Pendekar Gila 6 - Singa Jantan Dari Cina(1)


Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Mardiansyah 
Hak cipta pada Penerbit
Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Singa Jantan Dari Cina 
128 hal ; 12 x 18 cm 
  
 Kapal besar berbendera Cina semakin mende-
kati pelabuhan Banyu Asin. Di pelabuhan itu, para ne-
layan dan kuli panggul tengah sibuk dengan peker-
jaannya. Beberapa orang kuli panggul segera berlari ke 
tepian, ketika melihat kapal berbendera Cina itu mera-
pat. 
Di anjungan kapal nampak seorang lelaki berdi-
ri tegap dengan caping lebar menutupi hampir separo 
wajahnya. Baju luarnya berwarna coklat tua, sedang-
kan baju dalamnya berwarna putih. Di punggungnya 
tersandang sebilah pedang panjang. 
Lelaki muda itu bersidekap. Matanya meman-
dang tajam ke arah dermaga, di mana orang-orang 
tengah sibuk bekerja. 
Angin bertiup lembut, membelai daun-daun 
pohon nyiur yang tumbuh di sekitar pelabuhan yang 
cukup besar. Air laut beriak-riak, menambah indahnya 
pemandangan di pelabuhan. Sementara itu, tiga buah 
kapal nelayan nampak tertambat di dermaga. 
Kapal itu pun merapat ke dermaga, disambut 
kuli-kuli pelabuhan dengan wajah ceria. Mereka akan 
mendapatkan pekerjaan yang akan menghasilkan uang 
banyak. Karena biasanya kapal pesiar dari Cina mem-
bawa beragam kerajinan tangan yang akan dijual di 
Jawa Dwipa. 
Lelaki bercaping lebar segera melompat turun, 
lalu mendekati seorang lelaki bertubuh tinggi  kurus 
yang tengah melakukan pelelangan ikan. 
Merasa ada yang mendekati, lelaki berpakaian 
serba biru dengan blankon di kepalanya menghentikan 
penawaran pada para pembeli. Matanya memandang 
lelaki bercaping lebar seraya tersenyum. 
"Ada yang bisa kubantu, Tuan?" tanya lelaki 
berusia sekitar tiga puluh delapan tahunan itu dengan 
ramah. Senyumnya masih mengembang di bibir. 
"Hm...," gumam lelaki tua bercaping lebar. Ma-
tanya yang tertutup caping, memandang tajam ke arah 
lelaki di depannya. "Bisakah kau jelaskan,  ke arah 
mana aku bisa bertemu pendekar tanah Jawa Dwipa 
ini?" 
Lelaki tinggi kurus itu mengerutkan kening, 
mendengar pertanyaan lelaki di hadapannya. Ditatap-
nya tajam-tajam wajah yang tersembunyi di balik cap-
ing lebar itu, untuk mengetahui seperti apa sebenar-
nya lelaki yang nampaknya masih muda itu. Namun 
lelaki Jawa itu sulit untuk melihat dengan jelas, kare-
na caping lelaki itu terlalu rendah dan lebar. 
"Kalau boleh ku tahu, untuk apa Tuan mencari 
pendekar tanah Jawa?" 
"Mencari seseorang," sahut lelaki bercaping le-
bar. 
"Siapa...?" 
"Mei Lie." 
"Mei Lie...?" ulang lelaki jangkung itu seraya 
mengerutkan kening. Kembali matanya menatap lekat 
ke wajah lelaki yang wajahnya terlindung bayangan 
caping itu.  
"Ya. Mei Lie. Kau kenal dia...?" 
"Oh..., menyesal sekali aku tidak mengenalnya," 
jawab lelaki berpakaian biru itu sopan. 
Srrrt!  
Lelaki muda bercaping itu tiba-tiba mencabut 
pedangnya, kemudian dengan cepat membabat ke wa-
jah lelaki di depannya. 
Lelaki jangkung bertubuh kurus itu tersentak 
kaget. Dengan mata membelalak, dia berusaha menge-
lakkan serangan itu. Namun gerakan pedang lawan 
terlalu cepat, membuatnya harus menerima nasib yang 
malang. 
Cras! 
"Aaakh...!" lelaki berpakaian biru itu memekik 
keras ketika pedang lelaki Cina bercaping lebar me-
nyabet keningnya. Sesaat matanya melotot, kemudian 
ambruk tanpa nyawa. 
Pelabuhan Banyu Asin pagi itu menjadi gempar 
oleh kematian Ki Jarotono, lelaki yang mengelola pele-
langan ikan di pelabuhan itu. Anak buah Ki Jarotono 
yang menyaksikan kejadian itu, berusaha meringkus 
lelaki misterius dari Cina. Namun semuanya sia-sia. 
Mereka bukan tandingan lelaki itu. Dalam beberapa 
gebrakan saja, mereka dapat dijatuhkan. Semua tewas 
dengan kening terbabat pedang! 
"Hhh...." 
Lelaki bercaping lebar itu menghela napas. Ma-
tanya beredar tajam pada  orang-orang Jawa Dwipa 
yang mengepung dan memandangnya dengan penuh 
kebencian. Namun tak seorang pun dari para buruh 
pelabuhan atau nelayan yang berani maju. Mereka ti-
dak ingin mati sia-sia seperti anak buah Ki Jarotono. 
Lelaki muda dari Cina yang bercaping lebar itu 
pergi begitu saja, setelah memperhatikan orang-orang 
pelabuhan yang hanya mematung sambil memperhati-
kannya dengan pandangan ngeri. 
Kini pelabuhan Banyu Asin menjadi ramai sete-
lah kepergian lelaki misterius dari Cina yang telah 
membunuh Ki Jarotono dan sepuluh anak buahnya 
dalam sekali gebrakan. 
"Ilmu pedangnya sangat hebat," gumam seo-
rang dari mereka. 
"Ya! Rasanya sangat sulit untuk ditandingi," 
sambung yang lain. 
"Kita harus segera memberi tahu Kanjeng Adi-
pati." 
Dengan masih membicarakan lelaki bercaping 
lebar tadi, mereka mengurusi mayat Ki Jarotono dan 
kesepuluh anak buahnya. 
*** 
"Hai, ada apa di sana?" bisik Sena Manggala 
yang tengah menyelusuri jalan di pesisir sebelah utara. 
Matanya memandang ke arah pelabuhan. Dilihatnya 
orang-orang tengah sibuk melakukan sesuatu. "Seper-
tinya ada kejadian. Ah, aku ingin melihatnya." 
Seraya menggaruk-garuk kepala, Sena melang-
kah dengan cepat ke tempat orang-orang yang tengah 
mengangkat beberapa mayat. Dan, setelah tiba di de-
kat kerumunan, Sena menghampiri seseorang untuk 
mencari tahu. 
"Kisanak, apa yang terjadi? Mengapa mereka 
mati?" tanya Sena pada seorang kuli pelabuhan yang 
masih ikut mengerumuni sebelas mayat lelaki yang 
bernasib naas itu. 
"Baru saja orang bercaping yang datang dari 
Cina membunuh mereka," sahutnya. 
"Ya. Lelaki bercaping itu seperti orang gila," 
timpal yang lain. 
"Orang gila...?" tanya Sena dengan kening ber-
kerut. Tangannya menggaruk-garuk kepala. "Mengapa 
Kisanak mengatakan seperti orang gila?" 
"Bagaimana tidak...? Lelaki dari Cina itu  tiba-
tiba mencabut pedangnya. Lalu.... Cras, cras, cras! Ma-
tilah Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya," tukas 
lelaki bertubuh tinggi besar sambil melangkah maju. 
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening 
mendengar penuturan mereka. 
"Lelaki dari Cina?" gumamnya sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Matanya tiada henti memandang 
para kuli yang masih mengangkati mayat-mayat itu. 
Mayat-mayat yang kematiannya sangat aneh. Di ken-
ing mereka, terdapat luka babatan pedang tajam. 
"Ya. Lelaki itu berpakaian pesilat Cina berwarna 
coklat tua. Wajahnya tidak terlihat, karena capingnya 
lebar. Dia menanyakan tentang pendekar-pendekar ta-
nah Jawa Dwipa," lanjut lelaki berbadan tinggi besar 
yang bertelanjang dada. 
"Mengapa lelaki Cina itu membunuh Ki Jaroto-
no?" tanya Sena masih tak mengerti. Tangannya tetap 
menggaruk-garuk kepala. "Apakah di antara keduanya 
telah terjadi keributan?" 
"Sama sekali tidak. Bahkan Ki Jarotono nam-
pak ramah, menjawab pertanyaan lelaki bercaping le-
bar itu," jawab lelaki tadi. 
"Apa yang ditanyakan lelaki Cina itu?" 
Lelaki berbadan tinggi besar yang bertelanjang 
dada itu menceritakan semuanya. Dari saat kedatan-
gan perahu besar dari Cina yang ditumpangi lelaki 
misterius itu sampai Ki Jarotono menanyakan tujuan-
nya. Hingga akhirnya, lelaki misterius itu bertanya ten-
tang seseorang yang bernama Mei Lie. 
"Mei Lie...?" desis Sena. 
"Ya. Apakah Tuan mengenalnya?" 
Sena menganggukkan kepala. 
"Ya, aku mengenalnya. Aku pun sedang menca-
rinya," sahut Sena dengan dahi berkerut. Hm. Siapa-
kah lelaki bercaping lebar itu? Tanya Sena dalam hati. 
Mengapa dia harus membunuh orang yang tidak men-
genal Mei Lie? Ah, lalu di mana Mei Lie kini berada? 
"Apakah Tuan juga mengenal lelaki misterius 
bercaping lebar itu...?" 
Pendekar Gila menggelengkan kepala. Tangan-
nya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas pan-
jang, lalu wajahnya ditengadahkan ke langit. 
"Aneh.... Siapa lelaki bercaping lebar itu?" gu-
mam Sena. 
Kalau dia benar dari Cina, tentunya ada tujuan 
tertentu untuk mencari Mei Lie. Siapa dia? Dilihat dari 
caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang 
sembarangan. Tanya Sena lagi dalam hati. 
Sesaat Sena menggaruk-garuk kepala dengan 
mulut nyengir. 
"Sebenarnya..., justru aku yang ingin mena-
nyakan hal itu padamu. Apa Kisanak mengenalnya?" 
Sena balik bertanya dengan tangan masih menggaruk-
garuk kepala. 
"Sama sekali tidak. Dia baru saja turun dari 
kapal itu, Tuan," sahut lelaki tinggi besar sambil me-
nunjuk ke arah kapal berbendera Cina yang belum ter-
lihat ada orang lain yang keluar. Sejak tadi, tak ada 
orang yang keluar dari kapal itu. Kecuali lelaki bercap-
ing yang membunuh Ki Jarotono dan anak buahnya. 
"Hm...," gumam Sena. Matanya beralih ke arah 
kapal berbendera Cina yang telah merapat ke pelabu-
han. Namun seperti kata kuli pelabuhan, dari dalam 
kapal itu belum juga ada orang yang keluar. 
"Aneh.... Rasanya ada yang tidak beres." 
"Benar, Tuan. Coba saja periksa," saran kuli pe-
labuhan. 
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Ma-
tanya masih memandang kapal berbendera Cina yang 
nampak membuang sauh di kejauhan, tanpa terdengar 
apa-apa. 
"Benar, Tuan. Sepertinya kapal itu mencuriga-
kan," sambung yang lainnya, ikut menyarankan. 
"Hm...," gumam Sena. "Memang aneh sekali. 
Ah, bagaimana mungkin selama itu belum ada seorang 
pun juga yang keluar?" 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya nyengir. Tingkah lakunya kembali aneh seperti 
orang gila. Hal itu membuat semua orang di pelabuhan 
itu seketika memperhatikannya. Mereka terheran-
heran melihat tingkah pemuda tampan berbaju rompi 
kulit ular itu. Dengan kening berkerut, mereka beru-
saha mereka-reka siapa Sena sebenarnya. 
"Oh! Tuankah Pendekar Gila itu?" tanya lelaki 
bertubuh tinggi besar seraya menjura, diikuti yang 
lain. "Aku Wanggono, menyampaikan hormat." 
Pendekar Gila semakin menggaruk-garuk kepa-
la dengan mulut nyengir, menyaksikan Wanggono dan 
kuli pelabuhan lainnya menjura padanya. 
"Ah ah ah..., sudahlah. Tidak perlu kalian ber-
laku begitu. Bagaimana kalau kita periksa kapal itu 
bersama?" ajak Sena. 
"Setuju, Tuan. Apa pun yang Tuan perintahkan, 
kami akan melaksanakannya," jawab Wanggono. 
"Kalau begitu, kita ke kapal itu." 
Sena melangkah di depan. Diikuti oleh bebera-
pa kuli pelabuhan. Mereka ingin melihat apa yang se-
benarnya terjadi di kapal yang nampak sepi, bagai tak 
ada denyut kehidupan. 
Tentunya ketika telah dekat dengan pelabuhan, 
lelaki bercaping lebar dari dataran Cina itu membunuh 
mereka. Dengan harapan tak ada orang yang tahu 
identitasnya, hingga dia akan dapat leluasa bergerak di 
tanah Jawa Dwipa ini.  
Mata Sena membelalak lebar, ketika melihat 
pintu kapal itu. Di dalam ruang kapal, dilihatnya bebe-
rapa orang kelasi dan nakhoda tergeletak tanpa nyawa. 
Bahkan para kuli pelabuhan yang tadi menghampiri 
kapal itu bergeletakan tanpa nyawa di dek kapal. Ke-
matian mereka sama seperti yang dialami oleh Ki Jara-
tono. Di kening mereka terdapat sayatan pedang yang 
memanjang hingga pangkal hidung. 
"Oh, Hyang Jagat Dewa Batara.... Keji sekali 
perbuatannya," desis Sena setengah mengeluh. Ma-
tanya masih memandang lekat ke mayat-mayat yang 
bergelimpangan dengan luka sabetan pedang di ken-
ing. Luka itu terlihat tidak terlalu besar, namun aneh-
nya mampu membunuh orang. 
"Mungkin lelaki bercaping lebar itu pelakunya, 
Tuan," duga Wanggono. 
Sena menghela napas. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. Bibirnya digigit untuk melampiaskan ke-
geraman, setelah menyaksikan akibat tindakan manu-
sia bercaping lebar yang terlalu telengas. 
"Ya! Kurasa memang dialah pelakunya." 
"Keji sekali!" maki Wanggono. 
Sena mendekati mayat-mayat orang Cina itu. 
Diperiksanya nakhoda kapal dengan seksama. Seketi-
ka matanya membelalak, setelah mengetahui apa yang 
sebenarnya terjadi. 
"Racun!" pekiknya tertahan, menyentakkan ku-
li-kuli pelabuhan yang mengikutinya. "Celaka! Ten-
tunya orang-orang yang menolong Ki Jarotono pun 
mengalami keracunan!" 
Semua membelalakkan mata mendengar penu-
turan Sena. Tubuh mereka seperti mengejang seketika. 
Kalau benar apa yang dikatakan pendekar muda itu, 
pasti orang-orang yang mengurus mayat Ki Jarotono 
dan kesepuluh anak buahnya akan mengalami kema-
tian dalam waktu yang cepat! 
"Kita harus segera menolong mereka," kata Se-
na sambil berkelebat ke luar, diikuti oleh kuli-kuli pe-
labuhan. "Di mana rumah Ki Jarotono?" 
"Ikuti kami, Tuan," ajak Wanggono. 
Dengan wajah tegang, mereka berlari menuju 
rumah Ki Jarotono. Namun belum juga sampai, mata 
mereka membelalak. Mereka menemukan beberapa 
orang telah mati dengan tubuh membiru. 
"Celaka!" pekik Sena. "Mungkinkah kita terlam-
bat?" 
"Semoga saja masih ada yang bisa ditolong, 
Tuan," harap Wanggono. 
"Ada berapa orang yang menolong Ki Jarotono 
dan kesepuluh anak buahnya?" tanya Sena dengan 
wajah tegang, setelah menyaksikan keganasan racun 
itu. 
"Dua puluh dua orang, Tuan." 
"Celaka! Kita harus segera menolong mereka," 
kata Sena dengan wajah masih membayang kecema-
san. 
Dengan cepat mereka berlari kembali untuk 
mengejar sisa orang yang masih mungkin hidup. 
Belum jauh berlari, kembali mereka menemu-
kan sisa orang yang mengurus mayat Ki Jarotono telah 
mati. Tubuh mereka telah membiru dan kaku. 
"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apakah 
yang akan menimpa dunia?" gumam Sena, terpaku 
menyaksikan kematian yang mengenaskan. 
Orang-orang yang mengikutinya turut terdiam. 
Mata mereka membelalak tegang, menyaksikan kema-
tian tragis yang meminta tumbal berpuluh nyawa da-
lam satu hari. 
"Tuan, racun apa yang telah membuat mereka 
mati dengan waktu yang sangat cepat seperti itu?" 
tanya Wanggono. 
"Entahlah. Yang jelas, kalian jangan sampai 
menyentuh tubuh korban. Racun itu bisa menjalar me-
lalui persentuhan. Dalam bekerjanya, racun itu hanya 
memerlukan waktu yang singkat. Tak ada sepeminum 
teh," tutur Sena menerangkan. 
Semua mata kian membelalak mendengar kete-
rangan itu. Kalau racun itu sangat ganas, tak mungkin 
orang yang terkena akan luput dari kematian. 
"Tapi, Tuan...," mata Wanggono menatap Sena 
dengan cemas. "Bukankah tadi Tuan menyentuh nak-
hoda kapal? Kalau begitu, Tuan pun dalam ancaman 
maut" 
"Iya, Tuan. Bagaimana kami bisa menolong-
mu?" sambung yang lain dengan wajah cemas. 
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepa-
la. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan, dengan 
tingkah seperti orang gila. 
"Kalian tak perlu merisaukan ku. Yang penting, 
kalian jangan sesekali menyentuh tubuh korban. Nah, 
sekarang aku mau tanya, ke arah mana lelaki miste-
rius itu pergi?" 
"Dia pergi ke arah selatan, Tuan," sahut Wang-
gono. 
Sena mengangguk-angguk. Matanya kini me-
mandang ke arah selatan. Dihelanya napas dalam-
dalam, kemudian tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala. 
"Baiklah, aku harus segera mencarinya. Kuha-
rap kalian tidak menyentuh mayat-mayat itu," pesan 
Sena. Kemudian tubuhnya melesat cepat meninggal-
kan tem-pat itu. 
Semuanya terpana menyaksikan bagaimana 
pemuda gila itu berlari. Belum pernah mereka melihat 
seorang pemuda memiliki ilmu lari laksana angin. 
"Ck ck ck... Sungguh hebat," puji Wanggono di-
iringi decakan kagum. Matanya tak beralih dari arah 
Sena pergi. Begitu juga dengan yang lainnya. 
Kedai Ki Mayang Jambe yang berada di wilayah 
Kadipaten Lebak Wungu tengah ramai dikunjungi oleh 
para musafir, atau orang yang memang sengaja datang 
ke kedai itu untuk sekadar minum tuak atau makan. 
Kedai Ki Mayang Jambe memang terkenal. Tidak 
hanya terkenal dengan masakannya yang nikmat, na-
mun ada hal lain yang menjadi daya tariknya. Seorang 
gadis jelita yang menjadi penerima tamu dengan se-
nyumnya yang ramah, itu yang juga mengundang para 
tamu. 
Sepagi itu, kedai Ki Mayang Jambe telah ba-
nyak pengunjungnya. Sambil memesan makanan dan 
tuak, mereka menggoda gadis cantik anak Ki Mayang 
Jambe yang bernama Telasih. 
Seorang lelaki bercaping lebar dan berpakaian 
pesilat Cina, melangkah masuk. Bajunya panjang 
sampai di bawah lutut dengan belahan di samping ka-
nan dan kirinya. Di pundaknya bertengger sebilah pe-
dang panjang. Langkahnya begitu mantap saat mena-
paki lantai kedai yang terbuat dari kayu. 
Lelaki bercaping lebar itu mengambil tempat 
duduk. Dengan kasar tangannya menarik kursi, mem-
buat orang di sekelilingnya tersentak. Seketika, mata 
semua orang di kedai itu memandangnya. 
Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Berge-
gas didekatinya lelaki yang baru datang itu. 
"Ada yang dapat saya bantu, Tuan?" tanya Ki 
Mayang Jambe, berusaha tersenyum ramah. 
"Hm...." 
Lelaki bercaping lebar itu hanya menggumam. 
Pembawaannya nampak tenang. Kedua tangannya di-
taruh di atas meja. Dan nafasnya ditarik dalam-dalam. 
"Aku lapar. Bawakan aku nasi dan lauk-pauk," 
kata lelaki bercaping lebar itu, dengan kata-kata yang 
terdengar kaku. 
"Baik, Tuan." 
Ketika Ki Mayang Jambe hendak melangkah 
untuk mengambilkan pesanan, pundaknya ditahan 
oleh lelaki bercaping lebar itu. 
"Tunggu...!" 
"Iya, Tuan. Ada apa lagi...?" tanya Ki Mayang 
Jambe gugup. 
"Di mana aku bisa menemui Segoro Wedi?" 
Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Perta-
nyaan itu tidak segera dijawabnya. Hatinya malah ber-
tanya heran. Ada hubungan apa antara orang miste-
rius ini dengan Segoro Wedi? (Untuk mengetahui tokoh 
yang bernama Segoro Wedi, silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti"). 
"Haya.... Apa kamu tidak mendengar perta-
nyaanku, hah?!" sentak lelaki bercaping lebar. Na-
danya kelihatan marah, karena merasa pertanyaannya 
tidak digubris Ki Mayang Jambe. 
"Eh! Dengar, Tuan. Untuk apa Tuan menanya-
kan orang yang sudah mati?" Ki Mayang Jambe balik 
bertanya. Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa 
yang sebenarnya dikehendaki oleh lelaki bercaping le-
bar itu. 
"Hm, jadi dia telah mati?"   
"Benar, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe. "Sebe-
narnya ada apa, Tuan?" 
"Jangan banyaak tanya!" bentak lelaki bercap-
ing lebar dengan nada bengis. "Kamu tidak perlu tahu 
urusanku! Kamu hanya jawab. Mengerti...?" 
"Me... mengerti, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe 
terbata-bata. 
