Pendekar Gila 7 - Titisan Dewi Kwan Im(2)



"Salah paham? Ha ha ha...! Rupanya nyalimu te-
lah ciut! Tidak kusangka, orang yang selama ini ku 
agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertu-
buh manusia! Heaaa...!"
Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya. Jurus-
jurus yang sangat dahsyat. Namun begitu, Singo Edan 
yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak 
mengalami kerepotan. Kalau mau, tentunya Singo 
Edan mampu menghentikan semuanya. Tapi Singo 
Edan tidak melakukannya. Kalau dilakukannya, tentu 
Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah mera-
cuninya. 
"Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis! Hingga 
kau semakin sombong dan takabur. Lupa akan kekua-
saan Hyang Widhi!" dengus Sena marah, menyaksikan 
Singo Edan tak juga mau balas menyerang. 
"Sena, lakukanlah apa yang  kau inginkan! Kau 
tak akan percaya kalau aku menjelaskannya. Untuk 
itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas 
kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu. 
Tangan muridku sendiri! Nah, lakukanlah! Cabut Sul-
ing Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mam-
pu membunuhku!" seru Singo Edan. 
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan...."  
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Wid-
hi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!" 
"Uts...!"  
Bukkk! 
Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham, 
maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas! 
Sena tersentak seraya melompat mundur dua 
tindak. Matanya menatap tajam wajah gurunya yang 
masih tersenyum. Tangannya memegang Suling Naga 
Sakti yang terselip di pinggangnya. 
"Kau ragu, Sena? Kalau begitu, lakukanlah den-
gan jurus maut mu yang dahsyat. Yang kau dapatkan 
di hutan dari seekor kera. Bukankah jurus 'Tamparan 
Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat diban-
dingkan dengan jurus-jurus gila? Ayo, lakukanlah!" 
tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini 
hanya  terdiam. Nampaknya Sena dilanda kebimban-
gan. 
Singo Edan tertawa terbahak-bahak. 
"Kau takut Sena?" 
"Tidak...!" 
"Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan. 
"Baik! Jangan menyesal kalau aku membunuhmu! 
Maaf...!" 
Usai berkata demikian, Sena segera memperaga-
kan jurus 'Tamparan Sukma'nya. Singo Edan tak ber-
geming dari tempatnya berdiri. Bahkan mulutnya ma-
sih tersenyum. Matanya masih memandangi gerakan-
gerakan yang dilakukan muridnya.  
"Heaaa...!" 
Sena bergerak hendak menyerang. Namun saat 
itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang ge-
rakannya. Bayangan itu segera memapaki jurus yang 
dilakukan Sena. 
"Nguk!" 
Desss! 
"Ukh...!" 
Sena mengeluh pendek. Matanya seketika mem-
belalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang 
jurus 'Tamparan Sukma'nya. Ternyata seekor kera. 
"Kau...?! Mengapa kau menghalangi niatku, Ka-
wan?! Dia jahat! Dia telah membunuh orang dengan 
keji. Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main 
perempuan. Dia juga telah meracuni ku. Uhuk...!" 
Sena terbatuk-batuk. Tenaganya yang belum pu-
lih benar, membuat tubuhnya belum kuat. Hanya ka-
rena amarah saja, membuatnya memaksakan diri un-
tuk bangkit. Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan 
kembali jatuh pingsan. 
Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri. 
Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pem-
baringan semula. Di kanan dan kirinya, Singo Edan 
dan Kera Sakti menungguinya. 
"Kawan, mengapa kau membela orang yang ja-
hat?" tanya Sena pada Kera Sakti. 
"Nguk, nguk...!" 
Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala. Kemu-
dian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan 
kalau Sena justru yang telah salah sangka. Singo Edan 
tetap seperti dulu. Tetap gurunya yang bijaksana. 
Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan 
yang membawa Sena ke Goa Setan. 
"Guru.... Ampunilah saya. Hukumlah saya yang 
telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-
buatannya yang telah lancang terhadap sang Guru. 
Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
"Lucu sekali kau, Bocah Gila! Hua ha ha...! Men-
gapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan! Kau tidak 
salah. Bangunlah! Kebetulan sahabatku datang kema-
ri," kata Singo Edan. 
Sena segera bangun. Lalu menyembah dan men-
cium kaki gurunya. Kemudian setelah Singo Edan 
memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena 
pun menurut dan berdiri. 
"Kita ngobrol-ngobrol. Bagaimana,  Sahabat?" 
tanya Singo Edan pada Kera Sakti. 
"Nguk, nguk...!" 
Kera Sakti mengangguk-angguk. Lalu mereka 
bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya berta-
rung. Singo Edan duduk di tempat biasa. Sementara 
Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah. 
"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo 
Edan. Kemudian dia pun menceritakan siapa sebenar-
nya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka 
yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan. 
Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar 
Gila terdahulu. Asalnya, orangtua sekaligus guru dari 
Kera Sakti, dikeroyok oleh manusia. Sepasang kera itu 
dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena diang-
gap menjadi penghalang sepak terjang mereka. Hampir 
saja kedua orangtua Kera Sakti binasa. Saat itu datang 
Ki Amba Dewa atau Pendekar Gila dari Goa Setan yang 
menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba 
hitam. 
"Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat 
dengan kedua orangtua Kera Sakti. Bukan begitu, Kera 
Sakti?" tanya Singo Edan. 
"Nguk, nguk...!" 
Kera Sakti mengangguk-angguk. 
"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena. Sekarang 
kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Se-
na." 
Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi 
Drugani atau Dewi Pemuja Setan. Secara singkat Singo 
Edan menceritakan semuanya. 
"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada 
lagi? Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan 
tahun silam." 
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidi-
kinya, Guru." 
"Ya! Berangkatlah. Doa ku akan selalu mengiringi 
mu," kata Singo Edan. 
Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggal-
kan tempat itu untuk meneruskan  petualangannya 
yang sempat tertunda akibat kelalaiannya. 
Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang 
beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera 
Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode 
"Duel di Puncak Lawu"). 
Lembah Lamur pagi itu masih diselimuti kabut 
tebal. Dari arah utara, nampak tiga lelaki berambut 
merah melangkah menuju lembah itu. Dilihat dari 
warna rambut dan jubahnya, jelas ketiga lelaki itu ada-
lah Tiga Setan Rambut Api. 
Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Ti-
ga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan 
Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah 
Lamur. 
Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju 
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua 
bayangan. Seorang berjubah putih dan berwajah persis 
dengan Singo Edan. Sedangkan satu lagi seorang gadis 
cantik berkulit kuning langsat seperti orang Cina. Di 
pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang ga-
gangnya terbuat dari emas. 
Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih ter-
sebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan 
mata. 
"Dewi Kwan Im...!" 
"Hua ha ha...! Rupanya mata kalian masih belum 
buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah 
Singo Edan. Nada suaranya menunjukkan kesombon-
gan. "Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titi-
san Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya." 
Tiga Setan Rambut Api membelalakkan  mata, 
mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepu-
luh tombak di depan mereka. Kemudian ketiganya sal-
ing pandang dengan kening berkerut 
"Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara. 
"Ya!" sahut kedua adiknya. 
"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat 
untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Un-
tara bergumam. Matanya masih memandang lekat pa-
da lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemu-
dian beralih pada gadis cantik di sampingnya. 
"Hua ha ha...! Apa yang kalian bingungkan?" 
tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan. 
"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung 
denganku!" 
"Hm...," Untara bergumam. Matanya mengerling 
pada kedua adiknya yang menganggukkan kepala. 
"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan ru-
panya masih saja tergiur oleh hal duniawi. Ternyata 
sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong ko-
song!" 
"Hua ha ha...! Kau salah, Untara. Bagaimanapun 
juga, aku lelaki normal. Lagi pula, aku pun ingin men-
jadi orang yang tak tertandingi. Bukankah dengan 
memiliki Titisan Dewi Kwan  Im, keberuntungan ada 
padaku?" 
Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang 
mendengar penuturan Singo Edan. Kening mereka se-
makin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti, 
bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah? Yang 
mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus 
yang gigih menumpas kejahatan. Mana mungkin sece-
pat itu berubah? Mungkinkah selama menghilang Sin-
go Edan telah mengubah pikirannya? 
Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pi-
kir. Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar na-
ma besar Singo Edan. Begitu juga dengan sepak ter-
jangnya puluhan tahun yang silam. Kalau kini tiba-
tiba berubah, rasanya sangat aneh sekali. 
"Hm.... Kau benar, Singo Edan. Memang setiap 
manusia memiliki ambisi. Kami tahu siapa kau. Na-
mun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan De-
wi  Kwan  Im," kata Untara setelah lama merenung, 
mencoba menyibak keanehan Singo Edan. 
"Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?" 
"Ya!" sahut Untara. 
"Hua ha ha...! Kuakui nama besar kalian memang 
menakutkan. Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang 
bisa digertak!" dengus Singo Edan. "Kusarankan, agar 
kalian cepat bersujud meminta ampun atas tindakan 
kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebe-
lum aku berubah pikiran." 
"Kurang ajar! Jangan kira kami takut menghada-
pimu, Singo Edan! Untuk mendapatkan Titisan Dewi 
Kwan  Im, kami siap bersabung nyawa denganmu!" 
dengus Undani. 
"Ya! Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali 
mencoba ilmumu!" timpal Umbakara. 
Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar 
tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api. Se-
pertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali 
baginya. 
"Percuma kalian menantangku. Guru kalian se-
kalipun tak akan mampu menandingi ku!" kata Singo 
Edan, pongah.  
"Tutup mulutmu, Singo Edan! Kuharap kau mau 
memberikan gadis itu pada kami! Atau kami terpaksa 
menghajarmu!" bentak Untara marah. 
"Hua ha ha...! Kalian lucu sekali. Bagaimana 
mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan 
Im? Hua ha ha...!" Singo Edan kembali tertawa terba-
hak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang den-
gan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin 
dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu. 
"Hhh...! Sombong!" rutuk Undani. "Rupanya mu-
lutmu memang harus disobek!" 
"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Um-
bakara. 
Singo Edan kembali tertawa. 
Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara, 
mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang pe-
nuh ejekan. Ketiganya segera meloloskan cambuk. 
Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak. 
Ctar! 
"Yiaaat..!"  
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintah lelaki yang 
berwajah mirip Singo Edan. 
Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im men-
cabut pedangnya. Pada saat itu pula, sinar merah ke-
kuning-kuningan memancar dari mata pedang, mem-
buat Tiga Setan Rambut Api tersentak. 
"Pedang Bidadari...!" seru  ketiganya sambil me-
lompat mundur. 
"Hua ha ha...! Kalian seperti tikus ketakutan. 
Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih 
baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus 
mampus oleh Pedang Bidadari!" seru lelaki berwajah 
seperti Singo Edan. 
Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemu-
dian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang 
masing-masing. 
