Pendekar Gila 3 - Dendam Bidadari Bercadar(1)


SATU

Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-
nyelimuti bumi. Suasana di Desa Randu Pitu ke-
lihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat

pesta pernikahan dua remaja yang berlangsung
meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak ada orang
berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa
mencekam, ditambah rasa dingin yang menggigit.
Malam itu, merupakan malam pertama yang indah
bagi sepasang pengantin baru. Malam untuk me-
nentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah
malam awal bagi keduanya untuk mengarungi ke-
hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, me-
masuki masa dewasa yang penuh tantangan.
Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala
tertunduk malu, tangannya membuka satu persatu
pakaiannya.
Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan
panjang berdiri di hadapannya. Di bibir lelaki muda
yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya
menatap lekat sang istri yang tengah membuka
pakaiannya.
"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya
ditengadahkan, lalu memandang penuh harap pada
sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula.
"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk
mendekati istrinya.
Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat
masuk ke dalam rumah mereka yang cukup besar.
Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi
bambu di ruang depan, keduanya tersentak.
"Siapa itu?!" bentak Selo sambil berlari keluar
kamar mengejar bayangan tadi.
Belum juga Selo menemukan orang yang me-
nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar ter-
dengar bentakan keras....
"Selo, keluar kau...!"
Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya,
kakinya melangkah keluar untuk melihat siapa yang
datang.
"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir ter-
senyum ramah, setelah tahu siapa yang datang.
Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo
dengan julukan Tiga Barka Kembar itu berdiri dengan
sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya me-
ngenakan rompi hitam dengan ikat pinggang merah.
Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik.
"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?"
tanya Selo.
"Masih juga berpura-pura tidak tahu!" dengus
Barka Sulung dengan mata melotot.
"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan
Pendekar Gila, Selo! Di mana dia sekarang...?!"
bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa meng-
hiraukan Selo, Barka Penengah dan Barka Bungsu
berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama
kemudian, keduanya telah keluar kembali.
"Di mana kau sembunyikan, Selo?!" hardik Barka
Bungsu seraya tangannya menampar wajah Selo.
Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh.
"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila
itu, heh?!" kini Barkah Sulung ganti menghardik.
"Pendekar Gila...? Bagaimana mungkin dia ke
rumahku?" tanya Selo dengan tangan menyeka darah
yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut
bangkit.
Plak!
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo.
"Aduh...!" pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan
kembali. Sementara tangannya memegangi pipi yang
terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya.
"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng
itu?!" bentak Barka Sulung dengan mata melotot.
Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo
untuk mencari orang yang mereka maksudkan. Tidak
lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah
menggambarkan kejengkelan hebat.
"Tak ada juga! Rasanya memang bersembunyi di
dalam rumah. Atau mungkin disembunyikan oleh dia!"
lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin
bertambah marah.
"Seret dia! Kalau sampai di tempat kita belum juga
mau mengaku, dia akan tahu akibatnya!" dengus
Barka Sulung.
"Ayo...!"
Barka Penengah segera menendang pantat Selo,
membuat lelaki muda itu tersuruk mencium tanah.
Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka
terus menendang.
"Jalan cepat...!"
"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap
Selo berusaha mengambil hati Tiga Barka Kembar.
Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan
ucapan Selo. Bahkan mereka semakin beringas.
"Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar
berkedok itu, heh?!" bentak Barka Sulung. "Dia telah
merebut seorang perempuan dari kami. Dan mem-
bunuhnya setelah terlebih dahulu diperkosa!"
Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan
Barka Sulung barusan. Padahal dia sering dengar
kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal
tercela.
"Pendekar Gila...?!" gumam Selo seakan tidak
percaya.
"Ya! Sekarang tunjukkan, di mana dia!" hardik
Barka Sulung.
"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah
dari tadi kukatakan pada kalian," kata Selo berusaha
meyakinkan mereka.
""Huh...! Masih juga kau menyembunyikannya!
Hih...!"
Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di
pipi Selo. Lelaki muda itu kembali mengeluh
kesakitan.
"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir
menangis karena rasa sakit yang luar biasa di pipinya.
Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka
Kembar percaya begitu saja. Mereka malah semakin
marah dan langsung menendang serta memukul
lelaki muda itu.
Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang
masih belum mengenakan seluruh pakaiannya ber-
anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada,
kemudian kakinya melangkah keluar untuk melihat
keadaan suaminya.
Matanya membelalak ketika menyaksikan suami-
nya diseret tiga lelaki yang meninggalkan tempat itu.
Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya
mendekap mulut yang memekik tertahan.
"Lepaskan suamiku...!" seru Wulandari untuk
menghentikan ketiga lelaki yang semakin jauh
menyeret tubuh suaminya.

Wanita muda yang cantik itu segera mengejar.
Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya.
Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut
suaminya akan mendapatkan celaka, jadi tersendat-
sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret
suaminya.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Wulandari sambil tetap
mengejar ketiga orang yang tengah menyeret suami-
nya.
Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar
jeritan Wulandari, bergegas keluar dari rumahnya.
Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan
pengantin baru itu.
"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan
napas memburu.
"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga
lelaki itu," tutur Wulandari terbata-bata.
"Ke mana mereka...?!" tanya Kepala Desa Randu
Pitu lagi dengan wajah tegang.
"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari
sambil menunjuk arah kepergian orang-orang yang
membawa suaminya.
Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya
segera mengejar ke arah yang ditunjukkan Wulandari.
Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang
yang dimaksud Wulandari.
"Hai, tunggu...!" seru kepala desa sambil terus
mengejar ketiga orang itu bersama beberapa warga
desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala
puluhan senjata rahasia menderu cepat ke arah
mereka.
Zwing, zwing, zwing...!
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaakh...!"

Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar
membelah kesunyian malam. Diikuti gelak tawa Tiga
Barka Kembar yang semakin pongah.
Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa
dan beberapa orang warga yang mengejar telah
bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap
suaminya mampu mengalahkan kengerian yang
muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya melangkah
untuk mengejar kembali.
"Jangan...! Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" jerit
Wulandari sambil terus berlari.
Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun.
Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pem-
bantaian keji di depan matanya. Tak pedulikan resiko
kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak
peduli lagi pada pakaiannya yang yang tidak karuan.
Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghenti-
kan tiga orang lelaki berpakaian rompi hitam yang
terus menyeret suaminya.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat
pingang berwarna merah serta ikat kepala batik, tak
mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah
sambil menyeret tubuh Selo yang mengerang
kesakitan.
"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap
lelaki muda itu dengan meneteskan air mata. Selo
berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang
garang dengan kumis tebal melintang di atas
mulutnya.
"Tutup bacotmu, Selo! Katakan, di mana Pendekar
Gila?! Aku yakin, kau tahu di mana dia!" desak Barka
Sulung.
"Ya! Katakan saja, di mana Pendekar Gila !"
sambung Barka Bungsu.

"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana
dia...," jawab Selo dengan mimik muka memelas
untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam
itu.
"Kunyuk! Apa kau kira kami mau dibohongi
olehmu, heh?! Kami tahu, kalau pendekar muda dan
gila itu baru saja bertandang ke rumahmu!" hardik
Barka Panengah dengan mata melotot. Lalu dengan
bengis, kakinya menendang iga Selo.
Dugk!
"Aduh...!" pekik Selo kesakitan. Tulang iganya
serasa remuk akibat tendangan Barka Panengah.
Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan
Barka Sulung telah mencengkeram rambutnya.
"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh?!" sentak
Brka Sulung sambil menjenggut rambut Selo hingga
wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka
Sulung sambil meringis.
Sementara, di belakang mereka istri Selo terus
berlari menuju Tiga Barka Kembar dan suaminya
berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan
dirinya, sampai-sampai tak menggubris kain penutup
tubuhnya yang agak merosot.
Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata
mereka langsung terbelalak. Ketiganya menelan
ludah, dengan napas yang mulai turun-naik.
"Ck, ck, ck..."
Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan
tubuh istri Selo yang mulus menantang dengan
penutup yang sudah tidak karuan.
"Wulan, cepat pergi dari sini…!" seru Selo kepada
istrinya.
Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suami-
nya tak mempedulikan seruan sang Suami. Dia terus

berlari menuju tempat itu.
"Lepaskan suamiku! Lepaskan...!" serunya.
Tiga Barka Kembar yang masih terpesona
menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan
jeritan wanita muda yang cantik itu. Ketiganya masih
berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka meng-
geleng-geleng.
"He he he...! Rupanya istrimu montok sekali,
Selo...," ujar Barka Sulung sambil memandang tiada
henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang
pintar, Selo."
"Ya! Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo,"
sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya
berdecak kagum.
"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?"
ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk
segera memburu mangsa empuk yang akan mem-
bawa mereka ke puncak kenikmatan.
"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku
yang menangani si Selo," kata Barka Sulung pada
kedua adiknya.
Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan
Barka Panengah segera meninggalkan sang Kakak
untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah
mereka.
"Ayo, Kakang. Kita berlomba! Siapa cepat, dia yang
akan mendapatkan bagian lebih dahulu...!" tantang
Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya. 
"Ayo...! Heaaa...!" 
"Hiyaaa...!"
Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya,
berusaha saling mendahului. Keduanya sampai di
depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan

cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri
Wulandari.
"Lepaskan...! Kalian bajingan! Lepaskan...!"
Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman
tangan kedua lelaki yang kini tertawa tergelak-gelak.
Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah
tubuh Wulandari dengan semena-mena.
"Auh...! Kurang ajar...!" maki Wulandari penuh
kebencian. Matanya memandang penuh amarah ke
arah dua lelaki yang kurang ajar itu.

