6
Setelah Laskar Setan gagal menghancurkan
Perguruan Bintang Emas, perbuatan mereka semakin
dari Ki Catrik Ireng dengan mengerahkan Laskar Se-
tannya itu. Mereka sengaja diumpankan untuk me-
mancing Pendekar Gila. Dengan begitu, Pendekar Gila
akan bertambah marah.
Seperti malam itu, puluhan Laskar Setan kem-
bali bergerak. Kali ini mereka tidak dipimpin oleh Pra-
basangka. Mereka menyerbu ke Perguruan Teratai Pe-
rak yang dipimpin oleh Dewi Teratai Perak. Tujuan dari
penyerbuan itu, tiada lain untuk menundukkan pergu-
ruan itu.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Perguruan Teratai Perak yang semula sepi, se-
ketika menjadi ajang pertarungan yang seru. Dengan
dipimpin oleh ketuanya, murid-murid Perguruan Tera-
tai Perak berusaha membendung serbuan Laskar Se-
tan.
"Serang terus...!" perintah Dewi Teratai Perak
Pertarungan berlangsung seru. Satu persatu korban
bergelimpangan dari pihak Perguruan Teratai Perak.
Para penyerbu memang terlalu ganas untuk dapat di-
lumpuhkan. Serangan mereka sebuas serbuan sege-
rombolan makhluk liar tak berperasaan. Membunuh
dengan pancaran mata haus darah. Perlawanan mu-
rid-murid Perguruan Teratai Perak ibarat kapas di atas
arus sungai deras. Tak berarti apa-apa.
"Celaka! Mereka bukan manusia...!" seru Dewi
Teratai Perak kaget. Meski begitu, tubuhnya terus ber-
kelebat sambil melemparkan senjata andalannya ke
arah Laskar Setan.
Zwing, zwing, zwing...!
Puluhan bunga teratai menyambar cepat ke
arah Laskar Setan yang semakin ganas.
Jlep! Jlep! Jlep!
"Hgrrr...!"
Pemimpin Laskar Setan menggeram murka.
Dengan penuh amarah, tubuhnya melesat ke arah De-
wi Teratai Perak. Serangannya sangat ganas, keras,
dan mematikan. Sepertinya, Ki Catrik Ireng sengaja
menciptakan pemimpin Laskar Setan dengan ilmu ke-
pandaian yang lebih tinggi dari lawan yang bakal diha-
dapi.
"Uts...!" Dewi Teratai Perak tersentak. Tubuh-
nya segera berkelit. Kemudian dengan cepat tangannya
melemparkan bunga-bunga teratai.
Mata Dewi Teratai Perak membelalak, menyak-
sikan bunga-bunganya tak mempan pada tubuh pe-
mimpin Laskar Setan. Bahkan dengan sekali remas,
bunga-bunga yang terbuat dari baja itu hancur beran-
takan.
"Hah?! Dia tak mempan dengan teratai ku?"
"Hgrrr!"
Pemimpin Laskar Setan kembali menyerang.
Tangannya bergerak menyambar Dewi Teratai Perak.
Membuat wanita berpakaian putih perak itu terkejut
Cepat-cepat Dewi Teratai Perak melompat ke
samping, berusaha mengelakkan serangan lawan yang
keras.
Wuttt!
"Uts! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik
Dewi Teratai Perak kaget Tubuhnya bersalto di udara,
untuk terus mengelakkan serangan-serangan lawan.
Di pihak lain, murid-murid Perguruan Teratai
Perak semakin terdesak. Mereka semakin banyak di-
bantai Laskar Setan yang buas.
Setiap murid Perguruan Teratai Perak menga-
lami kegundahan yang berbaur dengan ketakutan, ke-
putusasaan dan kemarahan. Bagaimana mungkin me-
reka bisa menghindari perasaan-perasaan itu, kalau
musuh yang dihadapi bagaikan sepasukan iblis dari
neraka? Padahal kekacauan perasaan itu sangat me-
rugikan mereka dalam pertempuran
"Serang terus...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang lelaki, me-
nyulut semangat seluruh murid Perguruan Teratai Pe-
rak untuk terus menyerang. Bersamaan dengan itu,
dari luar pagar berkelebat pemuda berpakaian rompi
kulit ular. Di tangannya tergenggam suling berkepala
naga yang terbuat dari emas. Suling itu, tiada lain Sul-
ing Naga Sakti. Dan tentunya, pemuda berbaju rompi
kulit ular itu tiada lain Sena Manggala, atau Pendekar
Gila dari Goa Setan.
Tubuh Pendekar Gila melesat laksana terbang,
menuju Dewi Teratai Perak yang kerepotan menghada-
pi pemimpin Laskar Setan.
"Bantulah anak buahmu, Nyi! Biar aku yang
menghadapi setan ini," seru Sena.
Dewi Teratai Perak menurut meskipun belum
tahu siapa sebenarnya pemuda itu Segera tubuhnya
melesat meninggalkan pemimpin Laskar Setan, mem-
biarkan Pendekar Gila yang menghadapinya. Sedang-
kan dia kini membantu anak buahnya.
"Jangan mundur! Seraaang...!" seru Dewi Tera-
tai Perak memberi semangat pada anak buahnya un-
tuk terus menyerang Laskar Setan
Melihat pemimpinnya membantu, murid-murid
Perguruan Teratai Perak yang semula telah ciut nya-
linya, kembali bersemangat. Mereka dengan berani
kembali menyerang.
"Hiaaat..!"
Jlep!
Pendekar Gila yang menghadapi pemimpin
Laskar Setan, telah memulai pertarungan. Keduanya
saling menggebrak dengan jurus-jurus yang sangat ke-
ras.
"Ayo, keluarkan semua kekuatan setanmu!"
tantang Sena. Dia tahu kalau lawan hanya dapat di-
lumpuhkan oleh Suling Naga Sakti. Tubuhnya melom-
pat ke atas, kemudian dengan cepat menghantamkan
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Wuttt!
"Hgrrr...!"
Lawan rupanya mengerti kalau Pendekar Gila
menyerang dari atas. Segera tubuhnya dirundukkan,
kemudian meliuk ke samping. Kemudian dengan pe-
nuh amarah, pemimpin Laskar Setan itu balas menye-
rang.
"Hgr...!"
Tangan pemimpin Laskar Setan bergerak cepat
mencakar dan mencengkeram ke arah lawan. Gera-
kannya begitu cepat. Jari-jari tangannya laksana baja
yang mampu menembus karang.
Wuttt
"Uts! Hebat juga kau, Setan! Tapi otakmu yang
telah diatur oleh seseorang, membuat gerakanmu ka-
ku. Nah, ini untukmu...!"
Dengan tertawa tergelak-gelak dan tangan
menggaruk-garuk kepala, Sena menghantamkan Sul-
ing Naga Sakti ke tubuh lawan.
Bugk!
"Ngk..! Uhk..!"
Pemimpin Laskar Setan itu mengeluh pendek.
Kepalanya menoleh kian kemari, kebingungan dengan
keadaan sekelilingnya.
"Di mana aku?" tanyanya, diusik kebingungan
yang datang tiba-tiba. Tampaknya dia telah tersadar
dari pengaruh totokan Ki Catrik Ireng yang membuat-
nya seperti boneka suruhan.
***
Pendekar Gila yang semula hendak memukul
dengan Suling Naga Sakti kembali, seketika mengu-
rungkan serangannya. Keningnya berkerut. Dan ma-
tanya memandang heran pada lelaki berjubah hitam
itu.
"Tuan, kenapa denganku?" tanya lelaki itu den-
gan sinar wajah heran
"Hei, dia sadar. Aha, rupanya aku telah mene-
mukan cara yang baik untuk menolong mereka!" gu-
mam Pendekar Gila.
Kemudian, dihampirinya pemimpin Laskar Se-
tan yang telah sadar dari pengaruh totokan.
"Kisanak apakah kau tidak ingat apa-apa?"
tanya Sena.
"Tidak" sahut lelaki berjubah hitam itu.
"Hm...," Sena menggumam. "Bagaimana mung-
kin kau tidak ingat semuanya?"
Tanpa diminta, lelaki berjubah hitam itu men-
ceritakan apa yang telah dialaminya. Diceritakannya
ketika dia lewat di Gunung Lawu, tiba-tiba seseorang
menyergapnya. Kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Hanya itu yang kuingat..," kata lelaki berjubah
hitam itu, menutup ceritanya.
"Jadi teman-temanmu pun tidak sadar kalau
mereka kini tengah bertarung?" tanya Sena.
"Mungkin. Karena aku sendiri seperti yang ter-
tidur."
"Celaka!" seru Sena. "Ayo kita bantu menyadar-
kan mereka."
Sena dan lelaki berjubah hitam yang ternyata
bernama Trana Jaya itu segera berkelebat ke kancah
pertarungan antara Dewi Teratai Perak dan seluruh
muridnya yang menghadapi Laskar Setan.
"Hentikan..!" sergah Trana Jaya yang berusaha
menghentikan rekan-rekannya. Namun tindakannya
itu sia-sia belaka. Malah dia dan Pendekar Gila kini
diserang pula.
Wuttt!
"Edan!" maki Sena. "Mereka benar-benar tidak
kenal dengan pemimpinnya!"
"Ya! Mereka seperti sedang bermimpi, Tuan,"
sahut Trana Jaya sambil mengelakkan serangan-
serangan bekas anak buahnya yang masih dalam pen-
garuh totokan Ki Catrik Ireng.
"Terpaksa...!" dengus Sena sambil melompat ke
atas, lalu dengan cepat menghantamkan Suling Naga
Sakti ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk! Bukkk..!
Satu persatu anggota Laskar Setan itu berjatu-
han, terhantam Suling Naga Sakti. Sementara Dewi Te-
ratai Perak dan murid-muridnya terus berusaha mem-
bendung serangan lawan. Dibantu oleh Trana Jaya.
"Heaaat..!"
Dengan bantuan Pendekar Gila dan Trana
Jaya, Laskar Setan dapat dilumpuhkan satu persatu.
Sampai akhirnya habis tak tersisa.
"Wah...! Rasanya semua bagai mimpi," gumam
Sena setelah menyelesaikan tugasnya. "Manusia-
manusia aneh...!"
"Benar, Tuan," sahut Trana Jaya. "Aku pun me-
rasa seperti bermimpi. Tak pernah kubayangkan, ka-
lau akhirnya aku akan tersadar kembali. Ah, aku ha-
rus kembali ke perguruanku!"
"Di manakah perguruanmu, Kisanak?" tanya
Dewi Teratai Perak yang telah mendengar penuturan
bekas pemimpin Laskar Setan itu.
"Aku dari Perguruan Tirta Sakti," jawab Trana
Jaya.
"O, tidak kusangka aku bisa bertemu dengan
murid Ki Tirta Buana," desis Dewi Teratai Perak. "Ba-
gaimana kabar gurumu sekarang?"
"Entahlah. Sudah lama aku tidak menemuinya.
Mungkin hampir setahun," sahut Trana Jaya.
"Eh, di mana pemuda itu?!" tiba-tiba Dewi Tera-
tai Perak berseru kaget, ketika matanya tidak menda-
patkan Pendekar Gila di tempatnya semula.
"Ha ha ha...! Aku di sini! Kuharap kalian bisa
saling membantu...!" seru Sena dari kejauhan. "Aku
yakin, kalian adalah pasangan yang serasi!"
Trana Jaya dan Dewi Teratai Perak saling pan-
dang. Kemudian tersipu malu.
"Siapakah pemuda sakti itu?" tanya Dewi Tera-
tai Perak entah ditujukan pada siapa.
"Entahlah," jawab Trana Jaya. "Mungkin dia
yang menjadi musuh besar Ketua Laskar Setan."
"Siapa Ketua Laskar Setan?"
"Ki Catrik Ireng," jawab Trana Jaya.
"Kalau begitu, mungkin pemuda itu adalah
Pendekar Gila! Oh, sungguh aku tak menyangka. Dan,
bukankah tangannya tadi memegang suling berkepala
naga?"
"Ya, benar."
"Tidak salah lagi. Dia memang Pendekar Gi-
la...," desis Dewi Teratai Perak.
Mata Trana Jaya membelalak kaget. Tidak dis-
angkanya kalau Pendekar Gila yang namanya pernah
terdengar puluhan tahun silam ternyata masih muda.
Hening sesaat. Kemudian dengan malu-malu,
Dewi Teratai Perak mengajak Trana Jaya masuk ke da-
lam perguruannya,
***
7
Waktu yang dinanti-nantikan oleh para pende-
kar rimba persilatan tiba. Dua bulan purnama telah
berlalu. Kini, tibalah saat yang dijanjikan Ki Catrik
Ireng untuk melakukan duel dengan pendekar muda
yang namanya tengah menjadi buah bibir.
Sesungguhnya niat Ki Catrik Ireng bukan se-
mata-mata melakukan duel ulang dengan Pendekar Gi-
la yang pernah mengalahkannya lima puluh tahun si-
lam. Tujuan sebenarnya adalah menunjukkan pada
para pendekar, bahwa dialah yang pantas menduduki
jabatan orang nomor satu di rimba persilatan
Dari setiap penjuru tanah Jawa Dwipa, berda-
tangan para pendekar rimba persilatan. Pada umum-
nya mereka ingin menyaksikan duel dua pendekar itu,
setelah mereka mendapat undangan dari Ki Catrik
Ireng.
Dari arah barat, sekelompok orang melangkah
dengan gagah. Seorang lelaki tua dengan pakaian resi
berwarna putih berjalan paling depan. Di tangannya
tergenggam tasbih. Dialah Resi Sarameskari.
Anggota Kuil Wisma Dewa berjalan di bela-
kangnya. Mereka berkepala botak dan berpakaian resi.
Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tongkat
panjang terbuat dari kayu cendana. Itulah senjata me-
reka. Berbeda dengan Resi Sarameskari yang beram-
but panjang digelung ke atas serta jenggot yang pan-
jang dan putih, wajah anggotanya nampak bersih. Tak
ada jenggot atau kumis.
"Guru, mungkinkah Ki Catrik Ireng tidak ber-
maksud memperdayai para pendekar?" tanya salah
seorang resi muda yang berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari,
"Entahlah...," sahut Resi Sarameskari. "Tokoh
yang satu ini memang terkenal aneh. Lima puluh ta-
hun menghilang dari rimba persilatan, tapi kini mun-
cul kembali. Mungkin dia muncul setelah mendengar
kemunculan Pendekar Gila."
"Ada hubungan apa antara Ki Catrik Ireng den-
gan Pendekar Gila itu. Guru?" kali ini yang bertanya
resi muda lain yang juga berjalan di belakang Resi Sa-
rameskari.
"Baiklah, sambil berjalan akan kuceritakan pa-
da kalian hubungan antara dua orang sakti itu."
Resi Sarameskari kemudian menceritakan pada
murid-muridnya tentang kedua tokoh sakti rimba per-
silatan itu. Dikatakannya bahwa dua tokoh persilatan
itu dulu pernah bertarung. Juga dikatakan bahwa Ki
Catrik Ireng senantiasa tidak puas jika belum menga-
lahkan semua pendekar rimba persilatan. Hampir se-
mua pendekar telah dihadapinya. Hanya Pendekar Gila
dari Goa Setan saja yang belum dikalahkan.
Keduanya saling mencari. Ki Catrik Ireng men-
cari Pendekar Gila dengan tujuan menantang duel. Se-
dangkan Pendekar Gila mencari Ki Catrik Ireng untuk
menyadarkan tindakan orang itu.
"Lalu bagaimana selanjutnya, Guru?" tanya Re-
si Bragaskita, salah seorang resi muda yang berjalan di
belakang Resi Sarameskari.
"Mereka pun bertemu."
"Bertarung, Guru?" tanya resi lainnya yang
bernama Resi Bramaweda.
"Ya. Mereka bertarung sehari semalam. Sampai
akhirnya mereka mengeluarkan senjata masing-
masing. Pendekar Gila bersenjata Suling Naga Sakti.
Suling sakti berkepala naga yang terbuat dari emas
murni. Sedangkan Catrik Ireng bersenjatakan bume-
rang kembar."
"Lalu, siapa yang menang, Guru?" tanya Resi
Bramaweda semakin ingin tahu.
Resi Sarameskari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Nafasnya ditarik panjang-
panjang sebelum menjawab pertanyaan muridnya itu.
"Tak ada yang menang dan kalah. Hanya senja-
ta Catrik Ireng saja yang terpotong."
"Apakah itu bukan pertanda kalah?" tanya Resi
Bragaskita.
"Buktinya sekarang dia menantangnya lagi.
Mungkin kekalahan bagi Ki Catrik Ireng hanyalah ke-
matiannya," gumam Resi Sarameskari.
Mereka pun terus melangkah menuju Gunung
Lawu yang terlihat menjulang dengan warna biru. Se-
bagian puncaknya tampak diselimuti kabut tebal.
Sementara itu, dari arah utara serombongan
orang melangkah juga menuju arah selatan di mana
Gunung Lawu berada.
Seorang nenek bertubuh bungkuk berjalan pal-
ing depan. Dia adalah Nyi Kendil. Dan di sampingnya
tampak seorang wanita bercadar merah yang tak lain
adalah Wulandari atau yang lebih dikenal berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah.
Wajah guru dan murid itu kelihatan tegang.
Mereka tahu siapa yang akan bertarung untuk menen-
tukan keunggulan sebagai pendekar nomor wahid di
rimba persilatan.
Wajah Wulandari kelihatan agak gelisah. Seper-
tinya dia tengah memikirkan sesuatu. Mungkin be-
naknya tengah menimbang-nimbang niat Nyi Kendil
untuk menjodohkan dia dengan Prabasangka. Padahal
hari Wulandari telah terpaut pada Pendekar Gila. Na-
mun sebagai seorang murid, dia harus patuh pada gu-
runya.
Di belakang mereka, menyusul kelompok dari
perguruan aliran putih yang dipimpin seorang lelaki
berjubah putih. Tampak di dada sebelah kirinya terda-
pat gambar teratai. Tangan kirinya menggenggam sen-
jata berupa tombak bermata dua sepanjang lengan.
Dialah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Pu-
tih. Sementara itu seorang gadis berbaju hijau berjalan
di sampingnya. Gadis itu adalah Suciati (Untuk menge-
tahui tentang mereka, silakan baca serial Pendekar Gi-
la dalam episode "Kumbang Hitam dari Neraka").
Dari arah timur, muncul Dewi Pandagu dan se-
luruh muridnya yang terdiri dari gadis-gadis cantik.
Mereka pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
untuk dapat menyaksikan pertarungan penentu. Se-
mua pendekar dari bermacam perguruan, saat itu be-
nar-benar hadir. Mereka ingin menyaksikan jalannya
duel antara dua tokoh sakti itu.
Yang tidak terlihat di situ hanyalah Nyi Bangil
dengan Mei Lie. Entah ke mana mereka. Sejak kejadian
di markas Segoro Wedi, mereka menghilang bagai dite-
lan bumi (Mengenai mereka, silakan baca serial Pende-
kar Gila dalam episode perdana "Suling Naga Sakti").
Mentari bersinar redup di sebelah barat. Nam-
paknya sebentar lagi akan beranjak ke peraduan.
Para pendekar kini telah sampai di tempat yang
dituju. Mereka berdiri mengelilingi sebuah panggung
besar yang telah dibuat oleh pasukan Ki Catrik Ireng,
Laskar Setan!
Laskar Setan yang terdiri dari orang-orang yang
tidak memiliki perasaan, telah berjaga-jaga dengan ke-
tat. Mereka sengaja dipersiapkan Ki Catrik Ireng untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
***
Mentari semakin tenggelam di kaki langit sebe-
lah barat. Menjadikan suasana di Puncak Lawu terasa
agak dingin. Angin bertiup kencang, seakan-akan hen-
dak menyapu orang-orang yang kini berdiri memutari
panggung besar.
Panggung itu masih sepi. Tak ada seorang pun
yang naik ke atas. Semuanya menunggu kehadiran
orang yang mengundang mereka. Sekaligus menunggu
kedatangan Pendekar Gila.
Dari balik cadas yang menjulang, berkelebat
sosok bayangan hitam dengan cepat. Kemudian sosok
itu berdiri di atas panggung dengan mata memandang
ke sekeliling. Dia tak lain Ki Catrik Ireng, yang men-
gundang para pendekar untuk datang ke tempat itu.
Orang-orang persilatan yang mengelilingi pang-
gung saling berbisik-bisik, menanggapi kedatangan le-
laki tua berjubah hitam itu.
"Saudara-saudara pendekar. Sengaja saya
mengundang kalian ke sini. Tentunya kalian telah tahu
apa yang akan terjadi di tempat ini, bukan..?" ucap Ki
Catrik Ireng, mencoba bersikap ramah.
"Ya...!" sahut para pendekar.
"Perlu saya beritahukan pada kalian. Sesung-
guhnya ini bukan hanya duel ulang antara saya mela-
wan Pendekar Gila saja, melainkan ada yang lebih
penting. Yaitu mencari siapa yang paling pantas men-
jadi Ketua Rimba Persilatan...!"
Semua tersentak dengan mata membelalak
mendengar penuturan Ki Catrik Ireng. Kemudian me-
reka saling pandang, bagai tak mengerti maksud lelaki
tua itu sebenarnya.
"Nah, untuk menunggu Pendekar Gila, bagai-
mana kalau kita adakan pembukaan!" kata Ki Catrik
Ireng.
Kembali semua mata terbelalak mendengar pe-
nuturan Ki Catrik Ireng. Mereka benar-benar dibuat
kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Ki
Catrik Ireng. Karena mereka datang ke Puncak Lawu
bukan untuk bertarung satu sama lain, melainkan un-
tuk melihat pertarungan antara Ki Catrik Ireng mela-
wan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...!"
Saat mereka tengah dalam keadaan kebingun-
gan, tiba-tiba terdengar gelak tawa yang menggelegar.
Membuat semua mata seketika memandang ke arah
datangnya suara itu.
Dari arah timur, berkelebat seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular.
"Pendekar Gila...!" seru para pendekar serem-
pak, setelah tahu siapa yang datang
Pemuda bertingkah laku gila itu masih tertawa
tergelak-gelak. Tubuhnya tegak menghadapi Ki Catrik
Ireng yang mengerutkan keningnya setelah melihat ru-
pa pemuda itu.
"Kaukah Pendekar Gila itu?!" tanya Ki Catrik
Ireng setengah membentak
"Benar!" sahut Sena tegas.
"Aku tidak percaya! Tentunya kau bukan Pen-
dekar Gila. Kau hanya pemuda gila yang sombong!"
dengus Ki Catrik Ireng
Sena tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Terserah mu saja, Ki. Kau mau percaya atau
tidak itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu, apa mak-
sudmu mengundangku ke sini...?" tanya Sena masih
dengan tingkah lakunya yang aneh.
"Hm...." gumam Ki Catrik Ireng perlahan
Mata lelaki tua itu memandang tajam ke arah
Sena yang tetap bertingkah laku konyol.
"Baik! Katakan, ada hubungan apa antara kau
dan Singo Edan?"
"Aku muridnya," sahut Sena tenang.
"Bagus! Meski kau bukan Pendekar Gila yang
lima puluh tahun lalu mengalahkanku, namun kurasa
kau dapat mewakili gurumu! Sengaja aku mengun-
dangmu kemari, untuk menentukan siapa di antara
aku dan Pendekar Gila yang ilmunya lebih tinggi. Mu-
lanya yang kuharapkan adalah gurumu. Tapi tak men-
gapa, kau pun boleh menggantikannya," kata Ki Catrik
Ireng
"Kalau itu tujuanmu, lebih baik aku mengalah.
Tak ada gunanya bertarung kalau hanya mempere-
butkan pepesan kosong...."
"Pengecut!" maki Ki Catrik Ireng "Begitukah si-
kap seorang pendekar yang sering disebut sebagai
pendekar tanpa tanding?! Lihat..! Kalian telah melihat
sendiri, bagaimana pendekar yang kalian agung-
agungkan ternyata hanya kecoa busuk!"
Kata-kata pedas dan tajam dari mulut Ki Catrik
Ireng yang merendahkan dirinya, tidak membuat Sena
marah.
"Ah, kalau aku ini kecoa, tentunya kau kutu
busuk Ki!" balik Sena dengan niat mengejek
Mata Ki Catrik Ireng membelalak penuh ama-
rah.
"Kurang ajar! Siapa pun kau, aku harus me-
nyingkirkan mu!"
"Aha, terserah saja, Ki!" tantang Sena.
"Bagus! Kalau lima puluh tahun silam aku ka-
lah oleh gurumu, maka hari ini kau sebagai wakilnya
akan menerima pembalasanku! Bersiaplah...!".
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera me-
langkah mundur tiga tindak. Tangannya diangkat ting-
gi-tinggi, dengan jari mengepal. Kemudian sepasang
tangan itu digerakkan ke muka. Tangan kanan ditekuk
dengan tinju ke atas, sedangkan tangan kin dibuka
dengan jari-jari lurus.
"Hhh...!"
Ki Catrik Ireng memutar tangan kiri ke dalam
lalu menyentakkan ke depan lagi. Tangan kanannya
ditarik ke belakang, kemudian diputar dengan jari-jari
terbuka. Disusul hentakan telapak tangan lurus ke
depan. Jurus itu merupakan jurus pembuka yang di-
beri nama 'Sampar Cobra'.
Menyaksikan lawan telah membuka jurus, Pen-
dekar Gila malah tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Bersiaplah, Pendekar Gila!" dengus Ki Catrik
Ireng yang semakin sewot menyaksikan tingkah konyol
Pendekar Gila. Membuat hatinya panas meletup-letup.
"Sejak tadi aku sudah siap, Ki," jawab Sena te-
nang.
Semua pendekar yang menyaksikan tingkah la-
ku Pendekar Gila, seketika tegang. Hati mereka ber-
tanya-tanya, mengapa Pendekar Gila seakan menga-
cuhkan lawan? Padahal lawan yang dihadapinya bu-
kan orang sembarangan. Orang yang pernah bertarung
dengan gurunya.
Kecemasan seketika menyelimuti hati semua
pendekar. Tapi sesungguhnya, tingkah Sena yang se-
perti kera itu tak lain sebuah jurus pembuka bernama
'Monyet Gila Siap Menerkam'.
'Oh, mengapa dia sepertinya belum siap...?"
tanya Dewi Pandagu mengeluh. Hatinya cemas me-
nyaksikan lelaki pujaannya. Dia begitu takut, kalau-
kalau pemuda itu akan mendapat celaka karena belum
siap menghadapi Ki Catrik Ireng yang berilmu tinggi.
"Kurasa memang tingkahnya begitu, Dewi,"
ucap rekannya dari Perguruan Teratai Perak, berusaha
menenangkan. "Tenanglah...."
"Kuharap juga begitu," desis Dewi Pandagu.
"Lihat! Dia telah membuka jurus!" seru Dewi
Teratai Perak membuat mata semua pendekar terpusat
penuh ke arah panggung.
***
Benar juga, Pendekar Gila kini menyurut dua
langkah ke belakang. Dengan tertawa-tawa, dimu-
lainya jurus pembuka yang merupakan jurus awal.
Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Tangannya ber-
gerak lemah gemulai dan lincah.
"Bersiaplah.... Aku akan mulai! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng memekik keras untuk membuka
serangan. Tubuhnya melesat ke depan dengan tangan
menyambar cepat. Tangan kanannya membentuk siku
dengan kepalan ke atas. Sedangkan tangan kirinya di-
putar, lalu dihentakkan ke dada lawan.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan ce-
pat Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya. Tangan-
nya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan sal-
ing berhadapan. Kaki kanan diangkat sampai ke lutut
lalu direntang ke kanan. Diikuti oleh gerakan membu-
ka kedua tangannya. Selanjutnya terlihat gerakan me-
nari. Tangan kanan masih di atas, sedangkan tangan
kiri lurus ke bawah.
"Yeaaat..!"
Dengan menggunakan jurus pembuka 'Kera Gi-
la Merambah Rimba' Pendekar Gila berteriak nyaring,
lalu dengan cepat tubuhnya melesat ke depan. Tangan
kanannya yang semula di atas, kini menyibak ke de-
pan. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas dan
diteruskan memukul ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
"Heaaat..!"
Dua orang berilmu tinggi itu kini telah sama-
sama melesat untuk melakukan serangan. Tangan dan
kaki mereka bergerak lincah, seirama dengan gerakan
tubuh. Tangan mereka bergantian melakukan seran-
gan dan pertahanan. Sedangkan kedua kaki mereka
saling menyapu ke kaki lawan.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau akan mampus, Pen-
dekar Gila. Yeaaa..."
Dengan ucapan sombong, Ki Catrik Ireng segera
berkelebat menyerang. Tangan kanannya memukul ke
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bentuk pertahanan.
"Uts...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kanan ke samp-
ing, menarik kaki kiri ke kanan, lalu dilangkahkan ke
depan. Diikuti oleh pukulan tangannya.
"Edan..!" maki Ki Catrik Ireng kaget. Segera di-
tariknya pukulan tangan kanannya, lalu diganti den-
gan tangkisan tangan kiri. Setelah itu, kakinya dige-
rakkan menendang.
Pendekar Gila meliukkan tubuhnya ke bawah.
Tangannya bergerak menyambar kaki lawan. Hal itu
memaksa Ki Catrik Ireng menarik serangan dengan ce-
pat. Matanya semakin membelalak menyaksikan jurus
Pendekar Gila yang semakin sempurna. Jurus itu me-
mang pernah dihadapinya lima puluh tahun yang si-
lam, tetapi kini lebih hebat!
"Rupanya selama lima puluh tahun menghi-
lang, gurumu berusaha menyempurnakan jurus-jurus
miliknya...!" seloroh Ki Catrik Ireng seraya melangkah
ke belakang mengelakkan cengkeraman yang dilaku-
kan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat Ki Catrik
Ireng menyodorkan pukulan tangan kanannya ke tu-
lang rusuk lawan.
"Weit...!"
Pendekar Gila menggeser kaki kiri. Tubuhnya
dimiringkan ke kanan. Menjadikan pukulan tangan
lawan meleset di depannya. Kemudian dengan cepat
Pendekar Gila melontarkan serangan tangan kirinya ke
samping.
Semua mata orang persilatan memandang pe-
nuh kagum. Mata mereka tak berkedip, seakan akan
tidak ingin melewatkan sekedip saja pertarungan itu.
Mulut mereka ternganga dan sesekali berdecak kagum.
"Ck ck ck..!"
"Ini baru duel seru!"
***
8
Pendekar Gila masih terus menyerang. Gera-
kannya yang seperti monyet, terlihat lucu dan lamban.
Namun kenyataannya, serangan yang dilancarkannya
sangat cepat. Tangannya yang menepak dan menca-
kar, susul-menyusul tiada henti.
"Edan! Benar-benar jurus gila!" maki Ki Catrik
Ireng tersentak kaget mendapatkan serangan yang
aneh. Dilihatnya gerakan tangan dan kaki pendekar
muda itu lambat. Namun jika dia tidak cepat berkelit
tentunya cakaran dan tepukan tangan Pendekar Gila
akan menghajar tubuhnya.
"Heaaat..!"
"Uts...!"
Ki Catrik Ireng lebih terkejut lagi ketika mera-
sakan gerakan lambat itu mampu mengeluarkan angin
pukulan yang menderu keras. Seakan topan besar me-
nerpa tubuhnya.
Ki Catrik Ireng cepat-cepat memutar tubuhnya.
Kemudian dengan gerakan cepat pula, orang tua ber-
jubah hitam yang telah banyak makam asam garam di
rimba persilatan itu melontarkan pukulan telapak tan-
gan ke dada Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng rupanya kini tahu gelagat. Dia
yang semula memandang rendah Pendekar Gila, kini
tidak bisa lagi meremehkannya. Serangannya yang
menggunakan jurus-jurus ular pun dipergencar susul-
menyusul. Tangannya mematuk-matuk, atau menam-
par ke dada dan muka lawan.
Pendekar Gila dengan cepat berkelit. Tubuhnya
meliuk ke bawah, ketika tangan lawan mematuk ke
wajahnya. Lalu tubuhnya dimiringkan ke belakang ke-
tika tangan lawan menampar dengan kibasan tangan-
nya ke dada. Kakinya bergerak lincah, menjejak ber-
ganti-ganti. Sedangkan tangannya berusaha mengha-
lau dan menyambar ke kaki lawan yang turut menye-
rang.
"Ck ck ck..! Hebat..!" puji Resi Sarameskari dis-
elingi decakan kagum, menyaksikan gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Walau usianya masih muda,
namun tampaknya dia mampu menghadapi tokoh tua
yang namanya pernah menjadi buah bibir para pende-
kar. Bahkan pernah menundukkan banyak pendekar
tangguh pada zamannya.
"Diakah Singo Edan itu, Guru...?" tanya Resi
Bragas Wita, ingin lebih jelas tentang Pendekar Gila.
"Kurasa bukan. Mungkin dia muridnya," jawab
Resi Sarameskari.
"Muridnya, Guru? Dari mana pemuda itu bisa
tahu tempat persembunyian Singo Edan...?" tanya Resi
Bramaweda.
"Entahlah, mungkin Singo Edan yang wataknya
aneh itu telah mengambilnya. Kalau pemuda itu yang
mencari, kurasa tidak mungkin...," jelas Resi Sara-
meskari.
"Mengapa begitu, Guru?" sambung Resi Bra-
maweda.
"Jangankan anak kemarin sore. Aku saja atau
pendekar lain yang sebaya denganku, tak ada yang ta-
hu. Ah, sudahlah jangan bertanya dulu. Kita saksikan
saja dulu pertarungan itu," tukas Resi Sarameskari.
Kedua murid utamanya itu menurut Mereka di-
am dan kembali memperhatikan pertarungan antara
Pendekar Gila melawan Ki Catrik Ireng.
Keduanya kini sudah tidak di panggung lagi.
Panggung itu sendiri telah hancur lebur akibat seran-
gan-serangan yang dilancarkan keduanya. Kini mereka
berada di alam bebas, membuat gerakan mereka se-
makin leluasa.
Pendekar Gila kali ini bergerak menyerang den-
gan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Kedua tangannya
menyapu ke atas, kemudian menyentak bareng ke de-
pan dengan telapak tangan terbuka. Kaki-kakinya me-
nyapu dan menendang bertubi-tubi ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Uts...! Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng segera melejit ke samping. Ke-
mudian dengan gerakan membentuk setengah puta-
ran, tangannya mematuk ke wajah lawan. Lalu, setelah
melihat Pendekar Gila menggeser kaki ke samping, Ki
Catrik Ireng menyusulkan tamparan tangan kiri ke da-
da Pendekar Gila.
Wuttt!
Tangan kiri Ki Catrik Ireng menderu cepat
mengarah ke dada lawan. Sedangkan Pendekar Gila
yang tidak menyangka lawan akan kembali menyerang
dengan cepat langsung tersentak kaget. Matanya
membelalak. Langkahnya mati. Mendapati hal itu,
dengan cepat Pendekar Gila menyapukan tangan ka-
nan untuk memapak tamparan lawan Gerakan tan-
gannya seperti membelah dengan cepat
"Heaaat..!"
Ki Catrik Ireng menarik tamparan tangan ki-
rinya. Lalu mengganti serangan dengan tendangan ka-
ki kanan ke selangkangan lawan. Sedangkan tangan
kanannya, kini kembali mematuk ke wajah Pendekar
Gila.
Mendapat serangan cepat Pendekar Gila segera
bersalto ke belakang. Dengan tubuh di udara, kakinya
menjejak cepat ke batu cadas. Kemudian dengan tu-
buh membalik Pendekar Gila menyatukan pukulan
tangannya lalu menyerang ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
Dengan tubuh meluncur cepat Pendekar Gila
kini balik menyerang. Tangannya mencecar Ki Catrik
Ireng, yang menangkis dengan cepat setiap pukulan
yang dilancarkannya.
"Heaaa...!"
Tangan mereka kini bergantian memukul dan
menangkis serangan lawan. Pendekar Gila terus me-
rangsek lawan dengan tubuh mengapung di udara. Se-
dangkan tubuh Ki Catrik Ireng terus mundur dengan
menangkis serangan lawan sambil balas menyerang.
Semua mata membelalak Tak ada kata-kata
yang keluar dari mulut para pendekar yang menyaksi-
kan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang
laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil
mencecarkan pukulan dan terkadang menangkis se-
rangan lawan.
"Ck ck ck..!"
Semua mendecak kagum dengan kepala meng-
geleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemam-
puan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski
mereka dari golongan tua sekalipun, rasanya sangat
sulit bertarung dengan tubuh melayang seperti itu. Bi-
sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan.
Pendekar muda itu benar-benar mampu me-
nunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, sea-
kan benar-benar mampu terbang seperti burung. Ka-
kinya terkadang berputar untuk menendang, lalu ber-
putar kembali dengan pukulan-pukulannya.
"Heaaat..!"
Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik
Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, su-
dah tentu dalam beberapa gebrakan saja akan kewala-
han menghadapi serangan-serangan aneh yang dilan-
carkan Pendekar Gila.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila ada-
lah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan
pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan
pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru
Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu ju-
rus-jurus yang menjadi andalan Pendekar Gila.
"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gi-
la!" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis seran-
gan-serangan Pendekar Gila, dengan sesekali memba-
las menyerang.
"Yeaaat..!"
Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang,
kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-
ri dengan posisi siap melakukan serangan. Tangannya
bergerak bagaikan kera yang hendak melempar. Tan-
gan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, se-
dangkan tangan kirinya berada di perut dengan jari-
jari tangan kejang mencengkeram.
"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki
Catrik Ireng yang telah tahu jurus itu. "Dulu gurumu
boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus
itu tak ada gunanya bagiku, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk
menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping den-
gan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan
kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan
cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Sa-
lah satu jurus andalan Ki Catrik Ireng.
"Yiaaat..!"
"Heaaa...!"
Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap
melakukan serangan berikutnya.
***
Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti
tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Na-
mun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru an-
gin keras ketika kedua tangannya bergerak.
Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal di-
am. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, me-
matuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Se-
dangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yiaaat..!"
"Uts! Heaaa...!"
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tan-
gan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian ke-
mari.
Kemudian melakukan serangan dengan ten-
dangan dan sapuan.
Trak!
"Yeaaat..!"
"Hop...!"
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu,
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tu-
buh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu
dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali
menyerang.
"Yeaaat..!"
"Hiaaat..!"
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat se-
perti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin
kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin to-
pan yang susul-menyusul.
Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan
serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanan-
nya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-
lu membuka untuk menangkis serangan. Disusul ca-
karan tangan kirinya ke dada lawan.
"Sss...! Heaaa...!"
Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak
hanya gulungan berwarna hitam.
Semua mata yang menyaksikan pertarungan
itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi
mereka untuk mengikuti gerakan tubuh kedua tokoh
sakti itu.
"Gila...! Mereka benar-benar telah mengelua-
rkan gerakan ilmu silat yang luar biasa!" gumam Dewi
Pandagu. "O, mungkinkah Sena dapat memenangkan
pertarungan penentuan ini?"
Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa
yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian den-
gan mata masih memandang ke arah pertarungan,
Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya.
"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Wid-
hi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja
yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-
tu."
Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata
yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang
dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-
la, berarti kekalahan aliran lurus. Dan tentunya tokoh
aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa
mempedulikan aturan rimba persilatan.
Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bi-
dadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya
nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang
memandang penuh ketegangan.
"Hhh...! Semoga Hyang Widhi selalu melindun-
ginya," gumam Wulandari perlahan.
Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan
muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah
pertarungan dua tokoh sakti itu. Kalau sampai Pende-
kar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki
tua yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-
pun juga lelaki itu adalah suaminya sendiri.
"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gi-
la kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan mela-
braknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-
ti muridnya. "Kurasa, pendekar muda itu bukan pen-
dekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita ber-
doa saja pada Yang Kuasa."
Pertarungan antara dua orang sakti yang ber-
kepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan
kini mereka telah kembali mengganti jurus. Jurus-
jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat
ke jurus-jurus tingkat tinggi.
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa
Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk se-
tengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada.
Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melaku-
kan gerakan menghantam dan membongkar. Benar-
benar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu
karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan
pukulannya tak kalah dahsyat
Wusss...!
Glarrr!
Setiap kali tangan kanan atau kirinya meng-
hentak, maka keluarlah serangkum angin yang dah-
syat. Menghancurkan batu cadas yang terkena.
"Hop! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Sete-
lah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan ce-
pat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang
kepala. Sedangkan tangan kirinya direntang ke samp-
ing. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus
'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'.
Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tan-
gan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya
yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke
arah lawan.
"Heaaat..!"
Serangkum angin disertai deruan keras, me-
nyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar
Gila membuang tubuhnya ke samping. Lalu tubuhnya
segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, me-
nyibak dan menghantam dari bawah.
"Yeaaat..!"
Wuttt, wuttt..!
Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila me-
lancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak
dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang
berusaha menyerang lawan.
"Uts! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya ber-
gantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hanta-
man tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, ke-
mudian turun dengan serangan yang tidak kalah dah-
syatnya.
Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana
membara. Membuat suasana di sekeliling kancah per-
tarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat
itu telah malam. Tak terasa oleh mereka, kalau malam
telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama tepat be-
rada di ubun-ubun.
"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Kemu-
dian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri
tegak, tangannya disilangkan ke depan dada. Kemu-
dian kedua telapak tangannya disatukan di atas kepa-
la.
"Yeaaat...!"
Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan puku-
lan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng.
'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-
gulangi hawa panas yang keluar dari ajian 'Waringin
Sungsang'.
Wrrr!
Seketika angin menderu keras, membawa hawa
dingin yang menyelimuti sekeliling tempat itu. Para
pendekar yang tadi kepanasan, kini tersenyum senang.
Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa
panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari tela-
pak tangan Pendekar Gila.
"Rupanya kau masih mengandalkan jurus ku-
no, Pendekar Gila! Ilmumu tak ada gunanya mengha-
dapi 'Waringin Sungsang'ku! Bersiaplah untuk mam-
pus...! Yeaaah...!"
Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki
Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila.
"Yeaaat...!"
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak
mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di
depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk mema-
paki serangan lawan.
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang
dan menyapu ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Hiaaa...!"
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di uda-
ra, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan.
Darrr!
Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh-
nya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh, setelah men-
ginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah me-
napakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik
kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'-
nya.
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dike-
luarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-
pancar sinar membara, membuat sekelilingnya panas.
Glarrr!
"Aaakh...!" Pendekar Gila memekik keras, tu-
buhnya terlempar jauh ke dalam jurang. Sedangkan Ki
Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam.
Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
"Sena...!" pekik Dewi Pandagu, menyaksikan
kekasihnya terlempar jauh ke dalam jurang. Matanya
membelalak penuh amarah.
"Pendekar Gila...!" seru Ki Tunggul Manik.
Semua pendekar yang bersimpati pada Pende-
kar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh
amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi
aba-aba mereka menyerbu Ki Catrik Ireng yang terlu-
ka.
"Serbu...! Jangan biarkan mereka melukai
ayah...!"
Tapi, pada saat para pendekar bergerak me-
nyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang
pemuda dari balik cadas.
Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri
di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat,
menghadang dan menyerang para pendekar yang hen-
dak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng.
"Laskar Setan...!" seru Dewi Pandagu kaget.
"Serang...!" seru Resi Sarameskari, memerintah
pada murid-muridnya. Sekaligus memerintahkan pada
rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun ba-
ru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik
Ireng membentak...
"Hentikan! Kalian telah terkurung! Kalian tak
akan mampu lolos dari tempat ini! Kini Pendekar Gila
telah binasa, maka sepantasnyalah aku menjadi pe-
mimpin rimba persilatan!"
"Persetan dengan ucapanmu, Ki!" maki Ki
Tunggul Manik.
"Ya! Tak pantas orang licik sepertimu menjadi
pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari.
"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah bi-
nasa! Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu
sebagai ketua rimba persilatan!" Nyi Kendil tiba-tiba
membentak begitu tubuhnya berkelebat mendekat,
membuat Ki Catrik tersentak kaget.
"Kau...?!"
"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali,
Catrik Ireng! Kau harus menyerahkan anakku!", den-
gus Nyi Kendil.
Prabasangka yang mendengar wanita tua itu
mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh ke-
bingungan.
"Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda
berbaju kuning itu.
Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perla-
han kepalanya mengangguk.
"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah me-
nelantarkan mu semasa kau masih bayi."
"Bohong! Lelaki tak tahu diri! Wulan, serang
dia!" perintah Nyi Kendil.
Pertarungan seru antara para pendekar mela-
wan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka se-
perti tak peduli dengan Ki Catrik Ireng. Kekalahan
Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hi-
tam itu, telah mengobarkan api kemarahan mereka.
Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadi-
kan pertarungan sangat seru. Namun karena jumlah
pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jum-
lah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka da-
pat didesak
"Hentikan...!" seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah
oleh kalian semua! Baiklah, aku memberi kesempatan
pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan ka-
lau Pendekar Gila telah mampus. Kalau selama satu
minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian
harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pe-
mimpin rimba persilatan!"
Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka
yang memandang penuh kebencian pada Ki Catrik
Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini ti-
dak merasakan lagi rasa sakit akibat luka dalamnya,
karena beberapa jalan darahnya telah ditotok
"Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki
Catrik Ireng. "Kalian akan kubebaskan. Tapi jika mem-
bangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-
na pun kalian berada, mereka akan mencari dan
membunuh kalian!"
Semua pendekar golongan putih hanya mampu
menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada
yang menjawab. Hanya mata mereka saja yang meng-
gambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik
Ireng.
"Jangan percaya omongannya! Kita serang sa-
ja!"
Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa
menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil me-
lakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah.
"Percuma saja kau menyerangku, Nyi! Seha-
rusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersama-
ku!" sergah Ki Catrik Ireng.
"Cuih! Tak sudi aku bersamamu! Lebih baik
aku binasa!" bentak Nyi Kendil.
"Baik kalau begitu! Laskar Setan, ringkus ke-
dua wanita itu...!" seru Ki Catrik Ireng yang dengan se-
gera dipatuhi oleh Laskar Setan.
"Ayah, mengapa kau menangkap ibu?!" tanya
Prabasangka.
"Diamlah! Biarkan mereka menangkap wanita-
wanita tak tahu diuntung itu!"
Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan
Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat
segera ditangkap.
"Bawa mereka ke tahanan!" perintah Ki Catrik
Ireng.
"Tapi, Ayah..." cegah Prabasangka hendak me-
nentang.
"Diam!" hardik Ki Catrik Ireng berang.
Prabasang langsung menuruti kata-kata ayah-
nya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki
tua itu mencorong tajam.
"Sekarang kalian boleh bubar! Kutunggu kalian
tujuh hari lagi!" kata Ki Catrik Ireng pada para pende-
kar.
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera ber-
suit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar
Setan.
Semua pendekar terpaku menyaksikan bagai-
mana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan
menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tem-
pat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka
menggambarkan kecemasan akan nasib Pendekar Gila.
***
9
Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin
Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di
rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya
berguling-guling di lereng yang berhutan lebat
Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah
manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatang-
binatang buas yang siap memangsa setiap manusia
yang berani memasuki kawasan hutan itu.
"Akh...!" Sena memekik, tubuhnya menggelind-
ing ke bawah. Kini tubuhnya semakin bertambah jauh
dari Puncak Lawu.
Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu
membuat kaget semua penghuni hutan. Burung-
burung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-
butan. Binatang-binatang lainnya juga berlarian ka-
lang-kabut
Setelah membentur pohon yang cukup besar,
tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar bi-
asa. Pohon besar itu bagaikan dihantam oleh kekuatan
yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-
bum.
Brak!
Kraaak...! Bummm!
Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya
meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia men-
galami luka dalam akibat pukulan 'Waringin Sungsang'
yang dilancarkan Ki Catrik Ireng
Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Keti-
ka itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun
dari atas sebatang pohon. Sepertinya ular sanca itu
mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya
untuk menyantap.
"Szzz...!"
Ular sanca sebesar paha manusia dengan pan-
jang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap
ke arah Sena. Matanya yang merah, memandang pe-
nuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak ping-
san.
"Szzz...."
Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidah-
nya yang berwarna merah dan bercabang, menjulur-
julur. Matanya semakin bersinar, bagai senang men-
dapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena,
mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bu-
lat-buat.
"Szzz...!"
Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor
monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian
dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu me-
nangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh.
"Nguk..!"
Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Se-
na. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-
pi telinganya yang tajam mendengar desisan keras dari
belakangnya.
"Nguk..!"
Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke
arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju
kera dan tubuh Sena yang mulai tersadar.
"Ngukkk!"
Sambil berteriak keras, kera itu melompat ma-
ju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus
mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan ke-
pala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan.
"Zsss!"
"Nguk, nguk...!"
Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi
riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor bina-
tang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan
siap melakukan serangan.
"O, rupanya kera besar itu telah menolongku
dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata
menyipit, memandang kedua binatang yang masih sal-
ing pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Kedu-
anya siap melakukan serangan.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan
perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat
bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali men-
desis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat
tinggi-tinggi, mulutnya membuka, menunjukkan li-
dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerak-
gerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar.
"Ha!, bukankah gerakan ular sanca itu seperti
jurus 'Waringin Sungsang'? Aha, benar...! Gerakannya
persis dengan jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng,"
gumam Sena dengan mata membesar, memandangi
kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Kedua binatang itu kini bergerak, saling me-
nerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama
persis dengan serangan-serangan yang dilancarkan Ki
Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk
dengan ekor turut menyerang.
"Ngukkk...!"
"Zsss...!"
Kera itu bergerak aneh. Kaki- kakinya melang-
kah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pe-
lan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satu-
satu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri.
"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, ter-
heran-heran melihat tingkah laku kera itu.
Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik ke-
ra dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya
turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar,
kemudian melangkah menyilang di depan kaki kiri.
Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak.
Sementara salah satu tangan kera itu berada di
dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya
bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak
tangan kanannya diputar dengan jari-jari lurus ke
atas.
Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti
gerak-gerik kera itu. Kaki dan kanannya turut berge-
rak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian
melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang
menekuk ke atas, lalu dilangkahkan bersamaan den-
gan hentakan keras telapak tangan.
"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah ju-
rus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, na-
mun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat,"
gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu
dalam melakukan serangan. Dan tampaknya ular yang
menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' me-
mang mengalami kesulitan untuk melancarkan seran-
gan-serangannya.
Setiap kali kepala ular sanca itu hendak me-
nerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melang-
kah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului me-
nyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini
menampar cepat ke kepala ular itu.
"Szzz!"
Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan
lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap me-
nyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digan-
tikan dengan serangan kibasan ekornya.
"Ngiiikkk...!"
Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemu-
dian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri dite-
kuk ke atas, lalu tangan kirinya dikibaskan dua kali
dan dihantamkan ke kepala ular itu.
Sena terpana dengan mata membelalak me-
nyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu
menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera
itu. Meski gerakannya sangat halus, namun mampu
membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah
aku?" tanyanya sambil mengusap-usap mata, berusa-
ha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua bi-
natang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu
masih terlihat
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-
ra itu," puji Pendekar Gila. Tanpa sadar, tubuhnya ber-
gerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera.
"Szzz...!"
Kepala ular sanca bergerak cepat hendak me-
nerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera ber-
tubuh besar itu melompat dan balas melakukan tampa-
ran.
Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini
mendesak ular sanca yang tampak menggunakan ju-
rus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena
semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, di-
awasinya jalannya pertarungan seru itu.
Kera itu masih menyerang dengan halus. Tan-
gan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki
kanannya direntang, kemudian dikibaskan. Disusul
dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tam-
paran. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan,
tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan men-
deru, menyentakkan ular sanca itu.
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan
kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-
ikutinya gerakan-gerakan kera itu. Sementara matanya
tetap memandangi kedua binatang yang tengah berta-
rung.
"Szzz...!"
Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena
serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan.
Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian
dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh
lawannya.
"Nguk!"
Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan beli-
tan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melaku-
kan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepa-
la ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam
dengan telapak tangan ke tubuh ular itu.
Plak!
Des!
"Szzz!"
Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak
liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawan-
nya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu mem-
buat rasa sakit luar biasa.
"Hah?!" mata Sena melotot lagi.
***
Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan
bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular
sanca. Dan yang membuat matanya semakin membela-
lak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan
batu sebesar kepala manusia.
Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu
keras.
"Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tam-
paran kera itu. Jurus apakah yang dilakukannya?"
gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Szzz...!"
Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepa-
lanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk den-
gan cepat tiada henti. Rupanya ular itu tak mau keja-
dian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi. Kepa-
lanya terus menyerang, mematuk dan menerkam.
Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet
dan membelit.
"Nguk!"
Dengan tenang kera itu terus menggerakkan
kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam
melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya.
Begitu juga tangan kirinya ketika menampar.
Dua binatang itu terus bertarung dengan se-
runya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya
sama-sama bernafsu untuk mengalahkan.
"Nguiik...!"
Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkin-
gan yang mampu memekakkan telinga itu membuat
Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup
dengan pengerahan tenaga dalam.
Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu
melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Se-
pertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedang-
kan mata dan mulut ular sanca itu mengeluarkan da-
rah.
"Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bi-
sik Sena menyaksikan kejadian tersebut
Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena
dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihat-
nya tangan kanan kera itu mengibas dua kali. Lalu
menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca
yang tengah meraung-raung kesakitan.
Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu
kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena da-
pat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan
tamparan. Mata kera itu terpejam rapat Binatang itu
tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melain-
kan dengan kekuatan sukma.
"Hah?! Tamparan apa itu? Oh, mungkin Jurus
yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma',"
gumam Sena.
"Nguiiik..!"
Plak!
Trak!
"Ssszzz...!"
Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah.
Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya
kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat
pelan dan lemas, ternyata mampu menghancurkan ke-
pala ular sanca yang besar.
"Bukan main...!" pekik Sena terkagum-kagum
menyaksikan kejadian tadi.
Dengan tersenyum-senyum, Sena menggaruk-
garuk kepalanya. Matanya masih memandang kera
yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara
ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus
'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala
hancur berantakan.
"Nguk, nguk, nguk..!"
Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan
kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu
membalikkan tubuh, lalu memandang Sena.
"Nguk!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya se-
cara berirama.
"Ah ah ah...! Terima kasih sahabat. Kau telah
menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik
sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
Kera itu masih melompat-lompat kegirangan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat.
Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian
kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Se-
na melakukan jurus itu.
"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempela-
jari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik
hati..," ucap Sena.
"Nguk nguk..!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Sea-
kan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih
nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seo-
lah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya.
"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua
gerakan-gerakanmu? Baik...!"
Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang
sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu berta-
rung dengan ular sanca. Tangan kanannya dikibas-
kibaskan, kemudian disentakkan dengan keras.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keras-
keras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan
gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan me-
lompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang
tadi digunakan untuk melawan musuhnya.
Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan
yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara me-
langkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan
tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri.
Pendekar Gila menamparkan tangan kirinya
dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalam-
nya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar
biasa!
Glarrr!
Kraaak...! Bummm!
Pohon besar di hadapannya seketika meledak
terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tam-
paran itu sangat pelan.
"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena
terlongong dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kemudian dengan suara yang
keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh.
Pendekar Gila mengambil Suling Naga Sak-
tinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-
ka itu pula...
Darrr!
Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar
saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus
'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan
Suling Naga Sakti.
"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat,"
tutur Sena.
"Nguk, nguk...!"
Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang
lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas
pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghi-
lang.
Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia te-
lah memahami apa yang seharusnya dilakukan. Ter-
nyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng,
hanya dapat dikalahkan dengan jurus 'Tamparan
Sukma'.
"Hyang Jagat Dewa Batara, terima kasih atas
pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera un-
tuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian den-
gan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya,
aku harus mempelajari jurus 'Tamparan Sukma' itu
lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik."
Sena kemudian bersila untuk mengheningkan
cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memu-
lihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama
bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pende-
kar Gila, mengepul kabut berwarna ungu. Wajahnya
merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula.
Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih
kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bang-
kit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali.
"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan
seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan
baik," ucapnya pada diri sendiri.
Pendekar Gila segera membuka tangannya.
Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Se-
dang tangan kanannya membentuk siku berada di
samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping,
lalu dilangkahkan ke depan menyilang.
Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihen-
takkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-
rentangkannya ke samping, diikuti dengan tamparan
tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Se-
dangkan tangan kanannya mencabut Suling Naga Sak-
ti, yang kemudian ditiupnya.
Glarrr!
Darrr!
Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi ba-
gai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali.
Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum
sesempurna gerakan kera tadi.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Aku harus terus belajar!" tekadnya berseman-
gat
***
10
Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang da-
ri dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik
Ireng kepada para pendekar habis. Berarti para pende-
kar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk
menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan
sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang
pun dari para pendekar yang berani membangkang.
Semua hadir kembali di Puncak Lawu.
"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas
penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?"
tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke
seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.
Tak seorang pun yang menjawab. Mereka sea-
kan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang
tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka.
"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang ti-
dak setuju jika aku menjadi pemimpin rimba persila-
tan?! Jawab...!" bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah.
"Aku...!"
Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar ja-
waban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang
tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke
sesosok tubuh yang berkelebat.
Para pendekar tersenyum lega melihat siapa
yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang ter-
sentak kaget, setelah mengetahui siapa yang datang
dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Ca-
trik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang ba-
ru tiba itu
"Pendekar Gila...!"
"Dia tidak mati...!" teriak Resi Sarameskari.
"Ya! Dia telah kembali...!" pekik Dewi Pandagu
saat menyaksikan kedatangan orang yang telah me-
nyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti
jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan
yang berpadu dengan keharuan.
"Kau...! Kau belum mampus, Pendekar Gila?!"
tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar.
"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum men-
gizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. "Mungkin belum waktunya, Ki. Dan
mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup
untuk menumpas orang-orang sepertimu."
Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar kata-
kata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya mem-
buru turun-naik.
"Kurang ajar! Kau tidak akan mampu menga-
lahkanku, Pendekar Gila!" bentak Ki Catrik Ireng gu-
sar.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum
sambil kakinya berjingkrak-jingkrak.
"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya
ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah."
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Rupanya kau
memang harus kusingkirkan!"
"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki! Mungkin-
kah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Kau sepertinya semakin takabur saja...."
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat
terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berju-
bah hitam ini melesat dengan serangan ganas ke arah
Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang,
dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samp-
ing, kemudian segera berkelebat memapaki serangan
lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedang-
kan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-
tu ke depan.
"Heaaat...!"
Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulur-
ulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus anda-
lan yang telah mampu mengalahkan Pendekar Gila tu-
juh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan menga-
lami hal yang sama.
Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk ke-
pala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke
depan. Sedangkan tangan kirinya direntangkan ke
samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemu-
dian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan
oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor.
"Yeaaat..!"
"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang
kau gunakan, Ki? Aha, jurus yang hebat..," ledek Pen-
dekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor
monyet
Ki Catrik Ireng tersentak kaget. Serangannya
yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya
melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengenge-
san sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar
Gila?!" bentak Ki Catrik Ireng.
Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangan-
nya masih menggaruk-garuk kepala.
"Kau kaget, Ki? Ah, sungguh kebetulan saja
aku tidak salah menebak nama jurus yang kau guna-
kan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?"
Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begi-
tu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot ta-
jam penuh amarah.
"Tutup mulutmu! Meski kau telah tahu nama
jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku.
Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali.
Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian
tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan
membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya
membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor
ular.
"Szzz...!" Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor
ular.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila se-
gera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian di-
tepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya
sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu
silat
"Yeaaa...!"
Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada.
Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping,
membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya men-
gibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh
luar biasa! Dari kibasan tangan itu, keluar serangkum
angin yang menyentak kuat
Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya
yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus
merangsek. Tangannya mematuk. Tubuhnya meliuk-
liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam
mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai
ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan.
"Remuk kepalamu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wuttt!
Serangan mematuk menghantam dan menen-
dang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat
hati Pendekar Gila ciut. Malah Pendekar Gila bergerak
dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela di-
ri.
Semua orang yang menyaksikan gerakan Pen-
dekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi
Pandagu sempat memekik tegang.
"Oh, mengapa dia?!"
"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas?!"
gumam Resi Sarameskari.
Semua pendekar dilanda kekhawatiran, me-
nyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gi-
la. Mata mereka memandang tegang. Takut kalau-
kalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk
kedua kalinya.
"Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Ca-
trik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tan-
gannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api.
"Celaka! Pendekar Gila bisa benar-benar mati
kali ini!"
"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi
Sarameskari.
Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila
hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemu-
dian dijejakkan ke depan. Bersamaan dengan mena-
paknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah
lawan.
"Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya
tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak be-
rarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpe-
jam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya,
Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang
membara ke arah lawan.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hiaaa...!"
Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Se-
dangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan
dengan mata terpejam.
Glarr!
"Ukh...!"
Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata
membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihan-
curkan! Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terli-
hat pelan dan dilakukan dengan mata terpejam pula,
mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak
ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seke-
tika hancur.
"Ha ha ha...! Mengapa kau terjatuh, Ki? Ma-
kanya, kalau mundur hati-hati...!" celoteh Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar
ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigi-
giginya saling beradu, menahan amarah yang meluap-
luap.
"Bedebah! Ilmu siluman! Rupanya kau telah
bersekutu dengan siluman!" maki Ki Catrik Ireng, asal
jadi.
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal men-
dengar tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Ke-
mudian dengan tingkah laku persis seperti kera yang
dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus
'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata....
"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau
memutarbalikkan kata! Tentulah kau yang telah ber-
sekutu dengan iblis! Kau siksa orang dengan seenak-
nya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat me-
reka bagaikan budak-budak hina mu! Lalu, kau jadi-
kan mereka laskar. Laskar Setan!"
"Bohong...! Mereka tetap sadar!"
Pendekar Gila kembali tertawa sambil mengga-
ruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa
maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari se-
buah bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar
Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang
anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibe-
baskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka.
"Benar! Orang inilah buktinya...!" seru Nyi Ken-
dil.
Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang
menggandeng seorang lelaki.
"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diper-
dayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada
bekas Laskar Setan.
"Jangan kalian tertipu oleh mereka!" seru Ki
Catrik Ireng.
"Katakanlah...!" perintah Nyi Kendil mendesak
Orang itu pun dengan takut-takut menceritakan apa
yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawan-
kawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan
hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki pera-
saan dan rasa sakit. Itu sebabnya Laskar Setan tak
akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam
dan setiap tugas yang mereka lakukan.
"Bangsat! Kurobek mulutmu! Yeaaa...!" Dengan
penuh amarah, Ki Catrik Ireng berkelebat, siap mela-
brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun
belum juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah
berkelebat menghadangnya.
"Mau ke mana, Ki? Biarkan mereka membuka
kedokmu yang busuk dan keji!" seru Sena.
"Kurang ajar! Rupanya kau dulu yang harus
kusingkirkan!"
"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena.
"Kubunuh kau! Heaaa...!"
Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan
jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tan-
gan kanannya mematuk-matuk ke arah kepala dan
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya mem-
bantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular.
Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya
melangkah membentuk setengah lingkaran.
Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular,
meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus
menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang
dahsyat
"Ku tahu ajian 'Waringin Sungsang' mu me-
mang hebat Ki. Tapi, sehebat-hebatnya ilmu seseorang
tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan
dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Warin-
gin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki
Catrik Ireng.
"Kurang ajar! Jangan banyak bacot! Katakan
sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah
memberitahukan kepadamu?!" bentak Ki Catrik Ireng
sambil terus bergerak menyerang.
"Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas ja-
samu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menja-
dikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu
itu ternyata masih ada yang mampu menandinginya.
Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-
la sambil tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Bedebah...! Katakan, ilmu apa yang akan kau
kerahkan untuk menandingi ku, heh?! Jangan kira il-
mumu akan mampu mengalahkanku! Ilmu gilamu tak
ada artinya bagiku!" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-
bir.
"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang mem-
buat mata hatimu buta! Maka hanya kematianlah yang
akan mengakhiri kesombonganmu! Ilmu 'Tamparan
Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu
menandingi jurusmu! Nah, bersiaplah! Yeaaa...!"
Pendekar Gila segera merentangkan kaki ka-
nannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan
serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Sete-
lah itu, kaki kanan ditarik lalu melangkah menyilang
ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengi-
bas pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak
tangan pelan ke arah lawan.
Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah
mundur dua tindak. Kemudian, didahului pekikan
menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang.
"Yeaaah...!"
Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih te-
tap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat,
berusaha secepatnya menjatuhkan lawan. Bahkan bila
perlu membunuhnya.
Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan
kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil
kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kem-
bali melakukan tamparan ke arah lawannya.
Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagai-
mana tamparan yang pelan namun ternyata mengan-
dung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki
Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, men-
ganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak me-
lihat.
Namun....
Wuttt!
Glarrr!
"Ukh...! Setan...!" maki Ki Catrik Ireng dengan
tubuh terpental ke belakang. Dadanya terasa sesak
akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak,
tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak
masuk akal, kalau tamparan pelan tangan kiri Pende-
kar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan
mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya ter-
lempar demikian jauh.
Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenya-
taan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi
dengan apa yang terjadi.
"Kubunuh kau! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang be-
rupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya
itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan senjata an-
dalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya
ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Wuttt!
Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian
bertemu di udara.
Trang!
Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua sen-
jata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke be-
lakang.
Pendekar Gila menangkap Suling Naga Sak-
tinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik
Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah
menjadi empat bagian dan berguguran ke tanah.
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk mem-
bunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, la-
lu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sung-
sang'nya.
Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya ju-
ga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sam-
bil bergerak dengan jurus 'Tamparan Sukma'.
"Yeaaa...!"
"Heh!"
Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan
ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga
Sakti. Tanpa ampun lagi....
Krak!
Glarrr!
Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik
Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah
dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat
enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki
Catrik Ireng.
"Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang
tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur,"
gumam Sena.
"Sena...!" seru Dewi Pandagu sambil berlari
menghampiri pujaan hatinya. Kemudian keduanya sal-
ing berpegangan tangan dan saling pandang.
"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak
aku pasti menemuimu untuk bertanggung jawab atas
semua yang telah kulakukan padamu."
"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pende-
kar Gila menggeleng sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal.
"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin
perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawan-
kawan. Aku mohon pamit..!"
Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila ber-
kelebat meninggalkan mereka, menjadikan Dewi Pan-
dagu terpaku.
"Sena...! Kutunggu...!" panggil Dewi Pandagu,
ketika menyadari dirinya akan kembali kehilangan
orang yang dicintai.
Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum
sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya
dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan
pandangan penuh kekaguman.
Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika
para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah
sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda
yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun
telah membantu Pendekar Gila untuk membebaskan
Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan
Laskar Setan pun tiba-tiba sadar dengan sendirinya.
Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun da-
ri mimpi.
"Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya
Prabasangka.
"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai
saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi meni-
kahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil.
Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawa-
lan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar
kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wa-
jah bumi menjadi demikian ramah.
Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan.
Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbang-
nimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan
bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihat-
nya tadi betapa mesranya Pendekar Gila dengan Dewi
Pandagu.
"Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulan-
dari malu-malu.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon