Pendekar Gila 6 - Singa Jantan Dari Cina(2)




Dewi Pandagu berteriak tertahan, ketika tangan 
Kebo Pangawon melesat cepat ke dadanya. Dia tak 
mau mengelitkan serangan itu, sehingga dadanya ber-
hasil dijamah.
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu! Heaaa...!" bentak Dewi Pandagu gusar, mendapat 
perlakuan kurang ajar dari lawannya. 
Tangan Dewi Pandagu kini berpendar sinar 
kuning kemerah-merahan. Kemudian dengan cepat, 
memukul Kebo Pangawon, yang tersentak kaget dan 
mengelak Kemudian dengan cepat, Kebo Pangawon ba-
las menyerang dengan pukulan saktinya pula. 
"Heaaa...!" 
Glar! 
"Aaakh...!" Dewi Pandagu memekik keras. Tu-
buhnya terlempar ke belakang, sampai membentur 
dinding bangunan hingga jebol, lalu jatuh ke lantai 
dengan dada hancur! 
Kebo Pangawon terbelalak kaget. Dia tidak 
menduga kalau wanita cantik itu benar-benar nekat. 
Wajah Kebo Pangawon seperti menyesali apa yang ter-
jadi. 
"Kebo...!" seru Karto Songo dengan mata melo-
tot "Mengapa kau membunuhnya?" 
Kebo Pangawon semakin kebingungan. Dia se-
benarnya tidak bermaksud membunuh Dewi Pandagu. 
Namun pukulan maut Dewi Pandagu rupanya telah 
membuatnya kaget. Lalu tanpa sadar, seluruh tenaga 
dalamnya dikerahkan. 
"Celaka! Tentunya Pendekar Gila akan menga-
muk dan memburu kita!" ujar Karto Songo cemas. 
"Cepat kita tinggalkan tempat ini!"  ajak Kebo 
Pangawon. 
Kedua lelaki dari kalangan hitam yang cemas 
setelah Dewi Pandagu binasa itu, tanpa pikir panjang 
segera lari meninggalkan tempat itu. Mereka tak mau 
berurusan dengan Pendekar Gila, jika nanti pendekar 
itu tahu calon istrinya binasa. 
Ketika, Kebo Pangawon dan Karto Songo masih 
berlari, tiba-tiba dalam jarak tujuh tombak di depan 
mereka berdiri seorang lelaki bercaping lebar. Di pung-
gung lelaki itu tersandang pedang panjang yang ga-
gangnya berkilat. 
"Hm...," lelaki bercaping yang tak lain Kauw 
Cien Lung itu bergumam. Tangannya bersidekap di de-
pan dada. 
"Lelaki bercaping?!" desis Karto Songo dengan 
mata membelalak.  
"Oh?! Mengapa dia ada di sini?" keluh Kebo 
Pangawon. 
"Kalian orang-orang tak berguna! Hm.... Sepan-
tasnya kalian mampus!" dengus Kauw Cien Lung den-
gan suara yang berat. 
"Tidak...! Jangan, Tuan. Kami segolongan den-
ganmu," ratap Karto Songo sambil merunduk. 
"Benar, Tuan. Kami segolongan denganmu. Ja-
dikanlah kami pengikutmu," timpal Kebo Pangawon tu-
rut merunduk. Kemudian keduanya menjatuhkan diri, 
berlutut sambil mencium tanah. 
"Hm.... Bangunlah! Kalian orang-orang tak ber-
guna! Bersiaplah untuk mati...!" bentak Kauw Cien 
Lung dengan wajah dingin. Tangan kanannya bergerak 
memegang gagang pedang. 
Srrrt! 
Mata Karto Songo dan Kebo Pangawon membe-
lalak, mendengar suara pedang ditarik dari sarungnya. 
"Bangun...!" sentak Kauw Cien Lung dengan ke-
ras. Tangan kanannya kini telah menggenggam pedang 
yang bersinar putih kebiru-biruan. "Jika kalian lelaki, 
bersiaplah untuk mati!" 
Merasa tak ada kesempatan untuk memohon 
ampun, keduanya segera bangun. Percuma mereka 
menyerah begitu saja. Tak ada pilihan lain, mereka ha-
rus melakukan perlawanan agar mati dengan terhor-
mat. 
"Cabut senjata kalian!" bentak Kauw Cien Lung. 
Srrrt! 
Srrrt! 
Kebo Pangawon melolos senjatanya yang ber-
bentuk tali baja dengan bola berduri. Sedangkan Karto 
Songo, melolos senjatanya yang berbentuk tali baja 
dengan tombak runcing. 
"Bagus! Kalian bersiaplah!"  
"Kunyuk! Kami telah siap! Apa kau kira kami 
takut?!" balas Kebo Pangawon membentak. Percuma 
saja dia mengiba pada lelaki bercaping itu. Lagi pula, 
dia belum pernah menjajaki ilmu silatnya. 
"Ya! Jangan kira kami takut pada sepak terjang 
mu! Aku Karto Songo, tak akan gentar! Heaaa...!" 
"Hiaaat..!" 
Kebo Pangawon dan Karto Songo dengan cepat 
bergerak menyerang. Senjata mereka melesat cepat ke 
arah Kauw Cien Lung secara bersamaan. Menusuk dan 
melejit ke dada dan wajah lelaki Cina yang berjuluk 
Singa Jantan itu. 
"Heaaa...!" 
Tubuh Kauw Cien Lung segera melejit ke atas, 
mengelakkan serangan kedua lawannya. Kemudian 
dengan cepat tubuhnya bergerak ke depan. Pedang di 
tangannya membabat ke arah kedua lawannya secepat 
kilat. 
Wut! 
"Hait...!" 
"Uts...!" 
Karto Songo dan Kebo Pangawon dengan cepat 
berkelit dan berpencar. Kemudian keduanya balas me-
lakukan serangan. Kebo Pangawon kembali meluncur-
kan bola baja berdurinya ke dada lawan. Karto Songo 
juga tak mau diam. Senjatanya dilecutkan ke wajah 
lawannya. 
Srrrt! 
Wut! 
Singa Jantan dari Cina itu kembali bergerak 
mengelitkan serangan keduanya. Kemudian dengan 
cepat tangan kirinya menangkap salah satu senjata 
lawan. 
Tap! 
Bola besi berduri milik Kebo Pangawon tertang-
kap. Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika 
Kebo Pangawon menyentakkan senjatanya. Kemudian 
dengan cepat, pedangnya digerakkan ke tubuh lawan. 
"Akh...!" Kebo Pangawon tersentak kaget. Ma-
tanya membelalak, dan mulutnya menganga menyak-
sikan gerakan lawan yang sulit diterka itu. Setiap ba-
batan pedang lawan berusaha dielakkannya, namun 
gerakannya kalah cepat. 
Wut! 
Cras! 
"Aaa...!" Kebo Pangawon melolong, ketika pe-
dang lawan menyayat keningnya. Tubuhnya meregang 
dengan mata melotot, kemudian tersungkur dengan 
nyawa melayang. Tubuhnya mengepulkan asap hitam 
bagai terbakar. 
Menyaksikan Kebo Pangawon tewas, nyali Karto 
Songo ciut. Dia ingin lari, namun rasanya  percuma. 
Tentu lelaki misterius itu akan mengejarnya. 
"Kurang ajar! Kau telah membunuh temanku! 
Kau harus mampus! Hiaaat..!" Karto Songo memekik 
keras, kemudian dengan membabi buta dia kembali 
menyerang. Senjatanya bergerak cepat menyambar 
dan menusuk ke arah lawan.  
"Yeaaah...!" 
Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika 
rantai bermata tombak milik Karto Songo melesat ke 
arahnya. Kemudian dengan ringan, kakinya menginjak 
rantai itu, membuat mata Karto Songo membelalak 
Senjatanya ditarik sekuat tenaga, berusaha menjatuh-
kan Singa Jantan dari Cina itu. 
"Heaaat..!" 
Kauw Cien Lung melesat ke atas, kemudian 
dengan gerakan cepat kembali menukik. Saat itu, pe-
dang di tangannya berkelebat ke wajah Karto Songo. 
"Heaaat..!" 
Cras! 
"Wuaaa...!" Karto Songo melolong histeris. Tan-
gannya seketika memegangi kening yang tersayat. Ma-
tanya melotot sekarat. Kemudian ambruk dengan kea-
daan yang sangat mengerikan. 
"Hm...," Kauw Cien Lung menggumam. Tangan 
kirinya menyeka darah pada ujung pedang. Kemudian 
setelah memasukkan pedang ke sarungnya, dia berlalu 
dari tempat itu. 
Malam kembali hening, dicekam kegelapan. 
Dunia persilatan di tanah Jawa Dwipa khusus-
nya di wilayah tengah semakin tercekam. Kini tidak 
hanya para pendekar dari aliran lurus yang merasakan 
cemas  akibat tindakan lelaki bercaping yang penuh 
misteri itu. Dari aliran hitam pun merasakan juga. Ter-
lebih setelah mayat Karto Songo dan Kebo Pangawon 
ditemukan. 
Keadaan rimba persilatan bagai terpanggang, 
membara panas. Belum lagi dengan berita tentang titi-
san Dewi Kuan Im berupa seorang dara Cina. Mem-
buat rimba persilatan kian bergolak. 
Satu pihak, berusaha mencari jalan keluar un-
tuk menyelesaikan masalah lelaki bercaping yang se-
pak terjangnya terlalu telengas. Di pihak lain, ada yang 
berusaha mencari gadis titisan Dewi Kuan Im, dengan 
harapan akan menjadi pendekar nomor wahid di rimba 
persilatan. Pendekar tanpa tanding, yang akan menjadi 
pendekar di antara para pendekar. 
Mei Lie yang menjadi incaran utama orang-
orang rimba persilatan, karena dianggap titisan  Dewi 
Kuan Im, kini masih mengasingkan diri bersama Nyi 
Bangil dan Lira Kanti di tempat yang sepi dan tidak 
pernah dijamah oleh manusia. 
Gadis itu tengah mempelajari jurus-jurus 
'Pedang Bidadari' yang sakti, ditemani oleh Nyi Bangil. 
Sementara adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama 
Lira Kanti seperti biasanya pergi ke pasar untuk mem-
beli kebutuhan hidup. Di samping itu, Lira Kanti ber-
tugas mencari berita tentang Pendekar Gila, di samp-
ing mengamati perkembangan dunia persilatan. 
Sembilan jurus telah dikuasai Mei Lie. Kini 
tinggal jurus pamungkas dari semua jurus 'Ilmu Pe-
dang Bidadari'. Jurus 'Pedang Tebasan Batin', sebuah 
jurus sakti yang mungkin sampai sejauh ini belum ada 
yang mampu memecahkannya. 
"Hhh...!" Mei Lie nampak duduk bersila di atas 
sebuah batu di depan air terjun. Pedang di tangannya 
kini dilekatkan ke wajah. Matanya terpejam, kemudian 
tangannya yang menggenggam pedang digerakkan ke 
kanan. 
Sedangkan di pinggir sungai, seorang wanita 
muda dan cantik bertubuh sintal dengan pakaian me-
rah jambu, duduk bersila sambil mengawasi Mei Lie. 
Wanita itu tiada lain Nyi Bangil, yang sebenarnya pe-
waris 'Ilmu Pedang Bidadari'. Namun karena Mei Lie 
yang mampu memecahkan semua jurus-jurus itu, Nyi 
Bangil akhirnya menyerahkannya pada adik ang-
katnya. 
Mata Nyi Bangil tidak berkedip memandang Mei 
Lie yang tengah melakukan ujian akhir dari jurus 
'Pedang Tebasan Batin'. Orang yang berhasil mengua-
sai jurus itu akan mampu menebas makhluk halus se-
kalipun. 
Telapak tangan Nyi Bangil saling bertemu. Jari-
jarinya tegak di depan dada. Matanya tiada henti me-
mandang ke arah Mei Lie. 
"Hhh...," Mei Lie kembali menggerakkan pedang 
di tangannya. Kali ini ke arah depan. Kemudian setelah 
menarik kembali ke belakang, pedang itu digerakkan 
ke arah kiri.  
Gerakan-gerakan itu dilakukan berulang-ulang. 
Dengan napas diatur sedemikian rupa. Matanya terpe-
jam rapat, hingga tidak melihat sekelilingnya. 
"Hhh...! Hea...!" 
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan, lalu 
diangkat ke atas. Kemudian dengan mata terpejam, 
pedangnya dibabatkan ke air di bawahnya. 
Wut! 
Pedang menderu cepat, membabat air. Aneh-
nya, air itu tidak terpercik sedikit pun! Bahkan air lak-
sana terbelah, Bukan itu saja! Pedang itu ternyata 
membabat seekor ikan yang ada di dalam air. 
Tidak lama kemudian, nampak seekor ikan mas 
tersembul ke  permukaan air. Tubuh ikan itu masih 
utuh, bagai tidak mengalami apa-apa. Namun ketika 
Mei Lie mengambil ikan itu, tubuh ikan mas itu ter-
nyata telah terbelah dua! 
"Hebat...!" seru Nyi Bangil tanpa sadar, ketika 
menyaksikan hasil yang dicapai Mei Lie. 
Mei Lie tersenyum. Dilemparkan ikan yang ke-
lihatannya masih utuh itu ke arah Nyi Bangil yang se-
gera menangkapnya. 
Nyi Bangil memandang lekat ke arah Mei Lie 
yang masih duduk bersila di atas batu dengan pedang 
tergenggam di tangan. Lalu dipandanginya lagi ikan di 
tangannya. 
"Kau telah berhasil, Mei Lie! Kau telah berhasil 
memecahkan jurus pamungkas. Jurus 'Pedang Teba-
san Batin'," kata Nyi Bangil gembira. 
"Kurasa semua berkat doa dan dorongan se-
mangat darimu, Kak. Namun aku belum puas, jika aku 
belum melakukan yang lebih baik dari itu," kata Mei 
Lie. 
"Lakukanlah pada batu itu, Mei Lie!" perintah 
Nyi Bangil. 
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Mei 
Lie. 
Kembali Mei Lie memejamkan mata. Kedua tan-
gannya memegang gagang pedang. Pernafasannya  di-
atur agar lancar. 
"Hhh...," Mei Lie berusaha memusatkan seluruh 
daya di tubuhnya pada batinnya. 
Nyi Bangil kembali memperhatikan Mei Lie den-
gan seksama. Matanya tidak berkedip. Hatinya berha-
rap agar semua yang dilakukan Mei Lie akan berhasil. 
"Hhh...!" 
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan. Ke-
mudian ke depan. Dilanjutkan ke kiri, lalu ke depan 
lagi.  Nafasnya  terus diatur. Seluruh panca inderanya 
dipa-dukan. Kini semuanya benar-benar terpusat ke 
batin. 
"Hhh...! Heaaa...!" 
Mei Lie mengangkat pedangnya ke atas, tubuh-
nya berkelebat laksana terbang. Lalu dengan mata ma-
sih terpejam, pedangnya dibabatkan ke batu besar di 
dalam air terjun. 
Wut! 
Kejadian aneh kembali terjadi. Batu itu bagai 
tidak mengalami apa-apa. Padahal pedang di tangan 
Mei Lie telah tembus ke dalam. Begitu juga dengan air 
terjun, tak ada percikan sedikit pun. Air terjun itu lak-
sana terbelah dua ketika Mei Lie membabatkan pe-
dang. 
"Heaaa,.!" 
Mei Lie kembali melompat ke belakang dengan 
bersalto beberapa kali, kemudian duduk bersila kem-
bali di atas batu semula. Saat itu pula, batu sebesar 
badan kerbau yang tadi dibabat oleh pedangnya, han-
cur berantakan terkena arus air. Batu besar itu beru-
bah menjadi butiran-butiran kecil! 
"Oh, sungguh dahsyat..!" gumam Nyi Bangil 
dengan mata semakin membelalak, menyaksikan keja-
dian yang aneh itu. 
Kepala Nyi Bangil menggeleng-geleng. Baru kali 
ini disaksikannya kehebatan jurus 'Pedang Tebasan 
Batin'. Tidak percuma Mei Lie mempelajarinya dengan 
tekun. Hampir tiap hari gadis itu mempelajari 'Ilmu 
Pedang Bidadari'. Dan hasil dari ketekunannya akhir-
nya terwujud. Mei Lie telah mampu menguasai semua 
jurus di Kitab Ilmu Pedang Bidadari yang selama ini 
belum terpecahkan. 
"Kau berhasil, Mei Lie! Kau berhasil...!" seru Nyi 
Bangil girang. 
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie belum percaya. 
"Ya!  Lihatlah. Batu di belakang air terjun itu, 
telah hancur menjadi pasir!" seru Nyi Bangil sambil 
menunjuk ke arah air terjun. 
Mei Lie memandang ke air terjun. Seketika ma-
tanya membuka lebar, manakala melihat di balik air 
terjun itu terdapat sebuah goa. 
"Goa...," desis Mei Lie masih terpana menyaksi-
kan goa di belakang air terjun. "Hm.... Rupanya batu 
besar tadi adalah penutup goa ini." 
"Ada apa, Mei Lie?" tanya Nyi Bangil. 
"Di balik air terjun ada goa, Kak!" seru Mei Lie, 
menyahuti. 
"Goa...?" tanya Nyi Bangil. 
"Ya!" 
"Hm.... Mungkinkah itu goa yang dimaksudkan 
dalam Kitab Ilmu Pedang Bidadari?" tanya Nyi Bangil. 
"Entahlah. Aku akan mencoba masuk, Kak"  
"Hati-hatilah!" 
Mei Lie melesat cepat. Tangannya menyibak air 
terjun yang deras. Kemudian laksana terbang tubuh-
nya melesat masuk ke dalam, meninggalkan Nyi Bangil 
yang memperhatikannya dengan was-was. 
*** 
Mei Lie mengerutkan kening, setelah masuk ke 
dalam goa itu. Ternyata goa itu di dalamnya sangat 
luas. Ada rasa tegang menyelimuti hati gadis Cina itu, 
menyaksikan keadaan goa yang sangat menyeramkan. 
Namun entah mengapa, hatinya merasakan ada sesua-
tu yang menariknya untuk terus menyelusuri goa itu. 
"Hm.... Goa apa ini? Dan...." 
Belum juga Mei Lie selesai berkata, tiba-tiba 
matanya tersentak oleh sinar merah kekuning-
kuningan. Sinar itu datangnya dari dalam goa. Seper-
tinya ada sesuatu di sana. 
Mei Lie semakin tegang. Keningnya kian berke-
rut. Bibirnya dikulum dalam-dalam, berusaha mene-
kan perasaan takut yang melanda jiwanya. 
"Sinar apakah itu?" tanyanya lirih. 
Kaki Mei Lie kini melangkah bagai ada yang 
menyeret. Hatinya berdebar-debar, laksana merasakan 
getaran dahsyat. Sinar merah kekuning-kuningan yang 
memancar itu, seperti menyedot tubuhnya untuk terus 
mendekat 
Dengan perasaan agak tegang, Mei Lie terus 
melangkah menyusuri goa. Langkah-langkahnya bagai 
detak-detak menuju maut. Matanya membuka lebar, 
sesekali menyapu ke sekelilingnya yang menyeramkan. 
Kakinya semakin lama semakin jauh melang-
kah dan kian dekat dengan sinar berwarna merah ke-
kuning-kuningan yang kian terang. Sampai akhirnya, 
Mei Lie menjadi takjub. Matanya membelalak lebar dan 
berbinar-binar manakala melihat dengan jelas sinar 
merah kekuning-kuningan itu. Ternyata sinar itu be-
rasal dari sebilah pedang. 
"Pedang...! Oh...," desis Mei Lie. Matanya tidak 
berkedip memandang pedang yang menancap di se-
buah kotak panjang. Sedangkan sarungnya yang ter-
buat dari kayu cendana dan menebarkan bau harum, 
terletak di sampingnya. 
Dengan takjub, Mei Lie menjura ke arah pedang 
itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya menyeka de-
bu yang menutupi kotak kayu persegi yang besarnya 
dua kali ukuran pedang. Sepertinya di kotak kayu itu 
terdapat sebuah tulisan. 
Setelah debu yang menutup  dienyahkan, kini 
tulisan itu menjadi jelas. Mei Lie membacanya, 
Siapa yang telah mampu menguasai 'Ilmu Pe-
dang Bidadari', dialah pewaris pedang ini. Dengan pe-
dang ini, jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' akan sema-
kin sempurna. 
Dewi Pedang 
"Oh! Rupanya ini Pedang Bidadari. Jagat Dewa 
Batara, sungguh aku telah beruntung menjadi pewaris 
'Ilmu Pedang Bidadari'," bisik Mei Lie, khidmat. 
Tangannya kini memegang gagang pedang. Ke-
mudian dicobanya mengangkat pedang itu. Namun pe-
dang itu bagai telah menyatu dengan kayu tempat ter-
tancapnya. 
"Hei, mengapa pedang ini sulit dicabut?" Mei Lie 
terheran-heran. Dipandanginya kembali Pedang Bida-
dari di hadapannya yang masih mengeluarkan sinar 
merah kekuning-kuningan. Dicobanya lagi. Tetap saja 
gagal. 
Mei Lie mengerahkan seluruh tenaganya, beru-
saha mencabut pedang tersebut. Namun sia-sia! Pe-
dang itu tidak bergeming sedikit pun juga. 
"Oh, apa yang harus kulakukan?" keluh Mei Lie 
hampir putus asa. 
Ditatapnya pedang itu lekat-lekat, berusaha 
memahami cara yang baik untuk mencabut pedang 
itu. Mungkinkah harus menggunakan batin? Tanya 
Mei Lie dalam hati. Ya. Mungkin aku harus memakai 
kekuatan batin! 
Setelah merasa yakin, Mei Lie segera duduk 
bersila di hadapan pedang itu. Matanya dipejamkan. 
Nafasnya  diatur dengan irama tertentu, lalu segenap 
panca inderanya disatukan ke pusat batin. Setelah la-
ma melakukan hening diri, dan semuanya telah terpu-
sat di batin, Mei Lie mengulurkan tangan kanannya ke 
gagang pedang. Kemudian dengan tenaga batin, Mei 
Lie mencabut pedang tersebut. 
"Oh, akhirnya aku berhasil!" ucap Mei Lie nya-
ris memekik girang ketika pedang itu terlepas dari tan-
capannya. Tak jemu-jemu pedang itu dipandangi. Ke-
mudian diambilnya sarung pedang, lalu Pedang Bida-
dari dimasukkan ke dalamnya. 
Mei Lie segera menjura setelah menaruh pe-
dang itu di punggungnya. Kemudian Mei Lie melang-
kah meninggalkan goa itu. 
*** 
"Mei Lie...! Cemas aku menunggumu. Apa yang 
kau lakukan di dalam?" tanya Nyi Bangil dengan wajah 
menggambarkan kecemasan, karena Mei Lie lama se-
kali di dalam goa. 
"Kak! Lihat, apa yang kuperoleh?!" 
Mei Lie menarik pedang dari sarungnya. Seketi-
ka sinar merah kekuning-kuningan berpijar, menyen-
takkan Nyi Bangil. Sampai-sampai mata Nyi Bangil me-
lotot. Mulutnya tanpa sadar menyebut nama pedang 
itu. 
"Pedang Bidadari!" 
"Benar, Kak. Pedang ini berada di dalam goa," 
tutur Mei Lie. 
"Oh, akhirnya kau berhasil, Mei Lie. Kini leng-
kaplah apa yang kau miliki. Dengan Pedang Bidadari 
di tanganmu, kau akan menjadi jago pedang nomor sa-
tu. Kau pantas berjalan sejajar dengan Pendekar Gila," 
puji Nyi Bangil turut gembira, melihat Mei Lie akhirnya 
berhasil mendapatkan semuanya. 
"Semua berkat doa serta doronganmu, Kak." 
Mei Lie segera menjura hormat. Namun dengan 
segera Nyi Bangil memegangi pundaknya. Diangkatnya 
tubuh Mei Lie, kemudian gadis Cina yang telah diang-
kat menjadi adiknya diminta untuk memandang wa-
jahnya. 
"Aku bersyukur, kau akhirnya berhasil, Mei Lie. 
Kini aku merasa telah terbebas dari tanggung jawab. 
Kalau kau memang ingin mencari Sena, aku tak kebe-
ratan. Namun perlu kau ingat, bahwa para pendekar 
kini tengah memburumu. Untuk itu, kau harus hati-
hati. Bila perlu, menyamarlah agar tidak kelihatan sia-
pa dirimu," tutur Nyi Bangil menyarankan. 
"Terima kasih, Kak." 
"Kita pulang dulu untuk mempersiapkan kebe-
rangkatanmu mengembara. Ayo...," ajak Nyi Bangil 
sambil membimbing Mei Lie meninggalkan tempat itu. 
Suasana di tempat itu kembali sepi. Hanya ki-
cau burung saja yang terdengar, ditimpali debur air 
terjun yang tiada henti. Seakan air terjun itu jalur hi-
dup manusia. Yang selalu memiliki alur kehidupan, 
sebagaimana air. 
Sinar matahari pagi menerobos lewat celah de-
daunan, menyinari suasana di tempat itu. Angin ber-
tiup semilir, membawa kesejukan dan kedamaian hati. 
Alam pun turut berseri. 
Orang-orang rimba persilatan kian dibuat keta-
kutan oleh lelaki bercaping lebar yang sepak terjang-
nya kian menjadi-jadi. Sejauh itu, belum ada yang ta-
hu siapa sesungguhnya lelaki bercaping lebar itu. Dan 
apa tujuan sebenarnya. 
Kini orang-orang persilatan yang dipimpin Ki 
Ageng Sampar Bayu mengadakan pertemuan untuk 
membahas masalah sepak terjang lelaki bercaping 
yang oleh kaum rimba persilatan dijuluki Singa Jantan 
dari Cina. 
Semua orang rimba persilatan aliran lurus, di-
panggil untuk menghadiri pertemuan itu. Di sana, ha-
dir Resi Sarameskari dan kedua murid utamanya. Ki 
Kerto Mandra dengan istrinya Ratih Pun. Juga dari 
Perguruan Teratai Putih yang diwakili oleh Suciati dan 
Anggrojoyo. Dan perguruan-perguruan aliran lurus 
lainnya. 
Hanya satu orang yang belum hadir di situ, yai-
tu Pendekar Gila. 
"Saudara-saudara pendekar.... Sengaja kami 
mengundang saudara-saudara ke sini untuk memba-
has masalah Singa Jantan dari Cina yang sepak ter-
jangnya akhir-akhir ini semakin telengas," kata Ki 
Ageng Sampar Bayu, membuka pertemuan. Sayang sa-
tu orang yang sesungguhnya penting tidak hadir." 
"Aha.... Aku telah datang, Ki!" 
Tiba-tiba terdengar sahutan seorang pemuda. 
Kemudian disusul dengan munculnya seorang lelaki 
muda berpakaian rompi kulit ular yang tingkahnya 
persis orang gila. 
Semua mata seketika mengalihkan pandangan-
nya ke arah Sena yang baru saja hadir. Kehadirannya 
membuat wajah-wajah para pendekar agak ceria. 
"Selamat datang, Pendekar Gila," sambut se-
mua pendekar seraya menjura hormat, yang dibalas 
pula oleh Sena. 
"Ah ah ah....! Mengapa kalian begitu menyam-
butku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aku adalah bagian dari kalian. Tak perlu kalian berla-
ku hormat padaku, karena aku belumlah seberapa di-
bandingkan kalian." 
"Silakan mengambil tempat, Pendekar Gila," ka-
ta Ki Ageng Sampar Bayu, mempersilakan Sena. 
"Terima kasih, Ki," tukas Sena sambil melang-
kah ke kursi yang masih kosong. 
"Baiklah, kita mulai pertemuan ini," ujar Ki 
Ageng Sampar Bayu. "Kita kembali ke pokok masalah, 
tentang Singa Jantan dari Cina yang sepak terjangnya 
akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi. Juga masalah 
geger wanita titisan Dewi Kuan Im. Nah, bagaimana 
tanggapan kalian? Silakan yang hendak mengajukan 
usul." 
"Saya,  Ketua," Resi Sarameskari mengajukan 
tangan. 
"Silakan." 
"Menurut hemat saya, tugas ini harus kita bagi. 
Bagaimanapun juga, semua adalah tanggung jawab ki-
ta bersama." 
"Setuju...!" sambut hadirin. 
"Baiklah! Kita bagi tugas. Bagaimana kalau Resi 
Sarameskari dan Pendekar Gila mengawasi sepak ter-
jang lelaki misterius itu. Kalau bisa, secepatnya lelaki 
itu ditangkap, hidup atau mati. Kalau tidak segera di-
hentikan, bisa-bisa semua pendekar akan habis diban-
tainya," urai Ki Ageng Sampar Bayu. 
Semua terdiam seraya mengangguk-anggukkan 
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki 
Ageng Sampar Bayu. 
"Bagaimana, Pendekar Gila? Apa ada yang da-
pat kau sampaikan untuk kami?" tanya Ki Ageng Sam-
par Bayu. 
Sena menggaruk-garuk kepala sambil berkata, 
"Ya! Ini sangat penting sekali. Bagi siapa pun juga, 
usahakan jangan sampai menyentuh korban Singa 
Jantan dari Cina itu."  
"Kenapa...?" 
"Korban telah terkena racun ganas. Siapa pun 
yang menyentuhnya, akan mengalami kematian. Tu-
buhnya dalam sekejap akan terbakar," tutur Sena, 
menjelaskan. 
"Apa yang dikatakannya memang benar, Ke-
tua," sahut Resi Sarameskari. 
"Hm.... Kalau begitu, orang itu sangat berba-
haya," gumam Ki Ageng Sampar Bayu. 
"Ya! Maka, kuharap saudara pendekar sekalian 
berhati-hati. Usahakan, jangan sampai terkena pe-
dangnya jika memang bentrok. Kalau memang bisa, 
hindari bentrokan," kata Sena, menegaskan. 
Semua kembali diam. Hanya kepala mereka 
yang mengangguk-angguk, tampaknya memahami 
ucapan Sena. Sedangkan Ki Ageng Sampar Bayu 
menghela napas. Tatapan matanya kini memandang 
lepas ke arah pintu, seakan tengah membuang pera-
saaan gelisahnya. Biar bagaimanapun, sebagai pemim-
pin aliran lurus, dia memikul tanggung jawab yang 
sangat berat dengan kehadiran lelaki bercaping itu. 
Korban telah banyak berjatuhan. Namun sejauh ini, 
belum juga ada yang mampu menandingi kehebatan 
ilmu pedangnya yang luar biasa. Yang menjadi perta-
nyaan sekarang adalah, siapa yang pantas untuk 
menghadapi lelaki bercaping itu? 
"Siapa yang mampu menghadapi Singa Jantan 
dari Cina itu?" ungkap Ki Ageng Sampar Bayu, meme-
cahkan kebisuan yang tengah terjadi. 
Semua terdiam membisu. Tak ada yang berani 
untuk mengutarakan pendapat mereka. Singa Jantan 
dari Cina bagai sebuah momok yang menakutkan. La-
ma semua terdiam, sampai akhirnya Sena berkata.... 
"Aku akan mencobanya." 
"Aku juga," sambut Resi Sarameskari. 
"Kalau begitu, kini tinggal bagaimana menyeli-
diki masalah berita titisan Dewi Kuan Im," kata Ki 
Ageng Sampar Bayu. "Nampaknya, masalah ini juga 
ada hu-bungannya dengan Singa Jantan dari Cina itu." 
"Benar, Ketua," kata Kerto Mandra. "Kurasa, ki-
ta harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan. Ten-
tunya orang-orang persilatan akan berusaha menda-
patkan gadis titisan Dewi Kuan Im itu." 
"Apa yang kau katakan benar, Ki Kerto Mandra. 
Bagaimana kalau kau dan istrimu kutugaskan untuk 
menyelidikinya?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu. 
"Kami bersedia, Ki," jawab suami istri itu ham-
pir bersamaan. 
"Kalau begitu, semua telah beres. Kini tinggal 
pelaksanaannya. Kudoakan semoga kalian senantiasa 
dalam lindungan Hyang Widhi. Pertemuan saya tu-
tup...." 
Semua anggota kini memberi hormat pada lela-
ki tua berjubah putih yang menjadi ketua aliran lurus 
itu. Kemudian satu persatu mereka meninggalkan 
tempat pertemuan itu. 
Kauw Cien Lung atau yang lebih dikenal seba-
gai Singa Jantan dari Cina melangkah tenang, menye-
lusuri jalan di dalam hutan dalam usahanya mencari 
Mei Lie. Langkahnya begitu ringan, bagai melayang di 
atas rerumputan. Dilihat dari cara jalannya, jelas me-
nunjukkan kalau lelaki bercaping itu memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang sudah tinggi. 
Kauw Cien Lung terus melangkah menyusuri 
hutan. Pedang di punggungnya yang telah banyak 
memakan korban terlihat angker. Sebilah pedang yang 
sangat beracun dan mematikan. Siapa pun yang ter-
kena, dalam sesaat akan mengalami kematian yang 
mengerikan. 
"Kisanak, tunggu...!" 
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat 
langkah Kauw Cien Lung terhenti. Kemudian perlahan 
tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara. 
"Hm...," gumam Kauw Cien Lung ketika melihat 
tiga orang lelaki berkepala gundul melangkah ke arah-
nya. 
Ketiga lelaki itu tiada lain adalah Resi Sara-
meskari dan dua orang murid utamanya. Kaki mereka 
masih melangkah menghampiri Kauw Cien Lung. 
"Hm.... Mengapa kalian menghentikan langkah-
ku?" tanya Kauw Cien Lung. Tangannya bersidekap di 
depan dada. 
"Kaukah Singa Jantan dari Cina itu?" tanya Re-
si Sarameskari. 
"Hm.... Benar. Ada apa...?" balik tanya Kauw 
Cien Lung. "Tentunya antara kita tak ada masalah, 
bukan?" 
"Memang," sahut Resi Sarameskari. "Memang 
antara kita tak ada masalah. Namun kami diutus oleh 
pemimpin  para pendekar tanah Jawa Dwipa untuk 
meminta kau segera menghentikan sepak terjang  mu 
yang telengas itu." 
