Pendekar Gila 4 - Duel Di Puncak Lawu(1)


DUEL DI PUNCAK 
LAWU 
oleh Firman Raharja 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Mardiansyah 
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dart penerbit 
  
Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan 
kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih me-
nutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya. 
Seakan dipenuhi oleh kedamaian. 
Selama ini, belum ada seorang pun yang datang 
ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir 
percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada se-
suatu di balik keasrian dan kedamaiannya. 
Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlari-
lari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, me-
manjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur 
dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali 
lelaki itu menengok ke belakang, seperti tengah meya-
kinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang melihat  
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan 
kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya 
yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap 
ditiup angin. 
Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia me-
nyimpan penderitaan batin yang dalam. 
"Rupanya apa yang kudengar selama ini me-
mang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi 
yang bernama Catrik Ireng itu. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. "Ah, benarkah dia Singo Edan?" 
Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata 
kelabunya memandang Gunung Lawu yang memben-
tang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi, 
berwarna biru sebagian tertutup kabut. 
Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang 
ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar 
dua puluh lima tahun. 
"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat 
ini? Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki 
Catrik Ireng, tersadar dari lamunannya. Kemudian 
dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat me-
ninggalkan tempat itu. 
Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat. 
Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gu-
nung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepa-
lanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia 
sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekeli-
lingnya, meyakinkan dirinya kalau-kalau ada yang 
menguntit tanpa diketahui. 
Setelah yakin tak ada seorang pun yang men-
guntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat 
untuk mendaki puncak Gunung Lawu yang tinggi. 
Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghi-
lang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada 
sesuatu yang tersembunyi di balik batu cadas itu. Jika 
dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama 
sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-
amati dengan seksama, di balik batu cadas yang men-
julang tinggi itu terdapat sebuah goa. 
Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di 
kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi. 
Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang 
kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus. 
Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu. 
Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan 
kirinya menjulur ke lubang dan menggerakkan batu 
cadas yang ada di atasnya. 
Krek...! 
Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping 
dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin 
melebar dan akhirnya nampaklah lubang besar yang 
dapat dimasuki oleh dua orang. 
Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu. 
Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas 
yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali teru-
lang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang berge-
rak menyempit. Kini hanya lubang sebesar tubuh tikus 
saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar 
masuknya udara. 
Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat 
tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada 
seorang pun yang melihatnya. Terlebih dengan tem-
patnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang persilatan 
biasa untuk sampai di goa aneh itu. 
Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tu-
buh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri 
lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong 
itu semakin ke bawah. 
Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lo-
rong yang memang telah dibuat undak-undakan tang-
ga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samp-
ing kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat 
banyak sekali ruangan. Sepertinya di tempat itu ba-
nyak sekali penghuninya. 
Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertu-
tup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan 
mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah 
kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki pera-
saan. Tanpa sedikit pun tegur sapa, atau sekadar ter-
senyum. 
"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, me-
merintah pada orang-orang aneh itu. Nampaknya me-
reka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka 
segera melaksanakan apa yang diperintahkan lelaki 
tua itu. 
Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah ba-
tu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di 
atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para 
pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam 
pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu 
mengambil obat-obatan. Satu mengambil air. Dan lima 
orang yang lain menguruti tubuh pemuda tersebut 
Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Sete-
lah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari me-
reka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si 
pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap men-
gepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu. 
"Aaakh...!" 
Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya 
menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak ber-
cucuran membasahi tubuhnya. 
Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak 
menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat 
rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di 
dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara ma-
tanya melotot merah. 
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersi-
nar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya me-
rah itu mengalir dari tubuh orang berjubah hitam ber-
kumis tipis, yang wajahnya kini membara pula. 
"Aaakh...!" 
Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras. 
Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar he-
bat. Kemudian terkulai jatuh. 
Rupanya itulah cara pengobatan yang dite-
rapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah 
hitam itu sepertinya memang khusus ditugaskan un-
tuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus 
menerima kematian. 
Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hi-
tam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai diba-
kar api yang membara. 
Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah mela-
kukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya 
para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda 
tampan itu. 
"Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tan-
tanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam 
Ki Catrik Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun 
yang silam kembali terkuak dalam benaknya. 
*** 
Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan 
ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya 
tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan 
bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama 
Singo Edan dari Goa Setan. Yang kemudian terkenal 
dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski 
nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda. 
Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Ka-
rena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmu-
ilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan 
sebutan Catrik Aneh. Karena Catrik Aneh itu selalu 
memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga se-
bagai Catrik Ireng. 
Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba 
persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan, 
sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang le-
mah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tin-
dakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung 
dengan para pendekar untuk mengalahkan atau dika-
lahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu me-
nantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi 
gempar. 
Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan 
waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk 
membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng. 
"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili 
kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik 
Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati 
oleh para pendekar lainnya. 
Karena diberi amanat untuk menghentikan se-
pak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksana-
kan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik 
Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah. 
Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan 
sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. 
Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila da-
ri Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang 
memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa 
menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya 
dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan sa-
ja. 
"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian berte-
mu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng!" 
kata Catrik Ireng setiap kali  bertemu dengan orang-
orang persilatan yang dapat dikalahkannya. 
Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gu-
nung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi kedua-
nya untuk memastikan siapa si antara mereka yang 
ilmunya lebih tinggi. 
"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu 
agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan," 
ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya cengengesan, persis orang gila. 
"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu! 
Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persila-
tan, jika kau dapat mengalahkanku!" tantang Catrik 
Ireng. 
Singo Edan tertawa tergelak-gelak. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung? Apa-
lah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibanding-
kan ilmu yang dimiliki Hyang Widhi," tutur Singo 
Edan. 
"Pengecut! Ternyata nama besar Pendekar Gila 
dari Goa Setan hanya omong kosong!" 
"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya 
kita bertarung untuk memperebutkan pepesan ko-
song.,.." 
"Phuih...! Rupanya kau berusaha lari dari se-
mua tanggung jawabmu! Huh! Tak pantas seorang 
pendekar bersikap sepertimu." 
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik. 
Terpaksa aku melayanimu...." 
Pertarungan kedua tokoh muda rimba persila-
tan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi 
tak dapat dielakkan. Keduanya bertarung tiada henti. 
Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya sama-
sama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit un-
tuk menentukan siapa di antara mereka yang akan ka-
lah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan 
lincah, walau bertempur semalaman. 
Keduanya kini telah mengeluarkan senjata 
masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata 
berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan 
mengeluarkan Suling Naga Sakti.  
"Heaaa...!" 
"Yeaaat..!" 
Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo 
Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga 
Saktinya ke arah bumerang kembar itu. 
Trang! 
Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan 
api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuan-
nya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun. 
Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksi-
kan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian. 
"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang. 
Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini! Lima puluh 
tahun lagi, aku akan datang...." 
Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat 
meninggalkan tempat  itu. Sejak saat itulah Catrik 
Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang 
dari dunia persilatan bagai ditelan bumi. Dia terus 
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-
nya. Sampai akhirnya dia muncul kembali! 
*** 
Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah 
mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Keja-
dian itu tak akan pernah dilupakannya. Dan mung-
kinkah kejadian itu akan terulang lagi? Ya, akan terja-
di lagi! Namun kini akan lain dengan lima puluh tahun 
yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir ter-
senyum. 
"Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu 
kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang 
benar-benar tinggi ilmunya! Ha ha ha...! Kali ini kau 
akan kalah, Pendekar Gila! Kau akan menerima bala-
san ku!" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahak-
bahak. 
Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya 
melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah 
perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya bera-
da. 
Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring 
dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatan-
nya luka dalam pemuda itu telah dapat disembuhkan. 
Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seo-
rang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong. 
Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya. 
"Bawa dia ke tempat penggodokan!" perintah Ki 
Catrik Ireng. 
Enam orang berjubah hitam lainnya segera 
mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi 
dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali 
dengan Ki Catrik Ireng. 
"Ha ha ha...! Laskar Setan  ku rupanya telah 
siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku 
akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan! Tak 
akan ada yang dapat mengalahkanku...!" 
Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak mem-
bayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya 
akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi. 
Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perin-
tahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang, 
meski nyawa mereka sebagai taruhannya. 
Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda 
berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipan-
danginya wajah pemuda itu, dan dihelanya napas pan-
jang-panjang. 
"Memang kau bukan tandingannya, Anakku. 
Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika di-
bandingkan Pendekar Gila." 
Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi 
pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan 
wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpa-
kaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu me-
warisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng. 
'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita, 
Nak. Ibumu memang wanita lacur! Kau ditinggal sejak 
kecil, sejak masih bayi. Entah di mana kini ibumu be-
rada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung. 
Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah 
tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat 
lalu memandang ke sekelilingnya. 
"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng. 
Ki Catrik Ireng tersenyum. 
"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Un-
tung Ayah lewat di tempat itu." 
"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh 
tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Praba-
sangka. "Mengapa dia masih muda belia? Bahkan lebih 
muda dariku?" 
Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihe-
lanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap. 
Dan matanya memandang lepas ke depan. 
"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi se-
mua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang 
miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang 
Pendekar Gila." 
"Mungkin anaknya, Ayah?" 
Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibir-
nya tersungging senyuman. 
"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagai-
mana mungkin dia punya anak? Meski Ayah bersem-
bunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan 
dia tak pernah menikah. Mungkin ilmunya menjadikan 
dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng. "Dua purnama 
lagi duel itu akan terulang. Ayah berharap selama itu 
kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang 
akan menjadi pemimpin Laskar Setan." 
"Baik, Ayah." 
"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan 
semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar 
Setan bersamamu." 
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa ter-
bahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Ca-
trik Ireng meninggalkan putranya yang masih terdu-
duk. 
*** 
  
Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan 
panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda 
berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah me-
nyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera 
panas terik yang memanggang tubuhnya. Sesekali ke-
palanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang 
membasahi pelipisnya. 
"Uhhh...! Panas sekali hari ini," keluh pemuda 
tampan itu yang tidak lain Sena Manggala atau Pende-
kar Gila dari Goa Setan 
Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan, 
berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha 
mencari paman dan bibinya. Hanya mereka yang dapat 
dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun 
entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya. 
Sena terus melangkah, membawa kakinya un-
tuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang se-
perti orang gila, semakin bertambah lucu dengan kea-
daan yang panas menyengat seperti itu. Sesekali kepa-
lanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bo-
doh. 
"Anak muda, tunggu...!" 
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita, 
memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya. 
Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya 
langsung berbalik untuk melihat orang yang menyu-
ruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya 
nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk me-
langkah ke arahnya. Wanita tua itu mengenakan pa-
kaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan 
ikat kepala berwarna hitam pula. 
Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya 
wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan 
hidung bangir. Sedangkan matanya diperindah oleh 
alis tipis serta bulu mata yang lentik. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya. 
Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor mo-
nyet yang kepanasan dipanggang matahari 
"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?" 
tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet 
kepanasan. 
"Hik hik hik..! Pucuk dicinta ulam tiba," ucap 
nenek yang ternyata Nyi Kendil, guru Bidadari Cadar 
Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar 
Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah"). 
Sena mengerutkan kening mendengar ucapan 
Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil meng-
garuk-garuk kepala mulutnya mengoceh, 
"Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk? 
Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat 
ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?" 
Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat men-
dengar ucapan pemuda itu. 
"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya se-
raya mengangguk-angguk. 
"Apanya yang tak salah, Nek? Ah, sudahlah. 
Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Se-
na masih bertingkah laku aneh. 
"Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah 
kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang 
tersohor itu...?!" tanya Nyi Kendil dengan suara lan-
tang, setengah membentak. 
Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai me-
nyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit, 
dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya 
kembali seperti semula, cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut terso-
hor untuk pemuda sebodoh aku, Nek. Memang kena-
pa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi 
Kendil. 
"Jadi kau pendekar itu? He he he.... Bagus...," 
gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh. "Namamu 
yang besar sering kudengar. Menggugah hatiku untuk 
membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sa-
rangku." 
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut 
nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepa-
lanya digelengkan. 
"Ah, mengapa begitu, Nek? Aku bukan manusia 
aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelema-
han. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya 
Nenek berusaha mencariku? Bahkan hendak mencoba 
ilmuku?" 
"Hik hik hik...!" Nyi Kendil tertawa-tawa, mem-
buat tubuhnya turut terguncang-guncang. "Weleh, 
mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-
nasaran saja. Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi 
memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka 
ini. Bersiaplah...!" 
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala 
dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi 
Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berse-
ru.... 
"Tunggu...!" 
Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya 
pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti. 
"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih 
dengan mata memandang tajam serta kening berkerut 
"Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk 
menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah 
yang menang. Nah, permisi." 
"Tunggu...!" seru Nyi Kendil, ketika melihat Se-
na hendak berlalu. 
Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya te-
rus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menan-
tangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia me-
rasa telah diremehkan oleh pendekar itu. 
"Kurang ajar! Rupanya kau menyangka begitu 
mudah lari dariku, Anak Muda! Heaaa...!" 
Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemu-
dian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Ge-
rakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmunya 
bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-
matangan ilmunya amat luar biasa. 
Jleg! 
Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah 
sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seke-
tika menghentikan langkahnya. 
"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Men-
gapa kau masih saja tak puas? Bukankah telah kuka-
takan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil 
tertawa dan menggaruk-garuk kepala, membuat Nyi 
Kendil berungut kesal. 
"Kurang ajar! Apakah dengan begitu aku akan 
membiarkan mu pergi! Aku jauh-jauh mencarimu un-
tuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan ku-
biarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiap-
lah! Yeaaat..!" 
Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang 
lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagai-
kan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diang-
kat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pu-
kulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak 
laksana kaki-kaki seekor binatang yang tengah meng-
hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu 
Menghisap Bunga'. 
Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita 
tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia 
pernah melihat jurus itu digunakan untuk menye-
rangnya. 
Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat 
siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus 
itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya. 
Siap menghantam dada dan kemaluan. 
Wuttt! 
"Uts...!" 
Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya 
melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana me-
nari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan 
yang dilancarkan wanita tua itu. 
Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya 
gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah 
daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya 
menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya mencengkeram ke selangkangan. 
Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepat-
cepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuh-
nya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan se-
sekali tangannya menepuk ke dada lawan. 
Sambil terus mengelakkan serangan yang di-
lancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha 
mengingat-ingat siapa orang yang pernah mengguna-
kan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu menga-
rah ke titik kematian, ke arah kemaluan lawan. 
"Heaaa...!" 
"Uts! He he he...! Mengapa kau sudah tua ma-
sih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-
liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan. 
"Tutup mulutmu, Gila! Heaaat..!" 
Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya 
laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah 
selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar 
Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk memen-
tahkannya. 
"Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek? 
Aduh...! Celaka kalau wanita setua  mu masih cabul. 
Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...." 
Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan 
Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mema-
tikan. 
Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin 
bertambah geram. Dengan dengusan penuh amarah, 
wanita tua itu semakin mempergencar serangannya. 
Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai 
tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, me-
nendang dan menyapu kaki lawan.  
"Yeaaat..!" 
Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ga-
nas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi se-
bagai orang yang sudah sering menghadapi hal-hal se-
perti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan ma-
sih dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus seran-
gan-serangan yang dilancarkan Nyi Kendil. 
"Jangan hanya mengelak saja, Gila! Tunjukkan 
ilmumu yang kesohor itu...!" bentak Nyi Kendil beru-
saha memancing amarah pendekar muda itu. "Kalau 
kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-
lahkan kalau aku membunuhmu! Yeaaat..!" 
Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu 
tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh. 
Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu. 
Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan 
yang dilancarkan wanita tua itu. 
Merasa usahanya untuk memancing kemara-
han Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah 
marah. Kekuatan tenaga dalamnya ditambah, dan se-
rangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya 
bergerak kian liar. 
"Awas, Nek...!" 
"Uts...!" 
Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pen-
dekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebe-
lumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi 
Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang. 
"Ha ha ha...!" Sena tertawa seraya menarik se-
rangannya. 
Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang. 
Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Na-
fasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergo-
lak di dadanya. 
*** 
Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita 
tua itu semakin sengit 
"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu! Aku 
belum kalah olehmu! Yeaaat..!" 
Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya 
merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke 
depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke 
atas, dengan kaki-kaki yang menghentak  
Melihat serangan yang dilancarkan lawannya, 
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benak-
nya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa se-
benarnya orang yang pernah menyerangnya dengan ju-
rus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu. 
"Wet hampir saja...!" pekik Sena sambil memi-
ringkan tubuhnya ke samping. 
Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan 
serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu den-
gan cepat Pendekar Gila balas menyerang. 
"Jaga dadamu, Nek! Yeaaa...!" 
Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak 
tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wa-
nita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya me-
nyaksikan jurus lawannya. Gerakan tangan lawan ke-
lihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sung-
guh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat 
mundur, tentu dadanya akan jebol. 
"Edan! Benar-benar ilmu edan!" maki Nyi Kendil 
bersungut-sungut. Sedangkan Pendekar Gila kembali 
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku 
kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan 
tingkah lakunya yang persis orang tolol. "Kuharap kau 
mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi pula, an-
tara kita tak ada silang sengketa...." 
"Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kendil, membuat 
mata Sena melotot kaget "Enak benar kau berkata di 
antara kita tak ada silang sengketa...!" 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan 
kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan 
kepalanya menggeleng-geleng. 
"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Ba-
gaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?" 
"Diam! Kau kira karena kita baru bertemu ma-
ka antara kita tak ada silang sengketa?!" dengus Nyi 
Kendil masih dengan suara membentak. Matanya ma-
sih melotot marah. "Pendekar cabul! Sungguh sangat 
disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya 
diagung-agungkan ternyata cabul! Suka memperkosa 
gadis dan istri orang!" 
Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan 
yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya beru-
saha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah. 
Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang men-
gaku-aku dirinya. 
"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau 
punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang. 
"Ya!" dengus Nyi Kendil. 
"Hm, katakanlah bukti apa?" 
Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya 
bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya. 
"Muridku buktinya!" 
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian 
tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya. 
Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh ne-
nek itu sama dengan jurus Wulandari atau Bidadari 
Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk 
kepala sambil tersenyum. 
"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah 
muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Ca-
dar Merah?" tanya Sena. 
Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh ama-
rah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang 
telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia ta-
hu nama muridnya. 
"Ya! Bukankah kau yang memperkosanya?!" 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas 
di udara, lalu terbawa oleh angin. Kemudian dengan 
tingkah anehnya, Sena kembali berkata.... 
"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa an-
tara kau dan aku, Nek? Hm, kau boleh tanya pada mu-
ridmu. Apakah benar aku yang telah memperko-
sanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit." 
Usai berkata begitu, Sena segera menjura hor-
mat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil 
kembali berseru menghentikan langkahnya.  
"Tunggu...!" 
Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya te-
rus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nam-
pak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke 
arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menye-
but nama wanita bercadar merah itu. 
"Wulandari...!" 
"Tuan Pendekar, tunggu...!" panggil Wulandari. 
Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang 
menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada 
guru." 
Wulandari segera mengajak Sena ke tempat gu-
runya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari 
Cadar Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil 
mengangguk-anggukkan kepala. 
"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah me-
renggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian. 
"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah meno-
longku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda ber-
topeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wu-
landari dengan mata mengerling sungkan pada Sena 
yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Nah! Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah 
kau akan menuduhku cabul? Bukankah jurusmu yang 
sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi 
Kendil langsung melotot. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil 
tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang me-
nyaksikan gurunya melotot, hanya tersenyum. Kemu-
dian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak 
enak itu. 
"Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan anta-
ra orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua 
orang persilatan telah mendapatkan undangannya." 
"Hah...?!" Sena bengong. 
*** 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan 
tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sam-
bil tersenyum-senyum. 
"Duel...? Apakah aku tak salah dengar, Nyi?" 
"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyela-
matkan si keparat yang menodai ku dulu telah menye-
bar pengumuman, ini buktinya...." 
Wulandari mengambil lipatan daun lontar di 
ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Se-
na yang segera membacanya. 
Bagi semua pendekar rimba persilatan! 
Kami  mengundang Anda pada dua bulan pur-
nama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk me-
nyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang 
nomor satu di rimba persilatan. 
Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang per-
nah kami lakukan lima puluh tahun yang silam. Semoga 
Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar! 
Catrik Ireng. 
"Edan! Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil 
melipat daun lontar kembali. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di 
mana matahari kini agak condong ke arah barat. 
"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu ada-
lah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti 
"Catrik Ireng...?!" seru Nyi Kendil kaget dengan 
mata membelalak. Membuat Wulandari dan Sena me-
mandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya. 
"Ada apa, Guru? Apakah Guru mengenalnya?" 
tanya Wulandari. 
"Ya! Dia lelaki bajingan! Dialah yang telah 
membuatku harus kehilangan harapan! Kehilangan 
masa depan!" dengus Nyi Kendil, semakin membuat 
Wulandari dan Sena terheran-heran. 
Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah 
nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah, 
setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah 
ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun 
yang silam. 
"Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terja-
di antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari 
setelah menyaksikan gurunya diam saja. 
"Hm, aku pun menaruh dendam padanya," 
dengus Nyi Kendil. 
"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin 
tahu. 
"Nanti kuceritakan. Sekarang kita pergi dari si-
ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya. 
"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?" 
"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas 
pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi. 
Aku mohon pamit" 
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat 
pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa 
memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar de-
cak kagum. 
"Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulan-
dari. Kekaguman yang tergambar pada rona wajahnya 
begitu dalam. 
"Ya! Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata 
ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki il-
mu yang tinggi," sambut Nyi Kendil. 
"Jadi...." 
"Ya! Mulanya aku menyangka dialah yang telah 
memperkosa  mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar 
biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi 
mayat!" 
Wulandari semakin kagum mendengar keteran-
gan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tam-
pan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-
ri perasaan yang aneh. Wulandari tak yakin kalau itu 
hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan ka-
lau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk 
di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau me-
nerima cintaku? Dia masih perjaka asli. Sedangkan 
aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya. 
Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak mu-
rung dengan mata memandang ke arah kepergian Pen-
dekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah 
mendekati muridnya. 
"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil 
hati-hati. 
Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup 
cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjap-
ngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gu-
runya semakin tersenyum lebar. 
"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-
lu-malu  
"Mengapa tidak? Dia lelaki dan kau wanita." 
"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Se-
dangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih, 
kemudian kepalanya menunduk. 
Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perla-
han. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh 
kasih sayang. 
"Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau 
memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulu-
san cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus 
berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela 
berkorban," kata Nyi Kendil pelan, memberi petuah 
pada muridnya yang semakin tertunduk sendu. 
"Aku akan berusaha, Guru." 
"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin ta-
hu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pe-
muda itu? Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagai-
mana hasil petualanganmu" 
"Baik, Guru." 
"Ayo kita pulang." 
Kemudian keduanya segera melesat meninggal-
kan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama ke-
mudian, tubuh mereka menghilang di dalam kerimbu-
nan hutan. 
*** 
Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas ti-
kar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong re-
bus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah 
liat 
Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah 
liat ada di dekat kaki mereka. 
Keduanya mengambil singkong rebus dan gula 
merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh ke-
nikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari 
cangkir tanah liat 
"Bagaimana pengalamanmu, Wulan? Dan ba-
gaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda 
itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan se-
nyum terulas di bibir. Mata muridnya mengerjap-
ngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut. 
Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena 
Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan. 
Wulandari terlihat semakin cantik, setelah ca-
dar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wa-
jahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona 
dengan seulas senyum tersipu-sipu. 
"Kenapa, Wulan? Kau ingat dia lagi...?" seloroh 
Nyi Kendil, membuat Wulandari semakin tersipu-sipu. 
Pipinya kian merona merah. 
"Ah, Guru...." 
"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah 
muda. Nah, katakanlah...." 
Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah 
masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan 
kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pen-
galamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia 
bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan meno-
reh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama 
kali mereka bertemu di hutan setelah ia mengalahkan 
Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial 
Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar 
Merah"). 
"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari, 
mengakhiri ceritanya. 
Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Di-
helanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah 
Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang 
tengah diperhatikan pada wajah muridnya. 
"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil ter-
dengar suara desahan cukup keras, yang entah ditu-
jukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari menge-
rutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya. 
Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak 
mengerti akan desah gurunya tadi. 
Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya 
menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga 
menatap dengan penuh ketidakmengertian akan se-
muanya. 
"Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Se-
pertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi. 
Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Sama-
sama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita in-
ginkan." 
Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar 
penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahan-
lahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Ti-
dak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi 
kedua pipinya. 
Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya 
nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang 
masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu 
apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa 
muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda 
seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir 
sama dengan apa yang dialami Wulandari. 
"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin 
kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk 
bertemu. Berbagi suka dan duka yang telah kita alami. 
Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa 
aku sebenarnya...." 
Wulandari menganggukkan kepala dengan ma-
sih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang 
membasahi pipinya yang halus. 
Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil 
mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng. 
Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia 
sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan 
teman-temannya. Bersuka ria di sebuah lapangan di 
pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-
sa itu bernama Roro Kendari. Di antara teman-
temannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu 
pula dengan pakaian yang dikenakannya. Paling bagus 
di antara gadis yang lain. 
Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya. 
Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya 
baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya 
dia banyak disenangi oleh teman-temannya. 
Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main, 
muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu. 
Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi 
tertarik. Dengan bibir tersenyum, didekatinya gadis 
itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-
gu Roro Kendari. 
"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng 
masih tersenyum. 
Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik 
Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang 
ajar. 
"Lelaki kurang ajar!" makinya marah. 
Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang 
tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang 
penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah 
lancang berani membelai dagu Roro Kendari. 
"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Ca-
trik Ireng dengan kening berkerut "Apakah salah jika 
nama mu ku tanya?" 
"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku?! 
Bukankah itu kurang ajar?!" ketus dan keras suara 
Roro Kendari. Matanya masih melotot sepertinya tidak 
merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berju-
bah hitam di hadapannya. 
"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu." 
"Lancang mulutmu!" bentak Roro Kendari. 
"Apakah kau tidak pernah diajar adat?!" 
Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian 
gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu 
dibentak begitu rupa di depan orang banyak. 
"Gadis edan! Kuhajar mulutmu!" dengus Catrik 
Ireng. 
"Hajar kalau memang berani!" tantang Roro 
Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik 
Ireng. 
Cup! 
"Auw...!" 
Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan te-
man-temannya berlarian meninggalkan tempat itu, 
merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam. 
"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng 
masih tersenyum. 
Roro Kendari bertambah marah. Tidak didu-
ganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah men-
ciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang. 
Pipinya merona merah karena malu. 
"Kurang ajar! Kau benar-benar lelaki bajingan!" 
Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki 
muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng  malah 
memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya. 
Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kenda-
ri. 
"Kurang ajar! Lepaskan..!" bentak Roro Kendari 
sambil memukul dada Catrik Ireng, dengan harapan 
pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ci-
umannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelu-
kannya. Semakin Roro Kendari berontak, semakin 
kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu 
mencium pipinya. 
"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia 
menjadi istriku!" 
"Cuh! Tak sudi! Kau lelaki bajingan...!" 
Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah 
Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas 
menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher 
jenjang Roro Kendari. 
"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Roro Kendari 
sambil terus meronta, berusaha melepaskan pelukan 
pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak pe-
duli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi. 
Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leh-
er Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras 
menghantam punggungnya. 
Bugk! 
Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal 
itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera 
berlari ke arah ayah dan ibunya. 
"Ayah, pemuda itu jahat! Bajingan...!" 
Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa 
yang telah memukulnya. 
"Hm, rupanya kau?! Seharusnya kau berterima 
kasih, karena putri  mu telah mendapat kehormatan 
untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh?!" 
ujar Catrik Ireng, sombong. 
"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli! Kau bu-
kan orang baik-baik! Kau harus ditangkap...!" jawab Ki 
Lurah Manujaya. 
Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika 
tertawa tergelak-gelak 
"Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Apakah 
kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh?! 
Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya 
berlalu! Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan 
istri!" 
"Sombong! Biar namamu menjulang sampai ke 
langit, aku tak takut. Demi kebenaran dan kebaikan, 
aku rela mati!" sengit Ki Lurah Manujaya. 
"Kurang ajar! Rupanya kau menantangku! 
Yeaaat..!" 
"Heaaat..!" 
Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda 
berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding 
Ki Lurah Manujaya. Dalam beberapa gebrakan saja, Ki 
Lurah Manujaya dapat dibunuh. 
Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah 
Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh su-
aminya. 
"Kang Mas...!" ratap istri Ki  Lurah Manujaya. 
"Bajingan! Kubunuh kau...!" 
Dengan tangan menggenggam keris milik sua-
minya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik 
Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun 
dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelak-
kannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan 
wanita itu. 
Bles! 
"Akh...!" jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di 
tangannya tepat menusuk perutnya sendiri. 
"Ibu...!" jerit Roro Kendari 
Mata Roro Kendari memandang pemuda berju-
bah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Ken-
dari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti 
pemuda berjubah hitam itu hendak bermaksud jahat 
padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pem-
bunuh ayah dan ibunya. 
Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecanti-
kan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu per-
gi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap 
penduduk ditanya, di mana Roro Kendari bersem-
bunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau 
memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi. 
Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemu-
kan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah 
rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya. 
"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu. 
Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu." 
Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha mela-
wan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu 
silat. Jangankan dia, ayahnya yang memiliki ilmu silat 
saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebra-
kan. 
Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak 
terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian 
yang dikenakan Roro Kendari. 
Breeet...! 
"Auh, tidak...!" 
Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tena-
ganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik 
Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya. 
Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata 
berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh ga-
dis itu tanpa sehelai benang pun. 
Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda 
itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Ro-
ro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro 
Kendari melahirkan seorang bocah lelaki yang diberi 
nama Prabasangka. 
"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak me-
nyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat 
ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi 
Kendil atau Roro Kendari. 
Wulandari terdiam menundukkan kepala. 
"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau 
memaafkannya, Wulan? Maukah kau menjadi istrinya 
jika dia telah sadar nanti?" 
Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk 
menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tum-
buh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka 
yang telah memperkosa dan menghancurkan masa de-
pannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wu-
landari lari meninggalkan tempat itu. 
"Wulan, tunggu...!" seru Nyi Kendil sambil ber-
lari mengejar muridnya. 
*** 
Malam datang membawa kegelapan yang dis-
elimuti halimun. Binatang malam berdendang riang, 
seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil. 
Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apa-
lagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hu-
tan menimpali. 
Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bu-
kit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang. 
Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik me-
ronda. 
Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seo-
rang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan pergu-
ruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan 
perguruan pertama yang semua anggotanya terdiri dari 
kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang 
Emas cukup disegani di rimba persilatan 
Malam semakin bertambah mencekam, ketika 
dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar 
suara-suara aneh. Suara-suara yang mampu mendiri-
kan bulu kuduk 
"Huuu...!" 
"Kakkk kakkk..!" 
"Nguiiik..!" 
Keempat wanita yang tengah melakukan tugas 
jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara 
aneh itu. Bulu kuduk mereka meremang tiba-tiba. 
"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-
si 
"Ya! Suara itu menyeramkan sekali. Sampai-
sampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari 
Tanpa mereka sadari, saat itu puluhan pasang 
mata memandang keempat wanita yang tengah berja-
ga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buas-
nya pemilik mata itu. 
"Nguiiik...!" 
Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isya-
rat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah ber-
jaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika me-
nyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tata-
pan mata buas berkelebat ke arah mereka. 
"Celaka, kita diserang...!" seru Bintang Kanti. 
"Cepat bunyikan kentongan!" perintah Bintang 
Sasi pada temannya, Bintang Murai. 
Bintang Murai segera lari ke arah kentongan. 
Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali, 
pertanda keadaan dalam bahaya. 
Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu 
dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal 
itu, tubuh keempat gadis itu menegang, siap untuk 
menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera 
berusaha menghalau para penyerang yang ganas. 
Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid 
Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha 
menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seim-
bang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan. 
Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan. 
"Nguik nguiiik..!" 
Para penyerang berjubah hitam itu terus me-
nyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak men-
geluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk den-
gan membongkar pintu gerbang. 
"Kita diserang musuh...!" seru salah seorang 
murid Perguruan Bintang Emas yang terbangun lebih 
dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang 
lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi 
Pandagu. 
"Hadang mereka...!" perintah Dewi Pandagu, 
seorang wanita cantik jelita berpakaian seperti orang 
India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak, 
menggambarkan sifat keibuan. 
"Heaaat..!" 
Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang 
semuanya wanita itu dengan berani segera mengha-
dang para penyerang yang berusaha merangsek. Perta-
rungan di tengah malam pun seketika berkobar. 
"Laskar Setan...!" pekik Dewi Pandagu, setelah 
melihat simbol yang ada di dada sebelah kiri pada se-
tiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya. 
Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu mu-
rid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki 
dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran. 
Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulan-
nya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka 
hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian 
kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ga-
nas. 
Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian 
itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang di-
lontarkan bukan pukulan biasa, melainkan pukulan 
sakti. 
"Hiaaat..!" 
Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemu-
dian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya puku-
lan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan 
wanita secantik Dewi Sinta itu, keluar sinar merah 
membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke 
arah lawan-lawannya. 
Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu 
langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi 
jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu 
membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus 
mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya 
melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak ter-
jangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan. 
Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda 
berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban 
akan bertambah banyak 
"Hiaaat..!" 
Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi 
Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju 
kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang 
bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada mu-
rid-muridnya. 
"Uhhh...!" 
Salah seorang murid terkena cengkeraman tan-
gan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar 
dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas. 
"Celaka...! Pemuda itu benar-benar berbahaya! 
Aku harus segera menghentikannya! Yeaaat..!" 
Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang 
pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka. 
Melihat serangan datang, Prabasangka dengan 
cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menye-
rang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada 
Dewi Pandagu. 
Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan un-
tuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menye-
rang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wa-
jah lawan bergantian. 
"Uts...! Rupanya kau ketuanya, Manis!" 
Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian 
dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tan-
gan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi 
Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menye-
rang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi 
ke buah dada Dewi Pandagu. 
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah 
bercampur kaget, mendapatkan serangan yang da-
tangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya, 
Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan. 
Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabe-
tan selendangnya. 
Ctar! 
Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras, 
laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar, 
hingga menimbulkan percikan bunga api. 
"Uhhh...!" 
Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas untuk mengelakkan seran-
gan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalas-
nya dengan tendangan menyamping. 
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah. 
Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah 
dagu lawan, disusul sabetan selendangnya.... 
Ctar! 
"Uhhh...!" Prabasangka tersentak kaget. Cepat-
cepat tubuhnya melenting ke atas, mengelak dari se-
rangan selendang lawan. 
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan. 
Ctar! 
"Heat..!" 
Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung 
oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik 
kakinya. Sedangkan tangan kanannya kembali berge-
rak untuk menangkap tangan lawan. 
Sementara, tangan kirinya hendak mencengke-
ram ke arah buah dada Dewi Pandagu. 
"Uts...!" 
Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu di-
putarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang 
hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang 
memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wa-
jah lawan. 
Ctar! 
Prabasangka membuang kepalanya ke samping 
kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya 
diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan ka-
nannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan 
Dewi Pandagu. 
Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget 
mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya 
berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak 
mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari 
pemuda itu sempat menyentuh juga. 
"Auh...! Iblis cabul! Kubunuh kau...!" 
Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang 
semakin marah kembali menyerang dengan selendang 
dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu 
membuat gerakan-gerakannya agak kaku, dan seran-
gannya pun tidak segarang dan seganas tadi.  
Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pan-
dagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Se-
gera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tan-
gannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan kanan 
ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan 
kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu. 
Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke 
tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin 
mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan 
Prabasangka hendak menyerang, dengan cepat Dewi 
Pandagu mengebutkan selendang untuk memapa-
kinya. 
Ctar! 
*** 
Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan 
harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas 
menyerang dengan jurus-jurus cabulnya. Rupanya 
perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sem-
barangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. La-
wan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik 
Ireng. Salah seorang tokoh rimba persilatan yang di 
masanya dulu merupakan salah satu dari dua pende-
kar muda tanpa tanding. 
Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda 
berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di 
atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan se-
lendangnya. 
"Heaaat..!"  
Ctar! 
Prabasangka terus berkelit dan sesekali mem-
balas serangan. Tangannya senantiasa  mengarah ke 
arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak 
ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan. 
Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap 
selendang itu.  
Tap! 
Selendang lawan tertangkap. Membuat mata 
Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tan-
gan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan hara-
pan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan 
Prabasangka rupanya sangat kuat 
"He he he...!" Prabasangka terkekeh. Senyum-
nya mengembang di bibir. "Akhirnya kau kudapat juga, 
Manis...." 
Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan 
pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya me-
lotot penuh amarah. Kemudian dengan nekat tangan-
nya menghantam ke dada lawan. 
"Hiaaat..!" 
Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya 
kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung 
dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pu-
kulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di 
sampingnya. 
"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis! 
Yeaaat..!" 
Setelah luput dari hantaman pukulan sakti 
yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka meng-
hentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas den-
gan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemu-
dian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya ber-
gerak ke arah buah dada lawan 
Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera 
memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Ka-
kinya menendang pula. 
"Yeaaat..!" 
Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi 
Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas 
menyerang, seketika menarik kembali serangannya. 
Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pan-
dagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung 
wanita cantik itu. 
Tuk!      
"Hugkh...!" 
Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha memba-
likkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Na-
mun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan 
darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku. 
Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena me-
rasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu 
yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-
apa. 
"Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...." 
"Cuh! Lepaskan aku...! Pengecut lepaskan aku!" 
bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan 
diludahinya kembali wajah Prabasangka. 
Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di 
wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu. 
"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis." 
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan. 
Ctar! 
Pengecut lepaskan totokanmu! Kita bertarung 
sampai salah satu di antara kita mati!" dengus Dewi 
Pandagu kian marah. 
Prabasangka tak menggubris tantangan itu. 
Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong 
tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah, 
hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam ban-
gunan utama Perguruan Bintang Emas. 
"Lepaskan, Pengecut! Lepaskan...!" 
Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar 
Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda 
berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus 
melangkah, membawa tubuh Dewi Pandagu menapaki 
halaman bangunan. 
Ketika kakinya berada di depan pintu bangu-
nan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-
ri anak buahnya. Prabasangka tersentak kaget. Tu-
buhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang ter-
jadi. Matanya membelalak ketika melihat seorang pe-
muda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak 
buahnya. 
"Pendekar Gila....!" desis Prabasangka kaget. 
Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa 
banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Pergu-
ruan Bintang Emas. 
Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang me-
mang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat. 
Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki 
berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam 
Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu 
terus dipukulkan ke kepala lawan.  
"Yeaaa...!"  
Plak!  
Bugkh! 
Sena Manggala bagaikan orang gila yang men-
gamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan 
cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling 
Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah 
rupanya yang mampu menjatuhkan Laskar Setan! 
"He he he...! Rupanya Laskar Setan ini hanya 
bisa dikalahkan oleh sulingku! Yeaaa...!" 
Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat 
dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila 
mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti 
orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya 
laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara bera-
dunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tu-
buh lawan. 
Plak! 
Bugkh! 
Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris 
memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi. 
Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Na-
mun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya 
terus bergerak cepat seraya memukulkan sulingnya. 
Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin 
banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua 
murid Perguruan Bintang Emas hanya dapat menon-
ton amukan Pendekar Gila. 
"Yeaaat..!" 
Wuttt! 
Plak! 
Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan, 
kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-
lat ke atas, kemudian menukik ke bawah sambil 
menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Sul-
ing Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan. 
Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang 
dari mereka. 
Pletak! Pletak...! 
Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan 
empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul. 
Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu 
Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyele-
saikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya me-
langkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja 
dibiarkan hidup. 
"Katakan, siapa pemimpinmu?" 
Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya 
matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena 
yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemara-
hannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya 
terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada ta-
wanannya. 
"Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres 
dengan manusia ini. Keji...! Sungguh keji orang yang 
telah melakukan semuanya. Hm, tapi baiklah. Aku 
akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sam-
bil mengangguk-angguk. Kakinya melangkah, memuta-
ri tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati 
sesuatu pada tubuh orang itu. 
"Tuan, tolonglah bukakan totokanku...!" seru 
Dewi Pandagu, menyentakkan Sena. 
Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk 
mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa 
berbicara, bahkan bagai tak memiliki perasaan. 
Sena menengok ke arah pemilik suara yang 
merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil 
menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik je-
lita berpakaian putih seperti orang India berdiri mema-
tung tanpa daya. 
"Ah! Kenapa kau...?" tanya Sena. 
"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pan-
dagu 
Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena me-
langkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan 
gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di 
tubuh Dewi Pandagu. 
Tuk! 
Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena 
termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang 
yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bin-
tang Emas itu. 
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan 
segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah 
bagaimana nasibku dan murid-muridku...," keluh Dewi 
Pandagu. 
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya 
masih cengengesan. 
"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi 
Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm, 
tentunya pemimpin Laskar Setan itu bukan orang 
sembarangan." 
Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu 
mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut na-
ma gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita 
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Panda-
gu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya 
menghadapi pemuda berbaju kuning yang jurus-
jurusnya cabul. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.    
"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?" 
tanya Sena. 
"Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi 
Pandagu. 
"Apakah ikat kepalanya kuning juga?" 
"Benar! Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pan-
dagu balik bertanya. 
Pendekar Gila menghela napas sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang le-
laki anggota Laskar Setan yang masih tertotok.     
"Benar-benar keji," gumam Sena. 
"Kenapa...?" 
"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil 
menunjuk ke arah tawanannya. 
"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak di-
bunuh sekalian?" 
Sena menggelengkan kepala. 
"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan da-
rah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan 
yang bukan sembarangan. Untuk melepaskannya, di-
perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha 
membuka totokan itu." 
Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak men-
dengar penuturan Sena. 
"Untuk apa...? Bukankah dia berbahaya?" 
tanya Dewi Pandagu. 
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala 
menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan. 
"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran 
dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan 
pikiran dan perasaannya berfungsi, dia akan menyada-
ri siapa dirinya." 
"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak 
sadar?" 
"Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-
wi?" 
Dewi Pandagu tersenyum. Matanya yang lentik 
dan indah mengerling. 
"Kenapa tidak? Untuk Tuan, aku selalu siap." 
Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan 
tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan 
guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat 
memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, me-
rendah. 
Dewi Pandagu tersipu. Matanya masih mengerl-
ing penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan 
kerlingan matanya yang indah. 
"O, mengapa malam-malam begini kita harus di 
luar? Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi 
Pandagu. 
"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu," 
kata Sena, berusaha menolak. 
"Mengapa malam-malam begini? Bukankah le-
bih baik besok pagi?" 
Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian 
mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, se-
pertinya mengundang. 
"Ayolah...," desak Dewi Pandagu. 
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulut-
nya cengengesan. 
Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya 
kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling 
manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat 
celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan 
terpesona melihat kecantikannya yang sempurna. 
"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia. 
Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya 
menunjuk ke arah tawanannya. 
"Mengapa kau pedulikan dia?" 
"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia. 
Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang 
Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa 
kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena se-
tengah berfilsafat. 
"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam 
beberapa saat 
"Terima kasih. Kau telah turut membantuku." 
"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi 
Pandagu dengan nada riang nan manja. Senyumnya 
yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang 
menawan. 
"Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena. 
Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya 
memandang penuh harap pada Sena, membuat pemu-
da itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa. 
Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita. 
"Mengapa untuk kalian? Untuk anggota Laskar 
Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan ka-
mar lain." 
Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk 
kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit 
yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya 
cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum 
sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu. 
"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu," 
ajaknya. 
"Baik" 
Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya. 
Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-
lu mengikuti Dewi Pandagu yang masuk ke dalam 
bangunan perguruan. 
Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama 
itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah 
pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang me-
nempati. 
Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai 
di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti. 
"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang 
kau bawa.." 
"Hm, lumayan." 
Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Di-
ikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam 
kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu 
orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas di-
pan. 
"Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu. 
Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang ke-
palanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika 
pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pan-
dang.  
Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya 
dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu 
sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingun-
gan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. 
"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan ga-
dis cantik itu. 
Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata 
kembali. Kemudian dengan manja tangannya membe-
lai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang 
redup, mengharap sesuatu. 
"Dewi, sadarlah...!" kata Sena, berusaha men-
gingatkan. 
"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar 
kalau dari dulu aku memang jatuh hari padamu." 
Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala. 
Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik 
yang kini semakin manja padanya. 
"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-
na berusaha menghindar. 
"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemu-
dian digandengnya tangan Sena. Mereka keluar dari 
kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hi-
tam yang tergolek tanpa daya. 
*** 
Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar 
yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibu-
kanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak se-
buah ranjang berhias kelambu putih dengan bunga-
bunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang 
pengantin. 
Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku? 
Kamar siapa ini, Dewi?" 
Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, di-
ajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, mem-
buat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya. 
"Dewi...!" 
Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah 
memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu mem-
belai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebin-
gungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelai-
belai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana 
kemari, kebingungan tak tahu harus berbuat apa. 
"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Panda-
gu sambil mendongakkan kepala. Matanya perlahan-
lahan terpejam dengan bibir merekah. 
Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, be-
lum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua 
di dalam kamar dengan seorang wanita cantik 
Dewi Pandagu terus membelai dada Sena den-
gan lembut Matanya memandang penuh harap ke wa-
jah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena me-
langkah ke tempat tidur. 
"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya 
Dewi Pandagu manja. 
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia ti-
dak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi me-
nengadah ke atas, kini memandang dengan kening 
berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu, 
tampak seulas senyum merekah indah, dengan mata 
sayu menatap penuh arti. 
"Suka..?" tanya Sena bergumam. 
"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?"  
"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita mela-
kukannya?" 
Dewi Pandagu tersenyum. 
"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang.... 
Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih 
mengembang di bibirnya. Kemudian kepalanya dire-
bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya 
masih membelai dada bidang Pendekar Gila. 
Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika 
menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika 
dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, ha-
tinya seketika terenyuh. Kerinduan untuk bertemu, 
kembali muncul mengisi hatinya. 
Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang su-
ka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya seba-
tas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa 
dia menemukan rasa suka lebih daripada Dewi Panda-
gu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie, 
merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan 
sendirinya. 
Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Te-
tapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu 
semakin terasa. Terlebih setelah banyak gadis-gadis 
dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia 
bagai diuji oleh cinta kasih itu. 
Mei Lie, di manakah kau kini berada? Hatinya 
bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguh-
nya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa 
bertemu, Mei Lie...? Kuharap kau tidak akan melupa-
kan  ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupa-
kanmu. 
Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedala-
man hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai 
rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu 
adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang 
tanpa disadari, telah menawan hatinya. 
Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itu-
lah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena 
membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini 
Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke 
tempat tidur. 
"Sena...," desisnya lirih. 
Keduanya rebah di tempat tidur. 
Dewi Pandagu menutup  kelambu. Kemudian 
keduanya tampak saling berpelukan, berciuman den-
gan penuh kemesraan. 
*** 
"Sena...! Sena, bangunlah...!" 
Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telin-
ganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Ma-
tanya memandang ke atas, seakan melihat  sosok gu-
runya. 
"Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya seten-
gah mengeluh. 
"Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku." 
Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh 
air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang 
sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis 
yang menggoda. 
"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku!" 
"Tidak, Anakku.... Semua memang telah terga-
riskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa 
pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah ban-
gun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat 
baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu 
itu sebagai cambuk. Maka, kau akan senantiasa beru-
saha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat 
baik. Pergilah...." 
"Baik Guru." 
Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera men-
genakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tu-
buhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pan-
dagu tidak terbangun. 
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya 
menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah mereng-
gut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tan-
gan begitu saja? Ah, lelaki macam apakah aku? Keluh 
Sena dalam hati. 
Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi 
Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya ram-
but gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya. 
"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu. 
Aku berjanji, kelak aku  akan datang untuk bertang-
gung jawab," bisik Sena lirih. 
Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan 
pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke 
arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada. 
Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuh-
nya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu. 
***