Pendekar Gila 9 - Mawar Maut Perawan Tua(1)


Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut 
hadir menyertai. Suara lolongan anjing dan 
lengkingan burung hantu membuat suasana malam 
terasa mencekam. Belum lagi angin yang berderak
menerpa rumpun bambu. Menambah suasana malam 
itu makin mengerikan. 
Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang 
lingkungan Kadipaten Pamakasan sedang duduk di 
gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang 
setiap waktu siap digunakan. Rokok kelobot yang 
mereka linting kini telah dinyalakan. 
"Huh! Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin, 
sambil menghembuskan asap rokok kawung setelah 
menghisapnya dalam-dalam. 
"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya 
tengah malam seperti ini udara dingin. Malam ini 
memang aneh sekali..." 
Keempat penjaga itu kemudian melangkah 
menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda. 
Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos 
jaga. Sepi sekali suasana sekitar kadipaten. Keempat 
orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok 
kawungnya dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam 
percakapan yang menuangkan isi hati masing-
masing. 
"Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita 
semakin bertambah berat saja," keluh Gimin. 
"Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah 
melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan 
setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok 
kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi 
sekarang...," Sarnopo membuka telapak tangannya 
dengan raut wajah kurang senang. 
"Ya. Bagaimana lagi? Kita orang kecil, Dimas," 
Karja berusaha menyabarkan hati temannya 
sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan 
yang bernama Sumagatri menikah lagi, mereka 
memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding 
sewaktu adipati itu belum menikah. 
"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit. 
Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di 
antara mereka. 
"Aaa...!" 
Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-
tiba terdengar jeritan menyayat seorang wanita dari 
dalam kadipaten. 
Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan 
ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama 
berselang, keempatnya mendengar suara teriakan 
Adipati Sumagatri 
"Prajurit, tolong…!" terdengar suara Adipati 
Sumagatri. 
"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus. 
"Entahlah! Sepertinya ada yang tidak beres!" sahut 
Gimin dengan mata membelalak. 
Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar 
Adipati Sumagatri. Mata mereka membelalak ketika 
menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja 
dinikahi tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa 
nyawa. Dada wanita itu ditembus sekuntum mawar 
merah. 
"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang 
masuk?!" bentak Adipati Sumagatri. 
"Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan 
seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk 
ke dalam kadipaten," jawab Gimin ketakutan. 
"Bodoh! Apakah kalian tidak melihat buktinya?!" 
dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot 
merah terbakar api amarah. 
Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan 
kepala. 
"Jangan hanya mematung, Tolol! Cepat kejar dan 
tangkap pembunuh itu!" perintah Adipati Sumagatri. 
"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan. 
Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu ber-
kelebat keluar mencari pembunuh istri Adipati 
Sumagatri. 
*** 
Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga 
menemukan jejak pembunuh itu. Walaupun sudah 
memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun 
tetap tak ditemukan jejaknya. 
"Aneh! Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?" 
gumam Gimin. Matanya terus memandang ke 
sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda 
kalau ada orang masuk ke tempat itu. 
"Mungkin dari atas, Kang." 
Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten. 
Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok 
bayangan. 
"Tak ada, Kang," kata Sarnopo. 
"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh 
curiga. "Bagaimana kalau kita geledah semua yang 
ada di dalam kadipaten?" 
"Setuju! Bukankah Kanjeng Adipati telah me-
merintahkan kita mencari si pembunuh?" sambut 
 
Damus. 
"Ya! Semua patut dicurigai," tambah Gimin. 
"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo. 
"Ayo kita segera ke sana!" ajak Karjo. 
Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk 
memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah 
menyelinap seorang pembunuh. Belum juga tiba di 
tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang 
membuntuti. Seketika langkah mereka terhenti dan 
berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk. 
"Hm… Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti 
kita, Dimas?" tanya Sarnopo. Matanya ditajamkan, 
memandang ke sekeliling tempat itu. 
"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut 
Karja. 
"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin. 
Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa 
ada yang mengikuti dari belakang. 
"Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah 
Damus. 
Sarnopo menghela napas. Matanya masih 
menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha 
meyakinkan diri bahwa tak ada yang mengikuti 
mereka. 
"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam 
Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin. Dia merasa ada 
yang mengikutinya. 
"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera 
memeriksa seisi kadipaten," ajak Gimin. 
Mereka kembali melangkah untuk memeriksa 
ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba.... 
Zwing, zwing....! 
Empat buah benda yang entah dari mana datang-
nya, melesat cepat ke arah empat prajurit itu. Mereka 
tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh. 
Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata 
keempatnya membelalak. Empat buah benda 
berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah 
mereka. Tanpa dapat dielakkan, keempat bunga itu 
menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai 
terlebih dahulu. 
Zleb zleb…! 
"Aaa...!"  
"Wuaaa...!" 
Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada 
keempat prajurit itu menyembur darah segar. Mata 
mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat, 
lalu ambruk tanpa nyawa. Di dada keempat prajurit 
itu terbenam setangkai mawar merah. 
Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu. 
Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi. 
Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia, 
bahkan merenggut nyawanya. Suasana di halaman 
kadipaten menjadi sepi dan mencekam. 
"Prajurit...!" seru Adipati Sumagatri dari dalam, 
berusaha memanggil keempat prajurit itu yang belum 
juga nampak batang hidungnya. 
Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu 
kalau para prajurit itu telah tergeletak tanpa nyawa 
dengan bunga mawar merah menghunjam di dada. 
Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri 
dengan gusar berlari keluar. Saat itu orang-orang 
dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar 
suara Adipati Sumagatri. 
"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu 
dengan rambut putih digelung ke atas. Walau sudah 
berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini 
masih terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima 
Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai 
penasihat Kadipaten Pamakasan. 
"Bodoh semuanya!" dengus Adipati Sumagatri. 
Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki 
Balacatra. Lelaki tua berjubah ungu itu tak berani 
membantah atau melawan. 
"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?" 
Semua mata membelalak saling pandang, 
mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh 
tidak menyangka kalau istri sang Adipati yang baru 
dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas. 
"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra 
memberanikan diri bertanya. 
"Huh! Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh 
dia!" dengus Adipati Sumagatri kesal. 
Kembali semua mata membelalak. Kening mereka 
berkerut mendengar penuturan Adipati Pamakasan 
itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak 
tahu siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin 
mereka menangkap si pelaku? 
