Kane-kane membabatkan goloknya ke pantat Sena.
"Wadauw! Jangan, Nyi! Pantatku bisulan! Hi hi
Sambil ber kata begitu, Sena kembali mengelak
cepat. Kemudian tangannya menepuk dua orang yang
berada di depan dan sampingnya.
Degk!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila
memekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang
seperti dua batang ranting kering. Lalu menghantam
pohon disertai pekikan kematian. Kemudian tubuh
keduanya ambruk dengan napas putus.
"Bangsat...! Minggir! Biar kuhadapi dia!" seru Kane-
kane kalap, merasa lawannya terlalu berbahaya
untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu
persatu anak buahnya di tangan pemuda tampan
yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur teratur, dengan
cepat Kane-kane melabrak maju. Matanya yang
nampak dari lubang di kain penutup wajahnya,
melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?!" bentak
Kane-kane.
"Hi hi hi...! Dari mana kau tahu, Tikus Betina? Ha
ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak dengan tubuh
berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-
garuk kepala.
"Namamu cukup kondang, Pendekar Gila! Hm, aku
datang untuk menantangmu!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali! Lucu sekali omonganmu, Tikus
Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena
masih bergerak-gerik seperti kera.
"Karena kau penghalang kami!"
"Oh, kurasa kalau kalian bermaksud baik, aku tak
akan menghalanginya. Ah ah ah.... Tentunya maksud
kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi.
Atau kalian tak punya hidung?!" ledek Sena yang
membuat Kane-kane semakin membelalak garang.
"Bedebah! Apa pun yang akan kami lakukan,
urusan kami! Kau memang harus disingkirkan,
karena kau penghalang utama. Nah, bersiaplah!"
bentak Kane-kane sengit
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut
cengengesan.
"Aha, kalau memang itu maumu, baiklah. Aku akan
melayanimu."
"Hiaaat...!"
Kane-kane segera melompat dengan terkaman
tangan yang membentuk cakaran. Dengan jurus
'Kelelawar Menyambar Serangga' Kane-kane
menyerang. Tangannya bergerak menyilang, lalu men-
cengkeram lurus ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gerakanmu, Nyi."
Sena segera menundukkan kepala, lalu dengan
cepat tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling.
Kakinya menendang ke atas, di mana tubuh Kai kane
berada.
"Hi hi hi...! Ini tendangan kuda binal, Nyi!"
Kane-kane tersentak kaget mendapatkan
serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya
berusaha ditarik. Tapi tubuhnya yang sudah melayang
sangat sulit untuk dibalikkan ke belakang. Sehingga...
Degk!
"Hukh!"
Tubuh Kane-kane terlontar ke depan, lalu tersuruk
mencium tanah.
"Ha ha ha...! Mengapa kau mencium tanah, Nyi?"
tanya Sena sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menepuk-nepuk pantat dan menggaruk-garuk kepala
sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu mem-
buat Kane-kane semakin marah.
"Kurang ajar! Bunuh monyet gila itu!" perintah
Kane-kane pada anak buahnya yang langsung
bergerak mengurung Pendekar Gila yang masih
melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya!" seru Kane-kane bertambah
murka, menyaksikan tingkah Pendekar Gila yang kian
menjengkelkan.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!"
Anak buah Kane-kane langsung menyerbu dengan
babatan dan tusukan golok ke tubuh Sena. Mereka
nempaknya bernafsu sekali untuk segera menghabisi
nyawa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu.
Melihat lawan kembali mengeroyok, Pendekar Gila
bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila.
Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena
mengelakkan serangan-serangan lawannya. Tubuh-
nya meliuk-liuk bagai sedang menari. Kemudian
tangannya bergerak ke beberapa jurusan, meng-
hantam dengan tepukan-tepukan yang kelihatannya
pelan ke dada lawan.
"Hea...!"
Plak!
"Wuaaa...!"
Satu orang lagi terkena hantaman tepukan tangan
Pendekar Gila. Seperti tiga temannya, tubuh orang ini
pun melayang jauh ke belakang. Dan baru berhenti
ketika membentur pohon dengan kepala pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu kalau mereka
adalah para bajingan, kini tak mau diam dan
membiarkan mereka lolos. Tubuhnya bergerak cepat,
meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' disusul dengan jurus yang semakin
membuat lawan-lawannya bertambah kalang-kabut
Jurus 'Si Gila Menyapu Kabut'.
Wusss...!
Dari kedua telapak tangan Pendekar Gila keluar
angin deras menghantam ke arah lawan. Para
pengeroyoknya seketika terdorong keras. Bahkan
pakaian Kane-kane terlepas. Tubuhnya kini tak
tertutup sehelai benang pun. Ternyata dia seorang
wanita muda yang cantik dengan rambut terurai
lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Hal itu
membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Tak
menyangka kalau gadis secantik Kane-kane ter-
jerumus dalam kegelapan dunia hitam.
"Aha, rupanya tikus betina ini cantik?" gumam
Sena. "Sayang sekali tindakannya telengas."
Kane-kane kelabakan menutupi auratnya dengan
kedua tangan. Wajahnya merah terbakar karena malu
Dia kini tak dapat berbuat banyak. Pilihan yang
dimilikinya hanya pergi meninggalkan tempat itu
sambil meneriakkan ancaman.
"Pendekar Gila! Kali ini aku kalah! Namun kelak,
aku akan kembali membuat perhitungan denganmu!"
Sena hanya menggeleng sambil tersenyum. Lalu
melangkah meninggalkan Hutan Selo Kamal.
***
Hutan Gandring nampak damai dan asri, dengan
barisan pohon menghijau dan subur. Burung-burung
berkicau dengan riang. Terasa damai suasana di
Hutan Gandring siang itu. Angin bertiup dengan
alunan yang membuat mata ngantuk.
Hutan yang indah dan asri, seketika berubah
mendadak. Banyak pepohonan yang rusak. Kicau
burung tidak terdengar lagi. Rumput banyak yang
layu. Kedamaian hutan itu terpecah oleh suara
teriakan-teriakan orang yang tengah bertarung.
Dua orang lelaki berpakaian pendekar berwarna
jingga nampak tengah bertarung menghadapi wanita
bercaping daun pandan dengan pakaian putih seperti
pakaian gadis Cina. Kedua lelaki muda berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu bertubuh tinggi dan
kekar. Wajah mereka tampan dengan kumis tipis
menghiasi atas bibirnya.
Kedua lelaki itu bernama Gupala dan Gupali.
Mereka berasal dari Perguruan Semeru. Rambut
mereka agak ikal terurai panjang, berikat kepala
jingga pula. Hidung mereka mancung dengan mata
tajam laksana mata seekor elang.
"Mei Lie, antara kita tak ada sangkut paut apa-apa,
mengapa tiba-tiba kau menyerang kami?" tanya
Gupala tak mengerti mengapa Mei Lie yang bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa menyerang mereka.
Padahal mereka dari golongan putih.
Gadis cantik yang sosok tubuh dan wajahnya mirip
Mei Lie itu tak berkata. Gadis yang tak lain Sarah Dita
itu terus menyerang kedua kakak-beradik yang
berkelit dengan terheran-heran.
"Kakang, jelas dia tidak main-main! Kita harus
nenghadapinya dengan tidak main-main pula!"
dengus Gupali, setelah tubuh mereka menjauh lima
tombak di depan gadis itu.
"Benar, Dimas. Aku heran, bagaimana mungkin
Mei Lie yang kita dengar membela kebenaran dan
keadilan menyerang kita," gumam Gupala.
"Jangan banyak omong! Kalian memang harus
mampus! Hiaaat..!" bentak Sarah Dita seraya
menerjang dengan membabatkan pedang ke arah
lawan-lawannya.
Wut!
"Hati-hati, Kakang! Dia benar-benar ingin
membunuh kita!" kata Gupali mengingatkan. "Kita tak
tinggal diam terus. Kita sebaiknya melawan."
"Ayolah! Kita gunakan jurus 'Dwi Sangkur Dewa'!"
Setelah mempertimbangkan masak-masak, kini
kakak-beradik tersebut bergerak menyerang. Pisau
kembar yang menjadi senjata andalan mereka,
berdesing tajam ke arah lawan. Hal itu membuat
Sarah Dita tersentak. Dia berusaha mengelitkan
serangan lawan, kemudian dengan cepat pula balas
menyerang dengan jurus andalan 'Sambutan Sampar
Kabut'.
Pedang di tangan Sarah Dita bergerak cepat
hingga bagai menghilang. Yang nampak hanya kabut
putih yang menutupi tubuh gadis cantik itu.
"Hiaaat..!"
Wut!
Gupala dan Gupali tersentak kaget, menyaksikan
jurus pedang lawan yang cepat. Kini keduanya tak
mampu melihat sosok tubuh lawan lagi karena
tertutup oleh sinar berkabut yang keluar dari pedang
lawan.
"Celaka! Dia benar-benar hendak membunuh kita!"
seru Gupali tegang, menyaksikan jurus lawan yang
cepat dan membahayakan dengan sasaran yang
mematikan ke jantungnya.
"Kurasa dia bukan Mei Lie, Dimas."
"Entahlah. Siapa pun dia, kita tak boleh lengah
Kakang. Ilmu pedangnya bukan sembarangan."
"Kita gempur dengan 'Sapuan Sangkur' Heaaat..!"
"Yiaaat..!"
Dengan sigap Gupala dan Gupali melemparkan
pisau-pisau kecil mereka ke arah gumpalan sinar
putih yang menutupi tubuh lawan.
Swing, swing...!
Lima bilah pisau melesat cepat ke arah lawan.
Namun dengan tangkas, Sarah Dita mampu
merontokkannya. Pisau-pisau yang dilemparkan oleh
kakak beradik itu tak ada satu pun yang mampu
menembus pertahanannya.
Trang, trang...!
Pluk, pluk...!
"Celaka! Dia bukan sembarangan jago pedang,
Kakang!"
"Ya!" sahut Gupala dengan mata memandang
tegang, menyaksikan senjata-senjata mereka dengan
mudah dirontokkan. Namun sebagai pendekar,
keduanya tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya
kembali melemparkan pisau-pisaunya ke arah lawan.
"Hiaaat!"
Swing, swing...!
Enam pisau kembali melesat cepat ke arah Sarah
Dita.
"Hait!" Sarah Dita segera memutar pedangnya
dengan cepat, menangkis pisau-pisau lawan.
Tring, tring...!
Kembali pisau-pisau itu berguguran, terkena
babatan pedang di tangan Sarah Dita. Bahkan kini
tubuh gadis itu melesat maju lalu membabat lawan
dengan pedangnya.
"Kalian harus mampus! Hiaaa...!"
"Awas, Kakang!" seru Gupali sambil membuang
tubuhnya ke samping, mengelakkan babatan pedang
lawan. Kemudian dengan cepat tangannya memukul
ke tubuh lawan. Tapi rupanya Sarah Dita mengetahui
kalau serangan yang dilancarkan lawan dari sebelah
kanan. Dengan cepat pedangnya dibabatkan ke
tangan lawan yang menyerang.
Wut!
Gupali tersentak kaget Dia berusaha menarik
serangannya. Tapi babatan pedang lawan ternyata
lebih cepat. Sehingga Gupali. tak mampu untuk
mengelakkannya. Hingga....
Cras!
"Aaa...!" Gupali memekik. Tangan kanannya putus
terkena babatan pedang lawan.
"Dimas!" seru Gupala kaget, menyaksikan keadaan
adiknya. Belum juga Gupali sempat bergerak untuk
mengelak, Sarah Dita telah lebih dulu membabatkan
pedang ke dadanya. Diteruskan ke lehernya yang
tidak mampu mengelak sama sekali.
Wut!
Cras, cras!
Kali ini Gupali tak sempat memekik. Lehernya
putus dan kepalanya lepas dari tubuh.
"Dimas...!"
Kembali Gupala memekik keras dengan mata
membelalak, menyaksikan kematian adiknya yang
mengenaskan.
"Iblis! Tunggu pembalasanku!"
Sebelum Sarah Dita sempat mengejar, tubuh
Gupala telah melesat meninggalkan tepian Hutan
Gandring. Nampaknya Sarah Dita memang sengaja
membiarkan lawan pergi. Dengan begitu, Gupala
akan menceritakan kejadian itu pada para pendekar.
Dan tentu Mei Lie yang akan menjadi sasarannya.
Sarah Dita tersenyum puas, kemudian melesat
meninggalkan tempat itu.
