Pendekar Gila 5 - Kelelawar Iblis Merah(2)


Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya 
terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa 
kematiannya telah dekat. Namun tiba-tiba diingatnya 
mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari 
balik jubah, diambilnya mustika itu dan langsung
ditelannya. 
Tiba-tiba.... 
Crasss! 
Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan 
tubuhnya, seketika padam bagai tersedot kekuatan 
gaib.  
"Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-
bahak penuh kesombongan. 
Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksi-
kan kejadian itu. Dia amat tahu kesaktian mustika 
'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat 
mustika itu ditelan Warak Kendra, dia terkejut luar 
biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur. 
Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan 
sinar mata gentar. 
"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu! Aku 
Warak Kendra tak akan mundur! Ayo, keluarkan 
semua ilmumu...!" tantang Warak Kendra, sombong. 
Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari. 
Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas Pati. 
"Celaka! Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa 
pun tak akan mampu mengalahkannya!" desis Ki 
Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang 
telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki 
Wangas Pati tak mau menunjukkan keciutan nyalinya. 
Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali 
menyerang. 
"Hiaaat..!" 
Seberkas sinar merah membara kembali melesat 
mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi tampaknya 
Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah 
pemuda yang telah menelan mustika sakti itu mem-
busungkan dada. 
Desss! 
Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati 
menghantam telak dada Warak Kendra. Namun.... 
Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benak-
nya tak mempercayai apa yang terjadi di depan 
matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik 
dengan cepat ke arahnya. Bahkan lebih cepat di-
bandingkan serangan tadi 
"Celaka...!" 
Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke 
samping, untuk mengelakkan serangan balik pukulan-
nya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api 
itu terus menderu. Kemudian menghantam gubuknya. 
Blarrr! 
Api seketika berkobar, menerangi malam dengan 
warna merahnya. Dalam sekejap, rumah itu telah 
menjadi api unggun raksasa. 
Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi 
menyaksikan tubuhnya mampu menahan pukulan 
sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat 
dikembalikan ke tuannya, sampai-sampai merepot-
kan orang tua itu. 
"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain?! 
Keluarkan semuanya...!" tantang Warak Kendra 
dengan nada pongah. 
Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak 
Kendra. Kini orang tua itu berupaya untuk mencari 
titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum 
mampu menemukannya. 
"Mangkara...! Swuiiit..!" Ki Wangas Pati bersiul, 
memanggil kelelawar raksasa peliharaannya. 
"Cuiiit..!" 
Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar 
yang berada tak jauh dari kancah pertarungan. Tak 
lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah 
dengan mata nyalang. Suaranya memecah kesunyian 
malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara 
laksana amukan angin ribut 
"Bagus, kau segera datang, Mangkara! Serang 
dia...!" perintah Ki Wangas Pati pada binatang itu. 
Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan 
kepala, seperti mengerti perintah tuannya. Kemudian 
matanya yang merah laksana mengandung api, 
memandang ke arah Warak Kendra. 
"Cuiiit..!" 
Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian 
malam. Sayapnya dikepakkan lebar-lebar. Lalu tubuh-
nya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk 
beberapa saat, kemudian menukik untuk melancar-
kan serangan. 
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi mata-
nya yang tajam, tetap waspada pada serangan 
binatang raksasa itu. 
"Kau adalah abdiku! Aku tuanmu.... Kau harus 
menurut padaku! Serang dia...!" seru Warak Kendra 
dengan suara keras dan lantang. 
Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali 
benar sosok tuannya dari dulu, yaitu orang tua yang 
tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu 
menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat 
matanya terasa sakit. Itulah bukti bahwa pemuda itu 
pemilik mustika Pengubah Raga. 
"Mangkara, jangan hiraukan...! Serang dia...!" 
Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi 
binatang peliharaannya. 
"Mangkara, kau harus turuti perintahku! Kalau kau 
membantah, maka kau akan kukembalikan ke asal-
mu!" ancam Warak Kendra. 
"Cuiiit...!" 
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa 
ketakutan mendengar ancaman Warak Kendra. 
Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan mulut mencuit keras. 
"Bagus! Rupanya kau mengerti! Nah, serang dan 
bunuh tua bangka itu...!" seru Warak Kendra. 
"Cuit...!" 
Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini meng-
angguk-angguk. Kemudian tatapannya beralih ke 
arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh. 
"Celaka...!" pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu 
hendak lari, namun tiba-tiba binatang buas itu telah 
menghadangnya.  
"Cuiiit…!" 
Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan 
kedua sayapnya yang keras dan tajam. Kalau Ki 
Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling, 
sudah pasti tubuhnya akan hancur! 
"Edan! Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi!" 
maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk 
mengelakkan sambaran dan kepakan sayap 
Kelelawar Iblis Merah. 
Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas 
itu melesat ke atas diiringi teriakan keras. Tubuhnya 
berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali 
menukik disertai pekikan membahana. 
"Cuiiit...!" 
"Iblis!" 
Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan 
binatang itu. Tubuhnya berguling ke tanah. Kemudian 
dengan cepat tangannya memukul ke tubuh 
Kelelawar Iblis Merah. 
Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan 
menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat 
menyarangkan pukulan, dengan cepat Kelelawar Iblis 
Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke 
angkasa sehingga serangan Ki Wangas Pati luput. 
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya 
bergerak semakin cepat. Kali ini kakinya tak tinggal 
diam, mencengkeram ke tubuh lawan. 
Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali 
lagi melepaskan pukulannya ke tubuh Kelelawar Iblis 
Merah. 
Bukkk! 
Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu 
bagai tak mengalami apa-apa. Serangannya malah 
semakin buas. 
"Edan! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis...!" 
rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan 
serangan-serangan binatang itu. 
"Ha ha ha...! Main-mainlah dengan Mangkara, Tua 
Bangka!" 
Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa 
terbahak-bahak menyaksikan orang tua itu pontang-
panting diserang binatang peliharaannya sendiri. 
"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka 
itu...!" 
"Cuit..!" 
Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti 
perintah tuannya yang baru. Didahului cuitan keras, 
binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan 
deras menyerang kembali. Sayapnya menebas ke 
tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain 
melabrak kepala orang tua itu.  
Brat! 
Cras...! 
"Akh...!"  
Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan 
menyayat terlontar dari mulut K i Wangas Pati. 
Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas 
dari tubuh. Darah keluar deras dari pangkal tangan 
yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu 
berusaha lari dari tempat itu 
"Mangkara, habisi dia...!' seru Warak Kendra. 
"Cuiiit...!" 
Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu 
melesat cepat ke arah Ki Wangas Pati. Tidak lama 
kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua 
itu. 
"Aaa...!" 
"Ha ha ha...!" 
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya 
segera melesat ke arah lolongan kesakitan orang tua 
malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana 
kepala Ki Wangas Pati berlumuran darah. 
"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu 
di rimba persilatan! Ha ha ha...! Mangkara, ayo kita 
pergi...!" 
"Cuiiit...!" 
Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang 
baru. 
*** 
Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan 
Ki Wangas Pati dengan Warak Kendra, Sena 
Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati 
keindahan malam. 
Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala 
tak berbatas, matanya menangkap bayangan yang 
melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu 
dirasanya pernah dikenal beberapa saat lalu. Sesaat 
kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa 
sebenarnya bayangan itu. 
"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-
kan kedua alisnya. 
Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, ber-
usaha mendekati wilayah terbang kelelawar itu. 
Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan 
Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba menghilang. Tapi dia 
tidak mengurungkan niat begitu saja. 
Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan 
sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-
kan. Dari jubah yang dikenakannya Sena dapat 
mengenali lelaki tua itu 
"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa orang tua aneh 
ini? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?" 
Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati. 
Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat 
sesuatu. 
"Ah, aku ingat sekarang!" serunya tiba-tiba. 
"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah? 
Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah mem-
bunuhnya." 
Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan 
mendadak keningnya ditepuk, seolah-olah benaknya 
ingat sesuatu kembali. 
"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah 
binatang peliharaan Ki Wangas Pati...?" gumamnya 
kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut 
kelelawar ganas itu dari tangannya?" 
Telapak tangan pemuda tampan itu menekan 
dada Ki Wangas Pati. 
"Masih berdenyut! Ah, masih hidup," ucapnya. 
Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan 
memijit-mijit beberapa bagian tubuh orang tua itu. 
Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang 
masih mengucurkan darah. 
Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki 
Wangas Pati tersadar. Matanya membuka dengan 
berat, laki memandang pemuda di sampingnya 
dengan tatapan sayu. 
"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah. 
"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya 
Sena sambil memangku kepala Ki Wangas Pati yang 
berlumur darah. 
"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan 
kelelawar itu.... Ah, dia...." 
Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan kata-
katanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang. 
Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah 
menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit. 
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa 
bingung dengan kata-kata lelaki tua itu. Mulutnya 
nyengir, persis kera gila. 
"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana 
mungkin ini bisa terjadi?" 
Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru 
jernih. Dengan tangan masih menggaruk-garuk 
kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu 
kembali bergumam.... 
"Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat 
berbahaya. Hm, apalagi kini di tangan orang lain. Dan 
dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu 
bukan orang baik-baik. Edan...! Bencana apa lagi yang 
akan melanda rimba persilatan?" 
Mata Sena masih memandangi langit. Tangan 
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajah-
nya cengar-cengir tak karuan. 
"Dia...? Dia siapa?" 
Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud 
Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat sulit. Dia sama 
sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika 
sakti yang dikatakan Ki Wangas Pati. 
Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah 
melakukan pembunuhan keji terhadap Ki Wangas 
Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari 
Perguruan Belibis Putih. 
"Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu...!" 
"Ya! Mari kita tanyai!" 
Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih 
mendekat ke arah Sena yang masih menggaruk-garuk 
kepala dengan mulut cengengesan. 
"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti 
orang gila!" bentak salah seorang dari murid 
Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila 
dari kebingungannya. 
Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi 
besar dengan rambut digelung ke atas. Di tangan 
orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis 
dengan rantai panjang. 
"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis 
Putih," sambut Pendekar Gila sambil cengengesan. 
Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala. 
"Ya! kami dari Perguruan Belibis Putih! Kami 
datang untuk menangkapmu!" bentak lelaki bertubuh 
tinggi besar itu 
"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerut-
kan kening. Kemudian dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa, 
Sena kembali berkata, "Rasanya aku tak ada silang 
sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian 
hendak menangkapku?" 
"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui? 
Kau telah membunuh saudara seperguruan kami 
sebulan yang lalu! Untuk itulah, kami hendak 
menangkapmu!" 
Tawa Sena semakin meledak mendengar 
penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalah-
pahaman? Gumamnya dalam hati. Banyak sekali 
kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-
gelengkan, sementara tawanya masih terdengar. 
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk 
kepala. 
"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak 
kenal kalian semua. Aku hanya mengenal perguruan 
kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa 
menuduhku begitu?" tanya Sena masih dengan 
kepala menggeleng-geleng. 
"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi 
tangan! Masih juga kau menutupi kekejianmu 
membantai saudara-saudara seperguruan kami 
sebulan lalu, ketika mereka mengejar seorang 
saudara seperguruan kami yang berkhianat!" dengus 
lelaki tinggi besar yang bernama Perkolo. 
Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang 
masalah itu, semakin tergeiak-gelak. Kepalanya 
digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. 
"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak 
mengenal orang yang menurut kalian telah kubunuh. 
Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis 
Putih. Itu saja. Dan perlu kalian ketahui, aku bukan Ki 
Wangas Pati!" 
Bertambah marah saja orang-orang Perguruan 
Belibis Putih mendengar penuturan Sena. Mereka 
menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung 
jawabnya. 
"Rupanya kau perlu diajar adat! Serang...!" perintah 
Perkolo sambil menggerakkan tangannya. 
Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera 
mengurung Pendekar Gila. Sementara Pendekar Gila 
hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah 
konyol. 
"Celaka! Benar-benar celaka! Bagaimana mungkin 
orang-orang dari aliran lurus memiliki sikap tidak 
terpuji begini?" 
"Bedebah! Jangan bawa-bawa aliran!" bentak 
Perkolo, gusar. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil 
menggaruk-garuk kepala. Kepalanya digeleng-
gelengkan perlahan. 
"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat." 
"Diam! Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk 
kami bawa ke perguruan atau kami bunuh?!" 
Sena masih cengengesan. Tangannya kembali 
menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya 
tampak tercenung, seperti tengah berpikir. 
"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya. 
"Bagus! Ikat dia...!" perintah Perkolo. 
Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera 
mendekati Sena yang diam, tapi masih cengengesan. 
Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila. 
"Ayo jalan!" bentak Perkolo. "Kau harus ber-
tanggung jawab di depan pemimpin kami!" 
Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi 
orang-orang Perguruan Belibis Putih. 
Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di 
lereng Gunung Pandalaras yang subur dengan 
hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan. 
Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih 
yang dipimpin oleh Ratih Puri. 
Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita 
duduk di atas kursi. Wajah wanita itu ditutupi cadar 
berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot 
mata wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya 
ramping dan tak begitu tinggi. Sedangkan kulitnya 
kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk 
bersila murid-murid Perguruan Belibis Putih. 
Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak 
melaporkan hasil tugasnya pada Ratih Puri. 
"Kau telah datang, Perkolo? Bagaimana hasilnya?" 
tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi. 
"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo 
seraya menjura. 
Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain 
putih itu menyipit mendengar laporan murid utama-
nya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati 
Perkolo. 
"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?"  
"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."  
"Kau telah menangkapnya?"  
"Benar, Guru." 
"Bawa dia kemari!" perintah Ratih Puri. 
"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian 
berlalu meninggalkan ruangan itu. 
Ratih Puri masih mengerutkan kening dan 
menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum 
percaya dengan laporan murid utamanya itu. Bagai-
mana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-
anginan itu mudah ditangkap? Tanyanya dalam hati. 
Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan. 
Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan 
seekor kelelawar merah raksasa. Ah, rasanya tidak 
masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja. 
Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda 
tampan berpakaian rompi kulit ular. Mata Ketua 
Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak, 
kemudian memandang tajam pada Perkolo yang 
menjura padanya. 
"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati." 
"Perkolo...!" bentak Ratih Puri dengan keras. 
Matanya melotot tajam penuh amarah pada 
muridnya. "Apakah matamu buta?!" 
Perkolo kebingungan. Sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila yang masih cengengesan. 
"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki 
Wangas Pati." 
Mata Ratih Puri semakin membelalak marah 
mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian 
melangkah lebih dekat ke arah Perkolo. Dengan 
gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar 
itu. 
Plak! 
"Tolol...! Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau! 
Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat 
kau tak tahu siapa dia?!" bentak Ratih Puri penuh 
kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala. 
Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam, 
mendadak tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat 
mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya. 
Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin 
tertawa keras. Menjadikan ruangan itu laksana 
diguncang gempa. 
"Ha ha ha...! Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi 
beringas kini pucat, Sobat?" celoteh Sena, membuat 
wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah 
penuh amarah. 
Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah 
tahu dan kenal siapa pemuda berpakaian rompi kulit 
ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah 
mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak 
untuk membuka tali yang mengikat tangan pendekar 
muda itu. 
"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-
ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri setelah 
melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuh-
nya membungkuk untuk menjura hormat. 
Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak 
terikat menggaruk-garuk kepala. 
"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang 
menjadikan manusia buta," ujar Sena sambil matanya 
mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan 
tertunduk. 
Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena 
melangkah seenaknya. Matanya memandang Ratih 
Puri yang tak berani menatap Sena karena malu. 
"Aku memang salah, mengapa harus berada di 
tempat itu. Tapi sebenarnya kedatanganku ke Hutan 
Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas 
Pati," tutur Sena dengan mulut cengengesan. 
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk 
kepala. "Sayang, orang yang hendak kujumpai 
ternyata telah tewas." 
Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan 
kesedihan. 
"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui 
orang tua yang bersifat angin-anginan itu?" tanya 
Ratih Puri hormat 
Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali 
tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar 
Iblis Merah?" 
"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri. 
"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati 
untuk mengendalikan binatang iblis itu?" 
"Tepat!" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali 
murung, menunjukkan kesedihan. "Sayang.... Rupa-
nya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam 
keadaan sekarat. Kepalanya retak, tangan kirinya 
buntung." 
Ratih Puri membelalakkan mata mendengar 
penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua 
berilmu tinggi itu bisa dikalahkan. Selama ini, hanya 
lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-
hadapinya. 
Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan 
Pendekar Gila yang melakukannya, jadi siapa yang 
membunuhnya? Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih 
itu dalam hati. 
"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan 
yang bisa menandingi ilmu Ki Wangas Pati. 
Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?" 
tanya Ratih Puri masih belum yakin 
"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang 
tua itu sekarat. Tapi setelah kuingat-ingat, akhirnya 
aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang 
bisa mengalahkannya." 
Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-
anggukkan kepala. Dia pun membenarkan apa yang 
dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaan-
nya yang dapat mengalahkan orang tua angin-
anginan itu. 
"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai 
binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri lagi. 
"Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk 
kepala dengan tingkahnya yang aneh. "Padahal 
menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya 
seorang diri di Hutan Wandar." 
Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya 
tengah berpikir tentang keanehan itu. Kalau Ki 
Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar, 
rasanya tidak mungkin binatang piaraannya 
menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu 
patuh terhadap orang tua itu. 
"Ah, aku ingat...!" seru Ratih Puri, menyentakkan 
Sena dari keterpakuannya. "Hm, sungguh berbahaya 
kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya 
dia telah mendapatkan mustika Pengubah Raga..., 
sebab hanya dengan mustika itulah Kelelawar Iblis 
Merah dapat dikendalikan." 
"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena. 
"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang 
ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu sebabnya aku 
memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama 
menangkap Warak Kendra yang telah berkhianat dan 
yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas 
Pati." 
"Celaka…!" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi 
yang akan melanda rimba persilatan?" 
"Kita harus mencegahnya! Jangan sampai kedua 
iblis itu membuat petaka," desis Ratih Puri dengan 
mata menyipit.  
"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku 
harus segera mencegahnya," ucap Sena. 
Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu 
menjura. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat dari 
tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah 
menghilang. 
Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak 
lebar. Hanya Ratih Puri saja yang kelihatannya 
tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala. 
"Ck ck ck...! Benar-benar luar biasa! Pendekar Gila 
dengan ilmu yang gila!" 
"Jadi...!" Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar, 
setelah mendengar siapa pemuda bertampang gila 
tadi. 
"Ya! Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas 
Ratih Puri. "Beruntung dia tidak marah." 
Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk. 
"Perketat pengamanan! Tentunya murid murtad itu 
akan melakukan pembalasan...!" perintah Ratih Puri. 
"Baik, Guru...!" sahut semua muridnya.  
*** 
Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus 
tenang yang membelah hutan. Jubah berwarna merah 
darah yang dikenakannya dipermainkan angin, 
seperti juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya 
diikat kain berwarna merah pula. Sementara di 
atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa 
yang juga berwarna merah. Paduan warna merah itu, 
membuat keduanya terlihat angker dan garang, 
seangker kobaran api neraka. 
Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama 
Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-
nya karena tuah mustika Pengubah Raga. 
"Mangkara, sebelum aku bertemu dengan 
Pendekar Gila, rasanya aku belum puas," kata Warak 
Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan 
dendam. 
"Cuit..!" 
Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu 
seperti memahami hasrat tuannya. Kepalanya 
diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-
bangkan laki dikepak-kepakkan. 
"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah 
orang yang paling sakti di rimba persilatan! Ha ha 
ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai 
tubuhnya berguncang-guncang.  
"Cuit, cuiiit..!" 
Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di 
atasnya kembali mencuit dengan keras, mengem-
bangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya. 
Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menye-
ringai, menunjukkan taring-taringnya yang panjang 
dan runcing. 
Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak. 
Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya 
tajam mengawasi sekelilingnya. 
"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari 
kedai?" tanya Warak Kendra pada Kelelawar Iblis 
Merah. 
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras. 
Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan 
menyetujui rencana tuannya. 
"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya 
kau pun lapar, bukan...?" 
"Cuit..!" 
Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai 
Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan 
membentang dari selatan ke utara. Belum jauh 
mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang 
berlari dari arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan 
segera menghentikan langkah. Pendengarannya 
dipasang tajam-tajam. 
"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga, 
Mangkara."  
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari 
sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya 
mengangguk-angguk, seolah-olah membenarkan 
ucapan tuannya. 
"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah 
Warak Kendra. 
Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya 
melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai 
raja langit Kepalanya ditundukkan ke bawah, 
matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya. 
"Cuit, cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayap-
nya dipercepat. Setelah berputar-putar beberapa kari 
di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang 
semakin melengking. 
"Cuiiit...!" 
Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik, 
namun bukan ke arah Warak Kendra. Melainkan 
masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik 
rimbunan pepohonan. 
Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya 
menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya 
terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh 
suara pekikan kematian. 
Prak! 
"Akh...!" 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke 
angkasa, di kedua kakinya tercengkeram seorang 
lelaki dengan kepala pecah. 
"Bagus...! Kau memang abdiku yang setia, 
Mangkara...!" seru Warak Kendra senang. Kekejian itu 
dianggapnya sekadar hiburan ringan.  
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar 
beberapa kali dengan kaki masih mencengkeram 
korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepala-
nya mengangguk-angguk. Sepertinya Kelelawar Iblis 
Merah yang bernama Mangkara itu tengah mem-
beritahukan sesuatu pada Warak Kendra. 
"Ya, aku mengerti! Mereka memang banyak dan 
tengah menuju kemari...!" seru Warak Kendra. 
Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa 
terbahak-bahak. Rupanya dia tak memandang 
sebelah mata pun pada orang-orang yang akan 
datang untuk menyerangnya. 
"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk, 
Mangkara...!" serunya kembali dengan nada pongah. 
Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah 
itu memang benar. Tidak lama kemudian, dari dalam 
hutan muncul puluhan orang dengan pedang 
terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala 
botak bernama Kerto Mandra yang pernah bertarung 
melawan Pendekar Gila. 
"Ha ha ha...! Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk 
yang datang...," seloroh Warak Kendra untuk 
merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-
dengus marah. 
"Iblis...! Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga! 
Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap 
mengejarmu!" 
Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar 
ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis 
menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah 
Kerto Mandra lekat-lekat. 
"Kecoa tolol...! Seharusnya kau bersembunyi, kalau 
kau masih ingin hidup! Tapi rupanya kau nekat! 
Katakan, siapa namamu?! Sebelum nyawa kecoamu 
kukirim ke neraka!" 
"Sombong!" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira 
semudah itu kau membunuhku! Mungkin nyawa 
iblismulah yang akan kukirim ke neraka! Seraaang...!" 
Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan 
orang bertelanjang dada seketika menghambur. 
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, 
membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra. 
Serangan mematikan yang cepat itu tidak mem-
buat Warak Kendra gugup. Malah dengan tertawa 
keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi 
serangan mereka. 
"Rupanya kalian mencari mampus! Heaaat...!" 
"Yeaaah...!" 
Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak 
menghadang serangan lawan-lawannya yang ber-
jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus, 
kemudian diangkat tinggi-tinggi. Diteruskan dengan 
gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak 
mau diam, bergerak menendang ke belakang dan 
depan. Itulah jurus 'Kelelawar Merentang Sayap 
Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang 
dahsyat 
"Heaaa...!" 
"Remuk tubuhmu...! Yeaaa...!" 
Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus 
dahsyat mematikan. Tangan kanannya menghantam 
ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan 
kirinya memukul kepala lawan yang di samping kiri. 
Kedua kakinya menendang ke dada lawan di 
belakang dan samping kanannya sekaligus. 
Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra 
sangat cepat, membuat lawan-lawan yang dijadikan 
sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa 
ampun lagi, empat orang lawan harus menerima 
serangan mematikan itu. 
Dukkk! 
Desss! 
"Aaakh...!" 
Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan. 
Seorang korban melolong dengan dada terbakar. 
Sedangkan yang lainnya mengalami nasib 
mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol 
oleh tendangan kaki Warak Kendra. Sementara 
seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur 
dari mulutnya. Kemudian mereka ambruk tanpa 
nyawa. 
Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat 
teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja. 
Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan 
tegang ke arah Warak Kendra yang tertawa tergelak-
gelak. 
"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa 
busuk yang tiada arti!" ucap Warak Kendra sombong, 
membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke 
ubun-ubun. 
"Phuih...! Sombong...! Jangan kau kira kami takut! 
Serang dan cincang dia...!" perintah Kerto Mandra 
sambil melambaikan tangan. 
Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak 
mengepung. Pedang di tangan mereka teracung, siap 
menunggu perintah selanjutnya 
Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak 
Kendra kembali tertawa bergelak gelak. 
"Rupanya kalian benar-benar mencari mampus!" 
Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali meng-
gerakkan tangan dan kakinya. Tangan kanannya 
diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar. 
Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan 
telapak tangan di depan wajah. Kakinya dibuka 
sedemikian rupa. 
"Seraaang...!" Kerto Mandra kembali berseru. 
"Heaaa...!" 
"Cincang tubuhnya...!" 
Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak 
Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah 
merah itu. Namun dengan cepat Warak Kendra 
memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang 
semula lurus di atas, kini mencakar ke arah wajah 
lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan kirinya 
ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak 
tangan menghajar lawan sebelah kiri. Kakinya 
menendang ke depan dan menyepak ke belakang. 
Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat, 
membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran 
kembali harus menerima pukulan dan tendangannya. 
Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan 
tusukan pedang dengan cara meliuk dan melenting. 
"Hiaaa...!" 
Degk! 
Crat! 
"Wuaaa...!" 
Empat orang memekik keras. Tubuh mereka 
ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban 
kesadisan serangan yang dilancarkan Warak Kendra. 
*** 
Pertarungan semakin seru. Nampaknya orang-
orang Kerto Mandra kini benar-benar nekat. 
Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka 
gentar. Bahkan mereka nampak semakin beringas. 
Serangan-serangan mereka semakin garang dan 
penuh nafsu membunuh. 
Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta, 
tidak pernah membuat Warak Kendra bingung. 
Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu 
memanfaatkan lawan-lawannya. 
"Cuiiit..!" 
Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah 
lama menghilang. Rupanya Mangkara telah 
menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua 
kakinya. Setelah kenyang, kini Mangkara kembali 
menemui majikannya. 
"Awas...! Kelelawar itu jauh lebih buas...! Kita bagi 
dua...!" seru Kerto Mandra ketika melihat kelelawar 
itu. 
Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto 
Mandra yang jumlahnya puluhan itu menjadi dua 
kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis 
Merah, sedangkan yang separoh lain berusaha terus 
menyerang Warak Kendra. 
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat 
melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah. 
"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu! 
Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini...!" 
seru Warak Kendra. 
"Cuiiit...!" 
Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah 
tuannya. Dengan mengeluarkan cuitan keras, 
binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-
putar di udara beberapa saat, lalu menukik untuk 
menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan 
kedua sayapnya. 
"Cuiiit..!"  
"Awas!" 
Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha 
mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang 
Iblis itu. Mereka serentak merunduk, kemudian 
membalas dengan tebasan dan tusukan pedang. 
Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti. 
Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya, 
tubuhnya telah melesat ke udara. 
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah kembali mengepak-
ngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat. 
Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan 
sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya yang 
mampu mengeluarkan angin besar. 
Wusss! 
Prak! 
Cras...! 
Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap 
Kelelawar Iblis Merah. Seorang dengan wajah 
tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala 
pecah, terpukul kepakan sayap. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke 
angkasa, setelah melakukan serangan. Kemudian 
setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya 
menukik kembali untuk menyerang. 
"Awas...!" 
"Serang...!" 
Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa 
memperhitungkan baik buruknya, mereka berusaha 
merangsek kelelawar raksasa itu. 
"Yeaaa...!" 
"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis...!" 
Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar 
Iblis Merah bagai mengerti. Secepat kilat tubuhnya 
melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos, 
Mangkara menyerang kembali dengan sabetan dan 
kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawan-lawannya 
yang belum siap harus menerima kenyataan pahit, 
terbabat dan terhantam sayap Mangkara. 
Cras! 
Prak! 
Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-
menyusul dari mulut mereka. Kemudian tubuh 
mereka ambruk tanpa nyawa. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan 
darah yang keluar dari tubuh korbannya. Binatang 
iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian 
kemari. Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan 
pekikan kematian dari mulut lawan. 
Dalam sekejap saja, korban pun banyak ber-
jatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan. 
Wajah mereka tergores menyilang dengan darah 
meleleh. Ada pula yang kepalanya pecah dan tangan 
buntung. 
Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan 
segera berakhir. Terlebih Kelelawar Iblis Merah 
tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun 
lolos. Ke mana lawan pergi, kelelawar itu mem-
burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra 
yang putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai 
pengecut, lebih baik mati dalam menghadapi 
makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas 
itu, ada kemungkinan mereka dapat mengalah-
kannya. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras. 
Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini 
kembali menukik. Lalu dengan deras sayapnya 
menghantam lawan. 
"Aaa...!" 
Kembali pekikan kematian terdengar, disusul 
ambruknya beberapa korban. Semakin banyak darah 
yang membasahi sayapnya, semakin buas saja 
Kelelawar Iblis Merah. Matanya yang laksana api, 
kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya 
yang menyerang. Mulutnya yang bertaring runcing pun 
turut ambil bagian. 
Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi. 
Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga 
orang, di antaranya Kerto Mandra sendiri. 
"Mangkara...! Bawa orang ini ke angkasa, lalu 
buang ke laut..!" seru Warak Kendra sambil menunjuk 
Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya 
bergerak menyerang dua lawan lain. Serangan cepat 
itu tak mampu dielakkan oleh kedua lawannya. 
Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban 
serangan ganas Warak Kendra.  
"Cuiiit..!" 
Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram 
tubuhnya, Kerto Mandra yang sengaja dibiarkan 
hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan 
muka pucat dia bermaksud melarikan diri. 
"Ha ha ha...! Kejar dia, Mangkara!" perintah Warak 
Kendra sambil tertawa tawa. 
"Cuiiitt...!" 
Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram 
kaki Mangkara. 
"Tidak...! Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra 
berusaha memohon pengampunan. 
Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangan-
nya digerakkan, menyuruh Kelelawar Iblis Merah 
membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu. 
"Ha ha ha...! Mangkara, kutunggu kau...!" 
Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto 
Mandra ke udara, melesat menuju selatan. 
Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa, 
meneruskan langkahnya. 
"Tolong…! Tolooong...!" 
Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak 
meminta tolong. Saat itu Sena Manggala tengah 
duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan 
sambil meniup Suling Naga Saktinya dan berdendang. 
Dia terkejut mendengar lolongan memelas di 
angkasa. Setelah menghentikan tiupan suling, 
kepalanya mendongak kian kemari dengan kening 
berkerut Matanya yang tajam mengawasi ke 
sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk 
kepala. Tingkahnya persis orang bodoh, dengan mulut 
ternganga mencari asal suara itu. 
"Heh, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah 
tadi telingaku mendengar suara orang meminta 
tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk 
kepala. Matanya terus mencari ke setiap jurusan. 
Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak 
tadi. 
"Tolooong...!" 
Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas 
telinga Sena menangkap jeritan itu, tapi saat 
kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang 
menjerit itu tak ditemukannya juga. Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. 
"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam. 
"Cuiiit..!" 
Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena. 
Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa 
kagetnya Pendekar Gila, setelah mengetahui kalau 
orang yang berteriak minta tolong berada dalam 
cengkeraman kaki binatang iblis itu. 
"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu 
kembali membuat keonaran! Hm, tentunya Warak 
Kendra berada di sekitar tempat ini! Baik, aku akan 
mengikuti binatang itu..." 
Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya, 
kemudian dengan ilmu meringankan tubuh, dia 
melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang. 
"Cuiiit...!" 
Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di 
kakinya tercengkeram Kerto Mandra yang meronta-
ronta dengan wajah pucat pasi 
"Tolong...! Tolooong...!" Kerto Mandra yang semula 
gagah berani, kini tak lebih dari seorang lelaki yang 
takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan 
ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai 
kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya menggigil 
gemetaran. 
Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan 
cepat. Segenap ilmu larinya dikerahkan, berusaha 
menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto 
Mandra. 
"Edan! Jika dibiarkan, korban akan semakin 
banyak! Tentunya Warak Kendra akan mengumbar 
nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan. 
Celaka...!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala 
dan tetap berlari. 
Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih 
terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di 
depan. 
"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena 
masih terus berlari. Dia berusaha mempercepat ilmu 
larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan 
Kerto Mandra dan cuitan binatang itu tetap semakin 
jauh. 
Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang 
itu untuk berlomba dalam hal kecepatan. Kemudian 
dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila 
mengerahkan tenaga dalam untuk mempercepat 
larinya. 
"Yeaaa...!" 
Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin. 
Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput. 
Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari 
tingkat tinggi 'Sapta Bayu'. 
Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh 
Pendekar Gila melesat laksana tujuh kekuatan angin. 
Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam 
sekejap saja, dia telah mampu menyusul binatang itu. 
"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?" 
dengus Pendekar Gila. 
Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget. 
Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya 
telah terbentang lautan lepas. 
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu 
dengan membawa manusia botak ke tengah tautan?" 
gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis 
Merah yang masih terus terbang membawa tubuh Ke-
to Mandra ke tengah lautan 
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya 
nyengir, kemudian dengan gelak tawa kakinya 
melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara, 
tubuhnya melompat ke lautan 
"Yeaaa...!" 
Kembali Pendekar Gila mengerahkan 
kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air, 
dengan cepat Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke 
depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya 
pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di 
permukaan air tanpa tenggelam! 
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil 
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti 
orang gila, semakin lucu dengan berlari di atas air. 
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu 
dengan membawa manusia botak ke tengah lautan? 
Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu.... 
"Yeaaa...!" Pendekar Gila mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Maka, 
tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut 
dan mengejar Kelelawar Iblis Merah! 
"Ha ha ha...! Enak juga lari di atas air," katanya 
sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sedangkan 
matanya terus mengawasi binatang Iblis yang 
membawa tubuh Kerto Mandra. 
"Tolooong...!" 
Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar 
Iblis Merah melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya 
yang gemuk itu langsung melayang ke bawah. 
"Aaa... Tolooong...!" 
Byurrr! 
Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar 
tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang 
iblis itu berputar-putar di angkasa, kemudian kembali 
melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang 
tengah berjuang mempertahankan selembar 
nyawanya. 
*** 
Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya 
memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu 
terbang. 
"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku 
akan ke sana. Tentunya manusia botak itu tahu, ke 
mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena. 
"Tolooong...!" 
Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul 
tenggelam di permukaan samudera yang hendak 
menelannya hidup-hidup. 
Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar 
Gila yang memiliki jiwa pendekar berusaha me-
nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo 
Edan.  'Seorang pendekar, akan berusaha menolong 
yang lemah. Walau musuh sekalipun!' 
Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas, 
dengan cepat Pendekar Gila menangkapnya. Lalu 
dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya 
tangan itu. 
"Yeaaat..!" 
Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air, 
seketika tertarik ke atas. 
"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong 
nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya saya akan mati," 
kata Kerto Mandra dengan napas tersengal. 
"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan. 
Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan 
Pendekar...." 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan 
kirinya yang tidak memegangi tangan Kerto Mandra 
menggaruk-garuk kepala. 
"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya. 
Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu 
yang dalam kesusahan. Sekarang, berpeganglah 
pada tanganku," ucap Sena kemudian. 
Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan 
Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal 
itu membuat mata Kerto Mandra melotot heran 
bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu. 
Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di 
atas air tanpa tenggelam! 
"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto 
Mandra. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar 
pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu. 
Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan 
masih tersenyum berkata, 
"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?" 
"Tapi, Tuan..." 
"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang 
pasti, kau harus selamat Hyang Widhi belum 
mengizinkan kau mati." 
Usai berkata begitu, dengan tawa yang meng-
gelegar Pendekar Gila kian mempercepat larinya. 
Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut 
Tidak lama kemudian, keduanya sampai di pesisir. 
"Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana 
perginya Warak Kendra dengan Kelelawar Iblis Merah 
itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut 
itu mengatur napas dan melemaskan otot-ototnya. 
"Ya! Kudengar mereka hendak ke Perguruan 
Belibis Putih," jawab Kerto Mandra. 
"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan 
tersenyum, tangannya menggaruk-garuk kepala. 
"Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas." 
"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu 
bukan membalas dendam," sahut Kerto Mandra, 
membuat Sena mengerutkan kening. 
"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?" 
"Ya." 
"Maukah kau menceritakan semua yang kau 
ketahui, Ki?" pinta Sena. 
"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah 
tadi sudah saya katakan, bahwa sejak saat ini saya 
akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya 
hadapi, jiwa raga saya akan saya serahkan pada 
Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh. 
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu. 
Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak 
terjang Kelelawar Iblis Merah. Dan ini yang harus kita 
pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui" 
Kerto Mandra menghela napas. Matanya 
memandang ke lautan yang membentang di hadapan-
nya. Kalau saja pendekar muda di hadapannya tak 
menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan 
penghuni lautan itu sebabnya, meski pendekar muda 
itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra berjanji 
akan mengabdi pada pendekar muda yang ber-
tampang gila itu 
Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada 
henti menggaruk-garuk kepala, membuat Kerto 
Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya 
adalah pendekar yang namanya belakangan ini 
tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski 
ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak 
sedikit pun menggambarkan kesombongan. 
"Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah 
saya ketahui, bolehkah saya mengajukan satu 
pertanyaan?" tanya Kerto Mandra. 
"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab. 
Katakanlah." 
"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai 
Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra dengan sinar 
mata kekaguman. 
"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya 
aku yang masih bodoh ini dengan sebutan yang 
terlalu besar itu..." 
Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya 
memandang nanar ke laut lepas. 
"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang 
bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-
besarkan orang saja." 
"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di 
hadapan Sena. "Ampunilah semua kesalahan saya, 
Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat 
bertemu dengan Tuan." 
"Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak 
kusenangi dengan nama besar. Aku bukan dewa, tak 
sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah 
kau hendak menceritakan segala sesuatu yang kau 
ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?" 
Kerto Mandra kemudian menceritakan segala 
sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia 
menyelidiki tentang gegernya Kelelawar Iblis Merah 
yang sering memakan korban, sampai bentrokan 
dengan Warak Kendra. 
"Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya 
memiliki satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu 
di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para 
pendekar. Dia belum puas dan belum bisa 
menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di 
rimba persilatan, sebelum mengalahkan Tuan. Dan 
dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra 
mengakhiri ceritanya. 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar 
penuturan Kerto Mandra. Tingkahnya yang seperti 
orang gila, semakin membuat Kerto Mandra ber-
tambah yakin tentang jati diri pendekar muda itu. 
Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat 
tubuh Sena bergerak seperti seekor monyet sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda 
bertingkah gila itu bukan pemuda sembarangan. 
Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah 
sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegelian-
nya menyaksikan tingkah aneh Sena. 
"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih 
menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi 
orang nomor satu di rimba persilatan harus 
mengalahkan aku? Apalah artinya aku...? Ha ha ha...! 
Bagaimana menurutmu, Ki?" 
Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia 
tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki gemuk itu 
hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena 
kembali tertawa, dan bertingkah seperti seekor 
monyet 
"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi 
mencari kawan. Bahkan kalau mungkin, lawan diajak 
untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum 
seberapa dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi. 
Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena. 
Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata. 
Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan. 
Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto 
Mandra dalam hati, mengingat segala perbuatannya 
selama ini. 
Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar 
muda itu memiliki jiwa yang luhur. Mulanya dia 
menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-
benar gila. Tak memiliki akal dan budi pekerti yang 
luhur. 
"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri 
atau pemuas dendam. Namun kita bertempur untuk 
membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab 
semua itu adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena 
menambahkan 
"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar 
Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku 
selama ini. Tak tahu gunung menjulang, tak men-
dengar badai berhembus." 
"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka. 
Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak 
yang mesti kita lakukan," tukas Sena menyadarkan 
Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya. 
"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke 
Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra. 
"Tentunya dua Iblis itu telah ke sana." 
"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha 
melampiaskan nafsu angkara murkanya. Apakah kau 
telah siap, Ki?" tanya Sena. 
"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus 
semua dosa dan kepicikanku selama ini." 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan 
ucapan Kerto Mandra lucu. Tingkahnya kembali 
seperti orang gila. 
"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya 
tanpa dapat dimengerti oleh Kerto Mandra. Apa 
hubungannya antara malam dengan bencana yang 
melanda rimba persilatan dengan munculnya 
Kelelawar Iblis Merah? Pikirnya dalam hati. 
"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan 
datang menerangi bumi ini?" lanjut Sena. 
Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama 
sekali tidak mengerti kata-kata Sena. 
"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya 
meninggalkan pesisir selatan, melangkah ke utara di 
mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak 
Laut Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan 
gemuruh angin dan tembang camar di angkasa. 
*** 
Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa 
Perguruan Belibis Putih terdengar suara cuitan 
memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan 
semua penghuni bangunan Perguruan Belibis Putih 
tersentak. Yang telah terbuai mimpi, terperanjat 
bangun. 
"Kelelawar iblis itu telah datang...!" seru salah 
seorang murid Perguruan Belibis Putih, menyentak-
kan penghuni perguruan. 
"Siap pada tempat masing-masing...!" perintah 
salah seorang murid utama. 
Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan 
masing-masing. Rupanya penyambutan kedatangan 
Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-
matang. 
"Cuiiit..!"  
Prak! 
Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur, 
terhantam sayap kelelawar raksasa itu. Puing-
puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beter-
bangan, laksana tersapu angin topan. 
Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid 
Perguruan Belibis Putih yang berada di bangunan 
utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri. 
"Tenang...! Semua harus tenang...!" terdengar 
seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan Belibis Putih. 
"Cuit...!" 
Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,  
lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng 
bangunan utama. Disusul oleh sabetan sayapnya 
yang menghantam bangunan itu. 
Brak! 
Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak 
tawa membahana. Disusul dengan kehadiran seorang 
lelaki muda berjubah merah. 
"Ha ha ha...! Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan 
mau menjadi istriku! Kalau tidak, semua murid dan 
perguruanmu akan kuhancurkan...!" ancam Warak 
Kendra. Kemudian tangannya bergerak meluncurkan 
selarik pukulan ke bangunan utama. 
Wusss! 
Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat 
menuju bangunan utama. Dan sebuah ledakan 
dahsyat pun tercipta. 
Glarrr! 
Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksi-
kan keadaan di tempat itu.  
"Serbuuu...!" 
Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat 
puluhan anak panah menghujani tubuh Warak 
Kendra. 
Swing! Swing...! 
"Ha ha ha...! Jangan kalian kira akan semudah itu 
mengalahkanku! Hiaaa...!" 
Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-
anak panah, Warak Kendra mengirimkan pukulan ke 
arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-
pekikan kematian dari balik pepohonan yang rimbun. 
"Mangkara, hancurkan semuanya...!" perintah 
Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah. 
"Cuiiit..!" 
Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah  
tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian 
menukik ke bawah. Lalu kedua sayapnya dihantam-
kan ke arah bangunan perguruan. 
Brak! 
Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu 
penyangganya berhamburan.  
"Seraaang...!" 
Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat 
dari persembunyiannya. Dengan pedang terhunus, 
mereka serentak menyerang Warak Kendra. 
"Bagus! Kalian memang harus mampus! Heaaat..!" 
Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk 
menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut. 
Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu. 
Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul. 
Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus meng-
hantamkan kedua sayapnya ke arah bangunan. 
Membuat bangunan utama hancur berantakan. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian 
melesat menyentakkan kedua sayapnya ke arah 
bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih 
semakin dibuat porak-poranda.  
"Cuiiit..!" 
Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat 
terbang, lalu berputar-putar di angkasa. Kemudian 
dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu 
kembali melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar 
merah menyala menderu dari luar perguruan ke 
arahnya. 
Wusss! 
"Cuit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik keras, 
ketika melihat pukulan yang dilontarkan seseorang. 
Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke  
angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil 
mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya 
kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari 
ke arah perguruan. 
"Mangkara, ada apa...?!" tanya Warak Kendra 
ketika menyaksikan binatang piaraannya berhenti 
menyerang. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya 
digerak-gerakkan. Tampaknya binatang itu hendak 
mengatakan sesuatu. 
Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang 
telah terjadi, tiba-tiba dari luar pagar perguruan 
melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda 
berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi 
bertubuh gemuk dengan kepala botak bertelanjang 
dada. 
"Ha ha ha...! Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah 
ada pesta. Mengapa kita tidak diundang?" seloroh 
pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain 
Pendekar Gila 
Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri 
melompat keluar dari dalam bangunan. Lain halnya 
dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah 
menyeringai. 
"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini! 
Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian 
mulutnya kembali mengumbar tawa menggelegar. 
Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan 
lebih keras. Tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Tingkahnya persis seekor kera 
"Ha ha ha...! Kisanak, kalau memang hendak 
mengadakan pesta, mengapa tidak mengundang 
kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu. 
"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam 
hidupmu! Bersiaplah untuk mampus!" ancam Warak 
Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan 
Pendekar Gila. 
"Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di 
sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak. Kau bukan 
Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup 
matinya seseorang? Ha ha ha...!" 
"Bedebah! Aku akan membuktikannya, Pendekar 
Gila! Mangkara, habisi dia...!" 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara. 
Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya 
melesat dengan sayap mengepak siap menyerang. 
"Minggirlah! Kalian bantu mereka...!" ujar Sena 
seraya mendorong tubuh Ratih Puri dan Kerto 
Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya. 
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya 
berjarak satu tombak dari Pendekar Gila. Kedua 
sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara 
Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan 
cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah 
binatang itu. 
"Heaaa...!"  
Begkh! 
Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh 
binatang itu. Namun pukulan itu bagai tak berarti. 
Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa 
tombak ke belakang. Bahkan binatang iblis itu 
semakin bertambah beringas. 
"Cuittt..!" 
Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke 
angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk 
melancarkan serangan susulan. 
"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada 
artinya?!" desis Sena. Kembali tubuhnya berkelebat 
mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas 
itu. 
Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar 
Iblis Merah, Pendekar Gila menghantamkan pukulan 
'Si Gila Membelah Awan'. 
"Heaaat..!" 
Debbb! 
Telak sekali pukulan itu menghantam dada 
Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata 
Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu 
ternyata tak mempan oleh pukulan 'Si Gila Membelah 
Awan'. 
Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah 
berputar sesaat di udara, tubuhnya kembali meluncur 
ke arah Pendekar Gila. 
"Cuiiit..!" 
"Heaaa...!" tubuh Pendekar Gila kali ini turut 
melesat, berusaha memapak serangan binatang itu. 
Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu 
menukik dengan kedua sayap siap menyerang, 
sedangkan yang lain melesat naik dengan jurus 
saktinya. 
"Cuittt..!" 
'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat..!"  
Darrr! 
Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar 
Gila bertemu dengan sayap Kelelawar Iblis Merah, 
tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah, 
sedangkan binatang itu bagai tak mengalami sesuatu 
apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan 
Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus 
gila. 
"Uhk...!" Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan! 
Binatang itu benar-benar setan!" 
Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu 
telah menukik kembali, siap menghancurkan tubuh-
nya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit 
kontan terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit. 
Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis 
Merah itu dengan pukulan saktinya. Pukulan tingkat 
tinggi yang menjadi salah satu andalannya. 
"Pukulan 'Inti Bayu'...! Heaaa...!" 
Angin seketika keluar bergulung-gulung dari 
telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara, 
tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan. 
Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan 
pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak 
mengalami kesulitan berarti. Bahkan kini sayapnya 
dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan 
sakti Pendekar Gila. 
"Cuiiit..!" 
Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan 
pukulan saktinya seperti menghantam batu cadas. 
Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini 
binatang itu siap melabraknya lagi. 
"Celaka...!" pekik Pendekar Gila seraya membuang 
tubuhnya ketika sosok merah mengerikan itu kembali 
menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau 
memberi kesempatan. Kepakan sayapnya terus men-
cecar tubuh lawannya. 
Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering 
ditiup angin, berusaha mengelakkan setiap sambaran 
sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda 
itu membentur dinding benteng perguruan. 
Kedudukannya kini benar-benar tersudut. 
"Celaka...!" pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan 
untuk lepas dari serangannya. Yang kumiliki tinggal 
Suling Naga Sakti." 
"Cuit..!" 
Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke 
arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila 
melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas 
ditiupnya tanpa sempat bangkit. Diarahkannya lubang 
suling ke tubuh binatang itu. 
Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin 
lama semakin memekakkan telinga. Dari lubang 
suling, melesat sinar berwarna merah yang telak 
menghantam tubuh binatang iblis itu. 
Desss! 
"Cuiiit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan. 
Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya 
membubung ke angkasa dan menggelepar-gelepar 
liar di sana. 
Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak 
berhenti sampai di situ. Terus ditiupnya suling sakti 
itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-
dayu hingga menyentuh perasaan. 
Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila, 
orang-orang yang tenaga dalamnya rendah, seketika 
terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan 
air mata. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun 
pekikannya tidak sekeras semula. Suaranya semakin 
lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang 
yang melayang di udara itu mengecil dan terus 
mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud 
aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan! 
Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak 
Kendra seketika murka. Didahului pekikan meng-
gelegar, lelaki berjubah merah itu menyerang 
Pendekar Gila. 
"Hiaaat..!" 
Tangan Warak Kendra membentang ke samping, 
kemudian bergantian menyerang tubuh Pendekar 
Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke 
arah wajah dan dada lawannya. Sedangkan kedua 
kakinya bergerak menendang dan menyepak. 
Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi 
seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit. 
Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk meng-
elakkan serangan-serangan lawan. Meski gerakannya 
kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan 
yang dilancarkan lawan dengan mudah dapat 
dielakkannya. 
Merasa serangannya gagal, Warak Kendra 
semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-
sungkan lagi dikerahkan. Tangan kanannya terangkat 
ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar. 
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping 
dengan jari-jari lurus. Kemudian dengan gerak cepat, 
Warak Kendra kembali menyerang. 
"Kau harus mampus, Pendekar Gila! Yeaaa...!"  
Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan 
aneh yang dilancarkan lawannya Dengan cepat 
dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus 
'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung, 
dan bersalto ke sana kemari. 
Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera 
menjatuhkan orang yang dianggap menjadi peng-
halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-
serangannya semakin lama semakin keras dan 
gencar. Bahkan....  
Degk! 
Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang 
cepat, tak dapat dielakkan Pendekar Gila. Pukulan itu 
telak menghantam punggungnya. 
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya ter-
huyung-huyung akibat pukulan itu. Belum lagi siap, 
kembali sebuah tendangan keras menghantam 
punggungnya. 
"Hari ini kematianmu, Pendekar Gila! Heaaa...!" 
Begk! 
"Tuan Pendekar...!" 
Semua orang dalam kancah pertarungan yang 
telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti 
memekik, saat menyaksikan Pendekar Gila terdorong 
keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke 
depan dan hampir mencium tanah, kalau saja 
Pendekar Gila tidak segera menguasai keseimbangan 
tubuhnya. 
Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah 
segar. Matanya berkobar gusar. Rasa sakit yang 
menderanya benar-benar telah memancing amarah-
nya. Wajah Pendekar Gila seketika berubah 
menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah 
membara. Dari ubun-ubunnya terpancar sinar ungu. 
Semua mata yang ada di tempat itu membelalak 
lebar, menyaksikan kejadian aneh itu. Bahkan dari 
mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar 
gumaman takjub. 
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah 
penglihatanku?" 
Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar 
Gila saat diusik rasa sakit sehingga membuatnya 
murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya 
menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan 
kemurkaan. 
"Heaaa...!" 
Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya 
berteriak menggelegar, kemudian tubuhnya melesat 
ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun 
Warak Kendra yang merasa dirinya sebagai orang 
paling sakti setelah menelan mustika Pengubah 
Raga, segera menyambuti serangan itu.  
"Yeaaa...!" 
Warak Kendra memusatkan pikirannya dan 
membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar. 
Berkat kesaktian mustika yang mendekam di 
tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah 
menjadi kelelawar raksasa berwarna merah dengan 
mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang 
menyeramkan. 
Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak 
kaget menyaksikan kejadian itu. Mata mereka mem-
belalak ngeri dengan kaki menyurut mundur 
ketakutan 
"Ilmu iblis...!" pekik mereka. 
"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis!" 
desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan 
kejadian yang aneh dan mengerikan itu. 
Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu 
pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak 
cepat, sulit sekali bagi orang-orang di tempat itu 
untuk mengikuti gerakan mereka. 
"Cuiiit..!" 
"Yeaaat..!" 
Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan 
jurus 'Si Gila Menggusur Karang'. Sementara 
Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini 
mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian 
menukik untuk melakukan serangan. 
Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak. 
Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan 
amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka 
hanyalah bertarung untuk menentukan siapa di 
antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam 
ini. 
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-
kannya ke samping, kemudian dihantamkan lurus ke 
arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra. 
Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya 
membentang, kemudian mengepak ngepak, siap 
menampar tubuh lawan 
Glarrr! 
Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis 
Merah melesat ke atas. Sedangkan tubuh Pendekar 
Gila terhempas ke tanah dengan keras. 
"Cuiiit..!" 
"Ugkh...!" 
Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang 
berat rupanya dialami Pendekar Gila. Darah seketika 
menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara 
nyalang. Tubuhnya semakin membara penuh amarah. 
Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di 
tanah, persis seekor monyet yang tengah mabuk. 
Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang 
lebih menyeramkan. 
Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara. 
Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin 
berpendar terang. Bahkan kini mengepulkan asap. 
Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak 
terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan 
sayup-sayup yang hanya dapat ditangkap telinganya. 
"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan 
amarahnya. Berpikirlah yang tenang. Jangan 
mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis! Jika 
pendekar tak mampu mengendalikan nafsunya, 
berarti dia telah kalah...." 
"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila, 
tersentak. 
Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa 
murni dari kedalaman batin untuk menguasai 
kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan 
mengerikan itu surut dalam sekejap, Pendekar Gila 
segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat 
pinggangnya. 
"Cuiiit..!" 
Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di 
angkasa, melesat cepat ke bawah, untuk melakukan 
serangan ke arah Pendekar Gila. 
Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling 
Naga Saktinya. Diarahkan lubang suling ke tubuh 
Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke 
arahnya. 
"Cuit, cuiiit..!" 
Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya 
terasa menyentuh sukma. Menjadikan murid-murid 
Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali 
menangis tanpa sadar. 
Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya 
dengan irama mengiba. Itulah ilmu suling 'Pelayung 
Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa 
sedih. Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan 
meratap-ratap penuh kesedihan. 
Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak 
menyerang Pendekar Gila, seketika terdiam bagai 
terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras, 
semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah 
sesuatu.... 
Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu 
mustika bersinar merah. Batu itu melesat jauh entah 
ke mana. 
Bersamaan dengan keluarnya batu mustika 
Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis 
Merah terjadi. Kelelawar itu kembali berubah menjadi 
sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar. 
Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas. 
Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga 
Saktinya. Setelah menyelipkan kembali sulingnya di 
pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan 
luka dalam di tubuhnya. Tidak lama kemudian 
tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri Ratih 
Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang 
tengah mengerumuni mayat Warak Kendra yang 
hangus. 
"Ha ha ha...! Rupanya pesta telah berakhir! 
Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto, 
mungkin kau bisa membantu membangun kembali 
Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila. 
"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata, 
ketika Pendekar Gila telah melesat meninggalkan 
tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa 
sempat melanjutkan kata-katanya. 
"Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik! 
Ha ha ha...!" seru Pendekar Gila dari kejauhan. 
"Dasar Pendekar Gila...!" sungut Ratih Puri dengan 
wajah merah padam. 
SELESAI