***

"Ha ha ha...! Kau semakin menyenangkan jika
marah, Manis," goda Barka Panengah. Tangannya
kembali bergerak nakal.
"Tidak! Kakang, tolooong...!" teriak Wulandari
sambil terus memberontak. Sesekali tangannya
memukul tangan kedua lelaki kasar itu.
"Lepaskan! Jangan ganggu istriku!" seru Selo,
mengharap kedua Barka bersaudara itu tidak
meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya
bahkan semakin menjadi-jadi. Selo hendak lari, tapi
sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan
jatuh.
Degk!
"Ukh...!" keluh Selo.
"Mau lari ke mana kau?!" ujar Barka Sulung sinis.
Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah
yang sudah tidak tahan melihat tubuh Wulandari,
tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka
Panengah berkelebat cepat. Di tangannya ter-
genggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram
keras tangan Wulandari.

"Auh...!" pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan
cepat tangan kanan Barka Sulung menyumbat
mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya
tertelan Wulandari. 
"Auh, tidak!"
Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak,
menyaksikan Wulandari sempoyongan. Pandangan
wanita cantik itu berkunang-kunang.
"Oh...!" keluh Wulandari. Tangannya memegangi
kepalanya yang terasa pening. Pandangan matanya
mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhir-
nya, tubuh wanita itu jatuh terkulai di tanah.
"Ha ha ha...! Akhirnya kita dapat menunduk-
kannya," kata Barka Panengah sambil tertawa-tawa
bersama adiknya.
"Semuanya telah beres, Kakang! Tak sabar aku
rasanya...," gumam Barka Bungsu sambil melangkah
hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia
hendak melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka
Panengah mencegahnya...
"Tunggu...!"
"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu
dengan nada tak senang. "Bukankah semuanya telah
beres? Mengapa kita harus membuang-buang
waktu?"
"Aku yang pertama. Sebab aku yang men-
dapatkannya!"
Barka Bungsu menghela napas. Matanya
memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya
melangkah mundur, membiarkan kakaknya men-
dekati tubuh Wulandari.
"Hai, tunggu...!"
Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu,
terdengar Barka Sulung membentak. Hal itu membuat
Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk me-
lampiaskan nafsu pada Wulandari. Dengan
bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur.
"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata
Barka Sulung sambil melangkah mendekati tubuh
Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada
tubuh yang terkulai tanpa daya itu. Kepalanya meng-
geleng-geleng. 
"Ck, ck, ck...! Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu
ini ternyata ada gadis secantik dan sebahenol ini."
Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru
hendak membuka pakaiannya, ketika tiba-tiba ter-
dengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian
keras penuh ejekan.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak tahu malu! Itukah
orang-orang yang menamakan dirinya Tiga Barka
Kembar?!"
Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu.
Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera
memandang ke asal suara. Kemudian dengan gusar,
Barka Sulung yang mengurungkan niatnya mem-
perkosa Wulandari membentak..
"Bangsat! Siapa kau...?!"
"Ha ha ha...! Rupanya kalian masih punya nyali,
berani membentakku...!" kembali terdengar suara
lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis.
"Pengecut! Kalau kau lelaki, tunjukkan tampang-
mu! Hadapi kami, Tiga Barka Kembar...!" seru Barka
Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu.
Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat
itu.
"Kalianlah yang pengecut! Beraninya hanya dengan
orang lemah! Di mana nama besar kalian?!"
"Bangsat! Katakan, siapa kau dan tunjukkan
rupamu! Kuhancurkan batok kepalamu!" maki Barka
Bungsu tak kalah sewot dibandingkan kedua kakak-
nya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang
bernama Pendekar Gila?!"
"Ha ha ha...! Rupanya pendengaran kalian cukup
tajam! Ya, akulah Pendekar Gila," sahut pemilik suara
dengan nada penuh kesombongan.
"Bedebah! Apakah kau kira kami takut meng-
hadapimu, Pendekar Gila!" tantang Barka Sulung.
"Tunjukkan tampangmu! Biar korobek mulut besar-
mu!" sambung Barka Panengah dengan tangan
mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu,
menandakan kemarahannya. Matanya menyapu ke
sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan.
"Ayo...! Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong!"
bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti
kedua kakaknya, dia pun merasa marah dihina begitu
rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam
menyapu ke sekelilingnya.

DUA

Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di
sekeliling tempat tersebut. Suara itu seperti berada di
mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar
kebingungan untuk menentukan tempat orang itu
berada.
"Apakah kalian sudah siap menghadapiku,
Manusia-manusia Pengecut?!" tanya suara itu dengan
penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada
henti-hentinya. Membuat Tiga Barka Kembar semakin
marah karena merasa dihina begitu rupa.
"Kurang ajar! Apakah kau kira kami takut meng-
hadapimu, Pendekar Gila?! Kami memang ke sini
untuk mencarimu! Untuk mencoba sampai di mana
kehebatan ilmumu yang diagung-agungkan itu!
Keluarlah! Hadapi kami!" tantang Barka Sulung.
Tak terdengar jawaban.
Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin
gusar. Dengan penuh amarah, ketiganya
melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
"Yiaaa...!"
Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru
menderu dari tangan Tiga Barka Kembar. 
Glarrr! 
Brakkk! 
Duarrr!
Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan
yang tumbang. Namun mereka belum juga dapat
menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak
tawa kembali, diikuti oleh seruan mengejek....
"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku!
Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu
pun tak akan sanggup menghadapiku!"
Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka
Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-
remehkan begitu rupa. Kalau nama mereka, mungkin
amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik
suara itu telah keterlaluan dengan menghina guru
mereka.
"Bedebah! Tutup mulutmu! Tunjukkan wujudmu,
biar korobek mulutmu yang sombong itu...!" bentak
Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta
amarah yang meluap-luap.
"Kurang ajar! Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar
Gila! Tunjukkan mukamu, Monyet! Jangan sampai
kami hilang kesabaran!" timpal Barka Panengah
dengan mata membelalak marah.
"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang
sombong! Ayo, jangan hanya bersembunyi! Keluar-
lah...! Hadapi Tiga Barka Kembar!" sentak Barka
Bungsu.
"Baik! Agar kalian tak penasaran, aku akan
menampakkan diriku! Meski kalian tak ada artinya
sama sekali bagiku! Nah, bersiaplah menyambut-
ku...!"
Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba
terdengar suara laksana ribuan tawon terbang. Tidak
lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah
berdiri sesosok lelaki muda dengan senyum sinis
mengembang di bibirnya.
Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning.
Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna
gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau
daun. Wajah pemuda itu tertutup oleh sebuah topeng
berhidung besar warna merah, hingga kelihatan
buruk.
Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk
mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan
mereka. Diperhatikannya dengan seksama pemuda
itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang
namanya akhir-akhir ini membubung tinggi?!
Pengecut! Tak berani menunjukkan mukanya yang
buruk!" ejek Barka Sulung dengan senyum sinis.
"Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku!
Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata
pemuda bertopeng itu, sambil bersedakap, men-
cerminkan keangkuhan dirinya.
Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin,
membuat Tiga Barka Kembar semakin geram. Mereka
benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda
bertopeng itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar sombong,
Pendekar Gila! Jangan kau kira kami takut dengan
nama besarmu! Baik, bersiaplah...!" tantang Barka
Panengah yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan
pemuda bertopeng itu dirasakan sangat menggigit
perasaan dan membuat telinganya panas.
"Ha ha ha...!" pemuda bertopeng yang mengaku
Pendekar Gila itu tertawa bergelak. "Hm, ternyata
cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi!
Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih
dulu...?"
"Bedebah! Kau boleh berkoar sesuka hati,
sebelum kurobek mulutmu!" dengus Barka Bungsu
dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling
beradu, menimbulkan suara gemeretak keras.
"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku,
Sobat?" tanya pemuda bertopeng dengan suara tak
berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan
"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?"
"Banyak omong...! Serang...!" seru Barka Sulung,
memerintah kedua adiknya sambil menggerakkan
tangan.
"Heaaa...!
"Ceaaat..!"
Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah,
seketika melompat ke depan dan mengurung
pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa.
Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh
ketiga lawannya. "Mengapa tidak sekalian gurumu, si
Kempala tolol itu?!" ejek pemuda bertopeng itu,
Untuk yang kedua kalinya, Tiga Barka Kembar
tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan
pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga
Barka Kembar melotot bengis pada pemuda
bertopeng yang masih tergelak-gelak.
"Bangsat! Kau benar-benar mencari mampus!
Heaaa...!"

***

Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat.
Ketiganya berputar laksana angin puting beliung.
Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang
dengan pukulan dan tendangan.
"Ha ha ha...! Jurus kuno seperti itu masih kalian
pakai saja," ejek lawannya sambil melenting ke udara,
untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar.
"Sombong! Rupanya mulutmu memang besar,
Pendekar Gila!" bentak Barka Sulung dengan
dengusan penuh amarah. Mereka segera memburu
ke arah pemuda bertopeng.
"Kurobek mulutmu! Heaaa...!"
"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa...!"
Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan
jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa'.
Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung
elang. Menyambar dan mematuk dengan cepat dan
keras.
"Heaaa...!"
Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa,
kemudian dengan cepat kedua kakinya bergerak
hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar
ke atas.
Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan
kaki ke tangan mereka, secepat kilat ketiga lelaki
berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan
kanan yang mencakar ke atas, dengan cepat ditarik.
Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada
lawan.
"Yeaaat..!"
Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja
pemuda bertopeng itu tidak segera melompat
kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah
terhantam ketiga tangan berisi tenaga dalam itu.
"Hebat! Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan
Mematuk Mangsa' yang kalian miliki cukup
sempurna! Namun kalian jangan bangga dulu...
Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama
sekali bukan jurus yang berarti bagiku!" ejek pemuda
bertopeng.
"Jangan banyak omong! Hiaaat...!" bentak Barka
bungsu sambil merangsek maju. Sepasang tangannya
bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar,
disusul tangan kiri yang menyabet.
Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung
dan Barka Panengah tak mau tinggal diam. Keduanya
segera bantu menyerang dengan jurus yang sama.
Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga
untuk bersalto dan melompat mengelakkan serangan
ketiganya yang keras dan cepat
"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian
berhadapan denganku," gumam pemuda bertopeng
dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi
lawan ingusan, tentunya kalian sudah menang. Tapi
aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada artinya
jurus yang kalian keluarkan!"
Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu.
Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya,
tidak berarti baginya. Padahal Tiga Barka Kembar
adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan.
Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah
membuktikannya dengan sejumlah korban yang
tewas di tangan mereka.
Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang
sebelah mata pada Tiga Barka Kembar. Dengan
seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi
hitam yang menyerangnya. Malah dia sengaja hanya
mengelak, tidak mau balik menyerang.
Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar
tanpa banyak kata lagi terus melancarkan serangan-
serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha
menjatuhkan pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-
cabik mulutnya yang sombong dan lancang menghina
mereka.
"Hiaaat..!"
"Jebol perutmu, Pemuda Sombong...!" hardik Barka
Panengah sambil mencakar ke perut lawan.
"Uts...! Kurang tepat, Kawan!"
Kembali pemuda bertopeng itu mengejek.
Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan
kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan
kanannya menghantam ke muka lawannya.
Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu
sangat cepat, membuat Barka Panengah terkejut
mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat
tubuhnya dirundukkan ke bawah, mengelakkan
serangan cepat yang dilancarkan lawannya.
"Gila...!" pekiknya seraya menunduk rendah.
Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di
atas punggungnya.
Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya,
pemuda bertopeng tak berhenti sampai di situ. Kaki
kanannya kini menendang dengan cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Celaka...!" desis Barka Sulung dan Barka Bungsu
hampir bersamaan. Mereka terkejut menyaksikan
saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang
dilancarkan pemuda bertopeng.
"Kakang, kita harus membantunya...!" seru Barka
Bungsu seraya melesat ke arah pemuda bertopeng.
Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini
dalam bahaya dengan memancing pemuda bertopeng
agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang
Kakak dapat terbebas dari serangan lawan.
Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini,
perhatian pemuda bertopeng beralih padanya.
Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka
Bungsu.
"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar!" bentak
pemuda bertopeng seraya mempercepaat serangan.
"Heaaa...!"
Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas,
kemudian menukik ke bawah setelah mencapai
ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak
lincah. Satu menyerang dengan pukulan, yang lain
menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan
kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan
Barka Bungsu yang membelalakkan mata.
"Celaka...! Kakang, bantu aku...!" seru Barka
Bungsu sambil berusaha mengelakkan serangan-
serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi.
"Kau harus kulumpuhkan! Heaaat..!"
Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan
tangannya ke dada lawan. Sehingga, Barka Bungsu
yang terdesak tak mampu lagi mengelak.
Degk!
"Ukh...!"
Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya
seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya
memegangi dada yang terasa sakit akibat pukulan
telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental.
"Bungsu...!" pekik Barka Sulung sambil memburu
ke arah tubuh adiknya yang terpelanting ke tanah
dengan luka dalam.

***

Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan
Barka Panengah semakin marah. Mata keduanya
melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng
yang masih tertawa penuh kemenangan.
"Bangsat! Kau telah melukai adikku! Kubunuh kau,
Pendekar Gila! Heaaat..!"
Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya
kembali berkelebat cepat menyerang pemuda
bertopeng itu.
"Percuma kalian melawan!" kata pemuda itu
seraya mengelak. Kemudian pemuda berbaju kuning
itu balas melakukan serangan yang kencang dan
cepat. Angin pukulannya menderu keras, menyentak-
kan Barka Sulung.
Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka
Panengah tidak tinggal diam.
"Kakang, cepat menyingkir! Biar kuhancurkan dia!
Yeaaa...!"
Barka Panengah menghantamkan pukulan
saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan
cepat, lawannya berkelit. Kemudian setelah lolos dari
serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-
pukulan cepat ke arah Barka Panengah.
"Yeaaa...!"
Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat
tangan lawan membara laksana api dan bergerak
cepat ke arahnya.
Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka
Panengah segera mencabut senjatanya dari balik
rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula.
Barka Panengah dengan cepat berusaha menusuk-
kan trisulanya, namun tangan lawan ternyata lebih
cepat menangkap tangannya.
Tap!
Krak!
"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika
tangannya dipatahkan. Matanya membelalak dan
mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya
pucat pasi laksana tak berdarah.
"Apa kataku?! Kalian tidak lebih cecurut tanah!
Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran-
ku hilang!" bentak pemuda bertopeng mengancam.
Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan
mampu menghadapi pemuda yang disangka
Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka
meninggalkan tempat itu disertai ancaman....
"Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah! Tapi
nanti kami akan mengadakan perhitungan dengan-
mu!"
Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar
ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah
Wulandari yang terduduk lemas dan mata yang
memandang penuh harap akan pertolongan pemuda
itu.
Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya
melangkah ke arah Wulandari yang masih terduduk
lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini
nampaklah seraut wajah tampan namun penuh
kebengisan.
Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut
mundur, manakala tangan pemuda itu membelai
dagunya.
"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...."
Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh
tubuh Wulandari yang seketika berteriak...
"Lepaskan aku! Oh, lepaskan...!"
Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak
menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan
wanita itu dianggapnya sebagai ungkapan memohon.
Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari,
melampiaskan gejolak nafsu binatangnya. Begitulah
kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang
bermuka dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang
dilakukan orang lain. Dan pada saat lain, dia berpesta
pora dengan kekotoran dirinya.

Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya
menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum
sambil mengenakan pakaiannya kembali.
"Seharusnya kau gembira berkenalan denganku,
Pendekar Gila yang namanya tersohor."
Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku
sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah
menghantamkan pukulan dahsyat ke tubuh Selo
hingga hancur.
"Kakang...!" pekik Wulandari, menyaksikan
suaminya menggeletak tanpa nyawa.
Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya
yang hancur terhantam pukulan maut pemuda
mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan
cantik tapi malang itu menangisi kematian suaminya
yang mengenaskan.
"Pendekar Gila keparat!" makinya penuh dendam
di antara isak tangis.
Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan
dari pernikahannya. Bulan madu yang seharusnya
begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan
keperawanannya telah direnggut oleh manusia laknat
tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka
Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka
memang orang-orang sesat. Tapi perbuatan Pendekar
Gila yang katanya selalu membela orang lemah,
sangat sulit dilupakannya.
Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada
Pendekar Gila, tercermin pada matanya yang mem-
bara berlinang air mata. Tangannya mengepal,
kemudian memukul-mukul tanah yang ada di
hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya.
"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya!
Akan kutaklukkan semua pendekar! Akan kutakluk-
kan mereka, terutama Pendekar Gila! Akan kucabut
jantung dan kemaluan mereka, kuremas hancur
seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua
untukmu!"
Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari
sujudnya. Melangkah tertatih-tatih dengan tubuh
letih, meninggalkan tempat itu.
Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi
kepergian wanita yang di dadanya tersimpan dendam
membara. Dendam pada orang-orang persilatan,
terutama Pendekar Gila yang telah menghancurkan
hidup dan masa depannya.










TIGA

Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari
baru saja menyingsing, mengabarkan pada makhluk
malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-
hewan mendendangkan tembangnya masing-masing,
menciptakan kedamaian kecil dalam dunia yang
hingar-bingar.
Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat
letih, berjalan tertatih. Sesekali langkahnya terhenti
bersama erangan menahan sakit. Wanita muda
berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah
Wulandari. Sejenak matanya memandang nanar ke
arah matahari terbit di ufuk timur.
"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka?
Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?"
keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi
keningnya. Dihelanya napas panjang-panjang.
Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya,
Wulandari kembali meneruskan perjalanannya.
Baru beberapa tindak Wulandari melangkah,
tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih terlalu lemah
setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku
Pendekar Gila.
Tak berapa lama kemudian, dari arah timur
tampak seorang wanita tua dengan tubuh terbungkuk
berjalan menuju tempat Wulandari pingsan.
Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah.
Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput,
semakin menyipit menyaksikan sesuatu tergeletak di
jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang


tergeletak di jalanan itu.
"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh,
kenapa dia?" tanyanya terheran-heran. Kemudian
dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati
tubuh Wulandari yang tergeletak pingsan.
Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan
seksama.
"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi
tekanan batin," gumamnya prihatin. Lalu wanita itu
jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba
dada wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya
pingsan."
Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan
itu beberapa kali. Sepertinya dia berusaha
mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari.
Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulut-
nya tersenyum. Dia seakan senang terhadap wanita
muda itu.
"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid.
Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku
dan dia tak ada apa-apa. Tak ada silang sengketa."
Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah,
bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek itu kini
berlari kembali ke arah timur dengan memanggul
tubuh Wulandari.
Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap
saja, tubuhnya telah jauh meninggalkan tempat
semula. 
Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus
berlari dengan membawa tubuh Wulandari
menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat
tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya yang bungkuk
dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari,
sampai-sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua
kakinya bagai tak menjejak tanah.
Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada
sebuah gua di lereng bukit yang dikelilingi pepohonan
lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling,
berusaha memastikan tak ada seorang pun yang
melihatnya.
Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang
lain, wanita tua itu melesat menuju mulut gua.
Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri,
didorongnya pintu gua dari batu yang ditumbuhi lumut
dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di
situ ada gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga
dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi.
Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri
lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya berhenti di depan
sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke
dinding itu, lalu mendorongnya....
Srrrt!
Dinding gua yang semula nampak tak bercelah,
kini bergerak membuka. Ternyata di baliknya ada
sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari
batu datar sepanjang dua depa dan selebar satu
depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari dibaringkan.
Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam
keadaan pingsan dengan kepala mengangguk-
angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang
sudah berpuluh tahun menghilang dari dunia
persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya.
Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua
sebelahnya yang ada di depan ruangan di mana
Wulandari tiba.
Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu
nampak dinding gua bergerak membuka,
menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,
nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan
terbuat dari bebatuan. Nampaknya di ruangan itu si
nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik
sendiri.
Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah
masuk. Matanya memandangi peralatan yang terbuat
dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil.
Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu,
sepertinya mencari obat yang cocok.
"Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si
nenek. Diambilnya sebuah mangkuk berisi serbuk
ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan
dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari
dalam mangkuk ketika air itu bercampur dengan
serbuk.
Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari
ruangan itu dan kembali ke ruangan di mana
Wulandari terbaring.
Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu
dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh wanita muda
itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras.
"Akh...! Panas...!"
Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun
Nyi Kendil bagai tak mengenal kasihan. Tangannya
terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari,
dari ujung kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari
semakin keras mengerang. Sedangkan tubuhnya
menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang
tersiram air panas.
"Panas...! Oh, panas...!" pekiknya berusaha
menghentikan Nyi Kendil agar tidak terus membaluri
sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas
itu. Namun nenek itu tak mau peduli. Tetap saja
tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu. Hingga
tak sejengkal pun yang terlewatkan.
Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu,
seketika mengepulkan asap, dibarengi keluhan dan
pekikan wanita muda itu.
"O, panas...! Aduh, panas...!"
"He he he...! Sebentar, Nak.... Hanya sebentar
panasnya. Setelah itu, kau akan merasakan tubuhmu
segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh.
Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai
membara. Panasnya semakin menyengat tak
tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari
kembali terkulai pingsan.
Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari
yang kini bagai membara. Setelah itu, dia berlalu dari
tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya.
Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat
yang lebar. Di tempat itu terdapat sebuah batu
berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek
itu melakukan semadi.
Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali
siuman. Badannya yang semula linu dan terasa sakit,
kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke
sekeliling tempat itu dengan tatapan heran.
Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi
kini, dia berada di sebuah ruangan batu.
"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia
memandang tubuhnya. Seketika matanya
membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku?!"
Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan
tubuhnya dalam keadaan telanjang. Dengan cepat,
diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah
mengenakannya kembali, Wulandari bergegas keluar
dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah


berani menelanjanginya.
"Kurang ajar! Akan kuremukkan batok kepalanya!"
dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan
tak sabar lagi untuk menemukan orang yang telah
menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke
arah barat, ketika terdengar suara seorang wanita tua
berkata....
"Mau ke mana, Anak Bodoh?"
Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam
gua, berusaha mencari pemilik suara yang tadi
berkata. Napasnya mendengus penuh amarah.
Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari
arah belakang, Wulandari segera melangkah ke sana.
"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar?!" bentak
Wulandari, nadanya sama sekali tidak menunjukkan
rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya
pada orang-orang persilatan, menjadikan hatinya
gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali bertarung dengan
orang persilatan, meski dia akan mati.
"Aku di sini, Anak Bodoh!"
Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik
seorang wanita tua.
Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya
berhenti, ketika sampai di sebuah ruangan luas
tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah
menggambarkan kemarahan, Wulandari membentak
keras....
"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku,
heh?!"
"Benar, memang akulah yang menelanjangi
tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki mana pun
sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu,"
ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku
lelaki, sudah dari tadi tubuhmu kugeluti...."
"Cabul! Kurang ajar! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang
nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul
kepala Nyi Kendil.
Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil
terkekeh dan tak bergeming dari duduknya. Ketika
tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek
hanya menekuk lehernya ke samping. Hingga
serangan Wulandari menemui tempat kosong.
Merasa serangan pertama gagal, Wulandari
semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan
tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun nenek itu
dengan enteng bergeser ke samping.
"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan
untuk menyerangku? Anak bodoh!" bentak wanita tua
itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi.
"Sombong! Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul!
Heaaa...!"
Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit
Serangan Wulandari seakan tak berarti sama sekali.
Malah nenek itu semakin seru tertawa.
"Anak bodoh! Keluarkan semua tenaga dan
kebiasaanmu yang tiada guna itu!" ejek Nyi Kendil.
Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang
dengan kemarahan memuncak. Tangannya memukul
sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi
wanita tua itu berkelit dengan sambil terkekeh-
terkekeh. 
"Dasar anak tolol! Rupanya kau tak becus ilmu
silat! Huh, tolol!"
Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia
memang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat,
namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan
teriakan nyaring Wulandari menyerang.
"Heaaa...!"

***

Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari
terus menyerang Nyi Kendil. Namun serangan yang
tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu
memang bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang
nenek sakti yang di masa mudanya pernah malang-
melintang di dunia persilatan,
Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti
dan tidak didasari ilmu silat, Nyi Kendil bagai
mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya
bagai menari-nari, membuat Wulandari merasa diper-
mainkan. Wajahnya bertambah geram dan gerakan-
nya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil
malah makin sering menghina. Kian memancing
amarah wanita muda itu.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol!
Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku...!" ejek Nyi
Kendil sambil terkekeh. Lalu kakinya diangkat ke
atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian
dengan melenting ke atas, si nenek menotok
punggung Wulandari.
Tuk! 
"Ukh...!"
Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuh-
nya mematung tanpa dapat digerakkan. Hanya
matanya saja yang memandang penuh kebencian.
"Lepaskan aku, Pengecut..!" bentaknya sengit. Nyi
Kendil tertawa terkekeh. Tangannya bertolak
pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah
menuju tubuh Wulandari yang masih mematung.
"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan
pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini. Kalau tadi aku
mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-
mulihkan tubuhmu yang terlalu lemah. Kau
mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan
Wulandari. Setelah itu, tangannya bergerak untuk
membebaskan totokan pada tubuh Wulandari. 
Tuk!
Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk
serta kepala menunduk di depan Nyi Kendil.
"Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku
tidak tahu kalau kau menolongku...," ratap Wulandari
sambil bersujud.
Nyi Kendil terkekeh.
"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat
begitu."
Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari
bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya
duduk tadi. Nyi Kendil bersila, di atas batu persegi.
Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya.
"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu.
Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints
Wulandari.
Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-
gelengkan kepala mendengar rengekan wanita muda
depannya.
"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku
menjadi gurumu?"
Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun
menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya.
Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan
Selo baru saja menikah, ketika tiga orang yang
mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke
rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar
Gila.
"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil.
"Benar, Nek."
"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda
sakti itu? Apakah mau mengadu ilmu...?" tanya Nyi
Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam.
"Begitulah, Nek," jawab Wulandari.
"Hm...," gumam Nyi Kendil.
Tangan kanan wanita tua itu memegang dan
mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya meng-
angguk-angguk, entah apa yang dipikirkannya.
"Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar
Wulandari meneruskan ceritanya.
Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar
Gila, Selo pun tidak mengakui tuduhan ketiga lelaki
bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka
Kembar marah. Mereka menangkap Selo dan
menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu
berusaha mengetahui di mana Pendekar Gila berada.
"Tidak masuk akal...!" ujar Nyi Kendil tiba-tiba,
membuat Wulandari menghentikan ceritanya.
Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita
tua itu.
"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari.
"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor
bersembunyi...," gumam Nyi Kendil. "Jelas Tiga Barka
Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa
suamimu. Hm, apakah antara suamimu dan
ketiganya pernah saling bersengketa?"
Wulandari menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, Nek."
"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya."
Wulandari pun meneruskan ceritanya.
Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo,
ketiganya bermaksud memperkosa Wulandari.
Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir
saja merenggut kehormatannya. Lalu datang pemuda
bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila.
Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang
mengaku sebagai Pendekar Gila jauh lebih lihai dari
mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan.
Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda ber-
topeng yang memiliki wajah tampan itu memperkosa
Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng
yang mengaku berjuluk Pendekar Gila membunuh
suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh
suaminya hancur berantakan.
"Aku dendam pada orang-orang persilatan! Aku
ingin membalas mereka, terutama Pendekar Gila!"
dengus Wulandari mengakhiri ceritanya.
"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil
tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti
mengapa si nenek mentertawakannya.
"Mengapa Nenek tertawa? Apakah ada yang lucu?"
tanya Wulandari tak mengerti.
"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah nama-
mu?"
"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih
sering dipanggil Wulan saja."
"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam?
Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-
manusia lemah. Terutama Pendekar Gila. Mereka
memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi.
Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka
tanpa memiliki kemampuan?"
Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.
Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu.
Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin
dendamnya dapat terbalaskan.
"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah
kiranya Nenek memberikan pelajaran ilmu silat pada
aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati
semua peraturan yang Nenek berikan. Tolonglah,
Nek. Aku akan mengabdi padamu."
Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan
mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti.
Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu
sepertinya dapat mengetahui kalau Wulandari mau
berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang
menjadikan wanita muda itu menyanggupi untuk
mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si
nenek. Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan
Wulandari.
"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar,
Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau menerima ujian
berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan
semua perintahku, jika kau memang ingin cepat
mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat,
jangan coba-coba kau bermalas-malasan...!" ucap Nyi
Kendil akhirnya.
Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi
tersenyum. Segera tubuhnya bersujud penuh hormat.
"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan
perintah Guru akan kujalankan dengan senang
hati...."

EMPAT

Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin
berhembus semilir, mengusik dedaunan pada pucuk
pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun
kering menari-nari di udara.
Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit
ular sanca, menggeliat perlahan. Pemuda itu terjaga
dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya
yang tampan.
Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya
mengucek-ucek mata yang menyipit karena silaunya
sinar matahari.
"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan.
Sena duduk di atas cabang pohon yang
digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke
sekeliling. Tak lama kemudian, dengan enteng
tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu.
"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya
sudah tidak sabar lagi," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan
tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang
lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang
kegirangan.
Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan
gelak tawa ceria Pendekar Gila. Menjadikan burung-
burung yang sedang bertengger seketika beterbagan
karena kaget.
Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-
nyanyi, kakinya melangkah untuk pergi dari tempat
itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk
diisi.
"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri.
Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang
dirasakan sangat lapar.
Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan
belantara tempatnya tidur semalam. Masih dengan
tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri
lembah yang dihimpit bukit.
Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah
pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju
serba putih. Kepalanya diikat oleh kulit rusa. Wajah
lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu


kemantapan jiwanya.
Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian
kulit ular, seketika lelaki tua itu menghentikan
pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan
seksama. Kemudian terdengar gumaman dari
mulutnya....
"Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan
Pendekar Gila dari Gua Setan itu?" tanyanya pada diri
sendiri.
Dipandanginya pemuda tampan yang melintas
berapa tombak di depannya. Kemudian lelaki berbaju
putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun
dari pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin
kalau pemuda yang kini ditemuinya adalah pendekar
muda yang disebut Pendekar Gila.
"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya
orang gila biasa tidak mungkin memiliki pakaian
seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah
itu Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil
mengerutkan kening. Matanya semakin lekat, mem-
perhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus
melangkah.
Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena
telah di depannya, badannya dibungkukkan untuk
menjura.
"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa
bertemu denganmu, Pendekar Gila. Terimalah salam
hormatku," sapa Ki Martanu.
Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika
menghentikan tawanya. Matanya menyipit dan
keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki
setengah tua berbaju putih yang menjura di depan-
nya.
"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki? Dan


siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Keningnya tetap berkerut.
"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya.
Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki
Martanu, memperkenalkan diri.
"Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu
denganmu, Ki! Akulah yang harus menghormatimu,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya
membungkuk, untuk menjura hormat pada Ki
Martanu.
"Ah, sudahlah! Tuan Pendekar jangan merendah
begitu. Siapa yang tidak kenal denganmu. Sungguh
beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa
berjumpa denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu.
Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?"
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajah-
nya ditengadahkan, memandang langit yang biru. 
"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah
tidak tahan lagi," jawab Sena sambil menepuk-nepuk
perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya
sangat lucu, membuat Ki Martanu hampir tertawa
dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa
pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan
tawanya menyaksikan tingkah laku Sena yang lucu.
"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan
bersamaku? Sungguh suatu kehormatan bagiku yang
tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki
Martanu.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian terdengar tawanya lepas.
"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat
aku menolak ajakanmu," jawab Sena, membuat Ki
Martanu tersenyum senang.


"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi
Pendekar Gila ke pedatinya.
Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk
di samping Ki Martanu. Kemudian lelaki tua itu
menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu.
"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu
pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya.
"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku ber-
tandang ke rumah Kanjeng Tumenggung Pandan
Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan
julukan Sabit Kembar dari Timur.
"Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?"
Ki Martanu tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang
karena Kanjeng Tumenggung meminta anak mantu-
nya diboyong ke ketemenggungan."
"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng
Tumenggung, Ki?"
"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu.
"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya
menyatukan kedua tangannya di depan dada.
"Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya
melakukan hal yang sama.
"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan
putramu, Ki. Karena aku tidak tahu," sesal Sena.
"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai
tidak mengundangmu, Tuan Pendekar. Entah karena
apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar."
"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku
belum seberapa jika dibandingkan dengan nama
besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-
garuk kepala.
Tanpa terasa, mereka telah memasuki per-


kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedati-
nya, sebab banyak orang berlalu-lalang di jalan
perkampungan itu.
"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus
turun untuk mencari kedai," ucap Sena. Kemudian dia
menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu
kepalanya dirundukkan, sebagai tanda hormat.
Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang
sama.
"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku,
Tuan," ujarnya.
"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan
bertandang, Ki. Sekali lagi, terima kasih." Setelah
berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat mening-
galkan tempat itu.
"Ck, ck, ck...! Sungguh bukan pendekar
sembarangan. Beruntung sekali aku berkenalan
dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang,
rasanya ingin sekali bisa berjalan bersamanya sambil
berguru barang beberapa ilmu dan budi pekerti,"
gumam Ki Martanu setelah berdecak kagum.
Matanya masih memandang ke arah Pendekar Gila
berkelebat pergi.

***

Sena Manggala melangkah masuk ke dalam kedai
dengan tingkah lakunya yang lucu. Pagi itu, kedai
masih kelihatan sepi. Hanya ada empat lelaki yang
tengah duduk sambil menyantap makanan.
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian
rompi kulit ular, pemilik kedai segera menemuinya.
Orang tua setengah baya itu menjura hormat. Dia
memang sudah tahu siapa pemuda itu. Cerita tentang
diri Sena sering didengarnya dari percakapan orang-
orang persilatan yang singgah di kedainya.
"Selamat datang di kedaiku, Tuan. Silakan duduk.
Apakah yang bisa saya bantu, Tuan?" sambutnya
dengan penuh hormat.
Sena menggaruk-garuk kepalanya ketika men-
dapatkan penghormatan begitu rupa.
"Ki, bisakah aku meminta sepiring nasi dan
lauknya?" pinta Sena dengan bibir cengar-cengir.
Orang tua pemilik kedai tersenyum.
"Dengan senang hati, Tuan...."
Kemudian pemilik kedai segera berlalu me-
ninggalkan Pendekar Gila. Tak lama kemudian, seora
gadis cantik jelita anak pemilik kedai keluar dengan
membawakan sepiring nasi dan sepotong ayam
bakar.
"Silakan, Tuan," kata gadis cantik itu mem-
persilakan.
"Ah, mengapa ayam bakar? Padahal uangku tidak
cukup untuk membayarnya. Untuk arak saja, rasanya
masih kurang," gumam Sena dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Pemilik kedai tersenyum. Kemudian menghampiri
Sena.
"Untuk Tuan, tidak bayar pun tak apa," katanya,
membuat kening Sena berkerut. Dipandanginya
wajah pemilik kedai dan putrinya yang tersenyum
manis. Keduanya menganggukkan kepala dengan
bibir terhias senyum.
"O, tidak bisa begitu, Ki. Bagaimanapun juga, kau
berdagang. Tentu aku harus membayarnya. Ah, aku
ada uang hanya segini," Sena mengeluarkan tiga
keping uang emasnya, membuat mata pemilik kedai
membelalak. "Bagaimana, Ki? Cukup...?"
"Ah, mengapa Tuan repot-repot? Saya memberinya
dengan rela," kata pemilik kedai, berusaha menolak
bayaran yang besar itu.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya tersenyum.
"Tidak, Ki. Siapa pun harus membayar kalau
makan di kedaimu. Terimalah...."
Pemilik kedai akhirnya menerima juga pembayaran
itu. Sedangkan Sena dengan lahap menyantap
makanannya.
Saat itu, tiga lelaki berpakaian rompi hitam masuk
ke kedai. Di pinggang mereka terselip trisula. Mereka
adalah Tiga Barka Kembar. Ketiganya melangkah
penuh kesombongan, dengan mata memandang
tajam ke sekeliling tempat itu.
"Aha, rupanya di sini ada bunganya juga, Kakang,"
kata Barka Bungsu ketika melihat seorang anak gadis
pemilik kedai. Tangannya mengelus-elus dagunya
yang kasar. Matanya memandang tajam dan nakal
pada gadis itu.
Mata gadis itu memandang dengan takut-takut
seraya merapat pada tubuh ayahnya. Begitu pula
dengan pemilik kedai, setelah tahu siapa yang datang
ke kedai mereka.
"Tiga Barka Kembar," desis pemilik kedai tegang.
"Hm.... Rupanya gadis itu anakmu, Ki?" tanya
Barka Panengah.
Sedangkan Barka Sulung menghampiri pemuda
berpakaian rompi kulit ular yang gerak-geriknya lucu.
"Bagaimana kalau anakmu untukku, Ki?" lanjut
Barka Panengah, lancang.
Barka Panengah dan Barka Sulung tertawa ter-
gelak-gelak saat menyaksikan pemilik kedai dan
putrinya ketakutan. Lalu dengan mata berbinar nakal,
Barka Bungsu mendekati pemilik kedai dan anak
gadisnya. Tangannya membelai dagu gadis cantik itu.
"Cantik sekali kau, Cah Ayu...."
"Ah...! Kurang ajar...!" maki gadis cantik itu takut-
takut.
"Jangan takut, Cah Ayu... Kalau kau menurut maka
kau akan kujadikan istriku. Kedai ayahmu, akan kami
bangun menjadi kedai paling besar di wilayah ini.
Bukan begitu, Kakang?" kata Barka Bungsu pada
kedua kakaknya. Tangannya semakin nakal, bergerak
ke arah dada gadis itu.
"Kurang ajar! Tuan, tolong...!" seru gadis itu
ketakutan.
"Eh, siapa yang kau panggil tuan? Pemuda tolol
itukah? Ah, mana berani dia pada kami, Cah Ayu.
Siapa nama anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.
"Milah, Tuan...," jawab pemilik kedai, masih
ketakutan. "Jangan ganggu anakku, Tuan."
Kedua kakak beradik kembar itu tertawa bergelak-
gelak. Semakin membuat pemilik kedai dan anaknya
ketakutan. Begitu juga dengan empat pengunjung
kedai. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
"Aku tak akan mengganggu, Ki. Asal kau berikan
anakmu padaku untuk kujadikan istri," kata Barka
Panengah seenak perut.
Sementara, Pendekar Gila tampak mendengus.
Jelas, hatinya tak senang melihat tingkah ketiga
orang itu. 
"Rupanya ada tiga ekor lalat yang mengganggu
makanku, Ki? Mengapa tidak kau usir saja?"
Tersentak Tiga Barka Kembar mendengar gerutuan
pemuda berpakaian rompi kulit ular yang ditujukan
pada mereka.
"Kurang ajar! Siapa kau?! Berani benar kau


berkata lancang pada Tiga Barka Kembar, heh?!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangan
kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya tiga lalat itu semakin brengsek!
Huh...!" Pendekar Gila menyentak piring makannya.
seketika, benda itu melayang deras ke arah Barka
Panengah dan Barka Bungsu yang dekat dengan
pemilik kedai.
Zwing!
Mata Tiga Barka Kembar terbelalak menyaksikan
hal itu. Cepat-cepat Barka Panengah dan Barka
Bungsu memiringkan tubuh ke belakang untuk meng-
elakkan serangan piring yang dihentakkan oleh
Pendekar Gila.
Jlep!
Piring itu menancap telak di bangku penyangga
kedai, membuat Tiga Barka Kembar semakin mem-
belalakkan mata.
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Pemuda
Sombong!" maki Barka Sulung.
"Dia perlu dihajar, Kakang!" tambah Barka Bungsu.
Pendekar Gila tertawa tergelak-elak. Tuak yang
ada di atas meja ditenggaknya, kemudian sebelum
ketiganya menyerang, disemburkannya tuak itu arah
mereka.
"Cuihhh...!"
Semburan tuak itu menghantam wajah mereka,
membuat Tiga Barka Kembar kepedihan. Mulut
mereka mencaci-maki sambil mendekap wajah.
"Setan alas! Sebutkan siapa namamu, sebelum
kami kirim kau ke akhirat?!" bentak Barka Sulung.
Tubuhnya lalu berkelebat menyerang Sena, yang
dengan cepat berkelit dengan tangan menggaruk-
garuk kepala.
"Kalianlah yang harus dikirim ke akhirat, Manusia-
manusia Cabul!" dengus Sena. "Tapi baiklah, agar
kalian tidak penasaran di neraka sana, akan ku-
jelaskan siapa aku. Aku Sena Manggala. Orang-orang
sering menyebutku Pendekar Gila dari Gua Setan!"
"Kurang ajar! Rupanya kau...! Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar menyerang serempak. Mereka
tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan jurus-
jurus andalan. Namun Pendekar Gila dengan enteng
mengelakkan serangan mereka. Jurus-jurusnya yang
aneh, membuat Tiga Barka Kembar mengerutkan
kening.
"Hai, aneh sekali jurus-jurusnya. Lalu, siapakah
pemuda berbaju kuning yang kutemui waktu itu?"
gumam Barka Sulung. Dengan kaget dia melompat
mundur, mengelakkan serangan-serangan Pendekar
Gila yang aneh.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari.
Sesekali tangannya menepuk. Gerakannya terlihat
sangat lambat namun kenyataannya mampu mem-
buat Tiga Barka Kembar terperanjat kaget.
"Jurus gila!" maki Barka Panengah jengkel, ketika
tangan Pendekar Gila menepuk ke arah dadanya
secara tiba-tiba. Kalau saja tidak segera melompat,
sudah pasti dadanya remuk terkena tepukan tangan
itu.
Pendekar Gila masih bergerak. Tubuhnya meliuk-
liuk mengelakkan serangan ketiga lawannya. Tangan-
nya sesekali menepuk.
"Heaaa...!"
Plak!
"Ukh...!" keluh Barka Sulung. Tubuhnya terlontar
deras keluar, kemudian jatuh setelah menabrak
orang. Yang ditabrak langsung pingsan. Sedangkan
Barka Sulung meringis dengan bibir berdarah.
Melihat Barka Sulung dalam beberapa gebrakan
saja dapat dikalahkan oleh pemuda tampan yang
tingkahnya seperti orang gila itu, seketika nyali Barka
Panengah dan Barka Bungsu ciut. Dengan segera,
keduanya berkelebat meninggalkan kedai. Mengambil
tubuh kakaknya, lalu melesat pergi.
"Hai, tunggu...!" seru Sena, berusaha meng-
hentikan Tiga Barka Kembar. Namun ketiganya yang
sudah ketakutan, tak mau menghiraukan seruan itu.
Mereka terus berlari.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Dengan tersenyum-senyum, dihampirinya pemilik
kedai dan putrinya yang juga tersenyum padanya.
"Maafkan apa yang telah kuperbuat, Ki," kata
Sena, menyesali hal yang telah terjadi di kedai itu.
"Ah, tidak apa-apa, Tuan. Bahkan kami sangat
berterima kasih atas pertolongan Tuan," jawab
pemilik kedai.
"Sudahlah, Ki. Tak usah berkata begitu. Siapakah
ketiga orang kembar itu, Ki?" tanya Sena kemudian.
"Mereka orang jahat yang cabul. Mereka bernama
Tiga Barka Kembar."
"Baiklah, Ki. Aku hendak mengejar mereka. Aku
mohon pamit."
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat
laksana terbang meninggalkan pemilik kedai dan
anaknya yang terperangah menyaksikan bagaimana
pendekar itu menghilang dengan cepat

LIMA

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua tahun
telah berlalu. Saat itu di sebuah gua, seorang wanita
muda dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang
diturunkan oleh gurunya. Wanita muda yang tidak lain
Wulandari, dengan cepat dapat menyerap semua ilmu
Nyi Kendil. Penyebabnya adalah dendam yang terus
membara di hatinya, menjadikan semangatnya untuk
berlatih bagaikan api yang tak pernah padam. Setiap
hari dia berlatih hingga dalam waktu singkat semua
ilmu si nenek dapat dikuasainya.
Wulandari yang dulu lemah, kini telah menjadi
sosok wanita cantik yang memiliki ilmu tinggi.
Pakaian yang dikenakannya bukan lagi pakaian
wanita desa, melainkan pakaian seorang pendekar.
Berbaju merah jambu dan celana dengan warna
sama. Kepalanya juga bertudung merah jambu.
Sedangkan wajahnya tertutup secarik kain merah
darah sebatas kelopak mata.
"Semua ilmu yang kumiliki, telah semuanya kau
kuasai. Maka kini kau harus menggantikanku,
Wulan..."
Sesaat Nyi Kendil menghentikan ucapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam.
"Semula aku hendak turun ke rimba persilatan.
Namun kini aku urungkan, sebab aku telah mendapat
pengganti. Nah, berangkatlah. Carilah musuh-
musuhmu," lanjutnya.
"Terima kasih, Guru. Wulan mohon pamit..."
Nyi Kendil mengangguk, kemudian mengiringi
langkah muridnya ke pintu gua yang masih tertutup.
Ditekannya telapak tangan pada dinding gua, lalu
pintu gua itu seketika terbuka.
"Pergilah dengan hati yang tetap. Ingat, jangan,
kembali lagi kemari...," pesan Nyi Kendil setelah
melepas muridnya yang akan turun ke rimba
persilatan.
"Baik, Nek...," jawab Wulandari. Setelah menjura,
Wulandari meninggalkan gua tempat gurunya dengan
dendam membara di hati.
Wulandari terus berlari meninggalkan tempat itu
menerobos hutan yang ada di hadapannya tanpa
merasakan gentar sedikit pun.
Ketika telah berada di tengah hutan, tiba-tiba
telinganya yang sudah terlatih mendengar suara
gemerisiknya daun kering terinjak kaki manusia.
Wulandari cepat menghentikan larinya. Matanya yang
tajam menyapu ke sekelilingnya. Telinganya dipasang
tajam pula, berusaha mengetahui di arah mana suara
itu berasal.
Kresek!
"Hm, ada tiga orang lelaki. Nampaknya mereka!
bukan bermaksud baik. Kebetulan sekali," gumam
Wulandari. Matanya terus mengawasi semak-semak
yang ada di sekelilingnya dengan tajam.
Benar juga dugaannya. Dari semak-semak,
berlompatan tiga orang lelaki bertampang angker
mengenakan rompi hitam. Tak urung membuat
wanita berpakaian merah jambu itu terkejut.
Napasnya turun naik, sedangkan matanya
memandang tajam penuh kebencian pada tiga orang
itu.
"He he he...! Rupanya di hutan seperti ini
menemukan seorang wanita, Kakang...!" seloroh
salah seorang dari ketiga lelaki bertampang kasar itu,
yang tiada lain Barka Bungsu.
"Ya, kebetulan sekali.... Lama kita bersembunyi di
hutan ini dari kejaran Pendekar Gila. Akhirnya kita
dapat juga seorang wanita," timpal Barka Sulung
sambil terkekeh, menunjukkan giginya yang kuning.
Wulandari masih diam. Hanya matanya yang tajam
memperhatikan gerak-gerik ketiga lelaki yang
nengingatkan kembali akan peristiwa dua tahun
silam. Ketiga lelaki inilah yang telah menyiksa
suaminya dan hampir saja memperkosanya.
"Hendak ke manakah kau, Nona? Mengapa mesti
terburu-buru? Bukankah lebih baik bersama kami
dulu...?" goda Barka Panengah dengan bibir
cengengesan. Ketika tangannya hendak menjamah
dada wanita itu, tiba-tiba si wanita menyentak.
Trak!
"Auh...!" Barka Panengah memekik, matanya
melotot tegang memandang wajah wanita itu. Dia
tidak nenduga kalau hentakan tangan wanita itu
mampu membuat tulang tangannya terasa nyeri.
Bukan hanya Barka Panengah saja yang terbelalak
menyaksikan gerakan si wanita yang begitu cepat dan
keras. Kedua saudaranya juga terkejut.
"Heh, rupanya kau bukan wanita sembarangan,
Nona," gumam Barka Sulung sambil mengelus
dagunya. "Tapi aku lebih senang dengan wanita
sepertimu."
"Kalian memang laki-laki bajingan yang harus
kusingkirkan dari dunia ini! Bersiaplah. Heaaa...!"
Wulandari yang sudah tidak dapat menahan amarah
dan dendamnya, segera melancarkan serangan.
Tubuhnya membungkuk, sementara tangan kanannya
menyambar ketiga lelaki itu. Sedangkan tangan kiri
bergerak mencengkeram ke arah kemaluan mereka.
Bukan alang-kepalang terkejut ketiga lelaki ber-
pakaian rompi hitam menyaksikan gerakan serangan
wanita berpakaian merah jambu itu. Mereka tak
menduga sama sekali, kalau wanita itu akan
melakukan serangan yang cepat.
''Heaaa...!"
Hampir saja selangkangan mereka menjadi korban
cengkeraman tangan kiri wanita itu, kalau saja
mereka tidak segera mengelak ke belakang. Mata
mereka saling pandang, kemudian dengan cepat
ketiganya balik menyerang.
"Heaaa...!"
Tiga Barka Kembar merangsek Wulandari ber-
bareng dengan melancarkan pukulan yang masih
ringan. Sengaja mereka menggunakan seperempat
tenaga dalam, karena menganggap lawan yang
mereka hadapi bukanlah lawan berat. Apalagi mereka
belum tahu kehebatan wanita itu di rimba persilatan.
Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak memutari
Wulandari yang masih diam dengan membuka kedua
tangannya. Sesekali mereka menggoda. Tangan Tiga
Barka Kembar serentak menjulur ke dada wanita itu,
namun dengan cepat Wulandari mencelat ke atas.
Kedua tangannya direntang lebar, kemudian ditarik
ke atas dan dilanjutkan dengan menghentak ke
bawah.
"Heaaa...!"
Serangan pembuka yang dilancarkan Tiga Barka
Kembar seketika morat-marit, manakala Wulandari
melakukan serangan balasan yang tak mereka duga
sama sekali. Serangan yang dilakukan oleh Wulandari
benar-benar mengagetkan mereka. Dengan
melompat mundur, Tiga Barka Kembar berseru
kaget...
"'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!"
Mata Tiga Barka Kembar terbuka lebar, dan tak
percaya dengan apa yang mereka lihat. Setahu
mereka, yang memiliki jurus seperti itu adalah
seorang tokoh wanita tua yang akhir-akhir ini tak
terdengar lagi rimbanya. Namun kini, tiba-tiba jurus
itu kembali nampak. Tapi dimainkan oleh seorang
wanita yang dilihat dari penampilannya masih muda
belia.
"Nona, ada hubungan apa kau dengan Nyi Kendil?"
tanya Barka Sulung dengan mata memandang heran
pada Wulandari yang tersenyum sinis.
"Apa pun hubunganku dengan wanita yang kau
sebut, kau tak perlu tahu! Yang jelas, nyawa kalian
harus kurenggut! Heaaa...!"
Tanpa menunggu lawan bersiap-siap lebih dahulu,
Wulandari kembali melancarkan serangan. Jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang
mengejutkan Tiga Barka Kembar, kini semakin diper-
cepat. Lagi-lagi ketiganya tersentak kaget. Mau tak
mau, mereka harus mengelakkan serangan lawan
yang ganas dan mematikan.
Wulandari tak berhenti sampai di situ. Tangannya
yang mengembang kian membabat gencar. Tangan
kanannya menyerang ke ulu hati, sedangkan tangan
kiri bergerak untuk mencengkeram selangkangan
lawan. Gerakannya sangat cepat, hingga mampu
membuat Tiga Barka Kembar tersentak.
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuh kita!"
pekik Barka Bungsu sambil mengelakkan serangan
lawan yang cepat dan mematikan. Sesekali Barka
Bungsu menggeser ke samping, kemudian kakinya
menendang ke arah dada lawan. Namun serangan
yang dilancarkannya senantiasa berantakan, sebab
lawan telah mendahuluinya dengan cepat.
"Heaaa...!"
Jurus yang digunakan lawan memang bukan jurus
sembarangan. Kehebatan dan keganasan jurus
'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap', sudah mereka
dengar sejak lama.
Barka Sulung dan Barka Panengah membantu.
Namun, kembali mereka harus melontarkan tubuh ke
belakang, sebab wanita bercadar merah darah itu
telah berbalik menyerang dengan cepat arah mereka.
"Heaaa...!"
Tubuh Wulandari yang merunduk, bergerak cepat.
Kedua tangannya yang menyerang bergantian bantu
dan susul. Hal itu membuat kedua lawannya tak
memiliki kesempatan untuk balas menyerang satu
kali pun.
"Celaka! Wanita ini benar-benar telah menguasai
semua ilmu yang dimiliki Nyi Kendil...!" keluh Barka
Sulung semakin kaget, saat menyaksikan ke-
sempurnaan jurus-jurus yang dikeluarkan Wulandari.
Sepertinya, mereka tengah berhadapan dengan Nyi
Kendil sendiri.
Wulandari yang dendamnya masih membara, tak
banyak omong. Dia benar-benar berusaha membunuh
ketiga lelaki itu secepat mungkin. Serangan-
serangannya kian lama kian ganas. Tangannya yang
mencengkeram dan menyodok, laksana dua buah
senjata tajam yang digerakkan dengan tenaga dalam
penuh.
Kedua tangan wanita itu bergerak laksana tiada
henti. Satu ke ulu hati lawan, sedangkan yang kedua
selangkangan. Bukan itu saja. Kakinya pun tidak
tinggal diam. Kakinya turut bergerak, menyapu, atau
menendang ke arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Panengah berusaha
mengelit, kemudian dengan cepat keduanya
menyodorkan pukulan ke dada lawan. Namun
keduanya segera mengurungkan niat, manakala
secara cepat dan tiba-tiba tangan lawan telah
mendahului menyerang. Kalau saja mereka menerus-
kan serangannya, tidak ampun lagi buah
selangkangan mereka akan hancur tercengkeram
tangan Wulandari.
"Awas Panengah...!" seru Barka Sulung
mengingatkan adiknya. Sedangkan tubuhnya dengan
cepat melompat. Sementara kakinya berusaha
menepiskan tangan lawan.
Rupanya gerakan yang dilancarkan Barka Sulung
dimanfaatkan Wulandari dengan baik. Wanita muda
bercadar merah itu secepat kilat menarik tangan
kanannya, kemudian seluruh serangannya tertuju
pada Barka Panengah.
"Heaaat..!"
Mendapatkan serangan cepat yang ditujukan
padanya, Barka Panengah tersentak. Dia berusaha
melompat mundur untuk mengelakkan serangan
lawan. Tangannya melepas satu pukulan maut Tapi
Wulandari menepiskan pukulan itu dengan
entengnya. Hanya dengan mengebutkan selendang-
nya, pukulan maut 'Serat Sapta Geni' tingkat kelima
yang dilancarkan Barka Panengah dapat dimusnah-
kan.
Mata Barka Panengah membelalak kaget. Sama
sekali tak diduga kalau pukulan mautnya dapat
dimusnahkan hanya oleh kebutan selendang. Saking
terpana menyaksikan pukulan mautnya dapat
dimusnahkan awan, Barka Panengah tak sempat


mengelakkan serangan susulan lawan. Hingga.... 
Crak!
"Akh...!" Barka Panengah memekik keras, ketika
tangan lawan mencengkeram kemaluannya.
Seketika kemaluan laki-laki itu pecah berantakan
dan menyemprotkan darah. Barka Panengah
langsung memegangi kemaluannya dengan mata
membelalak. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian
ambruk ke tanah. Tewas!
"Panengah...!" seru kedua saudaranya dengan
mata membelalak saat menyaksikan Barka Panengah
mati dengan keadaan mengerikan. Kemaluannya
hancur akibat cengkeraman tangan wanita bertudung
merah jambu.
Melihat kedua lawan lain masih terkesiap
menyaksikan kematian saudaranya, tanpa mem-
buang waktu lagi Wulandari kembali melancarkan
serangan.
"Heaaa...!"
Tangannya bergerak semakin cepat. Satu
mengancam dada lawan, sedangkan tangan yang lain
arah selangkangan.
Barka Sulung dan Barka Bungsu terkejut
mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung keduanya
segera mengelak. Sehingga mereka tidak mengalami
nasib seperti Barka Panengah. Kemudian dengan
penuh amarah, keduanya balik menyerang berbareng.
"Heaaa...!"
"Kubunuh kau! Heaaa...!" Wulandari yang
memendam dendam kepada Tiga Barka Kembar,
semakin ganas melancarkan serangan? Wanita
bercadar merah itu, laksana seekor harimau betina
yang garang. Tangannya mencakar ke arah lawan
bertubi-tubi. Menjadikan serangan kedua lawannya
porak-poranda.
"Kalian harus mampus! Yeaaa...!"
Wulandari terus merangsek dengan cengkeraman-
cengkeraman ke arah selangkangan lawan, membuat
kedua lawannya semakin terdesak hebat.
Dalam keadaan di ujung tanduk itu, Barka Sulung
dan Barka Bungsu segera mengeluarkan senjata
masing-masing. Tangan kedua saudara kembar itu
kini tergenggam trisula. Keduanya berusaha
menusukkan senjatanya ke arah lawan, namun tetap
saja mengalami kegagalan. Gerakan lawan terlalu
cepat dan sulit diterka. Lincah laksana kupu-kupu
terbang. Gesit laksana harimau betina yang
mengamuk.
"Celaka...!" pekik Barka Bungsu kaget dengan
wajah tegang ketika serangan lawan yang cepat
mengarah padanya. Tangannya berusaha membabat-
kan trisulanya ke tangan lawan. Ternyata dugaannya
meleset.
Wulandari menarik tangannya menyerang, lalu
segera mengirim tendangan telak ke selangkangan
lawan. Tanpa ampun lagi, tendangan keras Wulandari
tidak sempat dihindari Barka Bungsu.
Begk!
"Aaakh...!" Barka Bungsu memekik keras. Trisula di
tangannya lepas. Tangannya kini memegangi
selangkangannya yang pecah. Matanya membelalak
tegang. Mulutnya hendak bersuara, namun nyawanya
telah melayang. Tubuh Barka Bungsu ambruk dengan
keadaan mengerikan.
"Kau...?!"
Menyaksikan kedua saudaranya mati, nyali Barka
Sulung ciut. Tanpa berpikir panjang, tubuhnya segera
berkelebat untuk lari meninggalkan tempat itu.
Namun Wulandari tidak mau melepas lawan begitu
saja.
"Mau lari ke mana kau, Bajingan?! Heaaa...!"
Tubuh Wulandari melesat cepat, bersalto di udara
lalu tangannya bergerak cepat menghantam tubuh
Barka Sulung dengan keras.
Desss!
"Aaakh...!" Barka Sulung memekik keras.
Kemudian, sambil membalikkan tubuh dipandanginya
Wulandari dengan mata melotot. Kemudian tubuhnya
ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Akhirnya aku dapat membalas
semuanya! Kakang, lihatlah! Lihatlah dari akhirat,
kala istrimu akan mencabut jantung mereka!"
Bagaikan orang gila, Wulandari tertawa tergelak-
gelak. Kemudian dengan penuh kebengisan, tangan
Wulandari bergerak menusuk dada Tiga Barka
Kembar yang telah binasa.
Crakkk!
Tangan Wulandari menyeruak masuk ke dalam
dada Barka Sulung, kemudian tangannya men-
cengkeram jantung lawan. Ditariknya jantung lawan,
rongga dadanya. Kemudian dengan tangan berlepota
darah, Wulandari mencengkeram kemaluan lawannya
dan dibetotnya sampai putus. Diangkatnya jantung
dan kemaluan lawan tinggi-tinggi.
"Kakang Selo, lihatlah! Ini jantung dan kemaluan
mereka yang kupersembahkan padamu! Semoga kau
tenang di alam sana!"
Wulandari kembali tertawa tergelak-gelak sambil
meremas-remas jantung dan kemaluan lawan yang
telah dibetot dari tubuh Barka Sulung. Setelah itu,
kembali Wulandari membetot kemaluan dan jantung
Barka Bungsu dan Barka Panengah dengan buas.
Diremasnya sampai hancur. Kemudian mulutnya
mengumandangkan tawa bagai orang gila.
Setelah puas melakukan semuanya, Wulandari
berlalu. Tempat itu kembali sepi. Tinggal tiga tubuh
tergeletak mengerikan. Dada mereka berlubang dan
kemaluan mereka hilang.

ENAM

Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular
melangkah menyelusuri hutan belukar. Pemuda
LANJUT