Pendekar Gila 7 - Titisan Dewi Kwan Im(1)


Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Titisan Dewi Kwan Im
Suasana pagi di Desa Tambak Rejo tampak ra-
mai. Tidak biasanya sepagi itu banyak orang berlalu la-
lang. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang per-
silatan. 
Entah mengapa, Desa Tambak Rejo yang berjarak 
sekitar sepuluh mil ke arah utara dari Lembah Lamur 
sejak kemarin banyak didatangi orang-orang rimba 
persilatan 
Tampak tiga lelaki melangkah beriringan. Mereka 
mengenakan jubah berwarna merah darah. Rambut 
yang berwarna merah dibiarkan terurai dengan ikat 
kepala berwarna merah darah pula. Ketiga lelaki itu 
berwajah jelek dengan hidung pesek dan mata besar. 
Dagu mereka dihiasi cambang bauk serta kumis tebal. 
Di tangan masing-masing tergenggam cambuk yang 
bentuknya serupa. Ketiganya terkenal dengan julukan 
Tiga Setan Rambut Api. 
Tiga tokoh aliran hitam itu memiliki perawakan 
yang hampir sama, berotot dengan tinggi sedang. Wa-
jah mereka garang, menunjukkan keangkuhan. 
Yang tertua bernama Untara. Lelaki yang kedua 
bernama Undani, dan yang terakhir bernama Umbaka-
ra. Mereka kini tengah melangkah menuju sebuah ke-
dai yang siang itu tampak ramai disinggahi para pen-
gunjung. 
"Kalian lihat, di sini banyak sekali orang persila-
tan," kata Untara. Matanya mengawasi pengunjung 
kedai yang kebanyakan dari rimba persilatan. 
"Benar, Kakang," sahut Undani. Seperti kakak-
nya, dia pun menyapukan pandangannya ke seluruh 
ruang kedai yang penuh oleh para pengunjung. "Nam-
paknya ada sesuatu yang membuat mereka datang ke 
tempat ini." 
Ketika Tiga Setan Rambut Api mengawasi semua 
pengunjung kedai, terdengar ucapan seseorang yang 
baru masuk ke dalam kedai. 
"Aha, rupanya Tiga Setan Rambut Api juga hadir 
di tempat ini." 
Tiga Setan Rambut Api seketika membalikkan 
tubuh dan memandang ke arah suara itu. Begitu juga 
dengan pengunjung kedai lain. Seketika mata mereka 
memandang Tiga Setan Rambut Api, lalu berganti me-
mandang orang tua berpakaian compang-camping 
dengan rambut putih tak teratur serta wajah dihiasi 
goresan-goresan kelabu. 
Dilihat dari penampilan serta tangan yang meme-
gang tongkat dan tempurung, orang persilatan yang 
ada di kedai itu dapat dengan mudah menduga kalau 
lelaki tua itu tak lain Pengemis Tempurung Sakti, pe-
mimpin para pengemis dari wilayah barat. 
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti yang da-
tang. Selamat datang...," sambut Untara sambil menju-
ra hormat, diikuti oleh kedua saudaranya. 
"Aku Undani menyampaikan hormat padamu, 
Pengemis Tempurung Sakti," kata Undani sambil 
membungkuk 
"Begitu juga aku," timpal Umbakara.     
Pengemis Tempurung Sakti terkekeh-kekeh sam-
bil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang. Ma-
tanya yang sipit, semakin bertambah sipit 
"Aha, tampaknya banyak orang persilatan ber-
kumpul di sini. Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono si 
Pedang Iblis, Ki Bardawala dari Perguruan Cinde Bua-
na dan Sepasang Serigala Merah. Ada apa geran-
gan...?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil me-
langkah masuk, diikuti oleh lima anak buahnya yang 
semuanya berpakaian compang-camping. Bedanya, ke-
lima pengemis itu hanya membawa tongkat kayu hi-
tam. Mereka tersohor dengan julukan Lima Pengemis 
Tongkat Hitam. 
Yang menguasai wilayah timur bernama Gandra-
na. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan berwarna 
ungu. Bibirnya tipis dengan mata agak sipit. Hidung-
nya besar dan pesek. Rambutnya lurus terurai dengan 
ikat kepala berwarna ungu pula. Wajahnya menggam-
barkan kekasaran. 
Yang menguasai daerah selatan bernama Jalan-
tra. Pakaiannya berwarna abu-abu, dan rambutnya di-
gelung ke atas. Berbeda dengan orang pertama, hidung 
Jalantra mancung. Bibir dan alis matanya tebal den-
gan mata agak juling. 
Yang ketiga bernama Sampra. Dia Ketua Per-
kumpulan Pengemis daerah utara. Berpakaian jingga 
dengan tambalan seperti lainnya. Rambutnya ikal se-
batas bahu. Hidungnya mancung seperti paruh burung 
betet Matanya lebar dengan alis mata tipis. Wajahnya 
nampak sinis jika tersenyum. 
Yang keempat dan kelima adalah lelaki kembar 
bernama Jantruk dan Jantrik. Pakaian yang mereka 
kenakan pun kembar, berwarna merah dadu. Wajah 
keduanya hampir serupa. Hidung mereka mancung 
dengan alis mata tebal. Sedang bibir mereka tipis. 
Hanya rambut yang membedakan satu sama lain. Yang 
satu lurus tak teratur, sedangkan yang lain ikal berge-
lombang. 
Di bibir mereka tersungging senyuman. Wajah 
mereka menggambarkan kewibawaan. Meski berpe-
nampilan tak sedap dipandang mata, tapi mereka ada-
lah orang-orang yang dipercaya untuk memimpin para 
pengemis. Ilmu mereka pun bukan ilmu sembarangan, 
dan patut diperhitungkan. 
Pengemis Tempurung Sakti segera mendekati sa-
tu bangku lalu duduk seenaknya, seperti tidak tahu 
aturan sebagaimana pengemis lain. Kelima pengemis 
lainnya ikut duduk di samping kanan dan kirinya. 
"Nampaknya ada sesuatu yang mengundang me-
reka kemari, Ketua," kata Gandrana, Ketua Perkumpu-
lan Pengemis daerah timur. 
Pengemis Tempurung Sakti mengangguk-
anggukkan kepala. Tangannya masih membelai-belai 
jenggotnya yang putih dan panjang. Sementara ma-
tanya tetap memandang ke sekelilingnya. 
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik," gumam 
Pengemis Tempurung Sakti. "Terbukti Tiga Setan 
Rambut Api datang ke tempat ini." 
"Aha, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
getahui apa yang ada di sini...!" seru Umbakara tiba-
tiba. 
"Ya! Mengapa tidak kita tanyakan saja, ada apa 
sebenarnya?" usul Undani. 
"Benar juga katamu, Undani," timpal Untara. 
"Mengapa kita mesti bingung?" 
Untara dan kedua adiknya bangkit dari bang-
kunya. Mereka melangkah mantap ke arah Pengemis 
Tempurung Sakti. Kemudian dengan menjura, Tiga Se-
tan Rambut Api duduk di hadapan keenam pengemis 
itu. 

"Pengemis Tempurung Sakti, sudikah kau menje-
laskan pada kami, kenapa kau dan lima ketua partai 
pengemis sampai datang ke sini...?" tanya Untara. Tin-
dak-tanduk mereka agak tidak sopan, mencerminkan 
watak ketiganya yang berasal dari aliran sesat 
"Weh weh weh.... Mengapa jadi terbalik? Justru 
kami yang ingin bertanya pada kalian," balas Pengemis 
Tempurung Sakti. "Apa tidak mungkin kalau kalian 
hanya berpura-pura saja?" 
Tiga Setan Rambut Api saling pandang karena di-
tuduh Pengemis Tempurung Sakti kalau mereka me-
nyembunyikan sesuatu. Padahal mereka juga belum 
tahu sesuatu yang terjadi di tempat itu, sehingga para 
pendekar rimba persilatan berdatangan ke tempat itu. 
"Hei, mengapa kalian seperti orang bodoh?" tanya 
Pengemis Tempurung Sakti, menyentakkan Tiga Setan 
Rambut Api. Namun Untara segera berusaha menutupi 
ketidakmengertian mereka akan pertanyaan dan seka-
ligus tuduhan dari Pengemis Tempurung Sakti. 
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
ganggap kami sudah mengetahui masalahnya. Ah, 
sangat disayangkan. Kami sebenarnya justru hendak 
bertanya," ucapnya setenang mungkin. 
Kini giliran keenam ketua perkumpulan pengemis 
yang saling pandang. Kening mereka berkerut dan ma-
ta mereka menyipit Pengemis Tempurung Sakti masih 
mengelus-elus jenggotnya yang panjang. 
"Weh, bagaimana ini? Kami pikir kalianlah yang 
telah tahu. Tapi mengapa kalian seperti menuduh ka-
mi?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. 
"Hm.... Bagaimana kalau kita tanyakan pada Ki 
Kenjono? Rupanya si Pedang Iblis juga datang," usul 
Untara. 
"Ya, sebaiknya kita tanyakan padanya?" sambut 
Pengemis Tempurung Sakti. 
Pengemis Tempurung Sakti dan Untara bangkit, 
kemudian keduanya mendekati meja di sampingnya, di 
mana lelaki berpakaian rompi hitam dengan rambut 
panjang yang-  dibiarkan  terlepas  tengah menyantap 
makanannya. 
"Oh, nikmat sekali kau makan, Ki?" tegur Penge-
mis Tempurung Sakti dengan tetap membelai-belai 
jenggotnya yang putih. 
Lelaki yang tengah makan itu menghentikan ma-
kannya. Kepalanya ditolehkan ke belakang. 
"Ah, kukira siapa. Rupanya Pengemis Tempurung 
Sakti dan Setan Rambut Api. Hm, apa kalian minta ku 
bayari makan? Pesanlah...." 
"Keparat!" maki Untara. "Aku menemuimu bukan 
untuk mengemis seperti Pengemis Tempurung Sakti, 
Kenjono!" 
"Setan alas! Kalian kira aku tak sanggup mem-
bayar makanan kalian!" dengus Pengemis Tempurung 
Sakti sengit, merasa dirinya diremehkan sebagai gem-
bel yang hanya bisa meminta-minta. "Kalau saja aku 
tidak punya kepentingan untuk mengetahui hal yang 
terjadi di sini, sudah kutampar mulut kalian!" 
Ki Kenjono dan Untara saling pandang. Kemu-
dian keduanya tertawa tergelak-gelak, membuat Pen-
gemis Tempurung Sakti makin gusar. Hampir saja 
Pengemis Tempurung Sakti yang keras kepala dan pe-
marah itu kembali membentak, kalau saja Untara ti-
dak mendahului. 
"Aha, kuharap kau tidak mengumbar marah, 
Pengemis Tempurung Sakti. Bukankah kita sama-
sama ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi 
di sini?" Pengemis Tempurung Sakti menurut.  
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku?" 
tanya Ki Kenjono kemudian. 
"Begini, Ki Kenjono. Kami ingin tahu apa yang 
terjadi di sini? Mengapa orang-orang berdatangan ke 
tempat ini...?" tanya Untara. 
"Weh weh weh.... Jadi kalian juga belum tahu?"  
"Ya," sahut Pengemis Tempurung Sakti singkat.  
"Aha, kalau begitu kita sama. Dan mungkin se-
mua orang yang datang di sini, sama-sama tidak tahu 
apa yang mereka tuju. Tapi, bukankah kalian telah 
mendapat kabar tentang Titisan Dewi Keberuntungan 
yang ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya 
Ki Kenjono, 
"Ya," sahut Untara. 
"Jadi mereka datang untuk mencari Titisan Dewi 
Kwan Im?" tanya Pengemis Tempurung Sakti. 
"Tepat!" jawab Ki Kenjono. 
"Jadi Lembah Lamur ada di sekitar Kadipaten 
Wuwungan ini?" tanya Untara. 
"Mungkin, karena hampir semuanya berdatangan 
ke tempat ini," sahut Ki Kenjono. "Ah, sudahlah. Aku 
harus makan dulu." 
Tanpa menghiraukan kedua orang itu, Ki Kenjono 
yang bersikap angkuh meneruskan makannya. Hal itu 
membuat Pengemis Tempurung Sakti dan Untara sal-
ing pandang. Hampir saja mereka marah, kalau saja 
mereka tidak ingat bahwa mereka sama-sama sealiran. 
Meski begitu, keduanya agak jengkel juga menyaksi-
kan tingkah laku Ki Kenjono yang dianggap terlalu 
angkuh. Lalu dengan memandang sinis, keduanya 
kembali ke tempat duduk masing-masing. 
"Bagaimana, Kakang?" tanya Undani. 
"Rupanya semuanya datang ke tempat ini dengan 
tujuan yang sama," jawab Untara. 
"Mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Umbaka-
ra. Suaranya berusaha menegaskan. 
"Ya!" 
"Hm.... Kalau begitu, kita tidak boleh keduluan 
mereka," bisik Undani. 
"Kita harus mendahului mereka." 
"Benar, Kakang. Kita harus segera mencari Lem-
bah Lamur," sambut Umbakara. 
"Ya! Kita harus secepatnya mendapatkan Titisan 
Dewi Kwan Im itu. Ayo...," ajak Untara berbisik sambil 
bangkit dari bangkunya, diikuti oleh kedua adiknya. 
*** 
Pengemis Tempurung Sakti terkekeh, menyaksi-
kan Tiga Setan Rambut Api pergi meninggalkan kedai. 
Tampaknya Pengemis Tempurung Sakti dan lima ketua 
perkumpulan pengemis membiarkan mereka pergi le-
bih dahulu untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im. 
"He he he...! Mereka kira akan mudah untuk 
mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," seloroh Pengemis 
Tempurung Sakti. Tangannya membelai-belai jenggot-
nya yang panjang dan putih. 
"Ketua, apakah tidak sebaiknya kita susul mere-
ka?" tanya Jalantra, yang merupakan Ketua Perkum-
pulan Pengemis daerah selatan. 
"Benar, Ketua. Apakah tidak sebaiknya kita me-
nyusul mereka? Aku takut mereka akan mendahului 
kita," tambah Gandrana. 
Pengemis Tempurung Sakti menggeleng-
gelengkan kepala sambil tersenyum. Tangannya kem-
bali membelai-belai jenggotnya yang panjang dan ber-
warna putih. 
"Biarkan saja mereka mendahului. Apakah kalian 
kira mereka akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im 
yang cantik menjadi istri mereka? Ha ha ha...!" Penge-
mis Tempurung Sakti tertawa terbahak-bahak, diikuti 
oleh kelima ketua pengemis lainnya. Hal itu membuat 
para pendekar yang ada di tempat itu memandang me-
reka. Tidak terkecuali Ki Kenjono. 
"Pengemis butut! Mengapa kalian mesti tertawa-
tawa?!" bentak Ki Kenjono kesal. Matanya mendelik le-
bar, memperlihatkan warna merah bagai gejolak api. 
"Iblis bau comberan! Apa hakmu menghentikan 
tawa kami!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Penge-
mis daerah utara. 
"Sontoloyo! Kalianlah yang bau kentut! Huh...!" 
balas Ki Kenjono tak mau kalah. Kemudian dia mene-
ruskan makannya, tanpa menghiraukan keenam pen-
gemis yang masih menatapnya dengan jengkel. 
"Rupanya orang itu perlu dihajar, Ketua," kata 
Gandrana. 
"Aha, memang mulutnya  yang busuk itu perlu 
dihajar," jawab Pengemis Tempurung Sakti, membuat 
Ki Kenjono tersentak. 
Dengan wajah bengis, Ki Kenjono bangun dari 
tempat duduknya. Matanya yang tajam penuh amarah 
menantang keenam pengemis yang masih tertawa-
tawa. 
"Pengemis butut! Rupanya kalian di mana pun 
selalu menyebalkan! Kalian harus diajar adat!" maki Ki 
Kenjono seraya mendengus marah. 
"Aha, seharusnya kaulah yang harus diajar adat, 
Kenjono!" balas Pengemis Tempurung Sakti. 
"Bedebah! Kuhajar kau, Pengemis Butut! 
Yeaaa...!" 
Srrrt! 
Ki Kenjono mengeluarkan pedangnya, kemudian 
dengan penuh amarah tubuhnya melesat ke arah Pen-
gemis Tempurung Sakti. Namun dengan cepat, Gan-
drana telah menghadangnya dengan membabatkan 
tongkat kayu hitam ke pedang lawan. 
Trang! 
Kemarahan Ki Kenjono kian menggila ketika 
mengetahui Gandrana memapaki serangannya. Ma-
tanya semakin berkilat tajam. Didahului pekikan 
menggelegar, Ki Kenjono kembali membuka serangan 
dengan babatan pedang ke arah Ketua Perkumpulan 
Pengemis daerah timur itu.  
"Yeaaa...!" 
"Keluarkan  semua ilmu pedang bututmu!" tan-
tang Gandrana seraya mengelakkan tebasan dan baba-
tan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya 
menggerakkan tongkat kayu hitam. Seketika, tongkat 
itu menjadi baling-baling, bergerak membentuk perisai 
sekaligus menjadi senjata yang sangat berbahaya. 
"Heaaa...!" 
Wut, wut! 
Tring, trang...! 
Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar 
susul-menyusul. Diikuti oleh gerakan keduanya yang 
menyerang dan mengelak. Tangan kiri mereka yang ti-
dak memegang senjata tak mau diam, turut bergerak 
menyerang dan menangkis dengan kebutan-
kebutannya. 
"Beri dia pelajaran, Gandrana!" seru Pengemis 
Tempurung Sakti sambil terus memperhatikan jalan-
nya pertarungan antara anggotanya yang memegang 
pimpinan di wilayah timur melawan Kejono. Kemudian 
Pengemis Tempurung Sakti tertawa bergelak-gelak, di-
ikuti oleh empat anggotanya yang lain. 
Ki Kenjono semakin marah karena ditertawakan 
oleh para pengemis. Serangannya semakin diting-
katkan. Pedangnya bergerak kian cepat, membabat 
dan menusuk ke tubuh lawannya. 
"Yeaaah...!" 
Ki Kenjono benar-benar bernafsu untuk secepat-
nya menjatuhkan lawan. Pedangnya bergerak semakin 
cepat, tidak ubahnya baling-baling maut yang setiap 
saat dapat merenggut nyawa lawannya. 
Menyaksikan serangan lawan yang cepat dan 
mematikan, tidak membuat Gandrana gentar. Justru 
dengan serangan lawan seperti itu, dia semakin mudah 
melihat kelemahan-kelemahan serangan yang dilan-
carkan lawannya. 
Dengan sedikit berkelit, Gandrana mampu men-
gelakkan serangan lawan yang dirasuki amarah. Ke-
mudian dengan cepat, balas menyerang dengan tidak 
kalah gencar. Tongkat kayu hitam di tangannya me-
mukul dan menusuk lawan secara bertubi-tubi. 
"Yeaaat..!" 
Wut, wut..! 
Tongkat kayu hitam di tangan Gandrana kini ti-
dak ubahnya sebilah pedang tajam yang terbuat dari 
logam pilihan. Angin serangannya menimbulkan deru 
yang dahsyat menghambur ke arah lawan. 
"Uts...! Setan!" maki Ki Kenjono kaget, menda-
patkan serangan balik yang tidak diduganya. Kalau sa-
ja tidak cepat-cepat mengelak, tentu tubuhnya akan 
menjadi korban dari sabetan  dan tusukan tongkat 
kayu hitam di tangan lawannya. 
"Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa 
terpingkal-pingkal menyaksikan Gandrana mampu 
mendesak Ki Kenjono. Hal itu membuktikan kalau 
Perkumpulan Pengemis bukanlah perkumpulan yang 
rendah, namun harus diperhitungkan di rimba persila-
tan. 
Serangan yang dilancarkan oleh Gandrana sema-
kin membuat Ki Kenjono kewalahan. Nampaknya ilmu 
pedang yang selama ini dirasa cukup tangguh, tiada 
arti sama sekali menghadapi jurus-jurus 'Tongkat 
Kayu Hitam' yang dilancarkan Gandrana. Bahkan be-
berapa kali, Ki Kenjono hampir kecolongan oleh sabe-
tan-sabetan tongkat itu.  
Kelima pengemis yang lain tertawa riuh rendah 
menyaksikan bagaimana Ki Kenjono atau lebih dikenal 
dengan sebutan Pedang Iblis, kini mengalami ketegan-
gan.  Wajahnya pucat pasti, menyadari serangan-
serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran. 
Bahkan kini dia yang terdesak oleh lawan. 
"Percuma mulutmu besar, Kenjono! Kalau ilmu-
mu hanya kelas pasaran...! Ha ha ha...!" seru Pengemis 
Tempurung Sakti diikuti oleh gelak tawa. 
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Kenjono ber-
tambah marah. Namun menyadari kedudukannya saat 
itu, Ki Kenjono tak mampu berbuat apa-apa. Jangan-
kan untuk melawan Pengemis Tempurung  Sakti, me-
lawan anak buahnya saja dia sudah terdesak. 
"Huh...! Memang aku saat ini kalah! Tapi setelah 
aku mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im, kepala kalian 
akan kupenggal satu persatu!" 
Usai berkata demikian, tanpa rasa malu sedikit 
pun Ki Kenjono segera melesat ke belakang. Kemudian 
dengan cepat meninggalkan kedai. Hal itu semakin 
membuat gerombolan pengemis itu tertawa bergelak-
gelak. 
"Ha ha ha...!" 
"Kalian lihat sendiri, bagaimana Perkumpulan 
Pengemis kini bukan kumpulan orang gembel. Per-
kumpulan Pengemis kini menjadi perkumpulan yang 
akan disegani oleh para pendekar rimba persilatan! 
Tak akan ada yang berani mencari penyakit dengan 
Perkumpulan Pengemis...," kata Pengemis Tempurung 
Sakti. Nadanya agak pongah dan sombong. Seakan-
akan hanya dia dan anak buahnya saja yang memiliki 
ilmu tinggi. 
Selesai berkata begitu, Pengemis Tempurung 
Sakti segera mengajak kelima anak buahnya berlalu 
meninggalkan kedai. 
"Pengemis gembel sombong...!" dengus para pen-
dekar. Kesal juga mereka dengan tingkah laku dan ke-
sombongan para pengemis itu. Terlebih pada Pengemis 
Tempurung Sakti. Kalau saja mereka memiliki ilmu 
yang tinggi, tentunya mereka akan melabrak para pen-
gemis itu. 
Sepeninggal Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono, 
dan para pengemis, kedai kembali tenang. Bahkan kini 
satu persatu para pendekar meninggalkannya, untuk 
meneruskan mencari Titisan Dewi Kwan Im yang me-
reka dengar berada di Lembah Lamur. 
Angin malam yang dingin berhembus kencang, 
menerobos belukar, pucuk pepohonan dan rerumpu-
tan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya, 
ditampar derasnya angin. 
Di saat suasana malam seperti ini, tampak seo-
rang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rompi 
kulit ular, tengah menyelusuri jalan yang gelap dan 
sepi. Seakan-akan pemuda tampan itu tak peduli den-
gan keadaan cuaca yang tak ramah. Wajahnya tampak 
menunduk penuh penyesalan. 
Pemuda  yang tak lain Sena atau Pendekar Gila 
itu baru saja berkunjung ke Perguruan Bintang Emas 
untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kema-
tian Dewi Pandagu. Sesampainya di sana, berita yang 
disampaikan dua lelaki di kedai itu ternyata benar. 
Dewi Pandagu, wanita cantik yang telah membuatnya 
hanyut dalam arus asmara, telah tewas. 
Hati Pendekar Gila remuk redam menyaksikan 
mayat Dewi Pandagu. Belum lagi peristiwa penculikan 
Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Lelaki yang men-
culik Mei Lie sangat misterius. Datang begitu cepat 
dengan pakaian yang sama dengan pakaian Kauw Cien 
Lung (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-
la dalam episode "Singa Jantan dari Cina"). 
Kalau saja saat itu Sena tidak tengah bertarung 
dengan Kauw Cien Lung, tentunya dia akan mengejar 
lelaki misterius itu. 
"Setan!" maki Sena kesal. Kakinya menendang 
sebuah batu kecil yang ada di depannya.  
Wut! 
Batu itu melesat jauh, bagai dilempar dengan ke-
kuatan penuh. 
Sena menghela napas. Matanya menyapu ke se-
kelilingnya yang sepi dan senyap. Sebuah lembah yang 
dikepung perbukitan, dengan angin yang bertiup ken-
cang laksana hembusan napas beribu mambang ma-
lam. 
"Huk huk huuuk...!" 
Samar-samar telinga Sena menangkap suara 
aneh itu. Bulu kuduknya meremang. Langkahnya se-
ketika terhenti. Matanya menyapu ke sekelilingnya 
dengan tajam, berusaha mencari asal suara menye-
ramkan yang baru saja didengarnya. 
"Huk huk huuuk...!" 
Suara itu kembali terdengar. Suaranya persis se-
perti suara burung hantu. Namun Sena merasa yakin 
kalau itu bukan suara burung hantu. Dia telah biasa 
bergelut dengan kegelapan malam di dalam hutan. Se-
dikit banyak, telinganya telah akrab dengan suara bu-
rung hantu yang sebenarnya. 
"Suara apa itu...?" desis Sena. Suaranya agak ke-
lu, karena perasaannya tercekam. Bulu kuduknya me-
remang kembali. 
Meski ketegangan menyelimuti jiwanya, namun 
entah mengapa Sena tetap berdiri di situ. Matanya ma-
sih mengamati dalam remang cahaya bulan. Seper-
tinya, Sena ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di 
hadapannya dan meyakinkan suara yang baru saja di-
dengarnya. 
Ketika mata Sena menyapu tempat itu, tiba-tiba 
berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepatnya 
bayangan itu berkelebat, sampai-sampai tubuh Sena 
tersentak. 
"Hei, siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Ke-
mudian tanpa banyak kata lagi, tubuhnya melesat ce-
pat untuk mengejar bayangan putih yang sempat dili-
hatnya sekilas. 
Bayangan putih itu berkelebat ke arah bukit di 
sebelah selatan, kemudian menghilang di balik bukit 
"Berhenti...!" seru Sena sambil terus berlari. Na-
mun bayangan putih itu rupanya telah lebih dahulu 
menghilang. Karena begitu cepatnya menghilang, sam-
pai Sena tak mampu mengejarnya. 
"Edan!" umpat Sena jengkel. Pandangannya dis-
apukan ke sekeliling tempat itu. Namun tetap saja ti-
dak ditemukan siapa pun di tempat itu. Padahal dia 
yakin kalau bayangan putih itu berlari ke tempatnya 
kini berdiri. Kalau bersembunyi rasanya tidak mung-
kin. Di sekeliling tempat itu tak ada sesuatu pun yang 
bisa digunakan untuk bersembunyi. 
Sena mengerutkan kening. Matanya masih men-
gamati sekitarnya yang semakin mencekam. Bulu ku-
duknya lagi-lagi meremang, setelah dia tidak berhasil 
menemukan bayangan putih tadi. 
"Huk huk huuuk...!" 
Suara menyeramkan itu kembali terdengar. Se-
pertinya suara itu ada di dekatnya. Sena menajamkan 
telinga dan matanya, berusaha meyakinkan dari mana 
asal suara menyeramkan itu. 
"Hm.... Aku yakin bukan hantu. Jelas sekali itu 
suara manusia," desis Sena. Tapi matanya belum juga 
menemukan tanda-tanda kalau bayangan putih itu 
akan muncul kembali. 
Angin lembah semakin keras berhembus, mem-
bawa hawa dingin yang terasa menggigit. Dikawal oleh 
suara menyeramkan yang kembali terdengar. 
"Aku harus hati-hati. Mungkin orang itu memiliki 
ilmu yang tinggi," gumam Sena dengan mata berkilat 
penuh kewaspadaan. 
Wusss! 
Angin semakin berhembus kencang, bertemu di 
tengah-tengah lembah, kemudian bergulung-gulung 
membentuk pusaran yang besar dan kencang. 
"Uh!" 
Sena tersentak kaget. Dengan mata membelalak, 
berusaha dihindarinya pusaran angin yang besar itu. 
Tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto dengan 
cepat. Namun pusaran angin itu seperti mengerti kalau 
lawannya berusaha mengelak. Angin itu terus bergu-
lung ke arah Sena mengelak. 
Wut! 
"Edan!" maki Sena kaget menyaksikan pusaran 
angin itu ternyata mengejarnya. Seakan-akan angin itu 
memiliki mata. "Kurang ajar! Ini bukan main-main!" 
Wusss...! 
Pusaran angin itu terus mengejar tubuh Pende-
kar Gila, memaksanya bersalto untuk mengelakkan se-
rangan angin besar itu. Walau begitu, hampir saja tu-
buhnya dapat dihantam pusaran angin itu. 
"Auh...! Kurang ajar! Hampir saja aku kena!" ma-
ki Sena sambil terus melenting kian kemari. Bahkan 
kini dia harus menggunakan ilmu peringan tubuh 
'Panca Guna' warisan Singo Edan. 
Dengan menggunakan ilmu 'Panca Guna', kini 
tubuhnya dapat bergerak dengan ringan tanpa men-
ginjak tanah. Tubuhnya bagaikan tak memiliki beban 
sedikit pun, tidak ubahnya sehelai bulu yang menari di 
atas angin. 
"Aku harus dapat memecahkan pusaran angin 
ini," desis Sena sambil terus mengelitkan sambaran-
sambaran pusaran angin yang keras dan terus mem-
buru. "Heaaa...!" 
Tubuh Sena melesat beberapa tombak ke bela-
kang. Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila 
Mengaduk Samudera', Pendekar Gila kembali melesat. 
Kini dia bertekad menerobos pusaran angin kencang 
itu.  Tangannya disilangkan di depan, dengan jari-jari 
membentuk cengkeraman. Kemudian kedua tangannya 
digerakkan seperti mengaduk-aduk samudera. 
Wut..! 
Angin pusaran itu terus memburu maju, siap 
menelan tubuh Pendekar Gila yang melesat maju lak-
sana elang dengan kedua tangan siap mengaduk-aduk. 
"Yeaaa...!" 
Blasss! 
Tubuh Sena menyeruak ke dalam rongga pusa-
ran angin itu. Tangannya terus bergerak, mengaduk-
aduk pusaran angin yang telah menelan tubuhnya. 
Namun pusaran angin itu bagai tak mengalami apa-
apa. Malah semakin keras Pendekar Gila berusaha 
menghancurkan, semakin keras pula tubuhnya digu-
lung. 
"Celaka!" pekik Sena dengan mata membelalak 
tegang, menyadari kalau semua pukulannya tak berar-
ti sama sekali. "Oh! Napas ku terasa sesak sekali. Se-
pertinya, angin ini menyerap seluruh tenagaku." 
Sena kini merasakan otot di persendiannya bagai 
direjam. Tubuhnya terus bergulung, mengikuti pusa-
ran angin itu. Namun dia tak mau mengalah begitu sa-
ja. Terus diserangnya pusaran angin itu. Pukulan sak-
tinya segera dikerahkan. 
"Pukulan 'Inti Bayu'. Yeaaah...!" 
Pukulan 'Inti Bayu' merupakan ajian yang mam-
pu mengeluarkan angin deras dan besar. Bahkan 
mampu menerbangkan pohon raksasa sekalipun. 
Wusss! 
Angin bertemu dengan angin. Keduanya berusa-
ha saling mengalahkan. Namun pukulan 'Inti Bayu' 
yang dikerahkan Pendekar Gila ternyata tak mampu 
menghancurkan pusaran angin itu. Sena semakin ter-
jepit. Nafasnya kian terasa sesak dan tersengal-sengal. 
"Celaka! Pukulanku tak berarti...!" rintih Sena. 
Pendekar Gila merasakan tulang-tulangnya bagai 
remuk, dihimpit dan digulung oleh pusaran angin itu. 
Dan tubuhnya terpontang-panting di dalamnya. 
"Oh, apa yang harus kulakukan?" tanya Sena se-
tengah mengeluh. "Ku coba  dengan 'Inti Api'. 
Yeaaah...!" 
Tangan Pendekar Gila kini merah membara. Ke-
mudian, nampaklah api melesat ketika Pendekar Gila 
menghantamkan tangannya ke arah pusaran angin itu. 
Wusss! 
Dap, dap, dap...! 
Api yang meluncur dari tangan Pendekar Gila, 
padam seketika. Sepertinya, api yang kekuatannya se-
ratus kali dari api biasa, tak ada gunanya sama sekali. 
Pusaran angin itu semakin keras menghimpit tu-
buh Pendekar Gila. Membuatnya kian menderita aki-
bat himpitan itu. Namun begitu, pantang baginya un-
tuk mengalah atau pasrah. Dicabutnya Suling Naga 
Sakti. Kemudian dengan meringis menahan sakit, mu-
lutnya segera meniup Suling Naga Sakti.  
"Tuiiit, tuiiit..!" 
Alunan Suling Naga Sakti tercipta. Mulanya me-
lantun lembut, namun semakin lama semakin me-
lengking keras. Dari kedua mata di kepala naga pada 
pangkal suling itu, melesat selarik sinar merah ke pu-
saran angin. 
Wusss! 
Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya 
sambil memutarkan arah mata naga di suling itu ke 
sekelilingnya, membuat larikan-larikan sinar dari mata 
naga laksana memotong pusaran angin itu. 
Wusss, wusss...! 
Pusaran angin itu semakin lama semakin pelan. 
Sampai akhirnya hilang sama sekali. Tubuh Pendekar 
Gila terpelanting, lalu jatuh terduduk. 
"Hilang...!" seru Sena dengan mata membelalak, 
menyaksikan pusaran angin itu hilang dengan sendi-
rinya, seakan raib begitu saja. Bahkan angin lembah 
yang semula kencang, kini turut menghilang. 
Sena masih belum mengerti apa yang sebenarnya 
telah terjadi di lembah itu. Juga dengan hilangnya an-
gin yang membentuk pusaran, serta angin lembah 
yang tiba-tiba mereda. Tapi suara menyeramkan yang 
didengarnya tadi justru terdengar lagi. 
"Huk huk huuuk...!" 
Sena seketika tersentak. Matanya  menyapu ke 
sekelilingnya yang sepi dan mencekam untuk mencari 
asal suara yang didengarnya. 
"Hm.... Tentunya suara itu sebagai tanda suara 
pertama," gumam Sena. Dongkol juga Sena mengha-
dapi semuanya. Belum lagi rasa dukanya hilang kare-
na kematian dan penculikan orang-orang yang dicintai, 
kini harus pula menghadapi hal aneh. 
Suling Naga Sakti diselipkannya di pinggang. La-
lu tubuhnya tak bergeming, menunggu setiap ke-
mungkinan yang bakal terjadi. 
"Huk huk huuuk...!"     
"Keluarlah! Apa pun wujud mu, aku tak akan la-
ri!" bentak Sena, yang semakin dibuat jengkel oleh su-
ara itu. Hatinya yang sedang diliputi duka dan sedih, 
menjadi marah. 
Wusss! 
Kembali terdengar suara angin bertiup keras, 
mengejutkan Pendekar Gila. Seketika tubuhnya berba-
lik, lalu memandang arah datangnya suara itu. 
Mata Pendekar Gila membelalak. Mulutnya tern-
ganga tanpa sadar, ketika menyaksikan sosok besar 
yang berada tiga tombak di hadapannya. Sosok menye-
ramkan yang tingginya melebihi bukit, dengan tubuh 
sebatas perut ke bawah diliputi oleh asap tebal ber-
warna gelap. 
"Oh...! Makhluk apa itu?!" seru Sena dengan ma-
ta masih membelalak dan mulut ternganga. 
Makhluk itu menyerupai monyet, namun telin-
ganya panjang dengan ujung meruncing. Di kepalanya, 
terdapat tanduk yang berkilat tajam dan runcing. Mata 
makhluk itu besar, berwarna merah membara laksana 
api. Lidahnya juga merah, menjulur panjang. Dengus 
nafasnya terdengar keras. Tubuhnya dipenuhi bulu hi-
tam kemerah-merahan. Kuku-kukunya panjang dan 
runcing. 
"Hogm...!" 
Makhluk menyeramkan itu mengeluarkan sua-
ranya yang memekakkan telinga. 
Kaki Sena melangkah mundur dengan mata ma-
sih memandangi makhluk menyeramkan yang keliha-
tannya siap melakukan serangan terhadapnya. 
"Hm.... Apa lagi yang akan terjadi?" gumam Sena 
sambil terus melangkah mundur. Dia telah waspada 
penuh untuk mengelak, sekaligus membalas serangan 
yang akan dilakukan makhluk menyeramkan itu. 
Makhluk tinggi besar menyeramkan itu kini me-
nyerang ke arah Pendekar Gila. Sepasang tangannya 
yang besar berkuku panjang dan runcing, menyambar 
cepat. Sedang dari mulutnya tersembur api yang besar, 
siap membakar tubuh Pendekar Gila. 
Wosss! 
"Uts!" 
Sena segera melenting ke samping dengan bersal-
to beberapa kali untuk mengelakkan sambaran tangan 
makhluk menyeramkan itu. Lalu dengan cepat pula, 
tubuh Pendekar Gila melesat ke arah makhluk menye-
ramkan itu. Pukulan tenaga dalamnya dikerahkan un-
tuk menghantam wajah makhluk itu. 
"Heaaa...!" 
Makhluk menyeramkan itu tidak mengelak, sea-
kan membiarkan pukulan tenaga dalam Pendekar Gila 
menghantam tubuhnya. 
Desss! 
Mata Pendekar Gila membelalak dengan mulut 
menganga mendapatkan kenyataan yang sulit diper-
caya. Pukulan saktinya bagai menghantam angin. Saat 
itu pula tangan makhluk menyeramkan itu menyam-
bar ke arah tubuhnya. 
Wut! 
"Uh!" 
Beruntung Pendekar Gila masih memiliki kewas-
padaan tajam, sehingga mampu berkelit dari sambaran 
tangan makhluk itu. Tubuhnya melenting ke belakang, 
bersalto di udara beberapa kali, sebelum kakinya men-
darat di tanah dengan ringan. Matanya memandang ta-
jam pada makhluk menyeramkan yang ada di hada-
pannya, seakan tak percaya pada apa yang telah di-
alami. 
Wusss! 
Api membara kembali keluar dari mulut makhluk 
menyeramkan itu, menyambar ke arah tubuh Pende-
kar Gila. Sementara, Sena segera membuang tubuhnya 
dengan bersalto ke samping, kemudian dengan cepat 
balas menyerang. 
"Yeaaah!" 
Tubuh Pendekar Gila yang sangat kecil diban-
dingkan makhluk menyeramkan itu, melesat cepat 
laksana terbang. Tangan kanannya mengepal. Sedang-
kan tangan kirinya diletakkan di depan dada. Lalu 
dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila me-
lontarkan pukulan saktinya. 
"Yeaaa!" 
Wut..!  
Untuk yang kedua kalinya Pendekar Gila tersen-
tak kaget mendapatkan pukulannya tak berarti apa-
apa. Makhluk menyeramkan itu bahkan dengan cepat 
membalas. Tangannya menyambar ke tubuh Pendekar 
Gila.  
Plak! 
"Ukh!" keluh Sena. Tubuhnya terpelanting ke be-
lakang akibat hantaman tangan makhluk menyeram-
kan itu. Saat itu pula rasa panas menyengat tubuh-
nya. 
Pendekar Gila meringis, merasakan sakit pada 
tubuhnya. Segera dia bangkit sambil menggaruk-garuk 
kepala. Kemudian kakinya ditarik ke samping setengah 
menekuk dan tangannya menghantam ke depan. Itu-
lah jurus 'Tamparan Sukma'. Dengan menggunakan 
jurus itu, Pendekar Gila berharap dapat mengalahkan 
makhluk menyeramkan itu. 
Tubuh Pendekar Gila kembali melesat laksana 
terbang. Kemudian tangan kirinya melakukan tampa-
ran ke wajah makhluk menyeramkan yang telah di-
jangkaunya. 
Blak! 
"Aaarghhh...!" 
Makhluk menyeramkan itu meraung keras, men-
dapat tamparan yang dirasakan hantaman ribuan hali-
lintar yang menggelegar. Padahal gerakan yang dilaku-
kan Pendekar Gila kelihatan sangat lemah dan pelan. 
Bahkan dilakukan dengan mata terpejam serta hanya 
mengandalkan kekuatan jiwanya. Namun hasilnya 
sangat dahsyat Makhluk menyeramkan itu meraung-
raung kesakitan. Kemudian tubuhnya perlahan-lahan 
menghilang, berganti dengan kabut tebal yang terbang 
bersama angin. 
"Hhh...," Sena menghela napas panjang. Matanya 
kembali menyapu ke sekelilingnya. 
"Pendekar Gila, saat ini kau menang! Tapi tunggu 
pembalasanku...!" 
Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang 
mengancam Pendekar Gila, sehingga membuatnya ter-
sentak. 
"Hei, siapa itu! Tunjukkan wujud mu!" bentak 
Sena. Tapi tak ada sahutan. Lembah itu kembali sepi, 
diselimuti kegelapan yang bisu. 
Sena menghela napas. Pandangan matanya bere-
dar ke sekeliling tempat  itu. Kemudian setelah yakin 
tak ada apa-apa lagi, tubuhnya melesat meninggalkan 
tempat itu untuk mencari Mei Lie. 
Kabut tebal menyelimuti sebuah bangunan besar 
dan megah yang menyerupai candi. Bangunan tua itu 
adalah istana gaib tempat Dewi Pemuja Setan. Bangu-
nan itu berada di dalam gumpalan kabut tebal. Mem-
buat orang persilatan sulit untuk menemukannya. 
Di dalam istana, tepatnya di dalam sebuah ruang 
kamar yang semuanya berwarna putih, nampak Dewi 
Pemuja Setan tengah duduk bersila. Di hadapannya 
terdapat dupa yang mengepulkan asap. Di sisi dupa, 
terdapat kembang tujuh warna. 
Dewi Pemuja Setan memandang ke tempat tidur 
yang berwarna putih, dengan kelambu terbuat dari su-
tera putih. Di atas tempat tidur, tergeletak sesosok ga-
dis cantik. Gadis itu berkulit kuning langsat, dengan 
rambut digelung dua di atas kepala. Berbaju putih len-
gan panjang, serta bibir tipis dan hidung tidak begitu 
mancung. Ternyata dia adalah Mei Lie. 
Dewi Pemuja Setan yang setiap kehadirannya se-
nantiasa didahului oleh kabut tebal, nampak berparas 
cantik jelita. Berbaju putih seperti jubah, dengan ikat 
pinggang merah. Rambutnya terurai panjang dan ber-
gelombang. Di kepalanya terdapat sebuah ikat kepala 
dengan hiasan tengkorak manusia. 
"Hm...," Dewi Pemuja Setan bergumam tidak je-
las. "Singo Edan, kali ini kau akan mendapatkan bala-
sanku! Begitu juga dengan muridmu!" 
Dewi Pemuja Setan memejamkan mata. Mulutnya 
komat kamit membaca mantera. Tangannya berside-
kap di depan dada. Asap dupa semakin mengepul. 
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Pemuja Setan ter-
getar hebat. 
"Mei Lie...!" panggilnya lirih. 
"Uh," Mei Lie mengeluh. 
"Bangunlah, Mei Lie! Bangunlah dari ragamu!" 
Roh Mei Lie menurut untuk bangun. Nampak 
samar-samar sebuah bayangan keluar dari tubuh Mei 
Lie lalu berdiri di hadapan Dewi Pemuja Setan yang 
duduk bersila. 
"Ada apa Sri Ratu memanggilku?" terdengar sua-
ra arwah Mei Lie bertanya. 
"Tugas untukmu! Bunuh orang yang kini hendak 
ke Lembah Lamur!" perintah Dewi Pemuja Setan. 
"Baik, Sri Ratu," jawab roh Mei Lie. 
"Berangkatlah. Aku akan mengiringi mu  dengan 
Kabut Iblis! Kita harus bisa membuat semua orang 
persilatan membuka mata! Ha ha ha...!" Dewi Pemuja 
Setan tertawa terbahak-bahak. 
Roh Mei Lie melayang keluar, meninggalkan ka-
marnya diikuti oleh Dewi Pemuja Setan yang masih 
tertawa terbahak-bahak. 
*** 
Siang itu Lembah Lamur sangat sepi. Angin ber-
tiup kencang, seakan-akan badai hendak datang. Ka-
but tebal menyelimuti sekeliling berubah. Membuat 
suasana Lembah Lamur menjadi menyeramkan. Ca-
haya matahari yang memanggang, seakan tidak mam-
pu menembus ketebalan kabut yang menyelimuti lem-
bah itu. 
Seorang lelaki berlari-lari menuju Lembah Lamur 
dari arah utara. Dilihat dari pakaian yang dikenakan 
serta pedang bergagang tengkorak manusia kecil, ten-
tunya lelaki itu tiada lain Ki Kenjono. 
"He he he...!" Ki Kenjono tertawa tergelak-gelak. 
"Rupanya mereka tidak tahu di mana Lembah Lamur 
berada. Ah, akulah yang paling beruntung. Aku yang 
bakal mendapatkan Dewi Kwan Im." 
Ki Kenjono tersenyum-senyum seorang diri, me-
rasa kalau dirinya yang bakal mendapatkan Titisan 
Dewi Kwan Im. 
"Akulah yang akan menjadi orang terhormat dan 
tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun juga. Ha ha 
ha...!" Ki Kenjono kembali tertawa sambil terus berlari 
menuju Lembah Lamur. Matanya terus menyapu ke 
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan kalau 
hanya dia yang ada di tempat itu. 
Saat Ki Kenjono tertawa-tawa sambil terus berlari 
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba dilihatnya seorang 
gadis cantik jelita dengan senyum menawan tengah 
berdiri memandang ke arahnya seperti mengundang Ki 
Kenjono untuk mendekatinya. 
Ki Kenjono seketika menghentikan larinya. Mu-
lutnya ternganga, menyaksikan seorang gadis cantik 

jelita bak bidadari baru turun dari kahyangan berada 
di tengah lembah. Senyumnya sangat mempesona, 
membuat kecantikan gadis itu bagai tiada bandingan-
nya. 
Gadis itu berkulit kuning langsat dengan rambut 
digelung dua di atas kepalanya. Matanya agak sipit. 
Bibirnya tipis mungil. Hidungnya tidak terlalu man-
cung. Pakaian yang dikenakannya bergaya pakaian ga-
dis Cina, berlengan panjang dengan lebar di ujungnya 
dan berwarna putih. Panjang pakaiannya sampai ke 
mata kaki. 
"Oh! Mungkinkah dia Titisan Dewi Kwan  Im?" 
tanya Ki Kenjono dengan mata tidak berkedip, mema-
ku pandangannya ke arah gadis Cina yang cantik jeli-
ta. "Ya. Mungkin dialah Titisan Dewi Kwan Im." 
Ki Kenjono masih terpana tanpa gerak, menyak-
sikan kecantikan gadis itu. Diusapnya kedua matanya 
dengan tangan, berusaha meyakinkan penglihatannya. 
Namun gadis cantik jelita itu tetap berdiri dengan ang-
gun. 
Gadis cantik jelita itu tersenyum mengundang. 
Matanya yang indah mengerjap-ngerjap seperti mata 
kelinci. Bibirnya merah merekah. Benar-benar tak ada 
cacat celanya. 
Ki Kenjono membalas senyuman wanita cantik je-
lita itu. Kakinya melangkah pelan, berusaha meng-
hampiri wanita cantik jelita yang sebagian kakinya dis-
elimuti kabut tebal, sehingga tidak nampak dari lutut 
ke bawah. 
"Sungguh beruntung aku. Rupanya akulah yang 
akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan  Im," kata Ki 
Kenjono dengan senyum mengembang di bibir. Ka-
kinya melangkah setapak demi setapak menuju Lem-
bah Lamur yang tinggal beberapa tombak saja. 
Kabut semakin tebal menyelimuti Lembah Lamur 
yang kian mencekam. Meski terik matahari terasa me-
nyengat, namun sinarnya tiada berarti sama sekali, 
terhalang gumpalan kabut pekat yang merambah lem-
bah. 
Ki Kenjono yang dalam kegembiraannya, tak lagi 
sempat berpikir panjang. Langkah kakinya semakin 
dipercepat. Dan ketika dia masuk ke dalam kabut itu, 
seketika dirasakannya sesuatu yang lain. 
"Oh, di mana aku? Di mana gadis Titisan Dewi 
Kwan  Im itu?" gumam Ki Kenjono kebingungan. Ma-
tanya menyapu ke sekelilingnya yang terasa asing. Ga-
dis cantik yang dilihatnya tadi kini tak ada lagi. Ma-
tanya hanya menangkap hutan belantara yang masih 
perawan, belum pernah dijamah tangan manusia. 
"Mengapa aku ada di sini...?" tanya Ki Kenjono 
terheran-heran, masih belum mengerti mengapa tiba-
tiba dia telah berada di tempat yang asing. Padahal dia 
tadi berada di lembah tanpa satu pun pepohonan. 
Yang ada hanya perbukitan yang mengelilingi lembah 
tersebut. 
"Hik hik hik...!" 
Terdengar tawa terkikik yang menyeramkan. Su-
ara tawa seorang wanita yang membuat bulu kuduk Ki 
Kenjono meremang hebat. Meski dari aliran sesat, na-
mun selama ini baru didengarnya tawa wanita yang 
mengikik seperti itu.  
Mata Ki Kenjono membelalak tegang dan menya-
pu ke sekelilingnya dengan perasaan tercekam. 
"Hik hik hik...!" 
Tawa wanita itu kembali terdengar. Bergema di 
sekelilingnya. Membuat Ki Kenjono kian tegang. Tan-
gannya kini bergerak ke gagang Pedang Iblisnya, ke-
mudian pedang itu ditarik dari sarungnya. 
Ki Kenjono kini mempersiapkan Pedang Iblisnya 
untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ma-
tanya masih menyapu ke sekelilingnya yang asing. Su-
asana di tempat itu terasa kian memompa degup jan-
tungnya. Suara-suara aneh, terdengar susul-
menyusul. Bagaikan panggilan dari alam kematian. 
"Hih!" Ki Kenjono mengibaskan tubuhnya ketika 
bulu kuduknya bertambah meremang. Dan ketika ke-
palanya menengok ke belakang, seketika matanya 
membelalak lebar hampir keluar. Cepat-cepat tubuh-
nya melompat ke belakang untuk mengelakkan samba-
ran tangan besar berbulu lebat menyeramkan. 
"Hogrrrh...!" 
Dengus napas makhluk itu sangat menyeramkan. 
Apalagi tubuhnya yang tinggi besar, hitam, dan berbu-
lu lebat. Matanya merah membara laksana api neraka. 
Taringnya mencuat keluar dari mulutnya, menghias 
sudut-sudut bibirnya hingga tampak bertambah me-
nyeramkan. Di atas kepalanya mencuat pula sepasang 
tanduk seruncing mata tombak. Meski wajahnya tam-
pak seperti kera, namun sulit sekali makhluk itu dis-
ebut hewan. Lebih tepat jika disebut mambang atau 
sejenisnya. 
"Uh,  makhluk apakah ini?" keluh Ki Kenjono 
dengan mata masih membelalak, menyaksikan mak-
hluk menyeramkan yang berdiri sepuluh tombak di 
depannya. 
"Hogrrr...!" 
Makhluk menyeramkan itu kembali menggeram, 
kemudian tangannya bergerak menyambar ke arah Ki 
Kenjono. Angin sambarannya sangat keras, menyen-
takkan Ki Kenjono. 
"Edan!" umpat Ki Kenjono sambil melompat men-
gelakkan sambaran tangan makhluk menyeramkan 
itu. Kemudian dengan cepat, pedangnya dibabatkan. 
Wut! 
Tepat sekali pedang di tangan Ki Kenjono mem-
babat tangan  makhluk menyeramkan itu, namun pe-
dang itu bagai tak berarti. Makhluk menyeramkan itu 
tidak luka sedikit pun. Bahkan nampak bertambah be-
ringas. 
"Edan! Benar-benar setan!" maki Ki Kenjono 
sambil menghindari sambaran tangan makhluk yang 
sebagian tubuhnya terbungkus kabut tebal. Yang tam-
pak hanya bagian perut hingga kepalanya saja. 
Ki Kenjono terus bersalto, berusaha mengelakkan 
serangan-serangan yang dilancarkan makhluk menye-
ramkan yang berwajah kera, namun memiliki taring 
dan tanduk. Dengus napas makhluk itu laksana angin 
kencang yang menyapu tubuh Ki Kenjono. 
"Uts! Ilmu sihir!" umpat Ki Kenjono setelah bebe-
rapa kali menyabetkan pedang ke tubuh makhluk itu, 
namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pedangnya 
laksana membabat angin belaka. Hal itulah yang 
membuat dia merasa yakin kalau makhluk menyeram-
kan itu tak lain hanya ciptaan dari ilmu sihir. 
Tangan makhluk menyeramkan itu kini mencoba 
mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Namun Ki Kenjono 
terus berkelit dengan melepas pukulan saktinya. 
Wesss! 
Selarik sinar terbersit keluar dari telapak tangan 
Ki Kenjono, lalu menghantam tubuh makhluk menye-
ramkan itu. Namun tetap saja makhluk itu tidak men-
galami apa-apa. Malah wajahnya semakin garang be-
rapi-api. Tangannya bergantian  menyabet tubuh Ki 
Kenjono, membuat lelaki itu kewalahan. 
"Gila! Bisa-bisa tenagaku habis!" rutuk Ki Kenjo-
no. Keringat semakin membasahi pakaiannya. Puku-
lan-pukulan sakti yang dihantamkan ke arah makhluk 
menyeramkan itu rupanya telah menguras tenaga da-
lamnya. Tapi makhluk menyeramkan itu bagai karang 
kokoh yang tak bergeming ditampar ombak. 
"Hogrrr...!" 
Makhluk menyeramkan itu kini menyerang den-
gan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Menceng-
keram ke arah Ki Kenjono yang semakin kewalahan. 
"Uts!" 
Beberapa kali Ki Kenjono dibuat pontang-panting 
ke sana kemari  untuk mengelakkan sambaran-
sambaran tangan makhluk itu. Pedang Iblis di tangan-
nya tak berarti sama sekali. Makhluk itu semakin ga-
nas dan menyerang dengan membabi-buta. Geraman-
geramannya membuat suasana di sekitar tempat itu 
menjadi bergetar. 
*** 
"Hik hik hik...!". 
Pada saat nyawanya dihadapkan pada gerbang 
kematian, Ki Kenjono kembali mendengar suara tawa 
wanita yang ganjil tadi. Tawa melengking itu mengge-
ma di sekelilingnya. Bersamaan dengan itu berkelebat 
sebuah bayangan putih. 
"Dewi  Kwan  Im!" seru Ki  Kenjono dengan mata 
membelalak, menyaksikan sosok wanita cantik berke-
lebat ke arahnya. Di tangan wanita itu tergenggam se-
bilah pedang yang memancarkan cahaya merah ke-
kuning-kuningan. 
"Hik hik hik...!" 
Wanita cantik jelita itu kembali tertawa-tawa. Pe-
dang di tangannya seketika berkelebat cepat, memba-
bat ke arah tubuh Ki Kenjono. 
Cras! 
"Uhk! Aaakh...!" Ki Kenjono melolong panjang, ti-
dak mampu mengelakkan serangan yang dilancarkan 
gadis cantik itu. Matanya membelalak lebar. Wajahnya 
kini tersayat hingga mengucurkan darah. Sebuah luka 
bekas babatan, menganga dari atas ke bawah wajah-
nya. Ki Kenjono seketika meregang, kemudian ambruk 
tanpa nyawa. 
"Hik hik hik...!" 
Wanita cantik itu kembali tertawa terkikik, lalu 
dengan cepat tangannya mencengkeram tubuh Ki Ken-
jono. Bersamaan dengan itu, makhluk menyeramkan 
yang tadi menyerang Ki Kenjono lenyap begitu saja. 
Wanita cantik itu pun berkelebat sambil memba-
wa tubuh Ki Kenjono, dan menghilang dalam kegela-
pan hutan. Seketika itu juga, kabut bergulung dengan 
cepat. Berarak  pergi, membawa semua misteri yang 
ada. 
Suasana Lembah Lamur kembali hening dan se-
pi, menyimpan sejuta tanda tanya. Kini keadaan nam-
pak kembali seperti semula. Sebuah lembah yang ger-
sang dan sepi. Dan debu-debunya beterbangan tersapu 
angin.   
Mentari telah  condong ke arah barat, menanda-
kan hari menjelang sore. Angin bertiup sepoi-sepoi, se-
hingga suasana di sekitar tempat itu menjadi sejuk. 
Saat itu, tiga orang laki-laki dengan pakaian In-
dia tampak melangkah menuju Lembah Lamur. Keti-
ganya berhidung mancung dengan kumis tebal melin-
tang. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki gemuk 
berpakaian kulit kambing. Wajah pemimpin mereka 
yang bernama Amal Meshk, nampak bengis. Cambang 
bauk kasar menghiasi wajahnya. Alis mata dan bibir-
nya tebal. 
Lelaki gemuk itu sengaja datang dari daratan In-
dia. Dia adalah Ketua Perguruan Samarakasta, sebuah 
perguruan besar di tanah India. Tentunya kedatangan 
mereka berkaitan erat dengan berita tentang Titisan 
Dewi Kwan Im. 
Di belakang lelaki gemuk itu, berjalan dua lelaki 
bertubuh gempal. Wajah kedua lelaki ini pun dipenuhi 
cambang bauk yang kasar, membuat kesan wajah me-
reka terlihat bengis pula. Pakaian keduanya juga ter-
buat dari kulit kambing berwarna belang. Di tangan 
orang sebelah kin, tergenggam sebuah lambang dari 
perguruan mereka dengan gambar seekor elang hitam. 
"Masih jauhkah Lembah Lamur, Ketua?" tanya 
Rabindra, orang yang berjalan di sebelah kanan bela-
kang sang Ketua. 
"Hm.... Kurasa tidak. Bukankah orang itu me-
nunjukkan di sekitar sini," guman sang Ketua yang 
bernama Amal Meshk atau Elang Hitam. Matanya me-
mandang ke depan, pada sebuah lembah yang mem-
bentang, sepi dan gersang. Di sana debu beterbangan 
tertiup angin.  
Saat kaki mereka melangkah ke arah Lembah 
Lamur, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hal itu mem-
buat Amal Meshk dan anak buahnya tersentak. Mere-
ka membelalakkan mata, memandang kaget ke arah 
Lembah Lamur. 
"Hei, lihat! Angin itu datangnya dari bukit! Ah, 
aneh sekali. Seakan ada yang mendatangkan angin 
itu!" seru Amal Meshk sambil melangkah mundur, be-
rusaha menahan tubuhnya yang gemuk dari sapuan 
angin lembah yang kencang. 
Wusss! 
Angin lembah semakin kencang, menderu-deru 
ke arah mereka. Angin itu seperti sengaja ditujukan 
kepada mereka, hingga hembusannya hanya ke arah 
mereka saja. 
"Awas...! Jelas ini ada yang sengaja mengarahkan 
angin ke arah kita...!" seru Amal Meshk, mengingatkan 
anak buahnya agar berhati-hati. 
Wusss! 
"Celaka! Angin ini benar-benar bukan angin 
alam! Angin ini sengaja dibuat oleh seseorang untuk 
menghalangi niat kita...!" seru Amal Meshk. "Kajit 
Singh, cepat kau bertindak!" 
Lelaki yang memegang panji segera bertindak. 
Dengan teriakan yang menggelegar, Kajit Singh melesat 
"Yeaaah...!" 
Tangan Kajit Singh bergerak cepat, saling silang 
dan kemudian mengibas. Dari gerakan tangannya, ke-
luar angin yang begitu cepat. Semakin cepat tangan 
Kajit Singh bergerak, semakin cepat pula angin ber-
hembus. 
Perlahan-lahan angin yang menderu ke arah me-
reka dapat diatasi. Kini angin yang keluar dari tangan 
Kajit Singh, terus menekan angin yang datangnya dari 
bukit. Pada saat itu,  tiba-tiba berkelebat sebuah 
bayangan putih. Begitu cepat bayangan itu berkelebat 
sampai-sampai mereka tidak dapat melihat dengan 
pasti bagaimana rupanya. 
Kajit Singh tersentak kaget. Matanya membela-
lak. Dia berusaha menghindar, namun ternyata baba-
tan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan di tangan bayangan putih itu lebih cepat 
membabat wajah Kajit Singh. 
Cras! 
"Aaa...!" 
Kajit Singh memekik keras. Tangannya seketika 
menutupi wajahnya yang terbabat pedang. Darah de-
ras keluar membanjiri wajahnya. Sesaat tubuhnya me-
regang, kemudian ambruk tanpa nyawa. 
Amal  Meshk tersentak kaget, menyaksikan seo-
rang anak buahnya dapat dirobohkan oleh bayangan 
putih yang belum jelas siapa orangnya. 
"Kajit...!" 
Amal  Meshk hendak lari mendekati tubuh Kajit 
Singh, namun angin kembali berhembus kencang. 
"Angin keparat!" maid Amal Meshk marah. Den-
gan beringas, tangannya bergerak, menyapu deru an-
gin yang menyerang ke arahnya. "Yeaaat...!" 
Amal Meshk yang sudah marah tak lagi menghi-
raukan apa yang bakal terjadi. Tubuhnya terus berke-
lebat sambil menggerak-gerakkan tangan. 
"Keluarlah kau! Hadapi Amal  Meshk!" bentak 
Amal Meshk penuh kemarahan, menantang bayangan 
putih yang tiba-tiba saja menjadi malaikat maut bagi 
Kajit Singh.  
Wusss! 
Angin kembali menderu kencang. Pada saat itu, 
sebuah sosok bayangan putih yang memegang pedang 
bersinar merah kekuning-kuningan kembali muncul. 
Bayangan itu berkelebat cepat, kemudian tangannya 
bergerak membabatkan pedang ke arah Amal Meshk. 
Amal Meshk tersentak. Tubuhnya menyurut 
mundur,  kemudian segera mengelakkan babatan pe-
dang itu. Tangannya dengan sigap mencabut senja-
tanya yang berbentuk cakar elang. Kemudian dengan 
membuat  jurus  'Elang Hitam Mengepak Sayap Men-
cengkeram Mangsa', Amal Meshk balas menyerang. 
"Kau...!" 
Amal Meshk terperanjat ketika melihat wajah 
bayangan putih itu. Namun hanya itu yang keluar dari 
mulutnya. Matanya membelalak, menyaksikan sinar 
terang yang terpancar dari pedang dan tubuh bayan-
gan putih itu. Setelah itu, pedang bersinar merah ke-
kuning-kuningan telah menebas wajahnya. 
"Aaa...!" Amal Meshk memekik. Di wajahnya 
nampak sayatan pedang dari atas sampai ke bawah, 
seakan membelah wajahnya. Matanya melotot tubuh-
nya mengejang sebelum ambruk tanpa nyawa. Begitu 
juga dengan seorang anak buahnya yang lain. 
Suasana Lembah Lamur kembali sepi, hanya ti-
upan angin yang menderu kencang dan sesosok 
bayangan putih yang masih berada di lembah itu. Se-
dangkan ketiga orang India itu telah bergelimpangan 
menjadi mayat 
"Hik hik hik...!" 
Bayangan putih itu tertawa, lalu melesat dengan 
membawa tiga tubuh yang menjadi korbannya. Kemu-
dian, menghilang dalam gulungan kabut yang tebal. 
Sena Manggala tampak tengah melangkah me-
nyelusuri gelapnya malam dalam usaha mencari tem-
pat beristirahat. Seharian kakinya telah melangkah 
untuk mencari berita tentang Mei Lie yang diculik en-
tah oleh siapa. Namun sampai sejauh itu, berita ten-
tang gadis itu belum juga didapatkan. 
"Mei Lie, di manakah kau berada? Ah, telah jauh 
sekali aku berjalan mencarimu. Bahkan entah di mana 
aku kini berada. Mungkin aku telah sampai di perba-
tasan wilayah tengah dan timur," desis Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya tersenyum hampa. 
Kaki Sena terus melangkah menyelusuri jalan, 
sampai akhirnya dia tiba di dekat sebuah bangunan 
tua. Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-
limuti bumi. Udara terasa sangat dingin, menusuk tu-
lang sumsum. Kabut bergerak perlahan, melengkapi 
kegelapan malam yang semakin mencekam. 
"Auuung...!" 
Lolongan anjing hutan dari kejauhan terdengar 
mendirikan bulu kuduk yang mendengarnya. Namun 
Sena tak menghiraukan. Dia malah tertawa cekikikan. 
Tingkah lakunya seperti orang gila atau terlihat seperti 
kera kebingungan. 
Bangunan tua menjulang tinggi dengan megah. 
Meski dalam kegelapan, namun mata Sena mampu 
melihat kemegahan bangunan itu. 
Mata Sena menatap puncak bangunan sekaligus 
menatap langit yang gelap. Malam itu tiada satu pun 
bintang terlihat, terlebih bulan. Langit hanya dipadati 
oleh arakan mega berwarna pekat 
"Hi hi hi.... Malam gelap. Ah..., gulita," gumam 
Sena sambil cengengesan dengan tangan masih meng-
garuk-garuk kepala. Lalu tertawa tergelak-gelak. 
Angin berhembus semakin dingin, dibarengi oleh 
kabut yang kian mencekam. 
"Auuung...!" 
Lolongan anjing hutan terdengar sayup-sayup. 
Sinar lidah petir berkilat, membuat suasana di sekelil-
ing tempat itu untuk sementara tenang. Saat itulah 
matanya melihat sesosok tubuh berjalan terhuyung-
huyung. Nampak orang itu tengah terluka dalam. 
"Hei, siapakah itu?!" tegur Sena setengah berte-
riak. "Hi hi hi.... Rupanya aku tidak sendiri?" 
Orang itu berkelebat cepat ketika mendengar te-
guran Sena. Hal itu membuat semakin membuat Sena 
penasaran. 
"Lho, kenapa lari?! Eit, tunggu! Hi hi hi...!" 
Sambil tertawa terkikik-kikik, Sena berkelebat 
mengejar. Namun bayangan itu seketika menghilang 
seakan raib begitu saja, membuat mata Pendekar Gila 
membelalak. Tangannya kembali menggaruk-garuk 
kepala. Keningnya berkerut. 
"Hilang! Ah, dia menghilang!" 
Merasa belum yakin kalau bayangan itu hilang, 
Sena berusaha mencarinya. Sekeliling tempat itu dije-
lajahinya. Tapi bayangan itu tetap tak ditemukan, le-
nyap bagai ditelan bumi. 
"Ah ah ah.... Kenapa bersembunyi? Hi hi hi...!" 
Sena mengerutkan kening. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya, 
berusaha meyakinkan bahwa bayangan yang tadi dili-
hatnya benar-benar telah menghilang. 
"Hi hi hi.... Aneh, dia menghilang. Hm, siapakah 
orang itu? Apa mungkin setan...?" pikir Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. Matanya terus menyapu ke 
sekelilingnya, berusaha mencari bayangan itu. "Ah ah 
ah.... Setan?" 
Clrrrt...! Glarrr! 
Kilatan lidah petir kembali menyala, membuat 
sekeliling tempat itu kembali terang. Dan seketika itu 
pula, Sena kembali melihat bayangan hitam itu yang 
melangkah beberapa puluh tombak di hadapannya. 
"Aha...! Rupanya dia sengaja mempermainkan 
ku!" duga Sena berbisik, merasa dirinya dipermainkan. 
"Hi hi hi.... Baik kalau begitu." 
Tubuh Sena kembali melesat, memburu ke arah 
bayangan hitam itu. Namun lagi-lagi bayangan hitam 
itu melesat pergi, seakan mengetahui kalau dirinya di-
kejar. 
"Setan! Tunggu.... He he he.... Jangan lari!" 
Dengan masih tertawa-tawa, Pendekar Gila beru-
saha mengejar bayangan hitam itu. Namun kembali dia 
kehilangan jejak. Bayangan hitam itu hilang begitu sa-
ja, seperti dilahap kegelapan. Tinggal Sena yang meng-
garuk-garuk kepala sambil cengengesan. Keningnya di-
tepuk. 
"Oh! Kenapa dia menghilang?!" 
"Auuung...!" 
Lolongan anjing hutan dari kejauhan berkuman-
dang. Begitu memelas lolongannya. Tak ubahnya ar-
wah-arwah penasaran yang terhimpit di antara dua 
kehidupan, dan sulit untuk menembusnya. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa lucu. Tampangnya se-
perti orang bodoh. Seluruh panca inderanya dipu-
satkan menjadi satu, sehingga jika ada gerak sedikit 
saja, dia akan dapat menangkapnya. Matanya menya-
pu ke sekeliling tempat itu. Hanya kegelapan mence-
kam yang dilihatnya. Tak ada tanda-tanda bayangan 
itu akan kembali muncul. 
Kilat kembali menjilati bumi, membuat suasana 
di sekeliling tempat itu kembali terang. Pada saat itu 
pula, bayangan hitam itu tampak sekali lagi. Dan kini 
telah berada di depan pintu bangunan tua yang tinggi 
itu. 
"Hi hi hi.... Dia sudah ada di sana," gumam Sena. 
"Hm, rupanya dia benar-benar ingin mempermainkan 
aku! Heh...!" 
Sena kembali berkelebat ke arah bangunan tua 
itu, memburu bayangan hitam yang tengah berdiri te-
nang. Seakan tidak pernah beranjak dari tempat itu. 
"Hi hi hi...! Rupanya kau hendak mempermain-
kan ku, Sobat! Baik kalau kau mau main kucing-
kucingan denganku!" kata Sena agak sewot, merasa 
dipermainkan oleh bayangan hitam itu. Dan kini ilmu 
lari 'Sapta Bayu' dikerahkannya, berusaha menangkap 
bayangan hitam yang begitu cepat menghilang. 
Wusss! 
Tubuh Sena dalam sekejap saja telah melesat 
laksana angin. Tahu-tahu tubuhnya telah berada di 
dekat bayangan hitam yang hendak lari kembali. Den-
gan cepat, Sena segera menghadangnya. 
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Sena. 
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat, berusaha 
menangkap bayangan hitam itu. Namun belum juga 
tangannya sempat menjamah, tiba-tiba.... 
"Anak tolol!" 
Sena tersentak kaget dibentak begitu rupa. Be-
lum pernah dia dibentak seperti itu. Tapi kini bayan-
gan hitam itu telah berani membentaknya. Bahkan 
bentakannya sangat kasar dengan suara yang mengge-
legar. 
Tubuh Sena tersurut dua tindak ke belakang. 
Keningnya mengerut saat memandang bayangan hitam 
yang masih membelakangi tubuhnya. 
"Hi hi hi...! Siapakah kau?!" tanya Sena. "Kenapa 
kau membentak ku?" 
"Hua ha ha...! Dasar bocah edan!" maki bayangan 
hitam itu. "Ketololan mu yang akan membuatmu cela-
ka!" 
"Heh?! Hi hi hi...!" Sena menggaruk-garuk kepala. 
"Kau...." 
Belum juga Sena selesai berkata, lelaki itu mem-
buka jubah hitamnya. Kini nampaklah lelaki yang 
mengenakan baju panjang berwarna putih dengan ikat 
pinggang merah dan rambut digelung ke atas. 
"Aha, Guru rupanya...!" seru Sena sambil meng-
garuk-garuk kepala dengan mulut cengengesan. 
Tubuh lelaki tua itu membalik. Dan nampaklah 
wajah Singo Edan. 
"Hua ha ha...!" Singo Edan tertawa tergelak-gelak. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti yang di-
lakukan Sena. Hal itu menggelitik Sena untuk turut 
tertawa terbahak-bahak. 
"Ha ha ha...! Kenapa Guru ada di sini?" tanya Se-
na seraya menjura hormat 
Mata Singo Edan melotot. 
"Dasar anak tolol! Rupanya ketololan  mu  yang 
membuatmu tak tahu gelagat!" maki Singo Edan, den-
gan tingkah laku seperti orang gila. 
"Tolol...? Hi hi hi..! Bukan tolol, tapi gila, Guru!" 
sahut Sena sambil tertawa bergelak dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. 
Guru dan murid itu tertawa bergelak-gelak. Sea-
kan ingin memuaskan suka hati mereka. Tingkah laku 
mereka persis dua orang gila. 
Singo Edan lalu melangkah ke dalam bangunan 
tua itu, diikuti Sena. 
"Ikut aku!" bentak Singo Edan. 
"Hi hi hi... Baik, Guru." 
Guru dan murid itu menuju ke bangunan tua 
yang menyerupai candi itu, lalu masuk ke dalamnya. 
Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang cukup 
luas dalam keadaan gelap gulita. 
Keduanya kemudian duduk berhadap-hadapan di 
ruangan itu. Singo Edan menggosok-gosok kuku ja-
rinya. Seketika dari kuku jarinya keluar percikan api, 
yang semakin lama bertambah besar. Dalam sekejap 
ruangan itu menjadi terang. 
"Bocah tolol! Tentunya kau lapar, bukan?" 
"Lapar? Hi hi hi..! Ya. Aku lapar, Guru," jawab 
Sena. 
"Hua ha ha...! Memang dari dulu hanya makan 
yang kau pikirkan, Bocah Edan! Kau benar-benar 
edan...!" maki Singo Edan. Matanya memandang tajam 
muridnya yang duduk di hadapannya. "Ku  bawakan 
kau makanan. Lihatlah...!" 
Sena mengikuti telunjuk gurunya. Seketika ma-
tanya membelalak, menyaksikan sesuatu yang terasa 
sangat aneh baginya. Tiga buah kepala manusia ter-
tancap dengan bambu! 
Sejak kapan guruku berbuat keji? Oh, benarkah 
ini guruku yang dulu baik? Tanya Sena dalam hati. 
Namun wajahnya seketika kembali seperti semula. 
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Apakah itu permainan 
Guru sekarang?" 
"Hua ha ha...!" Singo Edan turut tertawa. "Kau 
rupanya kaget, Bocah Edan?" 
"Kaget? Ha ha ha...!" Sena tertawa bergelak-gelak 
dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. "Ka-
get Guru? Aku hanya heran, sejak kapan Guru memi-
liki permainan seperti ini?" 
"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani menentang 
gurumu, heh?!" sentak Singo Edan marah. Matanya 
melotot geram. Api yang menyala dari kuku-kukunya 
kian besar. Seakan api itu merupakan lambang dari 
jiwa lelaki tua itu. 
"Ampun, Guru.... Sebenarnya, tidak sekali pun 
aku berani kurang ajar padamu. Tapi...."  
"Diam!" bentak Singo Edan. Sena menurut 
"Ketahuilah olehmu, kepala itu adalah kepala 
mereka yang berani menentang ku!" tegas Singo Edan, 
semakin membuat Sena tercengang. Dia benar-benar 
merasa aneh dengan tingkah laku dan kata-kata gu-
runya. Tapi sebagai seorang murid yang berbakti, Sena 
tak mampu membantah. Hanya dalam hatinya saja 
yang masih diliputi ketidakmengertian. 
Plok, plok, plok! 
Singo Edan bertepuk tiga kali. 
Dan sesaat kemudian, dari dalam candi muncul 
tujuh wanita cantik jelita dengan pakaian yang minim. 
Hanya pada bagian dada dan bawah pusar saja yang 
ditutupi. Itu pun sangat minim sekali. Hal itu mem-
buat Sena kian kebingungan, tak mengerti maksud da-
ri gurunya. 
Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nam-
pak cengengesan, menyaksikan pemandangan yang 
membuat matanya membelalak. Rasa herannya sema-
kin menjadi-jadi, semakin tidak mengerti dengan mak-
sud gurunya. 
*** 
"Bawakan bocah gila ini makanan!" perintah Sin-
go Edan pada ketujuh gadis cantik berpakaian minim 
yang lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum. 
Kemudian ketujuh gadis cantik itu menjura hormat, 
sebelum melangkah meninggalkan tempat itu. 
"Guru...." 
"Diamlah!" potong Singo Edan. "Bukankah kau 
lapar?! Jangan sekali-kali berani menentang ku, jika 
kau tak ingin seperti ketiga lelaki itu." 
Sena kembali menurut. Bukannya dia takut ke-
palanya dipenggal, namun dia diam karena harus 
menghormati lelaki tua di hadapannya. Sebagai orang 
yang berjasa mengajarkannya ilmu kedigdayaan. 
Plok, plok, plok! 
Singo Edan kembali bertepuk tiga kali. Saat itu 
pula, ketujuh gadis-gadis cantik berpakaian minim ke-
luar. Di tangan mereka, terdapat makanan-makanan 
lezat yang mengundang selera. Nasi putih yang masih 
panas. Ikan bakar. Sambal lengkap dengan lalap petai. 
Serta sayur-mayur lainnya. Tidak ketinggalan buah-
buahan segar. 
Mata Sena membelalak lebar, tak percaya dengan 
apa yang dilihatnya. Matanya dikucek-kucek, namun 
semuanya masih tetap ada. Gadis-gadis cantik berpa-
kaian minim dengan makanan-makanan lezat, masih 
dilihatnya. 
O, bukan mimpi. Ah, sejak kapan Guru bertabiat 
begini? Tanya Sena dalam hati. Hatinya masih diliputi 
ketidakmengertian atas sikap gurunya yang begitu 
aneh. Meski dia tahu gurunya juga aneh seperti di-
rinya, namun keanehannya kini di luar kebiasaan. 
Singo Edan adalah pendekar yang tidak pernah 
berhubungan dengan wanita. Bagaimana mungkin kini 
memiliki dayang-dayang cantik? Hal lain, Singo Edan 
tak pernah memenggal kepala manusia. Tapi kini tiga 
orang telah terpenggal kepalanya. Itu yang tidak dapat 
dipercaya Sena. 
"Ayo makan," perintah Singo Edan. 
"Guru, aku masih belum mengerti," tukas Sena. 
"Hm.... Ada apa lagi...?" 
Sena menghela napas berat. Matanya meman-
dang tujuh dayang cantik jelita yang duduk di samping 
kanan dan kiri gurunya. Kemudian pandangannya 
kembali ke arah kepala-kepala yang terpenggal itu. Te-
rakhir pandangannya tertuju ke makanan lezat yang 
mengundang selera. 
"Guru, kau telah begitu baik padaku. Tapi..., ba-
gaimana mungkin aku harus lancang mendahuluimu?" 
tanya Sena yang merasa ragu akan makanan-makanan 
yang terlihat lezat itu. 
"Ha ha ha...!" Singo Edan tertawa terbahak-
bahak. Matanya memandang genit ke arah dayang-
dayang cantik yang duduk di kanan-kirinya. Dibalas 
pula oleh ketujuh gadis cantik itu dengan genit. "Ru-
panya kau sekarang sudah kurang ajar pada gurumu, 
heh?!" 
Akhirnya, sambil menggaruk-garuk kepala dan 
cengengesan, Sena menurut. Diambilnya makanan 
yang ada di depannya. Dicicipinya makanan itu. Lezat 
juga rasanya. Jauh lebih lezat dari makanan yang bi-
asa dimakannya. Aneh, makanan ini enak sekali! Kata 
Sena dalam hati. 
"He, mengapa tidak dimakan semuanya?" tanya 
Singo Edan dengan raut wajah tak senang. 
"Bukan begitu, Guru. Bukankah  Guru sendiri 
yang mengajarkan padaku, bahwa aku harus waspada. 
Guru juga mengatakan, aku tidak boleh percaya pada 
siapa pun, termasuk Guru sendiri...?" jawab Sena be-
ralasan. Padahal hatinya merasakan sesuatu yang ti-
dak beres pada diri gurunya. Itu sebabnya dia tidak 
berani berlaku sembrono. Terlebih makanan di hada-
pannya sangat merangsang selera. Seakan ada bumbu 
lain pada makanan itu. 
"Ha ha ha...! Benar apa yang kau katakan," kata 
Singo Edan sambil tertawa nyaring. "Baiklah, aku akan 
mendahuluinya." 
Singo Edan segera mengambil makanan itu. Ke-
mudian menyantapnya sampai habis dengan terse-
nyum-senyum. Sedangkan Sena memperhatikan den-
gan seksama. Meski dia kebal terhadap racun apa pun, 
namun Sena tidak berani gegabah. Racun Kabut Ungu 
adalah ciptaan gurunya. Tentunya Singo Edan pun 
memiliki racun yang melebihi Racun Kabut Ungu. 
"Kau lihat, aku tak apa-apa. Makanlah, tentunya 
kau lapar," perintah Singo Edan. 
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. 
Kemudian makanan itu diambilnya. Lalu dimakan 
sampai habis. Tak ada akibat apa-apa pada dirinya. 
"Ha ha ha...! Bagus! Itu tandanya kau murid yang 
paling setia dan berbakti!" kata Singo Edan sambil ter-
tawa-tawa. 
Sena turut tertawa. Namun tiba-tiba tubuhnya 
terasa membara. Keringat dingin bercucuran. Matanya 
membelalak, merasakan sakit yang tiada taranya. Pada 
saat itu, telinganya mendengar jeritan Mei Lie. Seper-
tinya gadis itu memanggil-manggil namanya dan me-
minta tolong padanya. 
"Sena...! Tolong aku...!" 
"Mei Lie, di mana kau?!" 
Dalam keadaan tubuh didera panas hebat, Sena 
berusaha bangun. Namun tubuhnya seketika lemas. 
Tulang-belulangnya bagai dilolosi dari tubuh. Hal itu 
membuat matanya kini memandang tajam pada lelaki 
yang persis gurunya. 
"Hua ha ha...! Akhirnya kau akan mampus juga, 
Pendekar Gila! Hua ha ha...!" lelaki tua yang dari tu-
buh, suara, serta wajahnya persis dengan Singo Edan 
terbahak-bahak menyaksikan Pendekar Gila kini ber-
kelojotan dengan tubuh bagai membara. 
"Kau?! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Sena 
sambil berusaha memulihkan kekuatannya. Tapi ra-
cun yang telah dimakannya teramat kuat mencengke-
ram tubuhnya. 
"Hua ha ha...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! 
Yang pasti, kau harus mampus!" lelaki yang penampi-
lannya persis Singo Edan kini mengangkat kedua tan-
gannya. Dan dari telapak tangannya, terpancar  sinar 
merah kehitam-hitaman. 
"Sena...! Tolong aku...!" 
Suara Mei Lie masih saja terdengar, memanggil-
manggil Sena yang dalam keadaan kritis. Terlebih tan-
gan lelaki di hadapannya semakin dekat ke arah kepa-
la Sena yang kini masih bergelinjangan. 
"Mampuslah kau! Yeaaa...!" 
Sesaat lagi, nyawa Pendekar Gila akan melayang. 
Kepalanya akan hancur dihantam oleh pukulan maut 
lelaki itu. Sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba sebuah 
bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Pende-
kar Gila sambil menangkis pukulan tangan lelaki itu. 
Blarrr! 
Ledakan terdengar menggelegar, dibarengi oleh 
keluhan lelaki yang mirip Singo Edan. Tubuh lelaki itu 
terdorong ke belakang. Sedangkan ketujuh gadis yang 
menjadi dayangnya berpentalan dengan keadaan yang 
mengerikan. Wajah mereka hancur, terkena tenaga 
hantaman dua kekuatan dahsyat. 
"Ukh...! Setan alas! Siapa kau...?!" bentak lelaki 
mirip Singo Edan seraya bangkit dan mengejar bayan-
gan putih yang telah membawa tubuh Pendekar Gila. 
Namun bayangan putih itu telah menghilang dalam 
kegelapan. 
Dengan mencaci maki dan merutuk, lelaki tua itu 
berkelebat pergi. Tubuhnya terbungkus oleh kabut 
tebal, kemudian lenyap dalam sekejap. 
Orang berjubah putih yang menyambar tubuh 
Pendekar Gila terus berlari cepat Begitu cepatnya ber-
lari, sampai-sampai kakinya tak menginjak tanah. Dia 
melesat cepat laksana terbang. Tidak begitu lama, 
sampailah orang itu di pesisir pantai laut selatan. 
Orang itu menghentikan langkahnya. Matanya 
menyapu ke sekelilingnya, seakan meyakinkan diri ka-
lau tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah ya-
kin tak ada seorang pun yang melihat, dengan me-
manggul tubuh Pendekar Gila tubuhnya melenting ke 
atas. 
"Hih!" 
Tubuh orang itu bersalto di atas lautan, kemu-
dian dengan ringan melesat masuk ke dalam karang 
besar yang menonjol di lautan. Dan kakinya mendarat 
ringan di depan sebuah goa. 
Orang itu menghela napas seraya memandang 
wajah Pendekar Gila yang memerah. Kemudian dengan 
ringan, kakinya melangkah masuk ke dalam goa yang 
tak lain Goa Setan. Dan tentunya orang berjubah putih 
itu adalah Singo Edan. Guru Pendekar Gila! 
"Hm...," Singo Edan menggumam. Kakinya terus 
melangkah ke dalam goa. Sesekali dipandanginya wa-
jah Sena yang kian membara. "Racun jahat!" 
Singo Edan berhenti di sebuah ruangan lebar. 
Tempat tersebut dulu digunakan untuk tidur Sena 
Manggala. Di situ terdapat sebuah batu panjang dan 
cukup lebar berbentuk datar. Batu itulah yang biasa-
nya dipakai Sena untuk tidur ketika masih berada di 
Goa Setan. 
Tubuh Sena direbahkan di atas batu itu. Setelah 
memandangi tubuh muridnya, Singo Edan melangkah 
keluar. Dia kini menuju ruangan yang digunakan un-
tuk menyimpan racun dan obat-obatan. 
"Racun Sambuk Nyawa bukanlah racun semba-
rangan. Ah, mengapa aku tidak ingat kalau racun itu 
masih ada?" keluh Singo Edan, menyesali keteledoran-
nya. "Kalau saja racun itu kuketahui masih ada, ten-
tunya Sena tidak mengalami hal seperti ini." 
Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Lalu tan-
gannya menepuk-nepuk kening. Matanya mencari ra-
cun-racun yang ada di ruangan itu. 
"Huh! Mengapa racun itu kembali muncul? Bu-
kankah racun itu telah musnah bersamaan dengan 
musnahnya tukang sihir itu?" tanya Singo Edan pada 
diri sendiri. Nadanya masih menyesali keteledorannya, 
sehingga muridnya harus mengalami hal yang tak per-
nah diduga sama sekali. 
Singo Edan terus mencari obat yang bisa mena-
warkan Racun Sambuk Nyawa. Matanya terus me-
mandangi satu persatu botol-botol obat dan racun ter-
sebut. Namun tidak juga ditemukannya. 
"Hm.... Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? 
Bukankah Dewi Pemuja Setan telah musnah?" kening 
Singo Edan berkerut, memikirkan keanehan itu. Inga-
tannya kembali melayang pada masa mudanya, ketika 
dia masih malang-melintang di rimba persilatan. Ber-
kelana menumpas keangkaramurkaan. 
Suatu hari ketika dia tengah berkelana, Singo 
Edan singgah di sebuah desa. Di situ, didengarnya ten-
tang Dewi Pemuja Setan. Ilmu-ilmunya tinggi, terlebih 
dalam hal ilmu sihir. Dia bisa menjelma menjadi mak-
hluk apa pun yang dikehendakinya. 
Di samping ilmu sihirnya yang hebat, wanita itu 
memiliki ilmu racun yang ganas bernama Sambuk 
Nyawa. Orang yang terkena racunnya, akan mengalami 
kematian yang mengerikan. Tubuhnya akan menjadi 
mayat yang mengerikan. Bengkak-bengkak, kemudian 
pecah dengan mengeluarkan nanah. Hal itu terjadi be-
rangsur-angsur. Hingga korbannya benar-benar tersik-
sa hebat 
Keduanya bertemu, kemudian bertarung. Singo 
Edan tak pernah menyangka, kalau Dewi Pemuja Se-
tan yang katanya telah berumur tujuh puluh lima ta-
hun itu ternyata masih cantik jelita. Bahkan keliha-
tannya  masih muda belia, lebih muda dari usianya 
yang saat itu berumur dua puluh dua tahun. 
Keduanya bertarung dengan ilmu-ilmu tinggi. 
Dewi Pemuja Setan mengeluarkan ilmu-ilmu sihirnya. 
Namun dengan Suling Naga Sakti, Singo Edan mampu 
mengatasinya. Sampai akhirnya, Singo Edan diserang 
dengan Racun Sambuk Nyawa. Hampir saja Singo 
Edan mengalami kematian. Tapi tanpa diduga, di per-
jalanan pulang dalam keadaan luka, kakinya digigit 
seekor ular berwarna putih. 
Setelah digigit ular itu, anehnya Racun Sambuk 
Nyawa lenyap. Singo segera memotong tubuh ular pu-
tih yang bernama Sandra Dewa, lalu mereguk darah-
nya sampai habis. Rupanya ular itu adalah obat pena-
war dari Racun Sambuk Nyawa yang diambil dari ular 
merah yang bernama Wiraga Kala. 
Singo Edan pun kembali mencari Dewi Pemuja 
Setan. Keduanya kembali bertarung, sampai akhirnya 
Dewi Drugadi atau Dewi Pemuja Setan dapat dikalah-
kan. Tubuh wanita itu hancur terkena hantaman sinar 
yang keluar dan sepasang mata naga di pangkal Suling 
Naga Sakti. 
"Ah ah ah...!" Singo Edan menepuk-nepuk ke-
ningnya. "Bukankah hanya ada satu obat yang mampu 
menawarkan Racun Sambuk Nyawa?" 
Dengan tingkah laku seperti orang gila, Singo 
Edan melangkah keluar dari ruangan itu. 
"Aku harus mencari ular putih itu," bisik Singo 
Edan seraya menggaruk-garuk kepala. "Tapi, apa ular 
itu ada? Menurut kabar, ular itu muncul setiap seten-
gah abad sekali." 
Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Kemudian 
bagaikan orang gila, jari tangannya dihitung. 
"Ya ya ya...! Tentunya ular itu memang ada seka-
rang. Aku harus mencarinya," ujar Singo Edan seraya 
melangkah ke ruang di mana tubuh Sena tergeletak. 
Saat itu tubuh Sena kian merah membara. Per-
tanda Racun Sambuk Nyawa mulai bekerja. 
"Hm.... Aku harus menghentikan jalan darahnya!" 
Jari Singo Edan segera menotok beberapa bagian 
tubuh muridnya untuk menghentikan jalan darah. 
Dan hasilnya memang baik. Sinar merah yang memba-
ra di tubuh Sena sedikit memudar. Kini tinggal wajah-
nya saja yang masih membara, namun tidak separah 
sebelumnya.  
"Hm.... Bagus! Kini aku harus segera mencari 
ular itu. Aku harus ke puncak Gunung Candraka." 
Setelah memandangi kembali  tubuh Sena yang 
masih tergeletak pingsan, tubuh Singo Edan melesat 
meninggalkan tempat itu. Dia harus mencari ular pe-
nawar racun yang mengeram dalam tubuh muridnya. 
Tidak lama kemudian, Singo Edan telah kembali. 
Di tangannya tergenggam seekor ular berwarna putih 
yang masih hidup. Ular itu tak mau menggigit tubuh 
Singo Edan. Seakan tahu kalau tubuh lelaki tua itu te-
lah kebal terhadap racunnya. 
Singo Edan mendekati tubuh Sena yang masih 
terbaring tanpa daya. Kemudian mulut ular putih itu 
didekatkan ke perut Sena. Sedangkan tangan kirinya 
menotok jalan darah di tubuh Sena. 
Tep, tep, tep! 
"Hm, semoga aku berhasil," gumamnya sambil 
mendekatkan mulut ular putih itu. Seketika itu juga 
ular putih yang mencium bau racun lawan langsung 
menggigit perut Pendekar Gila. 
Crab! 
Ular putih itu mendesis-desis. Dengan ganas di-
gigitnya perut Sena. Bisanya masuk ke dalam tubuh 
Sena bersamaan dengan taringnya yang runcing. 
Keanehan terjadi. Ular putih itu menggelepar-
gelepar sekarat. Sedangkan tubuh Sena mengepulkan 
asap hitam. Pertanda kalau kedua racun itu tengah 
berusaha saling mengalahkan dalam tubuh Sena. 
Ular putih itu terkulai lemas. Sedangkan tubuh 
Sena kini bersinar terang. 
"Hua ha ha...! Aku berhasil!" seru Singo Edan gi-
rang, menyaksikan Racun Sambuk Nyawa telah mus-
nah. Bahkan tubuh muridnya akan kebal terhadap se-
gala racun bila meminum darah ular putih itu. 
Singo Edan melangkah, meninggalkan tubuh Se-
na yang masih tak bergeming. Tidak lama kemudian, 
dia kembali ke tempat itu dengan membawa pisau. 
Tuk! 
Singo Edan menotok urat leher Sena, membuat 
mulut pemuda tampan itu membuka. Saat itu juga, 
Singo Edan segera menyayat tubuh ular putih yang 
lemas itu, lalu meneteskan darahnya ke dalam mulut 
Sena. 
"Hm.... Kini semuanya telah beres," gumam Singo 
Edan. Dia bergegas meninggalkan tempat itu, untuk 
menunggu sampai muridnya siuman. 
Benar juga! Tidak lama kemudian, Sena Siuman. 
Tubuhnya nampak menggeliat, berusaha melemaskan 
otot-ototnya yang kaku. 
"Oh! Racun itu hilang. Ah, tenagaku pulih!" seru 
Sena girang. Tubuhnya segera melompat bangkit. Ma-
tanya menyapu ke sekeliling tempat itu. "Goa Setan? 
Ah, bagaimana mungkin aku di sini? Bukankah tadi 
aku berada di candi?" 
Sena masih kebingungan. Hatinya seketika dili-
puti oleh amarah. Api amarah itu membakar jiwanya, 
mana kala benaknya ingat  kembali akan perbuatan 
gurunya di candi itu. Sang Guru yang dihormati dan 
dijunjung tinggi petuahnya telah tega meracuninya. 
"Keparat! Aku harus membalas semuanya! Hm.... 
Kini aku tak peduli siapa pun dia. Meski dia guruku, 
tapi dia telah menyakiti ku!" 
Sena bergegas keluar dari ruangan itu. Dia hen-
dak mencari Singo Edan yang dianggapnya telah ber-
buat keji. Malah hampir saja dia binasa. 
"Mau ke mana? Tubuhmu masih lemah." Baru 
beberapa langkah Sena keluar, tiba-tiba terdengar sua-
ra Singo Edan. 
Amarah Sena meledak, setelah mengetahui gu-
runya berada di tempat itu juga. Namun, Sena menjadi 
agak heran. Dia tak mengerti, mengapa gurunya seper-
ti itu? Tadi meracuni dan bahkan hendak membu-
nuhnya. Mengapa kini seakan membiarkan dirinya 
berbuat leluasa? 
"Kau masih lemah. Kau perlu istirahat," tegur 
Singo Edan kembali. 
"Persetan dengan omongan mu!" dengus Sena, 
sengit. 
"Sena. Tak baik kau berkata begitu," kata Singo 
Edan masih dengan suara tenang. 
Kaki Sena melangkah ke tempat gurunya biasa 
berada. Kini keduanya berhadap-hadapan. Tapi Singo 
Edan masih duduk tenang di atas batu yang biasa di-
pergunakannya. 
"Kau telah mencoba membunuhku! Huh, begitu-
kah watak seorang guru?!" dengus Sena sinis, dilanda-
si oleh kemarahan. "Kau begitu kuhormati! Petuah mu 
sangat  ku agungkan. Namun  ternyata kini kau keji! 
Kau kejam! Tidak kusangka kalau aku memiliki guru 
yang sesat!" 
"Sena...!" seru Singo Edan.  
"Bertobatlah pada Hyang Widhi, sebelum kukirim 
kau ke akhirat! Dosamu telah terlalu banyak!" ujar Se-
na dengan suara masih tinggi, masih diburu oleh ama-
rah. 
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan pada-
mu... " 

"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang 
Widhi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!" 
Sena segera menerjang dengan cepat Bukan lagi 
jurus pembuka 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang di-
gunakan, melainkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung 
Karang'. Tangannya bagai sepasang tangan milik dewa, 
menghantam dan menyambar tubuh Singo Edan. 
"Uts..!" 
Bukkk! 
Singo Edan yang tahu kalau muridnya salah pa-
ham, sama sekali tidak mau membalas. Dia hanya me-
nangkis serangan-serangan yang dilancarkan Sena. 
Tingkah keduanya persis orang gila yang bercanda da-
lam lingkaran maut. Namun justru gerakan-gerakan 
itu yang sangat dahsyat dan berbahaya. 
"Sena, hentikanlah! Kau salah paham, Anak-
ku...," bujuk Singo Edan, masih berusaha menyadarkan muridnya.