"Baiklah, kami menyerah." 
"Bagus! Percuma kalian melawanku," ucap Singo 
Edan masih dengan suara penuh kesombongan. "Ikut 
aku!" 
Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi, 
masuk ke dalam kabut tebal yang bergulung-gulung. 
Dalam sekejap mereka telah menghilang. 
*** 
Selang beberapa saat kemudian, ketika kabut 
yang menyelimuti Lembah Lamur telah hilang. Nampak 
dua lelaki melangkah ke tempat itu. Keduanya berwa-
jah kembar dan tampan. Pakaian yang dikenakan kun-
ing mengkilat bergaya pakaian Bali. Golok panjang ber-
tengger di punggung mereka. Dilihat dari pakaian ke-
duanya, nampaknya mereka dari golongan atas. 
Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari 
wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun ten-
tunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi 
Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar 
Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama  Ma-
nyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti. 
"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Ma-
nyar Ngesti. 
"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata me-
nyapu ke sekelilingnya yang sepi. Tak ada tanda-tanda 
kehidupan di lembah itu. Satu pohon pun tidak ada. 
Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beter-
bangan manakala angin bertiup. 
"Hm.... Bagaimana mungkin tempat seperti ini 
dikatakan ada orangnya? Tidak masuk akal," gumam 
Manyar Ngesti. Matanya masih menyapu ke sekeliling 
tempat itu. Namun masih saja tidak ada tanda-tanda 
kehidupan. "Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan 
Im ada di sini?" 
"Hhh...! Kurasa ada misteri di tempat ini, Ka-
kang," desah Manyar Asti. 
"Mungkin." 
"Lihat, ada kabut!" seru Manyar Asti sambil me-
nunjuk ke arah kabut tebal yang bam saja datang dari 
bukit-bukit kecil di sebelah selatan. 
"Ya! Hei, kabut itu bergerak kemari!" pekik Ma-
nyar Ngesti. 
"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang." 
"Benar! Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari 
Rogo'!" 
"Siap, Kakang! Hiaaa...!" 
Mereka segera menyatukan satu telapak tangan. 
Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan 
mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju 
mereka. 
Dari tangan mereka terbersit sinar bergulung-
gulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru. 
Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar. 
Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk meng-
hadangnya. 
"Yeaaat..!" 
"Waaat..!" 
Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan 
tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru 
kian banyak dan kuat. Namun kabut yang datang ter-
nyata lebih kuat 
"Celaka! Angin membadai datang!" seru Manyar 
Ngesti kaget 
"Benar, kakang! Apa yang harus kita lakukan?" 
tanya Manyar Asti. 
"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'." 
"Mari, Kakang! Yiaaat..!" 
"Heaaat..!" 
Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Dis-
ilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan 
tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tan-
gan ke arah kabut 
Srrrt! 
Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, ke-
luar dari telapak tangan mereka. Larikan-larikan lurus 
itu lalu memagari kabut tebal itu. Seperti perangkap 
raksasa dari bambu. 
"Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti, me-
nyaksikan pukulan sakti mereka dapat menghadang 
kabut. Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke 
arah mereka dengan keras. 
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti. 
Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak te-
gang, merasakan sesuatu yang tidak pernah didu-
ganya. Selama ini, keduanya belum pernah mengalami 
kegagalan seperti itu. Ajian-ajian yang mereka kerah-
kan, senantiasa mendapatkan hasil. Tapi kini malah 
berantakan. Tak satu pun bisa menghadang kabut 
tebal itu. 
"Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Ma-
nyar Ngesti. 
"Sepertinya benar, Kakang!" sahut Manyar Asti. 
"Ya! Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu," 
gumam Manyar Ngesti. "Rupanya benar kalau Titisan 
Dewi Kwan Im ada di tempat ini. Ini sebuah halangan 
yang dibuat oleh para dewata." 
Wusss! 
Angin kencang menderu  ke arah mereka, mem-
buat pakaian yang mereka kenakan tersibak. Bahkan 
kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin. 
Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan 
angin yang menderu keras. 
Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut ber-
kelebat sebuah bayangan putih. Tangan bayangan itu 
menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekun-
ing-kuningan. 
"Heaaat..!" 
"Dewi Kwan Im...!" pekik keduanya kaget setelah 
melihat siapa yang keluar dari dalam kabut tebal itu. 
Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat 
"Awas, Asti...!" seru Manyar Ngesti mengingatkan 
adiknya, ketika sosok wanita cantik berkulit kuning 
langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka. 
Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Ma-
nyar Asti. Sedangkan tangan kanannya segera menca-
but golok panjang di punggungnya.  
Srrrt! 
Trang! 
"Hiaaat..!" 
Manyar Ngesti berusaha membalas serangan la-
wan seraya memiringkan tubuh. Golok panjangnya di-
babatkan dengan cepat. 
Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Ma-
nyar Asti ikut mencabut goloknya. Didahului pekikan 
menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis can-
tik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titi-
san Dewi Kwan Im. 
"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang 
menemui kami! Kakang, beruntung sekali kita ru-
panya. Jangan sampai dia celaka. Kita harus menang-
kapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil berge-
rak melakukan serangan. Tangannya berusaha meno-
tok tubuh gadis cantik dari Cina itu. Namun gadis 
yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke 
tangan lawan. 
"Heaaat!" 
Wut! 
"Uts...!" Manyar Asti cepat menarik tangannya. 
Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti 
akan terbabat oleh pedang lawan. "Celaka! Dia dalam 
keadaan tak sadar, Kakang! Rupanya ada seseorang 
yang mempengaruhinya!" 
"Benar! Rupanya kita telah tertipu oleh cerita me-
reka! Dia bukan Titisan Dewi Kwan Im!" 
"Ya! Awas, Kakang!" 
Wut! 
Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari 
Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti. Untunglah 
Manyar Ngesti segera mengelakkannya. 
"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang. 
Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya. Tapi 
kehendak orang yang mempengaruhinya!" 
"Benar!" 
Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah 
tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh. 
Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat memba-
batkan golok ke arah lawan. 
"Yiaaat...!" 
Trang! 
Prak! 
Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya 
terbabat pedang di tangan gadis Cina itu. Goloknya se-
ketika patah menjadi dua, tak mampu menahan baba-
tan pedang di tangan lawan. 
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pe-
dang lawan kini bergerak cepat ke arahnya. Tentu pe-
dang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tu-
buhnya tidak segera berkelit ke samping. 
Gadis Cina itu terus melabrak. Gerakannya 
mungkin tidak sehebat para pendekar pedang. Namun 
pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi 
siapa saja yang memegangnya. Dan itu yang membuat 
gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lin-
cah, cepat dan mematikan. Sangat bertentangan sekali 
dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya.  
"Hiaaa...!" 
Wut, wut, wut...! 
Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin, 
membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan 
yang kini dalam keadaan terdesak. 
"Celaka, Kakang! Dia benar-benar kerasukan!" 
keluh Manyar Asti. 
"Ya! Kita harus bisa mematahkan serangannya! 
Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'." 
Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang, 
keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang me-
reka kuasai. Setelah melihat lawan hendak kembali 
menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut 
"Yiaaa...!" 
"Heaaat..!" 
Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari 
tangan mereka. Sinar biru itu kembali membelit tubuh 
Mei Lie. Seketika tubuh gadis itu bagai dibelenggu oleh 
sinar biru. 
"Ha ha ha...! Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar 
Asti senang, menyaksikan ajian mereka dapat membe-
lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak 
mampu lagi bergerak. 
"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar 
Ngesti. 
'Ya! Kurasa dia tidak bersalah. Kita harus meno-
longnya," sambut Manyar Asti. 
Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie 
dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar be-
lenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas. Tapi be-
lum juga mereka beranjak pergi, tiba-tiba.... 
"Lepaskan dia!" 
Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke 
belakang. Kini nampak tiga lelaki berjubah merah. 
Rambut mereka pun berwarna merah bagai api. Ten-
tunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Ram-
but Api. 
"Tiga Setan Rambut Api. Hm.... Apa urusan ka-
lian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri 
urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang. Terle-
bih setelah tahu siapa mereka. Tiga lelaki dari aliran 
sesat tersebut merupakan musuh masyarakat. Kejaha-
tan mereka telah menjadi momok yang menakutkan. 
"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian 
di sini!" dengus Manyar Asti. "Kebetulan sekali. Dari 
jauh kami datang mencari kalian. Tidak disangka, ak-
hirnya kami bisa menemukan kalian di sini!" 
Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyak-
sikan kedua lawannya. Seakan ketiganya menganggap 
kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti. 
Terlebih karena Singo Edan bersama mereka. Siapa 
pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali 
untuk menghadapi Singo Edan. 
"Manyar Kembar! Kuperingatkan pada kalian 
agar melepaskan gadis itu. Kemudian segeralah me-
nyembah!" bentak Untara dengan mata melotot marah, 
pertanda marah. 
Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak 
mendengar perintah Untara yang dianggapnya som-
bong. 
"Setan laknat! Berani sekali kalian mengancam 
kami! Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hu-
kum!" balas Manyar Asti tak mau kalah. Meski mereka 
belum pernah bertarung, namun Manyar Asti merasa 
yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran 
putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api. 
"Kurang ajar! Rupanya kalian berdua mencari 
mampus!" maki Undani. "Jangan salahkan kalau tan-
gan kami akan memecahkan batok kepala kalian!" 
"Hm.... Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti 
sinis. "Mungkin kepala kalianlah yang akan kami pe-
cahkan!" 
"Bedebah! Ku rencah kepala kalian! Hiaaat..! 
"Yeaaah...!" 
Srrrt, srrrt, srrrt! 
Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya. Ke-
mudian dilecutkan ke udara. 
Ctarrr! 
Cambuk di tangan Tiga Setan Rambut Api mele-
cut ke arah Manyar Kembar dari Bali. Menimbulkan 
percikan-percikan api dengan suara yang menggelegar 
melebihi halilintar. Itulah jurus 'Lecutan Ekor Naga Api 
Menghantam Bukit'. 
Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang, 
dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemu-
dian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok 
mereka. 
Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar 
Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas 
menyerang. Golok di tangan mereka menukik laksana 
paruh dan membabat laksana sayap burung manyar. 
"Hiaaat..!" 
Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap 
berjalan dengan cepat. Masing-masing berusaha men-
galahkan lawan. Namun begitu, Manyar Kembar dari 
Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan. Ilmu 
mereka bukan ilmu pasaran. Meski satu orang tidak 
lagi memakai golok, namun kekompakan mereka da-
lam menyerang masih cukup tangguh. 
"Hiaaat...!" 
Ctar! 
Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar seran-
gan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang mengge-
legar laksana halilintar. Di lain pihak, ternyata Manyar 
Kembar dari Bali memang sepasang pendekar yang 
cukup tangguh. Keduanya dengan mudah mengelak-
kan serangan cambuk lawan. Bahkan dengan cepat 
balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman 
tangan. 
"Kita harus cepat membereskan mereka, Ka-
kang," kata Umbakara. 
"Benar! Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan 
marah pada kita," sambung Undani. 
Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak 
mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan 
Rambut Api. Keduanya sesaat menghentikan serangan 
dan saling pandang dengan heran. 
"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya 
Manyar Asti. 
"Entahlah. Rasanya mustahil kalau Singo Edan 
menjadi dalang semuanya." 
"Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh. 
Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih 
bimbang. "Kalau benar Singo Edan yang mendalangi 
semua ini. Jelas dunia bisa hancur. Siapa orang yang 
mampu mengalahkannya?" 
Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah 
mendengar nama Singo Edan disebut. Bagaimanapun 
juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar. 
Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingan-
nya. Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran 
dan keadilan. Bagaimana mungkin Singo Edan justru 
memihak kejahatan! Bahkan kini mendalangi kejadian 
yang telah banyak makan korban? Itu yang tidak dapat 
diterima oleh pikiran kedua tokoh dari Bali ini. 
"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti. 
Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau 
Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua 
ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka. 
"Hm, mungkin juga." 
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang pasti, kita 
harus segera menangkap mereka."  
"Mari, Kakang. Heaaat..!"  
"Yiaaat..!" 
Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak. 
Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah 
lawan. Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan 
tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan. 
Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan 
cepat, tak mau diam. Ketiganya segera memutar cam-
buk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua 
lawannya. 
Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut 
Api ini bernama 'Pecut Buana Api'. Gerakan melingkar 
di atas kepala bernama 'Gelang Geni' sedangkan lecu-
tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'. Sebuah 
gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat 
Ctarrr! 
"Yeaaat...!" 
Pertarungan kembali berjalan seru. Masing-
masing mengerahkan kemampuannya untuk dapat 
menandingi ilmu lawan. Gerakan mereka nampak lin-
cah dalam berkelit dan menyerang. Meski begitu, nam-
paknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada 
satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api. Terbukti 
setelah tiga tokoh sesat itu menyerang gencar dengan 
sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami 
kesulitan sedikit pun. 
"Uts! Heaaa...!"  
"Lepas kepalamu, Setan Jelek!" 
Manyar Kembar dari Bali balas menyerang den-
gan jurus gabungan. Manyar Asti dengan jurus 'Belah 
Buana Yudha'. Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus 
andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' dis-
ambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan 
'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'. Setelah mampu 
mengelak, kini keduanya menambah daya serang. Go-
lok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam me-
lakukan serangan. Sedangkan tangan dan kaki Manyar 
Ngesti seperti berjumlah banyak. 
Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka 
sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung ma-
nyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana 
kemari. Mencakar ke sana kemari, serta menghantam 
dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras. 
"Hiaaat...!" 
Ctarrr! 
Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung 
serangan keduanya dengan cambuk. Namun kedua 
lawan ternyata cukup lincah. Manyar Kembar dari Bali 
melesat ke samping untuk mengelak, kemudian mem-
buru ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan go-
lok. 
Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget. Keti-
ganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya 
berilmu tinggi. Namun begitu, mereka tidak mau men-
galah begitu saja. Terlebih jika ingat akan Singo Edan. 
Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo 
Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar 
Kembar dari Bali. 
"Uts! Hiaaat..!"  
Ctar 
Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung 
serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecu-
tan cambuknya. Lagi-lagi lecutan cambuk mereka ba-
gai tiada arti. Karena dengan mudah Manyar Kembar 
dari Balik berkelit. Bahkan serangan kedua tokoh dari 
Bali itu semakin cepat membuat Tiga Setan Rambut 
Api kewalahan. 
"Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan!" 
dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha 
menotok dua lelaki dari Tiga Setan Rambut Api. Begitu 
pula dengan Manyar Asti. Dia pun tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Namun belum juga mereka 
dapat melakukan totokan, tiba-tiba.... 
"Hua ha ha...!" 
Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya, 
kemudian tubuh mereka melompat ke belakang. Mata 
mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang 
membahana. Jelas tawa itu milik Singo Edan. Meski 
mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, ta-
pi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana 
rupa dan tawa khas tokoh sakti itu. 
"Singo Edan...!" 
"Dia benar-benar datang, Kakang!" 
Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal 
suara itu. Seketika keduanya memandang ke arah ka-
but tebal yang berarak menuju mereka. Dari dalam 
kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih. 
Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka se-
bagai Singo Edan. Dan seorang lagi gadis cantik dari 
Cina.  
"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu 
tadi?" 
"Ya! Kapan dia bebas?" 
Manyar kembar dari Bali masih terlongong ben-
gong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-
bebas dari belenggu ajian 'Sari Rogo' mereka. Tangan-
nya memegang pedang sakti yang bersinar merah ke-
kuning-kuningan. Seperti siap untuk membunuh dua 
tokoh dari Bali itu. 
"Hua ha ha...! Rupanya masih ada juga orang 
yang berani menantang Singo Edan!" kata Singo Edan 
dengan sinis. 
'Persetan! Kau bukan Singo Edan! Kau iblis yang 
telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan!" se-
ru Manyar Ngesti, merasa yakin kalau lelaki berjubah 
putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan 
Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan. 
"Kurang ajar! Kalian tentunya buta!" maki Singo 
Edan. "Aku Singo Edan. Akulah orang yang paling sak-
ti di jagat ini! Tak akan ada yang menandingi ku. Hua 
ha ha...!" 
"Iblis! Jangan kira kami dapat kau kibuli!" lan-
tang suara Manyar Asti. "Meski ilmumu setinggi langit, 
Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah!" 
Singo Edan mendengus. Matanya melotot tajam 
pada kedua tokoh dari Bali itu. 
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintahnya.  
Mei Lie menurut bagai budak. Tubuhnya melesat 
turun. Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari 
Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali. 
"Hiaaa...!" 
"Celaka, Kakang! Apa kita harus menurunkan 
tangan kejam?" 
'Terpaksa, Asti! Heaaat...!" 
Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya, 
Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei 
Lie. Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat, 
berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie. 
Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak 
memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak 
mau diam. Mereka serentak mengambil sesuatu dari 
balik jubah masing-masing.  Lalu ketiganya melontar-
kan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar 
Kembar dari Bali. 
Zing, Zing...! 
"Kakang, awas!" seru Manyar Asti. 
"Keparat! Licik...!" maki Manyar Ngesti. 
Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak un-
tuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilem-
parkan Tiga Setan Rambut Api. Perhatian mereka kini 
tertuju ke arah jarum-jarum beracun. Hal itu men-
jadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan, 
dengan leluasa menyerang dari belakang. 
"Hiaaa...!" 
Wut! 
Cras! 
"Aaakh...!" Manyar Asti memekik. Kepalanya ter-
babat oleh pedang di tangan Mei Lie. Tubuhnya yang 
masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah. La-
lu jatuh membentur tanah dengan kepala hancur. 
"Asti...!" pekik Manyar Ngesti. 
Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan 
kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya. Sinar 
biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie. Namun dia me-
lupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke 
arahnya. Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun 
itu menembus tubuhnya. 
Cleb, cleb...! 
"Aaa...!" 
Lengkingan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Manyar Ngesti. Tubuhnya menukik ke bawah, lalu 
jatuh dengan nyawa lepas. Tubuhnya beku membiru 
dengan puluhan jarum menancap di punggung serta 
pahanya. 
"Hua ha ha...!" 
Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan 
tertawa senang bukan main. Setelah puas mengumbar 
rasa senangnya, tangannya melambai. Saat itu juga, 
tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke 
kabut di mana Singo Edan berada. Tubuh mereka hi-
lang, bersamaan dengan lenyapnya kabut. 
*** 
Sena Manggala menyeka keringatnya yang bercu-
curan. Terik matahari terasa memanggang tubuhnya. 
Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya. Tangannya 
mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu bu-
rung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada 
ujungnya saja. Kemudian bulu itu digunakan untuk 
mengorek telinganya. 
"Hi hi hi...!" Sena meringis-ringis merasakan 
nikmat Lalu ditariknya kembali bulu burung itu. Hi-
dungnya mengendus. Setelah menyeka kotoran di bulu 
burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat 
pinggangnya. 
Sena menarik napas panjang-panjang. Tubuhnya 
masih berdiri mematung. Matanya menyapu ke sekelil-
ing tempat itu. Tempat yang sepi dan senyap di tengah 
perjalanan ke Lembah Lamur. Sejak hilangnya Mei Lie, 
entah mengapa dunia dirasakan sepi  sekali. Padahal 
telah lama dia dan Mei Lie berpisah. Tapi pertemuan 
sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya. Arti yang 
sangat sulit dilukiskan 
"Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya 
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih 
nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat 
itu. 
Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang le-
laki berpakaian pengemis. Keenam lelaki itu juga ten-
gah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah 
Lamur yang gersang dan tandus. 
"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah La-
mur?" tanya Sena dengan kening berkerut. "Ah, men-
gapa pengemis-pengemis itu tidak di kota saja? Bu-
kankah di kota mereka bisa mendapat banyak maka-
nan? Mengapa harus ke lembah yang gersang dan se-
pi?" 
Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatan-
gan para pengemis itu. Tentunya ada sesuatu di Lem-
bah Lamur, yang membuat para pengemis. berdatan-
gan ke lembah itu. Belum juga Sena memahami apa 
yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita 
cantik. Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik 
yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil. Sedang-
kan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya, 
tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama 
Lira Kanti. 
"Nyi Bangil! Ah, ada apa pula dia datang ke Lem-
bah Lamur?" 
Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan 
adik seperguruannya yang datang. Tapi hampir selu-
ruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus 
maupun sesat datang. Sepertinya akan terjadi sesuatu 
di Lembah Lamur. 
Di antara para tokoh persilatan itu, hadir bebera-
pa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tong-
kat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti. 
Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari. Sedangkan 
dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi 
Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari 
Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya 
Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya 
yang berpihak ke aliran putih. Di sana juga hadir Ratih 
Puri serta suaminya Kerto Mandra. 
Dua golongan itu menempati tempat masing-
masing. Aliran sesat menempatkan diri di sebelah ba-
rat. Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di ba-
gian timur. 
Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya. 
Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri. Dengan 
mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerak-
gerik orang-orang persilatan. 
"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan 
yang melakukannya! Juga mengenai Titisan Dewi 
Kwan Im, itu tidak benar!" ujar Ki Ageng Sampar Bayu. 
Sena mengerutkan kening mendengar nama gu-
runya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu. Tan-
gannya masih mengorek telinganya dengan bulu bu-
rung. Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat ki-
likan itu. 
"Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu! 
Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan 
pelaku semua ini!" sahut lelaki berjubah hitam. 
Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni. Dan me-
rupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan ke-
jam. Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala 
warna hitam pula. Wajahnya dihiasi oleh cambang 
bauk lebat. Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan 
kiri atas. Matanya nakal jika memandang ke perem-
puan cantik. 
"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni!" 
dengus Nyi Bangil. "Aku tahu siapa Singo Edan, guru 
dari Pendekar Gila. Dia tak mungkin berlaku keji!" 
"He he he..,!" 
Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh. Ma-
tanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang can-
tik dan bertubuh sintal. Kemudian matanya meman-
dang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum. 
"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur 
dengan semua ini. Lebih baik kau mau menjadi istri-
ku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum 
dan pandangan nakal ke arah Nyi Bangil.  
"Cuih! Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat!" 
dengus Nyi Bangil. 
"He he he...! Semakin kau marah, semakin cantik 
saja. Bukan begitu Pengemis Tempurung Sakti?" kata 
Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pen-
gemis Tempurung Sakti. 
"Tutup mulutmu, Iblis! Kurasa, kaulah yang telah 
menyebarkan desas-desus ini. Padahal kau sendiri bi-
ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini!" bentak 
Nyi Bangil dengan berani. 
"Wuah! Lancang sekali mulutmu, Nyi! Berani be-
nar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami!" maki 
Jalantra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Sela-
tan. 
"Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek 
mulutmu!" sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan 
Pengemis Daerah Timur. 
"Huh, apakah kalian kira kami takut!" ujar Lira 
Kanti kesal, melihat kakak seperguruannya diremeh-
kan. "Menghadapi pengemis busuk macam kalian, 
pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari 
untuk mengalah!" 
Suasana di Lembah Lamur semakin terasa pa-
nas. Masing-masing aliran saling menyalahkan. Aliran 
sesat menuduh bahwa tindakan Titisan Dewi Kwan Im 
alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang per-
silatan. Dan Singo Edan adalah dalang dari semua ke-
jadian itu. 
Para pendekar aliran lurus tak mau menerima 
tuduhan itu. Bahkan mereka balik menuduh kalau ali-
ran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu. 
Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka beru-
saha menjatuhkan aliran putih. 
"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo 
Edan dan Titisan Dewi Kwan  Im pelaku semua ini?" 
tanya Ki Ageng Sampar Bayu. 
"Memang tidak. Namun dilihat dari kematian me-
reka, hanya Titisan Dewi Kwan  Im yang memiliki Pe-
dang Bidadari. Bukankah salah seorang anggotamu 
mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik 
bertanya, sekaligus menuduh Nyi Bangil. 
Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil. 
"Benar begitu, Nyi?" 
"Benar, Ketua. Tapi kurasa bukan dia pelakunya. 
Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab 
Nyi Bangil. 
"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang 
melakukannya!" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan 
Pengemis Daerah Barat 
"Kita serang saja!" seru Jantrik, kembaran dari 
Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat 
Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya 
tidak akan dapat dicegah lagi. Anggota aliran hitam te-
lah siap melakukan serangan. Sedangkan anggota ali-
ran putih juga telah siap menghadapinya. 
"Serang saja!" kembali tokoh-tokoh aliran hitam 
berseru, semakin menambah panas suasana di Lem-
bah Lamur. 
"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua 
ini!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Dae-
rah Utara. 
"Seraaang...!" 
Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha 
menyerang anggota aliran putih yang juga telah ber-
hamburan untuk bertarung. 
"Yeaaat..!" 
"Hadang mereka...!" seru  salah seorang dari ali-
ran putih memerintahkan. 
"Serbu...!" 
Perang benar-benar akan terjadi. Dan tentunya 
pertumpahan  darah di Lembah Lamur yang tandus 
dan gersang akan terjadi pula. Warna merah akan 
memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki 
udaranya. Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris ber-
temu, tiba-tiba... 
"Tunggu! Hentikan semuanya...!" 
Semua yang hendak menyerang, seketika meng-
hentikan langkahnya. Mata mereka kini memandang 
ke arah pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular 
yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda yang tak lain 
Pendekar Gila, menapakkan kakinya di tengah-tengah 
dua kekuatan yang siap bertarung. 
"Pendekar Gila...!" 
"Hm.... Sampai kapan pun kalian tak akan per-
nah bisa tenang. Kalian telah ditipu oleh seseorang!" 
kata Sena. "Kalian akan saling tuduh dan saling ban-
tai, karena mengikuti hawa nafsu belaka! Jika sudah 
saling bantai, apa yang akan kalian dapat?" 
Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas, 
tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila. Matanya 
menyapu tajam ke sekeliling tempat itu laksana mata 
elang. Puluhan tokoh sakti itu bagai terkena sihir, me-
reka terdiam mendengar penuturan Pendekar Gila. 
"Pendekar Gila, gurumu telah membunuh secara 
keji para pendekar dan tokoh dari aliran kami. Seha-
rusnya aliran putih berterima kasih pada kami yang te-
lah berusaha memberitahukan mereka tentang sepak 
terjang gurumu dan gadis Cina yang telah banyak ma-
kan korban!" seru Pengemis Tempurung Sakti. 
"Hm.... Enak sekali kau berkata, Pengemis La-
puk!" maki Bidadari Cadar Merah. "Seharusnya kau 
berpikir dulu sebelum bicara!" 
"Benar! Jangan asal tuduh sembarangan!" timpal 
Prabasangka, suami Bidadari Cadar Merah yang telah 
sadar akan kekeliruan dan kesalahannya (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang tokoh ini, silakan baca seri-
al Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak La-
wu"). 
"Kalianlah yang tak tahu aturan! Sudah jelas pe-
lakunya adalah Singo Edan dan gadis Cina itu, masih 
saja kalian membelanya!" dengus Gandrana. 
"Cukup!" seru Pendekar Gila tegas. "Kurasa ka-
lian telah diadu domba. Bahkan termasuk aku. Hampir 
saja aku membunuh guruku sendiri. Kuakui, sungguh 
hebat orang yang telah menyamar sebagai guruku. 
Sampai aku tertipu olehnya." 
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" selak Da-
tuk Karang Geni. "Kau muridnya, tentu saja kau mem-
belanya!" 
"Ya! Itu sudah pasti," sambut Pengemis Tempu-
rung Sakti. 
"Diam!" bentak Pendekar Gila marah. Wajahnya 
kini nampak bersinar merah membara, membuat se-
muanya terdiam. Mereka tahu bagaimana jika Pende-
kar Gila benar-benar telah marah. "Kukatakan pada 
kalian, jika memang dia guruku aku tak akan mem-
biarkannya! Aku yang akan membunuhnya!" 
"Percuma kau berkata begitu! Kami tak akan 
mempercayainya. Gurumu sebagai bukti, bahwa orang 
aliran putih sesungguhnya licik!" tuduh Datuk Karang 
Geni. 
"Keji! Kalianlah yang licik! Kalian hanya bisa 
mencari kambing hitam!" selak Ki Ageng Sampar Bayu. 
"Phuah! Rupanya kalian harus disingkirkan! Ser-
buuu...!" seru Datuk Karang Geni, yang seketika dilak-
sanakan oleh anggota-anggotanya. 
"Seraaang...!" Ki Ageng Sampar Bayu tak mau 
tinggal diam. Dia tidak ingin mati sia-sia diserang oleh 
orang-orang dari aliran hitam. 
"Hentikan...!" 
Pendekar Gila berusaha mencegah terjadinya per-
tumpahan darah yang sia-sia. Namun golongan hitam 
rupanya tidak mau dicegah lagi. Pertempuran besar 
antar golongan pun terjadi. 
Trang!  
"Hiaaat...!" 
"Hait..!" 
Trang! 
Jleb! 
"Wuaaa...!" 
Keriuhan karena beradunya senjata yang dite-
ruskan oleh pekikan kematian, seketika membahana. 
Darah mulai membasahi tanah Lembah Lamur yang 
tandus. 
Pendekar Gila yang tidak mau mati sia-sia, kini 
harus mempertahankan diri dari gempuran-gempuran 
orang-orang aliran sesat yang menyerangnya. Dengan 
masih mengandalkan tangan kosong, tubuhnya segera 
berkelebat untuk mementahkan serangan lima orang 
pengemis sakti. Tubuhnya meliuk-liuk dan sesekali 
menepuk ke arah lawan.  
Lima Pengemis Tongkat Hitam terus mengepung 
Pendekar Gila. Tongkat hitam di tangan mereka, berge-
rak menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh 
Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari dengan 
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 
"Heaaa...!" 
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Sena. Tangannya 
menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh, 
setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam 
lawan. 
Jalantra yang merupakan Ketua Perkumpulan 
Pengemis daerah selatan tersentak kaget. Sama sekali 
tidak disangka kalau pukulan Pendekar Gila yang 
lamban dan lemah ternyata mampu mengejar gerak 
tubuhnya. Dicobanya untuk menangkis dengan tong-
kat hitamnya. 
"Hih!" 
"Heaaa...!" teriak Jalantara, Ketua Perkumpulan 
Pengemis Sakti sambil mengayunkan tongkatnya. 
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Pendekar Gila. 
Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gera-
kan aneh, setelah berhasil mengelakkan sabetan tong-
kat hitam Jalantara. 
Pendekar Gila yang melihat gerakan lawan, den-
gan cepat menarik tepukan tangannya. Kakinya me-
nendang ke belakang dengan tubuh membungkuk. 
Kemudian tangannya direntangkan ke samping. Dan 
kakinya melayang ke wajah lawan. 
Des! Des...! 
"Ngk!" 
"Ukh...!" 
Dua orang terkena tendangan  dan sapuan tan-
gannya. Kedua pengemis itu terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dari mulut mereka meleleh darah segar. Mata 
mereka melotot, tak percaya melihat gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Gerakan yang kelihatannya 
lamban dan lemah tadi ternyata mampu menghantam 
tubuh mereka. 
Di sisi lain, pertarungan semakin sem. Jeritan-
jeritan kematian susul-menyusul. Darah telah banyak 
tertumpah. Namun begitu, belum ada salah satu dari 
kedua golongan itu yang mau mengalah. Mereka masih 
terus bertarung, berusaha mengalahkan lawan. 
Dari aliran putih tiga orang pendekar telah tewas. 
Mereka tergeletak di tanah dengan darah melumuri 
pakaian dan tubuhnya. Sedangkan di pihak aliran hi-
tam empat orang telah menemui ajal.. 
Ki Ageng Sampar Bayu yang berhadapan dengan 
Datuk Karang Geni pun masih gencar bertukar seran-
gan. Kedua orang tua pemimpin golongan itu mengelu-
arkan jurus-jurus tingkat tinggi. Kancah pertempuran 
mereka terpisah dari kelompoknya. 
"Hiaaat..!" 
"Yeaaah...!" 
Dua tokoh utama persilatan itu berkelebat laksa-
na terbang, kemudian saling serang dengan jurus-
jurus sakti. Api berkobar dari tubuh Datuk Karang 
Geni, sedangkan dari tubuh Ki Ageng Sampar Bayu 
menderu-deru angin kencang.  
Suasana semakin membara. Pertarungan kian 
seru, meski korban telah banyak berjatuhan. Nampak-
nya pertarungan besar itu tak akan selesai sampai sa-
lah satu golongan mengalah. Padahal korban kini 
membengkak menjadi dua belas orang. Tujuh dari ali-
ran hitam, sedang sisanya dari aliran putih. 
Pendekar Gila masih dikeroyok oleh lima Penge-
mis Tongkat Hitam. Dengan jurus 'Kera Gila Melempar 
Batu', Sena menyerang ke arah para pengeroyok yang 
telah mendapat hantaman darinya. 
"Yeaaa...!" 
Tangan Pendekar Gila bergerak susul-menyusul 
bagaikan melempar. Gerakan melempar itu menghasil-
kan deru angin kencang yang menyapu ke arah lima 
pengemis itu. Membuat mereka bagaikan dilempar ba-
tu. 
"Jurus edan!" maki Gandrana. "Cepat kita guna-
kan 'Tameng Sakti'!" seru Jalantra. 
Seruan itu segera disambut oleh keempat rekan-
nya. Mereka segera membentuk sebuah gerakan me-
lingkar sambil berlari. Tangan mereka bergerak me-
mukul atau menyabetkan tongkat hitam yang dijadi-
kan senjata.  
"Heaaa!" 
Wut! 
Wusss...! 
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya untuk men-
gelakkan serangan yang dilancarkan kelima pengemis 
itu. Tangannya bergerak menyambar kaki lawan, se-
dangkan tubuhnya sedikit dibungkukkan, mengelak-
kan pukulan dan sambaran tongkat hitam lawan. 
"Heaaa!" 
Pendekar Gila melenting ke atas, kemudian ber-
salto beberapa kali. Lalu dengan cepat tangannya 
mencabut Suling Naga Sakti. Saat menukik ke bawah, 
tangannya bergerak menghantamkan Suling Naga Sak-
ti ke arah putaran lawan. 
Wut! 
Pyar! 
Perisai yang dibuat oleh kelima pengemis itu se-
ketika hancur. Tubuh mereka berpelantingan ke sana 
kemari. Mata mereka membelalak, menyaksikan Suling 
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. 
Sementara Pendekar Gila-hanya cengengesan. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat kelima 
pengemis itu semakin marah. 
"Aku membantu kalian!" seru Pengemis Tempu-
rung Sakti sambil melemparkan tempurungnya ke 
arah Pendekar Gila. 
Wut! 
"Uts!" 
Pendekar Gila segera mendoyongkan tubuh ke 
samping untuk mengelakkan sambaran tempurung 
sakti yang melesat ke arahnya. Lalu dengan cepat, Sul-
ing Naga Sakti dihantamkan ke tempurung yang hen-
dak balik ke arah tuannya. 
Wut! 
Prak! 
Tempurung milik Pengemis Tempurung Sakti se-
ketika pecah, terhantam Suling Naga Sakti.  
Tep! 
Pengemis  Tempurung  Sakti terkejut, menyaksi-
kan tempurungnya kembali dalam keadaan tak ka-
ruan. Kemarahannya tiba di ubun-ubun. Didahului 
pekikan keras, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Gi-
la. 
"Kau telah memecahkan tempurung  ku! Maka 
kepalamu harus pecah di tanganku! Yeaaa...!" 
Pengemis Tempurung Sakti menyabetkan tongkat 
kayu hitamnya ke arah Pendekar Gila. Sabetan yang 
dialiri tenaga dalam itu membuat angin sabetannya 
menderu keras. 
"Uts! Hop...!" Pendekar Gila menundukkan tubuh 
ke bawah, kemudian dengan cepat tangan kanannya 
yang memegang Suling Naga Sakti dihantamkan ke 
tongkat lawan.  
Trak! 
"Uhhh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh. 
Tangannya bergetar hebat. Dan tongkat kayunya 
patah menjadi dua, membuat matanya membelalak le-
bar. 
Di saat pertempuran antar dua golongan itu se-
makin menggila dengan korban yang kian banyak, ti-
ba-tiba angin bertiup keras, menyentakkan semua 
yang tengah bertarung. Bersamaan dengan tiupan an-
gin yang membadai, dari arah tenggara muncul kabut 
tebal berarak ke arah mereka, diiringi gelak tawa yang 
membahana. Mendengar tawa itu, mereka sama-sama 
tersentak. Terutama tokoh aliran lurus yang mengenal 
sekali ciri suara tawa itu. 
"Singo Edan...!" 
*** 
Belum juga melihat wujudnya, mereka telah dike-
jutkan oleh suara tawanya. Suara tawa yang khas dari 
penghuni Goa Setan. Yang namanya cukup ditakuti di 
rimba persilatan. Seorang lelaki yang selama pengem-
baraannya puluhan tahun silam, belum ada yang 
mampu mengalahkan. 
"Hm...," Pendekar Gila menggumam. Jelas sekali 
dari wajahnya terlihat ketidakmengertian. Bagaimana-
pun juga, dia sangat mengenali tawa itu. Tawa yang 
juga dimilikinya. Dan hanya ada satu orang yang me-
miliki tawa seperti itu, yaitu Singo Edan. 
Mungkinkah itu suara guruku? Tanya Pendekar 
Gila dalam hati. Matanya memandang ke arah kabut 
yang bergerak semakin dekat ke arah mereka. 
Semua orang yang ada di Lembah Lamur, kini 
bagai patung. Tubuh mereka terdiam tegak. Kepala 
mereka mendongak ke atas pada kabut yang masih te-
rus merayap. 
"Hua ha ha....! Bagus! Rupanya kalian telah 
kumpul!" terdengar suara Singo Edan. 
Angin semakin menderu-deru, berusaha menya-
pu orang-orang yang ada di bawahnya. Orang-orang 
yang tidak kuat menahan gempuran angin puting be-
liung itu seketika tersapu. Beterbangan terbawa deru 
angin kencang. 
Suasana di Lembah Lamur semakin kacau. Hi-
ruk-pikuk dan jeritan kematian mewarnai tempat itu. 
Sedangkan yang berilmu tinggi, kini harus berusaha 
menahan gempuran angin puting beliung yang mener-
jang  mereka. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan 
terkoyak-koyak parah. 
"Cepat rebahkan tubuh kalian...!" seru Pendekar 
Gila memerintahkan pada para pendekar wanita yang 
semakin tidak menentu keadaannya. 
Angin terus menderu  kencang laksana badai. 
Lembah Lamur seketika diselimuti oleh gulungan debu 
yang menghalangi pandangan mereka. 
Melihat kenyataan itu, Pendekar Gila melangkah 
maju. Matanya memandang ke arah kabut yang ada di 
atas. 
"Hoi...! Orang pengecut! Kalau kau memang Singo 
Edan, keluarlah!" 
"Hua ha ha...! Rupanya kau masih hidup, Bocah 
tolol!" bentak Singo Edan yang belum juga menampak-
kan wujudnya. "Tapi kini kau tak akan luput dari ke-
matian!" 
"Pengecut! Tunjukkan wujudmu!" tantang Sena 
dengan suara lantang. 
Pendekar Gila bagai tidak peduli dengan angin 
kencang membadai yang terus menerpa tubuhnya. Dia 
telah mengerahkan ajian 'Sapta Bayu', yang menjadi-
kan tubuhnya mampu menahan hempasan angin ken-
cang. 
"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak kapok juga! 
Baik, hadapilah dia dulu...!" 
Bersamaan dengan selesainya ucapan Singo 
Edan, dari kabut tebal itu berkelebat sesosok bayan-
gan putih yang cukup mengagetkan Pendekar Gila dan 
Nyi Bangil. 
"Mei Lie...!" seru keduanya hampir bersamaan. 
Keduanya hendak maju untuk menyadarkan Mei 
Lie, namun gadis cantik dari Cina yang digegerkan se-
bagai Titisan Dewi Kwan Im itu seperti tidak mengenali 
mereka lagi. Pedang Bidadari di tangannya bergerak 
cepat ke arah mereka. 
Wut! 
"Nyi Bangil, awas...!" seru Sena mengingatkan 
sambil melempar tubuh ke belakang. 
Nyi Bangil yang tidak menduga sama sekali kalau 
Mei Lie menyerangnya, tersentak kaget. Dia berusaha 
berkelit, namun tebasan pedang Mei Lie teramat cepat. 
Maka.... 
Wut! 
"Mei Lie...?!"  
Crap! 
"Aaa...!" Nyi Bangil memekik keras ketika pedang 
di tangan Mei Lie menembus dadanya sebelah kiri. Ma-
tanya membelalak. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 
belakang. "Mei Lie, kau...?!" 
Tubuh Nyi Bangil semakin lemah, kemudian am-
bruk tanpa nyawa ketika Pedang Bidadari dicabut dari 
dadanya. 
"Kakak..!" jerit Lira Kanti. 
Gadis itu hendak memburu ke arah tubuh Nyi 
Bangil, tapi dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya. 
"Jangan!" 
Lira Kanti menghentikan langkahnya. Matanya 
terpaku ke tubuh kakaknya yang telah tak bernyawa. 
Semua orang yang ada di Lembah Lamur seketika 
terpaku. Mereka bagai tak percaya kalau ilmu pedang 
gadis Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan 
Im itu ternyata sangat tinggi. 
"Hua ha ha...! Bagaimana, Bocah Edan?!" 
"Pengecut! Keluarlah! Lepaskan pengaruh mu da-
ri dia!" maki Sena sengit. Tubuhnya masih bergerak, 
mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Mei 
Lie. 
"Bunuh dia! Dia lawanmu, Mei Lie!" seru lelaki 
tua yang mengaku Singo Edan, yang kini belum juga 
menampakkan wujudnya. 
Mei Lie yang dalam kekuasaan pengaruh lelaki 
tua yang mengaku Singo Edan itu menurut. Tangan-
nya yang memegang pedang, bergerak cepat menye-
rang Pendekar Gila. Pedang Bidadari yang mengelua-
rkan sinar merah kekuning-kuningan cukup membuat 
Pendekar Gila kaget Pedang di tangan Mei Lie memang 
bukan pedang sembarangan. Kalau saja Mei Lie ingat 
akan jurus 'Pedang Tebasan Batin' pasti akan sulit di-
tandingi. 
"Mei Lie, ingatlah! Kau dalam pengaruhnya!" seru 
Sena berusaha mengingatkan. "Aku Sena, Mei Lie...!" 
Mei Lie tak peduli. Matanya tidak berkedip me-
mandang Pendekar Gila. Tangannya terus bergerak 
membabatkan pedang dengan cepat.  
Wut! 
"Hua ha ha...! Kusarankan pada kalian, bersu-
judlah padaku! Kalau tidak, kalian akan mengalami 
kematian!" ancam Singo Edan. 
