Pendekar Gila 11 - Perjalanan Ke Akherat(1)


Angin pagi berhembus tidak seperti biasanya. Pagi ini, 
di sekitar Danau Sambak Neraka angin bertiup 
sangat keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi. 
Angin tiba-tiba bagaikan mengamuk, menerbangkan 
debu dan dedaunan kering.
Danau Sambak Neraka yang terletak di sebelah 
selatan Desa Krasak, pagi itu masih tertutup kabut 
tebal yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya 
angin bertiup sangat kencang seperti ini. Biasanya 
angin bertiup tenang, menghembuskan hawa pagi 
yang sejuk dan segar, yang akan menambah 
kenyamanan suasana pagi. 
Pagi yang biasanya cerah tiba-tiba berubah 
menjadi suasana yang mencekam dan menakutkan. 
Suasana aneh yang rasanya laksana berada di dalam 
kematian alam akherat. 
Sementara itu, dari arah timur nampak sesosok 
tubuh wanita membopong seorang bayi yang masih 
merah. Wanita yang nampaknya habis melahirkan itu 
berlari-lari seperti ada sesuatu yang dicarinya. 
Wajahnya nampak pucat. Seperti memendam 
ketakutan. Sesekali menoleh ke belakang, me-
mandang ke arah timur. Seakan ada sesuatu yang 
dikhawatirkannya. 
Air mata wanita yang mengenakan pakaian hijau 
lumut berparas cantik dengan rambut diikat ekor 
kuda itu, meleleh di kedua pipinya. 
“Kakang Anjasmara, bagaimana nasibmu, 
Kakang?” keluh wanita cantik yang bernama Sambi, 
sambil terus berlari dengan tangan masih meng-
gendong bayi. Sementara bayi di gendongannya 
terdengar menjerit-jerit tiada henti.  
“Oaaa...! Oaaa...!” 
“Cup, Sayang...! Cup...!” Sambi berusaha me-
nenangkan bayinya yang terus menangis. Bayi itu 
seperti mengerti kalau ayah dan ibunya dalam 
keadaan menderita. Sesaat tangisnya berhenti. 
Namun kemudian terdengar kembali menjerit-jerit, 
seperti ikut merasakan cekaman rasa takut ibunya. 
Sementara itu pula, dari kejauhan nampak se-
orang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut 
terurai panjang, tengah menghadapi sepuluh orang 
berpakaian kembar warna ungu yang mengeroyoknya 
dengan senjata berupa toya. 
Lelaki tinggi tegap berwajah tampan itu tiada lain 
Anjasmara. Sedangkan kesepuluh lelaki dengan 
pakaian ungu dan berkepala botak itu, ternyata Dasa 
Toya Kuil Merak. Mereka merupakan para resi dari 
Kuil Merak. 
“Menyerahlah, Anjasmara! Kau harus memper-
tanggungjawabkan tindakanmu!” seru resi pertama, 
bernama Kopayana. Orang itu bertubuh tinggi kurus 
dan agak bungkuk. Matanya tajam, berhidung 
mancung seperti paruh betet, dan berjanggut 
panjang. 
“Ya! Kau harus bertanggung jawab pada Ki 
Badawi, karena kau telah melarikan anaknya!” 
sambut Resi Udayana, lelaki bertubuh pendek dengan 
perut gendut. Wajahnya panjang seperti ular, dengan 
alis mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung 
seperti resi pertama. 
“Itu bukan urusan kalian!” sahut Anjasmara. “Aku 
bukan menculik Sambi. Kami saling mencintai!”  
“Tak peduli! Yang jelas kau telah merebut Sambi 
dari calon suaminya! Kau harus bertanggung jawab 
atas perbuatanmu!” bantah Resi Sadayana, lelaki 
berbadan besar dengan wajah garang ditumbuhi 
kumis tebal melintang. 
“Cuh! Enak saja kalian bicara! Sumantri-lah yang 
telah merebut Sambi dari tanganku!” sentak 
Anjasmara sengit, dituduh kalau dirinya merebut 
Sambi dari Sumantri. Padahal antara dirinya dan 
Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak sama-
sama di Perguruan Pedang Darah. 
Pertarungan Anjasmara melawan kesepuluh resi 
yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak nampak seru. 
Meski menghadapi sepuluh orang yang berilmu 
lumayan, Anjasmara yang merupakan murid kedua 
dari Perguruan Pedang Darah nampak tak mengalami 
desakan yang berarti. Bahkan serangan-serangan 
yang dilancarkannya cukup mengejutkan kesepuluh 
resi berbaju ungu itu. 
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya 
Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari kita kembali 
pada kejadian sepuluh tahun yang silam! Ketika itu 
ketiganya masih menjadi satu dalam didikan seorang 
tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi atau 
Dewa Pedang. 
Sumantri, Anjasmara, dan Sambi merupakan 
kakak beradik pada Perguruan Pedang Darah. 
Ketiganya dididik dan digembleng oleh guru sekaligus 
orangtua angkat mereka yang bernama Ki Badawi. 
Ki Badawi merupakan orang tua yang paling 
sayang terhadap anak-anak telantar. Ki Badawi 
menemukan Sumantri dan Anjasmara ketika tengah 
berlanglang buana. Dua bocah kecil tampan yang 
entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena 
kasihan, dibawanya pulang. Kemudian dirawat. 
Selang beberapa hari kemudian, ketika Ki Badawi 
kembali dari bepergian, dia menemukan seorang 
bocah perempuan kecil tengah menangis di tengah-
tengah amukan api. 
Ki Badawi yang melihat bocah kecil menangis di 
antara gelimpangan mayat warga Desa Pasuruhan, 
segera mengambil anak itu. Kemudian membawanya 
pula ke perguruan yang berada di Bukit Cagar Buana. 
Dididik dan diasuhnya ketiga anak itu dengan 
penuh kasih sayang. Sehingga tumbuhlah ketiganya 
menjadi dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi 
yang tampan dan cantik jelita. Yang lelaki diberi nama 
Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang perempuan 
bernama Sambi. 
Semenjak kecil, di antara mereka memang 
senantiasa terjadi perselisihan. Dari dulu, Sumantri 
yang memiliki watak ingin menang sendiri, selalu 
berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun 
Anjasmara tidak bisa dikalahkan begitu saja. 
Sikap ingin menang sendiri selalu ditunjukkan 
Sumantri, baik di setiap latihan, maupun ketika 
melakukan kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi 
menganggap persaingan itu hal yang biasa saja, 
karena mereka masih anak-anak. Biasanya anak-
anak kecil memiliki sikap ingin menunjukkan 
keunggulan dirinya. 
Persaingan antara Sumantri dan Anjasmara ber-
langsung terus-menerus tiada henti. Sampai mereka 
sama-sama tumbuh menjadi pemuda. Pemuda 
dewasa yang gagah dan tampan, persaingan terus 
terjadi. 
Pada masa ini, kedua pemuda tampan itu tidak 
lagi bersaing untuk membuktikan ketinggian ilmu 
mereka. Sumantri menyadari kalau ilmu yang 
dikuasainya tidak sehebat milik saudara angkatnya 
itu. Karena Sumantri memang tidak setekun 
Anjasmara. Dirinya sering kurang giat dalam berlatih. 
Di samping sering merasa manja dan besar kepala 
karena Ki Badawi memang lebih menyayangi dirinya 
ketimbang terhadap Anjasmara maupun Sambi. 
Kini Sumantri berusaha hendak mendapatkan adik 
angkatnya yang cantik jelita itu. Beberapa kali 
Sumantri berusaha mendekati Sambi, tapi gadis 
cantik yang juga memiliki ilmu pedang itu terus 
berusaha menolaknya. 
Sampai pada suatu hari, ketika Sambi tengah 
mandi di sebuah pancuran, diam-diam Sumantri 
mengikutinya. 
Sambi yang tidak menduga kalau Sumantri 
mengikutinya, tanpa segan-segan membuka 

pakaiannya. Kemudian dengan bernyanyi-nyanyi 
tubuhnya dicemlungkan ke kubangan air pancuran. 
Menyaksikan pemandangan yang menggiurkan, 
darah lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kumis 
menghias di atas bibirnya itu seketika bergolak 
laksana air pancuran. Lelaki muda berpakaian abu-
abu tanpa lengan dan berambut panjang dengan ikat 
kepala kulit macan tutul itu, merasakan getaran yang 
dahsyat dalam jiwanya. 
Hampir saja dia melakukan sesuatu yang tercela. 
Namun tiba-tiba Sumantri ingat akan segala petuah 
gurunya. 
“Jika kau mencintai seseorang, katakanlah dengan 
kejujuranmu! Aku akan bangga, memiliki anak yang 
menjunjung tinggi kehormatan kaum yang lemah.” 
Sumantri tersentak dan mengurungkan niatnya 
memperkosa Sambi. Bergegas dia pulang ke 
perguruan. Ketika dilihatnya Anjasmara sedang 
bekerja membelah kayu, Sumantri tersenyum sinis. 
Namun Anjasmara tak menggubrisnya, dia tetap 
membelahi kayu-kayu yang akan digunakan untuk 
memasak. Namun ketika Sumantri masuk ke rumah 
gubuk tempat gurunya berada, seketika perasaan 
lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini berubah. 
Pemuda tampan berhidung mancung dengan 
kumis tipis menghias di atas bibirnya, dan bermata 
tajam laksana mata burung elang itu menghentikan 
pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada 
sesuatu yang tengah dipikirkan. Entah mengapa, 
seketika dia ingin tahu apa yang sedang diadukan 
Sumantri pada Ki Badawi. 
Dengan hati-hati, Anjasmara berusaha mendengar 
aduan yang tengah disampaikan Sumantri pada guru 
mereka. Matanya terbelalak, ketika mendengar apa 
yang tengah diadukan Sumantri pada Ki Badawi. 
“Guru, terus terang aku mencintai Sambi. Kuharap 
Guru sudi menjodohkan kami, karena kami sama-
sama mencintai,” kata Sumantri berdusta. 
Anjasmara menarik napas dalam-dalam. Seketika 
perasaannya bergemuruh riuh tidak karuan. 
Benarkah Sambi juga mencintai Sumantri? Tanya 
Anjasmara dalam hati. Sungguh wanita murahan jika 
dia membagi cintanya untuk Sumantri dan diriku. 
Anjasmara kembali memusatkan perhatiannya 
pada pembicaraan gurunya dan Sumantri. 
“Apa kau tak salah ngomong, Mantri?” tanya Ki 
Badawi. 
“Tidak, Guru. Aku yakin kalau Sambi mencintaiku.” 
“Kau sudah mengatakan padanya?”  
“Sudah, Guru. Bahkan jika Guru merestui, Sambi 
bersedia menikah secepatnya,” jawab Sumantri 
berbohong, berusaha meyakinkan gurunya. 
Dari dalam terdengar helaan napas Ki Badawi. 
Sepertinya orang tua berambut digelung seperti para 
resi dengan pakaian jubah putih itu dalam keadaan 
bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering 
melihat Sambi bersama Anjasmara ngobrol. Itu yang 
meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi mencintai 
Anjasmara, bukan Sumantri! Tapi kini, tiba-tiba 
Sumantri mengatakan kalau dirinya dan Sambi telah 
sepakat untuk menjadi suami istri. 
Kurang ajar kau, Sumantri! Dengus Anjasmara 
dalam hati. Celaka kalau guru sudah membicara-
kannya pada Sambi. Gadis itu tentu akan menurut 
apa kata Guru! 
Karena dihinggapi rasa takut kalau Sambi akan 
menurut kata-kata guru mereka, Anjasmara yang tahu 
bahwa Sambi sedang mandi, segera berlari ke 
pancuran. Dia tidak ingin Sambi dimiliki oleh 
Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah terhadap 
Sumantri. Haruskah kini dia juga mengalah? Padahal 
masalah ini sangat penting, karena menyangkut 
harga diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin 
kalut. 
“Kakang, ada apa kau menyusul ke sini?” tanya 
Sambi ketika melihat Anjasmara menyusul dirinya 
saat mandi di pancuran. 
“Cepatlah naik, Sambi! Aku ingin bicara dengan-
mu,” sahut Anjasmara buru-buru. 
“Nampaknya kau tak sabar, Kakang. Kenapa...?” 
tanya Sambil masih belum memahami apa yang 
membuat pemuda tampan kekasihnya itu tampak tak 
sabar, tidak seperti biasanya. Biasanya Anjasmara 
nampak tenang dan sabar. Dan karena sikapnya yang 
tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi 
kekasihnya. 
“Naiklah, Sambi!” perintah Anjasmara semakin tak 
tenang. 
Dengan wajah diliputi perasaan heran, Sambi pun 
menurut. Sampai-sampai ia lupa kalau tubuhnya 
dalam keadaan telanjang. 
“Ada apa, Kakang?” tanya Sambi. 
“Pakailah pakaianmu dulu!” sahut Anjasmara 
setelah terpaku memandangi keadaan tubuh 
kekasihnya yang mulus dan kuning langsat. 
“Heh...! Oh! I... iya. Aku sampai lupa.” 
Sambi agak kaget dan malu. Lalu cepat-cepat 
menutup bagian terlarang di tubuhnya dengan 
tangan. Kemudian, kakinya melangkah untuk meng-
ambil pakaiannya yang tergeletak di atas batu yang 
permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru 
pakaiannya segera dikenakan. 
“Ada apa?” tanya Sambi setelah mengenakan 
pakaiannya. Matanya memandang penuh keheranan 
pada pujaan hatinya yang kelihatan gelisah. “Kau 
tampak gelisah, Kakang. Katakanlah! Apa yang 
terjadi?” 
Anjasmara menghela napas panjang. 
“Benarkah kau telah bersepakat akan menikah 
dengan Sumantri?” 
“Hah?! Apa...?!” Sambi terkejut mendengar 
pertanyaan kekasihnya. Keningnya berkerut, matanya 
memandang tak berkedip ke wajah Anjasmara. 
“Siapa yang berkata begitu, Kakang?” 
“Sumantri. Dia mengadu pada guru dan meng-
inginkan agar guru merestui pernikahannya dengan-
mu,” sahut Anjasmara agak marah. 
“Oh! Mengapa Kakang Sumantri berbuat itu? 
Tidak, Kakang! Cintaku hanya untukmu. Ke mana pun 
kau bawa, aku akan menurut. Aku hanya ingin 
mengabdi padamu,” keluh Sambi berusaha meyakin-
kan kekasihnya. 
“Kalau begitu, sebelum guru dan Sumantri 
melakukan semuanya, sebaiknya kita minggat dari 
sini!” ajak Anjasmara. 
Sambi pun setuju dengan tekad itu. Tanpa 
sepengetahuan Ki Badawi dan Sumantri keduanya 
meninggalkan Bukit Cagar Buana yang berada di sisi 
Hutan Prajawelerang. 
Waktu berlalu. Keduanya menjadi satu dalam 
hidup. Sampai akhirnya pasangan Anjasmara dan 
Sambi dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil. 
Sementara, kabar tentang Sumantri dan Ki Badawi 
tak pernah terdengar di telinga mereka berdua. 
Sampai pada akhirnya, entah dari mana sumbernya, 
banyak para tokoh persilatan mencari Anjasmara dan 
Sambi. Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk 
menangkap Anjasmara dan Sambi. Hingga Anjasmara 
dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi kecil itu 
harus lari untuk menyelamatkan diri, meninggalkan 
Hutan Semar Kembar tempat keduanya bersembunyi 
selama ini. 
*** 
Pertarungan Anjasmara yang bersenjatakan 
pedang melawan Dasa Toya Kuil Merak masih ber-
jalan seru. Nampaknya murid dan anak angkat Ki 
Badawi bukanlah lawan yang enteng bagi kesepuluh 
resi dari Kuil Merak itu. Bahkan beberapa kali 
Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh 
lawan-lawannya. 
Dengan jurus 'Lingkaran Pedang Sinar' Anjasmara 
mampu membuat kesepuluh resi yang berusaha 
menangkapnya kalang-kabut. Dan mau tak mau 
mereka harus melompat ke belakang mengelakkan 
dan menjauhi serangan pedangnya. 
“Heaaa...!” 
“Setan!” maki Resi Narayana kaget sambil 
melompat mundur, mengelakkan babatan pedang 
lawan yang cepat, sehingga mampu membuat 
gerakan memutar membentuk lingkaran. Namun.... 
Wuttt! 
Brettt! 
“Uts! Setan gundul...!” maki Narayana sengit, 
ketika pakaian resinya sobek terkena sabetan pedang 
Anjasmara. Lelaki botak dengan hidung pesek itu 
mengumpat dan mencaci-maki dengan kesal. Kalau 
saja dia terlambat mengelak, sudah pasti perutnya 
yang agak buncit itu terkena sabetan pedang 
Anjasmara. 
“Bedebah! Rupanya tikus ini minta mampus!” 
dengus Andayana sengit, menyaksikan kemampuan 
lawan. Toya di tangannya diputar cepat dengan jurus 
'Toya Dewa Mengundang Bayu'. Dari putaran toyanya, 
keluar angin kencang yang dahsyat. 
Menyaksikan Andayana telah memutar tongkatnya 
dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang Bayu', 
kesembilan resi lainnya serentak melakukan hal yang  
sama. 
“Kuremukkan batok kepalamu, Tikus Busuk!” 
dengus Resi Dupayana. “Heaaa...!” 
Lelaki botak bertubuh kurus dan jangkung dengan 
mata juling itu menggebrak ke arah lawan, diikuti oleh 
rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus 
'Toya Dewa Mengundang Bayu'. 
“Hiaaat...!” 
Wuttt! 
“Heaaa...!” 
Teriakan-teriakan nyaring mengawali serangan 
Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan. 
“Yeaaa...!” Anjasmara yang merasakan angin 
keluar dari toya mereka, dengan cepat mengubah 
jurus pedangnya. Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin 
Menerjang Belantara', dia menghadang serangan 
kesepuluh lawannya. 
Siiing...! Siiing...! 
Pertempuran kembali berjalan dengan seru. 
Dengan jurus andalan, para resi itu berusaha 
mendesak Anjasmara. Toya di tangan Dasa Toya Kuil 
Merak bergerak cepat, hingga menimbulkan angin 
yang keras dan menyentak. 
Wuttt! Wuttt! 
Wusss...! 
Dasa Toya Kuil Merak nampaknya tidak mau 
mengalami kekacauan serangan mereka seperti tadi. 
Kesepuluh resi itu terus bergerak dengan kompak. 
Satu menyerang, yang lainnya bergerak melindungi 
dan ganti menyerang. Gerakan mereka begitu serasi 
dan susul menyusul dengan jurus 'Dasa Merak 
Terbang dan Hinggap Sambil Mematuk'. 
Seorang dari Dasa Toya Kuil Merak menyerang 
dengan cepat, kemudian dengan cepat pula tubuhnya 
merunduk. Dari belakang melesat di atas tubuh 
rekannya, lalu menyerang ke tubuh Anjasmara. Begitu 
seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah 
menyerang, segera merundukkan tubuh untuk 
dilompati rekannya untuk menyerang lawan. 
“Hiaaat...!” 
Wuttt! Wuttt! 
Hebat juga jurus 'Dasa Merak Terbang dan 
Hinggap Sambil Mematuk'. Dengan jurus itu, 
kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu mendesak 
Anjasmara. Sehingga pendekar pedang dari 
Perguruan Pedang Darah itu harus menguras tenaga 
untuk dapat mengelakkan serangan beruntun dan 
susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu. 
“Uts! Celaka...! Ilmu apa yang digunakan 
kesepuluh resi ini?” tanya Anjasmara setengah 
mengeluh lirih sambil bergerak mengelakkan 
pentungan toya kesepuluh resi berkepala botak itu. 
Dia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk balas 
menyerang ke arah lawan-lawannya. 
Dasa Toya Kuil Merak tak pernah berhenti 
menyerang. Satu menyerang, yang lainnya menyusul 
dengan serangan yang sama dan cepat. Hal itu cukup 
merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri. 
Terlebih tenaganya terkuras dalam pertarungan yang 
berjalan lama. 
“Menyerahlah, Tikus Busuk!” seru Resi Indrayana 
sambil menggerakkan toyanya menyerang. 
Wuttt! 
“Benar! Menyerahlah, agar kau tak mati percuma!” 
sambung Resi Trijayana seraya melompat meng-
gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki berusia sekitar 
tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal melintang, 
serta badan gendut itu terus merangsek ke arah 
Anjasmara. 
“Cuh! Kalianlah yang busuk! Kalian telah berlaku 
tidak selayaknya sebagai para resi. Hanya karena 
tergiur hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri 
keparat itu, kalian rela melepas kedudukan sebagai 
resi!” dengus Anjasmara tak mau kalah. 
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!” 
bentak Resi Warayana. Mata lelaki bertubuh kaku ini 
nampak garang. Hidungnya yang besar kembang-
kempis, dengan napas mendengus marah. 
“Kupecahkan batok kepalamu, Setan!” sambung 
Resi Ragayana. Bergantian dengan Resi Warayana, 
Resi Ragayana menyerang ke arah Anjasmara. 
Serangan mereka semakin gencar dan dahsyat, 
mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. 
Ketika petarungan masih berjalan sengit, dan 
Anjasmara dalam keadaan terdesak, tiba-tiba angin 
badai berhembus dahsyat menggulung tempat 
pertempuran. 
Wusss...! 
“Wuaaa...!” 
Kesepuluh resi itu berusaha mengelakkan 
terjangan angin yang datangnya sangat kencang, 
namun gerakan mereka terlambat. Akibatnya, tubuh 
berpakaian ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh 
mereka mencelat ke belakang laksana terbang. 
Anjasmara tersentak kaget. Matanya terbelalak 
ketika tiba-tiba di dalam gulungan angin yang 
membentuk pusaran itu terlihat sosok wanita yang 
sudah sangat dikenalnya. 
“Sambi...!” seru Anjasmara sambil berlari 
memburu angin besar yang berpusar dan bergerak 
mengelilingi Sambi yang menggendong bayinya. 
“Ka..., Kakang...!” 
“Sambi...!” 
Anjasmara terus berlari dengan wajah cemas, 
menyaksikan istri dan anaknya dalam kekuasaan 
angin besar yang terus menggulung keduanya. 
Dengan nekat, Anjasmara segera menerobos masuk 
ke putaran angin kencang itu. 
“Sambi...!” 
Seketika tubuh Anjasmara ditelan pusaran angin 
besar di mana istri dan bayinya berada. Angin besar 
bergulung-gulung itu terus berputar. Tapi anehnya, 
setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin 
itu bergerak meninggalkan tepian Danau Sambak 
Neraka. Angin itu terus bergerak ke arah air danau 
yang sangat dalam. 
Byurrr! Byurrr...! 
Tubuh Sambi dan Anjasmara jatuh ke dalam air 
Danau Sambak Neraka. Bayi dalam pelukan Sambi 
pun tetap dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun 
suara tangisnya. Mereka terus dibawa ke tengah 
danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun 
Anjasmara, tak mengerti akan dibawa ke mana diri 
mereka. 
Ternyata angin bergulung dan berputar-putar itu 
terus mengusung mereka ke Pulau Karang Api yang 
berada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka. 
Semakin dekat tampaklah pulau itu menyala merah 
laksana api. Dan karena itulah pulau itu dinamakan 
Pulau Karang Api. 
Sementara itu, tubuh Anjasmara dan Sambi yang 
tercebur ke Danau Sambak Neraka seketika meng-
alami perubahan. Tubuh mereka memanjang. Wajah 
mereka kini pun berubah, dengan mulut moncong ke 
depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala 
mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang memanjang 
perlahan-lalian ditumbuhi sisik. Keduanya kini 
berubah menjadi dua ekor naga berwarna merah 
dengan mata yang membara bagaikan mengandung 
api! 
“Ssszzzt...!” 
Kedua sosok yang telah berubah menjadi naga itu 
menggeliat. Matanya tajam memandang ke daratan. 
Kemudian dari mulut dan mata keduanya 
menyemburkan api yang membara ke arah sepuluh 
resi yang tengah berlari ke arah Danau Sambak 
Neraka. 
Wurrrs...! 
“Wuaaa...!” 
Kesepuluh resi yang tak menyangka akan 
mendapat serangan berupa semburan api dari tengah 
danau itu terkejut bukan main. Tiada ampun lagi, 
tubuh mereka terbakar hangus. 
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan 
bergema di sekitar Danau Sambak Neraka. Tampak-
nya suara itu milik seorang lelaki. 
“Kalian telah menjadi wargaku! Kalian berdua 
telah menjadi anak-anakku. Biarlah anak kalian 
kudidik! Kelak, dia akan menjadi pemuda perkasa! 
Hua ha ha...!” 
Kedua naga berwarna merah itu terdiam, 
kemudian dengan gerakan yang lamban, mereka 
menyelam ke kedalaman air Danau Sambak Neraka. 
*** 
Sepuluh tahun sudah peristiwa di Danau Sambak 
Neraka berlalu. Sumantri masih berpikir tentang 
Anjasmara dan Sambi, yang raib entah ke mana. Dia 
juga masih berpikir, siapa yang telah menewaskan 
kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi Danau Sambak 
Neraka. 
Suasana pagi yang cerah nampak melingkupi di 
sekitar Danau Sambak Neraka. Matahari yang baru 
saja muncul di ufuk timur bersinar merah tembaga. 
Nampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun dengan kumis tebal dan jenggot pendek, 
berpakaian khas saudagar tengah melangkah 
menyusuri tepian Danau Sambak Neraka. 
Lelaki tampan dengan rambut terurai panjang 
berbaju jubah abu-abu itu ternyata Sumantri. Dia 
tampak tengah mengawasi sekitar Danau Sambak 
Neraka. Pikirannya masih belum menerima peristiwa 
aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu. 
“Aneh,” gumam Sumantri lirih sambil matanya 
memandang ke sekeliling Danau Sambak Neraka. 
“Bagaimana mungkin Anjasmara dan Sambi 
menghilang?” 
Selama sepuluh tahun terakhir ini, Sumantri telah 
beberapa kali membayar orang-orang rimba per-
silatan untuk mencari kedua orang yang raib bagai 
ditelan bumi itu. Tapi selalu saja mengalami 
kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya 
yang menemukan jejak Anjasmara dan Sambi. 
“Mungkinkah mereka benar-benar menghilang?” 
tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tidak mungkin! Guru 
tak pernah mengajari Anjasmara dan Sambi ilmu 
menghilang....” 
Sumantri terus berdiri di tepi Danau Sambak 
Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika 
memandang arah Pulau Karang Api di tengah-tengah 
danau.  
“Heh! Apakah aku tak salah lihat?!” gumam 
Sumantri terkejut, ketika matanya melihat seorang 
bocah berusia sekitar sepuluh tahun berbadan penuh 
sisik tengah berlari-lari kecil. 
Bocah bertubuh penuh sisik itu tampaknya merasa 
ada yang memperhatikan. Wajahnya memandang ke 
arah Sumantri. 
“Ah! Bocah atau setan!?” 
Kembali Sumantri terkejut, menyaksikan mata 
bocah itu berwarna merah membara laksana api, 
menyorot tajam wajahnya. Bukan hanya itu yang 
membuat Sumantri tersentak kaget. Ternyata gigi 
bocah kecil itu bertaring menyeramkan, ketika 
menyeringai memandangnya.  
“Ghrrr...! 
Terdengar suara keras menggelegar, ketika bocah 
kecil penghuni Pulau Karang Api itu menyeringai. 
Bersamaan dengan itu, seketika hawa panas 
menyelubungi sekitar danau, membuat Sumantri 
tersentak. 
“Uh, celaka! Apa yang dilakukan bocah setan itu?” 
keluh Sumantri. Tubuhnya kini menggeliat-geliat 
bagaikan dipanggang di atas bara api yang sangat 
panas.  
“Wuaaa...! Aaa...!” 
Sumantri menjerit-jerit merasakan hawa panas 
yang tiada terkira menyengat tubuhnya. Dirasakan 
tubuhnya seperti dikelilingi api yang membara.  
“Aaa...!” 
Pekikan keras kembali terdengar dari mulut 
Sumantri yang terus berusaha mempertahankan 
tubuhnya agar tidak mati lemas oleh hawa panas. 
Namun, semakin mengerahkan tenaga dalam untuk 
melawan pengaruh panas yang menyengat tubuhnya, 
hawa panas terasa semakin menjadi-jadi. 
“Celaka! Aku bisa mati terbakar kalau terus-
menerus di sini,” keluh Sumantri. 
Sumantri berusaha menjauh dari tepi danau. 
Nampaknya dia berhasil. Dengan cara beringsut 
menggunakan lututnya yang tertekuk, Sumantri 
berusah menggeser kedudukannya semakin menjauh 
dari tempat itu. 
“Bocah setan! Bagaimana mungkin bocah sekecil 
itu memiliki kekuatan api yang kuat, sampai mampu 
menyerangku?” umpat Sumantri lirih sambil terus 
beringsut menjauh. 
Wusss...! 
Angin menderu kencang ke arah tubuh Sumantri. 
Seketika itu pula, tubuhnya melayang terbawa angin 
kencang itu. 
“Wuaaa...!” 
Sumantri menjerit ketakutan ketika tubuhnya 
diterbangkan angin dahsyat itu dan terlempar sekitar 
seratus tombak jauhnya dari tepian danau. 
Brukkk! 
“Aduh...! Angin setan!” maki Sumantri yang tampak 
marah.  
Wusss...! 
Tiba-tiba angin dahsyat itu berhembus ke arahnya. 
Angin badai itu seakan-akan tahu ucapan Sumantri 
barusan. Mata lelaki itu terbelalak kaget dan 
ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi 
tubuhnya. 
“Oh! Tidaaak...! Ampun, jangan....!” pekik Sumantri 
ketakutan. 
Dan anehnya lagi, angin itu bagaikan mengerti apa 
yang diminta Sumantri. Seketika angin itu bergulung 
dan berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah 
mengatakan sesuatu dan mengancam Sumantri. 
Sesaat kemudian angin besar itu bergerak cepat 
kembali ke Danau Sambak Neraka. 
“Aneh!” gumam Sumantri keheranan tak mengerti. 
“Bagaimana mungkin angin bisa mengerti ucapan-
ku?” 
Sumantri masih terduduk terbengong-bengong 
keheranan terhadap kejadian yang baru saja 
dialaminya. 
“Aneh! Benar-benar ada yang aneh di Pulau 
Karang Api itu. Aku yakin, pulau itu ada penghuninya,” 
kata Sumantri sambil berlari meninggalkan tempat 
yang bernama Lembah Akherat ini. 
Bergidik juga hati Sumantri jika teringat kejadian 
yang baru saja dialaminya. Rasanya sangat tak 
masuk akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia 
sepuluh tahun berbadan penuh sisik mampu 
mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu? Bocah ber-
tubuh penuh sisik dengan mata merah laksana api itu 
mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu 
mengerahkan angin aneh. 
“Bocah itu tentunya bocah sakti. Ah, kalau saja 
aku bisa mendapatkannya, tentu aku akan menjadi 
orang yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah 
kecil itu dapat kumanfaakan. Hua ha ha...! Sumantri 
akan menjadi orang yang ditakuti! Aku harus 
mendapatkan bocah itu...!” gumam Sumantri sambil 
terus berlari meninggalkan Lembah Akherat. 
*** 
Setelah menitipkan Mei Lie pada Ki Gede Mantingan, 
Sena melanjutkan pengembaraannya untuk me-
negakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. 
Karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai 
pendekar. Selain itu, batinnya tidak suka melihat 
penderitaan dan kesengsaraan orang lemah ditindas 
dan disiksa oleh yang kuat dan durjana. 
Setelah menghancurkan Istana Tengkorak Merah, 
Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede Mantingan singgah 
di padepokannya yang bernama Padepokan Karang 
Tinalang. Letak padepokan itu berada di sebelah 
selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu. 
Tepatnya di Bukit Singgala Putri (Mengenai Ki Gede 
Mantingan, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 
episode “Tengkorak Darah”). 
Setelah tiba di Padepokan Karang Tinalang, 
akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada orang tua 
yang baik itu. Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah 
Ki Gede Mantingan turut menasihati, akhirnya gadis 
itu pun menurut. Terlebih Ki Gede Mantingan telah 
menganggap Mei Lie sebagai anaknya sendiri, karena 
orang tua itu tidak dikarunai anak. 
Masih teringat di benak Sena ucapan Mei Lie 
ketika hendak melepas kepergiannya. 
“Kakang, jangan lupakan aku! Aku akan selalu 
menunggumu. Aku akan tetap menunggu dan 
mencintaimu,” bisik Mei Lie sambil merebahkan 
kepalanya di dada Sena. 
Rasa haru dan syahdu beraduk menjadi satu dada. 
Sena mendengar kata-kata Mei Lie. Dengan lembut 
tangannya membelai rambut gadis itu. 
“Aku akan mengingatmu, Mei Lie.” 
“Terima kasih, Kakang! Aku akan setia 
menunggumu. Menunggu janjimu....” 
Sena tersenyum seraya memeluk Mei Lie penuh 
kasih sayang. Kemudian dengan perasaan syahdu, 
kakinya melangkah meninggalkan gadisnya yang 
nampak melambaikan tangan dengan mata berkaca-
kaca 
Bayangan perpisahannya dengan Mei Lie seketika 
hilang, ketika tiba-tiba telinganya mendengar jeritan 
seorang wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat 
dirinya berada kini. 
“Tolong...! Tidak...!” 
“Hei....! Kudengar ada seorang wanita meminta 
tolong,” gumam Sena dengan kening berkerut. 
Kemudian dapasangnya telinga tajam-tajam, ber-
usaha mendengar suara jeritan tadi. 
“Tolong...! Lepaskan aku, Biadab!” suara wanita itu 
kembali terdengar, diikuti oleh caci-makinya. 
“Hm, ada juga manusia durjana yang masih 
senang iseng,” kata Sena sambil cengengesan. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian 
tertawa cekikikan. “Hi hi hi...! Lucu sekali! Aha, coba 
kulihat.” 
Sena segera melompat ke atas cabang sebatang 
pohon yang tinggi, agar bisa melihat ke sekeliling 
tempat di tengah Hutan Dadap Wangi. 
“Hop! Ya...!” 
Tap! 
Kedua kakinya hinggap begitu ringan di cabang 
pohon jati yang banyak tumbuh di hutan itu. 
Kemudian dengan cengengesan matanya me-
mandang ke sekeliling tempat itu. 
“Tolong! Bajingan, lepaskan...!” suara wanita itu 
kembali terdengar, tapi belum nampak di mata Sena. 
“Tak akan ada yang menolongmu! Kau harus 
menyerahkan tubuhmu pada kami!” kini terdengar 
suara seorang lelaki mengancam. 
Pendekar Gila nyengir sambil pandangannya 
beredar ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari 
dari mana asal suara tadi. Dan seketika matanya 
melihat serumpun semak belukar bergoyang-goyang. 
“Aha, itu dia!” ujar Sena seraya melompat ke 
semak-semak yang bergoyang. “Hop! Ya!” 
Dua orang lelaki berpakaian merah kecoklatan 
tiba-tiba tersentak kaget begitu di samping mereka 
telah berdiri seorang pemuda berpakaian kulit rompi 
ular yang cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
“Hua ha ha...! Kenapa kalian kaget?” tanya Sena 
masih bertingkah laku seperti orang gila. “Ah ah ah...! 
Kupanya kalian sedang asyik berpesta! Kenapa tak 
mengundangku? Hi hi hi...!” 
“Siapa kau?!” bentak lelaki berwajah garang 
dengan rambut kaku seperti landak. 
“Ha ha ha...! Aku...?” balik Sena bertanya. 
Kemudian mulutnya nyengir kuda. Matanya menatap 
sosok wanita muda yang pakaiannya morat-marit tak 
karuan. “Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi...! Siapa 
kalian berdua?” 
Membelalak mata kedua lelaki berwajah garang 
itu, mendengar kata-kata Sena yang persis orang gila. 
“Pemuda gila dari mana dia?” gumam lelaki 
berkumis tebal dengan mata lebar. Rambutnya juga 
kasar berdiri seperti landak. 
“Hei, Bocah Gila! Ketahuilah...,” ujar lelaki ber-
tubuh tinggi dan beralis tebal. “Aku Cakal Genala!” 
“Dan aku, Cakil Gering!” sambung rekannya yang 
bertubuh agak kurus, berkumis tebal melintang di 
bibir tebal. “Ha ha ha...! Kami bergelar Dua Landak 
Hutan Dadap Wangi. Kamilah penguasa dan penghuni 
hutan ini!” 
“Hua ha ha...! Gila...! Hi hi hi...! Kalianlah yang 
gila!” balik Pendekar Gila sambil berjingkrak-jingkrak 
seperti monyet. Sementara tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala dan tangan kiri menepuk-nepuk 
pantat 
“Bocah gendeng! Pergi sana! Jangan ganggu 
kami!” bentak Cakil Gering dengan mata melotot. 
Rambutnya yang berdiri seperti bulu landak, kian 
meregang kaku. 
Dibentak begitu rupa, bukan membuat Sena takut 
atau lari. Malah dengan sengaja tingkahnya dibuat 
konyol. Dengan tenangnya dia melangkah meng-
hampiri gadis cantik yang gaun kuningnya sudah 
awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat Sena 
menghampiri. Kemudian dengan tenang Sena 
memegang tangan kiri gadis itu. 
“Aha, boleh juga! Bagaimana kalau gadis ini 
untukku?” tanya Sena pada Dua Landak Hutan 
Dadap Wangi, yang semakin bertambah marah 
melihat kelancangan dan kekonyolan pemuda itu. 
“Kurang ajar! Minggat kau dari sini!” dengus Cakal 
Genala sambil melepaskan jotosan ke arah Pendekar 
Gila dengan jurus 'Serudukan Landak'. 
“Eits! Ah, galak amat kau, Ki? Mengapa kau tidak 
mau membagi aku? Aduh kepalaku...!” seru Sena 
sambil bergerak cepat memnduk, mengelakkan 
serangan Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke 
bawah dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. 
“Hi hi hi...! Rupanya kau belum pernah ditampar 
singa, Ki. Nih...!” 
Dengan tangan menepuk ke arah dada lawan, 
Sena bergerak meliuk. Gerakannya sangat lambat, 
membuat lawan menyangka kalau serangan Sena 
lemah dan tak perlu ditakuti. Hingga.... 
Bukkk! 
“Aaakh...!” Cakal Genala terpekik kesakitan. 
Lelaki berhidung bulat itu sungguh tak menduga 
kalau pukulan lawan yang tampak pelan itu ternyata 
begitu keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak 
lamban dan lemah sekali. Tubuh lelaki berambut 
kaku itu terlempar deras ke belakang, bagaikan 
terdorong kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal 
Genala baru berhenti, ketika membentur pohon 
dadap berduri. 
Brak! 
Crab! 
“Wuaaa...!” kembali Cakal Genala memekik 
kesakitan. Punggungnya tertancap duri-duri pohon 
dadap. 
“Hi hi hi...! Lucu..! Kenapa kau, Ki? Kalau lari, 
jangan mundur! Itulah akibat orang lengah!” kata 
Sena ambil berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. 
Mulutnya nyengir. 
“Bocah edan! Kuremukkan kepalamu! Heaaa...!” 
Cakil Gering yang merasa saudaranya 
dipermainkan begitu rupa oleh pemuda tampan 
berbaju rompi kulit ular, segera melancarkan 
serangan dengan pukulan tangan kirinya meng-
gunakan juris 'Landak Mengais'. 
“Heaaa!” tangan Cakil Gering melakukan gerakan 
menyibak cepat, lalu memukul keras ke perut 
Pendekar Gila yang masih tampak cengengesan. 
Melihat lawan menyerang, dengan cepat Sena 
menarik kakinya ke belakang. Diangkatnya kaki agak 
tinggi, kemudian dengan cepat didengkulnya kepala 
lawan yang agak merunduk. 
“Hi hi hi...! Kau rupanya mencari sesuatu, Ki. Aha, 
kuberi sop lututku! Hih...!” 
Cakil Gering tersentak melihat gerakan Pendekar 
Gila. Segera ditariknya kembali serangan tadi. Tubuh-
nya didongakkan, lalu bergerak ke samping. 
Kemudian dengan cepat bersalto ke samping, ketika 
melihat tangan Pendekar Gila kembali menepuk. 
“Uts! Ilmu edan!” makinya yang telah tahu 
bagaimana hasil tepukan tangan Sena. Meski 
kelihatannya lamban dan lemah, ternyata tepukan itu 
begitu dahsyat dirasakan. Dengan tepukan itu, 
Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal 
Genala begitu keras. Sehingga tubuh lelaki itu terkulai 
pingsan setelah menerjang pohon berduri. 
Mata Cakil Gering terbelalak, setelah merasakan 
angin keras dari tepukan tangan Pendekar Gila. 
“Edan! Jurus apa yang digunakannya?” gumam 
Cakil Gering masih tak mengerti dan heran. “Padahal 
gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari 
anginnya saja, mampu menyentakkan tubuhku.” 
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah 
lakunya persis seekor monyet. Hal itu semakin 
membuat Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha 
mereka-reka siapa sebenarnya pemuda yang ber-
tingkah seperti orang gila itu. 
“Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah, 
dilihat dari tingkah lakunya, semua persis dengan ciri-
ciri pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,” 
gumam Cakil Gering. 
“Hi hi hi...! Kenapa melongo, Ki? Nanti kau 
kerasukan setan,” ujar Sena sambil cengengesan. 
“Pergilah! Jangan sampai aku memberimu hadiah!” 
Cakil Gering yang merasa tidak unggulan meng-
hadapi pemuda itu segera mundur. Dia semakin yakin 
dengan dugaannya kalau pemuda di hadapannya 
pastilah Pendekar Gila. 
“Ayo pergi! Jangan ganggu aku bermesraan 
dengan gadis ini! Ayo pergi!” bentak Sena dengan 
garang. 
“Baik...! Baik, aku akan pergi,” sahut Cakil Gering 
ketakutan. 
“Hua ha ha...! Bawa sekalian tikus itu!” 
Cakil Gering merangkak mendekati saudaranya 
yang masih terkulai pingsan. Kemudian dengan mata 
menatap tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering 
segera memondong tubuh saudaranya. Kemudian 
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan cepat 
tempat itu ditinggalkannya. 
Sepeninggal Cakil Gering dan saudaranya, Sena 
kembali tertawa bergelak. Tingkah lakunya yang 
seperti orang gila, membuat gadis cantik itu 
ketakutan bukan kepalang. Gadis berkulit kuning 
langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan 
masih memegangi pakaiannya yang terbuka. Matanya 
menatap ketakutan pada Pendekar Gila yang meng-
garuk-garuk kepala. 
“Jangan! Jangan lakukan itu…!” ratap gadis itu 
mengiba. 
“Aha, jangan takut, Nisanak! Aku bukanlah 
manusia seperti kedua cecurut itu.” 
Gadis yang bernama Saka Wuri itu memperhatikan 
Pendekar Gila penuh seksama. Sepertinya berusaha 
meyakinkan dirinya kalau pemuda tampan bertingkah 
seperti orang gila itu benar-benar hendak me-
nolongnya. 
Benarkah omongannya? Tanya Saka Wuri dalam 
hati. Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi, 
pakaiannya bagus mirip seorang pendekar. 
Mungkinkah dia pendekar yang sering disebut-sebut 
sebagai Pendeka Gila? 
“Aha, mengapa diam saja? Ayo, biar kuantar 
sampai ke rumahmu!” ujar Sena menawarkan jasa. 
Pendekar Gila tidak ingin gadis itu kembali 
mengalami musibah, diseret dan hendak diperkosa 
seperti yang baru saja dialami gadis itu. Kalau saja 
dirinya tidak segera datang, entah bagaimana nasib 
gadis itu 
“Tuankah yang sering disebut Pendekar Gila?” 
tanya Saka Wuri. 
“Aha, terlalu tinggi julukan itu, Nisanak. Sudahlah 
yang jelas kau harus pulang! Apakah kau ingin kedua 
cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?” 
Saka Wuri segera bangun dari duduknya, 
kemudian dengan malu-malu melangkah diiringi 
Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa Kalasan, 
tempat Saka Wuri tinggal. 
Setelah sampai di rumah, Saka Wuri pun men-
ceritakan pada Pendekar Gila dan ayahnya mengapa 
dirinya sampai hendak diperkosa Dua Landak Hutan 
Dadap Wangi. Saka Wuri pagi itu hendak mandi di 
pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari belakang  
orang menyekap mulutnya. Dia hendak berteriak, 
namun kedua orang itu telah membawanya pergi 
sebelum terlebih dahulu menotoknya. 
Sesampainya di Hutan Dadap Wangi, keduanya 
lalu membuka totokan di tubuh Saka Wuri dan 
berusaha menggagahi dirinya. Beruntung sebelum 
perkosaan terjadi, Pendekar Gila telah datang. 
Setelah mendengar penuturan Saka Wuri, 
Pendekar Gila pun bermaksud pamit untuk 
meneruskan pengembaraannya. 
“Mengapa tidak menginap dulu di sini, Tuan?” kata 
Saka Wuri berusaha mencegah Pendekar Gila agar 
tidak segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa 
ngobrol lama dengan pemuda tampan bertingkah 
laku seperti orang gila itu. 
“Benar, Tuan. Kenapa tidak menginap barang satu 
malam. Kami ingin mengenalmu lebih dekat,” 
sambung Ki Kalaban. Lelaki tua berpakaian adat 
Jawa Timur itu tampak senang atas telah kembalinya 
anak gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda 
tampan yang telah diketahuinya sebagai Pendekar 
Gila. 
“Ah ah ah.... Terima kasih, Ki! Sebenarnya aku pun 
ingin menginap di sini. Desa Kalasan sangat damai 
dan nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang 
memerlukan pertolongan dariku...,” ujar Sena 
menolak dengan halus. 
“Hendak ke manakah tujuan Tuan?” tanya Ki 
Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang sangat berterima 
kasih pada Pendekar Gila, berusaha membalas jasa 
kebaikan Pendekar Gila. 
“Ah! Entahlah, Ki. Kurasa langkah kaki tergantung 
hasrat hati melangkah. Di mana kemauan berkata, di 
sana aku melangkah,” jawab Pendekar Gila. 
Ki Kalaban terdiam. Sulit baginya untuk berusaha 
membalas jasa atas kebaikan pendekar muda itu. 
Sementara Saka Wuri masih memperhatikan pemuda 
tampan yang telah menolongnya. Tak jemu-jemunya 
gadis cantik bergaun kuning dengan rambut diikat 
ekor kuda itu memandangi wajah Pendekar Gila. Ada 
perasaan aneh yang terselip di relung hatinya. 
Perasaan yang selama ini belum pernah muncul 
dalam hati. 
“Tuan! Kalau boleh, izinkanlah aku berbakti 
padamu!” ujar Saka Wuri memohon. 
Pendekar Gila tertawa bergelak sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian pemuda tampan itu nyengir 
sambil menggeleng-geleng kepala. 
“Ah! Tak usah berlaku begitu, Dik Wuri! Kini, aku 
mohon pamit,” kata Sena. 
Kemudian setelah menjura, Pendekar Gila segera 
meninggalkan rumah Kepala Desa Kalasan untuk 
meneruskan pengembaraannya. Menegakkan 
kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini. 
*** 
Desa Pasut Piring yang terletak di sebelah selatan 
Bukit Selaparang, nampak tenang malam itu. Sebuah 
bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran 
rumah biasa, berdiri megah di bagian timur desa. 
Rumah besar dan megah yang semuanya diukir indah 
itu milik Sumantri. Dia dikenal sebagai juragan yang 
paling kaya di desa itu. 
Saat itu, malam yang sunyi menyelimuti bumi. Di 
ruang tengah rumah yang dijaga ketat empat orang 
bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki 
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Lelaki yang tak 
lain Sumantri, malam itu masih merenungkan apa 
yang kemarin dialaminya. 
Di hadapannya duduk empat orang dari rimba 
persilatan. Tiga lelaki berwajah garang dan satu lagi 
seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh 
tahun. Keempat orang rimba persilatan itu merupa-
kan tangan kanan, sekaligus pengawal pribadi 
Sumantri. 
Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh 
tahun. Berambut gondrong awut-awutan dan kepala-
nya terikat kain warna hijau tua. Matanya tajam dan 
garang. Hidungnya besar dan beralis mata lebat. 
Kumis tebal yang menghiasi bibirnya semakin me-
nunjukkan kegarangannya. Lelaki berpakaian hijau 
tua lengan panjang itu bernama Jalna Kumilang atau 
Hantu Hijau dari Gunung Bangau. 
Orang kedua memiliki rambut dibuat ekor kuda. 
Alis mata tebal dengan hidung pesek menyerupai 
kera dengan cambang bauk lebat. Tubuhnya agak 
gemuk dan pendek. Pakaian yang dikenakan ber-
warna merah. Dia bernama Sugatra. 
Di sampingnya merupakan adik seperguruan 
Sugatra yang bernama Sugatri. Lelaki berusia sebaya 
dengan Sugatra sekitar tiga puluh lima tahun itu, 
memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti 
kakaknya, pesek hampir menyerupai hidung kera. 
Tubuhnya tidak terlalu gemuk seperti Sugatra. 
Di punggung kedua lelaki berpakaian merah itu 
tersampir senjata berupa golok. Mereka berdua ber-
juluk Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena 
golok mereka dapat mengeluarkan sinar biru. 
Sedangkan yang terakhir seorang wanita muda 
dan cantik. Berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. 
Bergaun merah hati dengan rambut dikepang dua. 
Dia nampak tidak memegang senjata, karena senjata 
yang digunakannya berupa selendang warna ungu 
yang terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih 
dikenal dengan julukan Iblis Selendang Ungu. 
“Tuan Sumantri, kami lihat sejak tadi Tuan nampak 
termenung. Kalau boleh kami tahu, apa gerangan 
yang telah membebani pikiran Tuan...?” tanya Jalna 
Kumilang. Orang paling tua di antara keempat tangan 
kanan Sumantri. 
“Benar, Tuan. Mengapa Tuan bermuram durja. 
Sepertinya, setelah pulang dari Danau Sambak 
Neraka ada sesuatu yang Tuan pikirkan. Adakah 
sesuatu yang mengganjal pikiran dan hati Tuan?” 
sambung Sugatra. 
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Dihempas-
kan napasnya panjang-panjang. Tatapan matanya 
menerawang ke atas, memandang ke genteng 
rumahnya. 
“Hhh!” desah Sumantri. “Apa yang kalian duga 
memang benar.” 
Keempat tangan kanan Sumantri saling pandang. 
Namun mereka masih diam, karena memang belum 
tahu apa yang membuat majikan mereka kelihatan 
murung terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-
tanya. Mungkinkah majikan mereka melihat 
Anjasmara dan Sambi? 
“Tuan, kalau boleh kami tahu. Hal apakah yang 
membuat Tuan bermuram durja?” tanya Sugatri 
memberanikan diri, setelah lama terdiam. 
“Apakah Tuan Sumantri melihat Anjasmara dan 
Sambi?” sambung Iblis Selendang Ungu dengan 

senyum menggoda. 
“Bukan masalah Anjasmara dan Sambi yang 
membuatku gelisah dan terus berpikir,” sahut 
Sumantri seraya bangkit dari duduknya, berjalan ke 
pintu rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang 
pintu, memandang lepas ke luar. 
“Lalu apa yang menjadikan Tuan nampak 
murung?” tanya Jalna Kumilang seraya menatap 
majikannya yang masih diam berdiri di ambang pintu. 
Sumantri menghela napas dalam-dalam, berbalik 
ke arah meja. Keempat tangan kanannya tampak 
masih duduk di kursi masing-masing. Sumantri 
kembali duduk. 
“Kemarin aku melihat sesuatu di Pulau Karang Api. 
Seorang bocah bertubuh penuh sisik dengan lidah 
bercabang. Sebelumnya aku bermimpi, kalau bocah 
itu merupakan bocah sakti. Siapa pun yang men-
dapatkan bocah itu, akan merajai dunia persilatan. 
Nah, aku ingin mendapatkan bocah itu. Siapa pun 
yang mendapatkannya, akan kuberi separo dari harta 
kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian 
menyebar sayembara!” kata Sumantri menerangkan. 
“Kalau memang itu yang Tuan inginkan, kami siap 
melaksanakannya,” sahut Iblis Selendang Ungu. 
“Ya! Malam ini juga, kami laksanakan,” sambut 
Sugatra. 
Sumantri tersenyum mendengar kesanggupan 
empat anak buahnya, yang menunjukkan kesetiaan 
mereka terhadapnya. Kepalanya diangguk-anggukkar 
dengan bibir masih tersenyum. 
“Tidak usah terburu-buru! Kalian bisa melaku-
kannya besok. Malam ini, kalian tulis isi sayembara 
itu,” perintah Sumantri. 
“Apa yang mesti kami tulis?” tanya Jalna Kumilang. 
“Barang siapa yang bisa mendapatkan bocah 
bertubuh penuh sisik, akan diberi hadiah sebagian 
dari hartaku,” kata Sumantri menjelaskan isi 
sayembara yang hendak ditulis anak buahnya itu. 
“Baiklah, kami akan segera membuatnya,” kata 
Jalna Kumilang. 
Setelah semuanya disepakati, Sumantri dan 
keempat anak buahnya pun meninggalkan ruang 
pertemuan untuk melakukan apa yang hendak 
mereka lakukan. 
Sumantri masuk ke kamarnya. Di dalam kamar itu, 
seorang gadis cantik berkebaya merah muda tengah 
terbaring di tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya 
nampak masih menggambarkan kepolosan itu tengah 
menangis. Seketika dia tersentak bangun ketika pintu 
kamar dibuka. Matanya menatap ketakutan, ber-
campur rasa benci pada Sumantri.  
“Cah ayu, kenapa kau masih bersikap dingin? 
Ayolah, malam ini aku ingin sekali menikmati tubuh-
mu,” ujar Sumantri sambil melangkah mendekat. 
Gadis itu pun tampak semakin ketakutan. 
“Tidak! Aku tidak mau...!” seru gadis cantik itu 
dengan wajah ketakutan. “Bajingan! Kau benar-benar 
bajingan! Kembalikan aku ke desaku...!” 
Sumantri tersenyum sinis sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kakinya melangkah mendekat ke 
tempat tidur. Gadis yang mengingatkannya pada 
Sambi, semakin bertambah ketakutan. Tubuhnya ber-
ingsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap 
ketakutan ke wajah Sumantri yang masih tersenyum. 
“Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau harus menjadi 
istriku,” kata Sumantri. Kemudian dengan penuh 
nafsu, Sumantri segera menubruk gadis cantik yang 
wajahnya memang mirip dengan Sambi. 
“Auw! Tidak...!” teriak gadis cantik berkebaya 
merah muda yang bernama Delimasari, berusaha 
mengelak. Matanya semakin ketakutan. Namun, 
Sumantri yang sudah bernafsu sekali tak hanya diam 
sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya 
Delimasari, semakin bertambah nafsu lelaki bertubuh 
kekar itu. 
“Mau lari ke mana, Cah Ayu? He he he...!” 
Sumantri yang sudah dibakar nafsu iblis, terus 
mendekap tubuh Delimasari yang terus berontak dan 
meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak, 
semakin bertambah menggelegak nafsu Sumantri. 
Bret! 
“Auw!” Delimasari terpekik, ketika kebaya merah 
mudanya direnggut hingga sobek. Tampaklah pundak 
kuning mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak 
penuh nafsu. Apalagi ketika kebaya gadis itu terlepas 
karena tetap ditarik tangan Sumantri. 
“He he he...!” Sumantri tertawa terkekeh. 
Kemudian kembali menubruk tubuh Delimasari. 
Gulatan antara keduanya pun terjadi. Akhirnya 
Sumantri yang sudah bernafsu, mampu menguasai 
tubuh Delimasari yang lemah. Meskipun meronta-
ronta sekuat tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi 
nafsu iblis Sumantri. 
Delimasari hanya mampu menangis, meratapi 
nasibnya yang buruk. Kekecewaan, dendam, dan 
marah beraduk menjadi satu di hatinya. Keterlaluan 
sekali kedua orangtuanya, yang telah menyerahkan 
dirinya pada lelaki bajingan seperti Sumantri. 
Padahal Delimasari telah memiliki pemuda pujaan 
hatinya yang saling mencintai. Namun dengan 
kedatangan Sumantri meminangnya, tak mungkin 
cinta mereka dilanjutkan. Itulah yang menjadikan 
Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski Sumantri 
gagah, namun Delimasari tidak suka dengan 
perbuatan lelaki itu yang selalu ingin menang sendiri. 
*** 
Sayembara yang diadakan Sumantri ternyata 
ditanggapi orang-orang dari kalangan persilatan. 
Mereka sebagian tertarik dengan hadiah yang 
ditawarkan Sumantri. Namun ada juga yang merasa 
tertarik dengan berita tentang bocah aneh bertubuh 
penuh sisik dan memiliki kesaktian. Barang siapa 
menguasai anak ini akan dapat menjadi orang sakti! 
Dua orang muda berparas elok dengan pedang di 
pundak melangkah menyelusuri jalan menuju 
Lembah Neraka. Yang pemuda berwajah tampan 
dengan rambut terurai panjang. Sosok tubuhnya 
tegap dan tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung 
mancung. Kumis tipis menghias di atas bibirnya. Dia 
bernama Sarawendo. 
Seorang lagi, wanita muda dan cantik. Rambutnya 
berombak dengan hidung mancung dan dagu 
berbentuk indah. Dia bernama Saraswati. Keduanya 
memakai pakaian biru yang panjangnya sampai ke 
lutut. Mereka adalah sepasang suami istri yang 
terkenal dengan julukan Dewa-Dewi Paras Elok. 
Wajah mereka memang tampan dan cantik jelita, 
mirip dengan dewa dan dewi dari kahyangan. Bukan 
hanya kecantikan dan ketampanan mereka saja yang 
membuat orang kalangan persilatan merasa kagum. 
Ilmu pedang keduanya juga sangat tersohor. 
Terutama dengan jurus 'Sepasang Pedang Memburu 
Hati', yang merupakan jurus pamungkas bagi mereka. 
Sulit bagi lawan-lawan mereka untuk melepaskan diri 
dari serangan keduanya. 
Dewa-Dewi Paras Elok melangkah menuju Lembah 
Akherat sehubungan dengan keikutsertaan mereka 
dalam sayembara yang diadakan Sumantri. Sebenar-
nya tujuan mereka bukan mencari kekayaan. Mereka 
hanya ingin membuktikan kebenaran yang mereka 
baca dari pengumuman seyembara itu. 
Sebagai pendekar, keduanya memang selalu ingin 
membuktikan kebenaran suatu berita. Apalagi berita 
yang dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa 
menguji sampai di mana ilmu mereka. Di samping 
berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan, 
keduanya juga ingin menimba pengalaman yang lebih 
banyak di rimba persilatan. 
“Kakang, apa benar jalan yang sedang kita tuju?” 
tanya Saraswati. 
“Entahlah! Aku juga kurang begitu paham daerah 
sekitar tempat ini,” jawab Sarawendo sambil meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling daerah itu. 
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya 
hamparan petak-petak sawah. 
Saat itu, keduanya tengah memasuki wilayah Desa 
Tarub, yang sepertiga bagian wilayahnya merupakan 
petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang 
sebagian besar bercocok tanam, karena letak desa 
mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga atau 
nelayan. Karena tak ada aliran sungai, maupun 
tempat berjualan yang ramai. Hanya ada pasar kecil 
di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-
waktu tertentu. 
“Bagaimana kita bisa sampai ke Lembah 
Akherat?” gumam Saraswati agak cemas. Meski 
mereka tidak bertujuan mendapatkan salah satu 
kemungkinan antara harta dan anak sakti itu, 
keduanya merasa penasaran dan ingin melihat 
seperti apa bocah sakti yang telah mengundang 
banyak tokoh rimba persilatan berdatangan untuk 
mendapatkannya. 
Sarawendo menghela napas panjang. Matanya 
memandang ke sekelilingnya yang masih merupakan 
hamparan persawahan. Dia berusaha mencari salah 
seorang petani yang dapat memberi petunjuk arah. 
“Nah! Itu ada dua orang petani! Bagaimana kalau 
kita tanyakan pada mereka...?” ajak Sarawendo. 
“Ayolah,” jawab Saraswati. Langkah keduanya 
segera dipercepat untuk dapat mengejar kedua 
petani yang berjalan di depan. Sesaat kemudian, 
keduanya sudah berada di dekat kedua petani itu. 
“Sampurasun...!” sapa sepasang suami istri itu 
dengan ramah, yang menjadikan kedua petani itu 
menghentikan langkahnya. Keduanya membalikkan 
tubuh memandang ke arah sepasang pendekar cantik 
dan tampan. 
“Rampes...!” sahut kedua petani itu berusaha 
ramah. 
“Ada apa gerangan kalian berdua mengejar kami?” 
tanya lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun 
dengan wajah tampak sabar. Kumis yang memutih 
menghias di atas bibirnya. Matanya menatap tajam 
sepasang pendekar itu. 
“Maaf, Ki!” kata Sarawendo. “Namaku Sarawendo 
dan ini istriku Saraswati. Kami ingin bertanya, ke arah 
mana kami harus melangkah agar sampai ke Lembah 
Akherat?” 
“Benar, Ki. Kami hendak ke sana,” Saraswati 
menimpali sambil tersenyum. 
Kedua petani itu seketika mengerutkan kening, 
mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasangan 
muda berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak 
percaya, kalau pasangan muda berwajah elok itu 
bertujuan ke tempat yang sangat dikeramatkan 
penduduk desa-desa sekitar Danau Sambak Neraka. 
Tak seorang pun yang berani pergi ke Danau 
Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada sepasang pendekar 
yang bermaksud pergi ke Danau Sambak Neraka. 
Meski keduanya tidak menyebutkan nama Danau 
Sambak Neraka, kedua petani itu telah maklum kalau 
sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain 
Danau Sambak Neraka. Hal itu dapat diketahui 
karena danau itu berada di wilayah Lembah Akherat. 
Seperti apa tempat itu? Siapa pun yang akan 
datang ke tempat itu niscaya bagaikan hendak 
menuju ke akherat saja. 
“Ke Lembah Akherat?” tanya petani yang berusia 
di bawah petani yang satunya. Petani ini berambut 
hitam. Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek 
matanya lebar. Mulutnya agak lebar dengan bibir 
tebal. 
“Benar. Ada apakah hingga Kisanak nampak 
kaget?” tanya Saraswati dengan kening berkerut, 
menyaksikan tanggapan kedua petani itu ketika 
menceritakan tentang tujuannya. 
“Aduh, kami harap kalian jangan ke sana! Lebih 
baik kalian pulang saja!” saran petani yang lebih tua. 
Hal itu membuat Dewa-Dewi Paras Elok semakin 
mengerutkan keningnya. 
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Saraswati ingin 
tahu. 
“Kami mengharap, urungkan saja niat kalian ke 
Lembah Akherat!” tegas lelaki berkumis putih itu. 
Dewa-Dewi Paras Elok saling pandang dengan 
kening berkerut. Mereka semakin tidak memahami 
apa maksud kedua petani itu melarang mereka. 
Belum juga keduanya sempat bertanya, petani yang 
lebih muda malah menambahkan. 
“Kasihan kalau kalian yang tampan dan cantik 
harus menerima kemalangan!” 
“Kemalangan? Maksudmu, Ki?” tanya Sarawendo 
masih belum memahami kata-kata petani itu. 
Matanya menatap tajam petani muda itu. 
“Ya! Sangat berbahaya jika kalian ke tempat itu. 
selama ini, tak seorang pun yang berani pergi ke 
Danau Sambak Neraka. Bukankah kalian hendak ke 
sana...?” balik tanya petani tua yang bernama Ki 
Maeskarya. 
“Benar, Ki?” sahut Saraswati 
“Ah, urungkanlah niat kalian! Sia-sia saja kalian ke 
tempat itu,” ujar Ki Wadul, petani yang lebih muda. 
“Terima kasih atas nasihat kalian! Tapi kami tetap 
hendak ke tempat itu. Kalau kalian tahu jalannya, 
sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,” 
pinta Sarawendo. 
Kedua petani itu kembali saling berpandangan 
dengan kening berkerut. Mereka tidak menyangka, 
kalau kedua pasangan muda ini akan nekat ke 
tempat itu. 
“Apakah telah kalian pikirkan semuanya?” tanya Ki 
Maeskarya. 
“Sudah, Ki,” jawab Dewa Dewi Paras Elok 
bersamaan. 
Ki Maeskarya dan Ki Wadul menghela napas berat. 
Sepertinya kedua orang petani itu merasa sayang jika 
kedua pasangan berwajah elok itu harus menemui 
ajal sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata, 
rupanya kedua sejoli itu telah membulatkan tekad 
untuk datang ke tempat yang sangat keramat dan 
paling ditakuti penduduk di sana. Bahkan mungkin 
para dewa pun akan segan ke tempat itu. 
Meski mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya 
penghuni Pulau Karang Api yang ada di tengah-tengah 
Danau Sambak Neraka, selama turun-temurun 
mereka tak pernah berani menjarah tempat tersebut. 
“Baiklah, kalau memang itu yang kalian kehendaki. 
Berjalanlah ke selatan. Di sana, sekitar setengah hari 
perjalanan, kalian akan mendapatkan lembah yang 
dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat. 
Kemudian sekitar seratus tombak dari Lembah 
Akhirat itu, kalian akan melihat Danau Sambak 
Neraka. Hati-hatilah!” kata Ki Maeskarya meng-
ingatkan. 
“Terima kasih atas petunjukmu, Ki,” kata 
Sarawendo. 
Kemudian setelah menjura kepada kedua petani 
yang telah memberi petunjuk dan peringatan, Dewa 
Dewi Paras Elok segera melesat cepat menuju ke 
Lembah Akherat tempat Danau Sambak Neraka 
berada. 
“Hah?!” Ki Maeskarya terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala melihat gerakan mereka. 
“Dilihat dari gerakan, pakaian dan senjata yang 
disandang mereka, tampaknya kedua orang itu 
pendekar, Ki,” gumam Ki Wadul seraya menggeleng-
gelengkan kepala. 
“Ya!” desah Ki Maeskarya. “Tapi aku belum yakin, 
apakah mereka akan selamat di Danau Sambak 
Neraka.” 
Sesaat keduanya terdiam. Mata keduanya mata 
memperhatikan kedua sejoli yang berlari begitu cepat 
menuju ke arah Lembah Akherat yang bagi mereka 
sangat mengerikan. Nampaknya kedua pendekar itu 
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, 
sehingga dalam sekejap saja keduanya telah berada 
jauh sekali. Bahkan sesaat kemudian telah sampai di 
Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut pedang 
dari warangka masing-masing.  
Sret! Sret! 
“Kita telah sampai, Dinda. Mungkin inilah yang 
dinamakan Danau Sambak Neraka. Dan pulau yang 
menyala itu, tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau 
itu dihuni bocah sakti itu,” ujar Sarawendo. 
“Ya! Kita harus hati-hati, Kakang,” sahut Saraswati. 
Dewa-Dewi Paras Elok kini melangkah perlahan. 
Setapak demi setapak kaki mereka melangkah, 
meyusuri Lembah Akherat yang sepi dan mencekam. 
Meski lembah itu terang karena tak ada pepohonan, 
namun jika ingat akan kematian mengerikan sepuluh 
resi dari Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras 
elok harus waspada. 
Baru beberapa langkah kaki mereka maju, tiba-
tiba angin bertiup dengan kencang laksana mem-
badai. Angin itu menuju ke arah mereka, berusaha 
menerbangkan tubuh keduanya. 
“Awas, Dinda! Ini serangan pertama..!” seru 
Sarawendo mengingatkan Istrinya. “Kita satukan 
pedang kita dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...!” 
“Mari Kakang! Heaaa…! 
Trang! 
Dengan menyilangkan kedua pedang, keduanya 
berusaha menahan serangan dahsyat berupa angin 
yang tiba-tiba berhembus kencang itu. Dari kedua 
pedang yang menyilang, keluar sinar pelangi 
bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu 
seketika mendesak angin yang membadai dahsyat 
itu.  
“Heaaa...!”  
Wusss! 
Angin yang membadai seketika lenyap dengan 
sendirinya. Sedangkan sinar pelangi itu tampak masih 
bergulung-gulung di udara tak tentu arah. 
“Arahkan ke Pulau Karang Api itu, Kakang!” ajak 
Saraswati. 
“Bagaimana kalau sinar itu membunuh bocah yang 
kita cari?” tanya Sarawendo. 
Saraswati terdiam. Apa yang dikatakan suaminya 
memang beralasan. Mereka datang ke tempat itu 
semata-mata untuk membuktikan kebenaran ucapan 
para tokoh persilatan, juga berita sayembara 
Sumantri. 
Setelah mendapatkan serangan pertama, mereka 
merasa yakin kalau apa yang diceritakan Sumantri 
tentu ada benarnya. 
“Kita tarik saja dulu, Dinda.” 
“Baiklah,” sahut Saraswati. 
Baru saja keduanya hendak menarik mundur 
serangannya, tiba-tiba serangkum sinar melesat 
cepat ke arah mereka. Secepat itu pula, mereka 
merasa hembusan hawa panas membakar tubuh. 
Mereka berusaha sekuat tenaga mempertahankan 
diri, tapi tiba-tiba serangkum sinar itu bergerak 
menyambar ke dada mereka dengan cepat. 
Slats...! 
Cras! Cras! 
“Aaa...!” 
Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok terjungkal dengan 
dada tergores penuh luka. Puluhan jarum beracun 
menancap di dada mereka. Tanpa ampun, mereka 
langsung meregang nyawa dan mati! 
Lembah Akherat kembali sepi. Hanya serangkum 
sinar membara yang bergerak seperti cambuk itu 
yang masih melesat cepat ke arah Pulau Karang Api, 
kemudian menghilang di sana. 
*** 
Siang itu udara terasa sangat panas. Langit bersih 
tanpa awan. Terik matahari terasa menyengat. 
Beruntung sesekali angin bertiup semilir, membuat 
suasana agak terasa sejuk. Apalagi jika berada di 
bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa 
ngantuk. 
Hutan Kawi-kawi yang berada di sebelah barat 
Pegunungan Punakawan juga tertimpa teriknya 
mentari siang itu. Sebatang pohon beringin yang 
sangat rindang, tumbuh di tepi Hutan Kawi-kawi. Di 
bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda 
tampan, berpakaian rompi kulit ular. 
Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila, 
siang itu tampaknya tengah menikmati semilirnya 
angin yang sejuk sambil menyuarakan tiupan merdu 
Suling Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu pujaan 
pada alam yang ada di sekitarnya. 
Semilir angin terus mengimbangi suasana teriknya 
mentari yang semakin menggarang. Sementara itu 
dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok 
bayangan merah berlari dengan cepat. Bayangan 
merah itu melintas sekitar dua batang tombak 
jauhnya di sebelah kiri Sena. Seketika sosok 
bayangan merah itu berhenti ketika matanya melihat 
Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya. 
Bayangan merah itu tak lain Serigala Merah. Lelaki 
berbadan tinggi tegap dengan senjata sepasang golok 
besar itu mengerutkan kening dan menghampiri 
Pendekar Gila. 
“O, rupanya kita bertemu lagi, Sena. Apa kabar?” 
sapanya ramah sambil melangkah mendekat. Setelah 
dekat, Serigala Merah menjura hormat. 
Sena yang tengah meniup sulingnya, segera 
menghentikan tiupannya, ketika melihat Serigala 
Merah menjura. Dia segera bangun dari duduknya, 
kemudian balas menjura pada Serigala Merah. 
“Aha, ada apa gerangan sampai kau berlari-lari 
seperti itu, Serigala Merah?” tanya Sena sambil 
menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. 
Serigala Merah tidak segera menjawab. Keningnya 
berkerut dan matanya menatap heran pada Pendekar 
Gila. 
“Apakah kau belum mendengar tentang 
sayembara berhadiah besar, Sena?” 
“Ah ah ah...! Rupanya ada sayembara lagi,” gumam 
Sena sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepala.  
“Benar. Kali ini hadiahnya sangat menarik, Sena.” 
“Benarkah?” 
“Ya!” sahut Serigala Merah. 
“Aha, kalau boleh aku tahu, hadiah macam apakah 
yang dijanjikan? Dan sayembara macam apa yang 
tengah dilaksanakan itu?” tanya Sena sambil 
cengengesan. Pandangannya menyapu ke sekeliling 
pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak ke 
langit, yang nampak biru dan bersih tak bernoda. 
Dari arah utara, nampak sekawanan burung 
pemakan bangkai berkaok keras membelah angkasa 
bim. Burung-burung itu terbang mengepakkan 
sayapnya ke selatan, sepertinya di sana ada makanan 
yang sangat memuaskan. 
“Kau tertarik, Sena?” Serigala Merah balik tanya. 
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. 
Kemudian dengan cengengesan kepalanya 
mengangguk, walau sebenarnya bukan karena hadiah 
yang inginkan. Dia hanya ingin tahu sayembara 
macam apa yang diceritakan Serigala Merah. 
“Ah, dari tadi tidak kulihat Bidadari Pencabut 
Nyawa. Ke manakah...?” tanya Serigala Merah. 
Matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu, tapi dia 
tidak juga menemukan Mei Lie. “Bukankah Bidadari 
Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?” 
Sena tertawa terbahak-bahak. Tingkah laku yang 
seperti kera kembali muncul. Berjingkrak sambil 
menggaruk kepala dan menepuk-nepuk pantat 
“Aha, rupanya pandanganmu cermat sekali, Srigala 
Merah!” ujarnya bergumam. “Dia memang tidak ikut” 
“Hm, kenapa? Apakah dia sakit?” tanya Serigala 
Merah. 
“Ah, tidak. Aku ingin berjalan seorang diri 
sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan kita jadi 
melantur, Serigala Merah?” sahut Sena. 
“Ah, benar. Apa yang tadi kau tanyakan padaku...?” 
tanya Serigala Merah. 
“Mengenai sayembara dan hadiahnya,” jawab 
Pendekar Gila. “Ah, mengapa kau jadi pikun begitu 
Serigala Merah? Hi hi hi...! Lucu, kau lebih tepat 
menjadi Serigala Pikun dan Tua.” 
Serigala Merah yang sudah tahu tabiat dan watak 
Pendekar Gila malah tertawa mendengar ejekan 
Pendekar Gila barusan. 
“Ya ya, kau benar, Sena. Memang lebih pantas 
kalau julukanku Serigala Tua Pikun. Ha ha ha...!” 
Seketika tepian Hutan Kawi-kawi yang semula sepi 
menjadi riuh oleh suara gelak tawa dari keduanya. 
Sampai-sampai burung yang sedang bertengger di 
ranting-ranting pohon beterbangan, karena kaget. 
“Ah, jangan terlalu bertele-tele, Serigala Tua! Hi hi 
hi...! Ayo, katakanlah sayembara macam apa dan apa 
hadiahnya?” tanya Pendekar Gila setelah tawanya 
berhenti. 
Serigala Merah tersenyum. Kemudian segera 
menceritakan semua yang didengar dan dibacanya 
pada selebaran yang dipasang di beberapa tempat. 
Selebaran yang dikeluarkan oleh Saudagar Sumantri 
itu berisikan tentang sayembara besar dengan hadiah 
yang sangat menggiurkan. 
“Saudagar Sumantri menawarkan pada semua 
pendekar baik dari aliran putih maupun hitam hadiah 
yang cukup besar. Dia memberikan separo harta 
kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah 
sakti yang ada di Pulau Karang Api,” tutur Serigala 
Merah mengakhiri ceritanya.  
“Aha, sebuah berita yang menarik!” seru Sena.  
“Kau tertarik, Sena?” 
“Tertarik! Ah... ya ya! Aku tertarik. Tapi aku tidak 
suka dengan hadiahnya. Aku hanya tertarik ingin tahu 
kebenaran berita tentang bocah sakti itu,” jawab 
Sena.  
“Bagaimana kalau kita ke sana?” ajak Serigala 
Merah. 
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala, seperti merasakan sesuatu. 
“Ah, kurasa aku belum ingin ke sana, Serigala 
Merah. Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah! Nanti 
jika aku telah berpikir ke sana, aku akan segera 
menyusulmu. Di mana kau berada nanti?” tanya Sena 
“Entah. Tapi mungkin aku akan berada di daerah 
terdekat dengan tempat bocah sakti itu berada.” 
Setelah saling menjura, Serigala Merah segera 
meninggalkan tepian Hutan Kawi-kawi, berlari ke arah 
tenggara menuju tempat yang tadi dikatakannya. 
Pendekar Gila nampak masih berdiri di bawah 
pohon beringin yang rindang. Wajahnya nampak 
nyengir, memandang ke angkasa. Matahari bersinar 
dengan teriknya, seperti hendak memanggang bumi. 
“Aha, mengapa aku diam di sini?” gumam Sena 
mengalihkan pandangannya ke selatan. Di sana 
tampak Gunung Petruk menjulang tinggi. Sena masih 
pikir-pikir, hendak ke arah manakah kakinya berjalan. 
Apakah hendak berjalan ke arah tenggara menyusul 
Serigala Merah? Atau hendak ke selatan, ke Gunung 
Petruk? 
Belum juga Sena sempat menentukan tujuan 
nampak dari arah barat tiga orang lelaki berjalan 
menuju arahnya. Tiga lelaki berpakaian kuning itu 
tampak berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada 
sesuatu yang mendorong mereka mempercepat 
langkah. 
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, melihat 
ketiga lelaki berpakaian kuning itu. Apalagi ketika 
tahu kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan 
orang-orang sesat. 
“Hm, ada apa kiranya? Nampaknya Tri Pakit 
Palimping juga hendak menuju ke arah yang tadi 
dituju Serigala Merah,” gumam Sena. 
Apa yang diduganya benar juga. Tri Pakit 
Palimpingkini dengan terburu-buru dan mempercepat 
langkah kaki mereka setelah melihat Pendekar Gila 
berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki 
berpakaian kuning itu tampak segan jika bertemu 
dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka 
bergegas meninggalkan tempat itu dengan setengah 
berlari. 
Sena tertawa-tawa menyaksikan ketiganya yang 
tampak segan padanya. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan bibir masih tersenyum-senyum. 
“Sebaiknya aku ke sana, agar bisa melihat apa 
yang terjadi...,” kata Sena. Kemudian dia pun 
melangkah meninggalkan tempat itu, menuju arah 
tenggara menyusul Serigala Merah dan Tri Pakit 
Palimping. 
Angin siang berhembus perlahan, menambah rasa 
kantuk semakin menyekat. Gemerisik daun kering 
terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu 
beterbangan, dihembus angin yang cukup kencang. 
Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok akhirnya 
terdengar. Keduanya dikabarkan telah binasa di 
Lembah Akherat. Hal itu cukup mengejutkan para 
pendekar yang hendak menuju ke lembah tersebut. 
Mereka kini berpikir lagi. Sepertinya mereka tidak 
ingin mengalami nasib yang dialami Dewa-Dewi Paras 
Elok. 
Di sebuah kedai yang terletak di sebelah barat 
Desa Kalimas, nampak berkumpul para pendekar, 
baik dari aliran lurus maupun sesat. Kedai itu cukup 
besar, sekitar sepuluh tombak di samping kedai itu, 
ada sebuah penginapan yang cukup luas. Sehingga 
bagi mereka yang hendak menginap, tinggal berjalan 
beberapa langkah saja. Beberapa orang pendekar 
pun telah berada di penginapan itu. 
Di kedai itu, nampak Serigala Merah, Tujuh Iblis 
dari Sarang Hantu, Nyi Rawit Abang dan Ki Braga 
Kumba, Tri Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar 
lainnya. 
“Kurasa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-
sendiri,” kata Serigala Merah. 
“Memang benar,” sahut Nyi Rawit Abang. “Kurasa 
kita harus bersatu untuk mendapatkan Bocah Sakti 
itu.” 
“Tidak bisa!” bantah lelaki berbadan besar dengan 
kepala botak di atasnya. Dia salah seorang dari Tiga 
Pakit Palimping. “Kami bertiga, mengapa harus takut 
menghadapi Penghuni Pulau Karang Api?” 
“Aha, benar juga katamu, Kisanak. Kami bertujuh 
mengapa mesti takut pada penghuni Pulau Karang 
Api?” timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia 
adalah salah satu anggota Tujuh Iblis dari Sarang 
Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu memang memakai 
pakaian berbeda. 
Orang pertama yang tadi berbicara bernama 
Sadra. Berbadan tegap dengan wajah bengis dihiasi 
cambang bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak 
terlalu panjang. Hidungnya besar dengan mata lebar. 
Orang kedua yang memakai pakaian merah muda 
bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi, gagah, dan 
tegap, hidungnya kecil, namun tidak mancung. 
Rambutnya lurus dengan ikat kepala merah muda. 
Begitu juga dengan yang lainnya, memiliki ciri 
tersendiri dengan keadaan yang lain. Namun watak 
mereka sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang 
datang dari sarang hantu. 
Serigala Merah mendengus, begitu juga dengan Ki 
Rawit Abang serta Ki Braga Kumba. Kemudian 
setelah membayar semua yang dia pesan, Serigala 
Merah pun meninggalkan kedai untuk meneruskan 
perjalanannya menuju Lembah Akherat yang sudah 
tak begitu jauh dari Desa Kalimas. 
Panas matahari memanggang bumi, namun 
Serigala Merah bagaikan tidak menghiraukannya. 
Kakinya terus melangkah di jalan berdebu yang 
menghubungkan Desa Kalimas dengan Lembah 
Akherat. 
“Huh! Jauh juga jarak Desa Kalimas dengan 
Lembah Akherat,” dengus Serigala Merah sambil 
menyeka keringat yang bercucuran karena terik 
matahari yang menyengat. 
Serigala Merah sesaat menghentikan langkahnya. 
Matanya menatap ke sekelilingnya yang sepi. Hanya 
hamparan tanah kering berpasir yang tampak 
sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul 
ke udara. 
“Hm, mengapa aku harus lewat dari arah sini?” 
keluh Serigala Merah, merasa bahwa jalan yang 
dilaluinya ternyata salah. Kini dia harus mengarungi 
hamparan pasir yang sangat panas, apalagi dengan 
teriknya matahari siang. 
Beberapa kali disekanya keringat yang terus 
mengalir di dahi, leher dan wajahnya, sambil terus 
melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin 
putus asa dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia 
harus mendapatkan kemenangan dalam sayembara 
itu. Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang 
kaya. 
“Seandainya aku dapat memenangkan sayembara 
itu, aku akan menjadi orang kaya. Hhh..., akan 
kubangun rumah yang megah untuk hidupku yang 
telah lelah ini. Akan kucari istri yang cantik lalu aku 
dapat hidup tenang...,” ujar Serigala Merah saja terus 
membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah 
memenangkan sayembara. 
Serigala Merah memang telah merasa jenuh hidup 
mengembara menjadi pendekar. Tak pernah ada 
urusan duniawi yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat 
sekali dapat menikmati sisa hidupnya dalam 
ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga, dapat 
bersanding bersama istri yang cantik, dengan rumah 
yang megah dan mewah. 
“Persetan dengan apa yang akan dikatakan 
pendekar lain dan orang-orang rimba persilatan,” 
gumam Serigala Merah yang merasa selama ini 
pengembaraannya tak ada artinya. Pertarungan demi 
pertarungan telah dialami. Itu pula yang menyebab-
kan dirinya merasa jemu dengan pengembaraan. Dia 
ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan 
berkecukupan. Dan itu pula yang menjadikan dia 
selama ini senantiasa berusaha mencari sayembara 
(Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial 
Pendekar Gila dalam episode “Tengkorak Darah”). 
Bayangan dapat hidup tenang sebagai orang kaya 
itulah yang seketika memacu semangatnya. Semula 
hatinya mulai lemah dan hampir putus asa akibat 
rasa panas yang menyengat. Kini kembali bergairah. 
Langkah-langkahnya yang tadi pendek, kini panjang-
panjang dan lebih cepat. Hatinya berharap segera 
sampai di tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa 
yang dibayangkan. 
“Ha ha ha! Serigala Merah akan menjadi orang 
kaya...!” seru Serigala Merah sambil tertawa-tawa. 
Kakinya terus melangkah penuh semangat, 
menyelusuri jalanan berpasir yang panasnya terasa 
sangat menyengat. Namun Serigala Merah tidak 
peduli, terus melangkah tanpa mengenal lelah. 
Ketika matahari agak condong ke arah barat, 
Serigala Merah sampai di tempat yang dituju. Lembah 
Akherat yang membentang luas telah ada di 
hadapannya. 
“Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat yang 
kutuju. Hm, tentunya danau itulah yang dimaksud 
Danau Sambak Neraka...,” gumam Serigala Merah 
berbicara pada diri sendiri. 
Serigala Merah kembali melangkah dengan penuh 
semangat, berusaha mencapai Danau Sambak 
Neraka. Namun tiba-tiba matanya terbelalak ketika 
melihat dua ekor naga berwarna merah. Naga itu 
secara tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak 
matanya merah laksana api yang membara. 
“Ghrrrmh...! Ghrrrmh...!” 
Suara menggelegar terdengar dari mulut kedua 
naga berwarna merah itu. 
“Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?!” tanya 
Serigala Merah dengan mata membelalak, menyaksi-
kan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua 
ekor naga berwarna merah membara laksana 
diselimuti api. Kini naga itu memandang ke arahnya 
dengan tajam. 
“Ghrrrrrh...! Ghrrrrrrh...!'' 
Kedua naga itu menggeliat-geliat seperti 
menampakkan kemarahan. Kepalanya bergerak ke 
sana ke mari seperti berusaha mengusir Serigala 
Merah dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api 
yang terasa sangat panas. 
“Ghrrrmh...!” 
Slarts...! 
“Hah?! Ular setan...!” maki Serigala Merah sambil 
melompat mengelakkan hantaman sinar yang keluar 
dari kedua naga itu.  
Blarrr...! 
Ledakan dahsyat menggelegar seketika terdengar, 
ketika sinar merah yang keluar dari mulut kedua naga 
itu menghantam tanah berpasir. Seketika pasir 
berhamburan, membubung tinggi sampai sekitar lima 
puluh tombak tingginya. 
“Astaga...! Sinar itu bukan sembarangan!” gumam 
Serigala Merah dengan mata membelalak. Tangannya 
yang semula bersidekap segera menarik sepasang 
golok, kemudian dengan cepat disilangkan di depan 
dada ketika sinar merah kembali melesat dari mulut 
kedua naga itu. 
“Ghrrrmh...!” 
Slarts! Slarts! 
Dua larik sinar merah menyembur dari mulut naga 
yang tampak murka itu.  
“Heaaa...!”  
Wut! Trang...! 
Terdengar suara benturan yang sangat keras, 
diikuti oleh pekikan kaget Serigala Merah. Sinar 
merah yang meluncur cepat ke arahnya membentur 
goloknya. 
“Akh...!” 
Serigala Merah segera melepas goloknya yang 
membara merah bagai terbakar api. Seketika tangan-
nya dirasakan begitu panas, bahkan seperti melepuh. 
Rasa panas itu juga dirasakan di seluruh tubuhnya.  
“Edan! Binatang sinting!” maki Serigala Merah 
dengan mata melotot garang. “Kalian harus kuhajar 
Heaaat...!” 
Serigala Merah segera mengangkat kedua 
tangannya tinggi-tinggi. Kemudian disilangkan di atas 
kepala dengan telapak tangan membuka. Setelah itu, 
kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas 
dalam dalam. Lalu.... 
“'Brajamukti'! Heaaa...!” 
Dengan mengeluarkan suara keras, Serigala 
Merah segera menghantamkan pukulan saktinya 
yang bernama  'Brajamukti'.   Kedua telapak tangan-
nya menghentak keras ke arah kedua naga yang 
tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau 
Sambak Neraka. 
Wut...! 
Putaran api yang bergerigi-gerigi melesat dari 
pukulan dahsyat Serigala Merah. Putaran api itu 
melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya 
kedua naga itu mengerti. Sebelum kedua gulungan 
sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua 
binatang itu menyelam ke dalam air. Hal itu 
menjadikan sinar merah bergulung melesat ke Pulau 
Karang Api, membentur bagian pulau itu. 
Glarrr...! 
Sisi sebelah timur Pulau Karang Api runtuh, 
terkena hantaman aji 'Brajamukti' yang dilancarkan 
Serigala Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau 
Karang Api yang belum diketahui siapa adanya, 
marah dan dengan gusar terdengar suaranya 
membentak. 
“Kurang ajar! Ada manusia yang mencari mati 
rupanya! Terimalah kematianmu...!” 
Sesaat setelah ucapan itu selesai, dari Pulau 
Karang Api berhembus angin bergulung-gulung ke 
arah Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu 
tersentak kaget. Baru kali ini dilihatnya sesuatu yang 
mengerikkan. Angin membadai itu, tiba-tiba datang 
dari balik Pulau Karang Api. 
'“Inti Bayu'...!” pekik Serigala Merah ketika 
mengenali ilmu yang kini mengarah ke arahnya. 
“Hei?! Bukankah itu ilmu Pendekar Gila?” 
Serigala Merah tertegun tak mengerti dengan 
semua kejadian di tempat itu. Hatinya benar-benar 
heran, mengapa ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila 
kini datang dari Pulau Karang Api. 
Wusss...! 
“Heaaa...!” 
Dengan teriakan keras, Serigala Merah bersalto 
mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh entah 
siapa berupa angin membadai. 
“Tidak mungkin! Ilmu ini milik Pendekar Gila,” 
gumamnya terheran-heran. 
Merasa serangan pertama gagal, sesuatu yang 
berada di balik Pulau Karang Api kembali melakukan 
serangan dengan ajian lainnya Serigala Merah 
kembali terkejut. Ajian yang kini keluar dan 
menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan 
dikenalnya pula. 
“Inti Brahma'...?!” Serigala Merah terpekik kaget, 
setelah tahu pukulan yang kini menyerangnya. Tubuh-
nya dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara 
api yang membara. 
“Pendekar Gila yang menyerangku?” 
Serigala Merah berusaha bertahan dari serangan 
hawa panas yang menyengat. Hawa panas itu 
ditimbulkan oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah 
siapa pelakunya. Serigala Merah menyangka kalau 

Pendekar Gila pelaku semuanya. 
“Tobat, Sena! Jangan kau lakukan ini...!” ratap 
Serigala Merah merasakan siksaan yang tak ter-
bendung. Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas 
bara api yang membara. Terasa begitu panas, 
melebihi panas matahari yang siang tadi 
memanggangnya. Malah jauh lebih panas. Sampai-
sampai tubuhnya terasa mulai melepuh. 
Belum juga hawa panas itu menghilang, seketika 
dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar 
laksana cambuk meluncur ke arah Serigala Merah. 
Wuuut...! 
Clat! 
“Tobaaat...!” Serigala Merah melolong tinggi. 
Tubuhnya sesaat mengejang, kemudian ambruk 
dengan tubuh gosong. Di dadanya terdapat luka-luka 
bagai digores pedang. Puluhan jarum beracun 
menancap di wajah dan dadanya. Sungguh tragis 
kematian Serigala Merah. Harapannya untuk menjadi 
orang kaya melayang bersama nyawanya. 
Senja yang cerah tampak begitu indah menyelimuti 
suasana di sekitar Danau Sambak Neraka. Suasana 
itu sangat berbeda dengan keadaan nasib yang 
diterima Serigala Merah. Baru saja benaknya di-
penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya 
tewas mengenaskan di Lembah Akherat. Matahari 
seperti tidak menghiraukan kejadian itu, terus 
menyusup di dua gumpalan awan putih di sebelah 
barat. Senja pun semakin tua mengantar kepergian 
nyawa Serigala Merah.  
***