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Mengapa seorang pa-
dri harus ikut campur urusan dunia persilatan?" Kauw 
Cien Lung tertawa tergelak-gelak, seperti ada sesuatu 
yang lucu pada diri para penghadangnya. "Bukankah 
sebaiknya kalian mengurusi kuil...?" 
Mata ketiga padri itu membelalak mendengar 
ucapan Kauw Cien Lung yang merendahkan kedudu-
kan mereka. Resi Sarameskari menghela napas. Ma-
tanya memandang tajam lelaki bercaping di hadapan-
nya. 
"Kisanak, kami memang padri. Namun jika du-
nia dalam keadaan kacau oleh tingkah lakumu, jelas 
kami tidak mau tinggal diam. Budha telah mengutus 
kami untuk menjaga ketenteraman mayapada ini," tu-
tur Resi Sarameskari. 
"Hm...!" gumam Kauw Cien Lung. "Jadi kalian 
termasuk pendekar?" 
"Bisa disebut begitu," sahut Resi Sarameskari. 
"Tentunya kalian mendengar berita Dewi Kuan 
Im, bukan?" 
"Ya." 
"Hm, bagus! Apakah kalian tahu, di mana Dewi 
Kuan Im berada?" tanya Kauw Cien Lung. 
"Masalah itu, kami tak tahu. Kami hanya men-
gingatkan padamu bahwa perbuatanmu telah banyak 
memakan korban. Untuk itulah, kami mengharap kau 
mau menghentikan sepak terjang mu yang kelewat te-
lengas!" tegas Resi Sarameskari. 
"Ha ha ha...! Ada seorang padri yang mau ikut 
campur urusan dunia persilatan. Jadi maksudmu mau 
menghentikan sepak terjangku...?" tanya Kauw Cien 
Lung. 
"Ya!" terdengar tegas suara Resi Sarameskari. 
"Haiya.... Baru kali ini aku melihat seorang padri mau 
ikut campur urusan persilatan. Sayang sekali, aku ti-
dak mau tanganku belepotan darah padri." 
Usai berkata begitu, Kauw Cien Lung memba-
likkan tubuh tanpa menghiraukan Resi Sarameskari 
dan kedua muridnya, kemudian dengan seenaknya 
melangkah meninggalkan tempat itu. 
Geram juga Resi Sarameskari dan kedua murid 
utamanya melihat tindakan lelaki bercaping lebar yang 
tidak menggubris mereka. 
"Orang sombong! Berhenti...!" bentak Resi Sa-
rameskari. 
Kauw Cien Lung tak juga mau berhenti. Ka-
kinya masih saja melangkah dengan seenaknya. Sea-
kan benar-benar tidak menghiraukan kemarahan keti-
ga padri itu. 
"Sombong! Apakah kau kira dengan sepak ter-
jang mu  kami menjadi takut! Kau harus dihentikan! 
Heaaa...!" 
Usai berkata begitu, tubuh Resi Sarameskari 
berkelebat cepat untuk mengejar lelaki bercaping, di-
ikuti oleh kedua murid utamanya. 
"Heaaa...!" 
"Yiaaat..!" 
Tubuh ketiganya langsung menghadang di de-
pan Singa Jantan dari Cina yang masih terlihat te-
nang. Bahkan tangannya bersidekap angkuh. Mungkin 
matanya yang tertutup oleh caping lebar saat itu ten-
gah memandang tajam ke arah mereka. 
"Mau  apa kalian?" tanya Kauw Cien Lung, se-
tengah menantang. 
"Menghentikan sepak terjang mu yang biadab!" 
dengus Resi Sarameskari tegas. Matanya memandang 
semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki di hada-
pannya. 
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghalangiku!" 
ujar Kauw Cien Lung sinis. "Lebih baik kalian pulang 
ke kuil saja. Tak perlu kalian ikut campur urusanku!" 
"Kurang ajar! Rupanya kau harus diajar adat!" 
maki Resi Sarameskari marah. Gigi-giginya saling be-
radu, mengeluarkan suara bergemeletuk. 
"Terserah kau saja,  Padri! Aku sudah menya-
rankan agar kalian tidak ikut campur urusanku. Na-
mun jika kau masih saja membandel, tak ada pilihan 
lain," Kauw Cien Lung akhirnya menanggapi tantangan 
Resi Sarameskari. 
"Kalian menyingkirlah dulu. Biar lelaki som-
bong ini ku ajar adat! Yeaat...!" Resi Sarameskari sege-
ra bergerak menyerang. Tasbih yang menjadi senjata 
andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin 
keras. 
Wut! Cletar! 
"Haiya...!" 
Kauw Cien Lung segera melompat ke atas, 
mengelakkan sabetan tasbih Resi Sarameskari. Nam-
paknya dia tidak ingin menggunakan pedang. Buk-
tinya, dia hanya menyerang dan menangkis dengan 
kedua tangan. 
"Keluarkan senjatamu, Orang Sombong! 
Heaaa...!" 
Serangan Resi Sarameskari semakin sengit. 
Bahkan lelaki bercaping lebar itu ditantang agar men-
geluarkan pedangnya. Tasbih di tangannya kembali 
menderu keras ke arah lawan. 
Wut! 
Cletar! 
"Ups...! Sebenarnya aku pantang bertarung 
denganmu, Padri! Maka, aku tak akan mengeluarkan 
pedang," sahut Kauw Cien Lung. 
Hal itu membuat Resi Sarameskari bertambah 
marah. Dia menganggap kata-kata Singa Jantan dari 
Cina itu sebagai sebuah hinaan yang sangat meren-
dahkannya. 
"Kurang ajar! Rupanya kau semakin sombong! 
Heaaat...!" 
Dengan penuh amarah, Resi Sarameskari kem-
bali menggebrak dengan sabetan-sabetan tasbihnya. 
Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat ba-
las menyerang. Namun lelaki bercaping lebar itu den-
gan mudah mengelakkan serangannya. 
"Hiaaa...!" gerakan Kauw Cien Lung sangat ge-
sit, meski tidak menggunakan senjata. Serangan yang 
dilancarkan Resi Sarameskari yang keras dan cepat, 
bagaikan tak ada artinya, selalu menemui tempat ko-
song. 
"Padri, lebih baik kau pulang. Jangan sampai 
aku menurunkan tangan jahat padamu!" bentak Kauw 
Cien Lung dengan tubuh masih bergerak untuk men-
gelakkan serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari. 
"Setan! Apa kau kira aku anak kecil yang bisa 
ditakut-takuti?! Keluarkan pedangmu, hadapi aku! 
Heaaa...!" 
Serangan Resi Sarameskari kian sengit. Sabe-
tan-sabetan tasbihnya menggelegar, menyapu dan 
menghantam ke arah Singa Jantan dari Cina itu. 
Wut, wut..! 
Cletar! 
Kauw Cien Lung terus mengelak Tubuhnya ber-
jumpalitan di udara. Kemudian tangan dan kakinya 
balas menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat 
dan keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit di-
terka. 
"Kau benar-benar memaksaku, Padri! Baiklah, 
aku akan menghadapimu sebagai seorang pendekar!" 
Usai berkata demikian, Singa Jantan dari Cina 
itu menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedang. 
Dan.... 
Srrrt! 
Kaget juga Resi Sarameskari menyaksikan lela-
ki bercaping itu menarik pedang dari sarungnya. Saat 
lawan menarik pedang saja seperti ada kekuatan yang 
menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan seran-
gan dengan pedangnya. 
"Celaka! Guru, biar kami yang menghada-
pinya.'" seru Resi Bramaweda. 
"Benar, Guru. Biarkan kami yang menghada-
pinya!" sambung Resi Bragaskita, merasa khawatir ka-
lau-kalau gurunya akan mendapat celaka jika meng-
hadapi lelaki bercaping lebar itu.  
"Ha ha ha...! Mengapa tidak sekalian saja?!" 
tantang Kauw Cien Lung dengan nada sombong. Tan-
gan kanannya yang telah memegang pedang, kini dige-
rakkan ke samping. Kemudian pedangnya ditarik kem-
bali ke depan. 
"Bedebah! Apa kau kira akan mampu membu-
nuhku, Orang Sombong?! Yeaaa...!" 
"Bersiaplah, Padri! Hiaaa...!" 
Keduanya kembali bergerak. Resi Sarameskari 
melancarkan sabetan senjatanya yang berupa tasbih 
ke arah lawan. Suara sabetan itu menggelegar, laksana 
suara halilintar. 
Wut! 
Cletar! 
"Haiya...!" 
Kauw Cien Lung yang di negerinya berjuluk 
Houw San atau Singa Jantan itu mencelat ke atas. Tu-
buhnya bersalto beberapa saat. Tangan kanannya yang 
memegang pedang, kini digerakkan dengan cepat, 
membabat ke arah lawan. Gerakan pedang itu sangat 
cepat, sulit sekali diikuti oleh mata. 
Resi Sarameskari tersentak kaget. Sama sekali 
tidak diduganya kalau gerakan yang dilancarkan lawan 
begitu cepat. Dia berusaha menangkis serangan itu 
dengan tasbih ke atas. Maka tanpa bisa dihindari lagi, 
dua senjata dahsyat pun beradu di udara. 
Glarrr! 
Trak! 
Tasbih di tangan Resi Sarameskari hancur le-
bur ketika beradu dengan pedang Kauw Cien Lung. 
Hal ini membuat mata Resi Sarameskari membelalak 
tegang. Terlebih ketika pedang lawan semakin deras 
mengarah ke wajahnya. 
"Oh...!" Resi Sarameskari berusaha mengelak-
kan serangan pedang lawan, namun terlambat. Sabe-
tan pedang Kauw Cien Lung yang menuju ke wajahnya 
jauh lebih cepat. Hingga.... 
Wut! 
Cras! 
"Aaakh..!" 
Resi Sarameskari memekik keras dengan mata 
melotot lebar. Tubuhnya langsung ambruk dengan 
keadaan yang mengerikan. Dan setelah mengejang se-
saat, Resi Sarameskari diam tak bergerak lagi. Mati! 
"Guru...!" seru Resi Bramaweda dan  Resi Bra-
gaskita bersamaan. Hampir saja mereka menubruk tu-
buh gurunya, namun mereka segera mengingat pesan 
Pendekar Gila. Kini keduanya memandang lelaki ber-
caping yang tengah menyeka darah di ujung pedang-
nya dengan tangan kiri. 
"Bangsat! Kau harus mampus! Heaaat..!" Resi 
Bramaweda dengan cepat melancarkan serangan. Begi-
tu pula dengan Resi Bragaskita. Keduanya serentak 
menggempur Kauw Cien Lung, berusaha membalas 
kematian guru mereka. 
"Heaaa...!" 
"Percuma kalian melawanku! Yiaaa...!"  
"Kami akan mengadu  nyawa denganmu, Iblis! 
Yeaaa...!" 
Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita terus me-
lancarkan serangan dengan toyanya. Keduanya sudah 
kalap dan menyerang dengan membabi buta. 
Kauw Cien Lung memutar pedangnya. Tubuh-
nya mencelat ke atas. Sambil bersalto, pedang di tan-
gannya membabat lawan. 
Wut! 
Cras! 
"Akh...!" 
Resi Bramaweda menjerit tertahan. Matanya 
melotot tegang. Tubuhnya mengejang sesaat, kemu-
dian tidak bergerak sama sekali dengan keadaan men-
gerikan. 
Menyaksikan saudara seperguruannya tewas, 
Resi Bragaskita kian kalap. Dengan mata gelap, 
toyanya kembali disodokkan ke dada lawan. Lalu sece-
pat mungkin toyanya berusaha memukul bergantian 
dengan kedua ujungnya. 
"Pecah kepalamu, Iblis! Heaaa...!" 
Wut! 
"Uts...! Yiaaa...!" 
Singa Jantan dari Cina itu kembali mencelat ke 
udara, kemudian pedang di tangannya cepat digerak-
kan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Resi Bra-
gaskita dengan cepat menyodokkan toya ke tubuhnya. 
"Heaaa...! Tembus perutmu!"  
Wut! 
Dugaan Resi Bragaskita ternyata meleset.  Ter-
nyata lelaki bercaping itu  dengan cepat kembali me-
lompat ke atas. Sebelum Resi Bragaskita sempat mela-
kukan serangan lagi, lawannya telah menyerang. Pe-
dang maut di tangan Kauw Cien Lung dengan cepat 
membabat wajah Resi Bragaskara.   
Wut! 
Cras! 
"Ukh...!" Resi Bragaskita mengeluh pendek. 
Tangannya memegangi luka tebasan di keningnya. Be-
berapa saat matanya melotot. Tubuhnya menegang, 
kemudian ambruk dengan nyawa melayang. 
Kauw Cien Lung menyeka darah di ujung pe-
dangnya. Kemudian, pedang bersinar putih kebiru-
biruan itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. 
Setelah memandangi mayat ketiga resi itu, dengan te-
nang kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. 
Pagi itu Pendekar Gila tengah melintasi hutan 
untuk mencari jejak Singa Jantan dari Cina. Tidak di-
duganya kalau di hutan itu ditemuinya Nyi Bangil yang 
tengah melakukan latihan jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' 
di dekat air terjun. Kejadian tak terduga itu sangat 
menggembirakan keduanya. Terlebih Nyi Bangil, yang 
merasa telah ditolong oleh Pendekar Gila. 
"Sena...!" 
"Nyi Bangil...!" 
"Oh! Tidak kusangka kalau kita akan bertemu 
kembali, Sena," kata Nyi Bangil. 
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala. 
"Di mana Mei Lie, Nyi?" tanyanya langsung. 
"Dia kini bukan Mei Lie yang dulu kau kenal, 
Sena," sahut Nyi Bangil setelah terdiam sesaat. 
"Di mana dia?" tanya Sena seperti tak sabar. 
"Sebentar, sabar dulu. Bagaimana kalau kita ke 
gubukku?" ajak Nyi Bangil. "Kita ngobrol-ngobrol di 
sana. Ayo...." 
Sambil menggaruk-garuk kepala, akhirnya Se-
na mengikuti ajakan Nyi Bangil. Keduanya meninggal-
kan tempat itu. 
Sesampainya di sebuah gubuk tempat tinggal 
Nyi Bangil dan Mei Lie serta Lira Kanti, Nyi Bangil 
mengajak Sena masuk. Setelah keduanya duduk ber-
hadapan, Nyi Bangil berkata.... 
"Ketahuilah olehmu, Sena. Mei Lie sebenarnya 
ingin mencarimu. Sejak pertama kalian bertemu, kura-
sa gadis itu memendam perasaan yang lain terhadap-
mu." 
Sena tersenyum malu-malu. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. 
"Ah, Nyi Bangil bisa saja. Mana mungkin gadis 
secantik Mei Lie mencintaiku yang gila ini?" 
Nyi Bangil masih tersenyum. Matanya menatap 
lekat wajah pemuda di hadapannya. Sungguh tampan 
wajah itu. Setiap wanita tentu akan tertarik dan jatuh 
cinta pada Sena. Di samping itu, dia berilmu tinggi, 
ramah, dan tidak sombong. Sosok lelaki gagah perkasa 
dan setia, terlukis pada wajah Sena. 
"Mungkin kau tak percaya, Sena. Namun aku 
yang sama-sama wanita, mengetahuinya. Itu pula yang 
mungkin memacu semangatnya untuk mempelajari 
'Ilmu Pedang Bidadari' warisan guruku." 
Nyi Bangil terdiam. Matanya tak lepas meman-
dang pemuda tampan di hadapannya. Sedangkan Sena 
tak berkata apa-apa. Kepalanya semakin menunduk 
dalam-dalam. Hatinya membenarkan ucapan Nyi Ban-
gil. Dia juga merasakan getar perasaan itu pada diri 
Mei Lie. Karena itulah kini dia mencarinya. Dia ingin 
sekali bertemu, kemudian  bisa berjalan bersama Mei 
Lie.  
"Sena, kau tak mungkin membohongi dirimu 
sendiri. Kau pun merasakan hal itu bukan?" duga Nyi 
Bangil, membuat Sena menundukkan kepala kian da-
lam. 
Sena menghela napas dalam-dalam. Kemudian 
kepalanya diangkat perlahan, lalu memandang Nyi 
Bangil yang masih tersenyum. Tangannya kembali 
menggaruk-garuk kepala. 
"Kuakui, memang apa yang kau katakan benar, 
Nyi. Itu sebabnya aku datang," ucap Sena akhirnya, 
mengakui kebenaran dugaan Nyi Bangil. 
Nyi Bangil semakin melebarkan senyumnya. 
"Di mana dia sekarang, Nyi?" desak Sena seper-
ti tidak sabar untuk segera bertemu. 
"Kau tak sabar, Sena...," sindir Nyi Bangil. 
Sena tersenyum. Tangannya kembali mengga-
ruk-garuk kepala. Ditariknya napas panjang-panjang, 
kemudian dihembuskannya. 
"Baiklah, aku akan menceritakan padamu. Mei 
Lie sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini un-
tuk mencarimu. Sekaligus mencari lelaki bercaping le-
bar, yang menurut Mei Lie bernama Kauw Cien Lung 
atau Houw San." 
"Mei Lie mengenalnya?" tanya Sena sambil 
mengerutkan kening. 
"Ya! Lelaki berilmu tinggi itu dari dulu memang 
mengejar-ngejar Mei Lie agar dapat memperistri nya." 
"Ah...!" Sena menghempas nafasnya saat men-
dengar penuturan Nyi Bangil yang kini tersenyum me-
nyaksikan tingkahnya. 
"Apa yang dikatakan orang-orang persilatan 
memang benar. Mei Lie memang bukan gadis biasa. 
Dia adalah titisan Dewi Kuan Im," lanjut Nyi Bangil. 
"Kau yakin?" tanya Sena agak terkejut. 
"Ya!" sahut Nyi Bangil pasti. 
"Dari mana kau yakin, Nyi...?" tanya Sena ingin 
tahu. 
Nyi Bangil tidak langsung menjawab. Di bibir-
nya masih tersungging senyuman. Dihelanya napas 
dalam-dalam. Matanya masih lekat memandang wajah 
Sena. 
"Mulanya aku pun tak percaya desas-desus itu. 
Namun ketika Mei Lie membuka pakaiannya, kulihat 
di bawah pusarnya memang terdapat gambar  bunga 
Wijaya Kesuma. Bunga itu adalah perlambang Dewi 
Kuan Im." 
Mata Sena seketika membelalak, mendengar 
penuturan Nyi Bangil. Tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala. 
"Lalu untuk apa dia mencari Houw San?" ta-
nyanya, penasaran. 
"Untuk menghentikan sepak terjang lelaki itu, 
sekaligus hendak mengatakan agar Kauw Cien Lung 
tidak usah lagi mencarinya." 
"Tapi...," wajah Sena nampak cemas. 
"Kenapa, Sena?" tanya Nyi Bangil. "Seperti kau 
tak percaya pada kemampuan Mei Lie?" 
Sena menggaruk-garuk kepala. Wajahnya  ma-
sih terlihat tegang. Dia tahu siapa lelaki bercaping le-
bar yang bernama Kauw Cien Lung. Sepak terjangnya 
sangat telengas. Telah banyak korban yang berjatuhan 
di mata pedangnya. 
"Kau tahu siapa Houw San itu, Nyi?" tanya Se-
na.  
"Ya. Dia lelaki kejam yang telah banyak mema-
kan korban." 
"Nah, bagaimana mungkin Mei Lie mencarinya? 
Oh, aku mencemaskannya, Nyi...." 
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Kepa-
lanya digeleng-gelengkan sambil membenarkan du-
duknya dan menghela napas. 
"Kau meragukan 'Ilmu Pedang Bidadari', Sena?" 
"O, tidak. Aku hanya meragukan pengalaman-
nya, Nyi. Itu yang aku cemaskan. Dia belum berpenga-
laman dalam rimba persilatan yang ganas, penuh den-
gan kecurangan dan kekejian," tutur Sena. 
Nyi Bangil tersentak. Tiba-tiba dia menyadari 
sesuatu yang tak terpikir olehnya. Matanya meman-
dang Sena dengan cemas. Ucapan pemuda itu memang 
benar. Dalam ilmu silat, bisa saja Mei Lie berada di 
atas Houw San. Tapi dalam kelicikan dan pengalaman, 
tentu Mei Lie berada jauh di bawah Houw San. 
"Kau benar, Sena. Hm, mengapa aku sebodoh 
itu membiarkan dia pergi seorang diri mencarimu?" 
sesal Nyi Bangil. 
"Ke arah mana Mei Lie pergi, Nyi?" tanya Sena. 
"Entahlah. Dia hanya berkata hendak menca-
rimu dulu, sebelum mencari Kauw Cien Lung," tutur 
Nyi Bangil. 
"Bagaimana pakaian yang dikenakannya?"  
"Dia mengenakan pakaian lelaki berlengan pan-
jang warna putih, serta celana warna putih pula. Ram-
butnya juga digelung seperti lelaki." 
"Jadi dia telah merubah penampilannya menja-
di sosok pendekar?" ujar Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Kalau begitu, aku harus secepatnya 
mencari dia. Aku mohon pamit, Nyi." 
"Kudoakan, semoga kau selalu dalam lindun-
gan Hyang Widhi," kata Nyi Bangil setelah balas men-
jura, kemudian diiringinya Sena melangkah mening-
galkan tempat itu. "Semoga kalian menjadi pasangan 
yang diberkati oleh Hyang Widhi...." 
*** 
Slang itu matahari bersinar terlalu panas, sea-
kan hendak memanggang wajah bumi, dengan terik-
nya. Semilir angin siang terkalahkan oleh panasnya 
matahari. Hal itu yang membuat Sena mengambil ke-
putusan untuk beristirahat di kedai, sekaligus mengisi 
perutnya yang kosong. 
Usai menyantap makanannya, Sena bersandar 
pada tiang penyangga kedai. Angin siang berhembus 
lembut, membuat matanya mengantuk. Perlahan-
lahan matanya dipejamkan, menikmati kesejukan an-
gin yang berhembus di permukaan kulitnya. 
Baru saja matanya terpejam, tiba-tiba Sena ter-
sentak oleh percakapan dua orang pengunjung kedai 
yang menceritakan tentang Dewi Pandagu. 
"Bayangkan, Dewi Pandagu kemarin ditemukan 
telah mati. Mungkin Karto Songo dan Kebo Pangawon 
yang membunuhnya," tutur orang yang bercelana biru 
sebatas lutut dan berbaju warna hitam. Sehelai sarung 
terikat di pinggangnya. Kepalanya diikat secarik kain 
batuk warna coklat muda berhias putih. Tubuhnya 
gempal dan pendek. 
"Apakah tidak mungkin lelaki bercaping yang 
membunuhnya, sekaligus membunuh Karto Songo dan 
Kebo Pangawon?" tanya lelaki bertubuh kurus dan 
berpakaian petani. Celananya hitam sebatas betis dan 
bajunya hitam berlengan panjang. 
"Kurasa tidak. Kalau korban lelaki bercaping, 
sudah barang tentu di keningnya terdapat sayatan pe-
dang. Tapi Dewi Pandagu tubuhnya terbakar. Dadanya 
hancur, seperti terkena pukulan." 
Sena tersentak bangun dari sandarannya, sete-
lah mendengar penuturan dua orang itu. Segera di-
hampirinya kedua lelaki itu. 
"Selamat siang, Kisanak," sapa Sena sopan. 
Kedua lelaki itu menoleh lalu memandang Sena 
yang tersenyum. 
"Boleh aku ikut duduk?" 
"O, silakan," jawab keduanya hampir berba-
reng. 
"Namaku Sena," ucapnya memperkenalkan diri. 
"Saya Jajang dan teman saya Enggono," sambut 
Jajang sambil menyalami Sena. 
"Bolehkah aku bertanya, Ki Jajang?" 
"Oh, silakan. Tentang apa....?" 
"Dewi Pandagu. Benarkah dia tewas...?" 
Suara Sena terdengar sangat cemas. Bagaima-
napun juga, antara dia dan Dewi Pandagu terdapat 
hubungan batin yang kuat. Dia pun telah berjanji akan 
memperistri wanita itu. 
"Benar. Memangnya ada apa...?" 
"Ah, tidak. Terima kasih," ucap Sena. 
Setelah membayar semua makanannya, Sena 
meninggalkan kedai itu. Hal itu membuat kedua orang 
yang ditanya oleh Sena mengerutkan kening.  Mereka 
memandang heran pada Sena yang berlalu dari kedai 
itu. 
Dengan mengerahkan ilmu larinya Sena beru-
saha membuktikan kebenaran cerita kedua orang tadi. 
Hatinya berdetak gelisah. Wajahnya membara laksana 
terbakar api. Itu pertanda kalau dirinya dalam kung-
kungan rasa cemas dan marah. Dan jika dia benar-
benar telah marah, tubuhnya akan mengeluarkan ca-
haya merah membara. 
"Kalau benar Dewi Pandagu mati, semua ini ka-
rena Houw San. Kalau saja lelaki bercaping lebar itu 
tidak datang, tentunya orang-orang dari aliran hitam 
tidak berani unjuk gigi!" dengus Sena sambil terus ber-
lari, agar secepatnya dapat sampai di Perguruan Bin-
tang Emas. 
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Sena me-
lesat cepat. Pekikannya menggelegar, sebagai tanda ka-
lau dia tengah mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu' 
tingkat terakhir. Membuat kecepatan tubuhnya laksa-
na gerakan tujuh angin. Dalam sekejap saja tubuhnya 
menghilang. Yang tampak hanya kelebatan bayangan-
nya saja. 
Ketika Sena berlari menuju Perguruan Bintang 
Emas untuk membuktikan cerita dua  lelaki di kedai, 
pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar suara 
bentrokan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan 
pertempuran. 
Trang! 
"Hiaa!" 
"Hait..!" 
Trang, trang! 
Dentingan pedang itu begitu keras, diikuti pe-
kikan-pekikan nyaring. Disusul dengan deru babatan 
pedang yang menggila. Ditilik dari suaranya, tentu 
orang-orang yang bertarung itu memiliki ilmu pedang 
yang tinggi. 
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam 
Sena. Segera larinya dihentikan Dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala, dia memandang ke sekeliling, be-
rusaha mencari asal keributan itu. 
"Heaaa..!" 
Wut wut! 
"Yiaaat!" 
Sena memasang telinganya tajam-tajam, agar 
dapat menentukan di mana pertarungan itu berlang-
sung. 
"Ah, ada di sebelah selatan," gumam Sena sam-
bil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kakinya di-
langkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh, agar tidak terdengar oleh orang yang bertarung. 
Setelah suara orang bertarung itu semakin dekat, Sena 
segera melompat ke atas pohon. 
Ditujukan pandangannya ke sebuah tempat 
yang agak lebar,  di mana dua orang tampak tengah 
bertarung. Seketika matanya membelalak, ketika meli-
hat seorang lelaki bercaping lebar dengan baju bergaya 
pesilat Cina tengah bertarung dengan seorang wanita 
yang berpakaian lelaki berwarna putih. 
"Mei Lie...!" desis Sena sambil menggaruk-garuk 
kepala, ketika mengenal wajah wanita itu. 
Tubuh Sena segera berkelebat turun. kemudian 
dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti. 
Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila 
menghantamkan Suling Naga Sakti ke arah pedang le-
laki bercaping yang tengah menyerang Mei Lie. 
Trang! 
"Ukh..!" lelaki bercaping lebar yang tidak lain 
Kauw Cien Lung atau Houw San itu tersentak kaget. 
Segera kakinya menyurut mundur sambil menarik pe-
dangnya. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie. 
"Sena.,!"  seru Mei Lie setelah mengenal siapa 
orang yang telah menolongnya. 
"Mei Lie...!" seru Sena gembira. Bibirnya men-
gulas senyum lepas. 
Merasa mendapat kesempatan baik, Houw San 
dengan cepat bergerak, berusaha mencekal tubuh Mei 
Lie. Namun Sena yang tidak ingin gadis pujaan hatinya 
celaka, cepat memapak tangan lawan dengan Suling 
Naga Sakti. 
"Yiaaat.!"  
"Hiaaa...!" 
Melihat pemuda berbaju rompi kulit ular me-
nyerang dengan Suling Naga Sakti, Kauw Cien Lung 
yang semula hendak melakukan totokan ke arah Mei 
Lie, mengurungkan niatnya. Tangannya ditarik kemba-
li, kemudian dengan cepat membabatkan pedang ke 
arah lawan dengan jurus 'Pedang Menangkal Naga' dan 
diteruskan dengan jurus 'Tusukan Pedang Menembus 
Batu Karang'. 
"Hiaaa...!" 
Wut! Trak! 
Pendekar Gila melenting ke atas, membuat ba-
batan pedang lawan luput. Kemudian dengan cepat 
memukul lawan dengan Suling Naga Sakti. 
"Mei Lie.!" desis Sena ketika mengenali wanita 
yang sedang bertarung itu. 
Tubuh Pendekar Gila pun segera berkelebat tu-
run sambil mencabut sulingnya. Kemudian, Suling Naga 
Saktinya dihantamkan ke arah pedang Kauw Cien Lung 
yang tengah menyerang Mei Lie. 
Trang! 
"Heeaaaa...!" 
Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang 
Suling Naga Sakti, memukul dan membabat ke tubuh 
lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk ke dada 
lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Itulah 
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus 
pembuka jurus-jurus gila. 
Kemudian, dengan menggunakan jurus 'Kera 
Gila Mencakar dan Memukul Lawan', Pendekar Gila te-
rus merangsek lawan. Namun begitu, lawan yang di-
hadapinya juga tidak mau mengalah begitu saja. 
Houw San dengan pedang beracun di tangan-
nya, terus bergerak mengelakkan setiap  babatan Sul-
ing Naga Sakti dan tepukan tangan lawan. Bahkan se-
sekali balas menyerang dengan sabetan pedang. 
"Makan ini! Heaaa...!" 
Sena kembali menyodokkan Suling Naga Sakti 
ke dada lawan. Kemudian disusul dengan tepukan 
tangan kiri. Sementara kedua kakinya tak mau tinggal 
diam, bergerak menyapu dan menendang kaki lawan. 
Kauw Cien Lung yang dikenal berjuluk Singa 
Jantan  dari Cina dengan cepat melangkah ke bela-
kang. Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan ba-
batan pedang ke arah Pendekar Gila. Sedangkan tan-
gan kirinya, mencengkeram dengan jari-jari yang kaku. 
Tidak ubahnya seperti kuku-kuku singa. 
"Hiaaa...!" 
Wut! 
Pendekar Gila segera meliukkan tubuh, menge-
lak-kan babatan pedang lawan. Kemudian setelah 
mampu mengelakkan babatan pedang, Pendekar Gila 
kembali balas menyerang dengan sabetan Suling Naga 
Sakti. 
"Heaaa...!" 
Trang! 
Keduanya mundur ke belakang beberapa tin-
dak. Sesaat keduanya saling pandang, berusaha men-
gamati gerak-gerik lawan masing-masing. Pendekar Gi-
la me-nyeringai dengan tangan menggaruk-garuk ke-
pala. Sedangkan Houw San kini memperhatikan den-
gan seksama tingkah laku Pendekar Gila. 
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya 
Kauw Cien Lung, dengan dengusannya yang keras. Pe-
dang panjang yang berwarna putih kebiru-biruan ter-
hunus di depan tubuhnya. 
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. 
"Kaukah orang yang selama ini telah banyak 
melakukan kekejian? Membunuh para pendekar?" 
tanya Sena, balik bertanya. 
"Ya!" 
"Hm, aku datang untuk menghentikan sepak 
terjang mu  yang terlalu telengas," ucap Sena dengan 
suara tegas. "Tindakanmu terlalu biadab. Terlebih kau 
bukan orang Jawa Dwipa." 
"Hm...," Kauw Cien Lung  menggumam perla-
han. "Bagus! Sengaja aku datang dari jauh, untuk me-
nyingkirkanmu, Pendekar Gila! Jangan bermimpi kau 
akan dapat memperoleh Mei Lie!" 
Pendekar Gila kembali tertawa cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Lucu sekali kau, Kisanak! Memaksakan ke-
hendak pada orang yang tidak menyukaimu! Dosamu 
telah terlalu banyak. Nampaknya sulit untuk diampu-
ni," dengus Sena. 
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!" 
Kauw Cien Lung menggerakkan pedang ke 
samping kanan dengan gerakan membuka. Kemudian 
digerakkan kembali ke arah depan, dilanjutkan ke 
samping kiri. Lalu pedangnya diputar cepat. Didahului 
pekikan menggelegar, Kauw Cien Lung kembali mela-
kukan serangan dengan jurus 'Singa Jantan Mener-
kam Mangsa'. Pedangnya bergerak cepat, naik ke atas 
kemudian ditebaskan lurus ke depan. 
"Heaaa...!" 
Menyaksikan lawan telah menyerang dengan 
jurus lain, Pendekar Gila pun tak tinggal diam. Dia se-
gera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' di-
teruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. 
"Ciaaat...!" 
Wut! 
Pedang di tangan Kauw Cien Lung membabat 
cepat ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat meli-
ukkan tubuh ke samping. Sambil memiringkan tubuh 
ke depan, tangan Sena menyodokkan Suling Naga Sak-
ti ke arah lawan. 
"Yeaaa...!" 
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gera-
kannya seperti orang menari. Sesekali tangan kanan-
nya yang memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke 
arah lawan. Disusul dengan pukulan telapak tangan 
kirinya. 
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Kauw 
Cien Lung segera melangkah dua tindak ke belakang. 
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memba-
batkan pedang ke arah lawan. 
Wut, wut! 
Mau tak mau, Pendekar Gila yang sudah meli-
hat keganasan pedang lawan dari korban-korbannya 
segera berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping, la-
lu balas menyerang dengan sodokan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya bergerak mencakar ke 
wajah lawan yang tertutup caping lebar. Nampaknya 
Pendekar Gila berusaha membuka caping yang dike-
nakan lawan. 
"Uts...!" 
Wut! 
Rupanya Kauw Cien Lung mengerti apa yang 
hendak dilakukan Pendekar Gila. Dengan cepat tu-
buhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan ca-
karan tangan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat 
dia balik menyerang dengan tusukan pedang ke dada 
Pendekar Gila. 
"Edan!" maki Sena kaget, saat merasakan hawa 
dingin yang keluar dari tusukan pedang lawan. 
Kalau saja Pendekar Gila tidak segera menge-
lak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang be-
racun itu. Meskipun racun yang ada pada pedang la-
wan tidak akan membuatnya tewas, namun tusukan 
pedang itu tentunya sangat berbahaya.  
Cepat Pendekar Gila bersalto ke samping. Ke-
mudian dengan cepat Suling Naga Sakti dibabatkan ke 
arah pedang lawan yang terus mencecar ke arahnya. 
"Hih...!" 
Trang! 
Dua senjata sakti saling bertemu dan mencip-
takan percikan api. Kemudian tubuh keduanya me-
lompat ke belakang, dengan senjata siap kembali di 
depan tubuh masing-masing. 
Mata keduanya saling pandang. Kaki mereka 
bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pe-
lajari. Pendekar Gila merentangkan kaki kanannya ke 
samping. Kaki kirinya agak ditekuk. Sementara Suling 
Naga Sakti disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari 
tangan merapat, tangan kirinya ditempelkan di ulu ha-
ti. 
Kauw Cien Lung menarik mundur kaki kanan-
nya. Sedangkan kaki kirinya agak ditekuk membentuk 
siku. Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samp-
ing kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk 
cakar, diletakkan di dada sebelah kiri. Pedangnya di-
putar-putar dengan cepat, lalu ditusuk ke depan. 
"Yiaaat...!" 
"Heaaa....!" 
Keduanya kembali melesat untuk melakukan 
serangan. Senjata di tangan masing-masing saling me-
nusuk dan membabat. Sedangkan tangan kiri mereka 
bergerak memukul dan menangkis. Kaki mereka pun 
tidak tinggal diam, menyapu dan menendang ke tubuh 
lawan. 
Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling 
berusaha mengincar satu sama lain. 
Kauw Cien Lung membabatkan pedang ke arah 
Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua ka-
kinya menendang keras ke arah dada lawan. 
Wut! 
"Heaaa...!" 
Mendapat serangan cepat dan membahayakan, 
Pendekar Gila memutar Suling Naga Saktinya untuk 
menangkis babatan pedang lawan. Kemudian dengan 
mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan ki-
rinya memukul ke arah lawan. 
Trang! 
"Heaaa...!"     
Wut!  
Trang...! 
Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehing-
ga menimbulkan percikan api. Kedua orang yang ber-
tarung itu bagai telah kerasukan. Semakin lama gera-
kan mereka kian cepat. Kini bukan hanya mengguna-
kan tenaga luar saja. Nampaknya mereka telah menge-
rahkan tenaga dalam dan menyalurkannya pada tan-
gan kanan masing-masing. 
"Yiaaat..!" 
Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus 
berkelebat. Keduanya kini melupakan keadaan Mei Lie 
yang semakin jauh mereka tinggalkan. Mereka terus 
melancarkan jurus-jurus ilmu silat yang mereka kua-
sai. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang. Sama-
sama gesit dan lincah. Tubuh mereka berkelebat lak-
sana menghilang. 
"Heaaa...!"  
"Ciaaat...!" 
Kembali mereka melesat. Tangan kanan yang 
memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha 
untuk memenangkan pertarungan tersebut. 
Wut! 
Trang! 
Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan. 
Mulut mereka bagai terkunci rapat. Yang kini terden-
gar hanya pekikan saat melakukan serangan yang di-
ikuti oleh gerakan jurus silat tingkat tinggi. 
Sekeliling arena pertarungan itu rusak oleh ba-
batan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon-
pohon yang tumbang, atau hancur terkena pukulan 
dan babatan senjata di tangan kedua orang yang terus 
bertukar serangan. 
Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si 
Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan 
kirinya bertubi-tubi menghantam lawan, dan sesekali 
berusaha menyambar caping lawannya. 
Kauw Cien Lung atau Singa Jantan dari Cina 
pun tidak mau tinggal diam. Dengan cepat pedangnya 
bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang 
hendak membuka capingnya. Disusul dengan hanta-
man tangan dan tendangan kakinya. Bahkan pedang-
nya berkelebat dengan cepat. 
"Sena, tolong...!" 
Tengah pertarungan berjalan seru, tiba-tiba 
terdengar teriakan keras Mei Lie. Keduanya terkejut 
dan seketika menghentikan pertarungan. 
"Mei Lie...!" pekik keduanya berbareng. Kemu-
dian tubuh mereka langsung berkelebat cepat ke arah 
suara Mei Lie. 
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak Pendekar 
Gila, berusaha mengejar sesosok tubuh yang memba-
wa Mei Lie yang tertotok di pundaknya. 
"Kurang ajar! Hei, jangan lari...!" seru Kauw 
Cien Lung sambil berlari mengejar. 
Singa Jantan dari Cina ini ternyata tidak mau 
tinggal diam begitu saja. Terlebih saat dilihatnya pen-
culik Mei Lie mengenakan pakaian dan caping yang 
sama dengannya. Pendekar Gila dan Kauw Cien Lung 
terus mengejar lelaki misterius yang menculik Mei Lie. 
"Berhenti...!" seru Sena, kemudian dengan ce-
pat dikirimkannya pukulan sakti 'Inti Bayu' ke arah le-
laki yang berpenampilan mirip Kauw Cien Lung itu. 
Wusss! 
Angin kencang berderu, mengarah ke tubuh le-
laki berkulit coklat tua dengan caping lebar. Namun 
dengan cepat, lelaki misterius itu mencabut pedangnya 
yang juga sama dengan pedang Kauw Cien Lung, lalu 
membabat serangan Pendekar Gila. 
Desss! 
Dahsyat sekali!  
Angin pukulan 'Inti Bayu' yang dilancarkan 
Pendekar Gila dapat dimusnahkan oleh pedang di tan-
gan lelaki itu. Hal itu membuat Pendekar Gila membe-
lalakkan mata, tak percaya kalau pukulan saktinya 
dapat dimusnahkan begitu saja oleh lelaki misterius 
itu. 
Sementara, lelaki misterius itu tiba-tiba meng-
hilang dari pandangan Pendekar Gila dan Kauw Cien 
Lung. Keduanya terpukau saling pandang. 
"Siapa dia?" tanya Sena. 
"Haiya..., mana aku tahu," jawab Kauw Cien 
Lung. 
"Huh, kau ingin berusaha menutupinya! Kau 
yang menyebabkan semua ini terjadi! Heaaa...!" 
Pendekar Gila yang merasa penyebab semua-
nya adalah Kauw Cien Lung, tanpa banyak kata lagi 
segera menyerang. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila 
Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila melabrak 
Kauw Cien Lung. 
"Uts...!" 
Kauw Cien Lung tersentak, segera pukulan 
yang dilancarkan Pendekar Gila dielakkannya. Kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan jotosan ke 
dada Pendekar Gila. 
Pertarungan yang sempat tertunda dengan ke-
datangan lelaki misterius itu, kini kembali berlanjut 
Pendekar Gila bergerak aneh. Gerakannya seperti lam-
ban dan lemah.  Namun kenyataannya sangat berba-
haya dengan serangan yang senantiasa menggunakan 
telapak tangan. Tangan kanan disilangkan dengan 
tangan kiri, kemudian direntang sambil menghentak 
ke depan. 
"Heaaa...!" 
Kauw Cien Lung yang diserang begitu cepat, 
dengan segera mengelak. Kemudian dengan jari-jari 
tangan membentuk cakar, Kauw Cien Lung balas me-
nyerang. 
Tangannya mencakar beruntun dari arah ba-
wah ke atas tubuh lawan. Gerakannya persis seperti 
amukan seekor singa jantan. Itulah jurus 'Singa Jan-
tan Mengoyak Mangsa', sebuah jurus cepat dan mem-
bahayakan. 
"Heaaa...!" 
Dilihat dari gerakan tangan mereka yang me-
nyerang dan menangkis, terlihat ada kesamaan pada 
kedua jurus itu. Bedanya kalau Pendekar Gila mela-
kukan serangan dengan pukulan telapak tangan yang 
mengeluarkan angin keras, seperti hendak melebur ba-
tu karang. Sedangkan Kauw Cien Lung menyerang 
dengan cakaran, tidak ubahnya seperti singa. 
"Dosamu telah menumpuk, Sobat! Heaaa...!" 
*** 
Pendekar Gila terus menyerang dengan jurus 
'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya disilang-
kan, kemudian direntangkan keluar. Dilanjutkan den-
gan pukulan telapak tangan ke depan, yang menim-
bulkan angin pukulan keras. 
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk. Kelihatannya 
gerakan itu sangat lamban. Namun Kauw Cien Lung 
jadi sangat kaget, ketika tak diduganya serangan la-
wan telah dekat ke tubuhnya. Kalau saja Kauw Cien 
Lung tidak segera menyadari, niscaya tubuhnya akan 
terhantam pukulan maut Pendekar Gila. 
"Uts! Haiya...!" 
Kauw Cien Lung dengan cepat membentuk per-
tahanan dengan menekuk tangan kiri, disusul dengan 
cakaran ke dada  lawan. Sedangkan kedua kakinya 
bergerak menendang dan menyapu. 
Tangan keduanya saling bertemu, berusaha 
menyerang dan menangkis. Begitu juga dengan kaki 
mereka, bergerak menyerang atau menangkis serangan 
lawan. 
"Heaaa...!" 
Pendekar Gila terus berusaha menekan. Puku-
lan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga, me-
nyentak keras. Kalau saja Kauw Cien Lung lengah, su-
dah pasti dia akan menjadi korban pukulan maut Pen-
dekar Gila. 
Kauw Cien Lung dengan cepat menangkis se-
rangan lawan. Kemudian tangan kirinya melancarkan 
cakaran. 
Pada saat lawan menyerang, Pendekar Gila me-
lihat ada kesempatan. Dia tak menyia-nyiakannya. Se-
gera tubuhnya dicondongkan ke samping kanan, ke-
mudian tangan kirinya ditarik ke belakang. Dibarengi 
dengan tarikan tangan kiri, tangan kanan Pendekar Gi-
la lalu menyambar caping lawan. Sedangkan tubuhnya 
menghentak ke atas 
Wut! 
"Lepas...!" seru Sena sambil menarik caping 
yang dikenakan Kauw Cien Lung. Dan caping itu pun 
lepas dari kepala Kauw Cien Lung. 
Kini nampaklah wajah sesungguhnya dari lelaki 
yang mengenakan caping itu. Wajahnya tampak rusak, 
bekas luka bakar. Sampai-sampai Pendekar Gila bergi-
dik menyaksikannya. 
"Hmhhh...!" Kauw Cien Lung menggeram ma-
rah, merasa aibnya telah diketahui oleh Pendekar Gila. 
Matanya yang merah, semakin membara. Nafasnya 
mendengus penuh amarah. Bersamaan dengan itu, 
wajahnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah sin-
ga! Rambutnya yang panjang, berubah warna menjadi 
kuning. 
Kauw Cien Lung kembali menggeram. Tangan-
nya seketika berubah menjadi kaki depan singa. Ke-
mudian didahului gerakan marah, singa jejadian itu 
melesat menyerang. 
"Ghrrr! Aummm...!" 
Singa itu berkelebat ke arah Pendekar Gila. 
Tangannya tak beda dengan kaki singa, berusaha 
mencabik-cabik tubuh Pendekar Gila. 
"Uts...! Ilmu siluman!" maki Pendekar Gila se-
raya berkelit mengelakkan cakaran kuku-kuku tajam 
lawan. Tubuhnya dimiringkan ke samping, lalu dirun-
dukkan ke bawah. Membuat serangan lawan melesat 
di atas tubuhnya dan menancap di batang pohon 
Crab! 
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila 
yang melihat kesempatan baik itu segera mengirimkan 
tendangan ke tubuh lawan yang kuku-kukunya masih 
menancap di pohon. 
"Hiaaa...!" 
Bugk! 
"Aummm...!" singa jejadian itu mengaum keras, 
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 
Keadaan pohon yang menjadi sasarannya san-
gat mengerikan. Pohon itu hangus terbakar. Daunnya 
berguguran. Jika saja pohon itu manusia, tentunya 
akan mengalami hal yang lebih mengerikan. 
Singa jejadian itu kembali menggeram, kemu-
dian bergerak lagi untuk menyerang Pendekar Gila 
dengan cakaran kuku-kukunya. 
"Uh...! Heaaa!" Pendekar Gila segera meliukkan 
tubuh ke bawah, mengelakkan serangan lawan. Ke-
mudian dengan cepat menggulingkan tubuh ke samp-
ing. Kaki kirinya menendang ke tubuh lawan. 
"Aum...!" 
Manusia singa yang melihat tendangan kaki 
Pendekar Gila, segera menyambarkan tangannya ke 
bawah. Memaksa Pendekar Gila menarik kembali ka-
kinya dengan cepat. Setelah itu tubuhnya melenting ke 
udara. 
Melihat lawan melayang di udara, manusia sin-
ga itu bertambah marah. Segera diambilnya pedang 
yang tadi diletakkannya di tanah. Lalu, diburunya tu-
buh lawan. Sebentar kemudian, pedangnya dibabatkan 
ke tubuh Pendekar Gila yang masih berada di udara. 
Wut! 
"Uts! Celaka...!" pekik Sena kaget, ketika meli-
hat pedang lawan telah dekat ke arahnya. Sulit ba-
ginya untuk dapat mengelakkan tusukan pedang itu. 
Dengan tak hilang akal, Pendekar Gila segera menca-
but Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan gerakan 
cepat dibabatkannya ke pedang lawan, disertai tenaga 
dalam penuh. 
Wut! 
Trang! 
Pedang lawan terdorong ke arah tuannya. Saat 
itu juga, Pendekar Gila menjejakkan kaki ke dada la-
wan yang kala itu masih kaget. Akibatnya, manusia 
singa itu tak mampu mengelakkan serangan lawan. 
Degk! 
"Ghrrr...!" manusia singa itu menggeram. Tu-
buhnya terhuyung ke belakang. Matanya memandang 
tajam penuh amarah pada Pendekar Gila yang kini 
meniup sulingnya. 
Suara Suling Naga Sakti melengking keras, 
membuat singa jejadian itu meraung keras, saat mera-
sakan telinganya seakan ditusuk ribuan jarum. 
"Ghrrr! Auuum...!" 
Setelah mengaum keras, singa jelmaan Kauw 
Cien Lung itu melesat dengan pedangnya. Pedangnya 
dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat 
mengelit ke samping sambil memutar Suling Naga Sak-
ti dan menangkis serangan lawan. 
Trang! 
Tubuhnya keduanya melompat ke belakang. 
Kemudian didahului pekikan menggelegar, mereka 
kembali meluruk dengan senjata masing-masing. 
"Ghrrr! Auuum...!" 
"Heaaa...!" 
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu dengan ge-
rakan cepat melenting ke udara seraya menusukkan 
pedang. Sehingga kedudukan mata pedangnya kini be-
rada tepat di atas kepala Pendekar Gila. 
Melihat lawan menyerang dari atas, Pendekar 
Gila tak mau diam begitu saja. Dengan cepat tubuhnya 
dirundukkan. Kepalanya dimiringkan ke samping, sul-
ing di tangan kanannya dihantamkan ke atas. Dipapa-
kinya serangan pedang lawan dengan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya dengan cepat memukul 
ke atas. 
"Heaaa...!" 
Trang! 
Manusia singa tersentak menyaksikan pukulan 
tangan kiri Pendekar Gila. Dia berusaha memapaki 
pukulan itu dengan tangan kiri. Namun gerakannya 
terlambat. Tangan kiri Pendekar Gila lebih dulu meng-
hajar dadanya. 
Degk! 
"Aummm...!" 
Tubuh manusia singa itu terlontar lagi ke atas, 
melayang di udara dan berjumpalitan beberapa kali 
sebelum kakinya menjejak tanah. Tangan kirinya me-
megangi dada yang terasa sakit akibat pukulan Pende-
kar Gila. Matanya semakin buas, memandang tajam 
Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil 
cengengesan. 
"Ghrrr! Pendekar Gila, jangan kau sangka aku 
sudah kalah! Aku akan mengadu nyawa denganmu! 
Ghrrr...!" 
"Ha ha ha...! Tampangmu lucu, Kawan! Dari 
mana kau dapatkan topeng singa itu?" ledek Pendekar 
Gila. "Sayang sekali.... Kalau saja aku ada waktu, ingin 
rasanya aku membawamu ke tempat ramai. Kau bisa 
mendatangkan uang sebagai tontonan yang sangat 
menarik. Ha ha ha...!" 
Semakin bertambah marah saja manusia singa 
mendengar ejekan Pendekar Gila. Kembali mulutnya 
menggeram, kemudian dengan raungan keras dia 
kembali menyerang. 
"Ghrrr! Aummm...!" 
Melihat lawannya marah, tawa Pendekar Gila 
malah semakin meledak. Kemudian dengan mengelua-
rkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila 
berkelit mengelakkan serangan lawan. Lalu memba-
lasnya dengan pukulan-pukulan dengan gerakan me-
lempar. 
"Ha ha ha...! Kau semakin bertambah lucu, 
Kawan!" 
Dengan sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila te-
rus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan 
lawan. Gerak-geriknya seperti kera kegirangan. Tan-
gannya bergerak seperti melempar, namun gerakan 
melempar itu mampu membuat manusia singa agak 
kewalahan. Tebasan pedangnya dengan mudah dielak-
kan lawan. Bahkan kalau kurang hati-hati, Suling Na-
ga Sakti di tangan Pendekar Gila akan menghajar tu-
buhnya. 
"Ghrrr...! Kurobek mulutmu, Pendekar Gila!" 
Aummm...! 
Singa jejadian itu terus melancarkan babatan 
serta tusukan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Se-
sekali tangan kirinya mencakar ke arah Pendekar Gila. 
"Hop, apa tidak sebaliknya, Sobat!" kata Pende-
kar Gila sambil mengelitkan babatan pedang serta ca-
karan tangan kiri lawan yang berkuku panjang dan 
runcing. Kemudian dengan cepat dia balas menyerang 
dengan sodokan Suling Naga Sakti dan hantaman tan-
gan kiri ke dada lawan. 
Puluhan jurus telah mereka kerahkan. Nam-
paknya belum ada tanda-tanda siapa yang bakal me-
menangkan pertarungan itu. Manusia singa itu begitu 
kuat dan ganas. Meskipun beberapa kali terkena pu-
kulan, tapi tampaknya pukulan-pukulan Pendekar Gi-
la tak berarti sama sekali. Malah manusia singa itu 
semakin ganas dalam melakukan serangan. 
Tangan kirinya mencakar-cakar ke wajah dan 
dada Pendekar Gila. Sedangkan pedang beracunnya, 
berkelebat membabat dan menusuk tubuh Pendekar 
Gila. Hal itu membuat Pendekar Gila harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh.  Pendekar Gila meliuk-
liuk untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Se-
telah itu, balas menyerang dengan Suling Naga Sakti 
dan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. 
Entah sudah berapa jurus mereka keluarkan, 
ketika tiba-tiba manusia singa kembali menggeram 
dengan suara yang mampu merobohkan daun pepoho-
nan. Tubuhnya mencelat ke udara dan bersalto bebe-
rapa kali. Dengan tubuh menukik, pedangnya dite-
baskan ke tubuh Pendekar Gila.  
"Ghrrr! Aummm...!" 
Melihat lawan menukik dan siap melakukan se-
rangan, dengan cepat kaki kanan Pendekar Gila me-
langkah ke belakang. Kaki kirinya ditekuk membentuk 
siku. Kemudian tangan kanannya memutarkan Suling 
Naga Sakti. Sedangkan tangan kirinya memukul deras 
ke atas. 
"Heaaa...!" 
Trang! 
Des! 
Dua kekuatan bertenaga tingkat tinggi pun be-
radu. Tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung mencelat 
ke belakang dan bersalto di udara. Pada saat itu, Pen-
dekar Gila segera menggenjotkan kakinya. Tubuhnya 
melesat laksana terbang ke udara. Saat itu pula, di-
tiupnya Suling Naga Sakti dengan kepala naga di 
pangkalnya diarahkan ke tubuh manusia singa yang 
masih mengapung di udara. 
Suara suling melengking keras. Saat itu, dari 
mulut kepala naga di suling itu melesat selarik sinar 
merah ke arah tubuh manusia singa. 
Srrrt..! 
Manusia singa tersentak kaget, menyaksikan 
selarik sinar merah yang keluar dari mulut kepala na-
ga di suling Pendekar Gila. Dia berusaha mengelakkan 
larikan sinar merah itu, namun kedudukannya tidak 
menguntungkan. Segera pedangnya diputar untuk 
memapaki sinar merah itu. 
Wut! 
Crat! 
Pedang itu langsung meleleh, bagai terkena pa-
nas yang sangat tinggi. Mata manusia singa itu mem-
belalak. Cepat-cepat dibuangnya pedang yang terus 
meleleh itu. Kalau tidak, tubuhnya pasti akan turut 
meleleh seperti pedang miliknya. 
"Ghrrr!   Kubunuh   kau,   Pendekar   Gila! 
Aummm...!" 
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu semakin 
buas. Tubuhnya melompat hendak menerkam Pende-
kar Gila. Jari tangannya mengembang membentuk ca-
kar dengan kuku-kuku yang tajam, siap mengoyak-
ngoyak tubuh lawan.  
Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga 
Saktinya dengan suara melengking. Saat itu juga dari 
mata kepala naga di sulingnya meluncur dua larik si-
nar kecil ke arah tubuh manusia singa yang masih me-
lesat. Tanpa ampun lagi....  
Crat, crat!  
"Aummm...! Aaargh...!" 
Lengkingan kematian keluar dari mulut singa 
jelmaan Kauw Cien Lung, ketika sepasang sinar kecil 
berwarna merah membara itu menghantam tubuhnya. 
Seketika tubuhnya meleleh, tak beda dengan keadaan 
lilin yang dilalap api. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Suling 
Naga Saktinya diselipkan di pinggang. Dengan tangan 
masih menggaruk-garuk kepala, dipandanginya lele-
han tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung. Kemudian 
setelah menghela napas, tubuhnya berkelebat mening-
galkan tempat itu untuk mengejar  orang misterius 
yang telah membawa tubuh Mei Lie. 
Bagaimana nasib Mei Lie selanjutnya? Siapa 
orang yang berpenampilan sama dengan Kauw Cien 
Lung? Lalu, apa maksudnya berbuat itu? Apakah Sena 
akan bertemu Mei Lie lagi? Lalu bagaimana pula den-
gan Dewi Pandagu yang telah mati di tangan dua orang 
dari rimba hitam? Untuk mengetahuinya, ikutilah pe-
tualangan Pendekar Gila selanjutnya dalam episode 
"Titisan Dewi Kuan Im". 
SELESAI 
TERIMA KASIH UNTUK SOBAT CULAN ODE 
ATAS BANTUANNYA MELENGKAPI HALAMAN 
YANG HILANG. 
 Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa