Pendekar Gila 12 - Pembalasan Dewa Pedang(2)



"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami 
mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan 
kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan. 
"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka den-
gan cara kerja kalian! Sudah kukatakan, yang lebih
utama bukan bersenang-senang dengan perempuan! 
Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!"  
"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua."  
"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku 
marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!"  
Cring! 
Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya 
yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu 
membuat mata ketiga anak buahnya semakin membe-
lalak tegang. 
"Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ra-
tap ketiganya hampir bersamaan. Mereka segera men-
cium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung 
dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang 
keluar dari Pedang Darahnya. 
"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami ti-
dak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi 
mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas. 
"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pen-
dekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso. 
"Dapatkah kupegang janji kalian?!" bentak De-
wa Pedang. 
"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar 
Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ke-
tiganya bersamaan 
"Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika da-
lam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuh-
nya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pe-
dang. 
"Kami berjanji!" 
"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tu-
buh masih bergetar hebat, terbawa oleh kekuatan gaib 
Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur 
keluar dari warangkanya. 
Ketiga anak buahnya langsung berguling me-
nyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan 
ketua mereka tak akan diam jika belum menyentuh 
darah dan merenggut nyawa. 
"Heaaa...!" 
Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala, 
Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Ma-
tanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di 
tempat tidur. 
"Tidaaak..!"  
Wuttt!" 
Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu 
cepat memangsa nyawa. Dan.... 
Crab! 
"Aaakh...!" 
Pekikan melengking memecah suasana di ruan-
gan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu 
terkapar berlumur darah di tempat tidur. Dadanya 
yang hancur menyemburkan darah. Seketika nya-
wanya melayang. 
Dewa Pedang menarik napas panjang, kemu-
dian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang 
tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua 
berjubah putih itu meninggalkan tempat itu. 
*** 
Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan 
tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya men-
dengar suara jeritan-jeritan dari desa sebelah barat 
Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu berada. 
"Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila. 
"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!" 
Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur. 
Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Ma-
tanya memandang ke asal suara jeritan itu. 
"Tolong! Perampok...!" 
"Diam!" 
Cras! 
"Aaakh...!" 
Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara 
bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan sen-
jata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di 
sebelah utara Hutan Gareng. 
"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?" 
gumam Sena. 
Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas 
pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara. 
Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan 
malam. 
Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam 
yang seharusnya tenang berubah hiruk-pikuk oleh jeri-
tan ketakutan bercampur dengan kematian. 
Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah 
ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan 
kaum wanita yang dipaksa para perampok untuk men-
gikuti mereka. 
"Tolong! Tolooong...!" 
Crab! 
"Aaa...!" 
Pekikan kematian kembali terdengar, memecah 
keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh 
besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang 
gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membe-
baskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa ber-
gelak-gelak dan sesekali menjilati dan menciumi wajah 
gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan keta-
kutan. 
"Lepaskan! Tolooong...!" 
"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang 
dari warga. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam 
puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan 
berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu. "Le-
paskan anakku!" 
"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?" 
tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyum-
nya menampakkan kesinisan. Kemudian dengan buas, 
diciuminya wajah gadis itu. 
"Lepaskan, Bajingan!" 
"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus 
menurut padaku!" 
"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki 
tua bertubuh kurus tampak berang. Dia segera berge-
rak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, le-
laki tinggi besar  berkepala botak itu telah menghan-
tamkan pukulan dengan tangan kirinya. 
"Pergilah ke akherat sana! Hih!" 
Wusss! 
Dugk! 
"Akh!" 
Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya 
terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari 
mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk 
dengan nyawa melayang. 
"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki 
berkepala botak. Gadis bertubuh langsing dan semam-
pai itu terus meronta. "Lepaskan, Bajingan!" 
"He he he...!" 
Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin 
bertambah buas menciumi  wajah gadis cantik anak 
orang tua yang telah tewas di tangannya. 
Gadis berpakaian hijau tua itu terus meronta-
ronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam, 
berusaha mengundang amarah lelaki berbadan tinggi 
besar yang terus mendekapnya. 
"Iblis! Setan laknat, lepaskan!" 
"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia me-
mang setan...!" 
Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda tu-
rut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh 
tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan 
pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata 
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini meman-
dang ke sekeliling tempat itu. 
"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berke-
pala botak itu gusar. 
"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu per-
sis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!" 
seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah 
bayangan berkelebat cepat, dan.... 
Pletak! 
"Aduh!" 
Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepa-
lanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepa-
lanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis 
itu terlepas. 
"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu, 
Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti 
orang gila itu tahu-tahu telah berdiri tiga tombak di 
hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu 
tertawa cengengesan dengan tangan kanan mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pen-
dekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus! 
Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak 
buahnya. Seketika berdatangan beberapa orang yang 
langsung menyerang. 
"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue 
apem. Baik, majulah! Hua ha ha...!" 
Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si 
Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang 
menyerangnya. Tubuhnya bergerak laksana baling-
baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Sul-
ing Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala 
orang-orang yang menyerangnya.  
"Yeaaa...!"  
"Heaaa...!"  
Wusss!  
Pletak!  
"Aaa...!"  
"Aaakh...!" 
Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susul-
menyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang 
Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil merin-
gis-ringis memegangi kepala yang benjol dan ber-
denyut-denyut 
"Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar 
Gila sambil berjingkrak-jingkrakkan seperti seekor ke-
ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala botak 
yang menjadi pimpinan para perampok bertambah ma-
rah. 
"Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan 
suara keras menggelegar. 
"Heaaa...!" 
Serempak anak buahnya kembali menyerang. 
Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut den-
gan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. 
"Heaaa...!" 
Wusss! 
"Wuaaa...!" 
Kesepuluh perampok itu seketika lintang-
pukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pen-
dekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian ja-
tuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tubuh mereka 
akan hancur berantakan. 
Pendekar Gila segera menghampiri salah seo-
rang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar 
berkepala botak pimpinan para perampok yang dideka-
tinya. 
"Katakan, siapa yang membuat rencana semua 
kejahatan ini?" bentak Sena garang. 
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi 
besar itu. 
"Cepat katakan, siapa dalang semua ini?!" ben-
tak Sena. 
"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!" 
Belum usai lelaki berkepala botak itu menun-
taskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah me-
nancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu se-
gera berlari ke arah sembilan anak buah lelaki berke-
pala botak itu. 
Tapi mereka pun telah tewas.  
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar se-
buah bayangan merah yang berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. 
*** 
Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok 
bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang 
telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tu-
buh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala 
itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan 
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila 
yang tak ingin kehilangan buruannya, segera menge-
rahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat lak-
sana terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di 
depan lelaki berpakaian rompi merah itu. 
"Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa 
Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia seki-
tar tiga puluh tahun itu. 
"Kau...?!" mata lelaki itu membelalak dengan 
wajah tegang. 
"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa 
yang menyuruhmu melakukan semua ini? Dan kuden-
gar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!" 
bentak Sena dengan mata melotot. 
Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki 
muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan 
Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya 
menganga bengong. 
"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus ku-
tangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," an-
cam Sena. 
"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku 
ke penjara, Pendekar Gila?!" dengus lelaki berambut 
gondrong dengan ikat kepala merah. 
"Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa? Baik, 
aku akan menangkapmu!" 
Pendekar Gila baru saja hendak melangkah 
maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah, 
tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap. 
"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak. 
Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan Senapati Kera-
jaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini mem-
buru dirinya. 
"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya 
Sena kaget. Dia benar-benar tak menyangka, kalau dia 
yang hendak menangkap penjahat justru akan ditang-
kap. 
"Tangkap dia...!"  
"Heaaa...!" 
Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget me-
nyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena 
benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang di-
jadikan sasaran? Padahal dia bermaksud membantu 
pihak kerajaan. 
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam 
Sena lirih. 
Sena hendak menghindari bentrokan dengan 
pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dike-
pung puluhan, bahkan ratusan prajurit yang siap me-
nyerangnya. 
Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu 
Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang te-
lah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun ter-
libat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam 
hati 
"Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lam-
bayu memerintah pada para prajuritnya agar menye-
rang. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan 
Sunda Layung meramaikan tempat itu. 
"Cincang dia...!" 
"Tangkap hidup atau mati!" 
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali 
menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang ber-
maksud menangkap dan membunuhnya. 
"Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian! 
Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat’ 
Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang 
menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari, 
dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah 
dada lawan 
Bugk! 
"Akh...!" 
Pekikan tertahan terdengar dari seorang praju-
rit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketi-
ka tubuh prajurit itu terpental deras ke belakang, 
menghantam prajurit-prajurit lainnya. 
Wuttt! Wuttt!  
Dari arah belakang dan samping, para prajurit 
menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata 
mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliuk-
kan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan be-
runtun menendang lawan-lawannya yang telah men-
dekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan 
yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para 
prajurit yang mengeroyoknya. 
Plak! Bugk! 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!" 
Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para pra-
jurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar 
Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak 
menghiraukan kematian teman-temannya, terus me-
rangsek menyerang.  
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah 
Senapati Lembu Lambayu. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa!" 
Kembali para prajurit kerajaan bergerak menye-
rang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka 
berkelebat cepat, menusuk, membabat dan membelah 
ke arah tubuh Pendekar Gila. 
Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pen-
dekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkan-
nya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak 
laksana baling-baling. Tangannya terus bergerak 
menghantam dan memapas setiap serangan yang da-
tang. 
"Heaaa...!" 
Wusss! 
Plak! Plak! 
"Aaa...!"  
"Wuaaa...!" 
Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan, 
disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang 
tadi menyerangnya. Kenyataan itu membuat marah 
dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit 
yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu 
menangkap Pendekar Gila. 
"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja 
tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah. 
Gelombang penyerangan kembali terjadi. Pulu-
han prajurit serentak merangsek dengan serangan se-
rangan mematikan ke arah Pendekar Gila. 
Pertempuran semakin bertambah seru. Pende-
kar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk 
dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian 
beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menye-
rang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat 
dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan 
dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjata-
senjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu. 
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok 
bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang 
ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu berge-
rak cepat dan langsung masuk ke arena pertempuran 
dengan pedang di tangan. 
"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping 
itu sambil bergerak cepat memapas dan menyerang pa-
ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pen-
cabut nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan 
jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan 
dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan 
sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu 
tak nampak bentuknya. Itu sebabnya dia mendapat ju-
lukan Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena. 
Kini keduanya bergerak saling berlawanan 
arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Ma-
laikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila memben-
dung serangan membabi buta para prajurit kerajaan. 
"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin 
mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati 
Lembu Lambayu bertambah gusar melihat kedatangan 
Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar 
Gila. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita ha-
rus segera keluar dari kepungan ini," ujar Malaikat 
Tanpa Bayangan. 
"Tampaknya kau punya kepentingan denganku, 
Kisanak? Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu. 
"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagai-
mana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan me-
ninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayang-
an. 
"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki." 
"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, kelua-
rkan Suling Naga Saktimu, Kisanak," perintah Malai-
kat Tanpa Bayangan. "Hanya dengan suling itulah kita 
dapat mendobrak mereka." 
"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapa-
kah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus beru-
saha mengelak dan membalas serangan para prajurit 
dengan pukulan dan tendangan. 
"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus sece-
patnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tan-
pa Bayangan. 
Srt! 
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga 
Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian 
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila 
berusaha menggempur kepungan para prajurit Suling 
Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup. 
Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut, 
mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana. 
Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin 
mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit 
Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa seng-
saranya manusia-manusia yang buta hatinya karena 
nafsu iblis. 
Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu. 
Mereka menangis! 
"Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa 
Bayangan. 
"Aha! Benar! Hi hi hi...!" 
Keduanya pun segera melesat meninggalkan 
kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Da-
lam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari 
tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua 
merasa bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang 
menyedihkan. 
"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati 
Lembu Lambayu, menyaksikan kedua orang yang tadi 
dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan 
mereka. 
*** 
Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda 
Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa 
Bayangan melangkah beriringan. 
"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku 
belum tahu siapa kau sebenarnya," ujar Sena.       
Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya. 
Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus 
melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi 
dan nampak masih perawan. 
"Namaku Asem Gede, namun orang menye-
butku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede 
memperkenalkan diri. 
"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang 
tua yang namanya cukup disegani dan ditakuti...," gu-
mam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan 
kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala. 
"Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan 
dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan 
nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang 
pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk ke-
benaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini, 
merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah  
"Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku 
heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hen-
dak menangkapku?" gumam Sena.  
"Mudah sekali, Anak Muda."  
"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena 
penasaran. 
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Semen-
tara malam terus merayap menyelimuti bumi. Kedua-
nya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi 
dan gelap. 
"Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Mu-
da, ujar Ki Asem Gede. 
"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon 
yang paling besar?" saran Sena,  
"Itu lebih baik." 
"Itu pohon besar. Hop!" 
"Hops!" 
Keduanya melesat begitu cepat, naik ke seba-
tang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka 
hinggap pada sebuah cabang pohon. 
"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Ba-
ru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan," 
desah Ki Asem Gede. 
"Meski kedamaian dan keindahan itu harus ki-
ta cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil 
tertawa. 
"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah 
aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus 
keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem 
Gede. 
"Aha, dengan senang hati aku akan menden-
garkannya."  
"Baiklah...." 
Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal 
mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua 
purnama yang lalu perguruannya didatangi teman la-
manya.  Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud 
mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila. 
Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Ba-
yangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa 
murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu 
meninggalkan surat tantangan. 
"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku 
yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun men-
carimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai 
dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku 
yakin kaulah orangnya. Maka aku tadi ikut mencam-
puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceri-
tanya. 
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala. 
Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malai-
kat Tanpa Bayangan. Tentunya semua itu ada sangkut 
pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk 
lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 
episode "Perjalanan ke Akhirat"). 
"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu sia-
pa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya. 
Aku akan menceritakan semua kejadian yang terja-
di...." 
Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-
tan para pendekar. Tersiar kabar kalau di lembah itu 
ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang menda-
patkan bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-
tu di rimba persilatan. Sumantri pun mengerahkan 
orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong 
yang sebenarnya kemenakannya sendiri. 
"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki 
Asem Gede terkekeh. 
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Me-
mang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah 
terjadi kemelut cinta." 
"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi 
merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede 
yang tahu karena Ki Badawi alias Dewa Pedang. 
"Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak 
angkatnya," sahut Sena. 
Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai 
memahami apa yang telah terjadi. 
"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?" 
"Begitulah...," sahut Sena. 
"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua na-
ga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede. 
"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," ja-
wab Sena. 
"Orang tua itu memang dari dulu keras kepa-
la...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya me-
mandang lepas ke kegelapan malam yang menyelimuti 
sekelilingnya. "Sudah kuduga ketika dia menceritakan 
padaku tentang dirimu." 
Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan pera-
saan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pende-
kar muda di sampingnya. 
"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kera-
jaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpu-
lan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan 
generasi muda?" tanya Sena ingin tahu. 
"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku 
tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi 
mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan. 
Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Seri-
gala Merah. Mereka bertujuan mencari dan membu-
nuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring 
Ceper," kata Ki Asem Gede. 
"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku 
pun menaruh curiga kalau kedai itu merupakan tem-
pat jual beli mereka," sahut Sena. 
"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?" 
tanya Ki Asem Gede. 
Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tan-
gan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya nyengir tersenyum-senyum. 
"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi 
prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian. 
"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede. "Satu purna-
ma lagi, aku harus pergi ke Bukit Siluman," gumam Ki 
Asem Gede. 
"Untuk apa?" 
"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menan-
tangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai 
masalahnya denganmu, maka dia mengundangku di 
Bukit Siluman." 
"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan 
tugas kita. Kita harus segera bertindak menghancur-
kan Serikat Serigala Merah," kata Sena. 
"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orang-
orang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede. "Ayo 
kita pergi!" 
Keduanya pun melompat, kemudian berlari me-
lesat meninggalkan Hutan Balambu. 
*** 
Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang 
biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tu-
tup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa 
orang di dalamnya. 
"Kurasa, kita harus segera menemukan Pende-
kar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-
ta," terdengar suara lelaki berkata. 
"Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh 
Pendekar Gila," timpal lainnya. 
"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin ka-
lian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar 
suara orang muda menyela. 
"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang 
gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama. 
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan 
yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan 
kening, mendengar percakapan mereka. 
"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah 
mencariku? Aku ada di luar...!" seru Sena sambil ter-
tawa tergelak-gelak. 
"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede. 
"Ayo!" 
"Heaaa...!" 
Brak! 
Pintu papan kedai seketika hancur berantakan, 
terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang 
ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan 
mata terbelalak, mereka melompat mundur. 
"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus ber-
temu kucing?" tanya Sena sambil berjingkrakan seperti 
seekor kera kegirangan. 
"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus 
mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil men-
cabut pedang. Kemudian dengan cepat tubuhnya me-
lompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak 
ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
Wuttt! 
Glarrr! 
"Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi 
hi hi... " 
Dengan jurus 'Sambar Geledek' dan jurus 
'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pende-
kar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan de-
ras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tan-
gan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran 
angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek. 
Melihat lawan melakukan serangan dengan ju-
rus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila 
tak hanya tinggal diam. Dengan tingkah seperti kera, 
serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu den-
gan cepat pula melakukan serangan balasan dengan 
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya 
disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas 
dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahan-
lahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan 
ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar 
dengan pinggang 
"Yeaaa...!" 
Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila 
menghantamkan telapak tangannya bergantian ke da-
da lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-
pencar mengelakkan serangan yang dilancarkan Pen-
dekar Gila. 
"Heaaa!" 
"Yeaaah...!" 
Dengan melakukan salto beberapa kali, keti-
ganya mengelakkan serangan gencar itu. 
"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Su-
gonggo. 
"Ya! Mari kita serang lagi!" ajak Suroso. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Ketiganya kembali bergerak dengan cepat me-
nusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila sege-
ra bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Mene-
puk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, 
sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan. 
Wut! Wut..! 
"Heaaa..!" 
Beberapa kali serangan lawan memburunya, 
tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gi-
la yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat 
serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sa-
saran. 
Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga la-
wannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikelua-
rkan bahkan ketiga lawan itu pun telah mengerahkan 
jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh 
itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan 
yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan mu-
da dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si 
Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan.... 
"Heaaa...!" 
Bukkk! 
Suara pekikan tertahan terdengar ketika gera-
kan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat 
ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pu-
kulan itu terdorong ke belakang dan melayang. Tubuh 
lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu terhenti 
ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting 
di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat 
mengerang lirih kemudian tak berkutik lagi. Tewas! 
Brak! 
"Aaa...!" 
Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetu-
lan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat 
Tanpa Bayangan. Mereka terkagum-kagum menyaksi-
kan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau 
tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dah-
syat kekuatannya. 
Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nya-
linya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu, 
namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya se-
gera menghadang. 
"Mau ke mana kalian?"  
"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu, 
Ki!" dengus Getih Ireng. 
"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak 
Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya 
kau pun ada sangkut pautnya dengan Dewa Pedang," 
tukas Ki Asem Gede. 
"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-
ru. 
"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang 
berada kalau kalian ingin selamat!" 
"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Ja-
ngan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manu-
sia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit 
"Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu ter-
hormat?! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari ke-
coa busuk yang hanya main kucing-kucingan saja!" 
ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Pera-
wan semakin naik darah. 
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit, 
Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan. 
"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit! 
Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri 
dengan serbuk iblis! Karena itulah, aku akan menang-
kap kalian!" 
"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih 
Ireng. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaat...!" 
Lima  Darah Bukit Perawan yang sudah kepa-
lang tanggung segera menyerang dengan sengit. Den-
gan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Pera-
wan langsung menggebrak dengan serangan-serangan 
gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mema-
tikan. 
Wut! Wut..!  
"Heaaa...!" 
Melihat keberingasan kelima orang muda itu, 
Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua 
itu dengan cepat bergerak memapaki serangan lawan 
lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Ma-
laikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah 
mengatasi setiap serangan yang datang secara berun-
tun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang. 
Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari 
menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan 
yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengelu-
arkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak 
kaget 
Wut! 
"Uts!" 
Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan 
Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak 
ingin menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan. 
Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus 
menggebrak Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Heaaa!" 
"Hiaaa...!" 
Kedai yang semula tenang dan sepi, telah beru-
bah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan 
kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan 
patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Se-
mentara suara teriakan dan makian yang mengiringi 
pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi 
yang dingin. 
Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya 
bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan 
yang dilancarkan kedua lawannya. 
"Heaaa...!" 
Wuttt! 
Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghin-
dari serangan pedang lawan yang selalu diikuti puku-
lan-pukulan 'Sambar Geledek'nya. Sesekali tangan 
Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan. 
"Hih!" 
"Heit!" 
Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya 
ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar 
Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang 
dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar 
Gila. 
"Heaaa...!" 
Wuttt! 
"Uts!" 
Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samp-
ing, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan ce-
pat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Ge-
rakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak 
tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang 
tersentak kaget berusaha mengelak, tapi tangan Pen-
dekar Gila ternyata lebih cepat. Dan.... 
Degk! 
"Aaakh...!" 
Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke 
belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari 
busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tu-
buh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-
ja lelaki tua itu tidak segera lompat ke samping, tentu 
akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan kekar. 
Wusss! 
Brak! 
"Akh...!" 
Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan 
terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari 
belahan papan itu jebol. Dan tubuh kekar Suroso ter-
kapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya 
remuk dan gosong kehitaman. 
Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun 
tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima la-
wannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat 
Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan 
nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat 
dan gesit sehingga bayangannya tak terlihat. 
Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hanta-
man tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di 
dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu men-
galir darah segar. Sesaat tubuhnya mengejang, kemu-
dian ambruk tanpa nyawa. 
*** 
Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat 
kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah me-
rangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa 
Bayangan. 
Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, ke-
cuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat 
Tanpa Bayangan. 
"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami, 
Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus 
Getih Ireng dengan wajah merah membara penuh ama-
rah. 
"Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda 
Bejat?!" tanya Ki Asem Gede. "Kalianlah yang harus se-
gera disingkirkan!" 
"Kurang ajar! Yeaaat...!" 
Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera me-
nyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan 
Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak lak-
sana bayangan yang sangat cepat, membabat dan me-
nusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya 
digeser setindak ke belakang. Lalu dengan cepat dita-
rik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak 
ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak 
membabat dan menusuk ke lambung lawan 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Trang! 
Benturan senjata mereka terdengar berdentang, 
memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah 
Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata 
terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemu-
dian dengan didahului pekikan keras, keempatnya 
kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus 
'Empat Pedang Penjuru Angin'. 
"Heaaa..!"  
"Yeaaa...!"  
Wut, wut..! 
Empat pedang di tangan anggota Lima Darah 
Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat 
dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak 
memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua ber-
jubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan 
sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan ke-
empat lawannya. 
"Yeaaa...!" 
Wut! 
"Heaaa...!" 
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat meng-
gerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamung-
kas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan me-
mutar, secepat kilat pedangnya membabat lawan-
lawannya. 
"Heaaa...!"  
Wrt!  
Jrabs!  
"Wuaaa...!" 
Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar 
pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun 
memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru 
mengerang lirih, tapi kemudian ambruk dengan nyawa 
melayang. 
Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata 
mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang 
menderu di depan mereka ketika pedang Malaikat 
Tanpa Bayangan menyabet 
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi 
Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-
go semakin kewalahan menghadapi Pendekar Gila yang 
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana 
menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas 
tepukan itu nampak pelan sekali, tapi angin yang me-
nyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Su-
gonggo. 
"Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke 
samping, mengelakkan serangan Pendekar Gila yang 
ternyata begitu keras dan cepat. "Ilmu siluman!" 
Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus 
aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia 
melihat jurus ilmu silat yang aneh. Kelihatan sepintas 
sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang re-
kannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua te-
mannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya 
seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak 
tangan hingga terbanting dan tewas. 
"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pende-
kar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangan kanannya 
menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrak-
an. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliuk-
liuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepu-
kan. 
Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan 
tengah menggebrak dengan jurus andalannya, 
'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu 
terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gera-
kan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin 
kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Na-
mun....  
"Heaaa...!"  
Wuttt!  
Bret! 
"Aaa...!" 
Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih 
Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan me-
nyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung 
beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di pe-
rutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian me-
rah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian 
tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka! 
Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah me-
rangsek Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam 
tak jelas. Matanya yang tajam laksana mata elang, me-
natap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang 
menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat... 
"Heaaa...!" 
Wuttt..! 
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat mem-
babatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan 
ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya. 
Wuttt! Wuttt! 
Crab, crab! 
"Akh!" 
"Wuaaa...!" 
Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang me-
layang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai. 
Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka 
menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya 
tewas berlumuran darah. 
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali ber-
gumam lirih, lalu disekanya darah yang menempel di 
mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan  itu 
dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di 
punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke 
tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo. 
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila 
Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawan-
nya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada se-
buah langkah.... 
Plak! 
"Akh!" 
Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar 
deras ke belakang. Kemudian membentur tembok ke-
dai. 
Brak 
"Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena. 
"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?" 
tanya Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Hei, dia pergi!" seru Sena, 
Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana 
perginya pemilik kedai, tiba-tiba.... 
*** 
"Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pen-
dekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan tersentak ke-
tika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Sua-
ra itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat 
Tanpa Bayangan. Dialah Senapati Lembu Lambayu, 
Panglima Kerajaan Sunda Layung. 
"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak 
kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Bagaimana langkah kita, Ki?" 
"Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-
da kebenaran. Meski harus menentang pihak kerajaan, 
terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat 
Tanpa Bayangan, manggut-manggut 
"Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena. 
"Mari!" 
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-
gelak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke-
luar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah mem-
buat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lam-
bayu. "Tangkap mereka...!" 
Mendengar perintah sang Panglima, seketika 
para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah 
ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa 
tombak dan pedang. Ratusan prajurit itu langsung 
mengurung dan menyerang. 
"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat ke-
rajaan, Ki!" celetuk Sena. 
Srt! 
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti 
yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian 
dengan tertawa-tawa dan melompat-lompat berjingkra-
kan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan ter-
bang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga 
Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala pra-
jurit yang dapat dijangkaunya. 
"Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!" 
Wut! 
Pletak! Pletak...!  
"Akh?"  
"Aduh!" 
Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga 
orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi 
kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling 
Naga Sakti. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan...? Hua ha 
ha...!" 
Sambil tertawa tergelak-gelak dan tangan kiri 
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus menge-
brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga 
Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit. 
Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala 
prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya se-
bagai jembatan bagi langkah Pendekar Gila yang terus 
bertingkah seperti kera.  
"Kurang ajar!"  
"Setan!" 
"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para pra-
jurit sambil memegangi kepalanya yang telah terinjak 
kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, kare-
na kepala mereka dianggap sebagai titian bambu saja. 
"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu 
semakin bertambah gusar melihat tingkah laku Pende-
kar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling 
bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan 
amarah yang menggelegak di kepalanya. 
Pendekar Gila semakin bertambah konyol ting-
kah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor 
kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejak-
kan kakinya di atas kepala para prajurit 
"Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Ka-
wan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke ke-
pala prajurit yang dapat dijangkaunya dan bermaksud 
menyerangnya. 
"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!" 
"Kubikin sate tubuhmu, Setan!" 
"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!" 
Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya 
diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka 
langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak. 
Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Su-
ling Naga Sakti memapak serangan mereka. 
"Hi hi hi...!" 
Trang! 
Beberapa kali terdengar suara dentangan dari 
benturan senjata dengan Suling Naga Sakti.  
Pletak!  
"Aduh!"  
"Wuaaa...!" 
Kembali tiga orang prajurit mengerang kesaki-
tan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pen-
dekar Gila. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Menerkam 
Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menye-
rang dengan patukan-patukan sulingnya. 
Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun 
tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan 
kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan 
mengamuk dengan jurus 'Pukulan Tangan Malaikat’ 
nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam 
para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya.  
"Sikat..!"  
"Cincang dia!"  
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar 
dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung 
Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki 
tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menye-
rang. 
"Heaaa!"  
Bug! 
"Akh!"  
"Aaa...!" 
Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terden-
gar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan 
Sunda Layung. Namun sepertinya para prajurit itu tak 
me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat 
menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat 
Tanpa Bayangan.  
"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Sena-
pati Lembu Lambayu terus memerintah pada para pra-
juritnya. 
"Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo 
Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas ke-
pala lawan-lawannya. "Turunlah kemari! Bukankah ki-
ta tengah berpesta?! Hua ha ha...!" 
Pletak! 
"Aduh!" 
Seorang prajurit yang terkena totokan Suling 
Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol 
dipegangi. Tubuhnya berputar-putar karena  pening, 
dan jatuh pingsan. 
Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terin-
jak-injak temannya yang terus berusaha merangsek. 
Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyada-
ri bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pi-
haknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasu-
kannya. Namun karena Senapati Lembu Lambayu ten-
gah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan 
tak peduli dengan semuanya. Para prajuritnya dibiar-
kan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseo-
rang yang telah memperalat mereka untuk membunuh 
Pendekar Gila.  
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan 
terus mengamuk, menyerang para prajurit yang ber-
jumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka, 
setiap  gerakannya  membuat prajurit-prajurit menjerit 
kesakitan. Ambruk dan akhirnya terinjak-injak teman-
nya. 
Sementara suasana semakin terang. Matahari 
di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah temba-
ga, mengusir embun dan halimun pagi. 
Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak 
Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban in-
jakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta 
dentang benturan senjata mereka semakin riuh ter-
dengar. 
Suasana di depan kedai seketika berubah men-
jadi berantakan. Malah kedai yang semula sudah ru-
sak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika 
itu, dari dalam kedai yang ambruk muncul anak-anak 
muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak 
serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi 
lawan, pemuda-pemuda itu langsung menyerang para 
prajurit kerajaan.  
"Heaaa...!" 
Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi 
ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemuda-
pemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para 
penduduk desa yang marah melihat tingkah polah pa-
ra prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka 
telah tahu kalau di dalam angkatan perang kerajaan 
itu terdapat Serikat Serigala Merah. 
"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru 
warga desa itu. 
Dengan berbagai macam senjata seperti cang-
kul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak 
atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan 
Serikat Serigala Merah, kini merangsek maju membe-
rikan serangan. 
Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit 
kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, ha-
rus menghadapi pula ratusan penduduk Desa Piring 
Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya. 
"Serang...!" seru warga desa. 
"Hancurkan serbuk iblis!" 
"Hancurkan kerajaan yang tak adil!" 
"Bunuh panglima perang iblis itu...!" 
Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat 
para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mere-
ka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk 
meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayan-
gan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka 
harus menghadapi penduduk desa, ditambah para 
pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok 
orang bingung turut menghambur ke dalam pertempu-
ran itu. 
"Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lam-
bayu. 
Pertarungan besar itu pun tak dapat dielakkan 
lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan 
kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-
tumbuhan yang ada di sekitar tempat itu banyak yang 
tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang 
semakin ganas. 
Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula 
tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pe-
kikan yang membahana. Darah membanjir, dari tu-
buh-tubuh yang bergelimpangan di tanah. 
Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti 
itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar 
suara teriakan menggelegar. 
"Tangkap para pengkhianat kerajaan...!" 
Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan 
rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak 
jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih 
gagah berani dari Kerajaan Sunda Layung Telunjuknya 
mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati 
Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati 
kerajaan. 
"Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap 
panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari 
berseru, memerintah para prajuritnya untuk memban-
tu penduduk desa. 
*** 
Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah se-
ru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya 
para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya. 
Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati 
Lembu Lambayu kini kian terdesak. 
"Serbu...!" 
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara 
menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang 
merupakan tangan kanan Dewa Pedang. 
"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang 
kedua yang dihormati dalam Serikat Serigala Merah se-
telah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu. 
Serentak anak buah Serikat Serigala Merah 
yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu 
para prajurit pemberontak yang selama ini membantu 
mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala 
Merah. 
Trang! Trang...!  
Crab! 
"Wuaaa...!"  
"Aaa...!" 
Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar 
dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Semen-
tara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi den-
tang senjata tajam mereka. 
Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpi-
nan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat 
meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malai-
kat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa 
pendekar yang hadir dalam pertempuran itu. 
Serentak mereka menghadang para tokoh rim-
ba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah 
pimpinan Dewa Pedang. Di antara para pendekar yang 
turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi 
Jaladri, Gagak Putih, Kupu-kupu Emas, dan Resi An-
gling Mukti. 
Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung 
dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gen-
tro, Buta Cakra, Banaspati, Ampel Gegel, Nyi Capis, 
Rana Jalna, dan Gempal Sudra. 
Kini dari kedua golongan saling berhadapan sa-
tu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan de-
ngan Gajah Bedeg. Malaikat Tanpa Bayangan berha-
dapan dengan Gempal Sudra. 
"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa 
Bayangan. 
"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi? 
Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha  
ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap 
pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!" 
dengus Gajah Bedeg. 
"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira 
kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak 
sebaliknya, kalianlah yang akan mampus?" sahut Sena 
dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah 
Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah. 
"Pendekar Gila, kami memang mendapat perin-
tah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu! 
Heaaa...!" 
Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menye-
rang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang. 
Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak 
Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam 
Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu mem-
bentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi 
amarah. 
Wut! 
"Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah 
Bedeg. 
"Heits! Hua ha ha...! Tangkap kodok itu, Seriga-
la Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki 
kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian 
dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak 
merunduk. 
"Heaaa!"  
Wut! 
"Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melom-
pat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki Pende-
kar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg 
balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan 
wajah Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian 
dengan cepat tubuhnya bergerak ke samping. Kaki ki-
rinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-
la Melempar Batu' Sena balas menyerang. 
Serangkum angin pukulan menderu keras ke 
arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang 
bergerak seperti tengah melempar bebatuan menye-
rang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya 
bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesa-
kitan. 
"Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil ber-
gerak mengelitkan serangan lawan. Kemudian dengan 
cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Se-
rigala Menerkam Mangsa'. 
Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan 
mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum 
tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit 
dengan meliukkan tubuh. Kemudian disusul gerakan 
menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan ju-
rus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila 
membuat Gajah Bedeg kembali tersentak. 
"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar 
sambil menarik serangannya, menyaksikan serangan 
Pendekar Gila yang begitu cepat 
Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak 
para pendekar dapat menekan lawan mereka masing-
masing. Para pendekar tak mau memberikan kesempa-
tan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih den-
gan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia 
memburu lawannya dengan jurus 'Malaikat Sambar 
Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeraman-
cengkeraman maut, terus memburu lawan. 
"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat 
mundur, mengelakkan serangan Malaikat  Tanpa Ba-
yangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah 
hijau lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan ba-
ginya untuk membuka serangan. 
"Mau lari ke mana, Iblis?!" dengus Malaikat 
Tanpa Bayangan yang marah setelah melihat bagaima-
na pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang me-
nyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis, 
tubuhnya bagaikan tak berdarah. 
Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah te-
lanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang 
yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah. 
Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Pu-
tih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan ta-
hun tak ikut meramaikan rimba persilatan. Ilmu-ilmu 
silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat 
Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', ter-
paksa dikeluarkan dalam pertempuran kali ini.  
"Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Ar-
wah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Ma-
laikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gen-
car. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah la-
wan. 
Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Ma-
laikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! De-
sis Gempal Sudra dalam hati. 
Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui 
kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin 
menunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Gempal 
Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan, 
sambil sesekali balas menyerang. 
Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak 
memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk 
membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak 
dengan serangan-serangan gencar. Dan... 
Degk! 
"Hugk! Akh...!" 
Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang 
dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah se-
gar. Sesaat tubuhnya meregang, lalu ambruk tanpa 
nyawa. 
"Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-
tunggu kalian di Bukit Siluman...!" terdengar suara 
Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra am-
bruk. 
"Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat 
Tanpa Bayangan mengejar, diikuti Pendekar Gila. 
Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Ga-
jah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu 
membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar 
Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar. 
Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit 
yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemu-
dian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para 
prajurit Kerajaan Sunda Layung pimpinan Patih Pra-
meswari. 
*** 
Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan 
Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin 
bertiup kencang, seperti akan terjadi badai. Bulan per-
lahan-lahan merangkak dari ufuk timur,  menerangi 
sekeliling Bukit Siluman. 
Binatang-binatang malam terdengar merdu 
berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk ber-
diri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, di-
tingkahi lolongan anjing hutan yang menyayat dan 
memilukan. 
Malam itu, merupakan malam purnama ketiga. 
Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang 
Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila 
yang dianggapnya telah membunuh muridnya. 
Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang 
tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah 
Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang 
itu nampaknya ingin menunjukkan kalau dirinya bu-
kan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada 
Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pende-
kar Gila akan dituntaskannya malam ini. 
Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki 
memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda 
berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang 
tidak lain adalah Pendekar Gila. Sedangkan seorang 
lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang 
berwarna hijau lumut, adalah Malaikat Tanpa Bayan-
gan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh 
rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak me-
nyusul. Bukit Siluman yang semula sepi dan terkenal 
angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak ke-
hadiran mereka. 
Tak berapa lama kemudian, muncul para pra-
jurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka 
nampaknya ingin menyaksikan pertarungan seru anta-
ra Dewa Pedang melawan dua pendekar. 
"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu, 
tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-
ru Dewa Pedang dengan mata menatap tajam pada 
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang ma-
sih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini 
tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti ke-
ra. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! 
Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sung-
guh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal ga-
gah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru 
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 
Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam 
menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih 
pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih 
bersikap tenang. 
"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan. 
Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok," 
ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan. 
"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti 
berdua? Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-
ri, Ki," sahut Sena dengan cengengesan. Kemudian ka-
kinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan 
pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masa-
lahnya. 
"Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-
tanganmu. Sebenarnya dari dulu aku ingin mencari-
mu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku 
ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan se-
telah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan 
dengan suara yang masih terdengar tenang. 
"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di po-
hon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan 
menyingkirkan mu  dan Pendekar Gila yang telah 
membunuh muridku!" 
Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan 
tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang. 
"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?" 
"Ya!" 
"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesung-
guhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem 
Gede. 
"Aha, baiklah! Biar kau tak penasaran, aku 
akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid 
kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk ma-
nusia. Dia tega-teganya memfitnah Anjasmara...." 
Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila 
menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat, 
sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa 
pula kedua naga api. Tak lupa juga Pendekar Gila 
menjelaskan siapa adanya bocah sakti. 
"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru 
Sena diikuti gelak tawanya, serta tingkah lakunya yang 
konyol. 
"Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bo-
cah Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan per-
caya! Rupanya kau takut menghadapiku!" dengus De-
wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam 
menatap Pendekar Gila. 
"Terserah! Kau memang tikus keras kepala 
yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa 
cekikikan. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila?!" 
maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu 
hendak menyerang ke arah Pendekar Gila, tapi dengan 
cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya. 
"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pe-
dang!" 
"Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus 
lebih dahulu, Asem Gede! Bersiaplah...!"  
Sring! 
"Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayan-
gan. 
Sring! 
Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pe-
dang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bi-
lah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih 
keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang de-
ngan langkah yang teratur. Mata mereka saling mena-
tap tajam. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Dengan didahului pekikan keras menggelegar 
yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman, 
keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di 
tangan. 
Wut! Wut..! 
Trang! 
Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak sege-
ra membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segan-
segan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut 
Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya 
merah itu bergerak laksana kilat, memburu  ke arah 
Malaikat Tanpa Bayangan. 
"Yeaaa...!" 
Menyaksikan lawan membuka serangan dengan 
jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun 
tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus 
'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus 
pamungkas. 
"Heaaa...!" 
Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupa-
kan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama 
mereka perlihatkan. Karena, jurus-jurus itu mereka 
ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh 
tahun. 
Tubuh keduanya melesat begitu cepat laksana 
terbang.  Pedang di tangan mereka bergerak cepat, 
membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu 
cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu, 
wujud mereka sampai tak terlihat. Yang nampak hanya 
sinar putih keperakan dan merah menyala. 
Trang! 
Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyar-
ing disertai percikan bunga api keluar dari benturan 
pedang. Keduanya melompat ke belakang dengan posi-
si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan ta-
jam. Kemudian dengan pekikan menggelegar, ke-
duanya kembali melakukan serangan. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha mem-
buru lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Si-
nar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke 
arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tu-
buh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena mena-
han kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar 
mengiringi serangan kedua tokoh tua itu.  
Wut! Bet!  
Trang!  
"Heaaa!" 
Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang 
membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Ma-
laikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan, 
dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan 
pedang  bersinar  merah itu meleset beberapa jari saja 
di atas kepalanya. Kemudian tanpa membuang waktu, 
Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pe-
dangnya sebagai serangan balasan. 
"Yeaaa!" 
"Heit..!" 
Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu 
pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke 
dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat 
ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Ke-
mudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya dite-
baskan ke arah pedang lawan. 
Trang! 
Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang 
sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masing-
masing ke belakang. Kemudian dengan didahului pe-
kikan keras, keduanya kembali menggebrak. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan la-
wannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya 
yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malai-
kat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan. 
Wut! 
Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa 
Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lu-
mut itu merundukkan kepala, berusaha menghindar. 
Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan. 
Cras! 
Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tu-
buhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan. 
Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan 
dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasan-
tebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus 
berguling. 
Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba....  
Trang! 
"Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedang-
nya berbenturan dengan senjata di tangan Pendekar 
Gila. "Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-
la!"  
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak 
sambil berusaha membantu Malaikat Tanpa Bayangan 
bangkit berdiri.  
"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!" 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!"  
*** 
Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pe-
dang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila 
yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk 
bangkit berdiri. 
"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus 
Sena melihat serangan cepat yang dilancarkan Dewa 
Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat 
Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya lang-
sung bersalto mengelakkan serangan lawan. 
"Yeaaa...! Tembus dadamu!" 
Wut..! 
"Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila 
sambil masih berjumpalitan di udara. Kemudian de-
ngan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila 
Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang lak-
sana terbang sambil tangannya bergerak dengan jari-
jari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram 
ke arah lawan.  
Wuttt..! 
"Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil 
menggeser kaki ke samping. Lalu disusul dengan tu-
sukan pedangnya ke arah Pendekar Gila. 
"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa 
Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya. 
Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tu-
buhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tu-
sukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah 
dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke ka-
nan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan 
tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan 
gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila 
Menari Menepuk Lalat' 
"Heaaa...!" 
Kaki mereka melangkah secara beraturan, sal-
ing berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan 
tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut 
bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh 
lawan. 
Sementara Pendekar Gila masih menghadapi 
Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di 
tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pe-
dang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, pa-
ra pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan 
dengan cepat menangkap mereka. 
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan 
Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah 
terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, te-
rus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedang-
nya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat 
pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan. 
"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tu-
buh ke kanan, terkejut mendapat tusukan yang tiba-
tiba dan cepat itu. 
Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan 
dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya 
melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengan-
dung kekuatan gaib pun bergerak cepat 
"Heaaa...!" 
"Heits! Hih...! 
Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila 
melancarkan serangan dengan tepukan tangannya. 
Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pe-
dang. Sehingga.... 
Wuttt! 
Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pe-
dangnya ke dada Pendekar Gila. 
"Hah...?!" 
Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan ce-
pat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun....  
Bret! 
"Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak 
tertutup rompi tergores Pedang Darah. Dari goresan 
itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melom-
pat ke belakang dengan mata melotot 
"Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-
gelak, merasa telah mampu melukai Pendekar Gila. 
"Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!" 
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil me-
nyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Se-
mentara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda 
Layung nampak tegang. Mereka khawatir  kalau Pen-
dekar Gila akan kalah. 
"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa 
Busuk!" dengus Pendekar Gila. "Kurasa aku memang 
harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu. 
Hm.... Mari kita lanjutkan!" 
Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan 
Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju 
rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang ke-
luar dari pedangnya. 
"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mam-
pus!" 
"Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!" 
"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!" 
Dengan semakin bertambah marah menyaksi-
kan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh 
racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang 
Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan 
jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Ge-
ledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini 
dilakukan Dewa Pedang. 
Dewa Pedang benar-benar bermaksud meng-
hancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu se-
babnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya 
dengan ajian tingkat tinggi. 
"Heaaa...!" 
Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan 
pedang Dewa Pedang.  
Wut! 
Ctar! 
Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar ke-
luar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya te-
lah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila. 
Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila 
segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan ce-
pat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat 
kesempatan, Pendekar Gila segera balas menyerang 
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. 
"Hosss!" 
Kedua tangannya disatukan, kemudian diren-
tangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam, 
Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sam-
pai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan meng-
gelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan 
pukulan-pukulan telapak tangannya. 
"Keaaa...!"  
Wut! Wut! 
Jlegar! 
Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru me-
narik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan han-
cur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan 
dahsyat jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' itu 
menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri. 
Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang 
besar. 
Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat 
karena pukulan dahsyat yang dilancarkan Pendekar 
Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya 
kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan 
pendekar sembarangan. 
"Heaaa...!" 
Pendekar Gila yang marah akibat luka di da-
danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan 
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan un-
tuk menggempur Dewa Pedang. Mau tak mau Dewa Pe-
dang harus melompat ke sana kemari dan sesekali me-
lenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak in-
gin tubuhnya hancur lebur seperti tanah yang terkena 
hantaman pukulan Pendekar Gila. 
Rupanya dia bukan sembarangan pendekar! 
Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap be-
rusaha membendung serangan-serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan 
Pedang Darahnya. 
"Yeaaa...!" 
Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat 
ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya 
yang menggelegar. 
"Heaaa...!" 
Wut! Wut! 
Cletar...! 
"Heits! Hop! Heaaa...!" 
Pendekar Gila melompat ke samping, lalu den-
gan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan 
jurus pamungkasnya. 
Pertarungan semakin seru, ketika bulan pur-
nama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah 
cahaya bulan purnama tampak tubuh mereka berkele-
batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras men-
giringi setiap serangan mereka. 
Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pe-
dang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila. 
Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan 
cepat bergerak melompat untuk menghindar. Namun 
Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan....  
Bret! 
"Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan 
kembali membabat tubuhnya. Pundaknya yang tak ter-
tutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh ke-
luar. 
"Ha ha ha...!" 
Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak 
menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya. 
Sementara, para pendekar kini membelalakkan mata-
nya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan 
Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah. 
"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!" 
ejek Dewa Pedang. 
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak. 
"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk! 
Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-
gat dan dunia!" 
"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!" 
"Aha, kita buktikan!" 
Srt! 
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari 
ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa 
Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, ke-
mudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pen-
dekar Gila membuka gerakan. 
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mam-
pus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyak-
sikan jurus Pendekar Gila yang seperti gerakan seekor 
monyet 
Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang, 
kemudian ditekuk membentuk  siku. Matanya terpe-
jam, lalu kaki kanannya dilangkahkan ke depan de-
ngan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri 
ditekuk, kemudian digeser ke samping diikuti senta-
kan tangan kiri. 
Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang se-
dang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah 
putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus 
'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatan-
nya mampu menghancurkan bangsa siluman dan me-
leburkan batu menjadi tepung. 
"Heaaa...!" 
"Mampuslah kau, Bocah!" 
Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gi-
la tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah ma-
buk kemenangan, seketika mencelat hendak menye-
rang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang te-
rayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menu-
suk dan membabat ke arah lawan. 
"Heaaa...!" 
Wut! 
Pendekar Gila yang kini menggunakan mata ba-
tin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser 
ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang me-
luruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tan-
gan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan. 
Dan.... 
Prat! 
Jlegar! 
"Aaakh...!" 
Dewa Pedang melolong keras menyayat hati. 
Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar 
ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pende-
kar Gila meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan 
mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang 
bersalto. Maka.... 
Slarts! Slarts! 
Dua larik sinar merah membara melesat keluar 
dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang. 
Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu 
menghantam tubuh Dewa Pedang. 
Jlegar! 
"Aaa...!" 
Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan 
dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi te-
pung yang beterbangan, ketika angin bertiup. 
Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan 
Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri me-
nyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pende-
kar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Ke-
mudian diam-diam mereka meninggalkan tempat itu 
dengan rasa takut. 
"Kukuruyuuuk....!" 
Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa berge-
lak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pende-
kar Gila melangkah seiring dengan para pendekar lain 
meninggalkan Bukit Siluman. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com