"Aku sujud!" sambut Datuk Karang Geni. 
"Aku ikut sujud!" Pengemis  Tempurung  Sakti 
mengikuti. 
"Aku juga!" 
Kini semua tokoh aliran hitam sujud kepada 
orang yang mengaku Singo Edan. Mereka meratap, 
meminta ampunan dan mengharap agar Singo Edan 
mau menjadikan mereka anak buahnya. 
"Bagus! Kalian memang pengikut ku  yang setia! 
Bunuh mereka yang bermaksud menentang!" perintah 
orang yang mengaku Singo Edan. Dengan cepat seruan 
itu segera dilaksanakan olah para tokoh sesat 
"Serang...!" seru Datuk Karang Geni. 
"Habisi mereka...!" sambut yang lainnya. 
Melihat orang-orang dari aliran sesat menyerang, 
Ki Ageng Sampar Bayu pun tidak mau tinggal diam. 
Segera dia pun berteriak memerintah anak buahnya 
untuk menyambut serangan mereka. 
"Serbu..!" 
"Yeaaat...!" 
Pertarungan kembali berlangsung tanpa dapat 
dicegah. Bagaimanapun juga, orang-orang dari golon-
gan putih tidak mau mati sia-sia. Tak ada jalan lain 
bagi mereka kecuali menghadapi serangan lawan. 
Pertarungan yang tertunda sesaat, kini berkobar 
kembali. Suara beradunya senjata disusul dengan je-
rit-jerit kematian meramaikan Lembah Lamur. 
"Mei Lie, cepat pergi!" terdengar suara Singo Edan 
memanggil Mei Lie. Bersamaan dengan itu, dari atas 
melesat tiga lelaki berjubah merah. Mereka tak lain Ti-
ga Setan Rambut Api. 
Mei Lie dengan cepat melesat ke atas, meninggal-
kan Pendekar Gila. Namun rupanya Sena tak mau 
membiarkan Mei Lie pergi begitu saja. Tubuhnya sege-
ra melesat ke atas, menyusul tubuh gadis Cina itu. 
Tiga Setan Rambut Api yang semula hendak 
menghadang Pendekar Gila, hanya mampu terpaku. 
Mereka hendak mengejar, namun kabut itu telah ber-
gerak meninggalkan Lembah Lamur. Akhirnya Tiga Se-
tan Rambut Api turut membantu orang-orang aliran 
hitam yang tengah bertarung dengan para pendekar 
aliran putih. 
Pendekar Gila yang mengejar Mei Lie, seketika 
terperangah menyaksikan keadaan sekelilingnya yang 
aneh. Semula dia berada di dalam kabut, namun tiba-
tiba kini dirinya berada dalam hutan lebat yang belum 
dijamah oleh tangan manusia. 
"Hei, di mana aku?" tanya Sena kebingungan, 
menyaksikan alam sekitarnya yang terasa demikian 
asing. 
Pendekar Gila menemukan suasana yang sepi, 
gelap dan mencekam. Dari kejauhan terdengar suara-
suara menyeramkan yang mampu mendirikan bulu 
kuduk. 
"Sena Manggala...." 
Ada suara yang memanggil namanya. Suara seo-
rang laki-laki. Namun jelas itu bukan suara gurunya. 
Sena menyapukan pandangan ke sekeliling hutan 
itu, berusaha menemukan asal suara yang baru saja 
didengarnya. Namun sama sekali tidak terlihat seorang 
pun di tempat itu. 
"Siapakah yang memanggilku?" tanya Sena sam-
bil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus beredar 
dalam  keremangan  yang menyeluruh. Tiba-tiba ma-
tanya bertumbukan dengan dua pasang mata dari se-
pasang kera yang berdiri di atas cabang pohon. 
"Sena...," suara itu kembali terdengar. 
"Hei, kaukah yang berbicara?" tanya Sena dengan 
mulut ternganga. Yang telah berbicara padanya ternya-
ta seekor monyet berbulu putih. "Kau, bukankah kau 
Kera Sakti?" 
"Aku adalah ayahnya. Sedangkan dia adalah 
ibunya," kata kera putih yang duduk di sebelah kiri, 
seraya menunjuk kera di sampingnya. 
"Bukankah kalian telah mati?" tanya Sena masih 
menggaruk-garuk kepala keheranan. Bulu kuduknya 
meremang, menyaksikan keanehan-keanehan yang di-
alami. Tentang kabut aneh yang tiba-tiba berubah 
menjadi hutan belantara. Dan hutan itu nampaknya 
berada puluhan tahun yang silam. 
"Kau salah, Sena. Kami belum mati. Inilah alam 
kami. Alam kabut. Alam di mana jiwa-jiwa berada...." 
Ucapan kera putih itu semakin membuat Sena 
diterpa rasa heran. Bagaimana mungkin semuanya bi-
sa terjadi? Tanyanya dalam hati. 
"Tapi aku belum mati. Bagaimana mungkin aku 
bisa kemari?" tanya Sena, bimbang. 
"Itu mudah, Sena. Kau berilmu tinggi. Kau mam-
pu datang kemari tanpa undangan penghuni alam ini. 
Sudahlah, jangan sia-siakan waktumu. Bukankah kau 
tengah mengejar Dewi Pemuja Setan?" tanya kera pu-
tih. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala menden-
gar pertanyaan itu. Dia sungguh bingung dengan per-
tanyaan yang dilontarkan kera putih itu. 
"Kau memang belum mengerti, Sena. Baiklah 
akan ku jelaskan padamu." 
Kera putih kemudian menceritakan siapa se-
sungguhnya lelaki yang menyamar sebagai  Singo 
Edan, guru Pendekar Gila. Dikatakan pula bahwa se-
benarnya lelaki itu jelmaan Dewi Pemuja Setan yang 
telah dikalahkan oleh Singo Edan puluhan tahun yang 
silam. Arwahnya telah bersekutu dengan iblis, dan 
bangkit kembali atas pertolongan iblis. 
Sena mendengarkan dengan seksama setiap 
penggalan kisah yang diceritakan oleh kera putih. 
"Nah, begitulah ceritanya. Maka itu, berhati-
hatilah. Dia bukan manusia, melainkan iblis. Aku ber-
doa, semoga Hyang Widhi akan senantiasa bersama-
mu. Pergilah ke arah selatan, di sana kau akan mene-
mukan sebuah istana yang dihuni oleh wanita-wanita 
iblis. Jangan kau terpedaya oleh kecantikan wanita itu. 
Sesungguhnya, mereka adalah siluman." 
"Terima kasih atas saran yang telah kau berikan, 
Sahabatku." 
"Sampaikan salamku pada gurumu," tutur kera 
putih sebelum Sena meninggalkan tempat itu.  
"Akan kusampaikan. Selamat berpisah!" 
Sena pun segera mengikuti petunjuk yang diberi-
kan oleh kera putih. Dengan mengerahkan ilmu lari 
'Sapta Bayu', tubuhnya melesat cepat ke arah selatan. 
Apa yang dikatakan kera putih tadi ternyata be-
nar. Di selatan, nampak sebuah bangunan besar ber-
diri angker. Bangunan mirip istana itu nampak dijaga 
oleh dua wanita cantik berpakaian minim. 
Sena menghentikan larinya. Dengan cepat dia 
menyelinap di balik pepohonan. Matanya memandang 
ke arah bangunan besar yang berdiri megah.       
Benarkah gadis-gadis cantik itu siluman? Tanya 
Sena dalam hati. Segera mata batinnya digunakan un-
tuk melihat bagaimana rupa gadis-gadis itu sebenar-
nya. Benar juga! Ternyata gadis-gadis itu  tiada lain 
makhluk-makhluk menyeramkan. Mata mereka lebar 
dengan hidung besar berwarna merah. Tubuh mereka 
telanjang bulat, dengan lidah yang panjang dan gigi 
bertaring. 
"Hm.... Apa yang dikatakan oleh kera putih ter-
nyata benar," bisik Pendekar Gila. "Bagaimanapun ju-
ga, aku harus menyelamatkan Mei Lie dari cengkera-
man Dewi Pemuja Setan." 
Sena mencabut Suling Naga Sakti dari balik ikat 
pinggangnya. Kemudian ditiupnya suling itu ke arah 
dua wanita cantik jejadian tadi. Suara suling mengalun 
dengan merdu serta mendayu-dayu. Tiupan 'Pelayung 
Sukma', menjadikan kedua gadis itu seketika terkulai 
lemas. 
"Hm.... Kini tinggal menantang Dewi Pemuja Se-
tan keluar," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan 
pengerahan tenaga dalam, Pendekar Gila berseru, 
"Dewi Pemuja Setan, keluar kau!" 
"Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!" 
bentak Dewi Pemuja Setan marah. Dari dalam bangu-
nan, muncul seorang lelaki berwajah persis dengan 
Singo Edan. "Kau?!" 
"Ya! Aku datang untuk membuat perhitungan 
denganmu, Dewi Pemuja Setan! Kau telah merusak 
nama baik guruku. Bahkan kau telah berusaha mem-
bunuhku!" dengus Pendekar Gila lantang. 
"Hua ha ha...! Rupanya kau datang untuk men-
gantar nyawa, Bocah Tolol! Mengapa tidak sekalian sa-
ja gurumu?!" tantang Dewi Pemuja Setan pongah. 
Pendekar Gila mendengus. Matanya memandang 
tajam ke arah lelaki yang serupa dengan Singo Edan. 
Iblis yang telah menipunya, sampai dia hampir saja 
bertarung dengan gurunya. 
"Dewi Pemuja Setan, rupanya kau belum kapok! 
Setelah kekalahanmu oleh guruku, kau bermaksud 
memfitnah! Pengecut..!" bentak Sena gusar. "Lepaskan 
Mei Lie!" 
"Hua ha ha...! Jangan bermimpi, Bocah Tolol! 
Kau akan terkubur di alam ini! Bersiaplah! Hiaaat...!" 
"Heaaa...!" 
Didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya 
melesat ke udara. Lalu dengan cepat mereka mengelu-
arkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pendekar Gila 
dengan jurus pembuka Si Gila Menari Menepuk La-lat, 
berusaha melabrak Dewi Pemuja Setan. Tubuhnya me-
liuk-liuk, dan sesekali menepuk ke tubuh lawan. 
"Cuih! Ilmu kuno!" ejek Dewi Pemuja Setan. 
Kemudian Dewi Pemuja Setan pun menggerakkan 
kedua tangannya, membentuk silang dengan jari-jari 
mencakar. Ditariknya tangan kanan yang ada di depan 
ke samping, kemudian dihentakkan ke depan. Sedang-
kan tangan kirinya kini mencengkeram ke mata lawan. 
Itulah jurus  'Sangkala Putung Tingkat Pertama'. Se-
buah jurus sakti yang terdiri dari sepuluh tingkatan.  
Wut! 
Tangan Dewi Pemuja Setan bergerak saling ber-
lawanan. Kalau yang kiri dari atas, maka yang kanan 
dari bawah. Begitu juga jika menyerang dari samping. 
Gerakan tangannya begitu cepat, menimbulkan deru 
angin yang kencang. 
"Uts...!" Sena tersentak. Segera wajahnya dibuang 
ke samping, sehingga serangan Dewi Pemuja Setan lu-
put. Namun tangan kanannya, kini meluncur deras ke 
arah perut 
Pendekar Gila segera berkelit ke samping, kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan tamparan 
tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya berusaha 
menangkis cengkeraman tangan kanan lawan. 
"Heaaa...!" 
Plak! 
Bentrokan terjadi. Tubuh mereka langsung ber-
jumpalitan ke belakang. Dengan mendengus, kedua-
nya kembali menyerang. Kali ini Dewi Pemuja Setan 
mengeluarkan jurus 'Sangkala Putung Tingkat Kedua'. 
Gerakannya semakin cepat. Kakinya turut menyapu 
ganas. 
Menyaksikan lawan mengeluarkan jurus yang se-
tingkat lebih tinggi dari jurus semula, Sena pun segera 
mengeluarkan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuh-
nya berputar cepat, bagaikan meronta dari lilitan tali 
yang membelit tubuh. Tangannya bergerak miring, 
menghantam dan mencakar ke wajah lawan. 
"Heaaa...!" 
"Yiaaat..!" 
Dewi Pemuja Setan terus menyerang dengan 
cengkeraman dan pukulan telapak tangannya. Tubuh-
nya bergerak cepat dalam gerakan berputar seperti 
gasing. Kakinya menyapu teratur. Sedangkan tangan-
nya susul-menyusul melakukan serangan. 
Jurus-jurus yang mereka keluarkan adalah ju-
rus-jurus yang berlawanan. Kalau Pendekar Gila me-
nyapu kaki lawan dengan gerakan ke arah dalam, se-
dangkan Dewi Pemuja Setan menyapu kaki lawan ke 
arah luar. Begitu pula dengan serangan tangan, serta 
putaran tubuh mereka. Semuanya berlawanan arah. 
Tap! Trak! 
Derak akibat beradunya tangan dan kaki terden-
gar. Diikuti oleh gerakan-gerakan kepala dan tubuh 
saat mengelak. Sebuah pertarungan yang dahsyat den-
gan menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi. 
"Heaaa...!" 
Dewi Pemuja Setan menyorongkan tangannya ke 
wajah lawan, hingga menyentakkan Pendekar Gila. Se-
gera Sena memiringkan kepala ke samping kanan. 
Tangannya dengan sigap menangkap tangan lawan, 
disusul dengan cakaran tangan kiri. 
Tap! 
"Hiaaa...!" 
Tangan Pendekar Gila merangsek maju ke wajah 
lawan, sedangkan tangan yang lain berusaha menang-
kis dan menangkap tangan lawan yang menyerang. Ta-
rik-menarik tangan terjadi, disusul oleh sapuan kaki 
keduanya yang bertubi-tubi. 
Pendekar Gila mengerahkan tenaga murni lalu 
mendorong tubuh lawan dengan keras. Begitu juga 
dengan Dewi Pemuja Setan, dia pun mendorong tubuh 
lawannya dengan keras pula. Akibatnya, tubuh mereka 
terlontar jauh ke belakang. 
"Heaaa...!"  
"Yiaaat..!" 
Tubuh keduanya bersalto di udara beberapa saat 
sebelum menjejakkan kaki ke tanah. Mata mereka sal-
ing pandang, diikuti oleh dengus napas keras dan 
memburu. 
Keduanya masih mengawasi gerak-gerik lawan 
masing-masing dengan sudut mata. Kaki mereka me-
langkah teratur dengan tangan bergerak membuka ju-
rus. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, tubuh 
keduanya kembali melesat 
"Yeaaa...!" 
"Hiaaa...!" 
Tubuh mereka sama-sama melesat ke atas, ke-
mudian bertemu di udara untuk saling menyerang. Te-
lapak tangan mereka memukul keras, sedangkan kaki 
mereka berusaha menendang kaki lawan. Pertarungan 
di udara terjadi. Tubuh keduanya melayang dalam ke-
cepatan tinggi. 
Pendekar Gila terus menyerang dengan kibasan 
tangannya dengan jurus 'Si Gila Menyibak Samudera'. 
Tangannya seperti menyibak. Memukul ke dada lawan. 
Sedangkan kakinya menendang bergantian. 
Trap! 
"Yeaaa...!" 
Dewi Pemuja Setan yang mengeluarkan jurus 
'Sangkal Putung Tingkat Ketujuh', tidak kalah gesit da-
lam mengelak dan menyerang. Tangannya kini menghi-
tam, mengeluarkan asap yang panas. Lalu bergerak 
memukul dengan telapak tangan ke dada lawan. Dis-
usul dengan tebasan tangan kiri ke kepala Pendekar 
Gila. 
"Yeaaa!" 
Pendekar Gila cepat memiringkan kepala ke 
samping kiri, serta melompat ke belakang. Lalu dengan 
cepat tangannya menghantam ke tulang rusuk rawan 
dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. 
"Yeaaat..!" 
Wut! 
Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gi-
la laksana prahara menghantam ke dada lawan, se-
hingga menyentakkan Dewi Pemuja Setan. 
Dewi Pemuja Setan berusaha mengelakkan han-
taman keras itu. Namun rupanya pukulan Pendekar 
Gila yang tak terduga-duga, harus mendarat telak di 
dadanya. Sampai terdengar suara keras dari mulut 
Dewi Pemuja Setan. 
Degk! 
"Hugh...!" 
Mata Dewi Pemuja Setan melotot. Tubuhnya ter-
pental ke belakang. Tapi anehnya, tubuh Dewi Pemuja 
Setan tidak mengalami apa-apa. Seakan pukulan sakti 
itu tak berarti sama sekali. Padahal pukulan dari jurus 
'Si Gila Melebur Gunung Karang", mampu menghan-
curkan gunung karang menjadi debu. 
Kini bukan Dewi Pemuja Setan yang kaget, justru 
Pendekar Gila terperangah menyaksikan lawannya ti-
dak mempan oleh pukulan sakti yang dilancarkannya. 
"Hua ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Pende-
kar Gila!" tantang Dewi Pemuja Setan, sombong. 
Kemudian dengan mendengus marah Dewi Pemu-
ja Setan berkelebat menyerang. Dewi Pemuja Setan 
kali ini menggebrak dengan jurus 'Sangkal Putung 
Tingkat Sepuluh', yang merupakan jurus terakhir dari 
rangkaian jurus 'Sangkal Putung'. 
Pendekar Gila tersentak dari keterpanaannya. 
Dengan cepat serangan itu dielakkannya. Tubuhnya 
dibuang ke samping kanan, berusaha mengelakkan 
hantaman lawan. Namun pukulan tangan Dewi Pemuja 
Setan ternyata sempat menyerempet pundak kirinya.  
Jrat! 
"Ukh...!" Pendekar Gila segera berguling sambil 
mengeluh, merasakan pundak kirinya panas bagai ter-
bakar. Kulitnya agak melepuh. "Setan!" 
Melihat Pendekar Gila dapat dilukai, Dewi Pemu-
ja Setan semakin bernafsu untuk segera menghabi-
sinya. Dengan pekikan menggelegar, dia kembali me-
nyerang dengan jurus pamungkasnya. 
"Yiaaat..!" 
Melihat lawan telah melesat ke arahnya, Pende-
kar Gila yang masih berguling dengan cepat mengi-
baskan kaki kanannya ke selangkangan lawan. Mem-
buat lawan yang masih berada di atas tak mampu lagi 
mengelakkan tendangan itu. Tanpa ampun lagi.... 
Jrot! 
"Ukh...!" Dewi Pemuja Setan memekik keras, tu-
buhnya terlempar ke belakang. Tangannya memegangi 
selangkangan yang terasa hancur akibat tendangan 
Pendekar Gila. "Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu! 
Hgrrr...!" 
Dewi Pemuja Setan menggeram keras. Tangannya 
menyatu di atas kepala. Perlahan-lahan tubuhnya dis-
elimuti oleh asap tebal yang bergulung-gulung. Kemu-
dian asap hitam bergulung-gulung itu membentuk wu-
jud tinggi besar. Mulanya nampak samar, lalu semakin 
jelas dan bertambah jelas. Kini nampaklah sesosok 
makhluk hitam bertubuh tinggi besar yang menyeram-
kan telah berdiri di hadapan Pendekar Gila. 
"Hogrrr...!" 
Makhluk itu menggeram. Wajahnya yang seperti 
kera tampak demikian menyeramkan. Terlebih dengan 
mata lebar dan taring yang mencuat. Telinganya pan-
jang dan meruncing ke atas. Di samping telinganya 
terdapat tanduk yang berkilat. Sekujur tubuhnya di-
tumbuhi rambut hitam kemerah-merahan. Kuku-
kukunya panjang dan runcing. 
"Jagat Dewa Batara, makhluk ini yang malam itu 
pernah bertarung denganku," desis Sena. Dengan ma-
sih menahan sakit pada pundak kirinya yang melepuh, 
Pendekar Gila berusaha bangkit 
Wut! 
Tangan makhluk menyeramkan itu menyambar 
deras ke tubuh Pendekar Gila. 
"Uts!" 
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samp-
ing, mengelakkan serangan makhluk itu. Namun tak 
urung, tubuhnya tersambar tangan makhluk menye-
ramkan itu. 
Plak! 
"Akh...!" 
Tubuh Pendekar Gila melayang beberapa tombak 
ke samping. Sesaat dia berguling-guling di tanah, ke-
mudian segera bangkit ketika tangan makhluk menye-
ramkan itu hendak mencengkeram tubuhnya kembali. 
Crab! 
Kuku panjang menyeramkan itu menghunjam 
dalam di tanah. Karena dalamnya, tercipta lubang be-
sar yang menyerupai galian sumur yang dalam, ketika 
tangan itu ditarik. 
Mata Pendekar Gila membelalak. Hatinya bergidik 
saat membayangkan tubuhnya menjadi sasaran hun-
jaman tangan makhluk menyeramkan itu. Tentu tu-
buhnya hancur lebur, karena tidak lebih besar diban-
dingkan telapak tangan makhluk menyeramkan itu.  
"Hgrrr...!" 
Makhluk menyeramkan itu kembali mengayun-
kan tangannya, berusaha menghancurkan tubuh Pen-
dekar Gila. Namun Sena yang sudah merasakan sakit 
yang luar biasa akibat tamparan tangan besar itu den-
gan cepat berkelit. Disusul oleh serangan pukulan sak-
tinya ke wajah lawan. 
Wusss...! 
Selarik sinar merah membara keluar dari telapak 
tangan Pendekar Gila, dan langsung melesat ke wajah 
makhluk menyeramkan itu. 
Jrot! 
Sinar api itu menghantam wajah lawannya yang 
menyeramkan. Namun makhluk itu bagai tak menga-
lami apa-apa. Bahkan dia semakin kalap. Tangannya 
silih berganti menyambar dan menghantam tubuh 
Pendekar Gila. 
Wut! 
"Edan!" maki Pendekar Gila seraya melompat ke 
samping dengan mengerahkan tenaga dalam, hingga 
lompatannya melesat cepat. Lalu dia bersalto beberapa 
kali, sebelum balas menyerang dengan pukulan sakti. 
"Ini untukmu, Iblis...! 'Inti Bayu'! Heaaa...!" 
Angin menderu kencang laksana badai, berusaha 
menyapu tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu. 
Pohon-pohon tumbang. Daun-daun beterbangan. Na-
mun makhluk menyeramkan itu masih saja berdiri 
dengan tegar. 
"Hgrrr! Kuhancurkan tubuhmu! Hogrrr...!" 
Makhluk menyeramkan itu kembali bergerak 
hendak mencengkeram tubuh Pendekar Gila yang den-
gan cepat mengelak ke samping. Saat itu pula, dia te-
ringat akan cerita gurunya ketika bertarung dengan 
Dewi Pemuja Setan. 
"Hanya dengan Suling Naga Sakti, dia dapat dika-
lahkan."  
Ingat akan kata-kata gurunya, dengan cepat Pen-
dekar Gila melolos Suling Naga Sakti dari pinggangnya. 
Kemudian dengan cepat pula suling itu ditiup dengan 
posisi kepala naga mengarah ke mata makhluk menye-
ramkan itu. 
Wusss! 
Bersamaan dengan alunan suling, dari kedua 
mata naga di pangkal suling melesat dua berkas sinar 
merah ke mata makhluk menyeramkan itu. 
Crat! 
"Aaargh...!" 
Makhluk menyeramkan itu meraung-raung ke-
ras, ketika sinar merah dari sepasang mata di pangkal 
Suling Naga Sakti menghantam matanya. 
Pendekar Gila tidak mau berhenti sampai di situ, 
kini mulut naga di pangkal suling diarahkan ke tubuh 
makhluk menyeramkan yang masih meraung-raung 
itu. Ditiupnya suling sekali lagi. Seketika itu juga, dari 
mulut naga di pangkal suling keluar semburan api 
membara. Dan langsung membakar tubuh makhluk 
menyeramkan itu. 
"Aaarghhhh...!" 
Makhluk menyeramkan itu menggelepar-gelepar 
saat tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari Sul-
ing Naga Sakti. Perlahan-lahan tubuh makhluk menye-
ramkan itu bergulung-gulung menjadi asap hitam. 
Saat 
itu juga, Pendekar Gila merasakan guncangan yang 
sangat keras. Seperti tengah terjadi gempa bumi dah-
syat.  
Dalam keadaan seperti itu, Sena menyadari kalau 
istana iblis itu akan segera hancur. Bergegas ilmu me-
ringankan tubuhnya dikerahkan, dan langsung masuk 
ke istana untuk mencari Mei Lie. 
"Mei Lie...!" panggil Sena dengan gejolak rasa ce-
mas. "Mei Lie...!" 
Dicarinya Mei Lie di dalam istana. Sampai akhir-
nya dia melihat Mei Lie tengah terbaring di sebuah 
tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat. Cepat 
Pendekar Gila membuka ikatan tali itu. Saat itu pula, 
guncangan semakin keras. Bahkan ditambah dengan 
ledakan-ledakan yang menggelegar. Tubuh Pendekar 
Gila bersama Mei Lie yang berada di pelukannya, ter-
lempar ke atas. Beruntung, Pendekar Gila sempat 
mengambil Pedang Bidadari di sisi Mei Lie. 
Glarrr..! 
"Ah...!" 
Tubuh Pendekar Gila terus meluncur ke atas ber-
sama tubuh Mei Lie. Lalu Pendekar Gila tidak ingat 
apa-apa lagi. Sekelilingnya terasa sangat gelap. 
*** 
Entah berapa lama keduanya pingsan. Ketika 
Pendekar Gila membuka mata, dia tengah terbaring di 
sebuah lapangan berumput. Di sampingnya, tergeletak 
tubuh Mei Lie. 
"Hei, di mana  aku?" tanya Sena dengan kening 
berkerut "Mei Lie...!" 
Didekatinya tubuh Mei Lie. Kemudian perlahan 
tangannya membelai rambut gadis cantik yang telah 
memikat hatinya. Lama ditatapnya wajah gadis itu le-
kat-lekat. Bibirnya nampak merekah indah, mengun-
dangnya  untuk mengecup. Perlahan-lahan Pendekar 
Gila mendekatkan wajahnya. 
"Mei Lie...," desis Sena. 
Diciumnya bibir mungil Mei Lie dengan lembut 
membuat gadis itu siuman. Mulanya Mei Lie hendak 
berteriak, namun ketika melihat lelaki yang mencium-
nya, Mei Lie malah terdiam. Bahkan matanya kembali 
dipejamkan, dan bibirnya semakin dibuka lebar. 
"Sena...," desah Mei Lie sambil membalas ciuman 
Sena Manggala. 
Untuk sesaat, keduanya larut dalam belaian ka-
sih dan kerinduan. 
Angin sore berhembus perlahan, membelai ramah 
rambut kedua insan yang sedang diliputi kerinduan. 
Suasana di tempat itu seketika hening. 
"Sena, jangan tinggalkan aku," ujar Mei Lie sam-
bil memeluk tubuh Sena. Kepalanya diletakkan di dada 
bidang Sena yang menyimpan kedamaian. "Tidak, Mei 
Lie. Aku...." 
Pendekar Gila tidak meneruskan kata-katanya. 
Tangannya yang semula membelai rambut Mei Lie, kini 
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie 
mendongakkan kepala, menatap wajah pemuda itu. 
"Ada apa, Sena? Mengapa kau tidak meneruskan 
kata-katamu?" 
Sena tersenyum-senyum sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah menyelipkan Suling Naga Sakti 
di pinggangnya, Sena mengajak Mei Lie bangun. 
"Mei Lie, lihatlah gunung yang membiru itu." 
Mei Lie memandang ke arah gunung yang tampak 
menjulang tinggi. Kemudian dengan perasaan tak 
mengerti, pandangannya dialihkan pada Sena. 
"Ada apa dengan gunung itu, Sena?" 
"Dia tinggi, bukan?" 
"Ya!" 
"Gunung itu memang tinggi, Mei Lie. Tapi..., ta-
hukah kau bahwa angan  ku  jauh lebih tinggi diban-
dingkan gunung itu?" 
Mei Lie menggelengkan kepala. Kepolosannya 
masih belum memahami kata-kata kiasan yang di-
ucapkan Sena. Matanya kini kembali memandang Se-
na. 
"Mei Lie, aku mencintaimu," bisik Sena lembut. 
"Oh! Benarkah, Sena?" tanya Mei Lie sambil me-
rebahkan kepalanya kembali ke dada Sena. Tidak tera-
sa, air matanya berlinang. 
"Kau menangis, Mei Lie. Kenapa...?" tanya Sena 
sambil menengadahkan kepala Mei Lie agar dapat me-
mandangnya. Kemudian tangannya dengan lembut 
menyeka air mata gadis itu. 
"Lama sekali aku memimpikan semuanya, Sena. 
Baru kali ini aku mendengarnya. Mulanya aku tak be-
rani berharap dapat mendampingimu. Biarkanlah aku 
mengabdi padamu, Sena...," pinta Mei Lie, lirih. 
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. 
"Aku bukan dewa, Mei Lie. Hanya dewalah yang 
patut mendapat pengabdian. Ah, sudahlah. Kita harus 
segera ke Lembah Lamur untuk menghentikan perta-
rungan," tukas Sena. 
"Lembah Lamur...?" tanya Mei Lie. 
"Benar. Ayo...," ajak Sena. 
Setelah Mei Lie menaruh Pedang Bidadari di 
punggung, keduanya melesat meninggalkan tempat itu 
menuju Lembah Lamur, di mana dua golongan tengah 
bertarung 
Kedua pendekar muda itu rupanya terlambat. Di 
Lembah Lamur kini hanya tersisa keheningan dan de-
sah angin yang berlalu tanpa peduli. Sementara berpu-
luh mayat bergelimpangan memenuhi tanah datar 
yang tandus. Kebanyakan yang menjadi korban adalah 
orang-orang dari aliran lurus. Sedangkan dati aliran 
hitam yang kelihatan hanya tiga orang pengemis, serta 
beberapa puluh anggota. Sedangkan Pengemis Tempu-
rung Sakti, dua Ketua Perkumpulan Pengemis, Tiga 
Setan Rambut Api, Datuk Karang Geni entah ke mana. 
Tentunya mereka telah pergi. 
"Nyi Bangil, Lira Kanti.... Oh, mengapa mereka 
harus mati, Sena?" tanya Mei Lie sambil menangis. 
Hatinya benar-benar tergiris menyaksikan kea-
daan Nyi Bangil dan Lira Kanti. "Tidak! Tidak mung-
kin...!" Mei Lie menangis sambil memeluk tubuh Sena 
yang terdiam kelu. Sulit bagi Sena untuk menjelaskan 
semuanya. 
"Mengapa aku tega membunuhnya? Oh, semua 
ini gara-gara orang-orang rimba hitam, Sena. Aku ha-
rus membalas perbuatan mereka! Aku harus memba-
las...!" 
"Mei Lie, tenanglah. Dendam tak baik bagi kita. 
Semua sudah menjadi suratan Hyang Widhi. Sudah-
lah, kau jangan terlalu memikirkannya," bujuk Sena. 
"Tidak, Sena. Aku masih berdosa jika belum me-
nemukan mereka!" 
Usai berkata begitu, secara tiba-tiba Mei Lie me-
lesat pergi, meninggalkan Sena. 
"Mei Lie, tunggu...!"  
Sena yang merasa cemas akan keselamatan Mei 
Lie, segera mengejar. Namun Mei Lie yang pikirannya 
kacau setelah menyaksikan Nyi Bangil tewas, melesat 
bagai angin meninggalkan Sena. Dalam kesendirian-
nya, Sena terpaku menerawang masa-masa yang berla-
lu tanpa dapat dipahaminya. 
Nah, bagaimana selanjutnya. Apakah Sena akan 
bisa menjadi satu dengan Mei Lie? Apa yang akan di-
hadapi Mei Lie selanjutnya? Siapakah yang telah 
membantai orang-orang persilatan  dari aliran lurus? 
Mampukah Mei Lie membalas sakit hatinya pada 
orang-orang rimba hitam? 
Jika Anda ingin tahu bagaimana nasib Mei Lie, 
silakan ikuti serial Pendekar Gila selanjutnya dalam 
episode "Pedang Penyebar Maut". 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa