Pendekar Gila 11 - Perjalanan Ke Akherat(2)


“Bagaimana kabar para pendekar yang mengikuti 
sayembaraku...?” tanya Sumantri pada keempat anak 
buahnya yang saat itu tengah menghadapnya. 
“Nampaknya mereka mengalami kesulitan, Tuan,” 
jawab Jalna Kumilang. 
“Hm...,” gumam Sumantri tak jelas. 
Nampaknya lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini 
merasa prihatin mendengar kegagalan para pendekar 
yang mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin 
bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah bersisik dan 
penghuni Pulau Karang Api yang berada di tengah 
Danau Sambak Neraka. 
“Kabar terakhir yang kami dengar, Tri Pakit 
Palimping juga didapatkan telah tewas dengan 
keadaan yang sama dengan korban-korban sebelum-
nya,” sambung Sugatra sambil menggeleng-geleng-
kan kepala. 
“Sepertinya, mereka mati oleh cambuk berapi dan 
puluhan jarum-jarum beracun,” tambah Sugatri. 
Sumantri menghela napas panjang, mendengar 
penuturan tangan kanannya. Dia semakin tidak habis 
pikir, siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik 
dan juga siapa penghuni Pulau Karang Api yang 
memiliki ilmu kesaktian tinggi itu? 
“Apakah belum ada yang mampu menundukkan 
penghuni Pulau Karang Api...?” tanya Sumantri. 
“Kami rasa belum, Tuan,” jawab Jalna Kumilang. 
“Hm...,” gumam Sumantri sambil bertopang dagu 
 
 
dengan jari-jari tangan kanannya. Matanya me-
mandang lepas ke pintu rumahnya. Di sana empat 
orang penjaga lengkap dengan senjata tombak 
berada. 
Sumantri berdiri dari duduknya, kemudian 
melangkah menuju ke pintu. Dihelanya napas 
panjang-panjang, kemudian dengan tubuh mem-
belakangi keempat anak buahnya dia mendesah 
gelisah. 
“Selama ini, aku belum juga mengerti. Ke mana 
hilangnya Anjasmara dan Sambi? Mereka bagaikan 
ditelan bumi,” gumam Sumantri lirih. Kemudian 
perlahan membalikkan tubuh, memandang keempat 
anak buahnya. 
“Apa Tuan yakin mereka masih hidup?” tanya Iblis 
Selendang Ungu. 
“Entahlah. Mungkin mereka masih hidup,” 
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Sesaat 
ucapannya berhenti. “Menurut cerita, siapa pun yang 
datang ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau 
mati mengapa tak ada bangkainya...?” 
Keempat anak buah juragan kaya itu terdiam. 
Mereka tampaknya turut berpikir mengenai pendapat 
Sumantri. Memang rasanya aneh kalau orang mati 
selama puluhan tahun belum juga ditemukan 
kerangkanya. 
“Apakah tidak mungkin mereka memiliki ilmu 
menghilang?” tanya Iblis Selendang Ungu memecah 
kesunyian. 
“Ilmu menghilang? Dari mana mereka mendapat-
kannya? Guru kami tak pernah mengajari ilmu itu. 
Lagi pula, ilmu itu hanya berguna sebentar. Tidak ada 
orang yang menggunakan ilmu menghilang sampai 
puluhan tahun?” tanya Sumantri sambil tersenyum 
 
 
kecut. 
Kembali semuanya terdiam, tak ada yang dapat 
menjawab kemisteriusan semua perisriwa yang 
terjadi. Baik penghuni Pulau Karang Api, maupun 
lenyapnya suami istri Anjasmara dan Sambi yang 
belum diketahui bagaimana nasib mereka sebenar-
nya. 
“Coba kalian pikir!” tiba-tiba Sumantri angkat 
bicara setelah lama terdiam. Hal itu membuat 
keempat anak buahnya tersentak. “Aku punya 
pendapat mungkin bocah itu anak Anjasmara dan 
Sambi.” 
Seketika keempat anak buahnya tersentak kaget. 
Mata mereka terbelalak mendengar penuturan 
Sumantri. Kemudian keempatnya saling ber-
pandangan. 
“Bagaimana mungkin, Tuan?” Tanya Jalna 
Kumilang merasa heran dan tak mengerti. 
“Ya! Bagaimana mungkin manusia bisa punya 
turunan bocah ular?” sambung Sugatra. 
Sumantri tersenyum kecut. 
“Aku baru ingat sekarang. Mereka pasti mendapat 
kutuk penghuni Pulau Karang Api. Puluhan tahun 
lamanya, tak seorang manusia pun yang berani ke 
tempat itu. Tiba-tiba muncul sepasang suami istri, 
kedua adik seperguruanku itu,” jawab Sumantri, yang 
semakin menyentakkan semua anak buahnya. Kini 
mereka baru tahu, kalau Pulau Karang Api bukanlah 
pulau sembarangan. 
“Jadi, siapa pun yang ke Lembah Akherat akan 
mengalami kematian. Begitu...?” tanya Jalna 
Kumilang menegaskan maksud Sumantri. 
“Benar! Mereka telah menjadi mangsa penunggu 
danau keramat itu!” sahut Sumantri. 
 
 
“Lalu mengapa Tuan membuat sayembara?” 
“Hua ha ha...! Kau cerdas juga, Jalna. Sebenarnya 
aku ingin menjadi orang yang paling sakti dan nomor 
satu di rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin 
meyakinkan kalau Anjasmara dan Sambi telah tewas. 
Sejak aku pergi ke Lembah Akherat, aku sudah 
menduga bahwa tak ada seorang pun yang sanggup 
datang ke tempat itu....” 
“Ada...!” 
Tiba-tiba dari luar terdengar sahutan keras, diikuti 
oleh tawa menggelegar yang disertai pengerahan 
tenaga dalam. Tidak begitu lama kemudian, 
berkelebat masuk sesosok tubuh pemuda tampan 
berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari 
kulit ular. Tingkah laku pemuda itu seperti orang gila, 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Baik 
Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak 
kaget bukan kepalang. 
“He he he...! Mengapa mesti berputus asa? Tidak 
baik manusia cepat putus asa,” ujar pemuda tampan 
yang ternyata Pendekar Gila. 
Sumantri dan keempat anak buahnya mengerut-
kan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda yang 
baru datang itu. Tingkah lakunya persis orang gila. 
“Siapakah kau, Kisanak?” tanya Sumantri. 
“Aha, lucu sekali. Mengapa mesti bertanya siapa 
diriku? Yang pasti, aku akan ke Lembah Akherat yang 
kau katakan tadi, Ki.” 
“Jadi kau ingin mengikuti sayembara?” tanya 
Sumantri. 
“Sayembara...?   Ha ha   ha...!   Lucu   sekali 
omonganmu. Kurasa aku tidak ikut sayembaramu,” 
jawab Sena seenaknya, membuat semua orang yang 
ada di tempat itu semakin mengerutkan keningnya. 
 
 
Agak marah juga mereka mendengar perkataan Sena 
dan tingkah lakunya yang persis orang gila. 
“Bocah edan! Kalau tidak ikut sayembara, untuk 
apa kau datang kemari?!” bentak Sumantri gusar. 
“Aha, mengapa mesti marah? Tidak bolehkah aku 
ikut ngobrol bersama kalian?” tanya Sena masih 
dengan ucapan seenaknya. Kemudian dengan acuh 
kakinya melangkah ke kursi yang tadi diduduki 
Sumantri, dan langsung duduk di sana. 
“Bocah edan! Jangan sembarangan kau di sini. Ini 
bukan tempat nenek moyangmu! Pergi dari sini!” 
dengus Jalna Kumilang seraya menyambarkan 
tangannya ke kepala Pendekar Gila. 
Wut! 
“Uts! Galak sekali kau, Ki! Eh, meleset! He he...!” 
ujar Sena sambil merundukkan kepala sehingga 
serangan lelaki setengah baya itu melesat beberapa 
jari di atas kepalanya. 
Merasa serangannya gagal, Jalna Kumilang ber-
tambah marah. Dia hendak kembali menyerang, 
tapi.... 
“Tunggu....!” ujar Sumantri, mencegah tindakan 
Jalna Kumilang. 
“Tuan, biar kuhajar bocah gila ini!” dengus Jalna 
Kumilang marah dan malu, karena serangannya yang 
menjadi andalan jurus silatnya dengan mudah 
dielakkan lawan. 
“Sabar, Ki,” kata Sumantri seraya melangkah men-
dekati Sena. “Anak muda, katakan... siapa sebenar-
nya dirimu! Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini 
tanpa permisi?” 
“Permisi? Ha ha ha...! Untuk apa permisi? Kalian 
saja kalau berbuat sesuatu tanpa permisi. Lucu 
sekali…” 
 
 
Semakin bertambah berang saja keempat anak 
buah Sumantri mendengar ucapan pemuda yang 
konyol itu. Mata mereka membelalak penuh amarah. 
“Bocah edan ini memang harus dihajar, Tuan!” 
kata Sugatra yang nampaknya sudah muak dengan 
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. 
“Sabar, Sugatra!” cegah Sumantri. “Anak muda, 
apa maksud kata-katamu?” tanyanya pada Sena. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
“Aha, masih juga kalian lupa? Kalian telah 
mengadakan sayembara tanpa mengundang orang-
orang persilatan untuk berembuk. Juga kalian tidak 
mengundang pihak Kadipaten Lumajang dan 
Kerajaan Pahulu.” 
Terbelalak mata Sumantri dan keempat anak 
buahnya. Mereka semakin bertambah marah dan 
begitu tersinggung dengan ucapan pemuda yang 
bertingkah laku gila itu. 
“Bocah gila! Apa urusanmu?” bentak Sumantri 
yang semakin gusar. “Kalau kau mau ikut sayembara-
ku, tak perlu banyak tanya. Ikuti saja! Kalau kau 
menang, dan dapat mengambil bocah bersisik ular, 
kau akan kuberi hadiah separo hartaku!”  
“Aha, tawaran yang sangat menggiurkan. Hm.... 
Baiklah. Aku hendak mengikuti sayembaramu. Nah, 
kini katakan, ke mana aku harus pergi agar sampai di 
tempat yang kau maksudkan,” kata Sena sambil 
masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 
“Berjalanlah lurus ke arah selatan. Kira-kira 
setengah hari perjalanan, kau akan sampai,” kata 
Sumantri menjelaskan, berusaha menahan amarah 
atas tingkah laku pemuda yang seperti orang gila itu. 
“Aha, terima kasih. Sediakan hadiahnya, aku akan 
 
 
segera kembali kemari!” ujar Sena seenaknya. 
Tentu saja tingkah pemuda itu membuat kaget 
keempat anak buah Sumantri. Mata mereka langsung 
melotot. Namun Sumantri segera mengangkat tangan 
memerintah agar mereka tidak keburu nafsu. 
Kemudian didekatinya Jalna Kumilang sambil ber-
bisik. 
“Biarkan saja pemuda edan ini mati di sana. 
Bukankah dengan begitu kita tidak perlu turun 
tangan?” 
Sumantri tertawa terbahak-bahak. Begitu juga 
Jalna Kumilang dan lainnya setelah mendengar 
bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam 
mendengar bisikan Sumantri, turut tertawa tergelak-
gelak. Hal itu  membuat semuanya tersentak dan 
diam. Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila 
mendengar bisik-bisik mereka. Pendengaran Sena 
yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam 
Rungu'nya tentu saja dapat mendengar suara sekecil 
apa pun jika menggunakan ilmu itu. 
“Kenapa diam? Ha ha ha...! Enak sekali tertawa di 
malam hari begini, Kisanak. Ayo, kita tertawa, ha 
ha...!” kata Sena sambil tertawa terbahak-bahak. 
Bahkan kini berjingkrak-jingkrak tidak ubahnya 
seperti seekor kera yang kegirangan. 
Kelima orang yang ada di tempat itu semakin 
membelalakkan mata, menyaksikan tingkah laku 
Pendekar Gila yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-
nya. 
“Aha, kenapa kalian seperti patung? Hi hi hi...! 
Ayolah, kita senang-senang merayakan kemenangan-
ku!” katanya dengan tingkah laku konyol. Tubuhnya 
berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet 
 
 
 
*** 
 
Melihat kelima lelaki itu masih terdiam, tawa 
Pendekar Gila semakin keras dan tergelak-gelak. 
Tingkah lakunya semakin bertambah konyol, 
dianggapnya ruangan rumah Sumantri sebagai arena 
untuk tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak. 
“He he he...! Lucu sekali kalian. Jika begitu, kalian 
mirip dengan patung-patung bloon. Ha ha ha...!” 
“Kurang ajar!” maki Sugatra. “Bocah sinting ini 
tidak bisa didiamkan, Tuan!” 
“Ya! Bisa-bisa kurang ajar!” tambah Sugatri. 
“Hm...,” Sumantri bergumam lirih. Matanya tak 
lepas memandangi pemuda bertingkah gila di 
hadapannya yang masih berjingkrakan sambil 
tertawa-tawa. 
Hal serupa juga dilakukan Iblis Selendang Ungu. 
Gadis cantik yang sifarnya buruk itu, pandangan 
matanya tak lepas menatap Pendekar Gila. Kening-
nya berkerut, rasa kesal dan tertarik pada 
ketampanan serta tingkah laku pemuda itu beraduk 
menjadi satu di dadanya. 
Siapakah pemuda gila ini? Tanya Iblis Selendang 
Ungu dalam hati. Matanya masih menatap tajam 
pada Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil 
berjingkrak-jingkrak. 
Tingkah lakunya, mengingatkan aku pada 
pendekar yang namanya sedang menjadi bahan 
pembicaraan orang-orang rimba persilatan! Gumam 
Suma dalam hati dengan mata tak lepas merayapi 
tubuh Pendekar Gila. Mungkinkah pemuda ini 
orangnya? 
“Hua ha ha...! Kenapa kalian masih diam? 
Bukankah kalian tadi mengajakku tertawa? Hi hi 
 
 
hi...!” masih terus tertawa-tawa sambil berjingkrakan. 
kali tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu 
menepuk-nepuk pantat. 
“Anak muda, kami rasa tak ada salahnya sebelum 
kau mengikuti sayembaraku, kita berkenalan lebih 
dulu,” ujar Sumantri berusaha ramah sambil 
mengulurkan tangannya ke arah Pendekar Gila. 
Sena malah tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya tangan Sumantri 
kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar 
kaya itu. Lalu dengan mulut masih cengengesan, 
dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak 
Sumantri terbelalak kaget, karena jabatan tangan 
Pendekar Gila begitu keras dan dialiri tenaga dalam 
yang amat kuat. 
“Aku Sena,” ujar Pendekar Gila cengengesan 
melihat Sumantri meringis-ringis dengan mata 
membelalak. Hal itu membuat keempat anak 
buahnya semakin marah. 
“Bocah edan! Rupanya kau ingin menunjukkan 
kebolehanmu! Hadapi aku Jalna Kumilang!” bentak 
Jalna Kumilang sambil bergerak menyerang Pendekar 
Gila yang cengengesan. 
Sementara Sumantri yang meringis-ringis, 
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk 
mengimbangi tenaga lawan. 
“Yeaaa...!” 
Dengan jurus 'Landung Sangkul' Jalna Kumila 
bergerak menusuk ke wajah Pendekar Gila. 
“Heits! Galak sekali kau, Ki!” 
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke belakang, 
Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan Jalna 
Kumilang. Kemudian dengan melepaskan tangannya 
dari genggaman tangan Sumantri, Pendekar Gila 
 
 
bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari, 
bergerak maju dengan kaki yang terlihat pelan dan 
aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna 
Kumilang. 
“Heaaa...!” 
Tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke dada 
lawan. Jalna Kumilang tersentak kaget dengan mata 
terbelelak. Sungguh tidak disangkanya kalau tangan 
pemuda itu bergerak begitu cepat. Padahal gerakan 
Pendekar Gila tampak pelan dan lemah sekali. 
“Celaka! Jurus siluman!” pekik Jalna Kumilang 
dengan mata tegang, merasa gerakannya kini mati 
langkah. Hampir saja tangan Pendekar Gila meng-
hantam dada Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah 
pukulan yang keras menghadangnya. 
“Heaaa..!” 
Sebuah teriakan mengiringi serangan Sugatra. 
Dan....  
Plak! 
“Ugkh...!” 
Sugatra mengeluh. Dirasakan tangannya kesakitan 
akibat benturan keras dengan Pendekar Gila. Dia 
segera melompat dengan mulut menyeringai 
kesakitan, memandang Sena yang tampak tengah 
cengengesan menggaruk-garuk kepala, serta me-
nepuk pantat seperti kera. 
Melihat tangan kakaknya terluka, Sugatri dengan 
mendengus langsung merangsek Pendekar Gila. 
Tidak tanggung-tanggung lagi, dia segera mencabut 
senjatanya yang berupa golok mengeluarkan sinar 
biru. 
“Kuhancurkan kepalamu! Heaaa...!”  
Wut! Wut! 
 
 
Golok bersinar biru berkelebat membabat kepala 
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena meng-
egoskan tubuh ke samping. Disertai tingkah lakunya 
yang konyol seperti seekor kera. Sena bergerak 
menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. 
Tubuhnya bergerak seperti melepas lilitan yang 
mengikatnya, berputar ke kiri. Hal itu membuat jurus 
'Gerak Kala Mengatup' yang dilancarkan Sugatri tak 
menemui sasaran. 
Setiap serangan datang, dengan cepat Pendekar 
Gila bergerak menghindar. Tubuhnya berputar, 
kemudian berbalik menyerang lawan dengan pukulan 
dan tendangan. Meski sepinras gerakannya terlihat 
lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang 
dilakukannya mampu melebih kecepatan gerakan 
lawan.  
“Hiaaat..!” 
Diiringi pekikan keras, Sugatri melompat cepat. 
Hatinya semakin bernafsu menyerang Sena, karena 
merasa serangan andalannya tidak berhasil. Meski-
pun Sugatri telah melancarkan serangan dengan 
cepat. Kini dia mulai menambah kecepatan ber-
geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala 
Merah Beracun'.  
Wut! Wut...! 
Golok di tangan Sugatri terus bergerak cepat 
dengan tebasan dan sodokan ke bagian tubuh yang 
mematikan lawan. Namun dengan mudah Pendekar 
Gila mampu mengelakkan setiap serangan dengan 
gerakan-gerakan yang tampak lamban. 
“Uts! He he he...! Kurang cepat, Ki! Coba kau 
terima ini!” sambil berkata begitu, dengan cepat 
Pendekar Gila melayangkan jotosan ke wajah lawan-
nya. 
 
 
“Hih...!” 
Sugatri tersentak mendapatkan serangan yang 
kelihatan lambat namun tahu-tahu berkelebat di 
depannya. Sugatri berusaha mengelak, tapi rupanya 
gerakan Pendekar Gila tak dapat diimbanginya. 
Maka.... 
Bugkh! 
“Wuaaa...!” pekik Sugatri. Tubuh lelaki berpakaian 
merah itu terlontar ke belakang dan terbanting ke 
meja tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah 
seorang dari Sepasang Kera Bergolok Biru itu melorot 
keras, kemudian jatuh menimpa kursi sampai 
berantakan. 
Semakin bertambah marah semuanya melihat 
tingkah laku pemuda bertampang gila yang telah 
mampu mempecundangi Sugatri, bahkan membuat-
nya terluka 
“Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin 
merasakan pukulanku!” dengus Jalna Kumilang 
marah. “Tuan, izinkan aku menghajar bocah sombong 
ini!” 
“Sombong...? Hi hi hi...! Kalianlah yang sombong, 
ada pesta tidak mengundang-undang aku,” sahut 
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk 
kepala. 
“Huh! Dasar bocah gila! Rupanya kau harus 
dihajar!” maki Jalna Kumilang. Wajahnya membara 
oleh amarah. Namun karena Sumantri nampaknya 
belum mengizinkan, Jalna Kumilang masih berusaha 
menahan kesabaran. 
“Sabar, Ki!” kata Sumantri. Didekatinya Jalna 
Kumilang, kemudian dengan berbisik Sumantri 
mengatakan sesuatu pada lelaki setengah baya itu. 
“Kalian tak akan mampu menghadapinya, Ki.” 
 
 
“Kenapa?” 
“Dia bukan pemuda gila sembarangan. Kurasa 
dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir ini namanya 
sedang membubung tinggi,” bisik Sumantri men-
jelaskan. 
Terbelalak mata Jalna Kumilang setelah tahu siapa 
pemuda bertampang dan bertingkah laku seperti 
orang gila itu. Matanya memandang tak berkedip 
pada Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang baru 
menyadari siapa sesungguhnya pemuda tampan itu. 
Sumantri dengan bibir masih tersenyum, me-
langkah mendekati Pendekar Gila. 
“Tuan Pendekar, kami harap Tuan sudilah me-
maafkan kami!” kata Sumantri berusaha membujuk 
Pendekar Gila agar tak meneruskan pertarungan itu. 
Sumantri nampaknya menyadari, bagaimanapun dia 
dan keempat anak buahnya tak mungkin mampu 
mengalahkan pemuda yang bertingkah gila itu. 
“Aha, kenapa tidak sejak tadi? Lucu sekali kalian,” 
sahut Sena dengan tingkah laku yang tak luput dari  
cengengesan dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet. 
“Untuk itulah, kami minta maaf. Dan kalau 
memang Tuan bermaksud mengikuti sayembara yang 
ku adakan, silakan Tuan datang ke Lembah Akherat. 
Kalau Tuan mampu menangkap bocah bersisik itu, 
kami akan memberikan sebagian harta kami,” tutur 
Sumantri. 
“Aha, menyenangkan! Baiklah kalau memang 
begitu, aku akan segera ke sana. Permisi...!” 
Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat 
meninggalkan Sumantri dan keempat anak buahnya 
yang masih menyimpan amarah. 
“Jadi dia Pendekar Gila, Tuan?” tanya Iblis 
Selendang Ungu. 
 
 
“Ya! Percuma saja kita berurusan dengannya. Yang 
pasti, kita harus mempersiapkan penyambutannya. 
Cepat atau lambat, tentunya dia akan datang ke 
tempat ini. Untuk itulah, kuharapkan kalian mencari 
teman sebanyak mungkin guna menghadapinya!” 
kata Sumantri. 
“Apakah Tuan tak percaya kemampuan kami?” 
tanya Sugatra merasa kurang senang. 
“Bukan aku tak percaya pada kalian. Tapi 
percayalah, guruku saja mungkin tak akan sanggup 
menghadapinya. Dan aku sendiri besok akan 
memanggil guruku,” ujar Sumantri meyakinkan. 
Keempat anak uahnya itu akhirnya menerima juga 
pendapat majikan mereka. “Hei, ke mana para 
penjaga?!” 
Mereka serentak keluar untuk melihat apa yang 
terjadi. Mata mereka membelalak, ketika menyaksi-
kan delapan penjaga dalam keadaan tertotok. 
“Tentunya sebelum masuk Pendekar Gila telah 
menotok mereka lebih dahulu,” gumam Sumantri. 
“Pantas dari tadi mereka tak muncul!” sambung 
Iblis Selendang Ungu. 
Mereka segera bergerak membebaskan totokan di 
tubuh delapan penjaga keamanan di rumah saudagar 
kaya itu. 
*** 
 
 
 
 
 
 
 
