"Salah paham? Ha ha ha...! Rupanya nyalimu te-
lah ciut! Tidak kusangka, orang yang selama ini ku
agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertu-
Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya. Jurus-
jurus yang sangat dahsyat. Namun begitu, Singo Edan
yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak
mengalami kerepotan. Kalau mau, tentunya Singo
Edan mampu menghentikan semuanya. Tapi Singo
Edan tidak melakukannya. Kalau dilakukannya, tentu
Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah mera-
cuninya.
"Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis! Hingga
kau semakin sombong dan takabur. Lupa akan kekua-
saan Hyang Widhi!" dengus Sena marah, menyaksikan
Singo Edan tak juga mau balas menyerang.
"Sena, lakukanlah apa yang kau inginkan! Kau
tak akan percaya kalau aku menjelaskannya. Untuk
itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas
kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu.
Tangan muridku sendiri! Nah, lakukanlah! Cabut Sul-
ing Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mam-
pu membunuhku!" seru Singo Edan.
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan...."
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Wid-
hi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!"
"Uts...!"
Bukkk!
Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham,
maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas!
Sena tersentak seraya melompat mundur dua
tindak. Matanya menatap tajam wajah gurunya yang
masih tersenyum. Tangannya memegang Suling Naga
Sakti yang terselip di pinggangnya.
"Kau ragu, Sena? Kalau begitu, lakukanlah den-
gan jurus maut mu yang dahsyat. Yang kau dapatkan
di hutan dari seekor kera. Bukankah jurus 'Tamparan
Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat diban-
dingkan dengan jurus-jurus gila? Ayo, lakukanlah!"
tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini
hanya terdiam. Nampaknya Sena dilanda kebimban-
gan.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak.
"Kau takut Sena?"
"Tidak...!"
"Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan.
"Baik! Jangan menyesal kalau aku membunuhmu!
Maaf...!"
Usai berkata demikian, Sena segera memperaga-
kan jurus 'Tamparan Sukma'nya. Singo Edan tak ber-
geming dari tempatnya berdiri. Bahkan mulutnya ma-
sih tersenyum. Matanya masih memandangi gerakan-
gerakan yang dilakukan muridnya.
"Heaaa...!"
Sena bergerak hendak menyerang. Namun saat
itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang ge-
rakannya. Bayangan itu segera memapaki jurus yang
dilakukan Sena.
"Nguk!"
Desss!
"Ukh...!"
Sena mengeluh pendek. Matanya seketika mem-
belalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang
jurus 'Tamparan Sukma'nya. Ternyata seekor kera.
"Kau...?! Mengapa kau menghalangi niatku, Ka-
wan?! Dia jahat! Dia telah membunuh orang dengan
keji. Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main
perempuan. Dia juga telah meracuni ku. Uhuk...!"
Sena terbatuk-batuk. Tenaganya yang belum pu-
lih benar, membuat tubuhnya belum kuat. Hanya ka-
rena amarah saja, membuatnya memaksakan diri un-
tuk bangkit. Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan
kembali jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pem-
baringan semula. Di kanan dan kirinya, Singo Edan
dan Kera Sakti menungguinya.
"Kawan, mengapa kau membela orang yang ja-
hat?" tanya Sena pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala. Kemu-
dian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan
kalau Sena justru yang telah salah sangka. Singo Edan
tetap seperti dulu. Tetap gurunya yang bijaksana.
Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan
yang membawa Sena ke Goa Setan.
"Guru.... Ampunilah saya. Hukumlah saya yang
telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-
buatannya yang telah lancang terhadap sang Guru.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Lucu sekali kau, Bocah Gila! Hua ha ha...! Men-
gapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan! Kau tidak
salah. Bangunlah! Kebetulan sahabatku datang kema-
ri," kata Singo Edan.
Sena segera bangun. Lalu menyembah dan men-
cium kaki gurunya. Kemudian setelah Singo Edan
memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena
pun menurut dan berdiri.
"Kita ngobrol-ngobrol. Bagaimana, Sahabat?"
tanya Singo Edan pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti mengangguk-angguk. Lalu mereka
bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya berta-
rung. Singo Edan duduk di tempat biasa. Sementara
Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah.
"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo
Edan. Kemudian dia pun menceritakan siapa sebenar-
nya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka
yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan.
Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar
Gila terdahulu. Asalnya, orangtua sekaligus guru dari
Kera Sakti, dikeroyok oleh manusia. Sepasang kera itu
dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena diang-
gap menjadi penghalang sepak terjang mereka. Hampir
saja kedua orangtua Kera Sakti binasa. Saat itu datang
Ki Amba Dewa atau Pendekar Gila dari Goa Setan yang
menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba
hitam.
"Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat
dengan kedua orangtua Kera Sakti. Bukan begitu, Kera
Sakti?" tanya Singo Edan.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti mengangguk-angguk.
"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena. Sekarang
kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Se-
na."
Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi
Drugani atau Dewi Pemuja Setan. Secara singkat Singo
Edan menceritakan semuanya.
"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada
lagi? Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan
tahun silam."
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidi-
kinya, Guru."
"Ya! Berangkatlah. Doa ku akan selalu mengiringi
mu," kata Singo Edan.
Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggal-
kan tempat itu untuk meneruskan petualangannya
yang sempat tertunda akibat kelalaiannya.
Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang
beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera
Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Duel di Puncak Lawu").
6
Lembah Lamur pagi itu masih diselimuti kabut
tebal. Dari arah utara, nampak tiga lelaki berambut
merah melangkah menuju lembah itu. Dilihat dari
warna rambut dan jubahnya, jelas ketiga lelaki itu ada-
lah Tiga Setan Rambut Api.
Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Ti-
ga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan
Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah
Lamur.
Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua
bayangan. Seorang berjubah putih dan berwajah persis
dengan Singo Edan. Sedangkan satu lagi seorang gadis
cantik berkulit kuning langsat seperti orang Cina. Di
pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang ga-
gangnya terbuat dari emas.
Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih ter-
sebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan
mata.
"Dewi Kwan Im...!"
"Hua ha ha...! Rupanya mata kalian masih belum
buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah
Singo Edan. Nada suaranya menunjukkan kesombon-
gan. "Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titi-
san Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya."
Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata,
mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepu-
luh tombak di depan mereka. Kemudian ketiganya sal-
ing pandang dengan kening berkerut
"Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara.
"Ya!" sahut kedua adiknya.
"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat
untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Un-
tara bergumam. Matanya masih memandang lekat pa-
da lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemu-
dian beralih pada gadis cantik di sampingnya.
"Hua ha ha...! Apa yang kalian bingungkan?"
tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan.
"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung
denganku!"
"Hm...," Untara bergumam. Matanya mengerling
pada kedua adiknya yang menganggukkan kepala.
"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan ru-
panya masih saja tergiur oleh hal duniawi. Ternyata
sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong ko-
song!"
"Hua ha ha...! Kau salah, Untara. Bagaimanapun
juga, aku lelaki normal. Lagi pula, aku pun ingin men-
jadi orang yang tak tertandingi. Bukankah dengan
memiliki Titisan Dewi Kwan Im, keberuntungan ada
padaku?"
Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang
mendengar penuturan Singo Edan. Kening mereka se-
makin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti,
bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah? Yang
mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus
yang gigih menumpas kejahatan. Mana mungkin sece-
pat itu berubah? Mungkinkah selama menghilang Sin-
go Edan telah mengubah pikirannya?
Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pi-
kir. Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar na-
ma besar Singo Edan. Begitu juga dengan sepak ter-
jangnya puluhan tahun yang silam. Kalau kini tiba-
tiba berubah, rasanya sangat aneh sekali.
"Hm.... Kau benar, Singo Edan. Memang setiap
manusia memiliki ambisi. Kami tahu siapa kau. Na-
mun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan De-
wi Kwan Im," kata Untara setelah lama merenung,
mencoba menyibak keanehan Singo Edan.
"Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?"
"Ya!" sahut Untara.
"Hua ha ha...! Kuakui nama besar kalian memang
menakutkan. Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang
bisa digertak!" dengus Singo Edan. "Kusarankan, agar
kalian cepat bersujud meminta ampun atas tindakan
kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebe-
lum aku berubah pikiran."
"Kurang ajar! Jangan kira kami takut menghada-
pimu, Singo Edan! Untuk mendapatkan Titisan Dewi
Kwan Im, kami siap bersabung nyawa denganmu!"
dengus Undani.
"Ya! Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali
mencoba ilmumu!" timpal Umbakara.
Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar
tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api. Se-
pertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali
baginya.
"Percuma kalian menantangku. Guru kalian se-
kalipun tak akan mampu menandingi ku!" kata Singo
Edan, pongah.
"Tutup mulutmu, Singo Edan! Kuharap kau mau
memberikan gadis itu pada kami! Atau kami terpaksa
menghajarmu!" bentak Untara marah.
"Hua ha ha...! Kalian lucu sekali. Bagaimana
mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan
Im? Hua ha ha...!" Singo Edan kembali tertawa terba-
hak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang den-
gan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin
dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu.
"Hhh...! Sombong!" rutuk Undani. "Rupanya mu-
lutmu memang harus disobek!"
"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Um-
bakara.
Singo Edan kembali tertawa.
Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara,
mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang pe-
nuh ejekan. Ketiganya segera meloloskan cambuk.
Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak.
Ctar!
"Yiaaat..!"
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintah lelaki yang
berwajah mirip Singo Edan.
Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im men-
cabut pedangnya. Pada saat itu pula, sinar merah ke-
kuning-kuningan memancar dari mata pedang, mem-
buat Tiga Setan Rambut Api tersentak.
"Pedang Bidadari...!" seru ketiganya sambil me-
lompat mundur.
"Hua ha ha...! Kalian seperti tikus ketakutan.
Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih
baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus
mampus oleh Pedang Bidadari!" seru lelaki berwajah
seperti Singo Edan.
Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemu-
dian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang
masing-masing.
"Baiklah, kami menyerah."
"Bagus! Percuma kalian melawanku," ucap Singo
Edan masih dengan suara penuh kesombongan. "Ikut
aku!"
Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi,
masuk ke dalam kabut tebal yang bergulung-gulung.
Dalam sekejap mereka telah menghilang.
***
Selang beberapa saat kemudian, ketika kabut
yang menyelimuti Lembah Lamur telah hilang. Nampak
dua lelaki melangkah ke tempat itu. Keduanya berwa-
jah kembar dan tampan. Pakaian yang dikenakan kun-
ing mengkilat bergaya pakaian Bali. Golok panjang ber-
tengger di punggung mereka. Dilihat dari pakaian ke-
duanya, nampaknya mereka dari golongan atas.
Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari
wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun ten-
tunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi
Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar
Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama Ma-
nyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti.
"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Ma-
nyar Ngesti.
"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata me-
nyapu ke sekelilingnya yang sepi. Tak ada tanda-tanda
kehidupan di lembah itu. Satu pohon pun tidak ada.
Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beter-
bangan manakala angin bertiup.
"Hm.... Bagaimana mungkin tempat seperti ini
dikatakan ada orangnya? Tidak masuk akal," gumam
Manyar Ngesti. Matanya masih menyapu ke sekeliling
tempat itu. Namun masih saja tidak ada tanda-tanda
kehidupan. "Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan
Im ada di sini?"
"Hhh...! Kurasa ada misteri di tempat ini, Ka-
kang," desah Manyar Asti.
"Mungkin."
"Lihat, ada kabut!" seru Manyar Asti sambil me-
nunjuk ke arah kabut tebal yang bam saja datang dari
bukit-bukit kecil di sebelah selatan.
"Ya! Hei, kabut itu bergerak kemari!" pekik Ma-
nyar Ngesti.
"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang."
"Benar! Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari
Rogo'!"
"Siap, Kakang! Hiaaa...!"
Mereka segera menyatukan satu telapak tangan.
Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan
mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju
mereka.
Dari tangan mereka terbersit sinar bergulung-
gulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru.
Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar.
Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk meng-
hadangnya.
"Yeaaat..!"
"Waaat..!"
Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan
tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru
kian banyak dan kuat. Namun kabut yang datang ter-
nyata lebih kuat
"Celaka! Angin membadai datang!" seru Manyar
Ngesti kaget
"Benar, kakang! Apa yang harus kita lakukan?"
tanya Manyar Asti.
"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'."
"Mari, Kakang! Yiaaat..!"
"Heaaat..!"
Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Dis-
ilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan
tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tan-
gan ke arah kabut
Srrrt!
Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, ke-
luar dari telapak tangan mereka. Larikan-larikan lurus
itu lalu memagari kabut tebal itu. Seperti perangkap
raksasa dari bambu.
"Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti, me-
nyaksikan pukulan sakti mereka dapat menghadang
kabut. Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke
arah mereka dengan keras.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti.
Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak te-
gang, merasakan sesuatu yang tidak pernah didu-
ganya. Selama ini, keduanya belum pernah mengalami
kegagalan seperti itu. Ajian-ajian yang mereka kerah-
kan, senantiasa mendapatkan hasil. Tapi kini malah
berantakan. Tak satu pun bisa menghadang kabut
tebal itu.
"Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Ma-
nyar Ngesti.
"Sepertinya benar, Kakang!" sahut Manyar Asti.
"Ya! Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu,"
gumam Manyar Ngesti. "Rupanya benar kalau Titisan
Dewi Kwan Im ada di tempat ini. Ini sebuah halangan
yang dibuat oleh para dewata."
Wusss!
Angin kencang menderu ke arah mereka, mem-
buat pakaian yang mereka kenakan tersibak. Bahkan
kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin.
Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan
angin yang menderu keras.
Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut ber-
kelebat sebuah bayangan putih. Tangan bayangan itu
menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekun-
ing-kuningan.
"Heaaat..!"
"Dewi Kwan Im...!" pekik keduanya kaget setelah
melihat siapa yang keluar dari dalam kabut tebal itu.
Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat
"Awas, Asti...!" seru Manyar Ngesti mengingatkan
adiknya, ketika sosok wanita cantik berkulit kuning
langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka.
Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Ma-
nyar Asti. Sedangkan tangan kanannya segera menca-
but golok panjang di punggungnya.
Srrrt!
Trang!
"Hiaaat..!"
Manyar Ngesti berusaha membalas serangan la-
wan seraya memiringkan tubuh. Golok panjangnya di-
babatkan dengan cepat.
Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Ma-
nyar Asti ikut mencabut goloknya. Didahului pekikan
menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis can-
tik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titi-
san Dewi Kwan Im.
"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang
menemui kami! Kakang, beruntung sekali kita ru-
panya. Jangan sampai dia celaka. Kita harus menang-
kapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil berge-
rak melakukan serangan. Tangannya berusaha meno-
tok tubuh gadis cantik dari Cina itu. Namun gadis
yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke
tangan lawan.
"Heaaat!"
Wut!
"Uts...!" Manyar Asti cepat menarik tangannya.
Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti
akan terbabat oleh pedang lawan. "Celaka! Dia dalam
keadaan tak sadar, Kakang! Rupanya ada seseorang
yang mempengaruhinya!"
"Benar! Rupanya kita telah tertipu oleh cerita me-
reka! Dia bukan Titisan Dewi Kwan Im!"
"Ya! Awas, Kakang!"
Wut!
Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari
Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti. Untunglah
Manyar Ngesti segera mengelakkannya.
"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang.
Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya. Tapi
kehendak orang yang mempengaruhinya!"
"Benar!"
Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah
tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh.
Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat memba-
batkan golok ke arah lawan.
"Yiaaat...!"
Trang!
Prak!
Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya
terbabat pedang di tangan gadis Cina itu. Goloknya se-
ketika patah menjadi dua, tak mampu menahan baba-
tan pedang di tangan lawan.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pe-
dang lawan kini bergerak cepat ke arahnya. Tentu pe-
dang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tu-
buhnya tidak segera berkelit ke samping.
Gadis Cina itu terus melabrak. Gerakannya
mungkin tidak sehebat para pendekar pedang. Namun
pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi
siapa saja yang memegangnya. Dan itu yang membuat
gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lin-
cah, cepat dan mematikan. Sangat bertentangan sekali
dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya.
"Hiaaa...!"
Wut, wut, wut...!
Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin,
membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan
yang kini dalam keadaan terdesak.
"Celaka, Kakang! Dia benar-benar kerasukan!"
keluh Manyar Asti.
"Ya! Kita harus bisa mematahkan serangannya!
Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'."
Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang,
keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang me-
reka kuasai. Setelah melihat lawan hendak kembali
menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut
"Yiaaa...!"
"Heaaat..!"
Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari
tangan mereka. Sinar biru itu kembali membelit tubuh
Mei Lie. Seketika tubuh gadis itu bagai dibelenggu oleh
sinar biru.
"Ha ha ha...! Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar
Asti senang, menyaksikan ajian mereka dapat membe-
lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak
mampu lagi bergerak.
"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar
Ngesti.
'Ya! Kurasa dia tidak bersalah. Kita harus meno-
longnya," sambut Manyar Asti.
Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie
dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar be-
lenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas. Tapi be-
lum juga mereka beranjak pergi, tiba-tiba....
"Lepaskan dia!"
Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke
belakang. Kini nampak tiga lelaki berjubah merah.
Rambut mereka pun berwarna merah bagai api. Ten-
tunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Ram-
but Api.
"Tiga Setan Rambut Api. Hm.... Apa urusan ka-
lian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri
urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang. Terle-
bih setelah tahu siapa mereka. Tiga lelaki dari aliran
sesat tersebut merupakan musuh masyarakat. Kejaha-
tan mereka telah menjadi momok yang menakutkan.
"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian
di sini!" dengus Manyar Asti. "Kebetulan sekali. Dari
jauh kami datang mencari kalian. Tidak disangka, ak-
hirnya kami bisa menemukan kalian di sini!"
Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyak-
sikan kedua lawannya. Seakan ketiganya menganggap
kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti.
Terlebih karena Singo Edan bersama mereka. Siapa
pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali
untuk menghadapi Singo Edan.
"Manyar Kembar! Kuperingatkan pada kalian
agar melepaskan gadis itu. Kemudian segeralah me-
nyembah!" bentak Untara dengan mata melotot marah,
pertanda marah.
Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak
mendengar perintah Untara yang dianggapnya som-
bong.
"Setan laknat! Berani sekali kalian mengancam
kami! Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hu-
kum!" balas Manyar Asti tak mau kalah. Meski mereka
belum pernah bertarung, namun Manyar Asti merasa
yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran
putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api.
"Kurang ajar! Rupanya kalian berdua mencari
mampus!" maki Undani. "Jangan salahkan kalau tan-
gan kami akan memecahkan batok kepala kalian!"
"Hm.... Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti
sinis. "Mungkin kepala kalianlah yang akan kami pe-
cahkan!"
"Bedebah! Ku rencah kepala kalian! Hiaaat..!
"Yeaaah...!"
Srrrt, srrrt, srrrt!
Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya. Ke-
mudian dilecutkan ke udara.
Ctarrr!
7
Cambuk di tangan Tiga Setan Rambut Api mele-
cut ke arah Manyar Kembar dari Bali. Menimbulkan
percikan-percikan api dengan suara yang menggelegar
melebihi halilintar. Itulah jurus 'Lecutan Ekor Naga Api
Menghantam Bukit'.
Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang,
dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemu-
dian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok
mereka.
Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar
Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas
menyerang. Golok di tangan mereka menukik laksana
paruh dan membabat laksana sayap burung manyar.
"Hiaaat..!"
Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap
berjalan dengan cepat. Masing-masing berusaha men-
galahkan lawan. Namun begitu, Manyar Kembar dari
Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan. Ilmu
mereka bukan ilmu pasaran. Meski satu orang tidak
lagi memakai golok, namun kekompakan mereka da-
lam menyerang masih cukup tangguh.
"Hiaaat...!"
Ctar!
Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar seran-
gan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang mengge-
legar laksana halilintar. Di lain pihak, ternyata Manyar
Kembar dari Bali memang sepasang pendekar yang
cukup tangguh. Keduanya dengan mudah mengelak-
kan serangan cambuk lawan. Bahkan dengan cepat
balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman
tangan.
"Kita harus cepat membereskan mereka, Ka-
kang," kata Umbakara.
"Benar! Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan
marah pada kita," sambung Undani.
Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak
mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan
Rambut Api. Keduanya sesaat menghentikan serangan
dan saling pandang dengan heran.
"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya
Manyar Asti.
"Entahlah. Rasanya mustahil kalau Singo Edan
menjadi dalang semuanya."
"Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh.
Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih
bimbang. "Kalau benar Singo Edan yang mendalangi
semua ini. Jelas dunia bisa hancur. Siapa orang yang
mampu mengalahkannya?"
Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah
mendengar nama Singo Edan disebut. Bagaimanapun
juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar.
Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingan-
nya. Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran
dan keadilan. Bagaimana mungkin Singo Edan justru
memihak kejahatan! Bahkan kini mendalangi kejadian
yang telah banyak makan korban? Itu yang tidak dapat
diterima oleh pikiran kedua tokoh dari Bali ini.
"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti.
Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau
Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua
ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka.
"Hm, mungkin juga."
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang pasti, kita
harus segera menangkap mereka."
"Mari, Kakang. Heaaat..!"
"Yiaaat..!"
Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak.
Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah
lawan. Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan
tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan.
Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan
cepat, tak mau diam. Ketiganya segera memutar cam-
buk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua
lawannya.
Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut
Api ini bernama 'Pecut Buana Api'. Gerakan melingkar
di atas kepala bernama 'Gelang Geni' sedangkan lecu-
tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'. Sebuah
gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat
Ctarrr!
"Yeaaat...!"
Pertarungan kembali berjalan seru. Masing-
masing mengerahkan kemampuannya untuk dapat
menandingi ilmu lawan. Gerakan mereka nampak lin-
cah dalam berkelit dan menyerang. Meski begitu, nam-
paknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada
satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api. Terbukti
setelah tiga tokoh sesat itu menyerang gencar dengan
sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami
kesulitan sedikit pun.
"Uts! Heaaa...!"
"Lepas kepalamu, Setan Jelek!"
Manyar Kembar dari Bali balas menyerang den-
gan jurus gabungan. Manyar Asti dengan jurus 'Belah
Buana Yudha'. Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus
andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' dis-
ambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan
'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'. Setelah mampu
mengelak, kini keduanya menambah daya serang. Go-
lok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam me-
lakukan serangan. Sedangkan tangan dan kaki Manyar
Ngesti seperti berjumlah banyak.
Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka
sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung ma-
nyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana
kemari. Mencakar ke sana kemari, serta menghantam
dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras.
"Hiaaat...!"
Ctarrr!
Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung
serangan keduanya dengan cambuk. Namun kedua
lawan ternyata cukup lincah. Manyar Kembar dari Bali
melesat ke samping untuk mengelak, kemudian mem-
buru ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan go-
lok.
Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget. Keti-
ganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya
berilmu tinggi. Namun begitu, mereka tidak mau men-
galah begitu saja. Terlebih jika ingat akan Singo Edan.
Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo
Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar
Kembar dari Bali.
"Uts! Hiaaat..!"
Ctar
Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung
serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecu-
tan cambuknya. Lagi-lagi lecutan cambuk mereka ba-
gai tiada arti. Karena dengan mudah Manyar Kembar
dari Balik berkelit. Bahkan serangan kedua tokoh dari
Bali itu semakin cepat membuat Tiga Setan Rambut
Api kewalahan.
"Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan!"
dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha
menotok dua lelaki dari Tiga Setan Rambut Api. Begitu
pula dengan Manyar Asti. Dia pun tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Namun belum juga mereka
dapat melakukan totokan, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya,
kemudian tubuh mereka melompat ke belakang. Mata
mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang
membahana. Jelas tawa itu milik Singo Edan. Meski
mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, ta-
pi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana
rupa dan tawa khas tokoh sakti itu.
"Singo Edan...!"
"Dia benar-benar datang, Kakang!"
Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal
suara itu. Seketika keduanya memandang ke arah ka-
but tebal yang berarak menuju mereka. Dari dalam
kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih.
Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka se-
bagai Singo Edan. Dan seorang lagi gadis cantik dari
Cina.
"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu
tadi?"
"Ya! Kapan dia bebas?"
Manyar kembar dari Bali masih terlongong ben-
gong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-
bebas dari belenggu ajian 'Sari Rogo' mereka. Tangan-
nya memegang pedang sakti yang bersinar merah ke-
kuning-kuningan. Seperti siap untuk membunuh dua
tokoh dari Bali itu.
"Hua ha ha...! Rupanya masih ada juga orang
yang berani menantang Singo Edan!" kata Singo Edan
dengan sinis.
'Persetan! Kau bukan Singo Edan! Kau iblis yang
telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan!" se-
ru Manyar Ngesti, merasa yakin kalau lelaki berjubah
putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan
Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan.
"Kurang ajar! Kalian tentunya buta!" maki Singo
Edan. "Aku Singo Edan. Akulah orang yang paling sak-
ti di jagat ini! Tak akan ada yang menandingi ku. Hua
ha ha...!"
"Iblis! Jangan kira kami dapat kau kibuli!" lan-
tang suara Manyar Asti. "Meski ilmumu setinggi langit,
Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah!"
Singo Edan mendengus. Matanya melotot tajam
pada kedua tokoh dari Bali itu.
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintahnya.
Mei Lie menurut bagai budak. Tubuhnya melesat
turun. Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari
Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali.
"Hiaaa...!"
"Celaka, Kakang! Apa kita harus menurunkan
tangan kejam?"
'Terpaksa, Asti! Heaaat...!"
Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya,
Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei
Lie. Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat,
berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie.
Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak
memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak
mau diam. Mereka serentak mengambil sesuatu dari
balik jubah masing-masing. Lalu ketiganya melontar-
kan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar
Kembar dari Bali.
Zing, Zing...!
"Kakang, awas!" seru Manyar Asti.
"Keparat! Licik...!" maki Manyar Ngesti.
Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak un-
tuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilem-
parkan Tiga Setan Rambut Api. Perhatian mereka kini
tertuju ke arah jarum-jarum beracun. Hal itu men-
jadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan,
dengan leluasa menyerang dari belakang.
"Hiaaa...!"
Wut!
Cras!
"Aaakh...!" Manyar Asti memekik. Kepalanya ter-
babat oleh pedang di tangan Mei Lie. Tubuhnya yang
masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah. La-
lu jatuh membentur tanah dengan kepala hancur.
"Asti...!" pekik Manyar Ngesti.
Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan
kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya. Sinar
biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie. Namun dia me-
lupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke
arahnya. Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun
itu menembus tubuhnya.
Cleb, cleb...!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Manyar Ngesti. Tubuhnya menukik ke bawah, lalu
jatuh dengan nyawa lepas. Tubuhnya beku membiru
dengan puluhan jarum menancap di punggung serta
pahanya.
"Hua ha ha...!"
Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan
tertawa senang bukan main. Setelah puas mengumbar
rasa senangnya, tangannya melambai. Saat itu juga,
tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke
kabut di mana Singo Edan berada. Tubuh mereka hi-
lang, bersamaan dengan lenyapnya kabut.
***
Sena Manggala menyeka keringatnya yang bercu-
curan. Terik matahari terasa memanggang tubuhnya.
Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya. Tangannya
mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu bu-
rung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada
ujungnya saja. Kemudian bulu itu digunakan untuk
mengorek telinganya.
"Hi hi hi...!" Sena meringis-ringis merasakan
nikmat Lalu ditariknya kembali bulu burung itu. Hi-
dungnya mengendus. Setelah menyeka kotoran di bulu
burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat
pinggangnya.
Sena menarik napas panjang-panjang. Tubuhnya
masih berdiri mematung. Matanya menyapu ke sekelil-
ing tempat itu. Tempat yang sepi dan senyap di tengah
perjalanan ke Lembah Lamur. Sejak hilangnya Mei Lie,
entah mengapa dunia dirasakan sepi sekali. Padahal
telah lama dia dan Mei Lie berpisah. Tapi pertemuan
sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya. Arti yang
sangat sulit dilukiskan
"Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih
nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat
itu.
Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang le-
laki berpakaian pengemis. Keenam lelaki itu juga ten-
gah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah
Lamur yang gersang dan tandus.
"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah La-
mur?" tanya Sena dengan kening berkerut. "Ah, men-
gapa pengemis-pengemis itu tidak di kota saja? Bu-
kankah di kota mereka bisa mendapat banyak maka-
nan? Mengapa harus ke lembah yang gersang dan se-
pi?"
Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatan-
gan para pengemis itu. Tentunya ada sesuatu di Lem-
bah Lamur, yang membuat para pengemis. berdatan-
gan ke lembah itu. Belum juga Sena memahami apa
yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita
cantik. Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik
yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil. Sedang-
kan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya,
tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama
Lira Kanti.
"Nyi Bangil! Ah, ada apa pula dia datang ke Lem-
bah Lamur?"
Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan
adik seperguruannya yang datang. Tapi hampir selu-
ruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus
maupun sesat datang. Sepertinya akan terjadi sesuatu
di Lembah Lamur.
Di antara para tokoh persilatan itu, hadir bebera-
pa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tong-
kat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti.
Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari. Sedangkan
dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi
Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari
Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya
Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya
yang berpihak ke aliran putih. Di sana juga hadir Ratih
Puri serta suaminya Kerto Mandra.
Dua golongan itu menempati tempat masing-
masing. Aliran sesat menempatkan diri di sebelah ba-
rat. Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di ba-
gian timur.
Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya.
Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri. Dengan
mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerak-
gerik orang-orang persilatan.
"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan
yang melakukannya! Juga mengenai Titisan Dewi
Kwan Im, itu tidak benar!" ujar Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena mengerutkan kening mendengar nama gu-
runya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu. Tan-
gannya masih mengorek telinganya dengan bulu bu-
rung. Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat ki-
likan itu.
"Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu!
Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan
pelaku semua ini!" sahut lelaki berjubah hitam.
Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni. Dan me-
rupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan ke-
jam. Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala
warna hitam pula. Wajahnya dihiasi oleh cambang
bauk lebat. Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan
kiri atas. Matanya nakal jika memandang ke perem-
puan cantik.
"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni!"
dengus Nyi Bangil. "Aku tahu siapa Singo Edan, guru
dari Pendekar Gila. Dia tak mungkin berlaku keji!"
"He he he..,!"
Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh. Ma-
tanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang can-
tik dan bertubuh sintal. Kemudian matanya meman-
dang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum.
"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur
dengan semua ini. Lebih baik kau mau menjadi istri-
ku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum
dan pandangan nakal ke arah Nyi Bangil.
"Cuih! Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat!"
dengus Nyi Bangil.
"He he he...! Semakin kau marah, semakin cantik
saja. Bukan begitu Pengemis Tempurung Sakti?" kata
Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pen-
gemis Tempurung Sakti.
"Tutup mulutmu, Iblis! Kurasa, kaulah yang telah
menyebarkan desas-desus ini. Padahal kau sendiri bi-
ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini!" bentak
Nyi Bangil dengan berani.
"Wuah! Lancang sekali mulutmu, Nyi! Berani be-
nar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami!" maki
Jalantra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Sela-
tan.
"Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek
mulutmu!" sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan
Pengemis Daerah Timur.
"Huh, apakah kalian kira kami takut!" ujar Lira
Kanti kesal, melihat kakak seperguruannya diremeh-
kan. "Menghadapi pengemis busuk macam kalian,
pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari
untuk mengalah!"
Suasana di Lembah Lamur semakin terasa pa-
nas. Masing-masing aliran saling menyalahkan. Aliran
sesat menuduh bahwa tindakan Titisan Dewi Kwan Im
alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang per-
silatan. Dan Singo Edan adalah dalang dari semua ke-
jadian itu.
Para pendekar aliran lurus tak mau menerima
tuduhan itu. Bahkan mereka balik menuduh kalau ali-
ran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu.
Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka beru-
saha menjatuhkan aliran putih.
"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo
Edan dan Titisan Dewi Kwan Im pelaku semua ini?"
tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Memang tidak. Namun dilihat dari kematian me-
reka, hanya Titisan Dewi Kwan Im yang memiliki Pe-
dang Bidadari. Bukankah salah seorang anggotamu
mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik
bertanya, sekaligus menuduh Nyi Bangil.
Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil.
"Benar begitu, Nyi?"
"Benar, Ketua. Tapi kurasa bukan dia pelakunya.
Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab
Nyi Bangil.
"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang
melakukannya!" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan
Pengemis Daerah Barat
"Kita serang saja!" seru Jantrik, kembaran dari
Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat
Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya
tidak akan dapat dicegah lagi. Anggota aliran hitam te-
lah siap melakukan serangan. Sedangkan anggota ali-
ran putih juga telah siap menghadapinya.
"Serang saja!" kembali tokoh-tokoh aliran hitam
berseru, semakin menambah panas suasana di Lem-
bah Lamur.
"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua
ini!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Dae-
rah Utara.
"Seraaang...!"
Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha
menyerang anggota aliran putih yang juga telah ber-
hamburan untuk bertarung.
"Yeaaat..!"
"Hadang mereka...!" seru salah seorang dari ali-
ran putih memerintahkan.
"Serbu...!"
Perang benar-benar akan terjadi. Dan tentunya
pertumpahan darah di Lembah Lamur yang tandus
dan gersang akan terjadi pula. Warna merah akan
memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki
udaranya. Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris ber-
temu, tiba-tiba...
"Tunggu! Hentikan semuanya...!"
8
Semua yang hendak menyerang, seketika meng-
hentikan langkahnya. Mata mereka kini memandang
ke arah pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular
yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda yang tak lain
Pendekar Gila, menapakkan kakinya di tengah-tengah
dua kekuatan yang siap bertarung.
"Pendekar Gila...!"
"Hm.... Sampai kapan pun kalian tak akan per-
nah bisa tenang. Kalian telah ditipu oleh seseorang!"
kata Sena. "Kalian akan saling tuduh dan saling ban-
tai, karena mengikuti hawa nafsu belaka! Jika sudah
saling bantai, apa yang akan kalian dapat?"
Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas,
tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila. Matanya
menyapu tajam ke sekeliling tempat itu laksana mata
elang. Puluhan tokoh sakti itu bagai terkena sihir, me-
reka terdiam mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, gurumu telah membunuh secara
keji para pendekar dan tokoh dari aliran kami. Seha-
rusnya aliran putih berterima kasih pada kami yang te-
lah berusaha memberitahukan mereka tentang sepak
terjang gurumu dan gadis Cina yang telah banyak ma-
kan korban!" seru Pengemis Tempurung Sakti.
"Hm.... Enak sekali kau berkata, Pengemis La-
puk!" maki Bidadari Cadar Merah. "Seharusnya kau
berpikir dulu sebelum bicara!"
"Benar! Jangan asal tuduh sembarangan!" timpal
Prabasangka, suami Bidadari Cadar Merah yang telah
sadar akan kekeliruan dan kesalahannya (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang tokoh ini, silakan baca seri-
al Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak La-
wu").
"Kalianlah yang tak tahu aturan! Sudah jelas pe-
lakunya adalah Singo Edan dan gadis Cina itu, masih
saja kalian membelanya!" dengus Gandrana.
"Cukup!" seru Pendekar Gila tegas. "Kurasa ka-
lian telah diadu domba. Bahkan termasuk aku. Hampir
saja aku membunuh guruku sendiri. Kuakui, sungguh
hebat orang yang telah menyamar sebagai guruku.
Sampai aku tertipu olehnya."
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" selak Da-
tuk Karang Geni. "Kau muridnya, tentu saja kau mem-
belanya!"
"Ya! Itu sudah pasti," sambut Pengemis Tempu-
rung Sakti.
"Diam!" bentak Pendekar Gila marah. Wajahnya
kini nampak bersinar merah membara, membuat se-
muanya terdiam. Mereka tahu bagaimana jika Pende-
kar Gila benar-benar telah marah. "Kukatakan pada
kalian, jika memang dia guruku aku tak akan mem-
biarkannya! Aku yang akan membunuhnya!"
"Percuma kau berkata begitu! Kami tak akan
mempercayainya. Gurumu sebagai bukti, bahwa orang
aliran putih sesungguhnya licik!" tuduh Datuk Karang
Geni.
"Keji! Kalianlah yang licik! Kalian hanya bisa
mencari kambing hitam!" selak Ki Ageng Sampar Bayu.
"Phuah! Rupanya kalian harus disingkirkan! Ser-
buuu...!" seru Datuk Karang Geni, yang seketika dilak-
sanakan oleh anggota-anggotanya.
"Seraaang...!" Ki Ageng Sampar Bayu tak mau
tinggal diam. Dia tidak ingin mati sia-sia diserang oleh
orang-orang dari aliran hitam.
"Hentikan...!"
Pendekar Gila berusaha mencegah terjadinya per-
tumpahan darah yang sia-sia. Namun golongan hitam
rupanya tidak mau dicegah lagi. Pertempuran besar
antar golongan pun terjadi.
Trang!
"Hiaaat...!"
"Hait..!"
Trang!
Jleb!
"Wuaaa...!"
Keriuhan karena beradunya senjata yang dite-
ruskan oleh pekikan kematian, seketika membahana.
Darah mulai membasahi tanah Lembah Lamur yang
tandus.
Pendekar Gila yang tidak mau mati sia-sia, kini
harus mempertahankan diri dari gempuran-gempuran
orang-orang aliran sesat yang menyerangnya. Dengan
masih mengandalkan tangan kosong, tubuhnya segera
berkelebat untuk mementahkan serangan lima orang
pengemis sakti. Tubuhnya meliuk-liuk dan sesekali
menepuk ke arah lawan.
Lima Pengemis Tongkat Hitam terus mengepung
Pendekar Gila. Tongkat hitam di tangan mereka, berge-
rak menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh
Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari dengan
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
"Heaaa...!"
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Sena. Tangannya
menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh,
setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam
lawan.
Jalantra yang merupakan Ketua Perkumpulan
Pengemis daerah selatan tersentak kaget. Sama sekali
tidak disangka kalau pukulan Pendekar Gila yang
lamban dan lemah ternyata mampu mengejar gerak
tubuhnya. Dicobanya untuk menangkis dengan tong-
kat hitamnya.
"Hih!"
"Heaaa...!" teriak Jalantara, Ketua Perkumpulan
Pengemis Sakti sambil mengayunkan tongkatnya.
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Pendekar Gila.
Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gera-
kan aneh, setelah berhasil mengelakkan sabetan tong-
kat hitam Jalantara.
Pendekar Gila yang melihat gerakan lawan, den-
gan cepat menarik tepukan tangannya. Kakinya me-
nendang ke belakang dengan tubuh membungkuk.
Kemudian tangannya direntangkan ke samping. Dan
kakinya melayang ke wajah lawan.
Des! Des...!
"Ngk!"
"Ukh...!"
Dua orang terkena tendangan dan sapuan tan-
gannya. Kedua pengemis itu terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dari mulut mereka meleleh darah segar. Mata
mereka melotot, tak percaya melihat gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Gerakan yang kelihatannya
lamban dan lemah tadi ternyata mampu menghantam
tubuh mereka.
Di sisi lain, pertarungan semakin sem. Jeritan-
jeritan kematian susul-menyusul. Darah telah banyak
tertumpah. Namun begitu, belum ada salah satu dari
kedua golongan itu yang mau mengalah. Mereka masih
terus bertarung, berusaha mengalahkan lawan.
Dari aliran putih tiga orang pendekar telah tewas.
Mereka tergeletak di tanah dengan darah melumuri
pakaian dan tubuhnya. Sedangkan di pihak aliran hi-
tam empat orang telah menemui ajal..
Ki Ageng Sampar Bayu yang berhadapan dengan
Datuk Karang Geni pun masih gencar bertukar seran-
gan. Kedua orang tua pemimpin golongan itu mengelu-
arkan jurus-jurus tingkat tinggi. Kancah pertempuran
mereka terpisah dari kelompoknya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Dua tokoh utama persilatan itu berkelebat laksa-
na terbang, kemudian saling serang dengan jurus-
jurus sakti. Api berkobar dari tubuh Datuk Karang
Geni, sedangkan dari tubuh Ki Ageng Sampar Bayu
menderu-deru angin kencang.
Suasana semakin membara. Pertarungan kian
seru, meski korban telah banyak berjatuhan. Nampak-
nya pertarungan besar itu tak akan selesai sampai sa-
lah satu golongan mengalah. Padahal korban kini
membengkak menjadi dua belas orang. Tujuh dari ali-
ran hitam, sedang sisanya dari aliran putih.
Pendekar Gila masih dikeroyok oleh lima Penge-
mis Tongkat Hitam. Dengan jurus 'Kera Gila Melempar
Batu', Sena menyerang ke arah para pengeroyok yang
telah mendapat hantaman darinya.
"Yeaaa...!"
Tangan Pendekar Gila bergerak susul-menyusul
bagaikan melempar. Gerakan melempar itu menghasil-
kan deru angin kencang yang menyapu ke arah lima
pengemis itu. Membuat mereka bagaikan dilempar ba-
tu.
"Jurus edan!" maki Gandrana. "Cepat kita guna-
kan 'Tameng Sakti'!" seru Jalantra.
Seruan itu segera disambut oleh keempat rekan-
nya. Mereka segera membentuk sebuah gerakan me-
lingkar sambil berlari. Tangan mereka bergerak me-
mukul atau menyabetkan tongkat hitam yang dijadi-
kan senjata.
"Heaaa!"
Wut!
Wusss...!
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya untuk men-
gelakkan serangan yang dilancarkan kelima pengemis
itu. Tangannya bergerak menyambar kaki lawan, se-
dangkan tubuhnya sedikit dibungkukkan, mengelak-
kan pukulan dan sambaran tongkat hitam lawan.
"Heaaa!"
Pendekar Gila melenting ke atas, kemudian ber-
salto beberapa kali. Lalu dengan cepat tangannya
mencabut Suling Naga Sakti. Saat menukik ke bawah,
tangannya bergerak menghantamkan Suling Naga Sak-
ti ke arah putaran lawan.
Wut!
Pyar!
Perisai yang dibuat oleh kelima pengemis itu se-
ketika hancur. Tubuh mereka berpelantingan ke sana
kemari. Mata mereka membelalak, menyaksikan Suling
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila-hanya cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat kelima
pengemis itu semakin marah.
"Aku membantu kalian!" seru Pengemis Tempu-
rung Sakti sambil melemparkan tempurungnya ke
arah Pendekar Gila.
Wut!
"Uts!"
Pendekar Gila segera mendoyongkan tubuh ke
samping untuk mengelakkan sambaran tempurung
sakti yang melesat ke arahnya. Lalu dengan cepat, Sul-
ing Naga Sakti dihantamkan ke tempurung yang hen-
dak balik ke arah tuannya.
Wut!
Prak!
Tempurung milik Pengemis Tempurung Sakti se-
ketika pecah, terhantam Suling Naga Sakti.
Tep!
Pengemis Tempurung Sakti terkejut, menyaksi-
kan tempurungnya kembali dalam keadaan tak ka-
ruan. Kemarahannya tiba di ubun-ubun. Didahului
pekikan keras, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Gi-
la.
"Kau telah memecahkan tempurung ku! Maka
kepalamu harus pecah di tanganku! Yeaaa...!"
Pengemis Tempurung Sakti menyabetkan tongkat
kayu hitamnya ke arah Pendekar Gila. Sabetan yang
dialiri tenaga dalam itu membuat angin sabetannya
menderu keras.
"Uts! Hop...!" Pendekar Gila menundukkan tubuh
ke bawah, kemudian dengan cepat tangan kanannya
yang memegang Suling Naga Sakti dihantamkan ke
tongkat lawan.
Trak!
"Uhhh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Tangannya bergetar hebat. Dan tongkat kayunya
patah menjadi dua, membuat matanya membelalak le-
bar.
Di saat pertempuran antar dua golongan itu se-
makin menggila dengan korban yang kian banyak, ti-
ba-tiba angin bertiup keras, menyentakkan semua
yang tengah bertarung. Bersamaan dengan tiupan an-
gin yang membadai, dari arah tenggara muncul kabut
tebal berarak ke arah mereka, diiringi gelak tawa yang
membahana. Mendengar tawa itu, mereka sama-sama
tersentak. Terutama tokoh aliran lurus yang mengenal
sekali ciri suara tawa itu.
"Singo Edan...!"
***
Belum juga melihat wujudnya, mereka telah dike-
jutkan oleh suara tawanya. Suara tawa yang khas dari
penghuni Goa Setan. Yang namanya cukup ditakuti di
rimba persilatan. Seorang lelaki yang selama pengem-
baraannya puluhan tahun silam, belum ada yang
mampu mengalahkan.
"Hm...," Pendekar Gila menggumam. Jelas sekali
dari wajahnya terlihat ketidakmengertian. Bagaimana-
pun juga, dia sangat mengenali tawa itu. Tawa yang
juga dimilikinya. Dan hanya ada satu orang yang me-
miliki tawa seperti itu, yaitu Singo Edan.
Mungkinkah itu suara guruku? Tanya Pendekar
Gila dalam hati. Matanya memandang ke arah kabut
yang bergerak semakin dekat ke arah mereka.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur, kini
bagai patung. Tubuh mereka terdiam tegak. Kepala
mereka mendongak ke atas pada kabut yang masih te-
rus merayap.
"Hua ha ha....! Bagus! Rupanya kalian telah
kumpul!" terdengar suara Singo Edan.
Angin semakin menderu-deru, berusaha menya-
pu orang-orang yang ada di bawahnya. Orang-orang
yang tidak kuat menahan gempuran angin puting be-
liung itu seketika tersapu. Beterbangan terbawa deru
angin kencang.
Suasana di Lembah Lamur semakin kacau. Hi-
ruk-pikuk dan jeritan kematian mewarnai tempat itu.
Sedangkan yang berilmu tinggi, kini harus berusaha
menahan gempuran angin puting beliung yang mener-
jang mereka. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan
terkoyak-koyak parah.
"Cepat rebahkan tubuh kalian...!" seru Pendekar
Gila memerintahkan pada para pendekar wanita yang
semakin tidak menentu keadaannya.
Angin terus menderu kencang laksana badai.
Lembah Lamur seketika diselimuti oleh gulungan debu
yang menghalangi pandangan mereka.
Melihat kenyataan itu, Pendekar Gila melangkah
maju. Matanya memandang ke arah kabut yang ada di
atas.
"Hoi...! Orang pengecut! Kalau kau memang Singo
Edan, keluarlah!"
"Hua ha ha...! Rupanya kau masih hidup, Bocah
tolol!" bentak Singo Edan yang belum juga menampak-
kan wujudnya. "Tapi kini kau tak akan luput dari ke-
matian!"
"Pengecut! Tunjukkan wujudmu!" tantang Sena
dengan suara lantang.
Pendekar Gila bagai tidak peduli dengan angin
kencang membadai yang terus menerpa tubuhnya. Dia
telah mengerahkan ajian 'Sapta Bayu', yang menjadi-
kan tubuhnya mampu menahan hempasan angin ken-
cang.
"Hua ha ha...! Rupanya kau tidak kapok juga!
Baik, hadapilah dia dulu...!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan Singo
Edan, dari kabut tebal itu berkelebat sesosok bayan-
gan putih yang cukup mengagetkan Pendekar Gila dan
Nyi Bangil.
"Mei Lie...!" seru keduanya hampir bersamaan.
Keduanya hendak maju untuk menyadarkan Mei
Lie, namun gadis cantik dari Cina yang digegerkan se-
bagai Titisan Dewi Kwan Im itu seperti tidak mengenali
mereka lagi. Pedang Bidadari di tangannya bergerak
cepat ke arah mereka.
Wut!
"Nyi Bangil, awas...!" seru Sena mengingatkan
sambil melempar tubuh ke belakang.
Nyi Bangil yang tidak menduga sama sekali kalau
Mei Lie menyerangnya, tersentak kaget. Dia berusaha
berkelit, namun tebasan pedang Mei Lie teramat cepat.
Maka....
Wut!
"Mei Lie...?!"
Crap!
"Aaa...!" Nyi Bangil memekik keras ketika pedang
di tangan Mei Lie menembus dadanya sebelah kiri. Ma-
tanya membelalak. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. "Mei Lie, kau...?!"
Tubuh Nyi Bangil semakin lemah, kemudian am-
bruk tanpa nyawa ketika Pedang Bidadari dicabut dari
dadanya.
"Kakak..!" jerit Lira Kanti.
Gadis itu hendak memburu ke arah tubuh Nyi
Bangil, tapi dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Jangan!"
Lira Kanti menghentikan langkahnya. Matanya
terpaku ke tubuh kakaknya yang telah tak bernyawa.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur seketika
terpaku. Mereka bagai tak percaya kalau ilmu pedang
gadis Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan
Im itu ternyata sangat tinggi.
"Hua ha ha...! Bagaimana, Bocah Edan?!"
"Pengecut! Keluarlah! Lepaskan pengaruh mu da-
ri dia!" maki Sena sengit. Tubuhnya masih bergerak,
mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Mei
Lie.
"Bunuh dia! Dia lawanmu, Mei Lie!" seru lelaki
tua yang mengaku Singo Edan, yang kini belum juga
menampakkan wujudnya.
Mei Lie yang dalam kekuasaan pengaruh lelaki
tua yang mengaku Singo Edan itu menurut. Tangan-
nya yang memegang pedang, bergerak cepat menye-
rang Pendekar Gila. Pedang Bidadari yang mengelua-
rkan sinar merah kekuning-kuningan cukup membuat
Pendekar Gila kaget Pedang di tangan Mei Lie memang
bukan pedang sembarangan. Kalau saja Mei Lie ingat
akan jurus 'Pedang Tebasan Batin' pasti akan sulit di-
tandingi.
"Mei Lie, ingatlah! Kau dalam pengaruhnya!" seru
Sena berusaha mengingatkan. "Aku Sena, Mei Lie...!"
Mei Lie tak peduli. Matanya tidak berkedip me-
mandang Pendekar Gila. Tangannya terus bergerak
membabatkan pedang dengan cepat.
Wut!
"Hua ha ha...! Kusarankan pada kalian, bersu-
judlah padaku! Kalau tidak, kalian akan mengalami
kematian!" ancam Singo Edan.
"Aku sujud!" sambut Datuk Karang Geni.
"Aku ikut sujud!" Pengemis Tempurung Sakti
mengikuti.
"Aku juga!"
Kini semua tokoh aliran hitam sujud kepada
orang yang mengaku Singo Edan. Mereka meratap,
meminta ampunan dan mengharap agar Singo Edan
mau menjadikan mereka anak buahnya.
"Bagus! Kalian memang pengikut ku yang setia!
Bunuh mereka yang bermaksud menentang!" perintah
orang yang mengaku Singo Edan. Dengan cepat seruan
itu segera dilaksanakan olah para tokoh sesat
"Serang...!" seru Datuk Karang Geni.
"Habisi mereka...!" sambut yang lainnya.
Melihat orang-orang dari aliran sesat menyerang,
Ki Ageng Sampar Bayu pun tidak mau tinggal diam.
Segera dia pun berteriak memerintah anak buahnya
untuk menyambut serangan mereka.
"Serbu..!"
"Yeaaat...!"
Pertarungan kembali berlangsung tanpa dapat
dicegah. Bagaimanapun juga, orang-orang dari golon-
gan putih tidak mau mati sia-sia. Tak ada jalan lain
bagi mereka kecuali menghadapi serangan lawan.
Pertarungan yang tertunda sesaat, kini berkobar
kembali. Suara beradunya senjata disusul dengan je-
rit-jerit kematian meramaikan Lembah Lamur.
"Mei Lie, cepat pergi!" terdengar suara Singo Edan
memanggil Mei Lie. Bersamaan dengan itu, dari atas
melesat tiga lelaki berjubah merah. Mereka tak lain Ti-
ga Setan Rambut Api.
Mei Lie dengan cepat melesat ke atas, meninggal-
kan Pendekar Gila. Namun rupanya Sena tak mau
membiarkan Mei Lie pergi begitu saja. Tubuhnya sege-
ra melesat ke atas, menyusul tubuh gadis Cina itu.
Tiga Setan Rambut Api yang semula hendak
menghadang Pendekar Gila, hanya mampu terpaku.
Mereka hendak mengejar, namun kabut itu telah ber-
gerak meninggalkan Lembah Lamur. Akhirnya Tiga Se-
tan Rambut Api turut membantu orang-orang aliran
hitam yang tengah bertarung dengan para pendekar
aliran putih.
9
Pendekar Gila yang mengejar Mei Lie, seketika
terperangah menyaksikan keadaan sekelilingnya yang
aneh. Semula dia berada di dalam kabut, namun tiba-
tiba kini dirinya berada dalam hutan lebat yang belum
dijamah oleh tangan manusia.
"Hei, di mana aku?" tanya Sena kebingungan,
menyaksikan alam sekitarnya yang terasa demikian
asing.
Pendekar Gila menemukan suasana yang sepi,
gelap dan mencekam. Dari kejauhan terdengar suara-
suara menyeramkan yang mampu mendirikan bulu
kuduk.
"Sena Manggala...."
Ada suara yang memanggil namanya. Suara seo-
rang laki-laki. Namun jelas itu bukan suara gurunya.
Sena menyapukan pandangan ke sekeliling hutan
itu, berusaha menemukan asal suara yang baru saja
didengarnya. Namun sama sekali tidak terlihat seorang
pun di tempat itu.
"Siapakah yang memanggilku?" tanya Sena sam-
bil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus beredar
dalam keremangan yang menyeluruh. Tiba-tiba ma-
tanya bertumbukan dengan dua pasang mata dari se-
pasang kera yang berdiri di atas cabang pohon.
"Sena...," suara itu kembali terdengar.
"Hei, kaukah yang berbicara?" tanya Sena dengan
mulut ternganga. Yang telah berbicara padanya ternya-
ta seekor monyet berbulu putih. "Kau, bukankah kau
Kera Sakti?"
"Aku adalah ayahnya. Sedangkan dia adalah
ibunya," kata kera putih yang duduk di sebelah kiri,
seraya menunjuk kera di sampingnya.
"Bukankah kalian telah mati?" tanya Sena masih
menggaruk-garuk kepala keheranan. Bulu kuduknya
meremang, menyaksikan keanehan-keanehan yang di-
alami. Tentang kabut aneh yang tiba-tiba berubah
menjadi hutan belantara. Dan hutan itu nampaknya
berada puluhan tahun yang silam.
"Kau salah, Sena. Kami belum mati. Inilah alam
kami. Alam kabut. Alam di mana jiwa-jiwa berada...."
Ucapan kera putih itu semakin membuat Sena
diterpa rasa heran. Bagaimana mungkin semuanya bi-
sa terjadi? Tanyanya dalam hati.
"Tapi aku belum mati. Bagaimana mungkin aku
bisa kemari?" tanya Sena, bimbang.
"Itu mudah, Sena. Kau berilmu tinggi. Kau mam-
pu datang kemari tanpa undangan penghuni alam ini.
Sudahlah, jangan sia-siakan waktumu. Bukankah kau
tengah mengejar Dewi Pemuja Setan?" tanya kera pu-
tih.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala menden-
gar pertanyaan itu. Dia sungguh bingung dengan per-
tanyaan yang dilontarkan kera putih itu.
"Kau memang belum mengerti, Sena. Baiklah
akan ku jelaskan padamu."
Kera putih kemudian menceritakan siapa se-
sungguhnya lelaki yang menyamar sebagai Singo
Edan, guru Pendekar Gila. Dikatakan pula bahwa se-
benarnya lelaki itu jelmaan Dewi Pemuja Setan yang
telah dikalahkan oleh Singo Edan puluhan tahun yang
silam. Arwahnya telah bersekutu dengan iblis, dan
bangkit kembali atas pertolongan iblis.
Sena mendengarkan dengan seksama setiap
penggalan kisah yang diceritakan oleh kera putih.
"Nah, begitulah ceritanya. Maka itu, berhati-
hatilah. Dia bukan manusia, melainkan iblis. Aku ber-
doa, semoga Hyang Widhi akan senantiasa bersama-
mu. Pergilah ke arah selatan, di sana kau akan mene-
mukan sebuah istana yang dihuni oleh wanita-wanita
iblis. Jangan kau terpedaya oleh kecantikan wanita itu.
Sesungguhnya, mereka adalah siluman."
"Terima kasih atas saran yang telah kau berikan,
Sahabatku."
"Sampaikan salamku pada gurumu," tutur kera
putih sebelum Sena meninggalkan tempat itu.
"Akan kusampaikan. Selamat berpisah!"
Sena pun segera mengikuti petunjuk yang diberi-
kan oleh kera putih. Dengan mengerahkan ilmu lari
'Sapta Bayu', tubuhnya melesat cepat ke arah selatan.
Apa yang dikatakan kera putih tadi ternyata be-
nar. Di selatan, nampak sebuah bangunan besar ber-
diri angker. Bangunan mirip istana itu nampak dijaga
oleh dua wanita cantik berpakaian minim.
Sena menghentikan larinya. Dengan cepat dia
menyelinap di balik pepohonan. Matanya memandang
ke arah bangunan besar yang berdiri megah.
Benarkah gadis-gadis cantik itu siluman? Tanya
Sena dalam hati. Segera mata batinnya digunakan un-
tuk melihat bagaimana rupa gadis-gadis itu sebenar-
nya. Benar juga! Ternyata gadis-gadis itu tiada lain
makhluk-makhluk menyeramkan. Mata mereka lebar
dengan hidung besar berwarna merah. Tubuh mereka
telanjang bulat, dengan lidah yang panjang dan gigi
bertaring.
"Hm.... Apa yang dikatakan oleh kera putih ter-
nyata benar," bisik Pendekar Gila. "Bagaimanapun ju-
ga, aku harus menyelamatkan Mei Lie dari cengkera-
man Dewi Pemuja Setan."
Sena mencabut Suling Naga Sakti dari balik ikat
pinggangnya. Kemudian ditiupnya suling itu ke arah
dua wanita cantik jejadian tadi. Suara suling mengalun
dengan merdu serta mendayu-dayu. Tiupan 'Pelayung
Sukma', menjadikan kedua gadis itu seketika terkulai
lemas.
"Hm.... Kini tinggal menantang Dewi Pemuja Se-
tan keluar," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan
pengerahan tenaga dalam, Pendekar Gila berseru,
"Dewi Pemuja Setan, keluar kau!"
"Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!"
bentak Dewi Pemuja Setan marah. Dari dalam bangu-
nan, muncul seorang lelaki berwajah persis dengan
Singo Edan. "Kau?!"
"Ya! Aku datang untuk membuat perhitungan
denganmu, Dewi Pemuja Setan! Kau telah merusak
nama baik guruku. Bahkan kau telah berusaha mem-
bunuhku!" dengus Pendekar Gila lantang.
"Hua ha ha...! Rupanya kau datang untuk men-
gantar nyawa, Bocah Tolol! Mengapa tidak sekalian sa-
ja gurumu?!" tantang Dewi Pemuja Setan pongah.
Pendekar Gila mendengus. Matanya memandang
tajam ke arah lelaki yang serupa dengan Singo Edan.
Iblis yang telah menipunya, sampai dia hampir saja
bertarung dengan gurunya.
"Dewi Pemuja Setan, rupanya kau belum kapok!
Setelah kekalahanmu oleh guruku, kau bermaksud
memfitnah! Pengecut..!" bentak Sena gusar. "Lepaskan
Mei Lie!"
"Hua ha ha...! Jangan bermimpi, Bocah Tolol!
Kau akan terkubur di alam ini! Bersiaplah! Hiaaat...!"
"Heaaa...!"
Didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya
melesat ke udara. Lalu dengan cepat mereka mengelu-
arkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pendekar Gila
dengan jurus pembuka Si Gila Menari Menepuk La-lat,
berusaha melabrak Dewi Pemuja Setan. Tubuhnya me-
liuk-liuk, dan sesekali menepuk ke tubuh lawan.
"Cuih! Ilmu kuno!" ejek Dewi Pemuja Setan.
Kemudian Dewi Pemuja Setan pun menggerakkan
kedua tangannya, membentuk silang dengan jari-jari
mencakar. Ditariknya tangan kanan yang ada di depan
ke samping, kemudian dihentakkan ke depan. Sedang-
kan tangan kirinya kini mencengkeram ke mata lawan.
Itulah jurus 'Sangkala Putung Tingkat Pertama'. Se-
buah jurus sakti yang terdiri dari sepuluh tingkatan.
Wut!
Tangan Dewi Pemuja Setan bergerak saling ber-
lawanan. Kalau yang kiri dari atas, maka yang kanan
dari bawah. Begitu juga jika menyerang dari samping.
Gerakan tangannya begitu cepat, menimbulkan deru
angin yang kencang.
"Uts...!" Sena tersentak. Segera wajahnya dibuang
ke samping, sehingga serangan Dewi Pemuja Setan lu-
put. Namun tangan kanannya, kini meluncur deras ke
arah perut
Pendekar Gila segera berkelit ke samping, kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan tamparan
tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya berusaha
menangkis cengkeraman tangan kanan lawan.
"Heaaa...!"
Plak!
Bentrokan terjadi. Tubuh mereka langsung ber-
jumpalitan ke belakang. Dengan mendengus, kedua-
nya kembali menyerang. Kali ini Dewi Pemuja Setan
mengeluarkan jurus 'Sangkala Putung Tingkat Kedua'.
Gerakannya semakin cepat. Kakinya turut menyapu
ganas.
Menyaksikan lawan mengeluarkan jurus yang se-
tingkat lebih tinggi dari jurus semula, Sena pun segera
mengeluarkan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuh-
nya berputar cepat, bagaikan meronta dari lilitan tali
yang membelit tubuh. Tangannya bergerak miring,
menghantam dan mencakar ke wajah lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Dewi Pemuja Setan terus menyerang dengan
cengkeraman dan pukulan telapak tangannya. Tubuh-
nya bergerak cepat dalam gerakan berputar seperti
gasing. Kakinya menyapu teratur. Sedangkan tangan-
nya susul-menyusul melakukan serangan.
Jurus-jurus yang mereka keluarkan adalah ju-
rus-jurus yang berlawanan. Kalau Pendekar Gila me-
nyapu kaki lawan dengan gerakan ke arah dalam, se-
dangkan Dewi Pemuja Setan menyapu kaki lawan ke
arah luar. Begitu pula dengan serangan tangan, serta
putaran tubuh mereka. Semuanya berlawanan arah.
Tap! Trak!
Derak akibat beradunya tangan dan kaki terden-
gar. Diikuti oleh gerakan-gerakan kepala dan tubuh
saat mengelak. Sebuah pertarungan yang dahsyat den-
gan menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi.
"Heaaa...!"
Dewi Pemuja Setan menyorongkan tangannya ke
wajah lawan, hingga menyentakkan Pendekar Gila. Se-
gera Sena memiringkan kepala ke samping kanan.
Tangannya dengan sigap menangkap tangan lawan,
disusul dengan cakaran tangan kiri.
Tap!
"Hiaaa...!"
Tangan Pendekar Gila merangsek maju ke wajah
lawan, sedangkan tangan yang lain berusaha menang-
kis dan menangkap tangan lawan yang menyerang. Ta-
rik-menarik tangan terjadi, disusul oleh sapuan kaki
keduanya yang bertubi-tubi.
Pendekar Gila mengerahkan tenaga murni lalu
mendorong tubuh lawan dengan keras. Begitu juga
dengan Dewi Pemuja Setan, dia pun mendorong tubuh
lawannya dengan keras pula. Akibatnya, tubuh mereka
terlontar jauh ke belakang.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Tubuh keduanya bersalto di udara beberapa saat
sebelum menjejakkan kaki ke tanah. Mata mereka sal-
ing pandang, diikuti oleh dengus napas keras dan
memburu.
Keduanya masih mengawasi gerak-gerik lawan
masing-masing dengan sudut mata. Kaki mereka me-
langkah teratur dengan tangan bergerak membuka ju-
rus. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, tubuh
keduanya kembali melesat
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!"
Tubuh mereka sama-sama melesat ke atas, ke-
mudian bertemu di udara untuk saling menyerang. Te-
lapak tangan mereka memukul keras, sedangkan kaki
mereka berusaha menendang kaki lawan. Pertarungan
di udara terjadi. Tubuh keduanya melayang dalam ke-
cepatan tinggi.
Pendekar Gila terus menyerang dengan kibasan
tangannya dengan jurus 'Si Gila Menyibak Samudera'.
Tangannya seperti menyibak. Memukul ke dada lawan.
Sedangkan kakinya menendang bergantian.
Trap!
"Yeaaa...!"
Dewi Pemuja Setan yang mengeluarkan jurus
'Sangkal Putung Tingkat Ketujuh', tidak kalah gesit da-
lam mengelak dan menyerang. Tangannya kini menghi-
tam, mengeluarkan asap yang panas. Lalu bergerak
memukul dengan telapak tangan ke dada lawan. Dis-
usul dengan tebasan tangan kiri ke kepala Pendekar
Gila.
"Yeaaa!"
Pendekar Gila cepat memiringkan kepala ke
samping kiri, serta melompat ke belakang. Lalu dengan
cepat tangannya menghantam ke tulang rusuk rawan
dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Yeaaat..!"
Wut!
Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gi-
la laksana prahara menghantam ke dada lawan, se-
hingga menyentakkan Dewi Pemuja Setan.
Dewi Pemuja Setan berusaha mengelakkan han-
taman keras itu. Namun rupanya pukulan Pendekar
Gila yang tak terduga-duga, harus mendarat telak di
dadanya. Sampai terdengar suara keras dari mulut
Dewi Pemuja Setan.
Degk!
"Hugh...!"
Mata Dewi Pemuja Setan melotot. Tubuhnya ter-
pental ke belakang. Tapi anehnya, tubuh Dewi Pemuja
Setan tidak mengalami apa-apa. Seakan pukulan sakti
itu tak berarti sama sekali. Padahal pukulan dari jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang", mampu menghan-
curkan gunung karang menjadi debu.
Kini bukan Dewi Pemuja Setan yang kaget, justru
Pendekar Gila terperangah menyaksikan lawannya ti-
dak mempan oleh pukulan sakti yang dilancarkannya.
"Hua ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Pende-
kar Gila!" tantang Dewi Pemuja Setan, sombong.
Kemudian dengan mendengus marah Dewi Pemu-
ja Setan berkelebat menyerang. Dewi Pemuja Setan
kali ini menggebrak dengan jurus 'Sangkal Putung
Tingkat Sepuluh', yang merupakan jurus terakhir dari
rangkaian jurus 'Sangkal Putung'.
Pendekar Gila tersentak dari keterpanaannya.
Dengan cepat serangan itu dielakkannya. Tubuhnya
dibuang ke samping kanan, berusaha mengelakkan
hantaman lawan. Namun pukulan tangan Dewi Pemuja
Setan ternyata sempat menyerempet pundak kirinya.
Jrat!
"Ukh...!" Pendekar Gila segera berguling sambil
mengeluh, merasakan pundak kirinya panas bagai ter-
bakar. Kulitnya agak melepuh. "Setan!"
Melihat Pendekar Gila dapat dilukai, Dewi Pemu-
ja Setan semakin bernafsu untuk segera menghabi-
sinya. Dengan pekikan menggelegar, dia kembali me-
nyerang dengan jurus pamungkasnya.
"Yiaaat..!"
Melihat lawan telah melesat ke arahnya, Pende-
kar Gila yang masih berguling dengan cepat mengi-
baskan kaki kanannya ke selangkangan lawan. Mem-
buat lawan yang masih berada di atas tak mampu lagi
mengelakkan tendangan itu. Tanpa ampun lagi....
Jrot!
"Ukh...!" Dewi Pemuja Setan memekik keras, tu-
buhnya terlempar ke belakang. Tangannya memegangi
selangkangan yang terasa hancur akibat tendangan
Pendekar Gila. "Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu!
Hgrrr...!"
Dewi Pemuja Setan menggeram keras. Tangannya
menyatu di atas kepala. Perlahan-lahan tubuhnya dis-
elimuti oleh asap tebal yang bergulung-gulung. Kemu-
dian asap hitam bergulung-gulung itu membentuk wu-
jud tinggi besar. Mulanya nampak samar, lalu semakin
jelas dan bertambah jelas. Kini nampaklah sesosok
makhluk hitam bertubuh tinggi besar yang menyeram-
kan telah berdiri di hadapan Pendekar Gila.
"Hogrrr...!"
Makhluk itu menggeram. Wajahnya yang seperti
kera tampak demikian menyeramkan. Terlebih dengan
mata lebar dan taring yang mencuat. Telinganya pan-
jang dan meruncing ke atas. Di samping telinganya
terdapat tanduk yang berkilat. Sekujur tubuhnya di-
tumbuhi rambut hitam kemerah-merahan. Kuku-
kukunya panjang dan runcing.
"Jagat Dewa Batara, makhluk ini yang malam itu
pernah bertarung denganku," desis Sena. Dengan ma-
sih menahan sakit pada pundak kirinya yang melepuh,
Pendekar Gila berusaha bangkit
Wut!
Tangan makhluk menyeramkan itu menyambar
deras ke tubuh Pendekar Gila.
"Uts!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samp-
ing, mengelakkan serangan makhluk itu. Namun tak
urung, tubuhnya tersambar tangan makhluk menye-
ramkan itu.
Plak!
"Akh...!"
Tubuh Pendekar Gila melayang beberapa tombak
ke samping. Sesaat dia berguling-guling di tanah, ke-
mudian segera bangkit ketika tangan makhluk menye-
ramkan itu hendak mencengkeram tubuhnya kembali.
Crab!
Kuku panjang menyeramkan itu menghunjam
dalam di tanah. Karena dalamnya, tercipta lubang be-
sar yang menyerupai galian sumur yang dalam, ketika
tangan itu ditarik.
Mata Pendekar Gila membelalak. Hatinya bergidik
saat membayangkan tubuhnya menjadi sasaran hun-
jaman tangan makhluk menyeramkan itu. Tentu tu-
buhnya hancur lebur, karena tidak lebih besar diban-
dingkan telapak tangan makhluk menyeramkan itu.
"Hgrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali mengayun-
kan tangannya, berusaha menghancurkan tubuh Pen-
dekar Gila. Namun Sena yang sudah merasakan sakit
yang luar biasa akibat tamparan tangan besar itu den-
gan cepat berkelit. Disusul oleh serangan pukulan sak-
tinya ke wajah lawan.
Wusss...!
Selarik sinar merah membara keluar dari telapak
tangan Pendekar Gila, dan langsung melesat ke wajah
makhluk menyeramkan itu.
Jrot!
Sinar api itu menghantam wajah lawannya yang
menyeramkan. Namun makhluk itu bagai tak menga-
lami apa-apa. Bahkan dia semakin kalap. Tangannya
silih berganti menyambar dan menghantam tubuh
Pendekar Gila.
Wut!
"Edan!" maki Pendekar Gila seraya melompat ke
samping dengan mengerahkan tenaga dalam, hingga
lompatannya melesat cepat. Lalu dia bersalto beberapa
kali, sebelum balas menyerang dengan pukulan sakti.
"Ini untukmu, Iblis...! 'Inti Bayu'! Heaaa...!"
Angin menderu kencang laksana badai, berusaha
menyapu tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu.
Pohon-pohon tumbang. Daun-daun beterbangan. Na-
mun makhluk menyeramkan itu masih saja berdiri
dengan tegar.
"Hgrrr! Kuhancurkan tubuhmu! Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali bergerak
hendak mencengkeram tubuh Pendekar Gila yang den-
gan cepat mengelak ke samping. Saat itu pula, dia te-
ringat akan cerita gurunya ketika bertarung dengan
Dewi Pemuja Setan.
"Hanya dengan Suling Naga Sakti, dia dapat dika-
lahkan."
Ingat akan kata-kata gurunya, dengan cepat Pen-
dekar Gila melolos Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
Kemudian dengan cepat pula suling itu ditiup dengan
posisi kepala naga mengarah ke mata makhluk menye-
ramkan itu.
Wusss!
Bersamaan dengan alunan suling, dari kedua
mata naga di pangkal suling melesat dua berkas sinar
merah ke mata makhluk menyeramkan itu.
Crat!
"Aaargh...!"
Makhluk menyeramkan itu meraung-raung ke-
ras, ketika sinar merah dari sepasang mata di pangkal
Suling Naga Sakti menghantam matanya.
Pendekar Gila tidak mau berhenti sampai di situ,
kini mulut naga di pangkal suling diarahkan ke tubuh
makhluk menyeramkan yang masih meraung-raung
itu. Ditiupnya suling sekali lagi. Seketika itu juga, dari
mulut naga di pangkal suling keluar semburan api
membara. Dan langsung membakar tubuh makhluk
menyeramkan itu.
"Aaarghhhh...!"
Makhluk menyeramkan itu menggelepar-gelepar
saat tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari Sul-
ing Naga Sakti. Perlahan-lahan tubuh makhluk menye-
ramkan itu bergulung-gulung menjadi asap hitam.
Saat
itu juga, Pendekar Gila merasakan guncangan yang
sangat keras. Seperti tengah terjadi gempa bumi dah-
syat.
Dalam keadaan seperti itu, Sena menyadari kalau
istana iblis itu akan segera hancur. Bergegas ilmu me-
ringankan tubuhnya dikerahkan, dan langsung masuk
ke istana untuk mencari Mei Lie.
"Mei Lie...!" panggil Sena dengan gejolak rasa ce-
mas. "Mei Lie...!"
Dicarinya Mei Lie di dalam istana. Sampai akhir-
nya dia melihat Mei Lie tengah terbaring di sebuah
tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat. Cepat
Pendekar Gila membuka ikatan tali itu. Saat itu pula,
guncangan semakin keras. Bahkan ditambah dengan
ledakan-ledakan yang menggelegar. Tubuh Pendekar
Gila bersama Mei Lie yang berada di pelukannya, ter-
lempar ke atas. Beruntung, Pendekar Gila sempat
mengambil Pedang Bidadari di sisi Mei Lie.
Glarrr..!
"Ah...!"
Tubuh Pendekar Gila terus meluncur ke atas ber-
sama tubuh Mei Lie. Lalu Pendekar Gila tidak ingat
apa-apa lagi. Sekelilingnya terasa sangat gelap.
***
Entah berapa lama keduanya pingsan. Ketika
Pendekar Gila membuka mata, dia tengah terbaring di
sebuah lapangan berumput. Di sampingnya, tergeletak
tubuh Mei Lie.
"Hei, di mana aku?" tanya Sena dengan kening
berkerut "Mei Lie...!"
Didekatinya tubuh Mei Lie. Kemudian perlahan
tangannya membelai rambut gadis cantik yang telah
memikat hatinya. Lama ditatapnya wajah gadis itu le-
kat-lekat. Bibirnya nampak merekah indah, mengun-
dangnya untuk mengecup. Perlahan-lahan Pendekar
Gila mendekatkan wajahnya.
"Mei Lie...," desis Sena.
Diciumnya bibir mungil Mei Lie dengan lembut
membuat gadis itu siuman. Mulanya Mei Lie hendak
berteriak, namun ketika melihat lelaki yang mencium-
nya, Mei Lie malah terdiam. Bahkan matanya kembali
dipejamkan, dan bibirnya semakin dibuka lebar.
"Sena...," desah Mei Lie sambil membalas ciuman
Sena Manggala.
Untuk sesaat, keduanya larut dalam belaian ka-
sih dan kerinduan.
Angin sore berhembus perlahan, membelai ramah
rambut kedua insan yang sedang diliputi kerinduan.
Suasana di tempat itu seketika hening.
"Sena, jangan tinggalkan aku," ujar Mei Lie sam-
bil memeluk tubuh Sena. Kepalanya diletakkan di dada
bidang Sena yang menyimpan kedamaian. "Tidak, Mei
Lie. Aku...."
Pendekar Gila tidak meneruskan kata-katanya.
Tangannya yang semula membelai rambut Mei Lie, kini
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie
mendongakkan kepala, menatap wajah pemuda itu.
"Ada apa, Sena? Mengapa kau tidak meneruskan
kata-katamu?"
Sena tersenyum-senyum sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah menyelipkan Suling Naga Sakti
di pinggangnya, Sena mengajak Mei Lie bangun.
"Mei Lie, lihatlah gunung yang membiru itu."
Mei Lie memandang ke arah gunung yang tampak
menjulang tinggi. Kemudian dengan perasaan tak
mengerti, pandangannya dialihkan pada Sena.
"Ada apa dengan gunung itu, Sena?"
"Dia tinggi, bukan?"
"Ya!"
"Gunung itu memang tinggi, Mei Lie. Tapi..., ta-
hukah kau bahwa angan ku jauh lebih tinggi diban-
dingkan gunung itu?"
Mei Lie menggelengkan kepala. Kepolosannya
masih belum memahami kata-kata kiasan yang di-
ucapkan Sena. Matanya kini kembali memandang Se-
na.
"Mei Lie, aku mencintaimu," bisik Sena lembut.
"Oh! Benarkah, Sena?" tanya Mei Lie sambil me-
rebahkan kepalanya kembali ke dada Sena. Tidak tera-
sa, air matanya berlinang.
"Kau menangis, Mei Lie. Kenapa...?" tanya Sena
sambil menengadahkan kepala Mei Lie agar dapat me-
mandangnya. Kemudian tangannya dengan lembut
menyeka air mata gadis itu.
"Lama sekali aku memimpikan semuanya, Sena.
Baru kali ini aku mendengarnya. Mulanya aku tak be-
rani berharap dapat mendampingimu. Biarkanlah aku
mengabdi padamu, Sena...," pinta Mei Lie, lirih.
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Aku bukan dewa, Mei Lie. Hanya dewalah yang
patut mendapat pengabdian. Ah, sudahlah. Kita harus
segera ke Lembah Lamur untuk menghentikan perta-
rungan," tukas Sena.
"Lembah Lamur...?" tanya Mei Lie.
"Benar. Ayo...," ajak Sena.
Setelah Mei Lie menaruh Pedang Bidadari di
punggung, keduanya melesat meninggalkan tempat itu
menuju Lembah Lamur, di mana dua golongan tengah
bertarung
Kedua pendekar muda itu rupanya terlambat. Di
Lembah Lamur kini hanya tersisa keheningan dan de-
sah angin yang berlalu tanpa peduli. Sementara berpu-
luh mayat bergelimpangan memenuhi tanah datar
yang tandus. Kebanyakan yang menjadi korban adalah
orang-orang dari aliran lurus. Sedangkan dati aliran
hitam yang kelihatan hanya tiga orang pengemis, serta
beberapa puluh anggota. Sedangkan Pengemis Tempu-
rung Sakti, dua Ketua Perkumpulan Pengemis, Tiga
Setan Rambut Api, Datuk Karang Geni entah ke mana.
Tentunya mereka telah pergi.
"Nyi Bangil, Lira Kanti.... Oh, mengapa mereka
harus mati, Sena?" tanya Mei Lie sambil menangis.
Hatinya benar-benar tergiris menyaksikan kea-
daan Nyi Bangil dan Lira Kanti. "Tidak! Tidak mung-
kin...!" Mei Lie menangis sambil memeluk tubuh Sena
yang terdiam kelu. Sulit bagi Sena untuk menjelaskan
semuanya.
"Mengapa aku tega membunuhnya? Oh, semua
ini gara-gara orang-orang rimba hitam, Sena. Aku ha-
rus membalas perbuatan mereka! Aku harus memba-
las...!"
"Mei Lie, tenanglah. Dendam tak baik bagi kita.
Semua sudah menjadi suratan Hyang Widhi. Sudah-
lah, kau jangan terlalu memikirkannya," bujuk Sena.
"Tidak, Sena. Aku masih berdosa jika belum me-
nemukan mereka!"
Usai berkata begitu, secara tiba-tiba Mei Lie me-
lesat pergi, meninggalkan Sena.
"Mei Lie, tunggu...!"
Sena yang merasa cemas akan keselamatan Mei
Lie, segera mengejar. Namun Mei Lie yang pikirannya
kacau setelah menyaksikan Nyi Bangil tewas, melesat
bagai angin meninggalkan Sena. Dalam kesendirian-
nya, Sena terpaku menerawang masa-masa yang berla-
lu tanpa dapat dipahaminya.
Nah, bagaimana selanjutnya. Apakah Sena akan
bisa menjadi satu dengan Mei Lie? Apa yang akan di-
hadapi Mei Lie selanjutnya? Siapakah yang telah
membantai orang-orang persilatan dari aliran lurus?
Mampukah Mei Lie membalas sakit hatinya pada
orang-orang rimba hitam?
Jika Anda ingin tahu bagaimana nasib Mei Lie,
silakan ikuti serial Pendekar Gila selanjutnya dalam
episode "Pedang Penyebar Maut".
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Emoticon