5
“Bagaimana kabar para pendekar yang mengikuti
sayembaraku...?” tanya Sumantri pada keempat anak
buahnya yang saat itu tengah menghadapnya.
“Nampaknya mereka mengalami kesulitan, Tuan,”
“Hm...,” gumam Sumantri tak jelas.
Nampaknya lelaki berusia tiga puluh lima tahun ini
merasa prihatin mendengar kegagalan para pendekar
yang mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin
bertanya-tanya, siapa sebenarnya bocah bersisik dan
penghuni Pulau Karang Api yang berada di tengah
Danau Sambak Neraka.
“Kabar terakhir yang kami dengar, Tri Pakit
Palimping juga didapatkan telah tewas dengan
keadaan yang sama dengan korban-korban sebelum-
nya,” sambung Sugatra sambil menggeleng-geleng-
kan kepala.
“Sepertinya, mereka mati oleh cambuk berapi dan
puluhan jarum-jarum beracun,” tambah Sugatri.
Sumantri menghela napas panjang, mendengar
penuturan tangan kanannya. Dia semakin tidak habis
pikir, siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik
dan juga siapa penghuni Pulau Karang Api yang
memiliki ilmu kesaktian tinggi itu?
“Apakah belum ada yang mampu menundukkan
penghuni Pulau Karang Api...?” tanya Sumantri.
“Kami rasa belum, Tuan,” jawab Jalna Kumilang.
“Hm...,” gumam Sumantri sambil bertopang dagu
dengan jari-jari tangan kanannya. Matanya me-
mandang lepas ke pintu rumahnya. Di sana empat
orang penjaga lengkap dengan senjata tombak
berada.
Sumantri berdiri dari duduknya, kemudian
melangkah menuju ke pintu. Dihelanya napas
panjang-panjang, kemudian dengan tubuh mem-
belakangi keempat anak buahnya dia mendesah
gelisah.
“Selama ini, aku belum juga mengerti. Ke mana
hilangnya Anjasmara dan Sambi? Mereka bagaikan
ditelan bumi,” gumam Sumantri lirih. Kemudian
perlahan membalikkan tubuh, memandang keempat
anak buahnya.
“Apa Tuan yakin mereka masih hidup?” tanya Iblis
Selendang Ungu.
“Entahlah. Mungkin mereka masih hidup,”
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Sesaat
ucapannya berhenti. “Menurut cerita, siapa pun yang
datang ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau
mati mengapa tak ada bangkainya...?”
Keempat anak buah juragan kaya itu terdiam.
Mereka tampaknya turut berpikir mengenai pendapat
Sumantri. Memang rasanya aneh kalau orang mati
selama puluhan tahun belum juga ditemukan
kerangkanya.
“Apakah tidak mungkin mereka memiliki ilmu
menghilang?” tanya Iblis Selendang Ungu memecah
kesunyian.
“Ilmu menghilang? Dari mana mereka mendapat-
kannya? Guru kami tak pernah mengajari ilmu itu.
Lagi pula, ilmu itu hanya berguna sebentar. Tidak ada
orang yang menggunakan ilmu menghilang sampai
puluhan tahun?” tanya Sumantri sambil tersenyum
kecut.
Kembali semuanya terdiam, tak ada yang dapat
menjawab kemisteriusan semua perisriwa yang
terjadi. Baik penghuni Pulau Karang Api, maupun
lenyapnya suami istri Anjasmara dan Sambi yang
belum diketahui bagaimana nasib mereka sebenar-
nya.
“Coba kalian pikir!” tiba-tiba Sumantri angkat
bicara setelah lama terdiam. Hal itu membuat
keempat anak buahnya tersentak. “Aku punya
pendapat mungkin bocah itu anak Anjasmara dan
Sambi.”
Seketika keempat anak buahnya tersentak kaget.
Mata mereka terbelalak mendengar penuturan
Sumantri. Kemudian keempatnya saling ber-
pandangan.
“Bagaimana mungkin, Tuan?” Tanya Jalna
Kumilang merasa heran dan tak mengerti.
“Ya! Bagaimana mungkin manusia bisa punya
turunan bocah ular?” sambung Sugatra.
Sumantri tersenyum kecut.
“Aku baru ingat sekarang. Mereka pasti mendapat
kutuk penghuni Pulau Karang Api. Puluhan tahun
lamanya, tak seorang manusia pun yang berani ke
tempat itu. Tiba-tiba muncul sepasang suami istri,
kedua adik seperguruanku itu,” jawab Sumantri, yang
semakin menyentakkan semua anak buahnya. Kini
mereka baru tahu, kalau Pulau Karang Api bukanlah
pulau sembarangan.
“Jadi, siapa pun yang ke Lembah Akherat akan
mengalami kematian. Begitu...?” tanya Jalna
Kumilang menegaskan maksud Sumantri.
“Benar! Mereka telah menjadi mangsa penunggu
danau keramat itu!” sahut Sumantri.
“Lalu mengapa Tuan membuat sayembara?”
“Hua ha ha...! Kau cerdas juga, Jalna. Sebenarnya
aku ingin menjadi orang yang paling sakti dan nomor
satu di rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin
meyakinkan kalau Anjasmara dan Sambi telah tewas.
Sejak aku pergi ke Lembah Akherat, aku sudah
menduga bahwa tak ada seorang pun yang sanggup
datang ke tempat itu....”
“Ada...!”
Tiba-tiba dari luar terdengar sahutan keras, diikuti
oleh tawa menggelegar yang disertai pengerahan
tenaga dalam. Tidak begitu lama kemudian,
berkelebat masuk sesosok tubuh pemuda tampan
berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari
kulit ular. Tingkah laku pemuda itu seperti orang gila,
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Baik
Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak
kaget bukan kepalang.
“He he he...! Mengapa mesti berputus asa? Tidak
baik manusia cepat putus asa,” ujar pemuda tampan
yang ternyata Pendekar Gila.
Sumantri dan keempat anak buahnya mengerut-
kan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda yang
baru datang itu. Tingkah lakunya persis orang gila.
“Siapakah kau, Kisanak?” tanya Sumantri.
“Aha, lucu sekali. Mengapa mesti bertanya siapa
diriku? Yang pasti, aku akan ke Lembah Akherat yang
kau katakan tadi, Ki.”
“Jadi kau ingin mengikuti sayembara?” tanya
Sumantri.
“Sayembara...? Ha ha ha...! Lucu sekali
omonganmu. Kurasa aku tidak ikut sayembaramu,”
jawab Sena seenaknya, membuat semua orang yang
ada di tempat itu semakin mengerutkan keningnya.
Agak marah juga mereka mendengar perkataan Sena
dan tingkah lakunya yang persis orang gila.
“Bocah edan! Kalau tidak ikut sayembara, untuk
apa kau datang kemari?!” bentak Sumantri gusar.
“Aha, mengapa mesti marah? Tidak bolehkah aku
ikut ngobrol bersama kalian?” tanya Sena masih
dengan ucapan seenaknya. Kemudian dengan acuh
kakinya melangkah ke kursi yang tadi diduduki
Sumantri, dan langsung duduk di sana.
“Bocah edan! Jangan sembarangan kau di sini. Ini
bukan tempat nenek moyangmu! Pergi dari sini!”
dengus Jalna Kumilang seraya menyambarkan
tangannya ke kepala Pendekar Gila.
Wut!
“Uts! Galak sekali kau, Ki! Eh, meleset! He he...!”
ujar Sena sambil merundukkan kepala sehingga
serangan lelaki setengah baya itu melesat beberapa
jari di atas kepalanya.
Merasa serangannya gagal, Jalna Kumilang ber-
tambah marah. Dia hendak kembali menyerang,
tapi....
“Tunggu....!” ujar Sumantri, mencegah tindakan
Jalna Kumilang.
“Tuan, biar kuhajar bocah gila ini!” dengus Jalna
Kumilang marah dan malu, karena serangannya yang
menjadi andalan jurus silatnya dengan mudah
dielakkan lawan.
“Sabar, Ki,” kata Sumantri seraya melangkah men-
dekati Sena. “Anak muda, katakan... siapa sebenar-
nya dirimu! Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini
tanpa permisi?”
“Permisi? Ha ha ha...! Untuk apa permisi? Kalian
saja kalau berbuat sesuatu tanpa permisi. Lucu
sekali…”
Semakin bertambah berang saja keempat anak
buah Sumantri mendengar ucapan pemuda yang
konyol itu. Mata mereka membelalak penuh amarah.
“Bocah edan ini memang harus dihajar, Tuan!”
kata Sugatra yang nampaknya sudah muak dengan
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
“Sabar, Sugatra!” cegah Sumantri. “Anak muda,
apa maksud kata-katamu?” tanyanya pada Sena.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, masih juga kalian lupa? Kalian telah
mengadakan sayembara tanpa mengundang orang-
orang persilatan untuk berembuk. Juga kalian tidak
mengundang pihak Kadipaten Lumajang dan
Kerajaan Pahulu.”
Terbelalak mata Sumantri dan keempat anak
buahnya. Mereka semakin bertambah marah dan
begitu tersinggung dengan ucapan pemuda yang
bertingkah laku gila itu.
“Bocah gila! Apa urusanmu?” bentak Sumantri
yang semakin gusar. “Kalau kau mau ikut sayembara-
ku, tak perlu banyak tanya. Ikuti saja! Kalau kau
menang, dan dapat mengambil bocah bersisik ular,
kau akan kuberi hadiah separo hartaku!”
“Aha, tawaran yang sangat menggiurkan. Hm....
Baiklah. Aku hendak mengikuti sayembaramu. Nah,
kini katakan, ke mana aku harus pergi agar sampai di
tempat yang kau maksudkan,” kata Sena sambil
masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
“Berjalanlah lurus ke arah selatan. Kira-kira
setengah hari perjalanan, kau akan sampai,” kata
Sumantri menjelaskan, berusaha menahan amarah
atas tingkah laku pemuda yang seperti orang gila itu.
“Aha, terima kasih. Sediakan hadiahnya, aku akan
segera kembali kemari!” ujar Sena seenaknya.
Tentu saja tingkah pemuda itu membuat kaget
keempat anak buah Sumantri. Mata mereka langsung
melotot. Namun Sumantri segera mengangkat tangan
memerintah agar mereka tidak keburu nafsu.
Kemudian didekatinya Jalna Kumilang sambil ber-
bisik.
“Biarkan saja pemuda edan ini mati di sana.
Bukankah dengan begitu kita tidak perlu turun
tangan?”
Sumantri tertawa terbahak-bahak. Begitu juga
Jalna Kumilang dan lainnya setelah mendengar
bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam
mendengar bisikan Sumantri, turut tertawa tergelak-
gelak. Hal itu membuat semuanya tersentak dan
diam. Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila
mendengar bisik-bisik mereka. Pendengaran Sena
yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam
Rungu'nya tentu saja dapat mendengar suara sekecil
apa pun jika menggunakan ilmu itu.
“Kenapa diam? Ha ha ha...! Enak sekali tertawa di
malam hari begini, Kisanak. Ayo, kita tertawa, ha
ha...!” kata Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kini berjingkrak-jingkrak tidak ubahnya
seperti seekor kera yang kegirangan.
Kelima orang yang ada di tempat itu semakin
membelalakkan mata, menyaksikan tingkah laku
Pendekar Gila yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-
nya.