Pagi teramat dingin. Embun pun masih menempel di 
dedaunan dan membasahi tanah. Mentari belum juga 
muncul ke permukaan bumi. Hanya bias merah di 
ufuk timur yang terlihat, pertanda kalau sang Raja 
Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-burung 
pun berkicau riang, seakan-akan hendak menikmati 
indahnya suasana pagi. 
Desa Kalimas yang merupakan desa terdekat 
jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi itu masih sepi. 
Belum ada seorang manusia pun yang keluar dari 
rumahnya. Meskipun mungkin mereka sudah bangun. 
Saat itu, tampak dua sosok manusia berjalan 
menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka adalah 
seorang lelaki dan perempuan berusia sekitar lima 
puluh tahun. Kedua orang yang berpakaian hijau 
muda merah itu tampak berjalan begitu intim 
menembus suasana pagi yang dingin dan sunyi itu. 
Yang wanita berambut diikat ke atas kepala, 
dengan ujungnya terurai ke bawah. Bibirnya yang 
keriput, menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi 
Abang. Tubuhnya kecil dan tidak begitu tinggi, 
kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-
kan. Itu sebabnya perempuan tua ini mendapat 
julukan si Kijang Emas. 
Sedang lelaki tua yang berjalan di sampingnya 
berambut lurus tergerai. Tingginya lebih sekepala 
dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-
nya tenang. Tubuhnya agak bungkuk, dengan jenggot 
 
 
dan kumis menghias di wajahnya. Hidungnya 
mancung, dan matanya agak menyipit. Dialah Ki 
Braga Kumba. 
Keduanya bermaksud berangkat ke Lembah 
Akherat, atau tepatnya menuju Danau Sambak 
Neraka. Keduanya seperti pendekar dan tokoh 
persilatan lainnya, yang tertarik dengan kabar 
mengenai munculnya bocah bersisik di Pulau Karang 
Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah 
mendapatkan bocah itu, untuk selanjutnya diserah-
kan pada Sumantri. Kedua, mereka juga ingin 
membuktikan benar tidaknya kabar itu, serta ingin 
tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Karang Api 
yang selama ini belum seorang tokoh pun mampu 
menjarah tempat itu. 
“Masih jauhkah jarak yang harus kita tempuh, Ki?” 
tanya Nyi Rawit Abang. 
“Kurasa tidak, Nyi. Sebab kalau kita sudah 
melewati Desa Kalimas, tinggal seperempat hari 
dengan berjalan biasa, kita akan segera sampai,” 
jawab Ki Braga Kumba berusaha menghibur hati 
kekasihnya. 
“Aku tak mengerti. Bagaimana mereka yang ke 
Lembah Akherat benar-benar sampai ke akherat? 
Mereka tidak pernah pulang,” gumam Nyi Rawit 
Abang. 
Ki Braga Kumba tersenyum kecut mendengar kata-
kata Nyi Rawit Abang. Keduanya memang bukan 
suami istri, hanya merupakan sepasang kekasih. 
Entah mengapa dari dulu mereka tidak juga menikah. 
Mereka hanya menjalin hubungan kasih, sampai 
keduanya sama-sama tua. 
“Siapa sebenarnya penghuni Lembah Akherat? 
Sampai-sampai tempat itu sangat ditakuti?” kembali 
 
 
Nyi Rawit Abang bertanya, karena penasaran tentang 
tempat keramat yang kini hendak mereka tuju. 
“Mana aku tahu? Kalau tahu, sudah dari dulu ingin 
ke tempat itu. Tentu penghuninya bukan 
sembarangan. Buktinya tak seorang pun yang berani 
datang ke tempat itu,” tutur Ki Braga Kumba. 
“Hhh...,” Nyi Rawit Abang mendesah manja. 
Matanya melotot nakal, menatap kekasihnya yang 
hanya tersenyum cengengesan. 
“Ngambek ya?” tanya Ki Braga Kumba.  
“Huh!” 
“Lho lho, kok marah?” 
“Makanya, jelaskan!” sahut Nyi Rawit Abang 
dengan suara manja. 
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum, 
“Nampaknya kau semakin cantik jika merengut 
begitu, Nyi.” 
Kini Nyi Rawit Abang tersipu, mendengar rayuan 
kekasihnya. Sifatnya yang seperti gadis belasan tahun 
jelas masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu 
genit jika disanjung sang Kekasih. Tingkah laku 
keduanya memang sering nampak lucu, tidak 
ubahnya sepasang remaja yang dimabuk asmara. 
“Bisa saja kau, Ki.” 
“Sungguh.” 
Kembali Nyi Rawit Abang tersipu-sipu malu, 
semakin bertambah keriput wajahnya. Tapi itulah 
yang membuat Ki Braga Kumba semakin bertambah 
senang. Buktinya hampir tiga puluh tahun mereka 
menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah 
terjadi perselisihan. Keduanya selalu intim. Di mana 
ada Braga Kumba, di situ ada Nyi Rawit Abang. 
Saking lengketnya, pasangan campuran dari 
golongan hitam dan putih itu terkenal dengan 
 
 
sebutan Pengantin Tua. Nyi Rawit Abang dari aliran 
hitam, sedangkan Ki Braga Kumba berasal dari aliran 
putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru 
satu sama lain saling membantu. 
Langkah mereka semakin mendekati tempat yang 
dituju. Kini keduanya telah berada di luar batas Desa 
Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang 
menjadi pemisah antara Desa Kalimas dengan 
wilayah Lembah Akherat 
Mereka sedang melangkah memasuki Hutan Kawi-
kawi ketika tiba-tiba dikejutkan suara bentakan keras 
yang disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah 
mereka kenali.  
“Berhenti...!” 
“Tujuh Iblis dari Sarang Hantu! Ada apa kalian 
menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Braga 
Kumba dengan mata tajam menatap satu persatu 
wajah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang rata-rata 
memiliki sifat yang kasar dan bengis. 
“Hm.... Apakah kalian lupa dengan kejadian dua 
hari yang lalu di kedai?!” bentak Sadra, orang 
pertama dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 
“He he he! Jelas kami ingat,” sahut Nyi Rawit 
Abang. “Ada apa dengan kalian?” 
“Jangan berpura-pura tak mengerti, Nyi! Jelas Kami 
menghendaki nyawa kalian berdua! Kami tak ingin 
kalian ikut campur dengan urusan ini!” tukas Saka 
Gulu, orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 
“Kurang ajar!” dengus Ki Braga Kumba. “Kalian 
kira kami dapat digertak oleh iblis-iblis cacingan 
macam kalian, heh?!” 
“Bedebah! Lancang mulutmu, Tua Bangka! 
Kurobek mulutmu!” 
Usai berkata begitu, Sadra menggerakkan tangan 
 
 
kanannya, sebagai isyarat pada keenam rekannya 
untuk menyerang. 
“Heaaa...!” 
Melihat kekasihnya diserang, Nyi Rawit Abang tak 
tinggal diam. Sambil mendengus marah, ditariknya 
Cambuk Rambut Seribu yang menjadi senjatanya. 
Kemudian dengan jurus 'Lecutan Kilat Cambuk 
Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang. 
“Kalian rupanya mencari mampus! Berani meng-
hadang Pengantin Tua! Heaaa...!” 
Ctar! Ctar! Ctar...! 
Ribuan rambut di ujung cambuk bergerak 
menyerang ke arah tujuh lawannya. Rambut-rambut 
di ujung cambuk itu laksana hidup, meliuk-liuk ke 
sana kemari memburu mangsa. 
Mendapatkan serangan seperti itu, Tujuh Iblis 
Sarang Hantu segera melompat ke belakang. 
Kemudian setelah memberi isyarat, mereka segera 
membentuk sebuah lingkaran memutari kedua 
lawannya dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'. 
Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bergerak 
dalam bentuk lingkaran. Tangan mereka bergerak 
menyerang ke arah kedua lawannya yang berada di 
tengah-tengah lingkaran. Gerakan itu pun membuat 
Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening meng-
hadapinya. 
“Hhh...! Kita harus bisa menembusnya, Nyi!” 
gumam Ki Braga Kumba. 
“Ya! Mari kita gunakan jurus 'Badai Menyapu 
Karang'.” 
“Mari! Heaaa...!”  
“Hiaaa...!” 
Kedua tokoh tua itu segera mengeluarkan jurus 
'Badai Menyapu Karang'. Gerakan tubuh keduanya 
 
 
sangat cepat, menimbulkan angin yang keras.  
Wusss...! 
Melihat lawan berusaha mendobrak pertahanan, 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu segera mempercepat 
gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus 
'Putaran Kincir Menyapu Badai' mereka bergerak 
begitu cepat. Tangan dan kaki mereka tidak tinggal 
diam, bergerak memukul dan menendang ke arah 
lawan.  
“Heaaat...!”  
“Hiaaa...!” 
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi 
gerakan mereka menyerang dengan cepat  
Wut...!  
Prak!  
“Ugkh!” 
Nyi Rawit Abang mengeluh, ketika tangannya 
berbenturan dengan tangan beberapa orang dari 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami 
oleh Ki Braga Kumba. Keduanya meringis merasakan 
sakit akibat benturan tangan tadi. 
Namun bukan hanya kedua orang itu yang 
merasakan sakit linu akibat benturan yang terjadi. 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu juga tersentak 
dengan mata melotot, mendapatkan serangan 
mereka berantakan. Tangan mereka dirasakan ngilu. 
Mata menatap tajam pada Pengantin Tua yang juga 
beberapa langkah terhuyung mundur. Kini keduanya 
sudah tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis 
Sarang Hantu. 
“Bedebah! Kalian rupanya masih sanggup meng-
hadapi kami!” dengus Saka Gulu. 
“Huh! Apa susahnya menghadapi iblis-iblis 
cacingan macam kalian?” ejek Ki Braga Kumba 
 
 
seraya mencibir, membuat Tujuh Iblis dari Sarang 
Hantu bertambah marah. 
“Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!” 
maki Sadra, marah. 
“Kalianlah yang mencari mampus!” bentak Nyi 
Rawit Abang dengan mata melotot, merasa tidak 
senang kekasihnya dibentak begitu rupa. “Kalau 
kalian tak segera minggat, tak segan-segan kami 
membunuh kalian!” 
“Ha ha ha...!” Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tertawa 
bergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Rawit Abang. 
“Apakah tidak terbalik, Perempuan Lacur! Seharus-
nya kau minta ampun, karena telah membela pihak 
lawan!” bentak lelaki berbadan gendut dengan 
rambut dikuncir di atas kepala. Lelaki itu orang ketiga 
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 
“Cuh!! Apa peduli kalian?!” bentak Nyi Rawit Abang 
tak mau kalah. “Rupanya kalian ngiri ya?!” 
“Huh! Apa dikira kau wanita yang paling cantik?!” 
dengus lelaki berhidung besar dengan kumis 
menempel di ujung bibir. Dia orang keempat dari 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” 
Nyi Rawit Abang yang marah, kembali bergerak 
menggempur lawan-lawannya dengan cambuk. 
Rambut-rambut di ujung cambuknya bergerak lagi 
menyapu ke wajah lawan dengan jurus 'Sapu Buana 
Mekti'. 
“Heaaa!” 
Wut! 
Melihat serangan itu, dengan cepat Tujuh Iblis dari 
Sarang Hantu tidak tinggal diam. Mereka segera 
mencabut senjata yang berupa sabit. Kemudian 
setelah mengelakkan serangan lawan, mereka 
 
 
berbalik menyerang dengan jurus 'Sabit Maut Mencari 
Jantung'. 
Wut! Wut! Wut...!  
“Heit..!” 
Nyi Rawit Abang bergerak mengelak ke samping, 
menghindari serangan yang mengarah ke bagian 
tubuhnya yang mematikan. 
Menyaksikan kekasihnya dalam desakan ketujuh 
lawan, Ki Braga Kumba segera mencabut ikat 
pinggangnya yang bernama Sabuk Sasra Geni. 
Kemudian dengan jurus 'Sasra Geni' tingkat ketiga, Ki 
Braga Kumba merangsek ke arah lawan. 
“Heaaa...!” 
Ki Braga Kumba dengan cepat terus memutar 
Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan seketika 
sekeliling tempat itu berubah menjadi panas mem-
bara. Hal itu membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 
tersentak kaget Mereka segera melompat mundur, 
menghindari sabetan sabuk lawan yang dahsyat. 
“Hah?! Celaka...! Rupanya dia memiliki Sabuk 
Sasra Geni!” pekik Sadra kaget dengan mata 
membelalak. “Cepat kalian lakukan aji 'Penutup 
Sukma'.” 
Mendengar perintah Sadra, seketika keenam 
rekan-rekannya merapalkan ajian 'Penutup Sukma' 
Lalu setelah merapalkan ajian tersebut, ketujuhnya 
kembali bergerak menyerang lawan.  
“Heaaa...!”  
“Yeaaat..!” 
Pertarungan seru kembali terjadi. Masing-masing 
pihak kini telah mengeluarkan jurus dan senjata 
andalan masing-masing. Beberapa jurus telah mereka 
keluarkan untuk mengalahkan lawan, namun sejauh 
itu belum juga nampak siapa yang bakal menang dan 
 
 
siapa yang bakal kalah. 
“Heaaat...!” 
“Yeaaah...!” 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali melancarkan 
serangan dahsyat mereka, menggempur pertahanan 
lawan. Dua orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang 
bergelar Tujuh Iblis dari Sarang Hantu nampaknya 
sama-sama tangguh. Kedua orang tua itu bagaikan 
sepasang kijang yang melompat dengan lincah, 
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan 
lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan 
serangan balasan yang tak kalah dahsyat. 
Ki Braga Kumba dengan Sabuk Sasra Geninya 
yang melecut-lecut menimbulkan hawa panas, telah 
mengerahkan jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit 
Abang dengan Cambuk Rambut Seribunya juga tidak 
mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus 
'Sapuan Prahara Menghancur Karang' bergerak 
menyerang dan berputar-putar memburu serangan 
lawan. 
Gabungan serangan kedua orang tua itu sangat 
cepat dan lincah. Mereka bergantian menyerang ke 
arah lawan, kemudian bergantian menutup per-
tahanannya. 
“Heaaa...!” 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang belum juga 
dapat membuahkan hasil serangannya, semakin ber-
tambah penasaran. Mereka semakin mempercepat 
serangan. Namun lawan tampaknya sangat alot untuk 
dikalahkan. 
Ketika pertarungan itu berlangsung sengit, tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras yang mengejut-
kan. Sehingga seketika mereka menghentikan per-
tarungan. 
 
 
“Orang-orang sinting! Apa yang kalian perbuat di 
sini?!” 
Bersamaan dengan habisnya bentakan itu, ber-
kelebat sesosok bayangan. Dalam sekejap mata 
sosok itu telah berdiri di antara mereka. Ternyata dia 
seorang lelaki tua yang wajahnya nampak begitu 
tenang. Di pundaknya tersampir sebilah pedang. 
Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan 
jenggot purih panjang dan berambut digelung ke atas 
itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya 
yang tampak tua terbalut jubah panjang berwarna 
putih. 
Semua yang ada di Hutan Kawi-kawi seketika 
menundukkan kepala, setelah tahu siapa lelaki tua 
yang baru datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah 
nama yang asing bagi mereka, terutama dari 
golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi 
sebagai Dewa Pedang. Hal itu karena kehebatan ilmu 
pedangnya, yang sampai saat ini belum tertandingi. 
“Kalian hanya saling bantai! Apakah kalian tak 
ingat kalau masih ada hal yang lebih penting?!” tanya 
Ki Badawi. 
Mereka masih terdiam, tak seorang pun yang 
berani menentang kata-kata lelaki tua itu. Meski 
mereka merasa belum tentu dapat dengan mudah 
dikalah oleh orang tua itu. Namun mereka merasa 
segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang 
begitu tersohor dengan Pedang Darahnya. 
“Sekarang dunia persilatan tengah kacau, dengan 
kehadiran bocah edan yang telah membunuh para 
pendekar!” tukas Ki Badawi. 
Ki Braga Kumba tersentak mendengar nama 
bocah edan yang tentunya Pendekar Gila. Orang tua 
berusia sekitar lima puluh lima tahun yang semula 
 
 
diam itu angkat bicara. 
“Kurasa kau salah duga, Ki.” 
Ki Badawi menoleh dan menatap pada Ki Braga 
Kumba. 
“Apa yang kau katakan, Kumba!” bentaknya keras. 
“Maaf! Kurasa Ki Badawi telah salah tuduh. 
Pemuda gila yang kau maksudkan, tentunya 
Pendekar Gila, bukan?” 
“Benar!” 
“Salah! Kau salah besar jika menuduh dia 
pengacau, Ki.” 
“Jangan menggurui aku, Kumba!” bentak Ki 
Badawi gusar. Matanya semakin membelalak marah, 
merasa ucapannya telah ditentang oleh Ki Braga 
Kumba. Entah mengapa, lelaki yang semula arif dan 
penyabar itu kini nampak tak sabar dan cepat marah. 
Ki Braga Kumba mengerutkan kening. Dia merasa 
aneh dan tak mengerti dengan perubahan yang 
dialami Ki Badawi. Mungkinkah karena usianya yang 
telah tua, sehingga dia berubah? Tanya Ki Braga 
Kumba dalam  hati. Ah, kurasa bukan karena usia. 
Tapi kurasa ada penyebar fitnah, yang menjadikan 
nama Pendekar Gila sebagai pembunuh keji. 
“Maaf, Ki. Kalau boleh aku jelaskan, Pendekar Gila 
itu bukanlah pengacau. Dia seorang pendekar yang 
melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi 
kalau kau menuduhnya sebagai pengacau, jelas itu 
salah besar!” kata Ki Braga Kumba berusaha 
meluruskan tanggapan Ki Badawi. 
“Cuih! Kau tahu apa, Kumba!” bentak Ki Badawi 
semakin gusar, merasa omongannya telah ditentang 
Ki Braga Kumba. “Rupanya kau berpihak pada iblis 
muda itu, heh?!” 
Merasa dibentak-bentak begitu, Ki Braga Kumba 
 
 
yang semula menaruh rasa segan akhirnya marah 
juga. Terlebih tahu dirinya berada di pihak yang 
benar. 
“Bukannya aku yang berpihak pada iblis, Ki! Tapi 
Kaulah yang telah tersesat!” balas Ki Braga Kumba 
tak kalah geramnya. “Kaulah yang telah salah 
menuduh!” 
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Kumba!” 
bentak Ki Badawi semakin gusar melihat keberanian 
Ki Braga Kumba. 
“Kenapa tidak! Kau yang dihormati para pendekar, 
rupanya telah pikun! Kau sesatkan kebenaran. 
Sedangkan kau benarkan yang sesat!” 
“Setan! Tutup bacotmu!” 
Ki Braga Kumba tersenyum sinis. 
“Aku akan menutup mulut, jika kau pun membuka 
mata!” jawab Ki Braga Kumba. 
Napas Ki Badawi mendengus pertanda marah. 
Matanya membelalak lebar, menatap tajam wajah Ki 
Braga Kumba yang tampak masih tenang. Sedang 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kini menyurut mundur. 
Mereka tidak ingin terlibat dengan urusan itu, karena 
mereka tidak ingin Ki Badawi sampai tahu mereka 
dari aliran sesat. 
Dengan perlahan-lahan, Tujuh Iblis dari Sarang 
Hantu meninggalkan tempat itu untuk meneruskan 
perjalanan mereka menuju Lembah Akherat. 
“Kau telah berani menantangku, Kumba! Jangan 
salahkan kalau pedangku akan bicara!” ancam Ki 
Badawi. 
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum. 
Wajahnya masih penuh ketenangan. Tak gentar 
sedikit pun dia menghadapi orang tua di hadapannya 
yang namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik 
 
 
mati untuk membela kebenaran, daripada hidup 
sesat! 
“Meski aku harus mati di tanganmu, aku tak akan 
memihak kesesatanmu!” sahut Ki Braga Kumba. 
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumba!” 
Srat! Cring...! 
Ki Badawi menarik Pedang Darah. Seketika sinar 
merah darah membersit dari pedang itu. Bau amis 
darah tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi 
Rawit Abang. 
Pedang Darah kini telah keluar dari warangkanya 
berarti harus mendapatkan darah. Jika tidak, maka 
nyawa pemiliknyalah yang akan menjadi korban. 
Bergidik juga Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang 
menyaksikan pedang di tangan Ki Badawi. Namun 
mereka berada di pihak yang benar, tak seharusnya 
mereka takut menghadapi kematian. Semua 
pendekar tentu senantiasa harus mati. 
“Bersiaplah, Kumba!” 
“Aku telah siap!” jawab Ki Braga Kumba. 
“Begitu juga denganku!” sambut Nyi Rawit Abang. 
“Rupanya kalian mencari penyakit!” dengus Ki 
Badawi. 
“Kaulah yang mencari gara-gara, Orang Tua 
Pikun!” bentak Nyi Rawit Abang gusar, merasa 
kekasihnya dalam keadaan bahaya. Bagaimanapun 
juga dia harus membela Ki Braga Kumba. 
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” Ki Badawi 
yang mata gelap segera berkelebat menyerang ke 
arah keduanya dengan membabatkan Pedang Darah. 
Keduanya berusaha mengelakkan serangan. Tapi 
kekuatan tarikan Pedang Darah di tangan Ki Badawi, 
menjadikan langkah mereka tersendat. Dahsyat 
sekali kekuatan tarikan pedang itu, dan....  
 
 
Wut...!  
Cras! Cras! 
Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang seketika 
nemekik keras, ketika pedang di tangan Ki Badawi 
menebas leher mereka. 
“Pendekar Gila! Ke mana pun kau pergi, aku akan 
mencarimu!” seru Ki Badawi sambil mengacungkan 
Pedang Darahnya ke atas. Setelah puas dengan 
perbuatannya, Ki Badawi segera memasukkan 
pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu. 
*** 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Selang beberapa waktu kemudian, nampak seorang 
pemuda berpakaian rompi kulit ular melintasi Hutan 
Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi 
Rawit Abang tergeletak berlumuran darah dengan 
leher hampir putus.  
“Groook...!”     
Pendekar Gila tersentak, ketika telinganya men-
dengar suara dengkuran keras dari arah kanan jalan 
yang dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti, 
kemudian dengan kening berkerut kepalanya di-
telengkan berusaha mencari-cari suara tadi. 
“Grok...!” 
Suara itu kembali terdengar, begitu jelas. Seperti-
nya sangat dekat dengan temparnya. 
“Hm, suara apakah itu?” tanya Sena berusaha 
mencari asal suara yang berada di sebelah kanannya. 
Kakinya terus melangkah. Dan tiba-tiba hatinya 
tersentak kaget menyaksikan dua tubuh tergeletak 
berlumur darah. 
Dengan rasa penasaran, Sena melangkah per-
lahan-lahan. Wajahnya meringis menahan perasaan 
hatinya. Dan dia semakin tersentak, manakala me-
lihat gerakan tangan lemah lelaki tua yang belum 
dikenalnya. 
Tangan lelaki tua yang bergerak lemah itu, 
menuliskan serangkaian kata-kata di atas tanah yang 
ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan 
mata menyipit pemuda berompi kulit ular mem-
 
 
bacanya. 
 
Saudara Pendekar Gila, 
Kami baru saja bertemu dengan Dewa Pedang  
Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena kau 
dianggap sebagai pengacau rimba persilatan.  
Hati-hatilah!  
 
Ki Braga Kumba 
 
Usai menulis kata-kata itu, tangan Ki Braga Kumba 
terkulai lemas. Napasnya yang semula ada, kini telah 
melayang meninggalkan raga. 
“Oh, sungguh baik budimu, Ki! Kau dalam keadaan 
sekarat masih berusaha mengingatkan aku,” gumam 
Sena dengan wajah sedih. “Tentunya kau telah 
membela nama baikku.” 
Mata Sena berkaca-kaca, tak mampu mem-
bendung kesedihan dan rasa haru melihat Ki Braga 
Kumba yang dalam keadaan sekarat masih berusaha 
memberitahukan adanya bahaya yang kini 
mengancam dirinya. 
“Terima kasih atas kebaikanmu, Ki! Kudoakan, 
semoga Hyang Widhi menerima arwahmu,” gumam 
Sena perlahan. 
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian perlahan 
kepalanya ditundukkan untuk memberi peng-
hormatan pada kedua mayat yang telah berjasa 
padanya. Meski dia belum tahu siapa sebenarnya 
Dewa Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati 
tak mungkin dusta. 
Wajahnya ditengadahkan ke atas, menyapu ke 
dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan Kawi-kawi. 
“Siapakah Dewa Pedang itu?” gumam Sena 
 
 
bertanya pada diri sendiri. “Ah, entahlah! Mengapa 
aku harus berpikir jauh. Aku tidak mencari lawan. 
Tapi lawan telah berada di hadapanku, apa salahnya 
meladeninya.” 
Usai memandangi kedua mayat itu, Pendekar 
segera menggali lubang untuk menguburkan kedua 
mayat itu. Dengan mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' 
dibuatnya lubang di tempat itu. Kemudian setelah 
menaruh kedua mayat ke dalam lubang, kembali 
Sena mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk 
menyapu gundukan tanah yang seketika menutupi 
kuburan itu. 
“Hyang Jagat Dewa Batara, kiranya keduanya 
dapat Kau terima di swargaloka,” desis Sena 
memanjatkan doa. 
Angin siang semilir, seperti turut berduka atas 
kematian kedua tokoh tua itu. 
Aku tak tahu, siapa sebenarnya Dewa Pedang. 
Mengapa dia mencariku? Rasanya antara dia dan aku 
tak ada sangkut paut apa-apa. Pikir Pendekar Gila 
merasa heran dan penasaran. 
Lama Pendekar Gila termenung, mencoba 
menerka-nerka siapa sebenarnya Dewa Pedang. 
Namun tidak juga dia mendapatkan jawaban. Selama 
ini, dia belum pernah mendengar nama Dewa 
Pedang. 
“Hi hi hi...!” Sena tertawa. “Lucu sekali aku ini 
Mengapa aku harus memikirkannya?” 
Dengan tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk 
kepala, Pendekar Gila kembali meneruskan per-
jalanannya. 
 
*** 
 
 
 
Sementara itu, di Lembah Akherat nampak Tujuh 
Iblis dari Sarang Hantu telah sampai. Ketujuh tokoh 
sesat itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman 
penghuni Pulau Karang Api yang telah memakan 
banyak korban. 
“Wahai penghuni Pulau Karang Api, keluarlah!” 
seru Sadra menantang. “Jangan hanya berani ber-
sembunyi! Hadapi Tujuh Iblis dari Sarang Hantu!” 
Seketika air Danau Sambak Neraka bergolak 
hebat Saat itu juga, dari dalam danau muncul dua 
ekor naga berwarna merah. Mata kedua naga itu 
membara merah, penuh amarah. 
“Ghrrr...! Hosss...!” 
Tanpa banyak tingkah, kedua naga merah yang 
berada di Danau Sambak Neraka langsung 
menyerang ke arah mereka dengan semburan api 
dari mata dan mulutnya. 
“Awas...!” seru Sadra mengingatkan pada keenam 
rekannya. 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu langsung 
berlompatan, berusaha mengelakkan serangan 
kedua naga itu. Dengan bersalto, mereka ber-
lompatan dan melakukan serangan balasan. 
“'Cakra Lingga'! Yeaaa...!” 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan cepat 
melepaskan pukulan sakti mereka. Dari tangan 
mereka tiba-tiba keluar sebuah sinar merah bersegi 
seperti cakra. Sinar berbentuk cakar itu melesat 
begitu cepat menuju kedua naga yang masih ber-
gerak menyerang. 
Wusss! Wusss...! 
Sinar merah berbentuk cakra itu terus melesat. 
Kedua naga itu pun menggerakkan kepala, meng-
elakkan serangan lawan. Namun tak urung, salah 
 
 
satu dari naga itu harus merasakan pukulan 'Cakra 
Lingga' Tubuh naga api yang berada di sebelah barat 
terhantam pukulan itu.  
Busss! 
“Ghrrr! Hoaaah...!” 
Semakin bertambah marah kedua naga itu melihat 
salah satu dari mereka terkena pukulan. Kepala 
mereka yang bertanduk kini melayang ke angkasa, 
kemudian dengan cepat menyerang ke arah Tujuh 
Iblis dari Sarang Hantu. 
“Awas serangan!” kembali Sadra berseru. 
“Heaaat...!” 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali berlompatan 
mengelakkan serangan kedua naga itu. Nampaknya 
kedua binatang itu tidak berhenti sampai di situ. 
Keduanya terus bergerak melabrak ke arah Tujuh Iblis 
dari Sarang Hantu dengan patukan dan serudukan 
kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar 
dari mulut dan mata kedua ular raksasa itu terus 
menyembur. 
“Wosss! Wosss...! 
Lidah api kembali melesat keluar dari mulut kedua 
naga itu, menyerang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. 
Mereka pun kembali berlompatan menjauhi 
semburan api yang semakin besar dan panas. 
Pertarungan antara dua binatang raksasa dengan 
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu berlangsung dengan 
seru. Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 
bukanlah lawan sembarangan bagi kedua naga itu. 
Mereka mampu mengimbangi serangan-serangan 
yang dilancarkan oleh kedua naga merah itu. 
“Heaaa...!” 
“Wosss...!” 
Teriakan-teriakan melengking keras terus 
 
 
terdengar dari mulut Tujuh Iblis dari Sarang Hantu, 
bersamaan dengan suara deburan air danau dan 
semburan api. 
Kepala kedua naga bergerak cepat, menyambar 
dan menyeruduk ke arah lawan-lawannya. Sesekali 
dari mulut dan mata kedua binatang itu menyembur-
kan api yang menyala, berusaha membakar tubuh 
ketujuh lawannya. 
“Uts! Hop! Hampir saja...!” pekik Saka Gulu sambil 
melompat mengelak. 
Hampir saja tubuh orang kedua dari Tujuh Iblis dari 
Sarang Hantu itu terkena hantaman kepala salah 
seorang naga yang menyerang mereka. Kemudian 
setelah luput dari hantaman kepala naga itu, Saka 
Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang 
berupa sabit 
“Heaaa...!” 
Tubuh Saka Gulu melesat ke atas, kemudian 
dengan cepat senjatanya diayunkan ke kepala naga 
yang menyerangnya. 
“Mampuslah kau, Naga Dungu!” 
Wut...! 
Kepala naga itu bergerak mengelak dengan cepat, 
seakan mengerti serangan yang datang. Kemudian 
dengan cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-
seimbangan setelah menyerang, naga berwarna 
merah itu menyodokkan kepala ke dadanya. 
Wusss...! 
Dugk! 
“Aaakh...!” 
Saka Gulu terpekik keras. Dadanya bagaikan 
dihantam batu sebesar gajah. Napasnya terasa 
sangat sesak dan tubuhnya terpental deras ke 
belakang. Tubuh itu terhenti, ketika menerjang 
 
 
pepohonan di Hutan Kawi-kawi. Hanya sejenak dia 
mampu mengerang lalu diam tak berkutik lagi. Mati! 
Menyaksikan Saka Gulu tewas, keenam rekannya 
semakin marah. Mereka menyerang bersama-sama 
dengan pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan 
pengerahan ajian-ajian sakti sepert 'Geti Ireng' dan 
'Jambang Kalageni' keenam tokoh sesat itu berusaha 
membunuh naga api yang semakin garang 
menyerang mereka. 
Kini kedua naga yang semula berada di tengah 
Danau Sambak Neraka, telah keluar dan memburu 
keenam lawannya. Mereka pun bergerak mundur 
sambil tetap melakukan gerakan-gerakan untuk 
menyerang. 
Lembah Akherat yang semula sepi, seketika 
berubah menjadi riuh oleh suara pekikan dan 
geraman mereka. Tanah berpasir di Lembah Akherat, 
beterbangan menutupi tempat itu, ketika kaki-kaki 
mereka bergerak menyerang dan hembusan api naga 
itu. 
Pertarungan antara enam anggota Tujuh Iblis dari 
Sarang Hantu melawan kedua naga api dari Danau 
Sambak Neraka masih berlangsung seru. Sementara 
itu, tiba-tiba dari Pulau Karang Api, muncul sesosok 
tubuh kecil bersisik dengan mata menyala merah. 
“Ghrrr...!” 
Bocah kecil dengan tubuh bersisik itu nampaknya 
marah. Tubuhnya dengan ringan sekali berlari di atas 
air membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 
terbelalak heran menyaksikannya. 
“Lihat! Bocah sakti itu keluar!” seru Sadra. 
Semua mata kini memandang bocah kecil berusia 
sekitar sepuluh tahun yang tubuhnya penuh sisik. 
Matanya merah laksana mengandung api. Tubuh 
 
 
bocah itu melayang, lalu menukik dengan kecepatan 
tinggi menyerang keenam lawan naga-naga api. 
“Ghrrr...!” 
“Tangkap bocah itu...!” seru Sadra. 
Mereka berusaha menangkap bocah sakti yang 
tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga sampai, kedua 
naga itu telah menghalangi mereka dengan meng-
ulurkan kepalanya. 
“Wosss! Ghrrr...!” 
Semburan api dari mulut kedua naga api, seketika 
menghentikan mereka untuk mengejar. Kini enam 
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan 
mengelak dari semburan api yang dahsyat. Lalu 
dengan cepat mereka balik menyerang. 
Bocah kecil bertubuh penuh sisik itu tak mau 
tinggal diam, tubuhnya melenting ke udara. 
Kemudian dengan cepat mendarat pada salah 
seorang dari keenam orang itu. Lalu dengan gerak 
cepat, bocah bersisik itu menggigit leher lawannya. 
Crat! 
“Wuaaa...!” 
Lelaki berkepala botak itu menjerit kesakitan. 
tubuhnya sesaat mengejang, matanya melotot. 
Lubang besar kini nampak di lehernya. Sesaat 
tubuhnya sekarat, kemudian ambruk dengan tubuh 
berwarna merah. 
“Bocah setan! Kubunuh kau!” dengus Sadra 
geram, menyaksikan bocah bersisik dan berlidah ular 
itu menyerang ganas. Segera Sadra melesat ber-
maksud menyerang bocah itu dengan jurus 
pamungkasnya, 'Kelabang Geni. “Heaaa...!” 
Sadra mengebutkan bungkusan yang diambil dari 
balik bajunya. Saat itu, ribuan binatang berbisa, 
panjang, dan berkaki banyak melesat ke arah bocah 
 
 
bersisik ular itu. 
“Mampuslah kau, Bocah Setan!” seru Sadra. 
Binatang-binatang berbisa itu melesat cepat mem-
buru bocah bersisik dan berlidah ular. Namun bocah 
itu nampak tenang menghadapi ratusan kelabang 
yanng hendak menyerangnya. Matanya semakin 
berkilau merah, kemudian dari matanya keluar 
larikan sinar merah menghantam kelabang-kelabang 
itu. 
Clarts...! 
Brups! 
Seketika kelabang-kelabang itu terpanggang jadi 
debu, dan jatuh berhamburan ke tanah berpasir. 
Terbelalak mata Sadra menyaksikan kehebatan 
bocah lelaki bersisik dan berlidah seperti ular itu. 
Saking terkejutnya, Sadra tidak menyadari kalau  di 
belakangnya seekor naga menyerangnya. Maka.... 
Dugkh! 
“Aaa...!” 
Tubuh Sadra terlempar ke depan, dan melayang ke 
angkasa lalu jatuh ke air Danau Sambak Neraka. 
Tubuh Sadra menggelepar-gelepar, ketika ratusan 
ikan pemakan daging muncul dan memangsa tubuh-
nya. 
Melihat kematian Sadra, keempat kawannya ber-
usaha membalas. Namun rupanya kematian Sadra 
dan Saka Gulu mempengaruhi jiwa mereka. 
Keempat tokoh sesat itu kini serba canggung 
dalam menyerang. Namun begitu, mereka sepertinya 
pantang untuk menyerah. Kini keempatnya terbagi 
enjadi dua bagian. Dua menyerang ke arah bocah 
cilik bersisik dan berlidah ular, dua lainnya 
menyerang kedua naga raksasa itu. 
Pertarungan itu berjalan seru. Tapi serangan-
 
 
seragan empat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu 
tidak banyak berarti seperti ketika mereka masih utuh 
tujuh orang. Dan tiba-tiba.... 
Dugkh! 
“Wuaaa...!” 
Satu orang lagi terkena serudukan kepala naga 
api. Tubuh orang itu melayang deras, melambung ke 
angkasa dengan dada remuk bagaikan dihantam 
batu besar. Tanpa suara teriakan lagi, tubuh lelaki itu 
terjatuh di Hutan Kawi-kawi. 
Kini semakin bertambah melemah serangan tiga 
orang itu. Mereka semakin bertambah ciut nyalinya. 
Melihat keadaan lawan yang semakin terdesak, 
kedua naga dan bocah bersisik ular malah semakin 
ganas dalam menyerang. 
Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, kedua 
naga dan bocah penghuni Danau Sambak Neraka itu 
dapat mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat 
yang semula ramai kembali hening dan sepi. Hanya 
dua naga dan bocah kecil bersisik dan berlidah ular 
yang masih ada. 
Wusss! 
“Zssst...!” 
Kedua naga itu merendahkan kepalanya, men-
ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian setelah bocah 
kecil itu naik di atas kepalanya, kedua ular itu 
kembali melata dan mencebur ke dalam Danau 
Sambak Neraka. 
Bocah kecil itu tertawa-tawa senang, sepertinya 
mengerti kalau kedua naga itu adalah ayah dan 
ibunya. 
*** 
 
 
 
 
 
 
Matahari semakin condong ke arah barat, pertandaa 
senja hampir tiba. Angin siang menginjak sore 
berhembus semilir, membuat suasana Lembah 
Akherat nampak sangat tenang. Padahal di tempat itu 
bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah. 
Burung-burung pemakan bangkai beterbangan di 
tempat itu, berputar-putar kemudian menukik. 
Seorang pemuda tampan berambut gondrong 
dengan kulit bersih, berbaju rompi kulit ular me-
langkah menyelusuri Lembah Akherat yang sepi. 
Matanya memandang penuh kekagetan, menyaksi-
kan mayat-mayat yang bergelimpangan. 
“Hm, benar-benar Lembah Akherat,” gumam 
Pendekar Gila dengan mulut nyengir, menyaksikan 
banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. “Seperti 
ada sesuatu yang membantai orang-orang ini.” 
Sena mengedarkan matanya ke sekeliling tempat 
yang sangat sepi itu. Matanya seketika tertuju ke arah 
pulau. Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau 
yang memijarkan warna merah, sepertinya pulau 
itulah yang merupakan pulau yang berapi. 
“Aha, itu kiranya Pulau Karang Api,” gumam 
Pendekar Gila sambil mengarahkan pandangannya ke 
Pulau Karang Api. 
Kaki Pendekar Gila melangkah menyelusuri 
Lembah Akherat dengan pelan dan hati-hati. 
Nampaknya dia memasang kewaspadaan, tidak mau 
gegabah dalam melakukan tindakan. Bagaimana pun, 
 
 
dia tidak ingin mati sia-sia di tempat itu. 
“Ah, aneh sekali...!” gumam Sena. “Di sini nampak-
nya tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu, siapa yang 
telah membantai mereka?” 
Belum juga habis ketidakmengertian Pendekar Gila 
akan semua yang terjadi, seketika hatinya dikejutkan 
adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak 
Neraka. 
“Ghrrr...!” 
“Wosss...!” 
Pendekar Gila segera memandang ke Danau 
Sambak Neraka. Saat itu, dari dalam air danau 
muncul dua sosok berwarna merah menyala. Mata 
kedua binatang raksasa itu menyala laksana api, 
menatap tajam pada Pendekar Gila. 
“Wah! Rupanya kedua binatang inilah yang mem-
bantai mereka!” gumam Sena sambil nyengir kuda. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala. 
“Wosss...!” 
Kedua naga itu sepertinya marah dengan 
kehadiran Pendekar Gila di Lembah Akherat. Mata 
kedua binatang itu merah menyala, menatap tajam 
pada Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti 
kera. Kepala kedua naga itu bergerak-gerak. Sebentar 
tegak ke atas, kemudian ke bawah. Sepertinya ber-
usaha mengusir Pendekar Gila. 
“Aha, kalian ingin mengusirku! Ah, kurasa kalianlah 
yang harus pergi!” seru Sena masih berjingkrakan. 
Tangannya menggaruk-garuk ke tubuh dan mulutnya 
yang nyengir. 
“Wosss...!” 
Kedua naga itu kembali menggerak-gerakkan 
kepalanya, kemudian dengan mata merah membara 
kedua naga itu naik. 
 
 
“Aha, rupanya kalian benar-benar mengusirku!” 
seru Sena seraya melangkah maju. Bukannya mundur 
menjauh, Sena justru mendekat. Hal itu membuat 
kedua naga itu bertambah marah.  
“Wosss! Ghrrr...!” 
Tiba-tiba kepala naga itu berdiri tegak, kemudian 
dari mulutnya menyembur api menyala ke arah 
Pendekar Gila. 
“Heits! Hi hi hi...!” 
Dengan cengengesan, Pendekar Gila segera 
mengelakkan serangan kedua naga itu. Kemudian 
dengan cepat dia berbalik menyerang dengan jurus 
'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melesat 
laksana terbang, kemudian tangannya bergerak 
memukul ke arah kedua lawannya. 
“Wosss...!” 
Kedua naga itu seakan mengerti lawan 
menyerang. Keduanya segera mengelakkan serangan 
yang dilancarkan Pendekar Gila dengan cara meliuk-
kan kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila 
luput dari sasaran. 
“Aha, rupanya kalian bisa silat juga!” gumam 
Pendekar Gila sambil terus melesat terbang, 
kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Si Gila 
Menari Menepuk Lalat'. Jurus itu sengaja digunakan-
nya, semata-mata untuk dapat mengelakkan 
serangan lawan. Kemudian dengan mengerahkan 
seperempat tenaga dalamnya, Pendekar Gila meng-
hantamkan pukulan keras dengan telapak tangan ke 
arah kedua naga itu. 
Wuttt..! 
Tubuh kedua naga itu terus bergerak, meng-
elakkan serangan yang dilakukan Pendekar Gila. 
Kemudian keduanya balas menyerang dengan 
 
 
menyemburkan api dari mulut dan mata. 
“Wosss! Wosss...!” 
Api menyala-nyala menyerang Pendekar Gila. 
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit mengelak. 
Kemudian dengan cepat pula pemuda berbaju rompi 
ular itu balas menyerang dengan serangkaian 
pukulan yang cepat ke arah tubuh kedua binatang itu. 
“Heaaa...!” 
Pekikan keras mengiringi serangan Pendekar Gila. 
Bugk! Dugk!  
“Wosss! Ghrrr...!” 
Serangkaian pukulan yang dilancarkan Pendekar 
Gila rupanya mengenai tubuh kedua binatang itu. 
Kedua binatang itu seketika mengerang marah, dan 
dengan sengit balas menyerang. Kepalanya bergerak 
meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar 
Gila. 
“Ghrrr!” 
Wusss...! Wut! 
Kedua naga yang tampak mulai marah itu terus 
menyerang Pendekar Gila dengan serudukan dan 
sabetan kepala serta ekor mereka. Namun dengan 
gesit dan cepat, Pendekar Gila mampu mengelakkan 
serangan kedua binatang raksasa itu. 
“Aha, kalian nampaknya marah, Sobat! Hi  hi hi...!” 
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila terus 
bergerak menyerang. Kali ini dengan jurus 'Si Gila 
Melebur Gunung Karang', Sena menyerang ke arah 
kedua lawannya. 
Tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke 
atas. Lalu kedua tangannya ditarik dengan menarik 
napas panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam, 
telapak tangannya dihantamkan ke arah kedua 
binatang raksasa itu. 
 
 
“Heaaa...!” 
Wut, wut...! 
Dugk! Dugk! 
“Wosss! Ghrrrm...!” 
Erangan kesakitan seketika terdengar dari mulut 
kedua binatang itu. Tubuh mereka menggelepar-
gelepar, berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh 
kedua binatang itu terus berguling, sampai akhirnya 
nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka. 
Byurrr! Byurrr...! 
“Ghrrrmh....!” 
Kedua naga itu tampaknya sangat marah, merasa-
kan sakit di tubuh mereka. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak. 
Suasana riuh semakin bertambah riuh di Lembah 
Akherat. Suara erangan mulut kedua naga yang 
marah dan suara air akibat menggelepar-geleparnya 
kedua naga berwarna merah itu. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil ber-
jingkrakan seperti kera. Dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan 
menyaksikan kedua binatang itu mengelepar-gelepar 
kesakitan. Namun ternyata kedua binatang itu 
memiliki kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin 
keduanya telah hancur lebur menjadi debu terkena 
pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur 
Gunung Karang' 
“Ghrrrmh...! Hosss! Hosss...!” 
“Hua ha ha...! Menarilah kalian semua!” Pendekar 
Gila sambil tertawa-tawa menyaksikan kedua 
binatang itu masih bergolak dengan raungan yang 
menggelegar. 
 
*** 
 
 
Pendekar Gila masih berjingkrakan seperti seekor 
kera yang kegirangan sambil tertawa tergelak-gelak, 
ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api 
sebuah bentakan keras menggelegar. 
“Manusia sombong! Kau telah berani membuat 
keonaran di tempat ini! Kau harus mampus. 
Heaaat...!” 
Wusss...! 
Angin kencang bergulung-gulung melesat dari 
Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar Gila tersentak 
kaget. Namun, sesaat kemudian dengan 
cengengesan tubuhnya direbahkan ke bumi. Matanya 
membelalak ketika tahu pukulan apa yang dilontar-
kan penghuni Pulau Karang Api yang belum dia 
ketahui siapa benarnya. 
Pendekar Gila terkejut menyaksikan ajian berupa 
angin bergulung membadai. Ajian yang sama seperti 
yang dimilikinya. 
“Hei, 'Inti Bayu'?! Siapa yang telah menyerangku 
dengan ajian itu...?” gumam Sena sambil mengerut-
kan kening. 
Wusss...! 
Angin kencang bergulung-gulung kembali keluar 
dari Pulau Karang Api, meluncur ke arah Pendekar 
Gila. Tapi kini Sena telah mempersiapkan 
penyambutan serangan yang kedua. Dengan menarik 
napas dalam-dalam, kedua tangannya diangkat ke 
atas, lalu ditariknya ke dalam. Setelah angin itu 
mendekat, Pendekar Gila segera menghantamkan 
ajian 'Inti Bayu' nya. 
“Yeaaa...!” 
Wusss! 
Wusss...! 
Dua angin yang berasal dari satu kekuatan itu 
 
 
bertemu, bergulung-gulung saling berusaha 
mengalahkan. 
“Kurang ajar! Dari mana kau menyadap ajianku?!” 
dari Pulau Karang Api terdengar suara bentakan 
keras menggelegar. 
Sena tersentak, namun segera dia tertawa ter-
gelak-gelak. 
“Hua ha ha...! Kau lucu sekali, hai orang yang 
belum menampakkan diri! Enak sekali kau bicara! 
Kau-lah yang telah mencuri dan menyadap ajianku!” 
balas Sena dengan suara keras. 
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah 
Manusia!” 
“Aha, kurasa kau bukan manusia!” tukas Sena 
masih cengengesan. “Aha, mungkin kau sebangsa 
siluman! Atau dedemit. Hi hi hi...!” 
“Kurang ajar! Kaulah iblis!” dengus suara itu 
membentak. “Kau telah membuat keonaran di 
tempat ini!” 
Habis ucapan itu, seketika dari balik Pulau Karang 
Api melesat selarik sinar menyerang Pendekar Gila. 
“Heit!” 
Sena segera bersalto ke samping, kemudian 
dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si 
Gila Melebur Gunung Karang'. 
“Heaaa...!” 
Glarrr! 
“Ugkh!” Sena mengeluh, merasakan dadanya, 
agak sakit akibat benturan itu. 
“Ha ha ha...! Hebat juga ilmu 'Si Gila Melebur 
Gunung Karang'mu, Manusia...!” 
Terdengar suara menyebut nama jurus yang baru 
saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal itu tentu saja 
membuat Sena terbelalak kaget. Heran dan bertanya-
 
 
tanya siapa sebenarnya orang atau makhluk yang 
bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu? Jurus-
jurus ilmu ajiannya hampir sama dengan ilmu yang 
dimiliki olehnya. 
“Hei, Siluman! Hi hi hi...! Dari mana kau tahu nama 
jurus pukulanku...?!” seru Sena seraya bangkit berdiri. 
“Ha ha ha...! Pukulanmu itu adalah ilmu-ilmuku 
Manusia! Dari mana kau mencurinya, heh?!” bentak 
makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya. 
“Weiii...! Enak sekali kau menuduh! Hi hi hi. Lucu! 
Lucu sekali kau!” 
“Terimalah ini, Manusia!” 
Wusss! 
Suasana di Lembah Akherat seketika berubah. 
Langit tertutup warna merah membara laksana api. 
Saat itu pula, Pendekar Gila tersentak. Dirasakan 
hawa panas menyengat tubuhnya. Sekelilingnya kini 
dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah 
terpanggang di atas bara api. 
“Ugkh...!” Sena mengeluh, merasakan hawa panas 
yang membakar sekujur tubuhnya. 
“Ha ha ha...! Tentunya kau belum memiliki ilmuku 
yang ini! Mampuslah kau, Bocah Manusia!” seru 
suara yang berasal dari balik Pulau Karang Api di 
tengah-tengah Danau Sambak Neraka.  
“Ukh! Aaakh...!” 
Sena mengeluh dan menjerit kesakitan. Badannya 
bagaikan dipanggang di atas api yang membara. 
Bayang-bayang kematian seketika melekat di 
benaknya. Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 
'Inti Salju' untuk melindungi tubuhnya dari panas yang 
membara. 
“Hhh! Hop...!” 
Sena menarik napas dalam-dalam, kemudian 
 
 
tangannya digerakkan ke atas dan menyatu. Lalu 
kedua tangannya direntangkan ke samping, dan 
ditariknya dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di 
depan dada. 
'“Inti Salju'. Hop...!” 
Rasa panas yang semula menyengat bagaikan 
memanggang tubuhnya, seketika menghilang oleh 
hawa dingin yang telah dikerahkan Pendekar Gila. 
“Hebat! Rupanya kau telah menguasa 'Inti Salju', 
Bocah Manusia! Kau telah mencuri banyak ilmu-
ilmuku! Terimalah ini...!” 
Bersamaan dengan habisnya suara itu, seketika 
suasana di sekitar Pendekar Gila berubah. Suasana 
yang semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba 
dingin. Bahkan pepohonan yang ada di tempat itu, 
seketika kembali segar setelah layu oleh panas. 
Namun justru hal itu membuat Sena kian menggigil. 
Rupanya makhluk yang bersembunyi di balik Pulau 
Karang Api itu mengerahkan ajian 'Inti Salju', semakin 
membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi 
saat itu Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti 
Salju'. Rasa dingin menjadi berlipat ganda. 
“Sssh!” tubuh Pendekar Gila menggigil kedinginan. 
Wajahnya pucat pasi. “Bhrrr! Ah, rupanya dia 
mengerahkan 'Inti Salju.” 
“Ha ha ha...! Kau akan mampus, Manusia!” suara 
dari balik Pulau Karang Api. 
“Hhh! Ilmu iblis!” dengus Sena. Perlahan napasnya 
ditarik dalam-dalam, kemudian dengan suara meng-
gelegar, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'. 
“Heaaa...!” 
Wuttt...! 
Angin kembali menderu kencang, menyapu ke 
sekeliling tempat itu. Tangan Sena yang mengeluar-
 
 
kan angin keras, bergerak cepat. Dan bersamaan 
putaran tangannya, angin badai pun keluar dengan 
begitu cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti 
sekitar tempat itu. 
“Hebat! Kau memang hebat, Manusia! Tapi kau 
belum tentu bisa selamat dari ini! Terimalah...!” 
Cletar...! 
Suara gemeletar nyaring mengiringi melesatnya 
benda berkilat. Kilatan benda terbungkus api itu 
mengarah ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat, 
Sena mencabut Suling Naga Sakti, kemudian dengan 
disertai pekikan menggelegar, melompat memapaki 
kilatan cambuk api yang menyerang ke arahnya 
dengan Suling Naga Sakti. 
“Heaaa...!”  
Wuttt...! Prat! 
Dua senjata sakti itu beradu keras, membuat 
suasana di sekitar tempat itu menggelora panas. 
Kilatan api yang membentuk cambuk melesat 
kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan Pendekar 
Gila berusaha memburunya. Suling Naga Sakti 
melesat terbang, membawa tubuh Pendekar Gila ke 
Pulau Karang Api. 
“Hiaaat...! Hop!” 
Pendekar Gila tersentak, ketika dari dalam goa 
besar itu terdengar suara desisan keras. Belum hilang 
rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar 
menerjang ke arahnya. 
“Hop!” 
Dengan cepat Sena melompat ke samping. Lalu 
dengan cepat pula melakukan serangan balasan ke 
dalam goa dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung 
Karang'. 
“Yeaaa...!” 
 
 
Wut...! 
Bugk...! 
Terdengar suara pukulan mengenai sasaran. 
Bersamaan dengan itu, dari dalam goa muncul 
seorang bocah berkulit penuh sisik diikuti seekor 
naga yang tubuhnya terselimut api yang menyala-
nyala.  
“Kurang ajar! Berani benar kau ke tempat ini, 
Manusia!” bentak Naga Brahma dengan gusar. Naga 
yang kepalanya mengenakan mahkota itu menatap 
tajam pada Pendekar Gila yang menyurut mundur. 
Kaget juga Pendekar Gila melihat makhluk ular itu 
bicara seperti manusia. 
“Aha, rupanya kaulah penghuni Pulau Karang ini! 
Apa maksudmu membantai manusia?” tanya Sena 
sambil berjingkrakan dan tertawa-tawa, membuat 
Naga Brahma semakin membelalakkan matanya. 
“Manusia! Apa hubunganmu dengan kakakku, 
hingga kau memiliki ilmu-ilmu warisan kakakku Naga 
Sakti?!” bentak Naga Brahma. 
Belum juga Pendekar Gila menjawab, Suling Naga 
Sakti yang tergenggam di tangannya bergerak dan 
jatuh ke tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul 
dari Suling Naga Sakti, membuat Pendekar Gila 
tersentak kaget dan melompat mundur.  
“Ssszt...!” 
Terdengar desisan keras ketika asap tebal yang 
keluar dari Suling Naga Sakti berubah. Dengan cepat 
asap itu membentuk wujud sesosok binatang 
berwarna merah dengan tubuh diselimuti api. 
Binatang yang berupa seekor naga keemasan dengan 
kepala bermahkota itu terbentuk dari Suling Naga 
Sakti. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila 
terkejut bukan kepalang, tak menyangka kalau Suling 
 
 
Naga Sakti yang menjadi senjatanya ternyata jelmaan 
dari seekor Naga besar. Malah besarnya dua kali lipat 
dari Naga Brahma. 
“Kakang Naga Sakti...!” seru Naga Brahma melihat 
sosok naga di hadapannya. 
“Ada apa kau menggangguku, Adik Naga Brahma?” 
“Oh...! Tak kusangka, kalau aku akan kembali 
bertemu denganmu, Kakang.” 
“Hm...,” gumam Naga Sakti. “Aku pun begitu Dik. 
Lama sudah kita berpisah.” 
Kedua naga itu saling menitikkan air mata. 
Kemudian keduanya bercerita sejak keduanya 
dikutuk oleh ayah mereka sampai akhirnya mereka 
kembali bertemu. Naga Sakti bersumpah mengabdi 
pada pendekar yang berbudi luhur untuk menegak-
kan kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan 
Naga Brahma, dia pun bersumpah akan menjaga 
orang yang benar, dari ancaman orang-orang sesat. 
Kemudian Naga Brahma menceritakan tentang 
peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau Sambak 
Neraka. 
“Dua orang manusia dengan membawa bayi 
merah berlari-lari dikejar oleh manusia-manusia 
durjana. Keduanya kuselamatkan, sedangkan 
kesepuluh resi yang wataknya bukan menunjukkan 
resi, kubunuh. Pasangan suami istri muda itu, kuubah 
wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran 
orang-orang jahat...,” tutur Naga Brahma mengenai 
siapa sebenarnya kedua naga yang ada di Danau 
Sambak Neraka. “Jelasnya, mereka terkena fitnah 
keji yang disebarkan Sumantri. Bahkan kini guru 
mereka memihak pada Sumantri.” 
“Hm, keterlaluan!” dengus Naga Sakti. “Jelas ini 
tidak bisa dibiarkan! Biarlah semua ini kita serahkan 
 
 
pada Pendekar Gila dan anak angkatmu. Siapa nama 
anak angkatmu itu, Dik?” 
“Supit Songong, Kakang.” 
“Ya! Biarlah anak Anjasmara menuntut balas atas 
perbuatan paman gurunya yang biadab!” kata Naga 
Sakti. 
“Kalau memang begitu, aku pun menitipkan Supit 
Songong padamu selama di rimba persilatan, 
Pendekar Gila! Meski dia sama memiliki ilmu 
sepertimu, tapi pengalamannya tentu belum seperti 
dirimu,” kata Naga Brahma pada Sena. “Supit, 
ambillah lidahku. cabutlah...!” 
Supit Songong, bocah bersisik dan berlidah ular itu 
tanpa rasa takut mendekati mulut orangtua angkat-
nya yang menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah 
Naga Brahma. Seketika itu, berubahlah lidah sang 
Naga menjadi sebuah cambuk yang jika dilecutkan 
menjadi cambuk api. Itulah Cambuk Api Lidah Naga. 
“Aku titipkan dia padamu, Pendekar Gila,” kata 
Naga Brahma dengan suara dalamnya. 
“Aku akan berusaha, Paman,” sahut Pendekar 
Gila. 
“Baiklah, Dik. Aku harus pergi bersama Pendekar 
Gila,” usai berkata begitu, Naga Sakti kembali 
mengecil dan lenyap berubah ke wujud Suling Naga 
Sakti. 
“Kita pergi, Supit,” ajak Sena. Keduanya melesat 
meninggalkan Pulau Karang Api, tempat tinggal Naga 
Brahma. 
*** 
 
 
 
 
 
 
 
Malam dengan kegelapannya telah datang. Seluruh 
makhluk Tuhan seketika terkurung di dalam gelap-
nya. Pepohonan membisu, begitu juga dengan 
binatang. Hanya suara burung hantu yang masih 
terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara 
jangkrik yang bersahut-sahutan. 
Dua sosok tubuh berlari-lari ke arah Desa Pasut 
Piring tempat kediaman Sumantri. Kedua sosok tubuh 
itu, satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya 
tidak lain Pendekar Gila dan Supit Songong, bocah 
ular yang dirawat dan dididik oleh Naga Brahma. 
“Sebentar lagi sampai, Supit. Hati-hatilah, mereka 
kebanyakan licik,” tutur Sena ketika melihat gerak 
tangan Supit Songong yang berkata dengan bahasa 
isyarat. Sebenarnya Supit Songong tidak bisu, namun 
sepertinya bocah kecil itu tidak mau berkata-kata 
karena suaranya akan membuat seisi desa ter-
banguan. Tidak berapa lama kemudian, keduanya 
sampai di depan rumah Sumantri. 
“Siapa kalian?!” bentak salah seorang penjaga 
rumah Sumantri. Namun belum juga para penjaga itu 
mampu bergerak, Pendekar Gila telah menotok 
dengan pukulan jarak jauh.  
Tuk, tuk! 
“Ukh!” keluh para penjaga itu. Seketika tubuh 
mereka terkulai lemas. 
“Sumantri, aku datang dengan apa yang kau 
inginkan!” seru Sena. 
 
 
Seketika puluhan senjata rahasia melesat dari 
balik pepohonan ke arah Pendekar Gila dan Supit 
Songong yang berdiri di halaman depan rumah 
Sumantri. 
Swing! Swing! 
“Supit, Awas...!” seru Sena mengingatkan sambil 
berjumpalitan mengelakkan serangan gelap lawan. 
Kemudian dengan geram, pukulan tenaga dalamnya 
dihantamkan untuk menghalau senjata beracun itu. 
Wusss! 
Swing! Swing! 
Senjata-senjata rahasia beracun itu seketika 
berbalik. Bersamaan dengan itu, dari balik 
rerimbunan pohon terdengar suara hujaman senjata-
senjata rahasia dan jeritan-jeritan kematian. 
Jlep! Jlep! 
“Wuaaa...!” 
“Aaa...!” 
Sena dan Supit Songong tertawa tergelak-gelak 
kegirangan. Tubuh mereka berjingkrak-jingkrak. 
Tingkah laku keduanya seperti orang gila. 
“Seraaang...!” 
Terdengar seruan Sumantri dari balik rerimbunan 
pohon. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan 
pohon berlompatan beberapa orang mengepung 
Pendekar Gila dan Supit Songong. Di antara mereka 
nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri, Iblis 
Selendang Ungu, Cakal Genala dan Cakil Gering, serta 
tiga orang dari rimba hitam lainnya. 
“Pendekar Gila! Akhirnya malam ini kau harus 
mampus!” dengus Jalna Kumilang. Sorot matanya 
tajam, menunjukkan dendam pada pemuda tampan 
itu. Sementara Sena masih cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
 
 
“Aha, kau rupanya belum kapok, Ki? Baiklah, 
malam ini aku pun ingin mengirimmu ke neraka!” 
sahut Sena tenang. 
“Kurang ajar! Terimalah kematianmu! Heaaa...!” 
Jalna Kumilang yang sudah marah, segera maju 
menyerang ke arah Pendekar Gila, diikuti yang 
lainnya. Kini dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit 
Songong telah dikeroyok para tokoh persilatan aliran 
sesat. 
“Heaaat...!” 
Melihat keroyokan itu, Pendekar Gila tak mau 
tanggung-tanggung lagi. Segera ditariknya Suling 
Naga Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit 
Songong melolos cambuknya yang bernama Cambuk 
Api Lidah Naga. 
“Yeaaa...!” 
Cletar! Cletar...! 
Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong 
bergelemetar nyaring ketika dilecutkan. Saat itu juga 
cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang 
menyala terang. 
“Heaaa...!” 
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur 
Gunung Karang' bergerak menyerang lawan. Sedang-
kan Supit Songong kini menggebrak dengan lecutan-
lecutan cambuknya yang dahsyat. 
Cletar! Cletar! 
Pertarungan dahsyat itu seketika terjadi dengan 
serunya. Mereka tidak segan-segan lagi mengeluar-
kan jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya. 
Sena dengan Suling Naga Sakti bergerak seperti 
orang gila, berjumpalitan dengan seruan-seruan 
konyolnya menyerang. Setiap tebasan sulingnya, 
menimbulkan desiran yang sangat panas. Hal itu 
 
 
cukup menyentakkan lawan yang bermaksud 
menyerang ke arahnya. 
“Supit, cepat kau cari Sumantri!” perintah Sena 
sambil berusaha melindungi Supit Songong dengan 
jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar 
cepat, dengan Suling Naga Sakti menderu ke arah 
lawan-lawannya. 
Supit Songong segera melesat meninggalkan 
tempat itu untuk mencari Sumantri. Berkat pen-
ciumannya yang tajam, Supit Songong akhirnya 
dengan mudah menemukan Sumantri yang tersentak 
kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah 
ular itu. 
“Kau?! Kau bocah setan itu?!” pekik Sumantri, 
matanya membelalak. 
“Aku bukan bocah setan, Sumantri!” bentak Supit 
Songong. 
“Kau?! Kau tahu namaku?!” semakin kaget 
Sumantri mendengar bocah bersisik ular itu 
mengenal namanya. 
“Siapa yang tak kenal dengan manusia licik serta 
penjilat macam kau?! Kau memang pamanku, tapi 
tindakanmu membuat kedua orangtuaku sengsara!” 
dengus Supit Songong. 
“Siapa kau sebenarnya?” 
“Aku Supit Songong, anak Anjasmara dan Sambi. 
Keduanya kini menjadi Naga Api. Karena tindakanmu 
kami menderita, Sumantri!” 
“Tidak mungkin! Kau bocah setan!” 
“Terserah kau, Sumantri! Yang jelas aku datang 
untuk menyingkirkanmu dari muka bumi! Heaaat...!” 
Dengan suara menggelegar, Supit Songong ber-
gerak menyerang Sumantri. Terjangannya begitu 
keras dengan jurus 'Terjangan Kaki Naga'. 
 
 
Melihat bocah bersisik ular itu menyerang, 
Sumantri yang tidak ingin mati sia-sia segera meng-
elakkan serangan Supit Songong. Kemudian dengan 
cepat pedangnya dicabut. Lalu dengan jurus 'Pedang 
Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha 
merangsek lawan. 
“Heaaa..!”  
“Yeaaa...!” 
Pertarungan antara Sumantri dan Supit Songong 
berlangsung dengan seru. Namun dilihat dari 
pertarungan itu, nampaknya Supit Songong mampu 
menguasai keadaan. Meski belum banyak 
pengalaman, ilmu silat Supit Songong lebih tinggi di 
atas Sumantri. Apalagi dia merupakan pewaris 
tunggal ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama 
dengan ilmu-ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau Naga 
Brahma menggunakan nama jurus dengan sebutan 
naga, sedangkan Pendekar Gila menggunakan jurus 
dengan sebutan Gila. 
Tubuh Supit Songong laksana seekor naga yang 
ganas, bergerak garang menyerang. Tangannya yang 
berkuku tajam beberapa kali menyambar ke wajah 
Sumantri. 
“Heaaa...!”  
Wut! 
“Heit...! Hop!” 
Sumantri dengan cepat bergerak mengelakkan 
serangan cakar lawan yang menggunakan jurus 
'Cakar Kuku Naga' Hampir saja wajahnya berantakan 
terobek cakaran kuku-kuku Supit Songong yang tajam 
dan mengerikan, kalau saja dia tidak segera 
mengelak. 
“Ghrrr! Heaaa...!” 
Merasa serangannya gagal, Supit Songong meng-
 
 
geram marah. Kembali dengan penuh amarah, bocah 
yang kulit tubuhnya bersisik ini menggebrak lawan 
dengan cepat. 
Sumantri benar-benar dibuat kalang-kabut oleh 
gerakan kaki bocah itu. Apalagi pada awal mulanya 
dia sudah dihinggapi perasaan takut dan terlalu 
meninggikan bocah itu, yang membuat gerakannya 
menjadi kacau dan serba canggung. 
“Heaaat...!” 
Supit Songong melayang laksana naga terbang, 
kemudian dengan cakarannya, dia menyerang wajah 
Sumantri. 
Wuttt! 
Sumantri berusaha berkelit, kemudian membabat-
kan pedangnya ke tangan bocah itu dengan cepat. 
Hal itu membuat Supit Songong menarik cepet 
serangannya. Namun disusul dengan serangan 
berikutnya yang tak kalah cepat dengan jurus 'Naga 
Brahma Melebur Gunung Karang'.  
“Heaaa!”  
Dugk!  
“Ukh...!” 
Sumantri mengeluh, merasakan dadanya terasa 
sesak akibat hantaman pukulan lawan. Wajahnya 
pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 
Matanya membelalak, gigi-giginya beradu menahan 
marah. 
“Bocah setan! Kubunuh kau! Heaaa...!” 
Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya, 
Sumantri menyerang ke arah Supit Songong. Pedang-
nya berkelebat cepat, membuat jurus yang dinama-
kan 'Baling-baling Pencabut Nyawa'. 
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus 
pamungkasnya, Supit Songong tidak tinggal diam. Dia 
 
 
segera melolos Cambuk Api Lidah Naga. Kemudian, 
ketika tubuh Sumantri melesat ke arahnya, tak segan-
segan lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke 
arah lawan. 
“Ayah, ibu! Semoga kalian tenang! Heaaa...!” 
Cletar!  
“Wuaaa...!” 
Sumantri menjerit keras dan melengking ketika 
Cambuk Api Lidah Naga melecut ke tubuhnya. 
Cambuk yang telah berubah menjadi cambuk api itu 
membelit dan membakar sekujur tubuhnya. 
Kemudian dengan sekali hentakan, Supit Songong 
melemparkan tubuh Sumantri dengan cara meng-
gerakkan Cambuk Api Lidah Naga ke luar. 
“Heaaa...!” 
Tubuh Sumantri yang sudah hangus itu terlempar 
dan jatuh di tengah-tengah pertempuran Pendekar 
Gila melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut 
menyaksikan tuannya telah tewas dengan tubuh 
gosong menjadi arang. 
“Bocah setan itu telah membunuh Tuan Sumantri!” 
seru Jalna Kumilang membelalakkan mata tegang. 
Semua tokoh hitam yang mengeroyok Pendekar 
Gila seketika terpaku dengan nyali yang menciut. 
Sumantri yang mereka takuti dan segani dengan 
mudah dapat dibinasakan. 
Sementara itu pula, Supit Songong melesat ke 
luar. Langsung menggebrak dengan Cambuk Api 
Lidah Naganya. 
Cletar! Cletar...! 
Prat! Prat...! 
“Wuaaa!” 
“Aaakh...!” 
Pekikan kematian seketika terdengar susul-
 
 
menyusul, membelah keheningan malam. Pendekar 
Gila hanya terlongong bengong, menyaksikan 
kehebatan Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit 
Songong. Dalam sekejap saja, tujuh orang anak buah 
Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali lecutan. 
“Semuanya telah usai, Supit,” kata Sena.  
“Benar, Kakang,” sahut bocah berusia sepuluh 
tahun itu. “Kini semua telah terbalaskan. Semoga tak 
ada lagi kejahatan.” 
Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan 
kepala, membuat Supit Songong mengerutkan kening 
tak mengerti. 
“Supit, selama dunia masih berputar, kejahatan 
akan selalu ada. Di mana-mana, setan akan berusaha 
mengalahkan manusia dan memperbudak manusia. 
Di saat itu pula, kejahatan akan hadir,” tutur Sena. 
“Kalau begitu, aku ingin ikut Kakang untuk turut 
serta menumpas kejahatan,” kata Supit Songong 
berapi-api, sebagaimana layaknya bocah kecil. 
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk 
garuk kepala. 
“Tidak mungkin, Supit! Kau masih kecil. Belum 
waktunya kau mengembara di rimba persilatan. Kau 
harus kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke 
sana,” ajak Sena. 
“Tapi, Kakang....” 
“Sudahlah, kau harus kembali dulu ke Paman 
Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana Paman 
Naga Brahma memutuskan, ayo!” ajak Sena sambil 
menggandeng tangan Supit Songong meninggalkan 
tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat, 
meninggalkan rumah Sumatri yang sepi dan senyap, 
dan hanya tinggal mayat-mayat yang bergelimpangan. 
Selang beberapa waktu kemudian, nampak 
seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut 
putih di gelung serta jenggot panjang datang ke 
rumah Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya 
bertengger sebuah pedang, tiada lain Dewa Pedang. 
Mata Ki Badawi membelalak, menyaksikan murid 
dan orang-orangnya mati mengenaskan. 
“Kurang ajar! Pendekar Gila, ke mana pun kau 
pergi, aku akan mencarimu! Kubunuh kau, Pendekar 
Gila...!” serunya lantang penuh amarah. Kemudian 
dengan masih diliputi rasa marah, Dewa Pedang 
berlari meninggalkan tempat itu. 
Bagaimana dengan ancaman Dewa Pedang pada 
Pendekar Gila? Apakah Dewa Pedang benar-benar 
akan membunuh Pendekar Gila? Mungkinkah salah 
paham antara Dewa Pedang dan Pendekar Gila 
diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila 
selanjutnya dalam judul “Pembalasan Dewa Pedang”,  
 
 
SELESAI 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com