***
6
Berita tentang Mei Lie yang membunuh salah seorang
murid Perguruan Semeru di pinggir Hutan Gandring,
membuat para pendekar kebingungan. Dunia
persilatan dibebani pertanyaan yang memusingkan
karena kejadian itu. Hampir semua orang, baik dari
dunia persilatan maupun dari kalangan biasa ber-
tanya-tanya. Bagaimana mungkin Bidadari Pencabut
Nyawa kini membunuh salah seorang dari murid
Perguruan Semeru?
Perdebatan antara pihak yang yakin kalau Mei Lie
yang melakukannya dengan pihak yang tidak percaya,
menjamur di mana-mana. Mereka pada umumnya
tidak percaya dengan berita itu. Malah ada yang
menuduh Gupala hanya membuat-buat cerita untuk
menjatuhkan nama baik Mei Lie.
Siang itu, tiga orang lelaki tua dengan jubah
berwarna putih melangkah menuju sebuah bangunan
besar yang berada di Gunung Semeru. Tiga lelaki tua
berjubah putih dengan rambut putih terurai itu adalah
tiga tokoh sakti dari aliran lurus. Ketiganya sering
disebut Tiga Malaikat Suci. Sampai setua ini, mereka
tidak menikah. Jiwa dan raga mereka senantiasa
diserahkan pada Hyang Widhi. Di samping itu, mereka
berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan.
Kedatangan Tiga Malaikat Suci ke Perguruan Semeru,
semata-mata atas undangan Ketua Perguruan
Semeru yang juga mengundang para pendekar di
wilayah Jawa Dwipa bagian timur. Dua prajurit jaga
yang melihat Tiga Malaikat Suci segera menyambut
mereka dengan menjura hormat
"Selamat datang ke Perguruan Semeru."
"Hm.... Terima kasih. Katakan pada ketua kalian
kami datang," kata salah seorang dari Tiga Malaikat
Suci yang berjalan di tengah.
"Baik! Silakan Eyang sekalian menunggu
sebentar," kata penjaga. Kemudian salah seorang
dari mereka bergegas masuk untuk memberitahukan
pada ketuanya kalau orang yang ditunggu telah
datang.
Tiga Malaikat Suci merupakan tiga saudara
seperguruan yang ilmu kesaktiannya tinggi. Orang
pertama yang berdiri paling kanan bernama Arya
Parasu. Yang kedua bernama Arya Somala dan yang
ketiga nama Arya Narasi. Ketiganya terkenal arif dan
bijaksana da lam menangani segala masalah. Untuk
itulah, Ketua Perguruan Semeru mengundang
mereka.
Tidak lama kemudian, dari dalam muncul murid
Perguruan Semeru tadi diikuti oleh ketua mereka.
"Selamat datang ke Perguruan Semeru, Eyang,"
sambut Ki Malawa. Lelaki berusia sekitar lima puluh
lima tahun dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam
itu menjura. Wajahnya nampak tenang dan ramah.
Meski salah seorang murid utamanya tewas, namun
tampaknya Ketua Perguruan Semeru yang
mengenakan jubah warna kuning dengan pakaian
dalam warna coklat muda ini tetap bersikap tenang.
"Hm.... Terima kasih," sahut ketiganya bersamaan.
"Ada apa sampai kau memanggil kami, Malawa?"
tanya Arya Parasu.
"Ya. Ada apa kau memanggil kami...?" sambun Arya
Somala.
"Silakan Eyang bertiga masuk dulu. Di dalam telah
banyak para pendekar menunggu."
Tiga Malaikat Suci saling pandang, mendengar
para pendekar telah diundang pula oleh Ki Malawa.
Hati mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang
menyebabkan Ketua Perguruan Semeru itu
memanggil para pendekar.
"Silakan, Eyang."
Tiga Malaikat Suci akhirnya menurut masuk.
Diiringi oleh Ki Malawa, mereka masuk ke sebuah
ruangan lebar tempat para pendekar dari wilayah
timur berkumpul. Di situ ada Ki Bagel Kara, Nyi
Palayuan, Ki Sampra Wika, Dewi Bayangan Bidadari,
Ki Naga Kadra serta seorang pemuda berpakaian
rompi kulit ular yang tingkah lakunya persis orang
gila.
Tiga Malaikat Suci yang melihat pemuda itu sudah
dapat menebak, siapa sebenarnya pemuda yang
cengengesan dan bertingkah laku konyol itu.
"Hm.... Rupanya Pendekar Gila ada di sini," ucap
Arya Parasu sambil menjura hormat, diikuti oleh
kedua adik seperguruannya. Hal itu membuat Sena
segera bangun dan membalas penghormatan
mereka.
"Aha, rupanya aku tak sopan," kata Sena.
"Seharusnya aku yang menjura pada kalian. He he
he...!"
"Tidak ada salahnya, Pendekar Gila. Kami memang
harus menghormati tamu yang datang lebih
dahulu...," tukas Arya Narasi.
"Ah ah ah... Kalian orang tua bijak. Tidak
sepantasnya aku menerima penghormatan kalian.
Malah arusnya aku yang menghormati kalian," sergah
Sena sambil cengengesan.
"Sudahlah. Tak perlu kita perdebatkan masalah
ini," Arya Parasu menengahi. "Malawa, katakanlah
ada apa kau memanggil kami dan para pendekar ke
tempat ini?"
"Silakan duduk dulu, Eyang," kata Ki Malawa
mempersilakan ketiga orang tua itu duduk. Setelah
ketiganya duduk, Ki Malawa meneruskan ucapannya.
"Memang sengaja aku mengundang Eyang bertiga
datang kemari, juga para sahabat semua. Hal ini
berkaitan dengan terbunuhnya salah seorang murid
Perguruan Semeru oleh gadis Cina."
Beberapa pendekar yang belum mendengar berita
itu menjadi tersentak. Terlebih Sena yang amat tahu
siapa gadis berpakaian putih gaya Cina yang tak lain
Mei Lie.
"Mei Lie?!" seru beberapa tamu serentak.
"Benar!" jawab Ki Malawa tegas.
"Bagaimana mungkin Mei Lie yang terkenal
dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa bertindak
seperti itu?" tanya Ki Sampra Wika. Mata lelaki
berumur sekitar enam puluh tahun dengan rambut
ikal ini tampak terbelalak. Seperti tidak percaya.
Bahkan lelaki tua berbaju merah dadu ini
memandang Pendekar Gila.
"Itu sebabnya aku mengundang kalian."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Mulutnya nyengir. "Kurasa kita
tidak bisa menuduh sembarangan, Ki. Kita harus
memiliki bukti kuat. Siapa tahu ada orang lain yang
melakukan semua ini dengan mengatasnamakan Mei
Lie."
"Tidak mungkin!" bantah Ki Bagel Kara. "Jelas dia
Mei Lie."
"Aha, jangan lekas menuduh begitu, Ki. Apa kau
punya saksi?" tanya Sena masih berusaha membela
kekasihnya. Nada suaranya terdengar tidak senang
atas tuduhan yang dilontarkan Ki Bagel pada
kekasihnya.
"Ada!" sahut Nyi Palayuan.
"Hm...," gumam Sena lirih. Tangannya menggaruk-
garuk kepala dengan mulut nyengir. "Aha, bagaimana
kalau saksi itu tidak jelas benar melihatnya?"
"Tidak mungkin. Dia berhadap-hadapan langsung
dengan Mei Lie. Bahkan dia bertarung dengan Mei Lie
waktu itu bersama adiknya," tukas Ki Naga Badra.
Lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun
yang wataknya masih agak keras.
"Sabar!" kata Arya Parasu. "Untuk memecahkan
masalah ini, kita jangan saling bantah-membantah
dengan kepala panas. Seakan sifat kependekaran
kita tak ada lagi."
Semua terdiam, tak ada seorang pun yang
membuka suara. Hanya Sena yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Nah, kini bawa saksi mata kemari," pinta Arya
Parasu.
"Baik, Eyang," sahut Ki Malawa. Kemudian dengan
memberi isyarat pada muridnya, Ki Malawa
memerintahkan untuk menjemput Gupala.
Tidak berapa lama kemudian, muncul Gupala
menghadap ke tempat itu. Lelaki berusia tiga puluh
lima tahun itu segera memberi hormat pada para
pendekar yang berkumpul di ruangan tersebut.
"Ada apa Guru memanggil saya?" tanya Gupala
pada Ki Malawa.
"Gupala, coba kau jelaskan bagaimana
kejadiannya sampai kau dan adikmu bertempur
dengan gadis Cina itu," pinta Arya Parasu.
Gupala menjura, kemudian dengan singkat dan
jelas dia menceritakan tentang kejadian yang
dialaminya.
"Kami baru saja pulang untuk menyerahkan
undangan dari guru pada Perguruan Kencana Mukti
dan Padepokan Randu Kembar dalam rangka
mengundang para pemimpin perguruan untuk
mengadakan pertemuan untuk membahas masalah
persilatan. Pertemuan yang telah sering diadakan di
perguruan kami. Ketika kami melintas di Hutan
Gandring, kami di hadang oleh seorang gadis cantik
bercaping daun pandan. Gadis itu berpakaian putih
dan bersenjatakan pedang. Dia mengaku bernama
Mei Lie. Mulanya kami ragu dan tak percaya kalau
gadis itu Bidadari Pencabut Nyawa. Namun ketika dia
menyerang dengan pedangnya yang dahsyat, barulah
kami mempercayainya."
Sena menghela napas. Tingkah lakunya tetap
seperti orang gila.
"Aha, tentunya kau melihat pedangnya, Ki," kata
Sena.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Bagus. Apakah pedang itu bersinar merah
kekuning-kuningan?" tanya Sena.
Gupala sesaat terdiam, berusaha mengingat-ingat
pedang di tangan gadis cantik yang mengaku Mei Lei.
"Tidak. Pedang di tangan gadis cantik itu berwarna
putih," jawab Gupala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak bagai tidak
dapat menahan rasa gelinya.
"Ah, kini apa kalian masih yakin kalau gadis itu Mei
Lie?" tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala
"Ya!" Jawab Ki Sampra Wika.
"Aha, bagaimana kalian bisa yakin?"
"Sena, Mei Lie bukanlah gadis sembarangan
setelah memiliki Pedang Bidadari dan menguasai
'Ilmu Pedang Bidadari'. Siapa pun akan takut untuk
mengaku-aku sebagai dirinya," tutur Ki Bagel Kara.
"Benar! Malah semua tokoh hitam dibuat gentar
dengan kemunculannya. Kurasa, kalau dia memang
tidak bersalah, dia akan datang untuk membuktikan
dirinya memang tidak bersalah," sambung Nyi
Palayuan.
Sena menggaruk-garuk kepala, seperti bingung
mendapatkan kenyataan itu. Bagaimanapun juga,
nama baik dan keberadaan Mei Lie kini terancam.
Kalau Mei Lie tidak muncul juga, maka para pendekar
tentu akan semakin yakin kala pelakunya adalah Mei
Lie. Dan tentunya pula, orang yang telah berbuat
akan semakin senang, karena secara tidak langsung
dia dapat mengadu domba orang-orang persilatan
golongan lurus.
Ingatan Sena melayang kembali pada peristiwa di
Lembah Lamur. Di sana Mei Lie juga dituduh
melakukan hal yang tak pantas bagi seorang
pendekar aliran putih. Begitu pula dengan gurunya,
Singo Edan. Malah dia pun sempat menuduh kalau
gurunya telah meracuninya (Untuk jelasnya, silakan
baca serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan
Dewi Kuan Im").
Mungkinkah sekarang Mei Lie ada yang
mempengaruhi? Tanya Sena dalam hati. Biar
bagaimanapun juga, aku harus bisa membongkar
teka-teki ini!
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya Arya Parasu.
"Baiklah! Semua kuserahkan pada kalian," jawab
Sena.
"Kalau begitu, untuk menyelidiki masalah ini
bagaimana kalau Pendekar Gila kita tugaskan untuk
menyelidikinya?" tanya Arya Parasu.
"Dengan senang hati," jawab Sena.
"Kini semua telah selesai. Kita tinggal menunggu
Kedatangan Mei Lie. Kalau dia datang, kita akan bisa
membuktikan kebenarannya. Apakah dia bersalah
atau tidak. Tapi kalau dia belum juga datang dalam
tujuh hari, maka kita akan mencarinya," tutur Arya
Somala.
"Bagaimana?" tanya Arya Narasi.
"Setuju...!" sahut para pendekar.
"Kini kau harus menyelidikinya, Pendekar Gila."