"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari 
pembunuh itu!" 
"Daulat, Kanjeng." 
"Cepat!" 
"Baik, Kanjeng." 
Tanpa membantah, Ki Balacatra segera 
menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini 
meninggalkan tempat itu untuk mencari pembunuh 
istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra 
keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-
tumbukan dengan tubuh empat orang prajurit yang 
tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah. 
"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sem-
barangan. Hanya dengan sekuntum bunga, dia 
mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra 
sambil memandang keempat mayat prajurit itu. 
Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke 
sekeliling tempat itu, mencari jejak pelaku. Tapi, tidak 
ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan. 
Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki 
Balacatra mengerutkan kening. Namun, penciuman 
lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-
dengus, mencium bau yang lain dengan bau orang-
orangnya. 
"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang 
masuk ke kadipaten ini," kembali Ki Balacatra ber-
gumam lirih. "Sayang, dia telah pergi." 
"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah 
seorang punggawa kadipaten. 
"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki 
Balacatra. 
"Wanita, Ki?" 
"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya." 
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten 
itu bergegas keluar. Mencari pembunuh istri Adipati 
Sumagatri 
*** 
Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu 
menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti meng-
hilang ditelan kegelapan malam. Bau wangi seorang 
wanita yang bercampur bau bunga mawar meng-
hilang seketika. Tak tercium hidung Ki Balacatra. 
"Berhenti!" 
"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti, 
mengapa Ki Balacatra menghentikan pengejaran. 
"Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya," 
kata Ki Balacatra. 
"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa 
alasan Ki Balacatra. 
"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan 
sia-sia belaka. Kita tidak tahu siapa pelaku 
pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak 
mengenal tokoh-tokoh wanita. Namun yang 
bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku 
baru mendengarnya. Dia tentu seorang wanita yang 
berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya," 
ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya. 
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya 
Wedatama lagi. Punggawa kadipaten ini berpakaian 
abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar. 
Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit 
kayu kuat. Wajahnya menunjukkan kewibawaan. Alis 
matanya tipis dengan kumis tebal melintang. 
Ki Balacatra mendesah pelan. 
"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana. 
Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit 
untuk disingkap. Terlebih senjata pembunuh itu 
sangat aneh dan belum pernah ada di rimba 
persilatan," gumam Ki Balacatra. 
"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-
orang persilatan di kadipaten ini, Ki?" tanya 
Wedatama. 
"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun 
juga, masalah ini adalah masalah kita bersama. 
Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten," 
tutur Ki Balacatra. 
Semua terdiam. Mata mereka memandang ke 
sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si 
pembunuh tiba-tiba muncul. Namun sampai ayam 
jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga 
muncul. 
"Huh! Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar 
pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah bencana apa yang 
akan terjadi di kadipaten ini...?" 
Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya 
untuk kembali ke kadipaten. 
Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat 
naik. Pagi telah tiba. Burung-burung berkicau riang, 
berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten 
Pamakasan.. 
Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian 
istri sang Adipati dan keempat prajurit jaga telah 
mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka 
berbondong-bondong datang ke kadipaten untuk 
melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. 
Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri 
sedang berduka dan mengurung diri di dalam kamar. 
Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini 
masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa 
kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi. Semua 
orang di dalam kadipaten tak ada yang tahu kapan 
pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya yang 
berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya 
seorang wanita. Tapi siapa...? Pertanyaan itu tidak 
dapat dijawab Adipati Sumagatri. 
Jangankan melihat pelakunya, saat kematian 
istrinya saja Adipati Sumagatri tidak tahu. Lelaki 
setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah 
menjadi mayat dengan dada tertancap sekuntum 
mawar merah. 
"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap!" ucap 
seorang prajurit dari luar ruangan itu. "Apakah 
Kanjeng berkenan menerimanya?" 
"Suruh dia masuk!" perintah Adipati Sumagatri. 
Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah 
seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi 
penasihat kadipaten. Lelaki tua itu langsung bersila di 
depan Adipati Sumagatri. 
"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar 
Ki Balacatra seraya merapatkan kedua telapak 
tangannya di depan hidung. 
"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri. 
"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng." 
"Katakanlah." 
"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara. 
Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa 
yang dapat menangkap pembunuh itu, akan diberi 
hadiah," usul Ki Balacatra. 
"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati 
Sumagatri. 
Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya. 
Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan 
tersembunyi, agar si pembunuh tidak mendengarnya. 
"Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila. 
Bagaimana, Kanjeng?" 
Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya 
mengangguk-angguk. Seakan menerima saran 
penasihatnya. 
"Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju. 
Segeralah sebar undangan pada semua pendekar." 
"Daulat, Kanjeng!" Ki Balacatra menyembah, lalu 
beringsut mundur. Dan keluar meninggalkan Adipati 
Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di 
dalam kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk 
tidak menentu. 
Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit 
kadipaten tengah memacu kudanya dengan kencang 
menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka 
tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu 
sedang mengantarkan surat undangan Adipati 
Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar 
Gila dan Nyi Gendis Awit. 
"Hiya, hiya...!" 
Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari 
kencang. Keduanya nampak memburu waktu agar 
segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka 
melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda 
mereka meringkik keras. Larinya yang semula 
kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-
kuda itu merasa takut. 
"Hieeekh...!" 
Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki 
depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan berusaha 
memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat 
itu. 
"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang 
bernama Galarana terheran-heran. Kudanya seketika 
menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan. 
Kuda itu terus meminta kembali. 
"Hush, hush...! Ayo, kita harus segera sampai," 
perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada 
kudanya yang juga binal, sambil menarik tali kekang 
sekuat mungkin agar tidak jatuh.  
"Hieeekh...!" 
Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua 
binatang itu seperti melihat sesuatu yang 
menakutkan di hadapannya, hingga tak berani 
melangkah maju. 
Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung 
ke atas seperti prajurit lainnya. Matanya tajam lebar 
dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan 
dagu panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras 
selama menjadi prajurit. 
Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari 
Galarana. Wajahnya bulat agak gemuk. Bertubuh 
agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat. 
Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu 
mancung. Kumis tipis menghias atas bibirnya yang 
agak tebal. 
"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam 
Galarana terus berusaha mengendalikan tali kekang 
kudanya. 
"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan, 
Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya binatang lebih 
peka dari manusia." 
"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya 
menyapu ke sekeliling. Tampak pepohonan tumbuh 
lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui. 
Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu 
yang mencurigakan atau membuat takut kuda-kuda 
itu. 
Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya 
yang beringas dan berusaha berputar ke arah semula. 
Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara 
sekecil apa pun dapat terdengar.  
Kresek! 
"Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau 
mendengar suara orang melangkah?"  
"Ya." 
"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita 
beringas," dengus Galarana. 
Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang 
bersembunyi, tiba-tiba terdengar desingan keras yang 
disertai kelebatan dua benda ke arah mereka. 
Swing, swing...! 
"Awas...!" seru Galarana. 
"Hop!" 
Mereka segera melenting ke atas dan berputaran 
beberapa kali, mengelakkan senjata-senjata yang 
melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna 
merah darah yang terbuat dari logam besi terus 
menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi 
dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan 
serangan gelap itu. 
"Uts! Celaka...!" pekik Galarana dengan mata 
melotot. Senjata rahasia lawan seperti memiliki mata 
hingga mampu mengejar. 
"Uh! Mati aku...!" Bandra Gali pun memekik kaget 
Kedua prajurit kadipaten itu terdesak. Nyawa 
mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat 
kematian yang tragis ketika tiba-tiba terdengar suara 
suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu 
menghantam dua buah senjata rahasia yang 
menyerang mereka. Sehingga.... 
Pluk, pluk! 
Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke 
tanah. Mata kedua prajurit kadipaten itu membelak 
kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari 
kematian. 
"Kurang ajar! Siapa yang berani mencampuri 
urusanku?!" 
Terdengar suara wanita membentak keras. Dari 
balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita 
setengah tua dengan pakaian warna biru laut. 
Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten 
yang menyurut mundur. 
Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai 
itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di 
punggungnya tersandang pedang kembar. Meski 
usianya sudah berkepala empat, namun 
kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis 
Awit atau Perawan Tua dari Dagelan. 
"Bedebah! Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali 
setelah mengetahui siapa orang yang telah 
menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar 
wanita dari wilayah Kadipaten Pamakasan sendiri. 
"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke 
wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit. Matanya 
memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu. 
"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk 
mengantarkan undangan padamu," jawab Galarana. 
Kemudian disodorkannya surat undangan yang 
berada di tangannya kepada Nyi Gendis Awit yang 
segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya 
surat undangan itu. 
"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?" 
tanya Nyi Gendis Awit. 
"Benar, Nyi," sahut Galarana. 
"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang 
tadi meniup suling hingga mampu merontokkan 
senjataku. Ayo, keluar! Jangan bisanya hanya 
bersembunyi...!" seru Nyi Gendis Awit menantang. 
"Ha ha ha...!" 
Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan. 
Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara 
itu tengah berada di atas pohon. Tawanya 
berkumandang laksana berada di setiap penjuru 
angin. 
"Kurang ajar! Cepat keluar!" bentak Nyi Gendis 
Awit. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, 
berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar. 
"Ha ha ha...!" 
Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul 
seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular. Di 
tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari 
emas murni dengan kepala naga. Kedatangan 
pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang 
gila ini cukup mengejutkan ketiga orang itu. 
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-
senyum. Jalannya seperti seekor kera. Tingkah 
lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya 
bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi 
kulit ular itu. 
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk 
Pendekar Gila?" tanya Bandra Gali, seolah berbicara 
pada diri sendiri. 
"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan 
Kanjeng Adipati...," kata Galarana. Mata kedua 
prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu. 
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis 
Awit mencoba menebak-nebak. Dia memang sering 
mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya 
belum pernah. 
"Aha! Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa 
tidak mengajakku...?" tanya Sena alias Pendekar Gila. 
Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya 
kembali.  
"Ha ha ha...!" 
"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya? Dan 
apa urusanmu merontokkan senjataku?" tanya Nyi 
Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda 
tampan di hadapannya. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya 
menyelipkan Suling Naga Sakti ke sabuk di 
pinggangnya. 
"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya 
tidak ingin melihat ada pembunuhan keji tanpa tahu 
ujung pangkalnya." 
Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar 
ucapan Pendekar Gila. 
"Kurang ajar! Apa kau kira ucapanmu akan 
kudengarkan?!" 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang persis 
orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit 
bertambah jengkel. Sedangkan kedua prajurit 
kadipaten semakin mengerutkan kening, 
menyaksikan tingkah laku pemuda itu. 
"Ah! Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau 
tidak. Sudahlah. Tak perlu dipersoalkan lagi. Kurasa 
kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit," 
ujar Sena seraya menjura hormat. 
Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh 
mana ilmu pemuda itu, tidak mau membiarkan 
Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil 
membentak, perempuan setengah tua itu menyerang 
dengan jurus 'Cengkeraman Elang'. 
"Jangan pergi dulu! Terimalah seranganku! 
Hiaaa...!" 
"Uts!" 
Sena meminngkan tubuh ke samping, 
mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang 
cepat dan secara tiba-tiba. Hampir saja jari-jari 
tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung 
Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu. 
Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan 
tepukan. 
"Plak!" 
"Uts...!" 
Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau 
tepukan tangan lawan yang kelihatan sangat pelan 
ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat 
lamban dan lemah. 
Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi 
Gendis Awit bersalto ke udara. Berputaran beberapa 
kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya 
memandang tajam pemuda bertingkah laku gila yang 
masih menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-
senyum sendiri. 
"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya?! 
"Ha ha ha...! Lucu sekali," gumam Sena sambil 
menepuk-nepuk pantat. "Tapi baiklah, aku akan 
memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala. 
Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah! Cukup 
jelas, bukan?" 
Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa 
pemuda tampan berbaju kulit ular di hadapan 
mereka. 
"Pendekar Gila...?!" 
Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua 
prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di 
atas kuda, melompat turun dan memberi hormat. 
"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar." 
"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu? Aku 
bukan raja atau adipati. Sudahlah. Aku tidak punya 
waktu banyak. Aku harus segera pergi." 
"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali. 
"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan 
langkahnya. 
"Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan 
undangan pada Tuan," tutur Galarana sambil 
menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar 
Gila yang segera membuka dan membacanya. 
"Baiklah. Aku akan ke sana." 
Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat 
pergi meninggalkan tempat itu. Begitu cepat 
gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang 
melihatnya termangu bingung. 
"Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi 
Gendis Awit setelah termangu beberapa saat. 
"Apakah kalian akan bersamaku?" 
"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar 
undangan padamu dan Pendekar Gila," sahut Bandra 
Gali. 
"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit. 
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat 
itu. 
Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten 
sampai di perbatasan Desa Lawang Ireng. Saat itu 
mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam 
akan datang. Mereka membutuhkan waktu 
semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan. 
Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang 
berjalan bersama tokoh rimba persilatan. Keduanya 
mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan 
tegar walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka 
sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali keduanya 
berhenti melangkah. 
"Hm.... Kulihat kalian lelah."  
"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata 
Nyi Gendis Awit, kasihan melihat kedua prajurit itu. 
"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana. 
"Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin. 
"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali.  
"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus 
ingat itu." 
Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka 
agar mau naik kuda. Namun keduanya menolak. 
Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa 
mereka yang lelaki tidak? Terlebih mereka merupa-
kan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya 
prajurit menunjukkan ketahanan tubuhnya. 
"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat 
dan menginap di penginapan," saran Nyi Gendis Awit. 
Kedua prajurit itu mengangguk. 
Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya 
matahari yang semula terang benderang, kini hilang, 
berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun 
begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak 
menyenangkan. Hawa dingin yang menggigilkan dan 
suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam. 
Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri 
jalanan yang sepi dan lengang. Di kanan dan kiri jalan 
terdapat pepohonan. 
"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya 
Nyi Gendis Awit. 
"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali. 
"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk 
beristirahat," kata Nyi Gendis Awit kemudian. 
Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk 
mencari penginapan yang ada di desa itu. Tidak lama 
kemudian, mereka menemukan rumah penginapan 
itu. Setelah memesan dua buah kamar, ketiganya 
masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi 
Gendis Awit berdampingan dengan kamar kedua 
prajurit tu. 
"Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan 
kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa 
keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis 
Nyi Gendis Awit, mengingat kedua prajurit itu. 
Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit 
membuka pakaian. Hingga tampak tubuhnya yang 
menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis 
Awit, sepasang mata melihat tubuhnya yang telanjang 
lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit 
memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik 
perhatian dua prajurit yang ada di kamar sebelah. 
Sepasang mata itu melotot tak berkedip. 
"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana. 
"Ssst...! Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk 
lubang kecil di dinding papan. 
Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat. 
Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-
lubang kecil. Seketika matanya membelalak. Berkali-
kali dia harus menelan ludah. 
"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana. 
"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?" 
"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap 
wanita ini. Kau ingat kata-kata Ki Balacatra?" tanya 
Galarana. 
"Ya." 
"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit 
terkenal dengan sebutan perawan tua, karena 
sampai usianya berkepala empat belum juga 
menikah." 
Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba... 
"Mengapa kalian berbisik-bisik? Kemarilah. Bukan-
kah kalian lelah? Apakah tidak sebaiknya kalian 
kupijit? 
Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak 
mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada 
memanggil itu. Mereka tersenyum dengan dada 
berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar 
dari kamar. 
"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu," 
kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih. 
"Masuklah." 
Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit 
itu segera masuk ke dalam kamar Nyi Gendis Awit. 
Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya 
mengurai senyum menyaksikan kedatangan mereka. 
"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit. 
Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak 
mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum 
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua prajurit 
itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang 
tubuh Nyi Gendis Awit yang polos tanpa sehelai 
benang pun. 
"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi 
Gendis Awit. 
Kedua prajurit kadipaten itu mendekat. 
"Bukalah pakaian kalian." 
Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak 
lama kemudian, suasana di kamar itu pun sepi. Yang 
terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit. 
Wut, wut...!  
Jlep, jlep..! 
"Aaa...!" seorang murid Perguruan Kera Merah 
yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang perguruan 
memekik keras. 
Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar 
merah menghujam di dada prajurit itu. Entah dari 
mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat 
cepat ke arahnya. 
Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid 
lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. 
Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka 
melihat temannya terkapar menjadi mayat. 
"Pembunuhan! Mawar merah...!" seru ketiga murid 
itu berusaha mengundang perhatian yang lainnya 
agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada 
yang terbangun, tiba-tiba… 
Wut, wut, wut! 
Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah 
mereka. 
"Awas…! Akh…!” 
Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah 
memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum mawar 
merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika 
mengejang kemudian ambruk tanpa nyawa.  
Jlep, jlep!  
"Aaakh...!" 
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika 
tangkai bungan mawar itu menghunjam dada. Mata 
mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan 
berkelebat cepat keluar dari kegelapan. Bayangan 
merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua 
prajurit itu segera meregang nyawa dan mati. 
Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar 
Ketua Perguruan Kera Merah yang bernama Ki 
Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu 
didobraknya. 
Brak! 
"Heh?!" Ki Anggada tersentak.  
Wut, wut! 
Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah 
tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki tua itu cepat 
membuang tubuh dengan berguling ke samping. 
Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran 
bunga-bunga mawar. 
Jlep, jlep! 
Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang 
usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas. 
Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah. 
Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di 
tangan seorang wanita berbaju serba merah. Lelaki 
berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku 
serta ikat kepala berwarna dadu itu mendengus. 
Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari 
logam yang berbentuk empat jari kera. Dengan 
senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak 
garang. 
"Siapa kau?!" 
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang 
sekujur tubuhnya ditutupi kain merah. Termasuk 
wajahnya. 
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan 
siapa kau sebenarnya?!" bentak Ki Anggada gusar. 
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan 
kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus 
mampus di tanganku! Hiaaa...!" 
Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat 
dan tiba-tiba. Segera dia melompat ke belakang, 
kemudian berkelit ke samping. 
"Hop! Heaaa...!" 
Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan 
cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus 
'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu 
cepat. Ki Anggada hampir terkena sambaran tangan 
lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian 
rompi merah dadu ini memiliki ketajaman tinggi. 
Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk 
pukulan lawan. 
"Hari ini bagianmu, Kera Busuk! Yeaaat…!" 
Wanita berpakaian serba merah itu terus 
merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-
serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada 
tempat-tempat mematikan. 
Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita 
misterius itu segera berkelit ke samping. Lalu dengan 
gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini 
menggunakan jurus 'Kera Merangsek Naga'. 
Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan. 
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain 
merah itu terus menyerang dengan gabungan jurus 
'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut 
Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan bunga 
mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak 
berarti, tapi di tangan wanita itu sangat berbahaya. 
Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam 
sekejap. 
Swing, swing! 
"Uts! Bunga setan!" maki Ki Anggada seraya 
mengelakkan bunga-bunga maut yang telah 
membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke 
sana ke mari, terkadang berputaran di udara untuk 
mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu. 
"Hiaaa!" 
"Hop! Uts!" 
Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan 
pada Ki Anggada untuk balas menyerang. Serangan-
serangannya begitu cepat, disusul lemparan-
lemparan mawar mautnya yang tak kalah berbahaya. 
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar 
gurunya, murid-murid Perguruan Kera Merah 
berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun 
baru saja mereka sampai di pintu, tiba-tiba.... 
"Awas...!" seru Ki Anggada mengingatkan. 
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita 
misterius itu melemparkan bunga-bunga mawarnya 
ke arah murid-murid Ki Anggada. 
"Hih!" 
Swing, swing...!  
Jlep, jlep...!  
"Aaa...!"  
"Aaakh...!" 
Tiga orang murid perguruan yang berada di depan 
langsung roboh. Di dada mereka menghunjam 
setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat 
keluar dari dada mereka. 
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan 
siapa dirimu!" bentak Ki Anggada semakin marah 
menyaksikan murid-muridnya menjadi korban 
keganasan mawar merah lawan. 
"Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat! 
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!" 
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu 
kembali melemparkan bunga-bunga mawar merah ke 
arah Ki Anggada yang tersentak kaget. 
Swing, swing...! 
"Hop! Uts...!" 
Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian 
melesat ke samping kanan untuk mengelakkan 
serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera 
Menerkam Mangsa'. 
"Hiaaa...!" 
Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya 
bergerak lebih jauh. Dengan cepat, pedangnya yang 
bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau 
oleh sinar yang keluar dari pedang lawan. Ki Anggada 
memekik menyebutkan nama pedang di tangan 
wanita misterius itu. 
"Pedang Perak! Hei. Ada hubungan apa kau 
dengan Dewi Pedang Beracun?! Siapa kau...?!" 
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk! Kini 
terimalah ajalmu! Hiaaat. .!" 
Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik 
Dewi Pedang Beracun itu tak mau membuang waktu 
lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan 
dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun 
ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'. 
Wut! 
"Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa 
sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan 
lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada 
masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu. 
Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak 
mungkin. 
Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan 
tahun silam. 
Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di 
tangan lawannya. Dia belum yakin kalau wanita 
misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-
jurus pedangnya, sama dengan jurus-jurus milik Dewi 
Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya.... 
Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di 
Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya pernah 
membuat heboh para pendekar di wilayah itu. 
Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang 
Beracun banyak membunuh pendekar golongan 
putih. Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada 
para pendekar yang telah membunuh ayah dan 
ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun, 
sepak terjang Dewi Pedang Beracun dapat 
dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki 
Balamprang, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan Ki 
Sangkutra. 
Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun? Tapi... 
Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau 
seperti senjatanya yang berupa bunga kenanga. 
Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah 
darah seperti bunga yang digunakannya.... Ki 
Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus 
mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan. 
Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang 
lawan. 
"Heaaa!" 
Pedang di tangan wanita misterius itu terus 
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan 
babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang 
keluar dari pedang lawan membuat napas Ki Anggada 
tidak lancar lagi. 
"Uhuk, uhuk...!" Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan 
kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena 
terlalu banyak menghisap racun. 
"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk! Hiaaa...!" 
Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya. 
Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki 
Anggada yang tak mampu lagi mengelakkan serangan 
lawan. Maka.... 
Cras! 
Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah 
berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat, 
kemudian ambruk tanpa nyawa. 
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain 
merah segera melesat meninggalkan tempat itu. 
Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang 
di kegelapan malam. 
Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai. 
Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh 
keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu 
Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki 
Anggada. 
Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak 
memacu kudanya menuju Perguruan Kera Merah 
untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri. 
Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya 
ketika melihat bendera kuning dipasang di kanan dan 
kiri jalan. 
"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya 
prajurit yang memegang sebuah gulungan daun 
lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung 
mancung. Matanya tidak terlalu lebar. 
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola. 
"Sepertinya ada kematian." 
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Kera 
Merah," ujar prajurit pertama yang bernama Buwala. 
"Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak 
sekali orang berdatangan," desis Sagola. 
"Ayo kita ke sana." 
Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera 
mendekat. Perguruan Kera Merah tampak dipenuhi 
oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa. 
"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada 
pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah 
menggaruk-garuk kepala. 
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar 
dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, 
memandang kedua prajurit yang menegurnya. 
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah 
saja kejahatannya," gumam pemuda yang tak lain 
Sena atau Pendekar Gila itu. 
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut 
gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening 
saling pandang. Kemudian mata keduanya 
memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih 
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa 
engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola hampir 
tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang 
konyol dan lucu. Mirip orang gila. Terkadang mimik 
wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan 
senyum melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol, 
pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan 
tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik 
mengorek telinga dengan bulu burung. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil meringis kegelian. 
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu 
membendung tawanya. 
"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana." 
"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan 
mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan mene-
ngok ke arahnya. 
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola. 
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya 
Sena seraya menggaruk-garuk kepala. 
"Ya!" sahut keduanya.  
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena 
sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. 
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak 
beri tahu, ke arah mana aku harus pergi?" 
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, 
mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh 
itu. 
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda 
Edan?" tanya Buwala. 
"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak 
makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana. 
Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila. 
Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu 
hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri 
mengundang pemuda edan seperti ini? Tanya Sagola 
dalam hati. 
"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak 
mengundang pemuda gila sepertimu, Kisanak. Tapi, 
Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada 
pesta di sana," tutur Sagola. 
"Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni 
pemuda gila ini?" rungut Buwala mengajak temannya 
meneruskan berjalan. 
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka. 
Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya 
melihat tingkah laku pemuda itu. 
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan, 
heh?!" 
Sena tersenyum mendengar bentakan itu. 
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan, 
bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju 
kadipaten?!" Sena membentak tak kalah keras. 
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala. 
Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar 
yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya. 
Sagola segera menerima dan cepat membuka 
gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak 
setelah membaca tulisan di daun lontar itu. 
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan. 
"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar. 
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah 
Pendekar Gila," ujar Sagola sambil turun dari kudanya 
dan menjura memberi hormat. 
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah 
kelancangan kami," tambah Buwala. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan 
kedua prajurit itu menyembahnya. 
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf. 
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus 
berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. 
"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan, 
biarlah nanti kami bersama Tuan," pinta Sagola. 
"Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai 
di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki 
Anggada telah tewas di tangan seseorang yang 
bersenjatakan bunga mawar," tutur Pendekar Gila. 
Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala 
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada 
yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang 
membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian 
Ki Anggada sama dengan cara kematian istri Adipati 
Sumagatri dan empat orang teman mereka. 
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena. 
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda 
Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola. 
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum 
mengerti. 
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri 
Kanjeng Adipati dan empat orang teman kami yang 
tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola 
setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh 
mawar merah." 
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. 
Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata 
mereka memandang ke arah Perguruan Kera Merah 
yang tengah berkabung. 
"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah 
bertanya pada diri sendiri. 
"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena 
yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya 
menempuh perjalanan menuju Kadipaten 
Pamakasan. 
Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten 
Pamakasan menyelusuri jalan setapak di tengah 
hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin 
terasa menggigit. Namun ketiganya masih saja 
melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu 
menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih 
dengan adanya suara-suara menyeramkan binatang-
binatang hutan. 
"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, 
Kisanak," kata Sena sambil menghentikan 
langkahnya. 
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab 
kedua prajurit kadipatan itu bersamaan. 
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api 
dulu." 
Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting 
kering. Gerakannya cepat tak dapat dilihat kedua 
prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah. 
Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan 
membawa ranting-ranting kering. 
"Buatlah api," pinta Sena. 
Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu 
harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka 
menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin 
mereka mencari batu api dalam keadaan gelap 
seperti ini? 
Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti 
apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. 
Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian 
berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali 
dengan membawa dua buah batu api. 
"Ini batu api yang kalian butuhkan." 
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada 
mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua 
batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala. 
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup 
memberikan kehangatan. 
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan 
kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena, 
lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus 
kerimbunan pohon. 
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan 
Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka 
takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti 
itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di 
dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan 
terang. 
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala 
mengingatkan. 
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."  
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa 
pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. 
Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu 
dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan 
diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata 
rahasia. 
"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-
ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar 
Gila agar segera datang ke tempat itu. 
Swing, swing...! 
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit 
itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah 
dari mana datangnya. 
"Celaka! Bunga mawar!" pekik Buwala kaget. 
Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata 
lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya 
meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat 
ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, bunga itu 
menghunjam dadanya. 
Jlep! 
"Ukh!" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat 
mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa 
nyawa. 
Jlep! 
Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang 
juga tak sempat mengelak. Seperti Buwala, Sagola 
pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah 
tubuhnya mengejang dengan mata melotot. 
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang 
dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena 
tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit 
kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke 
sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa 
kuntum bunga ke arahnya. 
Swing, swing...!" 
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena sambil 
bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di 
udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila 
Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan 
Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa bunga 
mawar yang menyerangnya. 
Belum lagi Sena berhasil merontokkan bunga-
bunga itu, serangan berikutnya datang. Bunga-bunga 
mawar merah kembali melesat ke arahnya. 
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan 
nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan 
mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya. 
Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan 
cepat dibabatkan ke arah bunga-bunga itu.  
"Heaaa...!" 
Prak, prak...! 
Pluk, pluk...! 
Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan 
aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran 
Suling Naga Sakti Pendekar Gila. 
"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar 
Gila sambil menghantamkan pukulan ke arah tempat 
bunga-bunga mawar itu berasal. 
Tak ada sahutan. 
Sena semakin bertambah geram, merasa diper-
mainkan lawan. 
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet 
denganku. Baik. Ha ha ha...!" 
Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan 
ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat 
laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang 
begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang. 
Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa 
kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tidak 
ditemukannya seorang pun di situ. 
"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu 
siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut 
nyengir kuda. 
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian. 
Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di 
dada keduanya tertancap bunga mawar. 
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera 
berjongkok mengambil bunga mawar yang menancap 
di dada dua prajurit itu.  
Prul! 
Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata 
Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu 
yang aneh. Bunga mawar yang tadinya segar dalam 
sekejap berubah layu. 
"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun 
seraya memandangi bunga mawar di tangannya. 
Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di 
dada prajurit kadipaten yang lain. Keduanya sangat 
berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu 
nampak segar. Sedangkan yang di tangannya telah 
layu. 
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala. 
Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan 
keanehan itu. Dicobanya ditusukkan kembali ke 
tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga 
mawar yang semula layu menjadi segar. 
"Hah?! Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena 
dengan mata melotot dan mulut ternganga.  
Sena kembali menyapukan pandangan ke 
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau 
penyerang yang belum diketahui wujud dan rupanya 
itu memang telah pergi dari situ. 
"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga 
biasa. Bunga iblis penghisap darah," gumam Sena 
lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu 
makin lama tambah merekah. 
Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak 
percaya pada apa yang dilihatnya. Bunga-bunga 
mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian 
membesar. Dari kuntum kecil dengan kelopak-
kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman 
tangan. Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami 
perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur memucat. 
Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu 
mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. 
"Oh! Apa yang terjadi?" 
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian 
aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabu bunga 
mawar yang semakin membesar. Prul! 
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku 
duknya merinding. Bunga mawar itu kini memiliki aka 
panjang sampai ke batok kepala korban. 
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar 
benar bunga iblis," gumam Sena sambil membuai 
bunga itu jauh-jauh. 
Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga 
merinding, dicabutnya bunga mawar yang menancap 
dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya 
jauh-jauh. 
"Hhh...!" Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang 
akan melanda kadipaten ini?" 
Malam semakin larut.  Pendekar Gila melesat 
meninggalkan tempat itu setelah mematikan api 
unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan 
menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan 
angin. 
*** 
Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang 
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak 
menggeliat bangun dari tidurnya. 
"Hua…!" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap. 
Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat 
tubuhnya melayang turun dari atas cabang pohon di 
Hutan Waranggalih. 
Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-
ototnya yang agak kaku. Seketika matanya tertumbuk 
pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar 
sepuluh tombak dari tempat dia tidur. 
"Heh! Rupanya ada orang yang datang ke tempat 
ini," gumam Sena lirih. "Hm. Bagaimana mungkin aku 
sampai tidak tahu?" 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya 
melangkah menuju ke pohon itu. Dengan tangan 
masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila 
membaca tulisan di kulit pohon itu. 
Pendekar Gila, 
Kuharap kau jangan mencampuri urusanku! 
Mawar Maut. 
Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung 
yang diselipkan di pinggang. Lalu dengan nikmat 
kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis, 
sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. 
"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah 
bergumam. "Kurasa dia bukan orang sembarangan. 
Kalau dia mau sangat mudah membunuhku." 
Sena memandang berkeliling, berusaha mencari 
jejak seseorang yang lewat di tempat itu. Tapi tak 
ditemukan jejak apa pun. 
"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak 
ada sama sekali," gumam Sena, bicara pada diri 
sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh 
Mawar Maut yang senjata rahasianya berupa Mawar 
Penghisap Darah. 
Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila 
meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tidak gentar 
sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan 
semakin ingin menyibak misteri tokoh itu. Sepak 
terjangnya sangat membahayakan. Terutama senjata 
rahasianya yang berupa bunga mawar merah. 
"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin 
penasaran, Mawar Maut!" gumam Sena sambil 
melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan 
itu. 
Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-
tiba matanya melihat sebaris tulisan. Kali ini bukan 
ancaman, melainkan sebuah petunjuk. 
"Heh! Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia 
mengancamku. Mengapa sekarang memberi 
petunjuk?" 
Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena 
membaca tulisan Itu, 
Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya! Beloklah 
ke kanan. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran 
dengan tingkah laku Mawar Maut yang dirasa sangat 
aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar 
Maut benar. Terbukti, orang itu tidak membunuhnya 
sewaktu tidur. 
"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika 
aku berjalan lurus," gumam Sena. Kemudian kakinya 
pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar 
Maut. 
Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam. 
Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui. 
Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan 
setapak. 
Brosss! 
"Akh!" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok 
ke bawah. Tubuhnya melayang cepat ke dalam 
lubang perangkap. 
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam sana, 
Pendekar Gila! Bukankah sudah kukatakan jangan 
berjalan lurus! Nah, kini tetaplah di situ menunggu 
kematianmu!" dari atas terdengar suara seorang 
wanita. 
"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah 
dia?" gumam sena, menduga-duga siapa Mawar Maut 
itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara 
desisan keras dari arah samping. 
"Zsss...!" 
Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya 
berbalik memandang arah asal suara. Seketika 
matanya beradu dengan sepasang mata merah 
menyala. 
"Ular!" desis Sena seraya menyurut mundur. 
"Rupanya ini sarang ular." 
Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya 
tajam memandang pemilik sepasang mata merah 
membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari 
belakang terdengar desisan yang keras. 
"Hei. Ada dua ekor!" seru Sena kaget. 
Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah 
menyala merayap ke arahnya. Lidah kedua binatang 
menyeramkan itu menjulur-julur keluar.  Mulutnya 
yang mendesis-desis terbuka lebar, menunjukkan 
gigi-giginya yang runcing dan berbisa. 
"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka 
mengira mudah memangsaku. Baik kawan, kita main-
main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga 
Sakti. 
Kedua ular besar hitam kelam itu semakin 
mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar 
menyeramkan. Mulutnya menganga, siap memangsa 
Sena. 
Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya 
Suling Naga Sakti dengan perlahan hingga 
menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu. 
Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda 
badai. Dari atas lubang menyeruak masuk beratus-
ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil 
oleh tiupan suling Pendekar Gila. 
"Zsss...!" 
Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan 
diperintah, ular-ular itu menyerang kedua ular hitam 
besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam 
sekejap, pertarungan dua ekor ular besar dengan 
ratusan ekor ular kecil berlangsung. Ular-ular kecil itu 
dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam 
besar. 
Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya, 
semakin bertambah banyak ular-ular kecil ber-
datangan. 
Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan 
sakit akibat gigitan ular-ular kecil. Sampai-sampai 
Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan 
banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua 
ular hitam besar itu lumat dimangsa ular-ular kecil. 
Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu 
membentuk sebuah tangga. seperti menyuruh 
Pendekar Gila untuk naik ke atas. 
Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik. 
"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku. 
Pergilah." 
Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong 
mereka meninggalkan Pendekar Gila yang masih 
tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja 
dialami. 
"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas 
pertolongan-Mu padaku," desah Sena. Kemudian 
melesat pergi meninggalkan tempat itu. 
Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan 
tampak telah hadir beberapa orang undangan yang 
sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah 
Ki Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki 
Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan Sena Manggala 
atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim 
di wilayah Kadipaten Pamakasan. Selain mereka, 
tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang tua yang 
menjadi penasihat kadipaten. 
Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri 
yang dikawal dua orang prajurit pilihan. Semua yang 
hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura 
hormat. 
"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata 
Adipati Sumagatri. "Silakan duduk kembali." 
Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang 
sudah disediakan. Sejenak semuanya terdiam. Mata 
Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar 
yang hadir di tempat itu. 
"Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya 
kemudian. 
"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada 
tewas oleh pembunuh misterius yang sampai saat ini 
belum diketahui siapa sebenarnya." 
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti. 
Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu 
duduk di kursinya. Semua pendekar yang hadir di 
tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas 
kematian Ki Anggada. 
"Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di 
kadipaten ini, bukan? Contoh yang nyata adalah Ki 
Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati 
Sumagatri setelah terdiam beberapa saat. 
"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk 
dicekam rasa takut dengan kemunculan pembunuh 
misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...," 
tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara 
mereka. Lelaki berjenggot panjang putih dengan 
hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang 
dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra. 
Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak 
lain guru besar di Perguruan Tambak Segara. 
"Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang 
kewalahan menghadapinya. Senjatanya mengingat-
kan kita pada tokoh yang pernah membuat 
kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki 
Lurah Banjilan, Ki Sangkutra masih ingat siapa tokoh 
bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki 
Balacatra, mengejutkan semuanya termasuk Adipati 
Sumagatri. 
"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati 
Sumagatri.  
"Benar." 
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang. 
"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?" 
sambut Ki Lurah Banjil. 
"Aku telah memperhatikan dengan seksama 
korban-korban tokoh itu. Bunga mawar merah itu 
ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di 
tubuh korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan. 
"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba 
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara. 
"Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya 
Adipati Sumagatri. 
Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil 
tersenyum-senyum. 
"Ya! Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin 
malam bersamaku diserang oleh Mawar Maut. Mawar 
itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika 
dicabut, mawar itu akan layu," tutur Sena. 
"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai 
saat ini," gumam Adipati Sumagatri sambil meng-
angguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung. 
"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena. 
"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya 
Ki Balacatra. Penasihat kadipatan itu ingin tahu 
mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar 
Maut. Padahal, pendekar muda itu bukan orang 
sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua orang 
prajurit saja tidak sanggup. 
Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena mencerita-
kan apa yang terjadi kemarin malam. 
"Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa mencerita-
kan bagaimana dia terperosok ke dalam lubang yang 
berisi dua ekor ular besar berwama hitam. 
Semua yang mendengar mengangguk-angguk. 
Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar 
Gila. Meski sebelumnya mereka belum pernah 
bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh 
yang dikenal arif dan bijaksana itu tak akan mungkin 
berkata bohong. 
"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar 
maut itu memang bukan orang sembarangan. 
Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?" 
tanya Ki Balamprang setengah bergumam. 
"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit. 
"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya? 
Bukankah kita telah membunuhnya? Bahkan, 
kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu, 
Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra. Lelaki ini paling 
muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan. 
Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di 
atas bibir. Matanya sedang dan alis matanya tidak 
terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar. 
Pakaian yang dikenakannya hijau tua. 
"Benar! Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki 
Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng Adipati 
menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang 
sudah mati hidup kembali," bantah Ki Mandra Dupa, 
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun. 
Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang 
bauk lebat. Matanya lebar memandang garang. 
Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang 
hingga wajahnya seperti wajah ular. Pakaiannya 
berwarna coklat muda. 
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-
kan. 
"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan 
Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu, kamilah yang 
menguburkan Dewi Pedang beracun beserta 
pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat 
kata-kata Ki Sangkutra dan Ki Mandra Dupa. 
"Hm....!" 
Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat 
dalam pembunuhan Dewi Pedang Beracun, Pendekar 
Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas. 
"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama 
dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki Balamprang. 
"Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang 
sepuluh tahun silam kita bunuh?" 
Semua terdiam. Larut dalam pikiran masing-
masing. Mereka sungguh tak mengerti, mengapa 
kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau 
benar Dewi Pedang Beracun yang melakukannya, 
sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi 
Pedang Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah 
Dewi Pedang Beracun muncul dan bermaksud 
menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya. 
"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak 
menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu?" 
tanya Sena. 
"Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang. 
Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua 
kejadian yang menyangkut Dewi Pedang Beracun. 
Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang 
dipimpin Adipati Kerto Amabrang dihebohkan oleh 
seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau 
dengan senjata bunga kenanga. Wanita cantik itu 
memiliki sebatang pedang perak yang mengeluarkan 
racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang 
Beracun. 
Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu 
belaka. Membalas dendam dengan membunuh para 
pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati. 
Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi 
Pedang Beracun anak sepasang suami istri yang telah 
dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas 
perintah Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan 
guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi Kandri. 
Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto 
Amabrang mengundang lima pendekar yang ada di 
wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki 
Anggada, Ki Mandra Dupa dan pendekar muda yang 
kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang kuat 
akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang 
Beracun dan menguburkannya di atas Bukit Lawa 
Ireng. 
"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang 
Beracun benar-benar hidup kembali, rasanya 
mustahil. Mungkinkah arwahnya? Hingga gerakannya 
melebihi Dewi Pedang Beracun yang sebenarnya?" 
tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya. 
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun 
merasa heran setelah mendengar cerita Ki 
Balamprang. Ingatannya segera melayang pada 
kejadian kemarin, saat dia terperosok ke dalam 
lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan 
berkelebat. Kakinya menginjak tanah. 
"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata 
Sena pasti. 
"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang. 
"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut 
Adipati Sumagatri. 
"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang 
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat 
semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-
gerik yang sama persis dengan Dewi Pedang Beracun. 
Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang 
Beracun," tutur Sena membuat semuanya ter-
cengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila 
mampu rnenarik kesimpulan dari cerita yang baru 
saja didengarnya. 
"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau 
berkenan, berilah penjelasan yang sempurna," pinta 
Ki Balacatra. 
"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian 
mau memperhatikan dengan seksama. Pertama, 
Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan 
bunga kenanga yang menancap di kening korban, 
seperti yang diceritakan Ki Balamprang. Tapi orang ini 
membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa 
hidup pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai 
ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan mereka. 
Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang. 
Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan 
jurusnya agak berbeda." 
"Maksudmu, Pendekar Gila...?!" tanya Adipati 
Sumagatri. 
"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita 
kematian Ki Anggada? Dia mati dengan leher 
tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut 
cerita Ki Balamprang, Dewi Pedang Beracun hanya 
cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan 
dengan cara menyilang...," tutur Sena menjelaskan. 
Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin 
kagum pada Pendekar Gila. Mereka tidak pernah 
menyangka kalau pendekar muda itu sanggup 
menarik kesimpulan dari peristiwa yang penuh 
misteri. 
"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan 
pada keanehan dan dugaan sesat," kata Ki Balacatra. 
"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap 
pelaku itu." 
"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena.  
"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra. 
"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun." 
"Hm.... Benar!" sambut Ki Sangkutra. 
"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang 
Beracun masih terkubur di sana," sambung Ki 
Mandra Dupa. 
"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati 
Sumagatri. 
"Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki 
Balamprang saja," kata Sena. "Bagaimana, Ki?"  
"Aku setuju." 
"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena. 
Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi. 
Setelah menjura hormat, mereka bergegas 
meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi 
Pedang Beracun yang berada di Bukit Lawang Ireng. 
***