“Aha, kenapa kalian seperti patung? Hi hi hi...!
Ayolah, kita senang-senang merayakan kemenangan-
ku!” katanya dengan tingkah laku konyol. Tubuhnya
berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet
***
Melihat kelima lelaki itu masih terdiam, tawa
Pendekar Gila semakin keras dan tergelak-gelak.
Tingkah lakunya semakin bertambah konyol,
dianggapnya ruangan rumah Sumantri sebagai arena
untuk tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak.
“He he he...! Lucu sekali kalian. Jika begitu, kalian
mirip dengan patung-patung bloon. Ha ha ha...!”
“Kurang ajar!” maki Sugatra. “Bocah sinting ini
tidak bisa didiamkan, Tuan!”
“Ya! Bisa-bisa kurang ajar!” tambah Sugatri.
“Hm...,” Sumantri bergumam lirih. Matanya tak
lepas memandangi pemuda bertingkah gila di
hadapannya yang masih berjingkrakan sambil
tertawa-tawa.
Hal serupa juga dilakukan Iblis Selendang Ungu.
Gadis cantik yang sifarnya buruk itu, pandangan
matanya tak lepas menatap Pendekar Gila. Kening-
nya berkerut, rasa kesal dan tertarik pada
ketampanan serta tingkah laku pemuda itu beraduk
menjadi satu di dadanya.
Siapakah pemuda gila ini? Tanya Iblis Selendang
Ungu dalam hati. Matanya masih menatap tajam
pada Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil
berjingkrak-jingkrak.
Tingkah lakunya, mengingatkan aku pada
pendekar yang namanya sedang menjadi bahan
pembicaraan orang-orang rimba persilatan! Gumam
Suma dalam hati dengan mata tak lepas merayapi
tubuh Pendekar Gila. Mungkinkah pemuda ini
orangnya?
“Hua ha ha...! Kenapa kalian masih diam?
Bukankah kalian tadi mengajakku tertawa? Hi hi
hi...!” masih terus tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
kali tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu
menepuk-nepuk pantat.
“Anak muda, kami rasa tak ada salahnya sebelum
kau mengikuti sayembaraku, kita berkenalan lebih
dulu,” ujar Sumantri berusaha ramah sambil
mengulurkan tangannya ke arah Pendekar Gila.
Sena malah tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya tangan Sumantri
kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar
kaya itu. Lalu dengan mulut masih cengengesan,
dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak
Sumantri terbelalak kaget, karena jabatan tangan
Pendekar Gila begitu keras dan dialiri tenaga dalam
yang amat kuat.
“Aku Sena,” ujar Pendekar Gila cengengesan
melihat Sumantri meringis-ringis dengan mata
membelalak. Hal itu membuat keempat anak
buahnya semakin marah.
“Bocah edan! Rupanya kau ingin menunjukkan
kebolehanmu! Hadapi aku Jalna Kumilang!” bentak
Jalna Kumilang sambil bergerak menyerang Pendekar
Gila yang cengengesan.
Sementara Sumantri yang meringis-ringis,
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengimbangi tenaga lawan.
“Yeaaa...!”
Dengan jurus 'Landung Sangkul' Jalna Kumila
bergerak menusuk ke wajah Pendekar Gila.
“Heits! Galak sekali kau, Ki!”
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke belakang,
Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan Jalna
Kumilang. Kemudian dengan melepaskan tangannya
dari genggaman tangan Sumantri, Pendekar Gila
bergerak dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari,
bergerak maju dengan kaki yang terlihat pelan dan
aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna
Kumilang.
“Heaaa...!”
Tangan Pendekar Gila bergerak menepuk ke dada
lawan. Jalna Kumilang tersentak kaget dengan mata
terbelelak. Sungguh tidak disangkanya kalau tangan
pemuda itu bergerak begitu cepat. Padahal gerakan
Pendekar Gila tampak pelan dan lemah sekali.
“Celaka! Jurus siluman!” pekik Jalna Kumilang
dengan mata tegang, merasa gerakannya kini mati
langkah. Hampir saja tangan Pendekar Gila meng-
hantam dada Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah
pukulan yang keras menghadangnya.
“Heaaa..!”
Sebuah teriakan mengiringi serangan Sugatra.
Dan....
Plak!
“Ugkh...!”
Sugatra mengeluh. Dirasakan tangannya kesakitan
akibat benturan keras dengan Pendekar Gila. Dia
segera melompat dengan mulut menyeringai
kesakitan, memandang Sena yang tampak tengah
cengengesan menggaruk-garuk kepala, serta me-
nepuk pantat seperti kera.
Melihat tangan kakaknya terluka, Sugatri dengan
mendengus langsung merangsek Pendekar Gila.
Tidak tanggung-tanggung lagi, dia segera mencabut
senjatanya yang berupa golok mengeluarkan sinar
biru.
“Kuhancurkan kepalamu! Heaaa...!”
Wut! Wut!
Golok bersinar biru berkelebat membabat kepala
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena meng-
egoskan tubuh ke samping. Disertai tingkah lakunya
yang konyol seperti seekor kera. Sena bergerak
menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
Tubuhnya bergerak seperti melepas lilitan yang
mengikatnya, berputar ke kiri. Hal itu membuat jurus
'Gerak Kala Mengatup' yang dilancarkan Sugatri tak
menemui sasaran.
Setiap serangan datang, dengan cepat Pendekar
Gila bergerak menghindar. Tubuhnya berputar,
kemudian berbalik menyerang lawan dengan pukulan
dan tendangan. Meski sepinras gerakannya terlihat
lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang
dilakukannya mampu melebih kecepatan gerakan
lawan.
“Hiaaat..!”
Diiringi pekikan keras, Sugatri melompat cepat.
Hatinya semakin bernafsu menyerang Sena, karena
merasa serangan andalannya tidak berhasil. Meski-
pun Sugatri telah melancarkan serangan dengan
cepat. Kini dia mulai menambah kecepatan ber-
geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala
Merah Beracun'.
Wut! Wut...!
Golok di tangan Sugatri terus bergerak cepat
dengan tebasan dan sodokan ke bagian tubuh yang
mematikan lawan. Namun dengan mudah Pendekar
Gila mampu mengelakkan setiap serangan dengan
gerakan-gerakan yang tampak lamban.
“Uts! He he he...! Kurang cepat, Ki! Coba kau
terima ini!” sambil berkata begitu, dengan cepat
Pendekar Gila melayangkan jotosan ke wajah lawan-
nya.
“Hih...!”
Sugatri tersentak mendapatkan serangan yang
kelihatan lambat namun tahu-tahu berkelebat di
depannya. Sugatri berusaha mengelak, tapi rupanya
gerakan Pendekar Gila tak dapat diimbanginya.
Maka....
Bugkh!
“Wuaaa...!” pekik Sugatri. Tubuh lelaki berpakaian
merah itu terlontar ke belakang dan terbanting ke
meja tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah
seorang dari Sepasang Kera Bergolok Biru itu melorot
keras, kemudian jatuh menimpa kursi sampai
berantakan.
Semakin bertambah marah semuanya melihat
tingkah laku pemuda bertampang gila yang telah
mampu mempecundangi Sugatri, bahkan membuat-
nya terluka
“Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin
merasakan pukulanku!” dengus Jalna Kumilang
marah. “Tuan, izinkan aku menghajar bocah sombong
ini!”
“Sombong...? Hi hi hi...! Kalianlah yang sombong,
ada pesta tidak mengundang-undang aku,” sahut
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
“Huh! Dasar bocah gila! Rupanya kau harus
dihajar!” maki Jalna Kumilang. Wajahnya membara
oleh amarah. Namun karena Sumantri nampaknya
belum mengizinkan, Jalna Kumilang masih berusaha
menahan kesabaran.
“Sabar, Ki!” kata Sumantri. Didekatinya Jalna
Kumilang, kemudian dengan berbisik Sumantri
mengatakan sesuatu pada lelaki setengah baya itu.
“Kalian tak akan mampu menghadapinya, Ki.”
“Kenapa?”
“Dia bukan pemuda gila sembarangan. Kurasa
dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir ini namanya
sedang membubung tinggi,” bisik Sumantri men-
jelaskan.
Terbelalak mata Jalna Kumilang setelah tahu siapa
pemuda bertampang dan bertingkah laku seperti
orang gila itu. Matanya memandang tak berkedip
pada Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang baru
menyadari siapa sesungguhnya pemuda tampan itu.
Sumantri dengan bibir masih tersenyum, me-
langkah mendekati Pendekar Gila.
“Tuan Pendekar, kami harap Tuan sudilah me-
maafkan kami!” kata Sumantri berusaha membujuk
Pendekar Gila agar tak meneruskan pertarungan itu.
Sumantri nampaknya menyadari, bagaimanapun dia
dan keempat anak buahnya tak mungkin mampu
mengalahkan pemuda yang bertingkah gila itu.
“Aha, kenapa tidak sejak tadi? Lucu sekali kalian,”
sahut Sena dengan tingkah laku yang tak luput dari
cengengesan dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
“Untuk itulah, kami minta maaf. Dan kalau
memang Tuan bermaksud mengikuti sayembara yang
ku adakan, silakan Tuan datang ke Lembah Akherat.
Kalau Tuan mampu menangkap bocah bersisik itu,
kami akan memberikan sebagian harta kami,” tutur
Sumantri.
“Aha, menyenangkan! Baiklah kalau memang
begitu, aku akan segera ke sana. Permisi...!”
Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera melesat
meninggalkan Sumantri dan keempat anak buahnya
yang masih menyimpan amarah.
“Jadi dia Pendekar Gila, Tuan?” tanya Iblis
Selendang Ungu.
“Ya! Percuma saja kita berurusan dengannya. Yang
pasti, kita harus mempersiapkan penyambutannya.
Cepat atau lambat, tentunya dia akan datang ke
tempat ini. Untuk itulah, kuharapkan kalian mencari
teman sebanyak mungkin guna menghadapinya!”
kata Sumantri.
“Apakah Tuan tak percaya kemampuan kami?”
tanya Sugatra merasa kurang senang.
“Bukan aku tak percaya pada kalian. Tapi
percayalah, guruku saja mungkin tak akan sanggup
menghadapinya. Dan aku sendiri besok akan
memanggil guruku,” ujar Sumantri meyakinkan.
Keempat anak uahnya itu akhirnya menerima juga
pendapat majikan mereka. “Hei, ke mana para
penjaga?!”
Mereka serentak keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Mata mereka membelalak, ketika menyaksi-
kan delapan penjaga dalam keadaan tertotok.
“Tentunya sebelum masuk Pendekar Gila telah
menotok mereka lebih dahulu,” gumam Sumantri.
“Pantas dari tadi mereka tak muncul!” sambung
Iblis Selendang Ungu.
Mereka segera bergerak membebaskan totokan di
tubuh delapan penjaga keamanan di rumah saudagar
kaya itu.
***
6
Pagi teramat dingin. Embun pun masih menempel di
dedaunan dan membasahi tanah. Mentari belum juga
muncul ke permukaan bumi. Hanya bias merah di
ufuk timur yang terlihat, pertanda kalau sang Raja
Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-burung
pun berkicau riang, seakan-akan hendak menikmati
indahnya suasana pagi.
Desa Kalimas yang merupakan desa terdekat
jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi itu masih sepi.
Belum ada seorang manusia pun yang keluar dari
rumahnya. Meskipun mungkin mereka sudah bangun.
Saat itu, tampak dua sosok manusia berjalan
menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka adalah
seorang lelaki dan perempuan berusia sekitar lima
puluh tahun. Kedua orang yang berpakaian hijau
muda merah itu tampak berjalan begitu intim
menembus suasana pagi yang dingin dan sunyi itu.
Yang wanita berambut diikat ke atas kepala,
dengan ujungnya terurai ke bawah. Bibirnya yang
keriput, menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi
Abang. Tubuhnya kecil dan tidak begitu tinggi,
kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-
kan. Itu sebabnya perempuan tua ini mendapat
julukan si Kijang Emas.
Sedang lelaki tua yang berjalan di sampingnya
berambut lurus tergerai. Tingginya lebih sekepala
dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-
nya tenang. Tubuhnya agak bungkuk, dengan jenggot
dan kumis menghias di wajahnya. Hidungnya
mancung, dan matanya agak menyipit. Dialah Ki
Braga Kumba.
Keduanya bermaksud berangkat ke Lembah
Akherat, atau tepatnya menuju Danau Sambak
Neraka. Keduanya seperti pendekar dan tokoh
persilatan lainnya, yang tertarik dengan kabar
mengenai munculnya bocah bersisik di Pulau Karang
Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah
mendapatkan bocah itu, untuk selanjutnya diserah-
kan pada Sumantri. Kedua, mereka juga ingin
membuktikan benar tidaknya kabar itu, serta ingin
tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Karang Api
yang selama ini belum seorang tokoh pun mampu
menjarah tempat itu.
“Masih jauhkah jarak yang harus kita tempuh, Ki?”
tanya Nyi Rawit Abang.
“Kurasa tidak, Nyi. Sebab kalau kita sudah
melewati Desa Kalimas, tinggal seperempat hari
dengan berjalan biasa, kita akan segera sampai,”
jawab Ki Braga Kumba berusaha menghibur hati
kekasihnya.
“Aku tak mengerti. Bagaimana mereka yang ke
Lembah Akherat benar-benar sampai ke akherat?
Mereka tidak pernah pulang,” gumam Nyi Rawit
Abang.
Ki Braga Kumba tersenyum kecut mendengar kata-
kata Nyi Rawit Abang. Keduanya memang bukan
suami istri, hanya merupakan sepasang kekasih.
Entah mengapa dari dulu mereka tidak juga menikah.
Mereka hanya menjalin hubungan kasih, sampai
keduanya sama-sama tua.
“Siapa sebenarnya penghuni Lembah Akherat?
Sampai-sampai tempat itu sangat ditakuti?” kembali
Nyi Rawit Abang bertanya, karena penasaran tentang
tempat keramat yang kini hendak mereka tuju.
“Mana aku tahu? Kalau tahu, sudah dari dulu ingin
ke tempat itu. Tentu penghuninya bukan
sembarangan. Buktinya tak seorang pun yang berani
datang ke tempat itu,” tutur Ki Braga Kumba.
“Hhh...,” Nyi Rawit Abang mendesah manja.
Matanya melotot nakal, menatap kekasihnya yang
hanya tersenyum cengengesan.
“Ngambek ya?” tanya Ki Braga Kumba.
“Huh!”
“Lho lho, kok marah?”
“Makanya, jelaskan!” sahut Nyi Rawit Abang
dengan suara manja.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum,
“Nampaknya kau semakin cantik jika merengut
begitu, Nyi.”
Kini Nyi Rawit Abang tersipu, mendengar rayuan
kekasihnya. Sifatnya yang seperti gadis belasan tahun
jelas masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu
genit jika disanjung sang Kekasih. Tingkah laku
keduanya memang sering nampak lucu, tidak
ubahnya sepasang remaja yang dimabuk asmara.
“Bisa saja kau, Ki.”
“Sungguh.”
Kembali Nyi Rawit Abang tersipu-sipu malu,
semakin bertambah keriput wajahnya. Tapi itulah
yang membuat Ki Braga Kumba semakin bertambah
senang. Buktinya hampir tiga puluh tahun mereka
menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah
terjadi perselisihan. Keduanya selalu intim. Di mana
ada Braga Kumba, di situ ada Nyi Rawit Abang.
Saking lengketnya, pasangan campuran dari
golongan hitam dan putih itu terkenal dengan
sebutan Pengantin Tua. Nyi Rawit Abang dari aliran
hitam, sedangkan Ki Braga Kumba berasal dari aliran
putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru
satu sama lain saling membantu.
Langkah mereka semakin mendekati tempat yang
dituju. Kini keduanya telah berada di luar batas Desa
Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang
menjadi pemisah antara Desa Kalimas dengan
wilayah Lembah Akherat
Mereka sedang melangkah memasuki Hutan Kawi-
kawi ketika tiba-tiba dikejutkan suara bentakan keras
yang disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah
mereka kenali.
“Berhenti...!”
“Tujuh Iblis dari Sarang Hantu! Ada apa kalian
menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Braga
Kumba dengan mata tajam menatap satu persatu
wajah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang rata-rata
memiliki sifat yang kasar dan bengis.
“Hm.... Apakah kalian lupa dengan kejadian dua
hari yang lalu di kedai?!” bentak Sadra, orang
pertama dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“He he he! Jelas kami ingat,” sahut Nyi Rawit
Abang. “Ada apa dengan kalian?”
“Jangan berpura-pura tak mengerti, Nyi! Jelas Kami
menghendaki nyawa kalian berdua! Kami tak ingin
kalian ikut campur dengan urusan ini!” tukas Saka
Gulu, orang kedua dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Kurang ajar!” dengus Ki Braga Kumba. “Kalian
kira kami dapat digertak oleh iblis-iblis cacingan
macam kalian, heh?!”
“Bedebah! Lancang mulutmu, Tua Bangka!
Kurobek mulutmu!”
Usai berkata begitu, Sadra menggerakkan tangan
kanannya, sebagai isyarat pada keenam rekannya
untuk menyerang.
“Heaaa...!”
Melihat kekasihnya diserang, Nyi Rawit Abang tak
tinggal diam. Sambil mendengus marah, ditariknya
Cambuk Rambut Seribu yang menjadi senjatanya.
Kemudian dengan jurus 'Lecutan Kilat Cambuk
Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang.
“Kalian rupanya mencari mampus! Berani meng-
hadang Pengantin Tua! Heaaa...!”
Ctar! Ctar! Ctar...!
Ribuan rambut di ujung cambuk bergerak
menyerang ke arah tujuh lawannya. Rambut-rambut
di ujung cambuk itu laksana hidup, meliuk-liuk ke
sana kemari memburu mangsa.
Mendapatkan serangan seperti itu, Tujuh Iblis
Sarang Hantu segera melompat ke belakang.
Kemudian setelah memberi isyarat, mereka segera
membentuk sebuah lingkaran memutari kedua
lawannya dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'.
Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bergerak
dalam bentuk lingkaran. Tangan mereka bergerak
menyerang ke arah kedua lawannya yang berada di
tengah-tengah lingkaran. Gerakan itu pun membuat
Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening meng-
hadapinya.
“Hhh...! Kita harus bisa menembusnya, Nyi!”
gumam Ki Braga Kumba.
“Ya! Mari kita gunakan jurus 'Badai Menyapu
Karang'.”
“Mari! Heaaa...!”
“Hiaaa...!”
Kedua tokoh tua itu segera mengeluarkan jurus
'Badai Menyapu Karang'. Gerakan tubuh keduanya
sangat cepat, menimbulkan angin yang keras.
Wusss...!
Melihat lawan berusaha mendobrak pertahanan,
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu segera mempercepat
gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus
'Putaran Kincir Menyapu Badai' mereka bergerak
begitu cepat. Tangan dan kaki mereka tidak tinggal
diam, bergerak memukul dan menendang ke arah
lawan.
“Heaaat...!”
“Hiaaa...!”
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi
gerakan mereka menyerang dengan cepat
Wut...!
Prak!
“Ugkh!”
Nyi Rawit Abang mengeluh, ketika tangannya
berbenturan dengan tangan beberapa orang dari
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami
oleh Ki Braga Kumba. Keduanya meringis merasakan
sakit akibat benturan tangan tadi.
Namun bukan hanya kedua orang itu yang
merasakan sakit linu akibat benturan yang terjadi.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu juga tersentak
dengan mata melotot, mendapatkan serangan
mereka berantakan. Tangan mereka dirasakan ngilu.
Mata menatap tajam pada Pengantin Tua yang juga
beberapa langkah terhuyung mundur. Kini keduanya
sudah tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis
Sarang Hantu.
“Bedebah! Kalian rupanya masih sanggup meng-
hadapi kami!” dengus Saka Gulu.
“Huh! Apa susahnya menghadapi iblis-iblis
cacingan macam kalian?” ejek Ki Braga Kumba
seraya mencibir, membuat Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu bertambah marah.
“Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!”
maki Sadra, marah.
“Kalianlah yang mencari mampus!” bentak Nyi
Rawit Abang dengan mata melotot, merasa tidak
senang kekasihnya dibentak begitu rupa. “Kalau
kalian tak segera minggat, tak segan-segan kami
membunuh kalian!”
“Ha ha ha...!” Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tertawa
bergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Rawit Abang.
“Apakah tidak terbalik, Perempuan Lacur! Seharus-
nya kau minta ampun, karena telah membela pihak
lawan!” bentak lelaki berbadan gendut dengan
rambut dikuncir di atas kepala. Lelaki itu orang ketiga
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Cuh!! Apa peduli kalian?!” bentak Nyi Rawit Abang
tak mau kalah. “Rupanya kalian ngiri ya?!”
“Huh! Apa dikira kau wanita yang paling cantik?!”
dengus lelaki berhidung besar dengan kumis
menempel di ujung bibir. Dia orang keempat dari
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!”
Nyi Rawit Abang yang marah, kembali bergerak
menggempur lawan-lawannya dengan cambuk.
Rambut-rambut di ujung cambuknya bergerak lagi
menyapu ke wajah lawan dengan jurus 'Sapu Buana
Mekti'.
“Heaaa!”
Wut!
Melihat serangan itu, dengan cepat Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu tidak tinggal diam. Mereka segera
mencabut senjata yang berupa sabit. Kemudian
setelah mengelakkan serangan lawan, mereka
berbalik menyerang dengan jurus 'Sabit Maut Mencari
Jantung'.
Wut! Wut! Wut...!
“Heit..!”
Nyi Rawit Abang bergerak mengelak ke samping,
menghindari serangan yang mengarah ke bagian
tubuhnya yang mematikan.
Menyaksikan kekasihnya dalam desakan ketujuh
lawan, Ki Braga Kumba segera mencabut ikat
pinggangnya yang bernama Sabuk Sasra Geni.
Kemudian dengan jurus 'Sasra Geni' tingkat ketiga, Ki
Braga Kumba merangsek ke arah lawan.
“Heaaa...!”
Ki Braga Kumba dengan cepat terus memutar
Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan seketika
sekeliling tempat itu berubah menjadi panas mem-
bara. Hal itu membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
tersentak kaget Mereka segera melompat mundur,
menghindari sabetan sabuk lawan yang dahsyat.
“Hah?! Celaka...! Rupanya dia memiliki Sabuk
Sasra Geni!” pekik Sadra kaget dengan mata
membelalak. “Cepat kalian lakukan aji 'Penutup
Sukma'.”
Mendengar perintah Sadra, seketika keenam
rekan-rekannya merapalkan ajian 'Penutup Sukma'
Lalu setelah merapalkan ajian tersebut, ketujuhnya
kembali bergerak menyerang lawan.
“Heaaa...!”
“Yeaaat..!”
Pertarungan seru kembali terjadi. Masing-masing
pihak kini telah mengeluarkan jurus dan senjata
andalan masing-masing. Beberapa jurus telah mereka
keluarkan untuk mengalahkan lawan, namun sejauh
itu belum juga nampak siapa yang bakal menang dan
siapa yang bakal kalah.
“Heaaat...!”
“Yeaaah...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali melancarkan
serangan dahsyat mereka, menggempur pertahanan
lawan. Dua orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang
bergelar Tujuh Iblis dari Sarang Hantu nampaknya
sama-sama tangguh. Kedua orang tua itu bagaikan
sepasang kijang yang melompat dengan lincah,
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan
lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan
serangan balasan yang tak kalah dahsyat.
Ki Braga Kumba dengan Sabuk Sasra Geninya
yang melecut-lecut menimbulkan hawa panas, telah
mengerahkan jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit
Abang dengan Cambuk Rambut Seribunya juga tidak
mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus
'Sapuan Prahara Menghancur Karang' bergerak
menyerang dan berputar-putar memburu serangan
lawan.
Gabungan serangan kedua orang tua itu sangat
cepat dan lincah. Mereka bergantian menyerang ke
arah lawan, kemudian bergantian menutup per-
tahanannya.
“Heaaa...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang belum juga
dapat membuahkan hasil serangannya, semakin ber-
tambah penasaran. Mereka semakin mempercepat
serangan. Namun lawan tampaknya sangat alot untuk
dikalahkan.
Ketika pertarungan itu berlangsung sengit, tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras yang mengejut-
kan. Sehingga seketika mereka menghentikan per-
tarungan.
“Orang-orang sinting! Apa yang kalian perbuat di
sini?!”
Bersamaan dengan habisnya bentakan itu, ber-
kelebat sesosok bayangan. Dalam sekejap mata
sosok itu telah berdiri di antara mereka. Ternyata dia
seorang lelaki tua yang wajahnya nampak begitu
tenang. Di pundaknya tersampir sebilah pedang.
Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan
jenggot purih panjang dan berambut digelung ke atas
itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya
yang tampak tua terbalut jubah panjang berwarna
putih.
Semua yang ada di Hutan Kawi-kawi seketika
menundukkan kepala, setelah tahu siapa lelaki tua
yang baru datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah
nama yang asing bagi mereka, terutama dari
golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi
sebagai Dewa Pedang. Hal itu karena kehebatan ilmu
pedangnya, yang sampai saat ini belum tertandingi.
“Kalian hanya saling bantai! Apakah kalian tak
ingat kalau masih ada hal yang lebih penting?!” tanya
Ki Badawi.
Mereka masih terdiam, tak seorang pun yang
berani menentang kata-kata lelaki tua itu. Meski
mereka merasa belum tentu dapat dengan mudah
dikalah oleh orang tua itu. Namun mereka merasa
segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang
begitu tersohor dengan Pedang Darahnya.
“Sekarang dunia persilatan tengah kacau, dengan
kehadiran bocah edan yang telah membunuh para
pendekar!” tukas Ki Badawi.
Ki Braga Kumba tersentak mendengar nama
bocah edan yang tentunya Pendekar Gila. Orang tua
berusia sekitar lima puluh lima tahun yang semula
diam itu angkat bicara.
“Kurasa kau salah duga, Ki.”
Ki Badawi menoleh dan menatap pada Ki Braga
Kumba.
“Apa yang kau katakan, Kumba!” bentaknya keras.
“Maaf! Kurasa Ki Badawi telah salah tuduh.
Pemuda gila yang kau maksudkan, tentunya
Pendekar Gila, bukan?”
“Benar!”
“Salah! Kau salah besar jika menuduh dia
pengacau, Ki.”
“Jangan menggurui aku, Kumba!” bentak Ki
Badawi gusar. Matanya semakin membelalak marah,
merasa ucapannya telah ditentang oleh Ki Braga
Kumba. Entah mengapa, lelaki yang semula arif dan
penyabar itu kini nampak tak sabar dan cepat marah.
Ki Braga Kumba mengerutkan kening. Dia merasa
aneh dan tak mengerti dengan perubahan yang
dialami Ki Badawi. Mungkinkah karena usianya yang
telah tua, sehingga dia berubah? Tanya Ki Braga
Kumba dalam hati. Ah, kurasa bukan karena usia.
Tapi kurasa ada penyebar fitnah, yang menjadikan
nama Pendekar Gila sebagai pembunuh keji.
“Maaf, Ki. Kalau boleh aku jelaskan, Pendekar Gila
itu bukanlah pengacau. Dia seorang pendekar yang
melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi
kalau kau menuduhnya sebagai pengacau, jelas itu
salah besar!” kata Ki Braga Kumba berusaha
meluruskan tanggapan Ki Badawi.
“Cuih! Kau tahu apa, Kumba!” bentak Ki Badawi
semakin gusar, merasa omongannya telah ditentang
Ki Braga Kumba. “Rupanya kau berpihak pada iblis
muda itu, heh?!”
Merasa dibentak-bentak begitu, Ki Braga Kumba
yang semula menaruh rasa segan akhirnya marah
juga. Terlebih tahu dirinya berada di pihak yang
benar.
“Bukannya aku yang berpihak pada iblis, Ki! Tapi
Kaulah yang telah tersesat!” balas Ki Braga Kumba
tak kalah geramnya. “Kaulah yang telah salah
menuduh!”
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Kumba!”
bentak Ki Badawi semakin gusar melihat keberanian
Ki Braga Kumba.
“Kenapa tidak! Kau yang dihormati para pendekar,
rupanya telah pikun! Kau sesatkan kebenaran.
Sedangkan kau benarkan yang sesat!”
“Setan! Tutup bacotmu!”
Ki Braga Kumba tersenyum sinis.
“Aku akan menutup mulut, jika kau pun membuka
mata!” jawab Ki Braga Kumba.
Napas Ki Badawi mendengus pertanda marah.
Matanya membelalak lebar, menatap tajam wajah Ki
Braga Kumba yang tampak masih tenang. Sedang
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kini menyurut mundur.
Mereka tidak ingin terlibat dengan urusan itu, karena
mereka tidak ingin Ki Badawi sampai tahu mereka
dari aliran sesat.
Dengan perlahan-lahan, Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu meninggalkan tempat itu untuk meneruskan
perjalanan mereka menuju Lembah Akherat.
“Kau telah berani menantangku, Kumba! Jangan
salahkan kalau pedangku akan bicara!” ancam Ki
Badawi.
Ki Braga Kumba semakin melebarkan senyum.
Wajahnya masih penuh ketenangan. Tak gentar
sedikit pun dia menghadapi orang tua di hadapannya
yang namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik
mati untuk membela kebenaran, daripada hidup
sesat!
“Meski aku harus mati di tanganmu, aku tak akan
memihak kesesatanmu!” sahut Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kumba!”
Srat! Cring...!
Ki Badawi menarik Pedang Darah. Seketika sinar
merah darah membersit dari pedang itu. Bau amis
darah tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi
Rawit Abang.
Pedang Darah kini telah keluar dari warangkanya
berarti harus mendapatkan darah. Jika tidak, maka
nyawa pemiliknyalah yang akan menjadi korban.
Bergidik juga Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang
menyaksikan pedang di tangan Ki Badawi. Namun
mereka berada di pihak yang benar, tak seharusnya
mereka takut menghadapi kematian. Semua
pendekar tentu senantiasa harus mati.
“Bersiaplah, Kumba!”
“Aku telah siap!” jawab Ki Braga Kumba.
“Begitu juga denganku!” sambut Nyi Rawit Abang.
“Rupanya kalian mencari penyakit!” dengus Ki
Badawi.
“Kaulah yang mencari gara-gara, Orang Tua
Pikun!” bentak Nyi Rawit Abang gusar, merasa
kekasihnya dalam keadaan bahaya. Bagaimanapun
juga dia harus membela Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” Ki Badawi
yang mata gelap segera berkelebat menyerang ke
arah keduanya dengan membabatkan Pedang Darah.
Keduanya berusaha mengelakkan serangan. Tapi
kekuatan tarikan Pedang Darah di tangan Ki Badawi,
menjadikan langkah mereka tersendat. Dahsyat
sekali kekuatan tarikan pedang itu, dan....
Wut...!
Cras! Cras!
Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang seketika
nemekik keras, ketika pedang di tangan Ki Badawi
menebas leher mereka.
“Pendekar Gila! Ke mana pun kau pergi, aku akan
mencarimu!” seru Ki Badawi sambil mengacungkan
Pedang Darahnya ke atas. Setelah puas dengan
perbuatannya, Ki Badawi segera memasukkan
pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
***
7
Selang beberapa waktu kemudian, nampak seorang
pemuda berpakaian rompi kulit ular melintasi Hutan
Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi
Rawit Abang tergeletak berlumuran darah dengan
leher hampir putus.
“Groook...!”
Pendekar Gila tersentak, ketika telinganya men-
dengar suara dengkuran keras dari arah kanan jalan
yang dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti,
kemudian dengan kening berkerut kepalanya di-
telengkan berusaha mencari-cari suara tadi.
“Grok...!”
Suara itu kembali terdengar, begitu jelas. Seperti-
nya sangat dekat dengan temparnya.
“Hm, suara apakah itu?” tanya Sena berusaha
mencari asal suara yang berada di sebelah kanannya.
Kakinya terus melangkah. Dan tiba-tiba hatinya
tersentak kaget menyaksikan dua tubuh tergeletak
berlumur darah.
Dengan rasa penasaran, Sena melangkah per-
lahan-lahan. Wajahnya meringis menahan perasaan
hatinya. Dan dia semakin tersentak, manakala me-
lihat gerakan tangan lemah lelaki tua yang belum
dikenalnya.
Tangan lelaki tua yang bergerak lemah itu,
menuliskan serangkaian kata-kata di atas tanah yang
ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan
mata menyipit pemuda berompi kulit ular mem-
bacanya.
Saudara Pendekar Gila,
Kami baru saja bertemu dengan Dewa Pedang
Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena kau
dianggap sebagai pengacau rimba persilatan.
Hati-hatilah!
Ki Braga Kumba
Usai menulis kata-kata itu, tangan Ki Braga Kumba
terkulai lemas. Napasnya yang semula ada, kini telah
melayang meninggalkan raga.
“Oh, sungguh baik budimu, Ki! Kau dalam keadaan
sekarat masih berusaha mengingatkan aku,” gumam
Sena dengan wajah sedih. “Tentunya kau telah
membela nama baikku.”
Mata Sena berkaca-kaca, tak mampu mem-
bendung kesedihan dan rasa haru melihat Ki Braga
Kumba yang dalam keadaan sekarat masih berusaha
memberitahukan adanya bahaya yang kini
mengancam dirinya.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Ki! Kudoakan,
semoga Hyang Widhi menerima arwahmu,” gumam
Sena perlahan.
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian perlahan
kepalanya ditundukkan untuk memberi peng-
hormatan pada kedua mayat yang telah berjasa
padanya. Meski dia belum tahu siapa sebenarnya
Dewa Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati
tak mungkin dusta.
Wajahnya ditengadahkan ke atas, menyapu ke
dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan Kawi-kawi.
“Siapakah Dewa Pedang itu?” gumam Sena
bertanya pada diri sendiri. “Ah, entahlah! Mengapa
aku harus berpikir jauh. Aku tidak mencari lawan.
Tapi lawan telah berada di hadapanku, apa salahnya
meladeninya.”
Usai memandangi kedua mayat itu, Pendekar
segera menggali lubang untuk menguburkan kedua
mayat itu. Dengan mengerahkan pukulan 'Inti Bayu'
dibuatnya lubang di tempat itu. Kemudian setelah
menaruh kedua mayat ke dalam lubang, kembali
Sena mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk
menyapu gundukan tanah yang seketika menutupi
kuburan itu.
“Hyang Jagat Dewa Batara, kiranya keduanya
dapat Kau terima di swargaloka,” desis Sena
memanjatkan doa.
Angin siang semilir, seperti turut berduka atas
kematian kedua tokoh tua itu.
Aku tak tahu, siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Mengapa dia mencariku? Rasanya antara dia dan aku
tak ada sangkut paut apa-apa. Pikir Pendekar Gila
merasa heran dan penasaran.
Lama Pendekar Gila termenung, mencoba
menerka-nerka siapa sebenarnya Dewa Pedang.
Namun tidak juga dia mendapatkan jawaban. Selama
ini, dia belum pernah mendengar nama Dewa
Pedang.
“Hi hi hi...!” Sena tertawa. “Lucu sekali aku ini
Mengapa aku harus memikirkannya?”
Dengan tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila kembali meneruskan per-
jalanannya.
***
Sementara itu, di Lembah Akherat nampak Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu telah sampai. Ketujuh tokoh
sesat itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman
penghuni Pulau Karang Api yang telah memakan
banyak korban.
“Wahai penghuni Pulau Karang Api, keluarlah!”
seru Sadra menantang. “Jangan hanya berani ber-
sembunyi! Hadapi Tujuh Iblis dari Sarang Hantu!”
Seketika air Danau Sambak Neraka bergolak
hebat Saat itu juga, dari dalam danau muncul dua
ekor naga berwarna merah. Mata kedua naga itu
membara merah, penuh amarah.
“Ghrrr...! Hosss...!”
Tanpa banyak tingkah, kedua naga merah yang
berada di Danau Sambak Neraka langsung
menyerang ke arah mereka dengan semburan api
dari mata dan mulutnya.
“Awas...!” seru Sadra mengingatkan pada keenam
rekannya.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu langsung
berlompatan, berusaha mengelakkan serangan
kedua naga itu. Dengan bersalto, mereka ber-
lompatan dan melakukan serangan balasan.
“'Cakra Lingga'! Yeaaa...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan cepat
melepaskan pukulan sakti mereka. Dari tangan
mereka tiba-tiba keluar sebuah sinar merah bersegi
seperti cakra. Sinar berbentuk cakar itu melesat
begitu cepat menuju kedua naga yang masih ber-
gerak menyerang.
Wusss! Wusss...!
Sinar merah berbentuk cakra itu terus melesat.
Kedua naga itu pun menggerakkan kepala, meng-
elakkan serangan lawan. Namun tak urung, salah
satu dari naga itu harus merasakan pukulan 'Cakra
Lingga' Tubuh naga api yang berada di sebelah barat
terhantam pukulan itu.
Busss!
“Ghrrr! Hoaaah...!”
Semakin bertambah marah kedua naga itu melihat
salah satu dari mereka terkena pukulan. Kepala
mereka yang bertanduk kini melayang ke angkasa,
kemudian dengan cepat menyerang ke arah Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu.
“Awas serangan!” kembali Sadra berseru.
“Heaaat...!”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu kembali berlompatan
mengelakkan serangan kedua naga itu. Nampaknya
kedua binatang itu tidak berhenti sampai di situ.
Keduanya terus bergerak melabrak ke arah Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu dengan patukan dan serudukan
kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar
dari mulut dan mata kedua ular raksasa itu terus
menyembur.
“Wosss! Wosss...!
Lidah api kembali melesat keluar dari mulut kedua
naga itu, menyerang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
Mereka pun kembali berlompatan menjauhi
semburan api yang semakin besar dan panas.
Pertarungan antara dua binatang raksasa dengan
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu berlangsung dengan
seru. Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
bukanlah lawan sembarangan bagi kedua naga itu.
Mereka mampu mengimbangi serangan-serangan
yang dilancarkan oleh kedua naga merah itu.
“Heaaa...!”
“Wosss...!”
Teriakan-teriakan melengking keras terus
terdengar dari mulut Tujuh Iblis dari Sarang Hantu,
bersamaan dengan suara deburan air danau dan
semburan api.
Kepala kedua naga bergerak cepat, menyambar
dan menyeruduk ke arah lawan-lawannya. Sesekali
dari mulut dan mata kedua binatang itu menyembur-
kan api yang menyala, berusaha membakar tubuh
ketujuh lawannya.
“Uts! Hop! Hampir saja...!” pekik Saka Gulu sambil
melompat mengelak.
Hampir saja tubuh orang kedua dari Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu itu terkena hantaman kepala salah
seorang naga yang menyerang mereka. Kemudian
setelah luput dari hantaman kepala naga itu, Saka
Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang
berupa sabit
“Heaaa...!”
Tubuh Saka Gulu melesat ke atas, kemudian
dengan cepat senjatanya diayunkan ke kepala naga
yang menyerangnya.
“Mampuslah kau, Naga Dungu!”
Wut...!
Kepala naga itu bergerak mengelak dengan cepat,
seakan mengerti serangan yang datang. Kemudian
dengan cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-
seimbangan setelah menyerang, naga berwarna
merah itu menyodokkan kepala ke dadanya.
Wusss...!
Dugk!
“Aaakh...!”
Saka Gulu terpekik keras. Dadanya bagaikan
dihantam batu sebesar gajah. Napasnya terasa
sangat sesak dan tubuhnya terpental deras ke
belakang. Tubuh itu terhenti, ketika menerjang
pepohonan di Hutan Kawi-kawi. Hanya sejenak dia
mampu mengerang lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Menyaksikan Saka Gulu tewas, keenam rekannya
semakin marah. Mereka menyerang bersama-sama
dengan pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan
pengerahan ajian-ajian sakti sepert 'Geti Ireng' dan
'Jambang Kalageni' keenam tokoh sesat itu berusaha
membunuh naga api yang semakin garang
menyerang mereka.
Kini kedua naga yang semula berada di tengah
Danau Sambak Neraka, telah keluar dan memburu
keenam lawannya. Mereka pun bergerak mundur
sambil tetap melakukan gerakan-gerakan untuk
menyerang.
Lembah Akherat yang semula sepi, seketika
berubah menjadi riuh oleh suara pekikan dan
geraman mereka. Tanah berpasir di Lembah Akherat,
beterbangan menutupi tempat itu, ketika kaki-kaki
mereka bergerak menyerang dan hembusan api naga
itu.
Pertarungan antara enam anggota Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu melawan kedua naga api dari Danau
Sambak Neraka masih berlangsung seru. Sementara
itu, tiba-tiba dari Pulau Karang Api, muncul sesosok
tubuh kecil bersisik dengan mata menyala merah.
“Ghrrr...!”
Bocah kecil dengan tubuh bersisik itu nampaknya
marah. Tubuhnya dengan ringan sekali berlari di atas
air membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
terbelalak heran menyaksikannya.
“Lihat! Bocah sakti itu keluar!” seru Sadra.
Semua mata kini memandang bocah kecil berusia
sekitar sepuluh tahun yang tubuhnya penuh sisik.
Matanya merah laksana mengandung api. Tubuh
bocah itu melayang, lalu menukik dengan kecepatan
tinggi menyerang keenam lawan naga-naga api.
“Ghrrr...!”
“Tangkap bocah itu...!” seru Sadra.
Mereka berusaha menangkap bocah sakti yang
tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga sampai, kedua
naga itu telah menghalangi mereka dengan meng-
ulurkan kepalanya.
“Wosss! Ghrrr...!”
Semburan api dari mulut kedua naga api, seketika
menghentikan mereka untuk mengejar. Kini enam
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan
mengelak dari semburan api yang dahsyat. Lalu
dengan cepat mereka balik menyerang.
Bocah kecil bertubuh penuh sisik itu tak mau
tinggal diam, tubuhnya melenting ke udara.
Kemudian dengan cepat mendarat pada salah
seorang dari keenam orang itu. Lalu dengan gerak
cepat, bocah bersisik itu menggigit leher lawannya.
Crat!
“Wuaaa...!”
Lelaki berkepala botak itu menjerit kesakitan.
tubuhnya sesaat mengejang, matanya melotot.
Lubang besar kini nampak di lehernya. Sesaat
tubuhnya sekarat, kemudian ambruk dengan tubuh
berwarna merah.
“Bocah setan! Kubunuh kau!” dengus Sadra
geram, menyaksikan bocah bersisik dan berlidah ular
itu menyerang ganas. Segera Sadra melesat ber-
maksud menyerang bocah itu dengan jurus
pamungkasnya, 'Kelabang Geni. “Heaaa...!”
Sadra mengebutkan bungkusan yang diambil dari
balik bajunya. Saat itu, ribuan binatang berbisa,
panjang, dan berkaki banyak melesat ke arah bocah
bersisik ular itu.
“Mampuslah kau, Bocah Setan!” seru Sadra.
Binatang-binatang berbisa itu melesat cepat mem-
buru bocah bersisik dan berlidah ular. Namun bocah
itu nampak tenang menghadapi ratusan kelabang
yanng hendak menyerangnya. Matanya semakin
berkilau merah, kemudian dari matanya keluar
larikan sinar merah menghantam kelabang-kelabang
itu.
Clarts...!
Brups!
Seketika kelabang-kelabang itu terpanggang jadi
debu, dan jatuh berhamburan ke tanah berpasir.
Terbelalak mata Sadra menyaksikan kehebatan
bocah lelaki bersisik dan berlidah seperti ular itu.
Saking terkejutnya, Sadra tidak menyadari kalau di
belakangnya seekor naga menyerangnya. Maka....
Dugkh!
“Aaa...!”
Tubuh Sadra terlempar ke depan, dan melayang ke
angkasa lalu jatuh ke air Danau Sambak Neraka.
Tubuh Sadra menggelepar-gelepar, ketika ratusan
ikan pemakan daging muncul dan memangsa tubuh-
nya.
Melihat kematian Sadra, keempat kawannya ber-
usaha membalas. Namun rupanya kematian Sadra
dan Saka Gulu mempengaruhi jiwa mereka.
Keempat tokoh sesat itu kini serba canggung
dalam menyerang. Namun begitu, mereka sepertinya
pantang untuk menyerah. Kini keempatnya terbagi
enjadi dua bagian. Dua menyerang ke arah bocah
cilik bersisik dan berlidah ular, dua lainnya
menyerang kedua naga raksasa itu.
Pertarungan itu berjalan seru. Tapi serangan-
seragan empat dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
tidak banyak berarti seperti ketika mereka masih utuh
tujuh orang. Dan tiba-tiba....
Dugkh!
“Wuaaa...!”