"Siapa yang telah membunuh Segoro Wedi?" Ki 
Mayang Jambe semakin heran dengan pertanyaan-
pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Pertanyaan-
pertanyaannya sangat aneh. Ada hubungan apa dia 
dengan Segoro Wedi? Ah, benar-benar lelaki aneh. 
Gumam Ki Mayang Jambe dalam hati. 
"Haya...! Kamu bisa membuatku marah, Orang 
Tua!" bentak lelaki bercaping lebar dengan kasar. Bah-
kan tangannya menggebrak meja makan, yang seketi-
ka patah menjadi dua. 
Orang yang tengah makan di sampingnya ter-
sentak dengan mata melotot marah karena makanan-
nya berantakan ke mana-mana. 
"Kurang ajar! Kunyuk dari mana yang berani 
lancang ini?! Apa tidak tahu siapa aku?!" maki lelaki 
berkumis lebat dengan pakaian hitam lengan panjang 
serta golok tersandang di pinggang. 
Lelaki berambut terurai itu bangkit dari du-
duknya. Tangan kanannya menarik golok yang terselip 
di pinggangnya. 
Srrrt! 
"Kunyuk sepertimu harus disingkirkan! 
Yeaaa...!" 
Lelaki itu siap membabatkan goloknya ke tu-
buh lelaki bercaping lebar. Namun dengan gerak cepat 
yang sulit diikuti mata, lelaki bercaping lebar itu tahu-
tahu telah meloloskan pedangnya. 
Srrrt! 
Dalam sekejap tangannya bergerak, membuat 
lelaki tinggi besar berwajah garang itu tersentak. Dia 
berusaha mengelak, namun gerakan lelaki bercaping 
lebar itu ternyata lebih cepat 
Wut! 
Cras! 
Secepat angin, pedang panjang lelaki bercaping 
lebar itu melesat ke wajah lawannya. Tak lebih dari se-
kedipan mata, pedang itu telah membabat kening lela-
ki itu. 
"Aaakh...!" lelaki berwajah garang itu memekik. 
Matanya melotot lebar. Sesaat tubuhnya mengejang 
sekarat, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. 
Menyaksikan hal itu, para pengunjung kedai 
seketika bertambah benci pada lelaki bercaping yang 
mengenakan pakaian pesilat Cina itu. Mereka meman-
dang penuh kebencian. 
"Orang asing! Lancang benar kau bertindak! 
Jangan harap kau bisa bertindak sesukamu! Di sini, 
kau hanya orang baru!" 
Srrrt! Srrrt! 
Mereka mencabut golok, siap melakukan se-
rangan ke arah lelaki bercaping yang kelihatannya ma-
sih tenang. Bahkan tangannya bergerak pelan untuk 
menyeka bekas darah korban yang membasahi mata 
pedangnya.    
"Siapa di antara kalian yang tahu keberadaan 
Mei Lie?!" bentak lelaki bercaping itu. 
"Persetan dengan orang yang kau sebutkan! 
Kau telah berani berbuat lancang di sini! Kau harus 
mampus! Seraaang...!" seru lelaki berbaju merah len-
gan panjang dengan kain sarung membelit di pinggang. 
"Heaaa...!" 
"Rencah saja tubuhnya!" 
Lima orang temannya melesat maju. Mereka 
berbadan tegap dan berwajah garang dengan kumis ti-
pis di atas bibir. Dua di antaranya memiliki jenggot 
pendek. 
Dengan golok yang berkilat seperti meminta 
guyuran darah, mereka siap membabat lelaki bercap-
ing itu. Namun belum juga bisa menyarangkan seran-
gan, lelaki bercaping lebar bergerak secepat kilat. Pe-
dang di tangannya bergerak tanpa dapat diikuti mata. 
Dalam sekali gebrak, terdengar jerit kematian yang 
menggiriskan. 
Wut! Cras!  
"Aaa...!" 
Empat orang dengan kening dibasahi darah, 
kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan 
rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi mereka saling 
beradu. Kemudian tubuh keempat lelaki itu ambruk 
bersamaan. 
Melihat kenyataan tersebut, wajah lelaki berba-
ju merah lengan panjang seketika pucat Kumisnya 
yang tebal, kini tiada artinya lagi. Matanya membelalak 
tegang. Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut 
yang tiada terkira. Begitu juga dengan satu temannya 
yang masih hidup. 
Sementara pengunjung lain yang masih duduk 
di kedai, kini bergegas meninggalkan kedai setelah 
meninggalkan uang bayaran di meja masing-masing. 
Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan lelaki as-
ing itu. Hanya dalam sekali gebrak, orang-orang persi-
latan itu dapat dibunuh. Padahal kelima orang kor-
bannya merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadi-
paten Lebak Wungu. 
"Ampun, Tuan.... Ampunilah nyawa kami yang 
tidak berharga ini," ratap lelaki berbaju merah. Semen-
tara temannya hanya menundukkan kepala, tidak be-
rani menatap lelaki dari Cina itu. 
Lelaki bercaping lebar tersenyum sinis. Tangan 
kanannya masih memegang pedang yang berlumuran 
darah. Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemu-
dian didekatinya dua lawannya yang ketakutan. 
"Katakan, di mana Mei Lie berada?!" bentaknya 
garang.  
"Ampun, Tuan. Kami tidak tahu...." 
Lelaki bercaping lebar itu mendengus. Kemu-
dian tangannya menebaskan pedang dengan cepat ke 
wajah kedua lelaki yang semakin ketakutan. Keduanya 
berusaha mengelakkan serangan itu, namun gerakan 
lelaki bercaping lebar ternyata sangat sulit untuk di-
elakkan. 
Cras, cras...! 
"Aaa...!" kedua lelaki itu memekik keras dengan 
tangan memegangi kening. Mata mereka membelalak 
dengan tubuh meregang. Lalu, ambruk tanpa nyawa. 
Telasih menjadi ketakutan menyaksikan pem-
bunuhan yang terjadi di kedai milik ayahnya. 
"Auh, Ayah...!" Telasih membenamkan kepala 
ke pundak ayahnya. Dia tak berani melihat korban 
yang begitu mengerikan di depan matanya. 
Lelaki bercaping lebar menyeka darah yang 
membasahi mata pedangnya. Kemudian dimasukkan 
pedang itu ke dalam sarungnya.  Bibirnya  tersenyum 
sinis, kemudian dengan tenang didekatinya Ki Mayang 
Jambe yang ketakutan bersama anak gadisnya. 
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh kami," ratap Ki 
Mayang Jambe. 
"Hm....," gumam lelaki bercaping lebar. "Kata-
kan, siapa yang telah membunuh Segoro Wedi? Kalau 
kau tidak mau mengatakannya, maka aku tak akan 
segan-segan membunuhmu!" 
"Ba... baik, Tuan. Orang yang mengalahkan Ki 
Segoro Wedi tak lain seorang pendekar muda yang 
tingkah lakunya persis orang gila. Dia dikenal dengan 
sebutan Pendekar Gila," ungkap  Ki Mayang Jambe 
dengan suara terbata-bata.  
"Hm..." 
Kembali lelaki bercaping lebar itu bergumam. 
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya yang 
panjang. Sebuah kantong kecil berisi uang. Diambilnya 
beberapa keping uang emas. Kemudian disodorkannya 
kepada Ki Mayang Jambe. 
"Cukupkah uang itu untuk mengganti semua-
nya?" 
"Oh! Tidak usah, Tuan. Biarlah kami yang me-
nanggungnya," Ki Mayang Jambe berusaha menolak. 
"Hm.... Kau mau menolak pemberianku?!" 
Ki Mayang Jambe semakin ketakutan menden-
gar pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Mau tak 
mau, diterimanya juga lima keping uang emas dari le-
laki itu. 
"Terima kasih, Tuan." 
Lelaki bercaping lebar Itu tak berkata apa-apa. 
Tubuhnya langsung melesat cepat, meninggalkan ke-
dai. Dengan sekali genjot, tubuhnya telah menghilang. 
"Ohhh...," Ki Mayang Jambe mengeluh lega. Se-
jak tadi, dia merasakan tekanan jiwa yang begitu dah-
syat. Bahkan hampir saja dia mati ketakutan, kalau 
saja lelaki bercaping lebar itu tidak segera meninggal-
kan kedainya. 
Dengan masih takut-takut, Telasih mengangkat 
kepalanya yang tadi dibenamkan di pundak ayahnya. 
*** 
Ketika Ki Mayang Jambe hampir menyentuh 
mayat salah seorang korban lelaki bercaping lebar, ti-
ba-tiba.... 
"Jangan disentuh, Ki!" 
Ki Mayang Jambe tersentak, dan segera mengu-
rungkan niat untuk menyentuh mayat korban lelaki 
bercaping lebar. Matanya seketika memandang seorang 
pemuda tampan berpakaian kulit ular tanpa lengan 
yang tiba-tiba telah berada di ambang pintu kedai. Pe-
muda itu menggaruk-garuk kepala dengan mulut cen-
gengesan. Tingkahnya persis orang gila. 
"Korban lagi. Uhhh" Sena menggaruk-garuk ke-
pala sambil mendekati mayat-mayat yang tubuhnya te-
lah membiru. 
Ki Mayang Jambe dan Telasih terus memperha-
tikan Sena yang menarik perhatian mereka. Kening 
anak dan bapak itu mengerut, berusaha  mengingat-
ingat siapa pemuda tampan yang bertingkah laku gila 
itu. 
"Ki, apakah orang bercaping lebar yang telah 
melakukan ini semua?" tanya Sena seraya memandang 
Ki Mayang Jambe. 
"Benar, Tuan. Dan kalau tidak salah, apakah 
Tuan yang sering disebut Pendekar Gila?" balik tanya 
Ki Mayang Jambe. Matanya masih memperhatikan 
dengan seksama sosok pemuda tampan yang tingkah-
nya lucu dan konyol itu. 
Sena tersenyum-senyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kemudian tangannya menggaruk-
garuk kepala. 
"Ah, rasanya julukan itu terlalu tinggi, Ki. Su-
dahlah, tak perlu kau permasalahkan hal itu," ucap-
nya merendah. 
Kemudian Sena memeriksa mayat-mayat itu 
dengan seksama. Semua korban memiliki kesamaan. 
Selalu saja ada sayatan di kening. Sayatan itu sebe-
narnya tidak berbahaya,  sebab hanya merobek kulit. 
Tapi dengan racun yang ganas, luka itu benar-benar 
dapat mematikan. Jangankan yang terluka, orang yang 
menyentuh saja bisa mati dalam sekejap. 
"Hm, racun apa yang digunakan lelaki miste-
rius itu? Sungguh ganas sekali," gumam Sena dengan 
tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya masih 
memperhatikan dengan seksama mayat korban yang 
membiru. 
Mata Telasih langsung membelalak ketika men-
dengar kalau korban di kedai milik ayahnya keracu-
nan. 
"Jadi mereka keracunan?!" tanya Ki Mayang 
Jambe setengah tidak percaya. 
"Ya! Racun yang ganas. Kalau saja kau tadi 
menyentuhnya, kau akan mati pula, Ki," tutur Sena, 
menjelaskan. 
Mata Ki Mayang Jambe membelalak tegang. 
Tubuhnya bergidik jika ingat ucapan Sena dan ingat 
bagaimana tadi dia akan menyentuh tubuh korban. 
Kalau sempat disentuhnya, celakalah dia. Tentunya 
kini dia telah mati keracunan. 
"Kalau kau tak percaya, kau boleh mencobanya 
dengan binatang hidup, Ki. Ambillah ayam...," kata Se-
na, berusaha meyakinkan. 
Ki Mayang Jambe segera pergi ke belakang. Ti-
dak lama kemudian, dia telah kembali dengan mem-
bawa seekor ayam. Dilemparkannya ayam itu ke arah 
mayat Seketika ayam itu menggelepar-gelepar sekarat, 
kemudian kaku tanpa nyawa! 
"Hih...!" Ki Mayang Jambe berdesis ngeri. Ma-
tanya bersinar tegang, setelah menyaksikan keadaan 
ayam yang sangat mengerikan. Selama hidupnya baru 
kali ini dia menyaksikan akibat dari racun yang begitu 
ganas. Belum ada orang Jawa Dwipa yang mampu 
membuat racun begitu ganas. Tak ada sepeminum teh, 
orang akan mati. 
"Hah?! Tidak...!" pekik Telasih, kembali ketaku-
tan menyaksikan bagaimana ayam jago yang dilempar-
kan ayahnya seketika mati. 
"Kau sudah percaya, Ki?" tanya Sena, masih 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Ki Mayang Jambe mengangguk. Matanya masih 
terlihat memancarkan kengerian, saat memandang 
ayam yang kini bagai terpanggang hangus. Mengerikan 
sekali! 
"Ke arah mana lelaki bercaping itu pergi, Ki?" 
tanya Sena setelah lama termenung. Matanya menya-
pu ke luar kedai, pada kerumunan orang yang ingin 
melihat suasana di dalam. 
"Tuan, orang yang bercaping tadi menanyakan 
masalah Ki Segoro Wedi. Juga menanyakan tentang 
Tuan dan... Mei... ah! Siapa ya...?" Ki Mayang Jambe 
berusaha mengingat-ingat ucapan lelaki bercaping le-
bar, namun sulit sekali untuk menyebutkannya.  
"Mei Lie...?" tanya Sena.  
"Ya, ya! Benar...! Nona Mei Lie." 
"Hm...," gumam Sena perlahan. "Aku tidak tahu 
siapa dia sebenarnya. Dan ada hubungan apa antara 
dia dengan Mei Lie. Semua orang yang ditemuinya di-
tanya tentang Mei Lie. Lalu kalau tidak tahu, dia akan 
membunuhnya." 
"Oh! Benar, Tuan. Orang-orang ini pun mu-
lanya ditanya tentang Nona Mei Lie. Dan mereka tidak 
dapat menjawab. Itu sebabnya mereka dibunuh," tim-
pal Ki Mayang Jambe membenarkan. 
Kepala Sena mengangguk-angguk. Kemudian 
tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya 
masih memandang ke luar. Di sana, orang-orang 
hanya berkerumun tanpa ada yang berani masuk 
"Hm.... Sangat berbahaya. Sungguh sebuah 
bencana besar. Tentunya ada maksud-maksud tak 
baik pada orang itu...," gumam Sena sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Bagaimana orang tahu di mana Mei 
Lie? Melihatnya saja belum pernah. Aku sendiri, sam-
pai saat ini belum tahu di mana dia berada."  
"Jadi Tuan mengenal Nona Mei Lie?" 
"Ya," sahut Sena singkat. "Ki, aku harus segera 
pergi. Kalau kau ingin menyingkirkan mayat-mayat ini, 
gunakanlah kayu yang panjang. Terima kasih atas ke-
teranganmu." 
Usai berkata demikian, Pendekar Gila melang-
kah ke arah pintu. Dengan gerak-gerik seperti orang 
gila, tempat itu ditinggalkannya. Semua orang seketika 
memperhatikannya. Mata mereka menyipit, menyaksi-
kan Sena yang mengingatkan mereka pada desas-
desus tentang seorang pendekar muda yang berting-
kah seperti orang gila. 
"Mungkin dia orangnya," bisik salah seorang 
warga. 
"Coba kita tanyakan pada Ki Mayang Jambe," 
saran warga lainnya. 
Mereka yang semula hanya berdiri di luar, ma-
suk ke dalam kedai untuk menanyakan Ki Mayang 
Jambe. Sekaligus ingin melihat apa yang telah terjadi. 
Mata mereka membelalak, setelah menyaksikan mayat 
bergelimpangan dengan keadaan yang sangat mengeri-
kan. Ketika salah seorang dari mereka hendak meme-
gang, dengan cepat Ki Mayang Jambe mencegah. 
"Jangan sentuh mereka...!" 
"Kenapa, Ki?" 
"Mereka keracunan! Apakah kalian tidak meli-
hat ayam itu?" 
Semua memandang ke arah ayam yang terlihat 
hangus. Mata mereka kian membelalak menyaksikan 
kejadian mengerikan yang tampak di hadapan mereka. 
Namun ada juga salah seorang dari mereka yang be-
lum percaya. Dengan nekat, orang itu memegang tu-
buh salah seorang korban yang merupakan sauda-
ranya. Seketika itu juga.... 
"Akh...!" orang itu memekik pendek. Tubuhnya 
mengepulkan asap laksana terbakar. Matanya melotot 
bagai hendak keluar, kemudian ambruk dan mati. 
"Itulah orang yang tidak mau percaya!" rutuk Ki 
Mayang Jambe kesal. Dia sudah memperingatkan, tapi 
masih saja orang itu nekat menyentuh korban. 
Sementara itu, Sena semakin jauh meninggal-
kan kedai Ki Mayang Jambe. Setelah jauh dari orang-
orang yang tadi berkerumun di luar kedai, tubuhnya 
segera berkelebat cepat untuk memburu lelaki miste-
rius bercaping lebar. 
Hembusan angin pagi bertiup sejuk Diwarnai 
oleh nyanyian burung yang riang, menyambut kehadi-
ran matahari yang hadir kembali untuk menyinari 
bumi. Embun-embun belum semuanya pupus dari re-
rumputan dan daun pohon. Dari kejauhan terdengar 
teriakan sengit dua wanita, memporak-porandakan 
kedamaian pagi. 
"Ceaaat...!" 
"Heaaa...!" 
Dua wanita muda dengan tangan memegang 
pedang, nampak tengah bergerak lincah. Tubuh mere-
ka bersalto ke udara, lalu menggerakkan pedang mas-
ing-masing. Gemuruh air terjun di samping mereka, 
kalah oleh jeritan keduanya yang menggelegar. 
Wut, wut..! 
Trang! 
"Hiaaa...!" 
"Yeaaat...!" 
Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka 
melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya ber-
jumpalitan di udara beberapa kali, sebelum kaki-kaki 
mereka yang mungil kembali menapak di batu yang li-
cin. 
Trap! 
Kedua wanita muda dan cantik itu sating pan-
dang. Pedang di tangan mereka kini disilangkan di de-
pan dada. Secara bersamaan tangan kiri mereka dige-
rakkan ke depan, melakukan gerakan silat. Sedangkan 
kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke samping. 
Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring. 
"Bersiaplah, Mei Lie.... Kita harus melakukan 
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'!" seru wanita berbaju 
merah jambu yang bertubuh sintal. Wanita muda yang 
cantik itu adalah Nyi Bangil (Baca serial Pendekar Gila 
dalam episode "Suling Naga Sakti"). 
"Aku telah siap, Kak," sahut gadis Cina berpa-
kaian warna hijau daun yang dipanggil Mei Lie. Wanita 
cantik berkulit kuning langsat inilah yang telah me-
nambat hati Sena Manggala atau Pendekar Gila sejak 
pertemuan pertama. 
"'Tebasan Pedang Bidadari'. Heaaa...!" 
"Hiaaat...!" 
Tubuh Nyi Bangil melesat dan bersalto di uda-
ra, laksana seekor burung seriti yang lincah. Tangan 
kirinya bergerak melakukan pukulan dan tangkisan. 
Sedangkan tangan kanannya menebaskan pedang 
dengan cepat, sampai pedangnya tidak terlihat. 
"Hiaaat..!" 
Wut wut..! 
Pedang di tangan Nyi Bangil menebas air terjun 
yang ada di sampingnya. Namun air itu masih saja 
terpercik pertanda gerakannya belum sempurna. 
"Hiaaa...!" Mei Lie pun mencelat, lalu bersalto di 
udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemu-
dian disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.  
Wut..! Prat! 
Air terjun masih terpercik, menandakan gera-
kannya juga belum sempurna. Namun Mei Lie tak 
puas begitu saja. Setelah bersalto mundur di udara, 
tubuhnya kembali mencelat dan membabatkan pe-
dangnya ke air terjun. 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Kali ini air terjun itu tidak sedikit pun terper-
cik, membuat mata Nyi Bangil membelalak. Mulutnya 
menganga tanpa sadar, menyaksikan hasil yang telah 
diperoleh Mei Lie. 
Tubuh Mei Lie bersalto ke belakang sambil 
memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian ka-
kinya kembali hinggap di atas batu yang licin. Dengan 
tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke dalam 
sarung. 
"Bagaimana, Kak?" 
"Hebat! Kau telah menguasainya, Mei Lie," puji 
Nyi Bangil dengan bibir tersenyum. Wajahnya yang 
nampak cerah, menggambarkan kegembiraan. 
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie tak yakin. 
"Ya! Bukankah kau telah membacanya sendiri, 
bahwa jika air terjun itu tak terpercik, itu berarti kau 
telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'." 
"Bolehkah aku mencobanya lagi, Kak?" pinta 
Mei Lie. 
"Lakukanlah." 
Mei Lie mencabut pedangnya. Tangan kanan-
nya ditarik ke belakang. Sedangkan tangan kirinya di-
gerakkan di depan tubuh. Jari-jari tangan kiri merapat 
dengan telapak tangan menghadap ke depan. Matanya 
memandang tajam ke arah air terjun. Nafasnya diatur 
sebaik mungkin. 
"Heaaat..!" Mei Lie menekan tangan kirinya ke 
depan, lalu diputar dengan pelan. Setelah itu, bersa-
maan dengan hentakan tangan kiri, tubuhnya berkele-
bat ke udara. Pedang di tangan kanannya digerak-kan 
dengan cepat.  
Wuttt! 
Kembali mata Nyi Bangil membelalak, menyak-
sikan air terjun itu sedikit pun tak terpercik oleh sabe-
tan pedang Mei Lie. Hal itu menandakan kalau Mei Lie 
benar-benar telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang 
Bidadari', yang mereka pelajari dari kitab 'Ilmu Pedang 
Bidadari'. 
"Hebat! Kau benar-benar telah berhasil, Mei 
Lie!" seru Nyi Bangil. Tanpa sadar, tangannya berte-
puk. Kepalanya menggeleng-geleng karena kekaguman 
yang begitu saja datang. 
"Oh! Terima kasih, Kak Semua ini atas bantuan 
Kakak" 
Nyi Bangil tersenyum, kemudian melompat ke 
daratan. Diikuti oleh Mei Lie. 
"Kau memang hebat, Mei Lie. Semua itu karena 
kemauanmu yang keras, bukan karena aku. Buktinya 
sekian tahun aku tidak mampu juga menguasai jurus 
'Tebasan Pedang Bidadari'." 
"Ah, Kakak terlalu merendah," tukas Mei Lie 
dengan wajah tersipu malu. Pipinya merona merah. 
"Kau harus memperdalam jurus itu, Mei Lie. 
Setelah jurus itu benar-benar dikuasai, barulah kau 
akan mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Se-
buah ilmu pedang yang dahsyat...," ujar Nyi Bangil se-
raya merangkul pundak gadis Cina yang cantik dan te-
lah diangkat adik olehnya. Diajaknya Mei Lie melang-
kah. 
"Mampukah aku mempelajarinya, Kak?" 
"Mengapa tidak?" balik tanya Nyi Bangil seraya 
memandang Mei Lie dengan bibir tersenyum. "Kalau 
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari' telah dikuasai, kau 
pun akan mampu menguasai jurus pamungkasnya." 
"Oh, benarkah?" tanya Mei Lie sambil memba-
las tatapan Nyi Bangil. 
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Tan-
gannya kian erat merangkul pundak Mei Lie. 
"Ya. Aku yakin, kaulah yang berjodoh dengan 
kitab itu. Kelak jika masanya tiba, kau akan menjadi 
pendekar wanita yang sulit mendapat tandingan." 
Mei Lie menundukkan kepala. Hatinya memang 
ingin sekali menguasai jurus-jurus sakti itu. Jika dia 
telah menguasai jurus-jurus sakti itu, tentunya tidak 
akan malu berjalan sejajar dengan Pendekar Gila yang 
sakti. 
Ah, di manakah dia sekarang? Keluh Mei Lie 
dalam hati, ketika teringat kembali pada pendekar 
muda itu. Sena memang tak dapat dilupakannya. Cin-
ta itu datang dan membelenggu hatinya, sejak awal 
per-temuan mereka. Rasanya ingin secepatnya Mei Lie 
menguasai jurus-jurus sakti itu, agar dia dapat berte-
mu segera dengan Sena dan bisa melangkah seiring 
dengan pendekar gagah itu (Silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode pertama yang berjudul "Suling 
Naga Sakti"). 
Mei Lie tersenyum-senyum seorang diri. Hal itu 
membuat Nyi Bangil tersenyum. 
"Hati-hati, Mei Lie. Nanti kau benar-benar gila 
seperti Sena. Hi hi hi...!" Nyi Bangil tertawa.  
Mei Lie tersipu-sipu. 
"Ah, Kakak..." 
"Sudahlah, jangan kau pikirkan Sena dulu. Ke-
lak jika kau telah menguasai semuanya, kau pun akan 
dapat menemuinya. Dan kau tidak akan merasa ren-
dah diri berjalan seiring dengannya. Ingatlah, jika me-
mang kalian jodoh, tentunya kalian akan bersatu," tu-
tur Nyi Bangil. 
Mei Lie menundukkan kepala makin dalam. Pi-
pinya merona merah dan bibirnya tersipu-sipu. Ah, 
benarkah memang dia jodohku? Duh, Jagat Dewa Ba-
tara, satukanlah aku dengannya. Terus terang, aku 
mencintainya. Aku ingin berdampingan dengannya un-
tuk selama-lamanya. Hyang Widhi kabulkanlah per-
mohonanku. Harap Mei Lie dalam hati. 
"Wah wah wah...! Ngelamun lagi...," seloroh Nyi 
Bangil, membuat Mei Lie kembali tersipu-sipu. "Sudah-
lah, jangan terlalu dipikirkan. Kita harus makan siang 
dulu. Ayo...." 
Dengan tertawa-tawa ceria, keduanya mening-
galkan air terjun yang digunakan untuk latihan. Mere-
ka tampak sangat akrab sekali, seperti kakak beradik 
saja. Dan itu pula yang membuat Mei Lie dapat melu-
pakan kematian ayahnya ketika Segoro Wedi merajale-
la. 
*** 
Di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari daun 
pandan yang terletak di tengah hutan dekat air terjun 
yang biasa digunakan oleh Mei Lie dan Nyi Bangil ber-
latih, tiga wanita muda yang cantik tampak tengah du-
duk bersila di atas tikar pandan. 
Yang seorang berbaju merah jambu dengan 
rambut tergerai bebas, dan berikat kepala berwarna 
merah jambu pula. Dialah Nyi Bangil. Seorang lagi 
berbaju hijau daun dengan lengan melebar seperti len-
gan baju gadis Cina. Gadis ini tidak lain Mei Lie. Se-
mentara seorang lagi, adalah seorang gadis cantik ber-
pakaian warna biru laut. Rambutnya terurai, dengan 
ikat kepala berwarna biru tua. Dia adalah adik seper-
guruan Nyi Bangil, bernama Lira Kanti. 
Ketiga gadis cantik itu tengah menghadapi tiga 
piring yang terbuat dari tanah, berisikan nasi dengan 
ikan bakar. Mereka nampaknya tengah makan siang. 
"Dari mana kau mendapatkan ikan, Lira?" 
tanya Nyi Bangil. 
"Dari pasar, Kak. Oh, ya. Tadi aku mendengar 
sebuah berita yang menarik," kata Lira Kanti. 
"Berita...?" gumam Mei Lie dengan mata me-
mandang Lira Kanti.  
"Ya." 
"Berita apa, Lira?" tanya Nyi Bangil.  
"Menyangkut masalah Kak Mei Lie." 
Mei Lie dan Nyi Bangil saling pandang, kemu-
dian pandangan mereka tertuju pada Lira Kanti yang 
tetap menyantap makanannya. Sedangkan keduanya 
justru menghentikan makan. 
"Coba kau terangkan, Lira," pinta Nyi Bangil. 
Lira Kanti tergesa menelan makanannya. Diambilnya 
cangkir yang terbuat dari tanah. Setelah minum bebe-
rapa teguk Lira Kanti menghentikan makannya. Na-
fasnya diatur sesaat, sebelum menuturkan berita yang 
sempat didengarnya. 
"Saat ini rimba persilatan tengah geger oleh be-
rita yang menyebutkan bahwa, barang siapa yang bisa 
memperistri Kak Mei Lie, maka orang itu akan menjadi 
seorang pendekar yang tiada tandingannya. Begitulah 
berita pertama."  
"Hah...?!" 
Mei Lie dan Nyi Bangil terpana. Keduanya kem-
bali saling pandang dengan kening berkerut. Kemudian 
mereka sama-sama memandang Lira Kanti kembali. 
"Bagaimana mungkin, Lira?" tanya Mei Lie, ma-
sih mengerutkan kening. "Aku bukan bidadari atau 
dewi. Aku manusia biasa. Mengapa aku disamakan 
dengan Dewi Kuan Im yang membawa  keberuntun-
gan?" 
"Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Namun 
katanya, pada pusar Kakak terdapat sebuah tanda ka-
lau Kak Mei Lie adalah titisan dari Dewi Kuan Im." 
"Benarkah itu?" tanya Nyi Bangil. Pandangan-
nya kini tertuju ke arah Mei Lie. "Coba aku lihat." 
Dengan perasaan tak mengerti, Mei Lie segera 
membuka bajunya. 
Mata Nyi Bangil dan Lira Kanti membelalak, ke-
tika melihat sebuah gambar bunga Wijaya Kesuma, 
tanda Dewi Kuan Im. Gambar itu berwarna emas, se-
hingga tidak begitu kentara di kulit Mei Lie yang kun-
ing langsat 
"Oh, benar juga," desis Nyi Bangil. "Bagaimana 
mungkin kau tidak mengetahuinya, Mei Lie?" 
"Entahlah, Kak. Aku tidak peduli dengan gam-
bar yang memang sudah ada sejak kecil. Mungkin 
gambar ini pula yang menyebabkan Kauw Cien Lung 
memburuku," tutur Mei Lie. 
"Kauw Cien Lung? Siapa dia...?" tanya Nyi Ban-
gil. 
"Seorang lelaki muda berilmu tinggi. Dia juga 
memiliki ilmu siluman yang mampu mengubah wujud-
nya menjadi singa. Itu sebabnya dia dijuluki Houw 
San, atau Singa Jantan. Ilmu pedangnya sangat hebat" 
"Apakah dia mengenakan caping lebar dan ber-
pakaian coklat tua...?" tanya Lira Kanti, membuat ma-
ta Mei Lie membelalak. 
"Benar! Dari mana kau tahu, Lira?" tanya Mei 
Lie kaget 
"Baru saja hendak kuceritakan padamu. Bahwa 
orang yang Kakak sebut, kini telah berada di tanah 
Jawa Dwipa ini. Dia tengah mencari Kakak dan Pende-
kar Gila," tutur Lira, menerangkan apa yang didengar-
nya. 
"Apa...?!" pekik Mei Lie  dan Nyi Bangil berba-
reng. 
"Untuk apa dia mencari Pendekar Gila?" sam-
bung Nyi Bangil. 
"Dia menyangka kalau Kak Mei Lie bersama 
Sena," jawab Lira Kanti menegaskan. 
"Oh...," keluh Mei Lie. "Hyang Widhi, lindungi-
lah Sena. Aku takut, Kak...." 
Nyi Bangil menghela napas. 
"Tak perlu kau takutkan, Mei Lie. Sena bukan-
lah orang sembarangan. Ilmunya tinggi." 
"Tapi, Kauw Cien Lung berilmu siluman, Kak. 
Ilmu pedangnya juga sangat sulit ditandingi. Di negeri 
kami, tak ada yang mampu melawannya. Bahkan kai-
sar pun sangat menghormatinya," jelas Mei Lie dengan 
nada semakin cemas. 
Nyi Bangil dan Lira Kanti terdiam. Keduanya 
merasakan bagaimana perasaan Mei Lie saat itu. Ten-
tunya gadis Cina itu sangat mengkhawatirkan kesela-
matan Pendekar Gila. Itu dapat dimaklumi, sebab Mei 
Lie memang mencintai Sena. 
"Kita berdoa saja, Mei Lie. Dan aku yakin, kalau 
kau telah menguasai jurus 'Pedang Tebasan Batin', 
kau akan mampu mengalahkannya. Untuk itulah, kau 
harus bisa menguasai jurus pamungkas itu," hibur Nyi 
Bangil, sekaligus menghibur dirinya sendiri 
"Akan kucoba, Kak." 
"Apa lagi yang kau dapatkan, Lira?" tanya Nyi 
Bangil. 
Lira Kanti mengerutkan kening, mengingat-
ingat kembali berita yang didengarnya dari orang-
orang di pasar. 
"Lelaki bercaping lebar itu membunuh banyak 
orang," katanya setelah berhasil mengingat-ingat 
"Orang yang ditemuinya, selalu ditanya di mana Kak 
Mei Lie. Jika mereka menjawab tidak, langsung dibu-
nuh. Dia juga terus mencari para pendekar untuk di-
ajak bertarung." 
Nyi Bangil menghela napas mendengar penutu-
ran adik seperguruannya itu. Baru saja masalah Sego-
ro Wedi usai, kini ada lagi orang yang tindakannya ke-
ji. Bahkan lebih keji dibandingkan Segoro Wedi. 
Ingat akan Segoro Wedi, tidak terasa Nyi Bangil 
menitikkan air mata. Lelaki itu memang sangat diben-
cinya. Tapi sekaligus dicintainya. Bagaimanapun juga, 
dia telah merasakan pelukan dan kehangatan cinta 
Segoro Wedi. Kalau saja Segoro Wedi mau memperistri 
nya, tentunya tak akan terjadi derita seperti itu. 
Semua terdiam, membisu dengan pikiran mas-
ing-masing. Lama keadaan hening itu terjadi. 
"Aku harus segera menamatkan kitab itu, Kak. 
Aku khawatir tindakannya akan semakin merajalela," 
ujar Mei Lie, memecahkan kebisuan. 
"Aku mengerti, Mei Lie. Tenanglah... Mempela-
jari ilmu tingkat tinggi tidak semudah berbicara. Terle-
bih mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Jan-
gankan kita, guruku saja perlu bertahun-tahun untuk 
menguasainya. Sampai beliau meninggal, ilmu itu be-
lum juga bisa dikuasainya. Namun semoga kau mam-
pu mempelajarinya, Mei Lie." 
Mei Lie tersenyum. Dipeluknya tubuh kakak 
angkatnya itu erat-erat. 
"Doamu akan menambah kemampuanku, Kak. 
Semoga atas doamu, aku dapat secepatnya menguasai 
jurus tersebut" 
"Ya. Memang itu yang kuharapkan," kata Nyi 
Bangil. 
"Nanti sore, aku akan mempelajarinya. Boleh-
kah, Kak?" 
Nyi Bangil tersenyum. 
"Kenapa tidak? Kau adalah adikku. Maka kau 
pun berhak mempelajari Kitab Ilmu Pedang Bidadari. 
Siapa pun yang akan mampu menguasai, dialah pewa-
ris 'Ilmu Pedang Bidadari'," tutur Nyi Bangil dengan 
senyum masih menghias bibirnya. 
"Oh, terima kasih, Kak." 
"Jangan berterima kasih padaku, Mei Lie. Tapi 
berterima kasihlah  pada Dewi Keberuntungan, Dewi 
Kuan Im, yang telah menitis padamu," ujar Nyi Bangil 
sambil membalas pelukan adik angkatnya. "Ayo kita 
teruskan makan." 
Dengan penuh persaudaraan, ketiganya kemba-
li  melanjutkan makan siang yang sempat tertunda. 
Mereka makan dengan lahap.  Sesekali bibir mereka 
menyunggingkan senyum. 
Angin siang berhembus pelan, membawa alu-
nan mayapada yang mendayu. Meski terik mentari lak-
sana membakar, namun hawa sejuk mampu membuat 
kesegaran. Sepertinya, alam turut berdoa untuk Mei 
Lie yang di hatinya tersimpan semangat. Semangat un-
tuk mempelajari jurus pamungkas 'Pedang Tebasan 
Batin'. 
Kehadiran lelaki misterius bercaping lebar den-
gan sepak terjangnya, membuat orang-orang persilatan 
bagai ditantang. Salah satunya adalah Ki Tunggul Ma-
nik. Ketua Perguruan Teratai Putih itu benar-benar 
marah mendengar berita tentang lelaki itu. Karena itu, 
Ki Tunggul Manik pergi meninggalkan perguruannya 
untuk mencari lelaki bercaping dari Cina. 
Semilir angin sore menerbangkan debu-debu di 
Lembah Kancah Wala. Tampak dua orang lelaki siap 
untuk melakukan pertarungan. Seorang lelaki seten-
gah baya berjubah putih dengan rambut digelung. Ikat 
kepalanya putih, bergambar teratai. Begitu juga den-
gan simbul di dada sebelah kiri. Lelaki itu tak lain Ki 
Tunggul Manik, Ketua Perguruan Teratai Putih. 
Sementara lawannya adalah seorang lelaki ber-
jubah coklat tua dengan jubah pesilat Cina. Kepalanya 
ditutupi oleh caping lebar, sehingga sulit bagi Ki Tung-
gul Manik untuk mengenali wajah orang itu. 
"Kisanak.., apakah kau datang dari jauh sema-
ta-mata untuk membantai orang-orang persilatan di 
tanah Jawa Dwipa ini?!" tanya Ki Tunggul Manik. Ma-
tanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan lelaki 
bercaping lebar. 
"Hm...."  
Lelaki bercaping lebar itu hanya bergumam. 
Tangannya masih bersidekap. Sepertinya, dia sangat 
merendahkan lelaki setengah baya di hadapannya, 
meski tangannya menggenggam sebuah senjata ber-
bentuk tombak pendek bermata dua. 
"Jika itu memang tujuanmu, aku Tunggul Ma-
nik tak akan tinggal diam!" dengus Ki Tunggul Manik 
"Hm... Kau seorang pendekar?" tanya lelaki ber-
caping lebar dengan suara sinis dan berat. 
"Benar!" 
"Hm.... Kau tahu di mana Pendekar Gila?" 
Mata Ki Tunggul Manik terbelalak mendengar 
nama Pendekar Gila disebut-sebut oleh lelaki itu. Na-
fasnya mendengus dengan memburu. Tangannya yang 
memegang tombak bermata dua, siap melakukan se-
rangan. 
"Untuk apa kau mencarinya?!" tanya Ki Tung-
gul Manik. 
"Kau kenal dengannya?" 
"Ya! Dia sahabatku," jawab Ki Tunggul Manik 
masih waspada. 
"Bagus! Katakan padanya, aku ingin bertarung 
dengannya! Dia harus mati di tanganku!" 
Sombong dan terdengar merendahkan sekali 
ucapan lelaki bercaping lebar itu. Seakan ilmunya san-
gat tinggi, sehingga berkata begitu sombong hendak 
membunuh Pendekar Gila. Hal itu juga yang membuat 
Ki Tunggul Manik kian gusar. 
"Kurang ajar! Rupanya kau terlalu sombong, 
Orang Asing! Kalaupun bisa membunuhku, itu belum 
berarti kau akan mampu mengalahkannya! Hadapi 
aku dulu...!" tantang Ki Tunggul Manik sengit 
"Hm, begitu? Baiklah kalau itu kemauanmu. 
Bersiaplah!" 
"Aku sudah siap!" 
Usai berkata demikian, Ki Tunggul Manik sege-
ra menarik kaki kirinya dua langkah ke belakang. 
Tombak pendek bermata dua di tangan kanannya di-
putar dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan 
jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tan-
gannya memukul ke arah la wan. 
Sementara itu, lelaki bercaping lebar seperti tak 
menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki Tunggul 
Manik. Dia tetap bersidekap dengan tenang dan me-
mandang Ki Tunggul Manik yang siap menyerang. 
"Hm...," gumam lelaki bercaping lebar itu. Ke-
mudian tangannya yang bersidekap membuka. Tangan 
kanan bergerak ke belakang, lalu melolos pedang dari 
sarungnya. 
Wut, wut..! 
Pedang panjang yang telah banyak memakan 
korban itu digerakkannya. Dari pedang itu, memancar 
sinar putih kebiru-biruan tertimpa sinar matahari. Di-
ciumnya pedang itu, kemudian digerakkan ke samping 
kanan. Itulah jurus 'Tebasan Pedang Membelah Mega'. 
Sebuah jurus yang telah banyak memakan korban.  
Ki Tunggul Manik yang sudah mendengar se-
pak tenang lelaki di hadapannya, tidak mau gegabah. 
Tombak pendek bermata dua miliknya diputar cepat. 
Mengubah tombak itu menjadi baling-baling yang 
membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan 
mengggelegar, Ki Tunggul Manik menyerang dengan 
jurus yang tak kalah hebat bernama 'Perisai Raga Me-
nyambar Nyawa'. 
"Hiaaa...!" 
"Hm...."  
Lelaki bercaping lebar itu bergumam perlahan. 
Kemudian pedang di tangan kanannya digerakkan 
dengan cepat membabat ke depan dan ke samping. 
Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada. 
"Hiaaa...!" 
Ki Tunggul Manik mulai melabrak. Tombak 
pendek bermata dua berdesing untuk menembus dada 
lawan. 
Tring! 
Dengan cepat lelaki bercaping lebar memba-
batkan pedang ke senjata lawan. Kemudian segera ba-
las menyerang dengan tebasan dari atas ke bawah. 
"Heaaat..!" 
Wut! 
Tubuh Ki Tunggul Manik segera menyurut ke 
samping. Tubuhnya dimiringkan dengan cepat, kemu-
dian tombak pendek bermata dua disapukan ke arah 
lawan dengan jurus 'Sapuan Tombak Memenggal Ka-
rang'. 
Tring! 
"Hiaa...!" 
"Ups!" 
Ki Tunggul Manik berusaha menyerang dengan 
cepat agar lawan tidak mendapat peluang. Tombaknya 
terus menusuk dan membabat ke tubuh lawan dan se-
sekali menangkis babatan pedang lawan. 
"Hiaaat..!" 
"Yeaaa!" 
Keduanya terus berkelebat serta saling memba-
bat dan menusukkan senjata masing-masing. Ki Tung-
gul Manik yang tidak mau mati percuma seperti kor-
ban lelaki bercaping, berusaha mengimbangi serangan 
lawan. Tombak pendeknya digerakkan dengan cepat 
"Hiaaa...!" Ki Tunggul Manik mulai melabrak. 
Tombak pendek bermata duanya berdesing, mengarah 
ke dada lelaki bercaping bambu.  
Dengan tak kalah sigapnya, lelaki bercaping le-
bar itu membabatkan pedangnya ke senjata lawan.... 
Tring! Terdengar suara berdenting yang ditim-
bulkan akibat benturan kedua senjata. 
Wut, wut..! 
Tring! Trang...! 
"Heaaa...!" 
Ki Tunggul Manik telah berusaha sekuat tenaga 
untuk dapat mengimbangi serangan lawan. Namun 
pedang lawan yang menebarkan racun ganas, mem-
buat lelaki setengah baya itu agak lemah. Serangan-
serangannya tidak segarang sebelumnya. Dadanya te-
rasa sesak. Matanya malah berkunang-kunang. 
"Racun!" pekik Ki Tunggul Manik dengan mata 
mengerjap-ngerjap untuk mengusir rasa pening yang 
tiba-tiba mendera. Tidak disangkanya kalau pedang 
lawan ternyata beracun. Dengan cepat Ki Tunggul Ma-
nik  menekan tombol di tombak pendek bermata dua 
miliknya. 
Srrrt..! 
Dengan menggunakan jurus 'Ekor Naga Menu-
suk Gunung', Ki Tunggul Manik kembali menyerang. 
Mata tombaknya tiba-tiba meluncur dari batang tom-
bak, dan terikat pada rantai baja yang panjang. 
"Heit..!" 
Lelaki bercaping lebar tersentak kaget. Tubuh-
nya melompat mundur dengan cepat. Kalau saja gera-
kan itu tak dilakukannya, tentu perutnya akan ter-
tembus oleh mata tombak yang tiba-tiba melesat cepat. 
Melihat lawannya kaget, Ki Tunggul Manik tak 
menyia-nyiakan kesempatan. Setelah menarik rantai 
penghubung mata tombak ke belakang, dia kembali 
mengubah arah tombak. Kemudian setelah mata tom-
bak yang satunya berada di depan, Ki Tunggul Manik 
kembali menekan tombol di batang tombak. 
Srrrt! 
Mata tombak kembali melesat cepat ke arah le-
laki bercaping lebar. Dengan cepat dia melenting ke 
atas, mengelakkan serangan lawan. Kemudian, dengan 
ringan tubuhnya mendarat di atas rantai mata tombak 
yang terentang. Dengan menggunakan jurus 'Singa 
Melompat' yang dipadukan dengan jurus 'Tebasan Me-
renggut Nyawa', lelaki bercaping lebar itu menyerang. 
"Oh...?!" 
Ki Tunggul Manik yang tidak pernah menduga 
lawan akan berjalan di atas rantai tombaknya menjadi 
tersentak. Dia berusaha menarik rantai, namun lawan 
telah mendahului. 
"Hiaaa...!" 
Tubuh lelaki bercaping lebar kembali bersalto 
di udara. Pedang di tangannya bergerak cepat ke wajah 
Ketua Perguruan Teratai Putih itu. 
Ki Tunggul Manik berusaha mengelakkan teba-
san pedang lawan. Namun gerakan lawan rupanya 
jauh lebih cepat di banding gerakan mengelaknya. 
Tanpa ampun lagi.... 
"Heaaat..!" 
Wut! 
Cras! 
"Aaakh...!" Ki Tunggul Manik memekik keras. 
Matanya melotot lebar. Di keningnya nampak sayatan 
pedang lawan. Tubuh lelaki setengah baya itu menge-
pulkan asap laksana terbakar. Lalu mengejang sesaat, 
sebelum terjerembab jatuh tanpa nyawa. 
"Hm...." 
Lelaki bercaping lebar bergumam. Tangan ki-
rinya menyeka darah yang meleleh di ujung pedang-
nya. Kemudian pedangnya dimasukkan ke dalam sa-
rungnya. Setelah memandang tubuh Ki Tunggul Ma-
nik, lelaki bercaping lebar itu berlalu dari situ. 
*** 
"Jagat Dewa Batara," keluh Sena lirih, ketika 
menyaksikan lelaki yang telah menjadi korban beri-
kutnya dari lelaki misterius itu. "Ki Tunggul Manik, 
malang benar nasibmu." 
Sena Manggala atau Pendekar Gila berjongkok 
di depan tubuh Ki Tunggul Manik yang membiru den-
gan kening tergores. 
"Terlambat! Ah, rupanya aku terlambat datang," 
keluh Sena. Wajahnya tampak sedih, menyaksikan 
seorang sahabatnya telah menjadi korban lelaki ber-
caping lebar. 
Setelah lama memandangi tubuh Ki Tunggul 
Manik, tubuh Sena kembali berdiri. Matanya meman-
dang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari jejak 
lelaki bercaping lebar. 
"Huh, sulit sekali aku mencarinya. Seakan dia 
memiliki ilmu siluman. Jejaknya tak ada," gerutu Sena 
sambil nyengir dengan tangan masih menggaruk-garuk 
kepala. 
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tem-
pat itu, namun tetap saja tidak dilihatnya jejak lelaki 
itu. 
"Aneh sekali," gumam Sena terheran-heran. 
"Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki jejak?" 
Pendekar Gila semakin keras menggaruk-garuk 
kepala. Kemudian keningnya ditepuk-tepuk, berusaha 
berpikir untuk mendapatkan cara agar dapat mene-
mukan lelaki bercaping itu. 
"Aha! Bukankah dia tengah mencariku?" ta-
nyanya pada diri sendiri. "Aku akan tertawa. Semoga 
tawaku akan terdengar olehnya." 
Pendekar Gila kemudian tertawa terbahak-
bahak dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Ta-
wanya menggelegar laksana suara halilintar di musim 
hujan. Bersahut-sahutan menembus cakrawala. Bah-
kan banyak sekali pepohonan di sekeliling lembah itu 
menjadi tumbang. Dan batu di bukit runtuh dan melu-
ruk ke bawah laksana dihajar oleh badai. 
"Ha ha ha...!" 
Meski Sena telah mengeluarkan tawanya mele-
bihi suara halilintar, tetap saja orang yang dicarinya 
tak juga muncul. Sepertinya lelaki bercaping lebar itu 
telah jauh sekali meninggalkan tempat tersebut. 
"Huh...!" keluh Sena kesal, setelah usahanya 
tak berhasil. Tangannya kembali menggaruk-garuk ke-
pala dengan mulut nyengir. "Korban.... Ah, bencana 
kembali datang." 
Kembali mata Sena memandangi mayat Ki 
Tunggul Manik yang membiru. 
Tengah Sena memandangi mayat sahabatnya, 
dari arah utara berdatangan murid-murid Perguruan 
Teratai Putih bersama seorang gadis cantik yang tidak 
lain Suciati. 
"Guru...!" pekik murid-murid Perguruan Teratai 
Putih, nyaris berbareng. 
Ketika  mereka hendak memeluk tubuh Ki 
Tunggul Manik, dengan cepat Sena mencegah. 
"Jangan! Jangan sentuh dia...!" 
Semua mengerutkan kening serta mengurung-
kan niat hendak memeluk mayat guru mereka. Kini 
pandangan mereka beralih pada Pendekar Gila. 
"Tuan Pendekar, apa maksudmu?" tanya Sucia-
ti tak senang. 
"Aku tak bermaksud jahat pada kalian. Per-
cayalah," sahut Sena. 
"Lalu mengapa Tuan melarang kami menyentuh 
mayat guru?" tanya Anggrojoyo, murid tertua dari Per-
guruan Teratai Putih. Wajahnya menggambarkan keti-
daksenangan. Kalau saja dia tidak ingat siapa pemuda 
di hadapannya, sudah barang tentu lelaki berusia seki-
tar tiga puluh lima tahun yang berwajah bulat dan ber-
tubuh besar itu akan melabrak Sena. 
Sementara Sena hanya menggaruk-garuk kepa-
la. Matanya memandang ke angkasa. Ketika di angka-
sa melintas beberapa ekor burung, segera tangannya 
memungut batu kecil. Kemudian batu itu disentilkan 
ke atas. 
Wut! 
Dess! 
"Keak..!" 
Satu burung memekik, lalu meluncur ke bawah 
terkena hantaman batu kecil itu. Dengan cepat tubuh 
Sena melompat ke atas untuk menangkap burung ter-
sebut. Lalu kembali turun dan berdiri di hadapan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Putih yang tak mengerti 
maksud pemuda itu. 
"Untuk apa burung itu?" tanya Anggrojoyo. 
"Apakah kau akan pamer ilmu pada kami?" 
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya 
menggaruk-garuk kepala. Sedang tangan kirinya, ma-
sih memegangi burung yang terus berontak. 
"Ah ah ah.... Apa artinya ilmu untuk murid-
murid Perguruan Teratai Putih. Tentunya ilmuku be-
lum seberapa dibandingkan kalian," kata Sena, meren-
dahkan diri. 
Tapi hal itu rupanya mendatangkan kesalah-
pahaman pada diri Anggrojoyo, 
"Bedebah! Kau menghina kami, Pendekar Gila! 
Katakan maksudmu yang sebenarnya, jangan sampai 
aku menghajarmu!" bentak Anggrojoyo marah, merasa 
ucapan Sena tadi merupakan sindiran baginya. 
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Lalu kepalanya digeleng-
gelengkan perlahan. 
"Maaf jika kau tersinggung, Kisanak. Tapi aku 
tidak bermaksud begitu. Aku hanya berkata yang se-
benarnya." 
"Kurang  ajar! Kuhajar mulutmu!" bentak 
Anggrojoyo lagi. Ketika darahnya mulai sampai di ke-
pala dan hendak menyerang, Suciati dengan cepat me-
larangnya. 
"Hentikan!" bentak Suciati, membuat Anggro-
joyo mengurungkan niatnya. "Tuan Pendekar, katakan-
lah apa yang kau maksudkan." 
"Sebenarnya aku tidak bermaksud jahat pada 
kalian. Kalian lihat burung ini masih hidup. Nah, seka-
rang lihatlah." 
Sambil berkata begitu, Pendekar Gila segera 
melemparkan burung yang ditangkapnya ke tubuh Ki 
Tunggul Manik 
"Keaaak...!" 
Burung itu memekik keras, merasakan kesaki-
tan yang tiada taranya. Tubuhnya menyentuh tubuh 
Ki Tunggul Manik, seketika mengepulkan asap seperti 
terbakar. 
Burung itu menggelepar-gelepar beberapa saat. 
Kemudian mati. Tubuhnya hangus, dengan bulu-bulu 
terbakar habis. Bagai dipanggang di atas api yang me-
nyala. 
Semua murid Perguruan Teratai Putih terma-
suk Suciati membelalak. Wajah mereka memperli-
hatkan kesan kengerian. Kemudian dengan malu-
malu, mereka memandang ke arah Sena. 
"Kalian lihat apa yang terjadi?" tanya Sena. 
Semua menganggukkan kepala. 
"Kalau kalian mau coba, silakan. Aku sudah 
menasihati kalian," kata Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. 
Semua terdiam tanpa ada yang menjawab. Se-
dangkan Anggrojoyo tampak pucat. Dia didera rasa 
malu yang tak terkira, karena telah menuduh yang ti-
dak-tidak pada pendekar muda itu. 
"Maafkan atas kekasaranku tadi, Tuan Pende-
kar," desis Anggrojoyo dengan kepala menunduk. 
Sena malah tertawa tergelak-gelak Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. 
"Tak ada yang salah, Kisanak. Ku maklumi ba-
gaimana perasaan kalian." 
"Lalu apa yang harus kami lakukan pada mayat 
guru kami?" tanya Suciati. 
"Tak ada yang perlu kalian lakukan. Biarkan 
saja mayat guru kalian begitu. Kalian tak akan sang-
gup menahan racun ganas yang menjalar di tubuh-
nya," kata Sena lirih. Pandangannya kini kembali pada 
murid-murid Perguruan Teratai Putih. 
"Bagaimana dengan perguruan kami?" tanya 
Anggrojoyo. 
"Itu terserah kalian. Namun sebaiknya kalian 
adakan rapat untuk menentukan pengganti Ki Tunggul 
Manik. Carilah jalan yang terbaik. Teruskan ajaran Ki 
Tunggul Manik," saran Sena. 
"Apakah tidak sebaiknya Tuan turut bersama 
kami untuk melakukan pengangkatan?" tanya Suciati. 
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala. 
"Ah, terima kasih. Kalau saja ada kesempatan, 
tentu aku akan senang mendapat tawaran itu. Tapi 
aku tak ada waktu. Aku harus segera menyelidiki pe-
laku semuanya ini. Nah, aku permisi." 
Sebelum murid-murid Perguruan Teratai Putih 
sempat berkata, tubuh Sena telah melesat pergi. Mem-
buat murid-murid Perguruan Teratai Putih hanya bisa 
menggeleng-gelengkan kepala, ketika terdengar tawa 
Pendekar Gila dari kejauhan. 
Akibat sepak terjang lelaki Cina yang disebut 
Mei Lie sebagai Kauw Cien Lung atau si Singa Jantan 
itu sangat berpengaruh di rimba persilatan. Kaum per-
silatan dari aliran hitam yang semula tak berani unjuk 
gigi, kini beraksi kembali dengan segala kebejatan yang 
mereka bawa. Terlebih setelah tersebar kabar bahwa 
Mei Lie adalah titisan Dewi Kuan Im, atau Dewi Kebe-
runtungan. 
Di antara puluhan tokoh sesat, yang namanya 
kini menjadi momok ada dua orang. Yang pertama Ke-
bo Pangawon. Sedang seorang lagi adalah Karto Songo. 
Sepak terjang kedua tokoh hitam itu memang 
kelewatan. Mereka ibarat memancing di air keruh. Di 
saat para pendekar tengah digemparkan oleh kemun-
culan Kauw Cien Lung, mereka pun mengambil ke-
sempatan untuk melampiaskan nafsu jahat yang 
membuat rimba persilatan kian membara. 
Keduanya melakukan teror. Tidak hanya pada 
perguruan-perguruan silat, pada rakyat biasa pun me-
reka tak segan-segan melakukan kekejaman. 
Sejak kedatangan Kauw Cien Lung, malam 
menjadi suasana yang menyeramkan. Sepertinya se-
mua orang tak ada yang berani untuk keluar dari ru-
mah. Begitu juga dengan orang-orang perguruan. Me-
reka tak mau menjadi korban kebiadaban dan kekejian 
lelaki dari Cina itu. 
Begitu juga yang terjadi pada Perguruan Bin-
tang Emas yang dipimpin Dewi Pandagu. Suasana per-
guruan yang baru kembali bangkit setelah diserbu oleh 
Laskar Setan pimpinan Ki Catrik Ireng (Untuk jelas-
nya,  silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode 
'Duel di Puncak Lawu"). Hanya empat murid perguruan 
saja yang tampak tengah berjaga-jaga. 
Di tengah malam yang dikungkung suasana 
mencekam, dua sosok tubuh mengendap-endap men-
dekati bangunan perguruan tersebut. Mata mereka 
menyapu ke sekeliling bangunan itu. Sementara wajah 
mereka tertutup kain hitam. 
Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan 
rambut panjang tak terurus. Berpakaian warna ungu 
lengan panjang. Alis matanya tebal. Matanya lebar dan 
bulat Dia adalah Kebo Pangawon. 
Seorang lagi bertubuh kurus. Rambutnya pan-
jang terurai. Sedangkan di bagian atas kepalanya bo-
tak, berikat kepala warna jingga seperti pakaiannya. 
Matanya agak sipit. Alis matanya tebal. Orang ini ber-
nama Karto Songo. 
"Hi hi hi...," Kebo Pangawon tertawa kecil. 
"Duh, Dewi. Sudah lama aku mendambakanmu. Ak-
hirnya malam ini kau akan kudapatkan." 
"Ssst..! Jangan berisik! Lihat, ada empat orang 
gadis cantik. Kau dua, aku dua...! Ayo...!" ajak Karto 
Songo. 
Dengan cepat dan ringan, tubuh keduanya ber-
kelebat cepat. Sebelum keempat gadis itu berteriak, 
keduanya telah melakukan totokan.  
Tuk, tuk!  
"Ukh...!" 
Keempat gadis itu mengeluh lirih, sebelum ak-
hirnya terdiam bagai patung. Hanya mata mereka yang 
membeliak. Mulut mereka yang hendak menjerit, tak 
mengeluarkan suara sedikit pun. 
"Hi hi hi...!" Kebo Pangawon tertawa kecil den-
gan tangan menutupi mulutnya. Kemudian dia me-
langkah untuk mendekati wajah salah seorang gadis 
itu. 
Cup! 
Ciuman Kebo Pangawon mendarat di pipinya. 
Mata wanita cantik itu kontan membeliak marah. Se-
dangkan Kebo Pangawon kembali menutup wajahnya 
dengan kain hitam sambil tertawa kecil. Tangannya di-
lambaikan pada keempat gadis itu, membuat mereka 
semakin melotot marah. Namun mereka tak dapat ber-
buat apa-apa, selain menggerutu panjang pendek da-
lam hati. 
Kebo Pangawon dan Karto Songo kini melang-
kah ke dalam lingkungan perguruan dengan tenang, 
karena tak ada lagi yang menghalangi mereka. 
"Kau ke sana, aku ke situ," kata Kebo Panga-
won dengan berbisik pelan. 
"Pintar kamu. Di situ memang tempat Dewi 
Pandagu," ujar Karto Songo perlahan. 
Setelah saling mengangguk, tubuh keduanya 
segera melompat ke atas bangunan. 
Dengan mengendap-endap, Kebo Pangawon me-
langkah seperti kucing yang mengintai mangsa. Kemu-
dian dia bersimpuh, setelah merasa yakin kalau dia te-
lah berada di atas kamar Dewi Pandagu. Perlahan-
lahan, tangannya membuka genteng bangunan itu. La-
lu mengintip ke bawah. 
"Ah, bukan," keluh Kebo Pangawon berbisik. Di-
tutupnya kembali genteng itu. Sesaat dia termenung, 
mereka-reka di mana letak kamar Dewi Pandagu. 
Kebo Pangawon kembali mengendap-endap. Se-
telah lima langkah, dia kembali bersimpuh. Lalu perla-
han-lahan, dibukanya genteng di tempat itu. Matanya 
memandang ke dalam ruangan di bawahnya. 
Bibirnya tersenyum tatkala matanya melihat 
Dewi Pandagu di kamar itu. Kebo Pangawon yang me-
mang sudah tak tahan lagi melihat tubuh Dewi Panda-
gu, menyeruak turun dengan cepat. 
Brak! 
Dewi Pandagu langsung terjaga dari tidurnya 
ketika mendengar kegaduhan. Saat itu pula, sesosok 
tubuh gemuk pendek melayang dari  atas, membuat 
Dewi Pandagu membentak keras. 
"Siapa kau?!" 
Lelaki gendut itu menjawabnya dengan tawa li-
rih. Kemudian kain hitam yang menutupi wajahnya di-
buka, membuat Dewi Pandagu semakin membelalak-
kan mata setelah tahu siapa lelaki itu 
"Kau...?!"  
Kebo Pangawon tersenyum nakal. 
"Ya. Aku.... Lama aku merindukan saat-saat 
seperti ini, Dewi. Akhirnya aku mendapat kesempatan 
juga." 
"Kurang ajar! Lancang benar kau masuk ke 
kamarku! Heaaat..!" 
Dewi Pandagu yang sudah marah setelah tahu 
siapa lelaki yang telah menjebol kamarnya, segera me-
nyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Tangannya 
bergerak cepat, memukul ke arah lawan. Sedangkan 
tangan kirinya bergerak menyambar selendang. Tapi 
belum juga tangan itu sampai, Kebo Pangawon telah 
mendahuluinya. 
"He he he..!" Kebo Pangawon tertawa setelah 
mengelakkan selendang itu. Kemudian dengan cepat 
mengelitkan serangan Dewi Pandagu. "Kau masih saja 
galak, Dewi. Tapi memang itu yang aku suka." 
"Manusia rendah! Heaaa...!" 
Meski tubuh Kebo Pangawon pendek dan ge-
muk, namun gerakannya sangat lincah. Beberapa kali 
serangan-serangan Dewi Pandagu yang garang dan 
mematikan, hanya menebas angin. Setiap kali Dewi 
Pandagu menyerang, dengan cepat Kebo Pangawon 
berkelit. Malah serangan balik yang dilakukannya cu-
kup membuat Dewi Pandagu kewalahan. 
"Ini untukmu, Dewi. Hih...!" 
Tangan Kebo Pangawon bergerak dengan jari-
jari terbuka lebar, menyerang dada Dewi Pandagu. 
"Hiaaa...!" 
Dewi Pandagu dengan cepat menyapukan tan-
gan kiri untuk memapaki serangan lawan. Disusul oleh 
tendangan kaki kanannya ke selangkangan lawan. 
Melihat serangan yang dilancarkan oleh Dewi 
Pandagu, dengan terkekeh Kebo Pangawon menge-
litkannya. Tubuhnya yang gemuk pendek miring ke 
samping. Kemudian dengan cepat tangannya menye-
rang perut Dewi Pandagu. 
"He he he...! Ini baru nikmat, Dewi! Hih...!" 
Bagai seekor belut, Kebo Pangawon menyeruak 
masuk ke pertahanan Dewi Pandagu. Dengan jari-jari 
mengembang, tangannya menyerang perut lawan. 
Dewi Pandagu tersentak. Dengan cepat tangan-
nya dikibaskan ke arah tangan lawan. 
Trak! 
"Ukh...!" Dewi Pandagu mengeluh. Tangannya 
yang beradu dengan tangan Kebo Pangawon terasa 
nyeri sekali. Tulang pergelangan tangannya terasa se-
perti patah. 
"He he he...!" Kebo Pangawon terkekeh, me-
nyaksikan wajah Dewi Pandagu pucat pasi. "Akhirnya 
impianku tercapai, Dewi. Kau memang pantas menjadi 
istriku." 
"Kurang ajar! Hiaaat..!" 
Sambil menahan sakit, Dewi Pandagu kembali 
menyerang. Kali ini hanya menggunakan tangan kiri. 
Meski begitu, serangannya ternyata masih keras dan 
ganas. Kakinya tak mau tinggal diam, turut bergerak 
menyerang. 
Tapi lawan yang tengah dihadapinya bukan la-
wan biasa. Tapi merupakan salah satu dari tokoh rim-
ba persilatan golongan hitam yang berada di atas Dewi 
Pandagu. Serangan-serangannya bagai tak berarti bagi 
Kebo Pangawon. 
"He he he...! Percuma saja kau melawanku, 
Dewi!" Kebo Pangawon terkekeh. Kembali tangannya 
bergerak. Kali ini ke arah dada Dewi Pandagu. 
"Setan!" maki Dewi Pandagu sambil melompat 
mundur, berusaha mengelakkan serangan lawan. Tapi 
gerakan lawan rupanya sangat cepat, hingga mampu 
mengejar gerak mundurnya. 
"He he he...!" Kebo Pengawon kembali menye-
ringai. Tubuhnya terus melesat dengan jari-jari tangan 
terbuka, siap menjamah dada Dewi Pandagu. 
Merasa sia-sia kalau menangkis, Dewi Pandagu 
berusaha mengelakkan serangan itu. Mulutnya berte-
riak, memanggil murid-muridnya. 
"Linteng...!" 
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan 
Bintang Emas terbangun dari tidurnya. Mereka segera 
berlarian menuju ke kamar ketuanya dengan riuh. 
Namun mereka tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki 
bertubuh jangkung dengan kepala agak botak. 
"He he he...! Biarkan mereka di kamar. Kalian 
urusanku," kata Karto Songo. 
"Serbu...!" 
"Hiaaat...!" 
Murid-murid Perguruan Bintang Emas serem-
pak menyerang Karto Songo. Namun lelaki bertubuh 
kurus dan jangkung itu dengan mudah mengelakkan 
serangan mereka. Tubuhnya berlompatan dengan lin-
cah. Tangannya bergerak menotok tubuh murid-murid 
Perguruan Bintang Emas. 
Dalam beberapa gebrakan saja, murid-murid 
Perguruan Bintang Emas dapat ditaklukkannya. 
Di saat yang sama, Dewi Pandagu semakin ter-
sudut. Bahkan kini dia tak diberi kesempatan sedikit 
pun untuk melakukan pembalasan. Serangan Kebo 
Pangawon sangat cepat dan sulit dielakkan. Sedang-
kan untuk menangkis, rasanya tidak mungkin. Tenaga 
dalamnya berada jauh di bawah lelaki gemuk pendek 
itu. 
Bet!    
"Ukh...!"