Pendekar Gila 10 - Tengkorak Darah(1)


Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Tengkorak Darah
Kerajaan Bumi Wandra yang terletak di perba-
tasan wilayah timur Pulau Dewata berdiri dengan me-
gah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja berusia 
hampir enam puluh delapan tahun yang bernama Brah 
Salagatri. Raja Brah Salagatri mempunyai seorang 
permaisuri yang masih muda dan cantik bernama De-
wi Sekaton Ayu. Anaknya yang cantik dan menginjak 
dewasa bernama Dyah Ayu Sawang Sari 
Sebelum menjadi raja, Brah Salagatri merupa-
kan pangeran yang tampan. Dia pernah menjalin hu-
bungan cinta dengan wanita bernama Rubiati. Hubun-
gan gelap itu akhirnya membuat Rubiati hamil. Namun 
sejak itu, Brah Salagatri tidak pernah menjenguk ke-
kasihnya lagi. 
Tiga puluh tahun sudah kejadian itu berselang 
tanpa terasa. Selama itu, Brah Salagatri tak pernah 
mendengar kabar berita tentang kekasihnya. Setelah 
dia menikah dengan anak Raja Banyu Wangi bernama 
Dewi Sekaton Ayu, dia lupa sama sekali dengan keka-
sihnya. 
Malam itu angin menderu kencang bagai akan 
datang badai besar. Hawa dingin terasa menggigit 
hingga ke tulang sumsum. Rintik air hujan yang turun 
dari langit membuat suasana semakin terasa dingin 
bagi siapa pun yang malam itu belum tidur. 
Desa Karapan nampak sepi, hanya terlihat em-
pat peronda sedang melakukan tugas. Keempatnya 
tengah duduk berbincang di gardu sambil menghisap 
rokok kawung. Tubuh mereka berselimut kain sarung. 
Hanya wajah mereka saja yang terlihat, jika api rokok 
membesar kala dihisap. 
Hujan rintik-rintik terus meluncur dari langit, 
seakan  tak bakal berhenti. Rasa dingin semakin 
menghebat, ditambah oleh angin kencang yang mende-
ru bagai hendak datang badai. 
"Huh..., tidak biasanya malam seperti ini," gu-
mam Kapri mengeluh. Matanya memandang nanar ke 
depan. Pada gelap yang menghampar. Lelaki itu bertu-
buh pendek, wajah bulat, dan hidung pesek serta tahi 
lalat di bawah matanya. 
"Entahlah. Padahal saat ini musim kemarau," 
sahut Jalnoto. Berbeda dengan Kapri, Jalnoto bertu-
buh tinggi dan padat. Wajahnya tampan, dengan hi-
dung mancung. Kumis tipis menghiasi atas bibirnya. 
Matanya tajam jika memandang. 
"Ya, begitulah alam. Siapa pun tak tahu apa 
yang akan terjadi. Hanya Sang Hyang Widi saja yang 
mengerti," kata Pilan berusaha menenangkan hati ke-
dua temannya. Pilan bertubuh kurus dan wajahnya 
agak pucat, tapi menggambarkan ketenangan. Kumis-
nya panjang dengan cambang pendek, sedang matanya 
terlihat sayu. 
"Tapi hujan ini aneh, Lan," tukas Bawul, lelaki 
berbadan agak gemuk dengan perut agak buncit. Wa-
jahnya persegi dengan kumis lebat dan jenggot tebal. 
Begitu  juga dengan alisnya, tumbuh tebal di bawah 
keningnya yang lebar. "Bulu kudukku sampai merind-
ing. Jangan-jangan...;" 
Bawul tak meneruskan kata-katanya. Matanya 
memandang tegang ke sekeliling gardu yang tampak 
sepi dan gelap, membuat bulu kuduknya meremang. 
"Jangan-jangan kenapa, Wul?" tanya Jalno pe-
nasaran karena temannya tidak meneruskan ucapan-
nya. 
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," jawab Bawul, meng-
hindar. 
"Setan maksudmu?" terka Kapri. 
Bawul hanya mengangguk kecil. Matanya ma-
sih melirik-lirik tegang ke sekelilingnya yang gelap dan 
mencekam. Apalagi angin menderu semakin kencang. 
Bulu kuduknya kian meremang hebat. 
Kapri tertawa kecil. Tawanya terdengar sum-
bang karena dipengaruhi suasana yang mencekam. 
Dia pun merasakan bulu kuduknya meremang, namun 
dia berusaha menekan rasa takutnya sedalam mung-
kin. 
"Wul... Wul, kamu ini kayak anak kecil saja," 
gumam Kapri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 
"Sudah besar kok masih takut sama setan," godanya 
kemudian. 
"Bukan begitu, Pri. Bulu kudukku memang 
berdiri. Dan..., heh..., bau kemenyan, Pri!" desis Bawul 
tiba-tiba. Tubuhnya bergidik seketika, manakala hi-
dungnya mencium bau kemenyan yang menyengat. 
Seperti ada orang yang membakar dupa. 
Hidung ketiga temannya mengendus-ngendus, 
berusaha mencium bau kemenyan. Dan seketika keti-
ganya merasakan bulu kuduk meremang ketika hi-
dung mereka juga mencium bau kemenyan yang me-
nyengat. Ditambah lagi dengan wangi bunga kamboja, 
mengingatkan mereka pada tanah pekuburan. 
"Benar, Wul. Bau kemenyan dan bunga kambo-
ja," kata Jalno dengan mata membelalak. 
"Hiii.... Sepertinya ada setan," Pilan bergidik 
dengan muka pucat. Mereka rasanya ingin lari me-
ninggalkan gardu ronda, namun suasana di luar gardu 
sangat menyeramkan. Kegelapan yang menghampar, 
disertai rintik hujan dan deru angin seperti desah na-
pas seribu mambang. Belum tentu mereka akan te-
nang kalau lari. 
Tubuh keempat peronda itu menggigil ketaku-
tan, apalagi ditambah rasa dingin yang semakin meng-
gigit. Saat itu rintik gerimis bertambah deras. Sedang 
angin bertiup semakin kencang. 
Tubuh keempat peronda itu kini meringkuk da-
lam ketakutan. Hanya mata mereka saja yang berge-
rak-gerak, memandang tegang ke sekelilingnya yang 
sunyi dan sepi. Benar-benar mencekam perasaan dan 
mengusik bulu kuduk mereka. 
Wusss! 
Krak! 
Mata keempat peronda itu membelalak, ketika 
terdengar hembusan asap dan retaknya tanah. Seakan 
dari dalam tanah di sekeliling gardu ronda akan mun-
cul sesuatu. 
Wusss! 
Krak! 
Asap tebal keluar dari dalam tanah berjarak li-
ma tombak di depan gardu. Gumpalan asap itu tidak 
hanya satu, tapi ada sepuluh. Tanah di mana asap itu 
mengepul, merekah pecah. Seakan ada makhluk dari 
dalam tanah yang hendak keluar.  
Mata keempat peronda itu memandang dengan 
pandangan tegang, tak berkedip ke arah sepuluh gum-
palan asap yang membubung keluar dari retakan ta-
nah. Bulu kuduk mereka semakin meremang. Tubuh 
mereka menggigil ketakutan. 
Asap putih kehitam-hitaman yang tebal itu per-
lahan-lahan berubah warna. Semakin lama, asap itu 
menjadi berwarna merah darah. Lalu membentuk so-
sok-sosok yang mengerikan. Sosok manusia wajah 
tengkorak berjubah panjang dengan kerudung warna 
merah darah. 
"Tengko..., tengkorak hidup," ucap Bawul terba-
ta-bata. Matanya semakin membelalak tegang, me-
nyaksikan beberapa ujud yang muncul di hadapannya. 
Ujud menyeramkan yang membuat jantungnya hampir 
berhenti berdetak.  
"Se...., setan...!" pekik Jalno. 
"Wua...! Teng..., korak hidup...!" jerit Kapri. Tu-
buh keempat peronda itu kini saling merapat ketaku-
tan. Tak ada yang berani lari, karena sepuluh makhluk 
merah bermuka tengkorak berdiri di hadapan mereka. 
Bahkan makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu kini 
kian mendekat. Sepertinya makhluk-makhluk bermu-
ka tengkorak itu hendak melakukan sesuatu terhadap 
keempat peronda yang semakin bertambah ketakutan 
itu. 
Kesepuluh manusia bermuka tengkorak itu per-
lahan mengelilingi gardu ronda, membuat keempat pe-
ronda bertambah ketakutan. Terlebih saat mata mere-
ka memandang wajah makhluk bermuka tengkorak 
yang berlumuran darah dan tampak menyeringai se-
ram. 
"To..., tolooong...!" pekik keempat peronda itu 
ketakutan. Mereka saling merangkul satu sama lain, 
dengan wajah pucat pasi tanpa darah. 
Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu ber-
bicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu da-
ri mereka menunjuk ke arah Jalno yang berwajah pal-
ing tampan di antara keempat peronda tersebut. Se-
dang-kan makhluk lain di sampingnya mengangguk-
angguk, seakan menyetujui apa yang dikatakan re-
kannya. Kemudian makhluk bermuka tengkorak yang 
mengangguk-angguk tadi memerintah anak buahnya 
untuk menangkap Jalno. 
"Tidak! Jangan...!" jerit Jalno, berusaha meno-
lak ketika dua makhluk berwajah tengkorak maju ke 
arahnya dan siap menangkap. 
Kedua makhluk merah bermuka tengkorak se-
perti tidak peduli dengan teriakan Jalno. Keduanya se-
gera mencengkeram tangan Jalno dan menyeret tu-
buhnya. 
"Jangan...!" teriak Jalno seraya berusaha beron-
tak. "Tolooong...!" 
Ketiga temannya kebingungan. Mereka tidak 
tahu harus berbuat apa untuk menolong Jalno. Se-
dangkan mereka sendiri dalam ketakutan luar biasa 
yang mengganyang nyali masing-masing. Tubuh keti-
ganya menggigil. Tak ada yang berani melangkah un-
tuk menolong Jalno, karena makhluk merah bermuka 
tengkorak yang lain masih mengepung mereka. 
Saking takutnya, ketiga lelaki itu terkencing-
kencing. Wajah mereka sepucat kapas. Dan bulu-bulu 
halus di tengkuk mereka seperti hendak lepas, tegang 
menyaksikan kengerian di depan mata mereka. 
Wesss! 
Tiba-tiba makhluk-makhluk bermuka tengko-
rak yang membawa Jalno berubah kembali menjadi 
asap. Lalu terdengar suara pecahnya tanah di sekitar 
gardu. Bersamaan dengan itu, tubuh makhluk-
makhluk menyeramkan yang membawa Jalno menghi-
lang. 
"Hah?!" ketiga pasang mata peronda yang keta-
kutan itu membelalak, karena rasa takut dan takjub 
yang campur aduk melihat kejadian yang aneh itu. 
"Toloong.,.! Setan..!" 
Akhirnya mereka lari tunggang-langgang, sam-
bil berteriak-teriak tak karuan. 
"Tolong ada setan...! Tolong...!" 
Warga Desa Karapan yang mendengar teriakan 
para petugas ronda langsung keluar. Mereka ingin ta-
hu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Karapan tu-
rut keluar. 
"Ada apa, Bawul, Kapri, Pilan? Seperti orang di-
kejar setan saja kalian jejeritan  di malam begini?" 
tanya Ki Walapaya, lelaki tinggi kurus berpakaian war-
na abu-abu tua dengan lengan panjang. Wajahnya 
angker berhias kumis tebal melintang. Lelaki berusia 
sekitar lima puluh lima tahun ini adalah kepala Desa 
Karapan. 
"Setan, Ki. Setan-setan itu membawa Jalno," 
lapor Pilan. 
Semua orang membelalak, mendengar berita 
yang baru disampaikan Pilan. Namun Ki Walapaya 
seakan tidak percaya dengan cerita itu, malah dengan 
mendengus Ki Walapaya membentak. 
"Kau jangan main-main, Pilan?" 
"Benar, Ki," seta Bawul. "Lihat, kami sampai 
terkencing-kencing begini." 

Bawul menunjuk ke selangkangannya. Celana 
panjangnya yang berwarna kuning terang basah kuyup 
dengan bau pesing yang tidak ketulungan. Begitu juga 
dengan Pilan dan Kapri. 
Semua warga yang melihat ketiga peronda itu 
ngompol, seketika tertawa riuh-rendah. Membuat ke-
sunyian malam seketika pecah menjadi gelak tawa. 
Saat itu juga, tiba-tiba dari arah rumah Ki Lu-
rah Karapan terdengar jeritan seorang wanita. 
"Tolong! Tolooong...!" 
*** 
Ki Walapaya dan warga desa yang mendengar 
jeritan menantu Ki Walapaya seketika berlarian ke 
arah rumah kepala desa itu. Mereka menemukan be-
berapa makhluk bermuka tengkorak menyeramkan 
tengah membawa tubuh Samikantra, anak Ki Lurah 
yang baru menikah dua bulan lalu dengan Prawanti. 
"Setan! Setan tengkorak...!" jerit warga ketaku-
tan, menyaksikan makhluk-makhluk bermuka tengko-
rak berlumuran darah tengah berusaha membawa 
anak Ki Lurah. 
Menyaksikan hal itu, Ki Walapaya yang tidak 
ingin anaknya dibawa oleh makhluk-makhluk menye-
ramkan segera menghadang kesepuluh manusia ber-
muka tengkorak. 
"Berhenti! Lepaskan anakku!" bentak Ki Wa-
layapa dengan keras, seperti tidak takut sedikit pun 
terhadap sosok-sosok makhluk yang kini memandang 
dengan wajah mengerikan ke arahnya. 
Salah satu makhluk bermuka tengkorak meng-
gerakkan tangannya, seperti memerintah anak buah-
nya untuk membereskan Ki Walapaya. 
"Hng!" 
Tiga makhluk itu maju menghadapi Ki Lurah 
yang masih tegak berdiri dengan mata memandang ta-
jam. Tampaknya Ki Lurah belum yakin kalau mereka 
itu sungguh-sungguh setan. 
"Buka kedok kalian! Jangan kira aku takut 
menghadapi kalian!" dengus Ki Walapaya, memerintah 
tiga makhluk yang perlahan mendekat untuk membu-
ka kedoknya. Tapi ketiganya tidak terlihat akan mem-
buka kedoknya, malah mereka menggeram marah. 
"Hng!" 
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu seketi-
ka menyerang berbareng ke arah Ki Walapaya. Tangan 
mereka yang hanya tulang belulang berkuku panjang 
dan runcing, mencakar Ki Walapaya. Mendadak Ki Lu-
rah tersentak setelah melihat kalau makhluk-makhluk 
itu memang bukan manusia. 
"Tengkorak hidup...!" pekiknya, seraya menge-
lakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih 
membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan 
yang ada. 
Warga Desa Karapan yang melihat tangan 
makhluk bermuka tengkorak yang hanya tulang belu-
lang, seketika menjerit ketakutan. Mereka langsung la-
ri potang-panting. Terlebih-lebih ketiga peronda yang 
sebelumnya telah melihat. Mereka lari sipat kuping ba-
gai dikejar setan-setan tengkorak itu. 
"Tolong! Setan tengkorak tolooong...!"  
Jeritan warga seketika menggema memecah ke-
sunyian malam. Kini tak ada lagi warga yang berani 
membantu Ki Walapaya menghadapi makhluk tengko-
rak berdarah yang tengah bertarung dengan kepala de-
sanya. 
Ki Walapaya kini menghadapi ketiga tengkorak 
seorang diri. Dia telah telanjur menghadapi ketiga 
makhluk yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris 
yang tadi terselip di pinggangnya. Dengan keris 
'Simbang Mega' yang mengeluarkan sinar hijau, Ki Wa-
lapaya meladeni gempuran ketiga siluman tengkorak 
darah dengan jurus 'Kembaran Mega Berarak'. 
"Heaaa...!" 
Keris 'Simbar Mega' di tangan Ki Walapaya ber-
gerak cepat menusuk dada salah satu siluman tengko-
rak darah dengan cepat. Kilatan cahaya hijau itu terus 
menyeruak, berusaha menekan ketiga lawannya. 
Sementara itu, siluman tengkorak darah yang 
membawa anak Ki Walapaya kini telah raib entah ke 
mana, setelah berubah ujud menjadi kepulan asap lalu 
menyusup ke dalam tanah retak. Hal itu memaksa ma-
ta Ki Walapaya membelalak lebar, tegang menyaksikan 
kejadian aneh itu. Kejadian yang tidak masuk akal ba-
gi dirinya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan sema-
ta, tanpa mengerti ilmu gaib. 
Tusukan keris di tangan Ki Walapaya yang ke-
ras, seperti dibiarkan oleh salah satu makhluk bermu-
ka tengkorak darah. Tak ayal lagi....  
Jlep! 
Keris 'Simbar Mega' menghujam dada makhluk 
bermuka tengkorak darah. Keris itu terus menembus 
ke dalam, seperti disedot oleh sebuah kekuatan. Hal 
itu membuat Ki Walapaya tersentak kaget 
"Akh! Mengapa kerisku tertarik ke dalam?!" pe-
kik Ki Walapaya kaget Dia berusaha menarik keluar 
kerisnya dari tubuh siluman tengkorak, namun tu-
buhnya malah ikut tertarik oleh kekuatan aneh di tu-
buh siluman tengkorak darah. Ki Walapaya bertambah 
tegang. Apalagi saat sekujur tubuhnya merasakan pa-
nas menyengat, bagai ada api yang menyambar. 
Ki Walapaya berusaha sekeras mungkin agar 
dapat menarik kerisnya yang menancap pada dada la-
wan. Namun keris itu bagai melekat keras sekali pada 
tubuh lawan dan sulit untuk ditarik. Sebaliknya tubuh 
Ki Walapaya perlahan-lahan disedot oleh tubuh lawan. 
"Akh!" jerit Ki Walapaya.  
"Hng!" 
Makhluk bermuka tengkorak menggeram keras. 
Pada saat itu, bagian tubuhnya yang terhujam keris Ki 
Walapaya tampak bersinar hijau. Sinar itu terus mem-
besar, hingga akhirnya menyelimuti sekujur tubuh 
makhluk itu lalu mulai merambat ke tangan Ki Wala-
paya. 
"Wuaaa...!" Ki Walapaya menjerit setanggi langit 
ketika tubuhnya tersengat oleh sinar hijau yang keluar 
dari tubuh makhluk bermuka tengkorak. Seperti sen-
gatan arus listrik kuat yang menyambar tubuhnya. 
Ki Walapaya berusaha melepaskan keris yang 
menancap di tubuh lawan, tapi tangannya bagai telah 
melekat erat pada keris itu. Sehingga sangat sulit ba-
ginya untuk dapat melepaskan keris tersebut. Semakin 
kuat dia berontak, semakin lengket tangannya pada 
gagang keris. Semakin kuat pula tarikan aneh dari da-
lam tubuh makhluk bermuka tengkorak.  
"Hng!" 
"Hik hik hik!"  
"Wuk wek wek!" 
Ketiga makhluk bermuka tengkorak itu berkata 
dengan bahasa mereka yang sulit dimengerti oleh Ki 
Walapaya. Sementara Ki Walapaya terus berusaha me-
lepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia 
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya, namun te-
naga dalamnya tak mampu melepaskan tangan yang 
melekat pada gagang keris. Tenaga dalamnya malah 
tersedot habis. 
"Ukh!" Ki Walapaya mengeluh lirih. Wajahnya 
semakin pucat-pasi setelah tenaga dalamnya terkuras 
habis. Matanya membelalak tegang jiwanya diseret ke 
dalam saat-saat sekarat, "Wuaaa...!" 
Dengan jeritan yang terakhir, Ki Walapaya ak-
hirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan 
keadaan mengerikan. Tubuhnya pucat-pasi bagai tak 
berdarah. Matanya mendelik mengerikan. 
"Wuk wek wek!" 
"Wsss ngik!" 
Kedua makhluk bermuka tengkorak darah 
lainnya mengangguk. Seakan memerintah temannya 
untuk melepaskan korban yang telah kehilangan nya-
wanya. 
"Hng!" 
Usai melepaskan tubuh Ki Walapaya, ketiga 
makhluk bermuka tengkorak darah itu menjatuhkan 
sesuatu dari tangannya yang tepat menimpa wajah Ki 
Walapaya. Sebuah gambar tengkorak dengan warna 
merah terbuat dari darah!  
Wsss!  
Krak! 
Tubuh ketiganya berubah menjadi kepulan 
asap putih kehitam-hitaman yang perlahan menyusup 
ke dalam tanah. 
"Mayat..! Mayat..!" teriak seorang petani muda 
berusia sekitar tujuh belas tahun dengan wajah keta-
kutan sambil berlari-lari meninggalkan tempat di mana 
dua mayat telanjang tergeletak dalam keadaan menge-
rikan. Tubuh kedua mayat tak jelas ujudnya, karena 
dirubung oleh hewan-hewan berbisa. 
Warga Desa Sela Kapilu langsung gempar oleh 
jeritan pemuda tanggung itu. Segera semua warga ber-
duyun-duyun datang untuk melihat apa yang terjadi. 
Mereka serentak melangkah menuju ke perbatasan 
Desa Sela Kapilu dengan Desa Karapan. Orang-orang 
Desa Karapan yang mendengar kejadian itu ikut da-
tang. Mereka ingin tahu siapa yang menjadi korban. 
Warga Desa Karapan yang baru saja berduka 
atas kematian lurah mereka, menjadi marah setelah 
tahu kalau korban mengerikan yang tergeletak di per-
sawahan kering di batas Desa Karapan dengan Desa 
Sela Kapilu adalah peronda dan anak Ki Lurah. 
"Jelas ini perbuatan warga Desa Sela Kapilu...," 
kata seorang warga Desa Karapan menuduh. 
"Ya! Buktinya kedua korban ada di tempat ini," 
sambung rekannya. 
"Mungkin ada yang menganut ilmu sesat di De-
sa Sela Kapilu!" tambah yang lain semakin menusuk. 
"Kita serang saja!" timpal warga desa yang lain. 
Mendengar ribut-ribut warga Desa Karapan, 
warga Desa Sela Kapilu yang merasa dituduh seketika 
menjadi gusar. Mereka yang tidak merasa melakukan 
hal itu, langsung membentak marah. 
"Enak saja kalian menuduh!" hardik Wakil Ke-
pala Desa Sela Kapilu marah. "Apa buktinya kalian 
menuduh warga kami yang melakukan semuanya?!" 
"Mayat-mayat ini! Tidak mungkin kalau bukan 
warga Desa Sela Kapilu yang melakukannya. Buktinya 
mayat-mayat ini ada di perbatasan!" tak kalah sengit 
Wakil Kepala Desa Karapan membentak. 
"Kurang ajar! Fitnah! Tak pernah warga Desa 
Sela Kapilu berbuat keji seperti itu! Mungkin warga de-
samu yang melakukan semuanya! Lalu kami yang kini 
di-jadikan kambing hitam!" 
"Sembarangan kau berkata, Pronco!" dengus 
Pabean, Wakil Kepala Desa Karapan. Lelaki kurus ber-
wajah garang itu semakin gusar. Bagaimana tidak? Be-
lum juga hilang rasa dukanya atas kematian kepala 
desa, kini dua warga desanya ditemukan dalam kea-
daan yang mengerikan. "Bagaimanapun juga, wargamu 
patut dicurigai." 
"Setan alas!" bentak Pronco tak mau kalah. Le-
laki pendek dan berbadan gemuk itu melotot garang. 
"Sembarangan kau berkata! Kami Warga Desa Sela 
Kapilu tak pernah berbuat sehina itu! Tak seperti war-
ga desamu yang suka buat gara-gara!" 
"Bedebah! Serang Desa Sela Kapilu!" perintah 
Pabean. 
"Yeaaa!" 
Warga Desa Karapan dengan senjata seadanya 
serentak bergerak maju untuk melakukan serangan 
terhadap warga Desa Sela Kapilu. 
Menyaksikan warga Desa Karapan hendak me-
nyerang, Pronco pun tak tinggal diam. Dia segera ber-
seru lantang, menyuruh warga desanya untuk mem-
bendung serangan lawan. 
"Hadang warga Desa Karapan! Serang...!" 
"Yeaaa!" 
"Hancurkan...!" 
Warga Desa Sela Kapilu dengan senjata yang 
sederhana pun merangsek menyerang. Pertempuran 
yang seharusnya tidak perlu terjadi akhirnya berkobar. 
Keduanya sama-sama tak sudi dituduh dan sama-
sama tak mau mengalah. 
"Aku lawanmu, Pronco!" bentak Pabean sambil 
berkelebat menghadang Pronco yang mengamuk den-
gan senjata clurit di tangannya yang telah menjatuh-
kan beberapa korban. Begitu pula dengan Pabean, 
dengan senjata keris dia telah membunuh beberapa 
warga Desa Sela Kapilu. 
"Bagus! Kita tentukan siapa di antara kita yang 
memang tinggi ilmunya!" sambut Pronco sambil me-
lompat, menjauhi warga Desa Karapan. 
"Bersiaplah untuk mampus, Pronco!" 
"Kau yang mesti bersiap ke neraka!" 
"Yea!" 
"Yea!" 
Kedua  pemimpin warga desa kini berkelebat 
menyerang dengan senjata tradisional. Clurit di tangan 
Pronco bergerak menyambar-nyambar dengan jurus-
jurus 'Babat Raga' yang cepat dan mengarah pada 
tempat-tempat yang mematikan.  
Swit! 
"Uts!" 
Pabean mengelakkan sabetan Clurit lawan den-
gan cara merundukkan tubuh ke bawah, lalu meng-
geser kaki ke samping. Kemudian dengan cepat, ditu-
sukkan kerisnya ke lambung lawan yang tengah con-
dong ke arahnya dengan jurus 'Patukan Semut Merah'. 
Wettt! 
"Yea!" 
"Uts! Hop...!" 
Pronco dengan cepat mengelit ke samping, 
hingga keris di tangan Pabean hanya meleset beberapa 
senti di samping tubuhnya. Kemudian dengan cepat 
Pronco mengerahkan kaki kanannya ke muka lawan 
dengan tendangan 'Sampul Silang'. 
Wettt! 
"Yeaaa!" 
Cepat-cepat Pabean menggeser kaki ke samping 
kanan. Dengan tubuh setengah doyong dikelitkannya 
tendangan lawan. Kemudian dengan cepat, diajukan 
jotosan tangan kirinya ke selangkangan lawannya. 
"Yeaaa!" 
Pronco tersentak kaget mendapatkan serangan 
yang datang tiba-tiba itu. Cepat-cepat kakinya ditarik 
ke belakang, kemudian dengan cepat pula tubuhnya 
mundur dua tindak ke belakang sambil membabatkan 
cluritnya ke tangan lawan. 
"Heaaa!" 
Wettt! 
Pabean tersentak. Segera jotosannya ditarik un-
tuk menghindari sabetan clurit lawan. Kemudian sece-
pat kilat kerisnya ditusukkan ke perut lawannya yang 
buncit 
Trang! 
Dua senjata beradu, menimbulkan dentingan 
keras. Kemudian tubuh keduanya melompat ke bela-
kang. Mata mereka saling pandang dengan tajam, be-
rusaha mengukur kemampuan masing-masing. Den-
gan sudut mata mereka memperhatikan setiap gerak-
gerik lawan. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Beriring pekikan menggelegar, keduanya kem-
bali bergerak merangsek. Clurit di tangan Pronco ber-
suit-suit mencari sasaran. Sedangkan keris di tangan 
Pabean bergerak ganas mengarah ke perut lawan. 
Trang! 
"Heaaa!" 
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk 
dapat mengalahkan lawan masing-masing. Senjata me-
reka bergerak mencari sasaran yang mematikan di tu-
buh lawan. Namun masing-masing rupanya memiliki 
ketangkasan yang cukup hebat dalam mengelakkan 
serangan lawannya. 
Sementara itu, telah banyak korban yang jatuh 
di kedua belah pihak yang tengah bertarung. Tapi me-
reka seperti tidak akan menghentikan pertumpahan 
darah yang sia-sia itu. Keduanya masih memperta-
hankan pendapat mereka, meski harus mereka bayar 
dengan darah atau nyawa. 
Benturan senjata dan jerit kematian dari kedua 
belah pihak kerap kali terdengar. Namun semuanya ti-
dak membuat mereka jera, membuat mereka justru 
semakin telengas dan bernafsu untuk membunuh la-
wan. 
Saat pertarungan berlangsung kian seru, tiba-
tiba terdengar bentakan keras dari seorang lelaki. Ben-
takan keras itu, cukup membuat semua orang yang 
bertarung seketika menghentikan pertarungan mereka. 
"Berhenti...!" 
Seorang lelaki tua dengan sorban di kepala ser-
ta berjubah putih sampai ke mata kaki, nampak me-
langkah menuju warga kedua desa yang mendadak 
menghentikan pertumpahan darah itu. Seketika mere-
ka yang ada di tempat itu menjura memberi hormat. 
Termasuk Pronco dan Pabean. 
"Selamat datang, Ki Gede," hatur keduanya 
dengan ramah. 
"Hm...," Ki Gede Mantingan menggumam tak je-
las. Matanya memandang tajam pada orang-orang 
yang menundukkan kepala di hadapannya, seakan le-
laki tua itu tak suka pada tindakan bodoh mereka 
yang terlalu terburu nafsu. 
Ki Gede Mantingan, lelaki berusia sekitar enam 
puluh delapan tahun berjenggot putih panjang pera-
wakannya tinggi. Dilengkapi wajah yang penuh kete-
nangan. Dia menyapukan pandangannya ke segenap 
penjuru tempat itu. 
"Apa kalian semua sudah dirasuki iblis?!" seru 
Ki Gede Mantingan dengan suara lantang dan penuh 
wibawa. Matanya masih memandang tajam ke seluruh 
warga desa yang menundukkan kepala kian dalam. 
"Bukan begini cara menyelesaikan masalah! Kalian te-
lah lupa dengan ajaran yang telah kuberikan?!" 
Semua tergugu dalam diam. Tak seorang pun 
berani mengangkat kepala. Apalagi mengadu pandang 
dengan Ki Gede Mantingan. 
Orang tua itu merupakan guru besar di desa 
mereka, yang senantiasa mengajari mereka norma-
norma agama yang setarap dengan Brahmana. Sese-
puh yang dihormati dan dihargai oleh semua warga 
kedua desa itu. 
"Kalian mestinya bisa menjaga emosi! Jangan 
grusa-grusu, karena sikap seperti itu hanya sikap dan 
tindakan-tanduk setan!" kembali Ki Gede Mantingan 
berkata. Suaranya masih tegas dan penuh kewiba-
waan. "Kalau sudah begini, siapa yang rugi?!" 
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka 
suara sepatah kata pun. Kepala mereka semakin me-
nunduk dalam-dalam. Tanpa terasa air mata mereka 
berlinang. Tampaknya semua warga kedua desa itu 
menyesali tindakan mereka yang tidak berlandaskan 
akal sehat 
Ki Gede Mantingan menghela napas panjang. 
Ditengadahkan wajahnya ke langit mencari jawaban 
tentang watak manusia yang terkadang sulit dipahami. 
Kemudian terdengar desah napasnya yang terasa be-
rat. 
"Bencana apa yang telah melanda desa kalian? 
Ini yang perlu kalian pikirkan! Bukan main saling tu-
duh dan saling bunuh seperti binatang!" sambungnya 
lagi. "Kalian manusia yang diberi akal dan pikiran oleh 
Sang Hyang Widi." 
Kebisuan terus menyelimuti warga kedua desa 
yang habis bertarung itu. 
Dari arah Desa Sela Kapilu, Ki Lurah Jarang 
Lanang berlari-lari ke arah mereka. Seketika Ki Lurah 
Jarang Lanang menjura, melihat Ki Gede Mantingan. 
"Ampun, Ki Gede. Kami mohon ampun atas ke-
jadian ini," mohonnya mengiba sambil terus menjura. 
"Saya sedang menemui Kanjeng Wedono, jadi tidak ta-
hu masalahnya sama sekali." 
"Tak ada yang salah, Ki Lurah," jawab Ki Gede 
Mantingan pada orang tua berpakaian adat Jawa den-
gan wajah bersih tanpa kumis dan cambang bawuk. 
Tubuh lelaki tua itu gemuk. Beruntung agak tinggi, 
hingga tidak terlihat bulat. Blankon di kepalanya ter-
balik. Mungkin Ki Lurah Jarang Lanang terburu-buru 
setelah mendengar dari warganya tentang kejadian ter-
sebut 
"Saya khawatir, Ki Gede. Takut kalau salah pa-
ham ini akan berlarut-larut," kata Ki Lurah Jaran La-
nang dengan wajah menunjukkan kekhawatiran. 
"Tak akan, Ki. Asal kedua belah pihak saling 
mengerti dan menyadari. Ini bukan perbuatan manu-
sia, tapi iblis! Maka, kuharap kalian waspada. Kemarin 
malam, Desa Karapan yang mengalami musibah. Siapa 
tahu nanti malam justru Desa Sela Kapilu yang terke-
na musibah." 
Semua diam terpekur tak ada yang berkata. 
Suasana menjadi sepi sesaat di perbatasan ke-
dua desa itu. Kemudian Ki Gede Mantingan kembali 
melanjutkan. "Penjagaan harus diperketat. Kalian ha-
rus ingat itu. Adakan perondaan setiap malam, agar 
jangan sampai kecolongan." 
"Baik, Ki Gede...!" serentak mereka menjawab. 
"Sekarang bubarlah. Urus yang mati. Jalinlah 
tali kasih dan persaudaraan!" 
Setelah memberi petuah, Ki Gede Mantingan 
pun berlalu meninggalkan tempat itu. Kini tinggal 
orang-orang kedua desa yang tengah sibuk mengurus 
mayat-mayat korban. 
*** 
Sore telah datang, mentari tergelincir di sudut 
barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam, ke-
mudian hadir kegelapan yang membawa suasana men-
cekam. Tampak para petani pulang dari sawah dengan 
peralatan terpanggul di pundaknya. 
Burung-burung beterbangan pulang ke sarang 
masing-masing dengan suara yang bersahut-sahutan. 
Bias merah jingga merasuki langit sebelah barat, me-
nandakan mentari telah tersungkur. Desir angin sore 
terasa agak dingin, seperti datang bersama kegelisa-
han. 
Dua sosok bayangan tampak melangkah dalam 
keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gu-
rau dengan riang, seperti menikmati suasana senja 
yang indah. Bagai tidak menghiraukan kejadian yang 
tengah menimpa sebuah desa yang mereka lalui. 
"Kakang, nampaknya desa ini tengah berduka," 
kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut di-
gelung dua di atas. Kulit gadis itu kuning langsat. Hi-
dungnya tidak terlalu mancung. Sedang matanya len-
tik dan indah bila mengerling. 
"Hm," gumam pemuda berpakaian rompi kulit 
ular, berambut gondrong yang agak berombak. Kulit 
pemuda itu bersih, wajahnya tampan. 
Serasi sekali kedua anak muda itu. Yang lelaki 
tampan dan gagah, sedangkan yang perempuan cantik 
nan elok. Pedang tersandang di pundak gadis cantik 
yang berpakaian ala Cina itu. Sedangkan di pinggang 
pemuda tampan itu terselip sebuah suling berkepala 
naga. 
Dilihat dari senjata serta pakaian mereka, ke-
dua sejoli itu tidak lain Sena Manggala atau Pendekar 
Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut 
Nyawa. 
Sena meringis dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya yang nam-
pak sepi dan senyap. Ada bendera kuning terpajang di 
pintu masuk desa itu. Bendera itu menandakan kalau 
desa itu tengah berkabung. 
"Aha, mungkin kematian biasa, Mei Lie." 
"Tapi, Kakang...," potong Mei Lie. 
"Aha, kau begitu nakal, Mei Lie. Ayolah, kita 
cepat pergi. Sebentar lagi malam. Kita harus segera 
mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil 
menggandeng tangan Mei Lie. Tapi gadis Cina itu me-
nolak. 
"Tunggu, Kakang. Firasatku mengatakan, telah 
terjadi sesuatu di sini." 
Sena tertawa tergelak-gelak mendengar penutu-
ran Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti 
monyet. Hal itu membuat Mei Lie lantas cemberut. 
Sena langsung menghentikan tingkahnya yang 
persis orang gila itu setelah melihat Mei Lie merengut. 
Dengan tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala, Sena menghela napas panjang-panjang. 
"Hi hi hi..! Nakalmu semakin jadi, Mei Lie. Ah 
ah ah, tentunya di desa ini memang telah terjadi sesu-
atu. Kematian, bukan?" goda Sena, membuat Mei Lie 
bertambah merengut. Matanya mendelik pada Sena 
yang makin cengengesan. 
"Uh, Kakang," keluh Mei Lie cemberut "Aku 
sungguh-sungguh, Kakang." 
"Aha, aku lebih sungguh-sungguh, Mei Lie," tu-
kas Sena, masih saja menggoda. Semakin membuat 
Mei Lie mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini. 
Sudahlah, Mei Lie. Sebentar lagi malam, kita harus se-
gera mencari tempat penginapan." 
Sena kembali mengajak Mei Lie pergi mening-
galkan tempat itu. Akhirnya Mei Lie pun menurut. Ka-
ki keduanya melangkah meninggalkan desa itu. Tapi 
baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan 
oleh bentakan seseorang. 
"Berhenti!" 
Sena dan Mei Lie berhenti, keduanya memba-
likkan tubuh melihat siapa yang telah menyuruh me-
reka berhenti: Tampak seorang lelaki berbadan kurus 
dengan kumis panjang yang melintang di atas bibirnya 
berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga pada me-
reka. Di belakang lelaki yang tidak lain Pabean, berdiri 
beberapa orang warga. Wajah mereka pun menggam-
barkan rasa curiga. 
Sena tertawa renyah. Tingkah lakunya yang 
konyol kembali muncul. Dia menggaruk-garuk kepala 
sambil cengengesan. Kemudian tangannya menepuk-
nepuk pantat 
Menyaksikan tingkah konyol pemuda berpa-
kaian rompi kulit ular di hadapannya, Pabean seketika 
mengerutkan kening. "Rasanya aku pernah mendengar 
tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" 
tanya Pabean dalam hati. Alisnya bertaut saat meman-
dang penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie. 
"Dan kalau tidak salah, gadis Cina ini yang bergelar 
Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka berdua 
pendekar itu?" 
"Hi hi hi...! Kalian ini aneh. Mengapa tiba-tiba 
menghentikan langkah kami? Hi hi hi...!" Sena tetap 
konyol, menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-
jingkrak. Sedangkan Mei Lie malah bersiap-siap, was-
pada kalau para penghadangnya hendak bermaksud 
jahat 
"Siapa kalian?" tanya Pabean berusaha mencari 
tahu. 
"Hi hi hi...! Lucu. Kau lucu sekali, Kisanak." 
Sena semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah, 
kami sepasang muda-mudi yang sedang melancong 
mengikuti kemauan kaki. Nah, apa cukup jelas?" 
"Apakah kalian Pendekar Gila dan Bidadari 
Pencabut Nyawa?" selidik Pabean berusaha memasti-
kan dugaannya. 
"Ya!" sahut Mei Lie memotong. "Ada apa kalian 
menghadang kami?" tanyanya kemudian. 
"O, maafkanlah tindakan kami yang lancang. 
Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Penca-
but Nyawa, kami mengharap kalian sudi singgah ke 
rumah kami," pinta Pabean, santun. 
"Hm, untuk apa?!" tanya Mei Lie tegas. 
"Aha, jangan galak begitu, Mei Lie! Bagaimana 
kalau kita terima undangannya. Bukankah kita adalah 
tamu di sini?" tanya Pendekar Gila berusaha mene-
nangkan Mei Lie yang ketus. Tampaknya Mei Lie masih 
dihantui kejadian di Lembah Lamur, saat orang-orang 
yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya 
dia tidak mudah percaya dengan orang lain (Mengenai 
kejadian Mei Lie, silakan baca serial Pendekar Gila da-
lam episode "Titisan Dewi Kuan Im"). 
"Baiklah! Tapi jangan sekali-sekali bermaksud 
jahat. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian! 
Bahkan seluruh penduduk desa sini!" ancam Mei Lie. 
"Baik, Nona Pendekar," sahut Pabean penuh 
hormat. 
"Aha, ayolah," ajak Pendekar Gila. 
Mereka pun melangkah mengikuti Pabean dan 
warganya. Sementara kegelapan telah menyelimuti de-
sa itu. 
*** 
Rumah Pabean nampak terang benderang. 
Lampu tempel besar dan lampu gantung yang biasanya 
dipadamkan, malam itu dinyalakan semua. Suasana 
dalam rumah menjadi terang benderang. Khususnya di 
beranda. 
Tiga orang tengah duduk di kursi rotan, semen-
tara yang lainnya duduk bersila di bawah. Tampaknya 
mereka tengah berkumpul, setelah kematian lurah me-
reka. 
Sena, Mel Lie, dan Pabean duduk di atas bang-
ku. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang 
melanda Desa Karapan dan telah menelan tiga korban. 
"Kemarin malam desa ini didatangi oleh kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak. Mereka menculik 
salah seorang petugas ronda dan anak Ki Lurah. Se-
mentara Ki Lurah sendiri mengalami kematian yang 
mengerikan sekali. Tubuhnya hangus, bagai terbakar," 
tutur Pabean menceritakan semua kejadian yang ter-
jadi kemarin malam. 
"Hm," gumam Sena tidak jelas. Sedangkan Mei 
Lie memperhatikan cerita yang dibeberkan Pabean 
dengan seksama. "Aneh, makhluk berwajah tengkorak 
dari mana?" 
"Itulah yang tengah kami pikirkan. Keris sakti 
milik Ki Lurah Walapaya yang bernama 'Simbar Mega' 
hilang entah ke mana. Kata orang yang melihat, keris 
itu masuk ke dada makhluk bermuka tengkorak." 
"Heh?!" seru Sena dengan mata membelalak 
kaget. 
"Hhh," desah Mei Lie. Wajahnya kelihatan ge-
ram mendengar cerita yang dituturkan Pabean. "Kura-
sa semua ini didalangi seseorang." 
"Entahlah. Didalangi atau tidak, kami rasa hal 
ini harus dicegah...," kata Pabean dengan suara agak 
geram jika ingat kejadian yang menimpa desanya. 
"Hm," lagi-lagi Pendekar Gila bergumam tak je-
las. Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-
garuk kepala. 
"Apa mereka keluar pada saat malam?" tanya 
Mei Lie. 
"Ya!" 
"Hm, ada yang tahu persis, bagaimana cara me-
reka muncul?" tanya Mei Lie. 
"Saya, Nona Pendekar," sahut Pilan, salah seo-
rang petugas ronda kemarin malam. 
"Bisa Kisanak menjelaskan?" pinta Mei Lie. 
Secara singkat dan jelas, Pilan pun mencerita-
kan kejadian yang telah dialaminya bersama ketiga pe-
ronda lain, yang salah satunya menjadi korban kawa-
nan makhluk bermuka tengkorak darah. Muka tengko-
rak  itu berlumuran darah, itu sebabnya dinamakan 
tengkorak darah: Sebelum mereka keluar terdengar de-
rak tanah retak. Kemudian muncul asap putih kehi-
tam-hitaman yang perlahan menampakkan ujud me-
rah me-nyala. 
"Begitulah mereka keluar, Nona Pendekar," 
ucap Pilan, mengakhiri ceritanya. 
"Hm," gumam Mei Lie sambil menghela napas 
panjang-panjang. 
Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk ke-
pala.  
"Aha, rupanya ada juga siluman yang ingin 
mencampuri urusan manusia. Hi hi hi...! Lucu sekali!" 
Sena tertawa meringkik. Tingkahnya semakin konyol, 
membuat semua orang yang hadir di situ tersenyum-
senyum. 
"Siluman...?" tanya Pabean dengan mata mem-
belalak. 
"Ya! Kurasa mereka siluman," jawab Sena ma-
sih bertingkah konyol dan lucu. 
Semua terdiam. Mereka merasakan ketegangan 
setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati me-
reka bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu 
datang? Lalu apa maksud siluman-siluman itu datang 
ke alam manusia? 
"Hm, kalau memang mereka siluman, bagaima-
na cara menghadapinya?" tanya Pabean nampak ke-
bingungan. Jelas akan sulit sekali manusia biasa se-
perti dirinya dan warga desa untuk menghadapi mak-
hluk-makhluk seperti itu. Hanya orang-orang yang 
memiliki ilmu gaib saja yang mampu menghadapinya. 
Mulut Pendekar Gila nyengir. Tangannya kem-
bali menggaruk-garuk kepala. Dia pun belum bisa ber-
buat apa-apa atau mengambil kesimpulan, karena dia 
belum pernah tahu makhluk seperti siluman itu. Dia 
juga belum tahu bagaimana cara menghadapi siluman. 
"Aha, sulit juga rasanya," gumam Sena tiba-
tiba, menyentakkan semua orang di tempat itu terma-
suk Mei Lie, yang seketika mendelikinya. Pendekar Gila 
hanya nyengir, lalu seraya menggaruk-garuk kepala 
dia melanjutkan, "Kurasa, ada baiknya kita membica-
rakan masalah ini." 
"Aku setuju," sambut Pabean. 
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena. 
"Aku pun setuju." 
"Baiklah kalau begitu. Hm, hari hampir larut, 
kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembica-
raan. Bagaimana kalau kita berpencar?" tanya Sena. 
"Maksudmu?" tanya Mei Lie belum mengerti. 
"Mungkin kawanan siluman itu malam ini akan 
datang kembali. Kurasa ada sesuatu yang menyebab-
kan kedatangan mereka di desa ini. Bagaimana kalau 
kita menyelidikinya?" tanya Pendekar Gila. 
"Hm, aku setuju. Apa yang sekiranya menu-
rutmu baik, aku setuju saja," jawab Pabean. 
"Aku juga setuju," sambut Mei Lie. 
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Sena. 
"Kami setuju," sahut warga yang hadir di tem-
pat itu. 
"Aha, bagus! Kuminta lima orang untuk meron-
da. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi, bu-
nyikan kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu, 
aku dan Mei Lie akan segera datang," tutur Sena men-
gatur rencana. 
"Ide yang bagus," puji Pabean. 
"Sementara yang lainnya, tolong ikut Pabean 
untuk memeriksa kampung ini. Aku dan Mei Lie akan 
mengawasi kampung sebelah barat. Kita akan bertemu 
jika kita mendengar salah seorang membunyikan ken-
tongan," papar Sena menjelaskan. 
"Baiklah, kalau begitu malam ini juga kita mu-
lai" kata Pabean. 
Setelah mengatur rencana sebaik mungkin, me-
reka pun melakukan apa yang telah direncanakan. 
Pendekar Gila dan Mei Lie melesat ke arah barat se-
dangkan Pabean dan warga menuju ke arah timur. Li-
ma orang peronda nampak masih berada di rumah Pa-
bean, berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan. 
*** 
Sementara itu, di Desa Sela Kapilu tampak be-
berapa orang tengah bergerombol. Ada sepuluh orang 
yang malam itu bertugas meronda. Kali ini mereka siap 
dengan senjata berupa golok. Berjaga-jaga kalau-kalau 
terjadi hal yang serupa dengan kejadian di Desa Kara-
pan. 
"Apa benar cerita orang Karapan?" tanya seo-
rang peronda bernama Kapri. 
"Iya. Mana ada setan gentayangan membunuh? 
Mungkin orang Desa Karapan sendiri yang melaku-
kannya," sambung Dayan. 
"Ya, mungkin juga benar," tukas Wiryo. "Mana 
ada sih yang tega membunuh Ki Lurah? Lagi pula, ka-
lau memang benar Ki Lurah mati terbakar, tentu warga 
melihatnya." 
"Iya ya. Kok bisa aneh begitu? Lagi pula, salah 
seorang petugas ronda hilang dan tadi pagi tahu-tahu 
ditemukan mati. Aneh...," gumam Rusdi. 
"Sudahlah, jangan membicarakan itu. Tidak 
baik. Ingat kata-kata Ki Gede Mantingan, kita tidak bo-
leh membicarakan orang lain. Yang penting kita harus 
bisa menjaga keamanan desa kita," tukas Romlan be-
rusaha mengingatkan teman-temannya agar tak mem-
bicarakan orang lain. 
Kebisuan kemudian menyelimuti para peronda 
yang sedang berkumpul di gardu. Terlebih malam itu 
angin berhembus membawa rasa dingin, membuat su-
asana di sekitar tempat itu bertambah mencekam. 
Wesss! 
Krak! 
Tiba-tiba kesepuluh peronda yang tengah ber-
jaga-jaga dikejutkan oleh suara tanah retak, yang di-
ikuti oleh suara mendesis dan datangnya asap tebal 
yang keluar dari retakan tanah. 
"Hei, suara apa itu?!" seru Dayan. 
"Seperti asap! Lihat ada asap mengepul!" sam-
but Rusdi. 
Mata kesepuluh ronda itu membelalak, me-
mandang tak berkedip pada asap tebal yang membu-
bung keluar dari retakan tanah. 
Belum juga rasa kaget kesepuluh peronda  itu 
hilang, kepulan asap yang jumlahnya banyak itu 
membentuk sosok berwarna merah. Kemudian terben-
tuklah ujud menyeramkan. Sosok manusia berwajah 
tengkorak yang berlumuran darah. 
"Se..., setaaan...!" pekik mereka ketakutan. Tapi 
tubuh mereka tidak beranjak dari gardu. Hanya mata 
mereka yang melotot tegang, memandang sosok-sosok 
menyeramkan yang kini melangkah mendekati gardu. 
"Jelas makhluk ini yang kemarin membuat 
bencana di Desa Karapan...," desis Wiryo, orang yang 
agak berani di antara kesepuluh peronda. Malah tan-
gannya kini menarik golok dari sarungnya. "Kita harus 
serang mereka!" 
Tak ada satu temannya pun yang berani. Mere-
ka cuma dapat menggigil ketakutan. Hal itu membuat 
Wiryo kebingungan. Kini dirinya dalam keraguan. Ingin 
melawan seorang diri tapi dia akut karena takut lawan 
terlalu banyak. Namun kalau tak melawan, bisa-bisa 
mereka akan menjadi korban. Akhirnya tubuh Wiryo 
ikut merapat dalam kerumunan temannya. 
"Tolong...! Ada setaaan...!" jerit mereka keras, 
membuat warga lain yang tengah tidur seketika ter-
bangun. Mereka berbondong-bondong menuju ke gar-
du ronda. Namun warga desa seketika lari mening-
galkan tempat itu, manakala menyaksikan puluhan 
ujud menyeramkan. 
"Wuaaa! Setaaan...!" 
Suasana malam yang sepi dan mencekam, 
mendadak dirambati jerit ketakutan para penduduk. 
Mereka lari terbirit-birit saking takutnya, tanpa meng-
hiraukan lagi nasib kesepuluh peronda yang masih 
terkurung di dalam gardu. 
Ketegangan semakin menjadi-jadi, ketika mak-
hluk-makhluk bermuka tengkorak itu semakin dekat 
ke arah gardu tempat kesepuluh peronda berada. 
"Wuaaa...!" jerit mereka ketakutan, setelah 
lampu tempel di gardu menerangi wajah makhluk-
makhluk itu, hingga mata mereka menangkap dengan 
jelas puluhan wajah menyeramkan itu. 
"Kita tidak bisa begini terus. Kita harus mela-
wan," ajak Wiryo, berusaha memberi semangat pada 
kesembilan rekannya yang masih ketakutan. 
"Tapi..., mereka bukan manusia," keluh teman-
temannya. 
"Apa pun mereka, kita tidak boleh tinggal di-
am!" Wiryo terus berusaha memberi semangat pada 
teman-temannya untuk melawan makhluk-makhluk 
menyeramkan itu. 
Srttt! 
Mereka serentak mencabut golok. Rupanya aja-
kan Wiryo mereka tanggapi. Kemudian dengan nekat, 
kesepuluh peronda itu menyerang para pengepung 
yang menyeramkan. 
"Heaaa!" 
Crak! Crak! Crak! 
Suara benturan golok dengan tubuh para mak-
hluk tengkorak darah terdengar. Namun golok di tan-
gan mereka malah menjadi gompal. Bahkan ada yang 
patah menjadi tiga. Kejadian aneh itu membuat mata 
kesepuluh peronda semakin membelalak tegang. 
"Wik! Wok! Wik!" salah satu makhluk bermuka 
tengkorak berkata. Tangannya yang hanya tulang belu-
lang bergerak-gerak, seperti memerintah yang lain un-
tuk membereskan kesepuluh peronda itu. 
Puluhan tengkorak darah serentak maju, men-
jadikan para peronda semakin ketakutan. Tubuh me-

reka kini menggigil hebat. Keringat dingin bercucuran 
membanjiri dahi dan leher mereka. Malah mereka ter-
kencing-kecing, menyaksikan wajah-wajah menyeram-
kan itu bertambah dekat 
Tangan para makhluk bermuka tengkorak itu 
bergerak. Mulanya menjulur maju, kemudian ditarik 
ke belakang. Dari telapak tangan mereka yang hanya 
tulang belulang, terpancar sinar biru. Saat itu pula tu-
buh kesepuluh peronda tertarik keras ke arah mereka. 
"Wuaaa! Tolooong...!" 
Kesepuluh peronda itu berusaha memperta-
hankan diri dari sedotan tenaga aneh lawan,  namun 
tenaga mereka rupanya belum seberapa. Tubuh mere-
ka terus tersedot, sampai menempel dengan tubuh 
makhluk bermuka tengkorak. Kesepuluh peronda itu 
tergagap-gagap, menyaksikan wajah menyeramkan 
yang begitu dekat dengan wajah mereka. 
"Wuaaa...! Tolooong...!" 
Percuma mereka menjerit-jerit, karena warga 
yang lain malah kocar-kacir ketakutan. 
Dalam keadaan tegang dan kritis, tiba-tiba ber-
kelebat sesosok bayangan berwarna coklat tua ke arah 
puluhan makhluk bermuka tengkorak. Bayangan itu 
langsung menghantamkan pukulan keras kepada sa-
lah satu makhluk itu. 
Dukkk! 
"Aduh!" pekik bayangan coklat, yang tidak lain 
Ki Lurah Jaran Lanang. Tangannya seketika memar. 
Seakan tangannya baru saja memukul logam atau ba-
tu karang yang sangat kuat. Mata lelaki tua berpa-
kaian Jawa itu membelalak tegang. Apalagi ketika pe-
mimpin kawanan tengkorak darah membalikkan tubuh 
dan memandang ke arahnya. Darah Ki Lurah Jaran 
Lanang mendesir hingga cepat, karena kengerian yang 
tiba-tiba menusuk. Mulutnya menganga, matanya 
membuka lebar. 
"Ngik! Kik! Cuik!" Pemimpin makhluk bermuka 
tengkorak berkata, tampaknya dia sangat marah atas 
kehadiran Ki Lurah Jaran Lanang. Malah tubuh me-
rahnya kini melangkah maju, mendekat Ki Lurah Ja-
ran Lanang yang semakin membelalak ngeri dan takut. 
"Setan...! O, rupanya apa yang dikatakan warga 
Desa Karapan memang benar," desis Ki Lurah Jaran 
Lanang setengah mengeluh. Matanya semakin membe-
lalak tegang. Kakinya berusaha lari, namun tiba-tiba 
tubuhnya bagai disedot oleh suatu kekuatan. Kakinya 
mendadak tertahan, malah semakin tertarik mundur 
ke arah pemimpin makhluk bermuka tengkorak 
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang mulai menggigil 
ketakutan, mengetahui tubuhnya kini terangkat ke 
atas. Dan ketika matanya memandang ke belakang, 
tampak olehnya tangan tengkorak darah itu tengah 
bergerak ke atas.  
"Nguik!" 
Pemimpin makhluk bermuka tengkorak itu 
menggerakkan tangannya ke bawah, ketika tubuh Ki 
Lurah Jaran Lanang telah mencapai ketinggian terten-
tu. Saat itu pula, tubuh Ki Lurah Jaran Lanang me-
luncur ke bawah.  
Wesss! 
"Wuaaa...! Tolooong...!" 
Tubuh Ki Lurah Jaran Lanang terus melesat 
turun dengan cepat, bagai dibanting dari atas. Ketika 
tubuh lelaki tua itu hampir menghantam tanah kering, 
tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat menang-
kap tubuhnya. Bayangan itu langsung berhenti, ke-
mudian menurunkan tubuh Ki Lurah Jaran Lanang. 
Bersama bayangan yang ternyata Pendekar Gila, mele-
sat pula tubuh Mei Lie. 
"Rupanya siluman-siluman ini!" dengus Mei Lie. 
Matanya tajam, memandang gerombolan makhluk 
bermuka tengkorak darah yang kini menghadap ke 
arahnya, setelah membunuh kesepuluh peronda. 
"Nguik! Wok! Wik! Wok!" 
"Hm, majulah! Biar kuhabisi kalian!" tantang 
Mei Lie dengan berani. 
Srttt! 
Dicabutnya Pedang Bidadari dari sarungnya. 
Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi terang 
benderang oleh sinar kuning kemerahan-merahan. Hal 
itu membuat ujud manusia-manusia bermuka tengko-
rak semakin terlihat jelas. Keadaan mereka begitu me-
nyeramkan. Muka mereka hanya berupa tengkorak 
berlumuran darah. Bagian mata mereka bolong, begitu 
juga bagian hidung. 
"Ngik! Ngok! Nguik!" 
Pemimpin  gerombolan  tengkorak darah itu 
tampak menutupi matanya dengan sebelah tangan. 
Seakan merasa silau oleh sinar yang terbersit dari Pe-
dang Bidadari di tangan Mei Lie. Sedangkan tangan 
yang lain kini digerakkan, memerintah pada kesepuluh 
anak buahnya untuk menyerang. 
"Nguik!" 
Suara ribut tercipta dari mulut-mulut makhluk 
tengkorak darah yang hendak menyerang Mei Lie. 
"Bagus! Majulah sekalian! Heaaa...!" 
Tanpa membuang-buang waktu, Mei Lie segera 
bergerak memapaki serangan lawan. Pedang Bidadari 
di tangannya bergerak dengan cepat, memenggal ke 
kepala lawan dengan jurus 'Tebasan Bidadari'. 
Wettt! 
Trang! 
"Heaaa!" 
Mei Lie bergerak lincah. Pedang Bidadarinya 
laksana lengan Bidadari Pencabut Nyawa. Setiap kali 
berkelebat pasti mengambil kematian. Pantas benar 
dengan julukan yang disandangnya, Bidadari Pencabut 
Nyawa. 
Dua makhluk bermuka tengkorak terpenggal 
lehernya. Keduanya seketika berubah menjadi asap, 
lalu menghilang. Yang lainnya menyerang. Namun 
Pendekar Gila yang tidak ingin Mei Lie mendapat cela-
ka, segera menarik Suling Naga Sakti. Dengan suling 
itu tubuhnya melesat ke udara. Lalu dengan tingkah 
seperti seekor monyet, Pendekar Gila memukul kepala 
para makhluk bermuka tengkorak. 
"Hi hi hi! Rasakan ini, Siluman Buruk! Ha ha 
ha!" 
Tak tuk tak! 
Tiga kepala makhluk ganjil itu pecah. Ketiga 
sosok tengkorak yang terbungkus jubah merah berke-
rudung itu, seketika berubah menjadi asap. Lalu 
menghilang bagai ditelan bumi. 
"Ngik! Ngok! Nguk!" Pemimpin kawanan tengko-
rak darah seketika memberi perintah dengan isyarat 
tangan, lalu sisa makhluk tengkorak darah itu menghi-
lang dari hadapan Pendekar Gila. 
"Hi hi hi! Kalian mau main-main. Baik! Hi hi 
hi...!" sambil tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak 
seperti monyet, Pendekar Gila meniup Suling Naga 
Saktinya. 
Suara suling melengking tinggi. Saat itu, suatu 
ledakan terjadi. Lima tengkorak darah yang menghi-
lang bersama pemimpinnya nampak kembali dalam 
keadaan sudah mati. Kemudian tubuh mereka menjadi 
asap yang menipis dan menghilang tersapu angin. 
Pendekar  Gila tertawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Namun dari arah rumah seorang warga, tiba-
tiba terdengar jeritan. 
"Tolooong...!" 
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki Lurah Jaran La-
nang segera berkelebat menuju asal jeritan itu. 
*** 
"Tolooong! Setaaan...!" 
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketakutan 
dengan pakaian tak menentu. Sebagian tubuhnya ti-
dak tertutup kain. Mungkin karena terlalu takut, wani-
ta itu tidak ingat keadaannya. Wanita muda yang can-
tik dan hampir telanjang itu ternyata Suri Prapti, anak 
Ki Lurah Jaran Lanang. 
"Ada apa, Suri?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, 
menyaksikan anaknya tampak ketakutan. 
"Setan Ayah! Setan tengkorak menculik Kakang 
Rejo," isak Suri Prapti menangis. 
"Hah, Suro Rejo diculik?!" seru Ki Jaran Lanang 
dengan mata membelalak, mendengar penuturan 
anaknya. Suro Rejo dan Suri Prapti baru saja menikah 
7 hari yang lalu. Kini tiba-tiba muncul manusia-
manusia bermuka tengkorak darah, mengacaukan hari 
indah mereka. 
Belum juga rasa kaget mereka hilang, karena 
penculikan Suro Rejo, tiba-tiba para penduduk berte-
riak-teriak. Mereka berhamburan ketakutan.  
"Setan...! Setan menggarong!"  
"Rampok setan...!"  
"Setan merampok...!" 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak melihat 
para penduduk berteriak-teriak ketakutan. Tingkahnya 
yang konyol, membuat Mei Lie melotot. Sena langsung 
diam, tidak lagi tertawa-tawa sambil berjingkrak-
jingkrak. Meski begitu, Sena masih cengengesan sam-
bil menggaruk-garuk kepala. 
"Ada apa? Ada apa ini?" tanya Ki Jaran Lanang. 
"Rumah kami dirampok!" lapor penduduk den-
gan ketakutan yang terlukis di wajahnya. 
"Anak kami yang masih jejaka dibawa!" sam-
bung yang lainnya. 
"Suami saya juga dibawa. Padahal kami baru 
menikah bareng sama Den Suri," isak seorang gadis 
muda berkulit kuning langsat dan cantik. 
Ki Lurah Jaran Lanang semakin terlongong 
bengong. Dia tidak tahu, untuk apa para lelaki muda 
diambil oleh siluman tengkorak darah. 
Saat warga Desa Sela Kapilu dilanda kegempa-
ran dengan matinya sepuluh orang peronda dan hi-
langnya beberapa lelaki muda, Pabean dan beberapa 
orang warganya datang. 
"Ada apa, Sena?" tanya Pabean. 
Ki Lurah Jaran Lanang menceritakan semua 
yang terjadi. Hal itu membuat mata Pabean membela-
lak. 
"Sama dengan kejadian kemarin," gumam Pa-
bean. "Akh heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan 
tampan dibawa pergi? Kemudian keesokan harinya 
mereka telah menjadi mayat dengan keadaan mengeri-
kan. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?" 
"Benar...!" sahut warga Sela Kapilu. 
Semua terdiam, tak ada yang berkata. Mereka 
sama-sama tengah berpikir serta bertanya-tanya dalam 
hati. Apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka? Dan 
apa yang dikehendaki siluman tengkorak merah yang 
datang membawa kegemparan dan kematian? 
Hanya Pendekar Gila yang tetap tersenyum-
senyum. Malah sempat bersiul-siul. Wajahnya menen-
gadah ke langit, seperti tengah menikmati bintang 
yang gemerlapan di langit. 
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu?" tanya Mei Lie tiba-tiba. 
"Maksud, Nona?" tanya Pabean. 
"Apakah orang-orang yang diculik pernah me-
lakukan sesuatu pelanggaran. Berbuat jahat misal-
nya?" Mei Lie berusaha menerangkan. Pabean dan Ki 
Lurah Jaran Lanang terdiam, berusaha mengingat-
ingat setiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh pa-
ra korban penculikan. 
"Kami rasa tidak," sahut Ki Lurah Jaran La-
nang, akhirnya. 
"Anehnya, yang diculik lelaki tampan dan ga-
gah," sambung Pabean. 
"Hm, aneh. Untuk apa mereka itu?" gumam Mei 
Lie sambil memasukkan pedang kembali ke dalam wa-
rangkanya. Suasana di tempat itu seketika gelap kem-
bali. 
Warga desa baru tersentak kaget, setelah tahu 
kalau yang membuat suasana di tempat itu menjadi 
terang ternyata sebilah pedang. Mata mereka membe-
lalak, mulut mereka berdecak kagum. Tak henti-hen-
tinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu bergan-
tian ke Pendekar Gila yang masih acuh sambil cen-
gengesan.  
"Ki dan Nisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa-
kah kalian? Bagaimanapun juga, kalian telah meno-
longku," kata Ki Lurah Jaran Lanang. 
Belum juga Sena dan Mei Lie menjawab, Pa-
bean telah mendahului. 
"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari 
Pencabut Nyawa." 
Semuanya tersentak mendengar nama yang ba-
ru saja disebutkan Pabean. Mereka memang sering 
mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini mereka 
melihat orangnya. 
"O, terimalah salah hormat kami," hatur Ki Lu-
rah Jaran Lanang sambil menjura hormat. 
"Ah, sudahlah. Tak perlu dipersoalkan. Kini kita 
harus memikirkan bagaimana kita dapat menemukan 
tempat siluman itu. Biasanya ada seseorang yang 
mengundang para siluman untuk membuat kerusu-
han," tutur Sena, mengembalikan pembicaraan. 
Semuanya membisu, tak seorang pun dapat 
memecahkan masalah yang diajukan Sena. Mereka ti-
dak tahu dari mana siluman tengkorak menyeramkan 
itu berasal. 
"Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling 
desa?" usul Mei Lie menyerahkan. 
"Setuju saja! Tapi, apa mungkin mereka berada 
di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Jaran  Lanang, 
agak ragu. 
"Mengenai itu, aku tak tahu. Yang pasti, kita 
harus berusaha mencari," tukas Mei Lie. 
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie. Nah, 
bagaimana?" sambung Pendekar Gila. 
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berusa-
ha mencari," tambah Pabean. 
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor? 
Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila. 
Penduduk bergegas mencari obor. Setelah se-
mua keperluan yang diperlukan selesai, mereka pun 
dipecah menjadi empat kelompok. Satu ke utara, satu 
ke selatan, sedang yang lain ke barat dan ke timur. 
Suasana di dua desa itu seketika terang benderang, 
karena banyak obor yang menyala menerangi malam 
yang semula gelap-gulita. 
Tidak hanya obor, kentongan pun turut serta. 
Bunyi kentongan terdengar sahut-menyahut. Suasana 
kedua desa menjadi ramai. 
Namun sampai seluruh desa itu mereka kelilin-
gi, tidak juga mereka temukan tanda-tanda yang men-
curigakan. Hal itu mengakibatkan semuanya terheran-
heran serta bingung, harus berbuat apa lagi agar dapat 
menemukan warga Desa Sela Kapilu yang diculik. 
"Tak ada. Hm, sulit sekali...," keluh Pabean. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak 
umpet dengan para siluman," seloroh Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekelil-
ing tempat di mana mereka berada kini. Namun tidak 
juga ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan. 
Lalu mereka memutuskan untuk meneruskan penca-
rian di tempat lain. Namun belum juga Mei Lie, Sena 
serta yang lain pergi, tiba-tiba terdengar suara anca-
man seorang wanita yang memenuhi udara. 
"Ingat baik-baik Pendekar Gila dan kau Dewi 
Pencabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam uru-
san ini! Kalian akan mendapatkan balasannya! Tunggu 
saja nanti! Kalian telah membunuh sepuluh anak bua-
hku!" 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, seperti 
tak takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja 
didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas 
berkata.... 
"Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku ta-
kut menghadapimu! Ayo, keluarlah! Biar ku jitak pan-
tatmu! Hua ha ha...!" Tubuh Sena berguncang-
guncang karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Ke-
mudian dengan konyol Sena menunggingkan pantat-
nya sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Pruttt...!" 
Sena kembali tertawa terbahak-bahak seraya 
melompat-lompat tak ubahnya seekor monyet. Hal itu 
membuat semua penduduk yang berada di tempat itu 
terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas 
keberanian pemuda tersebut 
"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti, Pende-
kar Gila!" Kembali terdengar ancaman seorang wanita. 
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Seha-
rusnya aku yang mengancammu. Karena kau telah be-
rani melanggar ketentuan Sang Hyang Widi. Kau lebih 
berani melanggar garis alam!" dengus Sena setelah itu 
tertawa tergelak-gelak kembali. Dengan berjingkrak-
jingkrak pantatnya ditunggingkan lagi. "Nih kentutku. 
Pruttt..!" 
Wesss! 
Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana ser-
buan badai, menjadikan semua warga desa tersentak 
kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan. 
"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku, 
Siluman Jelek?! Baik. Ayo kita main-main petak um-
pet!" Sena segera melangkah mundur. Tangannya ber-
gerak memerintah semua warga untuk tiarap. 
"Kalian mundurlah. Mei Lie, jaga mereka."  
"Baik, Kakang." 
Setelah warga mundur, Sena segera menyatu-
kan telapak tangannya di depan dada. Kemudian di-
angkatnya kedua telapak tangan ke atas, lalu digerak-
kan melebar ke samping. Setelah menarik napas da-
lam-dalam, Sena membalas serangan angin topan yang 
datang entah dari mana. 
"'Inti Bayu'. Heaaa...!" dihembuskan tenaga da-
lamnya melalui kedua telapak tangan. Saat itu, se-
rangkum angin besar menderu kencang laksana pra-
hara. Angin 'Inti Bayu' bergerak menerjang angin la-
wan. 
Wesss! 
Jlegar! 
Ledakan dahsyat seketika menggelegar, ketika 
dua angin besar bertemu. Bahkan tanah tempat kedua 
angin itu beradu, seketika berhamburan hingga mem-
bentuk sumur lebar. 
Suasana kembali lagi, tak ada lagi ancaman 
yang terdengar. Dan tidak juga hembusan angin meng-
gila. 
"Hm," gumam Sena tak jelas. Matanya kembali 
menyapu ke atas, "Kurasa, malam ini dia sedikit ka-
pok. Tapi penjagaan harus senantiasa ketat. Biar ba-
gaimana, siluman tak pernah puas." 
"Apa yang kau sarankan, akan kami laksana-
kan," jawab Pabean. 
Malam itu juga, beberapa penduduk berjaga-
jaga. Mereka tidak ingin kecolongan dengan kedatan-
gan siluman tengkorak darah ke desa mereka. 
Malam semakin sepi, menyelimuti Desa Kara-
pan dan Desa Sela Kapilu. Membawa rasa dingin yang 
menusuk tulang sungsum. 
*** 
Sementara itu, di alam siluman yang tidak ter-
jangkau penglihatan manusia, Siluman Tengkorak Da-
rah tampak berlari-lari dengan bibir melelehkan darah. 
Tangannya memegangi dada yang terasa direjam sejuta 
duri. 
"Ukh...!" Ratu Siluman  Tengkorak Darah men-
geluh, merasakan sakit di dadanya akibat benturan 
kekuatan tenaga dalamnya melawan Pendekar Gila. 
Kakinya terus berlari, lalu masuk ke dalam istana yang 
dijaga dua pengawal bermuka tengkorak. Keduanya 
segera menjura hormat ketika dia melewati gerbang is-
tana. 
"Sri Ratu, apa yang terjadi?" tanya pengawal 
yang berdiri di sebelah kiri. 
"Ukh, aku luka dalam," sahut Ratu Siluman 
Tengkorak Darah sambil terus berlari masuk ke dalam 
istana. "Cepat panggilkan ibu!" perintahnya pada ke-
dua pengawal tadi. 
"Sendika Sri Ratu," sahut kedua pengawal itu 
berbareng. Mereka bergegas mengayun langkah ke 
bangunan di samping istana. 
Tidak lama kemudian, kedua pengawal itu telah 
kembali bersama seorang wanita berusia sekitar enam 
puluh tahun. Namun kecantikan wanita itu masih 
utuh. Kalau dilihat sepintas usianya masih sekitar dua 
puluh satu tahun. Dia adalah ibu dari Ratu Siluman 
Tengkorak Darah. 
Wajah wanita berkebaya biru dengan rambut 
disanggul itu tampak cemas, setelah mendengar penu-
turan kedua siluman tengkorak yang menjadi prajurit-
nya. Kaki wanita berparas cantik yang sangat jauh di-
bandingkan usia yang sebenarnya itu, melangkah den-
gan terburu-buru ke istana. 
Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar 
Ratu Siluman Tengkorak Darah. Wajahnya semakin 
menampakkan kekhawatiran ketika menyaksikan 
anaknya terbaring di ranjang. 
"O, kenapa kau, Nak?" 
"Aduh, Bu," keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah sambil meringis memegangi dadanya yang terasa 
sangat sakit. 
"Kau habis bertarung, Nak?" tanyanya pada ga-
dis cantik jelita yang berpakaian tipis dan minim. 
Hanya buah dada dan kewanitaannya saja yang ditu-
tupi se-carik kain putih. Sedangkan bagian tubuh 
lainnya hanya diselimuti oleh jubah berwarna merah 
darah tembus pandang, sehingga lekuk tubuhnya yang 
elok terlihat jelas. Lekuk tubuhnya sangat menggai-
rahkan bagi setiap lelaki yang melihat. 
Gadis cantik itu mengangguk. Mulutnya masih 
meringis-ringis, menahan rasa sakit 
."Siapa yang melakukannya, Nak?" tanya sang 
Ibu semakin cemas berbalut amarah. Matanya berkilat 
penuh kegusaran. Tampaknya dia tidak senang atas 
kekalahan anaknya. 
"Pendekar Gila, Bu"  
"Pendekar Gila?" Kening wanita berkebaya biru 
dengan kain warna coklat tua itu mengerut. Sepertinya 
dia pernah mendengar nama yang baru saja dis-
ebutkan anaknya. "Apakah yang kau maksud pemuda 
berpakaian rompi kulit ular?" 
Gadis cantik yang menjadi ratu Siluman Teng-
korak Darah menganggukkan kepala membenarkan. 
"Hm, kurang ajar! Dia memang penghalang sa-
tu-satunya bagi kita!" dengus wanita cantik yang sebe-
narnya berusia enam puluh tahun itu. Tangannya 
memijat dan mengurut sendi-sendi di tubuh sang 
Anak, yang menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah meringis. "Tahanlah sedikit, Nak." 
"Auhhh...!" keluh Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah, merasakan rasa sakit yang tak terkira. Asap men-
gepul dari dadanya yang luka. Kemudian lambat laun 
rasa sakit itu menghilang. 
"Nah, kini kau telah sembuh. Hati-hatilah, jan-
gan sampai kau bentrok dengannya lagi. Bila perlu, 
rayulah dia. Jika dia menjadi suamimu, maka kau 
akan menguasai dunia ini," tutur sang Ibu. 
Ratu  Siluman  Tengkorak Darah tersenyum, 
kemudian tubuhnya bangkit. 
"Apakah aku boleh menikmati tawanan itu, 
Bu?" 
Sang Ibu rupanya mengerti apa yang diinginkan 
oleh anaknya. Dia menyadari, kalau sifat anaknya me-
rupakan titisan sifatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak 
bisa melarang kemauan anak satu-satunya yang telah 
dewasa. Tentunya birahi anaknya pun sama dengan 
birahinya.  
Sang Ibu tersenyum mengangguk. 
"Ambillah lima orang untukmu," katanya ke-
mudian. 
"Terima kasih, Bu." 
Setelah ibunya berlalu, Ratu Siluman Tengko-
rak Darah memanggil prajuritnya.  
"Hamba Kanjeng Ratu!" 
"Bawa salah satu dari mereka kemari!" perin-
tahnya. 
"Tapi, Kanjeng Ratu. Bukankah itu milik Kan-
jeng Ibunda?" tanya prajurit berusaha mengingatkan. 
"Jangan membantah! Ibunda telah mengizin-
kan!" bentak Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan 
mata melotot, menjadikan kedua prajurit tengkorak 
darah menurut. Setelah menyembah, kedua prajurit 
itu berlalu meninggalkan kamar ratunya. 
Sang Ratu segera membaringkan kembali tu-
buhnya di atas kasur seputih bunga melati dengan 
wangi cendana. Dari luar, masuk dua prajuritnya den-
gan membawa seorang lelaki tampan dan gagah yang 
diculik oleh prajurit tengkorak darah. 
Ratu Siluman Tengkorak Darah menggerakkan 
kepala, mengusir kedua prajuritnya untuk pergi. Tan-
pa membantah, kedua prajurit bermuka tengkorak itu 
meninggalkan kamar ratunya. 
"Ayo Cah Bagus, mendekatlah," rayu Ratu Si-
luman Tengkorak Darah dengan suara yang merang-
sang. 
Lelaki muda yang tampan bertubuh setengah 
telanjang itu, kini melangkah mendekat. Kemudian 
dengan buas, lelaki yang diculik dari Desa Sela Kapilu 
itu menggeluti tubuh Ratu Siluman Tengkorak Darah. 
"Hi hi hi...! Bagus! Teruskan...," rengek sang 
Ratu sambil mendesis-desis merasakan kenikmatan 
akibat gelutan dan lumatan lelaki muda itu. Matanya 
memejam-mejam, napasnya tersengal-sengal. 
Keduanya terus bergelut. Satu persatu pakaian 
yang dikenakan mereka lepas. Sri Ratu menutup tirai 
kelambu tempat tidurnya yang di sudut-sudutnya ter-
gantung tengkorak kepala lelaki. 
Lama keduanya saling bergelut, sampai akhir-
nya terdengar jeritan kematian dari lelaki muda itu. 
"Aaakh...!" 
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah 
tertawa puas. Dibukanya tirai kelambu tempat tidur-
nya. Saat itu tampak sesuatu yang sangat mengerikan. 
Tubuh lelaki gagah dan tampan itu, kini telah berubah 
menjadi sosok tulang belulang. "Kini kau adalah abdi-
ku! Kau harus menuruti semua perkataan ku."  
Manusia tengkorak itu mengangguk, lalu be-
rangsur meninggalkan kamar. 
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah 
tertawa melengking. 
*** 
Empat prajurit penjaga pintu gerbang malam 
itu tengah melakukan tugas jaga. Seperti hari-hari bi-
asanya, pintu gerbang Istana Kerajaan Bumi Wandra 
di-jaga ketat oleh empat orang prajurit. 
Malam turun bersama udara dingin, sepertinya 
malam ini cuaca tidak sebaik malam-malam lalu. 
Meski setiap malam udara memang dingin, namun ma-
lam ini udara terasa sangat lain. Udara malam ini tera-
sa sangat dingin, sampai tubuh keempat prajurit jaga 
menggigil. Padahal mereka telah merokok kawung, be-
rusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tu-
lang sum-sumnya. 
"Hoaaahhh?!" salah seorang dari keempat pra-
jurit itu menguap lebar, merasa mengantuk. Selain 
dingin suasana malam itu, juga membuat mata menja-
di be-rat "Ngantuk sekali aku...," keluhnya sambil 
menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir rasa 
kantuk yang menyerang matanya. 
"Kerjamu memang molor, To," seloroh temannya 
yang bernama Dasir. 
"Huh, enak saja kau ngomong, Sir. Tidak bi-
asanya aku ngantuk begini," keluh Broto tangannya 
mengucak-ngucak matanya agar tidak mengantuk. 
Namun matanya masih tetap saja seperti digelayuti se-
suatu. 
"Iya ya. Aku juga merasakan hal serupa," sela 
Rukino membela Broto. "Matamu juga ngantuk." 
"Wah, payah kalau begini. Tidak ada kopi lagi," 
sambung Jalari. 
"Iya, tak ada kopi lagi," tambah Dasir akhirnya, 
turut mengeluh. 
Baru saja keempat penjaga pintu gerbang itu 
selesai mengeluh, mata mereka yang semula agak 
ngantuk tiba-tiba membelalak lebar, manakala dalam 
jarak lima batang tombak di hadapan mereka terden-
gar tanah merekah. 
Krak! 
Belum habis rasa kaget keempat prajurit jaga 
itu, mereka kembali dikejutkan oleh munculnya bau 
kemenyan dan wangi bunga kamboja. 
"Heh, bau apa ini?" tanya Dasir dengan hidung 
kembang-kempis berusaha memastikan bau yang baru 
diciumnya. 
"Bau kemenyan," desis Broto. 
"Heh, bau bunga kamboja," sambung Jalari 
dengan bulu kuduk meremang. Matanya tak berkedip 
tegang, memandang ke arah suara tanah retak terden-
gar. Saat itu, dari rekahan tanah di hadapan mereka, 
membubung asap putih kehitam-hitaman yang berge-
rak lamban seakan gerakannya hendak mengintai. 
"Hai, asap apa itu?!" seru Broto. 
Ketiga temannya memandang asap putih kehi-
tam-hitaman yang merayap naik di kegelapan. Kemu-
dian asap putih kehitam-hitaman itu, membentuk ujud 
berwarna merah. Ujud itu semakin lama semakin nya-
ta. 
Mata keempat penjaga pintu gerbang membela-
lak dengan mulut menganga, tatkala menyaksikan so-
sok-sosok menyeramkan terbentuk dari asap putih ke-
hitam-hitaman itu. Tapi keempat prajurit yang men-
talnya sudah terlatih itu segera menyiapkan senjata 
berupa tombak yang semula disenderkan di dinding 
pintu gerbang. 
"Siapa kalian?!" bentak Dasir sambil menga-
rahkan mata tombak ke arah kawanan siluman teng-
korak darah yang kini melangkah maju mendekati me-
reka. 
"Kurang ajar! Ditanya bukannya menjawab! 
Apakah kalian bisu, heh?!" bentak Jalari gusar. 
"Ngik! Ngok! Nguk!" 
Hanya suara itu yang terdengar dari mulut para 
makhluk bermuka tengkorak. Hal itu semakin me-
mancing kemarahan keempat prajurit jaga. 
"Rupanya kalian nekat! Jangan salahkan kami 
kalau kalian kami bunuh!" ancam Rukino sambil men-
gajukan mata tombak ke arah gerombolan makhluk 
ganjil tersebut. Tapi para makhluk bermuka tengkorak 
itu bagai tidak peduli dengan ancaman mereka. Mak-
hluk-makhluk bermuka tengkorak itu malah semakin 
maju mendekat, membuat mata keempat prajurit 
mendadak membeliak tegang menyaksikan beberapa 
wajah menyeramkan di hadapan mereka. 
"Setaaan...!" pekik mereka berbarengan. 
Mata mereka semakin melotot tegang. Tubuh 
mereka gemetar ketakutan. Bulu  kuduk mereka me-
remang hebat dengan tengkuk terasa dingin. 
Belum juga keempat prajurit jaga itu sadar dari 
rasa takutnya, tiba-tiba kawanan makhluk bermuka 
tengkorak itu mengarahkan telapak tangannya pada 
mereka. Dari telapak tangan makhluk-makhluk men-
gerikan itu, seketika keluar sinar biru yang melesat ke 
tubuh para prajurit jaga. 
Jrottt!  
"Wuaaa...!" 
Mulut keempat prajurit jaga itu memekik keras. 
Tubuh mereka seketika gosong. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak 
dengan nyawa melayang. 
"Ngik! Ngok! Nguk!" 
Pemimpin kawanan makhluk bermuka tengko-
rak melambaikan tangannya untuk memerintah anak 
buahnya agar menerobos masuk. 
Brakkk! 
Gerbang istana dilabrak. Pintu yang terbuat da-
ri kayu jati, hancur berantakan. Suara jebolnya pintu 
gerbang, seketika menyentakkan prajurit jaga yang be-
rada di pintu bagian dalam istana. Bergegas mereka 
bangkit dari duduknya. Dengan sigap mereka raih sen-
jata. Lalu enam orang prajurit memburu ke arah da-
tangnya suara itu. 
Mata mereka membalalak seketika, menyaksi-
kan sosok-sosok menyeramkan yang kini menghampiri 
mereka. Keempat prajurit itu berusaha menghalangi 
kesepuluh siluman tengkorak darah dengan menga-
rahkan mata tombak ke tubuh lawan. Namun kesepu-
luh makhluk bermuka tengkorak itu bagai tak takut. 
Kaki mereka terus melangkah, setapak demi setapak. 
"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit 
Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, 
mereka terus saja merambah maju. Tentu saja keenam 
prajurit itu menjadi kalap. Mereka menusukkan tom-
baknya ke dada lawan. Tapi.... 
Trak! 
"Hah?!" 
Mulut mereka menganga, menyaksikan mata 
tombak mereka patah menjadi dua. Seakan-akan mata 
tombak mereka beradu dengan batu karang yang ko-
koh. 
"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit  
Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli, 
mereka terus merambah maju. Keenam prajurit itu men-
jadi kalap. Mereka segera menusukkan tombaknya....  
Trak! 
"Hah...?!" Prajurit-prajurit itu terlongong bengong, 
menyaksikan mata tombak mereka berpatahan! 
Ketakutan seketika menjalari tubuh keenam 
prajurit jaga itu, mendapatkan makhluk-makhluk 
bermuka tengkorak yang berlumur darah tak mempan 
tusukan tombak. Mereka hendak lari untuk memanggil 
prajurit yang lain, tapi makhluk-makhluk menyeram-
kan itu telah mendahului mereka. 
Makhluk-makhluk menyeramkan itu membuka 
jari-jari tangannya yang hanya tulang belulang, kemu-
dian mengarahkan telapak tangannya yang juga hanya 
berupa tulang ke arah keenam prajurit jaga. Dari tela-
pak tangan mereka membersit sinar biru yang meng-
hantam tubuh para prajurit jaga. 
Crot! 
Desss! 
"Wuaaa...!" jerit kematian melengking dari mu-
lut korban. Tubuh keenam prajurit itu sesaat mere-
gang, lalu ambruk kehilangan nyawa. 
Suasana istana kerajaan seketika menjadi 
gempar karena semua prajurit dan penghuni kerajaan 
lainnya terbangun mendengar jerit kematian keenam 
prajurit tadi. 
"Tangkap mereka...!" seru Patih Rangga Wuni 
memerintah para prajuritnya untuk menangkap mak-
hluk-makhluk menyeramkan yang ganas. Lelaki ini 
berbadan kekar dan bertelanjang dada. Rambutnya di-
gelung ke atas dengan ikat kepala terbuat dari emas, 
penampilannya tampak gagah. Apalagi dengan kumis-
nya yang melintang. Dia langsung terkejut melihat 
makhluk-makhluk yang baru kali ini dilihatnya selama 
hidup. 
Prajurit-prajurit yang telah bersiaga penuh saat 
diperintah oleh sang Patih, seketika bergerak menge-
pung kesepuluh kawanan siluman tengkorak darah. 
"Tangkap mereka! Seraaang...!" kembali Patih 
Rangga Wuni berseru. 
"Heaaa!" 
"Cincang mereka!" 
Para prajurit bergerak serentak untuk menang-
kap makhluk-makhluk menyeramkan itu. Senjata di 
tangan  mereka, berkelebat merangsek kawanan silu-
man tengkorak darah yang balas menyerang mereka. 
"Nguik!" 
Setiap gerakan tangan dan kaki makhluk-
makhluk tengkorak itu mendapatkan hasil. Nyawa pra-
jurit yang terdekat menjadi korban. 
Brettt! 
"Wuaaa!" 
Pertarungan sengit antara para prajurit kera-
jaan melawan makhluk-makhluk tengkorak darah itu 
bergejolak seru. Beberapa prajurit berusaha menye-
rang dengan membabatkan pedang. Tapi apa yang ter-
jadi...? 
Trakkk! 
Trakkk! 
Pedang di tangan para prajurit patah seperti 
sebatang kayu kering tak mampu memenggal kepala 
siluman tengkorak darah. Bahkan makhluk bermuka 
tengkorak itu semakin ganas menyerang. 
"Serang terus...!" perintah Patih Rangga Wuni 
berusaha memberi semangat para prajuritnya. Tapi se-
rangan para Prajurit Kerajaan Bumi Wandra yang ter-
kenal unggul dalam bertempur, kini bagai serbuan ge-
rombolan lalat menghadapi sepuluh siluman tengkorak 
darah. Senjata mereka yang terkenal mampu memburu 
nyawa, terpatah jika berbenturan dengan tangan atau 
tubuh lawan. 
Menyaksikan hal itu, Pari Rangga Wuni segera 
mencabut keris pusakanya. Kemudian dengan geram 
tubuhnya melompat menerjang musuh. Ditusukkan 
keris 'Ki Gimring'nya ke tubuh lawan. Namun kejadian 
aneh terjadi. Keris pusaka 'Ki Gimring' di tangan Patih 
Rangga Wuni kini menghujam terus di dada salah satu 
siluman. 
Patih Rangga Wuni terperanjat kaget. Dia beru-
saha menarik keris pusakanya. Namun semakin keras 
dia menarik, semakin kuat pula kerisnya tersedot. 
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan oleh mak-
hluk-makhluk ini?" gumam Patih Rangga Wuni dengan 
tegang. Segera dilepaskannya keris pusaka itu. Tu-
buhnya bersalto ke belakang, kemudian dengan cepat 
dia mengirimkan serangan dengan pukulan sakti 
'Semburan Naga'.  
"Heaaa!" 
Wesss! 
Jledarrr!  
Satu siluman terkena ajian 'Semburan Naga' 
yang dilontarkan Patih Rangga Wuni. Makhluk bermu-
ka tengkorak itu ambruk. Tubuhnya mengepulkan 

asap, lalu menghilang tanpa bekas. 
Menyaksikan salah satu temannya binasa, pe-
mimpin makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu 
mengeluarkan suara aneh. Terdengar seperti siulan, 
namun melengking keras.     
"Nguiiikkk...!" 
Bersamaan dengan itu, bersemburan asap pu-
tih kehitam-hitaman dari dalam tanah. Kemudian 
nampaklah ujud-ujud menyeramkan berupa siluman 
tengkorak darah. Jumlah mereka semakin banyak, 
membuat para prajurit kerepotan. 
Patih Rangga Wuni yang menyaksikan jumlah 
makhluk itu bertambah banyak segera menyerang 
dengan pukulan-pukulan sakti 'Semburan Naga'. Den-
gan tubuh berkelebat kian kemari, tangan Patih Rang-
ga Wuni memuntahkan pukulan demi pukulan sak-
tinya. 
"Heaaa! Heaaa...!" 
Jlegarrr! 
***