Satu orang lagi terkena serudukan kepala naga
api. Tubuh orang itu melayang deras, melambung ke
angkasa dengan dada remuk bagaikan dihantam
batu besar. Tanpa suara teriakan lagi, tubuh lelaki itu
terjatuh di Hutan Kawi-kawi.
Kini semakin bertambah melemah serangan tiga
orang itu. Mereka semakin bertambah ciut nyalinya.
Melihat keadaan lawan yang semakin terdesak,
kedua naga dan bocah bersisik ular malah semakin
ganas dalam menyerang.
Tanpa mengalami kesulitan yang berarti, kedua
naga dan bocah penghuni Danau Sambak Neraka itu
dapat mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat
yang semula ramai kembali hening dan sepi. Hanya
dua naga dan bocah kecil bersisik dan berlidah ular
yang masih ada.
Wusss!
“Zssst...!”
Kedua naga itu merendahkan kepalanya, men-
ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian setelah bocah
kecil itu naik di atas kepalanya, kedua ular itu
kembali melata dan mencebur ke dalam Danau
Sambak Neraka.
Bocah kecil itu tertawa-tawa senang, sepertinya
mengerti kalau kedua naga itu adalah ayah dan
ibunya.
***
8
Matahari semakin condong ke arah barat, pertandaa
senja hampir tiba. Angin siang menginjak sore
berhembus semilir, membuat suasana Lembah
Akherat nampak sangat tenang. Padahal di tempat itu
bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah.
Burung-burung pemakan bangkai beterbangan di
tempat itu, berputar-putar kemudian menukik.
Seorang pemuda tampan berambut gondrong
dengan kulit bersih, berbaju rompi kulit ular me-
langkah menyelusuri Lembah Akherat yang sepi.
Matanya memandang penuh kekagetan, menyaksi-
kan mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Hm, benar-benar Lembah Akherat,” gumam
Pendekar Gila dengan mulut nyengir, menyaksikan
banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. “Seperti
ada sesuatu yang membantai orang-orang ini.”
Sena mengedarkan matanya ke sekeliling tempat
yang sangat sepi itu. Matanya seketika tertuju ke arah
pulau. Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau
yang memijarkan warna merah, sepertinya pulau
itulah yang merupakan pulau yang berapi.
“Aha, itu kiranya Pulau Karang Api,” gumam
Pendekar Gila sambil mengarahkan pandangannya ke
Pulau Karang Api.
Kaki Pendekar Gila melangkah menyelusuri
Lembah Akherat dengan pelan dan hati-hati.
Nampaknya dia memasang kewaspadaan, tidak mau
gegabah dalam melakukan tindakan. Bagaimana pun,
dia tidak ingin mati sia-sia di tempat itu.
“Ah, aneh sekali...!” gumam Sena. “Di sini nampak-
nya tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu, siapa yang
telah membantai mereka?”
Belum juga habis ketidakmengertian Pendekar Gila
akan semua yang terjadi, seketika hatinya dikejutkan
adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak
Neraka.
“Ghrrr...!”
“Wosss...!”
Pendekar Gila segera memandang ke Danau
Sambak Neraka. Saat itu, dari dalam air danau
muncul dua sosok berwarna merah menyala. Mata
kedua binatang raksasa itu menyala laksana api,
menatap tajam pada Pendekar Gila.
“Wah! Rupanya kedua binatang inilah yang mem-
bantai mereka!” gumam Sena sambil nyengir kuda.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Wosss...!”
Kedua naga itu sepertinya marah dengan
kehadiran Pendekar Gila di Lembah Akherat. Mata
kedua binatang itu merah menyala, menatap tajam
pada Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti
kera. Kepala kedua naga itu bergerak-gerak. Sebentar
tegak ke atas, kemudian ke bawah. Sepertinya ber-
usaha mengusir Pendekar Gila.
“Aha, kalian ingin mengusirku! Ah, kurasa kalianlah
yang harus pergi!” seru Sena masih berjingkrakan.
Tangannya menggaruk-garuk ke tubuh dan mulutnya
yang nyengir.
“Wosss...!”
Kedua naga itu kembali menggerak-gerakkan
kepalanya, kemudian dengan mata merah membara
kedua naga itu naik.
“Aha, rupanya kalian benar-benar mengusirku!”
seru Sena seraya melangkah maju. Bukannya mundur
menjauh, Sena justru mendekat. Hal itu membuat
kedua naga itu bertambah marah.
“Wosss! Ghrrr...!”
Tiba-tiba kepala naga itu berdiri tegak, kemudian
dari mulutnya menyembur api menyala ke arah
Pendekar Gila.
“Heits! Hi hi hi...!”
Dengan cengengesan, Pendekar Gila segera
mengelakkan serangan kedua naga itu. Kemudian
dengan cepat dia berbalik menyerang dengan jurus
'Si Gila Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melesat
laksana terbang, kemudian tangannya bergerak
memukul ke arah kedua lawannya.
“Wosss...!”
Kedua naga itu seakan mengerti lawan
menyerang. Keduanya segera mengelakkan serangan
yang dilancarkan Pendekar Gila dengan cara meliuk-
kan kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila
luput dari sasaran.
“Aha, rupanya kalian bisa silat juga!” gumam
Pendekar Gila sambil terus melesat terbang,
kemudian kembali menyerang dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Jurus itu sengaja digunakan-
nya, semata-mata untuk dapat mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan mengerahkan
seperempat tenaga dalamnya, Pendekar Gila meng-
hantamkan pukulan keras dengan telapak tangan ke
arah kedua naga itu.
Wuttt..!
Tubuh kedua naga itu terus bergerak, meng-
elakkan serangan yang dilakukan Pendekar Gila.
Kemudian keduanya balas menyerang dengan
menyemburkan api dari mulut dan mata.
“Wosss! Wosss...!”
Api menyala-nyala menyerang Pendekar Gila.
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit mengelak.
Kemudian dengan cepat pula pemuda berbaju rompi
ular itu balas menyerang dengan serangkaian
pukulan yang cepat ke arah tubuh kedua binatang itu.
“Heaaa...!”
Pekikan keras mengiringi serangan Pendekar Gila.
Bugk! Dugk!
“Wosss! Ghrrr...!”
Serangkaian pukulan yang dilancarkan Pendekar
Gila rupanya mengenai tubuh kedua binatang itu.
Kedua binatang itu seketika mengerang marah, dan
dengan sengit balas menyerang. Kepalanya bergerak
meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar
Gila.
“Ghrrr!”
Wusss...! Wut!
Kedua naga yang tampak mulai marah itu terus
menyerang Pendekar Gila dengan serudukan dan
sabetan kepala serta ekor mereka. Namun dengan
gesit dan cepat, Pendekar Gila mampu mengelakkan
serangan kedua binatang raksasa itu.
“Aha, kalian nampaknya marah, Sobat! Hi hi hi...!”
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila terus
bergerak menyerang. Kali ini dengan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang', Sena menyerang ke arah
kedua lawannya.
Tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke
atas. Lalu kedua tangannya ditarik dengan menarik
napas panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam,
telapak tangannya dihantamkan ke arah kedua
binatang raksasa itu.
“Heaaa...!”
Wut, wut...!
Dugk! Dugk!
“Wosss! Ghrrrm...!”
Erangan kesakitan seketika terdengar dari mulut
kedua binatang itu. Tubuh mereka menggelepar-
gelepar, berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh
kedua binatang itu terus berguling, sampai akhirnya
nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka.
Byurrr! Byurrr...!
“Ghrrrmh....!”
Kedua naga itu tampaknya sangat marah, merasa-
kan sakit di tubuh mereka. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak.
Suasana riuh semakin bertambah riuh di Lembah
Akherat. Suara erangan mulut kedua naga yang
marah dan suara air akibat menggelepar-geleparnya
kedua naga berwarna merah itu.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil ber-
jingkrakan seperti kera. Dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan
menyaksikan kedua binatang itu mengelepar-gelepar
kesakitan. Namun ternyata kedua binatang itu
memiliki kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin
keduanya telah hancur lebur menjadi debu terkena
pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'
“Ghrrrmh...! Hosss! Hosss...!”
“Hua ha ha...! Menarilah kalian semua!” Pendekar
Gila sambil tertawa-tawa menyaksikan kedua
binatang itu masih bergolak dengan raungan yang
menggelegar.
***
Pendekar Gila masih berjingkrakan seperti seekor
kera yang kegirangan sambil tertawa tergelak-gelak,
ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api
sebuah bentakan keras menggelegar.
“Manusia sombong! Kau telah berani membuat
keonaran di tempat ini! Kau harus mampus.
Heaaat...!”
Wusss...!
Angin kencang bergulung-gulung melesat dari
Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar Gila tersentak
kaget. Namun, sesaat kemudian dengan
cengengesan tubuhnya direbahkan ke bumi. Matanya
membelalak ketika tahu pukulan apa yang dilontar-
kan penghuni Pulau Karang Api yang belum dia
ketahui siapa benarnya.
Pendekar Gila terkejut menyaksikan ajian berupa
angin bergulung membadai. Ajian yang sama seperti
yang dimilikinya.
“Hei, 'Inti Bayu'?! Siapa yang telah menyerangku
dengan ajian itu...?” gumam Sena sambil mengerut-
kan kening.
Wusss...!
Angin kencang bergulung-gulung kembali keluar
dari Pulau Karang Api, meluncur ke arah Pendekar
Gila. Tapi kini Sena telah mempersiapkan
penyambutan serangan yang kedua. Dengan menarik
napas dalam-dalam, kedua tangannya diangkat ke
atas, lalu ditariknya ke dalam. Setelah angin itu
mendekat, Pendekar Gila segera menghantamkan
ajian 'Inti Bayu' nya.
“Yeaaa...!”
Wusss!
Wusss...!
Dua angin yang berasal dari satu kekuatan itu
bertemu, bergulung-gulung saling berusaha
mengalahkan.
“Kurang ajar! Dari mana kau menyadap ajianku?!”
dari Pulau Karang Api terdengar suara bentakan
keras menggelegar.
Sena tersentak, namun segera dia tertawa ter-
gelak-gelak.
“Hua ha ha...! Kau lucu sekali, hai orang yang
belum menampakkan diri! Enak sekali kau bicara!
Kau-lah yang telah mencuri dan menyadap ajianku!”
balas Sena dengan suara keras.
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah
Manusia!”
“Aha, kurasa kau bukan manusia!” tukas Sena
masih cengengesan. “Aha, mungkin kau sebangsa
siluman! Atau dedemit. Hi hi hi...!”
“Kurang ajar! Kaulah iblis!” dengus suara itu
membentak. “Kau telah membuat keonaran di
tempat ini!”
Habis ucapan itu, seketika dari balik Pulau Karang
Api melesat selarik sinar menyerang Pendekar Gila.
“Heit!”
Sena segera bersalto ke samping, kemudian
dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa...!”
Glarrr!
“Ugkh!” Sena mengeluh, merasakan dadanya,
agak sakit akibat benturan itu.
“Ha ha ha...! Hebat juga ilmu 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'mu, Manusia...!”
Terdengar suara menyebut nama jurus yang baru
saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal itu tentu saja
membuat Sena terbelalak kaget. Heran dan bertanya-
tanya siapa sebenarnya orang atau makhluk yang
bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu? Jurus-
jurus ilmu ajiannya hampir sama dengan ilmu yang
dimiliki olehnya.
“Hei, Siluman! Hi hi hi...! Dari mana kau tahu nama
jurus pukulanku...?!” seru Sena seraya bangkit berdiri.
“Ha ha ha...! Pukulanmu itu adalah ilmu-ilmuku
Manusia! Dari mana kau mencurinya, heh?!” bentak
makhluk yang masih belum menampakkan wujudnya.
“Weiii...! Enak sekali kau menuduh! Hi hi hi. Lucu!
Lucu sekali kau!”
“Terimalah ini, Manusia!”
Wusss!
Suasana di Lembah Akherat seketika berubah.
Langit tertutup warna merah membara laksana api.
Saat itu pula, Pendekar Gila tersentak. Dirasakan
hawa panas menyengat tubuhnya. Sekelilingnya kini
dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah
terpanggang di atas bara api.
“Ugkh...!” Sena mengeluh, merasakan hawa panas
yang membakar sekujur tubuhnya.
“Ha ha ha...! Tentunya kau belum memiliki ilmuku
yang ini! Mampuslah kau, Bocah Manusia!” seru
suara yang berasal dari balik Pulau Karang Api di
tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
“Ukh! Aaakh...!”
Sena mengeluh dan menjerit kesakitan. Badannya
bagaikan dipanggang di atas api yang membara.
Bayang-bayang kematian seketika melekat di
benaknya. Pendekar Gila segera mengerahkan ajian
'Inti Salju' untuk melindungi tubuhnya dari panas yang
membara.
“Hhh! Hop...!”
Sena menarik napas dalam-dalam, kemudian
tangannya digerakkan ke atas dan menyatu. Lalu
kedua tangannya direntangkan ke samping, dan
ditariknya dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di
depan dada.
'“Inti Salju'. Hop...!”
Rasa panas yang semula menyengat bagaikan
memanggang tubuhnya, seketika menghilang oleh
hawa dingin yang telah dikerahkan Pendekar Gila.
“Hebat! Rupanya kau telah menguasa 'Inti Salju',
Bocah Manusia! Kau telah mencuri banyak ilmu-
ilmuku! Terimalah ini...!”
Bersamaan dengan habisnya suara itu, seketika
suasana di sekitar Pendekar Gila berubah. Suasana
yang semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba
dingin. Bahkan pepohonan yang ada di tempat itu,
seketika kembali segar setelah layu oleh panas.
Namun justru hal itu membuat Sena kian menggigil.
Rupanya makhluk yang bersembunyi di balik Pulau
Karang Api itu mengerahkan ajian 'Inti Salju', semakin
membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi
saat itu Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti
Salju'. Rasa dingin menjadi berlipat ganda.
“Sssh!” tubuh Pendekar Gila menggigil kedinginan.
Wajahnya pucat pasi. “Bhrrr! Ah, rupanya dia
mengerahkan 'Inti Salju.”
“Ha ha ha...! Kau akan mampus, Manusia!” suara
dari balik Pulau Karang Api.
“Hhh! Ilmu iblis!” dengus Sena. Perlahan napasnya
ditarik dalam-dalam, kemudian dengan suara meng-
gelegar, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'.
“Heaaa...!”
Wuttt...!
Angin kembali menderu kencang, menyapu ke
sekeliling tempat itu. Tangan Sena yang mengeluar-
kan angin keras, bergerak cepat. Dan bersamaan
putaran tangannya, angin badai pun keluar dengan
begitu cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti
sekitar tempat itu.
“Hebat! Kau memang hebat, Manusia! Tapi kau
belum tentu bisa selamat dari ini! Terimalah...!”
Cletar...!
Suara gemeletar nyaring mengiringi melesatnya
benda berkilat. Kilatan benda terbungkus api itu
mengarah ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat,
Sena mencabut Suling Naga Sakti, kemudian dengan
disertai pekikan menggelegar, melompat memapaki
kilatan cambuk api yang menyerang ke arahnya
dengan Suling Naga Sakti.
“Heaaa...!”
Wuttt...! Prat!
Dua senjata sakti itu beradu keras, membuat
suasana di sekitar tempat itu menggelora panas.
Kilatan api yang membentuk cambuk melesat
kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan Pendekar
Gila berusaha memburunya. Suling Naga Sakti
melesat terbang, membawa tubuh Pendekar Gila ke
Pulau Karang Api.
“Hiaaat...! Hop!”
Pendekar Gila tersentak, ketika dari dalam goa
besar itu terdengar suara desisan keras. Belum hilang
rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar
menerjang ke arahnya.
“Hop!”
Dengan cepat Sena melompat ke samping. Lalu
dengan cepat pula melakukan serangan balasan ke
dalam goa dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'.
“Yeaaa...!”
Wut...!
Bugk...!
Terdengar suara pukulan mengenai sasaran.
Bersamaan dengan itu, dari dalam goa muncul
seorang bocah berkulit penuh sisik diikuti seekor
naga yang tubuhnya terselimut api yang menyala-
nyala.
“Kurang ajar! Berani benar kau ke tempat ini,
Manusia!” bentak Naga Brahma dengan gusar. Naga
yang kepalanya mengenakan mahkota itu menatap
tajam pada Pendekar Gila yang menyurut mundur.
Kaget juga Pendekar Gila melihat makhluk ular itu
bicara seperti manusia.
“Aha, rupanya kaulah penghuni Pulau Karang ini!
Apa maksudmu membantai manusia?” tanya Sena
sambil berjingkrakan dan tertawa-tawa, membuat
Naga Brahma semakin membelalakkan matanya.
“Manusia! Apa hubunganmu dengan kakakku,
hingga kau memiliki ilmu-ilmu warisan kakakku Naga
Sakti?!” bentak Naga Brahma.
Belum juga Pendekar Gila menjawab, Suling Naga
Sakti yang tergenggam di tangannya bergerak dan
jatuh ke tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul
dari Suling Naga Sakti, membuat Pendekar Gila
tersentak kaget dan melompat mundur.
“Ssszt...!”
Terdengar desisan keras ketika asap tebal yang
keluar dari Suling Naga Sakti berubah. Dengan cepat
asap itu membentuk wujud sesosok binatang
berwarna merah dengan tubuh diselimuti api.
Binatang yang berupa seekor naga keemasan dengan
kepala bermahkota itu terbentuk dari Suling Naga
Sakti. Hal itu semakin membuat Pendekar Gila
terkejut bukan kepalang, tak menyangka kalau Suling
Naga Sakti yang menjadi senjatanya ternyata jelmaan
dari seekor Naga besar. Malah besarnya dua kali lipat
dari Naga Brahma.
“Kakang Naga Sakti...!” seru Naga Brahma melihat
sosok naga di hadapannya.
“Ada apa kau menggangguku, Adik Naga Brahma?”
“Oh...! Tak kusangka, kalau aku akan kembali
bertemu denganmu, Kakang.”
“Hm...,” gumam Naga Sakti. “Aku pun begitu Dik.
Lama sudah kita berpisah.”
Kedua naga itu saling menitikkan air mata.
Kemudian keduanya bercerita sejak keduanya
dikutuk oleh ayah mereka sampai akhirnya mereka
kembali bertemu. Naga Sakti bersumpah mengabdi
pada pendekar yang berbudi luhur untuk menegak-
kan kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan
Naga Brahma, dia pun bersumpah akan menjaga
orang yang benar, dari ancaman orang-orang sesat.
Kemudian Naga Brahma menceritakan tentang
peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau Sambak
Neraka.
“Dua orang manusia dengan membawa bayi
merah berlari-lari dikejar oleh manusia-manusia
durjana. Keduanya kuselamatkan, sedangkan
kesepuluh resi yang wataknya bukan menunjukkan
resi, kubunuh. Pasangan suami istri muda itu, kuubah
wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran
orang-orang jahat...,” tutur Naga Brahma mengenai
siapa sebenarnya kedua naga yang ada di Danau
Sambak Neraka. “Jelasnya, mereka terkena fitnah
keji yang disebarkan Sumantri. Bahkan kini guru
mereka memihak pada Sumantri.”
“Hm, keterlaluan!” dengus Naga Sakti. “Jelas ini
tidak bisa dibiarkan! Biarlah semua ini kita serahkan
pada Pendekar Gila dan anak angkatmu. Siapa nama
anak angkatmu itu, Dik?”
“Supit Songong, Kakang.”
“Ya! Biarlah anak Anjasmara menuntut balas atas
perbuatan paman gurunya yang biadab!” kata Naga
Sakti.
“Kalau memang begitu, aku pun menitipkan Supit
Songong padamu selama di rimba persilatan,
Pendekar Gila! Meski dia sama memiliki ilmu
sepertimu, tapi pengalamannya tentu belum seperti
dirimu,” kata Naga Brahma pada Sena. “Supit,
ambillah lidahku. cabutlah...!”
Supit Songong, bocah bersisik dan berlidah ular itu
tanpa rasa takut mendekati mulut orangtua angkat-
nya yang menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah
Naga Brahma. Seketika itu, berubahlah lidah sang
Naga menjadi sebuah cambuk yang jika dilecutkan
menjadi cambuk api. Itulah Cambuk Api Lidah Naga.
“Aku titipkan dia padamu, Pendekar Gila,” kata
Naga Brahma dengan suara dalamnya.
“Aku akan berusaha, Paman,” sahut Pendekar
Gila.
“Baiklah, Dik. Aku harus pergi bersama Pendekar
Gila,” usai berkata begitu, Naga Sakti kembali
mengecil dan lenyap berubah ke wujud Suling Naga
Sakti.
“Kita pergi, Supit,” ajak Sena. Keduanya melesat
meninggalkan Pulau Karang Api, tempat tinggal Naga
Brahma.
***
9
Malam dengan kegelapannya telah datang. Seluruh
makhluk Tuhan seketika terkurung di dalam gelap-
nya. Pepohonan membisu, begitu juga dengan
binatang. Hanya suara burung hantu yang masih
terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara
jangkrik yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh berlari-lari ke arah Desa Pasut
Piring tempat kediaman Sumantri. Kedua sosok tubuh
itu, satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya
tidak lain Pendekar Gila dan Supit Songong, bocah
ular yang dirawat dan dididik oleh Naga Brahma.
“Sebentar lagi sampai, Supit. Hati-hatilah, mereka
kebanyakan licik,” tutur Sena ketika melihat gerak
tangan Supit Songong yang berkata dengan bahasa
isyarat. Sebenarnya Supit Songong tidak bisu, namun
sepertinya bocah kecil itu tidak mau berkata-kata
karena suaranya akan membuat seisi desa ter-
banguan. Tidak berapa lama kemudian, keduanya
sampai di depan rumah Sumantri.
“Siapa kalian?!” bentak salah seorang penjaga
rumah Sumantri. Namun belum juga para penjaga itu
mampu bergerak, Pendekar Gila telah menotok
dengan pukulan jarak jauh.
Tuk, tuk!
“Ukh!” keluh para penjaga itu. Seketika tubuh
mereka terkulai lemas.
“Sumantri, aku datang dengan apa yang kau
inginkan!” seru Sena.
Seketika puluhan senjata rahasia melesat dari
balik pepohonan ke arah Pendekar Gila dan Supit
Songong yang berdiri di halaman depan rumah
Sumantri.
Swing! Swing!
“Supit, Awas...!” seru Sena mengingatkan sambil
berjumpalitan mengelakkan serangan gelap lawan.
Kemudian dengan geram, pukulan tenaga dalamnya
dihantamkan untuk menghalau senjata beracun itu.
Wusss!
Swing! Swing!
Senjata-senjata rahasia beracun itu seketika
berbalik. Bersamaan dengan itu, dari balik
rerimbunan pohon terdengar suara hujaman senjata-
senjata rahasia dan jeritan-jeritan kematian.
Jlep! Jlep!
“Wuaaa...!”
“Aaa...!”
Sena dan Supit Songong tertawa tergelak-gelak
kegirangan. Tubuh mereka berjingkrak-jingkrak.
Tingkah laku keduanya seperti orang gila.
“Seraaang...!”
Terdengar seruan Sumantri dari balik rerimbunan
pohon. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan
pohon berlompatan beberapa orang mengepung
Pendekar Gila dan Supit Songong. Di antara mereka
nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri, Iblis
Selendang Ungu, Cakal Genala dan Cakil Gering, serta
tiga orang dari rimba hitam lainnya.
“Pendekar Gila! Akhirnya malam ini kau harus
mampus!” dengus Jalna Kumilang. Sorot matanya
tajam, menunjukkan dendam pada pemuda tampan
itu. Sementara Sena masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, kau rupanya belum kapok, Ki? Baiklah,
malam ini aku pun ingin mengirimmu ke neraka!”
sahut Sena tenang.
“Kurang ajar! Terimalah kematianmu! Heaaa...!”
Jalna Kumilang yang sudah marah, segera maju
menyerang ke arah Pendekar Gila, diikuti yang
lainnya. Kini dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit
Songong telah dikeroyok para tokoh persilatan aliran
sesat.
“Heaaat...!”
Melihat keroyokan itu, Pendekar Gila tak mau
tanggung-tanggung lagi. Segera ditariknya Suling
Naga Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit
Songong melolos cambuknya yang bernama Cambuk
Api Lidah Naga.
“Yeaaa...!”
Cletar! Cletar...!
Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit Songong
bergelemetar nyaring ketika dilecutkan. Saat itu juga
cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang
menyala terang.
“Heaaa...!”
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang' bergerak menyerang lawan. Sedang-
kan Supit Songong kini menggebrak dengan lecutan-
lecutan cambuknya yang dahsyat.
Cletar! Cletar!
Pertarungan dahsyat itu seketika terjadi dengan
serunya. Mereka tidak segan-segan lagi mengeluar-
kan jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya.
Sena dengan Suling Naga Sakti bergerak seperti
orang gila, berjumpalitan dengan seruan-seruan
konyolnya menyerang. Setiap tebasan sulingnya,
menimbulkan desiran yang sangat panas. Hal itu
cukup menyentakkan lawan yang bermaksud
menyerang ke arahnya.
“Supit, cepat kau cari Sumantri!” perintah Sena
sambil berusaha melindungi Supit Songong dengan
jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar
cepat, dengan Suling Naga Sakti menderu ke arah
lawan-lawannya.
Supit Songong segera melesat meninggalkan
tempat itu untuk mencari Sumantri. Berkat pen-
ciumannya yang tajam, Supit Songong akhirnya
dengan mudah menemukan Sumantri yang tersentak
kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah
ular itu.
“Kau?! Kau bocah setan itu?!” pekik Sumantri,
matanya membelalak.
“Aku bukan bocah setan, Sumantri!” bentak Supit
Songong.
“Kau?! Kau tahu namaku?!” semakin kaget
Sumantri mendengar bocah bersisik ular itu
mengenal namanya.
“Siapa yang tak kenal dengan manusia licik serta
penjilat macam kau?! Kau memang pamanku, tapi
tindakanmu membuat kedua orangtuaku sengsara!”
dengus Supit Songong.
“Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Supit Songong, anak Anjasmara dan Sambi.
Keduanya kini menjadi Naga Api. Karena tindakanmu
kami menderita, Sumantri!”
“Tidak mungkin! Kau bocah setan!”
“Terserah kau, Sumantri! Yang jelas aku datang
untuk menyingkirkanmu dari muka bumi! Heaaat...!”
Dengan suara menggelegar, Supit Songong ber-
gerak menyerang Sumantri. Terjangannya begitu
keras dengan jurus 'Terjangan Kaki Naga'.
Melihat bocah bersisik ular itu menyerang,
Sumantri yang tidak ingin mati sia-sia segera meng-
elakkan serangan Supit Songong. Kemudian dengan
cepat pedangnya dicabut. Lalu dengan jurus 'Pedang
Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha
merangsek lawan.
“Heaaa..!”
“Yeaaa...!”
Pertarungan antara Sumantri dan Supit Songong
berlangsung dengan seru. Namun dilihat dari
pertarungan itu, nampaknya Supit Songong mampu
menguasai keadaan. Meski belum banyak
pengalaman, ilmu silat Supit Songong lebih tinggi di
atas Sumantri. Apalagi dia merupakan pewaris
tunggal ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama
dengan ilmu-ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau Naga
Brahma menggunakan nama jurus dengan sebutan
naga, sedangkan Pendekar Gila menggunakan jurus
dengan sebutan Gila.
Tubuh Supit Songong laksana seekor naga yang
ganas, bergerak garang menyerang. Tangannya yang
berkuku tajam beberapa kali menyambar ke wajah
Sumantri.
“Heaaa...!”
Wut!
“Heit...! Hop!”
Sumantri dengan cepat bergerak mengelakkan
serangan cakar lawan yang menggunakan jurus
'Cakar Kuku Naga' Hampir saja wajahnya berantakan
terobek cakaran kuku-kuku Supit Songong yang tajam
dan mengerikan, kalau saja dia tidak segera
mengelak.
“Ghrrr! Heaaa...!”
Merasa serangannya gagal, Supit Songong meng-
geram marah. Kembali dengan penuh amarah, bocah
yang kulit tubuhnya bersisik ini menggebrak lawan
dengan cepat.
Sumantri benar-benar dibuat kalang-kabut oleh
gerakan kaki bocah itu. Apalagi pada awal mulanya
dia sudah dihinggapi perasaan takut dan terlalu
meninggikan bocah itu, yang membuat gerakannya
menjadi kacau dan serba canggung.
“Heaaat...!”
Supit Songong melayang laksana naga terbang,
kemudian dengan cakarannya, dia menyerang wajah
Sumantri.
Wuttt!
Sumantri berusaha berkelit, kemudian membabat-
kan pedangnya ke tangan bocah itu dengan cepat.
Hal itu membuat Supit Songong menarik cepet
serangannya. Namun disusul dengan serangan
berikutnya yang tak kalah cepat dengan jurus 'Naga
Brahma Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa!”
Dugk!
“Ukh...!”
Sumantri mengeluh, merasakan dadanya terasa
sesak akibat hantaman pukulan lawan. Wajahnya
pucat pasi, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Matanya membelalak, gigi-giginya beradu menahan
marah.
“Bocah setan! Kubunuh kau! Heaaa...!”
Dengan mengerahkan segenap tenaga dalamnya,
Sumantri menyerang ke arah Supit Songong. Pedang-
nya berkelebat cepat, membuat jurus yang dinama-
kan 'Baling-baling Pencabut Nyawa'.
Melihat lawan telah mengeluarkan jurus
pamungkasnya, Supit Songong tidak tinggal diam. Dia
segera melolos Cambuk Api Lidah Naga. Kemudian,
ketika tubuh Sumantri melesat ke arahnya, tak segan-
segan lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke
arah lawan.
“Ayah, ibu! Semoga kalian tenang! Heaaa...!”
Cletar!
“Wuaaa...!”
Sumantri menjerit keras dan melengking ketika
Cambuk Api Lidah Naga melecut ke tubuhnya.
Cambuk yang telah berubah menjadi cambuk api itu
membelit dan membakar sekujur tubuhnya.
Kemudian dengan sekali hentakan, Supit Songong
melemparkan tubuh Sumantri dengan cara meng-
gerakkan Cambuk Api Lidah Naga ke luar.
“Heaaa...!”
Tubuh Sumantri yang sudah hangus itu terlempar
dan jatuh di tengah-tengah pertempuran Pendekar
Gila melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut
menyaksikan tuannya telah tewas dengan tubuh
gosong menjadi arang.
“Bocah setan itu telah membunuh Tuan Sumantri!”
seru Jalna Kumilang membelalakkan mata tegang.
Semua tokoh hitam yang mengeroyok Pendekar
Gila seketika terpaku dengan nyali yang menciut.
Sumantri yang mereka takuti dan segani dengan
mudah dapat dibinasakan.
Sementara itu pula, Supit Songong melesat ke
luar. Langsung menggebrak dengan Cambuk Api
Lidah Naganya.
Cletar! Cletar...!
Prat! Prat...!
“Wuaaa!”
“Aaakh...!”
Pekikan kematian seketika terdengar susul-
menyusul, membelah keheningan malam. Pendekar
Gila hanya terlongong bengong, menyaksikan
kehebatan Cambuk Api Lidah Naga di tangan Supit
Songong. Dalam sekejap saja, tujuh orang anak buah
Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali lecutan.
“Semuanya telah usai, Supit,” kata Sena.
“Benar, Kakang,” sahut bocah berusia sepuluh
tahun itu. “Kini semua telah terbalaskan. Semoga tak
ada lagi kejahatan.”
Sena tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepala, membuat Supit Songong mengerutkan kening
tak mengerti.
“Supit, selama dunia masih berputar, kejahatan
akan selalu ada. Di mana-mana, setan akan berusaha
mengalahkan manusia dan memperbudak manusia.
Di saat itu pula, kejahatan akan hadir,” tutur Sena.
“Kalau begitu, aku ingin ikut Kakang untuk turut
serta menumpas kejahatan,” kata Supit Songong
berapi-api, sebagaimana layaknya bocah kecil.
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk
garuk kepala.
“Tidak mungkin, Supit! Kau masih kecil. Belum
waktunya kau mengembara di rimba persilatan. Kau
harus kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke
sana,” ajak Sena.
“Tapi, Kakang....”
“Sudahlah, kau harus kembali dulu ke Paman
Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana Paman
Naga Brahma memutuskan, ayo!” ajak Sena sambil
menggandeng tangan Supit Songong meninggalkan
tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat,
meninggalkan rumah Sumatri yang sepi dan senyap,
dan hanya tinggal mayat-mayat yang bergelimpangan.
Selang beberapa waktu kemudian, nampak
seorang lelaki tua berjubah putih dengan rambut
putih di gelung serta jenggot panjang datang ke
rumah Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya
bertengger sebuah pedang, tiada lain Dewa Pedang.
Mata Ki Badawi membelalak, menyaksikan murid
dan orang-orangnya mati mengenaskan.
“Kurang ajar! Pendekar Gila, ke mana pun kau
pergi, aku akan mencarimu! Kubunuh kau, Pendekar
Gila...!” serunya lantang penuh amarah. Kemudian
dengan masih diliputi rasa marah, Dewa Pedang
berlari meninggalkan tempat itu.
Bagaimana dengan ancaman Dewa Pedang pada
Pendekar Gila? Apakah Dewa Pedang benar-benar
akan membunuh Pendekar Gila? Mungkinkah salah
paham antara Dewa Pedang dan Pendekar Gila
diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila
selanjutnya dalam judul “Pembalasan Dewa Pedang”,
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon