Pendekar Gila 4 - Duel Di Puncak Lawu(2)


Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan 
Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin 
menjadi-jadi. Nampaknya ada maksud tersembunyi
dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Se-
tannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk me-
mancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila 
akan bertambah marah. 
Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kem-
bali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Pra-
basangka. Mereka menyerbu ke Perguruan Teratai Pe-
rak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari 
penyerbuan itu, tiada lain untuk menundukkan pergu-
ruan itu.  
"Hiyaaat...!"  
"Yeaaah...!" 
Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, se-
ketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan 
dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Tera-
tai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Se-
tan. 
"Serang terus...!" perintah Dewi Teratai Perak 
Pertarungan berlangsung seru. Satu persatu korban 
bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak. 
Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat di-
lumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan sege-
rombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh 
dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas 
arus sungai deras. Tak berarti apa-apa. 
"Celaka! Mereka bukan manusia...!" seru Dewi 
Teratai Perak kaget. Meski begitu, tubuhnya terus ber-
kelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke 
arah Laskar Setan. 
Zwing, zwing, zwing...! 
Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke 
arah Laskar Setan yang semakin ganas.  
Jlep! Jlep! Jlep!  
"Hgrrr...!" 
Pemimpin Laskar Setan menggeram murka. 
Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah De-
wi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras, 
dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja 
menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu ke-
pandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal diha-
dapi. 
"Uts...!" Dewi Teratai Perak tersentak. Tubuh-
nya segera berkelit. Kemudian dengan cepat tangannya 
melemparkan bunga-bunga teratai. 
Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyak-
sikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pe-
mimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas, 
bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur beran-
takan. 
"Hah?! Dia tak mempan dengan teratai ku?"  
"Hgrrr!" 
Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang. 
Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak. 
Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut 
Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke 
samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang 
keras. 
Wuttt! 
"Uts! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik 
Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya bersalto di udara, 
untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan. 
Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai 
Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak di-
bantai Laskar Setan yang buas. 
Setiap murid Perguruan Teratai Perak menga-
lami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, ke-
putusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin me-
reka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau 
musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari 
neraka? Padahal kekacauan perasaan itu sangat me-
rugikan mereka dalam pertempuran  
"Serang terus...!" 
Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, me-
nyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Pe-
rak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu, 
dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi 
kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala 
naga yang terbuat dari emas. Suling itu, tiada lain Sul-
ing Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju rompi 
kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar 
Gila dari Goa Setan. 
Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang, 
menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghada-
pi pemimpin Laskar Setan. 
"Bantulah anak buahmu, Nyi! Biar aku yang 
menghadapi setan ini," seru Sena. 
Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum 
tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya 
melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, mem-
biarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedang-
kan dia kini membantu anak buahnya. 
"Jangan mundur! Seraaang...!" seru Dewi Tera-
tai Perak memberi semangat pada anak buahnya un-
tuk terus menyerang Laskar Setan 
Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid 
Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nya-
linya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani 
kembali menyerang. 
"Hiaaat..!" 
Jlep! 
Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin 
Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya 
saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat ke-
ras. 
"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu!" 
tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat di-
lumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melom-
pat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan 
Suling Naga Sakti ke kepala lawan. 
Wuttt! 
"Hgrrr...!" 
Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila 
menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan, 
kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan pe-
nuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menye-
rang. 
"Hgr...!" 
Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat 
mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gera-
kannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja 
yang mampu menembus karang.  
Wuttt 
"Uts! Hebat juga kau, Setan! Tapi otakmu yang 
telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu ka-
ku. Nah, ini untukmu...!" 
Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan 
menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Sul-
ing Naga Sakti ke tubuh lawan. 
Bugk! 
"Ngk..! Uhk..!" 
Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek. 
Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan 
keadaan sekelilingnya. 
"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan 
yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia telah tersadar 
dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-
nya seperti boneka suruhan. 
*** 
Pendekar Gila yang semula hendak memukul 
dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengu-
rungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan ma-
tanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam 
itu. 
"Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu den-
gan sinar wajah heran 
"Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah mene-
mukan  cara yang baik untuk menolong mereka!" gu-
mam Pendekar Gila. 
Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Se-
tan yang telah sadar dari pengaruh totokan. 
"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?" 
tanya Sena. 
"Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu. 
"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mung-
kin kau tidak ingat semuanya?" 
Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu men-
ceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya 
ketika dia lewat di Gunung Lawu, tiba-tiba seseorang 
menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi. 
"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah 
hitam itu, menutup ceritanya. 
"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau 
mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena. 
"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang ter-
tidur." 
"Celaka!" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadar-
kan mereka." 
Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata 
bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah 
pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh 
muridnya yang menghadapi Laskar Setan. 
"Hentikan..!" sergah Trana Jaya yang berusaha 
menghentikan rekan-rekannya. Namun tindakannya 
itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini 
diserang pula. 
Wuttt! 
"Edan!" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak 
kenal dengan pemimpinnya!" 
"Ya! Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan," 
sahut Trana Jaya sambil  mengelakkan serangan-
serangan bekas anak buahnya yang masih dalam pen-
garuh totokan Ki Catrik Ireng. 
"Terpaksa...!" dengus Sena sambil melompat ke 
atas, lalu dengan cepat menghantamkan Suling Naga 
Sakti ke tubuh lawan-lawannya. 
Bukkk! Bukkk..! 
Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatu-
han, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Te-
ratai Perak dan murid-muridnya terus berusaha mem-
bendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya. 
"Heaaat..!" 
Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana 
Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu. 
Sampai akhirnya habis tak tersisa. 
"Wah...! Rasanya semua bagai mimpi," gumam 
Sena setelah menyelesaikan tugasnya. "Manusia-
manusia aneh...!" 
"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun me-
rasa seperti bermimpi. Tak pernah kubayangkan, ka-
lau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku ha-
rus kembali ke perguruanku!" 
"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya 
Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan 
bekas pemimpin Laskar Setan itu. 
"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana 
Jaya. 
"O, tidak kusangka aku bisa bertemu dengan 
murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Ba-
gaimana kabar gurumu sekarang?"  
"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya. 
Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya. 
"Eh, di mana pemuda itu?!" tiba-tiba Dewi Tera-
tai Perak berseru kaget, ketika matanya tidak menda-
patkan Pendekar Gila di tempatnya semula. 
"Ha ha ha...! Aku di sini! Kuharap kalian bisa 
saling membantu...!" seru Sena dari kejauhan. "Aku 
yakin, kalian adalah pasangan yang serasi!" 
Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pan-
dang. Kemudian tersipu malu. 
"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Tera-
tai Perak entah ditujukan pada siapa. 
"Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia 
yang menjadi musuh besar Ketua Laskar Setan."  
"Siapa Ketua Laskar Setan?"  
"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya.  
"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah 
Pendekar Gila! Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan, 
bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala 
naga?" 
"Ya, benar." 
"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gi-
la...," desis Dewi Teratai Perak. 
Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak dis-
angkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah 
terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda. 
Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu, 
Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke da-
lam perguruannya, 
*** 
Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pende-
kar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah 
berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik 
Ireng untuk melakukan duel dengan pendekar muda 
yang namanya tengah menjadi buah bibir. 
Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan se-
mata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gi-
la yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun si-
lam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada 
para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki 
jabatan orang nomor satu di rimba persilatan 
Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berda-
tangan para pendekar rimba persilatan. Pada umum-
nya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu, 
setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik 
Ireng. 
Dari arah barat, sekelompok orang melangkah 
dengan gagah. Seorang lelaki tua dengan pakaian resi 
berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya 
tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari. 
Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di bela-
kangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi. 
Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat 
panjang terbuat dari kayu cendana. Itulah senjata me-
reka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang beram-
but panjang digelung ke atas serta jenggot yang pan-
jang dan putih, wajah anggotanya nampak bersih. Tak 
ada jenggot atau kumis. 
"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak ber-
maksud memperdayai para pendekar?" tanya salah 
seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari, 
"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari. "Tokoh 
yang satu ini memang terkenal aneh. Lima puluh ta-
hun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini mun-
cul kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar 
kemunculan Pendekar Gila." 
"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng den-
gan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya 
resi muda lain yang juga berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari. 
"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pa-
da kalian hubungan antara dua orang sakti itu." 
Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada 
murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba per-
silatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan 
itu dulu pernah bertarung. Juga dikatakan bahwa Ki 
Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum menga-
lahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir se-
mua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila 
dari Goa Setan saja yang belum dikalahkan. 
Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng men-
cari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Se-
dangkan Pendekar Gila mencari Ki Catrik Ireng untuk 
menyadarkan tindakan orang itu. 
"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-
si Bragaskita, salah seorang resi muda yang berjalan di 
belakang Resi Sarameskari. 
"Mereka pun bertemu." 
"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang 
bernama Resi Bramaweda. 
"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai 
akhirnya mereka mengeluarkan senjata masing-
masing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti. 
Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas 
murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bume-
rang kembar." 
"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi 
Bramaweda semakin ingin tahu. 
Resi Sarameskari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjang-
panjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu. 
"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senja-
ta Catrik Ireng saja yang terpotong." 
"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi 
Bragaskita. 
"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi. 
Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah ke-
matiannya," gumam Resi Sarameskari. 
Mereka pun terus melangkah menuju Gunung 
Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Se-
bagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal. 
Sementara itu, dari arah utara serombongan 
orang melangkah juga menuju arah selatan di mana 
Gunung Lawu berada.  
Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan pal-
ing depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya 
tampak seorang wanita bercadar merah yang tak lain 
adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah. 
Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang. 
Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menen-
tukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di 
rimba persilatan. 
Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Seper-
tinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin be-
naknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil 
untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal 
hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila. Na-
mun sebagai seorang murid, dia harus patuh pada gu-
runya. 
Di belakang mereka, menyusul kelompok dari 
perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki 
berjubah putih. Tampak di dada sebelah kirinya terda-
pat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam sen-
jata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan. 
Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Pu-
tih. Sementara itu seorang gadis berbaju hijau berjalan 
di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk menge-
tahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-
la dalam episode "Kumbang Hitam dari Neraka"). 
Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan se-
luruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik. 
Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan 
untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Se-
mua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu be-
nar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya 
duel antara dua tokoh sakti itu. 
Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil 
dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian 
di markas Segoro Wedi, mereka menghilang bagai dite-
lan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti"). 
Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nam-
paknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan. 
Para pendekar kini telah sampai di tempat yang 
dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung 
besar yang telah dibuat oleh pasukan Ki Catrik Ireng, 
Laskar Setan! 
Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang 
tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-
tat. Mereka sengaja dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk 
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. 
*** 
Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebe-
lah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa 
agak dingin. Angin bertiup kencang, seakan-akan hen-
dak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari 
panggung besar. 
Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun 
yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran 
orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu 
kedatangan Pendekar Gila. 
Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat 
sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok 
itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang 
ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang men-
gundang para pendekar untuk datang ke tempat itu. 
Orang-orang persilatan yang mengelilingi pang-
gung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan le-
laki tua berjubah hitam itu. 
"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya 
mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu 
apa yang akan terjadi di tempat ini, bukan..?" ucap Ki 
Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah. 
"Ya...!" sahut para pendekar. 
"Perlu  saya beritahukan pada kalian. Sesung-
guhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya mela-
wan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih 
penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas men-
jadi Ketua Rimba Persilatan...!" 
Semua tersentak dengan mata membelalak 
mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian me-
reka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki 
tua itu sebenarnya. 
"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagai-
mana kalau kita adakan pembukaan!" kata Ki Catrik 
Ireng. 
Kembali semua mata terbelalak mendengar pe-
nuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat 
kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki 
Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu 
bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan un-
tuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng mela-
wan Pendekar Gila. 
"Ha ha ha...!" 
Saat mereka tengah dalam keadaan kebingun-
gan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar. 
Membuat semua mata seketika memandang ke arah 
datangnya suara itu. 
Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda 
berpakaian rompi kulit ular. 
"Pendekar Gila...!" seru para pendekar serem-
pak, setelah tahu siapa yang datang 
Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa 
tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik 
Ireng yang mengerutkan keningnya setelah melihat ru-
pa pemuda itu.  
"Kaukah Pendekar Gila itu?!" tanya Ki Catrik 
Ireng setengah membentak 
"Benar!" sahut Sena tegas. 
"Aku tidak percaya! Tentunya kau bukan Pen-
dekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong!" 
dengus Ki Catrik Ireng 
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-
garuk kepala.  
"Terserah  mu saja, Ki. Kau mau percaya atau 
tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa mak-
sudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih 
dengan tingkah lakunya yang aneh. 
"Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan 
Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah 
Sena yang tetap bertingkah laku konyol. 
"Baik! Katakan, ada hubungan apa antara kau 
dan Singo Edan?" 
"Aku muridnya," sahut Sena tenang. 
"Bagus! Meski kau bukan Pendekar Gila yang 
lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa 
kau dapat mewakili gurumu! Sengaja aku mengun-
dangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara 
aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mu-
lanya yang kuharapkan adalah gurumu. Tapi tak men-
gapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik 
Ireng 
"Kalau itu tujuanmu, lebih baik aku mengalah. 
Tak ada gunanya bertarung kalau hanya mempere-
butkan pepesan kosong...." 
"Pengecut!" maki Ki Catrik Ireng "Begitukah si-
kap seorang pendekar yang sering disebut sebagai 
pendekar tanpa tanding?! Lihat..! Kalian telah melihat 
sendiri, bagaimana pendekar yang kalian agung-
agungkan ternyata hanya kecoa busuk!" 
Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik 
Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena 
marah. 
"Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu 
busuk Ki!" balik Sena dengan niat mengejek 
Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh ama-
rah. 
"Kurang ajar! Siapa pun kau, aku harus me-
nyingkirkan mu!" 
"Aha, terserah saja, Ki!" tantang Sena. 
"Bagus! Kalau lima puluh tahun silam aku ka-
lah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya 
akan menerima pembalasanku! Bersiaplah...!". 
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera me-
langkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-
gi-tinggi, dengan jari mengepal. Kemudian sepasang 
tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk 
dengan tinju ke atas, sedangkan tangan kin dibuka 
dengan jari-jari lurus. 
"Hhh...!" 
Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam 
lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya 
ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari 
terbuka. Disusul hentakan  telapak tangan lurus ke 
depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang di-
beri nama 'Sampar Cobra'. 
Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pen-
dekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Ki Catrik 
Ireng yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol 
Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup. 
"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena te-
nang. 
Semua pendekar yang menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka ber-
tanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan menga-
cuhkan lawan? Padahal lawan yang dihadapinya bu-
kan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung 
dengan gurunya. 
Kecemasan seketika menyelimuti hati semua 
pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang se-
perti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama 
'Monyet Gila Siap Menerkam'. 
'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?" 
tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas me-
nyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-
kalau pemuda itu akan mendapat celaka karena belum 
siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi. 
"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi," 
ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha 
menenangkan. "Tenanglah...." 
"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu. 
"Lihat! Dia telah membuka jurus!" seru Dewi 
Teratai Perak membuat mata semua pendekar terpusat 
penuh ke arah panggung. 
*** 
Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua 
langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimu-
lainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal. 
Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya ber-
gerak lemah gemulai dan lincah. 
"Bersiaplah.... Aku akan mulai! Yeaaat..!" 
Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka 
serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan 
menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku 
dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya di-
putar, lalu dihentakkan ke dada lawan. 
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan sal-
ing berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut 
lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membu-
ka kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan me-
nari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan 
kiri lurus ke bawah. 
"Yeaaat..!" 
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-
la Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring, 
lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan 
kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke de-
pan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan 
diteruskan memukul ke arah lawan. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaat..!" 
Dua orang berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan 
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan 
tubuh. Tangan mereka bergantian melakukan seran-
gan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka 
saling menyapu ke kaki lawan. 
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa..." 
Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera 
berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke 
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bentuk pertahanan. 
"Uts...!" 
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke 
depan. Diikuti oleh pukulan tangannya. 
"Edan..!" maki Ki Catrik Ireng kaget. Segera di-
tariknya pukulan tangan kanannya, lalu diganti den-
gan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya dige-
rakkan menendang. 
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah. 
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu 
memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan ce-
pat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus 
Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu me-
mang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang si-
lam, tetapi kini lebih hebat! 
"Rupanya selama lima puluh tahun menghi-
lang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus 
miliknya...!" seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah 
ke belakang mengelakkan cengkeraman yang dilaku-
kan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik 
Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tu-
lang rusuk lawan.  
"Weit...!" 
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya 
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan 
lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat 
Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke 
samping. 
Semua mata orang persilatan memandang pe-
nuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan 
tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu. 
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum. 
"Ck ck ck..!" 
"Ini baru duel seru!" 
*** 
Pendekar Gila masih terus menyerang. Gera-
kannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban. 
Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya 
sangat cepat. Tangannya yang menepak dan menca-
kar, susul-menyusul tiada henti. 
"Edan! Benar-benar jurus gila!" maki Ki Catrik 
Ireng tersentak kaget mendapatkan serangan yang 
aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar 
muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit 
tentunya cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila 
akan menghajar tubuhnya. 
"Heaaat..!" 
"Uts...!" 
Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika mera-
sakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin 
pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar me-
nerpa tubuhnya. 
Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya. 
Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua ber-
jubah hitam yang telah banyak makam asam garam di 
rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tan-
gan ke dada Pendekar Gila. 
"Yeaaa...!" 
Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia 
yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini 
tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang 
menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-
menyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menam-
par ke dada dan muka lawan. 
Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya 
meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke 
wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ke-
tika tangan lawan menampar dengan kibasan tangan-
nya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak ber-
ganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha mengha-
lau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menye-
rang. 
"Ck ck ck..! Hebat..!" puji Resi Sarameskari dis-
elingi decakan kagum, menyaksikan gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda, 
namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua 
yang namanya pernah menjadi buah bibir para pende-
kar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar 
tangguh pada zamannya. 
"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi 
Bragas Wita, ingin lebih jelas tentang Pendekar Gila. 
"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab 
Resi Sarameskari. 
"Muridnya, Guru? Dari mana pemuda itu bisa 
tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi 
Bramaweda. 
"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya 
aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang 
mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sara-
meskari. 
"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bra-
maweda. 
"Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau 
pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang ta-
hu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan 
saja dulu pertarungan itu," tukas Resi Sarameskari. 
Kedua murid utamanya itu menurut Mereka di-
am dan kembali memperhatikan pertarungan antara 
Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng. 
Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi. 
Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat seran-
gan-serangan yang dilancarkan keduanya. Kini mereka 
berada di alam bebas, membuat gerakan mereka se-
makin leluasa. 
Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-
gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya 
menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-
pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-
nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan. 
"Yeaaat..!" 
"Uts...! Heaaat..!" 
Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Ke-
mudian dengan gerakan membentuk setengah puta-
ran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah 
melihat Pendekar Gila menggeser kaki ke samping, Ki 
Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke da-
da Pendekar Gila. 
Wuttt! 
Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat 
mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila 
yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang 
dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya 
membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu, 
dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan ka-
nan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tan-
gannya seperti membelah dengan cepat  
"Heaaat..!" 
Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan ki-
rinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan ka-
ki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan 
kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar 
Gila. 
Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera 
bersalto ke belakang. Dengan tubuh di udara, kakinya 
menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tu-
buh membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan 
tangannya lalu menyerang ke arah lawan. 
"Yeaaat..!" 
Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila 
kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik 
Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan 
yang dilancarkannya. 
"Heaaa...!" 
Tangan mereka kini bergantian memukul dan 
menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus me-
rangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Se-
dangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan 
menangkis serangan lawan sambil balas menyerang. 
Semua mata membelalak Tak ada kata-kata 
yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksi-
kan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang 
laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil 
mencecarkan pukulan dan terkadang menangkis se-
rangan lawan. 
"Ck ck ck..!" 
Semua mendecak kagum dengan kepala meng-
geleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemam-
puan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski 
mereka dari golongan  tua sekalipun, rasanya sangat 
sulit bertarung dengan tubuh melayang seperti itu. Bi-
sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan. 
Pendekar muda itu benar-benar mampu me-
nunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, sea-
kan benar-benar mampu terbang seperti burung. Ka-
kinya terkadang berputar untuk menendang, lalu ber-
putar kembali dengan pukulan-pukulannya. 
"Heaaat..!" 
Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik 
Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, su-
dah tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewala-
han menghadapi serangan-serangan aneh yang dilan-
carkan Pendekar Gila. 
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila ada-
lah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan 
pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan 
pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru 
Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu ju-
rus-jurus yang menjadi andalan Pendekar Gila. 
"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gi-
la!" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis seran-
gan-serangan Pendekar Gila, dengan sesekali memba-
las menyerang. 
"Yeaaat..!" 
Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang, 
kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-
ri dengan posisi siap melakukan serangan. Tangannya 
bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tan-
gan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, se-
dangkan tangan kirinya berada di perut dengan jari-
jari tangan kejang mencengkeram. 
"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki 
Catrik Ireng yang telah tahu jurus itu. "Dulu gurumu 
boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus 
itu tak ada gunanya bagiku, Pendekar Gila! Yeaaat..!" 
Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk 
menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular. 
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping den-
gan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan 
kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan 
cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Sa-
lah satu jurus andalan Ki Catrik Ireng. 
"Yiaaat..!" 
"Heaaa...!" 
Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap 
melakukan serangan berikutnya. 
*** 
Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti 
tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Na-
mun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru an-
gin keras ketika kedua tangannya bergerak. 
Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal di-
am. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, me-
matuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam. 
"Yiaaat..!" 
"Uts! Heaaa...!" 
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-
gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan. 
Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian ke-
mari. 
Kemudian melakukan serangan dengan ten-
dangan dan sapuan.  
Trak! 
"Yeaaat..!"  
"Hop...!" 
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu, 
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-
buh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu 
dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali 
menyerang. 
"Yeaaat..!" 
"Hiaaat..!" 
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-
perti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin 
kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin to-
pan yang susul-menyusul. 
Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan 
serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanan-
nya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-
lu membuka untuk menangkis serangan. Disusul ca-
karan tangan kirinya ke dada lawan. 
"Sss...! Heaaa...!" 
Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka 
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja, 
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak 
hanya gulungan berwarna hitam. 
Semua mata yang menyaksikan pertarungan 
itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi 
mereka untuk mengikuti gerakan tubuh kedua tokoh 
sakti itu.  
"Gila...! Mereka benar-benar telah mengelua-
rkan gerakan ilmu silat yang luar biasa!" gumam Dewi 
Pandagu. "O, mungkinkah Sena dapat memenangkan 
pertarungan penentuan ini?" 
Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa 
yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian den-
gan mata masih memandang ke arah pertarungan, 
Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya. 
"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Wid-
hi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja 
yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-
tu." 
Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata 
yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang 
dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-
la, berarti kekalahan aliran lurus. Dan tentunya tokoh 
aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa 
mempedulikan aturan rimba persilatan. 
Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya 
nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang 
memandang penuh ketegangan. 
"Hhh...! Semoga Hyang Widhi selalu melindun-
ginya," gumam Wulandari perlahan. 
Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan 
muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah 
pertarungan dua tokoh sakti itu. Kalau sampai Pende-
kar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki 
tua  yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-
pun juga lelaki itu adalah suaminya sendiri. 
"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gi-
la kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan mela-
braknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-
ti muridnya. "Kurasa, pendekar muda itu bukan pen-
dekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita ber-
doa saja pada Yang Kuasa." 
Pertarungan antara dua orang sakti yang ber-
kepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan 
kini mereka telah kembali mengganti jurus. Jurus-
jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat 
ke jurus-jurus tingkat tinggi. 
"Yeaaat...!" 
Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa 
Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk se-
tengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada. 
Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melaku-
kan gerakan menghantam dan membongkar. Benar-
benar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu 
karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan 
pukulannya tak kalah dahsyat 
Wusss...! 
Glarrr! 
Setiap kali tangan kanan atau kirinya meng-
hentak, maka keluarlah serangkum angin yang dah-
syat. Menghancurkan batu cadas yang terkena. 
"Hop! Yeaaa...!" 
Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Sete-
lah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan ce-
pat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang 
kepala. Sedangkan tangan kirinya direntang ke samp-
ing. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus 
'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'. 
Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tan-
gan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya 
yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke 
arah lawan. 
"Heaaat..!" 
Serangkum angin disertai deruan keras, me-
nyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar 
Gila membuang tubuhnya ke samping. Lalu tubuhnya 
segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, me-
nyibak dan menghantam dari bawah. 
"Yeaaat..!" 
Wuttt, wuttt..! 
Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila me-
lancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak 
dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang 
berusaha menyerang lawan. 
"Uts! Yeaaa...!" 
Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya ber-
gantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hanta-
man tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, ke-
mudian turun dengan serangan yang tidak kalah dah-
syatnya. 
Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana 
membara. Membuat suasana di sekeliling kancah per-
tarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat 
itu telah malam. Tak terasa oleh mereka, kalau malam 
telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama tepat be-
rada di ubun-ubun. 
"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis 
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Kemu-
dian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri 
tegak, tangannya disilangkan ke depan dada. Kemu-
dian kedua telapak tangannya disatukan di atas kepa-
la. 
"Yeaaat...!" 
Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan puku-
lan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin 
Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng. 
'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-
gulangi hawa panas yang keluar dari ajian 'Waringin 
Sungsang'. 
Wrrr! 
Seketika angin menderu keras, membawa hawa 
dingin yang  menyelimuti sekeliling tempat itu. Para 
pendekar yang tadi kepanasan, kini tersenyum senang. 
Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa 
panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari tela-
pak tangan Pendekar Gila. 
"Rupanya kau masih mengandalkan jurus ku-
no, Pendekar Gila! Ilmumu tak ada gunanya mengha-
dapi 'Waringin Sungsang'ku! Bersiaplah untuk mam-
pus...! Yeaaah...!" 
Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki 
Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila. 
"Yeaaat...!" 
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak 
mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di 
depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk mema-
paki serangan lawan. 
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat 
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak 
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang 
dan menyapu ke arah lawan. 
"Yeaaat..!" 
"Hiaaa...!" 
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap 
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-
ra, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan.  
Darrr! 
Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh-
nya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang. 
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh, setelah men-
ginjakkan kakinya di bibir jurang. 
Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah me-
napakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik 
kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'-
nya. 
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila!" 
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya 
kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dike-
luarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-
pancar sinar membara, membuat sekelilingnya panas. 
Glarrr! 
"Aaakh...!" Pendekar Gila memekik keras, tu-
buhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Ki 
Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam. 
Dari bibirnya meleleh darah kehitaman. 
"Sena...!" pekik Dewi Pandagu, menyaksikan 
kekasihnya terlempar jauh ke dalam jurang. Matanya 
membelalak penuh amarah. 
"Pendekar Gila...!" seru Ki Tunggul Manik. 
Semua pendekar yang bersimpati pada Pende-
kar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh 
amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi 
aba-aba mereka menyerbu Ki Catrik Ireng yang terlu-
ka. 
"Serbu...! Jangan biarkan mereka melukai 
ayah...!"  
Tapi, pada saat para pendekar bergerak me-
nyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang 
pemuda dari balik cadas. 
Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri 
di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat, 
menghadang dan menyerang para pendekar yang hen-
dak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng. 
"Laskar Setan...!" seru Dewi Pandagu kaget. 
"Serang...!" seru Resi Sarameskari, memerintah 
pada murid-muridnya. Sekaligus memerintahkan pada 
rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun ba-
ru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik 
Ireng membentak... 
"Hentikan! Kalian telah terkurung! Kalian tak 
akan mampu lolos dari tempat ini! Kini Pendekar Gila 
telah binasa, maka sepantasnyalah aku menjadi pe-
mimpin rimba persilatan!" 
"Persetan dengan ucapanmu, Ki!" maki Ki 
Tunggul Manik. 
"Ya! Tak pantas orang licik sepertimu menjadi 
pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari. 
"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah bi-
nasa! Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu 
sebagai ketua rimba persilatan!" Nyi Kendil tiba-tiba 
membentak begitu tubuhnya berkelebat mendekat, 
membuat Ki Catrik tersentak kaget. 
"Kau...?!" 
"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali, 
Catrik Ireng! Kau harus menyerahkan anakku!", den-
gus Nyi Kendil. 
Prabasangka yang mendengar wanita tua itu 
mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh ke-
bingungan. 
"Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda 
berbaju kuning itu. 
Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perla-
han kepalanya mengangguk. 
"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah me-
nelantarkan mu semasa kau masih bayi." 
"Bohong! Lelaki tak tahu diri! Wulan, serang 
dia!" perintah Nyi Kendil. 
Pertarungan seru antara para pendekar mela-
wan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka se-
perti tak peduli dengan Ki Catrik Ireng. Kekalahan 
Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hi-
tam itu, telah mengobarkan api kemarahan mereka. 
Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadi-
kan pertarungan sangat  seru. Namun karena jumlah 
pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jum-
lah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka da-
pat didesak 
"Hentikan...!" seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah 
oleh kalian semua! Baiklah, aku memberi kesempatan 
pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan ka-
lau Pendekar Gila telah mampus. Kalau selama satu 
minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian 
harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pe-
mimpin rimba persilatan!" 
Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka 
yang  memandang penuh kebencian pada Ki Catrik 
Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini ti-
dak merasakan lagi rasa sakit akibat luka dalamnya, 
karena beberapa jalan darahnya telah ditotok 
"Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki 
Catrik Ireng. "Kalian akan kubebaskan. Tapi jika mem-
bangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-
na pun kalian berada, mereka akan mencari dan 
membunuh kalian!" 
Semua pendekar golongan putih hanya mampu 
menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada 
yang menjawab. Hanya mata mereka saja yang meng-
gambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik 
Ireng. 
"Jangan percaya omongannya! Kita serang sa-
ja!" 
Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa 
menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil me-
lakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah. 
"Percuma saja kau menyerangku, Nyi! Seha-
rusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersama-
ku!" sergah Ki Catrik Ireng. 
"Cuih! Tak sudi aku bersamamu! Lebih baik 
aku binasa!" bentak Nyi Kendil. 
"Baik kalau begitu! Laskar Setan, ringkus ke-
dua wanita itu...!" seru Ki Catrik Ireng yang dengan se-
gera dipatuhi oleh Laskar Setan. 
"Ayah, mengapa kau menangkap ibu?!" tanya 
Prabasangka. 
"Diamlah! Biarkan mereka menangkap wanita-
wanita tak tahu diuntung itu!" 
Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan 
Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat 
segera ditangkap. 
"Bawa mereka ke tahanan!" perintah Ki Catrik 
Ireng. 
"Tapi, Ayah..." cegah Prabasangka hendak me-
nentang. 
"Diam!" hardik Ki Catrik Ireng berang. 
Prabasang langsung menuruti kata-kata ayah-
nya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki 
tua itu mencorong tajam. 
"Sekarang kalian boleh bubar! Kutunggu kalian 
tujuh hari lagi!" kata Ki Catrik Ireng pada para pende-
kar. 
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera ber-
suit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar 
Setan. 
Semua pendekar terpaku menyaksikan bagai-
mana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan 
menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tem-
pat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka 
menggambarkan kecemasan akan nasib Pendekar Gila. 
*** 
Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin 
Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di 
rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya 
berguling-guling di lereng yang berhutan lebat 
Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah 
manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatang-
binatang buas yang siap memangsa setiap manusia 
yang berani memasuki kawasan hutan itu. 
"Akh...!" Sena memekik, tubuhnya menggelind-
ing ke bawah. Kini tubuhnya semakin bertambah jauh 
dari Puncak Lawu. 
Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu 
membuat kaget semua penghuni hutan. Burung-
burung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-
butan. Binatang-binatang lainnya juga berlarian ka-
lang-kabut 
Setelah membentur pohon yang cukup besar, 
tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar bi-
asa. Pohon besar itu bagaikan dihantam oleh kekuatan 
yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-
bum.  
Brak! 
Kraaak...! Bummm! 
Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya 
meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia men-
galami luka dalam akibat pukulan 'Waringin Sungsang' 
yang dilancarkan Ki Catrik Ireng 
Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Keti-
ka itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun 
dari atas sebatang pohon. Sepertinya ular sanca itu 
mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya 
untuk menyantap. 
"Szzz...!" 
Ular sanca sebesar paha manusia dengan pan-
jang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap 
ke arah Sena. Matanya yang merah, memandang pe-
nuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak ping-
san. 
"Szzz...." 
Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidah-
nya yang berwarna merah dan bercabang, menjulur-
julur. Matanya semakin bersinar, bagai senang men-
dapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena, 
mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bu-
lat-buat. 
"Szzz...!" 
Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor 
monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian 
dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu me-
nangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh. 
"Nguk..!" 
Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Se-
na. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-
pi telinganya yang tajam mendengar desisan keras dari 
belakangnya. 
"Nguk..!" 
Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke 
arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju 
kera dan tubuh Sena yang mulai tersadar. 
"Ngukkk!" 
Sambil berteriak keras, kera itu melompat ma-
ju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus 
mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan ke-
pala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan. 
"Zsss!" 
"Nguk, nguk...!" 
Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi 
riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor bina-
tang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan 
siap melakukan serangan. 
"O, rupanya kera besar itu telah menolongku 
dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata 
menyipit, memandang kedua binatang yang masih sal-
ing pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Kedu-
anya siap melakukan serangan. 
"Nguk, nguk, nguk...!" 
Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan 
perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat 
bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali men-
desis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat 
tinggi-tinggi, mulutnya membuka, menunjukkan li-
dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerak-
gerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin 
Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar. 
"Ha!, bukankah gerakan ular sanca itu seperti 
jurus 'Waringin Sungsang'? Aha, benar...! Gerakannya 
persis dengan jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng," 
gumam Sena dengan mata membesar, memandangi 
kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. 
Kedua binatang itu kini bergerak, saling me-
nerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama 
persis dengan serangan-serangan yang dilancarkan Ki 
Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk 
dengan ekor turut menyerang. 
"Ngukkk...!" 
"Zsss...!" 
Kera itu bergerak aneh. Kaki- kakinya melang-
kah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pe-
lan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satu-
satu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri. 
"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, ter-
heran-heran melihat tingkah laku kera itu. 
Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik ke-
ra dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya 
turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar, 
kemudian melangkah menyilang di depan kaki kiri. 
Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak. 
Sementara salah satu tangan kera itu berada di 
dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya 
bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak 
tangan kanannya diputar dengan jari-jari  lurus ke 
atas. 
Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti 
gerak-gerik kera itu. Kaki dan kanannya turut berge-
rak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian 
melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang 
menekuk ke atas, lalu dilangkahkan bersamaan den-
gan hentakan keras telapak tangan.   
"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah ju-
rus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, na-
mun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat," 
gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu 
dalam melakukan serangan. Dan tampaknya ular yang 
menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' me-
mang mengalami kesulitan untuk melancarkan seran-
gan-serangannya. 
Setiap kali kepala ular sanca itu hendak me-
nerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melang-
kah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului me-
nyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini 
menampar cepat ke kepala ular itu. 
"Szzz!" 
Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan 
lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap me-
nyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digan-
tikan dengan serangan kibasan ekornya. 
"Ngiiikkk...!" 
Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemu-
dian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri dite-
kuk ke atas, lalu tangan kirinya dikibaskan dua kali 
dan dihantamkan ke kepala ular itu. 
Sena terpana dengan mata membelalak me-
nyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu 
menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera 
itu. Meski gerakannya sangat halus, namun mampu 
membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa. 
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah 
aku?" tanyanya sambil mengusap-usap mata, berusa-
ha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua bi-
natang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu 
masih terlihat 
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-
ra itu," puji Pendekar Gila. Tanpa sadar, tubuhnya ber-
gerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera. 
"Szzz...!"  
Kepala ular sanca bergerak cepat hendak me-
nerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera ber-
tubuh besar itu melompat dan balas melakukan tampa-
ran. 
Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini 
mendesak ular sanca yang tampak menggunakan ju-
rus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena 
semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, di-
awasinya jalannya pertarungan seru itu. 
Kera itu masih menyerang dengan halus. Tan-
gan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki 
kanannya direntang, kemudian dikibaskan. Disusul 
dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tam-
paran. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan, 
tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan men-
deru, menyentakkan ular sanca itu. 
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan 
kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-
ikutinya gerakan-gerakan kera itu. Sementara matanya 
tetap memandangi kedua binatang yang tengah berta-
rung. 
"Szzz...!" 
Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena 
serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan. 
Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian 
dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh 
lawannya. 
"Nguk!" 
Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan beli-
tan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melaku-
kan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepa-
la ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam 
dengan telapak tangan ke tubuh ular itu. 
Plak! 
Des! 
"Szzz!" 
Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak 
liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawan-
nya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu mem-
buat rasa sakit luar biasa. 
"Hah?!" mata Sena melotot lagi. 
*** 
Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan 
bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular 
sanca. Dan yang membuat matanya semakin membela-
lak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan 
batu sebesar kepala manusia.  
Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu 
keras. 
"Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tam-
paran kera itu. Jurus apakah yang dilakukannya?" 
gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
"Szzz...!" 
Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepa-
lanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk den-
gan cepat tiada henti. Rupanya ular itu tak mau keja-
dian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi. Kepa-
lanya  terus menyerang, mematuk dan menerkam. 
Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet 
dan membelit. 
"Nguk!" 
Dengan tenang kera itu terus menggerakkan 
kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam 
melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya. 
Begitu juga tangan kirinya ketika menampar. 
Dua binatang itu terus bertarung dengan se-
runya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya 
sama-sama bernafsu untuk mengalahkan. 
"Nguiik...!" 
Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkin-
gan yang mampu memekakkan telinga itu membuat 
Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup 
dengan pengerahan tenaga dalam. 
Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu 
melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Se-
pertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedang-
kan mata dan mulut ular sanca itu mengeluarkan da-
rah. 
"Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bi-
sik Sena menyaksikan kejadian tersebut 
Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena 
dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihat-
nya tangan kanan kera itu mengibas dua kali. Lalu 
menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca 
yang tengah meraung-raung kesakitan. 
Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu 
kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena da-
pat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan 
tamparan. Mata kera itu terpejam rapat Binatang itu 
tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melain-
kan dengan kekuatan sukma. 
"Hah?! Tamparan apa itu? Oh, mungkin Jurus 
yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma'," 
gumam Sena. 
"Nguiiik..!" 
Plak! 
Trak! 
"Ssszzz...!" 
Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras. 
Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah. 
Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya 
kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat 
pelan dan lemas, ternyata mampu menghancurkan ke-
pala ular sanca yang besar. 
"Bukan main...!" pekik Sena terkagum-kagum 
menyaksikan kejadian tadi. 
Dengan tersenyum-senyum, Sena menggaruk-
garuk kepalanya. Matanya masih memandang kera 
yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara 
ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus 
'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala 
hancur berantakan. 
"Nguk, nguk, nguk..!" 
Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan 
kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan 
kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu 
membalikkan tubuh, lalu memandang Sena. 
"Nguk!" 
Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya se-
cara berirama. 
"Ah ah ah...! Terima kasih sahabat. Kau telah 
menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik 
sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
Kera itu masih melompat-lompat kegirangan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat. 
Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian 
kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Se-
na melakukan jurus itu. 
"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempela-
jari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik 
hati..," ucap Sena. 
"Nguk nguk..!" 
Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Sea-
kan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih 
nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seo-
lah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya. 
"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua 
gerakan-gerakanmu? Baik...!" 
Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang 
sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu berta-
rung dengan ular sanca. Tangan kanannya dikibas-
kibaskan, kemudian disentakkan dengan keras. 
"Nguk, nguk, nguk...!" 
Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keras-
keras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan 
gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan me-
lompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang 
tadi digunakan untuk melawan musuhnya. 
Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan 
yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara me-
langkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan 
tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri. 
Pendekar  Gila menamparkan tangan kirinya 
dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalam-
nya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar 
biasa! 
Glarrr! 
Kraaak...! Bummm! 
Pohon besar di hadapannya seketika meledak 
terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tam-
paran itu sangat pelan. 
"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena 
terlongong dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kemudian dengan suara yang 
keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh. 
Pendekar Gila mengambil Suling Naga Sak-
tinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-
ka itu pula... 
Darrr! 
Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar 
saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus 
'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan 
Suling Naga Sakti. 
"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat," 
tutur Sena. 
"Nguk, nguk...!" 
Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang 
lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas 
pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghi-
lang. 
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia te-
lah memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ter-
nyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, 
hanya dapat dikalahkan dengan jurus 'Tamparan 
Sukma'. 
"Hyang  Jagat Dewa Batara, terima kasih atas 
pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera un-
tuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian den-
gan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya, 
aku harus mempelajari jurus 'Tamparan Sukma' itu 
lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik." 
Sena kemudian bersila untuk mengheningkan 
cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memu-
lihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama 
bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pende-
kar Gila, mengepul kabut berwarna ungu. Wajahnya 
merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula. 
Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih 
kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bang-
kit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali. 
"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan 
seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan 
baik," ucapnya pada diri sendiri. 
Pendekar Gila segera membuka tangannya. 
Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Se-
dang tangan kanannya membentuk siku berada di 
samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping, 
lalu dilangkahkan ke depan menyilang. 
Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihen-
takkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-
rentangkannya ke samping, diikuti dengan tamparan 
tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Se-
dangkan tangan kanannya mencabut Suling Naga Sak-
ti, yang kemudian ditiupnya. 
Glarrr! 
Darrr! 
Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi ba-
gai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali. 
Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum 
sesempurna gerakan kera tadi. 
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala. 
"Aku harus terus belajar!" tekadnya berseman-
gat 
*** 
10 
Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang da-
ri dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik 
Ireng kepada para pendekar habis. Berarti para pende-
kar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk 
menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan 
sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang 
pun dari para pendekar yang berani membangkang. 
Semua hadir kembali di Puncak Lawu. 
"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas 
penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?" 
tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke 
seluruh pendekar yang hadir di tempat itu. 
Tak seorang pun yang menjawab. Mereka sea-
kan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang 
tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka. 
"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang ti-
dak setuju jika aku menjadi pemimpin rimba persila-
tan?! Jawab...!" bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah. 
"Aku...!" 
Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar ja-
waban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang 
tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke 
sesosok tubuh yang berkelebat. 
Para pendekar tersenyum lega melihat siapa 
yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang  ter-
sentak kaget, setelah mengetahui siapa yang datang 
dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Ca-
trik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang ba-
ru tiba itu  
"Pendekar Gila...!" 
"Dia tidak mati...!" teriak Resi Sarameskari. 
"Ya! Dia telah kembali...!" pekik Dewi Pandagu 
saat menyaksikan kedatangan orang yang telah me-
nyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti 
jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan 
yang berpadu dengan keharuan. 
"Kau...! Kau belum mampus, Pendekar Gila?!" 
tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar. 
"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum men-
gizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Mungkin belum waktunya, Ki. Dan 
mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup 
untuk menumpas orang-orang sepertimu." 
Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar kata-
kata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya mem-
buru turun-naik. 
"Kurang ajar! Kau tidak akan mampu menga-
lahkanku, Pendekar Gila!" bentak Ki Catrik Ireng gu-
sar. 
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya  meng-
garuk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum 
sambil kakinya berjingkrak-jingkrak. 
"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya 
ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah." 
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Rupanya kau 
memang harus kusingkirkan!" 
"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki! Mungkin-
kah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.  
"Kau sepertinya semakin takabur saja...." 
"Kurang ajar! Yeaaa...!" 
Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat 
terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berju-
bah hitam ini melesat dengan serangan ganas ke arah 
Pendekar Gila. 
Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang, 
dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samp-
ing, kemudian segera berkelebat memapaki serangan 
lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedang-
kan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-
tu ke depan. 
"Heaaat...!" 
Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulur-
ulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus anda-
lan yang telah mampu mengalahkan Pendekar Gila tu-
juh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan menga-
lami hal yang sama. 
Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk ke-
pala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke 
depan. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke 
samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemu-
dian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan 
oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor. 
"Yeaaat..!" 
"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang 
kau gunakan, Ki? Aha, jurus yang hebat..," ledek Pen-
dekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya 
menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor 
monyet 
Ki Catrik Ireng tersentak kaget. Serangannya 
yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya 
melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengenge-
san sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar 
Gila?!" bentak Ki Catrik Ireng. 
Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangan-
nya masih menggaruk-garuk kepala. 
"Kau kaget, Ki? Ah, sungguh kebetulan saja 
aku tidak salah menebak nama jurus yang kau guna-
kan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?" 
Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begi-
tu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot ta-
jam penuh amarah. 
"Tutup mulutmu! Meski kau telah tahu nama 
jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku. 
Yeaaat..!" 
Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali. 
Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian 
tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan 
membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya 
membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor 
ular. 
"Szzz...!" Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor 
ular. 
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila se-
gera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian di-
tepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya 
sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu 
silat 
"Yeaaa...!" 
Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada. 
Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping, 
membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya men-
gibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh 
luar biasa! Dari kibasan tangan itu, keluar serangkum 
angin yang menyentak kuat 
Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya 
yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus 
merangsek. Tangannya mematuk. Tubuhnya meliuk-
liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam 
mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai 
ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan. 
"Remuk kepalamu, Pendekar Gila! Heaaa...!" 
Wuttt! 
Serangan mematuk menghantam dan menen-
dang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat 
hati Pendekar Gila ciut. Malah Pendekar Gila bergerak 
dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela di-
ri. 
Semua orang yang menyaksikan gerakan Pen-
dekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi 
Pandagu sempat memekik tegang. 
"Oh, mengapa dia?!" 
"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas?!" 
gumam Resi Sarameskari. 
Semua pendekar dilanda kekhawatiran, me-
nyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gi-
la. Mata mereka memandang tegang. Takut kalau-
kalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk 
kedua kalinya. 
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila! Yeaaat..!" 
Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Ca-
trik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tan-
gannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api. 
"Celaka! Pendekar Gila bisa benar-benar mati 
kali ini!" 
"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi 
Sarameskari. 
Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila 
hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemu-
dian dijejakkan ke depan. Bersamaan dengan mena-
paknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah 
lawan. 
"Yeaaat..!" 
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya 
tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak be-
rarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpe-
jam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, 
Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang 
membara ke arah lawan. 
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hiaaa...!"   
Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Se-
dangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan 
dengan mata terpejam. 
Glarr! 
"Ukh...!" 
Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya 
terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata 
membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihan-
curkan! Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terli-
hat pelan dan dilakukan dengan mata terpejam pula, 
mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak 
ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seke-
tika hancur. 
"Ha ha ha...! Mengapa kau terjatuh, Ki? Ma-
kanya, kalau mundur hati-hati...!" celoteh Pendekar 
Gila sambil menggaruk-garuk kepala. 
Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar 
ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigi-
giginya saling beradu, menahan amarah yang meluap-
luap. 
"Bedebah! Ilmu siluman! Rupanya  kau telah 
bersekutu dengan siluman!" maki Ki Catrik Ireng, asal 
jadi. 
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal men-
dengar tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Ke-
mudian dengan tingkah laku persis seperti kera yang 
dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus 
'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata.... 
"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau 
memutarbalikkan kata! Tentulah kau yang telah ber-
sekutu dengan iblis! Kau siksa orang dengan seenak-
nya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat me-
reka bagaikan budak-budak hina mu! Lalu, kau jadi-
kan mereka laskar. Laskar Setan!" 
"Bohong...! Mereka tetap sadar!" 
Pendekar Gila kembali tertawa sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa 
maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari se-
buah  bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar 
Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang 
anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibe-
baskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka. 
"Benar! Orang inilah buktinya...!" seru Nyi Ken-
dil. 
Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang 
menggandeng seorang lelaki. 
"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diper-
dayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada 
bekas Laskar Setan. 
"Jangan kalian tertipu oleh mereka!" seru Ki 
Catrik Ireng. 
"Katakanlah...!" perintah Nyi Kendil mendesak 
Orang itu pun dengan takut-takut menceritakan apa 
yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawan-
kawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan 
hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki pera-
saan dan rasa sakit. Itu sebabnya Laskar Setan tak 
akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam 
dan setiap tugas yang mereka lakukan.  
"Bangsat! Kurobek mulutmu! Yeaaa...!" Dengan 
penuh amarah, Ki Catrik Ireng berkelebat, siap mela-
brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun 
belum juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah 
berkelebat menghadangnya. 
"Mau ke mana, Ki? Biarkan mereka membuka 
kedokmu yang busuk dan keji!" seru Sena. 
"Kurang ajar! Rupanya kau dulu yang harus 
kusingkirkan!" 
"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena.  
"Kubunuh kau! Heaaa...!" 
Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan 
jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tan-
gan kanannya mematuk-matuk ke arah kepala dan 
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular. 
Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya 
melangkah membentuk setengah lingkaran. 
Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular, 
meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus 
menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang 
dahsyat 
"Ku  tahu ajian 'Waringin Sungsang'  mu me-
mang hebat Ki. Tapi, sehebat-hebatnya ilmu seseorang 
tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan 
dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Warin-
gin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki 
Catrik Ireng. 
"Kurang  ajar! Jangan banyak bacot! Katakan 
sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah 
memberitahukan kepadamu?!" bentak Ki Catrik Ireng 
sambil terus bergerak menyerang. 
"Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas ja-
samu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menja-
dikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu 
itu ternyata masih ada yang mampu menandinginya. 
Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-
la sambil tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"Bedebah...! Katakan, ilmu apa yang akan kau 
kerahkan untuk menandingi ku, heh?! Jangan kira il-
mumu akan mampu mengalahkanku! Ilmu gilamu tak 
ada artinya bagiku!" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-
bir. 
"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang mem-
buat mata hatimu buta! Maka hanya kematianlah yang 
akan mengakhiri kesombonganmu! Ilmu 'Tamparan 
Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu 
menandingi jurusmu! Nah, bersiaplah! Yeaaa...!" 
Pendekar Gila segera merentangkan kaki ka-
nannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan 
serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Sete-
lah itu, kaki kanan ditarik lalu melangkah menyilang 
ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengi-
bas pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak 
tangan pelan ke arah lawan. 
Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah 
mundur dua  tindak. Kemudian, didahului pekikan 
menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang. 
"Yeaaah...!" 
Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih te-
tap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat, 
berusaha secepatnya menjatuhkan lawan. Bahkan bila 
perlu membunuhnya. 
Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan 
kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil 
kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kem-
bali melakukan tamparan ke arah lawannya. 
Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagai-
mana tamparan yang pelan namun ternyata mengan-
dung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki 
Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, men-
ganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak me-
lihat.  
Namun....  
Wuttt!  
Glarrr! 
"Ukh...! Setan...!" maki Ki Catrik Ireng dengan 
tubuh terpental ke belakang. Dadanya terasa sesak 
akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak, 
tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak 
masuk akal, kalau tamparan pelan tangan kiri Pende-
kar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan 
mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya ter-
lempar demikian jauh. 
Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenya-
taan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi 
dengan apa yang terjadi. 
"Kubunuh kau! Yeaaa...!" 
Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang be-
rupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya 
itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila. 
Melihat lawan telah mengeluarkan senjata an-
dalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga 
Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya 
ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya. 
"Yeaaa...!" 
Wuttt! 
Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian 
bertemu di udara.  
Trang! 
Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua sen-
jata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke be-
lakang. 
Pendekar Gila menangkap Suling Naga Sak-
tinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik 
Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah 
menjadi empat bagian dan berguguran ke tanah. 
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu! Yeaaat..!" 
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk mem-
bunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, la-
lu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sung-
sang'nya. 
Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya ju-
ga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sam-
bil bergerak dengan jurus 'Tamparan Sukma'. 
"Yeaaa...!" 
"Heh!" 
Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan 
ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga 
Sakti. Tanpa ampun lagi.... 
Krak! 
Glarrr! 
Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik 
Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah 
dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat 
enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki 
Catrik Ireng. 
"Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang 
tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur," 
gumam Sena. 
"Sena...!" seru Dewi Pandagu sambil berlari 
menghampiri pujaan hatinya. Kemudian keduanya sal-
ing berpegangan tangan dan saling pandang. 
"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak 
aku pasti menemuimu untuk bertanggung jawab atas 
semua yang telah kulakukan padamu."  
"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pende-
kar Gila menggeleng sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal. 
"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin 
perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawan-
kawan. Aku mohon pamit..!" 
Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila ber-
kelebat meninggalkan  mereka, menjadikan Dewi Pan-
dagu terpaku. 
"Sena...! Kutunggu...!" panggil Dewi Pandagu, 
ketika menyadari dirinya akan kembali kehilangan 
orang yang dicintai. 
Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum 
sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya 
dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan 
pandangan penuh kekaguman. 
Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika 
para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah 
sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda 
yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun 
telah membantu Pendekar Gila untuk membebaskan 
Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan 
Laskar Setan pun tiba-tiba sadar dengan sendirinya. 
Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun da-
ri mimpi. 
"Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya 
Prabasangka.     
"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai 
saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi meni-
kahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil. 
Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawa-
lan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar 
kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wa-
jah bumi menjadi demikian ramah. 
Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan. 
Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbang-
nimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan 
bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihat-
nya tadi betapa mesranya Pendekar Gila dengan Dewi 
Pandagu. 
"Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulan-
dari malu-malu. 
SELESAI 

Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com