Pendekar Gila 8 - Pedang Penyebar Maut(1)





Suasana Desa Padas Gempal yang terletak di kaki 
Bukit Sigar malam itu nampak hiruk-pikuk. Api 
berkobar-kobar menggapai angkasa. Lalu semakin 
membesar tatkala tertiup angin malam. Jeritan 
ketakutan terdengar menggema, memecah kesunyian malam. 
Setelah menjarah Desa Padas Gempal dan 
merampok harta penduduk, Tiga Setan Rambut Api 
membakar desa itu. Kebiasaan itu tidak pernah 
hilang dari dulu. Itu sebabnya sepak terjang mereka 
cepat diketahui, karena mereka memiliki ciri khas 
tersendiri. Mereka akan membakar desa yang telah 
dirampok. 
Kini ketiga tokoh sesat berpakaian serta berambut 
merah itu telah berada di sebelah timur Desa Padas 
Gempal sambil tertawa-tawa senang, menyaksikan 
hasil dari tindakan mereka yang biadab. Sudah 
merampok penduduk desa, membakar pula 
(Mengenai Tiga Setan Rambut Api, silakan baca serial 
Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im"). 
"Ha ha ha...!" 
"Dasar Setan...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti 
berkelebatnya dua bayangan lelaki. Orang yang di 
depan mengenakan pakaian warna jingga. 
Sedangkan di belakangnya seorang lelaki berbadan 
tegap dan berpakaian coklat tua. Keduanya melesat 
ke arah Tiga Setan Rambut Api yang seketika  
tersentak dan menghentikan tawa mereka. 
Mata Tiga Setan Rambut Api memandang penuh 
selidik ke arah dua lelaki yang baru datang. Lelaki 
yang berbaju jingga berusia sekitar lima puluh tahun 
dan bertubuh tinggi kurus, namun berotot. Seorang 
lagi lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, 
berbadan tegap dengan otot menonjol kekar. 
Wajahnya nampak garang. Tentunya lelaki muda 
berwajah garang ini pengawal lelaki berpakaian 
jingga. 
Wajah lelaki berpakaian lengan panjang berwarna 
jingga nampak memerah karena marah. Lelaki itu 
berkumis panjang melintang. Rambutnya terurai 
dengan ikat kepala berwarna jingga pula. Matanya 
tajam dengan alis mata tipis. Hidungnya mancung. 
Lelaki ini adalah Kepala Desa Padas Gempal yang 
bernama Ki Adi Pamukti. Sedangkan lelaki muda 
bertubuh tegap dengan wajah garang yang menjadi 
pengawalnya bernama Samparan. Dialah jawara di 
Desa Padas Gempal ini. 
"Ha ha ha...!" Tiga Setan Rambut Api kembali 
tertawa terbahak-bahak setelah melihat siapa yang 
datang. 
"Rupanya kau, Kepala Desa Tolol!" dengus Untara. 
Matanya mencorong tajam, menyiratkan kebengisan. 
"Mau apa kau, Orang Tua Tolol?!" sambung Undani, 
tak kalah keras. Matanya juga memandang tajam 
penuh kebengisan. Tangan kanannya yanag 
memegang cambuk, kini digerak-gerakkan. 
"Ha ha ha...! Apakah kau datang untuk memberi 
kami upeti, heh?!" ledek Umbakara, orang termuda 
dari Tiga Setan Rambut Api. 
Napas Ki Adi Pamukti dan Samparan tampak turun 
naik. Amarah di dalam dada mereka bergejolak, 
seakan sulit dibendung lagi. Apalagi jika ingat desa 
mereka yang dibumihanguskan oleh ketiga lelaki dari 
aliran sesat itu. 
"Tiga Setan Rambut Api! Kuakui nama kalian 
memang menyeramkan! Tapi Adi Pamukti tak akan 
gentar menghadapi kalian! Kejahatan kalian harus 
dihentikan!" dengus Ki Adi Pamukti tak kalah gertak. 
Tangannya mengepal, siap menghadapi segala 
kemungkinan yang akan terjadi. Matanya me-
mandang tiga tokoh sesat yang ada di hadapannya 
dengan seksama. Setiap gerak-gerik Tiga Setan 
Rambut Api yang terkenal licik, diperhatikannya. 
"Ha ha ha...! Ucapanmu sungguh hebat, Ki! Hm.... 
Apakah kau kira gampang mengalahkan kami?" tanya 
Untara dengan nada sinis. Seakan merendahkan 
lelaki tua di hadapannya. Bahkan senyumnya ber-
kesan mengejek. 
Undani dan Umbakara turut tertawa terbahak-
bahak, mengejek Ki Adi Pamukti yang masih tampak 
tenang. 
"Kuakui kalian memang bukan iblis sembarangan. 
Namun untuk membela kebenaran dan keadilan, aku 
siap mati!" tegas Ki Adi Pamukti. 
"Hm.... Apa kau mengandalkan lelaki tolol di 
belakangmu? Sehingga kau berani menantang kami?" 
bentak Undani. 
Napas Ki Adi Pamukti semakin memburu. Gigi-
giginya bergemeletuk keras. Matanya berkilat penuh 
amarah. Jari tangannya meremas-remas geram. 
"Bedebah! Kalian telah banyak memakan korban! 
Kalian harus mati!" dengus Ki Adi Pamukti. 
"Ha ha ha...! Bukan sebaliknya, Orang Tua Tolol?!" 
ejek Untara. 
"Kurang ajar! Yeaaat...!" 
Dengan jurus 'Bangau Terbang Mematuk Ikan', Ki 
Adi Pamukti bergerak menyerang Untara. Kedua 
tangannya direntang lebar dengan kaki kanan 
diangkat membentuk siku. Kemudian bagai seekor 
bangau, Ki Adi Pamukti mematukkan tangan kanan 
dan kiri bergantian. Lalu diikuti olch tendangan dan 
cengkeraman. 
Sementara Samparan yang melihat Ki Adi Pamukti 
telah menyerang, tidak tinggal diam. Dia pun melesat 
untuk membantu kepala desanya. 
"Heaaat...!" 
Melihat Samparan menyerang, Undani dan 
Umbakara segera menghadang. Keduanya langsung 
menarik cambuk yang menjadi senjata andalan 
mereka. 
"Mampuslah kau, Tolol!" dengus Umbakara seraya 
melecutkan cambuk ke tubuh Samparan. 
Ctar! 
"Uts!" 
Samparan berusaha mengelak, dan berhasil. Tapi 
dari arah lain Undani telah melanjutkan serangan 
adiknya dengan lecutan cambuk pula. 
"Yiaaat..!" 
Ctarrr! 
"Uts! Hop...!" 
Kembali Samparan dapat mengelakkan serangan 
tersebut. Kemudian, setelah mengeluarkan goloknya, 
Samparan cepat balas menyerang dengan jurus 
'Langsat Belah'. Tubuhnya berputar seraya mem-
babatkan senjatanya ke arah lawan. 
"Yiaaat..!" 
"Uts! Bisa juga kau unjuk gigi, Kerbau Dungu!" 
dengus Umbakara sambil mengelitkan serangan 
lawan, lalu dengan cepat dia kembali menyerang. 
Dengan jurus 'Tapak Setan Neraka' yang dibarengi 
oleh lecutan cambuk, Undani dan Umbakara 
memburu Samparan. 
Ctar, ctar...! 
Bret! 
"Aaakh...!" 
Samparan memekik keras. Kepalanya tengadah, 
ketika tubuhnya terbabat cambuk kedua lawannya. 
Matanya membelalak lebar. Di punggung dan 
dadanya menancap jarum-jarum maut yang keluar 
dari cambuk di tangan Undani dan Umbakara. Tubuh 
Samparan ambruk dengan nyawa melayang. 
"Ha ha ha...! Ternyata kerbau dungu ini hanya 
begini kemampuannya!" kata Undani dengan suara 
angkuh. 
Sementara itu pertarungan antara Ki Adi Pamukti 
dengan Untara masih berlangsung seru.  
"Hih! Heaaat...!" 
Untara berkelit dengan jurus 'Bayangan Arwah'. 
Disusul dengan serangan keras yang menggunakan 
jurus 'Tapak Setan Neraka'. Tubuhnya berkelit begitu 
cepat laksana bayangan. Sedangkan tepakan 
tangannya mampu mengeluarkan deru angin yang 
keras. 
"Uts!" Ki Adi Pamukti tersentak kaget. Dengan 
cepat dia mengepakkan tangan kiri ke bawah untuk 
menangkis tepakan tangan lawan. Kemudian secepat 
itu pula, Ki Adi Pamukti melancarkan serangan 
dengan patukan tangan kanannya ke wajah lawan. 
Wut! 
"Uh! Ets...!" 
Tubuh Untara tersurut ke samping. Kakinya 
ditekuk membentuk siku. Dengan tetap mengguna-
kan jurus semula, Untara kembali menyerang. 
Sementara Untara menghadapi Ki Adi Pamukti, 
kedua adiknya tampak tersenyum-senyurn sambil 
menyaksikan pertarungan itu. 
"Ayo, Kakang! Habisi saja orang tua tolol itu!" seru 
Undani dan Umbakara memberi semangat pada 
kakaknya yang terus menyerang dengan gempuran-
gempuran dahsyat, membuat Ki Adi Pamukti 
terdesak. 
"Hiaaat...!" 
Dengan jurus 'Terkaman Setan Merobek Nyawa', 
Untara terus berusaha merangsek Ki Adi Pamukti 
Namun orang tua itu dengan cepat berkelit meng-
gunakan jurus 'Bangau Terbang Membelah Angin' 
yang dilanjutkan dengan jurus 'Gempuran Paruh 
Bangau'. 
"Yiaaat...!" 
Tangan Ki Adi Pamukti bergerak laksana paruh 
bangau, mematuk ke sana kemari dengan cepat. 
Sasarannya kini tertuju ke dada dan wajah lawan. 
Kakinya juga tidak mau diam, menyodok ke perut 
lawan. 
"Heaaat..!" 
Ki Adi Pamukti mengarahkan saru tendangan ke 
perut lawan. Namun dengan cepat Untara menggeser 
tubuh ke sampjng, dilanjutkan dengan jotosan ke 
wajah lawan. 
"Heit!" 
"Uts...!" 
Ki Adi Pamukti mengelak dengan menekuk leher 
ke samping kanan, disertai dengan menggeser 
kakinya ke kanan. Kemudian dengan cepat tubuhnya 
dirundukkan ke bawah. Disusul dengan sebuah 
jotosan ke arah perut lawan dengan jurus 'Paruh 
Bangau Mematuk Ikan'. Tangan Ki Adi Pamukti yang 
meruncing, menusuk ke perut dan ulu hati lawan 
dengan cepat 
"Hiaaat...!" 
Untara tersentak kaget. Segera tubuhnya mengeHt 
dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat 
tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan 
tangan kanannya dengan cepat pula menghantam 
dengan pukulan 'Sandra Pemecat Nyawa' ke dahi Ki 
Adi Pamukti yang tengah merunduk. 
Wut! 
Angin pukulan panas menderu ke arah kening Ki 
Adi Pamukti, membuat orang tua itu tersentak kaget. 
Matanya membelalak, menyaksikan telapak tangan 
Untara kini membara bagai dibakar api. 
"Uhhh...!" keluh Ki Adi Pamukti. 
Dengan cepat Kepala Desa Padas Gempal itu 
berusaha mengelakkan serangan lawan. Namun 
serangan lawan begitu cepat, seperti tidak memberi 
kesempatan bagi Ki Adi Pamukti untuk dapat lepas 
dari ancaman maut Ke mana pun Ki Adi Pamukti 
mengelak, Untara terus memburunya. 
Ki Adi Pamukti benar-bena terdesak oleh serangan 
yang demikian gencar. Apalagi yang menyerang 
bukan orang sembarangan. Lawannya adalah 
seorang dari Tiga Setan Rambut Api, yang namanya 
cukup terkenal di rimba persilatan. Meski begitu, Ki 
Adi Pamukti tampaknya tidak mau mengalah begitu 
saja. Tubuhnya terus bergerak mengelakkan 
serangan-serangan lawan. 
"Ayo, Kakang! Habisi dia...!" seru Umbakara dengan 
wajah gemas, bagai tak sabar melihat kakaknya yang 
belum juga menyudahi pertarungan. 
"Ambil saja cambukmu, Kakang!" timpal Undani, 
juga tak sabar melihat pertarungan yang berlarut-larut 
dan kelihatannya akan memakan waktu cukup lama. 
Untara juga merasa jengkel karena lawannya yang 
semula dianggap tidak memiliki apa-apa, ternyata 
mampu menghadapinya sampai puluhan jurus. 
"Keparat! Orang tua ini rupanya berisi juga," geram 
Untara. Segera tangan kanannya melepas pukulan ke 
dada lawan, disusul dengan tendangan ke 
selangkangan. Sedangkan tangan kirinya menyikut ke 
tulang iga lawan. Sebuah jurus yang sangat cepat 
bernama 'Bahana Merenggut Nyawa', kini dikeluarkan 
oleh Untara dalam usaha menyudahi pertarungan itu. 
"Uts! Hop...!" 
Ki Adi Pamukti yang tanggap akan keadaan itu, 
segera melompat ke belakang, mengelakkan 
serangan lawan. Kemudian dengan cepat kembali 
menggempur dengan jurus 'Sambaran Bangau Sakti'. 
Tangannya mengepak ke samping. Salah satu 
kakinya diangkat membentuk siku. Kemudian dengan 
cepat, tangan kanan dan kirinya bergerak menyambar 
dengan pukulan-pukulan keras, ditunjang oleh 
tendangan dan gerakan mengelak.  
"Hiaaat..!" 
*** 
Untara terus menggebrak dengan jurus-jurus 
saktinya, berusaha secepat mungkin untuk 
menyudahi pertarungan itu. Tetapi Ki Adi Pamukti 
nampaknya tidak mau dihabisi begitu saja. Tubuhnya 
pun terus bergerak mengelakkan serangan lawan, 
disusul dengan serangan balasan yang tidak kalah 
cepat 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Undani dan Umbakara tak sabar menyaksikan 
pertarungan antara kakaknya melawan Ki Adi 
Pamukti. Mereka juga cemas, kalau-kalau warga desa 
yang saat itu tengah panik oleh kobaran api akan 
datang membantu kepala desanya. Tentu mereka 
akan semakin repot kalau warga desa membantu. 
"Ah! Mengapa lama sekali, Kakang! Ambil saja 
cambukmu!" dengus Undani, merasa tidak sabar lagi 
melihat pertarungan kakaknya melawan Ki Adi 
Pamukti yang berlangsung alot. Sesekali matanya 
melihat ke arah Desa Padas Gempal yang hiruk-pikuk 
oleh jeritan histeris warga desa yang rumahnya 
terbakar. 
Merasa serangan-serangannya tidak juga 
menghasilkan kemenangan dan dirasa lawan cukup 
tangguh, Untara segera melolos cambuknya. Dengan 
penuh amarah, cambuknya diputar di atas kepala. 
dengan jurus 'Lecutan Cambuk Buana', cambuknya 
dihantamkan ke arah Ki Adi Pamukti.  
Wut! 
Ketika cambuk Untara nyaris menghantam tubuh 
Ki Adi Pamukti, sebuah bayangan putih berkelebat 
dengan tangan menggenggam pedang yang 
mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan, dan 
membabat cambuk yang masih berada di udara. 
"Hiaaat!" 
Prat! 
Tiga Setan Rambut Api tersentak dengan mata 
membelalak, menyaksikan cambuk di tangan Untara 
putus menjadi dua, karena terbabat pedang di tangan 
seorang gadis Cina yang sangat mereka kenal. 
Di hadapan Tiga Setan Rambut Api dan Ki Adi 
Pamukti kini berdiri seorang gadis cantik dengan 
rambut digelung dua ke atas. Pakaian yang 
dikenakan gadis Cina yang cantik itu berwarna putih. 
Tubuhnya langsing semampai. Matanya bening, 
namun memandang tajam dan tidak terlalu sipit. 
Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya yang 
mungil mencibir. 
"Mei Lie?!" seru Tiga Setan Rambut Api kaget 
"Hm...." 
Gadis cantik yang memang Mei Lie itu tersenyum 
sinis. Matanya memandang tajam Tiga Setan Rambut 
Api yang masih tidak mengerti, mengapa Mei Lie atau 
titisan Dewi Kuan Im yang dulu bersekutu dengan 
mereka tiba-tiba menghalangi. 
"Kalian memang iblis! Kalian harus disingkirkan 
dari dunia ini!" bentak Mei Lie. 
Mata Tiga Setan Rambut Api semakin membelalak 
mendengar kata-kata Mei Lie. Kening mereka ber-
kerut, semakin tidak mengerti akan tindakan gadis 
cantik bermata agak sipit itu. 
"Mei Lie, kami harap kau tidak usah turut campur 
urusan kami! Jangan sok pahlawan! Singo Edan saja 
kini berbuat tidak baik!" hardik Untara sinis sambil 
mencibir. 
"Jangan bawa-bawa nama Singo Edan! Orang yang 
kau lihat di Lembah Lamur bukan Singo Edan!' sentak 
Mei Lie gusar. Matanya masih memandang tajam 
penuh kebencian. Tangan kanannya masih me-
megang Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar 
merah kekuning-kuningan. 
Mata Tiga Setan Rambut Api kembali membelalak, 
setelah mengetahui bahwa orang yang mirip dengan 
Singo Edan di Lembah Lamur dulu ternyata bukan 
Singo Edan (Mengenai Lembah Lamur, silaka baca 
serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Kuan Im"). 
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" bantah 
Undani. 
"Ya! Kami sedikit banyak tahu akan dia," sambung 
Umbakara. 
"Huh! Siapa pun dia, aku tak peduli! Yang pasti, 
aku datang untuk menyingkirkan kalian!" bentak Mei 
Lie geram. Jika ingat akan kematian Nyi Bangil dna 
Lira Kanti, dia menjadi amat murka. Bagaimana tidak, 
kalau kedua orang yang selama ini baik padanya 
harus mati di Lembah Lamur oleh orang-orang dari 
golongan hitam. 
Tiga Setan Rambut Api tertawa mendengar 
ancaman Mei Lie. Tampaknya mereka menganggap 
enteng gadis Cina itu. 
"Ha ha ha...! Omonganmu tinggi sekali, Mei Lie! 
Hm, apakah tidak sebaiknya kau ikut kami? Menjadi 
istriku?" ejek Untara sambil mengelus-elus dagunya 
Hal itu semakin membuat Mei Lie marah. 
"Akan kubuktikan! Kisanak, minggirlah! Biar tiga 
setan ini kukirim ke neraka, tempat asal mereka...," 
kata Mei Lie pada Ki Adi Pamukti yang menurut 
menepi 
Mei Lie dengan mata tajam memandang lekat Tiga 
Setan Rambut Api yang masih tersenyum nakal. 
Mereka memandang dengan sinar mata meremeh-
kan, menganggap gertakan Mei Lie hanya pantas bagi 
anak kecil. Mereka bagai tidak memandang Pedang 
Bidadari di tangan Titisan Dewi Kuan Im itu. 
"Bersiaplah!" dengus Mei Lie sambil menggerakkan 
Pedang Bidadari dengan jurus 'Tebasan Pedang 
Memenggal Gunung'. Pedangnya dihunus lurus ke 
atas di depan dada, kemudian digerakkan ke 
samping kanan. Dilanjutkan dengan gerakan me-
menggal setinggi perut 
Wut! 
"Mei Lie, apa tidak salah kau memainkan pedang? 
Sepantasnya kau berada di atas tempat tidur!" ujar 
Untara sambil tertawa-tawa. 
Mei Lie semakin marah mendengar ucapan yang 
bernada kotor itu. Dengan mendengus, pedangnya 
digerakkan. Lalu, didahului teriakan menggelegar, 
Mei Lei pun berkelebat menyerang. 
"Yiaaat..!" 
Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat 
dengan jurus 'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'. 
Dari pedang itu terpancar sinar merah kekuning-
kuningan yang menyilaukan, mengarah ke tubuh 
lawan. 
"Awas!" seru Untara menyadarkan kedua adiknya 
saat menyaksikan serangan lawan yang begitu cepat 
dan gesit. 
Mata Tiga Setan Rambut Api kini membelalak, 
Menyadari kekeliruan mereka dengan menganggap 
enteng Mei Lie. Kini mereka melihat bagaimana gadis 
Cina itu ternyata mampu menguasai jurus-jurus dari 
'Ilmu Pedang Bidadari' yang sangat sempurna. 
"Celaka! Dia benar-benar telah menguasai jurus-
jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'!" seru Undani. 
Dengan cepat Tiga Setan Rambut Api segera 
mengelakkan serangan Mei Lie. Tubuh mereka ber-
lompatan ke belakang sambil bersalto. Lalu dengan 
cepat pula, mereka menyerang dengan jurus 'Tiga 
Serangkai Cambuk Buana'. 
"Heaaat..!" 
Wut! 
Cambuk di tangan mereka berputar di atas kepala, 
kemudian dengan cepat dilecutkan ke tubuh Mei Lie. 
Ctar!  
"Uts!" 
Mei Lie berkelit, disertai babatan pedang ke 
cambuk yang menyabet ke arahnya. Pedangnya 
dibelitkan pada ujung-ujung cambuk itu. 
"Hop! Kena...!" 
Mei Lie segera menyentakkan pedangnya dengan 
keras, membuat cambuk ketiganya terputus menjadi 
dua. Kemudian sebelum Tiga Setan Rambut Api sadar 
dari rasa kaget, Mei Lie kembali menyerang dengan 
jurus 'Tebasan Pedang Membelah Karang'. 
Pedang di tangan Mei Lie bergerak menyilang lalu 
tegak lurus ke atas. Disusul dengan tebasan lurus 
dari atas ke bawah, seakan bermaksud membelah. 
Hal itu membuat Tiga Setan Rambut Api semakin 
tersentak kaget. Tubuh mereka bergerak hendak 
mengelak namun Pedang Bidadari di tangan Mei Lie 
lebih cepat menebas ke arah mereka. 
Cras!  
"Aaa...!" 
Umbakara menjerit keras saat tubuhnya terbabat 
Pedang Bidadari. Anehnya, tubuh orang termuda dari 
Tiga Setan Rambut Api itu tidak mengalami apa-apa. 
Namun sesaat kemudian, tubuh Umbakara terbelah 
menjadi dua. Itulah kehebatan Pedang Bidadari 
dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Korban yang 
terbabat tak akan mengeluarkan darah, karena darah 
di dalam tubuhnya telah mengering oleh panasnya 
pedang. 
Untara dan Undani, serta Ki Adi Pamukti yang 
menyaksikan kejadian itu tersentak. Baru kali ini 
mereka menyaksikan sebuah jurus yang aneh 
sekaligus menakjubkan. 
Nyali Untara dan Undani seketika ciut 
menyaksikan adiknya dengan mudah dikalahkan. 
Terlebih saat menyaksikan kehebatan ilmu pedang 
lawan yang semula dianggap enteng. 
"Mungkin benar dia Titisan Dewi Kuan Im, Kakang," 
bisik Undani dengan tubuh dipenuhi keringat dingin. 
"Buktinya ilmu pedangnya sangat hebat." 
"Ya! Kurasa juga begitu," sahut Untara, tak kalah 
ngeri setelah melihat jurus lawan yang dahsyat. 
"Kita tak akan mampu menghadapinya, Kakang. 
Jangankan kita, guru kita saja mungkin berpikir tujuh 
kali," kata Undani. 
"Lebih baik kita pergi, sebelum nyawa kita 
melayang seperti Umbakara." 
"Ayo, Kakang. Mumpung dia tidak menyerang," 
ajak Undani. 
Dua tokoh sesat itu berusaha lari meninggalkan 
lempat ini, namun dengan cepat Mei Lie berkelebat 
mengejar. 
"Setan! Mau ke mana kalian! Hiaaat...!" Dengan 
pedang masih di tangan, tubuh Mei Lie berkelebat 
mengejar keduanya yang masih terus berlari. Dan 
tahu-tahu Mei Lie telah berada di depan Untara dan 
Undani yang tersentak. 
"Tak akan kubiarkan kalian hidup!" bentak Mei Lie 
garang. 
Kedua tokoh sesat itu saling berpandangan. 
Kemudian sambil mengedipkan mata, keduanya 
bergerak melabrak ke arah Mei Lie dengan nekat. 
Cambuk mereka yang tinggal sepotong masih diguna-
kan untuk menyerang. 
"Hiaaat...!" 
Swing, swing...! 
Puluhan jarum tiba-tiba keluar dari potongan 
cambuk di tangan Untara dan Undani, dan menderu 
ke arah Mei Lie. 
"Uts! Licik!" maki Mei Lie sambil bergerak 
mengelak, kemudian dengan cepat pedangnya 
diputar, membuat pedang itu laksana menghilang. 
Kini yang ada hanyalah sinar merah kekuning-
kuningan yang melindungi tubuh Mei Lie. 
Trang, trang! 
Jarum-jarum yang hendak menyerang Mei Lie, 
seketika rontok terkena hantaman Pedang Bidadari. 
Tak ada satu pun yang dapat bersarang di tubuh Mei 
Lie. 
"Kalian harus mampus! Yiaaat...!" 
Mei Lie yang semakin marah mendapatkan 
serangan jarum-jarum beracun, kini menggerakkan 
Pedang Bidadari dengan jurus andalannya. Jurus 
pamungkas bernama 'Pedang Tebasan Batin' yang 
sangat dahsyat 
Tangannya bergerak ke samping, lalu lurus ke 
atas. Diteruskan dengan memutar pedang. Matanya 
terpejam, kemudian dengan gerakan yang sulit diikut 
mata lawan, Mei Lie menebaskan pedangnya. 
Wut! 
"Aaakh...!" 
Untara dan Undani memekik keras. Tubuh mereka 
memang masih berdiri tegak. Namun ketika angin 
bertiup, tubuh mereka seketika lebur menjadi debu 
yang beterbangan. 
Mei Lie menundukkan kepala. Dari matanya 
meleleh air mata. Dia menangis, teringat kematian 
para pendekar di Lembah Lamur. Terutama kematian 
Nyi Bangil dan Lira Kanti. 
Pedang Bidadari dimasukkannya ke dalam sarung. 
Dengan air mata masih beriinang, Mei Lie melesat 
meninggalkan tempat itu. 
"Nona Pendekar, tunggu!" seru Ki Adi Pamukti 
berusaha mencegah Mei Lie pergi, tapi gadis Cina 
yang cantik itu telah menghilang dalam kegelapan 
malam. 
*** 
Kemunculan gadis Cina dengan pedang saktinya yang 
telah membunuh Tiga Setan Rambut Api, membuat 
namanya seketika menjadi bahan pembicaraan 
setiap orang di Desa Padas Gempal. Mereka pada 
umumnya menyanjung gadis cantik itu. Karena telah 
membela mereka dari ketelengasan Tiga Setan 
Rambut Api yang telah membakar desa mereka. 
Lebih dari itu, penduduk Desa Padas Gempal 
menjuluki gadis jelita itu dengan sebutan yang cukup 
membuat tokoh-tokoh golongan hitam mengernyitkan 
alis. Sebutan yang mereka berikan adalah Bidadari 
Pencabut Nyawa. 
Sinar mentari baru saja menyapu permukaan 
bumi. Sebuah kedai yang terletak di sebelah utara 
Desa Parang Gandrung baru saja dibuka oleh 
pemiliknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki 
tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kesenjangan 
usianya dapat dilihat dari kerutan di wajahnya yang 
memiliki mata kelabu dan hidung yang mancung. 
Dapat juga dilihat dari rambut dan kumis putih atau 
tubuhnya yang agak bungkuk. Dia mengenakan baju 
lengan panjang tanpa kerah berwarna biru tua. 
Letak kedai itu berada di antara dua kebun yang 
tidak begitu luas dengan pohon-pohonnya yang asri. 
Hal itu menjadikan suasana di sekitar kedai menjadi 
terasa indah. Jika pagi hari, udara terasa begitu sejuk. 
Sedangkan siang hari, udara di sekitar tempat itu 
terasa segar, tidak panas, karena di sekeliling kedai 
tumbuh pepohonan yang rindang. Di depan kedai 
tumbuh pohon asam yang besar dan rindang, 
semakin menambah keindahan tempat itu. 
"Baru buka, Ki?" tanya Sena Manggala atau 
Pendekar Gila. Tingkah lakunya masih seperti orang 
gila, membuat pemilik kedai mengerutkan kening. 
Sena memandang ke atas, kemudian kepalanya 
menengok ke kanan dan kiri. Mulutnya masih 
cengengesan, membuat orang tua pemilik kedai yang 
bernama Ki Jiung semakin mengerutkan kening. 
"Ada apa, Anak Muda? Kau hendak meminta 
makan?" tanya Ki Jiung, menyangka kalau pemuda di 
hadapannya benar-benar orang gila. Tapi kening lelaki 
tua itu tambah berkerut, menyaksikan pakaian bagus 
pemuda itu. 
"Aneh, tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi 
pakaiannya rapi dan bagus," gumam Ki Jiung, merasa 
heran dengan penampilan pemuda itu. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, mendengar pertanyaan 
Ki Jiung tadi. Diambilnya bulu burung dari ikat 
pinggang, kemudian dengan tertawa-tawa kupingnya 
dikorek-korek. Hal itu membuat Ki Jiung semakin 
heran. 
"Apa yang lucu, Anak Muda?" 
"Hi hi hi...! Kau, Ki. Lucu sekali kau...," kata Sena 
masih mengorek kuping dengan bulu burung. 
Ki Jiung semakin terheran-heran, mendengar 
ucapan Sena yang mengatakan dia lucu. Matanya 
memandangi sekujur tubuhnya, berusaha mencari hal 
yang lucu. Tapi tetap saja tidak ditemukannya. 
Ki Jiung kembali memandang Sena. Diamatinya 
pemuda itu dengan seksama, namun dia masih 
belum mengerti. Aneh! Kata Ki Jiung dalam hati. 
"Anak muda, kenapa kau tertawa?" tanya Ki Jiung 
masih dengan kening berkerut. 
"He he he...! Ah, tidak apa-apa, Ki. Teruskanlah 
membuka kedaimu. Aku lapar sekali," ucap Sena 
sambil membantu memberesi perabotan kedai. Hal 
itu membuat hati Ki Jiung semakin bertanya-tanya. 
Terlebih ketika melihat cara kerja Sena yang sangat 
cepat dan cekatan. Hingga dalam sekejap saja, 
semuanya sudah beres. Padahal kalau dikerjakan 
oleh Ki Jiung perlu waktu yang cukup lama. 
"Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?" tanya Jiung 
dengan mata membelalak, menyaksikan dagangan 
serta beberapa bangku panjang yang semula berada 
di atas meja kini telah siap di samping meja. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kemudian 
dengan acuh dia duduk di salah satu bangku sambil 
bersandar. Tangannya masih mengorek telinga 
dengan bulu burung. Matanya terpejam-pejam, 
merasakan kenikmatan. 
Ki Jiung melangkah ke arah Sena dengan 
membawa makanan berupa sepiring nasi lengkap 
dengan lauknya. 
"Ini untukmu, Anak Muda," kata Ki Jiung. Sena 
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Terima kasih, Ki. Oh, ya. Berapa semuanya tanya 
Sena sambil mengambil uang di ikat pinggangnya. 
"Cukupkah uang segini?" 
Ki Jiung mengerutkan kening, menyaksikan dua 
keping uang emas yang dikeluarkan Sena.  Dia 
semakin bingung dengan pemuda yang bertingkah 
laku gila itu. Dari mana pemuda ini memiliki uang 
emas? Tanya hatinya. Ki Jiung jadi sangsi kalau 
pemuda bertingkah laku gila itu pemuda gila biasa. 
"Hi hi hi…. Kenapa diam, Ki? Apa ada setan lewat?" 
tanya Sena seraya menyerahkandua keeping uang 
emas pada lelaki tua yang hanya mampu menautkan 
alis, tanpa dapat berbuat apa-apa. 
Dengan masih tertegun-tegun, Ki Jiung me-
mandang pemuda yang kini dengan acuh menyantap 
makanan. 
Ketika Sena menyantap makanannya, masuk lima 
orang berpakaian tambalan. Kelimanya memegang 
tongkat kayu berwarna hitam. Mereka tidak lain Lima 
Pengemis Tongkat Hitam. Namun kini kehadiran 
mereka tidak bersama ketuanya, Pengemis 
Tempurung Sakti. 
"Kami minta makan!" seru Ketua Perkumpulan 
Pengemis dari selatan yang bernama Jalantra. 
Dengan rasa was-was, Ki Jiung yang sudah 
mengenal kelima orang itu segera menghampiri. 
Wajah lelaki tua itu menggambarkan ketegangan, 
seakan tengah berhadapan dengan lima hantu yang 
menyeramkan. Tubuhnya membungkuk-bungkuk, 
menghampiri Lima Pengemis Tongkat Hitam yang 
tindakannya terkenal beringas. Tidak seperti 
pengemis lainnya (Mengenai Lima Pengemis Tongkat 
Hitam, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 
episode 'Titisan Dewi Kuan In') 
"Ki!" seru Sena, ketika Ki Jiung hendak mendekati 
Lima Pengemis Tongkat Hitam. "Ke sini sebentar!" 
Ki Jiung tampak bingung. Tadi dia dipanggil oleh 
Lima Pengemis Tongkat Hitam. Kini dia kaget 
mendengar seruan Sena.  Pemuda yang bertingkah 
seperti orang gila yang semula nampak konyol, kini 
terdengar berwibawa dengan seruannya yang lantang. 
Bukan hanya Ki Jiung yang kaget mendengar suara 
Sena, Lima Pengemis Tongkat Hitam pun begitu. 
Mereka sebenarnya sudah bertarung dengan 
Pendekar Gila, tapi rupanya mereka tidak tahu kalau 
pemuda berambut panjang yang sedang makan itu 
adalah Sena. 
"Hm.... Rupanya pemuda edan itu ada di sini!" 
dengus Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara 
yang bernama Sampra. Wajahnya nampak sinis, 
mencerminkan ketidaksukaannya pada Pendekar 
Gila. 
"Ya! Tak kami sangka, akhirnya kami harus ber-
temu dengan Pendekar Gila!" sambung Gandrana 
dengan suara yang tidak kalah sinis. 
"Kalau di Lembah Lamur dulu kita belum melihat 
sejauh mana ilmunya. Mengapa tidak sekarang saja?" 
tambah Jantrik. 
Sena tertawa tergelak gelak sambil menggerak-
gerakkan kepalanya dengan cepat. 
"Ha ha ha...! Ki, mengapa lalat-lalat busuk itu kau 
biarkan masuk? Bukankah sebaiknya kau usir saja?" 
ledek Sena dengan acuh sambil terus menyantap 
makanannya. 
Lima Pengemis Tongkat Hitam yang dikatakan lalat 
busuk serentak membelalak marah. Mereka men-
dengus kesal. 
"Kurang ajar! Rupanya kegilaanmu harus kami 
hentikan!" bentak Jalantra. Kemudian dengan penuh 
amarah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah 
selatan ini bergerak menyerang. Tongkatnya disodok-
kan ke punggung Pendekar Gila. 
"Huh! Lalat busuk ini rewel sekali, Ki!" ujar Sena 
seraya melemparkan piring ke arah Jalantra. 
Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan itu 
tersentak. Segera niatnya diurungkan untuk 
menyodokkan tongkat ke punggung lawan. Malah kini 
tubuhnya bersalto mengelitkan serangan lawan 
dengan mulut mencaci-maki. 
"Pemuda edan!" 
"Ha ha ha...! Lihat, Ki. Ada lalat yang kebingungan 
ditampar oleh piring!" 
Sena tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari 
duduknya, berdiri sambil cengengesan memandang 
keempat ketua perkumpulan pengemis lainnya. 
"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah 
Gila!" dengus Gandrana sengit. 
Sena kembali tertawa riuh rendah. Tangan kirinya 
menepuk-nepuk pantat. Sedangkan tangan kanannya 
dikibas-kibaskan. Seketika nasi yang melekat di jari-
jari tangannya berhamburan ke arah Lima Pengemis 
Tongkat Hitam. 
"Kunyuk! Kubunuh kau!" maki Jantruk, Ketua 
Perkumpulan Pengemis daerah barat sambil ber-
kelebat menyerang, disusul oleh keempat rekannya. 
Dengan jurus 'Lima Pusaran Angin Merobohkan 
Dinding Karang', kelimanya bergerak menyerbu. 
"Hiaaat..!" 
Pendekar Gila masih tertawa-tawa. Bahkan kini dia 
nungging sambil memperdengarkan suara kentut dari 
mulutnya. Lalu dengan tertawa-tawa, Sena bertepuk 
tangan. 
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali, Lalat Busuk! Ha ha 
ha...!" 
Tongkat Lima Pengemis Tongkat Hitam bergerak 
menyambar ke seluruh tubuh Sena. Jantruk ke arah 
kepala. Jalantra ke arah leher. Gandrana ke arah 
dada dan punggung. Sampra ke arah perut. 
Sedangkan Jantrik menyerang ke bagian pusar ke 
bawah. 
Gerakan mereka dalam menyerang begitu cepat 
dan tergabung dengan teratur, susul menyusul. Hal 
itu akan membuat lawan kesulitan untuk dapat 
melepaskan diri dari kepungan serangan mereka. 
"Wau, apa lagi yang kalian lakukan, Kecoa? Hi hi 
hi..!" 
Dengan berjumpalitan kian kemari, Sena 
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Kera Gila 
Menyambar Buah'. Sena bergerak bagai seekor kera 
yang berayun dari satu pohon ke pohon lain. 
Tangannya sesekali mencengkeram, dengan kaki 
bergantian menjejak ke arah lawan.  
"Haiiit..!" 
Lima Pengemis Tongkat Hitam segera 
mengelakkan serangan Sena dengan jurus 'Lima 
Angin Balik'. Tubuh mereka berputar laksana angin. 
Kalau mulanya menyerang, kini berbalik mengelakkan 
serangan lawan. Kemudian dengan cepat pula, 
kelimanya kembali melakukan gempuran. 
"Yeaaat!" 
Lima Pengemis Tongkat Hitam menyodokkan ujung 
tongkat masing-masing ke arah Pendekar Gila. 
Dengan cepat, Pendekar Gila melenting ke udara. 
Lalu melancarkan serangan dengan jurus 'Dewa 
Angin Menyapu Banteng'. Dengan jari-jari tegak, 
tangannya menghantam ke arah kepala lawan 
dengan gerakan kilat 
"Heaaa...!"  
Plak! 
"Ukh...!" Gandrana memekik. Kepalanya langsung 
pecah. 
Kejadian itu membuat Ki Jiung yang sejak tadi 
melihat pertarungan dan belum tanu siapa pemuda 
yang bertingkah gila, membelalakkan mata. Dari 
mulutnya terlontar pekikan kaget. Tubuhnya gemetar 
menyaksikan kejadian yang mengerikan itu. 
"Ohhh...!" Ki Jiung segera menyembunyikan 
wajahnya di balik telapak tangan, tak berani 
menyaksikan pertarungan yang sangat mengerikan 
itu. 
"Pemuda edan! Kau harus mampus!" dengus 
Sampra. 
"Ya! Kau telah membunuh salah seorang dari 
kami! Kau harus mampus!" tambah Jantruk. 
Sena tertawa tergelak-gelak mendengar ancaman 
mereka. Dengan menepuk-nepuk pantat, Sena 
memonyongkan mulutnya. 
Brut! 
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali! Kenapa kalian 
minta mati?" tanya Sena. "Padahal orang mati minta 
hidup." 
Keempat Ketua Perkumpulan Pengemis itu 
semakin marah mendengar omongan Pendekar Gila. 
Kemudian dengan mendengus marah, mereka 
kembali menyerbu. 
"Hiaaat..!" 
Empat tongkat di tangan mereka bergerak 
mengepung dari empat penjuru mata angin. Menusuk 
dan menyambar dengan keras ke tubuh Pendekar 
Gila dengan jurus 'Sapuan Empat Penjuru Angin'. 
Pukulan tongkat itu menciptakan angin keras yang 
menerpa ke arah Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, lalu dengan 
menungngkan pantatnya, dia bergerak mengelakkan 
serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan irama 
yang aneh. Sesekali tangannya menepuk ke dada 
lawan. 
*** 
Prak! Satu tongkat kayu hitam terkena tepakan 
tangan Pendekar Gila. Tongkat di tangan Jalantra 
patah menjadi dua, sedangkan pemiliknya terhuyung-
huyung lengan wajah pucat. Tidak hanya sampai di 
situ, Pendekar Gila terus menggebrak dengan jurus 'Si 
Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk 
laksana menari, dan tangannya sesekali menepuk ke 
dada lawan. 
"Heaaa...!"  
Plak! 
"Ukh...!" Jalantra mengeluh. Dadanya terasa pecah 
akibat tepakan tangan Pendekar Gila. Asap mengepul 
dari dadanya. Matanya membelalak. Dari sudut 
bibirnya meleleh darah segar. 
Mulut Jalantra meringis, menahan rasa sakit yang 
tak terkirakan. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian 
ambruk tanpa nyawa. 
Ketiga Ketua Perkumpulan Pengemis lainnya 
segera melompat mundur, menyaksikan Jalantra 
tewas di tangan lawannya yang kini masih 
cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat. Tubuhn-
ya berjingkrak-jingkrak tak ubahnya seekor monyet. 
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin mati?" tanya 
Sena, masih dengan tingkah laku seperti kera. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Ki Jiung yang menyaksikan bagaimana pemuda 
bertingkah laku gila itu dalam beberapa gebrakan 
saja mampu membunuh dua dari Lima Pengemis 
Tongkat Hitam, amat terperangah. Dia tidak 
menyangka kalau pemuda itu ternyata berilmu tinggi. 
Pantas saja dia bekerja sangat cepat. Gerakannya 
ternyata sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat 
daganganku tersusun rapi olehnya. Puji Ki Jiung 
dalam hati. Dengan takut-takut matanya menyaksikan 
pertarungan yang sangat seru dan mendebarkan itu. 
Tiga Ketua Perkumpulan Pengemis itu kembali 
melabrak Pendekar Gila. Rupanya kematian dua 
rekannya tidak membuat ketiganya jera. Malah 
mereka bertambah beringas dalam melakukan 
serangan.  
"Kau harus mampus, Bocah Edan!" maki Jantrik 
"Kuremukkan batok kepalamu!" sambung Jantruk. 
"Meski namamu telah menjulang tinggi, pantang 
bagi kami untuk lari! Heaaat...!" 
Tubuh Sampra dengan cepat melesat melakukan 
serangan. Tongkat hitam di tangannya bergerak 
menyambar dan menusuk. Kadangkala memukul dari 
atas ke bawah, berusaha meremukkan batok kepala 
Pendekar Gila. 
Melihat rekannya menyerang, kedua pengemis 
lainnya turut meluruk maju. Kini dengan jurus 'Tiga 
Sakra Tongkat Maut' ketiganya bergerak menusuk 
dan membabat ke arah Sena. Serangan mereka 
sangat cepat, menimbulkan deru angin yang 
menyambar-nyambar.  
Srrrt! 
Sena segera menarik Suling Naga Sakti dari ikat 
pinggangnya. Kemudian dengan sigap, sulingnya 
diputar ke arah tongkat di tangan para pengemis yang 
menyerangnya, membentuk setengah lingkaran. 
Sedangkan tangannya memukul dengan telapak 
tangan menggunakan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. 
Tak! 
Prak! 
Tongkat kayu hitam di tangan Jantruk dan Sampra 
patah menjadi dua. Sedangkan tangan Pendekar Gila 
masih bergerak memukul ke dada lawan. 
Begk! 
"Ukh...!" Jantrik mengeluh pendek. Tangan kirinya 
mendekap dada yang terasa remuk akibat pukulan 
lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang 
dengan mulut meringis. Darah dari sudut bibir pun 
menyapu dagunya dengan warna merah. 
Sesaat tubuh Jantrik meregang, lalu ambruk 
dengan nyawa melayang. 
Menyaksikan kematian rekan mereka, nyali kedua 
pengemis lainnya mendadak ciut. Jiwa keduanya 
bagai dihimpit oleh ketakutan. 
Kedua orang itu bermaksud lari. Namun dengan 
cepat Pendekar Gila segera meniup Suling Naga 
Sakti. Suara sulingnya mengalun dengan merdu dan 
mendayu-dayu. 
Keanehan terjadi! Tubuh kedua pengemis itu 
seketika meregang kaku, terpaku di ambang pintu 
masuk kedai bagai arca. 
"Ha ha ha...! Lucu... lucu sekali kalian! Mengapa 
kalian seperti patung?" tanya Sena sambil tertawa 
nyaring. Sedangkan mata Ki Jiung membelalak, 
menyaksikan kejadian yang sangat aneh itu. Dia tidak 
melihat kejadian apa-apa, namun mengapa kedua 
pengemis itu kini mematung? 
"Bocah edan! Lepaskan totokanmu!" geram 
Sampra. 
"Ha ha ha...! Kurasa aku tidak menotokmu!" dalih 
Sena. "Aha, apa kalian ingin menari? Baik, 
menarilah!" 
Sena kembali meniup sulingnya dengan alunan 
yang mendayu. Kembali kejadian aneh terjadi. Kedua 
pengemis itu kini menari-nari, mengikuti irama suling 
yang ditiup Sena. 
Ki Jiung loan membelalakkan mata, menyaksikan 
kejadian luar biasa itu. Baru kali ini matanya melihat 
bagaimana suara suling mampu membuat orang 
menari. Ki Jiung tidak tahu, kalau irama suling yang 
ditiup Sena adalah tiupan 'Pelayung Sukma', di mana 
orang yang dituju akan terpengaruh sukmanya untuk 
mengikuti irama suling. 
Ki Jiung benar-benar tak tahan melihat gerakan 
lemah gemulai dan lenggokan tubuh dua pengemis 
itu. Dia lantas tertawa tergelak-gelak bagai orang gila. 
Kemudian dengan masih tertawa-tawa, Ki Jiung turut 
menari. 
Beruntung Sena tidak meniup Suling Naga Sakti 
dengan irama sedih. Kalau saja Sena meniupnya 
dengan irama sedih, tentu ketiga orang itu akan 
menangis meraung-raung. 
Sena menghentikan tiupan sulingnya. Seketika 
kedua pengemis itu kembali mematung. Sementara 
Sena masih tertawa tergelak-gelak dengan tangan 
menepuk-nepuk pantat 
"Ki, menjauhlah dari sini," katanya, meminta Ki 
Jiung agar menjauh dari tempat itu. 
"Nah, Sobat-sobat. Bagaimana kalau kalian 
menangis? Hi hi hi...! Mungkin selama ini kalian tak 
pernah menangis, walau banyak orang yang telah 
kalian siksa! Ayo, menangislah..." 
Usai berkata begitu, Sena kembali meniup Suling 
Naga Saktinya dengan irama sedih. Seketika kedua 
lelaki yang menjadi bulan-bulanan itu menangis 
meraung-raung, seakan meratapi nasib mereka yang 
sangat malang. 
Ki Jiung kembali terperanjat, menyaksikan 
kejadian yang amat langka itu. Hanya mendengar 
irama suling, kedua pengemis itu menangis 
sesenggukan. 
Lama kelamaan tubuh keduanya ambruk, tak kuat 
menahan rasa sedih yang tiada terkira. Mereka tewas 
tak mampu menahan siksaan batin yang sangat 
hebat 
Sena kembali tertawa menyaksikan kejadian itu. 
Seakan kejadian yang ada di hadapannya adalah 
guyonan lucu. 
"Ki, aku permisi," pamit Sena, hendak berlalu. 
"Lalu, bagaimana dengan kelima mayat ini, Tuan?" 
"Aha, aku lupa..." Sena merogoh ikat pinggangnya, 
kemudian mengeluarkan lima keping uang emas. 
"Cukupkah lima keping uang emas ini untuk 
mengurus mayat mereka, Ki? Suruhlah orang-orang 
mengurusnya." 
"Bu..., bukan itu, Tuan. Tapi..." 
"Sudahlah, Ki. Terimalah uang ini." 
Sena menyodorkan lima keping uang emas itu, 
kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan 
kedai milik Ki Jiung. 
Ki Jiung hanya dapat terbengong-bengong, 
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu 
mampu melesat sangat cepat laksana angin. 
*** 
Di Grojokan Perawan, di mana Goa Sandang berada, 
pagi itu seorang gadis cantik berkulit kuning langsat 
tengah berlatih ilmu silat. Di tangannya tergenggam 
sebilah pedang yang mengeluarkan sinar putih 
bergulung kabut. Hidung gadis itu mancung dan 
bermata lentik. Rambutnya terurai bergelombang, 
dan berikat kepala berwarna merah. Dia mirip dengan 
Mei Lie. 
Di depan gadis itu, seorang wanita tua berpakaian 
minim duduk bersila di atas sebuah batu. Matanya 
memandang ke arah gadis yang tengah berlatih itu. 
Wanita tua berusia sekitar sekitar enam puluh tahun 
dengan hidung mancung dan alis lebat itu adalah 
guru dari si gadis. Namanya Dewi Sandang. Nama itu 
diambil dari goa tempatnya menetap yang dikenal 
dengan sebutan Goa Sandang. 
Saat itu, muridnya yang bernama Sarah Dita 
tengah melakukan jurus pamungkas 'Satuan Raga 
dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang Titisan Iblis'. 
Sarah Dita tampak terdiam sesaat dengan mata 
terpejam. Mata pedang ditempelkan pada hidungnya. 
Cara membuka jurus itu hampir sama dengan jurus 
'Pedang Tebasan Batin' yang dimiliki Mei Lie. 
Setelah lama mengheningkan cipta, dibarengi 
pekikan nyaring Sarah Dita menggerakkan pedang-
nya. 
"Hiaaat...!" 
Wut, wut...! 
Pedang diarahkan ke batu yang ada di sampingnya 
dengan gerakan menusuk. 
 Jreb! 
Pedang itu langsung tembus sampai ke sisi batu di 
belakangnya. Begitu hebat pedang bersinar putih itu, 
sehingga batu yang keras dapat ditembusnya. 
"Bagus! He he he...! Kini lengkaplah semuanya! 
Kau akan bisa menjadi pengganti Bidadari Pencabut 
Nyawa. He he he...!" Dewi Sandang tertawa-tawa 
senang. Segera dia bangun dari bersilanya, lalu 
menghampiri muridnya yang langsung menyembah. 
"Terima kasih, Guru. Atas budimu, aku telah 
berhasil mempelajari semua ilmu pedang yang telah 
kau ajarkan." 
"He he he...! Sudahlah, ayo bangun. Aku akan 
mengatakan sesuatu padamu," ajak Dewi Sandang. 
Keduanya segera melesat meninggalkan tempat 
itu. Tak berapa lama kemudian, tibalah mereka di 
dalam goa tempat mereka tinggal selama ini. Dewi 
Sandang mengajak muridnya duduk di sebuah batu 
yang ada di dalam goa itu. 
"Duduklah, Sarah." 
Sarah Dita duduk. 
"Ada apa gerangan, Guru?" tanya Sarah Dita 
setelah menyeka keringat. 
"He he he...!" Dewi Sandang terkekeh. "Kau tahu, 
mengapa kau kudidik menjadi jago pedang, Sarah 
Dita?" 
"Tidak, Guru. Yang kuketahui, aku akan menjadi 
jago pedang nomor wahid di rimba persilatan," jawab 
Sarah Dita. 
"He he he...! Bagus! Memang itu yang aku 
kehendaki. Kau menjadi jago pedang di rimba 
persilatan dan tak terkalahkan oleh pendekar pedang 
mana pun. Tapi...," Dewi Sandang tak meneruskan 
ucapannya. Hal itu membuat Sarah Dita mengerutkan 
kening. Matanya memandang sang Guru. 
"Ada apa, Guru?" 
"He he he!..! Tidak apa-apa." 
"Mengapa Guru tidak meneruskan?" 
"He he he...! Anak pintar.... Tapi, harapanku 
seketika musnah, ketika kudengar dari paman 
gurumu, kalau sekarang ada jago pedang yang sangat 
hebat dan belum terkalahkan," ujar Dewi Sandang, 
melanjutkan kata-katanya yang terpenggal. 
Sarah Dita mengerutkan dahi. 
"Siapa dia, Guru? Dan seberapa hebatkah ilmu 
pedangnya? Kalau boleh, ingin rasanya aku 
mengujinya," kata Sarah Dita dengan perasaan tak 
senang. Bagaimanapun juga, dia yang harus menjadi 
jago dari segala jago pedang. Dia harus dapat 
mengalahkan siapa saja yang mahir dalam ilmu 
pedang. 
Dewi Sandang sesaat terdiam. Dihelanya napas 
dalam-dalam. Matanya menatap wajah muridnya yang 
tampak marah, tak suka mendengar kalau di rimba 
persilatan ada jago pedang selain dirinya. 
"Dia bernama Mei Lie, seorang gadis Cina yang 
hampir mirip denganmu. Dia bergelar Bidadari 
Pencabut Nyawa. Itu sebabnya aku selalu mengata-
kan kalau kau Bidadari Pencabut Nyawa. Aku ingin 
kau dapat mengalahkannya." 
"Akan kulakukan, Guru." 
"Tunggu dulu.... Dengarlah apa yang akan 
kukatakan padamu." 
Sarah Dita menurut 
"Kau akan kujadikan Mei Lie. Kau harus memb-
antu paman gurumu untuk mengecoh para pendekar. 
Sebisanya kau menyamar sebagai Mei Lie. Besok, 
berangkatlah ke tempat paman gurumu. Aku akan 
memberikan surat padanya. Antarlah ke sana. Apa 
pun yang dikatakan paman gurumu, kau harus 
menurut. Karena hanya dengan cara itulah, kau akan 
bisa bertemu dengan Mei Lie atau Bidadari Pencabut 
Nyawa," tutur Dewi Sandang. 
"Apakah tidak sekarang saja, Guru?" tanya Sarah 
Dita setengah mendesak. 
"He he he, kau nampak tak sabar. Kalau itu 
maumu, berangkatlah." 
"Terima kasih, Guru." 
Dewi Sandang mengambil surat yang akan 
diberikan pada paman gurunya yang bernama Daeng 
Ampra. Setelah memberikan surat itu pada muridnya, 
Dewi Sandang melepas kepergian Sarah Dita yang 
akan menjalankan tugasnya. 
*** 
Rimba persilatan semakin geger karena 
kemunculan Mei Lie. Sepak terjang gadis Cina itu 
membuat tokoh-tokoh golongan hitam bagai 
menghadapi seorang malaikat maut. Apalagi dengan 
tindak-tanduk Sena yang senantiasa berusaha 
menumpas keangkaramurkaan di muka bumi ini. 
Membuat tokoh-tokoh golongan hitam kian tersudut 
kedudukannya. 
Ketika terik matahari siang menyengat bumi, 
tampak seekor kuda berwarna coklat tua berlari 
kencang menerobos debu yang beterbangan di 
Lembah Balapulang. Di punggung kuda itu, tampak 
seorang wanita berpakaian serba putih dengan 
kepala tertutup caping berwarna hijau dari daun 
pandan. 
Wanita muda itu bermata indah, dengan rambut 
terurai lurus. Potongan tubuhnya yang ramping, 
semakin melengkapi kecantikannya. Di punggung 
gadis cantik yang tubuhnya dibungkus pakaian 
bergaya Cina warna putih itu tersandang sebilah 
pedang. 
Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak 
menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat. 
Tiba-tiba penunggang kuda itu menghentikan lari 
binatang tunggangannya. 
"Hooop...!" 
Kuda itu pun berhenti. Gadis penunggangnya 
tampak mengarahkan matanya ke semak belukar di 
Lembah Balapulang itu. Tampaknya ada sesuatu yang 
membuat lari kudanya dihentikan. Telinganya tadi 
sempat mendengar suara yang mencurigakan di 
tempat itu. 
"Hm...." 
Gadis cantik dari Cina itu menggumam tak jelas. 
Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, 
seakan hendak mencari asal suara yang didengarnya. 
Kresek! 
"Hm...." 
Kembali gadis Cina itu bergumam. Kemudian dia 
melompat turun dari punggung kudanya. Matanya 
masih memandang ke asal suara tadi.  
"Siapa yang ada di situ, keluarlah!"  
Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya langkah-
langkah kaki yang menginjak daun-daun kering. Dilirik 
dari suaranya, pemilik langkah kaki itu sepertinya 
berjumlah lebih dari dua orang.  
"Hm.... Rupanya kalian ingin mempermainkan aku! 
Baik, jangan harap aku akan mengampuni kalian!" 
dengus gadis cantik berpakaian Cina itu. 
Dari balik semak belukar, berkelebat sepuluh lelaki 
berpakaian serba hitam. Wajah mereka tertutup kain 
hitam. Hanya bagian matanya yang terlihat. Ditilik dari 
sinar mata yang memancar garang, tampaknya 
mereka bukan orang baik-baik. Di tangan mereka 
tergenggam sebilah golok tajam. Sepertinya mereka 
para penyamun yang menjegal setiap orang yang 
melintasi tempat itu. 
"Siapa kalian?!" bentak wanita cantik bercaping 
daun pandan. 
"Ha ha ha...! Siapa pun kami, kau tak perlu tahu. 
Yang pasti, kami menginginkan kau, Cah Ayu," sambut 
pemimpin gerombolan berpakaian hitam itu sambil 
tertawa-tawa. 
"Hm.... Tentu kalian yang dinamakan Gerombolan 
Lowo Ireng?!" dengus gadis bercaping itu. 
"Ha ha ha! Pandanganmu tajam sekali, Cah Ayu. 
Nah, kalau kau sudah tahu siapa kami, kuharap kau 
tidak usah menentang semua yang kami inginkan! 
Ikut kami!" perintah pemimpin orang-orang ber-
pakaian hitam itu. 
"Ha ha ha...! Enak sekali kau bicara, Sarwono!" 
bentak gadis cantik bercaping, membuat Ketua 
Gerombolan Lowo Ireng tersentak kaget. Dia tidak 
menyangka kalau gadis cantik yang mirip gadis Cina 
itu tahu namanya. 
"Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?!" bentak 
Sarwono dengan mata melotot, memandang tajam ke 
arah gadis cantik yang menyandang pedang di 
punggungnya. 
"Ha ha ha...! Kau masih belum mengenaliku, 
Sarwono! Aku Mei Lie, Titisan Dewi Kuan Im. Tapi 
orang-orang persilatan kini lebih suka menyebutku 
Bidadari Pencabut Nyawa. Orang-orang sepertimu 
yang harus kucabut nyawanya!" ancam gadis 
bercaping yang penampilannya memang serupa 
dengan Mei Lie. 
"Cuh! Jangan sembarangan bicara, Bocah!" bentak 
Sarwono gusar. Matanya berkilat-kilat tajam. 
Napasnya tampak turun-naik dihela kemarahan. 
"Ha ha ha. Apa yang sulit untuk menyingkirkan 
kalian, Kecoa Busuk?!" ledek gadis cantik bercaping 
itu. "Guru dan pemimpin kalian pun akan kubunuh 
dengan mudah!" 
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus!" 
dengus Sarwono semakin beringas, merasa telah 
diremehkan oleh seorang gadis muda. 
"Ha ha ha! Kalianlah yang mencari mampus!" balik 
gadis itu dengan tetap bernada angkuh. Tangannya 
menggapai gagang pedang. 
Srrrt! 
Gadis cantik bercaping itu menarik pedang, 
seakan menantang Gerombolan Lowo Ireng secara 
terang-terangan. 
"Majulah! Biar dengan cepat aku membereskan 
Kalian!" tantang gadis itu. Pedang di tangannya 
terhunus di depan wajah. Siap untuk melakukan 
serangan. 
"Bedebah! Serang dia...!" perintah Sarwono sambil 
menggerakkan tangan kanannya, mengisyaratkan 
pada kesembilan anak buahnya untuk segera 
melakukan serbuan. 
"Bagus! Majulah...!" tantang gadis cantik bercaping 
itu seraya menggerakkan pedangnya dengan jurus 
yang berbeda dibanding jurus yang biasa digunakan 
Mei Lie. Begitu juga dengan pedangnya, tidak 
mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan 
sebagaimana Pedang Bidadari. 
Dengan jurus 'Sambutan Sampar Kabut' gadis 
yang mengaku Mei Lie itu menyerang ke arah 
lawannya. 
Kesembilan anggota Gerombolan Lowo Ireng 
serentak merangsek maju. Golok di tangan mereka 
bergerak cepat membabat dan menebas ke arah 
lawan. 
Wut! 
"Hiat..!" 
Gadis cantik bercaping itu segera berkelit ke 
samping kanan, kemudian dengan gerak cepat 
tubuhnya berputar. Pedang di tangannya turut 
bergerak, membabat ke arah lawan. 
Cras! 
"Aaa...!" 
"Aaakh...!" 
Dua orang anak buah Sarwono memekik. Dada 
mereka tersayat mata pedang gadis cantik itu. Mata 
keduanya membelalak dengan tubuh limbung ke 
belakang, kemudian ambruk dengan darah masih 
mengalir keluar. 
"Bangsat! Kubunuh kau, Kuntilanak!" maki 
Sarwono marah. Dia turut melabrak gadis cantik yang 
mengaku-aku Mei Lie. Golok di tangannya bergerak 
membabat dengan jurus 'Simbar Nyawa'. 
Wusss! 
Angin keras yang terasa panas menyengat keluar 
dari golok di tangan Sarwono, menyentakkan gadis 
cantik bercaping daun pandan itu. 
"Uts! Bagus! Majulah sekalian! Hiaaat...!" 
Gadis cantik itu dengan cepat memutar pedangnya 
dengan jurus 'Pampas Gali Sandang', sebuah jurus 
yang cukup mengejutkan Sarwono. Karena jurus itu 
begitu terkenal di rimba persilatan dan dimiliki oleh 
seorang pendekar pedang yang di masa jayanya 
sempat malang-melintang di rimba persilatan. 
"Ada hubungan apa kau dengan Dewi Sandang, 
Perempuan Liar?!" tanya Sarwono seraya melompat 
mundur. 
"Ha ha ha...! Rupanya kau kaget, Sarwono! Aku 
murid tunggalnya!" jawab gadis cantik berbadan 
ramping dengan bulu mata lentik itu. 
"Kalau begitu, tentunya kau bukan Mei Lie!" 
sangkal Sarwono. 
"Ha ha ha! Siapa pun aku, yang pasti kalian harus 
mampus!" dengus gadis cantik yang tak lain Sarah 
Dita itu. Matanya yang indah memandang garang ke 
arah Sarwono, laksana mata seekor harimau lapar. 
"Hm, antara gerombolan kami dan Dewi Sandang 
tak ada permusuhan. Kami adalah teman baiknya. 
Mengapa pula kau memusuhi kami?!" tanya Sarwono 
masih belum mengerti, mengapa sikap murid Dewi 
Sandang yang juga kakak kandung guru mereka 
bermusuhan. 
"Ha ha ha...! Ciut juga nyalimu Sarwono! Hm, 
baiklah. Aku sebenarnya datang ingin bertemu 
dengan paman guruku! Sekarang pulanglah, katakan 
pada guru kalian, kalau murid Dewi Sandang datang," 
perintah Sarah Dita sambil memasukkan pedangnya 
ke sarung. 
"Baik! Kami akan segera pergi. Ayo anak-anak!" 
ajak Sarwono pada anak buahnya.  
"Tunggu!" tahan Sarah Dita.  
"Ada apa lagi?" 
"Bagaimana dengan dua anak buahmu ini?" 
"Biarkan saja!" jawab Sarwono seraya melambai-
kan tangan, memerintah anak buahnya untuk 
meninggalkan tempat itu. 
Sarah Dita tersenyum tipis. Lalu dengan sekali 
lompat, tubuhnya telah berada di atas kudanya yang 
langsung digebah. Dan segera melesat meninggalkan 
tempat itu, mengikuti arah Sarwono dan anak 
buahnya pergi. 
Sarwono dan anak buahnya tampak lari ke dalam 
Hutan Warang Belang. Di sana berdiri bangunan 
megah yang dihiasi ukiran besar terbuat dari kayu 
bergambar kelelawar berwarna hitam. Ke tempat 
itulah Sarwono dan anak buahnya pergi, karena di 
situlah Guru dan Ketua Gerombolan Lowo Ireng 
berada. 
Dalam ruangan lebar di tengah-tengah gedung 
besar itu, tampak dua lelaki duduk di atas kursi 
berukir yang terbuat dari gading. Keduanya memakai 
pakaian hitam-hitam panjang menyerupai jubah. 
Seorang lelaki tua berwajah garang duduk di sebelah 
kanan. Jenggot-nya panjang berwarna putih. Matanya 
yang lebar be-kilat merah. Kumisnya putih, menutupi 
mulutnya. Rambut putih lelaki tua itu terurai dengan 
ikat kepala berwarna hitam. Lelaki ini adalah guru 
dari Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Namanya Daeng 
Ampra. 
Daeng Ampra berasal dari tanah Sulawesi. Dia 
sengaja pergi ke tanah Jawa Dwipa untuk meng-
hindari kejaran para pendekar aliran putih yang ber-
maksud menangkapnya. Ketika di Andalas, dia pun 
menjadi pemimpin gerombolan yang sebagian anak 
buahnya ikut terlibat dalam Gerombolan Lowo Ireng 
sekarang ini. 
"Hm, aku merasa bakal ada tamu, Selendra," kata 
Daeng Ampra bergumam, pada lelaki berusia sekitar 
lima puluh tahun yang duduk di sampingnya. 
"Benar, Guru," sahut lelaki bertubuh kekar dengan 
jubah hitam. Matanya juga tajam. Alis matanya lebat. 
Cambang bauk dan kumis yang menghiasi wajah, 
menambah kegarangan penampilannya. Rambut 
lelaki ini masih hitam, terurai lepas dengan ikat 
kepala berwarna hitam pula. Dialah yang menjadi 
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Dia pula yang 
mewarisi semua ilmu yang dimiliki Daeng Ampra. 
"Sepertinya ada tamu, Guru. Kupu kejer sejak tadi 
beterbangan dan hinggap di sini," tambah Selendra. 
"Hm...," Daeng Ampra menggumam. Matanya yang 
tajam memandang lurus ke arah pintu masuk 
ruangan yang terbentang lebar dengan dua penjaga 
berdiri tegak. Di tangan kedua penjaga itu 
tergenggam tombak. 
Saat itu dari luar masuk Sarwono dengan ketujuh 
anak buahnya yang segera menyembah. 
"Ampun, Ketua. Kami menghadap," hatur Sarwono 
setelah menyembah. 
"Hm.... Ada apa, Sarwono? Di mana kedua anak 
buahmu yang lain?" tanya Selendra. 
"Ampun, Ketua. Dua anak buahku tewas," sahut 
Sarwono dengan kepala menunduk, takut kalau 
ketuanya akan marah. 
Mata Ketua Gerombolan Lowo Ireng melotot, 
mendengar jawaban Sarwono. Dia bangun dari 
tempat duduknya. 
"Apa?!" bentak Selendra murka. Matanya semakin 
menusuk ke arah Sarwono yang kian menundukkan 
kepala, tak berani mengadu pandang dengan 
pemimpinnya. "Siapa yang telah membunuh 
mereka?!" 
"Aku...!" 
Belum juga Sarwono menjawab, dari kejauhan 
tiba-tiba terdengar sahutan seorang wanita. 
Semua orang yang ada di bangunan milik 
Gerombolan Lowo Ireng tersentak, mendengar 
sahutan yang keras itu. Mereka serentak meng-
alihkan pandangan keluar. Tampak sesosok tubuh 
ramping berpakaian serba putih dan bercaping daun 
pandan berdiri dengan tegap. 
Ketua Gerombolan Lowo Ireng beserta gurunya 
seketika melangkah keluar, diikuti oleh Sarwono dan 
anak buahnya serta anak buah Selendra yang lain. 
"Nisanak, siapa kau? Ada kepentingan apa hingga 
datang ke markas Lowo Ireng?" tanya Selendra 
dengan mata tajam memandang gadis cantik yang 
berdir sekitar sepuluh tombak dari pintu gerbang. 
"Aku datang untuk menyampaikan amanat dari 
guruku!" sahut gadis cantik bercaping daun pandan 
yang tak lain Sarah Dita. 
"Hm, siapa gurumu?!" kali ini Daeng Ampra yang 
bertanya. 
"Dewi Sandang!" sahut Sarah Dita, menyentakkan 
Daeng Ampra. 
"Dewi Sandang...? Hm, lama sekali aku tidak 
bertemu dengan gurumu, Bocah. Masuklah!" ajak 
Daeng Ampra. Kemudian tangannya bergerak, 
memerintah murid-muridnya agar menyingkir untuk 
memberi jalan gadis cantik itu. 
Dengan tenang tanpa rasa takut di wajahnya, 
Sarah Dita melangkah masuk. 
"Silakan," ajak Selendra mempersilakan tamunya 
agar terus masuk ke dalam. 
"Terima kasih." 
Sarah Dita melangkah masuk, diiringi oleh 
Selendra dan Daeng Ampra. Ketiganya kemudian 
duduk di ruangan lebar, tempat Selendra dan Daeng 
Ampra duduk tadi. 
"Bocah, amanat apa yang gurumu sampaikan 
padaku?" tanya Daeng Ampra. 
"Ini, Paman," ujar Sarah Dita seraya mengeluarkan 
surat dari gurunya, dan diberikan pada Daeng Ampra 
yang segera membacanya. 
Daeng Ampra mengerutkan kening setelah 
membaca isi surat tersebut 
"Hm.... Kami pun sudah mendengar kabar 
mengenai Dewi Kuan Im atau Bidadari Pencabut 
Nyawa," gumam Daeng Ampra seraya menghela 
napas panjang. Wajahnya nampak murung, 
mencerminkan kecemasan. 
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Paman?" tanya 
Sarah Dita. 
Daeng Ampra menghela napas panjang-panjang. 
Matanya menatap lekat ke wajah gadis cantik di 
hadapannya. Seakan ingin membuktikan apa yang 
berada di dalam surat yang dikirim oleh saudara 
seperguruannya. 
"Kau memang cocok sekali dengan tugas yang 
diberikan oleh gurumu, Bocah," kata Daeng Ampra 
sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
"Panggil saja aku dengan namaku, Paman," tukas 
Sarah Dita, yang merasa agak jengkel juga dipanggil 
bocah. 
"Hm.... Baiklah Sarah Dita. Menurut gurumu, kau 
akan ditugaskan untuk mengacaukan orang-orang 
persilatan.  Kau harus bisa  memerankan Mei Lie 
dengan sebaik-baiknya. Namun yang patut kau ingat, 
bahwa sepak terjangmu harus bertentangan dengan 
Mei Lie atau Titisan Dewi Kuan Im. Kalau dia kini 
membuat orang-orang dari aliran kita kebingungan, 
kau harus bisa membuat para pendekar aliran putih 
kebingungan. Paham...?"  
"Paham, Paman." 
"Kedua. Dalam setiap sepak terjangmu, kau harus 
urus menggunakan nama Mei Lie. Setiap waktu kau 
bisa meminta bantuan Selendra dan gerombolannya 
yang akan selalu menyertaimu dari jauh," tutur Daeng 
Ampra. 
"Aku mengerti," jawab Sarah Dita. 
"Bagus! Kini, orang-orang aliran putih akan 
kebingungan. Kemudian, mereka akan berpaling dan 
memihak pada kita. Ha ha ha...!" Daeng Ampra 
tertawa tergelak-gelak, disambut oleh yang lainnya. 
"Tapi, Paman...." 
"Ada apa lagi, Sarah Dita?" tanya Daeng Ampra. 
"Bagaimana dengan Pendekar Gila?" 
"Kau takut?" tanya Daeng Ampra. 
Sarah Dita sejenak terdiam. Nama besar Pendekar 
Gila memang telah didengarnya, tapi wajah dan 
ketinggian ilmunya belum pernah dilihatnya. 
"Tidak!" sahut Sarah Dita mantap, membuat Daeng 
Ampra kembali tersenyum. 
"Bagus! Kurasa gurumu juga telah mempersiapkan 
ilmu yang tinggi, sebelum dia menugaskanmu," ucap 
Daeng Ampra. "Mengenai Pendekar Gila, biar nanti 
menjadi urusanku dan gurumu." 
"Aku pun sebenarnya ingin menjajaki ilmunya, 
Guru," sambut Selendra. 
"Itu lebih bagus. Kau dan anak buahmu, sebisanya 
memancing Pendekar Gila agar penyamaran Sarah 
Dita tidak terbuka, Selendra." 
"Akan kuusahakan, Guru," jawab Selendra. 
Daeng Ampra mengangguk-angguk. Wajahnya yang 
semula murung, kini nampak berbinar puas. 
Sepertinya dia tidak merasa khawatir Pendekar Gila 
akan membongkar rahasia tentang dirinya. Kini murid 
dan kemenakan muridnya telah siap untuk meng-
hadapi Pendekar Gila dan mengacaukan rimba 
persilatan. Dengan begitu, semua tokoh persilatan 
akan menuduh Mei Lie. 
"Kini kalian mengemban tugas berat. Kuharap 
kalian berhati-hati," pesan Daeng Ampra meng-
ingatkan. "Lawan-lawan yang akan kalian hadapi buka 
lawan sembarangan. Dan yang perlu kalian per-
hitungkan adalah Pendekar Gila dan Mei Lie." 
"Akan kami usahakan," sahut Sarah Dita dan 
Selendra serempak. 
"Nah! Kini kalian berangkatlah. Ingat pesanku. 
Kau, Sarah Dita, harus bisa menjaga penyamaranmu. 
Dan kau, Selendra, sebisanya menarik perhatian 
Pendekar Gila agar tidak bisa dekat dengan Sarah 
Dita. Usahakan Sarah Dita jangan sampai bentrok 
dengan Mei Lie." 
"Paman, kalau boleh saya tahu, apa ciri-ciri Pedang 
Bidadari yang berada di tangan Mei Lie?" tanya Sarah 
Dita. 
"Pedang itu mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan. Jika Mei Lie telah menguasai jurus 
pamungkas yang bernama 'Tebasan Pedang Batin', 
sulit bagi para pendekar pedang mengalahkannya. 
Untuk itu kalian harus berhati-hati," tutur Daeng 
Ampra menerangkan. 
"Baik, Paman. Aku mohon pamit untuk men-
jalankan tugas," kata Sarah Dita. Setelah memberi 
hormat, gadis cantik itu pun keluar meninggalkan 
markas gerombolan Lowo Ireng. 
Sepeninggal Sarah Dita, Daeng Ampra tampak 
masih bercakap-cakap dengan murid tunggalnya yang 
memimpin Gerombolan Lowo Ireng. 
"Selendra, kau harus bisa membantu Sarah Dita. 
Kerahkan anak buahmu. Namun kau mesti ingat, 
tujuan kita yang utama adalah mempersatukan tokoh 
rimba hitam di tanah Jawa Dwipa ini, agar 
keberadaan kita semakin kuat," kata Daeng Ampra. 
"Saya mengerti, Guru." 
"Setelah Sarah Dita menjalankan tugasnya, panggil 
para tokoh rimba hitam kemari," lanjut Daeng Ampra 
memerintah. "Setelah mereka tunduk pada kita, 
maka gerombolan kita akan semakin jaya. Tak akan 
ada yang mampu menandingi Gerombolan Lowo 
Ireng." 
Selendra tersenyum senang. Dadanya dibusung-
kan. Dia merasa bangga atas ucapan gurunya. 
Bagaimanapun juga, dialah Ketua Gerombolan Lowo 
Ireng. Maka, jika Gerombolan Lowo Ireng maju dan 
menjadi partai yang paling besar, namanyalah yang 
akan di kenal. 
Pendekar Gila harus disingkirkan! Tekad Selendra 
dalam hati.  
"Selendra." 
"Saya, Guru," sahut Selendra. 
"Aturlah anak buahmu. Biar mereka bekerja seperti 
biasanya. Sementara itu, bawalah be berapa anak 
buahmu untuk memancing Pendekar Gila." 
"Baik, Guru." 
Setelah menyembah, Selendra pun bergegas me-
ninggalkan tempat itu untuk menjalankan rencana-
nya. Sedangkan Daeng Ampra kini melangkah 
meninggalkan tempat itu, masuk ke kamar tempatnya 
biasa melakukan semadi. 
*** 
Suasana di Desa Landung Sari malam ini terlihat sepi. 
Angin yang berhembus terasa dingin. Padahal pada 
malam-malam biasa masih ada beberapa orang hilir-
mudik di desa yang menjadi persinggahan para 
pelancong itu. Paling tidak, untuk menikmati 
keindahan panorama pesisir pantai di malam hari 
yang dekat dengan Desa Landung Sari. Namun 
malam ini desa tersebut terlihat lengang. Penduduk-
nya sudah terlelap alam buaian mimpi. 
Sejak kehadiran pendekar wanita yang diberi gelar 
Bidadari Pencabut Nyawa, warga Desa Landung Sari 
merasa tenang. Karena para bajingan, perampok, 
atau penyamun yang biasanya menjarah desa 
mereka, kini agak menghilang. Nampaknya mereka 
takut oleh kediran Bidadari Pencabut Nyawa yang 
sepak terjangnya senantiasa memusuhi orang-orang 
aliran sesat. 
Saat ketenangan menyelimuti Desa Landung Sari, 
dari ujung desa tiba-tiba terdengar jerit kematian yang 
menyayat dan riuh rendah teriakan panik. 
"Aaa...!" 
"Tolong, rampok...!" 
Penduduk Desa Landung Sari yang tengah ter-
hanyut mimpi seketika bangun. Mereka tersentak 
kaget, tak menyangka kalau penyamun akan kembali 
hadir, menjarah desa mereka. 
"Rampok! Tolong...!" 
Tong, tong, tong...! 
Suara kentongan tanda bahaya terdengar saling 
sahut-menyahut. Saat itu pula warga Desa Landung 
Sari dengan senjata seadanya bergegas keluar. 
Mereka memburu ke arah datangnya jeritan 
"Itu rampoknya! Tangkap...!" seru lelaki bertubuh 
gemuk dengan kumis melintang. Matanya kelihatan 
garang. Wajahnya bulat dengan hidung besar. Dan 
berpakaian kuning keemasan, menunjukkan kalau 
dia orang berada. Rambutnya tidak terlalu panjang, 
terurai lepas sebatas bahu. Di tangan lelaki itu 
tergenggam keris yang telah terhunus. Dialah Ki 
Marta Pari, Kepala Desa Landung Sari. 
Di sampingnya, berdiri seorang lelaki ber-
perawakan tinggi kekar. Kumis melintang, hidung 
besar serta mata tajam. Ikat kepalanya berwarna 
hitam, berpakaian lengan panjang tanpa leher ber-
warna hitam dan putih seperti pakaian orang Madura. 
Dia adalah Ki Capir Sumpit, pengawal Ki Marta Pari. 
"Tangkap perampok-perampok itu!" seru Ki Capir 
Sumpit seraya berkelebat mengejar para perampok 
yang menjarah desa. 
Ki Capir Sumpit segera merangsek ke arah para 
perampok, mendahului kepala desanya, untuk mem-
bantu penduduk yang sedang bertarung menghadapi 
perampok yang berjumlah dua puluh orang itu. 
Warga Desa Landung Sari yang tidak suka desanya 
dijarah, dengan nekat menyerang para perampok 
yang berpakaian hitam. Wajah mereka juga ditutupi 
kain hitam. Hanya terlihat dua lubang di bagian mata 
mereka. 
Melihat penduduk Desa Landung Sari dan kepala 
desanya menyerbu, para perampok yang tak lain 
Gerombolan Lowo Ireng itu dengan sigap 
menyambutinya. Maka, pertarungan pun tak dapat 
dielakkan. 
"Bantai mereka!" seru Ki Marta Pari. 
"Hadang mereka...!" seru pemimpin perampok 
sambil berkelebat menghadang Ki Marta Pari. 
"Menyerahlah, Ki! Berikan semua harta yang ada di 
desamu pada kami!" 
"Huh, jangan kira aku takut padamu. Meski 
namamu lebih menakutkan dari hantu, Marta Pati tak 
akan gentar!" dengus Ki Marta Pari dengan lantang. 
Matanya yang lebar, memandang penuh kebencian 
ke arah sosok hitam di depannya. 
"Ha ha ha...! Perutmu buncit. Bagaimana kau akan 
bisa menghadapiku?!" ejek pemimpin perampok yang 
bernama Sengkolo. 
Di dalam Gerombolan Lowo Ireng, terdapat 
sepuluh orang yang memimpin bagian-bagian 
gerombolan yang tersebar di seluruh tanah Jawa 
Dwipa. Kesepuluh pemimpin itu antara lain, Sarwono, 
memimpin begal-begal di hutan dekat markas 
mereka. Sengkolo, memimpin para perampok yang 
bertugas di daerah timur, dan kini menjarah Desa 
Landung Sari. Samilun, memimpin barisan laut atau 
sering disebut Bajak Laut selat Madura. Kane-kane, 
seorang wanita yang memimpin di kotaraja. 
Sedangkan yang kelima sampai kesepuluh, 
semuanya bertugas menjadi pemimpin yang meng-
awasi keadaan dunia persilatan. Namun setiap waktu 
mereka bisa diperbantukan pada keempat pemimpin 
lain yang membutuhkan. 
Keenam pemimpin itu adalah, Segatra, Prabasu, 
Mantraka, Krada, Bradalupa dan Damar Wangis. 
Sama dengan yang lainnya, mereka pun berwatak 
kasar dan bengis. Tak pernah ada kata ampun bagi 
lawan atau korbannya. 
Mendengar ejekan Sengkolo, kemarahan Ki Marta 
Pari berkobar seketika. Dengan mendengus, lelaki 
gemuk itu segera meluruk maju. Keris di tangannya 
bergerak menusuk ke dada lawan dengan jurus 
'Sampar Grana'. 
"Tembus dadamu, Iblis! Hiaaat..!" 
"Uts! Belum, Kerbau Dungu!" ledek Sengkolo 
sambil berkelit mengelakkan serangan yang dilancar-
kan Ki Marta Pari. 
Kemudian dengan cepat Sengkolo balas 
menyerang. Tangan kirinya memukul ke arah pundak 
lawan. Sedangkan golok di tangan kanannya me-
nebas leher lawan. 
"Putus lehermu!" 
Wut! 
Ki Marta Pari terkesiap, merasakan desingan angin 
yang keluar dari tebasan golok di tangan lawan. 
Cepat-cepat Ki Marta Pari bergerak mengelit ke 
samping dengan tubuh agak dirundukkan. Lalu 
dengan cepat, kerisnya ditusukkan ke perut lawan. 
Sementara itu tangan kirinya bergerak memukul ke 
selangkangan lawan dengan jurus 'Tapak Getih'. 
Kali ini Sengkolo yang tersentak kaget, menyaksi-
kan jurus lawan yang dahsyat. Dari angin pukulannya 
saja, tergambar bagaimana kekuatan pukulan yang 
terasa panas menyengat, memaksa tubuh Sengkolo 
untuk segera mencelat ke belakang. 
"Hm.... Rupanya kau mencari mampus, Kerbau 
Dungu! Baik, bersiaplah untuk mampus!" geram 
Sengkolo 
Dalam keadaan masih memasang kuda-kuda 
Sengkolo memasukkan golok ke sarungnya, lalu 
tangannya disatukan di depan wajah. Setelah itu, 
telapak tangan kiri dan kanan digesekkan satu sama 
lain. 
Wusss! 
Telapak tangan Sengkolo mengepulkan asap 
hitam. Bersamaan dengan itu, tangannya menghitam 
bagai arang. Itulah ajian yang dimiliki pemimpin 
wilayah Gerombolan Lowo Ireng. Ajian sesat itu 
bernama 'Warangga Geni'. 
"Hiaaat..!" 
"Yaaat..!" 
Baik Ki Marta Pari maupun Sengkolo kini telah 
mengeluarkan ajian tingkat tinggi. Ki Marta Pari 
dengan 'Tapak Getih'nya, sedangkan Sengkolo 
dengan 'Warangga Geni'nya. 
Tubuh keduanya mencelat cepat ke udara dengan 
tangan siap melontarkan pukulan masing-masing. 
Jarak mereka bertambah dekat. Ketika bentrokan 
dahsyat akan terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih 
bergerak membabatkan pedang yang berwarna 
merah kekuning-kuningan ke arah Sengkolo yang 
tersentak dan berkelit di udara.  
Wut! 
Di udara malam yang gelap dan menusuk rulang, 
sinar itu membentuk garis terang pada saat bayangan 
putih tadi membabatkan pedangnya. Jelas itu sangat 
mengejutkan kedua lelaki yang sedang bertempur. 
Saat kedua kaki lelaki itu menjejak tanah, telah 
berdiri dengan gagah seorang gadis cantik ber-
pakaian putih dengan dua gelung rambut di atas 
kepalanya. Bola mata gadis itu bening, namun 
pandangannya tajam, menatap penuh kebengisan 
kepada Sengkolo. 
"Siapa kau?! Mengapa kau ikut campur urusan-
ku?!" bentak Sengkolo memberanikan diri, meski dia 
telah tahu siapa sebenarnya gadis Cina yang sepak 
terjangnya membuat tokoh-tokoh rimba hitam agak 
kewalahan. 
"Hhh...!" dengus gadis cantik yang tak lain Mei Lie 
itu. Matanya menatap penuh kebencian pada 
Sengkolo. "Selama aku masih hidup, tak aka 
kubiarkan orang-orang sepertimu berlaku sewenang-
wenang." 
Sengkolo terbeliak. Dia memang telah memahami 
benar siapa gadis Cina itu, yang diberi gelar oleh 
orang-orang persilatan sebagai Bidadari Pencabut 
Nyawa. Sebuah gelar yang menyeramkan bagi tokoh 
persilatan golongan hitam termasuk Sengkolo. 
"Kaukah Mei Lie?!" 
"Ya!" 
"Bagus! Pucuk dicinta ulam tiba! Kami memang 
sengaja mencarimu!" 
Mei Lie tersenyum sinis, mendengar ucapan 
Sengkolo. Matanya masih menatap tajam ke arah 
Sengkolo. Kemudian kepalanya ditolehkan ke 
belakang, ke arah Ki Marta Pari. 
"Ini urusanku, Ki. Bantulah wargamu memberantas 
Gerombolan Lowo Ireng yang hendak menjarah harta 
penduduk," pinta Mei Lie. 
"Ba... baik, Nyi Pendekar." 
Sengkolo tertawa terbahak-bahak, berusaha 
menutupi rasa gentarnya menghadapi Mei Lie. Bagai-
manapun juga, dia tidak boleh menunjukkan rasa 
takut pada gadis itu, meski julukan gadis Cina di 
hadapannya bukan nama kosong. Buktinya Tiga 
Setan Rambut Api dapat ditumpas seperti me-
musnahkan alang-alang 
"Tak kusangka Bidadari Pencabut Nyawa ini masih 
bocah bau kecur. Hm.... Kuharap kau berpikir seribu 
kali untuk berhadapan denganku!" kata Sengkolo, 
masih berusaha menenangkan hatinya, menghilang-
kan rasa takut yang berdenyut-denyut di dadanya. 
"Hm.... Untuk iblis sepertimu, untuk apa aku harus 
berpikir?" sergah Mei Lie dengan nada mencemooh. 
"Bedebah! Rupanya kau menganggap Gerombolan 
Lowo Ireng tak ada artinya, Bocah!" hardik Sengkolo 
marah. Gigi-giginya bergemeletuk keras. Walau 
begitu, dia masih belum mau menyerang. Bagai-
manapun juga, Sengkolo harus berpikir dulu untuk 
menghadapi Bidadari Pencabut Nyawa. 
"Sama sekali tak ada. Bahkan Gerombolan Lowo 
Ireng tak lebih dari sekumpulan anjing-anjing kurap 
yang mengotori dunia!" sahut Mei Lie dengan senyum 
sinis melekat di bibirnya. 
"Bedebah! Kulumat tubuhmu! Heaaa...!" 
Dengan nekat, akhirnya Sengkolo merangsek 
maju. Tangannya dengan cepat menarik golok yang 
tadi berada di sarungnya. 
Srrrt! 
Dengan jurus 'Lowo Ireng Merentang Sayap 
Menyambar Mangsa', Sengkolo melabrak. Tangannya 
membentang lebar, tubuhnya melayang laksana 
terbang. Kemudian dengan cepat tangannya ber-
gerak. Tangan kanan membacokkan golok ke kepala 
Mei Lie, sedangkan yang kiri menghantam dengan 
pukulan sakti 'Warangga Geni'. 
"Hiaaat..!" 
*** 
Melihat lawan telah melesat menyerang, Mei Lie 
segera menggeser kaki kanan agak membuka. 
Ditekuknya kaki kanan membentuk siku. Tangan kiri 
digerakkan ke atas, lalu ditarik ke bawah dan 
dilecutkan di depan dada. Sedangkan Pedang 
Bidadari di tangannya disabetkankan miring ke 
samping, lalu ditarik lurus di depan dada. Kemudian, 
dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh. 
Disambung lagi lengan gerakan berbareng antara 
pukulan tangan kiri dan tebasan pedang. 
"Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Menusuk Gunung 
Karang', Mei Lie memapaki serangan lawan. Pedang 
Bidadari di tangannya bergerak cepat, memburu 
tubuh lawan. 
"Yiaaat...!" 
Trang! 
Plak! 
"Ukh!" Sengkolo mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya 
dilontarkan ke belakang, menghindar dari tusukan 
pedang lawan yang cepat dan garang. Golok di 
tangannya telah patah menjadi tiga bagian, terbabat 
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie. 
Mata Sengkolo membelalak. Baru kali ini disaksi-
kannya jurus pedang yang sangat cepat dan me-
matikan. Rasanya selama ini belum ada pendekar 
pedang yang mampu melakukan gerakan menyerang 
dengan begitu cepat dan keras. 
"Kurang ajar!" maki Sengkolo marah, mendapatkan 
kenyataan kalau ilmu lawan ternyata berada sampai 
tiga tingkat di atasnya. Namun begitu, sebagai 
pemimpin dari salah satu Gerombolan Lowo Ireng, dia 
tidak boleh menunjukkan rasa takut meski lawan 
yang dihadapinya sangat tangguh. 
"Hm, itu baru golokmu, Iblis! Kini giliran 
nyawamu...!" dengus Mei Lie, disusul oleh gerakan 
pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan. Membuat keadaan di sekitar tempat itu 
menjadi terang. 
"Bangsat! Jangan harap kau mampu membunuh-
ku! Hiaaat..!" Sengkolo dengan nekat kembali 
menyerang. Pukulan sakti yang dimilikinya dikerahkan 
habis-habisan. Tangannya kini berubah hitam pekat 
Menyaksikan lawan kembali merangsek, Mei Li 
secepat kilat memapakinya dengan jurus 'Pukulan 
Bidadari Menjebol Benteng'. 
"Yiaaat..!" 
Tubuh Mei Lie melayang deras dengan tangan kiri 
menggenggam, memukul lurus ke arah lawan. 
Sedangkan pedang di tangan kanannya membersit ke 
arah lawan. Matanya terpejam dan gerakan pedang-
nya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun 
sesungguhnya gerakan itu mengandung kekuatan 
yang besar. Itulah jurus 'Pedang Tebasan Batin', jurus 
pamungkas yang sangat dahsyat. 
Sengkolo yang sudah mata gelap tak meng-
hiraukan apa yang akan terjadi. Dia berkeyakinan 
kalau pukulan saktinya akan mampu meremukkan 
tubuh lawan. Tubuhnya masih melesat cepat, dengan 
tangan bergerak bergantian ke wajah. 
"Hiaaat..!" 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Srrt! 
"Ukh!" 
Dari mulut Sengkolo terdengar jerit tertahan ketika 
pedang di tangan Mei Lie membabat tangan 
kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi 
pukulan 'Bidadari Menjebol Benteng' menghantam 
telak dadanya. 
Begk! 
"Ngk! Uhk...!" 
Tubuh Sengkolo teriungkir ke belakang. Dia ber-
usaha bangkit dengan sempoyongan. Tangan kanan-
nya yang terbabat, terlihat masih utuh, seakan tak 
terkena babatan pedang lawan. Darah meleleh dari 
sela-sela bibirnya. 
Mei Lie terdiam sesaat, mengatur pernapasan 
setelah mengerahkan tenaga dalam. Matanya 
memandang Sengkolo yang kelihatan pucat, dengan 
kening berkerut Sengkolo tak mengerti mengapa 
tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya ter-
babat pedang lawan. 
Merasa tidak mengalami apa-apa, Sengkolo 
hendak menyerang kembali. Namun baru saja 
kakinya melangkah setindak, tiba-tiba tangan kanan-
nya berhamburan menjadi debu. Tanpa darah setetes 
pun. 
"Aaa.... Tidak...!" pekik Sengkolo histeris. Matanya 
membesar nyaris keluar, tak percaya dengan apa 
yang dilihatnya. 
Mei Lie tersenyum sinis. 
"Itu baru tanganmu, Iblis! Kini bersiaplah, 
nyawamu akan segera kukirim ke neraka!" ancam Mei 
Lie. Lalu dengan cepat, pedangnya digerakkan 
kembali. 
Sengkolo yang kini nyalinya ciut, semakin 
ketakutan. Dia telah merasakan bagaimana 
kehebatan ilmu pedang lawan. Dia bermaksud lari, 
namun dengan cepat Mei Lie telah menghadangnya. 
"Mau ke mana, iblis?!" 
"Oh, tidak! Ampunilah nyawaku. Jangan bunuh 
aku," ratap Sengkolo sambil menangis, mengharap 
Mei Lie mau mengampuninya. 
Mei Lie terdiam. Matanya masih memandang 
tajam pada Sengkolo yang meratap tersedu-sedu, 
mengharap ampunannya. 
"Baik, kali ini kuampuni. Sekarang pergilah!" 
bentak Mei Lie. 
Sengkolo menurut, dia bangun dari sujudnya. 
Namun ketika Mei Lie lengah, dengan licik Sengkolo 
melepaskan pukulan saktinya ke arah Mei Lie. 
"Mampuslah kau, hiaaat...!" 
Mei Lie yang sudah menduga tabiat lelaki tinggi 
besar yang sekujur tubuhnya tertutup oleh kain hitam 
itu dengan cepat membuang tubuh ke samping dan 
bersalto beberapa kali. Dengan cepat pedangnya 
dibabatkan ke arah lawan. 
"Rupanya kau harus mampus, Iblis! Heaaa...!" 
Wut! 
Srrrt! 
"Aaa...! 
Sengkolo kembali memekik, ketika pedang di 
tangan Mei Lie menebas tangan kirinya. Dan seperti 
kejadian sebelumnya, tangan kirinya bagai tak 
terkena apa-apa. Namun ketika angin bertiup, tangan 
kirinya tiba-tiba hancur jadi debu! 
Belum juga habis kengerian Sengkolo, Mei Lie 
kembali menyabetkan pedangnya secara menyilang, 
dan menebas tubuh Sengkolo. 
Wut, wut..! 
"Wuaaa...!" 
Sengkolo menjerit dalam satu lengkingan panjang 
yang menggiriskan. Matanya membeliak. Sesaat dia 
mematung di tempat itu, kemudian tubuhnya lebur 
jadi debu. 
Menyaksikan pemimpinnya hancur jadi debu, anak 
buah Sengkolo kocar-kacir seperti anak ayam 
kehilangan induk. Mereka kini semakin terdesak. 
Penduduk Desa Landung Sari yang melihat gelagat 
baik itu, tak menyia-nyiakannya. Dipimpin oleh Ki 
Capir Sumpit yang menjadi tangan kanan Ki Marta 
Pati, mereka menggasak sisa-sisa Gerombolan Lowo 
Ireng. 
"Habisi mereka...!" seru Ki Marta Pari. 
"Ayo, jangan biarkan mereka hidup!" sambung Ki 
Capir Sumpit sambil berkelebat memimpin penduduk 
yang segera menyertainya melakukan serangan ter-
hadap sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng. 
Suara-suara marah berhambur dari mulut 
penduduk Desa Landung Sari. 
Sisa-sisa Gerombolan Lowo Ireng semakin 
ketakutan menghadapi amarah penduduk. Terlebih di 
situ ada Bidadari Pencabut Nyawa. Penduduk desa 
yang kalap, dengan ganas membabat sisa-sisa 
Gerombolan Lowo Ireng. 
Mei Lie yang menyaksikan kejadian itu hanya 
menghela napas. Sebelum semua penduduk meng-
hentikan pelampiasan amarahnya terhadap sisa-sisa 
Gerombolan Lowo Ireng, Mei Lie telah melesat pergi. 
*** 
Nama Bidadari Pencabut Nyawa semakin tersohor, 
setelah Gerombolan Lowo Ireng yang menjarah Desa 
Landung Sari dapat ditumpas. Malah pemimpin 
gerombolan itu hilang tak berbekas, seakan raib 
ditelan bumi. Hanya penduduk Desa Landung Sari 
saja yang tahu, kalau pemimpin Gerombolan Lowo 
Ireng itu musnah menjadi debu, tertebas Pedang 
Bidadari di tangan Bidadari Pencabut Nyawa. 
Angin pagi bertiup semilir, diiringi sinar mentari 
yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. 
Desau angin lembut, senandung burung dan kokok 
ayam jantan, menyatu dalam satu irama tertentu. 
Dari kejauhan di dalam Hutan Selo Kamal 
terdengar suara nyanyian merdu. Nyanyian itu 
diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti 
menikmati indahnya pagi. 
Samar-samar di kejauhan, tampak seorang 
pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga 
di tangannya, tengah melangkah sambil bernyanyi. 
Pakaian pemuda itu terbuat dari kulit ular sanca. 
Begitu juga ikat kepalanya. 
Pemuda tampan yang tengah bernyanyi-nyanyi 
sambil meniup suling itu, tak lain Sena Manggala atau 
Pendekar Gila. Didengar dari syair lagunya, tampak-
nya Sena tengah merasakan kerinduan pada seorang 
gadis yang dicintainya. Dan tentunya gadis itu adalah 
Mei Lie. 
Duh, alam yang indah 
Di mana mentari senantiasa hadir  
Mengusir embun yang dingin  
Telah jauh kakiku melangkah  
Tuk mencari permata hati  
Namun sejauh ini  
Belum juga kutemui.... 
Setelah berdendang, Sena pun duduk di sebatang 
pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti diselipkan 
pada ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-
tawa, kepalanya digaruk sambil menatap burung-
burung yang bernyanyi riang. 
"Hi hi hi...! Kau begitu gembira, Burung! Aha, kau 
meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang 
bingung...," kata Sena berbicara seorang diri. "Aha, 
tentunya kau yang bisa terbang tahu di mana kini Mei 
Lie berada, Burung?" 
"Cit, ciiit...!" 
Sena melompat-lompat sambil tertawa-tawa 
mendengar suara burung mencuit. 
"Aha, rupanya kau tahu. Di mana dia, Burung 
Cantik?" 
"Cuit, cuit..!" 
Sena mengangguk-angguk sambil cengengesan. 
Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepala, Sena bangkit dari duduknya. 
Wajahnya menengadah ke langit ketika burung-
burung pemakan bangkai beterbangan dengan 
pekikan yang keras. 
"Oh, ada apa dengan burung-burung itu? Bukankah 
mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena 
dengan kening berkerut . 
Dengan mulut masih cengengesan Sena kembali 
duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat ya 
ditumbuhi pepohonan hijau menggapai cakrawala. 
Kresek! 
Bibir Sena tersenyum ketika telinganya 
menangkap suara kaki menginjak daun kering. 
Dengan acuh sambil tersenyum-senyum, dia bersila. 
Tangan kanannya menopang dagu seperti sedang 
merenung. 
"Hi hi hi...! Rupanya ada juga tikus yang ber-
sembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang 
redup dan mulutnya masih cengengesan. Sedangka 
tangan kirinya menepuk-nepuk paha. 
Swing, swing...! 
Tiba-tiba puluhan senjata rahasia melesat ke arah 
Sena yang masih duduk bersila. 
"Aha! Ada juga tikus yang pandai bercanda!" Sena 
sambil berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan 
itu, segera dihantamkannya pukulan 'Inti Bayu' ke 
arah senjata rahasia yang meluncur ke arahnya.  
"Hi hi hi..! Ini mainan kalian kukembalikan!" 
Wusss! 
Swing, swing...! Crab, Crab...!  
"Aaakh...!" 
Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima 
belas tombak terdengar jeritan kematian. Kemudian 
tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam 
meregang. Di leher mereka tertancap lima buah 
senjata rahasia yang tentunya milik mereka. 
Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa 
melayang. 
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Lucu...!" seru Sena sambil 
berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan. 
"Kurang ajar! Serang dia...!" 
Dari balik semak-semak, terdengar perintah 
seseorang untuk menyerang. Bersamaan dengan itu, 
muncul puluhan orang-orang berpakaian hitam 
dengan wajah tertutup kain hitam. Mereka langsung 
mengurung Sena yang masih tertawa-tawa sambil 
melompat-lompat seperti kera. 
"Ha ha ha...! Monyet-monyet hitam! Ha ha ha...!" 
"Bedebah! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-
orang berpakaian serba hitam yang segera dipatuhi 
anak buahnya.  
"Hiaaat...!" 
"Wadauw! Mengapa ganas sekali?!" tanya Sena, 
sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya bergerak 
meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan. 
"Pecah kepalamu, Pemuda Edan!" bentak 
pemimpin para penyerang sambil menebaskan golok-
nya ke kepala Sena. 
"Wadauw, aku tidak mau!" teriak Sena sambil 
meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. 
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Sena 
mementahkan serangan yang datang ke arahnya. 
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan sesekali 
tangannya bergerak seperti menepuk. 
"Hi hi hi...! Rasakan kue apemku! Nih...!" 
Tangan Sena menepuk ke dada seorang lawan 
yang menyerang ke arahnya. Tubuhnya masih meliuk-
liuk, serta sedikit membungkuk. 
Degk! 
"Wuaaa...!" 
Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila 
seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke 
belakang, melayang laksana terbang. Tubuh orang itu 
baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon yang 
cukup besar. 
Brak! 
"Aaakh!" 
Orang itu menjerit. Kain penutup kepalanya 
bersimbah darah. Tentunya kepala orang itu pecah 
akibat benturan keras dengan pohon besar tadi. 
Hutan yang semula tenang dan asri, seketika riuh 
dan porak-poranda. Banyak pohon yang tumbang oleh 
hantaman pukulan mereka. Rumput-rumput yang 
mulanya segar, kini banyak yang layu terinjak-injak. 
Hewan-hewan hutan seketika berserabutan 
ketakutan. 
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang mau kue apem...?'" 
tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera. 
Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya 
masih meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan 
serangan lawan. 
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" seru pemimpin orang-
orang berpakain serba hitam yang tentunya dari 
Gerombolan Lowo Ireng. Tubuh pemimpin 
gerombolan itu tidak terlalu besar. Suaranya juga 
bukan suara lelaki. Tentunya dia Kane-kane, wanita 
yang memimpin Gerombolan Lowo Ireng di kotapraja. 
"Cincang dia!" sambut anak buahnya. 
Serentak mereka kembali menyerang dengan 
membabatkan golok di tangan masing-masing. 
Namun dengan cepat Sena kembali bergerak 
mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat. 
Tubuhnya dibungkukkan ke bawah. 
"Wah! Ganas sekali tikus betina ini?" ucap Sena 
sambil terus bergerak mengelak. Pantatnya sengaja 
ditunggingkan ke arah Kane-kane, yang membuat 
wanita dari Gerombolan Lowo Ireng itu bertambah 
marah. 
"Haiiit..!"