Ki Balamprang yang merupakan tokoh tua dunia
persilatan, harus mengakui kehebatan ilmu lari
Pendekar Gila yang usianya jauh di bawahnya. tidak
Pendekar Gila yang melesat melebih angin. Tubuhnya
terlihat bagai terbang.
Ilmu lari apakah yang digunakannya? Tanya Ki
Balamprang dalam hati. Sungguh bukan omong
kosong nama Pendekar Gila. Baru ilmu larinya saja
aku sudah jauh tertinggal. Apalagi ilmu silat dan ilmu
kesaktiannya?
Pendekar Gila menghentikan larinya, setelah sadar
Ki Balamprang tertinggal jauh di belakang. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya
cengar-cengir.
"Ah. Kurasa kau mengujiku, Ki," kata Sena.
"Tidak, Pendekar Gila. Sungguh baru sekarang aku
tahu kalau rimba persilatan telah banyak mengalami
kemajuan. Salah satunya kau. Sulit pendekar tua
sepertiku dapat menandingimu. Kau sendiri pun sulit
dicari tandingannya," kata Ki Balamprang kagum.
"Jangan terlalu merendah, Ki. Kau lebih ber-
pengalaman dibanding aku," ujar Sena seraya
menggaruk-garuk kepala.
Ki Balamprang tersenyum senang dengan tutur
kata dan tindak tanduk Pendekar Gila. Meski tingkah
lakunya persis orang gila, tapi cukup bijaksana dalam
mengambil keputusan.
"Apa masih jauh, Ki?" tanya Sena sambil me-
mandang lurus ke depan. Tangan kirinya bertolak
pinggang, sedangkan tangan kanan menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya meringis, mirip seekor kera
kepanasan.
"Sebentar lagi kita sampai, Pendekar Gila."
"Panggil saja Sena, Ki," tukas Sena.
"Baiklah, Sena. Kuburan Dewi Pedang Beracun
sekitar dua mil lagi dari sini."
"Hm.... Agak dekat. Mari kubantu, Ki. Peganglah
tangan kiriku. Kita harus segera sampai di tempat
tujuan sebelum matahari terbenam."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya tangan kiri
Pendekar Gila.
"Siap, Ki?"
"Ya."
"Berpeganglah kuat-kuat. 'Sapta Bayu'. Yeaaa...!"
Wusss!
Pendekar Gila kembali melesat laksana terbang,
hingga Ki Balamprang melotot ngeri merasakan
tubuhnya melayang di udara. Sungguh dahsyat ilmu
lari pendekar muda ini. Gumam Ki Balamprang dalam
hati. Dalam sekejap mereka tiba di tempat tujuan.
"Seperti mimpi rasanya," gumam Ki Balamprang.
"Tubuhku laksana terbang. Huh. Aku hampir
ketakutan."
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala, matanya
memandang ke atas bukit, di mana tampak dua buah
batu nisan.
"Itukah kuburannya, Ki?"
"Hm...," gumam Sena. "Kita harus segera ke sana.
Ayo, Ki...!"
Keduanya berlari-lari mendaki bukit yang tidak
begitu tinggi. Tak begitu lama, mereka pun sampai di
kuburan itu. Mata Ki Balamprang mengerut ketika
melihat sebagian kuburan terbongkar. Seakan mayat
Dewi Pedang Beracun benar-benar bangkit dari kubur.
"Ada apa, Ki?" tanya Sena heran.
"Kau lihat, Sena. Kuburan ini terbongkar. Dewi
Pedang Beracun telah keluar dari kuburnya!" desis Ki
Balamprang dengan bulu kuduk meremang.
"Bangkit dari kubur?!" tanya Sena dengan kening
berkerut.
Ki Balamprang mengangguk.
"Ah! Mungkinkah itu, Ki?"
"Entahlah. Kalau memang benar sangat ber-
bahaya," desah Ki Balamprang.
"Bagaimana kalau kita buktikan saja, Ki?"
"Maksudmu?" tanya Ki Balamprang tak mengerti.
"Sebentar lagi malam tiba. Bukankah mayat hidup
selalu menunggu malam tiba?"
Ki Balamprang mengangguk-angguk.
"Benar yang kau katakan, Sena. Baiklah, kita cari
tempat yang terlindung untuk mengawasinya."
"Di sana," kata Sena sambil menunjuk rimbunan
semak belukar yang tidak begitu jauh. "Kita ke sana,
Ki."
"Ayo," ajak Ki Balamprang. Keduanya melesat ke
semak-semak yang cukup melindungi tubuh mereka
dari penglihatan orang lain. Sementara, matahari
terus bergulir ke barat. Sebentar lagi malam akan
tiba. Suasana di bukit itu terasa mencekam.
6
Malam yang dinanti-nantikan datang dengan
membawa angin dingin. Suasana di sekitar Bukit
Lawang Ireng tempat makam Dewi Pedang Beracun
berada makin mencekam perasaan. Suara-suara yang
seperti datang dari alam kematian menyeruak
bersama datangnya kegelapan.
Pendekar Gila dan Ki Balamprang mengintip dari
balik semak. Mata mereka terpaku pada kuburan tua
tempat mayat Dewi Pedang Beracun bersama
senjatanya tersimpan.
"Kurasa dugaanku salah, Sena," desis Ki
Balamprang mulai goyah pendiriannya, setelah
menunggu lama namun tidak juga muncul tanda-
tanda kalau Dewi Pedang Beracun hidup kembali.
"Sabarlah, Ki. Kita tunggu sampai nanti malam,"
bisik Pendekar Gila pelan.
"Tapi, biasanya arwah keluar jika hari menjelang
gelap seperti ini. Saat matahari tenggelam arwah
akan muncul ke dunia," tutur Ki Balamprang.
"Hhh," Sena menghela napas. Matanya masih
menatap kuburan Dewi Pedang Beracun. Memang tak
ada tanda-tanda kalau mayat Dewi Pedang Beracun
akan muncul ke dunia. Padahal hari sudah mulai
gelap.
Krak!
Tiba-tiba terdengar suara berderak keras dari arah
kuburan. Mata Sena dan Ki Balamprang langsung
memandang tajam ke arah kuburan dengan penuh
kengerian dan tegang.
Krak!
Suara itu kembali terdengar. Bersamaan dengan
itu, sebuah bayangan yang diselimuti kabut putih
melesat ke atas.
"Lihat, Ki. Rupanya, arwah Dewi Pedang Beracun
benar-benar muncul," desis Sena. Matanya
memandang tegang bayangan yang diselimuti kabut,
yang masih bergulung-gulung di angkasa.
"Ya! Mungkinkah dia yang melakukan pem-
bunuhan itu?" gumam Ki Balamprang ragu.
"Kita lihat saja, Ki."
Bayangan hijau bunga kenanga itu terus
bergulung, lalu melesat bersama angin ke arah
Kadipaten Pamakasan.
"Hei! Dia menuju kadipaten. Celaka...!" pekik Ki
Balamprang semakin tegang.
"Kita harus mengikutinya, Ki," kata Sena.
"Mengikutinya?" tanya Ki Balamprang dengan
pandangan mata penuh ketegangan. Bergidik bulu
kuduknya mendengar kata-kata Pendekar Gila.
Bagaimana mungkin mereka mengikutinya? Kalau
benar arwah Dewi Pedang Beracun yang membunuh,
tentu sulit bagi mereka untuk menghalangi.
"Kenapa, Ki? Nampaknya kau ragu," ujar Sena.
"Sena, bagaimana mungkin kita menghadapi
arwah? Dia tidak dapat dibunuh."
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Aku akan berusaha, Ki. Semoga Suling Naga Sakti
dapat membantuku," kata Sena berusaha menenang-
kan hati Ki Balamprang yang kelihatan sangat
gelisah.
"Suling Naga Sakti?!"
Ki Balamprang nampak terkejut mendengar Suling
Naga Sakti disebut Pendekar Gila. Matanya melotot,
memandang tajam ke arah Sena yang masih
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Ki."
"Oh! Senjata sakti itu ada padamu, Sena?" tanya Ki
Balamprang belum yakin.
"Ya. Kenapa, Ki?"
"Ck ck ck.... Sungguh kau bukan pendekar
sembarangan, Sena. Dengan Suling Naga Sakti di
tanganmu, sulit bagi tokoh persilatan menandingimu,"
decak kagum keluar dari mulut Ki Balamprang.
Matanya semakin tajam memandang Pendekar Gila.
"Ah. Sudahlah, Ki. Kita tidak bisa tinggal diam di
sini. Kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena.
"Peganglah tangan kiriku."
Ki Balamprang menurut. Dipegangnya dengan kuat
tangan kiri Pendekar Gila.
"Sudah siap, Ki?" tanya Sena.
"Sudah."
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!"
Dalam sekejap, tubuh Pendekar Gila serta Ki
Balamprang melesat cepat meninggalkan bukit itu.
Mereka harus segera sampai di kadipaten
sebelum arwah Dewi Pedang Beracun tiba. Namun
bayangan arwah Dewi Pedang Beracun yang mereka
ikuti, tiba-tiba menghilang dalam gelap. Pendekar Gila
tersentak dan menghentikan larinya.
"Hilang, Ki."
"Ya."
"Hm.... Ke arah mana dia menghilang?" gumam
Sena sambil menyapukan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Begitu juga Ki Balamprang.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik yang
menyeramkan. Hingga bulu kuduk kedua orang itu
meremang. Bersamaan dengan tawa itu, tiba-tiba...
Swing, swing...!
"Awas, Ki...!" seru Sena mengingatkan, ketika
beberapa bunga mawar merah melesat cepat ke arah
mereka.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Balamprang segera berputaran di udara
mengelakkan serangan yang datang cepat dan tiba-
tiba.
Begitu pun dengan Pendekar Gila. Kemudian
keduanya mencabut senjata masing-masing. Dengan
Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila
bergerak membabat bunga-bunga mawar maut yang
menderu-deru ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Wut!
Pluk, pluk!
Bunga-bunga mawar maut berguguran terkena
sapuan Suling Naga Sakti. Sementara Ki Balamprang
dengan senjatanya yang berupa jala, tak mau tinggal
diam. Jala yang terbuat dari anyaman sari logam itu
ditebarkan di hadapannya.
Wret!
Prak, prak!
Bunga-bunga mawar maut yang mengarah ke
tubuhnya terbendung jala di tangan Ki Balamprang.
Kemudian dengan geram, Ki Balamprang segera
mengangkat senjatanya. Kemudian diputar-putar di
udara, sebelum dihantamkan ke arah bunga-bunga
mawar merah.
Wut!
Larikan sinar merah yang keluar dari ujung jala
menderu ke arah bunga-bunga mawar di hadapannya.
Glarrr!
Ledakan dahsyat terdengar menggelegar, ber-
samaan dengan tumbangnya beberapa pohon yang
terkena hantaman ujung-ujung jala Ki Balamprang.
"Kita kejar, Ki!" ajak Sena. Keduanya segera
melesat ke arah hutan tempta senjata-senjata
rahasia berbentuk bunga mawar merah melesat
menyerang. Tapi, sesampainya di tempat itu, mereka
tidak menemukan seorang pun.
"Hilang, Ki!"
"Hm.... Mungkin arwah Dewi Pedang Beracun,
Sena. Kita harus berhati-hati," gumam Ki Balamprang.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu yang
gelap dan mencekam.
"Mungkinkan arwah Dewi Pedang Beracun, Ki?
Bukankah Dewi Pedang Beracun menggunakan
bunga kenanga?" tanya Sena masih belum percaya
yang menyerang mereka Dewi Pedang Beracun.
"Entahlah, Sena. Tapi kalau memang bukan arwah,
bagaimana mungkin bisa menghilang begitu cepat?"
"Kita periksa lagi, Ki. Siapa tahu masih ber-
sembunyi di sekitar tempat ini," ajak Sena.
"Aku setuju."
Belum juga keduanya memeriksa keadaan di
sekitar tempat itu, kembali mereka dikejutkan oleh
suara tertawa mengikik yang mendirikan bulu kuduk.
"Hik hik hik...!"
"Itu dia, Ki!" kata Sena.
"Benar. Suaranya seperti kuntilanak, Sena."
"Awas, Ki! Serangan...!" pekik Sena. Matanya
melihat beberapa tangkai bunga mawar melesat ke
arah mereka.
"Heaaa!"
Ki Balamprang segera mencelat ke belakang,
bersalto mengelakkan serangan bunga-bunga mawar
maut yang menderu cepat ke arahnya.
Swing, swing...!
"Heaaa...!
Dengan melompat, Pendekar Gila dan Ki
Balamprang segera mengibaskan senjatanya untuk
memapaki serangan bunga-bunga mawar.
Wut!
Pluk, pluk..,! Srat!
Suara jaring Ki Balamprang terdengar menderu,
menyambar ke arah bunga-bunga mawar yang
melaju. Seketika itu juga, bunga-bunga mawar itu
jatuh berguguran.
"Setan! Rupanya dia ingin mempermainkan kita,
Ki," ujar Sena menggerutu kesal. Kemudian dengan
masih bergerak, ditiupnya Suling Naga Sakti.
Suara suling itu mengalun keras, melengking
dahsyat. Seketika suasana di tempat itu laksana
dihantam prahara. Angin menderu-deru kencang
merobohkan beberapa pohon. Ledakan-ledakan
dahsyat tak ubahnya halilintar, menggelegar
memecah kesunyian malam.
Jlegar!
"Aaakh!"
Dari dalam Hutan Pranggas terdengar suara pekik
kesakitan. Sepertinya ada seseorang di dalam hutan.
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
"Ki, seperti ada suara orang. Kita periksa," ajak
Sena.
Keduanya berkelebat meninggalkan tempat itu
menerobos hutan. Tapi, kembali mereka tidak
menemukan seorang pun di hutan itu.
"Mungkinkah arwah Dewi Pedang Beracun?" Desis
Ki Balamprang dengan bulu kuduk meremang,
mendapatkan kenyataan yang ada.
"Hhh," Sena mendesah. "Kalau benar itu arwah, dia
akan musnah, Ki."
"Ya. Suling Naga Sakti yang baru saja kutiup
adalah suara 'Pelayung Sukma'. Apa pun bentuk iblis,
akan dapat dimusnahkan Suling Naga Sakti," jelas
Pendekar Gila.
Ki Balamprang mengangguk-angguk kagum.
"Kita harus segera ke kadipaten, Ki. Firasatku
mengatakan terjadi sesuatu di sana."
"Ayo."
***
Malam menyelimuti Kadipten Pamakasan dengan
kegelapan yang mencekam. Suasana di sekeliling
kadipaten tempat para pendekar beristirahat,
nampak sepi dan tenang. Sementara di pintu gerbang
empat orang prajurit tengah berjaga-jaga. Jumlah
penjagaan ditambah karena Adipati Sumagatri tidak
ingin kecolongan untuk kedua kali. Terlebih di situ
menginap beberapa pendekar.
Malam kian larut dengan cahaya bulan sabit.
Suasana di sekitar kadipaten remang-remang ketika
dari kegelapan melesat beberapa tangkai bunga ke
arah keempat prajurit jaga yang tersentak kaget
Mata mereka membelalak. Keempat penjaga itu
berusaha mengelakkan serangan, namun bunga-
bunga mawar lebih cepat menghantam dada.
Jlep, jlep, jlep...!
"Aaa...!"
Pekik kematian seketika terdengar, memecah
kesunyian malam. Cepat sekali gerakan penyerang
gelap itu. Sampai-sampai para pendekar yang sedang
beristirahat dan Adipati Sumagatri tidak mendengar-
nya.
Dari kegelapan, berkelebat sesosok bayangan
merah melesat masuk ke lingkungan kadipaten.
Terus menuju kamar sang Adipati. Perlahan-lahan
bayangan merah itu membuka jendela kamar Adipati
Sumagatri dengan pedangnya yang putih keperakan.
Kemudian dengan sekali lompat, tubuhnya telah
masuk ke dalam kamar.
"Hei, si…"
Belum habis ucapan Adipati Sumagatri, sesosok
bayangan merah dengan cepat menyerang ke arah-
nya. Pedangnya yang putih keperakan, membuat
Adipati Sumagatri sulit melihat siapa wanita
berpakaian serba merah itu. Namun pedang di
tangan wanita itu sangat dikenalnya. Pedang Perak
itu tidak lain milik Dewi Pedang Beracun.
"Terimalah pembalasanku, Adipati Keparat!
Yeaaat...!"
Pedang Perak di tangan wanita itu bergerak cepat,
menebas ke arah Adipati Sumagatri.
"Tidak mungkin! Kau sudah mati!" pekik Adipati
Sumagatri sambil berusaha mengelakkan tebasan-
tebasan pedang lawan. Meski bertubuh besar dan
agak gendut, Adipati Sumagatri mampu bergerak
lincah.
Saat Adipati Sumagatri terdesak, tiba-tiba pintu
kamarnya didobrak orang. Nampak Ki Balacatra dan
beberapa anak buahnya menyerbu masuk.
"Tangkap pembunuh itu!" seru Ki Balacatra pada
anak buahnya.
Melihat orang-orang kadipaten masuk, wanita itu
segera melemparkan beberapa bunga mawar.
Kemudian melesat pergi melalui jendela dan meng-
hilang di kegelapan malam.
Jlep, jlep!
"Aaa...!"
Beberapa anak buah Ki Balacatra memekik
dengan bunga mawar menancap di dada. Tubuh
mereka mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
"Kejar dia...!" perintah Ki Balacatra.
"Jangan!" cegah Adipati Sumagatri.
Seketika semua menghentikan langkahnya.
"Mengapa tidak dikejar, Kanjeng?" tanya Ki
Balacatra tak mengerti. "Bukankah jelas dia
orangnya?"
Adipati Sumagatri menghela napas.
"Percuma kalian mengejarnya. Jangankan kalian,
para pendekar yang ada di sini pun tidak akan
mampu menghadapinya. Kita hanya bisa berharap
pada Pendekar Gila," gumam Adipati Sumagatri.
"Ya. Kurasa Pendekar Gila yang mampu meng-
hadapinya."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Adipati
Sumagatri, orang yang dimaksud datang bersama Ki
Balamprang. Keduanya langsung masuk ke dalam
kamar. Takut jika terjadi sesuatu pada Adipati
Sumagatri.
"Oh! Syukurlah, Kanjeng Adipati selamat," kata
Sena. "Kami sudah mengira di sini akan terjadi
kerusuhan lagi."
"Terima kasih. Hampir saja nyawaku melayang di
tangan Dewi Pedang Beracun," ujar Adipati Sumagatri.
"Jadi, benar dia Dewi Pedang Beracun?" tanya Ki
Balamprang dengan kening berkerut. "Dari mana
Kanjeng Adipati tahu?"
"Dari pedangnya, Ki."
"Ah!" pekik Ki Balamprang. "Apa warna pakaian
yang dikenakannya, Kanjeng?"
"Merah," jawab Adipati Sumagatri tegas.
"Ini benar-benar aneh. Kami baru saja melihat
kenyataan yang ada. Arwah Dewi Pedang Beracun
muncul dari kuburnya dengan pakaian hijau bunga
kenanga," ujar Pendekar Gila seraya menggaruk-
garuk kepala.
Semua yang ada di situ memperhatikan Pendekar
Gila yang dibantu Ki Balamprang, menceritakan
kejadian yang dialaminya di Bukit Lawang Ireng.
"Begitulah ceritanya. Kami juga. Kami juga heran
mengapa senjata Dewi Pedang Beracun bunga
mawar? Bukan kenanga seperti yang digunakan
tahun silam?" gumam Ki Balamprang.
"Ya. Misteri," sambut Adipati Sumagatri. "Ki ada
sesuatu di balik semua ini."
"Maksud Kanjeng Adipati, ada orang yang
memanfaatkan arwah Dewi Pedang Beracun untuk
maksud-maksud tertentu?" tanya Ki Balamprang.
"Tepat! Kita tak mungkin mengalahkan arwah Dewi
Pedang Beracun. Yang bisa kita lakukan hanya
menangkap orang yang telah memperalat Dewi
Pedang Beracun," sahut Adipati Sumagatri.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menyebar. Jika kita
berkumpul di sini sangat berbahaya. Kita harus
waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi,"
saran Sena.
Hari itu juga diadakan pertemuan untuk mem-
bicarakan peristiwa itu. Hasilnya, para pendekar
ditugaskan untuk mencari siapa orang yang mem-
peralat arwah Dewi Pedang Beracun.
7
Siang yang panas memanggang siapa saja yang
berada di bawah teriknya. Demikian pula seorang
pemuda berbaju rompi kulit ular dengan rambut
gondrong. Pemuda yang tidak lain Sena Manggala itu
terlihat meringis-ringis kepanasan. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala yang tak gatal.
Saat itu, Pendekar Gila tengah melangkah
menelusuri jalan Desa Wedara bumi. Sena berusaha
mencari sebuah kedai untuk mengisi perutnya yang
kosong.
Tampak berdiri megah sebuah kedai yang cukup
besar. Para pengunjung yang kebanyakan kaum
pendatang, memenuhi kedai itu. Terlihat beberapa
orang rimba persilatan. Pendekar Gila melangkah
masuk. Matanya seketika tertumpu pada seorang
wanita berpakaian lengan panjang putih dengan
pedang tersandang di punggung. Tanpa sadar Sena
memanggil wanita yang duduk membelakanginya itu.
"Mei Lie?"
Wanita itu menengok dengan seulas senyum.
Betapa terperangahnya Sena setelah mengetahui
siapa wanita itu. Ternyata bukan Mei Lie, melainkan
Nyi Gendis Awit.
"Sena!" seru Nyi Gendis Awit. "Kemarilah."
Pendekar Gila nyengir. Kemudian tangannya
sambil menggaruk-garuk kepala didekatinya Nyi
Gendis Awit.
"Aha. Kiranya kau, Nyi. Mengapa bajumu ganti,
Nyi? Aku sampai tidak mengenalimu lagi," ujar Sena
berseloroh sambil duduk di samping Nyi Gendis Awit
Nyi Gendis Awit kembali tersenyum.
"Bukankah kita tengah mencari si Mawar Maut?"
tanya Nyi Gendis Awit.
"Ya," sahut Sena.
"Itu sebabnya aku menyamar. Jangankan si Mawar
maut, kau saja tertipu oleh penyamaranku," kata Nyi
Gendis Awit bangga.
Pendekar Gila mengangguk-angguk sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Ya ya ya.... Kau benar. Hm.... Apa kau sudah
mendapat petunjuk, Nyi?" tanya Sena.
"Belum. Sulit juga mencari jejak orang itu," gumam
Nyi Gendis Awit.
"Ya. Memang susah. Kita belum tahu seperti apa
orang itu. Hingga kita sulit untuk mencari jejaknya.
Hhh... Kita harus sabar," desah Sena.
Pelayan kedai datang menghampiri.
"Pesan apa, Tuan?" tanyanya.
"Nasi dan ikan bakar. Kalau ada, lalap petainya
sekalian," pinta Sena.
"Air putih," sahut Sena. Pelayan kedai itu segera
pergi. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali
dengan membawa pesanan Pendekar Gila. Setelah
menaruhnya, pelayan kedai pun berlalu dari meja
Pendekar Gila dan Nyi Gendis Awit.
Pendekar Gila segera menyantap makanannya.
Sesekali dia berbincang-bincang dengan Nyi Gendis
Awit.
"Kau hendak ke mana?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Entahlah. Aku tak tahu arah mana yang harus
kutuju," jawab Sena.
"Bagaimana kalau kita sejalan?"
Pendekar Gila terdiam. Tangan kirinya menggaruk-
garuk kepala.
"Wah! Kalau aku sedang santai, ingin rasanya aku
berjalan denganmu, Nyi. Di samping bisa menikmati
wajahmu yang cantik, aku juga bisa mempelajari
beberapa ilmu darimu," jawab Sena. "Sayang, saat ini
kita tengah menjalankan tugas. Ah. Bagaimana kalau
lain waktu saja?"
Nyi Gendis Awit cemberut mendengar kata-kata
Pendekar Gila. Rupanya, hatinya merasa tidak
senang. Tatapan bola matanya seperti menyimpan
suatu harapan.
Selesai menyantap makanannya, mereka me-
ninggalkan kedai dengan arah berlainan. Nyi Gendis
Awit ke arah barat, sedangkan Pendekar Gila ke arah
timur.
***
Malam kembali menyelimuti bumi dengan
kegelapan yang mencekam. Angin malam yang
berhembus disertai embun, menambah rasa dingin
hingga menusuk tulang sumsum.
Sesosok bayangan merah yang di punggungnya
tersandang sebilah pedang, berkelebat cepat menuju
bangunan Perguruan Tambak Segara. Perguruan yang
dipimpin Ki Balamprang itu terletak di pesisir Desa
Wedara Bumi.
Bayangan merah itu mengendap-endap, dan
bersembunyi di balik kerimbunan pohon. Kepalanya
menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan
sekelilingnya. Setelah merasa aman, bayangan merah
itu melompat ke atas cabang pohon.
"Hup!"
Nampak di dalam lingkungan Perguruan Tambak
Segara beberapa orang murid tengah melakukan
penjagaan. Rupanya, Ki Balamprang telah waspada
sehingga melakukan penjagaan ketat. Dia tidak ingin
kecolongan seperti yang dialami Ki Anggada.
"Hm...."
Bayangan merah itu menggumam tak jelas.
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya
yang longgar. Kemudian, dilemparkannya bunga-
bunga mawar merah ke arah sepuluh orang murid Ki
Balamprang.
Swing, swing!
"Awas serangan...!" terdengar seruan seorang
murid Perguruan Tambak Segara.
Dengan cepat mereka berpencar dan berusaha
mengelakkan serangan gelap itu. Rupanya, laju
bunga-bunga mawar merah itu lebih cepat dari
gerakan mereka. Kesepuluh murid-murid Perguruan
Tambak Segara tak mampu menghindar dari bunga-
bunga mawar maut itu.
Jlep, jlep...!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Pekik kematian terdengar susul-menyusul. Diikuti
mengejangnya sepuluh murid Perguruan Tambak
Segara. Satu persatu mereka bertumbangan dengan
nyawa melayang.
Mendengar keributan di luar, murid-murid
Perguruan Tambak Segara yang lain menghambur
keluar. Tapi, kedatangan mereka disambut oleh
serangan gelap bunga-bunga mawar.
"Mawar Maut datang! Awas...!"
Swing, swing...!
Puluhan mawar merah menderu kencang ke arah
mereka. Murid-murid Perguruan Tambak Segara
terpana. Dengan menjerit keras untuk mengundang
yang lainnya, mereka berusaha mengelakkan
serangan Mawar maut.
"Mengelak! Cepat…!" terdengar suara Ki
Balamprang berseru mengingatkan murid-muridnya.
Namun terlambat! Bunga-bunga mawar merah itu
begitu cepat melesat. Maka....
Jlep, jlep...!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Pekikan kematian kembali terdengar susul-
menyusul. Diikuti berjatuhannya tubuh-tubuh korban
bunga-bunga mawar itu.
"Kurang ajar! Keluar kau! Siapa pun dirimu, aku
tak takut!" bentak Ki Balamprang marah, melihat
murid-muridnya banyak yang tewas.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengikik seperti
kuntilanak. Bulu kuduk Ki Balamprang berdiri.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, namun
tidak terlihat siapa-siapa di situ. Suara tawa itu
seakan berada di sekelilingnya. Hingga Ki
Balamprang sulit mencari asalnya.
"Hik hik hik...!"
Ki Balamprang berusaha menekan rasa takut yang
mendera jiwanya. Segera senjatanya yang berupa jala
dikeluarkan, dan langsung diputar-putar di atas
kepala. Sambil mendengus dengan penuh
kemarahan, jala maut itu dihantamkan ke arah
pepohonan yang ada di sekitarnya.
Wut! Brak!
Seketika suasana menjadi terang oleh sinar merah
yang keluar dari ujung-ujung jala. Pepohonan banyak
yang roboh terhantam ujung-ujung jala.
"Perempuan setan! Keluar kau...!" bentak Ki
Balamprang melihat perempuan yang disangkanya
arwah Dewi Pedang Beracun tak muncul juga.
Matanya memandang ke sekeliling dengan tegang.
Tak ada sahutan.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah!"
Kembali Ki Balamprang membentak keras.
Senjatanya yang berupa jala diputar-putar di atas
kepala siap menyerang lawan jika sewaktu-waktu
muncul.
"Aku di sini, Balamprang!"
Ki Balamprang tersentak ketika dari belakang
terdengar suara wanita menyapanya. Ketika berbalik
matanya seketika membelalak. Wanita yang sekujur
tubuhnya tertutup kain merah telah berada di
belakangnya.
"Bagus! Rupanya kau orangnya! Hiaaat...! " Ki
Balamprang yang telah mengetahui kehebatan ilmu
lawan, tak mau membuang-buang waktu lagi.
Diserangnya wanita itu dengan jala saktinya. Jurus
yang digunakannya bernama 'Rapat Pukat Samudera'
Wut!
Brat!
"Uts!"
Wanita berpakaian serba merah itu berkelit
dengan ringan. Pedangnya yang memancarkan sinar
putih keperakan segera dicabut. Melihat hal itu, Ki
Balamprang tersentak kaget.
"Pedang Perak! Kau...! Kau benar Dewi Pedang
Beracun??"
"Siapa aku, itu tak penting. Kini terimalah
kematianmu! Hiaaa...!"
Wanita berpakaian serba merah itu dengan cepat
menyerang. Pedangnya dibabatkan ke tubuh lawan.
Serangan kini mengarah ke dada lawan dengan jurus
'Belah Wanggala dan Neraka'.
Wut!
Asap putih bergulung-gulung keluar dari pedang di
tangan wanita itu. Bersamaan dengan laju pedang
yang membabat dan menusuk ke arah dada lawan,
wanita itu sesekali melemparkan bunga-bunga mawar
arah Ki Balamprang.
"Ups! Celaka...!" pekik Ki Balamprang.
Ketua Perguruan Tambak Segara itu semakin
kewalahan menghadapi serangan lawan. Terlebih
asap beracun yang keluar dari pedang lawan mampu
membuat dadanya sesak. Ki Balamprang segera
menutup jalan darahnya. Lalu dengan menahan
napas, kembali menyerang lawan. Jala di tangannya
menderu-deru dan mencecar lawan dengan jurus
'Sapu Jala Samudera'.
"Hiaaa...!"
"Ups! Yiaaat...!"
Wanita misterius itu dengan mudah mengelakkan
setiap serangan Ki Balamprang. Bahkan, menambah
gencar serangannya. Gerakan pedangnya sangat
cepat, membabat dan menusuk ke dada lawan.
Ditambah lagi serangan-serangan mawar mautnya.
Meski Ki Balamprang menyadari kalau lawannya
berada satu tingkat di atasnya, namun sebagai
seorang pendekar yang telah banyak makan asam
garam, dia tak menjadi gentar. Dengan gagah berani,
diladeninya serangan-serangan lawan dengan
sabetan dan lemparan jala saktinya.
"Hiaaa...!"
Wut!
Pertarungan seru terjadi. Dengan senjata
pusakanya, masing-masing berusaha membinasakan
lawan. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut
mereka. Yang ada hanya bagaimana caranya mem-
binasakan lawan.
Ki Balamprang yang terdesak hebat, terus ber-
usaha menyerang balik. Jala saktinya menderu-deru
keras, menyerang lawan.
Wut!
"Kena!" seru Ki Balamprang ketika ujung jala
saktinya berhasil mengenai kain penutup wajah
wanita misterius itu.
Bret!
Kini nampaklah siapa sebenarnya wanita itu.
"Kau...?!"
Belum sempat Ki Balamprang menyelesaikan
ucapannya, wanita berbaju serba merah itu telah
membabatkan pedangnya ke leher Ki Balamprang.
Cras!
Kepala Ki Balamprang terpenggal dan meng-
gelinding ke tanah. Sesaat tubuhnya mengejang
sebelum jatuh ke tanah dengan nyawa melayang.
Wanita baju serba merah melesat meninggalkan
Perguruan Tambak Segara, menghilang di kegelapan
malam.
***
Tidak berapa lama kemudian, nampak seorang
pemuda berbaju rompi kulit ular berlari-lari menuju
Perguruan Tambak Segara. Pemuda yang tak lain
Sena itu melesat masuk ke dalam. Seketika
langkahnya dihentikan, dan matanya membelalak
menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Salah satu mayat kepalanya terpenggal. Mayat Ki
Balamprang!
"Oh, Jagat Dewa Batara! Rupanya aku terlambat.
Mawar Maut telah datang ke tempat ini," gumam
Sena dengan air muka sedih, menyaksikan mayat-
mayat berserakan di sana-sini. Semua mati dengan
dada ditembus bunga mawar merah.
Kresek!
Tengah Pendekar Gila memeriksa mayat-mayat itu,
tiba-tiba telinganya menangkap suara gemeresek
daun kering terinjak.
"Siapa itu?!"
Dengan sekali lompat, Pendekar Gila memburu ke
arah suara itu. Sesosok bayangan berkelebat pergi
meninggalkan tempat itu. Pendekar Gila semakin
penasaran. Dengan mengerahkan ilmu lari 'Sapta
Bayu' Pendekar Gila memburu orang itu.
"Hei, berhenti!" bentak Sena. Tubuhnya melesat
dan mendarat di depan lelaki berpakaian rompi biru
yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya," ratap lelaki
muda yang pakaiannya sama dengan pakaian yang
dikenakan murid-murid Perguruan Tambak Segara.
Pendekar Gila mengerutkan kening, memandangi
laki-laki itu dengan seksama.
"Kau pasti murid Perguruan Tambak Segara.
Mengapa lari?" tanya Sena. "Aku adalah sahabat
gurumu, Ki Balamprang."
"Ampun, Tuan. Saya takut. Saya kira, Tuanlah yang
telah membunuh teman-teman dan guru saya."
"Hm.... Ke mana kau waktu kejadian itu?" tanya
Sena ingin tahu.
"Saya tidur di belakang, Tuan," jawab lelaki muda
itu masih dengan wajah ketakutan.
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia tahu
mengapa orang ini bisa selamat. Tentu Dewi Pedang
Beracun hanya menginginkan Ki Balamprang saja.
Namun karena murid-muridnya menghadang, Dewi
Pedang Beracun membunuh mereka. Buktinya orang
ini masih hidup.
"Bersyukurlah pada Hyang Widhi, karena umurmu
masih dipanjangkan. Siapa namamu, Kisanak?" tanya
Sena.
"Saloka, Tuan."
"Saloka, kuharap kau mau kembali ke pergurun.
Ajaklah beberapa penduduk untuk membantumu
menguburkan mayat guru dan saudara seperguruan-
mu...," tutur Sena.
"Tapi, Tuan...," wajah Saloka nampak tegang.
Matanya menggambarkan ketakutan.
"Ada apa? Kau takut...?"
"Benar, Tuan."
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tak ada yang harus ditakuti. Dewi Pedang
Beracun hanya mencari gurumu. Kalau Ki
Balamprang telah meninggal, dia tidak akan
mencarimu. Kau tidak ada sangkut-pautnya dengan
Dewi Pedang Beracun.
"Benarkah, Tuan?" tanya Saloka, belum percaya.
"Ya! Kuharap begitu," jawab Sena. "Oh, ya.
Tahukah kau, arah mana Dewi Pedang Beracun
pergi?"
"Ke arah timur, Tuan."
"Timur?!" membelalak mata Sena mendengar
jawaban Saloka.
"Benar, Tuan."
"Celaka! Aku harus segera ke sana. Tentu dia
menuju Kadipaten Pamakasan. Pulanglah segera ke
perguruan."
Dengan cepat Pendekar Gila melesat meninggal-
kan Saloka. Sementara, murid Perguruan Tambak
Segara yang luput dari kematian itu hanya terpana
menyaksikan ilmu lari cepat Pendekar Gila.
8
Rumah Ki Lurah Banjilan nampak sepi. Di halaman
rumah berukuran besar itu terlihat dua orang
penjaga. Seperti para pendekar lainnya, Ki Lurah
Banjilan pun memperketat penjagaannya. Takut Dewi
Pedang Beracun akan datang menyatroni.
Sementara, udara malam saat itu terasa dingin,
menambah suasana kian mencekam.
"Hiiiy.... Dingin sekali malam ini," keluh salal
seorang penjaga bertubuh tinggi kurus yang bemai
Barjo.
"lya! Merinding bulu kudukku," sahut penjaga
lainnya yang bernama Gandra. Tubuh lelaki ini
pendek dan kekar. Dengan kumis tipis menghiasi
atas bibirnya.
"Hik hik hik...!"
Baru saja keduanya selesai bicara, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengikik yang membuat bulu
kuduk mereka tambah meremang.
"Kun... kuntilanak! To... tolooong...!"
Barjo dan Gandra berseru ketakutan dan berusaha
lari dari tempat itu. Namun belum jauh berlari, dari
kegelapan melesat dua buah benda ke arah mereka.
Benda itu menyebarkan bau wangi bunga mawar!
"Mawar Maut...! Oh! To...."
Belum habis keduanya berkata, mawar-mawar
maut telah menghantam mereka. Bunga beracun
berwarna merah itu menembus dada keduanya.
Sesaat penjaga-penjaga itu meregang, lalu ambruk
tanpa nyawa.
Jeritan Barjo dan Gandra rupanya membangunkan
Ki Lurah Banjilan. Dengan membawa senjatanya yang
berupa golok besar, lelaki bertubuh kekar berotot ini
melesat keluar. Tapi baru saja kakinya sampai di
halaman, beberapa kuntum bunga tiba-tiba melesat
ke arahnya.
Swing, swing...!
"Uts!"
Ki Lurah Banjilan segera mengelak. Tubuhnya
melenting ke atas, dan berputaran dengan cepat ke
samping kanan. Tangannya yang memegang golok,
digerakkan menebas bunga-bunga mawar merah
yang terus menderu ke arahnya.
"Yiaaat...!"
Wut!
Bunga-bunga mawar itu rontok satu persatu.
Berguguran ke tanah dengan menyebarkan bau wangi
menyengat.
"Dewi Pedang Beracun, keluarlah! Aku telah tahu
siapa kau sebenarnya. Meski kau sesosok arwah, aku
tak gentar menghadapimu!" bentak Ki Lurah Banjilan
geram. Matanya menyapu ke sekeliling halaman
rumahnya yang ditumbuhi pohon-pohon bambu.
"Hik hik hik...!"
Terdengar suara tawa mengikik yang mampu
mendirikan bulu kuduk. Mata Ki Lurah Banjilan kian
membelalak tegang. Suara tawa itu seperti berada di
sekelilingnya.
"Iblis! Keluarlah!"
"Aku di sini, Bajil!"
Ki Lurah Banjilan berbalik, ketika dari belakangnya
terdengar suara orang. Saat itu juga, pedang bersinar
putih keperakan menebas ke arah leher Lurah
Banjilan, yang tersentak kaget melihat wajah wanita
itu.
"Kau...?!"
Cras!
Seketika, kepala Ki Lurah Banjilan terlepas dari
batang lehernya. Sesaat tubuhnya menggelepar-
gelepar, lalu ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius itu memasukkan pedangnya. Lalu
dengan cepat berkelebat meninggalkan tempat itu.
Istri Ki Lurah Banjilan yang mendengar jeritan
suaminya, seketika melompat keluar ingin tahu apa
yang terjadi. Betapa terkejutnya wanita berusia
sekitar lima puluh tahun itu. Suaminya telah tewas
dengan kepala lepas dari lehernya.
"Kangmas...!"
Malam yang sunyi dan mencekam, pecah oleh
suara tangis istri Ki Lurah Banjilan. Suara raungan
tangis istri lurah itu membangunkan warga desa.
Berbondong-bondong mereka menuju rumah yang
besar itu. Warga desa kontan gempar melihat
lurahnya tewas dengan kepala terpenggal.
"Tabuh kentongan!" perintah tangan kanan Ki
Lurah Banjilan.
Suara kentongan yang menandakan telah terjadi
bencana, terdengar susul-menyusul. Warga desa
semakin banyak berdatangan dengan membawa
obor.
"Kita harus mengejar pelakunya! Ayo ikut aku...!"
ajak tangan kanan Ki Lurah Banjilan.
Para lelaki segera mengikuti tangan kanan lurah
itu untuk mencari pembunuh lurah mereka. Saat
itulah mereka melihat sesosok bayangan berkelebat
ke arah mereka. Langsung saja warga desa yang
sedang dalam keadaan marah itu bergerak
menyerang pemuda berambut gondrong dengan
pakaian rompi ular.
"Dia pembunuhnya! Seraaang...!"
Pemuda yang tak lain Sena itu tersentak kaget
mendapat serangan mendadak dari warga Desa
Banjilan. Dia baru saja datang hendak menemui Ki
Lurah Banjilan.
"Hei! Kenapa kalian?" tanya Sena berusaha
menyadarkan penduduk desa yang menyerangnya.
Tubuhnya bergerak mengelakkan bacokan membabi-
buta penduduk.
"Jangan beri kesempatan! Dia pembunuh Ki Lurah!
Serang dia...!" perintah lelaki berkumis lebat dengan
baju wama kuning. Tutup kepalanya kain yang
meruncing ke atas.
"Celaka! Mimpi apa aku semalam?" keluh Sena
sambil terus bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar warga desa.
"Hiaaa...!"
"Babat tubuhnya!"
"Cincang pembunuh jahanam ini...!"
Suara-suara pekik kemarahan keluar dari mulut
warga desa. Serangan mereka semakin menjadi-jadi
berusaha secepatnya membunuh pemuda tampan
berrambut gondrong yang disangka pembunuh Ki
Lurah Banjilan.
"Tunggu! Kalian salah sangka!" seru Sena. Tapi,
warga desa tetap tidak peduli dengan kata-katanya.
Malah mereka semakin ganas melancarkan
serangan.
"Jangan hiraukan omongannya!"
"Jadikan saja kambing guling!"
"Serang terus!"
Pendekar Gila yang tak tahu apa-apa, harus
berjumpalitan mengelakkan serangan-serangan
mereka. Tubuhnya berkelit ke sana kemari,
mengelakkan sabetan dan babatan senjata warga
desa yang beraneka ragam.
"Berhenti! Kalian salah sangka! Aku datang untuk
menemui lurah kalian! Aku sahabatnya!" seru Sena
sambil terus berkelebat menghindar.
"Terus serang...!"
"Dialah pembunuhnya!"
"Cincang!"
Hampir hilang kesabaran Pendekar Gila meng-
hadapi mereka. Namun ketika ingat kalau warga desa
ini hanya salah paham, Pendekar Gila mengurungkan
niatnya menurunkan tangan jahat.
"Kalian dengar semua! Aku Pendekar Gila, sahabat
Ki Lurah Banjilan! Hentikan...!" bentak Sena.
Mendengar ucapan itu, seketika semua warga
menghentikan serangan. Bahkan, mereka menyurut
mundur dengan tatapan mata ketakutan. Sedangkan
tangan kanan Ki Lurah Banjilan yang bernama
Masopati membungkuk hormat.
"Ampunilah kami, Tuan. Sungguh kami tidak tahu.
Kami sedang sangat berduka."
"Apa yang terjadi?" tanya Sena.
"Ki Lurah dibunuh seseorang. Dua pengawalnya
mati dengan dada tertembus bunga mawar," jelas
Masopati.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Matanya
memandang seluruh warga desa yang merunduk
ketakutan. "Jika memang begitu, tentu Dewi Pedang
Beracun yang membunuhnya. Hm.... Ke arah mana
dia pergi?"
"Kami tak tahu, Tuan Pendekar."
Pendekar Gila mengangguk-angguk mendengar
jawaban Masopati. Dihelanya napas panjang-panjang.
"Baiklah. Aku harus pergi," ujarnya.
Setelah menjura, Sena segera melesat mengejar
Dewi Pedang Beracun yang semakin menjadi-jadi
tindakannya. Dalam semalam, puluhan orang telah
menjadi korban.
"Untung dia tidak marah," gumam Masopati.
"Kalau dia marah, tentu kita sudah menjadi bangkai."
"Apa benar dia Pendekar Gila, Ki?" tanya salah
seorang warga.
"Ya! Apa kau tadi tidak melihat tingkah lakunya
yang mirip orang gila?" tanya Masopati balik bertanya.
"Masih begitu muda. Sangat lain dengan
dugaanku."
"Ya! Mulanya aku pun mengira Pendekar Gila dari
Goa Setan telah tua. Paling tidak seusia Ki Lurah,"
gumam Masopati. "Kita pulang."
"Mengapa tidak meneruskan mencari pembunuh
itu, Ki?"
"Tak perlu. Kalau Ki Lurah, Barjo, dan Gandra saja
dapat dibunuh dengan mudah, apalagi kita? Terlebih,
pembunuh Ki Lurah adalah Dewi Pedang Beracun
yang telah mati. Hiiiy...! Kalau begitu, bukankah
arwahnya yang membunuh?"
Semua warga desa bergidik. Bulu kuduk mereka
meremang setelah mendengar nama Dewi Pedang
Beracun yang telah mati sepuluh tahun silam. Tanpa
diperintah lagi, mereka segera meninggalkan tempat
itu yang merupakan perbatasan desa dengan hutan.
Malam terus bergulir. Lolongan anjing hutan,
menambah suasana kian mencekam. Terdengar deru
angin yang menggiris hati. Membuat suasana malam
itu seperti di pekuburan.
***
Pendekar Gila yang memburu Dewi Pedang
Beracun nampak masih berlari ke arah timur menuju
kadipaten. Sena mengkhawatirkan Adipati Sumagatri
akan menjadi sasaran pembunuhan selanjutnya.
Tengah Sena berlari, matanya menangkap sesosok
bayangan berkelebat melintas di hadapannya.
Bayangan merah itu menyentakkannya, sehingga dia
langsung mengejar.
"Hei, tunggu. .!"
Merasa ada yang mengejar, bayangan merah itu
tiba-tiba mengebutkan tangan ke belakang. Saat itu
pula, menderu puluhan bunga mawar berwarna
merah.
"Mawar Maut!" pekik Sena.
Swing, swing...!
"Uts! Hop...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak menduga
kalau bayangan merah itu yang telah dicarinya.
Pemuda itu melenting ke atas dan berputaran
mengelakkan serangan yang dilancarkan bayangan
merah itu. Puluhan bunga mawar merah terus men-
deru ke arahnya, bagai memiliki mata. Hingga
Pendekar Gila agak kewalahan menghadapinya.
"Kurang ajar! Hop! Heaaa...!"
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti. Lalu
dengan cepat dikibaskannya ke arah bunga-bunga
mawar merah yang meluncur datang.
Prat!
Pluk, pluk...!
Bunga-bunga mawar merah itu luruh berjatuhan ke
tanah. Rontok terkena sabetan Suling Naga Sakti
Pendekar Gila. Namun, Pendekar Gila kehilangan
sosok bayangan merah yang dikejarnya.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru Sena marah.
Dengan mengerahkan ajian lari 'Sapta Bayu'
Pendekar Gila melesat mengejar bayangan merah
yang telah menghilang entah ke mana.
"'Sapta Bayu'. Heaaa...!"
Pendekar Gila berlari melebihi angin. Kedua
kakinya seperti tidak menginjak tanah. Mendadak,
dari arah yang berlawanan tampak sesosok tubuh
tengah berlari. Pendekar Gila menghentikan larinya.
Pemuda itu kaget melihat siapa orang yang tengah
berlari ke arahnya.
"Sena!" seru wanita berbaju putih yang tidak lain
Nyi Gendis Awit. "Kau ada di sini? Apa kau melihat
bayangan merah lari ke arah sini?"
"Nyi Gendis Awit. Kau juga melihat bayangan
merah itu?"
"Ya! Aku mengejarnya. Ke arah mana dia berlari?"
tanya Nyi Gendis Awit sambil mengatur napasnya
yang terengah-engah.
"Ah. Kurasa bayangan merah tadi dari arahku. Aku
pun tengah mengejarnya...," kata Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Dari arah barat?" tanya Nyi Gendis Awit seraya
mengerutkan kening.
"Ya."
"Tidak mungkin. Aku baru saja mengejarnya. Dia
dari arah timur," bantah Nyi Gendis Awit tak percaya.
Pendekar Gila semakin heran. Keningnya berkerut
dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Kalau benar Nyi Gendis Awit mengejar bayangan
merah, siapa lagi yang memakai pakaian serba
merah itu? Mungkinkah ada dua orang yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Tanya
Sena dalam hati. Mungkin juga. Karena dalam
semalam saja, dua orang tokoh persilatan seperti Ki
Balamprang dan Ki Lurah Banjilan telah dibunuhnya.
"Hm.... Semakin membingungkan. Kalau benar kau
mengejar bayangan merah, kurasa bukan seorang
yang telah melakukan pembunuhan itu," gumam
Sena.
"Mungkin juga, Sena. Ah. Sayang sekali aku tak
bisa menangkapnya," desah Nyi Gendis Awit. Nada
suaranya seakan menyesal tak mampu menangkap
bayangan merah yang misterius itu.
"Kita berpencar, Nyi. Kurasa dia masih berada di
sekitar sini," kata Sena.
"Mengapa tidak berdua saja, Sena? Kau tak mau
berjalan bersamaku?" desis Nyi Gendis Awit dengan
suara memelas. Matanya menatap penuh arti ke arah
Pendekar Gila yang masih menggaruk-garuk kepala.
"Hm, baiklah. Ayo...."
Keduanya melangkah ke arah timur. Malam yang
dingin membuat suasana terasa mencekam. Kedua
pendekar itu terus melangkah menyelusuri hutan
tempat mereka melihat bayangan merah.
"Aduh!" tiba-tiba Nyi Gendis Awit menjerit.
"Kenapa, Nyi?" tanya Sena.
"Kakiku, Sena. Oh...! Kakiku tertusuk duri," jawab
Nyi Gendis Awit sambil memegangi pahanya yang
tertusuk duri.
Sena memeriksanya. Nampak duri pohon beracun
menancap dalam di paha Nyi Gendis Awit.
"Beracun, Nyi?!"
"Oh, Sena. Tolonglah aku...," keluh Nyi Gendis Awit
sambil meringis-ringis menahan sakit.
Sena kebingungan. Dia tahu jenis racun yang ada
dalam duri itu. Bagaimanapun juga, Nyi Gendis Awit
harus segera ditolongnya.
"Aduh, Sena!" pekik Nyi Gendis Awit.
"Mari kugendong."
Sena segera membopong tubuh Nyi Gendis Awit.
Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu
masih terlihat cantik, seperti baru berusia dua puluh
lima tahun. Sena terus membawa tubuh Nyi Gendis
Awit ke tempat yang agak lapang di dalam hutan itu,
lalu dibaringkan.
"Aku harus membuka pakaianmu, Nyi," kata Sena
agak bingung.
"Buka sajalah, Sena."
Sena semakin kebingungan. Namun, Nyi Gendis
Awit harus segera ditolong. Kalau tidak, wanita cantik
itu akan tewas. Dengan membuang muka, Sena
merobek celana Nyi Gendis Awit agar dapat melihat
lukanya.
Breeet...!
"Mengapa mesti membuang muka, Sena? Bagai-
mana kau bisa melihat lukanya?" tanya Nyi Gendis
Awit manja.
"Tapi...," Sena hendak berkata, ketika Nyi Gendis
Awit telah menukasnya.
"Sudahlah, Sena. Bukankah tak ada orang yang
melihatnya?"
Sena menghela napas. Dengan perlahan, dia
memandang paha Nyi Gendis Awit yang mulus. Napas
Sena tersendat. Ada gejolak yang menggelegak di
dadanya. Pertarungan batin seketika terjadi.
Ditambah dengan desahan Nyi Gendis Awit yang
semakin merangsang nafsunya.
"Oh, Sena...."
Sena berusaha mempertahankan kekuatan iman-
nya. Namun racun itu begitu cepat menjalar. Jalan
satu-satunya dia harus membuka seluruh pakaian Nyi
Gendis Awit. Pemuda itu jadi semakin bingung.
"Aduh. Jantungku sakit, Sena!" keluh Nyi Gendis
Awit.
Sena bertambahh cemas. Akhirnya pakaian wanita
itu dibukanya. Di hadapannya kini terpampang
sesosok tubuh polos yang menggiurkan.
"Sena, dekaplah aku," pinta Nyi Gendis Awit
mendesah.
Sena menurut. Lupa kalau sebenarnya dia hendak
menolong Nyi Gendis Awit. Setelah menyaksikan
keelokan tubuh wanita itu, pikirannya seketika
melayang. Direngkuhnya tubuh Nyi Gendis Awit. Tapi
ketika semua akan terjadi, Sena tersadar.
"Tidak! Kuharap kau jangan merayuku, Nyi. Ingat
kita dalam ancaman maut Dewi Pedang Beracun.
Tidak sepantasnya kita berbuat seperti ini. Aku akan
menolongmu."
Usai berkata begitu, Sena segera menotok
beberapa bagian tubuh Nyi Gendis Awit. Tubuh wanita
cantik itu seketika menjadi kaku bagai patung. Sena
mengobati luka di paha Nyi Gendis Awit.
"Kau sudah bebas, Nyi. Nah. Aku pergi dulu," kata
Sena seraya melesat meninggalkan Nyi Gendis Awit
yang telah terbebas dari racun dan totokan.
Dengan agak kecewa, Nyi Gendis Awit mengena-
kan pakaiannya kembali. Lalu melesat meninggalkan
tempat itu.
9
Mentari sebentar lagi tenggelam di belahan bukit
sebelah barat. Tampak seorang pemuda berbaju
rompi kulit ular berlari ke arah Bukit Lawang Ireng,
tempat makam Dewi Pedang Beracun berada.
Pemuda tampan yang tak lain Sena, rupanya tertarik
dengan makam itu. Pendekar Gila ingin tahu, apa
sebenarnya yang terjadi di makam itu dan apakah
benar Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun
silam telah mati kini hidup kembali. Tekadnya telah
buat, hendak membongkar kuburan tua itu.
"Aku harus memburu waktu. Sebentar lagi mentari
akan tenggelam," gumam Sena sambil terus lari.
Sesampainya di kuburan Dewi Pedang Beracu
tanpa sungkan-sungkan Sena langsung menghantam
kuburan itu dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
"Heaaa...!"
Glarrr!
Kuburan itu meledak hebat. Tanah kuburan
beterbangan ke atas hingga membentuk lubang
besar. Betapa tercengangnya Pendekar Gila ketika
mengetahui kuburan itu kosong. Mayat Dewi Pedang
Beracun maupun pedangnya tak ada. Seakan ada
yang mengambilnya.
"Hm.... Rupanya benar dugaanku. Ada seseorang
vang mengambil mayat dan senjata Dewi Pedang
Beracun. Orang itulah yang sekarang merajalela..."
gumam Sena.
Pendekar Gila terus mengawasi kuburan itu. Tiba-
tiba matanya melihat sebuah pintu di bawah makam.
"Heh...! Pintu? Pintu apa itu?" tanya Sena. Kembali
Pendekar Gila menghantamkan pukulan 'Guntur
Selaksa' ke arah pintu di bawah makam.
"Heaaa...!"
Glarrr!
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Tampaklah
sebuah jalan ke bawah. Pendekar Gila mengerutkan
kening, memandangi jalan yang bertangga ke bawah
agak membelok ke selatan.
"Hm.... Tentu ini bisa menyingkap misteri yang
selama ini belum terpecahkan. Aku akan
memasukinya."
Dengan hati-hati, Pendekar Gila menuruni tangga
demi tangga yang ada di dalam kuburan. Ternyata
tangga itu berbelok ke sebuah tempat. Di tempat itu
ada sebuah jalan. Sedangkan di samping kirinya
terdapat bunga-bunga mawar merah yang ganas.
Bunga-bunga mawar itulah yang digunakan wanita
misterius untuk membunuh lawan-lawannya.
"Bunga-bunga ini harus kuhancurkan!" desis Sena.
'"Inti Brahma'. Yeaaa...!"
Api bergulung-gulung keluar dari tangan Pendekar
Gila, membakar bunda-bunga mawar maut yang ada
di tempat itu. Dalam sekejap, bunga-bunga itu
menjadi debu yang beterbangan tertiup angin.
Hm.... Kini habis sudah bunga maut itu. Tinggal
membuka tabir, siapa orang yang meniru Dewi
Pedang Beracun. Aku harus segera pergi. Firasatku
mengatakan orang itu menuju kadipaten, karena
Kanjeng Adipati merupakan musuh Dewi Pedang
Beracun.
Usai berpikir begitu, Pendekar Gila segera melesat
pergi melalui jalan yang tadi dilalui sewaktu masuk.
***
Di Kadipaten Pamakasan, pertarungan seru
tengah terjadi. Adipati Sumagatri yang dibantu Ki
Mandra Dupa dan Ki Sangkutra serta Ki Balacatra
menghadapi bayangan merah yang masih misterius
itu. Meski dikeroyok tokoh-tokoh persilatan, sosok
berpakaian merah yang menyebut dirinya Mawar
Maut itu tidak mengalami kesulitan. Bahkan,
beberapa kali sempat mengirimkan bunga-bunga
mawarnya dengan menggunakan jurus 'Mawar Maut
Memburu Mangsa'.
Swing, swing...!
"Awas...!" seru Adipati Sumagatri mengingatkan.
Ketiga pendekar tua itu berlompatan mengelakkan
serangan bunga-bunga mawar merah. Ketiganya
berhasil meloloskan diri dari kematian, begitu pun
Adipati Sumagatri. Bunga-bunga mawar itu melesat,
menghantam orang-orang Ki Balacatra. Maka. Jerit
kematian pun terdengar susul-menyusul.
"Kurang ajar! Kita harus secepatnya mem-
binasakan iblis ini, Kanjeng!" dengus Ki Balacatra
marah melihat anak buahnya banyak yang tewas.
"Kita serang bersamaan!" ajak Adipati Sumagatri.
"Hiaaa...!"
Dengan menggunakan jurus 'Catur Angin
Mengurung Naga' yang dipadu dengan jurus 'Malaikat
Maut dari Empat Penjuru', keempat tokoh persilatan
itu bergerak menyerang.
"Hiaaa...!"
Mereka menyerang dengan senjata andalan
masing-masing. Clurit di tangan Ki Mandra Dupa
menderu ke arah kepala lawan. Kapak besar Ki
Sangkutra membabat perut. Dan tombak di tangan
Adipati Sumagatri menusuk tenggorokan. Sedangkan
cambuk di tangan Ki Baiacatra melecut punggung.
Keempatnya laksana malaikat maut.
"Yeaaat...!"
Menghadapi keroyokan empat tokoh persilatan itu,
Mawar Maut tidak merasa gentar. Kepalanya
dirundukkan dengan tubuh agak membungkuk.
Pedang Perak yang mengandung racun diputar cepat
memapaki serangan mereka. Itulah jurus 'Tarian
Bidadari Merenggut Sukma'.
"Hait...!" Trang, trang...!
Suara senjata beradu terdengar. Saat itu pula,
tubuh keempat penyerangnya berpelantingan ke
belakang. Dada mereka terasa sesak oleh asap
beracun yang keluar dari pedang di tangan wanita
berpakaian serba merah itu.
"Kini saatnya kalian mampus! Hiaaat...!"
Mawar Maut tidak membuang-buang waktu lagi.
Tangan kanannya yang memegang pedang, dibabat-
kan ke arah Adipati Sumagatri. Sedangkan tangan
kirinya, bergerak mengambil bunga mawar dari balik
bajunya.
Wut!
Swing, swing...!
Bunga-bunga mawar merah melesat cepat ke arah
Ki Mandra Dupa dan Ki Balacatra serta Ki Sangkutra.
Sedangkan Pedang Perak menebas ke arah Adipati
Sumagatri.
Keempat tokoh persilatan itu tersentak kaget
Mereka berusaha mengelakkan serangan lawan. Ki
Balacatra mampu mengelak dengan cara berguling ke
samping kiri. Sedangkan ketiga temannya harus
menerima kenyataan pahit.
Jlep, jlep...!
"Aaa. !"
"Aaakh...!"
Ki Mandra Dupa memekik, disusul Ki Sangkutra.
Dada mereka dihunjam bunga mawar merah.
Sedangkan Adipati Sumagatri dalam ancaman maut.
Pedang di tangan wanita misterius itu siap menebas
lehernya.
"Hiaaa...!"
"Tidak!" pekik Adipati Sumagatri.
Cras!
Tanpa disertai jeritan, kepala Adipati Sumagatri
bergulir ke bawah. Napasnya putus seketika itu juga.
"Iblis! Perbuatanmu sangat kejam! Aku akan
mengadu jiwa denganmu! Hiaaa...!"
Menyaksikan bagaimana kejinya wanita misterius
itu membunuh Adipati Sumagatri, Ki Balacatra segera
melecutkan cambuknya dengan jurus 'Ekor Sanca
Melecut Badai'.
Cletar!
"Uts! Rupanya kau pun ingin mampus! Yiaaat...!"
Setelah mengelakkan serangan cambuk lawan,
Mawar Maut menyerang balik Ki Balacatra dengan
babatan pedangnya. Sementara tangan kirinya
merogoh ke balik baju. Tapi rupanya yang dicari telah
habis. Wanita itu kehabisan bunga mawar merahnya.
Melihat lawan tengah mencari-cari sesuatu, Ki
Balacatra tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan cepat dia balik menyerang. Cambuknya
kembali dilecutkan ke arah lawan dengan jurus 'Lidah
Petir Menghancurkan Karang'
"Uts!"
Mawar Maut masih mampu mengelakkan
serangan cambuk lawan. Kemudian, balas
menyerang dengan tusukan dan babatan pedang
peraknya dengan jurus inti 'Silang Kala Maut'.
"Heaaat...!"
Wut, wut!
Mungkin kalau hanya pedang biasa tidak akan
membuat lawan-lawannya kalah dengan cepat. Tapi
pedang di tangan wanita misterius itu mengandung
racun ganas. Bahkan mampu melemahkan dan
menguras tenaga lawan. Itu yang dialami Ki
Balacatra. Lelaki tua itu merasa tenaganya terkuras
habis, padahal baru beberapa puluh jurus. Biasanya,
Ki Balacatra mampu bertarung sampai ratusan jurus.
Namun kali ini tenaganya cepat berkurang. Dadanya
pun terasa sesak.
"Heaaat..!"
Wut, wut..!
Pedang di tangan wanita berpakaian serba merah
itu menderu dengan cepat. Sesaat lagi, Ki Balacatra
akan mengalami nasib yang sama dengan Adipati
Sumagatri. Pedang wanita itu semakin dekat ke arah
lehernya. Hampir saja kematian merenggut nyawa Ki
Balacatra, ketika tiba-tiba....
Trang!
Benturan dua senjata terdengar. Terlihat percikan
bunga api. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular berdiri di
samping Ki Balacatra. Sementara wanita misterius itu
agak terhuyung ke belakang.
"Oh! Syukurlah kau datang, Sena," kata Ki
Balacatra dengan wajah menampakkan keceriaan.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Rupanya inikah si Mawar Maut itu? Ha
ha ha...! Lucu sekali...!"
Wanita berpakaian serba merah itu mendengus,
mendengar ejekan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mampus!
Dulu ketika kau terperosok dalam lubang, nyawamu
kuampuni! Tapi kini tak akan kuampuni! Kau telah
berani mencampuri urusanku! Kau harus mati di
tanganku! Bersiaplah...!"
Pendekar Gila kembali tertawa tergelak-gelak.
Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya
mencabut bulu burung di ikat pinggangnya. Dan
dengan seenaknya mengorek telinga dengan bulu
burung itu.
"Omonganmu seperti si buntung yang ingin naik
gunung saja. Ah ah ah... Sungguh terima kasih
kuucapkan padamu, yang telah memberi ampunan
atas nyawaku," sindir Sena.
"Kurang ajar! Bersiaplah untuk mampus!
Heaaat...!"
Dengan jurus 'Pedang Iblis Membelah Samudera',
si Mawar Maut segera menyerang. Pedangnya yang
mengeluarkan racun ganas bergerak membabat dan
menusuk ke arah Pendekar Gila.
"Eit! Leherku terlalu licin, Nyi."
Sena segera meliukkan tubuhnya dengan meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Lalu
dengan cepat Suling Naga Sakti diambilnya, dan
langsung disodokkan ke arah lawan.
"Ini bagianmu, Nyi! Heit..!"
Si Mawar Maut tersentak kaget melihat gerakan
Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak
pelan dan lemah, namun sesungguhnya sangat
dahsyat. Malah mampu menjangkau pinggang wanita
misterius itu, yang segera menepiskan pedangnya ke
arah serangan.
"Hait..!"
Trang!
Pijaran api kembali terjadi, diikuti oleh melompat-
nya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam ber-
hadap-hadapan. Kemudian wanita misterius itu
mengerahkan jurus 'Pedang Iblis Menusuk Gunung',
kembali melakukan serangan.
Melihat lawan membuka jurus, Pendekar Gila
dengan tersenyum-senyum dan menepuk-nepuk
pantat membuka jurus pula. Kini jurus yang diguna-
kan 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak
laksana melepas lilitan tali.
Pedang perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak menyilang, dan membabat ke samping.
Kemudian menusuk lurus ke depan, disusul ke
samping kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat
dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga
Sakti di tangan kanan diputarnya, lalu digerakkan
lurus ke atas.
"Yiaaa...!"
"He he he... Galak juga kau, Nyi?! Heaaa...!"
***
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali
melakukan serangan. Pedang Perak di tangan wanita
misterius itu bergerak cepat. Menusuk ke depan,
membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan
dari atas ke bawah, kemudian disambung dengan
babatan dari kiri ke kanan. Saking cepatnya gerakan
pedang itu, Pedang Perak di tangannya seperti meng-
hilang. Yang tampak hanya bayangan putih
keperakan, yang melindungi tubuh wanita itu.
Melihat jurus lawan yang cepat dan sangat sulit
ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera
mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus
Badai'.
"Heaaa!"
Tangan Pendekar Gila yang memegang Suling
Naga Sakti bergerak lurus ke muka. Sedangkan
tangan kirinya memukul. Tubuhnya sedikit merunduk.
Kaki kirinya terangkat ke atas. Dan, kaki kanannya
setengah ditekuk. Dengan cepat, Pendekar Gila
menyodokkan sulingnya ke arah gulungan sinar perak
lawan.
"Heaaa...!"
"Haiiit...!"
Wut!
Trang!
Dua senjata kembali saling beradu. Pijaran api
keluar dari benturan senjata itu. Asap putih
keperakan yang beracun terus bergulung-gulung
menyerang Pendekar Gila. Kalau saja tidak meminum
darah ular putih, pasti Pendekar Gila telah tewas.
Namun kini dia kebal dari segala macam racun
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila
dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Agak kaget juga si Mawar Maut menyaksikan
Pendekar Gila tidak mempan oleh racun yang keluar
dari Pedang Perak di tangannya. Gerakan pedangnya
semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut!
Trang!
Dua buah senjata sakti itu saling beradu, berusaha
mengalahkan satu sama lain. Namun sejauh itu,
belum tampak ada senjata yang kalah. Pendekar Gila
terus menyodokkan sulingnya dengan masih meng-
gunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'. Sesekali
sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongak-
kan ke atas berusaha membuka kain penutup yang
menutupi wajah wanita misterius itu.
"Heaaa...!"
"Uts!"
Si Mawar Maut cepat-cepat membuang muka ke
samping. Lalu dengan cepat membabatkan pedang-
nya ke arah Suling Naga Sakti dengan jurus 'Sapuan
Badai Neraka'.
Wut!
Melihat pedang lawan menderu ke arahnya,
dengan cepat Pendekar Gila menarik serangannya.
Lalu memutar sulingnya hingga setengah lingkaran.
Memapaki tebasan pedang dengan jurus 'Si Gila
Menipu Lawan Memukul Karang'.
Trang!
Keduanya melompat ke belakang. Berdiri saling
berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang
dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa...!"
"Yiaaat...!"
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di
tangan. Sesampainya di udara, mereka berusaha
saling menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke
arah wajah lawan. Sedangkan Pedang Perak
menebas ke arah kepala Pendekar Gila.
"Hup!"
Wut!
Cepat Pendekar Gila berguling ke samping, meng-
elakkan babatan pedang lawan. Kemudian dengan
cepat, sulingnya disodokkan kembali ke arah wajah
lawan. Namun lawan dapat menghindari.
Melihat wanita berpakaian serba merah itu mampu
menghindari serangannya, Pendekar Gila menurun-
kan tangannya agak ke bawah. Kali ini sulingnya
disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Wanita misterius itu tersentak kaget mendapatkan
serangan cepat itu. Dan, berusaha menangkis dengan
mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan
kanannya membabatkan pedang ke tubuh lawan.
"Hop! Yeaaa...!"
Melihat babatan pedang lawan, Sena cepat-cepat
menekuk lutut ke bawah, lalu bergerak ke samping.
Setelah pedang lawan menderu, kakinya menendang
ke arah pedang dengan jurus 'Si Gila Menyapu Bumi'.
Deb!
"Heaaa..!"
Tubuh si Mawar Maut terhuyung ke samping,
terkena dorongan tenaga dalam pada pedangnya.
Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan
terhuyung, segera menyodokkan Suling Naga Sakti ke
dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugk!
"Hukh...!"
Wanita misterius itu terdorong ke belakang, lalu
jatuh ke tanah dengan menimbulkan suara keras.
"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu,
Pendekar Gila!" dengus si Mawar Maut.
"Aku ladeni, Nyi!" sahut Sena seraya sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila! 'Sangkala Gatra',
hiaaa...!"
"Kuharap kau pun bersiap, Nyi! Heaaa...!"
Keduanya bergerak cepat. Pedang Perak di tangan
wanita misterius itu menderu keras ke arah Pendekar
Gila. Asap tebal berwarna putih keperakan semakin
banyak keluar.
Ki Balacatra yang tahu kedahsyatan asap pukulan
keperakan itu, cepat melangkah mundur sepuluh
tombak. Lelaki tua itu tak ingin terkena racun.
Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-
kalau Sena akan terkena racun ganas itu. Namun,
nampaknya Sena tidak terpengaruh sedikit pun oleh
racun itu.
"Heaaa...!"
Trang!
Suara beradunya senjata, kali ini kerap terdengar.
Jurus-jurus yang mereka keluarkan nampaknya bukan
jurus biasa. Jurus-jurus tingkat tinggi yang meng-
andalkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.
Sehingga, tubuh keduanya bagai menghilang.
Pendekar Gila terus merangsek dengan sodokan
dan babatan Suling Naga Saktinya. Sedangkan lawan
dengan Pedang Peraknya tidak mau kalah. Pedang
beracun itu berkelebat membabat dan menusuk.
"Heaaa...!"
Wut!
Trang!
Keduanya terus bergerak cepat, saling menyerang
dan menangkis. Kini bukan hanya senjata mereka
yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha
menyapu dan menendang lawan.
Entah sudah berapa jurus yang mereka keluarkan.
Kelihatannya keduanya sama-sama kuat. Mereka
terus bertarung bagai tidak mengenal lelah.
"Kukuruyuuuk...!"
Dari kejauhan terdengar ayam jantan berkokok,
pertanda sebentar lagi pagi akan datang. Meski
begitu, keduanya tidak menghentikan pertarungan.
Malah semakin bertambah cepat melakukan
serangan.
"Hiaaa...!"
Pedang Perak di tangan wanita misterius itu ber-
gerak cepat ke arah Pendekar Gila. Melihat serangan
lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping.
Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti
ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Dugk!
"Hukh...!"
Tubuh wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus
tertutup kain serba merah itu terhuyung-huyung ke
belakang. Darah tampak meleleh membasahi kain
penutup wajahnya. Melihat hal itu, Pendekar Gila
tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat, dihantam-
kannya pukulan sakti 'Inti Brahma' ke tubuh lawan.
"Terimalah kematianmu! Heaaa...!"
Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan
api menyala-nyala ke arah tubuh si Mawar Maut.
Tanpa ampun lagi, api pun membakar tubuhnya.
Blab!
"Wuaaa...!" si Mawar Maut menjerit.
Tubuh terbungkus pakaian merah itu berguling-
guling, berusaha memadamkan api yang melahap
tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Wanita
misterius itu berkelojotan. Pedang Perak di tangannya
terlepas. Saat itu juga, Pendekar Gila meniup Suling
Naga Sakti dengan suara mendayu. Rupanya, Sena
berusaha menyempurnakan kematian lawan.
"Wuaaa... Tobat!" pekik wanita misterius itu
dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan
hidungnya mengeluarkan darah. Tak lama kemudian,
gerakannya pun berhenti, menandakan ajal telah
menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya.
Dengan tersenyum-senyum, pemuda itu ber-
jumpalitan seperti monyet. Tangan kanan menggaruk-
garuk kepala, sedangkan tangan kiri menepuk-nepuk
pantat. Bersama Ki Balacatra, Sena yang masih
bertingkah laku konyol, mendekati tubuh wanita
misterius itu. Ki Balacatra dengan hati-hati membuka
kain penutup wajah wanita itu.
"Nyi Gendis Awit..!" seru keduanya bersamaan.
"Hm... Tak kusangka dia orangnya," gumam Ki
Balacatra tak percaya. "Rupanya, orang yang kita
hadapi Nyi Gendis Awit."
"Apa arti semua ini?" tanya Sena heran, sambil
memandang ke arah Ki Balacatra yang juga tak
mengerti dengan apa yang terjadi.
"Lihat, Sena. Ada bungkusan di perutnya!" seru Ki
Balacatra. Lelaki tua itu segera mengambil
bungkusan yang berupa kotak kecil terbuat dari
logam.
"Kita buka saja, Ki," saran Sena.
Keduanya segera membuka kotak kecil itu. Di
dalamnya terdapat sehelai daun lontar yang
bertuliskan,
Dewi Pedang Beracun adalah kakakku yang tewas
di tangan Sumagatri, Mandra Dupa, Sangkutra,
Anggada dan pendekar di Kadipaten Pamakasan.
Kakakku bermaksud membalas dendam atas
kematian kedua orangtua kami, yang telah dibunuh
mereka atas perintah Adipati Kerto Amabrang.
Melihat kakakku tak mampu membalas dendam,
bahkan terbunuh oleh kelima pendekar itu, aku yang
semula bermaksud tidak membalas dendam,
akhirnya mencari guru kakakku untuk meminta ilmu.
Dan, aku berhasil menemuinya.
Agar sepak terjangku leluasa, aku pun mem-
bongkar kuburan kakakku. Kuambil senjatanya yang
kebetulan ada di kuburan. Kemudian dengan
menyamar sebagai dirinya, aku membalas dendam.
Meneruskan niat kakakku.
Tidak kusangka, aku yang sudah bersumpah tidak
akan kawin sebelum membunuh mereka, ternyata
tersandung. Saat pertama kali aku bertemu dengan
pemuda tampan bertingkah laku gila seperti orang
gila, aku merasakan adanya sesuatu yang aneh di
dalam hatiku.
Aku rela mati di tangannya, asalkan aku telah
membalas semua dendam kedua orangtuaku juga
kakakku.
Semoga Pendekar Gila mengerti.
Gendis Awit (Perawan Tua)
"Oh...!" Sena mengeluh. "Maafkan aku, Nyi. Aku
hanya menjalankan tugas. Untuk kedamaian dan
ketenangan..."
"Sena, kuharap kau sudi menggantikan Kanjeng
Adipati. Biarlah aku nanti yang menghadap ke
kerajaan," kata Ki Balacatra.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar
permintaan Ki Balacatra. "Lucu... lucu. Hi hi hi...!"
"Bagaimana, Sena?"
"Tidak, Ki. Terima kasih atas kepercayaanmu.
Masih banyak orang yang jauh lebih pintar
dibandingkan aku. Aku hanya petualang. Ke mana
angin bertiup, ke sanalah kakiku melangkah."
Ki Balacatra menghela napas. Dipegangnya
pundak Sena Manggala.
"Sungguh terpuji budi baikmu, Sena. Kalau begitu,
aku hanya bisa berdoa semoga Hyang Widhi
senantiasa menyertaimu."
"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit"
"Mengapa mesti buru-buru? Tidakkah sebaiknya
kau ikut aku ke kerajaan untuk menerima peng-
hargaan atas jasamu?" tanya Ki Balacatra.
"Terima kasih. Terlalu berat aku memikulnya."
Pendekar Gila menjura hormat. Kemudian,
melangkah pergi meninggalkan Ki Balacatra yang
mematung dengan tatapan mata mengiringi
kepergian Sena yang hendak meneruskan
pengembaraannya.
"Semoga kau senantiasa dilindungi Hyang Widhi,"
desis Ki Balacatra lirih.
Angin pagi berhembus menerbangkan embun,
seperti hari yang berganti. Dari kejauhan terdengar
suara tawa Pendekar Gila membelah kesunyian pagi.
Tak lama kemudian, Ki Balacatra melangkah
masuk ke kadipaten. Lalu, kembali keluar dengan
menunggang seekor kuda. Dipacunya kuda itu
dengan kencang meninggalkan Kadipaten
Pamakasan.
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon