yang 
hanya terhuyung tiga langkah. Jelas, bisa diduga tena- 
ga dalam lelaki berpakaian coklat itu lebih kuat dari 
Prakosa! 

Seringai kesakitan yang tampak di bibir Pra¬ 
kosa, semakin memperjelas kenyataan kalau tenaga 
dalamnya kalah jauh. Memang, tulang-tulang ta¬ 
ngannya terasa sakit-sakit bukan main akibat ben¬ 
turan itu. Meskipun demikian, hal itu tidak dipeduli¬ 
kannya. Begitu berhasil mematahkan kekuatan yang 
membuat tubuhnya terhuyung, tubuhnya langsung 
merangsek maju. Dan serangkaian tendangan bertubi- 
tubi langsung dikirimkan. 

Terjangan Prakosa langsung mendapat tan- 
gapan tak kalah gencar dari lelaki berpakaian coklat 
itu. Sesaat kemudian, kedua belah pihak mulai terlibat 
pertarungan sengit! 

Sementara itu dalam pertarungan lain, tam¬ 
paknya anak buah Prakosa terus mendesak para pen¬ 
duduk untuk terus masuk ke dalam desa. Sudah bisa 
ditebak, penduduk Desa Banyu akan mengalami nasib 
yang naas. 

"Aaakh...!" 

Lolong keras menyayat hati kembali terdengar 
ketika golok salah seorang anggota gerombolan Prako¬ 
sa, menembus perut salah seorang penduduk hingga 
tembus ke punggung. Tubuh penduduk yang naas itu 
pun ambruk di tanah, ketika golok yang menembus 
tubuhnya dicabut. Setelah menggelepar di tanah, nya¬ 
wanya pun melayang ke alam baka dengan tubuh ber¬ 
simbah darah. 

Dan kini jumlah penduduk Desa Banyu yang 
masih terus mengadakan perlawanan sambil mundur, 
paling banyak tinggal sepuluh orang. Sisanya telah 
bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Sedangkan di pi¬ 
hak gerombolan liar itu, tak satu pun yang terluka. 

Sudah dapat dipastikan, para penduduk yang 
tersisa ini pun tidak dapat mempertahankan hidup¬ 
nya. Apalagi para perampok itu terus memburunya tak 
kenal ampun. 

Di saat gawat itu, mendadak melesat dua sosok 
bayangan putih dan ungu ke dalam kancah perta¬ 
rungan. Dan selagi berada di udara, dua sosok bayan¬ 
gan ini mengibas-ngibaskan tangannya. Maka dari 
tangan yang bergerak mengibas itu menyeruak angin 
keras ke arah gerombolan perampok. Akibatnya, anak 
buah Prakosa ini bertumbangan ke belakang laksana 
daun-daun kering diterbangkan angin! 

Jliggg! Jliggg! 

Dua sosok bayangan itu langsung mendarat se¬ 
cara mantap di tanah, membelakangi penduduk Desa 
Banyu! Mereka ternyata sepasang anak muda yang 
berwajah menarik. Yang pemuda berwajah tampan dan 
jantan. Pakaian berwarna ungu membungkus tubuh¬ 
nya yang kekar. Rambutnya yang panjang berwarna 
putih keperakan, membuatnya kelihatan matang! 

Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis ber¬ 
pakaian putih. Wajahnya cantik jelita laksana bidadari. 
Rambutnya yang panjang berwarna hitam dan terlihat 
indah, dibiarkan tergerai. Sehingga, semakin menam¬ 
bah kecantikannya! 

"Iblis-iblis keji...!" maki gadis berpakaian putih, 
tanpa dapat menyembunyikan perasaan geramnya. 
"Orang-orang seperti kalian tidak layak dibiarkan hi¬ 
dup!" 

Seiring keluarnya suara bernada geram, gadis 
berpakaian putih itu menghampiri anak buah Prakosa 
yang telah bangkit dan siap melakukan perlawanan. 
Menyadari kalau gadis berpakaian putih itu bukan la¬ 
wan ringan, belasan orang kasar itu bersikap waspada. 

Mereka melangkah lambat-lambat, seraya bergerak 
menyebar. 

Meskipun tahu kalau gadis berpakaian putih 
itu akan menghadapi keroyokan, tapi pemuda beram¬ 
but putih keperakan ini tidak kelihatan kalau akan 
memberi bantuan. Bahkan malah menjauhi tempat itu, 
seperti sengaja membiarkan rekannya. 

Tindakan pemuda berambut putih keperakan 
itu rupanya membuat para penduduk Desa Banyu me¬ 
rasa heran, sekaligus khawatir terhadap nasib gadis 
berpakaian putih ini. 

"Mengapa kau tidak membantunya, Kisanak? 
Apakah manusia-manusia biadab itu akan kau biar¬ 
kan membunuhnya?" tanya seorang penduduk yang 
bertubuh kecil kurus, tanpa menyembunyikan rasa 
herannya, dengan napas kembang kempis setelah ber¬ 
tarung. 

"Rasanya belum perlu, Kisanak. Mudah- 
mudahan Melati dapat mengatasinya," jawab pemuda 
berambut putih keperakan itu, penuh kerendahan. 
"Dan lebih baik kalian menyingkir." 

Memang, gadis cantik berpakaian putih itu ada¬ 
lah Melati, kekasih Dewa Arak. Sementara pemuda 
tampan berambut putih keperakan itu tak lain dan tak 
bukan adalah Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak 
sendiri! 

Dalam pengembaraan mereka kini, sepasang 
pendekar itu harus berhadapan dengan manusia- 
manusia beringas, yang tak mengenal belas kasih. 

Tak heran sewaktu mereka melihat pertarun¬ 
gan yang tak seimbang, langsung saja berkelebat un- 
tuk menyelamatkan penduduk Desa Banyu. 

Lelaki bertubuh kecil kurus itu pun terdiam. 
Perhatiannya dialihkan pada rekan-rekannya untuk 
meminta pendapat. Tapi mereka semua mengangkat 
bahu. Memang tidak ada pilihan, kecuali menyingkir 
dari tempat itu. Dan kini, pemuda berjuluk Dewa Arak 
pun telah menyingkir. 

Sementara para penduduk Desa Banyu tampak 
masih diliputi rasa khawatir. Mereka tahu, betapa li¬ 
hainya para perampok itu. Mereka saja yang bertenaga 
kuat tidak mampu melawan, apalagi gadis berpakaian 
putih yang tadi disebut bernama Melati itu? Maka den¬ 
gan rasa gelisah, mereka mengarahkan pandangan pa¬ 
da kancah pertarungan Melati. 

Saat ini, Arya mengarahkan pandangan ke arah 
pertarungan yang akan berlangsung. Tampak ge¬ 
rombolan perampok itu telah mulai mengepung Melati. 
Senjata-senjata mereka telah diputar-putar, menunggu 
saat yang tepat untuk melancarkan serangan. 

Di pihak lain, sikap Melati tampak tenang. 
Bahkan cenderung tidak peduli. Tindak-tanduknya se¬ 
perti tidak hendak bertarung. 

"Haaat...!" 

Salah seorang di antara perampok itu berteriak 
keras, langsung melompat menerjang. Goloknya diba- 
batkan secara mendatar ke arah leher Melati. Maksud¬ 
nya jelas, hendak memisahkan kepala gadis berpa¬ 
kaian putih itu dari tubuhnya. 

Pada saat yang bersamaan, anggota perampok 
yang lain melancarkan serangan. Keadaan Melati me¬ 
mang membuat deg-degan para penduduk Desa 
Banyu. Betapa tidak? Hujan senjata mengancam kese¬ 
lamatan nyawanya. 

Tapi nyatanya Melati tetap bersikap tenang. Se- 
dikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau 
akan melakukan elakkan atau tangkisan. Baru ketika 
serangan-serangan itu menyambar dekat, gadis berpa¬ 
kaian putih itu bertindak. Kakinya cepat dijejakkan, 
sehingga tubuhnya melayang ke atas. Langsung dile¬ 
watinya kepala lawan-lawannya. Akibatnya, semua se¬ 
rangan anak buah Prakosa hanya mengenai tempat 
kosong. 

Gerakan Melati demikian cepat, sehingga para 
perampok itu tidak sempat mengetahui kejadiannya. 
Yang mereka tahu, serangan yang dilancarkan hanya 
mengenai tempat kosong, dan yang menjadi sasaran 
telah berada di luar kepungan. 

Melihat hal itu, anak buah Prakosa tidak men¬ 
jadi ciut nyalinya. Bahkan mereka kembali melan¬ 
carkan serangan susulan. Maka pertarungan sebentar 
saja sudah berlangsung sengit. 

Anak buah Prakosa mengerahkan seluruh ke¬ 
mampuan yang dimiliki. Senjata-senjata di tangan 
berkelebat cepat mencari sasaran di tubuh gadis itu. 
Namun, gerakan Melati terlalu cepat untuk dapat dija¬ 
dikan sasaran. Lincah laksana kera dan gesit bagaikan 
bayangan, tubuh gadis itu berkelebatan ke sana kema¬ 
ri, di antara kelebatan senjata lawannya. 

Sebaliknya, serangan balasan Melati selalu saja 
membuahkan hasil. Setiap kali tangan atau kakinya 
yang berisi tenaga dalam tinggi bergerak, sudah dapat 
dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk dan tidak 
bangkit lagi untuk selamanya. Mati! 

Hanya dalam beberapa gebrakan saja, tinggal 
enam orang anak buah Prakosa yang masih mampu 
melanjutkan pertarungan. Itu pun, perlawanan yang 
tidak mengandung arti sama sekali. Dan sebenarnya, 
berakhirnya pertarungan tinggal menunggu waktu sa- 
ja. Melati yang berada di atas angin kelihatan lebih 
berpeluang untuk mengakhirinya. 

Dan semua kejadian itu tidak luput dari perha¬ 
tian Prakosa yang sibuk bertarung melawan laki-laki 
berpakaian coklat. Setiap kali matanya melirik ke arah 
anak buahnya, saat itu pula rasa khawatir bergayut di 
hatinya. Disadari kalau pihaknya berada dalam kea¬ 
daan tidak menguntungkan. Keadaan dirinya sendiri 
sudah kurang baik. 

Memang bila dibandingkan anak buahnya, Pra¬ 
kosa masih lebih beruntung! Dia hanya berhadapan 
dengan laki-laki berpakaian coklat. Entah, apa jadinya 
kalau gadis berpakaian putih yang dihadapinya. Belum 
lagi pemuda berambut putih keperakan juga belum 
ikut campur. Kalau gadis itu saja sudah sedemikian 
sakti, apalagi yang pemuda! 

Atas dasar pemikiran itulah, Prakosa mulai 
memikirkan keputusan yang semula tidak ada di be¬ 
naknya. Mencari selamat! 

"Hih!" 

Pada satu kesempatan yang ada, lelaki bercam¬ 
bang bauk lebat ini mengibaskan tangannya. 

Brrr! 

Seketika kumpulan debu dalam warna tidak je¬ 
las, meluruk ke arah lawan. Karuan saja hal ini mem¬ 
buat lelaki berpakaian coklat itu terkejut bukan kepa¬ 
lang. Dia tidak berani bertindak gegabah, karena bu¬ 
kan tidak mungkin debu itu mengandung racun ganas. 

Maka tanpa ragu-ragu lagi, lelaki berpakaian 
coklat itu membanting tubuhnya ke kanan dan bergu¬ 
lingan menjauh. Dan kesempatan itu pun diperguna¬ 
kan Prakosa sebaik-baiknya untuk melarikan diri. Ce¬ 
pat laksana kilat tubuhnya melesat cepat meninggal¬ 
kan tempat itu. 

"Keparat!" 

Begitu berhasil bangkit, lelaki berpakaian cok- 
lat itu memaki-maki kalap, ketika melihat Prakosa te¬ 
lah berada jauh di depan. Meski tidak mungkin akan 
dapat mengejar, tetap saja dilakukan oleh laki-laki 
berpakaian coklat itu. 

"Melati...! Tahan...!" 

Seruan keras bernada cegahan yang keluar dari 
mulut Dewa Arak, hampir berbarengan dengan mele¬ 
satnya tubuh lelaki berpakaian coklat yang mengejar 
Prakosa. Dan Melati yang saat itu telah siap mengirim¬ 
kan serangan mematikan pada dua lawannya yang ter¬ 
sisa, jadi menghentikan gerakannya. Dan kepalanya 
pun menoleh ke belakang, menatap Dewa Arak dengan 
sorot mata tidak puas. 

Tentu saja Dewa Arak menyadari ketidak¬ 
puasan gadis itu. Maka buru-buru pemuda berambut 
putih keperakan itu menghampiri. Tapi, nyatanya ke¬ 
sempatan itu dipergunakan dua lawan Melati untuk 
menusukkan golok ke perut sendiri. 

Jreppp! Jreppp! 

"Akh, akh...!" 

Seketika jeritan pendek tertahan mengiringi ro¬ 
bohnya tubuh mereka ke tanah. Karuan saja tindakan 
yang tidak disangka-sangka ini membuat Dewa Arak, 
apalagi Melati, seperti terpaku tak percaya. Dan akhir¬ 
nya tindakan yang dapat dilakukan hanya melesat 
menghampiri. Barangkali saja mereka dapat melaku¬ 
kan sesuatu, sebelum dua orang itu tewas. 

Tapi harapan sepasang pendekar muda itu sia- 
sia. Dua anak buah Prakosa itu telah lebih dulu tewas. 
Dewa Arak dan Melati hanya dapat saling berpandan¬ 
gan, sebelum akhirnya mengangkat bahu. 




"Hiya! Hiyaaa...!" 

Ctarrr! 

Bunyi lecutan cambuk yang diselingi bentakan- 
bentakan keras penunggang kuda terdengar, membe¬ 
lah suasana pagi. Itu pun masih ditambah dengan de¬ 
rap langkah kaki kuda. 

Suasana pagi ini memang cerah. Sang Surya 
yang belum lama menampakkan diri, memancarkan 
sinarnya yang lembut di ufuk timur. Angin pun ber¬ 
hembus pelan, lembut membelai kulit 

Tapi suasana seperti itu sama sekali tidak me¬ 
narik perhatian seorang lelaki berpakaian hitam yang 
menunggang kuda bagai dikejar setan. Wajahnya yang 
terlihat angker dengan cambang bauknya semakin 
angker saja ketika dia berusaha mempercepat lari ku¬ 
danya. 

Ctarrr! 

Lelaki bercambang bauk lebat itu kembali me¬ 
lecutkan cambuknya, binatang tunggangannya berlari 
lebih cepat! Padahal, kuda berwarna coklat mulus yang 
ditungganginya kini telah berlari sangat cepat, dan te¬ 
lah mendengus-dengus kelelahan. Namun laki-laki itu 
seperti tidak peduli. Sementara debu tampak mengepul 
tinggi di udara, tersepak kaki-kaki binatang itu saat 
berlari. Kuda itu memang tengah melalui jalan tanah 
berdebu. 

"Hiya! Hiyaaa...!" 

Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, lela¬ 
ki bercambang bauk lebat itu melecutkan cambuknya 
kembali. Sedangkan pandangannya diarahkan ke de- 
pan. 


Dan baru saja pandangannya tertuju ke depan, 
sepasang mata lelaki bercambang bauk lebat ini terbe¬ 
lalak lebar. Ternyata sekitar lima belas tombak di de¬ 
pannya, telah berdiri sesosok tubuh. Sosok terbungkus 
pakaian hitam mengkilap itu berdiri tepat di tengah- 
tengah jalan yang akan dilalui lelaki bercambang bauk 
lebat ini. Maka dapat diduga, sosok itu memang ber¬ 
maksud menghadang perjalanannya. 

Dengan hati masih bertanya-tanya, lelaki ber¬ 
cambang bauk lebat itu memperlambat laju kudanya. 
Dan pandangannya tetap diarahkan pada sosok yang 
menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa sebe¬ 
narnya sosok yang begitu usil itu! 

Semakin lama, jarak antara kedua orang yang 
bakal bertemu di tengah jalan ini semakin dekat Den¬ 
gan sendirinya, ciri-ciri sosok yang menghadang jalan 
semakin terlihat jelas oleh lelaki bercambang bauk le¬ 
bat itu. 

"Ah...!" 

Jeritan keterkejutan keluar dari mulut lelaki 
bercambang bauk lebat, ketika telah melihat jelas so¬ 
sok yang menghadang perjalanannya. Sosok terbung¬ 
kus pakaian hitam mengkilap ini mengenakan topeng 
harimau, sehingga wajah aslinya tidak bisa dikenali. 
Namun bisa diduga, kalau sosok ini adalah seorang le¬ 
laki, bila melihat potongan tubuhnya. Dan agaknya le¬ 
laki bercambang bauk lebat itu sudah mengenai peng¬ 
hadang nya. 

"Hm..., rupanya Harimau Baja! Mengapa kau 
ada di sini?! Baru saja aku bermaksud menemuimu," 
sapa lelaki bercambang bauk lebat itu, pelan. 

Setelah berkata demikian, lelaki bercambang 
bauk lebat itu melompat turun dari punggung ku- 
danya. Kemudian binatang itu dituntun untuk meng¬ 
hampiri orang penghadang perjalanannya. 

"Hmh!" dengus lelaki bertopeng harimau yang 
ternyata berjuluk Harimau Baja. 

Karuan saja hal ini membuat lelaki bercambang 
bauk lebat itu terkejut. Tapi, buru-buru ditutupinya 
dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya terus te¬ 
rayun mendekati Harimau Baja. 

"Tidak usah berpura-pura, Prakosa!" sentak 
Harimau Baja, kasar! 

Seketika itu pula, langkah lelaki bercambang 
bauk lebat yang memang Prakosa berhenti. Mulai dis¬ 
adari akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Ma- 
kanya, dia langsung bersikap waspada. Dan sekarang, 
Prakosa berdiri berhadapan dengan Harimau Baja da¬ 
lam jarak tiga tombak. 

"Apa maksudmu, Harimau Baja? Aku tak men¬ 
gerti?" tanya Prakosa, pura-pura tidak tahu. 

Lelaki bercambang bauk lebat itu sengaja men¬ 
gajukan pertanyaan demikian untuk memastikan ke¬ 
benaran dugaannya. Dia masih belum tahu pasti, apa 
maksud Harimau Baja mencegatnya di sini. 

"Rupanya kau masih mau mungkir, Prakosa!" 
tukas Harimau Baja. "Jangan dikira aku tidak tahu 
tentang kegagalanmu dalam menjalankan tugas! Dan 
aku tahu, kau bermaksud kabur! Sekarang, bisa kau 
duga maksud keberadaanku di sini, Prakosa?! Ya, 
membunuhmu walaupun kau adalah adik sepergurua¬ 
nku!" 

Sekarang Prakosa yakin, keributannya dengan 
kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka 
dilepaskan tali kekang kudanya. 

"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Pra¬ 
kosa pada binatang tunggangannya. 

Seperti mengerti perintah, kuda coklat itu ber¬ 
lari congklang meninggalkan majikannya, menuju 
hamparan rumput hijau yang terletak di kanan dan ki¬ 
ri jalan itu. 

Harimau Baja menatap kuda coklat itu sesaat, 
kemudian mulutnya menyunggingkan senyum keji. 

"Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang se¬ 
kali kalau harus kehilangan majikannya...!" desis Ha¬ 
rimau Baja, dingin dan datar. 

Hari Prakosa kontan tercekat. Disadari kalau 
lelaki bertopeng harimau ini tidak hanya memberi an¬ 
caman kosong belaka. Apalagi juga disadari kalau lela¬ 
ki bertopeng harimau ini memiliki kepandaian tinggi. 
Tapi, tentu saja dia tidak sudi memberikan nyawanya 
secara percuma! 

Wuttt! 

Deru angin keras terdengar ketika serangan 
perdana Prakosa meluncur, yang disertai pengerahan 
seluruh tenaga dalamnya. Serangannya dibuka dengan 
sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis! 

"Hmh...!" 

Harimau Baja hanya mendengus melihatnya. 
Sikapnya pun terlihat tenang dengan berdiri tetap pa¬ 
da tempatnya. Tak ada tanda-tanda kalau serangan itu 
akan ditangkis atau dielakkan. 

Baru ketika serangan menyambar dekat, ta¬ 
ngan kirinya bergerak memapak sambil lalu! Dari si¬ 
kapnya menunjukkan, serangan Prakosa tak patut un¬ 
tuk dihadapi secara sungguh-sungguh. 

Meskipun heran, Prakosa sama sekali tidak 
mempedulikannya. Saat itu yang ada di benaknya 
hanya satu, merobohkan Harimau Baja secepat mung¬ 
kin. 

Takkk! 

"Akh!" 

Jeritan kesakitan keluar dari mulut Prakosa ke¬ 
tika tangannya berbenturan dengan tangan Harimau 
Baja. Rasa sakit dan ngilu seketika mendera bagian 
tangannya yang beradu! Bahkan tubuhnya sampai 
terhuyung ke belakang. 

Nyatanya ini cukup membuat Prakosa kaget. 
Benarkah tenaga Harimau Baja sedemikian kuat nya, 
sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung? 
Padahal, jelas terlihat kalau lelaki bertopeng harimau 
itu seperti tidak mengerahkan tenaga! 

Dan belum lagi kekagetan harinya lenyap, de¬ 
ngan kecepatan menakjubkan, tangan kiri Harimau 
Baja telah meluncur cepat. Dan... 

Tappp! 

Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Prakosa 
telah tercekal! Karuan saja hal itu membuat lelaki ber¬ 
cambang bauk lebat ini gugup. Dengan sebisa-bisanya 
diusahakan untuk membebaskan tangannya yang ter¬ 
cekal dengan cara menarik. 

Tapi usahanya ternyata sia-sia belaka. Betapa¬ 
pun Prakosa telah berusaha sekuat tenaga untuk me¬ 
narik, tetap saja tidak bergeming. 

"Keluarkan semua tenagamu, Prakosa," ujar 
Harimau Baja dengan mulut menyunggingkan senyum 
mengejek. 

Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa harus 
menerima kenyataan mengejutkan. Baru disadari ka¬ 
lau kini Harimau Baja telah memiliki kepandaian amat 
tinggi! Dan itu terbukti, dengan ketidakberhasilan nya 
dalam melepaskan tangannya dari cekalan Harimau 
Baja! 

"Ha ha ha...!" 

Berbeda dengan Prakosa yang sampai mengelu- 
arkan suara keluhan, Harimau Baja masih mampu ter¬ 
tawa-tawa. Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga 
dalam Harimau Baja jauh di atas Prakosa! 

"Sekarang giliranku, Prakosa!" 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, Harimau 
Baja sudah meremas tangan Prakosa. 

"Akh!" 

Prakosa kontan melolong kesakitan seiring ter¬ 
dengarnya bunyi berkerotokan tulang-belulangnya 
yang hancur berantakan. 

Dan sebelum Prakosa sempat berbuat sesuatu, 
Harimau Baja tiba-tiba menarik tangannya. Akibatnya, 
tubuh lelaki bercambang bauk lebat itu tertarik ke de¬ 
pan, dengan sambungan tulang bahu terlepas. Me¬ 
mang betapa kerasnya sentakan itu! 

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Hari¬ 
mau Baja. Kali ini tangannya bergerak menyampok! 
Tak tanggung-tanggung, sasaran yang dituju ternyata 
pelipis yang merupakan salah satu bagian yang mema¬ 
tikan! 

Prakosa tentu saja sadar akan adanya ancaman 
maut. Pikirnya, kalau mengelak jelas itu tindakan 
mustahil. Maka diputuskannya untuk menangkis. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kirinya 
segera diangkat untuk melindungi pelipis. 

Takkk! 

"Akh!" 

Untuk yang kesekian kalinya, Prakosa memekik 
kesakitan. Bunyi berderak keras yang menyertai ben¬ 
turan tadi menjadi pertanda kalau tulang tangannya 
telah patah. Dan yang lebih mengenaskan, saking 
kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam seran¬ 
gan itu, tubuhnya sampai terjengkang ke belakang 
hingga memuntahkan darah segar. 

Begitu tubuh Prakosa tengah melayang, Hari¬ 
mau Baja cepat mengibaskan tangan kanannya. 

Singngng! 

Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika se¬ 
buah benda berkilat meluncur ke arah leher Prakosa. 
Sementara Prakosa sendiri memang sudah tidak bisa 
berbuat apa-apa. 

Tapi, sebelum benda berkilat yang ternyata pi¬ 
sau itu menghunjam sasaran, dari arah yang berlawa¬ 
nan melesat seleret benda berwarna gelap. Dan.... 

Takkk! 

Bunyi keras langsung terdengar ketika benda 
berwarna gelap yang ternyata sebuah kerikil sebesar 
ibu jari kaki telak menghantam pisau Harimau Baja. 

Akibatnya, pisau itu runtuh sebelum mencapai 
sasaran. Dan Prakosa pun langsung jatuh berdebuk 
keras, tak mampu bertarung lagi. Bahkan napasnya 
pun tinggal satu-satu. 

Harimau Baja menatap tajam penuh kemara¬ 
han pada dua sosok yang telah berdiri di hadapannya. 
Yang satu, seorang pemuda berambut putih kepera¬ 
kan. Dia berdiri di depan Prakosa yang terbaring le¬ 
mah. Sedangkan satu lagi adalah seorang gadis berpa¬ 
kaian putih yang langsung memeriksa keadaan Prako¬ 
sa. Siapa lagi mereka kalau bukan Dewa Arak dan Me¬ 
lati. 

"Keparat!" 

Harimau Baja memaki penuh geram. Sepasang 
matanya yang mencorong tajam dalam gelap, menjadi 
pertanda kalau hatinya tengah murka terhadap orang 
yang telah lancang menggagalkan serangannya. Me- 
mang, Aryalah yang telah melemparkan kerikil untuk 
menyelamatkan Prakosa dari kematian yang lebih 
mengenaskan. 

"Rupanya kau sudah bosan hidup, Anjing Ci¬ 
lik?! Sekarang, terimalah kematianmu! Ssshhh...!" 

Bunyi mendesis keras seperti ular besar yang 
tengah murka terdengar, ketika Harimau Baja mulai 
mengejangkan kedua tangannya. Jari-jari tangannya 
yang menegang penuh kekuatan lurus ke de pan, 
mengarah pada Dewa Arak. 

Bunyi mendesis yang keluar dari mulutnya se¬ 
makin keras seiring keluarnya asap tipis mengepul dari 
sekujur tubuh Harimau Baja. Dan semakin lama, asap 
itu semakin tebal. Bahkan ada hawa dingin yang me¬ 
nyebar dari tubuh Harimau Baja. Inilah ilmu andalan 
lelaki bertopeng harimau itu, ilmu 'Ular Es'! 

"Ssshhh...!" 

Diawali suara mendesis keras yang membuat 
bulu kuduk berdiri, Harimau Baja menghampiri Dewa 
Arak dengan langkah-langkah silang. Sepasang ma¬ 
tanya yang mencorong tajam laksana mata harimau 
dalam gelap, merayapi sekujur tubuh lawannya. Jelas, 
dia tengah mencari celah-celah yang akan dijadikan 
sasaran. 

Sementara, Dewa Arak pun menghampiri la¬ 
wannya dengan langkah sembarangan saja. Bahkan 
terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Se¬ 
tiap kali kakinya melangkah setindak ke depan, tapi 
segera kembali mundur tiga tindak ke belakang. Itu 
pun sambil terus menuangkan arak ke dalam mulut. 

Dan hal ini membuat Harimau Baja terheran - 
heran. 

Gluk.... Gluk.... Gluk...! 

Tak lama kemudian, jarak antara mereka telah 
menjadi dekat. Dan saat itulah Harimau Baja mener¬ 
jang Dewa Arak. 

"Ssshhh...!" 

Diawali bunyi desisan yang tidak pernah putus 
sejak tadi, Harimau Baja mulai melancarkan serangan 
berupa totokan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati! 
Cit, cit, cit! 

Bunyi berdecit nyaring terdengar, begitu kedua 
tangan Harimau Baja meluncur menuju sasaran. Dari 
sini saja bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam 
yang terkandung di dalam serangannya. Cepat bukan 
kepalang serangan itu meluncur. Padahal Dewa Arak 
masih sibuk menenggak araknya. 

Gluk...! Gluk...! Gluk...! 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mele¬ 
wati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian terasa 
hawa hangat berputar di dalam perut pemuda beram¬ 
but putih keperakan itu. Lalu, perlahan-lahan hawa 
hangat itu naik ke atas. Maka Dewa Arak pun semakin 
oleng sana-sini. 

Dewa Arak memang telah dapat memperkira¬ 
kan kalau lawan yang dihadapinya adalah tokoh tang¬ 
guh. Maka tanpa ragu-ragu segera dikeluarkan ilmu 
'Belalang Sakti' andalannya. 

Di dalam pengerahan ilmu 'Belalang Sakti'. De¬ 
wa Arak cepat menjejakkan kakinya, begitu serangan 
Harimau Baja meluncur dekat. Tubuhnya langsung 
melayang melewati kepala lawan. Sehingga serangan- 
serangan Harimau Baja hanya lewat di bawah kakinya. 

Sementara dalam keadaan masih di atas, tubuh 
Dewa Arak langsung berjungkir balik. Kemudian tan¬ 
gan kanannya langsung disampokkan ke arah bela¬ 
kang kepala Harimau Baja. 

Wuttt! 

Tapi sampokan Dewa Arak hanya mengenai 
tempat kosong, karena Harimau Baja sudah lebih ce¬ 
pat merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan pemuda 
berambut putih keperakan itu hanya lewat beberapa 
jari di atas sasaran, sehingga membuat rambut dan se¬ 
luruh pakaian Harimau Baja berkibaran seperti dilan¬ 
da angin keras. Dari sini saja bisa diketahui, betapa 
kuat tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan 
Dewa Arak tadi. 

Ketidakberhasilan serangan itu rupanya sudah 
diperhitungkan Dewa Arak. Maka sebuah serangan su¬ 
sulan segera dikirimkan berupa sepakan ke bawah 
dengan kaki kanan. 

Wukkk! 

Kali ini Harimau Baja tidak mempunyai kesem¬ 
patan lagi untuk mengelak. Diperkirakannya, bila se¬ 
pakan kaki itu mengenai sasaran, kepalanya akan 
hancur berantakan. Maka lelaki bertopeng harimau itu 
buru-buru mengulurkan tangan kanannya, seraya 
menoleh ke arah datangnya serangan. 

Tappp! 

Gila! Patut diacungkan jempol kecepatan peru¬ 
bahan gerakan Harimau Baja. Entah dengan cara ba¬ 
gaimana, tahu-tahu pergelangan kaki Dewa Arak telah 
berhasil dicekalnya. Bahkan secepat itu pula disentak¬ 
kan. 

"Akh!" 

Tanpa sadar, Dewa Arak memekik kaget ketika 
tubuhnya melayang akibat sentakan Harimau Baja. 
Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Sehingga, 
pemuda itu tidak sempat berbuat sesuatu. 

Di saat tubuh Dewa Arak tengah melayang, Ha¬ 
rimau Baja telah melesat memburu sambil me¬ 
lancarkan totokan bertubi-tubi ke arah bagian-bagian 
yang mematikan. 

Tapi dalam keadaan masih terus melayang, 
Dewa Arak masih mampu memapak serangan- 
serangan Harimau Baja. 

Plak, plak, plak! 

Bunyi tamparan keras terdengar ketika dua pa¬ 
sang tangan yang sama-sama mengandung tenaga da¬ 
lam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh satu sama 
lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. 

Tapi itu hanya berlangsung sebentar saja, ka¬ 
rena sesaat kemudian mereka telah saling gebrak 
kembali. Maka pertarungan sengit pun tidak bisa di¬ 
elakkan lagi. 

Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi 
antara kedua tokoh berbeda usia yang sama-sama 
memiliki kepandaian tinggi ini. Bunyi menderu yang 
diringkahi suara mencicit dan mengaung, terdengar se¬ 
tiap kali tangan atau kaki Dewa Arak dan Harimau Ba¬ 
ja bergerak. Bahkan debu pun sampai mengepul tinggi 
ke udara. 

Melati yang menjadi penonton, terpaksa me¬ 
nyingkir agak menjauh. Sambaran angin serangan ke¬ 
dua tokoh yang bertarung itu memang terlalu berba¬ 
haya. Terserempet saja, sudah bisa mengakibatkan lu¬ 
ka dalam yang cukup parah. 

Harimau Baja sebenarnya merasa takjub me¬ 
nyadari hawa panas yang menyebar dari sekujur tu¬ 
buh Dewa Arak. Apalagi ketika pemuda berambut pu¬ 
tih keperakan itu melancarkan serangan. Namun, yang 
membuat lelaki bertopeng harimau itu kelabakan ada¬ 
lah perkembangan ilmu Dewa Arak yang begitu sulit 
diterka. Terkadang gerakan Dewa Arak lemas seperti 
tanpa tenaga, tapi sesaat kemudian keras dan penuh 
kekuatan. Perubahan ini memang terlalu cepat diduga. 

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Memang 
tidak heran, karena kedua belah pihak sama-sama 
memiliki gerakan cepat. Tapi menginjak jurus ketujuh 
puluh satu, Dewa Arak tampak mulai unggul. 

Memang serangan Dewa Arak yang disertai 
semburan arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sak¬ 
ti' terlalu kuat untuk dihadapi Harimau Baja yang te¬ 
lah mengerahkan ilmu andalannya. 

Namun Harimau Baja bukan orang bodoh. Dia 
pun menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang 
lawan yang terlalu kuat. Apabila dia berkeras melan¬ 
jutkan pertarungan, hanya kerugian lah yang dida¬ 
patkannya. Maka benaknya segera diputar untuk men¬ 
cari siasat agar dapat melarikan diri. 

Di jurus kesembilan puluh enam, dengan gera¬ 
kan mengagumkan Harimau Baja mengebutkan tan¬ 
gannya. Maka seketika itu pula bubuk-bubuk halus 
menyebar ke segala arah. Khawatir akan adanya ra¬ 
cun, pemuda berambut putih keperakan itu melompat 
mundur sambil menahan napas. 

Kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Harimau 
Baja. Cepat tubuhnya berbalik, kemudian melesat ce¬ 
pat meninggalkan tempat itu dengan pengerahan selu¬ 
ruh ilmu lari cepatnya. 

Tapi ternyata Dewa Arak memang tidak menge¬ 
jarnya. Malah begitu Harimau Baja telah jauh, pemuda 
berambut putih keperakan ini berbalik dan mengham¬ 
piri Melati yang sudah berada di samping Prakosa 
kembali. 

"Bagaimana keadaannya, Melati?" tanya Arya 
seraya melirik tubuh Prakosa yang tergolek di tanah. 

"Tak bisa ditolong lagi, Kang," jawab Melati. 

Gadis itu tidak merasa menyesal karena tidak 
mampu memberikan pertolongan. Karena yang diketa- 
huinya, Prakosa adalah pimpinan rampok yang kema¬ 
rin malam melakukan penyerbuan di Desa Banyu. 

"Dia menderita keracunan hebat, tulang perge- 
langan tangannya hancur akibat bertarung dengan la¬ 
wanmu tadi!" jelas Melati. 

Dewa Arak hanya dapat mengangguk-angguk¬ 
kan kepala mendengar penjelasan kekasihnya. 

"O ya, Kang. Sebelum tewas, dia sempat menga¬ 
takan kalau penculikan terhadap perawan-perawan itu 
dilakukan atas ancaman Harimau Baja dan dua ka¬ 
wannya." 

"Harimau Baja?" Dewa Arak mengerutkan sepa¬ 
sang alisnya. 

"Lawan yang kau hadapi itu, Harimau Baja." 

"Oto...!" Arya membentuk bulatan dengan mu¬ 
lutnya. 

"Tiga orang itu menggunakannya untuk me¬ 
nuntut ilmu," ujar Melati lagi, menambah ceritanya. 

"Ash...!" 

Kali ini Dewa Arak tidak menahan keterkeju¬ 
tannya. Tampak wajahnya menyiratkan penyesalan. 

"Kalau saja tahu, tak akan kubiarkan Harimau 
Baja lolos dari tanganku!" 

"Sudahlah, Kang! Tidak usah disesali! Lebih 
baik kita kejar manusia-manusia seperti Harimau Baja 
dan kawan-kawannya," ajak gadis berpakaian putih 
itu. 

Dewa Arak mengangguk karena menyadari 
adanya kebenaran dalam ucapan kekasihnya. 


*** 




"Uh! Panasnya hari ini. Kerongkongan ku terasa 
tercekik!" keluh seorang gadis cantik berpakaian putih. 
Rambut hitamnya yang panjang tergerai, disibak- 
kannya. 

"Kau haus, Melati?" tanya pemuda berpakaian 
ungu yang memiliki rambut putih keperakan. Dia ber¬ 
jalan di sebelah gadis berpakaian putih yang dipanggil 
Melati. 

"Bukan hanya haus, Kang. Tapi juga letih!" 
sambut Melati cepat. 

"Kalau demikian, kita harus cepat-cepat men¬ 
cari kedai untuk mengisi perut dan sekalian berteduh 
dari sengatan hawa panas ini," timpal pemuda beram¬ 
but putih keperakan yang tak lain Arya alias Dewa 
Arak. 

"Tapi..., mana ada kedai di sekitar sini, Kang?" 
sergah Melati sambil mengedarkan pandangan ke seke¬ 
liling. 

Kata-kata Melati memang tidak berlebihan. Di 
sekeliling tempat ini tidak tampak satu bangunan pun. 
Yang terlihat hanyalah sebuah tanah lapang luas. Se¬ 
jauh mata memandang yang terlihat hanyalah kesu¬ 
nyian. 

"Di sini memang tidak ada, Melati. Tapi aku ya¬ 
kin, di sana ada," jawab Dewa Arak sambil menuding¬ 
kan jari telunjuknya ke depan. 

"Jadi...," Melati menggantung ucapannya. 

"Yahhh..,, kita harus mempercepat perjalanan 
kalau ingin segera tiba di sana." 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sambut Melati 
bernada tantangan. "Mari kita ke sana." 

Usai berkata demikian, Melati lalu mengayun¬ 
kan langkah. Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, 
gadis berpakaian putih itu telah berada dalam jarak 
sembilan tombak di depan. 

Sementara Dewa Arak hanya menggeleng- 
geleng saja melihat tingkah Melati. Namun sebentar 
saja pemuda berambut putih keperakan itu segera 
mengayunkan kakinya untuk menyusul Melati. 

Sesaat kemudian sepasang pendekar muda itu 
telah berkelebat cepat, seperti saling mengejar. Kini 
yang terlihat hanyalah dua bayangan berwarna putih 
dan ungu tengah melesat cepat ke depan. 

Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Baru be¬ 
berapa kali lesatan saja mereka telah melihat banyak 
bangunan di kejauhan. Dan hal ini membuat semangat 
sepasang pendekar muda itu semakin besar untuk se¬ 
gera tiba di sana. 

Semakin lama, kedua pendekar itu telah ham¬ 
pir dekat dengan bangunan-bangunan yang terlihat di 
depan. Maka tak lama kemudian, Dewa Arak dan Me¬ 
lati menghentikan larinya, agar tidak membuat kejutan 
pada penduduk setempat. 

Kini sepasang anak muda ini meneruskan per¬ 
jalanan dengan langkah biasa. Pandangan mereka be¬ 
redar ke sekeliling tempat itu, menatap satu persatu 
bangunan-bangunan yang ada. 

"Sebuah kedai, Kang," desah Melati pelan ber¬ 
nada gembira, ketika sapuan matanya melihat sebuah 
kedai. 

"Benar, Melati. Mari kita ke sana," ajak Arya. 

Kemudian Dewa Arak dan Melati melangkah 
menuju kedai. Sebentar saja, mereka tiba di depan ke¬ 
dai. Di ambang pintu, pemuda berambut putih kepera- 
kan itu menghentikan langkah sebentar dan menge¬ 
darkan pandangan ke dalam. 

Kedai itu ternyata cukup ramai. Meja yang ter¬ 
sedia cukup banyak, telah hampir terisi semua. Hanya 
tinggal dua buah meja yang kosong, dan berada di ten¬ 
gah ruangan. 

Setelah merasa cukup mengadakan penilaian, 
Dewa Arak menghampiri salah satu meja, diikuti Mela¬ 
ti di belakangnya. 

"Mau pesan apa, Den?" sambut seorang laki- 
laki berusia empat puluh lima tahun, ketika melihat 
Dewa Arak dan Melati telah duduk di bangku mereka. 

"Teh manis seguci kecil, arak seguci besar, 
ayam panggang dua ekor, dan jagung bakar empat," 
sebut Dewa Arak untuk pesanannya. 

"Harap sabar menunggu, Den," kata laki-laki 
kecil kurus yang ternyata pemilik kedai itu. 

Usai berkata demikian, laki-laki bertubuh ku¬ 
rus itu beranjak menuju ke dalam untuk menyiapkan 
pesanan Arya. 

Sepeninggal pemilik kedai, suasana di meja 
Dewa Arak pun hening. Baik Dewa Arak maupun Mela¬ 
ti tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Mas¬ 
ing-masing kini sudah tenggelam dalam pikirannya. 
Meskipun kelihatannya tenang-tenang saja, sebenar¬ 
nya Dewa Arak telah memasang kewaspadaan penuh. 
Begitu memasuki kedai ini, perasaannya membisikkan 
akan adanya bahaya yang mengancam. Dan getaran 
perasaan itu semakin membesar, ketika masuk ke da¬ 
lam kedai. Terutama sekali, ketika duduk! 

Dewa Arak sebenarnya bukan orang yang ter¬ 
lalu menuruti perasaan. Tapi kali ini, bukan perasaan¬ 
nya yang menyimpulkan demikian. Tapi, naluri! Me¬ 
mang, sejak belalang raksasa dari alam gaib berhasil 
ditarik masuk ke dalam tubuhnya, naluri Dewa Arak 
semakin tajam. 

Dan seiring semakin seringnya belalang raksasa 
itu masuk ke dalam tubuhnya, Dewa Arak bagaikan 
seorang manusia dengan naluri binatang. (Untuk je¬ 
lasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 
'Makhluk dari Dunia Asing', dan 'Dalam Cengkeraman 
Biang Iblis j. 

Dewa Arak tahu, naluri adanya bahaya meng¬ 
ancam itu sama sekali tidak menipunya. Sayangnya, 
sulit diketahui dari mana asal bahaya itu. Yang jelas, 
nalurinya membisikkan adanya bahaya di tempat ini! 

Maka tak heran kalau Dewa Arak bersikap 
waspada. Seluruh urat saraf di tubuhnya menegang. 
Bahkan ekor matanya pun beberapa kali beredar ke 
sekeliling. Barangkali saja ditemukan adanya tanda- 
tanda mencurigakan. Tapi sampai sejauh itu, belum 
terlihat adanya hal-hal yang dikhawatirkan. 

Tak lama kemudian, pemilik kedai telah kem¬ 
bali sambil membawa baki berisi pesanan Dewa Arak. 
Di belakangnya, berjalan seorang laki-laki bertubuh 
kekar, membawa seguci besar arak. 

Setelah berada di dekat tempat Dewa Arak, me¬ 
reka meletakkan semua pesanan itu di atas meja den¬ 
gan hati-hati. 

"Silakan dinikmati, Den," ujar laki-laki kurus 
itu mempersilakan. 

"Terima kasih, Ki." 

Sebentar saja, Dewa Arak mengambil guci 
araknya yang tergantung di punggung, lalu diletak¬ 
kannya di atas meja. Sementara, Melati mulai men¬ 
gambil salah satu potongan ayam panggang dan mem¬ 
bawanya ke mulut 

Gluk... gluk... gluk...! 

Pada saat Dewa Arak menuangkan arak di da¬ 
lam guci besar ke dalam gucinya, Melati mulai mengu¬ 
nyah santapannya. Di tangan Dewa Arak, guci besar 
dan berisi penuh arak itu tak ubahnya segumpal ka¬ 
pas. Enak saja guci itu diangkat dengan satu tangan! 
Padahal, laki-laki bertubuh kekar yang membawanya 
di belakang pemilik kedai tadi, membawanya dengan 
kedua tangan. Itu pun dilakukan sambil mengerahkan 
sebagian besar tenaganya. 

Dewa Arak baru menghentikan tuangan arak 
ketika guci peraknya telah penuh. Kemudian, arak da¬ 
lam guci besar yang masih tersisa banyak itu baru di¬ 
tuangkan ke dalam gelas bambu yang telah disediakan 
pemilik kedai. 

Hanya dalam sekejapan saja, segelas arak itu 
telah berpindah ke perut Dewa Arak. Lalu, diambilnya 
sebatang jagung dan dimakannya. 

Namun sebelum jagung habis dinikmati Dewa 

Arak.... 

"Kang...," suara panggilan lemah Melati mem¬ 
buat Dewa Arak mengalihkan perhatian dari ma-kanan 
yang tengah dinikmatinya. 

"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menatap 
wajah kekasihnya. 

"Kepalaku pusing, Kang. Tubuhku pun le¬ 
mas...," keluh gadis berpakaian putih itu. 

"Apa?!" 

Dewa Arak terlonjak kaget bagai disengat ular 
berbisa. Pandangannya langsung dialihkan ke arah 
makanan dan minuman yang tersaji di atas meja. 

"Jangan dilanjutkan makan dan minum mu. Ini 
semua pasti mengandung racun!" seru Dewa Arak ke¬ 
tika sepasang matanya terasa berkunang-kunang. 

Begitu selesai kata-katanya, pemuda berambut 
putih keperakan itu langsung bangkit. Tapi, saat itu 
pula.... 

Srat, srat, srat! 

Sinar-sinar terang langsung mencuat ketika 
semua pengunjung kedai ini menghunus senjata mas¬ 
ing-masing. Kemudian mereka langsung menerjang 
Dewa Arak dan Melati. 

Sing, sing, sing! 

Suara berdesing nyaring mengiringi melayang¬ 
nya senjata-senjata menuju sasaran. 

Keadaan sepasang pendekar muda itu benar- 
benar gawat. Terutama sekali Melati, yang benar-benar 
sudah tidak memiliki daya apa pun. Kepalanya yang 
pusing, membuat semua yang terlihat jadi berputaran 
sehingga tidak terlihat jelas. 

Untung saja Melati masih bisa mendengar. Dan 
dengan pendengarannya yang tajam, dia mencoba me¬ 
nerka apa yang terjadi. Kendati demikian, rasa lemas 
yang amat sangat membuat tubuhnya tak kuasa dige¬ 
rakkan. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya bagai¬ 
kan lenyap tak tersisa. Kini Melati tak ubahnya seo¬ 
rang bayi yang baru lahir. Dia tidak mampu berbuat 
apa-apa, selain berdiam diri. 

Untung saja di sampingnya ada Dewa Arak. 
Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, pe¬ 
muda berambut putih keperakan itu melesat menyam¬ 
bar tubuh Melati. Lalu.... 

"Hih!" 

Dewa Arak berjumpalitan beberapa kali di uda¬ 
ra, melewati kepala para penyerangnya. Dan.... 

Ringan laksana sehelai daun kering, kedua ka¬ 
kinya mendarat di belakang para pengeroyoknya. 
Sayang, kedudukan kakinya tidak mantap. Rupanya, 
racun mulai mempengaruhi keadaan pemuda beram- 
but putih keperakan itu. 

Tentu saja para pengunjung kedai yang rupa¬ 
nya memang bermaksud melenyapkan sepasang pen¬ 
dekar ini tidak membiarkan buruannya lolos. Maka be¬ 
gitu melihat Dewa Arak berhasil meloloskan diri, mere¬ 
ka langsung memburu. 

Sementara itu, Dewa Arak baru teringat kalau 
telah terlupa menyambar gucinya. Maka buru-buru 
tubuhnya melesat kembali ke tempat semula. Tapi kali 
ini, usaha yang dilakukan tidak mulus seperti sebe¬ 
lumnya. Kedelapan belas orang lawan ternyata telah 
langsung menghadang maksudnya. 

Yang lebih gawat lagi, racun yang dicampurkan 
dalam makanan dan minuman Melati termasuk racun 
keras dan berdaya kerja cepat. Dan ini dirasakan betul 
oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan 
ini merasakan pusing, dan pandangan matanya ber¬ 
kunang-kunang. Tubuhnya pun semakin lemas, teru¬ 
tama ketika berada di udara. 

Rupanya nasib sial masih akrab dengan Dewa 
Arak. Sebelum maksudnya mengambil guci terlaksana, 
si pemilik kedai yang rupanya mengetahui maksud 
pemuda berambut putih keperakan itu, telah lebih du¬ 
lu membanting guci Dewa Arak ke lantai. 

Pyarrr! 

Arak memercik ke sana kemari, ketika guci pe¬ 
rak Dewa Arak membentur lantai. Tentu saja pusaka 
murid tunggal Ki Gering Langit itu bukan benda biasa 
yang gampang pecah. Apalagi, sampai retak. Walau¬ 
pun, yang membanting memiliki tenaga dalam tinggi. 


*** 




Begitu guci arak itu mental kembali ke atas, 
Dewa Arak yang masih memanggul Melati segera mele¬ 
paskan tendangan ke arah gucinya. Sehingga guci itu 
semakin tinggi naik ke atas. Dan dengan pengerahan 
ilmu meringankan tubuhnya, Dewa Arak cepat melesat 
ke atas, menyambar gucinya. 

Tappp! 

Begitu berhasil menyambar guci peraknya yang 
melayang di atas, Dewa Arak kembali mendarat di ta¬ 
nah. Segera dituangnya guci itu ke dalam mulut. Tapi, 
ternyata tidak ada setetes pun arak yang masuk ke da¬ 
lam tenggorokannya. Memang semua araknya telah 
tumpah. 

Pada saat itu, belasan orang yang telah gagal 
menghambat telah meluruk ke arah Arya sambil men¬ 
gayunkan senjata masing-masing. 

Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali 
menangkis dengan gucinya. Biasanya, papakannya di¬ 
lakukan dengan tangan telanjang. Tapi, sekarang te¬ 
naganya telah banyak yang susut 

Klangngng, klangngng...! 

Dentang nyaring diiringi berpijarnya bunga- 
bunga api ke udara langsung terjadi ketika belasan 
senjata itu berbenturan dengan guci Dewa Arak. 

Akibatnya, tubuh para pengeroyok Dewa Arak 
terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan berge¬ 
tar. Sementara Dewa Arak sendiri pun juga terhuyung 
beberapa langkah. Tak heran, karena belasan senjata 
lawan membentur gucinya secara bersamaan. Sehing¬ 
ga, tenaga-tenaga itu seperti bersatu saja yang meng¬ 
hasilkan kekuatan besar. Tambahan lagi, saat itu ke- 
kuatan pemuda berambut putih keperakan itu telah 
menurun. 

Dewa Arak menggertakkan gigi ketika merasa¬ 
kan kekuatannya semakin menurun. Bahkan pengliha¬ 
tannya juga semakin kabur. 

Dan rupanya, para pengeroyok mengetahui ke¬ 
jadian yang tengah dialami Dewa Arak. Maka, mereka 
berniat merangsek pemuda itu. Bahkan sedikit pun ti¬ 
dak akan memberi kesempatan kepada Dewa Arak. 

Kali ini belasan orang berwajah kasar dan ber¬ 
senjatakan aneka ragam jenis itu menerapkan siasat 
lain. Mereka tidak langsung menyerang sekaligus, tapi 
secara berganti-ganti. 

Jumlah mereka yang dua belas orang ini me¬ 
mang membuat rencana tidak sulit diwujudkan. Ge¬ 
rombolan itu memulai siasatnya. Enam orang melaku¬ 
kan serangan, sementara sisanya menunggu giliran. 
Dengan cara seperti ini, diharapkan Dewa Arak tidak 
mempunyai kesempatan beristirahat 

"Haaat..!" 

Teriakan-teriakan melengking nyaring yang sal¬ 
ing susul, kontan terdengar ketika enam orang itu 
memulai serangan. Seketika itu pula, kilatan senjata- 
senjata tajam beraneka jenis, berkelebatan mengan¬ 
cam berbagai bagian tubuh Dewa Arak dari berbagai 
jurusan. 

Arya yang memang sejak tadi sudah bersiaga, 
langsung bertindak. Meskipun sepasang matanya su¬ 
dah tidak bisa diandalkannya lagi, tapi sepasang telin¬ 
ganya masih bisa dimanfaatkan. Dan dengan menggu¬ 
nakan pendengaran, diladeni serbuan lawan-lawannya. 

Tahu akan keadaan yang tidak menguntung¬ 
kan, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan il¬ 
mu 'Belalang Sakti' andalannya. 
Tapi, tentu saja kali ini tidak sedahsyat bi¬ 
asanya. Di samping kemampuan Dewa Arak yang te¬ 
ngah menurun, di bahunya pun terpanggul tubuh Me¬ 
lati. Meskipun demikian, bukan berarti kedahsyatan 
ilmu 'Belalang Sakti’ itu pupus. Jurus-jurus yang ter¬ 
dapat dalam ilmu itu, tetap menunjukkan keampu¬ 
hannya. 

"Heit!" 

Luar biasa! Dengan gerakan terhuyung-huyung 
seperti akan jatuh, Dewa Arak menghindari serangan 
lawan-lawannya, menggunakan jurus 'Delapan Lang¬ 
kah Belalang'. 

Tapi baru saja serangan itu berhasil dielakkan, 
serangan susulan kembali menyusul. Kali ini, dilaku¬ 
kan oleh kelompok kedua. Maka untuk yang kedua ka¬ 
linya beberapa senjata tajam mengancam keselamatan 
Dewa Arak. 

Kali ini pun Dewa Arak berusaha mengelak 
tanpa melancarkan serangan balasan. Bukan karena 
apa-apa, yang jelas di benaknya tersusun rencana un¬ 
tuk secepatnya meninggalkan tempat itu, sebelum se¬ 
luruh tenaga dalamnya habis terkuras. 

Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang 
makan asam garam dunia persilatan, Dewa Arak tahu 
kalau penyebaran racun akan semakin cepat, apabila 
peredaran darah mengalir cepat. Dan cepatnya pereda¬ 
ran darah, tergantung banyak tidaknya kegiatan yang 
dilakukan. 

Maka tak heran kalau Dewa Arak tidak mela¬ 
kukan perlawanan. Bahkan elakannya pun dilakukan 
sambil menjauhkan diri. 

Enam orang pengeroyok ini tampaknya terlalu 
bersemangat untuk segera merobohkannya. Mereka 
sama sekali tidak menduga kalau pemuda berambut 
putih keperakan itu akan melarikan diri. Apalagi, jurus 
'Delapan Langkah Belalang' milik Dewa Arak memang 
terlalu sulit untuk bisa diketahui perkembangannya 
oleh para pengeroyok. Karena begitu habis mengelak, 
Dewa Arak langsung menghentakkan kakinya. Seketi¬ 
ka tubuhnya melenting sambil tetap memondong Mela¬ 
ti. Dan begitu mendarat, dia langsung melesat Sehing¬ 
ga tanpa diduga para pengeroyok, pemuda berambut 
putih keperakan itu berhasil meloloskan diri dari ser¬ 
gapan lawan-lawannya. 

Karuan saja hal itu membuat dua belas orang 
pengeroyoknya terkejut bukan kepalang. Serentak me¬ 
reka bergerak mengejar. 

"Hendak lari ke mana kau, Dewa Pengecut?!" 
bentak salah seorang yang berkumis melintang. Seperti 
juga yang lain, dia memiliki raut wajah kasar dan tu¬ 
buh kekar. 

"Jangan harap untuk bisa lolos dari tangan ka¬ 
mi!" sambung yang lain, dengan suara tak kalah keras. 

Maka seketika terdengar ejekan-ejekan menya¬ 
kitkan terhadap Dewa Arak, dari para pengeroyok. Be¬ 
gitu ramai dan keras, membuat telinga jadi panas. 
Bahkan para pengeroyok itu juga segera mengejar De¬ 
wa Arak. 

Sementara itu Dewa Arak tentu saja tidak 
mempedulikannya. Dan apabila menuruti perasaan 
hati, keselamatan dirinya dan Melati jelas terancam. 
Jelas-jelas terlihat kalau gerombolan itu bermaksud 
membinasakan mereka berdua. 

Itulah sebabnya, Dewa Arak terus saja melesat 
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Dia beru¬ 
saha secepat mungkin meninggalkan lawan-lawannya 
sebelum kekuatan yang dimilikinya lenyap. 

Tapi harapan tinggal harapan. Sewaktu melari- 
kan diri, kekuatan yang dimiliki Dewa Arak memang 
telah menurun jauh. Dan celakanya, terus melorot se¬ 
cara demikian cepat. Akibatnya, pemuda berambut pu¬ 
tih keperakan itu rasanya akan sia-sia untuk segera 
kabur sejauh-jauhnya dari para pengeroyok. Padahal 
dia masih berada dalam jarak yang tak jauh dari pen¬ 
gejarnya. Paling tidak, hanya terpaut belasan tombak! 

Dan kini seluruh tenaga Dewa Arak mendadak 
musnah. Rasa lemas yang luar biasa langsung me¬ 
nyergapnya. Sekujur tulangnya bagai dilolosi. Lemas 
tak terkira! 

Brukkk! 

Tak ampun lagi, tubuh Dewa Arak ambruk di 
tanah laksana sehelai karung basah. Dengan sendi¬ 
rinya, tubuh Melati pun jatuh pula di tanah. 

Namun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. 
Pemuda ini masih berusaha keras untuk bangkit. Se¬ 
mangat yang besar karena dorongan ingin menyela¬ 
matkan Melati, membuatnya mampu bertahan untuk 
tidak pingsan. 

Tapi usaha Dewa Arak ternyata sia-sia. Rasa 
lemas yang amat sangat, membuatnya tak mampu 
berdiri. Padahal, telah diusahakan sekeras-kerasnya. 


kkk 


"Ha ha ha...!" 

Tawa dua belas orang pengeroyok Dewa Arak 
pun meledak, ketika tiba di tempat Dewa Arak ter¬ 
sungkur. Tawa kegembiraan bercampur ejekan. 

Dan masih dengan tawa yang belum putus, me¬ 
reka memandangi Dewa Arak yang kembali terjerunuk 
tak kuat menahan beban tubuhnya. Malahan senjata- 
senjata tajam para pengeroyok telah siap diayunkan. 

Srat, srat, srat! 

Sinar-sinar terang seketika mencuat ketika be¬ 
lasan senjata meluruk ke tubuh Dewa Arak, Bahkan 
sepertinya, masing-masing tak ingin melepaskan ke¬ 
sempatan itu. Maka kematian Dewa Arak tinggal me¬ 
nunggu waktu saja. Apalagi, pemuda berambut putih 
keperakan itu sama sekali tidak mampu berbuat apa- 
apa. 

Tapi, sebelum belasan senjata beraneka ragam 
itu merencah tubuh Dewa Arak, tiba-tiba sesosok 
bayangan putih berkelebat cepat, menyambar Dewa 
Arak dan Melati. 

Tappp, tappp! 

Cappp, cappp, creppp, jrebbb! 

Cepat bukan kepalang gerakan sosok bayangan 
putih itu, sehingga beberapa senjata tajam yang me¬ 
luncur hanya menghantam tanah, tempat Dewa Arak 
dan Melati tergolek tadi. 

"Keparat!" 

Pengeroyok yang berkumis melintang meng¬ 
geram ketika mengetahui senjatanya dan senjata re¬ 
kan-rekannya sama sekali tidak menemui sasaran. 
Mereka tahu, dua orang calon korban tadi berhasil dis¬ 
elamatkan oleh seseorang. Memang, dua belas orang 
pengeroyok tadi melihat kelebatan sosok bayangan pu¬ 
tih, meskipun tidak secara jelas. Dan mereka juga tahu 
arah yang ditempuh sosok bayangan putih tadi. Dan 
tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera 
bergerak mengejar. 

Tapi dua belas orang yang rata-rata berwajah 
kasar dan bertubuh kekar ini kecele! Ternyata sosok 
bayangan putih itu memiliki ilmu meringankan tubuh 
yang luar biasa. Sehingga hanya dalam beberapa kali 
lesatan saja, mereka telah tertinggal jauh. Bahkan ak- 
hirnya tubuh sosok bayangan putih itu lenyap dari 
pandangan mata. Maka terpaksa rombongan pengejar 
itu menghentikan langkahnya. 

"Keparat!" 

Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berku¬ 
mis melintang itu memaki geram. Amarah yang hebat 
tampak jelas, baik pada raut wajah maupun nada sua¬ 
ranya. 

"Kau kenal orang usilan itu, Kang?" tanya laki- 
laki yang memiliki bibir tebal dan hitam. 

Laki-laki berkumis melintang itu menggeleng. 

"Aku tidak sempat melihatnya. Jangankan wa¬ 
jahnya, bentuk tubuhnya pun tidak sempat kulihat. 
Keparat! Orang usilan itu harus mendapatkan ganja¬ 
ran atas kelancangannya!" desis laki-laki berkumis me¬ 
lintang dengan sorot mata memancarkan dendam. 

"Apa yang harus kita laporkan pada sang Ke¬ 
tua, Kang?" tanya salah seorang yang berkulit kuning 
pucat seperti orang penyakitan. 

"Hhh...!" laki-laki berkumis melintang menghela 
napas berat. "Apa lagi kalau bukan menceritakan apa 
adanya? Tapi yang jelas, kita semua tidak akan lolos 
dari hukuman! Hhh...! Padahal, sang Ketua sudah ya¬ 
kin, kalau rencana ini akan berhasil. Sukar kubayang¬ 
kan kemurkaannya, apabila dia tahu kalau Dewa Arak 
berhasil lolos dari maut" 

"Tapi, Kang," sergah salah seorang yang mem¬ 
punyai tahi lalat besar di pipi. "Bukankah Dewa Arak 
dan kawannya telah berhasil kita cekoki racun? Aku 
yakin, nyawa mereka akan melayang. Bukankah racun 
milik sang Ketua tidak bisa diragukan lagi keampu¬ 
hannya? Jadi, aku yakin mereka akan tewas!" 

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Sam¬ 
pang," kata laki-laki berkumis melintang pada rekan- 
nya yang memiliki tahi lalat besar di pipi. "Menurut 
pengalaman selama ini, Dewa Arak dan rekannya itu 
akan tewas. Tapi aku yakin sang Ketua tak akan ber¬ 
pendapat seperti itu. Tanpa melihat dengan mata kepa¬ 
la sendiri, dia tak akan percaya kalau Dewa Arak telah 
tewas. Aku sendiri yakin kalau Dewa Arak tewas! Bah¬ 
kan tidak mungkin selamat." 

Kontan semua mulut dari rekan laki-laki ber¬ 
kumis melintang tertutup. Tidak satu pun ada yang bi¬ 
cara. Mereka tampak terpatri dengan rencana masing- 
masing. 

"Lalu..., sekarang apa yang harus kita lakukan, 
Kang?" tanya laki-laki berkulit kuning. 

"Tentu saja melaporkan semuanya pada sang 
Ketua," jawab laki-laki berkumis melintang, tak bergai¬ 
rah. 

Usai berkata demikian, laki-laki berkumis me¬ 
lintang itu berbalik. 

"Mari kita berangkat," lesu ucapan yang keluar 
dari mulut laki-laki berkumis melintang itu. 

Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka se¬ 
gera mengayunkan langkah, mengikuti dari belakang 
laki-laki berkumis melintang yang telah melesat pergi 
lebih dulu. 




"Uaaah...!" 

Arya membuka mulutnya lebar-lebar sambil 
menggeliatkan tubuhnya untuk melemaskan urat- 
uratnya yang terasa kaku. Perlahan-lahan sepasang 
matanya dibuka. Seketika itu pula dia tersentak dari 
berbaringnya. Sementara, raut wajahnya menampak¬ 
kan rasa kaget bukan kepalang. 

Dewa Arak memandang ke sekeliling. Rupanya 
dia berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan 
cukup baik, meski hanya berdinding dari bilik. Semen¬ 
tara tubuhnya yang masih lemas tergolek di sebuah 
balai-balai bambu. Sedangkan tak jauh darinya, tam¬ 
pak sebuah meja yang di atasnya terdapat kendi dan 
beberapa buah gelas bambu. Salah satu dari gelas 
bambu itu tampak masih mengepulkan asap beraroma 
khas, aroma ramuan obat! 

Aiya jadi berpikir keras. Berbagai macam per¬ 
tanyaan bergayut di benaknya. "Mengapa dia berada di 
sini? Dan di manakah ini?" 

Sejenak kemudian semua kejadian yang dialami 
telah berhasil diingatnya. Waktu dia berada dalam ke¬ 
dai telah diracuni secara licik oleh pemilik kedai palsu. 
Rupanya, mereka memang sudah merencanakan se¬ 
mua itu untuk membunuhnya. Kemudian Dewa Arak 
kabur untuk menyelamatkan diri, tapi sebelum mak¬ 
sudnya terlaksana keburu jatuh. Dan akhirnya, ping¬ 
san. Jadi, dia belum mati! Lalu, bagaimana nasib Me¬ 
lati? 

Ingat akan Melati, membuat Dewa Arak tersen¬ 
tak kaget. Perasaan khawatirnya pun kembali menye¬ 
ruak. Dan dalam cekaman rasa cemas yang melanda, 
pandangannya kembali dilayangkan ke sekitar ruan¬ 
gan. Tapi tetap saja kekasihnya tidak diketemukan. 
Tentu saja ini membuat Dewa Arak cemas. 

Rasa khawatir yang amat sangat terhadap kese¬ 
lamatan kekasihnya, membuat pemuda berambut pu¬ 
tih keperakan itu berusaha bangkit dari berbaringnya. 
Tapi.... 

"Uuuh...!" 

Tanpa sadar, sebuah keluhan tertahan keluar 
dari mulut Arya ketika baru saja beringsut. Rasa pus¬ 
ing yang amat sangat langsung mendera kepalanya, 
sehingga membuat pandangannya seperti berputar. 

Terpaksa Dewa Arak mengurungkan niatnya, 
dan segera merebahkan tubuhnya kembali di pemba¬ 
ringan. Kemudian matanya dipejamkan untuk menghi¬ 
langkan rasa pusingnya. 

Saat itulah Dewa Arak mendengar suara lang¬ 
kah-langkah halus di luar kamar. Semakin lama, se¬ 
makin jelas tertangkap meskipun tetap tidak jelas. 
Tampaknya memang ada orang yang tengah menuju 
tempatnya. 

Rasa ingin tahu membuat Dewa Arak membuka 
matanya. Sedikit pun tidak ada rasa khawatir bila 
orang yang datang ke tempatnya bermaksud buruk. 
Justru sebaliknya, Dewa Arak yakin orang itu bermak¬ 
sud baik, menilik dari tindakan pertolongan yang telah 
diberikannya. Jelas, orang itulah yang membawanya 
ke sini, dan memberikan ramuan obat yang kini dile¬ 
takkan di atas meja. 

Kriiit...! 

Suara berderit pelan terdengar seiring berge¬ 
raknya daun pintu di dalam ruangan Dewa Arak bera¬ 
da. Dan sesaat kemudian, seraut wajah tua menyem¬ 
bul dari balik daun pintu itu. Seraut wajah yang terli¬ 
hat masih segar, meskipun telah ditumbuhi kumis dan 
jenggot berwarna putih. Warna pakaian yang dikena¬ 
kannya merah. 

"Rupanya kau sudah sadar, Anak Muda," sapa 
kakek berpakaian merah itu sambil mengayunkan 
langkah menghampiri Dewa Arak. 

"Itu semua berkat pertolonganmu juga, Ki," ja- 
wab Arya sekenanya. 

"Ah! Matamu sungguh awas, Anak Muda. Da¬ 
lam keadaan gawat pun, kau masih bisa mengenaliku? 
Hebat! Benarkah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" 
tanya kakek berpakaian merah itu sambil menarik 
kursi yang terletak di kolong meja tempat guci dan ge¬ 
las-gelas bambu berada. Kemudian, perlahan-lahan 
pantatnya diletakkan di kursi itu. 

"Apa istimewanya julukan itu, Ki? Aku yakin 
kau memiliki kepandaian dan julukan yang melebihi- 
ku," sambut Dewa Arak berusaha merendah. 

"Ha ha ha...!" kakek berpakaian merah tertawa 
lunak. "Kau terlalu merendah, Dewa Arak. Siapa yang 
belum mendengar tentang dirimu. Julukanmu begitu 
menggemparkan dunia persilatan. Hampir semua to¬ 
koh persilatan tahu, kau memiliki kepandaian tidak 
ada bandingannya. Tak terhitung sudah datuk kaum 
sesat yang tewas di tanganmu. Tapi kau masih bersi¬ 
kap rendah hati. Luar biasa! Kau luar biasa, Dewa 
Arak!" 

"Ah! Kau terlalu berlebihan, Ki. Toh, kenya¬ 
taannya menghadapi gerombolan orang liar saja aku 
dan kawanku telah dibuat tidak berdaya. Kalau saja 
kau tidak datang menolongku, mungkin aku dan ka¬ 
wanku telah tewas. Ah! Ya...! Apakah kau melihat ka¬ 
wanku, Ki?" 

Langsung saja Dewa Arak menanyakannya, be¬ 
gitu teringat kembali pada Melati. Perasaan penuh ha¬ 
rap tampak jelas dalam sorot wajah dan sinar ma¬ 
tanya. 

"Apakah kawanmu itu gadis berpakaian putih 
yang tergeletak di sampingmu?" tanya kakek berpa¬ 
kaian merah memastikan. 

"Benar, Ki. Dialah kawanku. Melati, namanya," 
sambut Dewa Arak, dengan tarikan wajah ceria. "Apa¬ 
kah kau melihatnya?" 

Kakek berpakaian merah menganggukkan ke¬ 
pala. 

"Bukan hanya melihatnya saja, Dewa Arak. Aku 
pun membawanya pula kemari. Seperti juga kau, dia 
menderita keracunan hebat. Dan dia kubaringkan di 
kamar sebelah, setelah kuberikan pengobatan seper¬ 
lunya. " 

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas le¬ 
ga. "Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengu¬ 
capkan terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Budi 
yang kau berikan pada kami terlalu besar." 

"He he he...," kakek berpakaian merah tertawa 
terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kau 
ini aneh, Dewa Arak. Masih saja meributkan soal budi. 
Padahal, dibandingkan pengabdianmu pada dunia per¬ 
silatan, usahaku ini sama sekali tidak berarti apa-apa." 

Dewa Arak hanya bisa menyunggingkan se¬ 
nyum kaku. Kini disadari, betapa di dunia ini masih 
ada orang yang mau mengingat kebaikan orang lain. 
Ternyata, benih-benih kebaikan yang telah ditanam 
Dewa Arak, telah menghasilkan buah keselamatan ba¬ 
ginya sendiri. 

"Kau terlalu merendahkan diri, Ki. Meskipun 
demikian, aku yakin kau bukan orang sembarangan. 
Bolehkah aku mengenalmu lebih jauh, Ki?" tanya De¬ 
wa Arak, hati-hati. 

"Tentu saja boleh, Dewa Arak. Tapi nanti saja¬ 
lah. Sekarang, yang lebih penting menyembuhkan lu¬ 
kamu dulu. Kau tahu, Dewa Arak. Racun yang men¬ 
gendap di tubuhmu dan juga di tubuh kawanmu itu 
amat berbahaya. Racun yang amat ganas dan memati¬ 
kan." 

Kakek berpakaian merah menghentikan uca¬ 
pannya sebentar untuk mengambil napas. 

"Untunglah, aku berhasil menjinakkannya. Se¬ 
karang, keadaanmu dan juga kawanmu sudah tidak 
berbahaya lagi. Masalah kesembuhan hanya tinggal 
menunggu waktu saja." 

"Terima kasih atas jerih payahmu, Ki. Keberha- 
silanmu menyembuhkan kami, menjadi pertanda ka¬ 
lau kau bukan orang sembarangan. Boleh kutahu na¬ 
mamu, Ki?!" 

Kakek berpakaian merah itu hanya tersenyum 
tipis. Ditatapnya Dewa Arak dengan sorot mata cerah. 

"Namaku sederhana saja, Dewa Arak. Blantaka. 
Tapi orang-orang biasa menyebutku Eyang Blantaka." 

Akhirnya, keluar juga kata-kata kakek ber¬ 
pakaian merah ini dalam memperkenalkan diri. 

"Eyang Blantaka?!" Dewa Arak mengulang na¬ 
ma itu tanpa menyembunyikan rasa kagetnya. "Jadi..., 
kau Ketua Perguruan Kalong Merah, Ki?!" 

"Rupanya kau mengenai perguruanku juga, 
Dewa Arak?" kakek berpakaian merah yang ternyata 
bernama Blantaka tersenyum pahit. 

"Tentu saja, Ki! Perguruan Kalong Merah amat 
terkenal. Tapi, masih lebih terkenal namamu! Karena 
kaulah yang telah membuat Perguruan Kalong Merah 
yang selama puluhan tahun berlumur noda hitam, 
menjadi bersih!" ujar Dewa Arak penuh kagum. "Dan 
kudengar, Perguruan Kalong Merah telah menciptakan 
banyak pendekar pembela kebenaran. Kau telah ber¬ 
hasil membuat perguruan itu menjadi sebuah pergu¬ 
ruan golongan putih! Aku kagum padamu, Ki!" 

"Terima kasih atas pujianmu, Dewa Arak," 
hanya itu yang diucapkan kakek berpakaian merah ini. 

Seketika itu pula, benak Ki Blantaka melayang- 
layang ke masa seratus tahun silam. Leluhurnya, me¬ 
mang seorang datuk golongan hitam yang amat ditaku¬ 
ti. Dengan kesaktian dan kekejamannya yang tiada 
banding, dibentuklah Perguruan Kalong Merah. Ini 
hampir sesuai julukannya, Kalong Merah. 

Turun-temurun, tiap murid yang menjadi ketua 
perguruan meneruskan sepak-terjang si Kalong Merah 
yakni mengacau dunia persilatan. Baru ketika Ki Blan- 
taka yang mempunyai hati bersih menjadi ketua, ke¬ 
biasaan itu dirombaknya. Tentu saja banyak yang me¬ 
nentang. Namun, semuanya berhasil dipatahkan. Dan 
benar seperti yang dikatakan Dewa Arak, sekarang 
Perguruan Kalong Merah berubah menjadi perguruan 
silat yang beraliran putih. 

"Aku tidak memuji, Ki. Tapi, begitulah cerita 
yang kudengar dalam dunia persilatan," bantah Dewa 
Arak, halus. Kemudian dengan raut wajah sungguh- 
sungguh ditatapnya wajah kakek berpakaian merah 
lekat-lekat "Agar percakapan kita berjalan lebih enak, 
bagaimana kalau kau memanggil namaku saja, Ki. 
Namaku yang sebenarnya, Arya Buana. Tapi, orang- 
orang biasa menyapaku Arya." 

"Begitu pun boleh, De..., eh! Arya...!" sambut Ki 
Blantaka datar. "O ya, Arya. Hampir saja aku lupa. 
Kau masih harus minum sekali lagi ramuan obatku 
agar pengaruh racun yang mengendap di tubuhmu le¬ 
nyap semua." 

Ki Blantaka segera mengambil gelas bamboo 
berisi ramuan obat yang dibuatnya. Kemudian dide¬ 
katkan gelas itu ke mulut Arya. 

Semerbak ramuan berbau agak pedas tercium 
hidung Dewa Arak. Tapi pemuda berambut putih kepe¬ 
rakan itu tidak mempedulikannya. Dan tanpa ragu- 
ragu, diminumnya ramuan obat itu hingga tuntas. 

"Sekarang beristirahatlah, Arya. Aku pergi dulu 
untuk menengok kawanmu. Seperti juga kau, dia pun 
harus minum ramuanku sekali lagi agar terbebas dari 
pengaruh racun itu." 

Kemudian tanpa menunggu tanggapan Dewa 
Arak, Ki Blantaka segera bangkit dan melangkah me¬ 
ninggalkan Dewa Arak. Sementara, Dewa Arak hanya 
memandangi punggung kakek berpakaian merah itu 
hingga lenyap di balik pintu. Lega sudah rasa harinya 
mendengar Melati berada di situ pula. Dan bahkan 
akan sembuh dari lukanya. Kini tanpa perasaan cemas 
lagi, sepasang matanya dipejamkan. Memang untuk 
membunuh waktu, hanya dengan tidur. 


Matahari sudah naik tinggi, bahkan sudah 
hampir mencapai titik tengahnya ketika tiga sosok tu¬ 
buh duduk di teras depan sebuah pondok berdinding 
bilik. Tiga sosok itu terdiri dari dua orang laki-laki dan 
seorang wanita. Mereka memang Dewa Arak, Melati, 
dan Ki Blantaka yang tengah duduk saling berhadapan 
beralaskan tikar daun kelapa. 

"Kalau kau tak keberatan, aku ingin mengaju¬ 
kan sebuah pertanyaan padamu, Ki," ucap Arya. 

Wajah pemuda berambut putih keperakan itu 
terlihat sudah cerah kembali, setelah mendapat pera¬ 
watan dari Ki Blantaka. Dewa Arak benar-benar telah 
sehat kembali. Seluruh kemampuannya pun telah pu¬ 
lih. 

"Ajukan saja, Arya. Kalau bisa, tentu akan ku¬ 
jawab," sambut Ki Blantaka, ringan. 

"Terlebih dulu aku minta maaf, Ki. Bukannya 
bermaksud turut campur, tapi aku hanya merasa he- 
ran. Mengapa seorang ketua perkumpulan besar seper- 
timu, meninggalkan perguruan? Mungkinkah ini ada 
hubungannya dengan kemurungan yang tengah me¬ 
landamu?" tanya Dewa Arak hati-hati. 

"Hanya itu yang ingin kau tanyakan, Arya?" 
tanya Ki Blantaka kalem. 

Dewa Arak mengangguk. Sedangkan Ki Blan¬ 
taka langsung terdiam. 

"Dugaanmu tidak salah, Arya. Aku mening¬ 
galkan perguruan memang berhubungan erat dengan 
kemuraman wajahku," ujar Ki Blantaka memulai pen¬ 
jelasan. "Hal ini karena tiga orang adik seperguruanku 
tidak puas dengan tindakan yang kuambil. Setelah 
Perguruan Kalong Merah kubawa ke jalan putih, mere¬ 
ka pergi diam-diam. Yang lebih celaka lagi, mereka 
membawa lari kitab-kitab berisi ilmu-ilmu peninggalan 
Kalong Merah!" 

Sampai di sini, Ki Blantaka menghentikan ceri¬ 
ta. Dibasahinya tenggorokan yang terasa kering den¬ 
gan air ludahnya sendiri. Sekilas ditatapnya Dewa 
Arak untuk melihat tanggapannya. Tapi ternyata Dewa 
Arak lebih memilih diam dan mendengarkan. 

"Semula aku bersikap diam. Kupikir, kalau me¬ 
reka memang tidak mau mengikuti jalanku dan ingin 
menentukan jalan sendiri, biarlah. Tapi kejadian demi 
kejadian yang menimpa dunia persilatan, memaksaku 
untuk turun tangan." 

"Kejadian apa saja, Ki?" tanya Melati, ingin ta¬ 
hu. 

"Penculikan besar-besaran terhadap wanita- 
wanita yang masih gadis," jelas Ki Blantaka. "Semula 
aku masih ragu kalau pelakunya adalah adik-adik se¬ 
perguruanku. Tapi bukti-bukti yang berhasil kudapat, 
menjelaskan kalau merekalah dalang dari semua keja- 
dian itu." 

Dewa Arak mengangguk-angguk. Memang, Pra- 
kosa sebelum mati juga telah menjelaskan hal itu. Se¬ 
mula, mereka hanyalah gerombolan perampok biasa. 
Tapi, ternyata ada seorang tokoh yang memaksa mere¬ 
ka untuk mencari perawan sebanyak-banyaknya. Gag¬ 
al berarti maut! 

Hanya saja Dewa Arak dan Melati tidak me¬ 
nyangka kalau dalang di belakang layar itu adalah pe¬ 
larian-pelarian dari Perguruan Kalong Merah! Yang 
mereka tahu, dalang itu adalah seorang tokoh yang 
berjuluk Harimau Baja! 

Dan sebenarnya, Harimau Bajalah yang me¬ 
nundukkan gerombolan demi gerombolan perampok, 
yang kemudian diperintahkan mencari perawan- 
perawan. Bagi yang tidak taat, langsung dibinasakan. 

"Itulah cerdiknya mereka, Arya. Kalau saja, 
penculikan-penculikan itu dilakukan sendiri, tentu da¬ 
lam waktu tak lama aku tahu. Dan memang, mereka 
takut kalau aku akan menghalangi maksud mereka. 
Kalau yang disuruh adalah gerombolan-gerombolan 
rampok, siapa yang dapat menduga? Hhh...! Sama se¬ 
kali tidak kusangka kalau tiga orang adik sepergurua¬ 
nku akan memiliki anak-anak buah yang tersebar. As¬ 
al tahu saja. Para pengeroyok kalian di kedai waktu itu 
adalah anak buah tiga adik seperguruanku." 

"Ah...!" 

Hampir berbareng Dewa Arak dan Melati berse¬ 
ru kaget, karena sama sekali tidak menyangka. Ru¬ 
panya, kedua pendekar muda itu sudah masuk inca¬ 
ran tanpa disadari. 

"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ki?" 
tanya Dewa Arak tak kuat menahan rasa ingin tahu. 

"Dari racun yang masuk ke dalam tubuh ka- 
lian! Racun itu adalah milik leluhur kami yang berju¬ 
luk Kalong Merah!" tandas Ki Blantaka, tegas. 

Dewa Arak dan Melati saling berpandangan 
tanpa berkata-kata. Dan karena Ki Blantaka juga ber¬ 
diam diri. Keadaan menjadi hening. 

"Sekarang..., apa yang akan kau lakukan, Ki?!" 
tanya Dewa Arak, ingin tahu. 

"Sederhana saja. Mereka adalah adik-adik se¬ 
perguruanku. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk 
menghalangi tindakan mereka. Dan kalau mereka te¬ 
tap menentang, tidak ada jalan lain...." 

Sampai di sini Ki Blantaka menghentikan uca¬ 
pannya. Tapi itu pun sudah cukup bagi Dewa Arak 
dan Melati untuk mengetahui kelanjutannya. 

"Kapan kau akan berangkat, Ki?" tanya Melati. 

"Besok. Toh, aku sudah dapat memperkirakan 
di mana tempat tinggal mereka." 

"Di mana, Ki?" 

"Goa Kelelawar! Tempat tinggal almarhum Ka¬ 
long Merah dulu." 




Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati melesat ce¬ 
pat mendaki lereng Gunung Tongkeng. Gesit laksana 
kera dan cepat laksana bayangan, tubuh tiga tokoh 
sakti itu berkelebat cepat menuju puncaknya. Entah 
sudah berapa lama mereka berlari. Dan mendadak saja 
Dewa Arak menghentikan ayunan kakinya. Dan seke¬ 
tika pula, Ki Blantaka dan Melati berhenti melesat. 

"Ada apa, Arya?" tanya Ketua Perguruan Kalong 
Merah ingin tahu. 

"Rasanya aku mendengar suara orang merin¬ 
tih," sahut Dewa Arak. "Apakah kau mendengarnya, 
Ki?" 

Walau yang ditanya Ki Blantaka, tapi Melati 
ikut menjawab. Gadis berpakaian putih itu mengge¬ 
leng, sementara Ki Blantaka diam saja. 

"Tidak, Arya. Apakah kau mendengarnya?!" Ki 
Blantaka balas bertanya. 

"Benar, Ki. Tapi samar-samar. Sepertinya, asal¬ 
nya dari sana," Dewa Arak menuding ke arah sebelah 
kanan. 

"Kalau begitu, mari segera kita ke sana!" ajak Ki 
Blantaka. 

Sambutan Ki Blantaka yang demikian penuh 
semangat, sama sekali tidak disangka Dewa Arak. Dan 
Ketua Perguruan Kalong Merah itu memang punya 
alasan kuat bertindak demikian. Dia merasa penasa¬ 
ran terhadap Dewa Arak yang memiliki pendengaran 
jauh lebih tajam daripada dirinya. 

Mereka seketika bertiga melesat ke arah yang 
ditunjuk Dewa Arak. Dan ternyata, pendengaran pe¬ 
muda berambut putih keperakan itu mulai terbukti. 
Dari kejauhan, ketiga orang itu telah melihat adanya 
sosok-sosok yang bergeletakan di tanah. Maka mereka 
pun semakin mempercepat lari. 

Tak lama berlari, mereka telah berada di dekat 
sosok-sosok yang bergeletakan. Dan mereka bergegas 
memeriksanya. 

"Hey...! Bukankah mereka orang-orang yang be¬ 
rada di kedai, Kang. Merekalah yang mengeroyok kita!" 
seru Melati ketika mengenali sosok-sosok itu. 

Bukan hanya Dewa Arak saja yang mengang¬ 
guk. Ki Blantaka pun demikian. 

"Tapi ada satu yang bukan, Melati. Kau kenal 
dia?" sanggah Dewa Arak, seraya menunjuk ke satu 
arah. 

Melati mengarahkan pandang ke arah yang di¬ 
tunjukkan kekasihnya. Ternyata di situ tergolek seo¬ 
rang lelaki berpakaian coklat. 

"Bukankah orang ini yang memberi perlawanan 
terhadap serbuan perampok di Desa Banyu, Kang?!" 
kata Melati, seketika teringat pada kejadian di Desa 
Banyu beberapa waktu yang lalu. 

Dewa Arak mengangguk. 

"Apa tidak mungkin kalau dia yang telah mela¬ 
kukan semua ini." 

"Lebih baik kita tanyakan secara jelas pa¬ 
danya." 

Usai berkata demikian, Dewa Arak segera 
menghampiri laki-laki berpakaian coklat itu. Begitu 
sampai, tubuhnya langsung membungkuk. Disadari ti¬ 
dak ada gunanya memberikan pertolongan, karena lu¬ 
ka-luka yang diderita lelaki berpakaian coklat itu terla¬ 
lu parah. 

"Bisa terangkan, mengapa kau ada di sini, Ki 
sanak?!" tanya Dewa Arak setelah memberi totokan di 
beberapa bagian tubuh laki-laki berpakaian coklat, 
agar dapat menjawab secara lancar. 

"Aku ingin membasmi dalang tindakan terku¬ 
tuk ini!" tandas lelaki berpakaian coklat, ketika men¬ 
genali Dewa Arak dan Melati sebagai orang yang mem¬ 
punyai musuh sama. 

"Sepertinya kau mempunyai dendam hebat ter¬ 
hadap orang-orang jahat itu, Kisanak. Bisa dije¬ 
laskan?!" tanya Dewa Arak lagi. 

"Adikku diambil oleh iblis-iblis terkutuk itu. 
Dan dia tidak pernah kembali.... Aku selidiki berbulan- 
bulan, dengan dibantu Dewa Baju Emas. Tapi sayang, 
di saat hampir berhasil aku dihadang orang-orang itu. 
Hingga akhirnya, aku terluka. Aku mohon..., bantuan 
Dewa Baju Emas. Dan..., akh!" 

Sebelum sempat menyelesaikan ucapan, lelaki 
berpakaian coklat itu mengejang kaku dan diam tidak 
berkutik lagi. Nyawanya telah lebih dulu melayang ke 
alam baka. 

Dewa Arak bangkit berdiri. Dan seperti telah 
disepakati, mereka bertiga segera melesat ke Puncak 
Gunung Tongkeng. Memang, saat itu pula terdengar 
suara-suara pertarungan. 

Hanya dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak, 
Melati, dan Ki Blantaka telah berhasil menemukan 
sumber suara pertarungan yang melibatkan dua sosok 
tubuh. Bergegas, ketiga orang itu mendekati kancah 
sekitar pertarungan. 

Ketiga tokoh golongan putih ini baru menghen¬ 
tikan langkah, ketika telah berada dalam jarak lima 
tombak dari kancah pertarungan. Dan mereka segera 
memperhatikan pertarungan penuh perhatian. Meski¬ 
pun tokoh-tokoh yang tengah bertarung bergerak ce¬ 
pat, namun bagi mata Dewa Arak, Ki Blantaka, dan 
Melati, bukan persoalan untuk menyaksikannya. 

Tanpa menemui kesulitan, ketiganya dapat me¬ 
lihat ciri-ciri dua orang yang tengah bertarung. Yang 
seorang lelaki kekar dan gagah, terbungkus pakaian 
kuning emas. Sedangkan lawannya seseorang berwa¬ 
jah seperti raksasa. Tapi, tubuhnya justru lebih pen¬ 
dek dari manusia biasa. Dengan telanjang dada, tokoh 
raksasa kecil ini tampaknya lebih mirip bocah gembala 
yang bertampang seram. Dialah tokoh yang berjuluk 
Raksasa Tua! 

Hanya sekali lihat, baik Dewa Arak, Ki Blan- 
taka, maupun Melati, dapat menebak kalau lelaki ber¬ 
pakaian kuning emas ini adalah Dewa Baju Emas! To¬ 
koh persilatan golongan putih yang bermaksud me¬ 
numpas angkara murka dalang penculikan terhadap 
perawan-perawan suci! 

Sebenarnya, pertarungan itu telah berlangsung 
tak kurang dari sepuluh jurus. Dan kini Raksasa Tua 
tampak menggulingkan tubuhnya, mendekati Dewa 
Baju Emas. Kemudian langsung dilancarkannya se¬ 
rangan berupa sapuan kaki kanan. 

Jangan dianggap ringan serangan Raksasa Tua. 
Meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkan¬ 
dung di dalam sapuannya sanggup mematahkan ba¬ 
tang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelu¬ 
kan orang dewasa! 

Dewa Baju Emas pun tahu kedahsyatan se¬ 
rangan lawan. Itulah sebabnya, dia tidak berani ber¬ 
tindak main-main. Buru-buru kakinya menjejak, se¬ 
hingga tubuhnya melayang ke atas. Sehingga, seran¬ 
gan lawan hanya menyambar tempat kosong. 

Tapi Raksasa Tua juga bukan orang bodoh. 
Semua pergerakan Dewa Baju Emas telah diperhitung¬ 
kan. Maka, ketika Dewa Baju Emas mengelak dengan 
cara melompat ke atas, langsung saja dikirimkannya 
serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas 
dengan kaki kiri. 

Zebbb! 

Dewa Baju Emas tercekat melihat serangan lan¬ 
jutan ini. Apalagi ketika mengetahui, kalau bagian 
yang terancam adalah selangkangannya. Padahal, saat 
itu tubuhnya tengah berada di udara. Dan rasanya su¬ 
lit untuk dapat mengelak, kecuali dengan memapak. 
Maka seketika Dewa Baju Emas menghentakkan ka¬ 
kinya ke bawah. 

"Hih!" 

Blakkk! 

Benturan antara dua telapak kaki yang sama- 
sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dielakkan 
lagi. Akibatnya kedua batang kaki itu sama-sama ter¬ 
sentak balik. 

"Hup!" 

Pada saat Dewa Baju Emas mendarat di tanah, 
Raksasa Tua pun telah berhasil memperbaiki kedudu¬ 
kannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, laki-laki ber¬ 
tampang seram itu kembali menerjang Dewa Baju 
Emas. 

Tapi dalam serangan kali ini, Raksasa Tua su¬ 
dah mencabut sebuah tombak pendek yang tergeng¬ 
gam di tangan kanan. Dan dengan senjata itu, Dewa 
Baju Emas terus didesaknya. 

Melihat lawan telah menggunakan senjata, De¬ 
wa Baju Emas tidak berani ayal-ayalan. Disadari kalau 
kepandaian lawan belum tentu berada di bawahnya. 
Maka senjata andalannya pun dicabut. Kini sebuah 
pedang yang juga berwarna kuning emas telah ter¬ 
genggam di tangan kanan. 

Pertarungan semakin berjalan menarik. Bunyi 
decit angin tajam dari udara yang terobek akibat gera¬ 
kan dua senjata itu, menyemaraki pertarungan. Bebe¬ 
rapa kali bunyi berdentang nyaring diiringi berperci- 
kannya bunga api tercipta, manakala senjata-senjata 
itu saling berbenturan. 

Dalam waktu tak berapa lama, dua puluh jurus 
telah lewat. Dan selama itu, belum nampak adanya 
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Ru¬ 
panya, tingkat kepandaian kedua belah pihak berim¬ 
bang. 

Tapi menginjak jurus ketiga puluh satu, terjadi 
pembahan yang menegangkan. Dewa Baju Emas 
agaknya dalam bertarung seperti orang kebingungan. 
Beberapa kali pedangnya dikibaskan ke atas, baik be¬ 
rupa tangkisan maupun serangan. Padahal, saat itu 
Raksasa Tua melancarkan serangan secara mendatar. 

Hanya di saat-saat yang mengkhawatirkan, 
Dewa Baju Emas berhasil mengelakkan serangan. Itu 
pun hampir terlambat. Karena hal ini terjadi berulang- 
ulang, maka hanya dalam beberapa gebrakan saja De¬ 
wa Baju Emas telah terdesak hebat. Dari beberapa ba¬ 
gian tubuhnya mulai mengalirkan darah segar, karena 
beberapa kali terserempet tombak pendek Raksasa 
Tua. 

Tentu saja pembahan mendadak ini membuat 
Dewa Arak, Ki Blantaka, dan Melati merasa heran. 
Mengapa Dewa Baju Emas bertindak seperti itu? Seba¬ 
gai tokoh-tokoh yang berpengalaman, ketiga orang itu 
langsung bisa memperkirakan ada hal yang tidak 
beres. Bukan tidak mungkin Raksasa Tua berlaku cu¬ 
rang. Atau barangkali saja menggunakan ilmu hitam! 

Tapi Dewa Arak dan Ki Blantaka terpaksa ha¬ 
rus membuang dugaan itu. Mereka melihat sendiri, 
Raksasa Tua semula juga heran melihat sikap Dewa 
Baju Emas yang kelihatan kelabakan. Namun sesaat 
kemudian, hal seperti itu langsung digunakan untuk 
keuntungan dirinya. 

"Rasanya ada yang tidak beres, Ki," kata Dewa 
Arak agak pelan suaranya. 

"Aku pun menduga demikian, Arya," jawab Ki 
Blantaka. "Bukan tidak mungkin ini ada hubungannya 
dengan sihir. Tapi menumt pengamatanku, Raksasa 
Tua tidak menggunakannya." 

"Benar, Ki. Kalau begitu..., siapa? Rasanya ti¬ 
dak masuk akal orang luar membantu Raksasa Tua. 
Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan?" 

Ki Blantaka terdiam. Disadarinya ada kebena¬ 
ran juga dalam ucapan Dewa Arak. Dan mendadak dia 
tersentak. 

"Ah...!" seru Perguruan Kalong Merah. 

"Ada apa, Ki?" tanya Dewa Arak ketika merasa¬ 
kan adanya kegugupan dalam seruan Ki Blantaka. 

"Aku ingat...! Leluhurku..., Kalong Merah miliki 
ilmu seperti itu. Memang! Dia memiliki berbagai ilmu 
hitam yang tidak masuk akal, di samping ilmu silat 
dan keahlian racunnya. Salah satu di antaranya ada¬ 
lah ilmu sihir yang membuatnya mampu menguasai 
batin seseorang, meskipun tanpa bertatap muka...." 

"Berarti..., pelarian dari Perguruan Kalong Me¬ 
rah telah berhasil mendapatkan ilmu-ilmu itu," potong 
Dewa Arak, tidak sabar. 

"Kemungkinan besar juga demikian," jawab Ki 
Blantaka tidak berani memastikan. 

Ada nada kekhawatiran dalam ucapan Ketua 
Perguruan Kalong Merah ini. Tarikan wajahnya pun 
menyiratkan kecemasan yang tidak dapat disem¬ 
bunyikan. Kalau pelarian-pelarian dari perguruannya 
itu berhasil mendapatkan ilmu itu, jelas ketenteraman 
dunia bakal goyah. 

" Segera akan kucari mereka, Ki!" 

Tanpa menunggu sambutan Ki Blantaka, Dewa 
Arak segera meninggalkan tempat itu. Tujuannya Goa 
Kalong seperti yang diceritakan Ki Blantaka. 

Ki Blantaka hanya dapat menghela napas berat, 
karena dia memang tak mungkin ikut Dewa Arak. Ke¬ 
selamatan Dewa Baju Emas tampaknya tengah teran¬ 
cam. Dan Ki Blantaka pun bersiap-siap memberi perto¬ 
longan bila diperlukan. 

Sementara, Melati begitu melihat kekasihnya 
meninggalkan tempat itu, segera menyusulnya. Se¬ 
dangkan Ki Blantaka tidak bisa menahannya. 

Dan begitu tatapan Ki Blantaka beralih ke arah 
pertarungan, keadaan Dewa Baju Emas semakin ber¬ 
tambah gawat. Bahkan beberapa kali ujung tombak 
lawan menggores kulitnya, sehingga cukup membuat 
darah mengalir. Dan karena lukanya cukup banyak, 
sekujur tubuh Dewa Baju Emas kini telah dibanjiri ali¬ 
ran darah! 

Sebenarnya luka-luka yang diderita Dewa Baju 
Emas sama sekali tidak parah. Tapi karena tidak 
mempunyai kesempatan untuk menghentikan aliran 
darahnya, tenaganya jadi berkurang secara cepat. 

"Akh!" 

Dewa Baju Emas menjerit tertahan ketika kaki 
lawan menghantam telak perutnya. Untung, bagian itu 
telah lebih dulu dilindungi dengan tenaga dalam. 

Meskipun demikian, tubuh Dewa Baju Emas 
tak urung terjengkang jauh ke belakang dan terguling- 
guling di tanah dengan napas sesak! Dan saat itulah, 
Raksasa Tua mengirimkan serangan susulan. Tom¬ 
baknya langsung diluncurkan ke arah leher Dewa Baju 
Emas! 

Menyadari akan adanya bahaya maut terhadap 
Dewa Baju Emas, Ki Blantaka tidak tinggal diam. Ce¬ 
pat-cepat tubuhnya melesat. Langsung dipapaknya se¬ 
rangan tombak itu dengan tongkatnya. 

Trangngng! 

Bunga-bunga api seketika berpijar, karena sak¬ 
ing kerasnya pertemuan antara dua senjata itu. Dan 
akibatnya, tubuh Raksasa Tua terjengkang ke bela¬ 
kang. Sedangkan, Ki Blantaka hanya terhuyung- 
huyung tiga langkah. Dari sini bisa diukur kalau tena¬ 
ga dalam Ketua Perguruan Kalong Merah ini berada 
jauh di atas lawannya. 

Namun baru saja, Ki Blantaka hendak mengi¬ 
rimkan serangan susulan terhadap Raksasa Tua, tiba- 
tiba sepasang matanya menangkap adanya sosok besar 
di angkasa. Terpaksa Ketua Perguruan Kalong Merah 
ini membatalkan maksudnya. Dan begitu pandangan¬ 
nya diarahkan ke sana, sepasang mata Ki Blantaka 
langsung terbelalak. 

Ternyata di angkasa tampak seekor kalong rak¬ 
sasa merah yang besarnya seukuran tubuh manusia, 
tengah meluncur deras ke arahnya. Gigi-gigi runcing 
hewan malam yang meluruk cepat ini tertuju ke arah 
leher Ki Blantaka. 

Tentu saja Ki Blantaka tidak ingin mati konyol. 
Buru-buru serangan hewan itu dipapaknya, dengan 
tusukan tombaknya ke arah perut. 

Melihat serangan tombak, kalong raksasa itu 
langsung membatalkan serangannya. Maka Ki Blan¬ 
taka pun selamat dari maut. Namun, Ketua Perguruan 
Kalong Merah ini tidak bernapas lega, karena Raksasa 
Tua telah melancarkan serangan. 


kkk 


Sementara itu, Dewa Arak telah tiba di sebuah 
goa yang telah ditunjukkan Ki Blantaka. Goa Kalong. 

Dewa Arak menatap goa di hadapannya seje¬ 
nak, kemudian melangkah hati-hati, masuk ke dalam¬ 
nya. Sekujur urat saraf dan otot tubuhnya menegang 
waspada. Tampaknya, dia jelas siap menghadapi sega¬ 
la kemungkinan. 

Goa Kalong ternyata hanya mempunyai sebuah 
lorong, dan tidak begitu panjang. Tak sampai sepuluh 
tombak, Dewa Arak telah melihat adanya sinar terang 
di depan. Bergegas pemuda berambut putih keperakan 
ini mendekati. 

Ternyata, di dalam goa terdapat sebuah ruang¬ 
an luas yang kanan kirinya tertutup dinding-dinding 
tebing, namun bagian atasnya terbuka. Di sana tam¬ 
paklah tiga sosok tengah duduk bersila, berjajar saling 
bergenggaman satu tangan. Sepasang mata mereka di¬ 
pejamkan. Tanpa berpikir lebih lama, Arya tahu kalau 
mereka tengah menyatukan kekuatan untuk mengi¬ 
rimkan ilmu hitam! Pantas saja, tadi Dewa Baju Emas 
kelabakan! 

Agak tercekat hati Dewa Arak ketika melihat 
kalau tiga sosok itu mengenakan topeng harimau pada 
wajahnya. Hanya pakaian yang membedakan mereka. 
Yang berpakaian hitam, berjuluk Harimau Baja. Se¬ 
mentara yang berpakaian putih perak, berjuluk Hari¬ 
mau Perak. Sedangkan yang berpakaian kuning emas 
berjuluk Harimau Emas. Dan apabila mereka berga¬ 
bung julukannya adalah Tiga Harimau Sakti! 

"Keparat! Orang-orang seperti kalian tidak 
layak dibiarkan hidup!" desis Dewa Arak begitu terin¬ 
gat akan tujuannya ke tempat ini. 

Usai berkata demikian, Dewa Arak melompat. 
Kemudian dari atas, laksana burung garuda mener¬ 
kam mangsa, tubuhnya meluruk ke arah Tiga Harimau 
Sakti. 

Wurrr! 

Deru angin keras yang mengawali tibanya se¬ 
rangan Dewa Arak, membuat Tiga Harimau Sakti me¬ 
nyadari akan adanya bahaya mengancam. Dan seketi¬ 
ka mereka langsung bergerak, menyambut serangan 
itu. 

Wut, wut, wut! 

Tak, tak, tak! 

Tubuh Tiga Harimau Sakti langsung terjeng¬ 
kang ke belakang ketika tangan-tangan mereka ber¬ 
benturan dengan tangan Dewa Arak. Seketika ketiga 
orang itu terkejut bukan kepalang, karena tangan- 
tangan mereka terasa sakit-sakit dan seperti lumpuh! 

Demikian pula yang dialami Dewa Arak. Tu¬ 
buhnya sampai terpental balik ke belakang, namun 
dengan sebuah gerakan indah berhasil mendarat rin¬ 
gan di tanah. 

Kali ini, Dewa Arak kalah cepat Karena Tiga Ha¬ 
rimau Sakti sudah keburu melancarkan serangan, 
menerjang dari tiga jurusan. Gerakan mereka cepat 
bukan kepalang, sehingga serangan yang dikirimkan 
menimbulkan bunyi deru mencicit 

Wut, wut, wut! 

Tiga Harimau Sakti menyadari bahaya yang 
mengancam. Dan seketika mereka pun langsung ber¬ 
gerak, menyambut serangan itu . 




Dewa Arak tidak mau membuang-buang waktu 
lagi. Dalam gerakan cepat, araknya segera dituang ke 
mulutnya. 

Gluk.... Gluk.... Gluk...! 

Terdengar suara tegukan, ketika arak itu lewat 
di tenggorokannya. Sebentar kemudian, langkah Dewa 
Arak sudah terhuyung-huyung seperti akan jatuh. Ge¬ 
rakan lewat ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak 
berhasil membuat serangan lawan-lawannya kandas. 

Gampang saja tubuhnya menyelinap di antara tubuh 
lawan-lawannya. 

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa 
Arak. Dengan jurus 'Belalang Mabuk', langsung dilan- 
carkanya serangan balasan. 

Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. 

Dahsyat dan mengiriskan. Masing-masing pi¬ 
hak mengerahkan seluruh kemampuan. Gerakan- 
gerakan Tiga Harimau Sakti begitu terarah, seperti ter¬ 
diri dari satu pikiran. Mereka dapat saling mengisi dan 
melindungi. Kalau saja Dewa Arak tidak menggunakan 
ilmu 'Belalang Sakti', sudah sejak tadi berhasil diro¬ 
bohkan. 

Lima puluh jurus telah lewat. Dan selama itu, 
belum nampak tanda-tanda adanya pihak yang bakal 
dirobohkan. Jalannya pertarungan masih berimbang, 
dan saling berganti melancarkan serangan. 

Menggiriskan setiap kali tokoh-tokoh ini melan¬ 
carkan serangan. Bunyi mendecit, menderu, dan men- 
gaung langsung terdengar mengisi tiap ruang dan wak¬ 
tu. Tanah pun terbongkar di sana-sini, memporakpo- 
randakan sekitarnya. 

Di jurus kelima puluh tiga, bagai telah berse¬ 
pakat sebelumnya, Tiga Harimau Sakti mendadak 
menghentikan gerakan masing-masing. Kemudian me¬ 
reka melangkah mundur, sehingga membuat Dewa 
Arak heran. 

"Mengapa Tiga Harimau Sakti menghentikan 
penyerangannya?" tanya Dewa Arak dalam hati. 

Pendekar muda yang menggemparkan dunia 
persilatan ini pun menghentikan gerakannya. Diperha¬ 
tikannya dengan seksama semua tindakan Tiga Hari¬ 
mau Sakti. 

Sementara itu, Tiga Harimau Sakti malah ber- 
diri berjajar dengan tangan saling bergandengan satu 
sama lain. Yang berada di kiri dan kanan segera men¬ 
cabut ganco yang terselip di pinggang. Sedangkan yang 
berada di tengah tetap menancapkan ganconya di 
pinggangnya. 

Laki-laki yang berada di sebelah kiri mengha¬ 
dapkan ujung ganconya ke bumi. Sedangkan yang di 
sebelah kanan ke langit. Sementara, dari mulut-mulut 
mereka keluar gumaman-gumaman yang asing di te¬ 
linga. Sulit dimengerti, dan sulit ditangkap secara je¬ 
las. Semakin lama, suara itu semakin cepat dan keras 
diucapkan. 

Semula Dewa Arak merasa heran melihat ting¬ 
kah lawan-lawannya. Tapi, sebentar kemudian ber¬ 
ganti kaget, ketika pemuda berambut putih keperakan 
ini merasakan perubahan pada suasana di sekitarnya. 
Semula suasana cerah. Tapi beberapa saat kemudian, 
seiring semakin keras dan cepatnya gumaman- 
gumaman aneh yang keluar dari mulut Tiga Harimau 
Sakti, tiba-tiba saja langit berubah gelap pekat. Awan 
hitam tampak bergumpal-gumpal. Angin pun berhem¬ 
bus kencang, membawa hawa dingin yang mampu 
membuat orang sesakti Dewa Arak meremang bulunya! 
Bahkan keadaan seperti itu masih ditingkahi kilat yang 
menyambar-nyambar. 

Dewa Arak agak gugup menghadapi kenyataan 
ini. Apalagi ketika sekujur tubuhnya terasa mulai le¬ 
mas. Sekujur otot, urat, dan tulang-belulangnya seper¬ 
ti lumpuh, sehingga tenaga dalamnya tidak mampu di¬ 
kerahkan. 

"Sihir...!" desis hati Dewa Arak ketika mulai 
menyadari adanya ketidakberesan ini. 

Setelah menyadari kalau semua keanehan ini 
tercipta karena pengaruh sihir, Dewa Arak pun menge- 
rahkan kekuatan batinnya untuk melawannya. Selu¬ 
ruh perhatianya dipusatkan, maka pertarungan yang 
aneh pun berlangsung. Tiga Harimau Sakti yang ber¬ 
gandengan tangan sambil mengucapkan rangkaian ka¬ 
ta-kata dalam nada dan ketinggian berganti-ganti, se¬ 
mentara Dewa Arak yang berdiri tegak dengan kedua 
tangan terlipat di bahu dan mata dipejamkan serta ke¬ 
pala ditundukkan. 

Dewa Arak berusaha sekuat tenaga memu¬ 
satkan tenaga batinnya, sehingga sekujur wajahnya 
dipenuhi keringat sebesar-besar jagung. Namun, tetap 
saja usahanya sia-sia. Dan semua keanehan itu tetap 
saja tidak mampu diusirnya. 

Dewa Arak memang belum menyadari kesala¬ 
han yang diperbuatnya. Dan inilah yang menjadi pe¬ 
nyebab ketidakberhasilan nya dalam mengusir penga¬ 
ruh yang ditimbulkan lawan. Dia baru mulai menga¬ 
dakan perlawanan, di saat tindakan lawan telah mem¬ 
pengaruhinya. 

Dan seiring kegagalan usaha perlawanan Dewa 
Arak, pengaruh ilmu Tiga Harimau Sakti pun semakin 
menjadi-jadi. Pemuda itu mulai menggigil kedinginan, 
karena angin dingin yang berhembus membawa butir- 
butir es yang kemudian menempel di tubuhnya. 

Di saat-saat terakhir, ketika tubuhnya sudah 
tidak berdiri tegak lagi, Dewa Arak teringat gucinya. 
Maka seluruh sisa-sisa kemampuan yang dimilikinya 
segera dikerahkan untuk mengambil gucinya yang ter¬ 
sampir di punggung. Dan begitu berhasil meng¬ 
genggam guci araknya, buru-buru dituangkannya ke 
mulut. 

Gluk.... Gluk... Gluk...! 

Suara tegukan terdengar ketika arak itu mele¬ 
wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya me- 
nuju ke perut. Sesaat kemudian, hawa hangat pun 
berputaran di sekitar perutnya. Lalu, hawa panas itu 
perlahan-lahan naik ke atas. Dan seketika kedudukan 
kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap lagi, oleng sana 
oleng sini. 

Pada saat itu, perkataan-perkataan Tiga Hari¬ 
mau Sakti terdengar semakin cepat dan keras di telin¬ 
ga Dewa Arak. Bahkan seperti suara dalam kepalanya. 

"Arrrggghhh...!" 

Dalam usahanya untuk menghilangkan suara 
Tiga Harimau Sakti yang seperti telah memenuhi isi 
kepalanya, Dewa Arak meraung keras, sehingga mem¬ 
buat suasana di sekitar tempat itu seperti bergetar. 

Dan memang sungguh dahsyat raungan Dewa 
Arak. Akibatnya, tubuh Tiga Harimau Sakti langsung 
terjengkang ke belakang. Di sudut mulut mereka meni¬ 
tik darah segar. Rupanya, Tiga Harimau Sakti terluka 
dalam cukup parah, akibat raungan Dewa Arak yang 
dikerahkan lewat tenaga dalam penuh. 

Mendapat kenyataan ini, Tiga Harimau Sakti ti¬ 
dak menjadi gentar. Mereka kembali tegak dan bersiap 
mengadakan perlawanan kembali. Namun pada saat 
yang sama, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat, 
dan mendarat di sebelah Dewa Arak. Ternyata, mereka 
adalah Ki Blantaka dan Melati. 

Melati tadi memang sempat kehilangan jejak 
Dewa Arak, sehingga tersesat. Untung gadis itu dalam 
pencariannya bisa bertemu Ki Blantaka. 

"Bagaimana dengan Raksasa Tua, Ki?" tanya 
Dewa Arak, ingin tahu. 

"Tewas!" jawab Ketua Perguruan Kalong Merah 
singkat. 

Sepasang mata laki-laki tua itu diarahkan pada 
Tiga Harimau Sakti. Dia tahu, wajah di balik topeng itu 
adalah adik-adik seperguruannya. 

"Sebelum terlambat, lebih baik kalian ikut ber¬ 
samaku ke perguruan untuk mempertanggung¬ 
jawabkan semua perbuatan kalian...." 

"Haaat..!" 

Teriakan keras Tiga Harimau Sakti, menjadi ja¬ 
waban atas tawaran yang diajukan Ki Blantaka. Mau 
tidak mau, Ketua Perguruan Kalong Merah itu me¬ 
nyambutnya dengan kekerasan pula. 

Tentu saja Dewa Arak dan Melati tidak tinggal 
diam. Maka pertarungan pun terpecah menjadi tiga 
bagian. Dewa Arak menghadapi Harimau Emas. Ki 
Blantaka berhadapan dengan Harimau Perak, se¬ 
dangkan Melati bertarung dengan Harimau Baja. Mas¬ 
ing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan 
yang dimiliki. 

Sementara itu Harimau Emas dan Dewa Arak 
telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pelarian Per¬ 
guruan Kalong Merah yang memiliki kemampuan pal¬ 
ing hebat dibanding rekan-rekannya itu melancarkan 
serangan bertubi. Bahkan saat itu, mengirimkan se¬ 
buah tendangan kaki kanan miring ke arah leher. 

Wuttt! 

Deru angin keras yang terdengar, menjadi per¬ 
tanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung di da¬ 
lamnya. 

Dewa Arak pun menyadarinya, sehingga tidak 
berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik 
ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, 
kaki Harimau Emas hanya mengenai tempat kosong. 

Dan begitu serangan lawan berhasil dikan- 
daskan, Dewa Arak meluncurkan tangan kirinya untuk 
menangkap pergelangan kaki Harimau Emas yang be¬ 
lum sempat ditarik kembali. 

Tappp! 

Tangkapan Dewa Arak hanya mengenai tempat 
kosong, karena Harimau Emas telah lebih dulu mena¬ 
rik kakinya. Bahkan laki-laki berpakaian kuning emas 
itu langsung mengirimkan serangan balasan yang tak 
kalah dahsyat. Tangannya langsung dikibaskan, se¬ 
hingga segundukan angin keras meluncur ke arah De¬ 
wa Arak. 

Untungnya Dewa Arak tidak gugup. Maka be¬ 
gitu merasakan adanya sambaran angin keras yang 
mampu membuat tubuhnya bertumbangan, langsung 
tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua kakinya. Se¬ 
hingga, kedua kaki Dewa Arak seperti berakar dengan 
bumi. Maka begitu angin keras menghantam tubuh¬ 
nya, Dewa Arak sama sekali tidak bergeming. Hanya 
rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras, men¬ 
jadi pertanda kalau pemuda berambut putih kepera¬ 
kan itu baru saja dilanda segundukan angin keras. 

Melihat serangannya sama sekali tidak mem¬ 
buahkan hasil yang diharapkan, Harimau Emas men¬ 
jadi geram bukan kepalang. 

"Keparat! Pantas kau berani bersikap kurang 
ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki sedikit ke¬ 
pandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!" 

Kali ini pelarian dari Perguruan Kalong Merah 
itu tidak segan-segan lagi melancarkan serangan. 
Langsung saja dikirimkan sebuah tendangan kaki ka¬ 
nan lurus ke arah dada Dewa Arak. 

Wuttt! 

Deru angin keras yang mengiringi tibanya se¬ 
rangan menjadi pertanda betapa kuatnya tenaga yang 
tersalur di dalamnya. 

Tapi, Dewa Arak tetap bertindak tenang. Kaki 
kanannya segera ditarik ke belakang, seraya mencon¬ 
dongkan tubuh. Dia tahu, meskipun hanya bertindak 
demikian, serangan Harimau Emas telah dapat dielak- 
kannya. 

Namun betapa kagetnya hati pemuda berambut 
putih keperakan itu, ketika melihat kaki Harimau 
Emas tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, dia 
telah melangkah mundur! Hal ini membuat Dewa Arak 
sedikit gugup, walau hanya sebentar saja. Maka den¬ 
gan agak tergesa-gesa, Dewa Arak masih sempat men¬ 
jejakkan kakinya, sehingga tubuhnya terlempar ke be¬ 
lakang. 

Wuttt! 

Tendangan Harimau Emas meluncur beberapa 
jari di bawah kaki Dewa Arak. Terlambat sedikit saja, 
kaki pelarian Perguruan Kalong Merah itu akan lebih 
dulu bersarang di anggota tubuh Dewa Arak. 

Jliggg! 

Setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di 
udara, Dewa Arak mendaratkan sepasang kakinya di 
tanah dengan mantap. Dan secepat itu pula, dia ber¬ 
siap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya. 

Namun ternyata, Harimau Emas belum melan¬ 
carkan serangan susulan. Malah, sekujur tubuh Dewa 
Arak dirayapinya penuh selidik. 

Sementara itu, Dewa Arak tidak berani bertin¬ 
dak sembrono lagi. Dewa Arak tahu, mengapa kaki la¬ 
wan tetap mengejar. Pasti karena pelarian Perguruan 
Kalong Merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki 
atau tangannya dapat memanjang. 

Kesimpulan yang didapat Dewa Arak ini, tidak 
dilakukan secara sembarangan. Dewa Arak tahu, me- 
mang ada ilmu semacam itu di dunia persilatan. Bah¬ 
kan Melati pun memilikinya. Sehingga tangannya bisa 
dipanjangkan hampir dua kali lipat, ketika jurus 'Naga 
Merah Mengulur Kuku’, telah dikeluarkannya. 

Tapi Dewa Arak tidak bisa terlalu lama tengge¬ 
lam dalam alun pikiran itu. Lawan di hadapannya 
memang teramat tangguh. Kalau bertindak sembrono, 
nyawa taruhannya. 

Sementara Harimau Emas sendiri rupanya su¬ 
dah merasa cukup memperhatikan lawannya. Dan se¬ 
karang, dia mulai bersiap membuka serangan kembali. 

"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya pantas 
untuk menjadi lawanku," puji Harimau Emas dingin. 
"Tapi jangan berbangga hati dulu. Sekarang, kau ber¬ 
siaplah, Anak Muda. Aku akan memulai pertarungan 
yang sebenarnya. Hadapilah ilmu 'Tinju Topan dan Ge- 
ledek'-ku ini!" 

Usai berkata demikian, Harimau Emas itu me¬ 
nyilangkan kedua tangannya yang terkepal erat di de¬ 
pan dada. Kemudian dengan gerakan perlahan-lahan 
tapi penuh tenaga, kedua tangannya ditarik ke sisi 
pinggang. Bunyi berkerotokan seperti ada tulang- 
tulang berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu. 

Melihat hal ini, Dewa Arak tidak berani main- 
main. Disadari kalau ilmu yang akan dikeluarkan la¬ 
wan ini amat dahsyat. Maka, guci arak yang tergan¬ 
tung di punggung segera diraihnya, kemudian ditua¬ 
ngkan ke mulut 

Gluk... Gluk... Gluk...! 

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mele¬ 
wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya me¬ 
nuju ke perut. Ada hawa hangat menyebar di sana. 
Kemudian secara perlahan-lahan, hawa itu naik ke 
atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki pemuda beram- 
but putih keperakan itu pun oleng. Kini Dewa Arak te¬ 
lah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. 

Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dari 
perhatian Harimau Emas. Tampak ada kerutan pada 
kedua alis pelarian Perguruan Kalong Merah itu, me¬ 
nandakan keheranannya. 

Tapi Harimau Emas tidak membiarkan pera¬ 
saan bingung terus bermain-main dalam benaknya. 
Dia dapat menduga, pasti ilmu yang akan dikeluarkan 
Dewa Arak adalah sebuah ilmu andalan. Memang tidak 
sedikit ilmu yang kelihatannya aneh, tapi di dalamnya 
terkandung kedahsyatan mengiriskan! 

Seiring timbulnya pikiran seperti itu, Harimau 
Emas pun memusatkan perhatian pada ilmu yang ten¬ 
gah dikeluarkannya. Kemudian.... 

"Haaat..!" 

Diawali sebuah teriakan keras menggeledek 
yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar 
hebat, Harimau Emas mulai melancarkan serangan 
pembukaan. Tak tanggung-tanggung lagi, langsung di¬ 
kirimkannya pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi 
ke arah dada Dewa Arak. Bunyi ledakan keras seperti 
ada halilintar menyambar-nyambar mengiringi melun¬ 
curnya serangan. 

Memang kelihatannya berbahaya bukan kepa¬ 
lang serangan Harimau Emas. Karena di samping diali¬ 
ri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kece¬ 
patan menakjubkan. 

Tapi orang yang diserang memang telah siap 
dengan penggunaan ilmu 'Belalang Sakti' -nya. Tanpa 
menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil 
membuat serangan itu kandas dengan gerakan seperti 
orang akan jatuh. 

Karuan saja hal itu membuat Harimau Emas 
penasaran bukan kepalang. Segera disusulinya dengan 
serangan berikut yang tidak kalah dahsyat. Dan seper¬ 
ti juga serangan pertamanya, kali ini pun bunyi mele¬ 
dak-ledak timbul, seiring meluncurnya serangan. Per¬ 
tarungan dahsyat dan menarik pun, tidak bisa dihin¬ 
darkan lagi. 

Harimau Emas benar-benar dipaksa mengelua¬ 
rkan seluruh kemampuannya yang bertubi-tubi dan 
susul-menyusul. Namun semua itu berhasil dikan¬ 
daskan lawan dengan gerakan aneh, bahkan berlang¬ 
sung sampai lima jurus! 

Kegagalan demi kegagalan serangannya, mem¬ 
buat pelarian Perguruan Kalong Merah itu penasaran 
bukan kepalang. Apalagi, sampai saat itu Dewa Arak 
belum melancarkan serangan balasan. Tentu saja ini 
membuatnya merasa diremehkan. Dalam cekaman ra¬ 
sa penasaran dan marah, Harimau Emas langsung 
mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan 
Geledek'! 

"Hih!" 

Laksana gasing, tubuh Harimau Emas berpus- 
ing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan 
dan kakinya mencuat dari balik putarannya. Jelas ini 
serangan berbahaya, karena meluncurnya sama sekali 
tidak disangka-sangka. 

Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat pe¬ 
rubahan serangan lawannya. Dan patut diakui, ilmu 
itu memang luar biasa! Keadaan tubuh Harimau Emas 
yang berputaran, membuat Dewa Arak sulit melancar¬ 
kan serangan. Sebaliknya, Harimau Emas enak saja 
melancarkan serangan. Dengan sendirinya, kedudukan 
pelarian Perguruan Kalong Merah jadi lebih mengun¬ 
tungkan. 

Untung saja Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang 
Sakti' yang ajaib, sehingga mampu melakukan gerakan 
sesulit apa pun, dalam keadaan bagaimanapun. Den¬ 
gan jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupa¬ 
kan kumpulan dari langkah-langkah khas untuk 
menghindari serangan, jelas membuat heran orang 
yang menyaksikannya. 

Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' itu¬ 
lah, Dewa Arak mampu menghindari setiap serangan 
Harimau Emas hingga lebih dari sepuluh jurus! Kenya¬ 
taan ini membuat bulu kuduk pelarian Perguruan Ka¬ 
long Merah meremang! Selama hidupnya, belum per¬ 
nah ditemukan ada seorang lawan pun yang mampu 
memusnahkan serangannya hanya dengan mengelak. 
Apalagi selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana, 
pemilik Pulau Es saja tidak mampu bertindak seperti 
ini! 

Tidak aneh kalau hal itu membuat Harimau 
Emas semakin kalap. Maka kedahsyatan serangannya 
pun terus ditingkatkan. 

Akibatnya langsung diterima Dewa Arak. Dira¬ 
sakannya, betapa tekanan serangan-serangan lawan 
semakin dahsyat. Apabila diumpamakan ombak, maka 
itulah ombak setinggi bukit yang menyerangnya. 

Dan memang kelihatannya Dewa Arak berada 
dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang dilakukannya 
hanya terus-menerus mengelak. 

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Hal ini ti¬ 
dak aneh, karena kedua belah pihak sama-sama me¬ 
miliki gerakan cepat. Bahkan, tak terasa pertarungan 
telah berlangsung lima belas jurus. Dan selama ini, 
Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu 
meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus 
'Delapan Langkah Belalang' untuk mematahkan setiap 
serangan lawan. 

Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas 
jurus, Dewa Arak memutuskan untuk merubah cara 
bertarungnya! 

"Hih!" 

Wuttt! 

Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan Hari¬ 
mau Emas mencuat dari dalam putaran tubuhnya. Tak 
tanggung-tanggung lagi, sasaran yang dituju adalah 
ubun-ubun, tempat yang mematikan di tubuh manu¬ 
sia! 

Sementara Dewa Arak benar-benar melaksana¬ 
kan rencananya. Begitu melihat kepalan Harimau 
Emas meluncur, langsung dipapaknya dengan tinju 
kanan pula. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, seluruh te¬ 
naga dalamnya dikeluarkannya dalam pengerahan ju¬ 
rus 'Tenaga Sakti Inti Matahari'! 

Wuttt! 

Hawa panas menyengat menyebar seiring me¬ 
luncurnya tinju Dewa Arak. Itu pun masih ditambah 
adanya kepulan asap tipis dari sekujur tubuhnya. Se¬ 
saat kemudian.... 

Dukkk! 

Dahsyat bukan kepalang benturan yang terjadi 
antara dua kepalan yang sama-sama dialiri tenaga da¬ 
lam tinggi. Bunyi menggelegar laksana halilintar me¬ 
nyambar langsung terdengar! Akibat selanjutnya, tu¬ 
buh dua tokoh sakti itu sama-sama terpental ke bela¬ 
kang. 

Tapi dengan sebuah gerakan manis, baik Dewa 
Arak maupun Harimau Emas mampu mematahkan 
kekuatan yang membuat tubuh terhuyung-huyung. 

Dan di saat tengah berada di udara, Dewa Arak cepat 
menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus 
'Pukulan Belalang'! 

Wusss! Bresss! 

"Aaakh...!" 

Harimau Emas kontan menjerit menyayat keti¬ 
ka pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam telak 
dadanya. Tubuhnya langsung melayang deras ke bela¬ 
kang seperti daun kering dihembus angin. Saat itu ju¬ 
ga, nyawanya melayang ke alam baka dengan tubuh 
gosong. 

Ringan tanpa suara, Dewa Arak mendaratkan 
kedua kakinya di tanah. Pandangannya dialihkan ke 
arah Melati dan Ki Blantaka yang telah menyelesaikan 
pertarungan. Memang tanpa Harimau Emas, Harimau 
Baja, dan Harimau Perak lebih cepat dikalahkan. Ka¬ 
rena pada dasarnya, ketiga tokoh sesat itu akan ber¬ 
bahaya bila telah bersatu. Kini Harimau Baja dan Ha¬ 
rimau Perak tergolek lemah, dengan luka dalam yang 
parah. 

Tampak Ki Blantaka menundukkan kepala 
dengan tarikan wajahnya menyiratkan kesedihan. 
Dengan gerak isyarat, Dewa Arak mengajak Melati me¬ 
ninggalkan tempat itu. Dia tahu, saat ini Ki Blantaka 
ingin menyendiri. 

"Di mana mereka menyimpan Perawan-Perawan 
Persembahan itu, Melati?" tanya Dewa Arak ketika 
bermaksud mencari perawan-perawan yang konon un¬ 
tuk persembahan Tiga Harimau Sakti dalam menuntut 
ilmu sihir. 

"Tadi waktu aku bertemu Ki Blantaka, dia ber¬ 
cerita kalau perawan-perawan itu memang telah dibu¬ 
nuh Tiga Harimau Sakti, untuk persembahan. Jadi ki¬ 
ta memang tidak bisa menyelamatkan mereka!" jelas 
Melati. 

"Dari mana Ki Blantaka tahu hal itu?" 

"Sebelum tewas di tangan Ki Blantaka, Raksasa 
Tua mengakui terus terang kalau yang bertindak seba¬ 
gai algojonya adalah dia sendiri." 

"Hhh...." 

Dewa Arak hanya menarik napas penuh sesal, 
karena tidak sempat menyelamatkan Perawan-Perawan 
Persembahan itu. 

"Yah.... Mudah-mudahan arwah mereka diteri¬ 
ma di sisi-Nya," desah Dewa Arak. 

Dan kedua pendekar muda itu terus melang¬ 
kah, keluar goa. Dan sekarang yang tinggal hanya Ki 
Blantaka seorang! 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Raja Iblis Tanpa Tanding