DUEL DI PUNCAK
LAWU
oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
1
Gunung Lawu menjulang tinggi. Dari kejauhan
kelihatan hanya warna biru, dengan kabut putih me-
nutupi sebagian puncaknya. Asri sekali kelihatannya.
Seakan dipenuhi oleh kedamaian.
Selama ini, belum ada seorang pun yang datang
ke puncak Gunung Lawu. Entah karena orang berpikir
percuma ke puncak gunung itu. Atau memang ada se-
suatu di balik keasrian dan kedamaiannya.
Seorang lelaki berjubah hitam tengah berlari-
lari menuju Gunung Lawu. Alisnya yang putih, me-
manjang hingga menutupi sebagian mata. Dan sekujur
dagunya ditutupi jenggot putih yang panjang. Sesekali
lelaki itu menengok ke belakang, seperti tengah meya-
kinkan dirinya kalau tak ada seorang pun yang melihat
Lelaki tua itu menghentikan langkahnya dan
kembali memandang ke belakang. Rambut putihnya
yang panjang dengan gelungan di atas kepala, teriap
ditiup angin.
Dilihat dari taut wajahnya, sepertinya dia me-
nyimpan penderitaan batin yang dalam.
"Rupanya apa yang kudengar selama ini me-
mang benar," gumam lelaki tua bertubuh kurus tinggi
yang bernama Catrik Ireng itu. Dihelanya napas pan-
jang-panjang. "Ah, benarkah dia Singo Edan?"
Ki Catrik Ireng masih berdiri mematung. Mata
kelabunya memandang Gunung Lawu yang memben-
tang dari timur ke barat. Puncaknya menjulang tinggi,
berwarna biru sebagian tertutup kabut.
Ki Catrik Ireng tercenung. Ingatannya melayang
ke masa puluhan tahun silam, ketika usianya sekitar
dua puluh lima tahun.
"Ah, mengapa aku harus melamun di tempat
ini? Aku harus segera menolong muridku," gumam Ki
Catrik Ireng, tersadar dari lamunannya. Kemudian
dengan sekali lompat, tubuhnya berkelebat cepat me-
ninggalkan tempat itu.
Lari orang tua berjubah hitam itu sangat cepat.
Dalam sekejap tubuhnya telah berada di lereng Gu-
nung Lawu. Langkahnya telah dihentikan. Lalu kepa-
lanya menengok ke bawah. Kembali orang tua berusia
sekitar tujuh puluh lima tahun itu mengamati sekeli-
lingnya, meyakinkan dirinya kalau-kalau ada yang
menguntit tanpa diketahui.
Setelah yakin tak ada seorang pun yang men-
guntitnya, Ki Catrik Ireng kembali berlari dengan cepat
untuk mendaki puncak Gunung Lawu yang tinggi.
Tubuhnya serta pemuda di pundaknya menghi-
lang di balik batu cadas yang tinggi. Sepertinya, ada
sesuatu yang tersembunyi di balik batu cadas itu. Jika
dilihat begitu saja, memang tak akan nampak sama
sekali. Kecuali batu-batu cadas belaka. Tapi jika di-
amati dengan seksama, di balik batu cadas yang men-
julang tinggi itu terdapat sebuah goa.
Memang sulit untuk dapat melihat goa itu. Di
kanan dan kirinya terdapat batu cadas yang menutupi.
Di atas dan bawahnya pun begitu. Hanya ada lubang
kecil yang dapat dimasuki oleh seekor tikus.
Ki Catrik Ireng berdiri di depan lubang kecil itu.
Setelah memandang ke sekelilingnya sekali lagi, tangan
kirinya menjulur ke lubang dan menggerakkan batu
cadas yang ada di atasnya.
Krek...!
Keanehan terjadi. Batu-batu cadas di samping
dan atas lubang kecil itu tiba-tiba bergerak. Semakin
melebar dan akhirnya nampaklah lubang besar yang
dapat dimasuki oleh dua orang.
Ki Catrik Ireng melangkah ke dalam lubang itu.
Kemudian tangannya kembali memutar batu cadas
yang menonjol di dalam. Kejadian aneh kembali teru-
lang. Batu-batu cadas di sisi dan di atas lubang berge-
rak menyempit. Kini hanya lubang sebesar tubuh tikus
saja yang ada. Lubang itu digunakan untuk keluar
masuknya udara.
Pintar sekali Ki Catrik Ireng membuat tempat
tinggalnya. Maka tak heran, jika selama itu belum ada
seorang pun yang melihatnya. Terlebih dengan tem-
patnya yang begitu tinggi. Sulit bagi orang persilatan
biasa untuk sampai di goa aneh itu.
Ki Catrik Ireng dengan masih memanggul tu-
buh pemuda berbaju kuning, melangkah menyelusuri
lorong goa yang menurun. Semakin ke dalam, lorong
itu semakin ke bawah.
Ki Catrik Ireng terus melangkah, menuruni lo-
rong yang memang telah dibuat undak-undakan tang-
ga. Kemudian dia masuk ke sebuah ruangan di samp-
ing kanan lorong. Ternyata di dalam goa itu terdapat
banyak sekali ruangan. Sepertinya di tempat itu ba-
nyak sekali penghuninya.
Benar juga. Dari ruangan-ruangan yang tertu-
tup, muncullah orang-orang berjubah hitam. Tatapan
mata mereka begitu kosong. Kaki mereka melangkah
kaku. Mereka bagai manusia yang tidak memiliki pera-
saan. Tanpa sedikit pun tegur sapa, atau sekadar ter-
senyum.
"Kalian rawatlah dia," kata Ki Catrik Ireng, me-
merintah pada orang-orang aneh itu. Nampaknya me-
reka menurut pada Ki Catrik Ireng. Buktinya, mereka
segera melaksanakan apa yang diperintahkan lelaki
tua itu.
Ki Catrik Ireng kemudian mendekati sebuah ba-
tu besar yang permukaannya rata. Kemudian duduk di
atasnya untuk melakukan semadi. Dibiarkannya para
pengikutnya bekerja untuk memulihkan luka dalam
pemuda yang dibawanya. Mereka bergerak cepat. Satu
mengambil obat-obatan. Satu mengambil air. Dan lima
orang yang lain menguruti tubuh pemuda tersebut
Mereka bekerja bagai tak mengenal lelah. Sete-
lah membuka baju pemuda itu, salah seorang dari me-
reka menempelkan kedua telapak tangan ke dada si
pemuda. Beberapa saat kemudian, nampak asap men-
gepul dari dada pemuda tampan yang tergeletak itu.
"Aaakh...!"
Pemuda itu tiba-tiba memekik. Tubuhnya
menggeliat-geliat bagai terbakar. Keringat tampak ber-
cucuran membasahi tubuhnya.
Orang berjubah hitam yang berkumis tipis tak
menghiraukan jeritan pemuda itu. Dia dan keempat
rekannya terus bekerja. Tangannya yang menempel di
dada pemuda itu, laksana melekat. Sementara ma-
tanya melotot merah.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu bersi-
nar, laksana diselimuti api yang membara. Cahaya me-
rah itu mengalir dari tubuh orang berjubah hitam ber-
kumis tipis, yang wajahnya kini membara pula.
"Aaakh...!"
Orang berjubah hitam tiba-tiba memekik keras.
Matanya melotot membara, dan tubuhnya tergetar he-
bat. Kemudian terkulai jatuh.
Rupanya itulah cara pengobatan yang dite-
rapkan oleh Ki Catrik Ireng. Dan orang-orang berjubah
hitam itu sepertinya memang khusus ditugaskan un-
tuk mengobati. Kalau sudah tak berarti, mereka harus
menerima kematian.
Mengerikan sekali keadaan lelaki berjubah hi-
tam berkumis tipis itu. Tubuhnya gosong, bagai diba-
kar api yang membara.
Sementara, Ki Catrik Ireng yang tengah mela-
kukan semadi, tampak membuka matanya. Ditatapnya
para pengikutnya yang tengah memulihkan pemuda
tampan itu.
"Hm.... Rupanya dia telah kembali hadir. Tan-
tanganku dulu, rupanya ditanggapi olehnya," gumam
Ki Catrik Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kemudian kenangan pahit masa lima puluh tahun
yang silam kembali terkuak dalam benaknya.
***
Lima puluh tahun silam, di kalangan persilatan
ada dua pemuda gagah yang tingkat kepandaiannya
tinggi. Seorang di antaranya pemuda berwatak dan
bertingkah laku persis orang gila. Pemuda itu bernama
Singo Edan dari Goa Setan. Yang kemudian terkenal
dengan sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan. Meski
nama sebenarnya adalah Singo Arya Yuda.
Seorang lagi bernama Catrik Sandangkara. Ka-
rena perbuatannya yang sangat aneh dengan ilmu-
ilmu tinggi, akhirnya orang lebih mengenalnya dengan
sebutan Catrik Aneh. Karena Catrik Aneh itu selalu
memakai jubah hitam, dia kemudian disebut juga se-
bagai Catrik Ireng.
Kalau Catrik Ireng selalu melanglang rimba
persilatan untuk mencari dan menundukkan lawan,
sebaliknya Singo Edan lebih suka membantu yang le-
mah. Sebenarnya Catrik Ireng dalam melakukan tin-
dakan tidak terlalu telengas. Dia hanya mau bertarung
dengan para pendekar untuk mengalahkan atau dika-
lahkan. Namun akibat tindakannya yang selalu me-
nantang setiap pendekar, dunia persilatan menjadi
gempar.
Ki Ranu Baya yang memimpin dunia persilatan
waktu itu segera mengumpulkan para pendekar untuk
membahas masalah sepak terjang Catrik Ireng.
"Bagaimana kalau Singo Edan yang mewakili
kita untuk menghentikan sepak terjang Catrik
Ireng...?" usul Ki Ranu Baya, yang akhirnya disepakati
oleh para pendekar lainnya.
Karena diberi amanat untuk menghentikan se-
pak terjang Catrik Ireng, Singo Edan pun melaksana-
kan tugasnya. Dia berkelana untuk mencari Catrik
Ireng. Selama itu dia terus menolong orang lemah.
Sampai akhirnya Singo Edan pun termasyhur dengan
sebutan Pendekar Gila dari Goa Setan.
Rupanya kemasyhuran nama Pendekar Gila da-
ri Goa Setan, menarik perhatian Catrik Ireng yang
memang bermaksud mencari pendekar sejati yang bisa
menandinginya. Selama itu, pendekar yang ditemuinya
dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebrakan sa-
ja.
"Katakan pada Pendekar Gila jika kalian berte-
mu, bersiap-siaplah untuk menghadapi Catrik Ireng!"
kata Catrik Ireng setiap kali bertemu dengan orang-
orang persilatan yang dapat dikalahkannya.
Akhirnya mereka pun bertemu di puncak Gu-
nung Lawu. Tempat itu menjadi penentu bagi kedua-
nya untuk memastikan siapa si antara mereka yang
ilmunya lebih tinggi.
"Catrik Ireng, aku datang untuk memintamu
agar tidak meneruskan tindakanmu yang ugal-ugalan,"
ujar Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya cengengesan, persis orang gila.
"Pendekar Gila, aku akan menundukkanmu!
Atau aku akan mengundurkan diri dari rimba persila-
tan, jika kau dapat mengalahkanku!" tantang Catrik
Ireng.
Singo Edan tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, mengapa kita harus bertarung? Apa-
lah artinya ilmu kita, yang belum seberapa dibanding-
kan ilmu yang dimiliki Hyang Widhi," tutur Singo
Edan.
"Pengecut! Ternyata nama besar Pendekar Gila
dari Goa Setan hanya omong kosong!"
"Terserah kau, Catrik. Kurasa tak ada artinya
kita bertarung untuk memperebutkan pepesan ko-
song.,.."
"Phuih...! Rupanya kau berusaha lari dari se-
mua tanggung jawabmu! Huh! Tak pantas seorang
pendekar bersikap sepertimu."
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Catrik.
Terpaksa aku melayanimu...."
Pertarungan kedua tokoh muda rimba persila-
tan yang ilmunya saat itu belum ada yang menandingi
tak dapat dielakkan. Keduanya bertarung tiada henti.
Dari sore hari, sampai pagi datang. Keduanya sama-
sama memiliki kesaktian yang tinggi. Sangat sulit un-
tuk menentukan siapa di antara mereka yang akan ka-
lah dan menang. Keduanya tetap sama-sama gesit dan
lincah, walau bertempur semalaman.
Keduanya kini telah mengeluarkan senjata
masing-masing. Catrik Ireng mengeluarkan senjata
berbentuk bumerang kembar. Sedangkan Singo Edan
mengeluarkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Bumerang kembar melesat ke tubuh Singo
Edan, yang dengan cepat melemparkan Suling Naga
Saktinya ke arah bumerang kembar itu.
Trang!
Dua senjata itu beradu di udara, memercikkan
api. Kemudian kedua senjata itu kembali pada tuan-
nya. Suling Naga Sakti utuh tak ada cacat sedikit pun.
Sedangkan mata Catrik Ireng membelalak, menyaksi-
kan salah satu senjatanya patah menjadi dua bagian.
"Pendekar Gila, saat ini kaulah yang menang.
Tapi, kutunggu kau di Puncak Lawu ini! Lima puluh
tahun lagi, aku akan datang...."
Usai berkata begitu, Catrik Ireng berkelebat
meninggalkan tempat itu. Sejak saat itulah Catrik
Ireng tak terdengar kabar beritanya lagi, menghilang
dari dunia persilatan bagai ditelan bumi. Dia terus
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang diciptakan-
nya. Sampai akhirnya dia muncul kembali!
***
Ki Catrik Ireng tersenyum-senyum setelah
mengingat semua kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Kejadian yang sangat berkesan di hatinya. Keja-
dian itu tak akan pernah dilupakannya. Dan mung-
kinkah kejadian itu akan terulang lagi? Ya, akan terja-
di lagi! Namun kini akan lain dengan lima puluh tahun
yang silam. Tekad hati Ki Catrik Ireng dengan bibir ter-
senyum.
"Pendekar Gila, rupanya kita akan bertemu
kembali untuk menentukan siapa di antara kita yang
benar-benar tinggi ilmunya! Ha ha ha...! Kali ini kau
akan kalah, Pendekar Gila! Kau akan menerima bala-
san ku!" ujar Ki Catrik Ireng seraya tertawa terbahak-
bahak.
Ki Catrik Ireng bangun dari duduknya. Kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu dengan langkah
perlahan, menuju ke tempat di mana muridnya bera-
da.
Nampak pemuda berbaju kuning kini terbaring
dikelilingi oleh orang-orang berjubah hitam. Kelihatan-
nya luka dalam pemuda itu telah dapat disembuhkan.
Di samping tempat tidur pemuda itu, tergeletak seo-
rang lelaki berjubah hitam dengan keadaan gosong.
Tentunya lelaki itu telah menunaikan tugasnya.
"Bawa dia ke tempat penggodokan!" perintah Ki
Catrik Ireng.
Enam orang berjubah hitam lainnya segera
mengangkat tubuh rekannya, lalu membawanya pergi
dari tempat itu. Mereka benar-benar menurut sekali
dengan Ki Catrik Ireng.
"Ha ha ha...! Laskar Setan ku rupanya telah
siap untuk menyambut pertarungan akbar. Hm, aku
akan menjadi pemimpin tertinggi rimba persilatan! Tak
akan ada yang dapat mengalahkanku...!"
Ki Catrik Ireng tertawa terbahak-bahak mem-
bayangkan bagaimana dia dengan Laskar Setannya
akan menjadi sebuah kekuatan yang sulit ditandingi.
Anak buahnya benar-benar patuh pada semua perin-
tahnya. Mereka tak berani menolak atau menentang,
meski nyawa mereka sebagai taruhannya.
Ki Catrik Ireng melangkah ke arah pemuda
berpakaian kuning yang sedang tertidur lelap. Dipan-
danginya wajah pemuda itu, dan dihelanya napas pan-
jang-panjang.
"Memang kau bukan tandingannya, Anakku.
Meski ilmumu tinggi, namun bukan apa-apa jika di-
bandingkan Pendekar Gila."
Ki Catrik Ireng tak puas-puasnya memandangi
pemuda itu. Wajah pemuda itu sama persis dengan
wajahnya waktu muda dulu. Rupanya pemuda berpa-
kaian kuning yang ternyata anak tunggalnya itu me-
warisi wajah dan perawakan Ki Catrik Ireng.
'Prabasangka, seharusnya kau tidak menderita,
Nak. Ibumu memang wanita lacur! Kau ditinggal sejak
kecil, sejak masih bayi. Entah di mana kini ibumu be-
rada," gumam Ki Catrik Ireng dengan wajah murung.
Prabasangka menggeliat. Dia terbangun setelah
tidur cukup lama. Matanya mengerjap-ngerjap sesaat
lalu memandang ke sekelilingnya.
"Ayah...," desisnya, memanggil Ki Catrik Ireng.
Ki Catrik Ireng tersenyum.
"Hampir saja kau tak tertolong, Anakku.... Un-
tung Ayah lewat di tempat itu."
"Benarkah dia Pendekar Gila yang lima puluh
tahun lalu bertarung dengan Ayah...?" tanya Praba-
sangka. "Mengapa dia masih muda belia? Bahkan lebih
muda dariku?"
Ki Catrik Ireng tak langsung menjawab. Dihe-
lanya napas panjang-panjang. Tangannya bersidekap.
Dan matanya memandang lepas ke depan.
"Ya, itulah yang Ayah tidak mengerti. Tapi se-
mua tingkah laku dan Suling Naga Saktinya memang
miliknya. Dan itu adalah bukti bahwa dia memang
Pendekar Gila."
"Mungkin anaknya, Ayah?"
Ki Catrik Ireng menggelengkan kepala. Di bibir-
nya tersungging senyuman.
"Pendekar Gila tidak pernah menikah. Bagai-
mana mungkin dia punya anak? Meski Ayah bersem-
bunyi, tapi Ayah sering keluar untuk menyelidik. Dan
dia tak pernah menikah. Mungkin ilmunya menjadikan
dia awet muda," jelas Ki Catrik Ireng. "Dua purnama
lagi duel itu akan terulang. Ayah berharap selama itu
kau mempersiapkan diri. Jika Ayah kalah, kaulah yang
akan menjadi pemimpin Laskar Setan."
"Baik, Ayah."
"Aku ingin, kau seperti Ayah dulu. Taklukkan
semua perguruan atau perkumpulan. Bawalah Laskar
Setan bersamamu."
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng tertawa ter-
bahak-bahak. Kemudian dengan masih tertawa, Ki Ca-
trik Ireng meninggalkan putranya yang masih terdu-
duk.
***
2
Matahari tepat berada di ubun-ubun, dengan
panasnya yang terasa menyengat Seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular sanca tampak tengah me-
nyelusuri perbukitan. Bibirnya meringis karena didera
panas terik yang memanggang tubuhnya. Sesekali ke-
palanya digaruk, kemudian menyeka keringat yang
membasahi pelipisnya.
"Uhhh...! Panas sekali hari ini," keluh pemuda
tampan itu yang tidak lain Sena Manggala atau Pende-
kar Gila dari Goa Setan
Saat itu Sena tengah melakukan perjalanan,
berkelana mengikuti kata hatinya. Sekaligus berusaha
mencari paman dan bibinya. Hanya mereka yang dapat
dijadikan tempat bertanya dan berbagi duka. Namun
entah di mana mereka, tak jelas hutan rimbanya.
Sena terus melangkah, membawa kakinya un-
tuk menyelusuri kehidupan. Tingkah lakunya yang se-
perti orang gila, semakin bertambah lucu dengan kea-
daan yang panas menyengat seperti itu. Sesekali kepa-
lanya digaruk-garuk, kemudian mulutnya meringis bo-
doh.
"Anak muda, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita,
memerintah Sena untuk menghentikan langkahnya.
Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya
langsung berbalik untuk melihat orang yang menyu-
ruhnya berhenti. Keningnya berkerut dan mulutnya
nyengir, melihat seorang wanita tua yang bungkuk me-
langkah ke arahnya. Wanita tua itu mengenakan pa-
kaian serba hitam. Rambutnya terurai lepas, dengan
ikat kepala berwarna hitam pula.
Dilihat dari wajahnya, tentu semasa mudanya
wanita itu cantik jelita. Wajahnya bulat telur dengan
hidung bangir. Sedangkan matanya diperindah oleh
alis tipis serta bulu mata yang lentik.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.
Mulutnya cengar-cengir. Tingkahnya persis seekor mo-
nyet yang kepanasan dipanggang matahari
"Kenapa kau menyuruhku berhenti, Nek?"
tanya Sena masih dengan bertingkah seperti monyet
kepanasan.
"Hik hik hik..! Pucuk dicinta ulam tiba," ucap
nenek yang ternyata Nyi Kendil, guru Bidadari Cadar
Merah (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar
Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar Merah").
Sena mengerutkan kening mendengar ucapan
Nyi Kendil. Kemudian tawanya meledak. Sambil meng-
garuk-garuk kepala mulutnya mengoceh,
"Hi hi hi.... Mengapa Nenek mencintai pucuk?
Lucu sekali.,.. Lagi pula, beruntung sekali kalau dapat
ulam, Nek. Wah, mengapa kau tidak bagi-bagi aku?"
Alis putih milik Nyi Kendil terangkat saat men-
dengar ucapan pemuda itu.
"Tak salah... tak salah lagi...," gumamnya se-
raya mengangguk-angguk.
"Apanya yang tak salah, Nek? Ah, sudahlah.
Aku harus segera pergi lagi. Ada apa, Nek..?" tanya Se-
na masih bertingkah laku aneh.
"Anak muda, jawablah pertanyaanku. Benarkah
kau yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan yang
tersohor itu...?!" tanya Nyi Kendil dengan suara lan-
tang, setengah membentak.
Pendekar Gila tersentak. Sampai-sampai me-
nyurutkan dadanya ke belakang. Matanya menyipit,
dan keningnya berlipat-lipat. Kemudian tingkahnya
kembali seperti semula, cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, terlalu berlebihan jika disebut terso-
hor untuk pemuda sebodoh aku, Nek. Memang kena-
pa...?" balik Sena setelah menjawab pertanyaan Nyi
Kendil.
"Jadi kau pendekar itu? He he he.... Bagus...,"
gumam Nyi Kendil sambil terkekeh-kekeh. "Namamu
yang besar sering kudengar. Menggugah hatiku untuk
membuktikannya. Itu sebabnya aku keluar dari sa-
rangku."
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir. Kemudian sambil tersenyum-senyum kepa-
lanya digelengkan.
"Ah, mengapa begitu, Nek? Aku bukan manusia
aneh. Aku tetap manusia biasa yang memiliki kelema-
han. Bukan dewa yang harus dicari-cari. Apa gunanya
Nenek berusaha mencariku? Bahkan hendak mencoba
ilmuku?"
"Hik hik hik...!" Nyi Kendil tertawa-tawa, mem-
buat tubuhnya turut terguncang-guncang. "Weleh,
mendengar kata-katamu yang luhur, aku semakin pe-
nasaran saja. Nah, Pendekar Gila, kuharap kau sudi
memberi beberapa pelajaran untukku yang tua bangka
ini. Bersiaplah...!"
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala
dengan mulut masih cengengesan. Namun ketika Nyi
Kendil hendak menyerang dengan cepat Sena berse-
ru....
"Tunggu...!"
Nyi Kendil mengerutkan kening. Ditatapnya
pemuda itu dengan sinar mata tak mengerti.
"Ada apa lagi, Pendekar Gila?" tanyanya masih
dengan mata memandang tajam serta kening berkerut
"Nyi, kalau kau menantangku hanya untuk
menjajal ilmuku, lebih baik aku mengalah. Kaulah
yang menang. Nah, permisi."
"Tunggu...!" seru Nyi Kendil, ketika melihat Se-
na hendak berlalu.
Sena tak menghiraukan seruan itu. Kakinya te-
rus melangkah, meninggalkan wanita tua yang menan-
tangnya. Hal itu membuat Nyi Kendil marah. Dia me-
rasa telah diremehkan oleh pendekar itu.
"Kurang ajar! Rupanya kau menyangka begitu
mudah lari dariku, Anak Muda! Heaaa...!"
Tubuh wanita tua itu melenting ke atas, kemu-
dian melesat cepat untuk mengejar Pendekar Gila. Ge-
rakannya begitu ringan, menandakan kalau ilmunya
bukan ilmu pasaran. Dengan usia setua itu, tentu ke-
matangan ilmunya amat luar biasa.
Jleg!
Nyi Kendil menghentakkan kakinya ke tanah
sejauh dua tombak di depan Pendekar Gila yang seke-
tika menghentikan langkahnya.
"Ha ha ha.... Kau benar-benar aneh, Nek. Men-
gapa kau masih saja tak puas? Bukankah telah kuka-
takan bahwa kaulah yang menang?" kata Sena sambil
tertawa dan menggaruk-garuk kepala, membuat Nyi
Kendil berungut kesal.
"Kurang ajar! Apakah dengan begitu aku akan
membiarkan mu pergi! Aku jauh-jauh mencarimu un-
tuk menjajaki ilmumu yang termashur. Tak akan ku-
biarkan orang yang kucari pergi begitu saja. Bersiap-
lah! Yeaaat..!"
Kedua tangan Nyi Kendil bergerak merentang
lalu mencakar ke depan. Sepasang tangannya bagai-
kan sebuah sayap. Merentang lurus, kemudian diang-
kat ke atas. Lalu diarahkan ke depan, membentuk pu-
kulan dan sabetan. Sementara kedua kakinya bergerak
laksana kaki-kaki seekor binatang yang tengah meng-
hisap madu pada bunga. Itulah jurus 'Kupu-kupu
Menghisap Bunga'.
Menyaksikan jurus yang dikeluarkan wanita
tua itu, kening Pendekar Gila berkerut. Seingatnya, dia
pernah melihat jurus itu digunakan untuk menye-
rangnya.
Ketika Sena masih berusaha mengingat-ingat
siapa orang yang pernah menyerangnya dengan jurus
itu, serangan Nyi Kendil semakin dekat ke arahnya.
Siap menghantam dada dan kemaluan.
Wuttt!
"Uts...!"
Sena tersentak kaget. Dengan cepat tubuhnya
melompat mundur, kemudian meliuk-liuk laksana me-
nari dengan gemulai. Dielakkannya setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Nyi Kendil yang merasa serangan pertamanya
gagal, kembali melancarkan serangan susulan. Malah
daya serangnya kini semakin hebat. Tangan kanannya
menghantam ke dada lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya mencengkeram ke selangkangan.
Pendekar Gila yang diserang begitu rupa, cepat-
cepat menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat'. Gerakannya kelihatan lemah dan lamban. Tubuh-
nya bergerak meliuk-liuk laksana menari, dengan se-
sekali tangannya menepuk ke dada lawan.
Sambil terus mengelakkan serangan yang di-
lancarkan oleh Nyi Kendil, Pendekar Gila berusaha
mengingat-ingat siapa orang yang pernah mengguna-
kan jurus keji dan ganas itu. Jurus yang selalu menga-
rah ke titik kematian, ke arah kemaluan lawan.
"Heaaa...!"
"Uts! He he he...! Mengapa kau sudah tua ma-
sih cabul, Nek?" seloroh Sena sambil bergerak meliuk-
liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan.
"Tutup mulutmu, Gila! Heaaat..!"
Nyi Kendil semakin beringas. Tangan kanannya
laksana seribu, mencecar gencar ke dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya yang mencengkeram ke arah
selangkangan pun tak kalah keras. Membuat Pendekar
Gila harus mengerahkan tenaga dalam untuk memen-
tahkannya.
"Wah wah wah, mengapa kau sadis, Nek?
Aduh...! Celaka kalau wanita setua mu masih cabul.
Bisa-bisa tak ada gadis yang laku...."
Kembali Sena berseloroh. Tubuhnya masih me-
liuk-liuk, berusaha mengelakkan serangan-serangan
Nyi Kendil yang mengarah pada tempat-tempat mema-
tikan.
Nyi Kendil yang diledek begitu rupa, semakin
bertambah geram. Dengan dengusan penuh amarah,
wanita tua itu semakin mempergencar serangannya.
Tangannya yang memukul dan mencengkeram bagai
tak pernah berhenti. Kakinya pun tak mau diam, me-
nendang dan menyapu kaki lawan.
"Yeaaat..!"
Serangan Nyi Kendil semakin beringas dan ga-
nas, Membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Tapi se-
bagai orang yang sudah sering menghadapi hal-hal se-
perti itu, Pendekar Gila tak kebingungan. Bahkan ma-
sih dengan gaya seekor monyet, diimbangi terus seran-
gan-serangan yang dilancarkan Nyi Kendil.
"Jangan hanya mengelak saja, Gila! Tunjukkan
ilmumu yang kesohor itu...!" bentak Nyi Kendil beru-
saha memancing amarah pendekar muda itu. "Kalau
kau tidak juga mau menunjukkan ilmumu, jangan sa-
lahkan kalau aku membunuhmu! Yeaaat..!"
Pendekar Gila yang tahu kalau wanita tua itu
tengah mencoba memancing amarahnya, tertawa riuh.
Seakan-akan tidak terpengaruh oleh tantangan itu.
Tubuhnya meliuk-liuk, mengelakkan setiap serangan
yang dilancarkan wanita tua itu.
Merasa usahanya untuk memancing kemara-
han Pendekar Gila tak berhasil, Nyi Kendil bertambah
marah. Kekuatan tenaga dalamnya ditambah, dan se-
rangannya semakin buas dan ganas. Kedua tangannya
bergerak kian liar.
"Awas, Nek...!"
"Uts...!"
Nyi Kendil tersentak kaget ketika tiba-tiba Pen-
dekar Gila melepaskan serangan tanpa diduga sebe-
lumnya. Tangannya bergerak memukul ke wajah Nyi
Kendil. Membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa seraya menarik se-
rangannya.
Nyi Kendil melompat dua tindak ke belakang.
Matanya memandang tajam ke arah Pendekar Gila. Na-
fasnya memburu, karena dilanda amarah yang bergo-
lak di dadanya.
***
Pendekar Gila kian tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya membuat wanita
tua itu semakin sengit
"Pendekar Gila, jangan kau senang dulu! Aku
belum kalah olehmu! Yeaaat..!"
Nyi Kendil kembali melesat Kedua tangannya
merentang, kemudian bersama-sama menghantam ke
depan. Disambung dengan lentingan tubuhnya ke
atas, dengan kaki-kaki yang menghentak
Melihat serangan yang dilancarkan lawannya,
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Benak-
nya terus berusaha mengingat-ingat kembali siapa se-
benarnya orang yang pernah menyerangnya dengan ju-
rus-jurus yang kini diperagakan oleh nenek itu.
"Wet hampir saja...!" pekik Sena sambil memi-
ringkan tubuhnya ke samping.
Kemudian tubuhnya diliukkan, mengelakkan
serangan cepat yang dilancarkan Nyi Kendil. Lalu den-
gan cepat Pendekar Gila balas menyerang.
"Jaga dadamu, Nek! Yeaaa...!"
Tangan kanan Pendekar Gila dengan telapak
tangan terbuka, menghantam ke dada Nyi Kendil. Wa-
nita tua itu tersentak kaget, hampir tak percaya me-
nyaksikan jurus lawannya. Gerakan tangan lawan ke-
lihatan lemah dan pelan, namun kenyataannya sung-
guh di luar dugaannya. Kalau saja tadi tidak melompat
mundur, tentu dadanya akan jebol.
"Edan! Benar-benar ilmu edan!" maki Nyi Kendil
bersungut-sungut. Sedangkan Pendekar Gila kembali
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nek kurasa sudah cukup permainan kita. Aku
kira, tak ada perlunya kita ngotot," kata Sena dengan
tingkah lakunya yang persis orang tolol. "Kuharap kau
mau mengerti. Tak baik mencari musuh. Lagi pula, an-
tara kita tak ada silang sengketa...."
"Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kendil, membuat
mata Sena melotot kaget "Enak benar kau berkata di
antara kita tak ada silang sengketa...!"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
kening masih berkerut Nafasnya mendesah pelan, dan
kepalanya menggeleng-geleng.
"Nek, kau dan aku belum pernah bertemu. Ba-
gaimana mungkin antara kita ada silang sengketa?"
"Diam! Kau kira karena kita baru bertemu ma-
ka antara kita tak ada silang sengketa?!" dengus Nyi
Kendil masih dengan suara membentak. Matanya ma-
sih melotot marah. "Pendekar cabul! Sungguh sangat
disayangkan kalau seorang pendekar yang namanya
diagung-agungkan ternyata cabul! Suka memperkosa
gadis dan istri orang!"
Pendekar Gila tersentak mendengar tuduhan
yang dilontarkan nenek itu. Namun amarahnya beru-
saha ditahan. Dia yakin kalau semua itu hanya fitnah.
Atau mungkin masalah pemuda bertopeng yang men-
gaku-aku dirinya.
"Nek, kau menuduhku cabul. Apakah kau
punya bukti?" tanyanya masih berusaha tenang.
"Ya!" dengus Nyi Kendil.
"Hm, katakanlah bukti apa?"
Nyi Kendil tidak langsung menjawab. Matanya
bertambah tajam memandang pemuda di hadapannya.
"Muridku buktinya!"
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian
tertawa tergelak-gelak setelah ingat dengan semuanya.
Dia pun ingat kalau jurus yang diperagakan oleh ne-
nek itu sama dengan jurus Wulandari atau Bidadari
Cadar Merah. Kemudian tangannya menggaruk-garuk
kepala sambil tersenyum.
"Ah ah ah.... Kalau aku tidak salah, bukankah
muridmu yang bernama Wulandari atau Bidadari Ca-
dar Merah?" tanya Sena.
Mata Nyi Kendil semakin berkilat penuh ama-
rah. Wanita tua itu menyangka kalau Sena-lah yang
telah memperkosa muridnya. Wajar saja kalau dia ta-
hu nama muridnya.
"Ya! Bukankah kau yang memperkosanya?!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Suaranya lepas
di udara, lalu terbawa oleh angin. Kemudian dengan
tingkah anehnya, Sena kembali berkata....
"Rupanya itu yang menjadi silang sengketa an-
tara kau dan aku, Nek? Hm, kau boleh tanya pada mu-
ridmu. Apakah benar aku yang telah memperko-
sanya...?" tegas Sena. "Nah, aku mohon pamit."
Usai berkata begitu, Sena segera menjura hor-
mat dan hendak melangkah pergi. Namun Nyi Kendil
kembali berseru menghentikan langkahnya.
"Tunggu...!"
Pendekar Gila tak menghiraukan. Kakinya te-
rus melangkah. Namun baru beberapa langkah, nam-
pak olehnya seorang wanita bercadar merah lari ke
arahnya. Seketika itu pula Nyi Kendil berseru, menye-
but nama wanita bercadar merah itu.
"Wulandari...!"
"Tuan Pendekar, tunggu...!" panggil Wulandari.
Tubuhnya terus melaju ke arah Pendekar Gila yang
menghentikan langkahnya. "Biar ku jelaskan pada
guru."
Wulandari segera mengajak Sena ke tempat gu-
runya berdiri. Kemudian wanita yang berjuluk Bidadari
Cadar Merah itu menjura hormat, membuat Nyi Kendil
mengangguk-anggukkan kepala.
"Wulan..., bukankah pemuda itu yang telah me-
renggut kehormatanmu?" tanya Nyi Kendil kemudian.
"Bukan, Guru. Malah dialah yang telah meno-
longku. Kalau saja dia tak ada, mungkin pemuda ber-
topeng itu telah kembali memperkosaku," tutur Wu-
landari dengan mata mengerling sungkan pada Sena
yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah! Kau telah dengar sendiri, Nek. Masihkah
kau akan menuduhku cabul? Bukankah jurusmu yang
sebenarnya cabul?" sindir Sena, membuat mata Nyi
Kendil langsung melotot.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
tertawa tergelak-gelak. Sementara Wulandari yang me-
nyaksikan gurunya melotot, hanya tersenyum. Kemu-
dian dia berusaha menenangkan suasana yang tidak
enak itu.
"Tuan Pendekar, ternyata duel penentuan anta-
ra orang tua itu dengan tuan telah tersebar. Semua
orang persilatan telah mendapatkan undangannya."
"Hah...?!" Sena bengong.
***
3
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kanannya. Kepalanya digeleng-gelengkan sam-
bil tersenyum-senyum.
"Duel...? Apakah aku tak salah dengar, Nyi?"
"Tidak, Tuan. Lelaki tua yang telah menyela-
matkan si keparat yang menodai ku dulu telah menye-
bar pengumuman, ini buktinya...."
Wulandari mengambil lipatan daun lontar di
ikat pinggangnya. Kemudian, diserahkannya pada Se-
na yang segera membacanya.
Bagi semua pendekar rimba persilatan!
Kami mengundang Anda pada dua bulan pur-
nama yang akan datang di Puncak Lawu, untuk me-
nyaksikan penentuan siapa yang pantas menjadi orang
nomor satu di rimba persilatan.
Duel penentu ini, sekaligus duel ulang yang per-
nah kami lakukan lima puluh tahun yang silam. Semoga
Pendekar Gila masih memiliki jiwa besar!
Catrik Ireng.
"Edan! Apa maksudnya?" gerutu Sena sambil
melipat daun lontar kembali. Tangannya menggaruk-
garuk kepala. Wajahnya kini menengadah ke langit, di
mana matahari kini agak condong ke arah barat.
"Catrik Ireng mengatakan bahwa duel itu ada-
lah ulangan dari kejadian lima puluh tahun yang si-
lam. Apa maksudnya?" tanya Wulandari tak mengerti
"Catrik Ireng...?!" seru Nyi Kendil kaget dengan
mata membelalak. Membuat Wulandari dan Sena me-
mandang wanita tua itu dengan wajah bertanya-tanya.
"Ada apa, Guru? Apakah Guru mengenalnya?"
tanya Wulandari.
"Ya! Dia lelaki bajingan! Dialah yang telah
membuatku harus kehilangan harapan! Kehilangan
masa depan!" dengus Nyi Kendil, semakin membuat
Wulandari dan Sena terheran-heran.
Mereka terus memperhatikan bagaimana wajah
nenek itu berubah merah. Tampak Nyi Kendil marah,
setelah mendengar nama Catrik Ireng tadi. Mulailah
ingatannya melayang pada kejadian puluhan tahun
yang silam.
"Guru, kalau boleh ku tahu, apakah yang terja-
di antara Guru dengan Catrik Ireng?" tanya Wulandari
setelah menyaksikan gurunya diam saja.
"Hm, aku pun menaruh dendam padanya,"
dengus Nyi Kendil.
"Dendam apa, Guru?" desak Wulandari ingin
tahu.
"Nanti kuceritakan. Sekarang kita pergi dari si-
ni," ajak Nyi Kendil pada muridnya.
"Bagaimana dengan Tuan Pendekar?"
"Ah, aku pun harus pergi. Terima kasih atas
pemberitahuan yang telah kau berikan padaku, Nyi.
Aku mohon pamit"
Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat
pergi meninggalkan guru dan murid yang hanya bisa
memandang terpana. Dari mulut mereka terdengar de-
cak kagum.
"Ck ck ck.... Sungguh luar biasa," puji Wulan-
dari. Kekaguman yang tergambar pada rona wajahnya
begitu dalam.
"Ya! Tadi aku pun telah menjajalnya. Ternyata
ilmunya memang hebat. Semuda itu telah memiliki il-
mu yang tinggi," sambut Nyi Kendil.
"Jadi...."
"Ya! Mulanya aku menyangka dialah yang telah
memperkosa mu. Kami pun bertarung. Sungguh luar
biasa. Kalau dia mau, sudah dari tadi aku menjadi
mayat!"
Wulandari semakin kagum mendengar keteran-
gan yang disampaikan gurunya tentang pemuda tam-
pan itu. Perlahan hari Bidadari Cadar Merah itu dijala-
ri perasaan yang aneh. Wulandari tak yakin kalau itu
hanya perasaan suka. Dia lebih suka mengatakan ka-
lau perasaan itu adalah cinta yang mulai membentuk
di kedalaman hatinya. Tapi, mungkinkah dia mau me-
nerima cintaku? Dia masih perjaka asli. Sedangkan
aku.... Oh, aku sudah tak suci lagi. Keluh hatinya.
Nyi Kendil menyaksikan muridnya nampak mu-
rung dengan mata memandang ke arah kepergian Pen-
dekar Gila. Sambil tersenyum, kakinya melangkah
mendekati muridnya.
"Kau mencintainya, Wulan?" tanya Nyi Kendil
hati-hati.
Wulandari tersipu malu. Pipinya yang tertutup
cadar tentunya merah merona. Matanya mengerjap-
ngerjap laksana mata seekor kelinci. Membuat gu-
runya semakin tersenyum lebar.
"Mungkinkah itu, Guru?" tanya Wulandari, ma-
lu-malu
"Mengapa tidak? Dia lelaki dan kau wanita."
"Maksudku, aku sudah tak suci lagi, Gum. Se-
dangkan dia masih perjaka...," desah Wulandari lirih,
kemudian kepalanya menunduk.
Nyi Kendil memegangi pundak muridnya perla-
han. Bibirnya masih menyunggingkan senyum penuh
kasih sayang.
"Wulan, cinta tidak selalu menyatu. Kalau kau
memang mencintainya, tunjukkanlah padanya ketulu-
san cinta mu. Sedapatnya kau mengabdi tanpa harus
berpikir untuk memiliki. Bila perlu, kau harus rela
berkorban," kata Nyi Kendil pelan, memberi petuah
pada muridnya yang semakin tertunduk sendu.
"Aku akan berusaha, Guru."
"Sekarang kita pulang. Bukankah kau ingin ta-
hu tentang aku dan lelaki busuk yang menantang pe-
muda itu? Lagi pula, aku pun ingin mendengar bagai-
mana hasil petualanganmu"
"Baik, Guru."
"Ayo kita pulang."
Kemudian keduanya segera melesat meninggal-
kan tempat itu, berlari menuju selatan. Tak lama ke-
mudian, tubuh mereka menghilang di dalam kerimbu-
nan hutan.
***
Nyi Kendil bersama Wulandari duduk di atas ti-
kar pandan. Di hadapan mereka tersedia singkong re-
bus dan gula merah di piring yang terbuat dari tanah
liat
Dua buah cangkir yang juga terbuat dari tanah
liat ada di dekat kaki mereka.
Keduanya mengambil singkong rebus dan gula
merah. Kemudian menyantapnya dengan penuh ke-
nikmatan. Setelah itu mereka meneguk air putih dari
cangkir tanah liat
"Bagaimana pengalamanmu, Wulan? Dan ba-
gaimana pula sampai kau mengenal pendekar muda
itu?" tanya Nyi Kendil memulai percakapan dengan se-
nyum terulas di bibir. Mata muridnya mengerjap-
ngerjap risih saat nama pendekar muda itu disebut.
Tentu saja yang dimaksud Nyi Kendil adalah Sena
Manggala alias Pendekar Gila dari Goa Setan.
Wulandari terlihat semakin cantik, setelah ca-
dar merah yang menutupi wajahnya dibuka. Kulit wa-
jahnya yang kuning langsat, bertambah mempesona
dengan seulas senyum tersipu-sipu.
"Kenapa, Wulan? Kau ingat dia lagi...?" seloroh
Nyi Kendil, membuat Wulandari semakin tersipu-sipu.
Pipinya kian merona merah.
"Ah, Guru...."
"Sudahlah, aku pun tahu. Aku juga pernah
muda. Nah, katakanlah...."
Wulandari menghela napas sesaat. Rona merah
masih menghias kedua pipinya. Dengan menundukkan
kepala perlahan, Wulandari menceritakan semua pen-
galamannya selama berkelana. Sampai akhirnya dia
bertemu dengan Pendekar Gila, yang perlahan meno-
reh hatinya dengan bilur-bilur cinta, sejak pertama
kali mereka bertemu di hutan setelah ia mengalahkan
Tiga Barka Kembar (Untuk jelasnya, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode "Dendam Bidadari Cadar
Merah").
"Begitulah ceritanya, Guru," kata Wulandari,
mengakhiri ceritanya.
Nyi Kendil mengangguk-anggukkan kepala. Di-
helanya napas panjang-panjang. Ditatapnya wajah
Wulandari dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang
tengah diperhatikan pada wajah muridnya.
"Anakku...," tiba-tiba dari mulut Nyi Kendil ter-
dengar suara desahan cukup keras, yang entah ditu-
jukan pada siapa. Hal itu membuat Wulandari menge-
rutkan kening. Namun dia tidak berani bertanya.
Hanya matanya menatap lekat ke wajah Nyi Kendil, tak
mengerti akan desah gurunya tadi.
Wajah Nyi Kendil nampak muram. Matanya
menatap penuh kasih ke arah Wulandari, yang juga
menatap dengan penuh ketidakmengertian akan se-
muanya.
"Wulan, sungguh malang benar nasib kita. Se-
pertinya semua telah disuratkan oleh Hyang Widhi.
Kau dan aku sama-sama mendapatkan celaka. Sama-
sama ditimpa bencana yang sebenarnya tidak kita in-
ginkan."
Hati Wulandari terenyuh seketika mendengar
penuturan gurunya. Mulutnya terbungkam. Perlahan-
lahan kepalanya kembali menunduk dalam-dalam. Ti-
dak terasa, air matanya mengalir perlahan membasahi
kedua pipinya.
Nyi Kendil kembali menghela napas. Matanya
nampak berkaca-kaca. Ditatapnya Wulandari yang
masih menundukkan kepala dalam-dalam. Dia tahu
apa yang sebenarnya tengah berkecamuk dalam jiwa
muridnya. Dia juga seorang wanita dan pernah muda
seperti Wulandari. Juga mendapat nasib yang hampir
sama dengan apa yang dialami Wulandari.
"Aku tahu perasaanmu, Wulan. Ya... mungkin
kita memang telah digariskan oleh Hyang Widhi untuk
bertemu. Berbagi suka dan duka yang telah kita alami.
Nah, kini kau dengarlah cerita ku. Agar kau tahu siapa
aku sebenarnya...."
Wulandari menganggukkan kepala dengan ma-
sih menunduk. Tangannya menyapu air mata yang
membasahi pipinya yang halus.
Didahului helaan napas panjang, Nyi Kendil
mulai menceritakan dirinya dan Ki Catrik Ireng.
Suatu hari nampak seorang gadis kecil berusia
sekitar lima belas tahun tengah bermain-main dengan
teman-temannya. Bersuka ria di sebuah lapangan di
pinggir desa. Gadis cantik yang baru menginjak dewa-
sa itu bernama Roro Kendari. Di antara teman-
temannya, gadis itu yang terlihat paling cantik. Begitu
pula dengan pakaian yang dikenakannya. Paling bagus
di antara gadis yang lain.
Gadis itu tiada lain anak Ki Lurah Manujaya.
Meski anak seorang lurah, namun kepribadiannya
baik. Senang bergaul dan tidak sombong. Itu sebabnya
dia banyak disenangi oleh teman-temannya.
Tengah gadis-gadis tanggung itu bermain-main,
muncul Catrik Ireng yang kebetulan lewat di desa itu.
Melihat kecantikan Roro Kendari, Catrik Ireng menjadi
tertarik. Dengan bibir tersenyum, didekatinya gadis
itu. Kemudian dengan nakal, tangannya membelai da-
gu Roro Kendari.
"Cah ayu, siapa namamu...?" tanya Catrik Ireng
masih tersenyum.
Mata Roro Kendari melotot marah pada Catrik
Ireng. Ia menganggap perbuatan Catrik Ireng kurang
ajar.
"Lelaki kurang ajar!" makinya marah.
Keempat teman gadisnya menyurut ke belakang
tubuh Roro Kendari. Mara mereka pun memandang
penuh rasa tidak suka terhadap lelaki muda yang telah
lancang berani membelai dagu Roro Kendari.
"Hei, mengapa kau marah, Cah Ayu?" tanya Ca-
trik Ireng dengan kening berkerut "Apakah salah jika
nama mu ku tanya?"
"Huh, mengapa kau berani membelai dagu ku?!
Bukankah itu kurang ajar?!" ketus dan keras suara
Roro Kendari. Matanya masih melotot sepertinya tidak
merasa takut sedikit pun terhadap lelaki muda berju-
bah hitam di hadapannya.
"O, itu karena kau cantik, Cah Ayu."
"Lancang mulutmu!" bentak Roro Kendari.
"Apakah kau tidak pernah diajar adat?!"
Catrik Ireng tersentak kaget melihat keberanian
gadis itu. Wajahnya langsung memerah, merasa malu
dibentak begitu rupa di depan orang banyak.
"Gadis edan! Kuhajar mulutmu!" dengus Catrik
Ireng.
"Hajar kalau memang berani!" tantang Roro
Kendari seraya menyodorkan wajahnya ke arah Catrik
Ireng.
Cup!
"Auw...!"
Roro Kendari memekik kaget. Sedangkan te-
man-temannya berlarian meninggalkan tempat itu,
merasa takut pada lelaki muda berjubah hitam.
"Bagaimana, Cah Ayu...?" tanya Catrik Ireng
masih tersenyum.
Roro Kendari bertambah marah. Tidak didu-
ganya sama sekali kalau lelaki muda itu malah men-
ciumnya, bukan menampar. Matanya melotot garang.
Pipinya merona merah karena malu.
"Kurang ajar! Kau benar-benar lelaki bajingan!"
Dibentak begitu rupa, tidak membuat lelaki
muda berjubah hitam itu marah. Catrik Ireng malah
memeluk tubuh Roro Kendari diiringi gelak tawanya.
Kemudian dengan gemas, diciuminya pipi Roro Kenda-
ri.
"Kurang ajar! Lepaskan..!" bentak Roro Kendari
sambil memukul dada Catrik Ireng, dengan harapan
pemuda berjubah hitam itu akan menghentikan ci-
umannya. Tapi Catrik Ireng tak juga melepaskan pelu-
kannya. Semakin Roro Kendari berontak, semakin
kencang pelukannya. Dan semakin buas pemuda itu
mencium pipinya.
"Tak akan kulepaskan, sebelum kau bersedia
menjadi istriku!"
"Cuh! Tak sudi! Kau lelaki bajingan...!"
Roro Kendari menyemburkan ludah ke wajah
Catrik Ireng, membuat pemuda itu semakin beringas
menciumi wajahnya, Malah kini merambat ke leher
jenjang Roro Kendari.
"Bajingan! Lepaskan...!" pekik Roro Kendari
sambil terus meronta, berusaha melepaskan pelukan
pemuda itu. Namun Catrik Ireng benar-benar tak pe-
duli. Pelukan dan ciumannya semakin menjadi-jadi.
Saat pemuda berjubah hitam itu menciumi leh-
er Roro Kendari, tiba-tiba sebuah pukulan keras
menghantam punggungnya.
Bugk!
Catrik Ireng tersentak. Pelukannya terlepas. Hal
itu tidak disia-siakan oleh Roro Kendari yang segera
berlari ke arah ayah dan ibunya.
"Ayah, pemuda itu jahat! Bajingan...!"
Catrik Ireng tersenyum sinis, setelah tahu siapa
yang telah memukulnya.
"Hm, rupanya kau?! Seharusnya kau berterima
kasih, karena putri mu telah mendapat kehormatan
untuk ku cium. Apakah kau tak tahu siapa aku, heh?!"
ujar Catrik Ireng, sombong.
"Huh, siapa pun kau, aku tak peduli! Kau bu-
kan orang baik-baik! Kau harus ditangkap...!" jawab Ki
Lurah Manujaya.
Mendengar kata-kata itu, Catrik Ireng seketika
tertawa tergelak-gelak
"Lancang sekali mulutmu, Orang Tua! Apakah
kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, heh?!
Pantang bagi Catrik Ireng membiarkan keinginannya
berlalu! Serahkan anakmu padaku, untuk kujadikan
istri!"
"Sombong! Biar namamu menjulang sampai ke
langit, aku tak takut. Demi kebenaran dan kebaikan,
aku rela mati!" sengit Ki Lurah Manujaya.
"Kurang ajar! Rupanya kau menantangku!
Yeaaat..!"
"Heaaat..!"
Keduanya pun bertarung. Rupanya, pemuda
berjubah hitam itu jauh lebih tinggi ilmunya dibanding
Ki Lurah Manujaya. Dalam beberapa gebrakan saja, Ki
Lurah Manujaya dapat dibunuh.
Menyaksikan suaminya tewas, istri Ki Lurah
Manujaya seketika menjerit lalu menubruk tubuh su-
aminya.
"Kang Mas...!" ratap istri Ki Lurah Manujaya.
"Bajingan! Kubunuh kau...!"
Dengan tangan menggenggam keris milik sua-
minya, istri Ki Lurah Manujaya menerjang Catrik
Ireng. Ditusukkannya keris ke arah lawan. Namun
dengan cepat pemuda berjubah hitam itu mengelak-
kannya, lalu tanpa diduga tangannya menekan tangan
wanita itu.
Bles!
"Akh...!" jerit istri Ki Lurah Manujaya. Keris di
tangannya tepat menusuk perutnya sendiri.
"Ibu...!" jerit Roro Kendari
Mata Roro Kendari memandang pemuda berju-
bah hitam itu penuh kebencian. Kemudian Roro Ken-
dari lari meninggalkan tempat itu. Gadis itu tahu, pasti
pemuda berjubah hitam itu hendak bermaksud jahat
padanya. Sungguh tak sudi jika dia menjadi istri pem-
bunuh ayah dan ibunya.
Catrik Ireng yang sudah terpikat oleh kecanti-
kan Roro Kendari, tak mau membiarkan gadis itu per-
gi. Dia segera mengejar untuk mencari gadis itu. Setiap
penduduk ditanya, di mana Roro Kendari bersem-
bunyi. Banyak penduduk yang dibunuh jika tidak mau
memberi tahu tempat Roro Kendari bersembunyi.
Akhirnya pemuda berjubah hitam itu menemu-
kan tempat persembunyian Roro Kendari. Di sebuah
rumah yang belum dihuni, milik kedua orang tuanya.
"Hm, akhirnya kau kutemukan juga, Cah Ayu.
Ke mana pun kau lari, aku akan mengejarmu."
Roro Kendari ketakutan. Dia berusaha mela-
wan. Tapi sia-sia saja karena dia tidak memiliki ilmu
silat. Jangankan dia, ayahnya yang memiliki ilmu silat
saja dapat dikalahkan hanya dalam beberapa gebra-
kan.
Nafsu pemuda berjubah hitam itu rupanya tak
terbendung lagi. Tangannya segera merenggut pakaian
yang dikenakan Roro Kendari.
Breeet...!
"Auh, tidak...!"
Roro Kendari berusaha meronta. Tetapi tena-
ganya tak cukup untuk menghempas tubuh Catrik
Ireng. Bahkan untuk sekadar lepas dari sergapannya.
Pemuda itu lalu mempreteli pakaiannya dengan mata
berkilat-kilat penuh nafsu. Terlebih setelah tubuh ga-
dis itu tanpa sehelai benang pun.
Tanpa ada perlawanan, dengan leluasa pemuda
itu melampiaskan nafsunya. Kemudian dibawanya Ro-
ro Kendari pergi dari desa itu. Sampai akhirnya Roro
Kendari melahirkan seorang bocah lelaki yang diberi
nama Prabasangka.
"Begitulah ceritanya, Wulan. Ah, aku tidak me-
nyangka kalau Prabasangka akan menuruni sifat
ayahnya. Dan kau menjadi korbannya," keluh Nyi
Kendil atau Roro Kendari.
Wulandari terdiam menundukkan kepala.
"Apakah jika Praba lepas dari ayahnya kau mau
memaafkannya, Wulan? Maukah kau menjadi istrinya
jika dia telah sadar nanti?"
Wulandari tak menjawab. Sulit baginya untuk
menjawab pertanyaan gurunya. Benih cinta itu tum-
buh untuk Pendekar Gila, bukan untuk Prabasangka
yang telah memperkosa dan menghancurkan masa de-
pannya. Karena tak kuat menahan kesedihannya, Wu-
landari lari meninggalkan tempat itu.
"Wulan, tunggu...!" seru Nyi Kendil sambil ber-
lari mengejar muridnya.
***
4
Malam datang membawa kegelapan yang dis-
elimuti halimun. Binatang malam berdendang riang,
seakan tengah berpesta dalam satu upacara ganjil.
Menjadikan suasana malam semakin mencekam. Apa-
lagi kala suara burung hantu dan lolongan anjing hu-
tan menimpali.
Di sebuah perguruan yang terletak di kaki Bu-
kit Jagalan Batu, suasana malam itu nampak lengang.
Hanya empat orang wanita yang masih hilir mudik me-
ronda.
Perguruan Bintang Emas dengan ketuanya seo-
rang wanita bernama Dewi Pandagu merupakan pergu-
ruan yang cukup besar. Perguruan itu juga merupakan
perguruan pertama yang semua anggotanya terdiri dari
kaum wanita. Meski begitu, nama Perguruan Bintang
Emas cukup disegani di rimba persilatan
Malam semakin bertambah mencekam, ketika
dari hutan yang mengelilingi perguruan itu terdengar
suara-suara aneh. Suara-suara yang mampu mendiri-
kan bulu kuduk
"Huuu...!"
"Kakkk kakkk..!"
"Nguiiik..!"
Keempat wanita yang tengah melakukan tugas
jaga, seketika saling pandang mendengar suara-suara
aneh itu. Bulu kuduk mereka meremang tiba-tiba.
"Pari, kau dengar suara itu?" tanya Bintang Sa-
si
"Ya! Suara itu menyeramkan sekali. Sampai-
sampai bulu kudukku meremang," sahut Bintang Pari
Tanpa mereka sadari, saat itu puluhan pasang
mata memandang keempat wanita yang tengah berja-
ga-jaga itu. Dari kilatannya, terlihat bagaimana buas-
nya pemilik mata itu.
"Nguiiik...!"
Suara itu sangat keras, sepertinya sebuah isya-
rat untuk menyerang. Keempat gadis yang tengah ber-
jaga tersentak. Mata mereka membelalak, ketika me-
nyaksikan puluhan lelaki berjubah hitam dengan tata-
pan mata buas berkelebat ke arah mereka.
"Celaka, kita diserang...!" seru Bintang Kanti.
"Cepat bunyikan kentongan!" perintah Bintang
Sasi pada temannya, Bintang Murai.
Bintang Murai segera lari ke arah kentongan.
Kemudian dipukulnya kentongan sebanyak tiga kali,
pertanda keadaan dalam bahaya.
Sementara, puluhan lelaki berjubah hitam itu
dengan buas menyerbu ke arah perguruan. Melihat hal
itu, tubuh keempat gadis itu menegang, siap untuk
menghadapi segala kemungkinan. Keempatnya segera
berusaha menghalau para penyerang yang ganas.
Pertarungan seru pun terjadi. Keempat murid
Perguruan Bintang Emas dengan gigih berusaha
menghalau. Namun karena jumlah mereka tak seim-
bang, dalam sekejap saja mereka dapat dilumpuhkan.
Tubuh mereka kaku, tertotok oleh lawan.
"Nguik nguiiik..!"
Para penyerang berjubah hitam itu terus me-
nyerbu ke dalam perguruan. Mulut mereka tidak men-
geluarkan suara. Mereka terus merangsek masuk den-
gan membongkar pintu gerbang.
"Kita diserang musuh...!" seru salah seorang
murid Perguruan Bintang Emas yang terbangun lebih
dahulu setelah mendengar suara kentongan. Yang
lainnya turut terbangun, termasuk ketua mereka Dewi
Pandagu.
"Hadang mereka...!" perintah Dewi Pandagu,
seorang wanita cantik jelita berpakaian seperti orang
India. Hidungnya mancung. Rambutnya yang disasak,
menggambarkan sifat keibuan.
"Heaaat..!"
Murid-murid Perguruan Bintang Emas yang
semuanya wanita itu dengan berani segera mengha-
dang para penyerang yang berusaha merangsek. Perta-
rungan di tengah malam pun seketika berkobar.
"Laskar Setan...!" pekik Dewi Pandagu, setelah
melihat simbol yang ada di dada sebelah kiri pada se-
tiap jubah lelaki yang menyerbu ke perguruannya.
Dewi Pandagu berkelebat cepat, membantu mu-
rid-muridnya menghadang lawan Setiap jejakan kaki
dan pukulan tangannya, selalu mengenai sasaran.
Namun sungguh aneh. Mereka yang terkena pukulan-
nya bagaikan tak mengalami apa-apa. Tubuh mereka
hanya tersurut dua tindak ke belakang. Kemudian
kembali menyerang. Bahkan serangannya semakin ga-
nas.
Dewi Pandagu tersentak menyaksikan kejadian
itu. Dia kembali menyerang. Kali ini pukulan yang di-
lontarkan bukan pukulan biasa, melainkan pukulan
sakti.
"Hiaaat..!"
Dewi Pandagu kembali melejit ke atas. Kemu-
dian dengan gerakan yang cepat, dikirimkannya puku-
lan sakti 'Lintang Sakal' ke arah lawan. Dari tangan
wanita secantik Dewi Sinta itu, keluar sinar merah
membara berbentuk bintang-bintang yang menderu ke
arah lawan-lawannya.
Bintang-bintang yang keluar tiada henti itu
langsung menghantam tubuh lawan-lawannya. Tapi
jumlah Laskar Setan tidak juga berkurang. Hal itu
membuat Dewi Pandagu berpikir keras untuk terus
mengumbar pukulan saktinya. Terlebih saat matanya
melihat lelaki muda berbaju kuning yang sepak ter-
jangnya jauh berbahaya di banding Laskar Setan.
Dewi Pandagu kebingungan. Kalau pemuda
berbaju kuning itu tidak dihentikan, tentunya korban
akan bertambah banyak
"Hiaaat..!"
Setelah melontarkan pukulan saktinya, Dewi
Pandagu segera berkelebat ke arah pemuda berbaju
kuning yang jurus-jurusnya cabul. Tangannya yang
bergerak senantiasa mengarah ke arah buah dada mu-
rid-muridnya.
"Uhhh...!"
Salah seorang murid terkena cengkeraman tan-
gan pemuda berbaju kuning itu. Setelah menggelepar
dengan mata membelalak, wanita itu langsung tewas.
"Celaka...! Pemuda itu benar-benar berbahaya!
Aku harus segera menghentikannya! Yeaaat..!"
Dewi Pandagu segera melesat untuk menyerang
pemuda berbaju kuning yang tiada lain Prabasangka.
Melihat serangan datang, Prabasangka dengan
cepat berkelit Kemudian tangannya bergerak menye-
rang dengan nakal. Arah serangannya ke buah dada
Dewi Pandagu.
Dewi Pandagu menggerakkan tangan kanan un-
tuk menepis, sedangkan tangan kirinya balas menye-
rang. Kedua kakinya menendang ke arah dada dan wa-
jah lawan bergantian.
"Uts...! Rupanya kau ketuanya, Manis!"
Prabasangka mengelak ke samping. Kemudian
dengan terkekeh dia membalas menyerang lawan. Tan-
gan kanannya berusaha menangkap tangan kiri Dewi
Pandagu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi menye-
rang, ditarik kembali dan dengan cepat menyerang lagi
ke buah dada Dewi Pandagu.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah
bercampur kaget, mendapatkan serangan yang da-
tangnya cepat itu. Dengan memutar cepat tubuhnya,
Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan lawan.
Kakinya menendang ke dagu lawan, disusul oleh sabe-
tan selendangnya.
Ctar!
Lecutan selendang Dewi Pandagu begitu keras,
laksana terbuat dari logam. Ledakannya menggelegar,
hingga menimbulkan percikan bunga api.
"Uhhh...!"
Prabasangka tersentak kaget. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting ke atas untuk mengelakkan seran-
gan selendang lawan. Kemudian dengan cepat dibalas-
nya dengan tendangan menyamping.
"Setan cabul...!" maki Dewi Pandagu marah.
Tubuhnya segera diputar disertai tendangan ke arah
dagu lawan, disusul sabetan selendangnya....
Ctar!
"Uhhh...!" Prabasangka tersentak kaget. Cepat-
cepat tubuhnya melenting ke atas, mengelak dari se-
rangan selendang lawan.
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar!
"Heat..!"
Prabasangka yang tidak ingin kakinya buntung
oleh lecutan selendang Dewi Pandagu, segera menarik
kakinya. Sedangkan tangan kanannya kembali berge-
rak untuk menangkap tangan lawan.
Sementara, tangan kirinya hendak mencengke-
ram ke arah buah dada Dewi Pandagu.
"Uts...!"
Dewi Pandagu menarik tangan kirinya, lalu di-
putarnya ke depan untuk memapak tangan lawan yang
hendak menjangkau buah dadanya. Tubuhnya dimi-
ringkan ke kanan. Kemudian tangan kanannya yang
memegang selendang, disentakkan dari bawah ke wa-
jah lawan.
Ctar!
Prabasangka membuang kepalanya ke samping
kanan dengan tubuh agak miring. Kemudian tubuhnya
diputar hingga menunduk ke depan. Lalu tangan ka-
nannya dengan nakal bergerak ke arah selangkangan
Dewi Pandagu.
Ketua Perguruan Bintang Emas tersentak kaget
mendapat serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya
berusaha mundur agar tangan pemuda cabul itu tak
mengenai selangkangannya. Namun begitu, ujung jari
pemuda itu sempat menyentuh juga.
"Auh...! Iblis cabul! Kubunuh kau...!"
Setelah melompat mundur, Dewi Pandagu yang
semakin marah kembali menyerang dengan selendang
dan pukulan. Kali ini kakinya agak merapat. Hal itu
membuat gerakan-gerakannya agak kaku, dan seran-
gannya pun tidak segarang dan seganas tadi.
Prabasangka yang melihat keadaan Dewi Pan-
dagu, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Se-
gera dilancarkannya jurus-jurus cabulnya. Kedua tan-
gannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan kanan
ke arah buah dada Dewi Pandagu, sedangkan tangan
kiri ke arah selangkangan wanita cantik itu.
Menyaksikan jurus lawan kini mengarah ke
tempat-tempat terlarang, Dewi Pandagu semakin
mempercepat sabetan selendangnya. Setiap kali tangan
Prabasangka hendak menyerang, dengan cepat Dewi
Pandagu mengebutkan selendang untuk memapa-
kinya.
Ctar!
***
Dewi Pandagu terus menyerang lawan, dengan
harapan lawan tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang dengan jurus-jurus cabulnya. Rupanya
perhitungannya keliru. Lawan bukanlah pemuda sem-
barangan, meski usia mereka tidak terpaut jauh. La-
wan yang tengah dihadapi adalah anak tunggal Catrik
Ireng. Salah seorang tokoh rimba persilatan yang di
masanya dulu merupakan salah satu dari dua pende-
kar muda tanpa tanding.
Dewi Pandagu yang tidak tahu siapa pemuda
berbaju kuning yang usianya sekitar tiga tahun di
atasnya itu terus mencecar lawan dengan lecutan se-
lendangnya.
"Heaaat..!"
Ctar!
Prabasangka terus berkelit dan sesekali mem-
balas serangan. Tangannya senantiasa mengarah ke
arah buah dada lawan. Suatu saat tubuhnya bergerak
ke samping, mengelakkan sabetan selendang lawan.
Kemudian dengan cepat, tangan kanannya menangkap
selendang itu.
Tap!
Selendang lawan tertangkap. Membuat mata
Dewi Pandagu melotot kaget bercampur marah. Tan-
gan kanannya disentakkan dengan kuat, dengan hara-
pan selendangnya terlepas. Namun pegangan tangan
Prabasangka rupanya sangat kuat
"He he he...!" Prabasangka terkekeh. Senyum-
nya mengembang di bibir. "Akhirnya kau kudapat juga,
Manis...."
Pucat seketika wajah cantik yang mengenakan
pakaian wanita India berwarna putih itu. Matanya me-
lotot penuh amarah. Kemudian dengan nekat tangan-
nya menghantam ke dada lawan.
"Hiaaat..!"
Prabasangka tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau wanita cantik itu akan menyerang. Beruntung
dia segera membawa tubuhnya ke samping hingga pu-
kulan sakti yang dilontarkan Dewi Pandagu meleset di
sampingnya.
"Rupanya kau benar-benar ganas, Manis!
Yeaaat..!"
Setelah luput dari hantaman pukulan sakti
yang dilontarkan Dewi Pandagu, Prabasangka meng-
hentak kedua kakinya. Tubuh meluncur ke atas den-
gan tangan masih memegangi selendang lawan. Kemu-
dian dengan cepat tubuhnya menukik. Tangannya ber-
gerak ke arah buah dada lawan
Melihat lawan menyerang Dewi Pandagu segera
memukulkan telapak tangannya ke arah lawan. Ka-
kinya menendang pula.
"Yeaaat..!"
Prabasangka yang sudah menduga kalau Dewi
Pandagu akan memapaki serangannya dengan balas
menyerang, seketika menarik kembali serangannya.
Tubuhnya melenting, dan tiba di belakang Dewi Pan-
dagu. Dengan cepat tangannya menotok punggung
wanita cantik itu.
Tuk!
"Hugkh...!"
Dewi Pandagu terkesiap. Dia berusaha memba-
likkan tubuh untuk memapaki serangan lawan. Na-
mun seluruh otot tubuhnya mengejang setelah jalan
darahnya ditotok lawan. Tubuhnya seketika kaku.
Prabasangka tertawa tergelak-gelak karena me-
rasa telah menang. Dihampirinya tubuh Dewi Pandagu
yang kini berdiri mematung tanpa dapat berbuat apa-
apa.
"Akhirnya kau akan menikmatinya, Manis...."
"Cuh! Lepaskan aku...! Pengecut lepaskan aku!"
bentak Dewi Pandagu penuh amarah. Tak segan-segan
diludahinya kembali wajah Prabasangka.
Prabasangka menyeka ludah Dewi Pandagu di
wajahnya dengan jari, kemudian dijilatinya ludah itu.
"Orangnya cantik ludahnya pun terasa manis."
Dewi Pandagu kembali melecutkan selendang-
nya ke kaki lawan yang menendang. Sedangkan tan-
gan kirinya memukul ke dada lawan.
Ctar!
Pengecut lepaskan totokanmu! Kita bertarung
sampai salah satu di antara kita mati!" dengus Dewi
Pandagu kian marah.
Prabasangka tak menggubris tantangan itu.
Dengan cepat tangannya bergerak untuk membopong
tubuh Dewi Pandagu. Kemudian kakinya melangkah,
hendak membawa tubuh Dewi Pandagu ke dalam ban-
gunan utama Perguruan Bintang Emas.
"Lepaskan, Pengecut! Lepaskan...!"
Dewi Pandagu berteriak-teriak, memaksa agar
Prabasangka melepaskan totokannya. Namun pemuda
berbaju kuning itu tak menggubrisnya. Kakinya terus
melangkah, membawa tubuh Dewi Pandagu menapaki
halaman bangunan.
Ketika kakinya berada di depan pintu bangu-
nan itu, tiba-tiba terdengar jeritan susul-menyusul da-
ri anak buahnya. Prabasangka tersentak kaget. Tu-
buhnya langsung berbalik ingin melihat apa yang ter-
jadi. Matanya membelalak ketika melihat seorang pe-
muda berbaju rompi kulit ular tengah menghajar anak
buahnya.
"Pendekar Gila....!" desis Prabasangka kaget.
Diturunkannya tubuh Dewi Pandagu. Kemudian tanpa
banyak kata, tubuhnya melesat meninggalkan Pergu-
ruan Bintang Emas.
Sosok pemuda berpakaian kulit ular yang me-
mang Pendekar Gila itu, nampak terus berkelebat.
Tangan kanannya menghantam ke arah puluhan lelaki
berjubah hitam. Tangan kirinya yang menggenggam
Suling Naga Sakti, tak mau diam. Senjata pusaka itu
terus dipukulkan ke kepala lawan.
"Yeaaa...!"
Plak!
Bugkh!
Sena Manggala bagaikan orang gila yang men-
gamuk. Kakinya menendang ke semua penjuru dengan
cepat. Tangannya memukul dan menyabetkan Suling
Naga Sakti ke kepala lawan. Dan suling pusaka itulah
rupanya yang mampu menjatuhkan Laskar Setan!
"He he he...! Rupanya Laskar Setan ini hanya
bisa dikalahkan oleh sulingku! Yeaaa...!"
Setelah tahu kalau Laskar Setan hanya dapat
dikalahkan oleh Suling Naga Sakti, Pendekar Gila
mempercepat serangannya. Gerakannya yang seperti
orang gila mengamuk seketika membuat tubuhnya
laksana menghilang. Tahu-tahu terdengar suara bera-
dunya Suling Naga Sakti dengan batok kepala dan tu-
buh lawan.
Plak!
Bugkh!
Satu persatu Laskar Setan yang tadi nyaris
memenangkan pertempuran jatuh tak bangun lagi.
Jumlah mereka semakin lama semakin menipis. Na-
mun Pendekar Gila tak puas sampai di situ, tubuhnya
terus bergerak cepat seraya memukulkan sulingnya.
Semakin cepat gerakan Pendekar Gila, semakin
banyak Laskar Setan yang tewas. Sementara itu semua
murid Perguruan Bintang Emas hanya dapat menon-
ton amukan Pendekar Gila.
"Yeaaat..!"
Wuttt!
Plak!
Jumlah Laskar Setan yang semula puluhan,
kini tinggal lima orang. Pendekar Gila kembali mence-
lat ke atas, kemudian menukik ke bawah sambil
menggerakkan tangan kirinya yang menggenggam Sul-
ing Naga Sakti ke kepala empat orang Laskar Setan.
Sedangkan tangan kanannya, menotok salah seorang
dari mereka.
Pletak! Pletak...!
Suara beradunya Suling Naga Sakti dengan
empat kepala Laskar Setan terdengar susul-menyusul.
Diikuti oleh jatuhnya keempat lelaki itu
5
Sena menggaruk-garuk kepala setelah menyele-
saikan lawan-lawannya. Kemudian dengan tersenyum-
senyum sambil menggaruk-garuk kepala, kakinya me-
langkah ke arah satu orang Laskar Setan yang sengaja
dibiarkan hidup.
"Katakan, siapa pemimpinmu?"
Anggota Laskar Setan itu tak menjawab. Hanya
matanya saja yang membara penuh amarah pada Sena
yang semakin tergelak-gelak menyaksikan kemara-
hannya. Tiba-tiba Sena mengerutkan kening, tawanya
terhenti seketika. Matanya memandang tajam pada ta-
wanannya.
"Weh weh weh.... Rupanya ada yang tidak beres
dengan manusia ini. Keji...! Sungguh keji orang yang
telah melakukan semuanya. Hm, tapi baiklah. Aku
akan berusaha menolongmu, Sobat," gumamnya sam-
bil mengangguk-angguk. Kakinya melangkah, memuta-
ri tubuh tawanannya. Tampak dia tengah mengamati
sesuatu pada tubuh orang itu.
"Tuan, tolonglah bukakan totokanku...!" seru
Dewi Pandagu, menyentakkan Sena.
Seketika Sena mengurungkan usahanya untuk
mencari rahasia yang menyebabkan lelaki itu tak bisa
berbicara, bahkan bagai tak memiliki perasaan.
Sena menengok ke arah pemilik suara yang
merdu itu. Mulutnya tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala, menyaksikan gadis cantik je-
lita berpakaian putih seperti orang India berdiri mema-
tung tanpa daya.
"Ah! Kenapa kau...?" tanya Sena.
"Tolong, bukakan totokan ini," pinta Dewi Pan-
dagu
Kemudian sambil tersenyum-senyum, Sena me-
langkah mendekati Dewi Pandagu. Kemudian dengan
gerakan yang sulit diikuti mata, dibukanya totokan di
tubuh Dewi Pandagu.
Tuk!
Setelah membuka totokan Dewi Pandagu, Sena
termenung. Sepertinya dia tengah memikirkan orang
yang telah menotok gadis cantik Ketua Perguruan Bin-
tang Emas itu.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Untung Tuan
segera datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, entah
bagaimana nasibku dan murid-muridku...," keluh Dewi
Pandagu.
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya
masih cengengesan.
"Aneh sekali, bagaimana murid tunggal Dewi
Lintang Wangi dapat diperdaya?" gumamnya. "Hm,
tentunya pemimpin Laskar Setan itu bukan orang
sembarangan."
Dewi Pandagu tertunduk. Dia merasa malu
mendengar ucapan Pendekar Gila yang menyebut na-
ma gurunya. Dewi Lintang Wangi bukan tokoh wanita
sembarangan. Ilmunya cukup tinggi. Tapi Dewi Panda-
gu yang menjadi pewaris ilmunya, ternyata tak berdaya
menghadapi pemuda berbaju kuning yang jurus-
jurusnya cabul.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
"Dewi, siapakah pemimpin Laskar Setan itu?"
tanya Sena.
"Seorang pemuda berbaju kuning," jawab Dewi
Pandagu.
"Apakah ikat kepalanya kuning juga?"
"Benar! Apakah Tuan kenal...?" Rata Dewi Pan-
dagu balik bertanya.
Pendekar Gila menghela napas sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian matanya memandang le-
laki anggota Laskar Setan yang masih tertotok.
"Benar-benar keji," gumam Sena.
"Kenapa...?"
"Kau tahu Laskar Setan itu?" tanya Sena sambil
menunjuk ke arah tawanannya.
"Ya," sahut Dewi Pandagu. "Mengapa tidak di-
bunuh sekalian?"
Sena menggelengkan kepala.
"Hm, sesuatu telah terjadi padanya. Jalan da-
rah yang menuju otaknya telah ditotok dengan totokan
yang bukan sembarangan. Untuk melepaskannya, di-
perlukan tenaga dalam yang kuat. Aku akan berusaha
membuka totokan itu."
Mata Dewi Pandagu seketika terbelalak men-
dengar penuturan Sena.
"Untuk apa...? Bukankah dia berbahaya?"
tanya Dewi Pandagu.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya kemba-
li menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan kepala
menggeleng-geleng maksudnya segera dijelaskan.
"Kurasa, dia berbahaya karena keadaan pikiran
dan perasaannya tak berfungsi. Tetapi, jika keadaan
pikiran dan perasaannya berfungsi, dia akan menyada-
ri siapa dirinya."
"Jadi menurutmu, orang itu dalam keadaan tak
sadar?"
"Ya," sahut Sena. "Kau mau membantuku, De-
wi?"
Dewi Pandagu tersenyum. Matanya yang lentik
dan indah mengerling.
"Kenapa tidak? Untuk Tuan, aku selalu siap."
Sena tertawa tergelak-gelak. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, jangan panggil aku tuan. Aku bukan
tuanmu. Lagi pula, hubungan antara gurumu dengan
guruku cukup baik. Tak sepantasnya seorang sahabat
memanggil tuan pada sahabatnya...," tutur Sena, me-
rendah.
Dewi Pandagu tersipu. Matanya masih mengerl-
ing penuh arti. Senyumnya terlihat, seirama dengan
kerlingan matanya yang indah.
"O, mengapa malam-malam begini kita harus di
luar? Bukankah sebaiknya kita di dalam?" ajak Dewi
Pandagu.
"Terima kasih, aku harus ke Gunung Lawu,"
kata Sena, berusaha menolak.
"Mengapa malam-malam begini? Bukankah le-
bih baik besok pagi?"
Dewi Pandagu semakin manja. Matanya kian
mengerling penuh arti. Senyumnya yang merekah, se-
pertinya mengundang.
"Ayolah...," desak Dewi Pandagu.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulut-
nya cengengesan.
Dewi Pandagu semakin tak sabar. Tangannya
kini memegangi tangan Sena. Matanya mengerling
manja. Senyumnya menggoda. Sungguh tak ada cacat
celanya kecantikan gadis itu. Setiap lelaki, pasti akan
terpesona melihat kecantikannya yang sempurna.
"Baiklah, Dewi. Tapi aku harus menolong dia.
Adakah sebuah kamar untuknya?" tanya Sena seraya
menunjuk ke arah tawanannya.
"Mengapa kau pedulikan dia?"
"Aku, kau ataupun dia, sama-sama manusia.
Sama dicipta oleh Hyang Widhi, Dewi. Kalau Hyang
Widhi mau mengasihi dan mengampuni kita, mengapa
kita tidak bisa mengasihi sesamanya?" tanya Sena se-
tengah berfilsafat.
"Baiklah...," kata Dewi Pandagu setelah terdiam
beberapa saat
"Terima kasih. Kau telah turut membantuku."
"Ah, kaulah yang telah menolongku," balik Dewi
Pandagu dengan nada riang nan manja. Senyumnya
yang menggoda, masih mengembang di bibirnya yang
menawan.
"Jadi kau ada kamar untuk kami?" tanya Sena.
Dewi Pandagu mengerutkan kening. Matanya
memandang penuh harap pada Sena, membuat pemu-
da itu menggaruk-garuk kepala dipandang begitu rupa.
Apalagi yang memandang seorang wanita cantik jelita.
"Mengapa untuk kalian? Untuk anggota Laskar
Setan itu saja. Untukmu, aku akan memberikan ka-
mar lain."
Tangan Sena semakin keras menggaruk-garuk
kepala. Wajahnya kini menengadah, memandang langit
yang gelap menghitam diselimuti malam. Mulutnya
cengengesan, membuat Dewi Pandagu tersenyum
sambil memandangi tingkah laku pemuda tampan itu.
"Ayolah.... Bawa anggota Laskar Setan itu,"
ajaknya.
"Baik"
Kaki Sena melangkah ke arah tawanannya.
Dengan ringan dipanggulnya tubuh lelaki itu. Sena la-
lu mengikuti Dewi Pandagu yang masuk ke dalam
bangunan perguruan.
Banyak sekali kamar di dalam bangunan utama
itu. Tentunya kamar-kamar itu berpenghuni. Sudah
pasti murid Perguruan Bintang Emas-lah yang me-
nempati.
Mereka terus melangkah ke belakang. Sampai
di kamar paling ujung, Dewi Pandagu berhenti.
"Kamar ini untuk anggota Laskar Setan yang
kau bawa.."
"Hm, lumayan."
Tangan Sena mendorong pintu kamar itu. Di-
ikuti oleh Dewi Pandagu, tubuh Sena masuk Di dalam
kamar itu ada sebuah dipan yang cukup untuk satu
orang. Ditaruhnya tubuh tawanannya itu di atas di-
pan.
"Biarkan dia di sini dulu," bisik Dewi Pandagu.
Tangannya menempel di pundak Sena. Menopang ke-
palanya yang juga rebah di pundak Sena. Dan ketika
pemuda tampan itu menengok, mereka beradu pan-
dang.
Dewi Pandagu tersenyum penuh arti. Matanya
dipejamkan perlahan. Bibirnya merekah, menunggu
sesuatu. Hal itu membuat Sena blingsatan kebingun-
gan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Dewi...," desisnya berusaha menyadarkan ga-
dis cantik itu.
Dewi Pandagu tersenyum, lalu membuka mata
kembali. Kemudian dengan manja tangannya membe-
lai rambut pemuda di depannya. Matanya memandang
redup, mengharap sesuatu.
"Dewi, sadarlah...!" kata Sena, berusaha men-
gingatkan.
"Aku sadar," desis Dewi Pandagu. "Aku sadar
kalau dari dulu aku memang jatuh hari padamu."
Sena meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia kelihatan kebingungan menghadapi gadis cantik
yang kini semakin manja padanya.
"Dewi, di manakah kamar untukku?" tanya Se-
na berusaha menghindar.
"Ayo kutunjukkan," ajak Dewi Pandagu. Kemu-
dian digandengnya tangan Sena. Mereka keluar dari
kamar itu, meninggalkan seorang lelaki berjubah hi-
tam yang tergolek tanpa daya.
***
Dewi Pandagu mengajak Sena ke sebuah kamar
yang letaknya agak jauh dengan kamar tadi. Dibu-
kanya pintu kamar itu. Di dalam kamar itu tampak se-
buah ranjang berhias kelambu putih dengan bunga-
bunga di sudut-sudutnya. Tak beda dengan ranjang
pengantin.
Sena tertegun. Keningnya berkerut sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, mengapa kamar sebagus ini untukku?
Kamar siapa ini, Dewi?"
Dewi Pandagu tersenyum tanpa berkata, di-
ajaknya Sena masuk. Ditutupnya pintu kamar, mem-
buat pemuda itu semakin mengerutkan keningnya.
"Dewi...!"
Belum habis ucapan Sena, Dewi Pandagu telah
memeluk tubuhnya. Kemudian tangan gadis itu mem-
belai-belai dadanya. Membuat Sena semakin kebin-
gungan. Seumur-umur, baru kali ini dadanya dibelai-
belai oleh gadis cantik. Kepala Sena menengok ke sana
kemari, kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
"Sena, aku mencintaimu...," desis Dewi Panda-
gu sambil mendongakkan kepala. Matanya perlahan-
lahan terpejam dengan bibir merekah.
Sena benar-benar kebingungan. Selama ini, be-
lum pernah dia melakukan hal-hal seperti itu. Berdua
di dalam kamar dengan seorang wanita cantik
Dewi Pandagu terus membelai dada Sena den-
gan lembut Matanya memandang penuh harap ke wa-
jah pemuda tampan itu. Kemudian diajaknya Sena me-
langkah ke tempat tidur.
"Sena, apakah kau tidak suka padaku?" tanya
Dewi Pandagu manja.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Dia ti-
dak tahu harus berkata apa. Wajahnya yang tadi me-
nengadah ke atas, kini memandang dengan kening
berkerut ke wajah Dewi Pandagu. Di wajah gadis itu,
tampak seulas senyum merekah indah, dengan mata
sayu menatap penuh arti.
"Suka..?" tanya Sena bergumam.
"Ya. Apakah kau tak suka padaku, Sayang?"
"Aku suka, Dewi.... Tapi, haruskah kita mela-
kukannya?"
Dewi Pandagu tersenyum.
"Untukmu, kuserahkan segalanya, Sayang....
Aku rela," bisik Dewi Pandagu dengan senyum masih
mengembang di bibirnya. Kemudian kepalanya dire-
bahkan di dada pemuda itu. Sedangkan tangannya
masih membelai dada bidang Pendekar Gila.
Bayang-bayang seorang gadis Cina, seketika
menyeruak dalam pikiran Sena. Entah mengapa, jika
dia mengingat Mei Lie yang kini tak tahu di mana, ha-
tinya seketika terenyuh. Kerinduan untuk bertemu,
kembali muncul mengisi hatinya.
Mulut Sena mendesah lemah. Dia memang su-
ka pada Dewi Pandagu. Namun mungkin hanya seba-
tas suka saja. Sedangkan pada Mei Lie, entah mengapa
dia menemukan rasa suka lebih daripada Dewi Panda-
gu. Dia merasakan bahwa perasaannya pada Mei Lie,
merupakan perasaan cinta kasih yang tumbuh dengan
sendirinya.
Perasaan itu dulu memang belum seberapa. Te-
tapi setelah lama berpisah, perasaan cinta kasih itu
semakin terasa. Terlebih setelah banyak gadis-gadis
dan wanita yang pernah dikenalnya. Bahkan kini dia
bagai diuji oleh cinta kasih itu.
Mei Lie, di manakah kau kini berada? Hatinya
bertanya-tanya. Kini aku baru menyadari, sesungguh-
nya aku pun merindukan mu. Entah kapan kita bisa
bertemu, Mei Lie...? Kuharap kau tidak akan melupa-
kan ku. Sebagaimana aku, yang tak pernah melupa-
kanmu.
Bayangan Mei Lie, makin menyeruak kedala-
man hatinya. Membuat Sena tanpa sadar membelai
rambut Dewi Pandagu. Dianggapnya Dewi Pandagu
adalah Mei Hie, orang yang dirindukannya. Orang yang
tanpa disadari, telah menawan hatinya.
Dewi Pandagu tersenyum senang. Memang itu-
lah yang diharapkannya. Dibiarkannya tangan Sena
membelai-belai rambutnya dengan mesra. Bahkan kini
Dewi Pandagu membimbing Pendekar Gila menuju ke
tempat tidur.
"Sena...," desisnya lirih.
Keduanya rebah di tempat tidur.
Dewi Pandagu menutup kelambu. Kemudian
keduanya tampak saling berpelukan, berciuman den-
gan penuh kemesraan.
***
"Sena...! Sena, bangunlah...!"
Sena tersentak kaget dari tidurnya ketika telin-
ganya mendengar suara gurunya, Singo Edan. Ma-
tanya memandang ke atas, seakan melihat sosok gu-
runya.
"Guru, apa yang telah terjadi?" tanyanya seten-
gah mengeluh.
"Kau telah kalah oleh bujukan iblis, Anakku."
Kepala Sena tertunduk. Dari matanya meleleh
air mata. Dia menangis, merasakan kekalahan yang
sangat menyiksa. Betapa dia telah kalah melawan iblis
yang menggoda.
"Guru, aku telah berdosa. Hukumlah aku!"
"Tidak, Anakku.... Semua memang telah terga-
riskan. Bukan hanya kau, aku atau siapa pun. Dewa
pun takkan mampu melawan suratan. Cepatlah ban-
gun. Masih banyak yang harus kau lakukan. Ingat
baik-baik kesalahanmu itu.... Jadikanlah kesalahanmu
itu sebagai cambuk. Maka, kau akan senantiasa beru-
saha tidak melupakannya dan akan berusaha berbuat
baik. Pergilah...."
"Baik Guru."
Dengan hati-hati dan pelan, Sena segera men-
genakan pakaiannya. Kemudian perlahan-lahan tu-
buhnya turun untuk pergi, dengan harapan Dewi Pan-
dagu tidak terbangun.
Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu. Hatinya
menangis. Bagaimanapun juga, dia yang telah mereng-
gut kegadisan Dewi Pandagu. Haruskah dia lepas tan-
gan begitu saja? Ah, lelaki macam apakah aku? Keluh
Sena dalam hati.
Pendekar Gila tak tega meninggalkan Dewi
Pandagu begitu saja. Dengan lembut dibelainya ram-
but gadis cantik itu, lalu mengecup keningnya.
"Maafkan aku, Dewi.... Aku harus pergi dulu.
Aku berjanji, kelak aku akan datang untuk bertang-
gung jawab," bisik Sena lirih.
Kemudian, Sena menulis beberapa baris tulisan
pada pintu kamar itu. Lalu, tubuhnya berkelebat ke
arah kamar di mana seorang dari Laskar Setan berada.
Diambilnya lelaki itu, lalu dengan memanggul tubuh-
nya, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu.
***
Emoticon