Pendekar Gila 9 - Mawar Maut Perawan Tua(2)



Ki Balamprang yang merupakan tokoh tua dunia 
persilatan, harus mengakui kehebatan ilmu lari 
Pendekar Gila yang usianya jauh di bawahnya. tidak 
jarang dirinya tertinggal, tak sanggup mengejar
Pendekar Gila yang melesat melebih angin. Tubuhnya 
terlihat bagai terbang. 
Ilmu lari apakah yang digunakannya? Tanya Ki 
Balamprang dalam hati. Sungguh bukan omong 
kosong nama Pendekar Gila. Baru ilmu larinya saja 
aku sudah jauh tertinggal. Apalagi ilmu silat dan ilmu 
kesaktiannya? 
Pendekar Gila menghentikan larinya, setelah sadar 
Ki Balamprang tertinggal jauh di belakang. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya 
cengar-cengir. 
"Ah. Kurasa kau mengujiku, Ki," kata Sena. 
"Tidak, Pendekar Gila. Sungguh baru sekarang aku 
tahu kalau rimba persilatan telah banyak mengalami 
kemajuan. Salah satunya kau. Sulit pendekar tua 
sepertiku dapat menandingimu. Kau sendiri pun sulit 
dicari tandingannya," kata Ki Balamprang kagum. 
"Jangan terlalu merendah, Ki. Kau lebih ber-
pengalaman dibanding aku," ujar Sena seraya 
menggaruk-garuk kepala. 
Ki Balamprang tersenyum senang dengan tutur 
kata dan tindak tanduk Pendekar Gila. Meski tingkah 
lakunya persis orang gila, tapi cukup bijaksana dalam 
mengambil keputusan. 
"Apa masih jauh, Ki?" tanya Sena sambil me-
mandang lurus ke depan. Tangan kirinya bertolak 
pinggang, sedangkan tangan kanan menggaruk-garuk 
kepala. Mulutnya meringis, mirip seekor kera 
kepanasan. 
"Sebentar lagi kita sampai, Pendekar Gila." 
"Panggil saja Sena, Ki," tukas Sena.  
"Baiklah, Sena. Kuburan Dewi Pedang Beracun 
sekitar dua mil lagi dari sini." 
"Hm.... Agak dekat. Mari kubantu, Ki. Peganglah 
tangan kiriku. Kita harus segera sampai di tempat 
tujuan sebelum matahari terbenam." 
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya tangan kiri 
Pendekar Gila.  
"Siap, Ki?"  
"Ya." 
"Berpeganglah kuat-kuat. 'Sapta   Bayu'. Yeaaa...!" 
Wusss! 
Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang, 
hingga Ki Balamprang melotot ngeri merasakan 
tubuhnya melayang di udara. Sungguh dahsyat ilmu 
lari pendekar muda ini. Gumam Ki Balamprang dalam 
hati. Dalam sekejap mereka tiba di tempat tujuan. 
"Seperti mimpi rasanya," gumam Ki Balamprang. 
"Tubuhku laksana terbang. Huh. Aku hampir 
ketakutan." 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala, matanya 
memandang ke atas bukit, di mana tampak dua buah 
batu nisan. 
"Itukah kuburannya, Ki?" 
"Hm...," gumam Sena. "Kita harus segera ke sana. 
Ayo, Ki...!" 
Keduanya berlari-lari mendaki bukit yang tidak 
begitu tinggi. Tak begitu lama, mereka pun sampai di 
kuburan itu. Mata Ki Balamprang mengerut ketika 
melihat sebagian kuburan terbongkar. Seakan mayat 
Dewi Pedang Beracun benar-benar bangkit dari kubur. 
"Ada apa, Ki?" tanya Sena heran. 
"Kau lihat, Sena. Kuburan ini terbongkar. Dewi 
Pedang Beracun telah keluar dari kuburnya!" desis Ki 
Balamprang dengan bulu kuduk meremang. 
"Bangkit dari kubur?!" tanya Sena dengan kening 
berkerut. 
Ki Balamprang mengangguk. 
"Ah! Mungkinkah itu, Ki?" 
"Entahlah. Kalau memang benar sangat ber-
bahaya," desah Ki Balamprang. 
"Bagaimana kalau kita buktikan saja, Ki?" 
"Maksudmu?" tanya Ki Balamprang tak mengerti. 
"Sebentar lagi malam tiba. Bukankah mayat hidup 
selalu menunggu malam tiba?" 
Ki Balamprang mengangguk-angguk. 
"Benar yang kau katakan, Sena. Baiklah, kita cari 
tempat yang terlindung untuk mengawasinya." 
"Di sana," kata Sena sambil menunjuk rimbunan 
semak belukar yang tidak begitu jauh. "Kita ke sana, 
Ki." 
"Ayo," ajak Ki Balamprang. Keduanya melesat ke 
semak-semak yang cukup melindungi tubuh mereka 
dari penglihatan orang lain. Sementara, matahari 
terus bergulir ke barat. Sebentar lagi malam akan 
tiba. Suasana di bukit itu terasa mencekam. 
Malam yang dinanti-nantikan datang dengan 
membawa angin dingin. Suasana di sekitar Bukit 
Lawang Ireng tempat makam Dewi Pedang Beracun 
berada makin mencekam perasaan. Suara-suara yang 
seperti datang dari alam kematian menyeruak 
bersama datangnya kegelapan. 
Pendekar Gila dan Ki Balamprang mengintip dari 
balik semak. Mata mereka terpaku pada kuburan tua 
tempat mayat Dewi Pedang Beracun bersama 
senjatanya tersimpan. 
"Kurasa dugaanku salah, Sena," desis Ki 
Balamprang mulai goyah pendiriannya, setelah 
menunggu lama namun tidak juga muncul tanda-
tanda kalau Dewi Pedang Beracun hidup kembali. 
"Sabarlah, Ki. Kita tunggu sampai nanti malam," 
bisik Pendekar Gila pelan. 
"Tapi, biasanya arwah keluar jika hari menjelang 
gelap seperti ini. Saat matahari tenggelam arwah 
akan muncul ke dunia," tutur Ki Balamprang. 
"Hhh," Sena menghela napas. Matanya masih 
menatap kuburan Dewi Pedang Beracun. Memang tak 
ada tanda-tanda kalau mayat Dewi Pedang Beracun 
akan muncul ke dunia. Padahal hari sudah mulai 
gelap. 
Krak! 
Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dari arah 
kuburan. Mata Sena dan Ki Balamprang langsung 
memandang tajam ke arah kuburan dengan penuh 
kengerian dan tegang. 
Krak! 
Suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan 
itu, sebuah bayangan yang diselimuti kabut putih 
melesat ke atas. 
"Lihat, Ki. Rupanya, arwah Dewi Pedang Beracun 
benar-benar muncul," desis Sena. Matanya 
memandang tegang bayangan yang diselimuti kabut, 
yang masih bergulung-gulung di angkasa. 
"Ya! Mungkinkah dia yang melakukan pem-
bunuhan itu?" gumam Ki Balamprang ragu. 
"Kita lihat saja, Ki." 
Bayangan hijau bunga kenanga itu terus 
bergulung, lalu melesat bersama angin ke arah 
Kadipaten Pamakasan. 
"Hei! Dia menuju kadipaten. Celaka...!" pekik Ki 
Balamprang semakin tegang. 
"Kita harus mengikutinya, Ki," kata Sena. 
"Mengikutinya?" tanya Ki Balamprang dengan 
pandangan mata penuh ketegangan. Bergidik bulu 
kuduknya mendengar kata-kata Pendekar Gila. 
Bagaimana mungkin mereka mengikutinya? Kalau 
benar arwah Dewi Pedang Beracun yang membunuh, 
tentu sulit bagi mereka untuk menghalangi. 
"Kenapa, Ki? Nampaknya kau ragu," ujar Sena. 
"Sena, bagaimana mungkin kita menghadapi 
arwah? Dia tidak dapat dibunuh." 
Sena menggaruk-garuk kepala. 
"Aku akan berusaha, Ki. Semoga Suling Naga Sakti 
dapat membantuku," kata Sena berusaha menenang-
kan hati Ki Balamprang yang kelihatan sangat 
gelisah. 
"Suling Naga Sakti?!" 
Ki Balamprang nampak terkejut mendengar Suling 
Naga Sakti disebut Pendekar Gila. Matanya melotot, 
memandang tajam ke arah Sena yang masih 
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Benar, Ki." 
"Oh! Senjata sakti itu ada padamu, Sena?" tanya Ki 
Balamprang belum yakin. 
"Ya. Kenapa, Ki?" 
"Ck ck ck.... Sungguh kau bukan pendekar 
sembarangan, Sena. Dengan Suling Naga Sakti di 
tanganmu, sulit bagi tokoh persilatan menandingimu," 
decak kagum keluar dari mulut Ki Balamprang. 
Matanya semakin tajam memandang Pendekar Gila. 
"Ah. Sudahlah, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam di 
sini. Kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena. 
"Peganglah tangan kiriku." 
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya dengan kuat 
tangan kiri Pendekar Gila. 
"Sudah siap, Ki?" tanya Sena.  
"Sudah." 
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!" 
Dalam sekejap, tubuh Pendekar Gila serta Ki 
Balamprang melesat cepat meninggalkan bukit itu. 
Mereka harus segera sampai di kadipaten 
sebelum arwah Dewi Pedang Beracun tiba. Namun 
bayangan arwah Dewi Pedang Beracun yang mereka 
ikuti, tiba-tiba menghilang dalam gelap. Pendekar Gila 
tersentak dan menghentikan larinya. 
"Hilang, Ki." 
"Ya." 
"Hm.... Ke arah mana dia menghilang?" gumam 
Sena sambil menyapukan pandangan ke sekeliling 
tempat itu. Begitu juga Ki Balamprang. 
"Hik hik hik...!" 
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang 
menyeramkan. Hingga bulu kuduk kedua orang itu 
meremang. Bersamaan dengan tawa itu, tiba-tiba... 
Swing, swing...! 
"Awas, Ki...!" seru Sena mengingatkan, ketika 
beberapa bunga mawar merah melesat cepat ke arah 
mereka. 
"Hop! Heaaa...!" 
Ki Balamprang segera berputaran di udara 
mengelakkan serangan yang datang cepat dan tiba-
tiba. 
Begitu pun dengan Pendekar Gila. Kemudian 
keduanya mencabut senjata masing-masing. Dengan 
Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila 
bergerak membabat bunga-bunga mawar maut yang 
menderu-deru ke arahnya. 
"Yeaaa...!" 
Wut! 
Pluk, pluk! 
Bunga-bunga mawar maut berguguran terkena 
sapuan Suling Naga Sakti. Sementara Ki Balamprang 
dengan senjatanya yang berupa jala, tak mau tinggal 
diam. Jala yang terbuat dari anyaman sari logam itu 
ditebarkan di hadapannya. 
Wret! 
Prak, prak! 
Bunga-bunga mawar maut yang mengarah ke 
tubuhnya terbendung jala di tangan Ki Balamprang. 
Kemudian dengan geram, Ki Balamprang segera 
mengangkat senjatanya. Kemudian diputar-putar di 
udara, sebelum dihantamkan ke arah bunga-bunga 
mawar merah. 
Wut! 
Larikan sinar merah yang keluar dari ujung jala 
menderu ke arah bunga-bunga mawar di hadapannya. 
Glarrr! 
Ledakan dahsyat terdengar menggelegar, ber-
samaan dengan tumbangnya beberapa pohon yang 
terkena hantaman ujung-ujung jala Ki Balamprang. 
"Kita kejar, Ki!" ajak Sena. Keduanya segera 
melesat ke arah hutan tempta senjata-senjata 
rahasia berbentuk bunga mawar merah melesat 
menyerang. Tapi, sesampainya di tempat itu, mereka 
tidak menemukan seorang pun.  
"Hilang, Ki!"  
"Hm.... Mungkin arwah Dewi Pedang Beracun, 
Sena. Kita harus berhati-hati," gumam Ki Balamprang. 
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu yang 
gelap dan mencekam. 
"Mungkinkan arwah Dewi Pedang Beracun, Ki? 
Bukankah Dewi Pedang Beracun menggunakan 
bunga kenanga?" tanya Sena masih belum percaya 
yang menyerang mereka Dewi Pedang Beracun. 
"Entahlah, Sena. Tapi kalau memang bukan arwah, 
bagaimana mungkin bisa menghilang begitu cepat?" 
"Kita periksa lagi, Ki. Siapa tahu masih ber-
sembunyi di sekitar tempat ini," ajak Sena.  
"Aku setuju."  
Belum juga keduanya memeriksa keadaan di 
sekitar tempat itu, kembali mereka dikejutkan oleh 
suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk.  
"Hik hik hik...!"  
"Itu dia, Ki!" kata Sena. 
"Benar. Suaranya seperti kuntilanak, Sena."  
"Awas, Ki! Serangan...!" pekik Sena. Matanya 
melihat beberapa tangkai bunga mawar melesat ke 
arah mereka.  
"Heaaa!" 
Ki Balamprang segera mencelat ke belakang, 
bersalto mengelakkan serangan bunga-bunga mawar 
maut yang menderu cepat ke arahnya. 
Swing, swing...! 
"Heaaa...! 
Dengan melompat, Pendekar Gila dan Ki 
Balamprang segera mengibaskan senjatanya untuk 
memapaki serangan bunga-bunga mawar. 
Wut! 
Pluk, pluk..,! Srat! 
Suara jaring Ki Balamprang terdengar menderu, 
menyambar ke arah bunga-bunga mawar yang 
melaju. Seketika itu juga, bunga-bunga mawar itu 
jatuh berguguran. 
"Setan! Rupanya dia ingin mempermainkan kita, 
Ki," ujar Sena menggerutu kesal. Kemudian dengan 
masih bergerak, ditiupnya Suling Naga Sakti. 
Suara suling itu mengalun keras, melengking 
dahsyat. Seketika suasana di tempat itu laksana 
dihantam prahara. Angin menderu-deru kencang 
merobohkan beberapa pohon. Ledakan-ledakan 
dahsyat tak ubahnya halilintar, menggelegar 
memecah kesunyian malam. 
Jlegar!  
"Aaakh!" 
Dari dalam Hutan Pranggas terdengar suara pekik 
kesakitan. Sepertinya ada seseorang di dalam hutan. 
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya. 
"Ki, seperti ada suara orang. Kita periksa," ajak 
Sena. 
Keduanya berkelebat meninggalkan tempat itu 
menerobos hutan. Tapi, kembali mereka tidak 
menemukan seorang pun di hutan itu. 
"Mungkinkah arwah Dewi Pedang Beracun?" Desis 
Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang, 
mendapatkan kenyataan yang ada. 
"Hhh," Sena mendesah. "Kalau benar itu arwah, dia 
akan musnah, Ki." 
"Ya. Suling Naga Sakti yang baru saja kutiup 
adalah suara 'Pelayung Sukma'. Apa pun bentuk iblis, 
akan dapat dimusnahkan Suling Naga Sakti," jelas 
Pendekar Gila. 
Ki Balamprang mengangguk-angguk kagum. 
"Kita harus segera ke kadipaten, Ki. Firasatku 
mengatakan terjadi sesuatu di sana." 
"Ayo." 
*** 
Malam menyelimuti Kadipten Pamakasan dengan 
kegelapan yang mencekam. Suasana di sekeliling 
kadipaten tempat para pendekar beristirahat, 
nampak sepi dan tenang. Sementara di pintu gerbang 
empat orang prajurit tengah berjaga-jaga. Jumlah 
penjagaan ditambah karena Adipati Sumagatri tidak 
ingin kecolongan untuk kedua kali. Terlebih di situ 
menginap beberapa pendekar. 
Malam kian larut dengan cahaya bulan sabit. 
Suasana di sekitar kadipaten remang-remang ketika 
dari kegelapan melesat beberapa tangkai bunga ke 
arah keempat prajurit jaga yang tersentak kaget 
Mata mereka membelalak. Keempat penjaga itu 
berusaha mengelakkan serangan, namun bunga-
bunga mawar lebih cepat menghantam dada. 
Jlep, jlep, jlep...! 
"Aaa...!" 
Pekik kematian seketika terdengar, memecah 
kesunyian malam. Cepat sekali gerakan penyerang 
gelap itu. Sampai-sampai para pendekar yang sedang 
beristirahat dan Adipati Sumagatri tidak mendengar-
nya. 
Dari kegelapan, berkelebat sesosok bayangan 
merah melesat masuk ke lingkungan kadipaten. 
Terus menuju kamar sang Adipati. Perlahan-lahan 
bayangan merah itu membuka jendela kamar Adipati 
Sumagatri dengan pedangnya yang putih keperakan. 
Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya telah 
masuk ke dalam kamar. 
"Hei, si…" 
Belum habis ucapan Adipati Sumagatri, sesosok 
bayangan merah dengan cepat menyerang ke arah-
nya. Pedangnya yang putih keperakan, membuat 
Adipati Sumagatri sulit melihat siapa wanita 
berpakaian serba merah itu. Namun pedang di 
tangan wanita itu sangat dikenalnya. Pedang Perak 
itu tidak lain milik Dewi Pedang Beracun. 
"Terimalah pembalasanku, Adipati Keparat! 
Yeaaat...!" 
Pedang Perak di tangan wanita itu bergerak cepat, 
menebas ke arah Adipati Sumagatri. 
"Tidak mungkin! Kau sudah mati!" pekik Adipati 
Sumagatri sambil berusaha mengelakkan tebasan-
tebasan pedang lawan. Meski bertubuh besar dan 
agak gendut, Adipati Sumagatri mampu bergerak 
lincah. 
Saat Adipati Sumagatri terdesak, tiba-tiba pintu 
kamarnya didobrak orang. Nampak Ki Balacatra dan 
beberapa anak buahnya menyerbu masuk. 
"Tangkap pembunuh itu!" seru Ki Balacatra pada 
anak buahnya. 
Melihat orang-orang kadipaten masuk, wanita itu 
segera melemparkan beberapa bunga mawar. 
Kemudian melesat pergi melalui jendela dan meng-
hilang di kegelapan malam. 
Jlep, jlep! 
"Aaa...!" 
Beberapa anak buah Ki Balacatra memekik 
dengan bunga mawar menancap di dada. Tubuh 
mereka mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa. 
"Kejar dia...!" perintah Ki Balacatra. 
"Jangan!" cegah Adipati Sumagatri. 
Seketika semua menghentikan langkahnya. 
"Mengapa tidak dikejar, Kanjeng?" tanya Ki 
Balacatra tak mengerti. "Bukankah jelas dia 
orangnya?" 
Adipati Sumagatri menghela napas. 
"Percuma kalian mengejarnya. Jangankan kalian, 
para pendekar yang ada di sini pun tidak akan 
mampu menghadapinya. Kita hanya bisa berharap 
pada Pendekar Gila," gumam Adipati Sumagatri.  
"Ya. Kurasa Pendekar Gila yang mampu meng-
hadapinya." 
Bersamaan dengan selesainya ucapan Adipati 
Sumagatri, orang yang dimaksud datang bersama Ki 
Balamprang. Keduanya langsung masuk ke dalam 
kamar. Takut jika terjadi sesuatu pada Adipati 
Sumagatri. 
"Oh! Syukurlah, Kanjeng Adipati selamat," kata 
Sena. "Kami sudah mengira di sini akan terjadi 
kerusuhan lagi." 
"Terima kasih. Hampir saja nyawaku melayang di 
tangan Dewi Pedang Beracun," ujar Adipati Sumagatri. 
"Jadi, benar dia Dewi Pedang Beracun?" tanya Ki 
Balamprang dengan kening berkerut. "Dari mana 
Kanjeng Adipati tahu?" 
"Dari pedangnya, Ki." 
"Ah!" pekik Ki Balamprang. "Apa warna pakaian 
yang dikenakannya, Kanjeng?" 
"Merah," jawab Adipati Sumagatri tegas. 
"Ini benar-benar aneh. Kami baru saja melihat 
kenyataan yang ada. Arwah Dewi Pedang Beracun 
muncul dari kuburnya dengan pakaian hijau bunga 
kenanga," ujar Pendekar Gila seraya menggaruk-
garuk kepala. 
Semua yang ada di situ memperhatikan Pendekar 
Gila yang dibantu Ki Balamprang, menceritakan 
kejadian yang dialaminya di Bukit Lawang Ireng. 
"Begitulah ceritanya. Kami juga. Kami juga heran 
mengapa senjata Dewi Pedang Beracun bunga 
mawar? Bukan kenanga seperti yang digunakan 
tahun silam?" gumam Ki Balamprang. 
"Ya. Misteri," sambut Adipati Sumagatri. "Ki ada 
sesuatu di balik semua ini." 
"Maksud Kanjeng Adipati, ada orang yang 
memanfaatkan arwah Dewi Pedang Beracun untuk 
maksud-maksud tertentu?" tanya Ki Balamprang. 
"Tepat! Kita tak mungkin mengalahkan arwah Dewi 
Pedang Beracun. Yang bisa kita lakukan hanya 
menangkap orang yang telah memperalat Dewi 
Pedang Beracun," sahut Adipati Sumagatri. 
"Kalau begitu, sebaiknya kita menyebar. Jika kita 
berkumpul di sini sangat berbahaya. Kita harus 
waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi," 
saran Sena. 
Hari itu juga diadakan pertemuan untuk mem-
bicarakan peristiwa itu. Hasilnya, para pendekar 
ditugaskan untuk mencari siapa orang yang mem-
peralat arwah Dewi Pedang Beracun. 
Siang yang panas memanggang siapa saja yang 
berada di bawah teriknya. Demikian pula seorang 
pemuda berbaju rompi kulit ular dengan rambut 
gondrong. Pemuda yang tidak lain Sena Manggala itu 
terlihat meringis-ringis kepanasan. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala yang tak gatal. 
Saat itu, Pendekar Gila tengah melangkah 
menelusuri jalan Desa Wedara bumi. Sena berusaha 
mencari sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang 
kosong. 
Tampak berdiri megah sebuah kedai yang cukup 
besar. Para pengunjung yang kebanyakan kaum 
pendatang, memenuhi kedai itu. Terlihat beberapa 
orang rimba persilatan. Pendekar Gila melangkah 
masuk. Matanya seketika tertumpu pada seorang 
wanita berpakaian lengan panjang putih dengan 
pedang tersandang di punggung. Tanpa sadar Sena 
memanggil wanita yang duduk membelakanginya itu. 
"Mei Lie?" 
Wanita itu menengok dengan seulas senyum. 
Betapa terperangahnya Sena setelah mengetahui 
siapa wanita itu. Ternyata bukan Mei Lie, melainkan 
Nyi Gendis Awit. 
"Sena!" seru Nyi Gendis Awit. "Kemarilah." 
Pendekar Gila nyengir. Kemudian tangannya 
sambil menggaruk-garuk kepala didekatinya Nyi 
Gendis Awit. 
"Aha. Kiranya kau, Nyi. Mengapa bajumu ganti, 
Nyi? Aku sampai tidak mengenalimu lagi," ujar Sena 
berseloroh sambil duduk di samping Nyi Gendis Awit 
Nyi Gendis Awit kembali tersenyum. 
"Bukankah kita tengah mencari si Mawar Maut?" 
tanya Nyi Gendis Awit. 
"Ya," sahut Sena. 
"Itu sebabnya aku menyamar. Jangankan si Mawar 
maut, kau saja tertipu oleh penyamaranku," kata Nyi 
Gendis Awit bangga. 
Pendekar Gila mengangguk-angguk sambil meng-
garuk-garuk kepala. 
"Ya ya ya.... Kau benar. Hm.... Apa kau sudah 
mendapat petunjuk, Nyi?" tanya Sena. 
"Belum. Sulit juga mencari jejak orang itu," gumam 
Nyi Gendis Awit. 
"Ya. Memang susah. Kita belum tahu seperti apa 
orang itu. Hingga kita sulit untuk mencari jejaknya. 
Hhh... Kita harus sabar," desah Sena. 
Pelayan kedai datang menghampiri. 
"Pesan apa, Tuan?" tanyanya. 
"Nasi dan ikan bakar. Kalau ada, lalap petainya 
sekalian," pinta Sena. 
"Air putih," sahut Sena. Pelayan kedai itu segera 
pergi. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali 
dengan membawa pesanan Pendekar Gila. Setelah 
menaruhnya, pelayan kedai pun berlalu dari meja 
Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit. 
Pendekar Gila segera menyantap makanannya. 
Sesekali dia berbincang-bincang dengan Nyi Gendis 
Awit. 
"Kau hendak ke mana?" tanya Nyi Gendis Awit. 
"Entahlah. Aku tak tahu arah mana yang harus 
kutuju," jawab Sena. 
"Bagaimana kalau kita sejalan?" 
Pendekar Gila terdiam. Tangan kirinya menggaruk-
garuk kepala. 
"Wah! Kalau aku sedang santai, ingin rasanya aku 
berjalan denganmu, Nyi. Di samping bisa menikmati 
wajahmu yang cantik, aku juga bisa mempelajari 
beberapa ilmu darimu," jawab Sena. "Sayang, saat ini 
kita tengah menjalankan tugas. Ah. Bagaimana kalau 
lain waktu saja?" 
Nyi Gendis Awit cemberut mendengar kata-kata 
Pendekar Gila. Rupanya, hatinya merasa tidak 
senang. Tatapan bola matanya seperti menyimpan 
suatu harapan. 
Selesai menyantap makanannya, mereka me-
ninggalkan kedai dengan arah berlainan. Nyi Gendis 
Awit ke arah barat, sedangkan Pendekar Gila ke arah 
timur. 
*** 
Malam kembali menyelimuti bumi dengan 
kegelapan yang mencekam. Angin malam yang 
berhembus disertai embun, menambah rasa dingin 
hingga menusuk tulang sumsum. 
Sesosok bayangan merah yang di punggungnya 
tersandang sebilah pedang, berkelebat cepat menuju 
bangunan Perguruan Tambak Segara. Perguruan yang 
dipimpin Ki Balamprang itu terletak di pesisir Desa 
Wedara Bumi. 
Bayangan merah itu mengendap-endap, dan 
bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Kepalanya 
menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan 
sekelilingnya. Setelah merasa aman, bayangan merah 
itu melompat ke atas cabang pohon. 
"Hup!" 
Nampak di dalam lingkungan Perguruan Tambak 
Segara beberapa orang murid tengah melakukan 
penjagaan. Rupanya, Ki Balamprang telah waspada 
sehingga melakukan penjagaan ketat. Dia tidak ingin 
kecolongan seperti yang dialami Ki Anggada.  
"Hm...." 
Bayangan merah itu menggumam tak jelas. 
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya 
yang longgar. Kemudian, dilemparkannya bunga-
bunga mawar merah ke arah sepuluh orang murid Ki 
Balamprang. 
Swing, swing! 
"Awas serangan...!" terdengar seruan seorang 
murid Perguruan Tambak Segara. 
Dengan cepat mereka berpencar dan berusaha 
mengelakkan serangan gelap itu. Rupanya, laju 
bunga-bunga mawar merah itu lebih cepat dari 
gerakan mereka. Kesepuluh murid-murid Perguruan 
Tambak Segara tak mampu menghindar dari bunga-
bunga mawar maut itu. 
Jlep, jlep...! 
"Aaakh...!" 
"Aaa...!" 
Pekik kematian terdengar susul-menyusul. Diikuti 
mengejangnya sepuluh murid Perguruan Tambak 
Segara. Satu persatu mereka bertumbangan dengan 
nyawa melayang. 
Mendengar keributan di luar, murid-murid 
Perguruan Tambak Segara yang lain menghambur 
keluar. Tapi, kedatangan mereka disambut oleh 
serangan gelap bunga-bunga mawar. 
"Mawar Maut datang! Awas...!" 
Swing, swing...! 
Puluhan mawar merah menderu kencang ke arah 
mereka. Murid-murid Perguruan Tambak Segara 
terpana. Dengan menjerit keras untuk mengundang 
yang lainnya, mereka berusaha mengelakkan 
serangan Mawar maut. 
"Mengelak! Cepat…!" terdengar suara Ki 
Balamprang berseru mengingatkan murid-muridnya. 
Namun terlambat! Bunga-bunga mawar merah itu 
begitu cepat melesat. Maka.... 
Jlep, jlep...! 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!" 
Pekikan kematian kembali terdengar susul-
menyusul. Diikuti berjatuhannya tubuh-tubuh korban 
bunga-bunga mawar itu. 
"Kurang ajar! Keluar kau! Siapa pun dirimu, aku 
tak takut!" bentak Ki Balamprang marah, melihat 
murid-muridnya banyak yang tewas. 
"Hik hik hik...!" 
Tiba-tiba terdengar tawa mengikik seperti 
kuntilanak. Bulu kuduk Ki Balamprang berdiri. 
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, namun 
tidak terlihat siapa-siapa di situ. Suara tawa itu 
seakan berada di sekelilingnya. Hingga Ki 
Balamprang sulit mencari asalnya. 
"Hik hik hik...!" 
Ki Balamprang berusaha menekan rasa takut yang 
mendera jiwanya. Segera senjatanya yang berupa jala 
dikeluarkan, dan langsung diputar-putar di atas 
kepala. Sambil mendengus dengan penuh 
kemarahan, jala maut itu dihantamkan ke arah 
pepohonan yang ada di sekitarnya. 
Wut! Brak! 
Seketika suasana menjadi terang oleh sinar merah 
yang keluar dari ujung-ujung jala. Pepohonan banyak 
yang roboh terhantam ujung-ujung jala. 
"Perempuan setan! Keluar kau...!" bentak Ki 
Balamprang melihat perempuan yang disangkanya 
arwah Dewi Pedang Beracun tak muncul juga. 
Matanya memandang ke sekeliling dengan tegang. 
Tak ada sahutan. 
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah!" 
Kembali Ki Balamprang membentak keras. 
Senjatanya yang berupa jala diputar-putar di atas 
kepala siap menyerang lawan jika sewaktu-waktu 
muncul. 
"Aku di sini, Balamprang!" 
Ki Balamprang tersentak ketika dari belakang 
terdengar suara wanita menyapanya. Ketika berbalik 
matanya seketika membelalak. Wanita yang sekujur 
tubuhnya tertutup kain merah telah berada di 
belakangnya. 
"Bagus! Rupanya kau orangnya! Hiaaat...! " Ki 
Balamprang yang telah mengetahui kehebatan ilmu 
lawan, tak mau membuang-buang waktu lagi. 
Diserangnya wanita itu dengan jala saktinya. Jurus 
yang digunakannya bernama 'Rapat Pukat Samudera' 
Wut!  
Brat! 
"Uts!" 
Wanita berpakaian serba merah itu berkelit 
dengan ringan. Pedangnya yang memancarkan sinar 
putih keperakan segera dicabut. Melihat hal itu, Ki 
Balamprang tersentak kaget. 
"Pedang Perak! Kau...! Kau benar Dewi Pedang 
Beracun??" 
"Siapa aku, itu tak penting. Kini terimalah 
kematianmu! Hiaaa...!" 
Wanita berpakaian serba merah itu dengan cepat 
menyerang. Pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan. 
Serangan kini mengarah ke dada lawan dengan jurus 
'Belah Wanggala dan Neraka'. 
Wut! 
Asap putih bergulung-gulung keluar dari pedang di 
tangan wanita itu. Bersamaan dengan laju pedang 
yang membabat dan menusuk ke arah dada lawan, 
wanita itu sesekali melemparkan bunga-bunga mawar 
arah Ki Balamprang.  
"Ups! Celaka...!" pekik Ki Balamprang.  
Ketua Perguruan Tambak Segara itu semakin 
kewalahan menghadapi serangan lawan. Terlebih 
asap beracun yang keluar dari pedang lawan mampu 
membuat dadanya sesak. Ki Balamprang segera 
menutup jalan darahnya. Lalu dengan menahan 
napas, kembali menyerang lawan. Jala di tangannya 
menderu-deru dan mencecar lawan dengan jurus 
'Sapu Jala Samudera'. 
"Hiaaa...!" 
"Ups! Yiaaat...!" 
Wanita misterius itu dengan mudah mengelakkan 
setiap serangan Ki Balamprang. Bahkan, menambah 
gencar serangannya. Gerakan pedangnya sangat 
cepat, membabat dan menusuk ke dada lawan. 
Ditambah lagi serangan-serangan mawar mautnya. 
Meski Ki Balamprang menyadari kalau lawannya 
berada satu tingkat di atasnya, namun sebagai 
seorang pendekar yang telah banyak makan asam 
garam, dia tak menjadi gentar. Dengan gagah berani, 
diladeninya serangan-serangan lawan dengan 
sabetan dan lemparan jala saktinya. 
"Hiaaa...!"  
Wut! 
Pertarungan seru terjadi. Dengan senjata 
pusakanya, masing-masing berusaha membinasakan 
lawan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut 
mereka. Yang ada hanya bagaimana caranya mem-
binasakan lawan. 
Ki Balamprang yang terdesak hebat, terus ber-
usaha menyerang balik. Jala saktinya menderu-deru 
keras, menyerang lawan. 
Wut! 
"Kena!" seru Ki Balamprang ketika ujung jala 
saktinya berhasil mengenai kain penutup wajah 
wanita misterius itu. 
Bret! 
Kini nampaklah siapa sebenarnya wanita itu. 
"Kau...?!" 
Belum sempat Ki Balamprang menyelesaikan 
ucapannya, wanita berbaju serba merah itu telah 
membabatkan pedangnya ke leher Ki Balamprang. 
Cras! 
Kepala Ki Balamprang terpenggal dan meng-
gelinding ke tanah. Sesaat tubuhnya mengejang 
sebelum jatuh ke tanah dengan nyawa melayang. 
Wanita baju serba merah melesat meninggalkan 
Perguruan Tambak Segara, menghilang di kegelapan 
malam. 
*** 
Tidak berapa lama kemudian, nampak seorang 
pemuda berbaju rompi kulit ular berlari-lari menuju 
Perguruan Tambak Segara. Pemuda yang tak lain 
Sena itu melesat masuk ke dalam. Seketika 
langkahnya dihentikan, dan matanya membelalak 
menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan. 
Salah satu mayat kepalanya terpenggal. Mayat Ki 
Balamprang! 
"Oh, Jagat Dewa Batara! Rupanya aku terlambat. 
Mawar Maut telah datang ke tempat ini," gumam 
Sena dengan air muka sedih, menyaksikan mayat-
mayat berserakan di sana-sini. Semua mati dengan 
dada ditembus bunga mawar merah. 
Kresek! 
Tengah Pendekar Gila memeriksa mayat-mayat itu, 
tiba-tiba telinganya menangkap suara gemeresek 
daun kering terinjak.  
"Siapa itu?!" 
Dengan sekali lompat, Pendekar Gila memburu ke 
arah suara itu. Sesosok bayangan berkelebat pergi 
meninggalkan tempat itu. Pendekar Gila semakin 
penasaran. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta 
Bayu' Pendekar Gila memburu orang itu. 
"Hei, berhenti!" bentak Sena. Tubuhnya melesat 
dan mendarat di depan lelaki berpakaian rompi biru 
yang menggigil ketakutan. 
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya," ratap lelaki 
muda yang pakaiannya sama dengan pakaian yang 
dikenakan murid-murid Perguruan Tambak Segara. 
Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi 
laki-laki itu dengan seksama. 
"Kau pasti murid Perguruan Tambak Segara. 
Mengapa lari?" tanya Sena. "Aku adalah sahabat 
gurumu, Ki Balamprang." 
"Ampun, Tuan. Saya takut. Saya kira, Tuanlah yang 
telah membunuh teman-teman dan guru saya." 
"Hm.... Ke mana kau waktu kejadian itu?" tanya 
Sena ingin tahu. 
"Saya tidur di belakang, Tuan," jawab lelaki muda 
itu masih dengan wajah ketakutan. 
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia tahu 
mengapa orang ini bisa selamat. Tentu Dewi Pedang 
Beracun hanya menginginkan Ki Balamprang saja. 
Namun karena murid-muridnya menghadang, Dewi 
Pedang Beracun membunuh mereka. Buktinya orang  
ini masih hidup. 
"Bersyukurlah pada Hyang Widhi, karena umurmu 
masih dipanjangkan. Siapa namamu, Kisanak?" tanya 
Sena. 
"Saloka, Tuan." 
"Saloka, kuharap kau mau kembali ke pergurun. 
Ajaklah beberapa penduduk untuk membantumu 
menguburkan mayat guru dan saudara seperguruan-
mu...," tutur Sena. 
"Tapi, Tuan...," wajah Saloka nampak tegang. 
Matanya menggambarkan ketakutan. 
"Ada apa? Kau takut...?" 
"Benar, Tuan." 
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Tak ada yang harus ditakuti. Dewi Pedang 
Beracun hanya mencari gurumu. Kalau Ki 
Balamprang telah meninggal, dia tidak akan 
mencarimu. Kau tidak ada sangkut-pautnya dengan 
Dewi Pedang Beracun. 
"Benarkah, Tuan?" tanya Saloka, belum percaya. 
"Ya! Kuharap begitu," jawab Sena. "Oh, ya. 
Tahukah kau, arah mana Dewi Pedang Beracun 
pergi?" 
"Ke arah timur, Tuan." 
"Timur?!" membelalak mata Sena mendengar 
jawaban Saloka. 
"Benar, Tuan." 
"Celaka! Aku harus segera ke sana. Tentu dia 
menuju Kadipaten Pamakasan. Pulanglah segera ke 
perguruan." 
Dengan cepat Pendekar Gila melesat meninggal-
kan Saloka. Sementara, murid Perguruan Tambak 
Segara yang luput dari kematian itu hanya terpana 
menyaksikan ilmu lari cepat Pendekar Gila. 
Rumah Ki Lurah Banjilan nampak sepi. Di halaman 
rumah berukuran besar itu terlihat dua orang 
penjaga. Seperti para pendekar lainnya, Ki Lurah 
Banjilan pun memperketat penjagaannya. Takut Dewi 
Pedang Beracun akan datang menyatroni. 
Sementara, udara malam saat itu terasa dingin, 
menambah suasana kian mencekam. 
"Hiiiy.... Dingin sekali malam ini," keluh salal 
seorang penjaga bertubuh tinggi kurus yang bemai 
Barjo. 
"lya! Merinding bulu kudukku," sahut penjaga 
lainnya yang bernama Gandra. Tubuh lelaki ini 
pendek dan kekar. Dengan kumis tipis menghiasi 
atas bibirnya. 
"Hik hik hik...!" 
Baru saja keduanya selesai bicara, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengikik yang membuat bulu 
kuduk mereka tambah meremang. 
"Kun... kuntilanak! To... tolooong...!" 
Barjo dan Gandra berseru ketakutan dan berusaha 
lari dari tempat itu. Namun belum jauh berlari, dari 
kegelapan melesat dua buah benda ke arah mereka. 
Benda itu menyebarkan bau wangi bunga mawar! 
"Mawar Maut...! Oh! To...." 
Belum habis keduanya berkata, mawar-mawar 
maut telah menghantam mereka. Bunga beracun 
berwarna merah itu menembus dada keduanya. 
Sesaat penjaga-penjaga itu meregang, lalu ambruk 
tanpa nyawa. 
Jeritan Barjo dan Gandra rupanya membangunkan 
Ki Lurah Banjilan. Dengan membawa senjatanya yang 
berupa golok besar, lelaki bertubuh kekar berotot ini 
melesat keluar. Tapi baru saja kakinya sampai di 
halaman, beberapa kuntum bunga tiba-tiba melesat 
ke arahnya. 
Swing, swing...! 
"Uts!" 
Ki Lurah Banjilan segera mengelak. Tubuhnya 
melenting ke atas, dan berputaran dengan cepat ke 
samping kanan. Tangannya yang memegang golok, 
digerakkan menebas bunga-bunga mawar merah 
yang terus menderu ke arahnya. 
"Yiaaat...!" 
Wut! 
Bunga-bunga mawar itu rontok satu persatu. 
Berguguran ke tanah dengan menyebarkan bau wangi 
menyengat. 
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah! Aku telah tahu 
siapa kau sebenarnya. Meski kau sesosok arwah, aku 
tak gentar menghadapimu!" bentak Ki Lurah Banjilan 
geram. Matanya menyapu ke sekeliling halaman 
rumahnya yang ditumbuhi pohon-pohon bambu.  
"Hik hik hik...!" 
Terdengar suara tawa mengikik yang mampu 
mendirikan bulu kuduk. Mata Ki Lurah Banjilan kian 
membelalak tegang. Suara tawa itu seperti berada di 
sekelilingnya. 
"Iblis! Keluarlah!" 
"Aku di sini, Bajil!" 
Ki Lurah Banjilan berbalik, ketika dari belakangnya 
terdengar suara orang. Saat itu juga, pedang bersinar 
putih keperakan menebas ke arah leher Lurah 
Banjilan, yang tersentak kaget melihat wajah wanita 
itu. 
"Kau...?!" 
Cras! 
Seketika, kepala Ki Lurah Banjilan terlepas dari 
batang lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar-
gelepar, lalu ambruk tanpa nyawa. 
Wanita misterius itu memasukkan pedangnya. Lalu 
dengan cepat berkelebat meninggalkan tempat itu. 
Istri Ki Lurah Banjilan yang mendengar jeritan 
suaminya, seketika melompat keluar ingin tahu apa 
yang terjadi. Betapa terkejutnya wanita berusia 
sekitar lima puluh tahun itu. Suaminya telah tewas 
dengan kepala lepas dari lehernya. 
"Kangmas...!" 
Malam yang sunyi dan mencekam, pecah oleh 
suara tangis istri Ki Lurah Banjilan. Suara raungan 
tangis istri lurah itu membangunkan warga desa. 
Berbondong-bondong mereka menuju rumah yang 
besar itu. Warga desa kontan gempar melihat 
lurahnya tewas dengan kepala terpenggal. 
"Tabuh kentongan!" perintah tangan kanan Ki 
Lurah Banjilan. 
Suara kentongan yang menandakan telah terjadi 
bencana, terdengar susul-menyusul. Warga desa 
semakin banyak berdatangan dengan membawa 
obor. 
"Kita harus mengejar pelakunya! Ayo ikut aku...!" 
ajak tangan kanan Ki Lurah Banjilan. 
Para lelaki segera mengikuti tangan kanan lurah 
itu untuk mencari pembunuh lurah mereka. Saat 
itulah mereka melihat sesosok bayangan berkelebat 
ke arah mereka. Langsung saja warga desa yang 
sedang dalam keadaan marah itu bergerak 
menyerang pemuda berambut gondrong dengan 
pakaian rompi ular. 
"Dia pembunuhnya! Seraaang...!" 
Pemuda yang tak lain Sena itu tersentak kaget 
mendapat serangan mendadak dari warga Desa 
Banjilan. Dia baru saja datang hendak menemui Ki 
Lurah Banjilan. 
"Hei!  Kenapa  kalian?" tanya Sena  berusaha 
menyadarkan penduduk desa yang menyerangnya. 
Tubuhnya bergerak mengelakkan bacokan membabi-
buta penduduk. 
"Jangan beri kesempatan! Dia pembunuh Ki Lurah! 
Serang dia...!" perintah lelaki berkumis lebat dengan 
baju wama kuning. Tutup kepalanya kain yang 
meruncing ke atas. 
"Celaka! Mimpi apa aku semalam?" keluh Sena 
sambil terus bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar warga desa. 
"Hiaaa...!" 
"Babat tubuhnya!" 
"Cincang pembunuh jahanam ini...!" 
Suara-suara pekik kemarahan keluar dari mulut 
warga desa. Serangan mereka semakin menjadi-jadi 
berusaha secepatnya membunuh pemuda tampan 
berrambut gondrong yang disangka pembunuh Ki 
Lurah Banjilan. 
"Tunggu! Kalian salah sangka!" seru Sena. Tapi, 
warga desa tetap tidak peduli dengan kata-katanya. 
Malah mereka semakin ganas melancarkan 
serangan. 
"Jangan hiraukan omongannya!"  
"Jadikan saja kambing guling!"  
"Serang terus!"  
Pendekar Gila yang tak tahu apa-apa, harus 
berjumpalitan mengelakkan serangan-serangan 
mereka. Tubuhnya berkelit ke sana kemari, 
mengelakkan sabetan dan babatan senjata warga 
desa yang beraneka ragam. 
"Berhenti! Kalian salah sangka! Aku datang untuk 
menemui lurah kalian! Aku sahabatnya!" seru Sena 
sambil terus berkelebat menghindar. 
"Terus serang...!" 
"Dialah pembunuhnya!" 
"Cincang!" 
Hampir hilang kesabaran Pendekar Gila meng-
hadapi mereka. Namun ketika ingat kalau warga desa 
ini hanya salah paham, Pendekar Gila mengurungkan 
niatnya menurunkan tangan jahat. 
"Kalian dengar semua! Aku Pendekar Gila, sahabat 
Ki Lurah Banjilan! Hentikan...!" bentak Sena. 
Mendengar ucapan itu, seketika semua warga 
menghentikan serangan. Bahkan, mereka menyurut 
mundur dengan tatapan mata ketakutan. Sedangkan 
tangan kanan Ki Lurah Banjilan yang bernama 
Masopati membungkuk hormat. 
"Ampunilah kami, Tuan. Sungguh kami tidak tahu. 
Kami sedang sangat berduka." 
"Apa yang terjadi?" tanya Sena. 
"Ki Lurah dibunuh seseorang. Dua pengawalnya 
mati dengan dada tertembus bunga mawar," jelas 
Masopati. 
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Matanya 
memandang seluruh warga desa yang merunduk 
ketakutan. "Jika memang begitu, tentu Dewi Pedang 
Beracun yang membunuhnya. Hm.... Ke arah mana 
dia pergi?" 
"Kami tak tahu, Tuan Pendekar." 
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar 
jawaban Masopati. Dihelanya napas panjang-panjang. 
"Baiklah. Aku harus pergi," ujarnya. 
Setelah menjura, Sena segera melesat mengejar 
Dewi Pedang Beracun yang semakin menjadi-jadi 
tindakannya. Dalam semalam, puluhan orang telah 
menjadi korban. 
"Untung dia tidak marah," gumam Masopati. 
"Kalau dia marah, tentu kita sudah menjadi bangkai." 
"Apa benar dia Pendekar Gila, Ki?" tanya salah 
seorang warga. 
"Ya! Apa kau tadi tidak melihat tingkah lakunya 
yang mirip orang gila?" tanya Masopati balik bertanya. 
"Masih begitu muda. Sangat lain dengan 
dugaanku." 
"Ya! Mulanya aku pun mengira Pendekar Gila dari 
Goa Setan telah tua. Paling tidak seusia Ki Lurah," 
gumam Masopati. "Kita pulang." 
"Mengapa tidak meneruskan mencari pembunuh 
itu, Ki?" 
"Tak perlu. Kalau Ki Lurah, Barjo, dan Gandra saja 
dapat dibunuh dengan mudah, apalagi kita? Terlebih, 
pembunuh Ki Lurah adalah Dewi Pedang Beracun 
yang telah mati. Hiiiy...! Kalau begitu, bukankah 
arwahnya yang membunuh?"  
Semua warga desa bergidik. Bulu kuduk mereka 
meremang setelah mendengar nama Dewi Pedang 
Beracun yang telah mati sepuluh tahun silam. Tanpa 
diperintah lagi, mereka segera meninggalkan tempat 
itu yang merupakan perbatasan desa dengan hutan. 
Malam terus bergulir. Lolongan anjing hutan, 
menambah suasana kian mencekam. Terdengar deru 
angin yang menggiris hati. Membuat suasana malam 
itu seperti di pekuburan. 
*** 
Pendekar Gila yang memburu Dewi Pedang 
Beracun nampak masih berlari ke arah timur menuju 
kadipaten. Sena mengkhawatirkan Adipati Sumagatri 
akan menjadi sasaran pembunuhan selanjutnya. 
Tengah Sena berlari, matanya menangkap sesosok 
bayangan berkelebat melintas di hadapannya. 
Bayangan merah itu menyentakkannya, sehingga dia 
langsung mengejar. 
"Hei, tunggu. .!" 
Merasa ada yang mengejar, bayangan merah itu 
tiba-tiba mengebutkan tangan ke belakang. Saat itu 
pula, menderu puluhan bunga mawar berwarna 
merah. 
"Mawar Maut!" pekik Sena.  
Swing, swing...!  
"Uts! Hop...!" 
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak menduga 
kalau bayangan merah itu yang telah dicarinya. 
Pemuda itu melenting ke atas dan berputaran 
mengelakkan serangan yang dilancarkan bayangan 
merah itu. Puluhan bunga mawar merah terus men-
deru ke arahnya, bagai memiliki mata. Hingga 
Pendekar Gila agak kewalahan menghadapinya. 
"Kurang ajar! Hop! Heaaa...!" 
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti. Lalu 
dengan cepat dikibaskannya ke arah bunga-bunga 
mawar merah yang meluncur datang. 
Prat! 
Pluk, pluk...! 
Bunga-bunga mawar merah itu luruh berjatuhan ke 
tanah. Rontok terkena sabetan Suling Naga Sakti 
Pendekar Gila. Namun, Pendekar Gila kehilangan 
sosok bayangan merah yang dikejarnya. 
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru Sena marah. 
Dengan mengerahkan ajian lari 'Sapta Bayu' 
Pendekar Gila melesat mengejar bayangan merah 
yang telah menghilang entah ke mana. 
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!" 
Pendekar Gila berlari melebihi angin. Kedua 
kakinya seperti tidak menginjak tanah. Mendadak, 
dari arah yang berlawanan tampak sesosok tubuh  
tengah berlari. Pendekar Gila menghentikan larinya. 
Pemuda itu kaget melihat siapa orang yang tengah 
berlari ke arahnya. 
"Sena!" seru wanita berbaju putih yang tidak lain 
Nyi Gendis Awit. "Kau ada di sini? Apa kau melihat 
bayangan merah lari ke arah sini?" 
"Nyi Gendis Awit. Kau juga melihat bayangan 
merah itu?" 
"Ya! Aku mengejarnya. Ke arah mana dia berlari?" 
tanya Nyi Gendis Awit sambil mengatur napasnya 
yang terengah-engah. 
"Ah. Kurasa bayangan merah tadi dari arahku. Aku 
pun tengah mengejarnya...," kata Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Dari arah barat?" tanya Nyi Gendis Awit seraya 
mengerutkan kening. 
"Ya." 
"Tidak mungkin. Aku baru saja mengejarnya. Dia 
dari arah timur," bantah Nyi Gendis Awit tak percaya. 
Pendekar Gila semakin heran. Keningnya berkerut 
dan tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Kalau benar Nyi Gendis Awit mengejar bayangan 
merah, siapa lagi yang memakai pakaian serba 
merah itu? Mungkinkah ada dua orang yang 
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Tanya 
Sena dalam hati. Mungkin juga. Karena dalam 
semalam saja, dua orang tokoh persilatan seperti Ki 
Balamprang dan Ki Lurah Banjilan telah dibunuhnya. 
"Hm.... Semakin membingungkan. Kalau benar kau 
mengejar bayangan merah, kurasa bukan seorang 
yang telah melakukan pembunuhan itu," gumam 
Sena. 
"Mungkin juga, Sena. Ah. Sayang sekali aku tak 
bisa menangkapnya," desah Nyi Gendis Awit. Nada 
suaranya seakan menyesal tak mampu menangkap 
bayangan merah yang misterius itu. 
"Kita berpencar, Nyi. Kurasa dia masih berada di 
sekitar sini," kata Sena. 
"Mengapa tidak berdua saja, Sena? Kau tak mau 
berjalan bersamaku?" desis Nyi Gendis Awit dengan 
suara memelas. Matanya menatap penuh arti ke arah 
Pendekar Gila yang masih menggaruk-garuk kepala. 
"Hm, baiklah. Ayo...." 
Keduanya melangkah ke arah timur. Malam yang 
dingin membuat suasana terasa mencekam. Kedua 
pendekar itu terus melangkah menyelusuri hutan 
tempat mereka melihat bayangan merah. 
"Aduh!" tiba-tiba Nyi Gendis Awit menjerit. 
"Kenapa, Nyi?" tanya Sena. 
"Kakiku, Sena. Oh...! Kakiku tertusuk duri," jawab 
Nyi Gendis Awit sambil memegangi pahanya yang 
tertusuk duri. 
Sena memeriksanya. Nampak duri pohon beracun 
menancap dalam di paha Nyi Gendis Awit.  
"Beracun, Nyi?!" 
"Oh, Sena. Tolonglah aku...," keluh Nyi Gendis Awit 
sambil meringis-ringis menahan sakit. 
Sena kebingungan. Dia tahu jenis racun yang ada 
dalam duri itu. Bagaimanapun juga, Nyi Gendis Awit 
harus segera ditolongnya. 
"Aduh, Sena!" pekik Nyi Gendis Awit.  
"Mari kugendong." 
Sena segera membopong tubuh Nyi Gendis Awit. 
Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu 
masih terlihat cantik, seperti baru berusia dua puluh 
lima tahun. Sena terus membawa tubuh Nyi Gendis 
Awit ke tempat yang agak lapang di dalam hutan itu, 
lalu dibaringkan. 
"Aku harus membuka pakaianmu, Nyi," kata Sena 
agak bingung. 
"Buka sajalah, Sena." 
Sena semakin kebingungan. Namun, Nyi Gendis 
Awit harus segera ditolong. Kalau tidak, wanita cantik 
itu akan tewas. Dengan membuang muka, Sena 
merobek celana Nyi Gendis Awit agar dapat melihat 
lukanya. 
Breeet...! 
"Mengapa mesti membuang muka, Sena? Bagai-
mana kau bisa melihat lukanya?" tanya Nyi Gendis 
Awit manja. 
"Tapi...," Sena hendak berkata, ketika Nyi Gendis 
Awit telah menukasnya. 
"Sudahlah, Sena. Bukankah tak ada orang yang 
melihatnya?" 
Sena menghela napas. Dengan perlahan, dia 
memandang paha Nyi Gendis Awit yang mulus. Napas 
Sena tersendat. Ada gejolak yang menggelegak di 
dadanya. Pertarungan batin seketika terjadi. 
Ditambah dengan desahan Nyi Gendis Awit yang 
semakin merangsang nafsunya. 
"Oh, Sena...." 
Sena berusaha mempertahankan kekuatan iman-
nya. Namun racun itu begitu cepat menjalar. Jalan 
satu-satunya dia harus membuka seluruh pakaian Nyi 
Gendis Awit. Pemuda itu jadi semakin bingung. 
"Aduh. Jantungku sakit, Sena!" keluh Nyi Gendis 
Awit. 
Sena bertambahh cemas. Akhirnya pakaian wanita 
itu dibukanya. Di hadapannya kini terpampang 
sesosok tubuh polos yang menggiurkan. 
"Sena, dekaplah aku," pinta Nyi Gendis Awit 
mendesah. 
Sena menurut. Lupa kalau sebenarnya dia hendak 
menolong Nyi Gendis Awit. Setelah menyaksikan 
keelokan tubuh wanita itu, pikirannya seketika 
melayang. Direngkuhnya tubuh Nyi Gendis Awit. Tapi 
ketika semua akan terjadi, Sena tersadar. 
"Tidak! Kuharap kau jangan merayuku, Nyi. Ingat 
kita dalam ancaman maut Dewi Pedang Beracun. 
Tidak sepantasnya kita berbuat seperti ini. Aku akan 
menolongmu." 
Usai berkata begitu, Sena segera menotok 
beberapa bagian tubuh Nyi Gendis Awit. Tubuh wanita 
cantik itu seketika menjadi kaku bagai patung. Sena 
mengobati luka di paha Nyi Gendis Awit. 
"Kau sudah bebas, Nyi. Nah. Aku pergi dulu," kata 
Sena seraya melesat meninggalkan Nyi Gendis Awit 
yang telah terbebas dari racun dan totokan. 
Dengan agak kecewa, Nyi Gendis Awit mengena-
kan pakaiannya kembali. Lalu melesat meninggalkan 
tempat itu. 
Mentari sebentar lagi tenggelam di belahan bukit 
sebelah barat. Tampak seorang pemuda berbaju 
rompi kulit ular berlari ke arah Bukit Lawang Ireng, 
tempat makam Dewi Pedang Beracun berada. 
Pemuda tampan yang tak lain Sena, rupanya tertarik 
dengan makam itu. Pendekar Gila ingin tahu, apa 
sebenarnya yang terjadi di makam itu dan apakah 
benar Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun 
silam telah mati kini hidup kembali. Tekadnya telah 
buat, hendak membongkar kuburan tua itu. 
"Aku harus memburu waktu. Sebentar lagi mentari 
akan tenggelam," gumam Sena sambil terus lari. 
Sesampainya di kuburan Dewi Pedang Beracu 
tanpa sungkan-sungkan Sena langsung menghantam 
kuburan itu dengan ajian 'Guntur Selaksa'. 
"Heaaa...!" 
Glarrr! 
Kuburan itu meledak hebat. Tanah kuburan 
beterbangan ke atas hingga membentuk lubang 
besar. Betapa tercengangnya Pendekar Gila ketika 
mengetahui kuburan itu kosong. Mayat Dewi Pedang 
Beracun maupun pedangnya tak ada. Seakan ada 
yang mengambilnya. 
"Hm.... Rupanya benar dugaanku. Ada seseorang 
vang mengambil mayat dan senjata Dewi Pedang 
Beracun. Orang itulah yang sekarang merajalela..." 
gumam Sena. 
Pendekar Gila terus mengawasi kuburan itu. Tiba-
tiba matanya melihat sebuah pintu di bawah makam. 
"Heh...! Pintu? Pintu apa itu?" tanya Sena. Kembali 
Pendekar Gila menghantamkan pukulan 'Guntur 
Selaksa' ke arah pintu di bawah makam. 
"Heaaa...!"  
Glarrr! 
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Tampaklah 
sebuah jalan ke bawah. Pendekar Gila mengerutkan 
kening, memandangi jalan yang bertangga ke bawah 
agak membelok ke selatan. 
"Hm.... Tentu ini bisa menyingkap misteri yang 
selama ini belum terpecahkan. Aku akan 
memasukinya." 
Dengan hati-hati, Pendekar Gila menuruni tangga 
demi tangga yang ada di dalam kuburan. Ternyata 
tangga itu berbelok ke sebuah tempat. Di tempat itu 
ada sebuah jalan. Sedangkan di samping kirinya 
terdapat bunga-bunga mawar merah yang ganas. 
Bunga-bunga mawar itulah yang digunakan wanita 
misterius untuk membunuh lawan-lawannya. 
"Bunga-bunga ini harus kuhancurkan!" desis Sena. 
'"Inti Brahma'. Yeaaa...!" 
Api bergulung-gulung keluar dari tangan Pendekar 
Gila, membakar bunda-bunga mawar maut yang ada 
di tempat itu. Dalam sekejap, bunga-bunga itu 
menjadi debu yang beterbangan tertiup angin. 
Hm.... Kini habis sudah bunga maut itu. Tinggal 
membuka tabir, siapa orang yang meniru Dewi 
Pedang Beracun. Aku harus segera pergi. Firasatku 
mengatakan orang itu menuju kadipaten, karena 
Kanjeng Adipati merupakan musuh Dewi Pedang 
Beracun. 
Usai berpikir begitu, Pendekar Gila segera melesat 
pergi melalui jalan yang tadi dilalui sewaktu masuk. 
*** 
Di Kadipaten Pamakasan, pertarungan seru 
tengah terjadi.  Adipati Sumagatri yang dibantu Ki 
Mandra Dupa dan Ki Sangkutra serta Ki Balacatra 
menghadapi bayangan merah yang masih misterius 
itu. Meski dikeroyok tokoh-tokoh persilatan, sosok 
berpakaian merah yang menyebut dirinya Mawar 
Maut itu tidak mengalami kesulitan. Bahkan, 
beberapa kali sempat mengirimkan bunga-bunga 
mawarnya dengan menggunakan jurus 'Mawar Maut 
Memburu Mangsa'. 
Swing, swing...! 
"Awas...!" seru Adipati Sumagatri mengingatkan. 
Ketiga pendekar tua itu berlompatan mengelakkan 
serangan bunga-bunga mawar merah. Ketiganya 
berhasil meloloskan diri dari kematian, begitu pun 
Adipati Sumagatri. Bunga-bunga mawar itu melesat, 
menghantam orang-orang Ki Balacatra. Maka. Jerit 
kematian pun terdengar susul-menyusul. 
"Kurang ajar! Kita harus secepatnya mem-
binasakan iblis ini, Kanjeng!" dengus Ki Balacatra 
marah melihat anak buahnya banyak yang tewas. 
"Kita serang bersamaan!" ajak Adipati Sumagatri. 
"Hiaaa...!" 
Dengan menggunakan jurus 'Catur Angin 
Mengurung Naga' yang dipadu dengan jurus 'Malaikat 
Maut dari Empat Penjuru', keempat tokoh persilatan 
itu bergerak menyerang. 
"Hiaaa...!" 
Mereka menyerang dengan senjata andalan 
masing-masing. Clurit di tangan Ki Mandra Dupa 
menderu ke arah kepala lawan. Kapak besar Ki 
Sangkutra membabat perut. Dan tombak di tangan 
Adipati Sumagatri menusuk tenggorokan. Sedangkan 
cambuk di tangan Ki Baiacatra melecut punggung. 
Keempatnya laksana malaikat maut. 
"Yeaaat...!" 
Menghadapi keroyokan empat tokoh persilatan itu, 
Mawar Maut tidak merasa gentar. Kepalanya 
dirundukkan dengan tubuh agak membungkuk. 
Pedang Perak yang mengandung racun diputar cepat 
memapaki serangan mereka. Itulah jurus 'Tarian 
Bidadari Merenggut Sukma'. 
"Hait...!" Trang, trang...! 
Suara senjata beradu terdengar. Saat itu pula, 
tubuh keempat penyerangnya berpelantingan ke 
belakang. Dada mereka terasa sesak oleh asap 
beracun yang keluar dari pedang di tangan wanita 
berpakaian serba merah itu. 
"Kini saatnya kalian mampus! Hiaaat...!" 
Mawar Maut tidak membuang-buang waktu lagi. 
Tangan kanannya yang memegang pedang, dibabat-
kan ke arah Adipati Sumagatri. Sedangkan tangan 
kirinya, bergerak mengambil bunga mawar dari balik 
bajunya. 
Wut! 
Swing, swing...! 
Bunga-bunga mawar merah melesat cepat ke arah 
Ki Mandra Dupa dan Ki Balacatra serta Ki Sangkutra. 
Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah Adipati 
Sumagatri. 
Keempat tokoh persilatan itu tersentak kaget 
Mereka berusaha mengelakkan serangan lawan. Ki 
Balacatra mampu mengelak dengan cara berguling ke 
samping kiri. Sedangkan ketiga temannya harus 
menerima kenyataan pahit. 
Jlep, jlep...! 
"Aaa. !" 
"Aaakh...!" 
Ki Mandra Dupa memekik, disusul Ki Sangkutra. 
Dada mereka dihunjam bunga mawar merah. 
Sedangkan Adipati Sumagatri dalam ancaman maut. 
Pedang di tangan wanita misterius itu siap menebas 
lehernya. 
"Hiaaa...!" 
"Tidak!" pekik Adipati Sumagatri. 
Cras!  
Tanpa disertai jeritan, kepala Adipati Sumagatri 
bergulir ke bawah. Napasnya putus seketika itu juga. 
"Iblis! Perbuatanmu sangat kejam! Aku akan 
mengadu jiwa denganmu! Hiaaa...!" 
Menyaksikan bagaimana kejinya wanita misterius 
itu membunuh Adipati Sumagatri, Ki Balacatra segera 
melecutkan cambuknya dengan jurus 'Ekor Sanca 
Melecut Badai'. 
Cletar! 
"Uts! Rupanya kau pun ingin mampus! Yiaaat...!" 
Setelah mengelakkan serangan cambuk lawan, 
Mawar Maut menyerang balik Ki Balacatra dengan 
babatan pedangnya. Sementara tangan kirinya 
merogoh ke balik baju. Tapi rupanya yang dicari telah 
habis. Wanita itu kehabisan bunga mawar merahnya. 
Melihat lawan tengah mencari-cari sesuatu, Ki 
Balacatra tak menyia-nyiakan kesempatan itu. 
Dengan cepat dia balik menyerang. Cambuknya 
kembali dilecutkan ke arah lawan dengan jurus 'Lidah 
Petir Menghancurkan Karang' 
"Uts!" 
Mawar Maut masih mampu mengelakkan 
serangan cambuk lawan. Kemudian, balas 
menyerang dengan tusukan dan babatan pedang 
peraknya dengan jurus inti 'Silang Kala Maut'. 
"Heaaat...!" 
Wut, wut! 
Mungkin kalau hanya pedang biasa tidak akan 
membuat lawan-lawannya kalah dengan cepat. Tapi 
pedang di tangan wanita misterius itu mengandung 
racun ganas. Bahkan mampu melemahkan dan 
menguras tenaga lawan. Itu yang dialami Ki 
Balacatra. Lelaki tua itu merasa tenaganya terkuras 
habis, padahal baru beberapa puluh jurus. Biasanya, 
Ki Balacatra mampu bertarung sampai ratusan jurus. 
Namun kali ini tenaganya cepat berkurang. Dadanya 
pun terasa sesak. 
"Heaaat..!" 
Wut, wut..! 
Pedang di tangan wanita berpakaian serba merah 
itu menderu dengan cepat. Sesaat lagi, Ki Balacatra 
akan mengalami nasib yang sama dengan Adipati 
Sumagatri. Pedang wanita itu semakin dekat ke arah 
lehernya. Hampir saja kematian merenggut nyawa Ki 
Balacatra, ketika tiba-tiba.... 
Trang! 
Benturan dua senjata terdengar. Terlihat percikan 
bunga api. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh 
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular berdiri di 
samping Ki Balacatra. Sementara wanita misterius itu 
agak terhuyung ke belakang. 
"Oh! Syukurlah kau datang, Sena," kata Ki 
Balacatra dengan wajah menampakkan keceriaan. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala. 
"Ha ha ha...! Rupanya inikah si Mawar Maut itu? Ha 
ha ha...! Lucu sekali...!" 
Wanita berpakaian serba merah itu mendengus, 
mendengar ejekan Pendekar Gila. 
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mampus! 
Dulu ketika kau terperosok dalam lubang, nyawamu 
kuampuni! Tapi kini tak akan kuampuni! Kau telah 
berani mencampuri urusanku! Kau harus mati di 
tanganku! Bersiaplah...!" 
Pendekar Gila kembali tertawa tergelak-gelak. 
Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya 
mencabut bulu burung di ikat pinggangnya. Dan 
dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu 
burung itu. 
"Omonganmu seperti si buntung yang ingin naik 
gunung saja. Ah ah ah... Sungguh terima kasih 
kuucapkan padamu, yang telah memberi ampunan 
atas nyawaku," sindir Sena. 
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus! 
Heaaat...!" 
Dengan jurus 'Pedang Iblis Membelah Samudera', 
si Mawar Maut segera menyerang. Pedangnya yang 
mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan 
menusuk ke arah Pendekar Gila. 
"Eit! Leherku terlalu licin, Nyi." 
Sena segera meliukkan tubuhnya dengan meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu 
dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan 
langsung disodokkan ke arah lawan. 
"Ini bagianmu, Nyi! Heit..!" 
Si Mawar Maut tersentak kaget melihat gerakan 
Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak 
pelan dan lemah, namun sesungguhnya sangat 
dahsyat. Malah mampu menjangkau pinggang wanita 
misterius itu, yang segera menepiskan pedangnya ke 
arah serangan. 
"Hait..!" 
Trang! 
Pijaran api kembali terjadi, diikuti oleh melompat-
nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam ber-
hadap-hadapan. Kemudian wanita misterius itu 
mengerahkan jurus 'Pedang Iblis Menusuk Gunung', 
kembali melakukan serangan. 
Melihat lawan membuka jurus, Pendekar Gila 
dengan tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk 
pantat membuka jurus pula. Kini jurus yang diguna-
kan 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak 
laksana melepas lilitan tali. 
Pedang perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak menyilang, dan membabat ke samping. 
Kemudian menusuk lurus ke depan, disusul ke 
samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat 
dan lincah. 
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga 
Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan 
lurus ke atas. 
"Yiaaa...!" 
"He he he... Galak juga kau, Nyi?! Heaaa...!"  
*** 
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali 
melakukan serangan. Pedang Perak di tangan wanita 
misterius itu bergerak cepat. Menusuk ke depan, 
membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan 
dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan 
babatan dari kiri ke kanan. Saking cepatnya gerakan 
pedang itu, Pedang Perak di tangannya seperti meng-
hilang. Yang tampak hanya bayangan putih 
keperakan, yang melindungi tubuh wanita itu. 
Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit 
ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera 
mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus 
Badai'. 
"Heaaa!"  
Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling 
Naga Sakti bergerak lurus ke muka. Sedangkan 
tangan kirinya memukul. Tubuhnya sedikit merunduk. 
Kaki kirinya terangkat ke atas. Dan, kaki kanannya 
setengah ditekuk. Dengan cepat, Pendekar Gila 
menyodokkan sulingnya ke arah gulungan sinar perak 
lawan. 
"Heaaa...!" 
"Haiiit...!" 
Wut! 
Trang! 
Dua senjata kembali saling beradu. Pijaran api 
keluar dari benturan senjata itu. Asap putih 
keperakan yang beracun terus bergulung-gulung 
menyerang Pendekar Gila. Kalau saja tidak meminum 
darah ular putih, pasti Pendekar Gila telah tewas. 
Namun kini dia kebal dari segala macam racun 
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila 
dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im"). 
Agak kaget juga si Mawar Maut menyaksikan 
Pendekar Gila tidak mempan oleh racun yang keluar 
dari Pedang Perak di tangannya. Gerakan pedangnya 
semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling 
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. 
Wut! 
Trang! 
Dua buah senjata sakti itu saling beradu, berusaha 
mengalahkan satu sama lain. Namun sejauh itu, 
belum tampak ada senjata yang kalah. Pendekar Gila 
terus menyodokkan sulingnya dengan masih meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali 
sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongak-
kan ke atas berusaha membuka kain penutup yang 
menutupi wajah wanita misterius itu. 
"Heaaa...!" 
"Uts!" 
Si Mawar Maut cepat-cepat membuang muka ke 
samping. Lalu dengan cepat membabatkan pedang-
nya ke arah Suling Naga Sakti dengan jurus 'Sapuan 
Badai Neraka'. 
Wut! 
Melihat pedang lawan menderu ke arahnya, 
dengan cepat Pendekar Gila menarik serangannya. 
Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran. 
Memapaki tebasan pedang dengan jurus 'Si Gila 
Menipu Lawan Memukul Karang'. 
Trang! 
Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling 
berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang 
dengan didahului pekikan menggelegar. 
"Heaaa...!" 
"Yiaaat...!" 
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di 
tangan. Sesampainya di udara, mereka berusaha 
saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke 
arah wajah lawan. Sedangkan Pedang Perak 
menebas ke arah kepala Pendekar Gila. 
"Hup!" 
Wut! 
Cepat Pendekar Gila berguling ke samping, meng-
elakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan 
cepat, sulingnya disodokkan kembali ke arah wajah 
lawan. Namun lawan dapat menghindari. 
Melihat wanita berpakaian serba merah itu mampu 
menghindari serangannya, Pendekar Gila menurun-
kan tangannya agak ke bawah. Kali ini sulingnya 
disodokkan ke dada lawan. 
"Heaaa...!" 
Wanita misterius itu tersentak kaget mendapatkan 
serangan cepat itu. Dan, berusaha menangkis dengan 
mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan 
kanannya membabatkan pedang ke tubuh lawan. 
"Hop! Yeaaa...!" 
Melihat babatan pedang lawan, Sena cepat-cepat 
menekuk lutut ke bawah, lalu bergerak ke samping. 
Setelah pedang lawan menderu, kakinya menendang 
ke arah pedang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'. 
Deb! 
"Heaaa..!" 
Tubuh si Mawar Maut terhuyung ke samping, 
terkena dorongan tenaga dalam pada pedangnya. 
Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan 
terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke 
dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.  
Dugk!  
"Hukh...!" 
Wanita misterius itu terdorong ke belakang, lalu 
jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras. 
"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu, 
Pendekar Gila!" dengus si Mawar Maut. 
"Aku ladeni, Nyi!" sahut Sena seraya sambil meng-
garuk-garuk kepala. 
"Bersiaplah, Pendekar Gila! 'Sangkala Gatra', 
hiaaa...!" 
"Kuharap kau pun bersiap, Nyi! Heaaa...!" 
Keduanya bergerak cepat. Pedang Perak di tangan 
wanita misterius itu menderu keras ke arah Pendekar 
Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin 
banyak keluar. 
Ki Balacatra yang tahu kedahsyatan asap pukulan 
keperakan itu, cepat melangkah mundur sepuluh 
tombak. Lelaki tua itu tak ingin terkena racun. 
Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-
kalau Sena akan terkena racun ganas itu. Namun, 
nampaknya Sena tidak terpengaruh sedikit pun oleh 
racun itu. 
"Heaaa...!" 
Trang! 
Suara beradunya senjata, kali ini kerap terdengar. 
Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan 
jurus biasa. Jurus-jurus tingkat tinggi yang meng-
andalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. 
Sehingga, tubuh keduanya bagai menghilang. 
Pendekar Gila terus merangsek dengan sodokan 
dan babatan Suling Naga Saktinya. Sedangkan lawan 
dengan Pedang Peraknya tidak mau kalah. Pedang 
beracun itu berkelebat membabat dan menusuk. 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Trang! 
Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang 
dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka 
yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha 
menyapu dan menendang lawan. 
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan. 
Kelihatannya keduanya sama-sama kuat. Mereka 
terus bertarung bagai tidak mengenal lelah. 
"Kukuruyuuuk...!" 
Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok, 
pertanda sebentar lagi pagi akan datang. Meski 
begitu, keduanya tidak menghentikan pertarungan. 
Malah semakin bertambah cepat melakukan 
serangan. 
"Hiaaa...!" 
Pedang Perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak cepat ke arah Pendekar Gila. Melihat serangan 
lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. 
Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti 
ke dada lawan. 
"Heaaa...!" 
Dugk! 
"Hukh...!" 
Tubuh wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus 
tertutup kain serba merah itu terhuyung-huyung ke 
belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain 
penutup wajahnya. Melihat hal itu, Pendekar Gila 
tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantam-
kannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh lawan. 
"Terimalah kematianmu! Heaaa...!" 
Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan 
api menyala-nyala ke arah tubuh si Mawar Maut. 
Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuhnya. 
Blab! 
"Wuaaa...!" si Mawar Maut menjerit. 
Tubuh terbungkus pakaian merah itu berguling-
guling, berusaha memadamkan api yang melahap 
tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Wanita 
misterius itu berkelojotan. Pedang Perak di tangannya 
terlepas. Saat itu juga, Pendekar Gila meniup Suling 
Naga Sakti dengan suara mendayu. Rupanya, Sena 
berusaha menyempurnakan kematian lawan. 
"Wuaaa... Tobat!" pekik wanita misterius itu 
dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan 
hidungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, 
gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah 
menjemputnya. 
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. 
Dengan tersenyum-senyum, pemuda itu ber-
jumpalitan seperti monyet. Tangan kanan menggaruk-
garuk kepala, sedangkan tangan kiri menepuk-nepuk 
pantat. Bersama Ki Balacatra, Sena yang masih 
bertingkah laku konyol, mendekati tubuh wanita 
misterius itu. Ki Balacatra dengan hati-hati membuka 
kain penutup wajah wanita itu. 
"Nyi Gendis Awit..!" seru keduanya bersamaan. 
"Hm... Tak kusangka dia orangnya," gumam Ki 
Balacatra tak percaya. "Rupanya, orang yang kita 
hadapi Nyi Gendis Awit." 
"Apa arti semua ini?" tanya Sena heran, sambil 
memandang ke arah Ki Balacatra yang juga tak 
mengerti dengan apa yang terjadi. 
"Lihat, Sena. Ada bungkusan di perutnya!" seru Ki 
Balacatra. Lelaki tua itu segera mengambil 
bungkusan yang berupa kotak kecil terbuat dari 
logam. 
"Kita buka saja, Ki," saran Sena. 
Keduanya segera membuka kotak kecil itu. Di 
dalamnya terdapat sehelai daun lontar yang 
bertuliskan, 
Dewi Pedang Beracun adalah kakakku yang tewas 
di tangan Sumagatri, Mandra Dupa, Sangkutra, 
Anggada dan pendekar di Kadipaten Pamakasan. 
Kakakku bermaksud membalas dendam atas 
kematian kedua orangtua kami, yang telah dibunuh 
mereka atas perintah Adipati Kerto Amabrang. 
Melihat kakakku tak mampu membalas dendam, 
bahkan terbunuh oleh kelima pendekar itu, aku yang 
semula bermaksud tidak membalas dendam, 
akhirnya mencari guru kakakku untuk meminta ilmu. 
Dan, aku berhasil menemuinya. 
Agar sepak terjangku leluasa, aku pun mem-
bongkar kuburan kakakku. Kuambil senjatanya yang 
kebetulan ada di kuburan. Kemudian dengan 
menyamar sebagai dirinya, aku membalas dendam. 
Meneruskan niat kakakku. 
Tidak kusangka, aku yang sudah bersumpah tidak 
akan kawin sebelum membunuh mereka, ternyata 
tersandung. Saat pertama kali aku bertemu dengan 
pemuda tampan bertingkah laku gila seperti orang 
gila, aku merasakan adanya sesuatu yang aneh di 
dalam hatiku. 
Aku rela mati di tangannya, asalkan aku telah 
membalas semua dendam kedua orangtuaku juga 
kakakku. 
Semoga Pendekar Gila mengerti. 
Gendis Awit (Perawan Tua) 
"Oh...!" Sena mengeluh. "Maafkan aku, Nyi. Aku 
hanya menjalankan tugas. Untuk kedamaian dan 
ketenangan..." 
"Sena, kuharap kau sudi menggantikan Kanjeng 
Adipati. Biarlah aku nanti yang menghadap ke 
kerajaan," kata Ki Balacatra. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar 
permintaan Ki Balacatra. "Lucu... lucu. Hi hi hi...!" 
"Bagaimana, Sena?" 
"Tidak, Ki. Terima kasih atas kepercayaanmu. 
Masih banyak orang yang jauh lebih pintar 
dibandingkan aku. Aku hanya petualang. Ke mana 
angin bertiup, ke sanalah kakiku melangkah." 
Ki Balacatra menghela napas. Dipegangnya 
pundak Sena Manggala. 
"Sungguh terpuji budi baikmu, Sena. Kalau begitu, 
aku hanya bisa berdoa semoga Hyang Widhi 
senantiasa menyertaimu." 
"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit" 
"Mengapa mesti buru-buru? Tidakkah sebaiknya 
kau ikut aku ke kerajaan untuk menerima peng-
hargaan atas jasamu?" tanya Ki Balacatra. 
"Terima kasih. Terlalu berat aku memikulnya." 
Pendekar Gila menjura hormat. Kemudian, 
melangkah pergi meninggalkan Ki Balacatra yang 
mematung dengan tatapan mata mengiringi 
kepergian Sena yang hendak meneruskan 
pengembaraannya. 
"Semoga kau senantiasa dilindungi Hyang Widhi," 
desis Ki Balacatra lirih. 
Angin pagi berhembus menerbangkan embun, 
seperti hari yang berganti. Dari kejauhan terdengar 
suara tawa Pendekar Gila membelah kesunyian pagi. 
Tak lama kemudian, Ki Balacatra melangkah 
masuk ke kadipaten. Lalu, kembali keluar dengan 
menunggang seekor kuda. Dipacunya kuda itu 
dengan kencang meninggalkan Kadipaten 
Pamakasan. 
SELESAI 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com