Pendekar Gila 10 - Tengkorak Darah(2)


Meski banyak juga korban di pihak lawan sete-
lah Patih Rangga Wuni melancarkan serangan dengan 
'Semburan Naga', namun tenaga dalamnya terkuras 

juga. Hal itu jelas mempengaruhi penyerangannya. Tu-
buh Patih Rangga Wuni kini kelihatan agak lemah da-
lam menyerang. Makin jarang dia melakukan serangan 
dengan ajian 'Semburan Naga'. Kini dia lebih sering 
mengelakkan serangan-serangan lawan. 
Pertarungan di halaman istana itu berjalan cu-
kup alot. Korban di kedua belah pihak telah berjatu-
han. Jumlah korban yang paling banyak diderita di pi-
hak kerajaan. Korban di pihak kerajaan empat kali li-
pat dari korban di pihak makhluk bermuka tengkorak. 
Belum juga pertarungan benar-benar tuntas, 
dari dalam istana terdengar jeritan anak raja yang 
meminta tolong. 
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Dyah Ayu Sawang 
Sari, putri raja tersebut. 
Patih Rangga Wuni yang sedang berusaha 
menghalau lawan-lawannya, tentu saja terkejut. Tu-
buhnya melompat meninggalkan arena pertempuran, 
lalu berkelebat masuk ke dalam istana. Dilihatnya se-

sosok makhluk bermuka tengkorak darah tengah 
membopong tubuh seorang lelaki muda yang menjadi 
suami Dyah Ayu Sawang Sari. 
"Berhenti...!" bentak Patih Rangga Wuni. 
Wesss! 
Siluman yang tertangkap  basah segera melan-
carkan serangan dengan pukulan maut yang mengelu-
arkan sinar biru ke arah Patih Rangga Wuni. 
"Hop! Yeaaa...!" Patih Rangga Wuni bersalto di 
udara, mengelakkan serangan lawan. Sinar biru itu te-
rus melesat, kemudian menghantam tiang penyangga 
istana. 
Jlegarrr! 
Krak! 
Bummm! 
Tiang itu kontan hancur,  terhantam pukulan 
maut yang dilontarkan makhluk berwajah tengkorak. 
Hampir saja tiang itu mengenai tubuh Patih Rangga 
Wuni, kalau tubuhnya tidak segera mencelat menge-
lak. Namun setelah Patih Rangga Wuni dapat mengua-
sai diri, matanya tidak melihat lagi makhluk yang 
membawa tubuh suami Dyah Ayu Sawang Sari. 
"Bedebah! Ke mana perginya makhluk jahanam 
itu?!" umpat Patih Rangga Wuni marah. Tubuhnya se-
gera mencelat keluar, namun di luar tidak ditemukan-
nya gerombolan tengkorak darah lagi. Yang ada hanya 
gelimpangan mayat prajurit kerajaan dan sisa-sisa pra-
jurit yang mematung dalam keadaan tertotok 
"Kurang ajar!" maid Patih Rangga Wuni gusar, 
menyaksikan para prajuritnya banyak yang gugur, 
termasuk beberapa senapati dan hulubalang. Tinggal 
beberapa prajurit dan senapati yang masih hidup. Me-
reka pun dalam keadaan tak berdaya. 
"Paman Patih, apa yang terjadi?!" tanya Raja 
Brah Salagatri dengan wajah cemas, menyaksikan ba-

nyak sekali prajuritnya yang mati. Belum lagi dengan 
anaknya yang menangis menyebut-nyebut nama sua-
minya. 
Ketika terjadi kejadian itu, sang Raja yang bi-
jaksana dan sangat arif dalam memimpin tengah terti-
dur di ruang dalam istana. Tepatnya berada di sebelah 
selatan alun-alun istana tempat pertempuran berlang-
sung. Hingga tidak tahu kejadian yang meletus di sa-
na.    
Sang Raja yang saat itu sempat terjaga segera 
lari ke alun-alun, ketika sayup-sayup didengarnya jeri-
tan-jeritan kematian. 
"Ampun, Baginda. Barusan saja terjadi perta-
rungan. Serombongan manusia tengkorak menyerbu," 
tutur Patih Rangga Wuni setelah menyembah. 
"Manusia tengkorak?!" pekik Raja Brah Salaga-
tri dengan mata membelalak. 
"Benar, Baginda."  
"Lalu apa yang terjadi?"  
Patih Rangga Wuni menceritakan semua keja-
dian yang baru saja berlalu, tentang kerajaan yang 
diserang gerombolan tengkorak darah.  Tengkorak da-
rah itu kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan ke-
ris milik Patih Rangga Wuni yang bernama 'Ki Gimring' 
tak mampu mengalahkan mereka. Malah keris itu dite-
lan tubuh salah satu tengkorak darah. 
"Begitulah ceritanya, Baginda. Mereka bukan 
manusia biasa, mungkin juga siluman. Sebab hamba 
rasa, tak mungkin manusia seperti itu dapat hidup." 
Baginda Raja Brah Salagatri tercenung, benak-
nya berusaha mencerna cerita Rangga Wuni. Rasanya 
cerita itu sangat aneh. Namun melihat korban dan 
menilai kejujuran Patih Rangga Wuni, mau tidak mau 
baginda raja harus mempercayai juga kata-katanya. 
"Rama.... O, Kangmas Lingga diculik setan," 

isak Dyah Ayu, membuat Baginda Raja Brah Salagatri 
semakin percaya pada cerita patihnya. 
"Hm, bencana apa yang tengah melanda kera-
jaan?" gumam baginda raja lirih. 
Mata baginda raja memandang mayat-mayat 
prajuritnya. Tubuh mereka bergelimpangan dalam 
keadaan yang mengenaskan, dikerubuti oleh binatang-
binatang berbisa. Sangat menjijikkan sekali! 
"Kau yakin mereka bukan manusia, Paman Pa-
tih?" tanyanya, seakan ingin lebih yakin lagi. 
"Ampun, Baginda. Hamba rasa mereka bukan 
manusia. Seperti yang hamba katakan, mereka tengko-
rak hidup. Tubuh mereka hanya tulang belulang...," 
tutur Patih Rangga Wuni. 
"Benar, Rama. Apa yang dikatakan oleh Paman 
Patih Rangga Wuni memang benar," sambung Dyah 
Ayu di sela isak tangisnya. "Mereka menyeramkan. Tu-
buh mereka hanya tulang belulang belaka. Sangat me-
nakutkan, Rama. Dan mereka menculik Kangmas 
Lingga." 
Raja Brah Salagatri termangu diam. Matanya 
memandang ngeri ke mayat-mayat prajuritnya yang 
dikerumuni binatang-binatang berbisa yang entah da-
tang dari mana. Ada juga mayat prajuritnya yang ha-
ngus terbakar, seakan baru dipanggang di atas jilatan 
api. 
"Hm, seumurku, baru kali ini aku melihat silu-
man ikut campur dalam urusan manusia," gumam Ra-
ja Brah Salagatri masgul. "Mengapa kita yang dis-
erang? Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan, 
Paman Patih" 
"Ampun, Baginda. Kalau boleh hamba tahu, 
apa yang mencurigakan menurut perkiraan Baginda?" 
tanya Patih Rangga Wuni 
Lelaki tua berusia sekitar enam puluh serta 

berpakaian warna keemasan, bertubuh sedang dengan 
penampilan tenang itu terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, berusaha membuang kesedihan yang 
menghujam dada.  
"Besok kuperintahkan padamu untuk mengun-
dang para pendekar dan para sesepuh istana untuk 
mengadakan rapat. Sebar juga pengumuman untuk 
mencari tahu tentang manusia tengkorak darah itu." 
"Aku yakin ada maksud tersembunyi di balik 
kejadian ini." 
"Daulat, Baginda. Segala titah Baginda, akan 
hamba junjung tinggi dan laksanakan," jawab Patih 
Rangga Wuni sambil menyembah. 
"Bagaimana dengan Kangmas Lingga, Rama?" 
tanya Dyah Ayu dengan muka cemas. 
"Tenanglah, Nduk. Kuharap para pendekar da-
pat membantu kita membuka tabir misteri kejadian 
ini," gumam sang Raja sambil membimbing anaknya 
masuk, diikuti oleh Patih Rangga Wuni. 
Suasana duka menyelimuti Kerajaan Bumi 
Wandra. 

*** 


Pagi lahir kembali, dikawal angin yang berhem-
bus sejuk. Langit terlihat ramah, tanpa awan kelabu 
yang menutupi. Pasar Ngaplak yang merupakan pasar 
ter-besar di wilayah Kerajaan Bumi Wandra pagi itu 
tampak banyak pengunjungnya. Rupanya ada sesuatu 
yang mendorong orang-orang berdatangan ke pasar 
itu. 
Di sudut pasar, pada sebuah penyangga ban-

gunan pasar terdapat sebuah pengumuman dari kera-
jaan. Itu pula yang membuat para pedagang maupun 
yang hendak berbelanja berkerumun di sana. Mereka 
ingin mengetahui apa isi pengumuman tersebut 
Bukan hanya pedagang dan orang-orang yang 
hendak berbelanja di pasar itu yang berkerumun 
membaca pengumuman  dari kerajaan. Penduduk di 
sekitar Pasar Ngaplak pun turut datang. Mereka sama-
sama ingin mengetahui isi pengumuman yang diedar-
kan oleh raja. 

Barang siapa yang dapat memberikan keteran-
gan tentang manusia tengkorak atau menangkap pe-
mimpinnya, raja akan memberi hadiah seratus keping 
uang emas. 
Patih Kerajaan  
Rangga Wuni 

"Wah, hadiahnya banyak sekali! Tentunya ba-
ginda sangat murka terhadap manusia bermuka teng-
korak," ujar seorang penjual di pasar itu setelah mem-
baca pengumuman. 
"Wah, kalau aku bisa menangkap mereka, ten-
tu aku akan kaya raya. Aku bisa menjadi saudagar," 
celoteh yang lainnya. 
"Hanya pemuda tampan dan gagah serta beril-
mu tinggi saja yang bisa menangkap mereka," sela seo-
rang wanita cantik berkerudung biru dari kebaya biru 
pula serta kain batik coklat tua, menyentakkan semua 
orang di tempat itu yang langsung memandangnya 
dengan tatapan penuh tanya. 
"Kok Nyai tahu? Apa Nyai pernah melihat mere-
ka?" tanya seorang lelaki yang biasa berjualan di pa-
sar. 
"Ya, bukannya tahu. Tapi siapa sih yang bisa 

menangkap mereka? Orang-orang kerajaan saja tak 
dapat berbuat apa-apa," sahut wanita cantik tadi. Ke-
mudian dia berlalu begitu saja dari tempat itu, diikuti 
oleh pemandangan seluruh orang yang terkesima ke-
cantikan wanita itu. 
Setelah wanita cantik itu berlalu jauh, barulah 
mereka berdecak kagum atas kecantikannya. 
"Ck ck ck! Perempuan kok bahenol amat..." 
"Iya ya? Istri siapa ya? Cantik sekali." 
"Wah, baru kali ini kulihat wanita cantik dan 
sebahenol dia," sambung yang lain. 
Orang-orang di pasar itu yang semula  membi-
carakan masalah pengumuman sang Raja, kini malah 
beralih membicarakan wanita berkerudung biru yang 
cantik jelita. Wanita yang memiliki kecantikan sem-
purna. 
"Wah, kalau aku bisa menangkap manusia 
bermuka tengkorak, ingin rasanya aku mencari wanita 
cantik tadi. Kujadikan dia istriku," gumam Dakir, pen-
jual tempe yang giginya mancung ke depan. 
"Mana dia mau sama kamu, Kir...!" seloroh 
Parmin. 
"Loh, namanya saja kaya. Siapa sih yang tidak 
mau sama orang kaya?" kelit Dakir dengan membu-
sungkan dada. 
"Huh, lagakmu saja yang sok berani. Baru ke-
temu kucing saja kamu lari...!" 
Suasana pagi itu diisi oleh gumaman khayal 
tentang hadiah dari sang Raja dan wanita cantik ber-
kerudung biru yang tadi berada di pasar itu. 

*** 

Sementara itu, tidak begitu jauh dari pasar 
Ngaplak, tampak dua sejoli  melangkah masuk ke da-

lam sebuah kedai yang telah banyak pengunjungnya. 
Lelaki tampan dan wanita cantik jelita itu, tidak lain 
Sena, si Pendekar Gila dan Mei Lie, si Bidadari Penca-
but Nyawa. 
Baru saja kedua pendekar muda itu duduk, 
suasana di luar kedai seketika menjadi riuh dengan 
kehadiran dua orang prajurit istana yang sedang me-
masang pengumuman di pohon ara yang besar. Lang-
sung saja semuanya bergerak mendekati pohon ara 
tempat kedua prajurit kerajaan memasang pengumu-
man.  
"Pengumuman dari baginda yang mulia Raja 
Brah Salagatri!" seru salah seorang prajurit yang tidak 
memasang pengumuman. "Diumumkan bagi siapa saja 
yang bisa menangkap atau memberi petunjuk tentang 
keberadaan manusia tengkorak akan diberi hadiah se-
ratus keping uang emas dari raja!" 
Bisik-bisik pun terdengar di sana-sini. Mereka 
pada umumnya ingin sekali mengikuti pengumuman 
itu, menangkap tengkorak darah yang sudah banyak 
menculik pemuda-pemuda tampan dan gagah. 
"Memang kalau tidak segera dibasmi, bisa-bisa 
lelaki tampan di kerajaan ini akan habis," celoteh seo-
rang warga. 
"Benar! Kita harus secepatnya membasmi teng-
korak darah! Kalau tidak, maka lelaki muda dan tam-
pan akan habis!" sambung yang lainnya. 
"Basmi tengkorak darah...!" 
"Hancurkaaan...!" 
Kemarahan penduduk yang sudah mendengar 
kekejian sepak terjang tengkorak darah seketika me-
luap. Mereka berteriak-teriak untuk membasmi gerom-
bolan tengkorak darah yang telah meresahkan pendu-
duk di Kerajaan Bumi Wandra. 
"Tenang saudara-saudara. Tenang...!" seru pra-

jurit yang membacakan pengumuman. "Ada dua pen-
gumuman lagi yang harus kalian dengarkan." 
"Katakanlah, kami ingin segera mendengar!" se-
ru warga. 
"Apakah ada yang tertangkap?" tanya yang lain. 
"Cincang saja! Preteli tulang-tulangnya!"  
"Kasihkan pada kucing dan anjing biar digero-
goti...!" 
Betapa menggebu amarah warga. Mereka tam-
paknya tidak sabar lagi untuk mengetahui apa yang te-
lah terjadi. 
"Berita kedua mengenai berita duka!" kata pra-
jurit yang menjadikan semua warga terdiam. "Dengar 
oleh kalian baik-baik. Kemarin malam, istana kerajaan 
telah diserang oleh kawanan tengkorak darah. Mereka 
banyak membunuh prajurit dengan cara yang sangat 
keji! Cara iblis! Bukan hanya itu, suami Putri Dyah 
Ayu diculik. Sampai sekarang belum diketahui berada 
di mana...." 
Semua warga membelalakkan mata mendengar 
isi pengumuman duka cita itu. Wajah mereka terlihat 
marah. Mungkin kalau di situ ada salah satu tengko-
rak darah, mereka akan langsung menyerang dan 
mempreteli tulang belulangnya. 
"Berita yang kedua. Jika di antara kalian ada-
lah seorang pendekar, Baginda berharap agar sudi da-
tang ke istana...!" 
Semua terdiam saling pandang, berusaha ber-
tanya-tanya siapa di antara mereka yang merupakan 
pendekar. Sedangkan Pendekar Gila dan Bidadari Pen-
cabut Nyawa nampak masih tenang menyantap maka-
nannya.  Seakan mereka tidak menghiraukan pengu-
muman itu. 
"Ki dan Nisanak, dilihat dari pakaian yang ka-
lian kenakan, tentunya kalian dari rimba persilatan," 

tegur pemilik kedai setelah menghampiri keduanya. 
Sena tersenyum bodoh. Tangan kirinya  meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya pemilik kedai yang 
tadi berkata, membuat lelaki berusia sekitar empat pu-
luh tahun itu tersenyum. 
"Aha, pantaskah kami menjadi pendekar, Ki? Hi 
hi hi..! Lucu sekali kalau kami ini pendekar," oceh Se-
na sambil tertawa cekikikan. Pemilik kedai menge-
rutkan kening melihat tingkah pemuda tampan be-
rambut ikal gondrong dengan pakaian rompi kulit ular 
yang seperti orang gila. 
Mei Lie menyikut kekasihnya agar diam. Sena 
menurut diam, meski sempat menggerutu. 
"Kakang, tampaknya gerombolan siluman itu 
telah menjarah kerajaan," bisik Mei Lie. 
"Ya! Aku heran, mengapa istana juga dijarah? 
Tengkorak darah benar-benar cari penyakit," gumam 
Sena setengah berbisik. 
"Jadi kalian benar dari rimba persilatan...?" 
tanya pemilik kedai. 
"Aha, benar katamu, Ki. Tapi kami bukan pen-
dekar," sangkal Sena semakin bertingkah konyol. Lagi-
lagi pemilik kedai yang bernama Ki Sanip mengerutkan 
kening. Tampaknya lelaki itu bingung dengan ucapan 
pemuda tampan di depannya. 
"Maksud Kisanak...?" tanya Ki Sanip belum je-
las. 
"Hi hi hi...! Kau kebingungan, Ki. Ah ah ah, be-
gini. Kami memang dari dunia persilatan, tapi kami 
bukan pendekar. Kami hanya seorang pengelana saja," 
jawab Sena, berpura-pura. 
"Ah, rupanya Kisanak hanya merendahkan diri. 
Tak mungkin orang persilatan berkelana kalau bukan 
seorang pendekar." 
"Ah, mengapa begitu, Ki?" tanya Sena. "Apakah 

tidak boleh kalau orang yang bukan pendekar berkela-
na untuk mencari pengalaman?" 
"Ya, boleh saja. Namun rimba persilatan ini ga-
nas, Kisanak. Jika macan buas, tapi manusia lebih 
buas. Macan tidak akan memangsa jenisnya sendiri. 
Tapi manusia, tega membunuh manusia lain," tutur Ki 
Sanip, bijak. 
"Hi hi hi...! Ah ah ah, kau sungguh hebat, Ki. 
Petuahmu lebih sakti dari ilmu kedigdayaan. Tanpa pe-
tuah yang baik, orang sakti akan menjadi sesat. Bukan 
begitu, Ki...?" tambah Sena turut berpetuah, membuat 
Ki Sanip semakin heran dengan pemuda bertingkah gi-
la itu. Tingkahnya memang seperti orang gila, tetapi 
pengalaman dan pikirannya seperti orang sehat. Bah-
kan seperti seorang pendekar yang digdaya. 
Siapa sebenarnya pemuda gondrong ini? Tin-
dak-tanduknya seperti orang gila. Namun cara bicara 
dan tata kramanya seperti orang berpendidikan tinggi 
dan berilmu, gumam Ki Sanip dalam hati. Matanya 
masih menatap wajah Sena dengan seksama, seperti 
berusaha meyakinkan siapa sebenarnya pemuda tam-
pan yang terkadang tertawa sendiri, lalu cengengesan, 
atau tersenyum-senyum bodoh. 
Ketika Sena dan Mei Lie tengah ngobrol dengan 
Ki Sanip, dari luar masuk seorang lelaki tinggi besar 
berkepala botak. Wajahnya amat garang. Kumis tebal 
yang panjang melintang menghiasi atas bibirnya. Alis 
mata lelaki tinggi besar itu lebar. Di tangannya terda-
pat dua golok besar. Hidungnya mancung. Pakaian le-
laki itu terbuat dari kulit serigala berwarna belang 
kuning kecoklatan. Umurnya kurang lebih empat pu-
luh tahun.  
Lelaki tinggi besar yang memeluk sepasang go-
lok besar seketika bertingkah sopan, ketika dilihatnya 
dua orang yang tengah makan di kedai itu. 

"Oho, rupanya Pendekar Gila hadir di sini," ka-
ta lelaki yang bergelar Serigala Merah Golok  Kembar 
itu sambil menjura hormat "Terimalah salam dari Seri-
gala Merah." 
Ki Sanip tersentak, setelah mendengar Serigala 
Merah menyebut nama pemuda tampan yang kini ter-
tawa tergelak-gelak 
"Jadi, dia Pendekar Gila?" gumam Ki Sanip da-
lam hati dengan mata membelalak. "Pantas..., pan-
tas...." 
Pendekar Gila bangkit dari bangkunya, diikuti 
oleh Mei Lie. Mereka membalas juraan Serigala Merah 
yang cukup terperangah, melihat gadis yang duduk 
bersama Sena. 
"Oho, rupanya Bidadari Pencabut Nyawa pun 
hadir di sini. Maaf, mata tuaku kurang dapat melihat 
dengan baik." 
"Ah, tidak mengapa, Kisanak. Silakan  duduk. 
Mari kita makan bersama," ajak Mei Lie dengan penuh 
wibawa. 
Ki Sanip semakin terkejut, setelah tahu bahwa 
gadis Cina itu juga seorang pendekar yang namanya 
akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Julukannya cukup 
membuat para tokoh rimba hitam harus berpikir pulu-
han kali untuk menghadapinya. Apalagi dengan Pe-
dang Pusaka Bidadari yang ampuh, sulit bagi para 
pendekar pedang untuk bisa menandinginya. 
Serigala Merah pun duduk bersama kedua 
pendekar muda yang cukup disegani baik oleh kawan 
maupun lawan. 
Ki Sanip segera mengambil makanan untuk Se-
rigala Merah. 
Ketiga pendekar itu pun menyantap makanan 
sambil membicarakan masalah yang telah terjadi di 
rimba persilatan wilayah timur. Malah mereka kini 

membicarakan masalah tengkorak darah yang telah 
berani menjarah istana. 
"Bagaimana menurutmu dengan masalah ini, 
Tuan Pendekar?" tanya Serigala Merah ingin tahu 
tanggapan Sena. 
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala 
sesaat 
"Aha, bagaimana aku menjelaskannya? Hi hi 
hi...! Kau ini lucu sekali, Sobat. Mana aku tahu masa-
lah ini?" sahut Sena sambil cengengesan. 
"Ya ya, aku tahu. Tapi aku baru saja membaca 
pengumuman itu. Di situ dijelaskan, bagi siapa saja 
yang dapat menangkap tengkorak darah akan menda-
patkan hadiah seratus keping uang emas. Apa kau ti-
dak berminat mengikuti sayembara itu." 
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah melirik Mei Lie yang hanya ter-
senyum, Sena menjawab. 
"Ah, kurasa tidak, Sobat. Apakah kau berkenan 
mengikutinya?" balik Sena bertanya. 
"Ya! Aku ingin mengikutinya," jawab Serigala 
Merah. "Dapatkah kau memberi penjelasan apa yang 
seharusnya kulakukan?" pinta Serigala Merah. 
Sena kembali tertawa cekikikan. 
"Aha, kurasa aku hanya bisa berkata kau harus 
berhati-hati, Sobat. Yang akan kau hadapi bukan ma-
nusia seperti kita." 
"Jadi...?" alis Serigala Merah terangkat 
"Para tengkorak darah adalah gerombolan si-
luman," jawab Mei Lie, mendahului kekasihnya. 
"Siluman?!" 
"Ya, begitulah. Mereka bukanlah manusia, tapi 
siluman," ulang Mei Lie menegaskan. 
"Hm." Serigala Merah bergumam tak jelas. Ma-
tanya kini menerawang keluar. "Kalau memang tengko-

rak darah adalah siluman. Tentu sangat sulit bagi ma-
nusia untuk mengalahkannya," nilai Serigala Merah. 
"Kisanak, ada baiknya kau mencoba. Tapi se-
perti yang kukatakan tadi, hati-hatilah. Percayakan 
semua jiwa dan ragamu pada Sang Hyang Widi. Hanya 
dia yang menentukan hidup dan mati makhluk di du-
nia ini," tutur Sena berusaha menasihati. 
"Jadi menurutmu aku bisa mengikuti sayemba-
ra itu?" 
"Aha, semua orang bisa, Sobat. Kau, aku, Bida-
dari Pencabut Nyawa, dan lain-lainnya, bisa mengikuti. 
Semua kini tergantung dari nasib dan kehendak Sang 
Hyang Widi. Jika nasib kita baik atas kehendak Sang 
Hyang Widi, tentu kita akan menang...," tutur Pende-
kar Gila. Kemudian dia menambahkan.... "Bagaimana-
pun juga, suatu saat aku harus mengikuti, Sobat. Se-
cara langsung maupun tak langsung, aku pasti akan 
turut berusaha memberantas segala macam bentuk 
kejahatan dan keangkaramurkaan di muka bumi ini." 
"Ya ya, aku mengerti," sahut Srigala Merah. 
"Kalau begitu aku bisa mengikuti sayembara itu?" 
"Ya ya, kami berdoa, semoga engkau dalam lin-
dungan Sang Hyang Widi," kata Mei Lie. 
"Terima kasih. Dengan dorongan semangat dari 
kalian, tekadku semakin bulat," hatur Serigala Merah. 
"Kita makan dulu, Sobat," ajak Sena.  
Ketiganya kembali menyantap makanan mere-
ka. Setelah selesai, Serigala Merah membayar semua 
makanan yang telah mereka pesan. Kemudian mereka 
keluar meninggalkan kedai itu. 
"Hendak ke arah mana tujuan kalian?" tanya 
Serigala Merah. 
"Ah, entahlah, Sobat. Kami hanya mengikuti 
langkah kaki kami. Ke mana angin bertiup, ke sana 
kami menuju," jawab Sena. 

"Kalau begitu kita berpisah dulu. Semoga kita 
dapat bertemu di lain waktu. Permisi...," Serigala Me-
rah menjura hormat, dan dibalas oleh Pendekar Gila 
dan Bidadari Pencabut Nyawa (Mengenai julukan Mei 
Lie sebagai Bidadari Pencabut Nyawa, silakan anda 
ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi 
Kuan Im" dan "Pedang Pencabut Nyawa"). 
Kedua pendekar muda itu sesaat mematung di 
tempat yang berjarak sekitar dua puluh lima batang 
tombak dari kedai. Mata mereka memandang ke seke-
liling yang nampak asri dengan barisan tumbuhan hi-
jau. 
"Hendak ke mana kita, Kakang?" tanya Mei Lie.  
"Aha, kenapa kau bertanya? Bukankah kita se-
dang bertualang? Ke mana angin berhembus, ke sana 
pula kita melangkah," jawab Sena berseloroh, mem-
buat Mei Lie gemas.  
"Kau nakal, Kakang. Selalu saja menggodaku!" 
sungut Mei Lie manja. 
"Karena aku suka menggodamu. Apa tak bo-
leh...?" 
"Hm...," Mei Lie bergumam, sedang matanya 
menatap penuh arti ke wajah tampan Sena yang saat 
itu tersenyum. "Kakang...."  
"Hm, ada apa?" tanya Sena sambil menengok ke 
gadis pujaannya. 
"Lama kita berpisah. Saat itu, ingin rasanya 
aku bertemu denganmu. Tapi setelah  bertemu, kau 
nakal. Kau suka menggodaku," kata Mei Lie dengan 
suara manja. 
Sena tertawa ngakak. 
"Kalau tidak menggoda, lalu harus bagaimana?" 
tanya Sena berpura-pura tidak tahu. 
Mei Lie terdiam, tersipu-sipu malu. Sena me-
langkah mendekati kekasih hatinya. Dipegangnya 

pundak Mei Lie dengan lembut. Kemudian dibelainya 
rambut Mei Lie. 
"Kita berangkat, Mei Lie?" ajak Sena.  
"Kakang belum mengatakan padaku," desak 
Mei Lie cemberut. 
"Tentang apa?" 
"Ketika kita berpisah," jawab Mei Lie. 
"Aha, kurasa kau telah mengerti, Mei Lie. Se-
perti hatimu, aku pun merasakan hal yang serupa...," 
jawab Sena dengan suara meyakinkan, membuat Mei 
Lie tersenyum. 
Dengan iringan angin yang bertiup lembut, ke-
duanya pun melangkah untuk meneruskan perjalanan 
mereka. 

*** 


Suasana Istana Kerajaan Siluman Tengkorak 
Darah nampak sibuk. Mereka hendak mengadakan 
pesta. Seluruh siluman tengkorak darah, sibuk dengan 
pekerjaannya masing-masing. Umbul-umbul berbaris 
sepanjang jalan alam siluman. Benar-benar hendak 
melaksanakan satu acara besar. 
Di ruangan lebar yang biasanya digunakan un-
tuk pertemuan, duduk di singgasana seorang wanita 
muda yang cantik berpakaian minim. Wanita cantik 
yang ternyata Ratu Siluman Tengkorak Darah, duduk 
dengan penuh keanggunan. Matanya yang lentik, me-
mandang tajam pada para punggawa kerajaan yang 
berupa tengkorak darah juga. Para punggawa, hulu-
balang dan patih kerajaan duduk di ruangan lebar itu 
Sulit untuk membedakan mana yang prajurit, 

mana yang hulubalang dan mana yang patih serta tu-
menggung. Semuanya bermuka tengkorak menyeram-
kan. Hanya ada pembeda bagi mereka, yaitu darah 
yang melumuri muka tengkorak 
Patih kerajaan memiliki banyak lumuran darah 
di muka. Bahkan menutupi semua mukanya. Panglima 
perang dan para hulubalang serta tumenggung pun 
memiliki ciri lain. Darah yang menutupi muka mereka 
lebih sedikit daripada patih. 
Begitulah seterusnya. Semakin rendah pang-
katnya, semakin pucat wajah tengkorak itu. 
Ada juga ciri lain dari para tengkorak darah, 
yaitu pada lengan bajunya. Kalau patih lengan bajunya 
terdapat bunga kamboja sebanyak empat kuntum. 
Panglima perang tiga, hulubalang dua kuntum, se-
dangkan tumenggung satu dan prajurit tak ada. 
"Paman Patih, hari ini ibunda hendak melaku-
kan upacara usia yang ke enam puluh lima tahun. Un-
tuk itu, aku titahkan pada Paman Patih agar menjaga 
istana  dengan  ketat. Jangan sampai ada bangsa lain 
yang masuk dan membuat kekacauan. Kalau ada, ku-
perintahkan membunuhnya!" 
"Sendika Kanjeng Ratu," jawab Patih Tengkorak 
Darah. 
"Kini kalian boleh bubar, jangan sekali-sekali 
menggangguku," kata Ratu Siluman Tengkorak Darah. 
"Sendika, Sri Ratu." Setelah melakukan sem-
bah, para prajurit dan pembesar istana pun mundur 
dari hadapan ratu mereka yang kini bangkit dari sing-
gasananya, melangkah masuk ke dalam kamar yang 
telah tersedia seorang lelaki muda yang gagah, berpa-
ras tampan, serta bersih. 
Lelaki muda itu ternyata Lingga, suami Dyah 
Ayu yang diculik. Lingga yang sudah terpengaruh oleh 
ilmu sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah kini bagai 

lupa segalanya. Tubuhnya terbaring telanjang di atas 
tempat tidur. 
Dari luar, masuk Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. Bibir sang Ratu mengurai senyum. Saat itu pula, 
Lingga segera bangkit. Bibir lelaki tampan itu men-
gembangkan senyum. Tampaknya dia benar-benar se-
nang melihat kedatangan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. 
"Anak bagus, rupanya kau telah lama menung-
gu," desis Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil men-
gulurkan tangannya, yang disambut oleh Lingga den-
gan pelukan mesra. Tidak hanya sampai di situ, Lingga 
kemudian menciumi seluruh wajah Ratu Siluman 
Tengkorak Darah, lalu merambah turun ke leher Ratu 
Siluman Tengkorak Darah yang jenjang dan menan-
tang. 
Lingga yang sudah terbius pengaruh sihir Ratu 
Siluman Tengkorak Darah, benar-benar lupa sega-
lanya. Bahkan istri tercintanya kini tak ada lagi di ke-
dalaman hatinya, yang ada hanya nafsu liar yang 
mendidih. Lama kemudian membisu. Hanya desah-
desah napas jalang saja yang terdengar. Sampai akhir-
nya.... 
"Aaakh...!" 
Tiba-tiba Lingga mengejang. Matanya melotot 
menahan sekarat. Sedangkan Ratu Siluman Tengkorak 
Darah tertawa cekikikan. Seakan senang menyaksikan 
bagaimana Lingga bergelinjang menghadapi maut 
"Aaakh!" 
"Hik hik hik...!" Kau puas, Cah Bagus! Kini 
ayahku akan melihat bagaimana pembalasan ibu! Hua 
ha ha...!" 
"Akh, ampun...!" jerit Lingga terus menggeliat-
geliat kesakitan. Bagian bawah tubuhnya bagai ada 
yang menggigit. Bahkan kini seperti putus. Darah me-

nyembur dari kemaluan Lingga yang putus. Sedangkan 
dari kemaluan Ratu Siluman Tengkorak Darah, tam-
pak seekor binatang berbentuk ular tengah melumat 
kemaluan Lingga. 
Lingga menggelepar-gelepar sekarat, kemudian 
terkulai dengan nyawa melayang. 
"Hua ha ha...! Ayah, lihat pembalasan ibu! Li-
hat! Kau telah menyia-nyiakan aku dan ibu! Kini kau 
lihatlah semua!" tawa Ratu Siluman Tengkorak Darah 
menggelegar, disertai gemuruhnya angin yang memba-
dai. Entah siapa yang disebut sebagai ayahnya.  
"Prajurit!" 
Dua orang prajurit bergegas masuk, kemudian 
menyembah. 
"Hamba Kanjeng Ratu...." 
"Bawa tubuh lelaki ini, buang ke alam manusia 
di dekat istana!" perintah Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. 
"Sendika, Sri Ratu." 
Kedua orang prajurit yang bermuka tengkorak 
itu segera mengangkat mayat Lingga keluar mening-
galkan kamar ratu mereka yang masih tertawa. 

*** 

"Mayat..! Mayaaat..!" 
Seorang prajurit yang sedang bertugas mengeli-
lingi tembok istana menjerit-jerit, ketika menyaksikan 
sesosok tubuh tanpa pakaian dikerumuni oleh bina-
tang-binatang berbisa menjijikkan. Rupanya mayat 
Lingga yang mengalami kematian mengerikan dibuang 
di tempat itu. 
"Mayat! Mayat Den Lingga...!" 
Sepontan semua penghuni istana termasuk 
sang Raja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mata 

mereka serentak membelalak, menyaksikan mayat 
Lingga tiba-tiba telah tergolek di buritan istana dalam 
keadaan mengerikan.  
"Kangmas Lingga...!" 
Dyah Ayu yang melihat suaminya telah mati da-
lam keadaan mengenaskan seketika menjerit histeris. 
Tubuhnya gontai, lalu pingsan tak kuat menerima 
guncangan batin. 
Patih Rangga Wuni dan Baginda Raja Brah Sa-
lagatri menghela napas dalam-dalam. 
Kematian yang sama dialami oleh para prajurit 
kerajaan tiga hari lalu. Tapi mayat Lingga kini lebih 
mengerikan, karena kemaluannya hilang. Seperti digi-
git oleh binatang berbisa, yang menjadikan tubuhnya 
membiru. 
"Ini keterlaluan!" dengus baginda raja geram. 
"Kita harus segera meringkus pelaku semua ini. Aku 
tak peduli itu bangsa siluman atau manusia!" 
Patih Rangga Wuni terdiam. Sulit baginya un-
tuk mengutarakan kata-kata. Bagaimanapun juga, dia 
harus berpikir beratus kali untuk bisa menjawab se-
mua misteri ini. Kalau benar pelakunya siluman, apa 
dasarnya sehingga bangsa siluman begitu dendam ter-
hadap Kerajaan Bumi Wandra? 
"Patih, kau harus memanggil para pendekar 
untuk datang ke istana secepatnya. Aku tak ingin kor-
ban semakin banyak berjatuhan. Kita harus segera 
menghentikan semuanya!" dengus baginda raja marah. 
"Sendika, Yang Mulia. Hamba akan segera men-
jalankan tugas." 
"Lakukanlah sekarang juga." 
"Sendika, Yang Mulia." 
Patih Rangga Wuni segera menyembah, kemu-
dian tubuhnya pun berlalu meninggalkan buritan ista-
na di mana raja dan kerabat istana masih berdiri di 

tempat itu. 
Sore telah menjelang. Sebentar lagi kegelapan 
malam akan segera merambah. Matahari terpulas le-
lah. Suasana duka menyelimuti kerabat istana. Mereka 
tak pernah tahu apa yang telah terjadi belakangan ini. 
Semua masih gelap, menjadi tabir misteri yang sulit 
untuk dikuak. 
Orang-orang istana tampak sibuk mengurus 
mayat Lingga. Wajah mereka dirundung duka yang da-
lam atas kematian menantu baginda raja. Mereka tidak 
tahu, mengapa mesti keluarga raja yang menjadi kor-
ban. Padahal baginda raja sangat arif dan bijaksana 
memimpin kerajaan. Tak pernah sekalipun baginda 
berlaku tidak adil dan kasar, yang akan membuat 
orang dendam. 
Mereka tak tahu. Semua orang tak tahu, kalau 
ada sesuatu yang terjadi di balik semua itu. Dendam 
seorang wanita dan anaknya yang merasa disia-siakan. 
Dendam yang membuat keduanya bersumpah untuk 
mengabdi di alam kegelapan. 
Dendam itu kini terwujud, setelah diterimanya 
kedua ibu dan anak menjadi bangsa siluman, bangsa 
kegelapan. Dengan cara mengorbankan jiwa dan raga 
mereka. 
Kalau saja semuanya tahu, tentu semua  tak 
akan bingung dan resah menghadapi kejadian-
kejadian yang aneh dan penuh misteri. 
Hujan rintik turun mengiringi duka keluarga is-
tana atas kematian Lingga. Dengan derai air mata yang 
berbaur dengan derai hujan, mayat Lingga dikebumi-
kan sebagaimana adat kerajaan. 
Dyah Ayu masih terseguk-seguk, bahkan bebe-
rapa kali jatuh pingsan, tak kuat menahan kesedihan 
yang dialaminya. Mereka baru menikah sebulan yang 
lalu. Dalam keadaan yang seharusnya gembira, tiba-

tiba tengkorak darah merenggut Lingga dari pelukan-
nya. Lalu setelah tiga hari menghilang, tiba-tiba Lingga 
diketemukan telah menjadi mayat yang sangat menge-
rikan.  
"Ibu, mengapa semua ini terjadi? Hu hu hu...!" 
"Entahlah, Cah Ayu. Ibu juga tak mengerti," ka-
ta ibunda Dyah Ayu sambil memeluk tubuh anaknya. 
Tangannya dengan lembut membelai-belai rambut 
sang Anak. 
Wanita cantik jelita yang sangat sayang pada 
anaknya itu bertubuh ramping dengan rambut disang-
gul. Wajahnya tampak lembut, tenang, dan penuh ka-
sih. Matanya lentik serta berbibir mungil, meski 
usianya sudah menginjak tua. Sabar sekali tingkah la-
kunya. 
"Sudahlah, Dyah. Mungkin semua ini suratan 
Sang Hyang Widi!" tambah ayahnya, Raja Kerajaan 
Bumi Wandra dengan masgul. 
"Tapi, Rama, Mengapa harus kita yang meneri-
manya? Mengapa?" 
Raja Brah Salagtari menghela napas dalam-
dalam. Dengan air mata berlinang, Raja Brah Salagatri 
berusaha menjawab pertanyaan anaknya. 
"Sang Hyang Widi tak pandang siapa manusia 
itu, Dyah. Kalau dia menghendaki, pasti akan terjadi. 
Mungkin hari ini Lingga, besok siapa tahu Ayah." 
"Tapi  ini bukan kehendak Sang Hyang Widi, 
Rama," bantah Dyah Ayu. 
"Sudahlah, Cah Ayu. Terimalah semuanya den-
gan hati yang tabah. Serahkan semuanya pada Sang 
Hyang Widi. Semoga Dia menerima arwahnya," hibur 
sang Ibu 
Suasana duka masih menyelimuti mereka. Pe-
kuburan kerabat istana kembali sepi dan senyap. 
Hanya terdengar desah angin yang bergesek dengan 

daun-daun pohon kering. Berderit lirih penuh duka. 
Satu persatu mereka meninggalkan pekuburan 
itu, masih dengan membawa tangis. Pekuburan pun 
benar-benar sepi. Malam  merambat datang, dengan 
kegelapannya yang terasa semakin mencekam. 
Krakkk! 
Tiba-tiba kuburan tempat Lingga dimakamkan 
berbunyi. Ada sesuatu yang terjadi. Bersamaan dengan 
itu, terdengar suara berseru sayup-sayup. 
"Atas nama tengkorak darah! Bangunlah...!" 
Krakkk! 
Werrr! 
Angin menderu dengan kencang, seiring dengan 
suara pecahnya tanah di kuburan Lingga. Dari kegela-
pan yang mencekam, tampak se sosok tubuh berdiri. 
Tangannya terangkat ke atas. Matanya tajam meman-
dang kuburan Lingga yang merekah. 
"Bangkitlah!  Atas nama tengkorak darah. 
Bangkit! Bangkit dari kuburmu! Bunuh Raja Brah Sa-
lagatri! Bunuh...!" 
Krakkk! Duarrr! 
Ledakan dahsyat menggelegar, memecahkan 
kesunyian malam yang dingin, disertai rintik hujan ge-
rimis. Sepasang tangan kaku dengan kuku-kuku pan-
jang, merayap naik perlahan-tahan. Lalu tampak-lah 
kepala Lingga yang mengerikan. Kepala menyeramkan 
itu muncul ke permukaan tanah. Matanya berwarna 
merah menyala. Kemudian sosok menyeramkan itu 
berdiri di atas liang kuburnya. Matanya memandang 
sosok wanita yang berdiri di tengah kegelapan. 
"Aku bangkit..." 
"Kemarilah!" seru wanita dalam kegelapan me-
merintah. 
Sosok mayat hidup itu melangkah mendeka-
tinya. 

"Apa yang harus kulakukan?" tanya mayat hi-
dup itu dengan suara berat dan serak. Bau busuk me-
nebar di udara malam. 
"Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Kau adalah ab-
diku yang setia! Kau akan menjadi penghancur keluar-
ga kerajaan! Bawa anak lelaki Brah Salagatri! Bawa ke 
tempatku!" perintah wanita yang berdiri di kegelapan. 
"Hanya itu?" tanya mayat hidup. 
"Untuk kali ini. Hanya itu!" 
"Baik, aku akan melakukannya." 
"Bagus! Pergilah segera...!" 
Wanita itu menghilang. Kini tinggallah  mayat 
hidup yang melangkah membelah malam. Desah na-
pasnya yang berat, membuat suasana di sekelilingnya 
semakin mencekam. Dentuman langkahnya pun se-
makin membahana, menggetarkan kesunyian. 
Mayat hidup itu melangkah menuju istana. 
Enam orang penjaga pintu gerbang tersentak, 
manakala melihat sesosok menyeramkan menuju ista-
na. Mata mereka membelalak tegang. Sepontan mereka 
menjerit ketakutan, membuat orang-orang istana ter-
sentak dan berhamburan lari keluar untuk melihat 
apa yang terjadi. 
"Mayat hidup...!" seru mereka ketakutan 
"Lingga! O, apa yang terjadi denganmu?" tanya 
Raja Brah Salagatri dengan mata melotot tegang, me-
nyaksikan mayat menantunya yang baru dikubur sore 
tadi, kini bangkit. Mata Lingga bersinar merah menye-
ramkan. 
"Gerrr! Minggir...!" bentak mayat hidup itu 
sambil menggerakkan tangan. 
Wettt! 
Para penjaga pintu gerbang dicengkeramnya, 
kemudian dengan enteng dilemparkan keenam prajurit 
itu sampai melayang di udara. Lalu jatuh ke tanah 

dengan nyawa melayang. 
Menyaksikan kebengisan mayat Lingga, Raja 
Brah Salagatri segera memerintah para prajuritnya un-
tuk membunuh mayat itu. 
"Bunuh iblis itu...!" 
Serentak berpuluh prajurit bergerak maju un-
tuk menyerang. Dengan pedang dan tombak, mereka 
menyerang mayat Lingga. 
Swing, swing, swing! 
Jlep, jlep, jlep!  
Puluhan anak panah dan tombak menghujani 
tubuh mayat Lingga yang hidup kembali. Beberapa ba-
gian tubuhnya tertembus telak. Bahkan ada yang 
sempat menembus hingga bagian belakang tubuh. Tapi 
mayat hidup itu bagai tidak merasakan apa-apa. Ma-
lah dicabutnya senjata-senjata yang menghujam di tu-
buhnya. Kemudian dengan penuh amarah, dilempar-
kannya kembali senjata itu ke para prajurit. 
"Gerrr! Ini senjata kalian kukembalikan! 
Heaaa...!" 
Puluhan senjata itu melesat laksana dilontar-
kan tenaga raksasa. Tanpa ampun....  
Jlep, jlep, jlep!  
"Wuaaa...!" 
Puluhan prajurit menjerit setinggi langit. Tubuh 
mereka tertembus senjata-senjata yang tadi mereka le-
paskan. 
Raja Brah Salagatri semakin bertambah cemas 
menyaksikan keganasan mayat hidup menantunya. 
Dia segera lari masuk ke dalam sambil berseru meme-
rintah prajuritnya untuk membunuh mayat hidup itu. 
"Gerrr! Minggir kalian...!" 
Wuttt! 
Tangan mayat hidup bergerak cepat, menyam-
bar tubuh para prajurit yang berusaha menghalan-

ginya. Seketika mereka terlempar ke udara bersama je-
rit kematian yang menyayat.  
"Wuaaa...!" 
Bug, bug, bug! 
Menyaksikan kematian teman-temannya, nyali 
para prajurit lainnya mendadak ciut. Mereka segera 
menyingkir, ketika mayat hidup itu melangkah mende-
kati mereka. Mayat hidup itu terus melangkah masuk. 
Namun tiba-tiba dia dihalangi oleh seorang lelaki tua 
berjubah ungu. Di tangan lelaki tua berjubah ungu 
yang bernama Ki Gendut Kluntung, tergenggam tom-
bak pendek bermata dua yang dinamakan 'Ki Basupa-
ti', 
"Minggatlah kau ke alammu! Heaaa...!" Ki Gen-
dut Kluntung yang, keadaan tubuhnya kurus tidak se-
perti namanya itu, merangsek dengan senjata pusa-
kanya. 
"Heaaa...!" 
"Gerrr! Minggir kau!" bentak mayat hidup sam-
bil bergerak menyerang Ki Gendut Kluntung. Dia ada-
lah Pendekar Istana Bumi Wandra yang berusia sekitar 
lima puluh tujuh tahun. Berambut panjang dengan 
bagian atas kepala botak, berhidung pesek dan berma-
ta lebar. Tubuhnya harus berjumpalitan mengelakkan 
serangan lawan yang menimbulkan angin panas mem-
bakar. 
"Edan! ilmu iblis...!" maki Ki Gendut Kluntung 
dengan mata membelalak, menyaksikan keganasan 
pukulan tangan lawan. 
Saat itu, ketika Ki Gendut Kluntung mengelak, 
mayat hidup berlari menuju kamar putra Raja Brah 
Salagatri yang bernama Citro Buono. Diambilnya pe-
muda tanggung yang menjerit-jerit ketakutan itu. 
"Rama, tolooong...!" 
"Anakku! Anakkuuu...! Jangan bawah anak-

kuuu!" seru Raja Brah Salagatri, berusaha mencegah 
mayat hidup. Tapi tubuh mayat hidup telah menghi-
lang lewat jendela kamar anaknya. 
"Iblis! Jangan lari...!" bentak Ki Gendut Klun-
tung mengejar. 

*** 


Sia-sia saja Ki Gendut Kluntung mengejar, se-
bab mayat hidup itu telah menghilang dalam kegela-
pan entah ke mana. Seperti menyusup ke dasar bumi. 
Dengan penuh kekecewaan, Ki Gendut Klun-
tung kembali ke kerajaan. Namun baru beberapa lang-
kah kakinya bergerak, tiba-tiba tanah di sekelilingnya 
merekah. Bersamaan dengan itu, dari rekahan tanah 
muncul asap putih kehitam-hitaman mengurung tu-
buh Ki Gendut Kluntung. 
"Heh, apa itu?!" desis Ki Gendut Kluntung den-
gan mata membelalak, menyaksikan sesuatu yang 
aneh. "Uh, bau kemenyan dan bunga kamboja.  
Wesss!  
Krakkk! 
Suara asap mengepul disertai derak tanah re-
tak kembali terdengar. Samar-samar, kini tampak pu-
luhan makhluk-makhluk menyeramkan mengelilingi Ki 
Gendut Kluntung. 
"Hah...?! Mereka dari dalam tanah! Oh, mereka 
benar-benar siluman tengkorak darah," desis Ki Gen-
dut Kluntung dengan mata membelalak tegang. Cepat-
cepat disiapkan senjata pusakanya, tombak pendek Ki 
Basupati. 
"Gerrr! Nguikkk...!" 

Serentak makhluk-makhluk menyeramkan 
bermuka tengkorak itu menyerbu Ki Gendut Kluntung. 
Serangan mereka begitu cepat. Gerakan mereka 
bukanlah gerakan ilmu silat, kacau balau. Namun 
membahayakan. 
"Gerrr! Nguikkk!" 
"Ayo, hadapi aku...!" tantang Ki Gendut Klun-
tung sambil menggerakkan Ki Basupati dengan jurus 
'Jalma Bawuna', menjadikan tombak pendek itu mam-
pu mengeluarkan angin yang menderu kencang, me-
nyambar-nyambar ke arah sosok-sosok menyeramkan. 
"Nguikkk!" 
"Heaa...!" 
Meski dikeroyok prajurit tengkorak darah, tapi 
Ki Gendut Kluntung rupanya mampu mengatasi se-
rangan-serangan mereka. Bahkan beberapa kali senja-
tanya mampu menghantam kepala dan dada lawan 
yang seketika jatuh ambruk dan menghilang. 
"Heaaa!" 
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus bergerak me-
nyerang. Tangannya yang memegang tombak Ki Basu-
pati menyambar lawan-lawannya yang berusaha me-
rangsek. Keampuhan Ki Basupati benar-benar terbuk-
ti. Senjata itu mampu membuat lawan dari bangsa si-
luman darah harus mengalami kebinasaan. 
"Nguik! Werrr...!" 
Pemimpin Prajurit Tengkorak Darah yang meli-
hat anak buahnya semakin banyak menjadi korban ki-
ni merangsek maju. Tangannya yang hanya tulang be-
lulang itu bergerak menyerang dengan sambaran-sam-
baran yang mengeluarkan hawa panas. 
"Uts! Rupanya kau ketuanya! Baik, kita berta-
rung mengadu nyawa! Heaaa...!" 
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus mencelat kian 
kemari, mengelakkan serangan lawan yang datang ber-

tubi-tubi, bagai tidak memberi kesempatan bagi di-
rinya untuk balas menyerang. 
"Heaaa!" 
Dengan bersalto ke udara, Ki Gendut Kluntung 
segera balas melabrak dengan jurus 'Buana Yuda'. Di-
putarnya tombak pendek yang bernama Ki Basupati 
dengan kencang, kemudian dengan cepat mata tombak 
ditusukkan ke dada lawan. 
Rupanya lawan yang dihadapinya benar-benar 
bukan tengkorak darah sembarangan. Lawan mampu 
mengimbangi serangan yang dilancarkan Ki Gendut 
Kluntung. 
"Heaaa!" 
"Nguikkk! Werrr!" 
Pertarungan dua makhluk berbeda alam itu 
berlangsung dengan seru. Masing-masing berusaha 
menjatuhkan satu sama lain 
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk 
dapat mengalahkan lawannya. Namun ternyata sulit 
bagi keduanya untuk dapat mengakhiri pertarungan 
itu 
Serangan Ki Gendut Kluntung kini terlihat ken-
dor. Rupanya tenaganya terkuras saat melakukan se-
rangan. Wajahnya agak tegang, menyaksikan lawan 
masih kuat. Malah gempuran serangannya semakin 
menjadi-jadi. 
"Iblis! Dia tidak merasa lelah sedikit pun!" maid 
Ki Gendut Kluntung. "Celakalah aku!" 
Belum juga Ki Gendut Kluntung selesai menca-
ci maki. Pemimpin Tengkorak Darah kembali meng-
gempur dengan pukulan-pukulan mautnya. Dari tan-
gannya membersit sinar biru ke tubuh Ki Gendut 
Kluntung. 
Wesss! 
"Uts! Celaka...!" pekik Ki Gendut Kluntung 

sambil merendahkan tubuhnya untuk mengelak. Sinar 
biru yang keluar dari tangan pemimpin tengkorak da-
rah melesat beberapa senti di atas kepalanya. 
Belum juga Ki Gendut Kluntung dapat mengua-
sai diri, lawannya telah melancarkan serangan puku-
lan-pukulan mautnya kembali. 
"Gerrr! Nguik...!" 
Wusss!" 
"Celaka! Dia benar-benar bukan manusia!" pe-
kik Ki Gendut Kluntung setengah mengeluh. Segera di-
rendahkan tubuhnya ke bawah, kemudian dengan ce-
pat berguling ke samping. 
Wesss! 
Sinar biru itu luput beberapa senti di samping 
kanannya. Tapi lagi-lagi sebelum Ki Gendut Kluntung 
menguasai diri, serangan lawan mencecar lagi. 
Wesss! 
"Modar aku!" keluh Ki Gendut Kluntung, mera-
sa mati langkah. Matanya membelalak tegang. Hara-
pannya untuk hidup semakin menipis. Sinar biru itu 
semakin dekat ke arahnya. Tinggal menunggu bebera-
pa saat lagi, dia akan mati terhantam pukulan maut 
itu. Namun.... 
Jlegarrr! 
Ledakan hebat menggelegar, ketika serangkum 
sinar merah menderu cepat lalu menghadang sinar bi-
ru. Bersamaan dengan suara ledakan itu, terdengar ge-
lak tawa meriah. 
"Hua ha ha...! Rupanya kalian tidak kapok, Si-
luman Busuk!" 
Pemimpin tengkorak darah yang tergontai-
gontai kini memalingkan wajah. Dilihatnya seorang 
pemuda tampan bertingkah seperti orang gila telah 
hadir di tempat itu bersama dengan seorang wanita 
cantik.  

"Gerrr! Nguik! Kakkk!" 

*** 

"Hua ha ha! Kalian memang siluman-siluman 
busuk! Mengapa kalian ikut campur urusan manusia!" 
bentak Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera. 
"Gerrr! Nguik! Gerrrkkk!" seru Pemimpin Teng-
korak Darah sambil melambaikan tangan pada anak 
buahnya, yang bergerak serentak mengurung Pendekar 
Gila. 
"Aha, rupanya malam ini kita bisa bermain-
main, Mei Lie," celoteh Pendekar Gila sambil ber-
jingkrak dan menggaruk-garuk kepala. 
"Hm, majulah siluman busuk.'" dengus Mei Lie 
sambil mencabut Pedang Bidadarinya.  
Srang! 
Sinar merah kekuning-kuningan seketika me-
nyinari tempat itu. Hal itu membuat Ki Gendut Klun-
tung dapat melihat dengan jelas orang yang telah me-
nolongnya  dan bagaimana rupa makhluk-makhluk 
menyeramkan yang mengeroyoknya habis-habisan. 
"Pendekar Gila...! O, selamat datang di kera-
jaan. Terima kasih atas pertolonganmu," sambut Ki 
Gendut Kluntung. 
"Aha, sudahlah, Ki! Tak perlu dipermasalahkan. 
Kini kita harus main-main dengan tikus tengkorak itu! 
Ha ha ha...! Awas serangan!" 
Dengan tingkah polah konyol, tubuh Pendekar 
Gila segera melompat ke udara, mengelakkan serangan 
lawan yang menderu ke arah mereka. Begitu juga den-
gan Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung. Kemudian keti-
ganya balas menyerang dengan cepat 
"Aha, rupanya di alam kalian tidak pernah ma-
kan tahu. Nih tahu untuk kalian! Heaaa...!" 

Sambil menunggingkan pantat Pendekar Gila 
bergerak menggasak lawan-lawannya. Dicabutnya Sul-
ing Naga Sakti. Dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh, Sena menyerang kepala lawan. 
"Hi hi hi! Enak juga meniti di kepala siluman, 
Mei Lie!" seru Pendekar Gila sambil berlari di atas ke-
pala-kepala siluman tengkorak darah. Sementara itu 
tangannya menghantamkan Suling Naga Sakti ke ke-
pala tengkorak darah yang dipijaknya. 
Tukkk! 
Pletakkk! 
Satu tengkorak darah binasa. Batok kepala 
tengkoraknya pecah terkena pukulan Suling Naga Sak-
ti. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seperti 
kegirangan bisa berlari di atas kepala siluman-siluman 
tengkorak 
"Ha ha ha...! Mei Lie, cepat naik! Enak sekali 
bisa menginjak kepala siluman!" seru Pendekar Gila 
sambil tetap menggerakkan tangannya, memukulkan 
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.  
Pletakkk! 
Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung pun tak tinggal 
diam. Dengan senjata pusaka, keduanya bergerak me-
nyerang. Ki Gendut Kluntung dengan tombak pendek 
Ki Basupati mengamuk dengan jurus 'Buana Yuda'. 
Senjata di tangannya bergerak buas laksana baling-
baling, menusuk dan memukul tubuh lawan-
lawannya. 
"Heaaa!" 
Wettt! 
Prak! 
Setiap kali tombak Ki Basupati bergerak, dua 
siluman tengkorak darah mengalami kesirnaan. Tubuh 
mereka hilang menjadi asap putih kehitam-hitaman. 

Mei Lie tak mau kalah. Dengan Pedang Bidadari 
di tangannya, dia pun bergerak lincah menyerang para 
lawan. Kali ini Mei Lie tidak sungkan-sungkan lagi 
mengeluarkan jurus 'Pedang Tebasan Batin' andalan-
nya yang terkenal ampuh dan belum ada tandingannya 
saat itu 
"Heaaa!" 
Wettt! 
Pedang Bidadari di tangannya menyambar-
nyambar atau membabat ke tubuh lawan. Setiap kali 
pedang di tangan Mei Lie berdesing, kejadian aneh ter-
jadi. Hanya tersentuh oleh ujung pedang saja, silu-
man-siluman tengkorak darah telah sirna. Tak ada 
yang sanggup menghadapi Pedang Bidadari yang me-
nyatu dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. 
"Yeaaa...!" 
Mei Lie menyerang semakin garang. Ingatannya 
kembali terbayang pada Dewi Pemuja Setan yang telah 
memperdayainya (Mengenai Dewi Pemuja Setan, bisa 
Anda baca  pada serial Pendekar Gila dalam episode 
"Titisan Dewi Kuan Im"). 
Pengalaman pahit yang tersimpan di benaknya 
telah begitu mempengaruhi perasaan wanita cantik itu 
Kebenciannya pada kemungkaran menggelegar seperti 
lahar panas. Meskipun dendam tak akan pernah baik 
untuk dirinya, tapi dia sendiri tak mampu lagi meng-
hindari dari kebencian itu. 
Mei Lie semakin merangsek garang dengan te-
basan-tebasan pedangnya. Semakin cepat Mei Lie ber-
gerak, semakin banyak tengkorak darah yang raib. 
Pertarungan semakin berjalan seru, namun kini 
yang lebih mengurung justru ketiga pendekar itu. Me-
reka mampu menekan musuhnya. Korban di pihak si-
luman tengkorak darah semakin banyak berjatuhan. 
"Heaaa...!" 

Mei Lie terus melabrak dengan babatan-
babatan pedangnya yang sangat ampuh dan sakti. 
Korban di pihak tengkorak darah semakin bertambah 
banyak. 
"Ha ha ha! Bagus Mei Lie! Kita memang sedang 
berperang melawan tikus! Hua ha ha...!" Pendekar Gila 
tertawa-tawa sambil mengepung di angkasa. Lalu ka-
kinya menjejak di kepala-kepala siluman tengkorak da-
rah. Disusul dengan hantaman Suling Naga Sakti-nya 
yang membuat lawan seketika ambruk lantas raib. 
"Nguik...!" 
Pemimpin siluman tengkorak darah tampak 
marah. Dia langsung menyerang Pendekar Gila. Tan-
gannya yang hanya tulang belulang menyambar wajah 
Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Me-
mentung Kendi', dia dapat mengelakkan serangan la-
wan. Dengan cepat dibalasnya dengan pukulan Suling 
Naga Saktinya.  
Wettt! 
"Hua ha ha...! Ayo Mei Lie, habisi tikus-tikus 
itu!" serunya sambil terus merangsek  dengan Suling 
Naga Saktinya ke arah Pemimpin Tengkorak Darah. 
Suling Naga Sakti meliuk-liuk bagai seekor naga mur-
ka yang berusaha mematuk kepala lawan. 
Wettt! 
"Nguik!" Pemimpin Tengkorak Darah semakin 
terdesak oleh serangan yang dilancarkan Pendekar Gi-
la.  Malah kini Pemimpin Tengkorak Darah lebih ba-
nyak mengelak, dibandingkan balas menyerang. Ruang 
geraknya bagai dibatasi oleh Pendekar Gila dengan sa-
puan Suing Naga Saktinya. 
Di sisi lain, Ki Gendut Kluntung dan Mei Lie 
pun tak kalah hebat dalam menyerang. Senjata di tan-
gan mereka membuat anak buah tengkorak darah se-
makin jadi bulan-bulanan,  

"Heaaa!" 
Dengan tetap menggunakan jurus 'Pedang Te-
basan Batin' yang merupakan jurus pamungkas dari 
jurus 'Pedang Bidadari', Mei lie terus mencecar lawan. 
Keberadaan Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar 
terang merah kekuning-kuningan cukup berguna bagi 
mereka. Dengan demikian keadaan di tempat itu men-
jadi terang benderang.  
Crak! 
Suara beradu Pedang Bidadari dengan tulang 
belulang lawan terdengar. Bersamaan dengan itu, tu-
lang belulangnya rontok kemudian raib menjadi asap. 
"Nguik...!" 
Pemimpin Tengkorak Darah berseru keras me-
lengking, seperti mengisyaratkan sesuatu pada anak 
buahnya.  
"Aha, mau ke mana kalian, Tikus Busuk!" ben-
tak Pendekar Gila ketika melihat gerombolan tengko-
rak darah yang hendak menghilang meninggalkan 
tempat itu 
Segera ditiupnya Suling Naga Sakti dengan su-
ara melengking, kemudian mengarahkan kepala naga 
di sulingnya ke Pemimpin Tengkorak Darah. 
Serttt! 
Dua larik sinar merah membara yang keluar 
dari mata kepala naga meluncur ke arah lawan. Kedua 
sinar itu begitu deras, hingga tak dapat dielakkan lagi 
oleh Pemimpin Tengkorak Darah. 
Byarrr! 
Tubuh Pemimpin Tengkorak Darah yang ter-
hantam dua sinar merah itu seketika meleleh dan le-
bur menjadi cairan hitam. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" Pen-
dekar Gila tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak 
melihat lawannya meleleh. 

Menyaksikan pemimpinnya binasa, sisa-sisa 
tengkorak darah berusaha menghilang dari tempat itu, 
namun dengan cepat Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung 
menghalangi mereka. 
"Mau lari ke mana siluman!" bentak Mei Lie.  
"Heaaa!" 
Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung segera menye-
rang sisa-sisa tengkorak darah dengan cepat Pedang 
Bidadari di tangannya bergerak cepat, menyambar pa-
ra prajurit tengkorak darah. 
Werrt! 
Crak, crak! 
Dahsyat sekali Pedang Bidadari di tangan Mei 
Lie. Dalam sekali kelebatan, dua tengkorak darah ha-
rus binasa dan raib. Namun Mei Lie tak puas sampai 
di situ dan membiarkan yang lainnya hidup. Tubuhnya 
kembali bergerak, membantu Ki Gendut Kluntung 
menghabisi empat tengkorak darah yang masih hidup. 
"Yea!" 
"Yea!" 
Crak, crak! 
Pesss! 
Dalam satu gebrakan, keempat tengkorak da-
rah yang tersisa dibuat habis. 
"Hua ha ha...! Akhirnya tikus-tikus sawah itu 
habis! Hua ha ha! Kita telah main kucing-kucingan...!" 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingrak, 
menyaksikan tengkorak darah yang berjumlah pulu-
han itu kini telah hilang. 
Wesss! 
Angin kencang menderu. Awan bergulung-
gulung di angkasa. Lidah petir menyala terang. Saat 
itu, terdengar suara menggema yang datangnya seperti 
dari langit  
"Pendekar Gila! Kau benar-benar lancang, turut 

campur urusanku! Awas, tunggulah pembalasanku!" 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Siluman Betina! 
Nih kentutku untukmu! Pruttt..!" Pendekar Gila terta-
wa terpingkal-pingkal. 
"Kurang ajar!" terdengar bentakan lagi  
"Aha, kau justru kelebihan ajar! Kau telah lan-
cang mencampuri urusan manusia! Hua ha ha...!" Se-
na terus bertingkah konyol. Berjingkrak-jingkrak lak-
sana monyet "Keluarlah kau! Seperti apa sih muka-
mu...? Tentunya seperti cecurut!" 
"Kali ini kau belum kuhajar, Pendekar Gila! 
Tunggu pembalasanku nanti!" 
"Aha, katakanlah di mana jalan menuju ke 
tempatmu! Aku jadi ingin melihat tampangmu yang 
seperti tikus sawah. Hua ha ha...!" 
"Bedebah! Kulumatkan tubuhmu, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!" 
Hawa panas sekali menyelimuti tempat itu, 
menjadikan ketiganya bagai dipanggang oleh api yang 
membara. 
"Aha, kau ingin mengajak main-main dengan-
ku. Baik, kita main-main!" seru Pendekar Gila, "Mei Lie 
dan Ki Gendut Kluntung, menyingkirlah agak jauh." 
Setelah Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung me-
nyingkir, Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 'Inti 
Brahma'. Tangannya disatukan di depan dada, kemu-
dian digosokkan dengan keras. Setelah itu, telapak 
tangannya dibuka dan dihantamkan ke arah datang-
nya hawa panas itu. 
"Inti Brahma'. Heaaa...!" 
Inti api melesat dari tangan Pendekar Gila yang 
kini sarat dengan api ke arah hawa panas. Kemudian 
dalam jarak sepuluh batang tombak, inti api menghan-
tam sesuatu dan menimbulkan ledakan menggelegar.  
Jlegarrr! 

'Tobat! Ibu...!" terdengar seruan kepanasan. 
Namun ujud dari sosok itu tidak juga nampak. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 
berjingkrak, kemudian kembali menghampiri Mei Lie 
dan Ki Gendut Kluntung. 
'Tuan Pendekar, kami mengharap Tuan sudi 
singgah ke istana. Baginda sangat memerlukan sekali 
pertolongan Tuan," pinta Ki Gendut Kluntung. 
Sena memandang Mei Lie yang mengangguk. 
"Baiklah." 
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tem-
pat yang dekat dengan pekuburan, menuju kerajaan 
yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. 

*** 


Pagi tampak mendung. Langit dihampar bergu-
lung-gulung awan pekat. Menutupi mentari hingga si-
narnya tidak berdaya. Suasana Kerajaan Bumi Wandra 
semakin kelam. Hilangnya putra mahkota, membuat 
Raja Brah Salagatri berduka. 
Pagi  ini, Raja Brah Salagatri duduk di singga-
sana dengan wajah murung. Roman mukanya menun-
jukkan kesedihan. 
Di hadapannya, duduk bersila Pendekar Gila, 
Mel Lie, Ki Gendut Kluntung, Ki Gede Mantingan, dan 
beberapa pendekar lainnya. Patih Rangga Wuni juga 
hadir.    
"Saudara-saudara sekalian. Korban telah ba-
nyak berjatuhan. Tapi sampai sekarang kita belum ta-
hu siapa sebenarnya dalang dari semua kejadian ini," 
tutur Raja Brah Salagatri dengan suara berbeban. 

Semua yang hadir di tempat itu diam, termasuk 
Pendekar Gila yang biasanya bertingkah aneh. 
"Saudaraku sekalian. Dengan tangan terbuka, 
kumohon pendapat kalian. Katakanlah, apa yang ha-
rus kuperbuat? Untuk kedamaian dan kesejahteraan 
rakyatku yang kucintai, aku siap berkorban. Bahkan 
bila perlu, nyawaku sebagai taruhannya." 
Semua tergugu mendengar penuturan baginda 
raja yang teramat menyentuh perasaan masing-
masing. 
"Ayo, katakanlah.... Apa yang seharusnya kula-
kukan?" ulang Baginda Raja Brah Salagatri mengha-
rap. 
Ki Gede Mantingan menyembah.  
"Katakanlah, Ki Gede." 
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Jika apa yang 
akan hamba sampaikan salah, sudi kiranya Baginda 
memaafkannya." 
'Tak apa. Katakanlah." 
Sesaat Ki Gede Mantingan menghela napas. 
Kemudian setelah menyembah lagi, Ki Gede Mantingan 
pun menuturkan apa yang telah dia lakukan selama 
ini. 
"Semalam hamba mendapatkan wangsit, Ba-
ginda." 
"Wangsit apa, Ki Gede? Katakanlah," pinta Ba-
ginda Raja Brah Salagatri: 
Ki Gede Mantingan menelan ludah. Sepertinya 
dia agak berat untuk menceritakan hal yang dilihatnya 
dalam wangsitnya. Namun setelah berpikir bahwa se-
mua itu untuk kepentingan rakyat, akhirnya Ki Gede 
Mantingan bertutur juga. 
'Ketika hamba tengah bersemadi, tiba-tiba 
hamba didatangi oleh leluhur hamba. Hamba bertanya, 
apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Bumi Wandra 

ini...? Leluhur hamba pun memberikan gambaran." 
Ki Gede Mantingan pun menceritakan apa yang 
digambarkan oleh leluhurnya. 
"Tiga puluh tahun yang silam, hiduplah seo-
rang kembang desa yang sangat cantik jelita bernama 
Rubiati. Kecantikan Rubiati membuat semua lelaki in-
gin sekali meminangnya. Namun semuanya ditolak, 
karena tidak ada yang cocok di hati gadis itu."  
Tersentak semua orang yang ada di situ terma-
suk Sena, Mei Lie, Raja Brah Salagatri sendiri. Terlebih 
Sena dan Mei Lie yang tidak menyangka kalau Raja 
Brah Salagatri ada sangkut pautnya dengan masalah 
tengkorak darah. Keduanya saling pandang, kemudian 
menatap Raja Brah Salagatri yang hanya tertunduk 
dalam-dalam. 
"Rubiati akhirnya jatuh cinta dan menaruh ha-
rapan pada seorang pemuda tampan putra mahkota 
yang bernama Brah Salagatri. Keduanya saling men-
cintai dan berjanji sehidup semati. Hubungan kedua-
nya terus berjalan dengan penuh kasih dan sayang. 
Sampai suatu ketika, Rubiati hamil. Sejak kehamilan-
nya itu sang Kekasih yang sudah berjanji akan meni-
kahinya tak pernah muncul-muncul" 
"Perut Rubiati semakin membesar. Karena ma-
lu, dia pun nekat bunuh diri di Telaga Panca Warna. 
Namun rupanya bangsa siluman yang menghuni telaga 
itu menerima sumpahnya. Karena sebelum bunuh diri 
Rubiati sempat bersumpah, dia ingin tetap hidup un-
tuk membalas sakit hatinya. Dia tidak sudi mati dan 
menghentikan teror jika belum bisa bersama Brah Sa-
lagatri. Sumpah Rubiati diterima oleh Raja Siluman 
Tengkorak Darah. Ketika dia ditelan Telaga Panca 
Warna, tubuhnya diterima oleh Raja Siluman Tengko-
rak Darah. Kemudian dibawa ke kerajaan siluman itu." 
"Rubiati yang sudah berikrar akan menuntut 

balas akhirnya menerima lamaran Raja Siluman Teng-
korak Darah. Dengan bantuan ilmu Siluman Tengko-
rak Darah, bayi Rubiati yang sudah sekarat bisa dihi-
dupkan kembali. Hari demi hari, Rubiati dididik oleh 
Raja Siluman Tengkorak Darah. Berbagai ilmu ditu-
runkan olehnya. Baik ilmu ketatanegaraan maupun 
ilmu kesaktian. Semuanya diturunkan oleh Raja Silu-
man Tengkorak Darah pada Rubiati." 
"Nampaknya ilmu Raja Siluman Tengkorak Da-
rah merupakan nyawa bagi dirinya. Setelah ilmunya 
diturunkan pada Rubiati, Raja Siluman Tengkorak Da-
rah pun mangkat, berubah menjadi serakan tulang be-
lulang. Sejak saat itu, Rubiati mengambil alih kepe-
mimpinan. Anaknya diangkat sebagai ratu pajangan, 
ratu yang hanya memerintah atas persetujuan ibun-
danya. Sedangkan kekuasaan mutlak sebenarnya ada 
di tangan Rubiati. Rubiati hanya menurunkan ilmu-
ilmu tertentu pada anaknya. Kalau semua diturunkan, 
dirinya akan mengalami hal seperti Raja Siluman 
Tengkorak Darah dan terbuang dari alamnya." 
"Jadi semuanya berada di tangan Rubiati. Di-
alah yang berkuasa atas kerajaan siluman itu." 
"Begitulah apa yang hamba dapatkan dari 
wangsit itu, Baginda," kata Ki Gede Mantingan men-
gakhiri ceritanya. 
Baginda Raja Brah Salagatri sesaat terdiam. In-
gatannya seketika melayang pada kejadian tiga puluh 
tahun yang silam. Saat dirinya masih muda dan se-
dang bersemarak cinta kasih di hatinya. Ingatan akan 
Rubiati kembali menyeruak. 
Tanpa terasa, air mata Baginda Raja Brah Sala-
gatri  meleleh. Lalu dengan terisak baginda bersabda, 
"Apa yang kau ceritakan memang benar, Ki Gede. Me-
mang aku yang salah. O, sungguh nista diriku ini." 
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka 

kata. Begitu pula dengan Sena dan Ki Gede Mantingan 
Semua turut terhanyut oleh perasaan sedih yang di-
alami Baginda Raja Brah Salagatri. 
"Ki Gede, aku memang pernah mengucapkan 
sumpah sehidup semati dengannya. Oh, kini aku baru 
sadar, kalau semua adalah karena kesalahanku." 
Semua masih terdiam, tak ada yang berani 
membuka kata.  
"Kini saatnya aku harus menepati janji. Ki Gede 
Mantingan, apakah kau tahu jalan menuju ke alam si-
luman?" tanya Raja Brah Salagatri. 
"Ampun, Baginda. Hendak apa Baginda mena-
nyakan jalan ke alam siluman?" tanya Ki Gede Mantin-
gan, belum mengerti. 
"Aku hendak ke sana. Menepati janji, sekaligus 
meminta agar dia menghentikan semuanya," jawab Ba-
ginda Raja Brah Salagatri. 
"Apa tidak sebaiknya Baginda mengutus seseo-
rang?" 
"Tidak, Ki Gede. Aku hanya minta dikawal 
olehmu, Pendekar Gila dan Nona Mie Lie. Kalau  me-
mang aku tak dapat kembali ke dunia, kalianlah yang 
akan mengabarkannya pada rakyat" 
Semua menghela napas panjang mendengar 
penuturan dan tekad bulat Baginda Raja Brah Salaga-
tri. Mereka sama-sama trenyuh mengetahui raja mere-
ka begitu arif dan bijaksana.  Untuk kepentingan ra-
kyat, dia rela mengorbankan jiwa dan raga. 
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan 
padaku, maka hamba tak dapat menentang. Nanti 
sore, ketika matahari hendak tenggelam, kita akan ke 
sana," ucap Ki Gede. 
"Baiklah kalau begitu," jawab sang Raja pasti. 

*** 


Sore yang ditunggu datang. Empat orang tam-
pak berjalan menelusuri Hutan Gandra Siluman, di 
mana Telaga Panca Warna berada. Keempat orang ter-
sebut adalah Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede 
Mantingan, Sena, Mei Lie. Mereka terus melangkah 
menelusuri hutan yang terkenal angker. Namun mere-
ka bagai tak peduli dengan suara-suara yang berisik 
dan mendirikan bulu kuduk mereka. 
Suasana ke dalam semakin gelap. Mei Lie sege-
ra mencabut Pedang Bidadarinya. Seketika suasana di 
dalam hutan itu berubah menjadi terang benderang. 
Hal itu membuat langkah mereka agak lancar. 
Tidak lama kemudian, keempatnya telah sam-
pai di telaga yang mereka tuju. Seperti namanya, air 
telaga itu memiliki lima warna yang tak berubah. Kun-
ing, merah, hijau, dan putih. Sangat indah sekali pe-
mandangan di telaga itu. 
Ki Gede Mantingan berdiri dengan kepala agak 
mendongak. Kedua tangannya saling menyatu. Mulut-
nya membaca mantra-mantra. 
Tiba-tiba air telaga bergemuruh riuh, bagai 
mendidih. Bersamaan dengan itu, dari dalam telaga 
muncul seekor ikan besar bermata emas.         
"Apa yang kalian inginkan sehingga memang-
gilku?" tanya ikan itu, sebagaimana layaknya manusia 
bercakap-cakap. Hal itu tentu saja menyentakkan Se-
na dan Mei Lie. Sena hampir tertawa ngakak, menyak-
sikan keanehan ikan besar itu. Beruntung dia dapat 
menahannya, setelah ingat kalau mereka tengah mela-
kukan upacara gaib. 




Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantin-
gan, Pendekar Gila, dan Mei Lie telah berada di tepi Te-
laga Panca Warna. Satu telaga yang sangat indah. Ki 
Gede Mantingan segera membaca mantra-mantra. Tiba-
tiba air telaga di depan mereka bergemuruh riuh. Dan 
bersamaan dengan itu, dari dalam telaga muncul seekor 
ikan raksasa bermata emas! 



"Ki Tawes, sengaja aku mengundangmu, karena 
aku memerlukan pertolonganmu," mulai Ki Gede Man-
tingan. 
"Apa yang harus kulakukan?" tanya ikan rak-
sasa itu. 
"Kami ingin ke Kerajaan Siluman Tengkorak 
Darah." 
"Untuk apa?" 
"Kami ingin bertemu dengan Ratu Tengkorak 
Darah." 
Ikan raksasa itu sesaat terdiam, kemudian tu-
buhnya bergerak-gerak tanda mengerti. 
"Baiklah. Masuklah kalian ke dalam mulutku," 
perintahnya, menyentakkan Sena, Mei Lie, dan Raja 
Brah Salagatri.  
"Masuklah. Ki Tawes adalah sahabat leluhur-
ku," ujar Ki Gede Mantingan. 
Antara ikan tawes raksasa dengan Ki Gede 
Mantingan  seperti telah terjalin ikatan batin. Hal itu 
bermula dari guru Ki Gede Mantingan bernama Ki 
Gede Prasutra. Yang sakti mandra guna, gurunya me-
nolong Ki Tawes dari kematian akibat kekeringan air 
yang disebabkan oleh peperangan antara Siluman 
Tawes dengan Siluman Yuyu Ireng. 
Ki Gede Prasutra yang melihat Ki Tawes sebagai 
raja segala ikan dalam keadaan sekarat, segera meno-
longnya. Dimintanya hujan pada Sang Hyang Widi. 
Rupanya doa Ki Gede Prasutra terkabul, hingga sela-
matlah Ki Tawes dari kematian. 
Merasa ditolong dan diselamatkan oleh Ki Gede 
Prasutra, Ki Tawes pun berjanji akan tetap menjalin 
hubungan baik dengan pewaris dan keturunan Ki Gede 
Prasutra. Malah Ki Tawes berjanji akan mengerahkan 
seluruh tentaranya jika diminta bantuan oleh pewaris 

ilmu Ki Gede Prasutra atau keturunannya. 
Pendekar Gila, Mei Lie, Raja Brah Salagatri ser-
ta Ki Gede Mantingan akhirnya masuk ke dalam mulut 
ikan raksasa itu. Ikan itu menutup mulutnya, kemu-
dian menyelam ke dalam Telaga Panca Warna. 
Entah berapa lama mereka berada di dalam 
mulut ikan raksasa yang dapat dimasuki oleh empat 
orang. Mereka keluar ketika mulut ikan raksasa itu 
membuka. 
"Kalian sudah sampai, keluarlah." 
Keempatnya turun.  
Kini mereka melihat sebuah istana megah ber-
diri di atas bukit Pintu gerbang istana itu bergambar 
tengkorak berwarna merah darah. 
"Itulah Istana Tengkorak Darah," kata ikan rak-
sasa itu. 
"Terima kasih, Ki Tawes." 
"Kapan kalian kembali?" tanya Ki Tawes. "Biar 
aku menunggu."  
"Entahlah, Ki. Kalau tidak mengalami kesuli-
tan, mungkin lusa. Tapi kalau mengalami kesulitan, 
aku tak tahu kapan dan apa kami akan tetap hidup," 
tutur Ki Gede Mantingan setengah mendesah. 
"Kalau begitu, jika kalian ingin kembali panggil 
saja aku dengan menjentikkan tangan kalian tiga kali."  
"Terima kasih."  
"Selamat berjuang." 
Ikan raksasa itu kembali menyelam dan meng-
hilang dari pandangan mereka. 
Mereka lalu melangkah menyelusuri jalan yang 
terbuat dari emas dan intan menuju Istana Tengkorak 
Darah. Sesampainya di pintu gerbang, mereka diha-
dang oleh dua prajurit tengkorak darah. 
"Mau apa kalian kemari?!" tanya salah satu 
tengkorak, menyentakkan Sena maupun Mei Lie. Ka-

rena ketika bertempur, tengkorak darah tidak bisa ber-
cakap-cakap seperti manusia. Kenapa kini bisa berbi-
cara? 
Ki Gede Mantingan yang melihat kekagetan Se-
na dan Mei Lie dengan berbisik menjelaskan, "Kita be-
rada di alam siluman. Itu sebabnya kita tahu bahasa 
mereka." 
"Aha, tolol sekali aku," gumam Sena, muncul 
kembali kekonyolannya. 
"Kami hendak bertemu dengan Ibunda Ratu," 
jawab Ki Gede Mantingan. 
Makhluk tengkorak darah memperhatikan me-
reka satu persatu. Setelah merasa yakin salah satu si-
luman itu berlalu meninggalkan tempat itu. 
"Tunggulah sebentar!" kata tengkorak darah 
yang masih berada di situ. 
Tidak lama kemudian, dari dalam istana mun-
cul seorang wanita cantik berkebaya biru dengan ke-
rudung biru. Wanita cantik itu membelalakkan mata 
dengan garang, ketika memandang Baginda Raja Brah 
Salagatri. 
"Kau?! Untuk apa kau datang ke sini?! Belum 
puaskah kau menyakiti aku ketika aku masih menjadi 
manusia?!" bentaknya, membuat  Baginda Raja Brah 
Salagatri tersentak. Dia sama sekali tidak ingat dan ti-
dak kenal siapa wanita muda dan cantik yang mem-
bentaknya, kalau saja wanita yang ternyata Rubiati itu 
tidak menghardiknya begitu rupa. 
"Rubiati, kaukah itu?" 
"Ya! Masih belum cukup puaskah kau menyik-
saku? Kini kau datang kembali dengan Pendekar Gila 
dan Bidadari  Pencabut  Nyawa. Apa kau ingin meng-
hancurkan istanaku?! Membunuh semua prajurit-pra-
juritku?!" 
Lidah Baginda Raja Brah Salagatri kelu dituduh 

dengan cercaan begitu rupa. Dia kembali tak me-
nyangka, kalau Rubiati telah mengenal pemuda tam-
pan berpakaian rompi kulit ular yang bersamanya. Ju-
ga gadis Cina yang menyandang Pedang Bidadari di 
punggungnya. 
"Nyi Dewi Rubiati," kata Ki Gede Mantingan 
menengahi suasana yang panas itu. "Kedatangan kami 
kemari, semata-mata hanya mengantar Baginda untuk 
meminta maaf padamu. Kami tidak bermaksud menye-
rang." 
"Lalu mengapa membawa Pendekar Gila dan 
Bidadari Pencabut Nyawa?!" tanya Rubiati masih tak 
mau melemah. 
"Aha, maafkan kami, Nyi Dewi. Bukan maksud 
kami berlaku kurang ajar datang ke tempatmu. Seba-
gai seorang raja, patutlah bagi Baginda Raja untuk 
mendapat pengawalan, bukan? Nah, itu sebabnya aku 
dan Bidadari Pencabut Nyawa ke tempatmu." 
"Huh...!" dengus Rubiati. Matanya memandang 
tajam pada Baginda Raja Brah Salagatri. "Alam kita 
sudah berbeda jauh, Kakang. Kau begitu kejam dan 
tega menelantarkan aku serta anakmu! Kini kau kem-
bali datang, membuat hatiku semakin teriris sakit" 
"Diajeng, aku telah bersumpah sehidup semati 
denganmu. Kini aku datang untuk menepati sumpah-
ku. Aku ingin bersamamu, asalkan kau mau menghen-
tikan semuanya. Kau mau menghentikan tindakanmu 
yang banyak menjatuhkan korban," mohon Baginda 
Raja Brah Salagatri. 
"Benarkah kau ingin bersamaku, Kakang?!" 
"Ya!" 
"O, aku gembira sekali, Kakang. Mari, masuk-
lah dulu," ajak Rubiati. 
Keempat manusia itu pun menurut masuk ke 
pelataran istana. Kemudian mereka pun masuk ke da-

lam istana yang sangat megah dan bagus. Di sana sini 
terpasang hiasan dan emas, intan, dan mutiara yang 
gemerlapan. 
"Silakan duduk. Sebentar...," kata Rubiati sam-
bil berlalu meninggalkan tamu-tamu. 
Dari dalam, muncul seorang gadis berpakaian 
sangat minim yang cantik jelita. Saking minimnya pa-
kaian yang dikenakan gadis itu, sampai hanya kema-
luan dan buah dadanya saja yang tertutup. Sedangkan 
yang lainnya dibiarkan terbuka. 
"Anakku...!" seru Raja Brah Salagatri melihat 
gadis cantik itu. 
"Ha ha ha...! Kau mengaku ayahku? Hua ha 
ha...! Aku tak punya Ayah sepertimu! Ayah yang tidak 
bertanggung jawab! Selama hidupku, aku hanya dibe-
sarkan oleh ibu dan eyang," dengus Resmi Sekar Wanti 
"Tapi, kau anakku. Kau darah dagingku, Anak-
ku," kata Raja Brah Salagatri. 
"Ha ha ha...! Aku tak butuh Ayah. Aku hanya 
butuh pemuda rambut gondrong itu. Cah Bagus, ikut-
lah aku," rayu Resmi Wanti atau Ratu Siluman Teng-
korak Darah. Matanya mengerling manja pada Sena 
yang seketika terpengaruh. 
Perlahan-lahan Sena bangun dari duduknya, 
melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti yang terse-
nyum manja sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya 
dengan lemah gemulai. Dan rupanya lenggak-lenggok 
tubuhnya itu membuat Sena terperangah. Dari lenggo-
kan tubuhnya, keluar aroma wanita yang merangsang 
hidung. 
"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie berusaha me-
nyadarkan Sena dari pengaruh sihir yang keluar dari 
tubuh Resmi Sekar Wanti. Namun tampaknya Sena 
benar-benar tak menggubris seruan Mei Lie. Kakinya 
terus melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti. 

"Ayo, Cah Bagus. Bukankah kau menginginkan 
kehangatan?" kata Resmi Sekar Wanti. 
"Sena, sadarlah!" seru Ki Gede Mantingan me-
nyadarkan Sena.  
"Kakang Sena, sadarlah! Bedebah! Kau benar-
benar iblis!" Mei Lie tak dapat lagi menahan amarah-
nya. Dicabutnya Pedang Bidadari dari warangkanya. 
Srettt! 
Bukan hanya Mei Lie, Ki Gede Mantingan pun 
bangkit dari duduknya. Dia segera mengeluarkan sen-
jata berupa tasbih. 
"Celaka, Baginda. Kita telah masuk perangkap. 
Tak ada yang bisa berbuat untuk menolong Sena. Li-
hat, semua prajurit tengkorak darah telah mengepung 
kita," ucapnya setelah menyadari keadaan sekeliling 
mereka. 
Mata Raja Brah Salagatri membelalak, menyak-
sikan pasukan prajurit tengkorak darah telah menge-
pung mereka. 
"Bangsat! Penipu...!" maki Raja Brah Salagatri 
marah. 
"Hua ha ha...!" Memakilah sepuas kalian, sebe-
lum kalian mampus di Istana Tengkorak Darah!" ter-
dengar suara Rubiati. 
"Celaka! Kita telah terjebak!" seru Mei Lie. Da-
danya turun naik, menandakan amarahnya meluap-
luap "Kubunuh kalian! Heaaa...!" 
Dengan Pedang Bidadari yang disertai jurus 
'Pedang Tebasan Batin', Mei Lie yang sudah kalap se-
gera melesat menyerang prajurit tengkorak darah. Pe-
dangnya bergerak cepat, membabat barisan lawan. 
Menyaksikan Mei Lie telah menyerang dan pra-
jurit tengkorak darah merangsek. Ki Gede Mantingan 
dan Raja Brah Salagatri tak tinggal diam. Keduanya 
segera membantu Mei Lie, menyerang ke arah pra-

jurit-prajurit tengkorak darah. 
"Kakang Sena, sadarlah...!" teriak Mei Lie sam-
bil terus bergerak merangsek para lawan yang berusa-
ha menghalangi langkahnya mengejar Sena ke dalam 
kamar, di bawah pengaruh Resmi Sekar Wanti. Ama-
rah dan rasa cemburu beraduk menjadi satu di dada 
Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya dia mengamuk 
bagai banteng terluka. Kelebatan pedangnya membuat 
prajurit-prajurit tengkorak darah banyak yang mati. 
Pertempuran tiga pendekar melawan ratusan 
prajurit tengkorak darah itu berlangsung seru. Keti-
ganya terus berusaha membabat habis barisan lawan 
yang berusaha menyerang. 
Mei Lie dengan Pedang Bidadarinya semakin 
mengamuk membabi-buta. Pedang Bidadari di tangan-
nya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya yang 
bermaksud menghalangi langkahnya mengejar Pende-
kar Gila. 
Satu persatu prajurit yang bermaksud mengha-
langinya dapat dibantai. Dan setapak demi setapak, 
tubuhnya dapat terus maju menuju kamar Resmi Se-
kar Wanti. Mei Lie segera melesat masuk ke dalam 
kamar itu, mendobrak pintu kamar tempat Pendekar 
Gila dan Resmi Sekar Wanti berada. 
Brakkk! 
"Iblis! Kubunuh kau! Heaaa...!" Mei Lie yang 
sudah mata gelap langsung melabrak Resmi Sekar 
Wanti yang tengah memeluk Pendekar Gila. 
"Kakang, wanita itu hendak membunuhku! Bu-
nuh dia...!" perintah Resmi Sekar Wanti pada Sena. 
Sena membalikkan tubuh dan langsung meng-
hadang Mei Lie yang tersentak kaget, menyaksikan ke-
kasihnya kini bagai kerbau dungu yang mau diperin-
tah. 
"Kakang Sena, aku Mei Lie! Sadarlah, Kakang!"  

"Bunuh dia, Kakang! Dialah yang hendak 
membunuhku!" sangkal Resmi Sekar Wanti tak kalah 
kerasnya. 
Sena benar-benar bagai kehilangan akal. Lang-
sung diserangnya Mei Lie. Hal itu jelas mempengaruhi 
Mei Lie. Gerakannya jadi canggung. Pedang Bidadari di 
tangannya hanya dipegang, tidak digunakannya. 
"Kakang, aku Mei Lie! Ingatlah...!" seru Mei Lie 
sambil terus berusaha mengelakkan serangan yang di-
lancarkan Pendekar Gila. Kini tubuh Mei Lie melesat 
ke belakang, keluar dari kamar itu. 
"Kakang, sudah! Bukankah kita hendak me-
nikmati keindahan ini?" ajak Resmi Sekar Wanti. "Tu-
tuplah pintunya, Kakang." 
Sena menurut menutup pintu. Kemudian den-
gan tenang dia melangkah mendekati Resmi Sekar 
Wanti. 
"Ayolah cah bagus," rayu Resmi Sekar Wanti 
manja. 
Sena benar-benar telah lupa segalanya. Ka-
kinya melangkah ke arah Resmi Sekar Wanti yang ten-
gah berbaring dengan tubuh polos. Namun ketika 
langkahnya hampir tiba di tempat tidur, tiba-tiba dari 
mata naga di pangkal Suling Naga Sakti, melesat sinar 
putih ke mata Sena. 
Crettt! 
Sena tersentak, dia bagai baru tersadar dari 
mimpinya. Matanya membelalak garang. Napasnya 
mendengus penuh amarah, karena merasa telah di-
permainkan. 
"Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie dari luar. 
"Kenapa, Cah Bagus! Ayolah!" ajak Resmi Sekar 
Wanti dengan suara manja, tanpa menyadari kalau 
pengaruh sihirnya telah sirna dari diri Sena. 
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar iblis! 

Heaaa...!" Sena yang marah karena merasa dipermain-
kan dengan garang menyerang. Hal itu menyentakkan 
Resmi Sekar Wanti. Ratu Siluman Tengkorak Darah 
segera berkelit ke samping. 
"Rupanya kau pun ingin mampus, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!" lengkingnya murka. 
Resmi Sekar Wanti balas menyerang. Dia tidak 
lagi  menghiraukan  keadaannya yang tidak tertutup 
sehelai benang pun. Diserangnya Pendekar Gila den-
gan jurus-jurus maut. 
Sena segera mengelak, kemudian dengan cepat 
dia mencabut Suling Naga Saktinya. Diserangnya 
Resmi Sekar Wanti dengan Suling Naga Sakti. Hal itu 
menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah tersentak 
kaget, menyaksikan senjata keramat itu telah berada 
di tangan Sena. 
"Ibu, tolooong...!" 
Ratu Siluman Tengkorak Darah lari keluar, be-
rusaha meminta tolong ibunya. Namun di luar Mei Lie 
telah menghadangnya. Resmi Sekar Wanti semakin ka-
lang kabut, ketika melihat Pedang Bidadari berkeredep 
di tangan Mei Lie. 
"Kubunuh kau iblis! Heaaa...!" 
Mei Lie yang dirasuki cemburu atas perbuatan 
Resmi Sekar Wanti, kini tidak sungkan-sungkan lagi 
menyerang dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'nya. 
Pedang Bidadari menderu keras ke tubuh Resmi Sekar 
Wanti. 
Wettt! 
"Uts! Celaka!" pekik Resmi Sekar Wanti sambil 
mengelak, kemudian melompat meninggalkan tempat 
itu. 
"Mau lari ke mana, Iblis!" bentak Mei Lie beru-
saha mengejar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, 
ketika dari tempatnya menghilangnya Resmi Sekar 

Wantai muncul sesosok mayat hidup berbau busuk. 
Mayat hidup itu langsung menyerang Mei Lie. 
"Grrr! Kubunuh kau!" 
"Uts! Heaaa...!" 
Setelah mengelitkan serangan mayat hidup, Mei 
Lie segera menebaskan Pedang Bidadarinya ke tubuh 
mayat hidup dengan jurus inti 'Pedang Tebasan Batin'. 
"Yeaaa!" 
Wettt! 
Crasss! 
Lebur seketika tubuh mayat hidup itu terkena 
babatan pedang Bidadari di tangan Mei Lie. 
Dari dalam kamar, Pendekar Gila yang juga su-
dah marah keluar. Melihat tubuh Mei Lie mengejar, 
Pendekar Gila mengikutinya. Kedua pendekar muda 
itu kini mengejar ibu dan anak yang berusaha mening-
galkan istana. 
"Mei Lie, Sena, tunggu...!" seru Ki Gede Mantin-
gan sambil turut mengejar. Bersamaan dengan tubuh 
Ki Gede Mantingan melompat, bangunan Istana Teng-
korak Darah seketika meledak. Tubuh para prajurit 
tengkorak darah dan Baginda Raja Brah Salagatri tu-
rut tertimbun. 
Sementara itu, dua wanita siluman terus berlari 
ke arah Telaga Panca Warna. Pendekar Gila, Mei Lie, 
dan Ki Gede Mantingan mengejar di belakang. 
"Mau lari ke mana kalian, Iblis! Terimalah ke-
matian kalian! Heaaa...!" Sena segera meniup Suling 
Naga Saktinya, kemudian mengerahkan kepala naga di 
pangkal suling ke arah kedua siluman yang tengah 
berlari. 
Suara suling melengking. Bersamaan dengan 
itu, dari mata naga melesat dua larik sinar merah 
membara ke arah tubuh kedua siluman itu. 
Croot! 

Jrattt! 
"Tobaaat..!" Rubiati memekik keras, tubuhnya 
meleleh bagai lilin terbakar. 
Mendapatkan ibunya mati, Resmi Sekar Wanti 
menjadi kalap. Dengan menggeram, kini ujudnya be-
rubah menjadi sosok menyeramkan. Sosok tengkorak 
darah. 
"Grrr! Kubunuh kalian! Grrr...!" 
Melihat lawan menyerang, Mei Lie segera berke-
lebat memapak dengan Pedang Bidadarinya dengan ju-
rus 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie membabatkan pe-
dangnya ke tengkorak darah jelmaan Resmi Sekar 
Wanti. 
"Heaaa!" 
Wettt! 
Crasss! 
"Tobaaat..!" tulang belulang tengkorak itu run-
tuh terkena sabetan Pedang Bidadari. Sesaat terlihat 
serakan tulang itu utuh. Namun setelah angin bertiup, 
tulang belulang itu bertaburan menjadi serpihan ha-
lus. 
Jlegarrr!   
Ledakan maha dahsyat menggelegar, melontar-
kan tubuh ketiganya. Ketiga pendekar itu tak ingat 
apa-apa lagi. Setelah membuka mata, ketiganya tahu-
tahu berada di tepi Telaga Panca Warna. Hari telah 
menjelang pagi. Di dalam telaga, Ki Tawes masih me-
nemani. 
"Untunglah kalian selamat. Kalian kini telah 
kembali ke alam manusia. Alam nyata," kata Ki Tawes. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki," hatur Ki 
Gede Mantingan. 
"Ah, lupakanlah. Antara leluhurmu dan lelu-
hurku telah terjadi ikatan persaudaraan. Sayang, ba-
ginda tak dapat diselamatkan." 

"Semoga semuanya berakhir," gumam Mei Lie. 
"Terima kasih kuucapkan padamu, Ki. Semoga 
kita dapat dipertemukan lagi," kata Sena. Kemudian 
ketiganya meninggalkan Telaga Panca Warna. 
"Semoga kalian senantiasa dalam lindungan 
Sang Hyang Widi!" seru Ki Tawes di kejauhan, melepas 
kepergian mereka. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
berjingkrak-jingkrak seperti kera, menikmati suatu 
kemenangan atas keangkaramurkaan. Sedangkan ma-
ta Mei Lie melotot, sedetik kemudian mereka tertawa 
ceria, sebagaimana nyanyian riang burung-burung 
menyambut datangnya pagi dalam tata warna semesta. 




SELESAI 



Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com