"Aku akan segera menjalankan tugas yang telah
kalian amanatkan. Aku mohon pamit."
Sena pun segera menjura, kemudian bergegas
meninggalkan Perguruan Semeru.
***
Pendekar Gila benar-benar tak mengerti dengan
semuanya. Dia tak habis pikir, mengapa Mei Lie
selalu mendapat kemalangan. Dari pertama kali ke
tanah Jawa Dwipa bersama ayahnya, gadis itu sudah
dilanda nasib sial. Ayahnya tewas di tangan anak
buah Segoro Wedi. Kemudian setelah berpisah lama
dengan Pendekar Gila, muncul Houw San atau Kauw
Cien Lung. Baru bertemu, kembali Mei Lie harus
menelan kepahitan menjadi sandera Dewi Pemuja
Setan. Dan kini, Mei Lie harus menjadi korban fitnah
orang (Untuk mengetahui semua kisah Mei Lie,
silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Suling Naga Sakti", "Singa Jantan dari Cina", dan
'Titisan Dewi Kuan Im").
Sena melangkah menyelusuri jalanan di Lembah
Pakuan dengan pikiran yang masih melayang pada
Mei Lie, gadis Cina yang telah menawan hatinya.
Gadis yang selama keberadaannya di tanah Jawa
Dwipa ini senantiasa mendapatkan penderitaan.
Seakan telah digariskan oleh Hyang Widhi, kalau Mei
Lie harus menerima semua kenyataan itu.
"Kasihan, Mei Lie," desah Sena lirih.
Ketika Sena melangkah menyelusuri Lembah
Pakuan, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
bertarung. Didengar dari suaranya, sepertinya ada
beberapa orang yang teriibat pertarungan di balik
bukit sebelah selatan.
"Heaaat..!"
"Hait!"
Trang!"
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena
sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar
suara pertarungan itu lebih jelas. "Ah, benar.
Kudengar suara senjata beradu. Aku akan melihat."
Dengan cepat Sena menjejakkan kaki ke atas. Lalu
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, Sena
berusaha melihat apa yang terjadi di balik bukit
Matanya membelalak, menyaksikan seorang gadis
bercaping daun pandan dengan pakaian yang sama
persis dengan Mei Lie tengah bertarung melawan
seorang lelaki berbaju coklat
"Mei Lie?" gumam Sena, menyaksikan gaya gadis
itu yang sama persis dengan Mei Lie. "Ah, tidak
mungkin. Dia bukan Mei Lie. Tentunya gadis ini yang
telah membunuh murid Perguruan Semeru." .
Belum juga Sena selesai meyakinkan dirinya kalau
gadis yang tengah bertarung itu bukan Mei Lie, dari
arah lain tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia
ke arahnya.
Swing, swing...!
"Eit! Aha, ada yang main-main rupanya!" gumam
Sena sambil melenting, mengelakkan serangan
puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara
beberapa kali, kemudian dengan cepat menepis
beberapa senjata rahasia dan membalikkannya ke
arah senjata-senjata itu berasal.
"Heaaa...!"
Swing, swing...!
Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Dan tidak lama kemudian terdengar suara hunjaman
senjata-senjata itu disertai jeritan kematian.
Jlep, jlcp...!
"Wuaaa...!"
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan
tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya tak
lepas menggaruk-garuk kepala.
"Serang...!"
Seketika terdengar suara perintah seseorang dari
balik bukit sebelah kiri Sena.
Swing, swing...!
Puluhan anak panah tiba-tiba menderu ke arah
Sena. Hal itu membuatnya segera merundukkan
tubuh ke bawah, lalu dengan cepat berguling lemah
ke sawah. Sengaja hal itu dilakukan. Dengan harapan
orang-orang yang bersembunyi di balik bukit akan
muncul. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diseli-
kan di ketiaknya. Berpura-pura terhunjam sebatang
anak panah tadi.
Benar juga apa yang diduganya. Dari balik bukit
muncul puluhan orang bertopeng hitam dengan di
tangan mereka. Mata orang-orang memandang tajam
ke arahnya, seakan meyakinkan kalau pemuda itu
telah tewas.
Saat itulah Sena segera melontarkan pukulan 'Inti
Bayu' andalannya.
"Heaaa...!"
Wusss!
Angin kencang menderu keras ke arah orang-orang
bertopeng yang berdiri di atas bukit.
"Awas...!" seru pemimpin orang-orang bertopeng
mengingatkan anak buahnya.
Namun terlambat! Angin kencang laksana topan
yang dilancar kan Sena tak dapat dielakkan oleh
beberapa orang bertopeng itu. Seketika tubuh
mereka terpental, tersapu topan yang keluar dari
tangan Sena.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil
berjingkrak-jingkrak senang. Tangan kanannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan
kirinya menepuk-nepuk pantat. "Lucu! Lucu sekali
kalian! Ayo, turunlah!"
Mendengar tantangan Pendekar Gila, orang-orang
bertopeng yang tak lain Gerombolan Lowo Ireng itu
meluruk turun untuk menyerang.
"Serang...! Habisi dia...!" perintah pemimpinnya.
"Heaaat..!"
"Ciaaat..!"
Lembah Pakuan yang semula sepi, kini riuh oleh
akan Gerombolan Lowo Ireng yang hendak
menyerang Sena. Dengan golok terhunus di tangan,
mereka menyerbu ke arah Sena.
"Cincang tubuhnya!"
"Yeaaah...!"
Melihat lawan menyerang, Sena tak tanggung-
tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan
mereka.
Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke sana kemari.
Pukulannya yang disertai angin topan, membuat
beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa...!"
Sena tak mau berhenti sampai di situ. Dia terus
bergerak menyerang dengan garang. Tingkah-lakunya
seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan
maut yang dahsyat.
Prak!
"Wuaaa!"
Satu lagi korban menjerit. Tubuhnya terpental jauh
dan hancur berkeping-keping terhantam pukulan 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
"Serang terus!" seru pemimpin gerombolan.
"Cincang tubuhnya!"
"Yiaaat..!"
Sena terus bergerak cepat. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, mengelakkan serangan-serangan
lawan dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Setelah itu dilanjutkan dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'. Tangannya bergerak memukul arah
lawan-lawannya.
"Heaaa...!"
Begk, begk...!
"Wuaaa...!"
Tiga orang langsung memekik keras dengan dada
hancur. Tubuh mereka terlempar jauh, kemudian
jatuh dengan keadaan menyedihkan. Meski begitu,
nampaknya para penyerang tidak mau berhenti
sampai di situ. Mereka terus saja melabrak dengan
nekat, bagai tidak mengenal rasa takut sedikit pun.
Wut!
Golok menderu keras di atas kepala Sena yang
menunduk sambil meliukkan tubuh. Kemudian
dengan cepat kakinya menendang ke arah
selangkangan lawan.
Prat!
"Aduuuh...!"
Orang yang terkena tendangan memekik. Matanya
melotot. Kedua tangannya mendekap kemaluannya
yang pecah dan meneteskan darah. Sesaat tubuhnya
mengejang dan berputar-putar meregang nyawa. Lalu
ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, siapa lagi yang ingin telur
puyuhnya kupecahkan?!" seru Sena sambil ber-
jingkrak-jingkrak seperti kera. Tubuhnya mencelat ke
atas kemudian menukik sambil melepaskan pukulan.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menjejak dan
menendang ke arah lawan.
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas,
Gerombolan Lowo Ireng mengarahkan goloknya ke
atas. Hal itu membuat Pendekar Gila mendapat
keuntungan. Dengan begitu, serangan kini terpusat
ke satu titik.
"Pukulan 'Inti Brahma'. Heaaa...!"
Wusss...!
Api keluar dari tangan Pendekar Gila, melesat ke
arah Gerombolan Lowo Ireng. Mereka terkejut dan
berusaha mengelakkan serangan ganas yang
dilancarkan Sena. Namun api yang bergulung-gulung
itu lebih cepat melalap tubuh mereka. Sehingga...
Blup!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Orang-orang yang terkena api seketika menjerit.
Tubuh mereka berguling-guling, berusaha memadam-
kan api. Tapi api yang tercipta dari pukulan 'Inti
Brahma' tampaknya sangat sulit dipadamkan.
Terlebih di lembah itu tak ada air. Tubuh mereka
hangus terbakar, mati menjadi arang hitam.
Pemimpin Gerombolan Lowo Ireng tersentak
menyaksikan beberapa anak buahnya hangus
terbakar. Ciut juga nyalinya menyaksikan kejadian itu.
Tanpa menunggu Pendekar Gila menyerangnya,
pemimpin gerombolan Lowo Ireng itu segera melesat
pergi, diikuti anak buahnya yang masih hidup.
"Hei, tunggu!" seru Sena seraya mengejar. Tapi
mereka bagai menghilang seketika.
Sena tertawa terpingkal-pingkal. Tapi segera tawa-
nya dihentikan, manakala teringat akan pertarungan
lelaki tua berpakaian coklat melawan gadis yang
berpakaian mirip Mei Lie. Ketika Sena menengok ke
arah pertarungan tadi berlangsung, dia hanya melihat
lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan gadis
yang menyerupai Mei Lie telah tiada.
Sena segera berlari mendekati tubuh lelaki yang
berlumuran darah dengan sayatan pedang menganga
di dadanya.
"Ukh!" lelaki tua berpakaian coklat itu mengeluh.
"Oh, siapa kau, Anak Muda?"
"Aku Sena, Ki. Dan siapa kau?" tanya Sena.
"Kau..., kaukah Pendekar Gila itu?" tanyanya putus-
putus.
"Benar, Ki," sahut Sena.
"Aku Galiwang. Di..., dia memang hebat...," keluh Ki
Galiwang.
"Dia siapa, Ki?"
"Dia..., dia Bidadari Pencabut Nyawa. Oh...."
Kepala Ki Galiwang terkulai, pertanda nyawanya
telah melayang meninggalkan raga.
"Mei Lie...," desis Sena lirih. "Mungkinkah Mei Lie?"
Sena masih bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia
belum yakin kalau gadis bercaping daun pandan itu
Mei Lie. Dengan lesu, Sena meninggalkan tempat itu.
Pikirannya semakin kusut memikirkan semuanya.
"Benarkah dia Mei Lie? Lalu, siapa orang-orang
bertopeng hitam tadi?" gumam Sena. "Aku harus
mengetahui siapa orang-orang bertopeng hitam itu,"
Dengan hati yang gundah, Sena melesat me-
ninggalkan tempat itu untuk menyelidiki siapa orang-
orang bertopeng hitam yang menurutnya pasti
berhubungan dengan semua kejadian itu.
***
7
Sore itu hujan lebat mengguyur Desa Kemurang.
Tampak lelaki tua berpakaian compang-camping
dengan tongkat kayu hitam melangkah di jalan
setapak yang digenangi air hujan. Lelaki tua yang
menggenggam tempurung itu ternyata Pengemis
Tempurung Sakti.
Saat itu Pengemis Tempurung Sakti tengah
berjalan di selatan Desa Kamurang untuk menuju
Gunung Bromo di sebelah timur. Tapi bukan ke
gunung itu tujuannya, melainkan ke Hutan Warang
Belang yang menjadi markas Gerombolan Lowo Ireng.
Jarak yang harus ditempuhnya masih agak jauh, kira-
kira sepuluh mil lagi.
Pengemis Tempurung Sakti bagai tak menghirau-
kan hujan deras yang mengguyur tubuhnya. Tidak
dipedulikannya air hujan yang tercurah dari langit. Dia
hanya peduli pada keselamatannya, setelah
kemunculan Bidadari Pencabut Nyawa. Sengaja dia
datang dari jauh untuk mencari perlindungan pada
Gerombolan Lowo Ireng, yang dianggap cukup
mampu melindungi dirinya.
Saat Pengemis Tempurung Sakti berjalan
menembus curahan air hujan, tiba-tiba langkahnya
terhenti. Matanya yang tertutup oleh alis putih lebat,
membelalak ketika melihat seseorang berpakaian
putih berdiri sekitar lima tombak di depannya dalam
curahan air hujan.
Perlahan-lahan matanya mengawasi dari bawah ke
atas, berusaha melihat orang yang menghadang
perjalanannya. Dan betapa terkesiap hatinya keti
mengenali sosok berpakaian putih itu.
"Bidadari Pencabut Nyawa!" desis Pengemis
Tempurung Sakti terkejut.
"Lama kutunggu kemunculanmu, Pengemis Setan!
Kau telah membunuh Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Nyawamu tak akan kuampuni!" dengus Mei Lie
dengan mata memandang tajam penuh kebencian
pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Kau? Aku tak punya urusan denganmu," sanggah
Pengemis Tempurung Sakti, berusaha mengelak dari
tuduhan Mei Lie.
Mei Lie hanya tersenyum sinis. Kakinya melangkah
setapak demi setapak mendekati Pengemis
Tempurung Sakti.
Srrrt!
Tangan Mei Lie menarik Pedang Bidadari dari
sarungnya. Sinar merah kekuning-kuningan seketika
terpancar menyilaukan mata, menerangi tempat itu
"Kau boleh mengelak dari dosamu, Pengemis
Setan! Tapi nanti di akhirat sana!" dengus Mei Lie
dengan gusar. Kakinya terus melangkah maju.
Tubuh lelaki tua itu menyurut mundur dua langkah.
Matanya memandang Mei Lie dengan tajam.
Sementara gadis itu telah siap dengan pedangnya.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" bentak
Mei Lie sambil menggerakkan pedangnya ke
samping. Dengan sinar mata menusuk, Mei Lie terus
melangkah maju. Siap menyerang dengan jurus
pertamanya 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut'.
Melihat lawan telah membuka serangan, Pengemis
Tempurung Sakti tak tinggal diam. Meski mengetahui
siapa lawan yang hendak dihadapi, tapi sebagai tokoh
persilatan yang telah banyak makan asam garam, dia
tak mau menunjukkan rasa takutnya. Tongkatnya
segera digerakkan dengan cepat, membentuk sebuah
putaran. Jurus itu bernama 'Lingkaran Angin Sewu'
"Kau sudah siap, Pengemis Setan?!"
"Hm...," gumam Pengemis Tempurung Sakti.
Tangannya masih menggerakkan tongkat kayu
hitamnya dengan cepat.
"Bersiaplah! Yiaaat...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Menyibak Kabut',
Mei Lie bergerak menyerang. Pedang di tangannya
memburu ke arah lawan dengan tusukan dan
sabetan yang sangat cepat.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan menyerang, Pengemis
Tempurung Sakti segera menggerakkan tongkatnya
untuk menangkis.
"Hait!"
Trak!
Terdengar suara dua senjata beradu. Diikuti oleh
pekikan keduanya saat melakukan serangan.
Suasana perbatasan Desa Kemurang yang riuh
diguyur hujan, semakin bertambah hiruk-pikuk oleh
pertarungan mereka. Tanah becek di tempat mereka
bertarung berhamburan. Rerumputan banyak yang
mati, tergasak kaki mereka. Daun pepohonan
berhamburan, terkena sabetan pedang dan tongkat
keduanya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak dengan cepat
menusuk ke dada lawan. Pengemis Tempurung Sakti
berkelit ke samping dengan kaki sedikit ditekuk.
Kemudian dengan cepat pula, dia balas menyerang
dengan sambaran tongkatnya dalam satu jurus
'Lingkaran Angin Sewu', yang dilajutkan dengan jurus
'Hantaman Badai Selatan'.
"Yeaaat..!"
Tongkat kayu hitam di tangan Pengemis
Tempurung Sakti bergerak mencecar lawan dengan
ganas. Angin pukulannya menderu-deru, menimbul-
kan hembusan yang sangat keras. Ujung tongkat yang
runcing berusaha membelah dada lawan.
Wut!
"Uts! Yeaaa...!"
Dengan gerakan yang lincah serta cepat, Mei xlei
segera mengelakkan serangan yang dilancarkan
lawan. Setelah menghindari serangan, dengan sigap
Mei Lei kembali menggebrak dengan serangan yang
tidak kalah hebat. Pedang di tangannya membentuk
sebuah garis mendatar. Lalu pedangnya bergerak
menyilang bergantian dari kanan bawah ke kiri, atau
sebaliknya.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah
Awan' Mei Lie kembali bergerak menyerang.
Pedangnya membelah ke arah yang berlawanan
dengan cepat, diikuti oleh laju tubuhnya yang mem-
buru tak kalah cepatnya ke arah lawan.
"Yiaaat..!"
Pengemis Tempurung Sakti menggeser kaki kiri
agak membuka. Kaki kanannya sedikit ditekuk.
Sedangkan tubuhnya agak dimiringkan, mengelitkan
serangan lawan ke belakang. Lalu dengan cepat,
tongkatnya digerakkan untuk menangkis.
Trak!
Prak!
"Ukh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Mulutnya meringis. Sedangkan tangannya gemetar
kesemutan setelah beradu senjata dengan Mei Lei.
Seperrinya gadis Cina itu memiliki kekuatan tenaga
dalam yang sangat hebat.
Tidak kusangka ilmunya sangat tinggi. Puji
Pengemis Tempurung Sakti dalam hati, mengakui
kehebatan tenaga dalam lawan. Tidak disangkanya
kalau ilmu tenaga dalam lawan ternyata berada dua
tingkat di atasnya.
Mei Lie tersenyum sinis menyaksikan kekagetan
lawan dari wajahnya yang pucat. Matanya kian tajam
memandang Pengemis Tempurung Sakti.
Hujan masih mengguyur, seakan sengaja dicurah-
kan dari langit untuk menyemaraki pertempuran itu.
Angin bertiup laksana membadai, semakin membuat
rasa dingin yang menyekat.
"Bersiaplah untuk mati, Pengemis Setan!" dengus
Mei Lie dengan nada gusar. Tangannya kembali
menggerakkan pedang dengan cepat, menyilang dan
menusuk. Langkah kakinya pelan beraturan dengan
gerakan yang aneh. Itulah jurus pamungkas 'Tebasan
Pedang Batin'.
"Baiklah, aku akan mengadu jiwa denganmu!
Hiaaat..!" teriak Pengemis Tempurung Sakti seraya
melesat melakukan serangan. Tempurung saktinya
dilemparkan ke arah Mei Lie. Sedangkan tubuhnya
melesat menyerang dengan sambaran tongkat kayu
hitamnya.
Swing!
"Hiaaa...!"
Mei Lie segera mengangkat Pedang Bidadari,
memapaki serangan tempurung sakti lawan.
Brak!
Ledakan dahsyat terdengar, diiringi oleh hancurnya
tempurung lawan. Tempurung itu berhamburan
menjadi serpihan debu. Pohon yang dekat dengan
tempat mereka bertarung, turut terbakar hangus.
Tanah yang dipijak oleh Pengemis Tempurung Sakti
bergetar bagai terkena gempa. Hal itu membuat
Pengemis Tempurung Sakti tersentak dengan mata
membelalak. Segera serangannya ditarik, lalu
mencelat ke belakang dengan wajah menggambarkan
rasa kaget
"Kurang ajar! Kau telah menghancurkan
tempurungku! Kau harus mampus! Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Sapuan Kilat Maut' Pengemis
Tempurung Sakti kembali meluruk. Tongkat kayu
hitam di tangannya menderu-deru bagai topan serta
mengeluarkan sinar membara laksana kilat.
Mei Lie segera mengerahkan tenaga dalamnya,
kemudian dengan mata terpejam tubuhnya bergerak
memapaki serangan lawan. Tangannya menebas ke
lengan lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaah...!"
Wut!
Trak!
Cras!
"Wuaaa...!"
Pengemis Tempurung Sakti memekik keras.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan
mata membelalak. Matanya memandang kedua
tangannya yang tadi dirasakan terkena penggalan
pedang lawan. Namun kedua tangannya masih
tampak utuh, seperti tidak mengalami apa-apa.
Itulah kehebatan jurus 'Tebasan Pedang Batin'
Lawan tidak merasakan apa-apa, bahkan tidak
mengalami apa pun. Semua anggota tubuh kelihatan
masih utuh, tak ada tanda-tanda bekas tebasan
pedang. Setelah beberapa saat kemudian, kejadian
yang aneh pun terjadi. Tubuh yang terkena babatan
pedang seakan berubah menjadi debu dan
beterbangan ditiup angin.
Baru saja Pengemis Tempurung Sakti terheran-
heran menyaksikan tangannya bagai tak terluka, tiba-
tiba kejadian yang menggiriskan dialaminya. Ketika
angin berhembus menerpanya, kedua tangannya
hancur menjadi debu. Tak ada darah yang keluar.
Begitu juga dengan tongkat kayu hitamnya. Tongkat
itu terbakar menjadi debu.
"Wuaaa...! Tobaaat...!" pekik Pengemis Tempurung
Sakti ketakutan setelah menyaksikan kedua
tangannya telah menghilang tanpa bekas.
"Hi hi hi...! Kau harus mampus, Pengemis Setan!
Bersiaplah! Hiaaa...!"
Mei Lie yang sudah demikian benci pada orang-
orang yang dianggapnya telah membunuh Nyi Bangil
dan Lira Kanti, kembali melabrak lawan dengan
tebasan menyilang.
"Tidak! Jangan...!" ratap Pengemis Tempurung
Sakti ketakutan.
Namun Mei Lie rupanya tidak menghiraukan
jeritan itu. Dia terus bergerak menyerang dengan
tebasan-tebasan menyilang ke tubuh lawan.
Bret, bret!
Cras!
"Aaa...!" jerit kematian yang melengking terdengar.
Tubuh Pengemis Tempurung Sakti tergetar dahsyat.
Matanya melotot. Kemudian diam mematung tanpa
nyawa. Tubuhnya berhamburan ketika angin
menerpanya.
"Nyi Bangil, Lira Kanti! Kini semuanya telah
terbalaskan! Tenanglah kalian di alam sana," desis
Mei Lie.
Mei Lie hendak berlalu meninggalkan tempat itu,
ketika terdengar suara orang berseru mencegahnya.
"Tunggu...!"
Mei Lie menghentikan langkahnya, lalu
memandang ke arah suara itu. Nampak olehnya para
pendekar telah berada di tempat itu. Hal itu membuat
Mei Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa
para pendekar berdatangan dan mengepungnya.
"Mei Lie, kau kami tangkap!" seru Arya Parasu.
"Ditangkap? Apa salahku...?" tanya Mei Lie.
"Nanti kami jelaskan! Yang pasti kau harus ikut
kami!" jawab Arya Parasu.
Mei Lie terdiam sesaat, namun akhirnya menurut.
Setelah memasukkan Pedang Bidadari ke sarungnya,
dengan tenang Mei Lie menghampiri para pendekar.
Dan dia pun menurut ketika para pendekar
mengajaknya ke Perguruan Semeru.
***
Mei Lie tersentak setelah mendengar penjelasan
tentang alasan dirinya ditangkap dari Arya Parasu.
Mata Mei Lie yang indah dan bening itu membelalak
menatap dengan tajam pada para pendekar yang
diam membisu. Sepertinya mereka pun merasakan
getaran yang aneh, atau takut menyaksikan Bidadari
Pencabut Nyawa mendengus.
"Fitnah! Jelas ini fitnah. Tentunya ada seseorang
yang bermaksud memecah belah para pendekar,"
dengus Mei Lie dengan lantang.
"Sabar, Mei Lie. Kami pun ragu kalau kau yang
telah membunuh murid Perguruan Semeru dan Ki
Galiwang. Sena telah menyelidiki semuanya. Agar
para pendekar dapat membuktikannya, sementara
waktu kau biar di sini. Kalau semuanya sudah jelas,
kmia akan melepaskanmu," urai Arya Parasu, salah
seorang dari Tiga Malaikat Suci.
"Hm...," gumam Mei Lie tak jelas. "Apakah kalian
tidak memberi aku kesempatan untuk membuktikan
kebenaran. Aku bersumpah, akan menangkap hidup
atau mati orang yang telah memfitnahku."
Semua terdiam, sepertinya tengah berpikir apakah
hendak meluluskan permintaan Mei Lie. Kini
Pandangan para pendekar yang berada di Perguruan
Semeru tertuju ke arah Tiga Malaikat Suci. Secara tak
langsung mereka meminta pendapat tiga lelaki tua
yang dianggap sebagai sesepuh para pendekar di
wilayah timur.
"Kau bersungguh-sungguh, Mei Lie?" tanya Arya
Parasu.
"Ya!"
"Sulit. Apakah kau bisa membuktikan bahwa kau
tidak membunuh para pendekar?" tanya Arya Parasu.
Mei Lie menghela napas panjang. Memang sulit
untuk membuktikan semuanya. Namun seketika dia
teringat akan keampuhan Pedang Bidadari jika
mengenai tubuh lawan.
"Apakah korban hancur menjadi debu?" tanya Mei
Lie.
"Hancur menjadi debu?!" pekik semua pendekar
kaget dengan mata membelalak.
"Apa maksudmu, Mei Lie?" tanya Arya Parasu
dengan kening berkerut, tak mengerti dengan
pertanyaan yang baru saja diajukan Mei Lie, si
Bidadari Pencabut Nyawa.
"Siapa pun yang terkena Pedang Bidadari dengan
menggunakan jurus 'Tebasan Pedang Batin' orang itu
akan menjadi debu. Apakah kalian tadi tidak melihat
kematian Pengemis Tempurung Sakti?"
Semua terdiam dengan mata tak berkedip. Mereka
seperti baru menyadari kekeliruan dan kecerobohan-
nya. Hati mereka membenarkan kata-kata Mei Lie.
Ya, semua korban Mei Lie memang tak ada
bekasnya. Semua menjadi debu!
"Bisa kau membuktikannya, Mei Lie?" tanya Ki
Malawa kemudian.
"Hm.... Dengan apa?" tanya Mei Lie.
"Sebentar!"
Kemudian Ki Malawa berlalu dari ruangan itu.
Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan
membawa seorang murid Perguruan Semeru.
"Dengan ini," kata Ki Malawa, membuat semua
mata para pendekar membelalak kaget. Mereka tak
mengira kalau Ki Malawa akan mengorbankan nyawa
manusia untuk membuktikan kebenaran ucapan Mei
Lie.
"Malawa, apa-apaan kau?!" bentak Arya Parasu.
"Dia manusia!"
"Benar! Dan kalau dia bukan orang jahat, pantang
bagiku membunuhnya," sambung Mei Lie.
Ki Malawa tersenyum tenang. Bahkan memandang
dengan sinis pada muridnya yang semakin tegang
ketakutan.
"Dia pengkhianat di Perguruan Semeru. Untuk
itulah, apa tidak sebaiknya Bidadari Pencabut Nyawa
yang menghukumnya. Sekaligus membuktikan
kebenaran semuanya. Bagaimana...?" tanya Ki
Malawa masih bersikap tenang.
Semua pendekar masih terdiam. Belum ada yang
mengerti dengan maksud Ketua Perguruan Semeru
itu, termasuk Tiga Malaikat Suci. Semua menunggu
dengan hati berdebar. Sesekali mata mereka
memandang tegang ke arah calon korban. Kemudian
beralih memandang Mei Lie yang juga merasa tegang.
"Lakukanlah, Mei Lie," perintah Arya Parasu
akhirnya.
"Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan." Mei Lie
segera mengeluarkan Pedang Bidadari dari sarung-
nya. Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya
digerakkan menyilang, lalu dihunus tegak lurus.
Dengan gerakan halus, Mei Lie membabatkan
pedangnya ke tangan korban.
Cras!
"Aaa...!"
Lelaki muda yang mendapat hukuman itu
memekik. Tapi seketika matanya membelalak,
menyaksikan kedua tangannya masih utuh.
Bukan hanya lelaki muda yang mendapat
hukuman yang kaget menyaksikan kejadian aneh itu,
tapi semua pendekar di tempat itu turut mem-
belalakkan mata.
"Hah?! Apakah kau tidak melakukannya, Mei Lie?"
tanya Arya Parasu.
"Sudah," jawab Mei Lie tenang.
"Tapi..."
Belum habis ucapan Arya Parasu, tiba-tiba Mei Lie
meniup ke arah tangan lelaki muda itu. Kejadian
aneh kembali terjadi. Tangan korban seketika
beterbangan menjadi debu.
Semakin membelalak mata semua pendekar
menyaksikan bagaimana hebatnya ilmu pedang
Bidadari Pencabut Nyawa itu. Kini semuanya
berdecak kagum. Hati mereka berkata lirih. Kalau
saja Mei Lie mau, tentunya dia akan mampu
membantai semua yang ada di tempat ini.
"Ck ck ck...! Sungguh bukan ilmu pedang
sembarangan," Gumam Arya Parasu. "Kalau kau mau,
kami tak mungkin dapat menandingimu, Mei Lie. Kini
kami yakin, bahwa kau tidak bersalah. Tapi kau harus
dapat menangkap hidup atau mati orang yang telah
memfitnahmu."
"Terima kasih, aku akan berusaha menangkap-
nya."
"Ya. Semua demi nama baikmu, Mei Lie. Juga
ketenangan dunia persilatan," kata Arya Parasu.
"Apakah aku diperkenankan mencarinya
sekarang?" tanya Mei Lie.
"Apakah kau tak ingin menunggu Sena?" balik Arya
Parasu bertanya.
Mei Lie terdiam. Dia memang ingin bertemu
pemuda itu. Namun bagaimanapun juga, tugas jauh
lebih utama dibanding kepentingannya. Dihelanya
napas panjang-panjang.
"Biarlah aku harus menunaikan tugasku dulu.
Sampaikan salamku pada Sena jika dia datang," ucap
Mei Lie.
Kemudian setelah menjura hormat, Mei Lie pun
meninggalkan Perguruan Semeru diikuti pandangan
penuh kekaguman dari para pendekar yang kini
percaya kalau Mei Lie bukan pembunuh murid
Perguruan Semeru dan Ki Galiwang.
"Kuharap dia segera berhasil," gumam Ai Parasu.
"Ya! Semoga dia cepat berhasil, sehingga semua-
nya akan terungkap. Begitu juga dengan Pendekar
Gila, semoga dia segera membuka tabir semuanya, "
tambah Ki Malawa.
Langit sore kini nampak cerah, terhias oleh pelangi
yang indah di sebelah timur. Para pendekar berharap, semua akan berakhir.
Mei Lie terus melangkah, menapakkan kakinya
untuk mencari orang yang telah mencemarkan nama
baiknya.
***
8
Malam telah menyelimuti bumi dengan kegelapannya
yang terasa mencekam. Angin malam yang dingin
berhembus perlahan, meniup debu dan menggesek
dedaunan.
Desa Jatiwangi tempat Padepokan Sawo Jajar yang
dipimpin oleh Ki Swarna Bayu berada, tampak sepi.
Tak terlihat seorang pun yang keluyuran. Semua
seperti terbuai oleh desau angin malam, meringkuk di
atas pembaringan masing-masing.
Dari arah barat di mana Hutan Wadas Gering
berada, saat itu muncul sesosok bayangan putih
berkelebat memasuki perbatasan Desa Jatiwangi.
Diikuti oleh kemunculan beberapa sosok tubuh yang
terbungkus pakaian hitam. Wajah mereka tertutup
oleh kain hitam. Hanya mata mereka saja yang
terlihat.
Sosok berbaju putih memakai caping daun pandan
itu melesat menuju Padepokan Sawo Jajar.
Kemudian dengan berdiri di depan padepokan, sosok
berbaju putih itu berseru lantang.
"Swarna Bayu, keluarlah!"
Murid-murid Padepokan Sawo Jajar tersentak
mendengar seruan itu. Bergegas mereka bangun. Dan
langsung terkejut, ketika beberapa bayangan hitam
tiba-tiba berkelebat menyerang.
"Padepokan diserang musuh...!" teriak salah
seorang murid padepokan, yang membuat semua
orang Padepokan Sawo Jajar terjaga dari tidurnya.
Begitu juga dengan Ki Swarna Bayu. Lelaki tua itu
berusia sekitar enam puluh tahun, dengan wajah
menggambarkan ketenangan.
"Kurang ajar! Siapa yang telah lancang membuat
keonaran!" bentak Ki Swarna Bayu marah. Matanya
menyapu ke sekelilingnya, di mana orang-orang
bertopeng hitam telah mengepung padepokannya.
"Aku!"
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih.
Dilihat dari tubuhnya yang ramping, jelas bayangan
putih itu seorang wanita muda. Sayang wajahnya yang
tertutup caping daun pandan tidak begitu jelas,
membuat Ki Swarna Bayu tak dapat mengenali
wajahnya.
"Siapa kau?!" bentak Ki Swarna Bayu.
"Aku Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa," jawab
gadis itu, membuat mata Ki Swarna Bayu mem-
belalak.
"Bedebah! Aku tak percaya! Bidadari Pencabut
Nyawa bukan orang dari golongan hitam. Dia tidak
pernah membuat keonaran sepertimu!" dengus Ki
Swarna Bayu gusar.
"Ha ha ha...! Terserah kau saja, Ki. Yang pasti aku
datang untuk mencabut nyawamu! Bersiaplah
Yeaaa...!"
Melihat lawan telah menyerang, Ki Swarna Bayu
tak mau tinggal diam. Dia pun segera melompat
untuk menghadapi serangan lawan. Kedua kakinya
digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak
membentuk sebuah kebutan dan cakaran yang keras.
"Yeaaa!"
Tangan Ki Swarna Bayu mencengkeram ke arah
lawan. Namun dengan cepat wanita bercaping daun
pandan yang mengaku Mei Lie mengelakkannya.
Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balik
menyerang dengan tendangan.
Ki Swarna Bayu menarik cengkeramannya. Dengan
berputar, dia membalas serangan lawan. Kakin
bergerak menendang, diteruskan dengan pukulan
tangan kanan ke dada lawan.
Suasana Padepokan Sawo Jajar yang semula
tenang dan sepi, kini menjadi riuh. Pertarungan
antara para penyerang yang memakai topeng hitam
melawan murid-murid Ki Swarna Bayu berjalan
dengan seru. Jeritan kematian memecah kesunyian
malam, diiringi cipratan darah.
Ki Swarna Bayu terus menggebrak dengan
serangan-serangan keras yang merupakan serangan
inti. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Badai Samudera-Utara'
dan 'Gelombang Laut Utara' dikeluarkannya susul-
menyusul.
Melihat serangan lawan yang telah menggunakan
jurus-jurus inti, lawannya yang tak lain Sarah Dita
tidak mau tinggal diam. Segera pedangnya dicabut
dari sarungnya.
Srrrt!
"Heaaat..!"
Dengan pedang di tangan, Sarah Dita balas
menyerang. Pedangnya bergerak membabat dan
menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti oleh
pukulan dan tendangannya yang juga berbahaya.
Dengan jurus 'Lingkaran Maut' andalannya, Sarah
Dita berusaha mendesak lawan. Pedangnya menderu-
deru, menebas dan menusuk ke tubuh lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Swarna Bayu terkesiap. Matanya membelalak
menyaksikan serangan lawan yang sangat cepat.
Sepertinya lawan tidak ingin memberi kesempatan
sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan lawan tidak ubahnya malaikat maut
yang terus mencari mangsa.
"Celaka!" pekik Ki Swarna Bayu dengan mata
semakin membesar tegang, mendapati serangan
lawan yang susul-menyusul tiada putusnya.
Ki Swarna Bayu berusaha mengelakkan serangan
lawan yang gencar. Namun pedang di tangan lawan
bagai memiliki mata saja.
Wut, wut..!
Pedang di tangan Sarah Dita terus mencecar
Ketua Padepokan Sawo Jajar itu dengan tebasan-
tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat Ki
Swarna Bayu semakin terdesak. Dan....
Cras!
"Aaakh...!"
Ki Swarna Bayu memekik keras, ketika dadanya
tersayat pedang lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat..!"
Sarah Dita tak puas sampai di situ, meski lawan
dalam keadaan sekarat. Pedang di tangannya
memburu ke arah Ki Swarna Bayu, siap merenggut
nyawa orang tua itu. Namun pada saat yang kritis itu,
tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat me-
nangkis kelebatan pedang Sarah Dita.
Trang!
"Ukh!" Sarah Dita mengeluh. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata membelalak,
memandang sosok wanita berpakaian putih bergaya
gadis Cina. Pedang di tangan gadis Cina itu bersinar
merah kekuning-kuningan.
"Rupanya kau yang telah membuat fitnah keji atas
diriku?!" dengus Mei Lie setelah menemukan orang
yang selama ini telah membuat namanya tercemar.
"Ya!" sahut Sarah Dita sinis, dengan sikap
menantang.
"Bedebah! Rupanya kau sengaja melakukannya!
Katakan, siapa yang mendalangimu?!" bentak Mei
Lei.
"Itu urusanku!" sahut Sarah Dita, tak kalah sengit.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit!
Bersiaplah!"
"Hm...!"
Dua gadis cantik jago pedang itu kini saling
berhadap-hadapan. Satu memegang pedang bersinar
merah kekuning-kuningan. Yang lain memegang
pedang bersinar putih keperakan. Mata mereka yang
indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan saling bertarung untuk
menentukan siapa di antara mereka yang paling
hebat. Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang
satunya Pedang Titisan Iblis.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus
'Tarian Bidadari Membelah Langit'. Pedang di
tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas.
Seakan pedang itu berusaha membelah langit.
Sementara itu, Sarah Dita tidak mau tinggal diam.
Segera digunakannya jurus pembuka yang tidak kalah
hebat. Jurus 'Sapuan Kabut Maut' dilancarkannya.
Pedangnya bergulung cepat membuat sinar putih
laksana kabut yang menutupi tubuhnya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Trang!
Denting dua pedang beradu terdengar. Tubuh
keduanya melompat ke belakang, kemudian dengan
sigap kembali menyerang. Pedang di tangan mereka
bagai memiliki mata, bergerak ke sana kemari,
memburu tubuh lawan.
Pertarungan seru dua gadis yang memiliki ilmu
pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung, membuat
semua murid Padepokan Sawo Jajar dan anak buah
Sarah Dita seketika menghentikan pertarungan.
Mereka kini terpaku, menyaksikan pertarungan hebat
antara dua gadis cantik bersenjata pedang.
Mei Lie kembali membuka jurus. Kali ini dengan
jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung'.
Pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat
tinggi-tinggi, lalu diteruskan dengan sabetan ke arah
bawah.
Sekeliling tempat itu seketika menjadi terang oleh
sinar merah kekuning-kuningan yang keluar dari
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
"Yeaaa!"
"Hiaaat..!"
Keduanya kembali berkelebat, bergerak
menyerang dengan babatan dan tusukan pedang.
Gerakan mereka sangat cepat, rasanya sulit untuk
diikuti mata. Kini yang tampak hanya sinar merah
kekuning-kuningan yang berbaur dengan sinar putih
keperakan.
Trang, trang!
Wut!
"Hiaaat..!"
Beberapa kali pedang di tangan mereka saling
beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke
belakang. Mata keduanya saling pandang dengan
tajam. Kemudian didahului pekikan menggelegar,
keduanya kembali menyerang dengan sabetan
pedang.
"Yeaaah...!"
"Hiaaat...!"
Mei Lie kali ini telah mengeluarkan jurus
pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus
sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena
babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Tapi jika tertiup
oleh angin, maka tubuhnya akan lebur menjadi debu
yang beterbangan.
Sarah Dita tersentak menyaksikan jurus yang aneh
dan terkenal itu. Agak tegang juga dia menyaksikan
jurus yang tengah diperagakan Mei Lie. Nyalinya
seketika menciut, jika ingat akan korban jurus yang
tengah diperagakan Mei Lie.
"Tunggu!" seru Sarah Dita.
"Hm.... Ada apa? Apakah kau akan menyerahkan
diri dan mau bertanggung jawab atas semuanya?"
tanya Mei Lie.
"Ya. Hentikan jurus itu. Aku terima kalah."
"Baik. Ikut aku!"
Dengan gerak cepat, Mei Lie berkelebat menotok
jalan darah Sarah Dita. Gadis itu seketika kaku bagai
patung.
"Kalian orang-orang Gerombolan Lowo Ireng.
Hentikan! Kalau tidak, aku tak akan segan-segan
menghabisi nyawa kalian!" seru Mei Lie.
Semua anggota Gerombolan Lowo Ireng
menghentikan pertarungan.
"Bubar kalian! Katakan pada pimpinan kalian, aku
akan ke sana!" seru Mei Lie lantang. Semua anggota
Gerombolan Lowo Ireng tak ada yang membantah,
mereka lari terbirit-birit. Mei Lie pun segera melesat
pergi, membawa tubuh Sarah Dita.
***
Sementara itu, di markas Gerombolan Lowo Ireng,
tampak seorang pemuda tampan berpakaian rompi
kulit ular tengah mengamuk. Pemuda tampan yang
tidak lain Pendekar Gila, kini benar-benar marah,
setelah tahu dalang semua kerusuhan di rimba
persilatan.
"Hi hi hi...! Ayo, biar kalian kujadikan perkedel! Ha
ha ha...!"
Dengan tingkah laku seperti orang gila, Pendekar
Gila terus bergerak menyerang ke sana kemari. Suling
Naga Sakti di tangannya, tak henti-hentinya meminta
korban. Setiap kali sulingnya bergerak, jeritan
kematian menyapu malam yang sepi.
Sejauh itu, pertarungan tampak belum akan
berakhir. Para pemimpin Gerombolan Lowo Ireng pun
belum menampakkan batang hidungnya. Hal itu
membuat Pendekar Gila semakin mengamuk ganas.
Dengan berteriak-teriak seperti orang kebakaran
jenggot, Sena berusaha memanggil orang-orang itu.
"Pimpinan Gerombolan Lowo Ireng, keluarlah
kalian!" serunya menantang sambil terus melabrak
Gerombolan Lowo Ireng.
Sementara itu, di dalam bangunan besar markas
Gerombolan Lowo Ireng, Selendra dan Daeng Ampra
tengah membicarakan jalan yang harus mereka
tempuh. Baru Pendekar Gila saja yang datang,
mereka telah dibikin repot. Apalagi jika yang lainnya
muncul.
"Celaka! Dia memang bukan pendekar
sembarangan. Baru dia yang datang, kita telah
kerepotan begini," gerutu Daeng Ampra. "Tak ada
waktu bagi kita untuk meladeninya. Apalagi jika Mei
Lie datang. Celakalah kita."
"Tapi, Guru...," selak Selendra.
"Ada apa, Selendra?"
"Bagaimana kalau aku menghadapinya?"
"Apa?! Jangankan kau, aku pun belum tentu
mampu menghadapinya. Percuma saja! Kita harus
menyingkir dari sini."
"Tidak! Aku akan menghadapinya!" kata Selendra
seraya berkelebat keluar.
"Selendra, tunggu!" cegah Daeng Ampra. Namun
tubuh Selendra telah melesat meninggalkan tempat
itu. "Anak total! Rupanya dia mencari mampus!"
Daeng Ampra segera melesat keluar lewat pintu
belakang, meninggalkan tempat itu. Dia melihat
keadaan yang tidak memungkinkan untuk diladeni.
Pertarungan semakin seru dengan kemunculan.
Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Selendra yang
bernafsu hendak mengalahkan Pendekar Gila
langsung menyerauak ke dalam kancah pertempuran.
Dan menyerang Pendekar Gila dengan jurus
'Bayangan Kelelawar Hitam dari Neraka'.
Tubuh Selendra laksana menghilang, yang terlihat
hanya bayangannya saja. Hal itu membuat Pendekar
Gila tersentak kaget, dia berusaha memusatkan
kekuatan batinnya. Namun anak buah Selendra
tengah menggempurnya. Mau tak mau, perhatiannya
terpecah lagi. Dengan mendengus marah serta
bertingkah laku seperti orang gila, Pendekar Gila
mengamuk. Suling Naga Sakti digerakkan ke segenap
penjuru memukul ke kepala lawan.
"Hiaaat..!"
Jerit kematian terdengar susul-menyusul dari
mulut anak buah Selendra. Pada saat itu, Selendra
menendang pundak Pendekar Gila dengan telak.
Duk!
"Ukh!" Sena mengeluh. Tubuhnya berguling bawah.
Salendra kembali berkelebat, menyerang ke arah
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila
kembali berguling ke samping, lalu dengan cepat
sulingnya dibabatkan.
"Heaaa...! Hih!"
Trak!
"Ukh!" Selendra mengeluh. Kakinya terpincang-
pincang terkena sabetan Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila yang telah kalap segera bangkit.
Lalu dengan cepat pukulan sakti 'Si Gila Melebur
Gunung Karang' dihantamkan ke arah anak buah
Selendra.
"Heaaa...!"
Wusss!
"Wuaaa...!"
"Aaakh...!"
Anak buah Selendra yang hendak menyerang
Pendekar Gila berhamburan. Tubuh mereka terpental
dengan keadaan mengerikan. Angin puting beliung
yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila
menyapu mereka sampai jauh.
"Hi hi hi...! Tunjukkan wujudmu, Setan!" bentak
Sena pada Selendra sambil berjingkrakan seperti
monyet "Ha ha ha! Ayo, tunjukkan wujudmu!"
"Jangan sombong, Pendekar Gila! Mari kita
bertarung sampai mati!" dengus Selendra, dibarengi
dengan kemunculannya yang langsung menyerang.
"Uts! Licik! Heaaa...!"
Pendekar Gila segera bergerak meliukkan tubuh,
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Kemudian dengan cepat,
Suling Naga Sakti dihantamkan ke arah lawan.
Wut!
Selendra tersentak, mendapatkan serangan lawan
yang mengeluarkan hawa panas laksana api. Suling
Naga Sakti menderu tajam di depan wajahnya. Cepat-
cepat Selendra membuang tubuh ke belakang, lalu
dengan cepat melepas pukulan dengan jurus
'Kepakan Sayap Kelelawar'
Wrrrt!
"Weh!" pekik Pendekar Gila kaget, ketika tangan
lawan menepis pundaknya. Seketika, pundaknya
terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
"Wrrr...!"
Dengan menggeram marah, Pendekar Gila segera
menghantamkan sulingnya ke arah lawan. Disusul
oleh serangan-serangan gencar dengan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'.
Gabungan serangan yang begitu cepat dan aneh,
cukup menyentakkan lawan. Selendra berusaha
mengelakkan serangan-serangan gencar yang
dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya
Pendekar Gila tak mau memberi kesempatan yang
ketiga kali bagi lawan untuk menyerang. Dengan
gempuran gencar susul-menyusul, Pendekar Gila
terus mengincar lawan. Sampai lawan tak punya
kesempatan untuk balas menyerang.
"Heaaa...!"
"Serang dia!" seru Selendra memerintahkan anak
buahnya untuk menyerang.
Namun belum juga Gerombolan Lowo Ireng
membantu, dari kejauhan terdengar suara para
pendekar berdatangan. Hal itu membuat Selendra
semakin kebingungan. Dia berusaha lari, tapi Sena
dengar cepat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Iblis?!"
"Bedebah! Kau harus mampus, Pendekar Gila
Yeaaa...!"
Dengan nekat Selendra merangsek, berusaha
menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena terlalu
bernafsu, hanya dengan memiringkan tubuh ke
samping Pendekar Gila berhasil mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat, Suling
Naga Sakti dihantamkan ke batok kepala lawan.
Wut!
Prak!
"Aaakh...!"
Selendra menjerit keras, kepalanya hancur terkena
hantaman Suling Naga Sakti. Tubuhnya terjajar ke
belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk
dengan nyawa melayang.
Melihat para pendekar berdatangan, Pendekar Gila
segera menghampiri. Betapa gembira hatinya ketika
melihat Mei Lie bersama mereka.
"Mei Lie...!"
"Sena!"
Mei Lie segera lari ke arah Pendekar Gila dan
memeluk erat tubuh pemuda itu. Mei Lie berlinang air
mata. Gadis itu menangis, merasakan keharuan dan
kesyahduan setelah keduanya begitu lama berpisah.
"Maafkan aku, Sena. Aku tak dapat menahan mosi
waktu itu," desis Mei Lie lirih.
"Sudahlah, kita bantu para pendekar. Nanti kita
bisa bercerita lagi, bukan?" bujuk Sena berusaha
menghibur.
Mei Lie tersenyum lepas bersama tetes lembut di
kedua pipinya.
Para pendekar yang rata-rata berilmu tinggi, tidak
menghadapi kesulitan dalam menumpas sisa-sisa
Gerombolan Lowo Ireng yang masih mencoba
mengadakan perlawanan. Dalam sekejap saja, sisa-
sisa Gerombolan Lowo Ireng dapat ditaklukkan.
"Di mana guru Gerombolan Lowo Ireng?" tanya
Arya Parasu.
"Jadi ada yang masih sisa?" tanya Sena sambil
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala,
baru merasa sadar kalau dedengkot Gerombolan
Lowo Ireng ternyata masih hidup.
"Ya! Justru dia orang utama di Gerombolan Lowo
Ireng. Dia bernama Daeng Ampra, lelaki tua berjubah
hitam dengan rambut panjang berwarna putih," tukas
Arya Parasu, orang tertua dari Tiga Malaikat Suci.
"Perkenalkan, ini dari Sulawesi. Dia datang dari jauh
kemari untuk menangkap Daeng Ampra."
Lelaki berpakaian kuning keemasan melangkah ke
arah Pendekar Gila. Lelaki itu belum begitu tua, hanya
berkisar tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.
Wajahnya nampak tenang, dengan kumis tipis
menghiasi atas bibirnya. Kepalanya ditutup oleh adat
orang Sulawesi, berbentuk persegi tiga den runcing ke
ujung berwarna kuning emas. Di pinggangnya melilit
kain coklat semu kuning keemasan.
"Aku Daeng Lonto, menghaturkan sembah," ujar
lelaki tua itu seraya menjura pada Pendekar Gila.
"Aha, mengapa begitu? Tak usahlah begitu. Panggil
saja namaku, Sena," kata Pendekar Gila sam
membalas menjura. "Kalau boleh kutahu, apa yang
telah terjadi di Sulawesi?"
Daeng Lonto menceritakan semua kejadian yang
terjadi lima belas tahun yang silam di Pulau Sulawesi.
Di sana dulu ayahnya menjadi ketua adat. Daeng
Ampra dan Dewi Sandang yang merupakan saudara
sepupu menjadi orang-orang yang namanya kondang di daerah itu.
Ayah Daeng Lonto yang bernama Daeng Marhabu
menjadi pemimpin adat yang dikhianati kedua
saudara sepupunya. Daeng Marhabu dibunuh oleh
Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Hal itu membuat
semua pendekar marah. Dipimpin oleh Daeng Ponte,
para pendekar berusaha menangkap Daeng Ampra
dan Dewi Sandang. Namun mereka licik. Keduanya
dapat meloloskan diri dan lari ke tanah Jawa Dwipa.
"Begitulah ceritanya, Sena. Aku diutus dan
dipercaya oleh para pendekar di tanah Sulawesi
untuk menangkap keduanya hidup atau mati," jabar
Daeng Lonto dengan mimik wajah penuh kegeraman.
"Kurang ajar! Coba aku periksa ke dalam," ujar
Sena segera mencelat masuk ke dalam untuk
memeriksa bangunan bekas markas Gerombolan
Lowo Ireng. Namun di sana tidak ditemukannya siapa-
siapa lagi.
Sena keluar kembali dengan mulut nyengir serta
tangan kanan menggaruk-garuk kepala, membuat
Mei Lie merengut. Antara senang dan sebal beraduk
menjadi satu di hatinya. Sedang Sarah Dita tersipu-
sipu. Hati gadis cantik itu merasakan getaran aneh
jika memandang wajah Pendekar Gila.
Oh! Beruntung sekali kau, Mei Lie. Gumam Sarah
Dita dalam hati. Matanya tak lepas memandang Sena
yang tampan dan membuat hatinya berdebar-debar.
"Bagaimana, Sena? Apa ada?"
"Mungkin dia melarikan diri, Daeng," jawab Sena.
"Hm, kalau begitu kita harus mengejarnya," kata
Daeng Lonto. "Kalau keduanya tidak segera
ditangkap, bisa-bisa dunia persilatan akan selalu
resah."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya,"
ucap Sena tegas. Kemudian ditatapnya Sarah Dita
yang saat itu tengah tersipu-sipu malu. "Nona,
tentunya kau tahu di mana mereka berada?"
Mei Lie yang menyaksikan tingkah laku Sarah Dita,
seketika merengut. Hatinya dibakar cemburu, melihat
kelakuan gadis itu di hadapan lelaki pujaannya.
"Baiklah, aku akan memberitahukan kalian. Tentu
Daeng Ampra mendatangi guruku Dewi Sandang...,"
tutur Sarah Dita.
"Di mana gurumu tinggal?" tanya Arya Parasu.
"Di Goa Sandang, di kaki Gunung Arjuna," jawal
Sarah Dita menerangkan tempat gurunya berada.
"Terima kasih, Nona. Kalau begitu, apa tidak
sebaiknya kita ke sana?" ajak Daeng Lonto pada
Pendekar Gila.
"Ayolah, jangan buang-buang waktu lagi," sambut
Pendekar Gila.
"Mari, kami permisi dulu," pamit Daeng Lonto.
"Sena, aku ikut," pinta Mei Lie, membuat Pendekar
Gila hanya mampu menggaruk-garuk kepa1a, dengan
mulut nyengir. Hal itu membuat Mei Lie lagi-lagi
merengut. Sena tak dapat berbuat apa-apa lagi
"Ayolah," jawab Sena.
Ketiganya pun segera meninggalkan markas
gerombolan Lowo Ireng, sekaligus meninggalkan para
pendekar yang masih berada di tempat itu, untuk
menentukan hukuman bagi Sarah Dita. Walaupun
Sarah Dita telah insyaf dan sadar, namun dia harus
mendapatkan hukuman atas tindakannya. Sarah Dita
harus menjalani hukuman penjara di Perguruan
Semeru selama tujuh puluh purnama.
***
9
Seorang lelaki tua berjubah hitam dengan rambut
putih terurai, serta berbadan kurus tampak berlari
membelah hutan belantara. Lelaki tua yang tak lain
Daeng Ampra itu, sesekali menengok ke belakang.
Khawatir kalau Pendekar Gila mengejarnya. Bukan
dia gentar menghadapi Pendekar Gila yang tersohor
itu, namun keadaan terlalu mendesak. Dia belum siap
untuk menghadapinya.
"Huh, kalau saja aku telah merampungkan ajian
'Sasra Jingga', kuhadapi kau, Pendekar Gila!" geram
Daeng Ampra bersungut-sungut sambil terus berlari.
Napasnya yang tersengal-sengal tak dihiraukannya.
Dia tidak ingin dapat dikejar oleh Pendekar Gila.
Daeng Ampra akhirnya sampai juga ke tempat
yang dituju, di Goa Sandang. Sesaat matanya
menyapu ke sekelilingnya, takut kalau ada yang
memergokinya. Setelah merasa yakin tak ada siapa-
siapa, tubuh Daeng Ampra mencelat, menerobos
masuk ke dalam goa.
"Daeng, kau datang? Ada apa...?" tanya seorang
wanita berusia sekitar enam puluh tahun dengan
hidung mancung. Matanya tersirat nakal saat
memandang. Bibirnya tipis dengan alis mata tebal.
Tubuh wanita yang tentunya Dewi Sandang itu tinggi
dan agak kurus, terbalut oleh pakaian yang sangat
minim. Hanya buah dada dan bagian terlarang yang
ditutupi dengan secarik kain berwarna hitam.
Rambutnya terurai lepas, panjang sampai ke pantat.
Dewi Sandang bangkit dari duduknya. Kemudian
kakinya melangkah menghampiri saudara seper-
guruannya yang terengah-engah dengan kening
berkerut
"Celaka, Sandang. Celaka...!"
"Ada apa?" tanya Dewi Sandang masih belum
mengerti. "Apanya yang celaka?"
"Markas Gerombolan Lowo Ireng diobrak-abrik
Pendekar Gila," tutur Daeng Ampra.
Dewi Sandang tersentak mendengar ucapan
saudara seperguruannya. Rahangnya mengejang,
menahan amarah yang tak terkira.
"Mengapa tidak kau hadapi? Mengapa kau lari?!"
tanya Dewi Sandang agak jengkel. "Hanya meng-
hadapi bocah gila itu saja kau lari!"
"Tapi, Sandang! Dia bukan sembarangan bocah.
Namanya saja sudah membubung tinggi. Apalagi
dengan Suling Naga Saktinya yang mampu
mengeluarkan sinar maut. Juga suaranya yang
mampu membuat orang terbawa alunannya," kilah
Daeng Ampra beralasan.
"Huh, pengecut! Percuma kau mendapat julukan
daeng!" dengus Dewi Sandang. "Lalu, bagaimana
dengan muridku?"
Daeng Ampra terdiam. Dia tidak tahu bagaimana
nasib Sarah Dita. Juga dengan Selendra, muridnya.
Entah keduanya mati atau hidup.
"Kenapa diam, Daeng?!" desak Dewi Sandang
dengan mata melotot.
"Entahlah, Sandang. Mungkin keduanya tewas di
tangan Pendekar Gila."
"Kau yakin itu?" tanya Dewi Sandang dengai wajah
masih menunjukkan ketidaksenangan. Napasnya
turun-naik, dihela rasa marah. Tangannya mengepal,
lantas memukul-mukul telapak tangan kiri. "Kurang
ajar! Kalau benar muridku sampai tewas, tak akan
kuampuni bocah gila itu!"
Ketika keduanya tengah bercakap-cakap, tiba-tiba
mereka tersentak oleh suara tawa yang menggelegar.
Suara tawa itu seakan-akan mampu meruntuhkan
dinding-dinding goa.
"Ha ha ha...! Rupanya dua tikus tua bersembunyi di
dalam goa. Takut sama kucing.... Ha ha ha...!"
"Pendekar Gila!" pekik Daeng Ampra dengan mata
membelalak.
"Dari mana dia tahu kita di sini, Daeng?!" tanya
Dewi Sandang.
"Mana aku tahu? Mungkin muridmu masih hidup,
Sandang."
"Kurang ajar! Rupanya bocah gila itu mencari
mampus!"
"Ha ha ha...! Kenapa bersembunyi, Tikus Tua?!
Keluarlah!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
Kemarahan Dewi Sandang memuncak mendengar
kata-kata Pendekar Gila. Tanpa memperhitungkan
lagi, tubuhnya segera mencelat ke luar, diikuti Daeng
Ampra.
Dewi Sandang dan Daeng Ampra terperanjat ketika
melihat seorang lelaki tampan berusia sekitar tiga
puluh lima tahun mengenakan pakaian kuning
keenasan yang bersama Pendekar Gila. Dari mulut
keduanya terdengar ucapan, menyebut nama lelaki
tampan itu.
"Daeng Lonto...!"
Daeng Lonto tersenyum. Pembawaannya nampak
tenang, seperti berusaha menunjukkan jiwa
kedaengannya, sebagai pemimpin adat yang arif dan bijaksana.
"Daeng Ampra, dan kau Dewi Sandang, kuharap
menyerahlah!" pinta Daeng Lonto dengan tenang.
Matanya tajam, memandang kedua orang tua yang
telah mengkhianati ayahnya.
"Huh, kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Lonto!
Tidakkah kau tahu aku pamanmu?!" bentak Daeng
Ampra.
Daeng Lonto hanya tersenyum mendengar ucapan
Daeng Ampra.
"Kalian memang paman dan bibiku. Tapi
pantaskah aku membela orang jahat? Apalagi kalian
telah membunuh ayahku," kata Daeng Lonto.
"Nah, Daeng Ampra dan Dewi Sandang. Kuharap
kalian menyerah," tambah Sena.
"Cuih! Lancang mulut kalian! Jangan kira karena
namamu membubung sampai langit, Daeng Ampra
akan takut!" dengus Daeng Ampra yang ditujukan
pada Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa-tawa dengan tubuh
melompat-lompat seperti kera. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir. "Aha, aku
aku tidak menyuruhmu takut, Daeng. Tapi aku hanya
menyuruh kau dan Dewi Sandang sadar. Usia kalian
sudah lapuk."
"Bocah edan! Tutup mulutmu!" bentak Dewi
Sadang. "Kalau tidak, kuremukkan batok kepalamu!"
"Weh, galak sekali kau, Nyi? Ah, sungguh malang
nian kepalaku," seloroh Sena sambil mengelus
kepalanya. Sementara Mei Lie hanya menautkan alis
menyaksikan tingkah konyol pemuda pujaannya.
"Bedebah! Kurobek mulut usilmu, Pendekar Gila
Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Dewi Sandang yang ingin
menjajaki kehebatan ilmu Pendekar Gila melesat
menyerang. Tangan kirinya bergerak mencakar,
sedang tangan kanannya memukul ke dada lawan
dengan jurus 'Lampus Ganyang'. Sebuah jurus yang
mirip dengan gerakan seekor kucing berkelahi.
Melihat Dewi Sandang telah menyerang Pendekar
Gila, Daeng Ampra tidak tinggal diam. Dia segera
membuka serangan dengan jurus 'Sandung
Bangkala'. Gerakan tangan kakinya seperti seekor
musang yang berusaha menangkap seekor ayam. Kini
dia menyerang Daeng Lonto dan Mei Lie.
"Hiaaat..!"
Menyaksikan lawan menyerang, tubuh Daeng
Lonto dan Mei Lie segera melompat ke samping
untuk mengelakkan serangan tangan Daeng Ampra.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang.
Daeng Lonto dengan jurus 'Palangan Rajawali'nya,
sedangkan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Kencana
Mukti'.
Tangan Mei Lie bergerak lincah laksana seorang
putri yang menari-nari. Kakinya bergerak dengan
irama yang teratur dan indah. Namun jurus itu
sesungguhnya bukan jurus sembarangan. Jurus itu
sangat berbahaya jika diimbangj oleh Pedang
Bidadari yang berada di punggungnya.
"Heaaat..!"
Mei Lie dan Daeng Lonto menyerang bersamaan
dengan jurus-jurus andalan dari kanan dan kiri tubuh
Daeng Ampra. Hal itu membuat Daeng Ampra sedikit
kerepotan. Lawan yang menyerangnya ternyata bukan
orang sembarangan. Dia sebenarnya tahu akan hal
itu. tapi keadaannya sudah terjepit. Sulit baginya
untuk dapat meninggalkan pertarungan.
Tangan Mei Lie bergerak menyambar ke kepala
Daeng Ampra dengan cepat. Segera Daeng Ampra
merundukkan kepalanya dengan merendahkan
tubuh. Kaki kanannya ditekuk, sedang kaki kirinya
diluruskan mendatar. Namun belum juga dia bisa
menghela napas lega, Daeng Lonto telah menyerang
ke wajah dan dadanya.
"Hiaaat..!"
"Uts!"
Daeng Ampra berusaha berkelit, tetapi Mei Lie
dengan cepat melakukan serangan susulan dengan
kaki menendang ke tulang rusuk lawan.
Daeng Ampra harus bergerak cepat menghadapi
dua lawan yang berilmu tinggi. Untung saja Mei Lie
tidak menggunakan pedangnya. Kalau saja Mei Lie
menggunakan pedang, tentu Daeng Ampra akan mati
kutu.
Kini Daeng Ampra menarik kaki kiri melebar ke
samping, kemudian dengan cepat bergerak
menyerang dengan kedua telapak tangan ke arah
kanan dada Mei Lie.
"Yiaaat..!"
Mei Lie tersentak. Cepat kakinya ditarik mundur
dua langkah ke belakang. Kemudian tubuhnya
diputar setengah lingkaran untuk mengelakkan
serangan lawan. Tangan kanannya dihantamkan ke
tangan lawan yang mengancam.
Melihat Mei Lie dalam kesulitan, Daeng Lonto tak
mau tinggal diam. Dia berkelebat mencabik dengan
cengkeraman rajawalinya ke arah Daeng Ampra.
Melihat itu, Daeng Ampra jadi mengurungkan niatnya
untuk menyerang Mei Lie. Kini dia berbalik
menyerang Daeng Lonto.
"Yeaaa...!"
Tangan Daeng Ampra menghentak ke wajah lawan,
mengejutkan Daeng Lonto. Dia berusaha menarik
serangannya. Tapi karena gerakan Daeng Ampra
begitu tiba-tiba, membuat langkahnya mati seketika.
Terpaksa Daeng Lonto memapaki serangan lawan.
"Yeaaa...!"
Blarrr!
Dua telapak tangan beradu. Daeng Lonto terpental
beberapa tombak ke belakang. Sedangkan Daeng
Ampra tersurut tiga langkah ke belakang. Namun
Daeng Ampra cepat bangkit, dia kembali melabrak
Daeng Lonto. Tampaknya Daeng Ampra bermaksud
membunuh Daeng Lonto secepatnya.
"Mampuslah kau, Lonto! Hiaaat..!"
Daeng Lonto yang belum bisa berbuat apa-apa,
kini hanya mampu membelalakkan mata. Sulit
baginya untuk mengelakkan serangan lawan.
Melihat hal itu, dengan cepat Mei Lie mencabut
Pedang Bidadarinya. Dengan pekikan menggelegar,
tubuhnya berkelebat memapaki serangan Daeng
Ampra yang meluncur ke arah Daeng Lonto. Dengan
jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Arah Angin', Mei
Lie membabatkan pedangnya ke tangan lawan.
"Hiaaa...!"
Wut!
***
Daeng Ampra tersentak seketika, melihat pedang
bersinar merah kekuning-kuningan menebas
tangannya. Dia segera menarik kedua tangannya.
Lalu dengan bersalto, dia berusaha mengelakkan
serangan lawan.
Mei Lie yang masih dendam pada orang-orang
persilatan aliran hitam tak berhenti sampai di situ.
Dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung
Karang' dia kembali memburu Daeng Ampra.
Wut!
"Uts! Celaka...!" pekik Daeng Ampra semakin
terdesak oleh babatan Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie. Wajahnya agak pucat, menyaksikan jurus pedang
yang dilancarkan Mei Lie. Jurus itu bukan jurus
sembarangan. Jurus 'Pedang Bidadari' yang dikuasai
Mei Lie, merupakan jurus sakti yang sulit untuk
dielakkan.
Daeng Ampra terus berusaha mengelak, dengan
sesekali melancarkan serangan balasan. Dengan
menggunakan jurus 'Landung Gampyar' Daeng Ampra
berusaha menekan balik Mei Lie.
Sementara itu, Sena yang menghadapi Dewi
Sandang masih bertingkah laku konyol. Mulutnya
berteriak-teriak manakala Dewi Sandang menyerang
dengan tongkat berkepala tengkorak. Dari kepala
tongkat itu, keluar asap putih kehitam-hitaman yang
mengandung racun.
Beruntung sekali Sena telah kebal dari segala
macam jenis racun, sehingga dia tidak terpengaruhi
oleh asap beracun yang keluar dari kepala tongkat
Dewi Sandang.
Melihat lawan mampu bertahan terhadap
racunnya, Dewi Sandang bertambah marah. Dengan
mendengus, dilancarkannya jurus 'Patik Sewu'nya.
Tongkatnya bergerak buas dan bertambah cepat
hingga tampak menghilang.
"Ha ha ha...! Mengapa kau seperti orang
kesurupan, Nyi? Hi hi hi...!" seloroh Sena sambil
berjingkrak mengelakkan sambaran kepala tongkat
lawan.
"Remuk batok kepalamu! Hiaaat...!"
"Uts! Belum, Nyi. Aduh.... Galak sekali," gumam
Sena sambil melompat ke samping dengan tangan
memegangi kepala.
Kemudian dengan tingkah laku seperti kera,
Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila
Melempar Batu'. Kedua tangannya laksana melempr
batu dengan cepat, hingga menimbulkan deru angin
kencang.
"Jurus edan!" maid Dewi Sandang gusar, karena
serangannya seketika terhenti oleh hembusan angin
yang tercipta dari jurus yang dilakukan Sena.
Bergegas tongkatnya diputar, lalu dari putaran itu
bertiup angin yang keras. Itulah jurus 'Baling-baling
Pusar Angin'.
Wut!
"Kini kuremukkan kepalamu, Bocah Edan!
Yeaaah...!"
"Hi hi hi...! Kalau kau marah, wajahmu seperti
kambing tercebur di comberan, Nyi," ejek Sena sambil
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'. Dan diteruskan dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Lagi-lagi Dewi Sandang tersentak kaget mendapat
serangan yang begitu dahsyat. Setiap jurus yang
dilakukan oleh Pendekar Gila terlihat lamban dan
lemah, tapi kenyataannya sangat luar biasa dan
mengandung hawa panas disertai hembusan angin
kencang.
"Ilmu edan!" maki Dewi Sandang seraya ber-
lompatan ke kanan dan kiri, berusaha mengelakkan
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan kebingungan,
segera mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian
dengan cepat serangannya ditarik, lalu diganti
dengan tiupan maut sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras. Sena
mengarahkan kepala naga ke tubuh Dewi Sandang.
namun tiba-tiba niatnya diurungkan, manakala
teringat kalau Dewi Sandang adalah urusan Daeng
Lonto.
"Menyerahlah, Nyi. Semoga kau akan mendapat
ampunan!" kata Pendekar Gila, berusaha menyadar-
kan wanita tua berpakaian minim itu.
"Cuih! Pantang bagi Dewi Sandang menyerah! Kita
tentukan, siapa di antara kita yang akan mampus!
Terimalah ajian 'Karang Jalna'ku. Hiaaat...!"
Wusss!
Dari telapak tangan Dewi Sandang, membersit
selarik sinar pelangi ke arah Pendekar Gila. Sinar itu
bergulung-gulung dengan cepat, berusaha mem-
bungkus tubuh Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Sena segera meniup sulingnya.
Kepala naga di Suling Naga Sakti diarahkan ke sinar
pelangi yang hendak melumpuhkannya. Dari
sepasang mata kepala naga itu, seketika melesat dua
sinar merah ke arah sinar yang dikerahkan oleh Dewi
Sandang.
Glarrr...!
"Ukh...!" Dewi Sandang mengeluh pendek.
Seketika tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Dan tak berapa lama
kemudian.... "Hoeeek...!" Dewi Sandang memuntah-
kan darah hitam. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Sedangkan matanya membelalak tegang.
"Kuharap kau mau menyerah, Nyi," kata Sena
berusaha menyadarkan Dewi Sandang.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!"
Dengan nekat Dewi Sandang kembali menyerang
Pendekar Gila dengan ajian pamungkasnya yang
bernama 'Karang Jalna'.
Menyaksikan kenekatan wanita tua itu, bergidik
juga hati Pendekar Gila. Sebenarnya kematian wanita
tua itu tidak dikehendakinya. Tapi jika dia hanya
diam, maka dialah yang akan tewas. Terpaksa
Pendekar Gila menyambutnya.
"Pukulan 'Inti Salju'. Heaaa...!"
Wusss!
Sena merentangkan tangannya lebar-lebar. Lalu
dengan jari-jari tangan membuka, tangannya
digerakkan ke atas seperti mengumpulkan sesuatu.
Saat itu langit seketika mendung dan gelap. Ketika
tangan Sena mendorong ke depan, salju turun dari
atas dengan deras. Anehnya, salju itu hanya
menghujani tubuh Dewi Sandang. Tanpa ampun,
tubuh Dewi Sandang membeku ketika tertutup oleh
es yang memadat.
Di sisi lain, Mei Lie yang menyerang Daeng Ampra
semakin marah karena sejak tadi serangannya belum
juga mendapatkan hasil. Dengan jurus pamungkas
yang bernama 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie
kembali menyerang.
"Hiaaa...!"
Pedang di tangan Mei Lie bergerak cepat,
menyilang ke samping kanan, kemudian lurus ke
depan. Dilanjutkan dengan menyilang ke kiri, lalu
lurus lagi. Pada saat dekat dengan tubuh lawan, Mei
Lie mengangkat pedangnya tanggi-tinggi. Dan....
Wut!
Srrrt!
"Aaa...!"
Daeng Ampra memekik ketika dari kepala sampai
ke bawah tubuhnya dibelah oleh Pedang Bidadari
dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sesaat tubuh
Daeng Ampra mematung. Tubuhnya masih utuh bagai
tidak terkena tebasan. Hal itu membuat Daeng Lonto
dan Sena membelalakkan mata. Keduanya malah
terbengong-bengong menyaksikan kejadian yang
aneh itu.
Belum juga hilang rasa kaget Sena dan Daeng
Lonto, untuk kedua kalinya mereka dibuat terpana.
Ketika angin bertiup kencang, tiba-tiba tubuh Daeng
Ampra beterbangan bagai tepung!
"Wah?!" seru Sena dengan mulut menganga
bodoh.
"Ck ck ck...! Bukan sembarangan ilmu pedang,"
puji Daeng Lonto sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Maaf, aku terpaksa," sesal Mei Lie.
"Tak apa, Mei Lie. Mungkin hanya kematianlah
yang bisa menghentikan mereka," kata Daeng Lonta
"Semua tugasku telah selesai. Aku harus segera
pulang ke Sulawesi. Kuharap kalian bisa bertandang
ke sana."
"Semoga, Daeng. Jika ada umur panjang," ucap
Pendekar Gila dan Mei Lie berbareng.
"Sampaikan salamku pada semua pendekar di
tanah Jawa Dwipa ini, Sena. Aku mohon pamit"
Daeng Lonto menjura, dibalas oleh Sena dan Mei
Lie. Kemudian, Daeng Lonto pun meninggalkan kedua
muda-mudi yang mengikutinya dengan pandangan
mata penuh persahabatan.
Ketika tubuh Daeng Lonto memupus di titik
pandang terjauh, mentari telah tersungkur di
pangkuan senja. Dan satu kejadian dalam lembaran
waktu telah usai, sementara dua insan yang terpatri
dalam kesatuan kasih tengah berdiri tanpa kata.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya menatap penuh arti pada Mei Lie yang
segera memeluk tubuh pemuda pujaan hatinya.
Perlahan-lahan wajah keduanya mendekat dan
semakin dekat, lalu Mei Lie merebahkan kepalanya di
dada Sena. Kedua insan itu kemudian menyatu
dalam debar cinta, melebur dalam denting dawai
asmara.
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon