Karya
Teguh S
Penerbit
Cintamedia, Jakarta
Episode
SATU
RANGGA
mengayunkan kakinya pelahan-lahan menyusuri jalan setapak yang melingkari Kaki
Gunung Anjar. Siang ini udara cerah sekali. Langit tampak bersih, tanpa sedikit
pun awan menggantung. Pantas saja sinar matahari begitu bebas menerobos
permukaan bumi. Namun angin yang berhembus agak kencang, membuat terik sang
surya siang ini agak berkurang. Rangga benar-benar menikmati kecerahan hari
ini.
Pendekar
Rajawali Sakti itu terus melangkah sambil sesekali menghirup udara segar
sebanyak-banyaknya. Meskipun matahari bersinar terik, namun udara di sekitar
Gunung Anjar cukup terasa sejuk. Bahkan cenderung dingin. Pemuda berbaju rompi
putih itu menghentikan ayunan kakinya, ketika melihat seekor kelinci gemuk
berbulu putih bersih. Mendadak saja perutnya berkeruyuk seperti minta diisi.
Sejak pagi tadi Rangga memang belum menemukan sedikit makanan pun untuk
mengganjal perutnya.
Pelahan
Rangga membungkuk, lalu memungut sebutir kerikil. Lalu dengan tubuh masih terbungkuk,
Pendekar Rajawali Sakti itu menjentikkan jarinya disertai pengerahan tenaga
dalam sedikit. Kerikil yang dipungut tadi, seketika melesat cepat bagai kilat.
Maka kelinci gemuk yang malang itu menggelepar begitu kepalanya tersambit oleh
Rangga.
"Waow...!"
Rangga bersorak kegirangan.
Bergegas
pemuda berbaju rompi putih itu berlari menghampiri kelinci yang sudah tidak
bernyawa lagi. Namun mendadak saja dia jadi tertegun, karena pada leher kelinci
itu tertancap sebatang anak panah. Padahal tadi kelinci itu dilempar hanya
dengan batu kerikil.
Belum
sempat Rangga berpikir jauh, tiba-tiba saja terdengar suara bergemerisik dari
arah depan. Sebentar kemudian muncul seorang gadis berwajah cantik sambil
membawa sebuah busur dan sekantung anak panah pada punggungnya. Dia juga nampak
terkejut melihat seorang pemuda berdiri dekat bangkai kelinci.
"Kau
akan mencuri kelinciku, ya...?!" bentak gadis itu galak.
"Heh...?!
Ini kelincimu...?" Rangga menunjuk kelinci berbulu putih yang masih
tergeletak di depan kakinya.
"Apa
matamu sudah buta, heh...?!" sentak gadis itu semakin berang. "Kau
lihat...! Panahku menancap di lehernya, maka berarti kelinci ini milikku!"
Rangga
menatap bangkai kelinci di depannya. Selain kepala kelinci itu berlubang akibat
kena timpukan batu kerikil, juga di lehernya menancap sebatang anak panah
hingga tembus. Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berbicara
lebih jauh lagi, terdengar derap langkah kaki kuda menuju tempat ini. Tak
berapa lama kemudian, muncul lima orang penunggang kuda. Satu orang tampak
masih muda, dan mungkin berusia sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan empat penunggang kuda lainnya sudah setengah baya. Mereka semua
mengenakan pakaian cukup indah.
Belum
juga ada yang membuka suara, dari arah yang sama muncul lagi sekitar tiga puluh
orang berkuda bersama satu kereta kuda barang. Yang membuat Rangga semakin
tidak bisa buka mulut, rombongan terakhir ini ternyata para prajurit dari
sebuah kerajaan. Dari lambang yang dibawa, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah
bisa menebak, kalau mereka berasal dari Kerajaan Kedung Antal. Sebuah kerajaan
yang cukup besar di wilayah Kulon ini
"Ada
apa, Adik Ranti?" tanya pemuda yang sudah turun dari punggung kudanya.
Dihampirinya gadis yang masih berdiri berkacak pinggang di depan Rangga.
"Ini...!
Dia akan mengambil kelinci yang baru saja kupanah!" sahut gadis yang
dipanggil dengan nama Ranti itu, seraya menuding Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang Nadara, hukum saja dia karena berari mengakui hasil
buruanku!"
Pemuda
yang dipanggil Nadara itu menatap bangkai kelinci sebentar, kemudian beralih
pada Rangga yang masih diam saja. Kakinya melangkah maju dua tindak mendekati,
kemudian memungut bangkai kelinci itu. Dan kini kepalanya terangguk seraya
menyunggingkan senyum.
"Kisanak.
Boleh aku tahu, siapa namamu?" lembut dan ramah sekali nada suara Nadara.
"Rangga,"
sahut Rangga singkat
"Maafkan
atas kekasaran adikku, Kisanak. Aku yakin, kelinci ini milikmu," tegas
Raden Nadara seraya menyodorkan kelinci itu pada Rangga.
"Terima
kasih. Tapi, Nisanak ini menginginkannya. Biarlah aku mencari kelinci
lain," dengan halus sekali Rangga menolak.
Raden
Nadara berpaling memandang adiknya yang memberengut tidak puas akan sikap
Rangga. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu membalikkan tubuhnya dan melompat
naik ke punggung kuda yang dibawa salah seorang berpakaian prajurit Seekor kuda
putih yang gagah sekail Wajah Ranti masih memberengut tertekuk.dalam.
Pandangannya begitu tajam menusuk langsung pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Adik
Ranti, dia sudah memberikan kelinci ini padamu. Kau tidak ingin
menerimanya?" lembut sekali nada suara Raden Nadara.
"Berikan
saja padanya. Aku tidak butuh!" ketus sekali jawaban Ranti.
Pemuda
itu menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menyodorkan kelinci itu pada
Rangga
"Terimalah.
Adikku akan semakin marah jika kau tidak suka menerimanya. Maafkan dia,
Kisanak," ujar Raden Nadara.
Sebentar
Rangga menatap Ranti yang langsung mendengus sambil membuang muka, kemudian
kembali memandang Raden Nadara yang masih menyodorkan kelinci itu.
"Baiklah.
Tapi akan kuberi gantinya, nanti," kata Rangga menyerah.
Pendekar
Rajawali Sakti itu menerima kelinci dari tangan Raden Nadara. Sedangkan pemuda
itu menganggukkan kepalanya sedikit, lalu melompat naik ke punggung kudanya.
Gerakannya sangat ringan dan indah, menandakan kalau kepandaiannya cukup
tinggi.
Tidak
berapa lama kemudian, rombongan itu bergerak meninggalkan Lereng Gunung Anjar
ini. Rangga masih berdiri mematung memandangi rombongan yang terus bergerak
menuruni lereng. Dipandangi kelinci itu, lalu diangkat ke atas, hingga sejajar
wajahnya. Bibirnya tersenyum dan kepalanya menggeleng beberapa kali.
Rangga
menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara ribut dari arah
Selatan Kaki Gunung Anjar ini. Sebentar dipastikan suara-suara yang terdengar
jelas itu. Dan ketika yakin kalau itu adalah suara pertarungan, dengan cepat
rubuhnya melesat. Pendekar Rajawali Sakti berlari kencang mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Begitu
cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat menyelinap
dari satu pohon ke pohon lainnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah sampai di Kaki Gunung Anjar sebelah Selatan. Dan
hatinya terkejut begitu melihat para prajurit Kerajaan Kedung Antal tengah
bertarung sengit.
Namun
yang membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi terperanjat adalah pertarungan
itu dilakukan oleh para prajurit yang berpakaian sama. Ya.., sama-sama prajurit
Kerajaan Kedung Antal juga! Pandangan Pendekar Rajawali Sakti langsung
tertumbuk pada Ranti yang tengah bertarung sengit melawan sepuluh orang
prajurit. Tidak jauh dari gadis itu, terlihat Raden Nadara yang juga tengah
bertarung sengit melawan dua orang berpakaian gemerlap, seperti pakaian seorang
panglima perang.
"Ada
apa ini...? Kenapa mereka saling bertarung?" Rangga bertanya pada dirinya
sendiri.
Namun
pertanyaan itu belum bisa terjawab, karena Rangga melihat Ranti semakin
terdesak. Bahkan tubuhnya kini menerima pukulan telak, sehingga membuatnya
sempoyongan. Pada saat itu, salah seorang pengeroyoknya sudah mengibaskan sebilah
pedang ke arah leher.
"Celaka...!"
sentak Rangga mendesis. Tanpa berpikir panjang lagi. Pendekar Rajawali Sakti
itu langsung melesat, dan segera mengirimkan satu pukulan keras ke arah orang
yang hendak memenggal kepala Ranti. Pukulan Rangga tepat mengenai dada orang
itu.
Deghk!
"Akh...!"
orang itu memekik keras, dan seketika tubuhnya terpental jauh ke belakang.
Buru-buru
Rangga menarik tangan Ranti, dan membawanya keluar dari arena pertarungan.
Gadis itu nampak tersengal, akibat dadanya terkena satu pukulan keras bertenaga
dalam cukup tinggi. Sebentar Rangga mengamati gadis itu. Ternyata pukulan yang
diterima Ranti tidak terlalu berbahaya.
"Sebaiknya
kau cepat tinggalkan tempat ini," ujar Rangga.
"tidak!
Aku harus membunuh keparat-keparat Itu!" sentak Ranti.
Langsung
saja gadis itu melesat cepat, kembali terjun dalam kancah pertempuran.
Sementara Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dan hanya bisa menyaksikan
saja. Memang, dia tidak tahu, mana lawan dan mana kawan. Sebab mereka sama-sama
mengenakan pakaian prajurit yang serupa.
Pendekar
Rajawali Sakti itu memandang Raden Nadara. Ingatannya langsung tertuju pada
peristiwa pagi tadi. Memang, pemuda itu bijaksana sekali waktu menyelesaikan
pertikaiannya dengan Ranti. Kelembutan dan kebijakan Raden Nadara membuat
Rangga jadi bersimpati, dan mengaguminya. Di samping itu, Raden Nadara juga
bisa membedakan hasil panah adiknya dengan lemparan batu kerikil Rangga pada
tubuh seekor kelinci. Dengan tepat bisa dipastikan kalau Rangga yang lebih
dahulu mendapatkan kelinci itu.
Setelah
mempertimbangkan masak-masak. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mengambil
keputusan. Terlebih lagi saat melihat pemuda itu tampak terdesak oleh
lawan-lawannya. Bahkan yang mengeroyok Ranti juga semakin bertambah banyak
saja. Sedangkan hanya beberapa saja dari para prajurit yang masih berbaku
hantam.
"Aku
harus membantu mereka! Hiyaaa...!"
Bagaikan
burung rajawali. Rangga melesat ke arah Raden Nadara. Dan seketika itu juga dilontarkan
beberapa pukulan ke arah para pengeroyok pemuda itu. Jerit pekik melengking
tinggi terdengar saling sahut, disusul berpentalannya beberapa tubuh. Saat itu
juga Rangga melesat balik, langsung menuju tempat Ranti bertarung. Beberapa
pukulan dilontarkan. Kembali jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar
menyayat, disusul ambruknya beberapa tubuh yang mengeroyok Ranti.
Terjunnya
Pendekar Rajawali Sakti dalam kancah pertarungan, membuat Raden Nadara dan
Ranti jadi heran. Namun hal ini memberi kesempatan pada mereka untuk
memperhebat serangan-serangannya. Dan lain halnya dengan yang diderita para
prajurit itu. Mereka jadi kelabakan, karena Rangga bertarung dengan
berpindah-pindah tempat. Gerakannya sungguh cepat luar biasa, dan tidak terduga
sama sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak terhitung
lagi, berapa orang yang roboh terkena pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti
"Mundur...!"
tiba-tiba terdengar teriakan keras menggelegar.
Saat
itu juga, para prajurit yang mengeroyok Raden Nadara dan Ranti berlompatan
mundur. Tak lama kemudian, kembali terdengar teriakan memberi perintah. Cepat
sekali para prajurit itu berlompatan pergi, dengan meninggalkan puluhan mayat
bergelimpangan. Hanya sekitar lima belas prajurit saja yang masih tinggal,
ditambah Raden Nadara, Ranti, dan empat orang laki-laki setengah baya.
Suasana
yang semula gaduh dipenuhi suara jerit melengking dan denting suara senjata
beradu, mendadak saja jadi sunyi senyap. Kini suasananya seperti berada di
tengah-tengah kuburan saja layaknya. Mereka yang masih hidup, hanya bisa
memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Sementara itu, Pendekar Rajawali
Sakti sudah duduk dengan enaknya di bawah sebatang pohon rindang. Dicabutnya
sejumput batang rumput, dan diselipkan ke sudut bibirnya.
"Kakang...,"
Ranti menggamit ujung jari Raden Nadara. Gadis itu mengerdipkan sebelah
matanya, menunjuk pada Rangga yang asyik duduk di bawah pohon.
Raden
Nadara berpaling ke arah Pendekar Rajawali Saka itu. Dilangkahkan kakinya,
diikuti Ranti dan empat orang laki-laki setengah baya ke arah Rangga. Mereka
semua berdiri di depan Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan
masa bodoh saja.
"Kelinci
pemberianmu enak sekali, Nisanak. Terima kasih," ucap Rangga, ringan
sekali suaranya
"Kisanak,
kaukah yang tadi membantu kami?" langsung saja Raden Nadara memberi
pertanyaan.
"Aku
hanya sekedar membalas kebaikanmu saja," sahut Rangga enteng.
"Terima
kasih, hanya saja aku menyesalkan karena jatuhnya banyak korban," pelan
sekali nada suara Raden Nadara.
"Huh!
Kakang selalu saja begitu. Sudah tahu mereka ingin membunuh kita!" dengus
Ranti.
Rangga
menatap gadis itu sejenak, kemudian berdiri.
"Tampaknya
mereka juga para prajurit. Kenapa menyerang teman sendiri?" tanya Rangga
ingin tahu.
"Mereka
bukan prajurit, tapi manusia setan!" dengus Ranti menyerobot.
"Ranti...,"
Raden Nadara mengerdipkan matanya pada gadis itu
"Memang
kenyataannya...? Aku tidak mau menutup-nutupi kebusukan! Toh, akhirnya akan
tercium juga," sentak Ranti ketus.
"Tapi
kau tidak boleh...."
"Dia
telah menyelamatkan nyawa kita, Kakang. Apa salahnya jika kita
memberitahu...."
"Ranti...!"
bentak Raden Nadara cepat.
Ranti
langsung diam. Wajahnya memberengut, kemudian membalikkan tubuhnya. Gadis itu
berjalan cepat menghampiri kudanya yang tengah merumput di tepian sungai kecil
yang airnya berubah merah, karena beberapa tubuh bersimbah darah tenggelam di
sana.
"Maaf,
adikku manja sekali. Tapi belum pernah dia cepat tersinggung begitu," ucap
Raden Nadara.
"Tidak
apa...," desah Rangga seraya mengangkat sedikit bahunya.
Raden
Nadara tersenyum tipis, kemudian menghampiri Pendekar Rajawali Sakti lebih
dekat lagi. "Aku ingin sedikit bicara denganmu. Boleh?" kata Raden
Nadara.
Kembali
Rangga mengangkat bahunya, lalu mengayunkan kakinya begitu Raden Nadara
melangkah menjauhi empat orang laki-laki berusia setengah baya yang selalu
mendampinginya. Keempat laki-laki itu kemudian memberi perintah pada sisa
prajurit yang masih hidup untuk bersiap-siap. Dengan keadaan lesu dan
kelelahan, mereka menyiapkan kuda yang tidak beraturan tempatnya. Juga,
dikumpulkannya peralatan yang berserakan di antara mayat-mayat bergelimpangan.
***
"Aku
tahu, kau bukan orang sembarangan. Kau pasti seorang pendekar. Saat ini kami
memang membutuhkan seseorang yang bisa diandalkan," jelas Raden Nadara.
"Ah!
Aku hanya orang biasa saja," Rangga merendah.
"Begini,
Kisanak. Jika kau bersedia mengawalku sampai ke Kerajaan Karang Setra, aku
janji akan memberimu hadiah dan kedudukan yang tinggi di istana," Raden
Nadara langsung pada pokok pembicaraan.
Rangga
jadi tertegun begitu mendengar Karang Setra disebut. Hatinya jadi
bertanya-tanya sendiri. Ada sesuatu yang menarik hatinya, terlebih lagi tujuan
mereka ke Kerajaan Karang Setra.
"Aku
tidak memaksamu, Kisanak. Jika kau tidak bersedia pun tidak apa-apa. Kau boleh
menentukan keputusan sendiri," sambung Raden Nadara.
"Kalau
boleh tahu, ada keperluan apa kau ke Karang Setra?" tanya Rangga tidak
bisa menahan keingintahuannya.
"Maaf,
Kisanak. Sayang sekali hal itu tidak boleh diberitahukan siapa saja. Aku
membawa pesan khusus dari Ayahanda Prabu untuk disampaikan secara pribadi pada
Gusti Prabu Rangga.... Hm, namamu persis sekali dengan Raja Karang Setra,
Kisanak."
"Ah,
hanya kebetulan saja," buru-buru Rangga menutupi rasa keterkejutannya.
"Yaaah....
nama memang bisa saja sama," desah Raden Nadara.
Rangga
hanya mengangkat bahunya saja. Hatinya bersyukur, karena tidak ada yang
mengenali kalau sebenarnya dia sendirilah Raja Karang Setra. Memang dalam
keadaan seperti ini, orang biasanya mengenalnya sebagai Pendekar Rajawali
Sakti. Seorang pendekar muda yang terlepas dari segala keterkaitannya dengan
urusan Kerajaan Karang Setra.
Sedangkan
Rangga sendiri memang jarang berada di istana. Dia lebih senang hidup di alam
bebas, mengembara, berpetualang di dalam kerasnya rimba per-llatan. Baginya,
lebih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan di alam bebas, daripada di dalam
istana sendiri. Memang tak ada yang bisa dilakukannya jika harus diam dalam
lingkungan benteng istana.
Hanya
saja, pengembaraan itu menuntutnya selalu jauh dari Karang Setra sendiri.
Padahal dia ingin melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Tapi, kesempatan
untuk selalu dekat dengan rakyat biasa, seperti terampas oleh berbagai macam
petualangan yang tidak akan pernah berakhir sampai usia menggerogoti kehidupan.
"Bagaimana,
Kisanak?" nada suara Raden Nadara seperti mendesak.
"Hm...,
apakah prajurit-prajurit itu tidak cukup?" tanya Rangga belum bisa
memutuskan.
"Sebenarnya
cukup. Apalagi ada dua orang patih dan dua panglima menyertaiku. Tapi...,"
kata-kata Raden Nadara terputus, seperti ada sesuatu yang sangat dirahasiakan.
"Ah, sudahlah. Tidak seharusnya aku banyak bicara padamu, Kisanak. Oh, ya.
Terima kasih sekali lagi karena kau telah menolong kami."
Setelah
berkata demikian, Raden Nadara membalikkan tubuhnya, dan berjalan menghampiri
yang lain. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi, namun benaknya
penuh digelayuti berbagai macam pertanyaan.
Raden
Nadara melompat ke punggung kudanya yang dipegang salah seorang prajurit. Yang
lain pun bergegas melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Sebentar pemuda
itu memandang Rangga yang masih berdiri mengamari, kemudian menggebah kudanya.
Dan rombongan yang jumlahnya sudah berkurang itu kemudian bergerak cepat,
meninggalkan kepulan debu di angkasa.
Rangga
masih berdiri mematung memandangi rombongan dari Kerajaan Kedung Antal yang
semakin jauh meninggalkan tempat ini. Arah yang dituju memang jelas ke Selatan,
dan itu menuju ke Kerajaan Karang Setra. Namun, paling tidak masih membutuhkan
waktu dua pekan untuk sampai di sana dengan berkuda.
"Hm....
Pasti ada sesuatu di Kerajaan Kedung Antal, sehingga Prabu Raketu mengirim
utusan ptibadi...," gumam Rangga pelahan.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mengalihkan pandangannya ke arah Utara. Di balik Gunung
Anjar ini, terletak Kerajaan Kedung AntaL. Sebuah kerajaan yang sangat besar,
dan terkenal dengan ketangguhan angkatan perangnya. Sehingga, tidak sedikit
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya yang bernaung di bawah kerajaan itu.
Bahkan banyak pula yang dengan sukarela menggabungkan diri.
Rangga
jadi teringat ketika dinobatkan sebagai raja pertama di Karang Setra. Prabu
Raketu adalah tamu undangan yang pertama kali datang, dan memberi restu serta
hadiah yang sangat indah. Sebuah kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda
putih. Kini, sepertinya Prabu Raketu sedang mendapatkan kesulitan, sehingga
mengirimkan kedua anaknya untuk melakukan tugas khusus ke Karang Setra. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu belum tahu, apa maksud Raden Nadara dan Rata Ayu
Ranti ke Karang Setra.
"Sebaiknya
aku langsung saja ke Kedung Antal. Toh di istana ada Adi Danupaksi,"
Rangga mengambil keputusan.
Setelah
memantapkan hatinya, Pendekar Rajawali . Sakti langsung berlari cepat
meninggalkan Kaki Gunung Anjar ini. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh,
sebentar saja Kaki Gunung Anjar sudah tertinggalkan. Namun mendadak saja, dia
berhenti berlari. Pandangannya lurus ke arah Utara.
"Huh!
Bodohnya aku ini...! Perlu lima hari untuk sampai ke sana jika dengan cara
begini...!" dengus Rangga pada dirinya sendiri.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Sunyi.... Tak ada
seorang pun terlihat di sekitarnya. Hanya pepohonan dan padang Ilalang yang
tampak. Rangga tersenyum, lalu menarik napas dalam-dalam. Kepalanya terdongak
tegak, menatap langit, kemudian bersiul nyaring melengking tinggi dengan irama
yang aneh terdengar di telinga.
"Suiiit...!"
Rangga
masih berdiri tegak sambil mendongakkan kepala menatap langit. Kembali
ditariknya napas dalam-dalam, dan bersiul sekali lagi. Kepalanya tetap tegak
memandangi langit yang cerah tanpa awan sedikit pun menggantung. Lama Juga
menunggu, tapi akhirnya bibirnya tersenyum juga, saat melihat satu titik hitam
di angkasa. Makin lama, titik kecil itu semakin membesar, dan terlihat jelas
bentuknya. Tampak seekor burung rajawali berwarna keperakan melayang menuju ke
arah pemuda berbaju rompi putih itu. Terbangnya cepat sekali bagaikan kilat
saja layaknya.
"Khraaaghk...!"
"Rajawali,
kesini...!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.
Burung
rajawali raksasa itu menukik deras, lalu mendarat manis di depan Rangga. Dia
berkaokan beberapa kali sambil mengembangkan sayapnya yang lebar. Bergegas
Rangga menghampiri, lalu memeluk leher burung raksasa itu. Rangga memang selalu
memeluk burung itu jika bertemu.
"Khraaaghk...!"
"Rajawali,
tolong antarkan aku ke Kerajaan Kedung Antal. Tidak jauh, letaknya di balik
Gunung Anjar ini," kata Rangga memberitahu.
"Khraghk!"
Rajawali
Putih mengepakkan sayapnya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku
tidak tahu, apa yang terjadi di sana, Rajawali Putih. Tapi, tampaknya gawat
sekali," kata Rangga sepertinya mengetahui maksud burung rajawali raksasa
itu.
Rajawali
Putih menyorongkan kepalanya ke depan, lalu mematuk tanah tiga kali Rangga
mengamati tingkah burung raksasa itu penuh perhatian.
"Iya,
aku tahu. Tapi kalau keadaan terpaksa, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku
perlu sekali bantuanmu, Rajawali. Mungkin kafi ini kau juga harus terjun
langsung," ujar Rangga lagi.
"Khraghk...!"
***
DUA
"Khraghk...!"
Rajawali
Putih melayang-layang di angkasa Kerajaan Kedung Antal. Sudah tiga kali burung
raksasa itu memutari seluruh kota kerajaan itu, tapi Rangga yang berada di
punggungnya belum juga memerintahkan turun. Pandangan mata Pendekar Rajawali
Sakti itu tidak berkedip meneliti setiap sudut wilayah Kota Kerajaan Kedung
Antal.
"Ke
istana, Rajawali Tapi jangan terlalu rendah," pinta Rangga.
"Khraghk...!"
Rajawali
Putih melesat cepat menuju bangunan istana yang tampak megah dikelilingi tembok
tinggi dari batu tebal membentuk sebuah benteng. Burung raksasa itu memutari
angkasa Istana Kedung Antal. Ketinggian terbangnya selalu dijaga agar tidak
menarik perhatian orang yang berada di sekitar benteng istana itu.
Sementara
Rangga yang berada di punggung burung raksasa itu, mengerahkan aji 'Tatar
Netra' yang digabungkan dengan aji 'Mata Dewa'. Maksudnya, agar dapat melihat
lebih jelas dari jarak yang sangat tinggi itu. Dengan menggabungkan kedua ajian
itu, tidak ada masalah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk dapat melihat jelas
meskipun dalam jarak yang sangat jauh.
"Hm...,
tidak ada yang mencurigakan disini Keadaannya cukup tenang, bahkan penjagaan
pun tidak terlalu ketat. Sepertinya rakyat bebas keluar masuk tanpa ada
pemeriksaan sama sekali," gumam Rangga perlahan.
Rangga
menepuk leher burung raksasa itu. Rajawali Putih yang sudah bisa mengerti
maksudnya, langsung saja terbang menjauh dari istana itu. Cepat sekali burung
itu meluncur, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah berada di luar Kota
Kerajaan Kedung Antal itu.
"Turun
di sana, Rajawali!" seru Rangga seraya menunjuk sebuah danau.
"Khraghk...!"
Rajawali
Putih menukik deras, kemudian manis sekali mendarat di tepi danau. Keadaan di
danau kecil Ini sepi sekali. Tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Rangga cepat
melompat turun. Diedarkan pandangannya ke sekeliling sejenak, seakan-akan ingin
memastikan kalau tidak ada seorang pun yang melihat.
"Kau
boleh tinggalkan aku di sini, Rajawali. Aku yakin, ada sesuatu di kerajaan ini.
Aku pasti akan memanggilmu lagi. Jangan terlalu jauh dari sini," kata
Kangga seraya berpesan.
"Khraghk!"
Sekali
mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung ke angkasa Rangga
memandangi burung raksasa itu sampai lenyap di angkasa. Dia masih berdiri di
tepi danau seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Entah kenapa,
perasaannya mengatakan kalau di sekitar tempat ini ada seseorang yang
memperhatikannya. Atau mungkin juga lebih dari satu orang. Belum juga Rangga
memastikan lebih jauh, tiba-tiba saja....
Swing!
"Hap!"
Tap!
Cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menggerakkan tangannya ketika melihat sebuah
benda meluncur deras bagai kilat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di jari tangannya
sudah terjepit sebatang anak panah. Rangga belum juga sempat berpikir jauh,
kembali sebatang anak panah meluncur deras, dan kali ini mengarah dada.
Pendekar
Rajawali Sakti itu memiringkan tubuhnya ke kanan, lalu secepat itu pula
melenting bagaikan seekor burung rajawali. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali
Sakti itu melesat dan tahu-tahu sudah menembus segerumbul semak ilalang, tempat
dua batang anak panah tadi berasal.
"Jangan...!"
"Heh...?!"
Rangga
terkejut mendengar teriakan keras itu, ketika masuk ke dalam semak ilalang.
Kepalan tangannya yang sudah terangkat, jadi terhenti. Kedua matanya terbeliak
ketika melihat seorang gadis berwajah cantik tergeletak terjajar dan perutnya
ditekan oleh lutut Pendekar Rajawali Sakti itu. Bergegas Rangga melompat
bangkit
"Ranti...!
Apa yang kau lakukan di sini...?" sentak Rangga terkejut begitu mengenali
gadis itu.
"Huh!"
gadis itu mendengus seraya bangkit berdiri
Ranti
mengibaskan debu dan rerumputan kering yang mengotori bajunya. Dengan wajah
memberengut kakinya melangkah keluar dari semak itu. Rangga mengikuti dengan
benak bertanya-tanya. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti sangat terkejut melihat
Ranti berada di tempat ini. Padahal setahunya, gadis itu bersama-sama Raden
Nadara dan rombongannya.
"Kenapa
berada di sini? Bukankah kau bersama-sama kakakmu...?" tanya Rangga
langsung.
"Huh!
Apa pedulimu?" dengus Ranti ketus.
"Jelas
aku peduli, karena kau baru saja hampir membunuhku!" sentak Rangga sengit
juga jadinya.
Ranti
membalikkan tubuhnya. Matanya menatap tajam, langsung ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sesaat Rangga jadi terkesiap. Sungguh tajam tatapan gadis
itu, seakan-akan hendak menembus jantung.
"Di
mana kakakmu?" tanya Rangga.
"Aku
tidak tahu!" sahut Ranti ketus.
Rangga
memandangi gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar
keheranan! Bagaimana mungkin gadis ini bisa sampai dalam waktu cepat? Sedangkan
Rangga baru dua hari berada di wilayah Kerajaan Kedung Antal ini. Untuk
mencapai wilayah kerajaan ini dari Kaki Gunung Anjar sebelah Selatan,
dibutuhkan waktu paling tidak lima hari perjalanan berkuda. Sedangkan baru dua
hari, Ranti sudah berada di sini. Dan entah sudah sejak kapan? gadis itu berada
di sini.
"Kau
pasti heran, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini begitu cepat" kata
Ranti seraya tersenyum tipis. "Memangnya kau saja yang bisa? Kau punya
burung rajawali raksasa, tapi aku tidak. Itu berarti kau masih kalah bila
dibandingkan denganku."
Rangga
hanya mendengus saja. Memang sudah diduga kalau Ranti melihatnya tadi bersama
Rajawali Putih. Namun dia masih belum mengerti, bagaimana gadis itu bisa sampai
di sini. Bahkan sepertinya sudah tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu akan
berada di tempat ini.
"Untuk
apa kau datang ke Kerajaan Kedung Antal ini?" tanya Ranti ketus. Begitu
dingin sekali nada suaranya.
"Itu
urusanku," sahut Rangga jadi ikut ketus juga.
"Kau
masuk tanpa ijin, dengan cara menyelinap seperti maling. Kau bisa dihukum
gantung, Kisanak," ancam Ranti tegas.
"Siapa
yang akan menghukumku? Kau...?" tantang Rangga.
"Bukan
aku. Tapi coba lihat sekelilingmu."
Bukan
main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti begitu memandang sekelilingnya.
Sungguh tidak disangka kalau di sekitarnya sudah banyak orang menunggu, dan
semua telah siap melepaskan anak panah kearah sasaran. Mereka tinggal menunggu
aba-aba
"Ha
ha ha...! Ternyata aku lebih cerdik darimu, Kisanak," Ranti tertawa
terbahak-bahak.
Rangga
hanya mendesis kecil. Dalam hati, memang diakui kecerdikan gadis ini. Pendekar
Rajawali Sakti itu kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rasanya
tidak ada lagi tempat untuk bisa keluar dari daerah ini. Setiap penjuru memang
sudah terkepung rapat oleh orang berpakaian prajurit yang sudah siap dengan
panah.
Mungkin
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa menghadapi hujan panah. Tapi rasanya tidak
yakin akan berhasil. Meskipun memiliki ilmu meringankan tubuh sempurna yang
ditambah tingkatan kepandaian tinggi, dia tidak akan mungkin bisa selamanya
menghindari serbuan panah dari segala penjuru.
"Sebaiknya
kau menyerah saja, Kisanak. Tidak ada gunanya melakukan perlawanan. Kau akan
mati konyol di sini. Mereka adalah ahli senjata panah. Mereka prajurit pilihan
yang sudah berpengalaman di medan tempur," kata Ranti penuh kemenangan.
"Kau
keliru jika menganggap begitu, Ranti," desis Rangga dingin.
"Oh...,
jadi kau ingin mencoba kemahiran mereka menggunakan panah? Baik! Rasakan akibat
kekerasan kepalamu!"
Ranti
langsung melompat mundur. Dan seketika itu juga ratusan anak panah meluncur
berdesingan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Bukan main terkejutnya pemuda
berbaju rompi putih itu, karena ternyata Ranti tidak main-main. Maka Rangga
tidak punya pilihan lain lagi. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, berlompatan
sambil cepat mengibaskan tangannya.
"Hiya!
Hiyaaa...!"
Tidak
terhitung lagi, berapa anak panah yang rontok terkena kibasan tangan Rangga
yang bergerak cepat mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Juga
tidak sedikit anak panah yang lewat begitu saja di sekitar tubuhnya. Namun
panah-panah itu seperti tidak pernah habis, dan terus berdesingan bagaikar
hujan.
Rangga
memang masih sanggup mempertahankan diri dari serbuan anak panah ini. Tapi jika
selamanya seperti ini, rasanya tidak akan mungkin mampu bertahan. Sedangkan
panah-panah itu terus berdesingan di sekitar tubuhnya. Maka dengan cepat
diputar tubuhnya seraya merapatkan tangan di depan dada. Lalu dengan cepat
sekali tangannya merentang ke samping, dan tubuhnya semakin cepat berputar
bagai gasing.
"Aji
'Bayu Bajra'. Yeaaah...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring melengking.
Bersamaan
dengan itu, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berhenti berputar. Kini kedua kakinya
terpentang lebar dengan telapak tangan menyatu rapat di depan dada. Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba saja di sekitar danau kecil itu bertiup angin
dahsyat, memperdengarkan suara menderu bagai topan.
Seketika
panah-panah itu berhamburan sebelum mencapai tubuh pemuda berbaju rompi putih
itu Tak lama berselang, terdengar teriakan-teriakan melengking tinggi. Sebentar
kemudian terlihat tubuh-tubuh berpentalan ke udara, terhempas tiupan angin
topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan
pohon-pohon dan bebatuan mulai beterbangan ke segala arah. Aji 'Bayu Bajra'
yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti memang sungguh dahsyat. Bahkan bumi
bagaikan bergetar seperti terjadi gempa, dan permukaan air danau bergolang
menimbulkan deburan keras bagai gelombang samudra.
"Yeaaah...!"
kembali Rangga berteriak nyaring. Seketika dihentakkan tangannya ke samping,
lalu dengan keras sekali ditepuk ke atas kepala. Saat itu juga, angin topan
yang diciptakannya berhenti. Seluruh daerah di sekitar danau kecil ini
porak-poranda, bagaikan baru saja diamuk ribuan gajah. Pohon-pohon
bertumbangan, tercabut dari akarnya.
Tampak
tubuh-tubuh berseragam prajurit bergelimpangan tak tentu arah. Bahkan beberapa
ada yang terhimpit batang pohon, atau kepalanya remuk tertindih batu. Juga
tidak sedikit yang bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Sekitar tempat itu
jadi dipenuhi suara rintihan kesakitan dari para prajurit yang terluka akibat
terkena serbuan angin topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...,"
Rangga bergumam kecil. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti itu langsung
tertuju pada sosok gadis cantik yang masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan
gadis itu menyunggingkan senyuman yang sinis sekali. Sepertinya dia tidak
terpengaruh sama sekali pada aji 'Bayu Bajra' yang dilepaskan Pendekar Rajawali
Saka tadi.
"Mengagumkan....
Sungguh dahsyat ilmu yang kau miliki, Kisanak," puji Ranti.
"Terima
kasih," sambut Rangga.
"Tapi
sayang, ilmu yang kau miliki belum berarti apa-apa bagiku," kata Ranti
lagi.
"Aku
juga mengakui ketangguhanmu, Ranti. Tapi maaf, prajuritmu tidak bisa menguasai
diri," Rangga menoleh.
"Meskipun
mereka prajurit pilihan, tapi memang bukan tandinganmu."
"Mereka
cukup tangguh dan mahir menggunakan senjata panah," Rangga mengakui.
Pendekar
Rajawali Sakti itu memang kagum pada kemahiran para prajurit itu menggunakan
senjata panah tadi. Hampir-hampir saja serangan panah tadi tidak sanggup
dihadapinya. Memang dia menggunakan aji 'Bayu Bajra' itu karena terpaksa. Tak
ada pilihan lain lagi, meskipun tahu akibatnya akan parah. Bukan saja bagi
mereka, tapi juga pada lingkungan sekitarnya. Itu sebabnya Rangga jarang sekali
menggunakan ajian yang satu ini, kalau tidak benar-benar terdesak,
"Sekarang
kau harus berhadapan langsung dennganku, Kisanak. Bersiaplah...!
Hiyaaat..!"
Cepat
sekali gadis itu melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti sambil melontarkan
empat pukulan beruntun sekaligus. Dan Rangga hanya mengegoskan tubuhnya
menghindari serangan gadis itu. Namun sebelum bisa berbuat sesuatu, Ranti sudah
kembali menyerangnya dengan dahsyat. Pukulan-pukulannya mengandung tenaga dalam
tinggi. Dan setiap angin pukulannya menimbulkan hawa panas, di samping hempasan
angin keras.
"Hap!
Hap! Yeaaah...!"
Rangga
langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang paling
sering digunakan dalam satu pertarungan awal. Dengan jurus ini bisa diukur,
sampai di mana tingkat kepandaian lawannya. Memang jurus ini tidak dikhususkan
untuk menyerang, tapi hanya untuk menghindari serangan lawan. Meskipun
demikian, bisa juga digunakan untuk menyerang. Tapi hanya sesekali saja. Itu
pun hanya serangan tipuan yang tidak berbahaya sama sekali.
Jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' memang aneh sekali. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu
bagaikan karet, meliuk-liuk dengan gerakan lambat namun sukar ditembus
pertahanannya. Bahkan kadang-kadang gerakannya seperti-ingin jatuh, persis
seperti orang mabuk, kebanyakan minum arak. Beberapa kali serangan yang
dilancarkan Ranti hampir mengenai sasaran, namun dengan manis sekali Rangga
selalu dapat berkelit Tentu saja hal ini membuat Ranti jadi gusar.
"Setan...!"
dengus Ranti sengit.
Gadis
itu melompat mundur. Lima jurus sudah dihabiskan, tapi belum juga bisa
menyentuh tubuh lawannya Bahkan menyentuh ujung rambutnya saja, tidak berhasil.
Beberapa kali dia mendengus seraya menyemburkan ludah. Matanya memerah,
menandakan telah menyimpan kemarahan yang amat sangat.
"Jangan
harap bisa mempermainkan aku dengan Jurus kacangan itu, Kisanak!" dengus
Ranti sengit.
"Asal
tahu saja, aku tidak ada minat bertarung denganmu. Kau terlalu cantik untuk
dilukai, Ranti," sengaja Rangga memanasi gadis itu.
"Phuih!
Kau pikir aku suka dengan pujianmu?" dengus Ranti, memerah wajahnya.
"Tapi
kau benar-benar cantik, rasanya aku...."
"Keparat...!
Hiyaaa...!"
Ranti
tak dapat lagi menahan kemarahannya. Wajahnya benar-benar memerah bagai
kepiting rebus. Gadis itu langsung saja melompat menerjang Pendekar Rajawali
Sakti itu. Membuat kata-kata Rangga terputus sebelum terselesaikan.
Serangan-serangan
yang dilancarkan Ranti kali ini sungguh dahsyat luar biasa. Rupanya gadis itu
mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya. Dan Rangga harus hati-hati
menghadapinya. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengambil resiko
jika mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Pertarungan
pun berjalan semakin sengit. Ranti mengeluarkan jurus-jurus andalan dahsyat dan
berbahaya sekali. Sedikit saja kelengahan akan berakibat parah buat Rangga. Dan
itu memang terjadi ketika Rangga baru saja terlepas dari serangan yang mengarah
ke kepala. Tanpa diduga sama sekali, Ranti menyodok bagian dada. Gadis itu
tidak menghiraukan lagi pertahanannya. Dan ini membuat Rangga terkejut setengah
mati. Cepat Rangga mengebutkan tangannya.
Des!
"Hup...!"
Pendekar
Rajawali Sakti itu melenting sejauh dua batang tombak ke belakang. Dua kali dia
berjumpalitan di udara. Kedua kakinya berhasil mendarat manis sekali. Rangga
menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang gadis itu.
Sodokan
tangan Ranti memang begitu keras, dan mengandung pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi. Rangga merasakan adanya getaran kuat pada telapak tangannya. Dan
sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa berpikir jauh, tiba-tiba saja Ranti
sudah kembali cepat menyerang.
"Hiyaaa...!"
Rangga
terbeliak kaget. Serangan gadis itu sungguh cepat luar biasa. Padahal, dia
sendiri belum sempurna menguasai pernapasannya. Dan sebelum bisa berbuat
sesuatu, satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, kembali dilontarkan gadis itu.
Beghk!
"Aaakh...!"
Rangga memekik keras melengking.
Pukulan
yang bersarang di dada Pendekar Rajawali Sakti itu dahsyat sekali, sehingga
membuat tubuhnya terpental jauh ke udara. Pada saat itu, Ranti sudah
melentingkan tubuhnya mengejar dengan kecepatan kilat
"Hiyaaat...!"
Des!
Bughk!
Dua
kali Ranti menyarangkan pukulan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sedang
meluncur deras di udara. Hal ini membuat pemuda berbaju rompi putih Itu semakin
tidak bisa menguasai keadaan tubuhnya. Dia semakin jauh terpental tanpa dapat
manguasai diri iagi. Bahkan dengan deras sekali, tubuhnya meluncur turun ke
bawah.
"Khraghk...!"
Wus!
Namun
sebelum tubuh Rangga menghantam tanah, mendadak saja dari angkasa meluncur
Rajawali Putih dengan kecepatan sangat tinggi. Cakar burung raksasa itu
langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawati Sakti, dan membawanya melambung
tinggi ke angkasa. Begitu cepatnya, sehingga Ranti yang kini sudah berpijak di
tanah, jadi terlongong.
"Keparat...!"
dengus Ranti menggeram. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, memandang burung
rajawali raksasa yang semakin jauh mengangkasa membawa Pendekar Rajawali Sakti.
Kakinya menghentak-hentak kesal. Dari bibirnya yang mungil, keluar gerutuan dan
makian bercampur kemarahan.
"Suit...!"
tiba-tiba saja Ranti bersiul nyaring. Sebentar kemudian, terdengar suara
ringkik kuda. Kemudian disusul munculnya seekor kuda putih berkilat, bertubuh
tinggi tegap, dengan otot-otot bersembulan. Kuda putih yang gagah itu,
meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi begitu
sampai di depan Ranti.
"Hup!"
Ranti
langsung melompat naik ke punggung kuda putih itu. Sungguh manis dan ringan
sekali gerakannya.
"Hiyaaa...!"
Begitu
Ranti menghentakkan tali kekang kuda, seketika itu juga kuda berbulu putih itu
meringkik keras, lalu melesat cepat bagai kilat. Debu mengepul di udara saat
kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan tepian danau yang porak-poranda tak
karuan lagi bentuknya.
"Hiya!
Hiyaaa!"
Ranti
terus menggebali kudanya semakin kencang dan semakin jauh meninggalkan tepian
danau, Cepat sekali kuda putih itu berpacu. Dalam waktu tidak berapa lama, kuda
putih itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Hanya gumpalan debu yang
teriihat membumbung tinggi ke angkasa.
***
TIGA
"Ohhh...."
Rangga menggeliatkan tubuhnya, sambil merintil lirih. Pelahan dibuka kelopak
matanya. Pendeka Rajawali Sakti ingin bangkit, tapi seluruh tubuhnya seperti
remuk, dan kepalanya terasa berputar saat mencoba mengangkat kepalanya. Setelah
rasa pening mulai menghilang, pelahan-lahan tubuhnya digerakkan lalu duduk
bersila.
"Uh...!"
Rangga mengeluh. Rangga merasakan napasnya begitu sesak, dan seluruh rongga
dadanya seperi remuk. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu memejamkan matanya.
Pelahan-lahan ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan kuat-kuat.
Beberapa kali dia melakukan hal yang sama, sampai rongga dadanya terasa longgar
"Aaahhh...,"
Rangga mendesah panjang sambi membuka matanya pelahan-lahan.
Pendekar
Rajawali Sakti Itu menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, untuk
mengerahkan hawa murni. Kemudian ditariknya napas panjang, lalu pelahan-lahan
dihembuskan melalui mulut. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada.
"Yaaah...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan tangannya hingga merentang ke
samping. Kemudian tangannya bergerak ke atas dan ke bawah pelahan, semakin lama
semakin bertambah cepat. Sesaat kemudian. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
bangkit berdiri. Kembali dirapatkan tangannya turun sehingga sejajar tubuh.
"Huuuh...!"
desah Rangga menghembuskan nafas panjang. Setelah melakukan beberapa gerakan
disertai pengerahan hawa murni, Rangga merasakan tubuhnya kembali segar. Dan
napasnya pun sudah kembali berjalan teratur. Namun, titik-titik keringat terlihat
membanjiri seluruh wajah dan lehernya. Rupanya tadi dia berusaha sekuat daya
untuk mengusir rasa sakit di dada.
Sebentar
Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Baru
disadari kalau dirinya berada di dalam sebuah gua yang sangat besar dan lapang.
Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah ke luar. Seketika hatinya tertegun
begitu melihat Rajawali Putih mendekam di samping mulut gua ini.
"Khraghk!"
Rajawali Putih mengepakkan sayapnya sambil berkaokan keras. Rupanya burung Itu
ingin menyambut gembira kedatangan Rangga yang bisa putih kembali seperti
sediakala. Rangga menghampiri burung rajawali raksasa itu. Langsung diulurkan
tangannya, lalu dipeluknya leher burung raksasa itu.
"Terima
kasih, Rajawali Putih," ucap Rangga] setengah berbisik.
"Kherrrkh...!"
Rajawali Putih mengkirik lirih.
Rangga
melepaskan pelukannya. Sebentar diperhatikannya burung raksasa itu, kemudian
dialihkan pandangannya ke ujung jari kakinya. Tampak ada tiga butir batu
kerikil yang tertata rapi. Kembali dipandangnya Rajawali Putih. Saat itu Rangga
langsung tahu kalau dirinya sudah tiga hari berada di sini. Jadi, selama itu
pula dia tidak sadarkan diri.
Rangga
mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya, sehingga sampai tidak
sadarkan diri begitu. Kini Pendekar Rajawali Sakti ingat kalau tiga hari yang
lalu bertarung dengan Ranti, seorang gadis cantik putri bungsu Prabu Raketu.
Rangga mengakui ketangguhan gadis itu. Tapi dia terlalu mengalah.
Namun
ada sesuatu yang tidak bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti itu, yakni
mengapa Ranti menyerangnya. Bahkan ingin membunuhnya. Lagi pula ketika berpisah
dengan rombongan gadis itu, jaraknya terlalu jauh. Dan rasanya tidak mungkin
Ranti bisa datang secepat itu
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang. Terlalu banyak pertanyaan melintasi
benaknya, namun tidak mudah dicari jawabannya. Penyelidikkan di Kerajaan Kedung
Antal, terpaksa terputus gara-gara Ranti yang begitu bernafsu ingin
mengalahkannya. Meskipun gadis itu tidak menyebut nama Rangga ataupun nama Pendekar
Rajawali Sakti, tapi pemuda berbaju rompi putih itu sudah bisa menebak kalau
Ranti sudah tahu banyak tentang dirinya.
"Rajawali,
antarkan aku kembali ke Kerajaan Kedung Antal," pinta Rangga.
"Khraghk...!"
"Hup!"
Rangga
langsung melompat naik ke punggung linriing rajawali raksasa itu. Sekali
mengepakkan sayapnya, burung rajawali raksasa itu sudah melesat tinggi ke
angkasa. Rangga berpegangan erat pada leher burung rajawali raksasa itu. Ada
rasa nyeri pada dadanya, Ketika Rajawali Putih melesat ke angkasa. Langsung
disadari, kalau luka dalam di dadanya belum sembuh benar.
"Hhh!
Tenaga dalam Ranti luar biasa sekali...!" keluh Rangga dalam hati.
Sementara Rajawali Putih terus meluncur menuju Kerajaan Kedung Antal. Hanya
sekali-sekali sayapnya mengepak, namun kecepatan terbangnya sungguh luar biasa.
***
Rangga
mengayunkan kakinya melintasi jalan berdebu yang cukup lebar, membelah Kota
Kerajaan Kedung Antal. Siang ini begitu terik, tapi tidak menghalangi kesibukan
kota yang selalu ramai ini. Sepertinya jalan ini tidak pernah sepi. Pejalan
kaki, penunggang kuda, maupun gerobak sapi, berbaur menjadi satu. Keramaian
semakin terasa oleh teriakan-teriakan para pedagang yang berusaha menjaring
pembeli.
Rangga
menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon asam yang cukup rimbun daunnya.
Di situ seorang penjual dawet tengah duduk terkantuk menunggu pembeli.
Laki-laki tua penjual dawet itu langsung terbangun saat Rangga berada di
sampingnya.
"Ingin
minum dawet, Den...?" laki-laki tua itu menawarkan.
"Bolehlah.
Buatkan satu," sahut Rangga.
Laki-laki
tua penjual dawet itu tersenyum. Dengan cekatan sekali dilayaninya pembeli.
Sedangkan Rangga asyik memperhatikan sebuah bangunan besar yang dikelilingi
tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Itulah bangunan Istana Kedung Antal.
Terlihat di sana hanya ada dua orang penjaga pintu gerbang benteng istana itu.
"Ini
dawetnya, Den."
"Oh...!"
Rangga tersentak kaget
Buru-buru
diterimanya gelas berisi minuman dawet Gelas yang terbuat dari bambu lodong
yang dihaluskan, dengan sedikit hiasan dari rotan. Sedikit Rangga menghirup
minuman khas rakyat itu, tetap cukup terasa segar di tenggorokan.
"Tampaknya
Raden baru saja menempuh perjalanan jauh," kata laki-laki tua penjual
dawet itu.
Rangga
tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
"Pasti
Raden juga bukan orang sini," tebak penjual itu lagi.
Lagi-lagi
Rangga hanya tersenyum saja. Tebakan laki-laki tua penjual dawet itu memang
tepat sekali. Dan Rangga memuji kejelian mata laki-laki tua ini. Tapi keadaan
tubuhnya yang kotor berdebu, memang membuat siapa saja pasti bisa menebak kalau
dirinya baru saja melakukan perjalanan jauh.
"Kalau
boleh Bapak tahu, ke mana tujuannya, den" kembali laki-laki tua itu
bersuara.
"Ke
istana itu," sahut Rangga seenaknya.
"Ke
istana...?!" laki-laki tua itu nampak terkejut
"Kenapa
Bapak terkejut?" tanya Rangga heran juga.
"Tidak
apa-apa, Den," sahut laki-laki tua itu buru-buru. "Tapi untuk apa
datang ke istana, Den?"
"Hanya
sekedar melihat-lihat saja. Kabarnya Prabu Raketu orang yang bijaksana,
sehingga selalu mengijinkan rakyatnya untuk bertemu kapan saja," kata
Rangga beralasan.
"Memang
benar. Den. Tapi itu dulu...," agak terputus nada suara laki-laki tua itu.
"Lho!
Memangnya sekarang sudah berubah?" Rangga tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Sebenarnya
belum berubah sama sekali, Den. Masih banyak Juga rakyat yang datang ke sana.
Tapi mereka yang datang, tidak bisa bertatap muka dengan Gusti Prabu lagi,
sejak...," kembali ucapan laki-laki tua llu terputus.
Rangga
menatap dalam-dalam bola mata tua yang cekung ke dalam itu. Dirasakan ada
sesuatu yang tampaknya sangat dirahasiakan, terutama tentang Prabu Raketu.
"Ah!
Tidak baik membicarakan seorang raja Den," kata laki-laki tua itu lagi,
mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sayang
sekali. Padahal, jauh-jauh aku datang hanya ingin bertemu dan melihat saja
wajah Prabu Raketu," desah Rangga memancing.
"Percuma
saja, Den. Kemarin saja Bapak mencoba masuk. Tapi ditunggu sampai sore, Gusti
Prabu tidak muncul juga. Malah Gusti Patih Karuni yang menemui dan
memberitahukan kalau Gusti Prabu tidak bisa keluar," jelas laki-laki tua
itu.
"Kenapa
Prabu Raketu tidak ingin keluar?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Entahlah,
Den. Tapi menurut cerita yang Bapa dengar, Gusti Prabu sedang sakit,"
sahut laki-laki tu itu lagi.
"Sakit...?"
gumam Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
Rangga
kembali memandangi bangunan istana yang terlihat sangat megah Itu. Keterangan
yang diperoleh dari penjual dawet ini sangat berharga sekali meskipun tidak
lengkap dan belum tentu kebenarannya. Tapi keterangan dari seorang rakyat
biasa, biasanya bisa dipercaya. Hanya saja yang menjadi pertanyaan Rangga
adalah, apakah memang benar Prabu Raketu sakit..? Kalau memang benar, lalu
untuk apa kedua anaknya diutus untuk datang ke Karang Setra? Yang lebih
mengherankan, mengapa rombongan utusan khusus itu diserang orang-orang
berpakaian prajurit dari Kerajaan Kedung Antal ini juga?
Terialu
banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu,
namun tak satu pun yang bisa dijawab. Rangga menyerahkan kembali gelas bambu
yang sudah kosong. Laki-laki tua penjual dawet itu menawarkan lagi, tapi Rangga
menolak. Segera dibayar minuman tadi, kemudian langsung pergi.
Rangga
mengayunkan kakinya mendekati gerbang istana itu. Sengaja Pendekar Rajawali
Sakti datang secara terang-terangan, karena ingin mengetahui tanggapan para
prajurit dan pembesar istana dengan kedatangannya. Pemuda berbaju rompi putih
itu berhenti berjalan setelah sampai di depan pintu gerbang. Se-orang prajurit
penjaga menghampirinya, lalu memberi salam penghormatan selayaknya seorang
prajurit
"Adakah
yang bisa kami bantu?" ramah sekali prajurit itu menyapa.
"Boleh
hamba bertemu Gusti Prabu?" pinta Rangga juga sopan.
"Sayang
sekali, hari Ini Gusti Prabu tidak bisa ditemui," sahut prajurit itu
memberitahu.
"Kenapa?"
tanya Rangga.
"Gusti
Prabu sedang melaksanakan Semadi Tapa Brata. Jadi, tidak ada seorang pun yang
diijinkan menemuinya, sebelum semadinya selesai," sopan sekali prajurit
itu menjelaskan.
"Ah,
sayang sekali..." desah Rangga seperti menyesali. 'Tapi, bolehkah hamba
melihat-lihat ke dalam istana?"
"Maaf,
larangan resmi sudah dikeluarkan. Siapa pun tidak diperbolehkan melihat-lihat
istana lagi," kembali prajurit itu menjelaskan dengan sopan.
"Oh...!
Sejak kapan peraturan itu berlaku?" tanya Rangga tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Dua
hari yang lalu. Maaf. Kami hanya menjalankan tugas. Sebaiknya Kisanak kembali
saja ke sini setelah peraturan itu dicabut"
"Baiklah.
Terima kasih."
Rangga
membalikkan tubuhnya, lalu berjalan meninggalkan gerbang istana itu. Prajurit
yang memberi keterangan dengan sikap sopan tadi, kembali menempati posnya.
Sementara Rangga terus berjalan semakin jauh.
"Aneh...?"
gumam Rangga dalam hati. Rangga memang merasakan adanya sesuatu keanehan.
Peraturan yang dibuat Patih Karuni, sehari. Setelah Pendekar Rajawali Sakti itu
bertarung dengan Ranti dan para prajurit di tepi danau sebelah Selatan Kerajaan
Kedung Antal ini. Rangga jadi bertanya-tanya, apakah peraturan itu ada
hubungannya dengan pertarungannya dengan Ranti...?
"Aku
harus mengetahui keanehan di sini!" berkata Rangga dalam hati. "Aku
merasakan ada ketidakberesan dalam istana itu. Aku kenal betul Prabu Raketu.
Rasanya tidak mungkin dia membuat peraturan seperti itu, meskipun sedang
melakukan Semadi Tapa Brata atau melakukan Semadi Pati Agni. Kedua macam semadi
itu memang tidak bisa diganggu, bahkan dikit gangguan saja akan membatalkan
semadinya. Hm.... Patih Karuni.... Siapa dia?" Rangga bertanya-tanya dalam
hati.
Rangga
mencoba mengingat-ingat, tapi rasanya memang nama Patih Karuni belum pernah
didengarnya. Hampir seluruh pembesar Kerajaan Kedung Antal ini dikenalnya, tapi
yang namanya Patih Karuni belum dikenalnya sama sekali. Meskipun Pendekar
Rajawali Sakti Itu belum pernah berjumpa seluruh pembesar kerajaan, tapi
nama-namanya sebagian besar sudah ia ketahui.
"Hm....
Aku harus memulai dari menyelidiki keadaan di dalam istana itu lebih
dahulu," kembali Rangga bicara dengan dirinya sendiri.
***
Malam
sudah begitu larut menyelimuti seluruh permukaan bumi Kerajaan Kedung Antal.
Malam ini benar-benar gelap, karena tak terlihat bulan atau satu bintang pun
menggantung dilangit. Angin berhembus cukup kencang, menebarkan udara dingin
menggigil-kan. Namun di beberapa sudut kota, keramaian masih terlihat Terutama
pada kedai-kedai minum dan rumah-rumah penginapan.
Pada
salah satu kamar penginapan, terlihat Rangga tengah berdiri di depan jendela!
kamarnya yang dibuka lebar-lebar. Angin yang berhembus kencang, membuat rambut
Pendekar Rajawali Sakti itu meriap melambai-lambai. Pandangannya lurus tak
berkedip mengamati bangunan istana yang tidak seberapa jauh dari rumah
penginapan ini.
"Hm...,
sekarang saatnya," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan.
Slap!
Tiba-tiba
saja Pendekar Rajawali Sakti itu melesat keluar dari kamarnya. Cepat sekali
gerakan pemuda berbaju rompi putih itu. Dalam waktu sebentar saja, Rangga sudah
nangkring di atas atap sebuah rumah Lalu kembali tubuhnya melesat cepat ke atas
atap rumah lainnya lagi.
Rangga
berlompatan ringan dan cepat tanpa sedikit pun menimbulkan suara. Dia hinggap
dari satu rumah ke rumah lainnya, hingga sampai di bagian belakang benteng
Istana Kedung Antal itu. Sebentar diamati sekitarnya, lalu kepalanya mendongak
mengukur tingginya tembok benteng di depannya.
"Hup!"
Tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara dengan gerakan ringan. Manis
sekali kakinya hinggap di bagian atas tembok benteng. Rangga merunduk, menekuk
lututnya hingga sampai menyentuh bagian aras tembok. Sebentar diamati keadaan
dalam benteng Ini.
"Sepi...,"
gumam Rangga. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat dan berputaran tiga
kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah. Namun sebelum sempat melakukan
sesuatu, tiba-tiba saja sebatang tombak panjang meluncur deras kearahnya.
Sesaat Rangga terkesiap, kemudian cepat-cepat menarik tubuhnya ke samping
sedikit miring.
Tombak
itu lewat sedikit di depan dadanya. Rangga langsung menarik tubuhnya kembali,
dan cepat merunduk ketika sebatang tombak lainnya meluncur deras mengarah ke
kepala. Namun belum juga menarik kepalanya tegak, mendadak saja dari balik
pohon dan tombok bangunan istana, bermunculan prajurit yang bersenjata tombak
dan pedang.
"Huh!"
dengus Rangga keras.
Para
prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang itu, langsung berlompatan
cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Teriakan-teriakan pembangkit semangat
pertempuran terdengar membahana. Tak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk
menghindar dari pertempuran ini. Para prajurit itu cepat sekali menyerang dari
segala penjuru.
Tak
ada pilihan lain lagi. Maka Rangga langsung mengerahkan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'. Satu jurus ampuh dari rangkaian lima jurus rajawali sakti.
Cepat sekali gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu. Gerakan
kakinya sungguh lincah nan cepat luar biasa, diimbangi gerakan tubuh yang
meliuk-liuk seraya melontarkan pukulan-pukulan keras mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah!
Hiyaaa...!"
"Aaakh...!"
Jeritan-jeritan
melengking tinggi terdengar saling sambut Setiap kali Rangga melontarkan
pukulan, satu dua orang terpental ambruk disertai jeritan panjang melengking
tinggi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, lebih dari separuh jumlah
prajurit itu bergelimpangan sambil merintih kesakitan. Memang sengaja Rangga
tidak memberi pukulan mematikan dan hanya melumpuhkan perlawanan para prajurit
itu.
"Hup!
Yeaaah...!"
Tiba-tiba
saja Rangga melentingkan tubuhnya udara sambil berteriak nyaring. Tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu berjumpalitan di udara, lalu melunct deras ke arah
atap bangunan istana Namun belum juga sampai, sebuah bayangan merah tiba-tiba
meluncur deras ke arahnya.
"Uts...!"
Buru-buru
Rangga memutar tubuhnya, lalu meluruk cepat ke bawah. Terjangan bayangan merah
lewat di atas kepalanya. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu
menjejakkan kakinya di tanah bayangan merah itu sudah cepat kembali menerjai
nya.
"Hup!
Yeaaah...!"
Cepat-cepat
Rangga melompat ke samping saml memutar tubuhnya, sehingga terjangan bayangan
merah itu kembali luput dari sasaran. Rangga segera bersiap dengan kaki
terpentang lebar ketika bayangan merah itu berbalik cepat, dan langsung meluruk
menerjangnya. Sedikit pun Rangga tidak bergerak. Bahkan begitu bayangan merah
itu dekat, dengan cepat sekali dihentakkan kedua tangannya ke depan disertai
pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempuraan.
"Yeaaah...!"
Hughk!
Satu
benturan keras tak dapat dihindari lagi. Suara jeritan pun terdengar
menggelegar memecah kesunyian malam itu. Tampak bayangan merah itu terpental
sejauh tiga tombak ke belakang. Sedangkan Rangga sendiri terdorong enam
langkah, namun keseimbangan tubuhnya cepat-cepat dikuasai. Pendekar Rajawali
Sakti kembali bersiap menerima serangan berikut Namun bayangan merah yang
ternyata seorang perempuan tua berjubah merah itu hanya berdiri saja dengan
pandangan mata tajam memerah.
Sebentar
Rangga mengamari perempuan tua berjubah merah itu. Dia menebak kalau usia
perempuan tua itu sudah mencapai tujuh puluh tahun lebih. Bahkan mungkin sudah
lebih dari delapan puluh tahun, rambutnya yang sudah memutih seluruhnya,
dibiarkan meriap tak teratur hingga hampir menutupi seluruh tubuhnya. Perempuan
tua berjubah merah itu membawa sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya.
Namun pada bagian ujung bawah, bentuknya runcing berkilat seperti emas.
"Ada
perlu apa kau menyelinap di sini, Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya
perempuan tua berjubah merah itu mendesis. Suaranya terdengar serak kering
sekali.
"Aku
ingin bertemu sahabatku di sini," sahut Rangga dingin, tapi juga agak
terkejut karena pererj puan tua berjubah merah itu sudah mengetahui julukannya.
"Tidak
ada sahabatmu di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya cepat tinggalkan
tempat ini, sebelum tubuhmu hancur tercincang!" ancam perempuan itu
mengusir kasar.
"Hm...,
siapa kau sebenarnya? Apakah kau sudah tahu kalau aku sahabat Prabu
Raketu...?" desis Rangga tajam.
"Aku
Dewi Merah Penghisap Darah. Aku tidak peduli meskipun kau sahabat Prabu Raketu.
Aku disini bertugas menjaga keutuhan istana, jadi berhak mengusir siapa saja
yang lancang masuk ke dalam istana tanpa ijin!" jawab perempuan tua itu
tegas.
"Hm.,.,
siapa yang memberimu tugas seperti itu� tanya Rangga lagi.
"Kau
terlalu banyak tanya, Pendekar Rajawali Sakti. Lihat sekelilingmu! Jika masih
berkeras kepala aku tidak segan-segan menjatuhkan tangan kejam kepadamu!"
bentak Dewi Merah Penghisap Darah geram
Rangga
mengedarkan pandangannya ke sekiling. Kini di sekitarnya sudah mengepung
puluhan prajurl yang sudah siap dengan senjata terhunus. Sebenarnya tidak
terlalu sulit bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menggempur para prajurit yang
rata-rata tingkat kepandainnya masih rendah. Tapi dia tidak ingin melukai satu
prajurit pun. Terlebih lagi sampai menghancurkan istana ini. Tampaknya Rangga
memang tidak punya pilihan lain lagi. Memang terlalu banyak yang harus
dipertimbangkan.
"Baik,
aku akan pergi. Tapi aku ingin bertemu Prabu Raketu dulu," kata Rangga
memberi penawaran
"Bedebah!
Rupanya kau memang benar-benar keras kepala, Pendekar Rajawali Sakti. Aku jadi
ingin tahu, apakah kepalamu lebih keras dari batu cadas!" geram Dewi Merah
Penghisap Darah.
"Kepalamu
juga cukup keras rupanya, Nisanak!" balas Rangga dingin.
"Setan..!
Hiyaaat..!"
Dewi
Merah Penghisap Darah tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Cepat sekali
perempuan tua itu melompat dan memberikan serangan dahsyat Tongkatnya
dikibaskan ke arah beberapa bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan
cepat pula, pemuda berbaju rompi putih itu berkelit menghindar, langsung
diberikannya balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
***
EMPAT
Pertarungan
antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Dewi Merah Penghisap Darah, tidak bisa
dihindarkan lagi. Sementara di sekitar halaman belakang Istana Kedung Antal,
berkeliling para prajurit yang semakin banyak jumlahnya. Rupanya suara ribut
pertarungan itu membuat seluruh penghuni istana terbangun, dan tumpah di
halaman belakang istana
Mengetahui
jumlah prajurit yang semakin banyaki Pendekar Rajawali Sakti itu jadi cemas
juga. Tapi Rangga tidak mungkin lagi menyelamatkan diri begitu saja. Tak ada
yang bisa dilakukan Rangga selain mengalahkan perempuan tua ini secepatnya,
lalu meloloskan diri dari kepungan para prajurit itu. Memang akan ada korban
dan kerusakan bangunan istana, tapi hanya itu yang bisa dipikirkan Rangga saat
ini. Dan rasanya tak ada jalan lain lagi yang harus ditempuh.
"Hiya!
Hiya! Hiyaaa!"
Seketika
Pendekar Rajawali Sakti itu meningkatkan tempo permainannya. Dikerahkannya
Jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dikombinasikan,
sehinga menghasilkan begitu banyak macam jurus yang sangat dahsyat.
Perubahan
tempo pertarungan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat,
membuat Dewi Merah Penghisap Darah itu jadi kelabakan juga. Beberapa kali tubuh
tua itu hampir saja terkena kibasan tangan ataupun pukulan yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, namun masih bisa dihindari. Hingga suatu
ketika....
"Yeaaah...!"
Sambil
berteriak menggelegar, Rangga melontarkan satu pukulan keras dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah kepala Dewi Merah Penghisap Darah. Namun
perempuan tua berjubah merah itu masih dapat menghindar dengan merundukkan
kepalanya sedikit. Dan tanpa diduga sama sekali, tanpa menarik pukulannya,
Rangga cepat mengibaskan kakinya seraya merubah jurus menjadi 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Kibasan kaki Pendekar Rajawali Sakti itu diikuti lesatan
rubuhnya yang cepat bagai kilat
"Hiyaaa...!"
Deghk!
"Akh...!"
Dewi Merah Penghisap Darah terpekik agak tertahan sedikit.
Perempuan
tua berjubah merah itu tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti akan
melakukan serangan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga
tidak sempat lagi untuk menghindarinya. Tendangan kaki Pendekar Rajawali Sakti
begitu keras, dan tepat menghantam punggungnya.
Tak
dapat dicegah lagi, tubuh perempuan tua berjubah merah itu terjajar, dan
terhuyung-huyung kedepan beberapa langkah. Dan sebelum keseimbangaan tubuhnya
sempat dikuasai, Rangga sudah kembali menyerang. Dilontarkannya satu pukulan
menggeledek bertenaga dalam sangat tinggi, dan tepat menghantam dada perempuan
tua berjubah merah itu.
"Akh...!"
sekali lagi Dewi Merah Penghisap Darah memekik keras.
Pada
saat perempuan tua berjubah merah itu terbanting ke tanah, secepat kilat Rangga
melentingkan tubuhnya ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di atasi atap
bangunan istana
"Jangan
biarkan dia lolos! Serang...! Bunuh keparat itu...! Kejar...!" teriak Dewi
Merah Penghisap Darah sambil menggeliat bangkit berdiri.
Seketika
itu juga, puluhan prajurit yang membawa panah, langsung melepaskan panah ke
arah Pendekar Rajawali Sakti yang berada di atas atap bangunan istana. Puluhan
anak panah berdesingan di sekitar tubuh Rangga sehingga membuatnya harus
bergelimpangan di atap, menghindari serangan yang datang bagaikan hujan itu.
Dalam
waktu yang bersamaan, beberapa prajurit! berpangkat tamtama dan punggawa, serta
beberapa panglima sudah berlompatan ke atas atap. Hal ini membuat Rangga jadi
menggeram. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri begitu
serangan panah tidak terlihat lagi. Lalu dengan segera dihentakkan kedua
tangannya seraya mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
"Aji
'Bayu Bajra'...! Hiyaaa...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Pekikan-pekikan
keras melengking tinggi, seketika terdengar begitu tiba-tiba saja bertiup angin
badai yang sangat dahsyat. Mereka yang mencoba berlompatan naik ke atas atap,
langsung berpelantingan jatuh ke bawah. Dan mereka yang masih berada di bawah,
terpental sambil menjerit keras terhempas hembusan angln topan yang diciptakan
Pendekar Rajawali Sakti.
Kesempatan
yang baik dan sempit ini, tidak di-sia-siakan Rangga untuk cepat meninggalkan
Istana Kedung Antal. Secepat ajiannya ditarik, secepat itu pula tubuhnya
melesat pergi bagai kilat Sekejap saja, tubuh pemuda berbaju rompi putih itu
sudah lenyap, menghilang di balik tembok benteng bangunan istana Ini.
***
Rangga
menggeliatkan tubuhnya, menggelinjang bangun dari pembaringan. Suara
ribut-ribut di luar penginapan, membuatnya terjaga. Seketika Pendekar Rajawali
Sakti melompat mendekati jendela, lalu mengintip ke luar. Tampak beberapa
prajurit dan dua orang punggawa berkuda berada di depan rumah penginapan ini.
"Barang
siapa yang bisa menyerahkan kepala Pendekar Rajawali Sakti, Gusti Prabu Raketu
akan memberi hadiah yang besar dan akan diangkat sebagai panglima perang untuk
membawahi seribu angkatan perang prajurit pilihan...!"
"Keparat..!"
geram Rangga saat mendengar baris pengumuman yang dibacakan salah seorang
punggawa.
Tentu
saja, pengumuman yang dibacakan lantang itu, dapat terdengar semua orang.
Terlebih lagi, punggawa itu terus membacakan pengumuman sambil gerak
mengelilingi seluruh Kota Kerajaan Kedung Antal ini.
Rangga
menyandarkan tubuhnya ke dinding samping jendela kamar penginapan. Hatinya
benar-benar geram mendengar pengumuman itu. Sudah pasti, pengumuman itu berlaku
bagi semua orang. Dai ini berarti akan menarik perhatian kaum rimba persilatan
yang gemar memburu kepala untuk mendapatkan hadiah besar serta jabatan tinggi.
Para pemburu kepala akan berkeliaran. Dan yang pasti, mereka akan memburu
kepala Pendekar Rajawali Sakti!
Rangga
meraih pedang yang terletak di atas meja lalu dikenakannya di punggung Setelah
merapikan diri, kakinya melangkah keluar dari kamar penginapannya. Pendekar
Rajawali Sakti terus berjalan cepat menemui pemilik penginapan yang selalu ada
di bagian depan rumah penginapan ini. Setelah membayar sewa kamarnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu berjalan cepat meninggalkan rumah penginapan itu.
Sengaja
Rangga memutar, mengambil jalan leway belakang, kemudian mengerahkan ilmu lari
cepat menuju ke dalam hutan yang membatasi Kota Kerajaan Kedung Antal ini
dengan Gunung Anjar. Sempurna sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di tepi hutan.
Rangga
menghentikan larinya setelah sampai di tepi sungai kecil yang membatasi hutan
dengan kota-raja Sebentar diedarkan pandangannya ke sekeliling. Terdengar
gumamam kecil disertai dengusan napas berat agak tertahan. Pendengarannya yang
tajam, langsung dapat mendengar tarikan beberapa napas di sekitarnya.
"Hiyaaa...!
"Yeaaah...!"
Belum
juga Pendekar Rajawali Sakti itu sempat berpikir jauh, tiba-tiba saja
bermunculan orang-orang bersenjata golok terhunus. Mereka berlompatan sambil
berteriak-teriak mengacungkan goloknya. Kembali Rangga mendengus berat, lalu
cepat-cepat menggeser kakinya ke kiri seraya memiringkan tubuh, menghindari
tebasan sebuah golok.
"Hih...!"
Cepat
sekali tangan Rangga mengibas, dan langsung mendarat di perut penyerangnya.
Orang itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Dan sebelum disadari apa
yang terjadi, kembali satu pukulan keras mendarat di wajahnya.
Des!
"Akh...!"
Orang
itu terpental jauh ke belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah.
Seketika darah mengucur deras dari rongga mulutnya. Hanya sebentar orang itu
mampu berkutik, kemudian tidak bergerak-gerak lagi. Kali ini Rangga memang
benar-benar tidak memberi ampun lagi. Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau mereka
adalah pemburu kepala yang tentu sudah mendengar pengumuman dari punggawa
kerajaan tadi. Herannya, pengumuman itu cepat sekali tersebar Padahal belum ada
satu hari, tapi sekarang sudah ada enam orang bersenjata golok yang berusaha
ingin memenggal kepalanya.
"Hiya!
Hiyaaa...!"
Sambil
berteriak keras menggelegar, Rangga cepat memutar tubuhnya, dan langsung
melenting ke angkasa. Kemudian dengan kecepatan kilat, Pendekar Rajawali Sakti
meluruk deras sambil menggerakkan kakinya disertai kibasan tangan. Saat itu
Rangga mengeluarkan gabungan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega*.
Hebat
dan luar biasa sekali gabungan dua jurus yang memang sudah luar biasa
dahsyatnya itu. Mereka yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti, tidak bisa
berbuat apa-apa. Jeritan-jeritan melengking tinggi seketika terdengar menyayat
saling susul. Kemudian tubuh-tubuh tak beryawa lagi langsung bergelimpangan di
tanah. Hanya dalam satu gebrakan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil
membuat enam orang pengeroyoknya tak mampu berkutik lagi.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang
Enam
orang itu memang bukan lawan tanding pendekar muda berbaju rompi putih itu.
Mereka ternyataa hanyalah para begal jalanan yang mencoba mencari keberuntungan
dengan memburu hadiah yang dijanjikan pihak kerajaan. Hal seperti inilah yang
sangat disesalkan Rangga. Pengumuman pemburuan kepala ini akan menimbulkan
banyak masalah, terutama jatuhnya korban yang sia-sia.
"Aku
tidak percaya kalau Prabu Raketu mengeluarkan pengumuman itu...," desah
Rangga dalam hati.
***
Pengumuman
yang dikeluarkan Istana Kerajaan Kedung Antal, sangat menarik perhatian pemburu
kelola dari kaum rimba persilatan. Dalam waktu beberapa hari saja, di setiap
pelosok kerajaan itu terlihat tokoh rimba persilatan berkeliaran. Mereka bukan
saja memburu kepala Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan hadiah besar dan
pangkat tinggi, tapi juga membuat keonaran dengan merampok, saling bertarung
menyabung nyawa, dan menyakitkan rakyat.
Keadaan
di Kerajaan Kedung Antal seketika berubah total. Suasana yang biasanya nyaman
dan damai, kini berubah jadi hangat diwarnai tumpahan darah 玡tiap saat.
Rakyat pun jadi menderita. Mereka tidak lagi merasa tenang, meskipun berada di
dalam rumahnya sediri. Namun keadaan seperti ini, tampaknya didiamkan saja oleh
pihak istana. Bahkan tak ada seorang prajurit pun yang mencoba mengatasi. Para
pembesar istana seperti tidak mau tahu. Bahkan sepertinya mendukung agar
suasana kerajaan semakin bertambah parah.
Keadaan
yang semakin tidak menentu itu membuat tokoh-tokoh beraliran putih semakin
diliputi kekhawatiran. Kecemasan mereka memang beralasan, Karena kalau tidak
segera diatasi, golongan hitam rimba persilatan akan semakin menjadi-jadi.
Tidak sedikit para pendekar yang mencoba menghentikan, tapi ternyata tidak
mampu menghadapi begitu banyak kaum rimba persilatan yang rata-rata memiliki
kemampuan cukup tinggi. Terlebih lagi, kalangan istana tak ada yang mendukung
tindakan para pendekar. Hal seperti ini juga menjadikan Rangga sangat khawatir
akan nasib Kerajaan Kedung Antal. Sedangkan dirinya sendiri semakin sukar
mendekati istana itu.
"Khraghk...!"
"Tidak
ada jalan masuk ke istana itu, Rajawali" kata Rangga yang saat itu berada
di punggung Rajawali Putih.
Rangga
mencoba masuk ke dalam lingkungan Istana Kedung Antal dengan menunggang burung
rajawali raksasa. Tapi hatinya benar-benar kecewa karena istana itu dijaga
ketat. Tak ada sedikit pun peluang untuk masuk ke sana. Sementara Rajawali
Putih terus berputar-putar di atas bangunan istana itu dengan menjaga jarak
ketinggian terbangnya
"Kau
lihat sebelah Selatan sana, Rajawali?" Rangga menunjuk ke arah Selatan
dari Kota Kerajaan Kedung Antal ini.
"Khraghk...!"
"Coba
kita lihat ke sana," ajak Rangga. Rajawali raksasa itu tidak membantah,
dan segera meluruk ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Di Kaki
Gunung Anjar sebelah Selatan, terlihat debu mengepul membumbung tinggi ke
angkasa. Kepulan debu itu sangat menarik perhatian Rangga. Seketika diurungkan
niatnya untuk menembus masuk ke dalam lingkungan Istana Kerajaan Kedung Antal.
"Cepat
turun, Rajawali. Aku akan melompat begitu dekat!" seru Rangga.
Jelas
sekali terlihat, kalau kepulan debu itu akibat pertarungan beberapa orang yang
begitu sengit. Rajawali Putih menuruti permintaan Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga langsung menukik deras ke arah pertarungan di Kaki Gunung Anjar itu.
Cepat sekali burung raksasa itu menukik, sehingga sebentar saja sudah begitu
dekat. Maka, saat itu Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih.
"Hiyaaa...!"
Rajawali
Putih kembali melambung tinggi ke angkasa, begitu Rangga menjejakkan kakinya di
tanah, tidak jauh dari tempat pertarungan. Dan Pendekar Rajawali Sakti terkejut
sekali, karena orang-orang yang bertarung itu adalah Raden Nadara bersama para
prajurit setia dua orang panglima dan dua orang patih.
Mereka
bertarung sengit melawan orang-orang rimba persilatan. Tanpa berpikir panjang
lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat terjun ke dalam kancah
pertempuran. Dua kali dilontarkan pukulan bertenaga dalam tinggi, maka dua
orang langsung tergeletak roboh tak bernyawa lagi dengan kepala pecah. Rangga
terus melancarkan pukulan-pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi
"Rangga...,"
desis Raden Nadara begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti mengamuk membantunya.
Raden
Nadara langsung melompat cepat mendekati Rangga sambil mengibaskan pedangnya beberapa
kali. Terdengar jeritan melengking saling susul disertai ambruknya beberapa
orang yang berlumuran darah terkena sabetan pedang Raden Nadara. Pemuda itu
berhasil mendekati Rangga yang baru saja menjatuhkan tiga orang sekaligus.
"Apa
yang terjadi, Raden?" tanya Rangga langsung sebelum Raden Nadara membuka
suara.
"Aku
tidak tahu, tiba-tiba saja mereka menyerang," sahut Raden Nadara.
Mereka
terus bergerak cepat menghajar lawan-lawannya.
"Mundur...!"
tiba-tiba terdengar teriakan memerintah.
Seketika
itu juga, orang-orang yang menyerang pasukan Raden Nadara berlompatan mundur.
Sebentar saja mereka sudah menghilang di dalam hutan. Saat itu juga pertarungan
terhenti. Hanya tinggal sekitar sembilan prajurit ditambah dua orang panglima
dan dua orang patih yang masih hidup.
"Untung
kau cepat datang, Rangga," ujar Raden Nadara.
"Kebetulan
aku lewat di sini," sahut Rangga seraya mengedarkan pandangannya
berkeliling.
Cukup
banyak juga yang tewas. Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi sembilan
prajurit yang masih hidup serta dua orang panglima dan dua orang patih. Mereka
kelihatan begitu lelah. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti itu beralih pada
Raden Nadara..
"Aku
tidak melihat adikmu. Raden. Di mana dia?" tanya Rangga jadi teringat
Ranti.
"Ranti
tinggal di Istana Karang Setra. Katanya dia saja yang menunggu Prabu Karang
Setra," jelas Raden Nadara. "Katanya, Prabu Rangga sedang bepergian
saat ini."
"Lalu,
untuk apa kau kembali ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Inilah
yang membuatku sedih, Rangga. Aku tidak menyangka akan seperti ini
jadinya," ada nada sedikit keluhan pada suara Raden Nadara.
"Sudah
tiga kali ini kami diserang," celetuk salah seorang patih yang sudah
berada dekat mereka. Patih itu mengenakan baju warna biru, dan namanya Patih Argabaya.
"Benar,"
sambung Panglima Kitin yang memegang sepasang tombak pendek.
"Padahal
kami tidak tahu apa maksud penyerangan mereka. Mereka hanya menanyakan Pendekar
Rajawali Sakti. Dan katanya, pendekar itu akan di penggal kepalanya atas
perintah Gusti Prabu Raketu," sambung Patih Kolana yang memakai baju putih
ketat.
Rangga
hanya diam saja mendengarkan keluhan-keluhan itu. Hatinya benar-benar geram,
namun jadi prihatin juga. Memang sudah diduga, akibat pengumuman itu akan
terjadi pertumpahan darah secara brutal. Para pemburu kepala itu tidak akan
membeda-bedakan lagi antara kawan dan lawan. Mereka akan menyerang siapa saja
jika mendengar keterangan kalau seseorang pernah berhubungan dengan Pendekar
Rajawali Sakti.
***
EMPAT
Atas
saran Rangga, sisa prajurit ditambah dua orang patih, dan dua orang penglima,
menunggu saja di Lereng Gunung Anjar. Sedangkan dirinya sendiri bersama Raden
Nadara hendak menyelidiki keadaan dalam istana. Tentu saja mereka tidak datang
secara terang-terangan, karena sudah pasti hal itu tidak diinginkan sama
sekali. Terlebih lagi keberadaan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sedang
ditunggu-tunggu kepalanya.
"Cukup
ketat penjagaan di dalam istana ini, Raden," bisik Rangga.
"Iya,"
sahut Raden Nadara setengah mendesah.
Sejak
matahari tenggelam tadi, mereka mengamati sekitar istana dari tempat yang cukup
tersembunyi. Di sekitar benteng istana memang dijaga ketat oleh para prajurit
bersenjata tombak dan pedang. Bahkan di bagian atas benteng, terlihat pasukan
panah sudah siap dengan bidikannya. Mereka benar-benar seperti sedang menunggu
musuh untuk berperang. Yang pasti, di dalam istana juga sudah siap.
"Aku
tidak menyangka kalau Prabu Raketu sudah mengetahui akan adanya
pemberontakan...," gumam Rangga pelahan, sepertinya bicara pada dirinya
sendiri.
"Ya.
Itu sebabnya Ayahanda Prabu mengutusku untuk meminta bantuan ke Karang Setra.
Tapi sayang sekali, Raja Karang Setra tidak pernah ada di istana Sedangkan
adiknya tidak bisa memutuskan begitu saja," jelas Raden Nadara setengah
mengeluh.
"Raden,
ada yang hendak kutanyakan. Tapi kuharap kau tidak tersinggung," kata
Rangga lagi.
"Tanyakan
saja, Rangga. Aku yakin, kau benar benar berada di pihakku. Kau seorang
pendekar, dai tentunya akan berada di pihak yang benar," sahut Raden
Nadara mantap.
"Terima
kasih, tapi ini tentang adikmu."
Raden
Nadara menatap dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih di sampingnya. Sama
sekali tidak disangka kalau Rangga akan bertanya seperti itu, yang ada
hubungannya dengan adiknya. Tapi Raden Nadara belum ingin berpikir lebih jauh
lagi. Apalagi berpikir buruk tentang maksud Rangga.
"Raden,
apakah Rara Ayu Ranti selalu bersamamu selama ini?" tanya Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti teringat dengan kemunculan Ranti yang menyerang dan ingin
membunuhnya.
"Ranti
tidak pernah jauh dariku. Apalagi selama perjalanan ke Karang Setra,"
sahut Raden Nadara.
Rangga
mengerutkan keningnya.
"Ada
apa. Rangga?" tanya Raden Nadara.
Tanpa
banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti menceritakan tentang pertemuan dan
bentroknya dengan Ranti. Tampak jelas kalau Raden Nadara tidak percaya kalau
Ranti bisa terpisah dengannya, dan bertarung dengan pemuda berbaju rompi putih
ini.
Raden
Nadara memang mengakui kalau adiknya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tapi
tidak mungkin Ia berada dalam dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
saat Rangga diserang Ranti, inilah saat yang sama pula Raden Nadara tengah
berbincang dengan gadis itu di tempat lain. Tempat yang sangat jauh dan harus
ditempuh dalam waktu lima hari perjalanan. Jadi hal itu benar-benar mustahil!
"Itulah
yang membuatku tidak mengerti. Raden. Aku memang yakin kalau gadis yang
menyerangku itu bukan Ranti," tegas Rangga pada akhir ceritanya.
Kedua
pemuda itu sama-sama terdiam setelah satu sama lain menceritakan kebersamaannya
dengan gadis yang bernama Ranti. Gadis yang bisa berada dalam dua tempat
berbeda jauh dalam waktu bersamaan. Untuk beberapa saat, mereka jadi
mengalihkan perhatiannya pada Istana Kedung Antal.
"Raden,
apakah Ranti punya saudara kembar?" tanya Rangga setelah cukup lama
terdiam.
"Setahuku...,
tidak," sahut Raden Nadara seraya berpikir keras.
"Lho?
Kau kan kakaknya. Tentu lebih tahu tentang Ranti daripada aku,"
Rangga
agak kaget bercampur heran karena Raden Nadara sebagai kakak Ranti, tapi tidak
tahu tentang adiknya sendiri.
"Tidak
juga. Rangga," potong Raden Nadara cepat
"Tidak...?"
Rangga mengerutkan alisnya. "Apa madsudmu, Raden?"
"Sebenarnya
aku hanyalah anak angkat Ayahanda Prabu Raketu. Setahun setelah aku diangkat
anak Ranti lahir dari Ibunda Permaisuri. Tapi malang Ibunda Permaisuri
meninggal setelah melahirkan Ranti. Kemudian, kami hidup di bawah asuhan
seorang emban. Waktu itu aku baru berusia sekitar tiga tahun, jadi tidak begitu
tahu persis apa yang terjadi," Raden! Nadara mengakui.
"Kau
tahu kalau kau anak angkat, Raden...?! tanya Rangga.
"Tentu.
Ayahanda Prabu selalu mengatakan begitu agar aku tidak putus hubungan anak
dengan orang tuaku sendiri. Dan aku memang dibebaskan untuk mengunjungi orang
tua kandungku di Desa Aripat. Bahkan Ranti juga tahu kalau aku hanya kakak
angkat saja. Tapi dia tidak ambil peduli, dan tetap menganggapku sebagai
kakaknya sendiri. Itu sebabnya aku dan Ranti begitu akrab, karena kami saling
menyayangi dan saling menyintai sebagai kakak dan adik"
"Dan
selama ini, apakah ada orang yang mencoba mengusik kehidupanmu? Hm..., maksudku
mencoba memisahkanmu dari kehidupan Ranti," ujar Rangga ingin tahu.
"Tidak."
Rangga
terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Pandangannya kembali
tertuju kearah bangunan istana yang masih terjaga ketat. Sekitar istana itu
tampak sunyi senyap. Bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya bagai tak
berpenghuni lagi. Itu sunyi, bahkan tak ada yang menyalakan pelita untuk
penerangan. Kerajaan Kedung Antal ini benar-benar seperti kerajaan mati tak
berpenghuni. "Kita kembali lagi saja besok, Raden," ajak Rangga
"Kenapa
tidak sekarang saja?" tanya Raden Nadara
"Kurasa
waktunya kurang tepat. Aku akan mencari jalan terbaik. Tapi mungkin pertumpahan
darah tidak bisa terelakkan," Rangga mencoba menjelaskan.
"Ini
memang sudah menjadi ajang pertempuran bersaudara, Rangga. Bahkan aku sendiri
tidak segan-segan lagi membunuh saudaraku bila ternyata memang bergabung dengan
para pengkhianat itu!" desis Raden Nadara.
"Ayolah,
kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin ada pemburu kepala yang melihat
kita berada di sini."
"Baiklah,
Aku percaya padamu, Rangga."
***
Rangga
menahan ayunan langkah kakinya Seketika ditariknya tangan Raden Nadara agar
berhenti berjalan. Pendengarannya yang tajam langsung dapat mendengar gemerisik
langkah kaki beberapa orang tidak jauh dari tempat ini. Menghadapi keadaan
seperti Ini, kewaspadaan memang perlu ditingkatkan. Terlebih lagi sekarang di
mana-mana tersebar para pemburu kepala yang menginginkan kepala Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ke
atas pohon itu," bisik Rangga.
"Hup...!"
"Houp...!"
Raden
Nadara yang juga sudah mendengar adanya langkah kaki yang semakin dekat itu,
langsung saja melompat ke atas pohon mengikuti Rangga. Sebentar saja mereka
sudah lenyap di balik kerimbunan daun pohon yang cukup tinggi itu.
Tidak
lama berselang, muncul sekitar dua puluh orang kalangan rimba persilatan. Salah
satu di antaranya, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh
tahun. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat panjang berwarna keemasan
yang bagian pangkalnya berbentuk bintang bersegi enam.
"Paman
Patih Karuni...," desis Raden Nadara saat mengenali laki-laki berjubah
merah muda yang membawa tongkat bintang segi enam itu.
"Patih
Karuni....?" Rangga jadi menyipit matanya.
Pendekar
Rajawali Sakti itu juga mengenali laki laki berjubah merah muda yang membawa
tongkat bintang segi enam itu. Sebentar diamatinya laki-laki itu, kemudian
beralih pada Raden Nadara. Rangga belum bisa berpikir tentang keterlibatan
Patih Karuni di Kerajaan Kedung Antal ini. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti
sendiri sebenarnya mengenal laki-laki tua bertongkat bintang itu dengan nama
lain.
Dia
adalah Ki Sakar, salah seorang pengikut Wira Permadi, adik tiri Rangga yang
mencoba menguasai wilayah Karang Setra (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam kisah Api di Karang Setra). Laki-laki tua bertongkat bintang itu memang
berhasil meloloskan diri di saat kekuasaan Wira Permadi runtuh.
"Huh!
Mereka pasti mencoba masuk ke istana...!"
Terdengar
Patih Karuni mendengus bernada kesal. "Benar, Gusti Patih. Sudah semua
tempat dijelajahi, tapi yang ada cuma para prajurit kacangan ditambah dua orang
patih dan dua panglima yang sok setia!" sambut orang yang berada di
samping Patih Karuni. Orang itu masih kelihatan muda. Mungkin usianya baru
sekitar dua puluh lima tahun. Dia menyandang sebuah kapak besar yang digabung
dengan mata tombak pada ujungnya. Meskipun wajahnya cukup tampan, tapi sorot
matanya mencerminkan kekejaman.
"Biar
mereka menemukan mayat-mayat temannya di sana, Gusti Patih," sambung orang
lainnya lagi yang berjalan di samping kiri Patih Karuni.
Orang
itu sudah setengah baya, namun bertubuh tegap dan kekar, meskipun rambutnya
sudah berwarna dua. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya. Sementara
itu, Rangga dan Raden Nadara yang mendengarkan semua percakapan dari atas pohon
yang cukup tersembunyi, jadi menahan kemarahan. Sudah bisa ditebak kalau
orang-orang itu baru saja membunuh habis pengikut setia Raden Nadara. Kini
mereka benar-benar tinggal berdua menghadapi para pemberontak dengan jumlah
prajurit yang ribuan orang banyaknya.
Tapi
bukan banyaknya prajurit yang dipikirkan, tapi di belakang para pemberontak itu
ada tokoh-tokoh rimba persilatan yang memiliki kemampuan tinggi. Belum lagi
para pemburu kepala yang sampai saat ini tentu masih berkeliaran akibat
pengumuman yang dikeluarkan pihak istana atas nama Prabu Raketu.
"Pengkhianat...!
Mereka semua harus mampus!'! geram Raden Nadara tidak bisa lagi menyembunyikan
kemarahannya.
"Hiyaaat...!"
Seketika
itu juga, Raden Nadara langsung melompat turun dari atas pohon tempat
persembunyiannya. Tindakan pemuda itu tentu saja membuat Rangga terkejut
setengah mati. Memang tidak bisa dicegah lagi, karena Raden Nadara sudah
meluruk turun dengari cepat sambil mencabut pedangnya.
"Awas...!"
seru Patih Karuni begitu mendengari teriakan keras dari atas.
Seketika
itu juga, Patih Karuni mengebutkanl tongkatnya ke atas, menyambut tebasan
pedang Raden Nadara yang terarah kepadanya. Sedangkan yang lainnya langsung
bedompatan menghindar.
Trang...!
Percikan
bunga api langsung memijar ketika dua senjata beradu keras disertai dentingan
yang memekakkan telinga. Tampak Raden Nadara melentingkan tubuhnya kembali ke
udara, lalu berputaran dua kali sebelum menjejakkan kaki di tanah.
"Raden...!"
tampak Patih Karuni terkejut begitu melihat Raden Nadara tahu-tahu sudah
berdiri di depannya.
Patih
Karuni mengegoskan kepalanya sedikit memandangi orang-orang yang menyertainya.
Mereka semua serentak menganggukkan kepala, lalu menggeprakan kaki membentuk
lingkaran mengepung Raden Nadara. Sedangkan pemuda itu melintangkan pedangnya
di depan dada. Pandangan matanya begitu tajam merayapi orang-orang yang kini
sudah mengepungnya.
"Raden
sudah kembali, kenapa tidak langsung ke istana?" Patih Karuni mencoba
ramah.
"Agar
kau lebih mudah menggantungku, begitu...?!" dengus Raden Nadara ketus.
Patih
Karuni mendesis mendengar jawaban Raden Nadara yang begitu ketus. Diliriknya
orang-orangnya yang langsung menganggukkan kepala. Patih Karuni melangkah
beberapa tindak mendekati pemuda itu.
"Jika
Raden hendak ke istana, mari bersama-sama. Kebetulan kami semua juga hendak ke
istana," ajak Patih Karuni,
"Kalian
semua tidak akan pernah kembali ke istana lagi. Aku akan membawa kalian ke
neraka!" dengus Raden Nadara semakin ketus.
"Kenapa
Raden bicara begitu...?" Patih Karuni masih bersikap manis.
"Karena
aku sudah tahu kebusukan hati kalian! Terutama kau, Paman Patih
Karuni...!" Raden Nadara menunjuk laki-laki tua berjubah merah muda di
depannya
"Hm...,
rupanya Raden sudah mengetahui...," desis Patih Karuni, agak dingin nada
suaranya
"Ya,
dan kalian baru saja membantai pengawalkul"
Trak!
Patih
Karuni menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga empat orang
langsung melompat sambil mengibaskan senjatanya. Mereka semua memegang senjata
golok berukuran cukup besar. Tebasan golok itu demikian kuat, sehingga
menimbulkan angin menderu kencang.
"Hait...!"
Cepat
sekali Raden Nadara mengegoskan tubuhnya ketika sebilah golok membabat ke arah
pinggang. Dan saat itu juga dihentakkan tangan kirinya menyodok ke arah dada
orang itu. Namun sebelum tangannya sampai, datang sebilah golok membabat ke
arah sodokan Raden Nadara.
"Uts"
Cepat
sekali Raden Nadara menarik pulang tangannya, sebelum golok besar seperti
pemenggal kerbau itu membuntungj tangannya. Raden Nadara langsung melompat
mundur. Namun belum juga kakinya sempurna menjejak tanah, datang lagi serangan
dari arah samping kiri. Sebilah golok kembali mengibas bagai kilat mengarah ke
kepalanya.
Bet!
"Setan...!"
dengus Raden Nadara seraya menundukkan kepalanya, maka tebasan golok itu lewat
sedikit di atas kepala.
Wukk!
Wukk!
Dua
kali Raden Nadara mengecutkan pedangnya begitu terlepas dari tebasan golok
salah seorang penyerangnya. Namun tebasan yang mengarah dada orang yang berada
di samping kiri, berhasil dipatahkan oleh orang yang berada di depan dengan
mengadukan goloknya pada pedang Raden Nadara.
Senjata
mereka sama-sama terpental balik. Dan Raden Nadara segera melompat mundur
ketika dari arah kanan datang sodokan golok yang begitu cepat. Dan pada saat
itu, kaki Raden Nadara terayun menyamping menghantam punggung orang itu. Ayunan
yang cepat dan tidak terduga sama sekali itu, tak dapat dihindarkan lagi
Bughk...!
"Akh!"
orang itu memekik tertahan.
Tubuhnya
langsung terdorong ke depan, dan goloknya terhunus lurus. Sedangkan di depan
ada seorang temannya yang hanya bisa terbeliak melihat ujung golok temannya
meluruk deras ke arah dada. Dan kejadian berikutnya sungguh tidak terbayangkan
sama sekali
Crab!
"Aaa...!"
laki-laki bertubuh tegap berotot itu menjerit melengking tinggi ketika golok
temannya sendiri menembus dadanya.
"Hah...?l"
orang yang memegang golok terperanjat
Cepat-cepat
ditarik goloknya keluar, dan seketika darah muncrat dari dada yang tertembus
golok. Sebentar orang itu mampu berdiri limbung, kemudian ambruk menggelepar
dengan dada mengucurkan darah segar.
Pada
saat semua orang tengah terperangah terhadap peristiwa yang tidak terduga itu,
Raden Nadara memanfaatkannya dengan baik. Dia langsung melompat cepat bagai
kilat seraya mengebutkan pedangnya beberapa kati, disertai lontaran tendangan
keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hiyaaat...!"
Bret!
Crab!
Des!
Seketika
dua orang menggeletak setelah terkena sabetan pedang Raden Nadara, dan seorang
lagi merintih lirih sambil mendekap dadanya. Dari mulut menyemburkan darah
kental agak kehitaman.
"Setan...!
Bunuh bocah keparat itu...!" seru Patih Karuni keras bernada marah.
Saat
itu juga, orang-orang yang memang sejak tadi tinggal menunggu perintah saja,
langsung berlompatan menyerang Raden Nadara. Mereka semua menghunus senjata
yang berbentuk beraneka ragam. Sejenak Raden Nadara terperangah, namun dengan
cepat memutar pedangnya sambil berlompatan dan meliukkan tubuhnya
Namun
belum juga pertarungan tidak seimbang itu berlangsung lama, tiba-tiba dari atas
pohon meluruk sebuah bayangan putih yang langsung cepat menyambar dan menghajar
para pengeroyok Raden Nadara. Kemunculan bayangan putih itu sungguh
mengejutkan, karena sebentar saja telah membuat empat orang tergeletak tak
bernyawa lagi dengan kepala remuk bersimbah darah.
"Gusti
Rangga...," desis Patih Karuni begitu mengenali pemuda berbaju rompi putih
yang kini berdiri tegak di samping Raden Nadara.
"Perbuatan
kotor apa lagi yang kau rencanakan di sini, Ki Sakar...?" dingin sekali
nada suara Rangga Matanya menatap tajam laki-laki tua berjubah merah muda yang
memegang tongkat berkepala bintang bersegi enam berwarna keemasan.
Patih
Karuni bergerak mundur tiga langkah. Sungguh tidak disangka kalau Pendekar
Rajawali Sakti itu ada di sini, dan masih mengenalinya. Laki-laki tua itu
memang dulu bernama Ki Sakar, salah seorang yang berhasil lolos dari kejaran
prajurit di Karang Setra.
"Kenapa
bengong...? Dia itu Pendekar Rajawali Sakti! Kalian akan mendapat hadiah dan
diangkat menjadi panglima jika berhasil memenggal kepalanya...!" seru
Patih Karuni yang juga bernama Ki Sakar.
Mendengar
teriakan laki-laki tua berjubah merah itu, orang-orang yang masih mengepung di
tempat ini langsung saja tergugah semangat tempurnya. Apalagi setelah Patih
Karuni memberitahu kalau pemuda berbaju rompi putih yang baru muncul itu adalah
Pendekar Rajawali Sakti, orang yang selama ini dijadikan buruan para pemburu
kepala. Dan mereka sendiri adalah para pemburu kepala juga yang mengharapkan
hadiah besar serta kedudukan tinggi menjadi penglima perang yang membawahi
seribu prajurit. Suatu hadiah yang menggiurkan sekali.
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Serentak
mereka berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti, dan jadi melupakan Raden
Nadara. Bahkan tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka lebih tertarik untuk
menghabisi Pendekar Rajawali Sakti daripada bertarung dengan Raden Nadara. Hal
ini membuat Raden Nadara jadi geram bukan main, sehingga langsung saja bergerak
membantu Rangga.
Pada
saat itu, Patih Karuni bergegas kabur meninggalkan tempat Itu. Namun Rangga
dapat mengetahuinya, namun tidak bisa mencegah kepergian laki-laki tua berjubah
merah muda itu. Hal ini karena serangan-serangan yang datang padanya begitu
gencar dan luar biasa dahsyatnya. Rangga memang sempat melihat kalau Raden
Nadara yang membantunya, tidak mendapatkan perhatian sama sekali.
"Raden,
cepat kejar pengkhianat itu!" seru Rangga
Raden
Nadara yang langsung teringat Patih Karuni, masih sempat melihat bayangan
laki-laki tua Itu berkelebat sebelum menghilang ditelan kegelapan malam. Merasa
dirinya memang tidak mendapat perhatian, Raden Nadara langsung melesat keluar
dari kancah pertempuran, dan tak ada seorang pun yang mempedulikannya.
Perhatian semua orang memang terpusat pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kita
akan bertemu lagi nanti, Rangga...!" seru Raden Nadara.
"Cepatlah,
sebelum dia jauh...!" balas Rangga keras.
Raden
Nadara langsung melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mengejar
Patih Karuni yang melarikan diri sebagai seorang pengecut Sementara Rangga
harus menghadapi orang-orang yang begitu tergiur dengan hadiah atas kepalanya.
Mereka adalah pemburu-pemburu kepala berdarah dingin yang langsung silau dengan
janji hadiah besar dan menggiurkan.
"Kalian
manusia-manusia keparat! Jangan menyesal jika kukirim ke neraka!" desis
Rangga menggeram.
***
ENAM
"Buka
pintu...!" teriak Patih Karuni begitu sampai di depan pintu gerbang
benteng istana.
Dua
orang prajurit penjaga pintu gerbang, bergegas membuka pintu itu. Patih Karuni
langsung menerobos masuk, tapi cepat berhenti dan membalikkan tubuh.
"Jangan
biarkan siapa saja masuk, mengerti...?!" lantang sekali suara Patih
Karuni.
"Mengerti,
Gusti Patih," sahut kedua prajurit penjaga pintu itu bersamaan.
"Tutup
lagi."
Patih
Karuni kembali memutar tubuhnya, lalu bergegas berjalan cepat setelah pintu
gerbang ditutup. Laki-laki tua itu berteriak-teriak memanggil kepala penjaga
dan memerintahkan untuk memperkuat penjagaan di sekitar istana ini. Setelah itu
dia langsung menerobos masuk ke dalam bangunan besar itu.
Ayunan
langkahnya kembali terhenti setelah berada di bagian dalam ruangan depan. Di
sana sudah menunggu empat orang, yang terdiri dari dua orang laki-laki berusia
setengah baya dan dua orang wanita. Yang seorang masih muda dan cantik,
sedangkan seorang lagi sudah berusia sekitar enam puluh tahun.
"Ada
apa kau berteriak-teriak, Ki Sakar?" tanya wanita tua yang mengenakan baju
warna hitam. DI pinggangnya melilit selembar selendang berwarna kuning gading
yang pada bagian ujungnya terdapat untaian baja putih berbentuk jarum halus dan
lemas,
"Raden
Nadara.... Rupanya masih hidup! Sekarang dia bersama Pendekar Rajawali
Sakti!" sahut Patih Karuni. Sama sekali tidak dipedulikan saat wanita tua
itu memanggil nama aslinya.
"Apa
kau juga melihat ada Ranti bersamanya? tanya perempuan tua berbaju hitam itu
lagi.
"Tidak,"
sahut Patih Karuni.
Perempuan
tua itu melirik gadis muda yang berdiri di sampingnya.
"Kau
kembali bekerja, Nini Calak. Kali ini kau tidak boleh gagal," perintah
perempuan tua itu lagi.
Gadis
cantik berbaju biru muda itu tersenyum.
"Jauhkan
Raden Nadara dari sini, lalu kau harus melenyapkan untuk selamanya. Kau pasti
tahu bagaimana caranya, Nini Calak. Lakukan sekarang juga sebelum bocah itu
sampai ke sini," kata perempuan itu lagi.
"Jangan
khawatir, Nyi Pari. Tapi aku tidak ingin ada yang mengusik pekerjaanku,"
sahut Nini Calak seraya mengerling.
"Ini
bukan saatnya bersenang-senang, Ni Calak!" dengus perempuan tua yang
dipanggil Nyi Pari Itu.
Ni
Calak hanya tertawa saja. Suara tawanya begitu lepas dan terdengar merdu
sekali. Diayunkan kakinya dengan langkah gemulai meninggalkan ruangan yang
besar dan indah ini. Sedangkan Nyi Pari hanya mendengus saja melihat tingkah
gadis itu. Namun dua orang yang berada di sampingnya hanya tersenyum-senyum
saja. Mereka seperti menikmati lenggak-lenggok langkah Ni Calak yang begitu
gemulai dan mempesona, membuat mata laki-laki mana pun tidak akan mampu
berpaling bila menatapnya.
"Sagala,
Parangrang. Kau ikut Ki Sakar. Lenyapkan Pendekar Rajawali Sakti malam ini
juga," perintah Nyi Pari tegas.
"Baik,
Nyi," sahut dua laki-laki setengah baya yang berada di samping perempuan
tua berbaju hitam itu.
"Hm...,
Apakah kalian melihat adikku?" taya Nyi Pari setengah bergumam.
"Tidak,
Nyi," sahut Sagala seraya memandang Parangrang di sampingnya.
"Sudahlah.
Sebaiknya, kalian cepat pergi. Ki Sakar, kau antarkan mereka ke tempat Pendekar
Rajawali Sakti itu."
"Baik,
Nyi," sahut Ki Sakar yang juga memakai nama Patih Karuni.
Tiga
orang laki-laki itu bergegas melangkah keluar. Sedangkan Nyi Pari masih berdiri
di tengah-tengah ruangan itu sampai tiga orang laki-laki itu tidak terlihat
lagi di balik pintu. Nyi Pari membalikkan tubuhnya. Tapi baru saja hendak
melangkah, muncul seorang perempuan tua lain yang mengenakan jubah warna merah,
dan rambutnya memutih tak teratur. Tampaknya dia lebih tua dari Nyi Pari, tapi
sebenarnya lebih muda.
"Dari
mana saja kau, Dewi Merah?" tanya Nyi Pari.
Perempuan
tua berjubah merah itu tidak menjawab, tapi malah menghenyakkan tubuhnya di
sebuah kursi. Wajahnya nampak murung dengan pandangan mata kosong menatap lurus
ke lantai. Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai.
"Kau
ke penjara bawah tanah lagi...?" tebak Nyi Pari.
"Huh!
Dia tetap keras kepala. Kalau tidak ingat bahwa aku pernah mengandung anaknya,
sudah kuhancurkan batok kepalanya!" rungut Dewi Merah Penghisap Darah.
"Aku
sudah peringatkan padamu, tidak akan mungkin dia akan mengakui. Kau tidak
cantik lagi, Dewi Merah. Lihat! Tubuh dan wajahmu, kelihatan lebih tua dariku
dua puluh tahun."
"Ini
semua gara-gara laki-laki keparat itu! Aku sudah cukup banyak berkorban hingga
rela menjadi tua sebelum waktunya. Ini hanya karena ingin membahagiakannya.
Kulanggar semua pantangan untuk mempunyai anak. Sepertinya aku tidak lebih dari
seonggok sampah busuk!" nada suara Dewi Merah Penghisap Darah masih
terdengar geram.
"Itulah
akibatnya jika kau tidak suka menuruti nasihatku, Dewi. Kau terlalu percaya pada
rayuan manisnya."
"Huh!
Seandainya anak yang kulahirkan laki-laki, mungkin tidak akan sepera ini
jadinya. Malah aku masih bisa membendung ketuaan, paling tidak sampai Bga puluh
tahun. Tapi kenapa aku harus melahirkan anak perempuan...? Kenapa fidak kubunuh
saja anak itu sejak lahir...?"
"Kau
tidak boleh menyesali anakmu, Dewi. Kau lihat, dia cukup berbakat dan pandai
menyamar. Kepandaiannya tinggi dan selalu setia, meskipun tahu kalau ibunya
berwajah buruk dan sudah tua. Kau patut bertangga memiliki Calak, Dewi."
"Yaaah...,
aku memang bangga. Hanya saja rasa sakit hatiku belum tuntas kalau tidak
membunuh semua keturunan si keparat Raketu!"
"Pasti,
Dewi. Semua pasti terlaksana. Sekarang saja, mungkin anakmu sudah menghabisi
nyawa Raden Nadara," Nyi Pari membesarkan hati adiknya.
"Heh...!
Dia menemukan bocah setan itu...?!" Dewi Merah Penghisap Darah
terperanjat, dan langsung bangkit berdiri.
"Ki
Sakar diserang Pendekar Rajawali Sakti dan Raden Nadara. Sekarang anakmu sedang
mengejar Raden Nadara. Sedangkan dua orang muridku serta Ki Sakar mengejar
Pendekar Rajawali Sakti," jelas Nyi Pari.
"Tanpa
prajurit...?"
"Untuk
apa? Manusia-manusia tolol itu, toh sebentar lagi akan mati. Mereka tidak ada
gunanya. Mereka akan patuh pada siapa saja yang terkuat Aku tidak pernah suka
dengan para prajurit yang hanya memikirkan gentong nasi, tapi kerjanya tidak
pernah becus!" dengus Nyi Pari.
"Aku
akan pergi, Nyi," kata Dewi Merah Penghisap Darah.
"Ke
mana?"
Dewi
Merah Penghisap Darah tidak menyahut, bahkan langsung saja melesat pergi.
Sekejap saja bayangannya sudah tidak terlihat lagi di ruangan ini. Nyi Pari
hanya mendesah panjang dan mengangkat pundaknya. Dia sendiri kemudian
meninggalkan ruangan besar dan indah itu. Suasana kembali menjadi sunyi senyap,
tak terdengar lagi suara sedikit pun.
***
Sementara
itu di tepi hutan Kaki Gunung Anjar, Rangga sudah menyelesaikan pertarungannya.
Tak ada lagi lawan yang tersisa. Mereka semua tewas dengan tubuh beriumuran
darah. Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat pergi mengejar Raden Nadara
yang sedang mengejar Patih Karuni.
Ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Maka dalam waktu sebentar saja, dia sudah begitu jauh
meninggalkan arena pertarungan tadi. Rangga terus berlari cepat menembus
kegelapan malam yang teramat pekat. Namun mendadak saja, Pendekar Rajawali
Sakti itu menghentikan larinya.
"Raden...,"
panggil Rangga begitu melihat Raden Nadara tengah berbicara dengan seorang
gadis berbaju biru muda.
Raden
Nadara dan gadis itu berpaling, sementara Rangga bergegas menghampiri. Pendekar
Rajawali Sakti itu agak terkejut juga, karena gadis itu ternyata Ranti, adik
angkat Raden Nadara sendiri. Rangga jadi bingung juga, karena belum lama tadi,
Raden Nadara mengatakan kalau Ranti menunggu di Istana Karang Setra. Tapi
mengapa sekarang sudah ada di sini?
"Kebetulan
kau datang, Rangga...," sambut Raden Nadara.
Rangga
menatap dalam-dalam wajah Ranti. Dan gadis itu juga menatap tajam Pendekar
Rajawali Sakti. Sejak pertama bertemu, Ranti memang sudah berselisih karena
masalah kecil memperebutkan kelinci buruan. Tapi bukan karena sikap Ranti yang
selalu membuat jarak permusuhan, namun akibat pengalaman Pendekar Rajawali
Sakti itu sendiri yang masih belum bisa mengerti kalau ada dua Ranti di sini.
"Rangga,
Ranti baru saja datang dari Karang Setra. Dia mengatakan, prajurit Karang Setra
sebentar laki akan datang membantu merebut kembali Istana Kedung Antal,"
tutur Raden Nadara dengan wajah cerah.
Rangga
hanya diam saja, dan sepertinya tidak mendengar kata-kata Raden Nadara. Tatapan
matanya masih begitu tajam terarah langsung pada gadis berbaju biru itu.
"Ranti
juga mengatakan kalau sudah bertemu Ayahanda Prabu, dan sekarang menunggu di
suatu tempat yang aman dan rahasia," kata Raden Nadara lagi.
"Raden
Nadara, bisa aku bicara sebentar berdua saja denganmu?" pinta Rangga,
datar nada suaranya
"Ada
apa, Rangga? Kau kelihatannya...."
Rangga
tidak mempedulikan keberatan Raden Nadara, dan cepat menarik tangan pemuda itu.
Dibawanya Raden Nadara menjauh dari Ranti. Sedangkan gadis itu menunggu saja
dengan bibir mengulas senyuman tipis seperti mengejek Raden Nadara jadi
kebingungan juga, tapi terpaksa mengikuti.
"Ada
apa, Rangga...?" tanya Raden Nadara setelah cukup jauh dari Ranti
jaraknya.
"Kau
ingat tentang ceritaku, Raden...?" Rangga balik bertanya dengan suara
datar dan agak dingin.
"Cerita
yang mana...?" Raden Nadara tidak mengerti.
"Pertarunganku
dengan Ranti."
"Rangga...,
kau ja...."
"Aku
belum selesai, Raden!" sentak Rangga cepat memutus.
Raden
Nadara benar-benar tidak mengerti akan sikap Rangga yang begitu
sungguh-sungguh. Sebentar dilayapinya wajah pendekar muda berbaju rompi putih
itu, kemudian melirik pada Ranti yang masih sabar menunggu.
"Berapa
hari dari Karang Setra ke sini?" tanya Rangga.
"Apa
maksudmu bertanya seperti itu, Rangga?" nada suara Raden Nadara seperti
tidak senang.
"Jawab
saja pertanyaanku, Raden. Ini demi keselamatan nyawamu, juga keutuhan kerajaan
ini."
"Tujuh
hari," sahut Raden Nadara masih belum mengerti sikap Rangga.
"Kau
mengatakan kalau Patih Argabaya dan Panglima Kitin menyusul setelah dua hari
kau pergi, dan bertemu di sini setelah kau tiba dua hari pula di sini. Bukankah
begitu?"
"Benar."
"Dan
kau juga tanyakan tentang Ranti di sana, bukan?"
"Iya.
Ranti masih ada, dan tetap ingin menunggu Gusti Prabu Karang Setra," sahut
Raden Nadara semakin kebingungan. "Rangga.... Jangan membuatku bingung.
Apa sebenarnya maksudmu ini...?"
"Aku
hanya ingin agar kau bisa berpikir panjang dan tidak cepat terpedaya yang
justru akan membuatmu menyesal seumur hidup," sahut Rangga kalem.
"Aku
jadi bingung," Raden Nadara benar-benar tidak memahami maksud Rangga
sebenarnya.
"Raden,
baru dua hari kau berada di sini. Dan baru siang tadi kau bertemu Patih
Argabaya dan Panglima Kirin. Apakah mungkin Ranti bisa berada di sini dalam
satu hari? Apakah mungkin Ranti berada di dua tempat dalam waktu yang sama? Kau
harus ingat pertarunganku dengannya. Malah kau sendiri yang mengatakan kalau
pada saat itu adikmu ada bersamamu, jauh dari tempat ini."
Raden
Nadara langsung terdiam membisu. Diliriknya Ranti yang masih menunggu cukup
jauh jaraknya. Tidak mungkin gadis itu bisa mendengarkan percakapan ini,
kecuali bila memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' seperti yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti. Kata-kata Rangga yang terakhir, membuat Raden Nadara jadi
berpikir keras.
"Aku
akan menguji apakah dia Ranti asli atau palsu. Aku harap kau diam saja,
Raden," kata Rangga meminta.
"Baiklah.
Tapi kalau ternyata dugaanmu salah, kau harus mencium kakinya," sahut
Raden Nadara.
"Akan
kulakukan kalau memang dia itu Ranti"
Mereka
kemudian kembali menghampiri Ranti yang masih menunggu sabar. Tapi. wajah gadis
itu langsung memberengut begitu matanya bertemu pandang dengan sorot mata Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ranti,
apa benar prajurit Karang Setra akan datang ke sini?" tanya Rangga
langsung.
"Iya!
Memangnya aku bohong...?" sahut Ranti ketus.
"Siapa
yang memimpin?" tanya Rangga lagi.
"Mana
aku tahu? Aku pergi lebih dahulu. Mereka menjanjikan akan mengirim pasukan
secepatnya ke sini, dan langsung menggempur setelah mendapat perintah dari
Kakang Nadara," sahut Ranti lagi.
"Mereka...?
Memangnya siapa yang menjanjikan pengiriman prajurit itu?" tanya Rangga
lagi tetap memancing.
"Pembesar-pembesar
istana, dan...," suara Ranti terputus.
"Dan,
siapa?" desak Rangga.
"Untuk
apa sih kau ingin tahu? Ini urusan kerajaan, dan kau sendiri orang luar yang
tidak perlu ikut campur?" sentak Ranti ketus.
"Ranti,
Rangga sudah banyak membantu. Dia pedu tahu. Apa salahnya jika menjawab
saja," desah Raden Nadara lembut
"Huh!
Tentu saja Raja Karang Setra yang akan mengirim prajuritnya!" dengus Ranti
memberengut
Mendengar
jawaban itu, Rangga langsung tersenyum lebar.
"Kau
bertemu dengannya?" tanya Rangga lagi.
"Untuk
apa aku menunggu kalau tidak bertemu dengannya? Gusti Prabu sendiri yang bicara
denganku, dan akan mengirimkan prajurit ke sini dalam waktu dekat. Makanya aku
terus saja ke sini untuk memberi kabar," masih bernada ketus jawaban Ranti.
Dan
senyum di bibir Rangga semakin melebar. Tentu saja sudah bisa dipastikan kalau
gadis di depannya ini bukan Ranti yang sebenarnya. Buktinya jawaban yang
diberikan hanya karangannya belaka. Untung saja Ranti tidak tahu siapa itu Raja
Karang Setra. Bahkan jarang ada orang yang tahu tentang Raja Karang Setra,
kecuali orang-orang tertentu saja.
"Baiklah,
di mana Prabu Raketu menunggu sekarang?" tanya Rangga dengan bibir
tersenyum terus.
"Ayahanda
Prabu hanya ingin bertemu dengan Kakang Nadara. Bukan kau!" dengus Ranti
lagi.
"Ranti,
biarlah Rangga ikut bersama kita. Aku yang akan menjelaskan pada Ayahanda Prabu
nanti," selak Raden Nadara.
"Tidak!
Aku tidak ingin kena marah nanti!" sentak Ranti, bersikeras.
"Kalau
begitu, aku akan memaksa ikut!" tegas Rangga
"Heh...?!"
Ranti mendelik gusar.
"Kenapa
kau tidak memperbolehkan aku ikut? Kau takut topengmu terbongkar? Kau takut
kalau aku menggagalkan rencana busukmu? Siapa sebenarnya kau ini...?! dingin
sekali nada suara Rangga.
"Rangga...!"
sentak Raden Nadara terkejut
"Dia
bukan Ranti, Raden. Aku tahu kalau dia tidak dari Karang Setra, dan tidak
bertemu Raja Karang Setra. Bahkan tidak tahu, siapa Itu Raja Karang
Setra!" jelas Rangga. "Perempuan ini akan membunuhmu di tempat yang
sudah direncanakan, Raden."
Raden
Nadara tampak kebingungan. Gadis itu, baik wajah maupun bentuk tubuhnya tidak
jauh berbeda dengan Ranti. Bahkan suaranya pun mirip sekali. Tak ada
perbedaannya sedikit pun juga. Sedangkan Rangga memastikan kalau gadis itu
bukan Ranti, tapi orang lain yang menyamar.
"Kau
memang selalu mencari gara-gara, pemuda setan!" geram Ranti sengit.
"Tidak
ada gunanya terus-terusan bermain sandiwara di depanku, Nisanak. Siapa kau
sebenarnya...?" sentak Rangga ketus.
"Kakang
Nadara...! Dia sudah berani kurang ajar padaku...!" sentak Ranti, memerah
wajahnya.
Sedangkan
Raden Nadara kelihatan kebingungan, dan tidak mampu lagi menentukan sikap.
Dipandanginya Ranti dan Rangga bergantian. Benar-benar membingungkan...!"
"Nisanak,
sebaiknya lepaskan saja topengmu. Pasti wajahmu jelek sekali di balik topeng
wajah Ranti," kata Rangga, semakin sinis nada suaranya.
"Keparat...!"
geram Ranti memuncak amarahnya. Rangga hanya tersenyum saja. Seketika
dijulurkan tangannya ke wajah gadis itu. Tapi cepat sekali Ranti menyentakkan
tangannya. Tapi dengan cepat pula Rangga menarik tangannya, dan langsung
memutar ke bawah. Kembali tangannya menyentak cepat ke wajah gadis Itu.
"Setan...!"
geram Ranti sengit. Buru-buru ditarik kepalanya ke belakang, dari kakinya
bergerak mundur dua tindak. Cepat sekali gadis itu mencabut pedang yang
tergantung di pinggang, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah perut Pendekar
Rajawali Sakti. Wut!
***
TUJUH
"Uts!"
Buru-buru Rangga menarik perutnya ke belakang, sehingga tebasan ujung pedang
Ranti hanya sedikit lewat di depan perutnya. Dan sebelum gadis itu bisa memutar
arah pedangnya, dengan cepat sekali Rangga mengibaskan tangan kiri, menotok ke
arah pergelang an tangan kanan gadis itu.
"lkh...!"
Ranti terpekik tertahan.
Buru-buru
ditarik tangannya, sehingga totokan Rangga tidak mengenai sasaran. 'Saat itu
juga, Ranti melompat ke belakang sejauh dua batang tomba. Namun pada saat yang
sama, Rangga sudah meles mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak mengibas
dengan kecepatan tinggi.
Wuk!
Bet!
"Oh...!"
Ranti
terperanjat ketika pada kibasan tangan ya kedua, berhasil menyambar wajahnya.
Gadis itu be putar, namun tubuhnya terhuyung. Pada saat keseimbangan tubuh
Ranti belum terjaga, Rangga sudah melepaskan satu tendangan keras ke arah dada.
Tendangan itu tak dapat dihindarkan lagi, sehingga tepat menghantam dada gadis
itu.
"Akh...!"
Ranti terpekik keras. Tubuh yang ramping itu terjajar ke belakang, dan jatuh
terjerembab ke tanah. Rangga tidak ingin lagi memberi kesempatan pada gadis ini
untuk bertindak lebih jauh. Dia sudah pernah kecolongan, dan tidak akan
terulang untuk kedua kalinya, karena kini dia tahu kalau gadis ini bukan Ranti.
Dengan cepat sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat memburu, dan menjejak
leher gadis itu dengan telapak kakinya. Dan dengan gerakan yang cepat,
tangannya menyambar ke arah wajah. Bret!
"Akh...!"
lagi-lagi Ranti terpekik.
"Hih...!"
Rangga
mencampakkan kulit tipis yang dijambretnya dari wajah gadis berbaju biru muda
itu, kemudian melompat mundur. Tubuh Rangga agak membungkuk, memungut pedang
yang terlepas dari genggaman gadis itu ketika tendangannya bersarang di dada
yang membusung itu. Pendekar Rajawali Sakti menempelkan ujung pedang itu ke
leher pemiliknya. Wajah gadis itu kini sudah berubah. Bukan lagi wajah Ranti,
melainkan wajah seorang gadis lain yang bernama Nini Calak.
"Heh...?!"
Raden Nadara yang baru saja mendekati, terkejut bukan main begitu melihat wajah
gadis itu memang benar bukan wajah adiknya.
Raden
Nadara memungut kulit tipis yang dicampakkan Rangga tadi Kulit tipis yang
berbentuk wajah cantik yang sangat mirip wajah Ranti. Ternyata Nini Calak
menggunakan topeng dari kulit binatang yang dibuat setipis mungkin, dan
dibentuk agar mirip wajah Ranti. Gadis itu memang pandai membuat samaran,
seperti yang dikatakan Nyi Pari.
"Siapa
kau sebenarnya...?" tanya Raden Nadara
"Huh!"
Nini Calak hanya mendengus saja.
"Raden,
aku yakin bukan dia biang keladinya. Tapi masih ada orang lain lagi di
istana," tegas Rangga.
"Siapa
pun biang keladinya, perempuan Ini harus menerima hukuman yang setimpal,"
tegas Raden Nadara.
"Itu
urusanmu, Raden."
Rangga
menjauhkan ujung pedang dari leher Nini Calak. Dibuangnya pedang itu, dan
ditariknya tangan Nini Calak, sehingga gadis itu tersentak sampai bangkit
berdiri.
"Kau
bawa tali, Raden?" tanya Rangga tetap memegangi tangan gadis itu yang
dipelintir ke belakang tubuhnya.
"Ada
di kudaku," sahut Raden Nadara.
Sebelum
Rangga meminta untuk mengambil, Raden Nadara sudah cepat melangkah menghampiri
kudanya yang sedang merumput di bawah pohon. Diambilnya segulung tambang yang
tersampir di pelana kudanya. Bergegas dihampiri Rangga kembali untuk
menyerahkan tambang itu padanya. Cepat Rangga menerima, lalu mengikat tangan
Nini Calak yang disatukan ke belakang tubuhnya. Kemudian dililitkan tambang itu
ke tubuh dan leher. Kini Nini Calak benar-benar tidak punya daya lagi.
"Apa
yang akan kita lakukan sekarang, Rangga?" tanya Raden Nadara.
"Bawa
dia ke istana," sahut Rangga.
"Gila...!
Kau akan menyerahkan diri pada mereka...?!" sentak Raden Nadara terkejut
"Kita
punya jaminan untuk tetap selamat, Raden. Aku yakin, mereka akan berpikir
seribu kali untuk bertindak."
"Jika
mereka tidak mempedulikan keselamatan gadis itu?"
"Untuk
mencapai keberhasilan, perlu perjuangan berat, Raden. Darah tak akan ada
artinya bila membuat bumi yang kita pijak menjadi harum," kata Rangga
menjawab pertanyaan Raden Nadara dengan kata kiasan.
Raden
Nadara tidak bersuara lagi. Sudah bisa dipahami maksud Pendekar Rajawali Sakti
itu. Untuk mencapai keinginan, memang diperlukan suatu perjuangan berat dan
panjang. Dan perjuangan itu sendiri membutuhkan suatu pengorbanan yang tidak
kecil artinya.
Sebuah
pondok kecil yang tidak berpenghuni lagi, menjadi tempat bagi Rangga dan Raden
Nadara untuk menunggu siang. Mereka tentu saja tidak mungkin dapat tidur,
karena harus menjaga seorang tawanan yang sangat berarti lagi berbahaya.
Sedikit kelengahan saja akan memberikan kesempatan besar bagi Nini Calak untuk
berusaha meloloskan diri.
Mereka
memang tidak mungkin bergerak malam ini juga. Apalagi sudah terlalu lelah
melakukan pertarungan yang seperti tidak ada habis-habisnya sejak siang tadi.
Sementara malam masih terlalu panjang untuk ditunggu. Rangga meminta Raden
Nadara untuk tidur, tapi pemuda itu menolak dan ingin tetap menunggu hingga
fajar.
"Kenapa
kita tidak membuat api agar tidak terlalu dingin, Rangga?" keluh Raden
Nadara seraya bergidik mengusir rasa dingin yang menggigit tulang.
"Aku
tidak ingin membuat perhatian. Mereka tentu sedang mencari kita, Raden,"
sahut Rangga.
"Hhh....
Aku benar-benar menyusahkanmu, Rangga. Maafkan," desah Raden Nadara.
"Kau
hanya belum terbiasa hidup di alam bebas, Raden," hibur Rangga.
"Ya.
Selama ini aku memang terbiasa hidup dalam lingkungan istana. Sebenarnya aku
ingin mengembara mencari pengalaman, tapi Ayahanda Prabu tidak pernah
mengijinkan. Katanya, banyak yang bisa dikerjakan dan diperoleh di dalam
wilayah kerajaan," ungkap Raden Nadara kembali, dan terdengar nada
keluhan.
"Jika
kau mendekatkan diri pada rakyat, tentu banyak yang bisa diperoleh, Raden.
Terlebih lagi, wilayah Kerajaan Kedung Antal ini begitu luas. Kau pasti akan
bisa mendapatkan banyak pelajaran di sini. Yaaah..., kurasa kata-kata ayahmu
benar juga. Tentu dia menginginkan agar kau menimba pengalaman lebih dahulu di
dalam, sebelum melangkah lebih jauh lagi," kembali Rangga membesarkan hati
pemuda itu.
"Kau
bijaksana sekali, Rangga. Kau pasti sudah mengembara sejak muda belia. Aku jadi
iri padamu," ucap Raden Nadara tanpa malu-malu lagi.
"Alamlah
yang membuatku seperti ini, Raden," Rangga merendah. "Sebenarnya
kehidupan seperti Radenlah yang selalu diidamkan banyak orang."
"Tapi
aku merasa seperti terkungkung dalam sangkar emas, Rangga. Memang segalanya
bisa kuperoleh dengan mudah, tapi apa yang diperoleh dan kunikmati, bukan dari
hasil jerih payahku sendiri. Aku dihormati, bukan karena apa yang kulakukan,
tapi karena apa yang kupakai dan kusandang. Yaaah..., penghormatan
palsu...."
Rangga
hanya tersenyum saja. Keluhan Raden Nadara memang pernah juga dirasakan saat
dirinya berada di dalam Istana Karang Setra. Hanya bedanya. Rangga masih punya
kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri, tanpa ada seorang pun yang bisa
menentangnya. Sedangkan yang dialami Raden Nadara tidak sebebas yang
dimilikinya. Ada benteng yang sukar ditembus mengelilingi kehidupan pemuda itu.
Tapi,
nampaknya benteng itu semakin menipis saja saat ini. Peristiwa ini telah
membuka jalan bagi Raden Nadara untuk memulai kehidupan yang sebenarnya.
Kehidupan di alam bebas, bagai burung yang bebas terbang ke mana saja dia suka.
Namun masih ada keterbatasan pada diri Raden Nadara. Pemuda itu masih mempunyai
tanggung jawab untuk mengembalikan dan memulihkan Kerajaan Kedung Antal seperti
semula. Suatu tanggung jawab yang tidak kecil artinya, dan sangat besar
manfaatnya. Di sinilah harus dibuktikan bahwa dirinya sudah mampu untuk hidup
mandiri.
"Rangga,
boleh tanya sesuatu padamu...?" pinta Raden Nadara setelah cukup lama
berdiam diri.
"Silakan,"
sahut Rangga terbuka.
"Bagaimana
kau bisa yakin kalau Ranti yang tadi palsu?" tanya Raden Nadara langsung
mengalihkan pembicaraan.
"Dengan
ini...," sahut Rangga seraya menunjuk
"Maksudmu...?
Dengan perkiraan waktu?" tebak Raden Nadara.
"Salah
satu di antaranya." 'Tapi, kenapa kau begitu yakin? Bahkan membuatnya
marah."
"Dia
melakukan kesalahan besar yang diyakininya benar. Padahal suatu keyakinan,
tidak selamanya akan bisa menolong diri sendiri," sahut Rangga kalem.
"Aku
tidak mengerti maksudmu, Rangga...?"
"Dia
menelanjangi dirinya sendiri saat bercerita tentang Karang Setra, dan rajanya.
Padahal dia tidak pernah mengenal seperti apa itu Raja Karang Setra. Dusta
itulah yang membuatnya tidak bisa lagi menyembunyikan kedoknya," jelas
Rangga.
"Bagaimana
mungkin kau bisa tahu dia berdusta?" tanya Raden Nadara ingin tahu.
Rangga
tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Rasanya memang tidak mungkin
dijelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Dan hal ini akan tetap dijaga.
Entah, sampai kapan nanti. Yang jelas, sedapat mungkin, kerahasiaan dirinya
harus tetap terjaga rapi. Dan rupanya Raden Nadara juga termasuk laki-laki yang
sukar untuk bisa cepat mengerti.
"Terus
terang, aku sendiri tidak tahu kalau dia itu bukan Ranti. Bahkan sebenarnya aku
tadi ingin marah ketika kau terus memojokkannya. Tapi, yaaah.... Aku sendiri
tidak tahu, mengapa aku begitu percaya padamu," ujar Raden Nadara lagi.
"Mungkin
itu sebabnya, mengapa ayahmu tidak pernah mengijinkan kau mengembara, Raden.
Kau masih terlalu polos, dan masih perlu banyak belajar tentang watak
seseorang. Dunia persilatan itu ganas sekali. Penuh daya tipu dan kelicikan, di
samping mengandalkan tingkatan kepandaian ilmu olah kanuragan dan ilmu
kesaktian. Namun, semua kekuatan itu tidak akan berguna jika tidak diimbangi
akal pikiran yang cerdas dan cepat tanggap dalam menilai keadaan bagaimanapun
macamnya," kembali Rangga memberi penjelasan tentang kehidupan.
"Ah!
Semakin jauh aku mengenalmu, rasanya semakin kecil aku di matamu, Rangga. Aku.
memang masih terlalu dangkal dalam hal apa pun juga."
"Tidak
dalam segala hal, Raden. Dalam hal-hal tertentu, kau pasti punya kelebihan. Dan
setiap manusia tidak ada yang sempurna. Pasti ada kekurangan dan
kelebihannya," kembali Rangga membesarkan hati pemuda itu.
"Terima
kasih. Rangga. Tapi kali ini aku memang tidak ingin menutupi segala kekuranganku,
dan ingin lebih banyak belajar darimu," tegas Raden Nadara.
"Raden
bisa belajar pada siapa saja, dan di mana saja. Bukan hanya para petinggi, tapi
juga rakyat biasa. Bahkan bisa pula belajar dari para pengemis, gelandangan,
tukang kayu atau siapa saja yang hampir semua orang menganggapnya rendah.
Padahal justru dari merekalah kita bisa belajar banyak tentang arti kehidupan
yang sesungguhnya. Karena, mereka hidup dalam kepolosan dan apa adanya. Lain
hal jika kau belajar dari orang-orang berada dan para petinggi. Mereka biasanya
menutupi yang lemah, dan mengangkat yang kuat."
Raden
Nadara mengangguk-anggukkan kepalanya. Semua kata yang diucapkan Rangga
benar-benar diresapi. Hatinya benar-benar kagum pada pemuda berbaju rompi putih
itu. Setiap kata yang diucapkan, mengandung arti yang sangat dalam, dan yang
akan membawa kebahagiaan hidup.
Tiga
ekor kuda berjalan pelahan-lahan memasuki gerbang perbatasan Kota Kerajaan
Kedung Antal. Saat itu, matahari baru saja menampakkan ujudnya di balik
cakrawala sebelah Timur. Sinarnya yang kemerahan menyemburat indah, menyongsong
pagi yang cerah ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tampak sunyi senyap.
Beberapa orang yang kebetulan berpapasan, langsung menyingkir dengan mimik
wajah menyiratkan ketakutan yang amat sangat.
Tampak
pula, kepala-kepala bersembulan keluar dari balik pintu dan jendela yang setengah
tertutup. Sementara penunggang kuda yang terdiri dua orang pemuda yang mengapit
seorang wanita muda dengan tubuh terikat tambang, terus mengendalikan kudanya
agar jalan pelahan-lahan.
Mereka
adalah Rangga, Raden Nadara dan seorang tawanan wanita yang bernama Ni Calak.
Tiga orang itu terus bergerak menuju bangunan Istana Kerajaan Kedung Antal.
Tidak seperti biasanya, jalan utama kerajaan ini begitu sunyi. Hanya terlihat
beberapa orang yang berada di luar rumah. Namun sepanjang jalan yang di kanan
kirinya berdiri rumah-rumah, tampak kepala-kepala bersembulan.
"Mereka
seperti hidup di dalam neraka," desis Raden Nadara lirih.
"Mereka
sudah cukup menderita. Kewajibanmu untuk mengembalikan mereka pada kehidupan
yang damai," sahut Rangga.
"Ya...,
aku akan membuat mereka bergembira. Dan sekarang saatnya yang tepat" tekad
Raden Nadara.
"Heh...!
Kalian cuma bermimpi!" dengus Ni Calak ketus bernada sangat sinis.
"Tidak
seperti mimpimu yang buruk di dalam penjara nanti, Nisanak!" timpal Raden
Nadara sengit
"Ha
ha ha...! Sebentar lagi pasti kalian akan bermimpi di dalam neraka!"
Hampir
saja Raden Nadara mencabut pedangnya, jika Rangga tidak segera mengerdipkan
matanya. Dan mereka seketika menghentikan langkah kuda setelah tiba tidak jauh
di depan pintu gerbang benteng istana. Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang
itu terbeliak begitu melihat kedatangan Raden Nadara. Namun yang lebih membuat
mereka terkejut lagi adalah adanya Ni Calak bersama Raden Nadara dalam keadaan
tubuh terikat dan tangan juga terikat ke belakang.
Kedua
prajurit penjaga pintu gerbang itu seperti jadi serba salah. Bagaimanapun juga,
mereka mengenal Raden Nadara dan gadis muda itu. Sikap dua prajurit itu, bisa
dipahami Raden Nadara. Dan pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya.
Dengan tangkah yang tegap dan pasti, dihampirinya kedua prajurit penjaga pintu
gerbang itu.
"Raden..,"
hampir bersamaan mereka membuka suara dengan tubuh bergetar.
"Apakah
hanya kalian berdua yang menjaga sini?" tanya Raden Nadara.
"Be...,
be..., benar, Raden," sahut salah seorang jadi tergagap.
"Kalian
senang melakukan tugas dari orang yang bukan junjungan kalian?" tanya
Raden Nadara lagi.
Kedua
prajurit penjaga itu tidak bisa menjawab. Mereka langsung melirik Ni Calak,
kemudian tertunduk dan kembali memandang Raden Nadara.
"Jika
mengaku sebagai prajurit sejati, tunjukkan jiwa keprajuritan kalian. Tunjukkan
bahwa kalian adalah prajurit yang taat dan setia pada junjungan. Pada Gusti
Prabu Raketu," kata Raden Nadara lagi.
"Raden...."
Kedua
prajurit itu menjatuhkan dirinya berlutut Mereka tidak lagi memandang wajah
pemuda itu. Kepala mereka tertunduk dalam. Melihat sikap kedua prajurit itu, Ni
Calak jadi mendesis geram. Sedangkan Raden Nadara tersenyum. Dengan sikap kedua
prajurit ini, bisa disimpulkan kalau semua prajurit yang masih ada di dalam
benteng istana, tentu mendapat tekanan dan keterpaksaan dalam batinnya. Mereka
ingin memberontak, tapi tak kuasa menentang para pengkhianat kerajaan yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi di samping kejam. Mereka tidak segan-segan
memenggal kepala prajurit yang mencoba membangkang.
"Ampunkan
hamba. Raden. Hamba tetap setia pada Gusti Prabu Raketu," ucap salah
seorang prajurit tanpa mengangkat kepalanya.
"Benar,
Raden. Sebenarnya kami menunggu perintah dari Raden, karena kini kami tidak
lagi mempunyai pemimpin," sambung prajurit satunya lagi.
"Bagus!
Jika kalian masih tetap setia pada Prabu Raketu, ajak teman-teman kalian untuk
menemuiku di tepi Hutan Kaki Gunung Anjar. Kita akan bersama-sama mengusir para
pengkhianat itu dari bumi Kedung Antal ini!" tegas nada suara Raden
Nadara.
"Akan
hamba laksanakan, Raden," sahut kedua prajurit itu berbarengan.
Raden
Nadara tersenyum senang. Dia berbalik dan menghampiri kudanya. Dengan gerakan
ringan, pemuda itu melompat naik ke punggung kudanya. "Ayo, Rangga. Kita
kembali ke pondok," ajak Raden Nadara.
Rangga
tidak membantah. Segera digebah kudanya sambil menuntun kuda yang ditunggangi
Ni Calak. Mereka menggebah kudanya cepat, meninggalkan bagian depan istana itu.
Kedua prajurit penjaga pintu gerbang, bangkit berdiri setelah suara langkah
kaki kuda tidak terdengar lagi. Mereka sejenak memandang debu yang berkepul
membumbung tinggi di kejauhan sana.
Kedua
prajurit itu saling berpandangan, dan sama-sama berpaling menatap pintu gerbang
yang tertutup rapat. Rupanya mereka kini jadi bimbang hatinya. Apalagi bila
teringat beberapa temannya yang tewas terpenggal hanya sedikit saja melakukan
kesalahan. Dan kini, mereka diminta untuk membawa teman-teman mereka kembali
bergabung dengan Raden Nadara dan berkumpul di tepi Hutan Kaki Gunung Anjar.
"Bagaimana...?"
tanya salah seorang prajurit yang berkumis, meminta pendapat temannya.
"Kau
sendiri bagaimana?"
"Aku
merasa, ini saat yang tepat untuk lepas dari cengkeraman manusia-manusia iblis
itu."
"Kalau
begitu, cepat kita hubungi yang lain. Terutama dari kelompok kita dulu."
"Ayolah,
kita tinggalkan saja gerbang ini."
***
DELAPAN
Raden
Nadara tersenyum memandangi para prajurit yang sudah berkumpul di lapangan
rumput tepi Hutan Kaki Gunung Anjar ini. Meskipun tidak semua, tapi jumlah
mereka sudah lebih dari separuh prajurit yang ada di Kerajaan Kedung Antal. Dan
semuanya sudah menyatakan untuk tetap setia pada junjungan Prabu Raketu. Mereka
juga bersumpah untuk mentaati perintah yang datang dari Raden Nadara.
Ternyata
apa yang dikatakan Rangga semalam, memang terbukti kenyataannya. Para prajurit
itu sebenarnya tidak ingin memberontak pada kerajaan. Mereka hanya menunggu
seorang pimpinan, dan menunggu waktu untuk mengadakan perebutan kembali.
Melihat kesiapan para prajurit itu. Raden Nadara tidak menunggu waktu lagi.
Mereka segera diperintahkan untuk segera berangkat. Sebelumnya, ditunjuk dua
puluh orang prajurit serta tiga orang punggawa untuk tetap berada di tempat ini
menjaga Ni Calak.
Raden
Nadara berkuda paling depan didampingi Pendekar Rajawali Sakti. Di belakangnya,
tampak para panglima perang dan patih yang tetap setia, serta beberapa pembesar
kerajaan yang memiliki ilmu olah keprajuritan. Lebih ke belakang, tampak para
tamtama, punggawa, dan para prajurit. Barisan mereka begitu panjang dan terbagi
dalam empat kelompok yang masing-masing dipimpin seorang panglima.
"Kau
benar, Rangga. Ternyata mereka adalah prajurit setia. Aku benar-benar terharu
terhadap kesetiaan mereka," ungkap Raden Nadara.
Rangga
yang berkuda di samping pemuda itu, hanya tersenyum saja. Masalahnya, hal
seperti ini pernah dialami juga. Itu sebabnya, mengapa dia begitu yakin kalau
para prajurit itu sebenarnya masih setia pada Prabu Raketu, dan sebenarnya
sedang menunggu seorang pemimpin.
"Rasanya
aku tidak mungkin bisa membalas jasamu, Rangga," kata Raden Nadara lagi.
"Aku
sudah senang jika Kerajaan Kedung Antal kembali utuh seperti semula,"
sahut Rangga merendah.
"Itu
semua berkat jasamu, Rangga."
"Berkat
pengabdianmu yang suci. Raden."
"Ah!
Kau selalu saja membuatku melambung, Rangga. Aku khawatir akan menjadi besar
kepala nanti,' desah Raden Nadara tersipu.
Mereka
tidak bicara lagi. Dan rombongan yang berjumlah besar itu terus bergerak
memasuki kota. Rakyat yang melihat para prajurit kerajaan dipimpin Raden
Nadara, langsung menyambutnya dengan sorak-sorai dan gegap gempita. Mereka
begitu gembira, karena akan kembali terbebas dari cengkeraman manusia iblis.
Inilah hari yang ditunggu-tunggu sejak lama. Dan kegembiraan ini diungkapkan
dengan menggabungkan diri ke dalam barisan.
Raden
Nadara tidak bisa mencegah, dan hanya semakin terharu melihat kesetiaan rakyat
Kedung Antal. Mereka rela menyabung nyawa, demi keutuhan Kerajaan Kedung Antal
yang dicintai. Rombongan yang dipimpin Raden Nadara itu semakin mendekati
Istana Kedung Antal. Dan semakin lama jumlah mereka semakin bertambah banyak,
karena para pemuda dan laki-laki yang merasa tubuhnya masih kuat, langsung
menggabungkan diri begitu mengetahui Raden Nadara yang memimpin pasukan
prajurit ini.
"Perintahkan
setiap kelompok menempati posisi," kata Raden Nadara begitu mereka berada
di depan istana.
Salah
seorang panglima yang berada di belakang Raden Nadara, langsung memberikan
perintah itu. Maka pasukan yang sudah dibagi dalam empat kelompok itu, langsung
menyebar menempati posisi yang sudah ditentukan.
"Bagaimana
dengan rakyat, Rangga?" tanya Raden Nadara meminta pendapat
"Katakan
pada para patih dan pembesar untuk bergabung bersama rakyat, dan mencegah
rakyat bentrok langsung jika tidak terpaksa," sahut Rangga.
Raden
Nadara tersenyum, lalu segera memberikan perintah pada seorang patih untuk
mengatur rakyat agar tidak bentrok langsung jika tidak terpaksa. Setelah itu,
Raden Nadara kembali menghampiri Rangga yang sudah turun dari kudanya. Raden
Nadara juga turun dari kudanya, lalu berdiri di samping pemuda berbaju rompi
putih itu.
"Tampaknya
mereka sudah siap menyambut, Rangga," kata Raden Nadara.
"Benar,"
sahut Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mengamati bagian atas benteng. Tampak jelas, kalau di sana
sudah siap pasukan panah. Dan yang pasti, di dalam benteng istana ini juga
sudah siap para prajurit yang lebih memilih membangkang daripada bergabung
dengan Raden Nadara. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu juga melihat banyaknya
orang yang tidak mengenakan seragam prajurit Dan itu sudah pasti dari kalangan
rimba persilatan golongan hitam.
"Kau
punya cara untuk mendobrak pintu gerbang, Rangga?" tanya Raden Nadara.
"Aku
ingin kau yang melakukannya, Raden. Kau harus bisa memimpin. Ini kesempatan
terbaikmu, Raden," sahut Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu.
"Baiklah,
akan kucoba semampuku."
"Cobalah.
Kegagalan bukan berarti kehilangan segala-galanya. Dalam keadaan seperti ini,
segala kemungkinan patut dicoba," kata Rangga memberi semangat.
Raden
Nadara mengangguk dan tersenyum. Hatinya begitu mantap bersama Pendekar
Rajawali Sakti. Dipanggilnya seorang panglima dan diperintahkan panglima itu
bersama dua puluh prajurit untuk mencoba mendobrak gerbang benteng. Seorang
panglima dan dua puluh orang prajurit berkuda, sudah siap di garis depan.
Mereka
akan mencoba mendobrak pintu gerbang istana. Sedangkan Rangga sudah bisa
menduga kalau hal ini pasti tidak akan berhasil. Bahkan akan membuat mereka
menggeletak jadi mayat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin mencegah.
Dia ingin memberi kesempatan agar Raden Nadara bisa belajar banyak dari
peristiwa ini.
"Hiyaaa...!"
panglima itu berteriak nyaring sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke
atas kepala.
Seketika
itu digebah kudanya, maka seketika juga dua puluh orang prajurit segera
mengikuti menggebah kuda dengan cepat. Mereka semua menghunus pedang di atas
kepala sambil berteriak-teriak keras membahana. Namun belum juga mereka bisa
mencapai pintu gerbang benteng istana itu, dari atas berhamburan puluhan batang
anak panah.
Jeritan-jeritan
melengking langsung terdengar, diiringi berjatuhannya para prajurit yang
mencoba mendekati pintu gerbang. Tampak panglima yang berkuda paling depan,
dengan tangkas sekali memutar pedangnya di atas kepala. Namun usahanya tidak
berjalan lama. Ketika sebatang anak panah menancap leher kudanya, dan
membuatnya terpelanting, maka seketika perhatiannya langsung buyar. Sebelum
bisa menguasai keadaan, beberapa batang anak panah menghunjam ke tubuhnya.
"Aaa...!"
Hujan
panah itu langsung berhenti ketika tidak ada lagi yang hidup. Tampak panglima
masih bisa bergerak, namun akhirnya diam tak berkutik. Ada enam batang panah
yang memanggang tubuhnya, di samping dua puluh prajurit tergeletak bersama
bangkai kuda.
"Oh...,
apakah prajuritku harus dikorbankan lagi?" keluh Raden Nadara lirih.
Rangga
memandangi pemuda itu. Raden Nadara memang masih hijau dalam pengalaman
bertempur. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merasa iba juga. Dan disadari,
kalau tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Raden Nadara. Sedangkan mereka
tidak tahu, berapa banyak kekuatan di dalam benteng istana itu.
"Raden!
Aku akan mendobrak pintu gerbang itu, dan secepatnya kau menyerbu masuk begitu
pintu hancur," ujar Rangga.
"Rangga...!"
Raden Nadara terkejut. Tapi pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena
Rangga sudah berlari cepat mempergunakan Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan. Seketika itu juga, dari atas benteng berhamburan puluhan
anak panah menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun
Rangga terus berlari cepat sambil sesekali berpelantingan di udara. Tampaknya
mereka yang menghujani anak panah, jadi kebingungan juga, karena Rangga semakin
dekat dengan pintu gerbang istana. Dan....
"Hiyaaa...!"
tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring.
Bagaikan
kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke arah pintu gerbang. Segera
dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap yang terakhir.
Kedua tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar. Dan begitu kedua kakinya
berpijak pada tanah di depan pintu, seketika itu kedua tangannya dihentakkan.
"Yeaaah...!"
Glarrr!
Ledakan
keras terjadi bersamaan dengan hancurnya pintu gerbang itu. Sungguh luar biasa
daya pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pintu dari kayu jati yang
tebal itu hancur berkeping-keping. Saat itu juga, Rangga langsung melompat
menerobos masuk ke dalam.
"Serang...!"
teriak Raden Nadara 'langsung memberi perintah.
"Serbuuu...!"
Suara-suara
teriakan terdengar gegap gempita, diiringi berhamburannya para prajurit Mereka
langsung mengikuti Raden Nadara yang menunggang kuda menerobos masuk ke dalam benteng
istana yang pintunya sudah hancur berkeping-keping. Mereka terus menerobos
maju, meskipun hujan anak panah seperti tidak berhenti. Teriakan-teriakan
membahana, kini bercampur jerit dan pekik melengking tinggi menyayat hati.
Tubuh-tubuh bersimbah darah kembali bergelimpangan terpanggang panah.
Sementara
itu. Rangga yang sudah berhasil berada di dalam lingkungan pagar benteng,
langsung melesat ke atas. Langsung dihajarnya orang-orang di atas benteng, yang
menghujani panah terhadap para prajurit Raden Nadara. Jeritan-jeritan
melengking tinggi, kembali terdengar disusul berjatuhannya tubuh-tubuh dari
atas benteng.
Rangga
mengobrak-abrik pasukan panah itu, sehingga membuat para prajurit yang dipimpin
Raden Nadara semakin leluasa menerobos masuk ke dalam. Namun, seketika mereka
disambut para prajurit pembangkang yang dibantu orang-orang persilatan.
Pertempuran di halaman depan istana itu pun tidak bisa terelakkan lagi. Jeritan
melengking kematian dan teriakan pertempuran bercampur menjadi satu, ditingkahi
denting senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah mulai bertumbangan
membasahi tanah. Korban memang tidak mungkin terelakkan dalam setiap
pertempuran di manapun juga.
"Hiyaaa...!"
Rangga yang selesai membereskan pasukan panah di atas benteng, langsung meluncur
deras ke bawah. Bahkan langsung menuju ke bagian belakang pertahanan lawan.
Seketika itu juga, Rangga melontarkan beberapa pukulan dahsyat sambil
berjumpalitan, diimbangai gerakan tubuh yang lincah dan cepat luar biasa.
Setiap pukulannya selalu menimbul kan korban yang tak bisa bangkit berdiri
lagi. Mereka langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Hiyaaa...!"
Rangga
langsung melesat begitu melihat seorang perempuan tua tengah mengamuk membantai
para prajurit yang mengeroyoknya. Tongkatnya berkelebatan cepat menyebarkan
maut bagi siapa saja yang mencoba mendekati.
"Menyingkir
kalian semua...!" seru Rangga menggelegar.
Mereka
yang tengah bertarung dengan perempuan tua berjubah merah, langsung berlompatan
mundur. Pada saat itu, Rangga langsung mendarat tepat sekita lima langkah di
depan perempuan tua berjubah merah itu.
"Pendekar
Rajawali Sakti...."
"Akulah
lawanmu, Dewi Merah Penghisap Darah!" dengus Rangga dingin.
"Phuih!
Mampus kau. Hiyaaat...!"
Dewi
Merah Penghisap Darah, langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Tongkatnya berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Namun Rangga cepat menghindari serangan dahsyat itu. Bahkan langsung
membalasnya dengan tidak kalah dahsyatnya.
Sementara
pertarungan lain masih terus berlangsung sengit. Tampak Raden Nadara kini
tengah bertarung melawan Patih Karuni yang sebenarnya bernama Ki Sakar. Raden
Nadara tampaknya bertarung penuh semangat. Setiap serangannya sangat berbahaya,
sehingga membuat Patih Karuni jadi kerepotan juga menghadapinya. Sehingga pada
satu saat...
"Modar...!"
teriak Raden Nadara.
Seketika
itu juga dikibaskan pedangnya ke arah kaki. Namun Patih Karuni dengan cepat
melompat menghindar. Tapi tanpa diduga sama sekali, Raden Nadara melentingkan
tubuhnya ke atas sambil cepat menarik pedangnya. Seketika langsung dikirimkan
satu pukulan lurus dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan tiba-tiba
itu, tak dapat dihindari lagi, telak mendarat di dada Patih Karuni.
Bughk!
"Aaakh...!"
Patih Karuni menjerit melengking tinggi.
Pada
saat tubuh Patih Karuni terjajar ke belakang, dengan cepat sekali Raden Nadara
melentingkan tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Yeaaah...!"
Cras!
"Aaa...!"
Patih Karuni menjerit melengking tinggi.
Darah
langsung menyembur keluar dari lehernya yang hampir buntung tertebas pedang
Raden Nadara. Tubuh laki-laki itu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar dia
menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Raden Nadara sebentar memandangi sekitarnya,
kemudian melompat begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tengah
mengamuk membantai para prajurit.
"Hiyaaa...!"
Laki-laki
setengah baya itu ternyata murid Nyi Pari yang bernama Sagala. Dia begitu
terkejut begitu tiba-tiba Raden Nadara melompat menyerangnya. Sagala langsung
berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Kembali Raden Nadara terlibat dalam
kancah pertarungan sengit. Sengaja Raden Nadara memilih lawan bukan dari para
prajurit yang membangkang. Maksudnya, dia ingin mengurangi kekuatan lawan yang
dibantu orang-orang rimba persilatan.
Sementara
itu, Rangga masih bertarung ketat melawan Dewi Merah Penghisap Darah. Tapi
tampaknya perempuan tua berjubah merah itu sudah semakin terdesak. Terlebih
lagi, sekarang Rangga sudah mencabut senjata pusakanya yang memancarkan cahaya
biru berkilauan.
"Yeaaah...!"
Rangga berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, dikibaskan pedangnya kearah
dada Dewi Merah Pengisap Darah. Saat ini keadaan Dewi Merah Pengisapo Darah
tidak memungkinkan untuk berkelit. Maka dengan cepat dihentakkan tongkatnya
menangkis pedang yang memancarkan sinar biru berkilau itu.
Trak!
"Akh...!"
Dewi Merah Penghisap Darah terkejut setengah mati.
Tongkat
kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian, dan perempuan tua itu sendiri
terpental ke belakang. Memang, tenaga dalamnya jauh di bawah Pendekar Rajawali
Sakti. Pada saat tubuh perempuan tua itu terjajar ke belakang, cepat sekali
Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!"
Des!
"Aaakh...!"
lagi-lagi Dewi Merah Penghisap Darah menjerit melengking tinggi.
Tendangan
Pendekar Rajawali Sakti yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna
itu, tepat menghantam dadanya. Dan sebelum Dewi Merah Penghisap Darah bisa
menguasai keadaan, Rangga sudah mengibaskan pedangnya ke arah leher. Dan
perempuan tua berjubah merah itu hanya mampu terbeliak. Rasanya memang, tidak
ada kesempatan lagi untuk berkelit Sehingga....
Cras!
"Aaa...!"
Satu
jeritan panjang melengking tinggi, mengantarkan kematian Dewi Merah Penghisap
Darah. Perempuan tua berjubah merah itu langsung tewas sebelum tubuhnya
menyentuh tanah. Tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas lehernya, dan
hampir membuat buntung kepalanya. Darah seketika mengucur deras dari leher yang
menganga lebar.
"Yeaaah...."
"Heh...?!"
Beghk!
Rangga
terkejut ketika tiba-tiba dari arah belakang melesat sebuah bayangan hitam. Dan
sebelum sempat melakukan sesuatu, terasa satu hantaman keras mendarat di
punggungnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terjerembab ke tanah. Namun
dia cepat bergulingan begitu melihat sebuah benda panjang berwarna kuning
gading meluncur deras ke arahnya.
Satu
ledakan keras terdengar menggelegar ketika benda kuning gading itu menghantam
tanah di samping Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat
bangkit, tepat saat benda kuning panjang itu tertarik kembali. Kini di depan
Rangga berdiri seorang lagi perempuan tua berbaju hitam sambil mengibas-ngibaskan
selendang berwarna kuning gading yang merupakan senjatanya.
"Berani
kau membunuh adikku...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat...!" teriak perempuan tua itu yang ternyata adalah Nyi Pari.
Perempuan
tua berbaju hitam itu langsung melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Selendang yang berujung untaian logam berbentuk jarum itu meliuk-liuk menyambar
ke arah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Serangan ini membuat Rangga jadi
kerepotan sesaat Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti teringat kalau pernah
bertarung melawan seseorang yang juga menggunakan senjata selendang, dengan
cepat keadaan bisa dikuasai.
Bahkan
ketika selendang itu meluncur ke arah kepala, Rangga tidak bergeming sedikit
pun juga. Dan begitu selendang itu dekat, dengan cepat ditarik kepalanya ke
samping. Lalu bagaikan kilat, dikibaskan pedangnya disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna.
"Yeaaah...."
Bet!
Reeet!
"Hah...!"
Nyi Pari terperanjat bukan main begitu melihat selendangnya terpotong jadi dua
bagian. Dan sebelum rasa keterkejutannya lenyap, Rangga sudah melompat secepat
kilat menerjang sambil mengibaskan pedangnya tiga kali berturut-turut Buru-buru
Nyi Pari meliukkan tubuhnya sambil melompat ke belakang. Namun sungguh tidak
diduga sama sekali, saat tubuhnya ditarik ke belakang, tiba-tiba Rangga melesat
lurus dengan pedang tertuju lurus ke arah dadanya.
"Hiyaaa...!"
"Hak..!"
Crab!
"Aaa...!"
Nyi
Pari benar-benar tidak kuasa lagi menghindar. Matanya terbeliak dan mulutnya
ternganga memperdengarkan suara jeritan melengking tinggi menyayat. Pedang
Pendekar Rajawali Sakti langsung menembus dadanya hingga ke punggung. Cepat
Rangga menarik pedangnya, maka darah langsung menyembur deras dari dada yang
berlubang.
Sebentar
Nyi Pari masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan ambruk ke tanah, tak
bernyawa lagi. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh berlumuran darah tak
bernyawa lagi. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, karena tidak lagi
mendengar suara pertempuran. Tapi yang terdengar kini malah sorak-sorai para
prajurit Raden Nadara yang telah mencapai kemenangan gemilang.
Rangga
mengedarkan pandangannya mencari Raden Nadara, dan menemukan pemuda itu tengah
berdiri diujung tangga istana bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Meskipun tubuhnya kotor dan compang-camping, namun Rangga dapat
mengenali kalau laki-laki itu adalah Prabu Raketu.
"Rangga...!"
panggil Raden Nadara.
Rangga
yang baru saja hendak pergi, jadi mengurungkan niatnya. Sebentar dipandangi
Raden Nadara yang berdiri di samping Prabu Raketu. Pelahan diayunkan kakinya
menghampiri. Satu persatu kakinya menaiki undakan istana yang berjumlah lima
belas buah.
"Dewata
Yang Agung.... Kau...," desah Prabu Raketu terperanjat begitu Rangga sudah
dekat di depannya.
Tanpa
dapat dibendung lagi, laki-laki itu langsung menghambur memeluk Rangga. Hal ini
membuat Raden Nadara jadi terlongong tidak mengerti. Hati pemuda itu semakin
heran melihat mata ayahandanya merembang berkaca-kaca. Pelahan Rangga
melepaskan pelukan Prabu Raketu, kemudian mengajaknya masuk ke dalam.
"Jangan
katakan tentang diriku pada Raden Nadara," kata Rangga berbisik. Begitu
dekat di telinga Prabu Raketu, dan suaranya juga pelan sekali sehingga Raden
Nadara tidak bisa mendengarkannya.
"Kenapa...?"
tanya Prabu Raketu.
"Rahasia,"
sahut Rangga.
"Kenapa
harus dirahasiakan?!"
"Sudahlah,
aku juga tidak ingin tahu apa yang terjadi di sini."
"Baiklah,
kalau itu keinginanmu."
"Anggap
saja kita sudah pernah kenal satu sama lain sebagai sesama pendekar."
Prabu
Raketu tertawa terbahak-bahak.
"Ada
apa, Ayah?" tanya Raden Nadara.
"Tidak
ada apa-apa, hanya senang saja bertemu sahabat lama," sahut Prabu Raketu.
"Jadi..?!"
suara Raden Nadara terputus.
"Sahabat
sesama pendekar dulu," kata Prabu Raketu langsung tertawa terbahak-bahak.
Rangga
hanya tersenyum saja. Sedangkan Raden Nadara belum bisa mengerti. Dipandanginya
Rangga dan ayahnya bergantian, namun tidak juga diketahuinya persahabatan itu.
Dan lagi, selama ini Rangga tidak pernah mengatakannya. Raden Nadara bertekad
harus mengetahui, tapi harus menunggu saat yang tepat.
Tapi
saat yang dinanti tidak juga kunjung datang, karena Pendekar Rajawali Sakti
cepat pergi. Sedangkan Prabu Raketu tidak bersedia menjelaskan apa-apa.
Kerahasiaan Rangga tetap terjaga. Dan, sampai saat ini Raden Nadara tidak
pernah tahu, siapa sebenarnya Rangga itu.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
DARAH
DAN ASMARA
Emoticon