SATU
DUA ekor kuda berpacu cepat melintasi padang rumput
yang sangat luas bagai tak bertepi. Penunggang kuda itu seorang laki-laki muda
tampan. Rambutnya panjang meriap agak tergelung ke atas. Bajunya rompi putih,
dan pedangnya yang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya.
Pemuda itu menunggang kuda berwarna hitam kelam yang tinggi dan tegap berotot.
Sedangkan penunggang kuda satunya lagi adalah
seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru langit. Begitu
ketatnya, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah
pedang bergagang kepala naga tersandang di punggungnya. Kudanya berwarna putih
bersih, tanpa belang sedikit pun. Kedua ekor kuda itu digebah cepat bagai
kesetanan melintasi padang rumput luas di Kaki Gunung Jaran.
Dua ekor kuda itu terus berpacu cepat menuju sebuah
bukit yang ditumbuhi pepohonan cukup lebat. Bukit itu sudah terlihat, namun
masih cukup jauh untuk mencapainya. Sementara sang surya semakin terik dengan
sinarnya yang panas membakar. Dua penunggang kuda itu berpacu cepat
meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara. Tapi tiba-tiba
saja...
Swing...!
“Awas...!” seru penunggang kuda hitam tiba-tiba.
“Hap!”
Tring!
Tepat ketika sebuah benda sepanjang jengkal tangan
meluncur ke arah wanita berbaju biru itu, dengan cepat dicabut sebuah senjata
yang terselip di pinggangnya. Seketika dikebutkannya untuk menyampok benda
sepanjang jengkal tangan itu.
“Hup!”
“Yap...!”
Kedua penunggang kuda itu berlompatan turun dari
punggung kuda masing-masing. Mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Memang tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar padang rumput ini. Pandangan
mereka kemudian tertuju pada sebuah benda seperti ranting berwarna biru tua
yang menancap di tanah. Ada bulu-bulu halus pada ujung yang menyembul ke
permukaan tanah. Pemuda berbaju rompi putih menghampiri dan mencabut benda itu.
“Mata sumpit...,” gumamnya pelan seraya
memperhatikan benda di tangannya.
Bentuk benda itu hanya sepanjang jengkal tangan,
bulat dan panjang dengan bulu-bulu halus pada ujungnya. Sedangkan satu ujung
lainnya begitu runcing berkilat. Benda itu adalah mata sumpit yang biasa
digunakan para pemburu kelinci atau binatang-binatang kecil lainnya. Biasanya
benda ini beracun, tapi tidak berbahaya bagi manusia.
“Apa itu, Kakang?” tanya gadis berbaju biru seraya
menghampiri.
“Mata sumpit,” sahut pemuda berbaju rompi putih
seraya memberikan mata sumpit berwarna biru itu.
“Mungkin ada pemburu kelinci di sekitar sini,
Kakang,” kata gadis itu setengah bergumam.
“Mungkin.... Tapi tidak ada perkampungan di sekitar
Gunung Jaran ini.”
“Atau...,” suara gadis itu terputus seketika,
dan,... “Awas Kakang...!”
“Hap!”
Cepat sekali pemuda itu mengibaskan tangannya ke
samping, tepat ketika sebuah benda biru meluncur deras ke arahnya. Ternyata
benda itu sama dengan yang pertama. Kedua anak muda itu menjadi semakin
waspada. Jelas kalau mata sumpit ini bukan dari seorang pemburu yang meleset
sasarannya. Tapi lebih berat ditujukan pada mereka berdua.
“Hati-hati, Pandan. Rupanya ada orang yang tidak
suka atas kehadiran kita di sini,” bisik pemuda berbaju rompi putih itu.
“Baik,” sahut gadis itu yang dipanggil Pandan. Dia
memang Pandan Wangi, yang berjuluk si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain
dari Rangga, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tak ada satu tanda-tanda
adanya kehidupan di sekitar tempat ini.
Bahkan tak terdengar sedikit pun suara-suara
mencurigakan. Juga gerak-gerak rerumputan begitu sempurna tersapu angin. Tapi
tiba-tiba saja...
“Auh...!” Pandan Wangi terpekik.
Sukar dipercaya! Mendadak saja dari dalam tanah
menyembul sebuah tangan yang langsung mencekal kaki gadis itu, dan berusaha
menariknya ke dalam. Maka kaki Pandan Wangi langsung melesak ke dalam tanah
sampai ke betis.
“Kakang..., tolong!” seru Pandan Wangi terkejut.
“Tahan, Pandan! Hup...! Hiyaaa...!”
Cepat sekali Rangga bertindak. Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung melompat ke samping Pandan Wangi, lalu menghantamkan satu
pukulan keras ke dalam tanah, tepat di depan kaki gadis berbaju biru itu.
Kemudian dengan cepat pula Rangga melompat sambil meraih pinggang Pandan Wangi.
Dua kali mereka berputaran di udara sebelum
mendarat manis di tanah berumput. Tampak wajah si Kipas Maut begitu pucat.
Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling merayapi rerumputan di
sekitarnya.
“Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Kakang,”
usul Pandan Wangi, agak bergetar suaranya.
“Naiklah ke kudamu, Pandan,” ujar Rangga pelan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Pandan Wangi
langsung melentingkan tubuhnya, dan hinggap di punggung kudanya. Wajahnya masih
kelihatan pucat. Sungguh hatinya masih diliputi keterkejutan akibat kakinya
tertarik ke dalam tanah. Sedangkan Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya
mendekati Dewa Bayu di samping kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut.
“Cepat, Kakang...,” desis Pandan Wangi.
“Baik! Hup...!”
Begitu Rangga berada di punggung kudanya, langsung
menggebah kuda hitam itu agar berlari kencang. Pandan Wangi segera memacu
kudanya dengan kecepatan tinggi. Dua ekor kuda kembali berpacu mendekati Gunung
Jaran yang menjulang tinggi tertutup kabut pada bagian puncaknya. Kuda-kuda itu
berpacu bagaikan berada di atas angin. Jelas sekali kalau kuda putih yang
ditunggangi Pandan Wangi sukar untuk menyusul kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu.
“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi keras.
Rangga menoleh, dan langsung memperlambat laju
kudanya. Cukup jauh juga Pandan Wangi tertinggal di belakang. Maka gadis itu
harus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi agar sampai di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga kembali menggebah Dewa Bayu setelah Pandan Wangi berada
di sampingnya. Mereka berkuda berdampingan. Jelas kalau Rangga mengimbangi lari
kuda putih yang tampak kewalahan mengikuti lari kuda hitam yang bukan kuda
sembarangan itu.
“Hooop...!”
Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di
tepi hutan Kaki Gunung Jaran. Pandan Wangi mengikuti, dan langsung melompat
turun dari punggung kudanya begitu melihat Rangga sudah turun dari punggung
kudanya sendiri. Mereka berdiri berdampingan memandang ke padang rumput yang
begitu luas bagai tak bertepi di depan sana.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Entahlah. Aku hanya melihat sebuah tangan
menyembul dari dalam tanah dan menarik kakimu ke dalam,” sahut Rangga tanpa
berpaling.
Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling,
tentu akan melihat perubahan wajah Pandan Wangi yang begitu cepat memerah bagai
kepiting rebus. Sebentar kemudian wajah itu berubah memucat. Tampak gadis itu
bergidik sedikit, membayangkan sebuah tangan menyembul dari dalam tanah dan
mencengkeram kakinya.
“Kau tidak main-main, Kakang...?” terdengar
bergetar suara Pandan Wangi.
“Kenapa?” tanya Rangga seraya memalingkan mukanya.
Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti itu saat
melihat wajah Pandan Wangi begitu pucat dan tubuhnya gemetar seperti menggigil
kedinginan.
“Kau kenapa, Pandan?” tanya Rangga.
“Oh...! Ah, tidak. Tidak apa-apa,” sahut Pandan
Wangi buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain.
“Wajahmu pucat. Sakit...?”
“Tidak, Kakang. Aku hanya..., hanya.... Ah,
sudahlah,” sahut Pandan Wangi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Kau takut, Pandan?” tanya Rangga tidak percaya.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Memang gadis
itu sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja mempunyai perasaan yang belum
pernah dirasakannya. Dia tidak tahu, apakah takut atau hanya terkejut saja
dengan kejadian tadi yang begitu tiba-tiba dan sulit dimengerti ini. Sementara
Rangga terus memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak percaya kalau
Pandan Wangi jadi ketakutan setelah menceritakan peristiwanya.
“Sebaiknya kita teruskan saja perjalanan ini,
Kakang,” kata Pandan Wangi pelan.
“Sudah sore, Pandan. Sebentar lagi malam akan
menjelang. Aku tidak tahu seberapa luasnya hutan ini. Dan lagi aku begitu yakin
kalau di hutan ini tidak ada satu rumah pun yang bisa disinggahi,” jelas Rangga
seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Jadi..., kita bermalam di sini?” kembali bergetar
suara Pandan Wangi.
“Iya, kenapa...?” Rangga semakin heran saja melihat
sikap Pandan Wangi yang tidak seperti biasanya.
“Tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja...,” Pandan
Wangi tidak melanjutkan ucapannya.
Rangga ingin bertanya lagi, tapi melihat wajah yang
pucat begitu, segera diurungkan niatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah
dan memunguti ranting-ranting kering yang banyak tersebar di sekitar tempat
ini. Dan tentu saja untuk dijadikan api unggun. Ditumpuknya ranting itu di
bawah pohon dekat sebuah batu besar yang seperti seekor kerbau berkubang di
dalam lumpur. Sedangkan Pandan Wangi masih berdiri saja memandang ke arah
padang rumput yang baru dilewatinya tadi.
“Pandan, kau punya pemantik api?” tanya Rangga.
“Ada, di pelana kudaku,” sahut Pandan Wangi tanpa
berpaling.
Rangga memandangi gadis itu sejenak, kemudian
menghampiri kuda putih dan membuka kantung pelana kuda itu. Diambilnya pemantik
api yang terbuat dari batu api berwarna putih bagai batu pualam. Kemudian
pemuda berbaju rompi putih itu kembali duduk di dekat tumpukan ranting kering.
Sementara senja semakin merayap turun. Keadaan di tepian Hutan Gunung Jaran ini
semakin terasa suram. Angin mulai berhembus menyebarkan hawa dingin. Tidak lama
lagi malam akan menggantikan tugas sang mentari yang sepanjang hari telah
menyinari permukaan belahan bumi ini.
Dengan pemantik api itu, Rangga membuat api unggun.
Disimpannya kembali pemantik api itu di dalam saku pelana kuda putih milik si
Kipas Maut. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti membaringkan tubuhnya tidak jauh
dari api yang berkobar melahap ranting kering. Agar tidak merambat, Rangga
menghalanginya dengan batu-batu yang dibuat melingkar seperti cincin.
Diperhatikannya Pandan Wangi yang masih saja berdiri memandang padang rumput
yang mulai kelihatan gelap.
“Kau tidak pegal berdiri terus begitu, Pandan...?”
tegur Rangga seraya beringsut dan duduk bersandar pada batu sebesar badan
kerbau.
Pandan Wangi menoleh dan menghampiri, lalu duduk di
samping Rangga agak ke depan. Namun pandangannya kembali tertuju ke arah padang
rumput yang terlihat jelas dari tempat ini.
“Ada apa, Pandan? Kau melihat sesuatu di sana?”
tanya Rangga seraya menggeser tubuhnya mendekati gadis itu.
“Ah, tidak,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.
“Seharusnya tadi tidak perlu kuceritakan,” desah
Rangga pelan bernada menyesal.
Pandan Wangi memalingkan mukanya, memandang wajah
tampan di sampingnya. Diambilnya tangan Pendekar Rajawali Sakti itu dan
didekapnya hangat-hangat. Rangga juga memandang wajah cantik yang matanya
bersinar bening bagai sejuta bintang bertaburan di langit kelam. Beberapa saat
lamanya mereka terdiam, hanya saling pandang saja.
“Kau cantik sekali, Pandan,” desah Rangga.
“Ih genit, ah!” dengus Pandan Wangi seraya
mendorong dada Rangga yang mulai mendekat.
Tapi dengan cepat Rangga menangkap tangan gadis
itu, lalu menggenggamnya kuat-kuat. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti
menariknya, hingga gadis itu jatuh terjerembab dalam pelukannya. Pandan Wangi
memekik kecil. Namun belum juga sempat menolakkan pelukan pemuda tampan itu,
bibirnya sudah lebih cepat disumpal oleh bibir Rangga.
“Euf...! Hm....”
Pandan Wangi mencoba meronta melepaskan diri, tapi
itu hanya sebentar saja. Kemudian dibalasnya pagutan Rangga dengan hangat dan
penuh rasa cinta yang membara. Lenyap sudah semua bayangan peristiwa yang
hampir membuatnya mati kaku sore tadi. Yang ada sekarang hanya kehangatan dan
kemesraan yang menggelora dalam dada.
“Ah...!”
Pandan Wangi menggeliatkan tubuhnya saat jari-jari
tangan Rangga mulai nakal menggerayangi tubuhnya. Gadis itu mendorong dada
pemuda itu, dan cepat-cepat menggeser menjauh. Pada saat itu, tiba-tiba saja
sebuah benda biru melesat ke arah mereka, dan menancap tepat di batu di antara
kedua anak muda itu. Rangga dan Pandan Wangi terkejut bukan main, dan langsung
melompat bangkit berdiri. Di batu sebesar kerbau itu tertancap sebuah mata
sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus pada bagian pangkalnya.
***
Malam ini begitu gelap. Langit menghitam tersaput
awan tebal, membuat cahaya bulan sukar menembus untuk menerangi permukaan bumi.
Rangga menemui kesulitan untuk mencari sumber datangnya mata sumpit biru itu,
karena sekelilingnya begitu pekat. Hanya keredupan api unggun saja menerangi
sekitarnya dalam jangkauan yang tidak seberapa jauh.
Pandan Wangi menggeser kakinya mendekati Rangga.
Gadis itu sudah menggenggam kipas baja putih yang masih tertutup. Itulah salah
satu senjata yang menjadikan dirinya terkenal berjuluk si Kipas Maut. Tak ada
yang membuka suara, masing-masing diliputi suasana tegang. Terlebih lagi Pandan
Wangi. Belum pernah dirasakan ketegangan seperti ini. Sampai-sampai dadanya
terasa sesak, bagai dihimpit sebongkah batu sebesar gunung.
“Kakang...,” belum lagi selesai ucapan Pandan
Wangi, mendadak saja kembali melesat sebuah mata sumpit dari arah samping kiri.
Secepat kilat Pandan Wangi mengibaskan kipasnya
yang langsung terbuka lebar. Kipas itu menyampok mata sumpit berwarna biru tua.
Tring!
Pandan Wangi melompat dua tindak ke belakang.
Bibirnya meringis merasakan getaran pada pergelangan tangannya. Kalau saja tadi
tidak dikerahkan tenaga dalam, kipas baja putihnya pasti terpental jauh ketika
berbenturan dengan mata sumpit biru.
Belum juga Pandan Wangi sempat berpikir jauh,
kembali dua buah mata sumpit meluncur ke arahnya dari arah yang berlawanan. Si
Kipas Maut itu cepat-cepat memutar tubuhnya sambil mengebutkan kipas disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Dua kali terdengar dentingan senjata beradu. Dan
mata sumpit itu terpental menancap cukup dalam di sebuah batang pohon.
Buru-buru gadis itu melompat mendekati Rangga.
“Kakang..., tampaknya tempat ini sudah terkepung,”
ujar Pandan Wangi setengah berbisik.
Belum lagi Rangga menyahuti, terdengar suara tawa
terbahak-bahak. Suara tawa itu menggema seolah-olah datang dari segala penjuru
mata angin. Rangga menggumam, dan langsung merasakan kalau suara tawa itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, memang sukar untuk mencari
arahnya.
“Ha ha ha...! Kau cukup cerdik untuk menebak,
Pandan Wangi...!”
Belum hilang suara itu, mendadak muncul seorang
laki-laki tua bertubuh bungkuk mengenakan baju panjang berwarna biru gelap yang
sudah kusam. Tangannya menggenggam sebatang tongkat yang ujungnya berbentuk
kepala tengkorak manusia. Tongkat itu berkeluk tujuh, dan ujung bagian bawah
berbentuk runcing bagai sebuah keris raksasa. Laki-laki tua itu muncul bagaikan
dari dalam tanah. Tidak dapat diketahui, dari mana datangnya.
Pandan Wangi menggeser kakinya lebih mendekat ke
belakang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan laki-laki tua bertongkat tengkorak
manusia itu terkekeh, sambil menatap tajam ke arah mereka. Begitu tajam tatapan
matanya, sehingga seperti sepasang bola api tertuju langsung ke arah Pandan
Wangi. Sedikit pun tidak dipedulikannya keberadaan Rangga di tempat itu.
“Sudah cukup lama aku bersabar menunggumu, Pandan
Wangi,” kata laki-laki tua itu.
“Kisanak, apa maksudmu berkata begitu? Aku tidak
kenal denganmu!” bentak Pandan Wangi ketus.
“He he he.... Sudah kuduga, kau pasti akan berkata
begitu, Pandan. Tapi kau tidak akan bisa lari lagi. Kau berada di wilayah
kekuasaanku sekarang.”
“Siapa yang peduli? Aku bebas menentukan tempatku
berpijak!” sentak Pandan Wangi masih ketus.
“Rupanya kau sudah pandai bersilat lidah, Pandan,”
sinis nada suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu. Diliriknya
Rangga dengan pandangan tidak suka.
“Kau pikir aku ini siapa, heh?! Aku tidak kenal
denganmu! Dan jangan coba-coba mengusik kehidupanku, Orang Tua!” dengus Pandan
Wangi dingin.
“Kehidupan...? Ha ha ha...!” Laki-laki tua
bertongkat kepala tengkorak itu tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu Rangga hanya diam saja sambil
menyimak setiap pembicaraan. Sebentar dipandangnya orang tua bertongkat kepala
tengkorak di depannya. Sebentar kemudian ditatapnya Pandan Wangi yang berdiri
di sampingnya. Terlihat jelas dalam keremangan cahaya api unggun, kalau wajah
Pandan Wangi selalu berubah pucat dan memerah bagai terbakar. Memang cukup
sulit menebak perasaan si Kipas Maut saat ini. Dan perhatian Pendekar Rajawali
Sakti kembali pada laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak.
“Sekarang juga kau harus ikut denganku, Pandan!”
tegas laki-laki tua itu agak keras.
“Apa...?!” Pandan Wangi tampak terkejut. “Kau pikir
aku ini siapa, heh...? Seenaknya saja ingin membawaku!”
“Aku tidak ingin main-main, Pandan. Ayo, ikut!”
bentak orang tua itu.
“Tidak!” Pandan Wangi balas membentak.
“Bocah gendeng...!” dengus orang tua itu.
Tiba-tiba saja orang tua itu melesat bagaikan
kilat, langsung mengarah ke Pandan Wangi. Tangan kiri yang tidak menggenggam
tongkat, terjulur hendak mencengkeram gadis itu. Tapi manis sekali Pandan Wangi
mengegoskan tubuhnya berkelit, sehingga terkaman orang itu luput dari sasaran.
Tapi tanpa diduga sama sekali, orang tua itu bisa memutar tubuhnya cepat sambil
mengibaskan tangan kiri ke arah dada si Kipas Maut.
“Ikh...!” Pandan Wangi terperangah.
Buru-buru si Kipas Maut itu mengebutkan kipas baja
putihnya. Kalau saja orang tua itu tidak cepat-cepat menarik pulang tangannya,
pasti ujung-ujung kipas baja putih itu telah membuat tangannya buntung
seketika. Tapi dia masih juga bisa memberi satu serangan yang begitu cepat.
Tongkatnya berkelebat bagaikan kilat menyambar ke arah kaki si Kipas Maut.
“Hait..!”
Cepat sekali Pandan Wangi melompat memutar tubuhnya
ke belakang. Maka tongkat berkepala tengkorak itu lewat beberapa jengkal di
bawah telapak kaki Pandan Wangi. Dan belum juga gadis itu menjejakkan kakinya
di tanah, orang tua bertongkat itu sudah menyerang dahsyat kembali. Kali ini
sasaran yang dipilih adalah dada. Dengan ujung jari telunjuk, dia bermaksud
menotok si Kipas Maut.
Pandan Wangi mengetahui hal itu. Cepat-cepat
dikibaskan kipasnya ke depan dada, sambil memutar tubuhnya. Seketika itu juga,
kaki kanannya berkelebat melepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Hal
ini membuat orang tua itu terperanjat, karena tidak menyangka kalau Pandan
Wangi mampu melindungi diri sambil balas menyerang dalam waktu yang hampir
bersamaan.
“Hup...!”
Cepat-cepat laki-laki tua berbaju biru tua dan
bertongkat kepala tengkorak itu melompat mundur. Hampir saja tendangan Pandan
Wangi menghantam perutnya. Dengan kedua kaki merentang lebar ke samping, orang
tua itu menatap tajam pada si Kipas Maut. Mulutnya menggeram kecil, dan
bibirnya yang hampir tertutup kumis putih bergetar menahan amarah.
“Kau cukup membuat kesulitan, Pandan!” dengus orang
tua itu menggeram.
“Hm.... Lalu kau mau apa?” tantang Pandan Wangi
sinis.
“Kesabaranku ada batasnya, Pandan! Aku tidak peduli
siapa dirimu sekarang. Kau sudah membuat banyak kesulitan padaku. Nyawamu tak
cukup untuk membayar penghinaan ini!”
Pandan Wangi hanya tersenyum sinis. Gadis itu tahu
kalau orang tua bertongkat kepala tengkorak itu sudah sangat marah, tapi tidak
dipedulikannya. Dengan adanya Rangga di sini, segala perasaan gentar lenyap
dari hatinya. Gadis itu melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi hanya
diam saja memperhatikan. Sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak
melakukan tindakan apa-apa. Sepertinya Pandan Wangi diberi kebebasan untuk
menentukan tindakan sendiri.
Pada saat itu, laki-laki tua bertongkat kepala
tengkorak manusia sudah kembali menyerang, dan kali ini tidak main-main. Bahkan
tongkatnya yang aneh itu seperti memiliki nyawa saja, berkelebat mengancam
bagian-bagian tubuh Pandan Wangi yang mematikan. Kali ini si Kipas Maut harus
mengakui kalau lawannya memiliki kepandaian sangat tinggi.
Dalam beberapa jurus saja, sudah terlihat kalau
Pandan Wangi kewalahan menghadapi serangan-serangan orang tua itu. Beberapa
kali si Kipas Maut harus jatuh bangun menghindari serangan yang begitu gencar
dan dahsyat luar biasa. Hingga suatu saat...
“Lepas...!” seru laki-laki tua bertongkat itu
tiba-tiba.
Secepat itu pula dikibaskan tongkatnya ke arah dada
Pandan Wangi. Cepat sekali si Kipas Maut itu mengebutkan kipasnya, melindungi
daerah dadanya yang terancam. Namun sungguh di luar dugaan, ternyata orang tua
itu memutar tongkatnya ke bawah. Dan seketika itu juga, tangan kirinya bergerak
cepat menotok pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.
“Akh...!” Pandan Wangi memekik keras tertahan.
Kipas baja putih yang menjadi senjata khas gadis
itu terpental ke udara. Dan belum juga Pandan Wangi menyadari apa yang terjadi,
satu tendangan keras mendarat telak di dadanya yang lowong. Satu tendangan yang
tak terbendung lagi.
Bug!
“Akh...!” untuk kedua kalinya Pandan Wangi menjerit
keras.
Tubuh si Kipas Maut terjengkang ke belakang sejauh
beberapa batang tombak. Dan sebelum gadis itu ambruk, laki-laki tua bertongkat
kepala tengkorak itu sudah melompat memburu. Pandan Wangi tak bisa berbuat
apa-apa lagi. Dadanya seperti remuk, dan napasnya terhambat. Namun belum juga
orang tua itu berhasil menerkamnya, mendadak saja sebuah bayangan putih
berkelebat cepat dan telah lebih dahulu menyambar gadis itu.
“Heh...!”
***
DUA
Bukan main terperanjatnya orang tua bertongkat
kepala tengkorak itu. Karena, tiba-tiba saja Pandan Wangi lenyap dari
hadapannya, tepat saat sebuah bayangan putih berkelebatan menyambar gadis itu.
Orang tua itu jadi celingukan, lalu menggeram begitu menyadari kalau pemuda
yang bersama Pandan Wangi juga ikut menghilang.
“Bedebah...!” umpatnya geram.
Diedarkan pandangannya berkeliling, tapi tak
terlihat lagi seorang pun di tempat ini. Cahaya api unggun yang begitu redup
tidak mampu menembus pekatnya kegelapan malam. Dia menggerutu dan memaki
habis-habisan, tapi tetap saja tidak bisa menemukan yang dicari.
“Phuah! Pasti anak muda itu yang
menyelamatkannya...!” dengusnya geram.
Sambil menghentakkan kakinya penuh kemarahan, orang
tua itu melesat pergi meninggalkan tempat itu. Sama sekali tidak diketahuinya
kalau ternyata Pandan Wangi bersembunyi di balik sebongkah batu besar bersama
Rangga. Mereka baru keluar dari tempat persembunyian setelah cukup lama
laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu pergi.
“Ughk...!” keluh Pandan Wangi saat berusaha berdiri
hendak keluar dari tempat persembunyian ini.
“Kau terluka, Pandan?” tanya Rangga seraya membantu
Pandan Wangi berdiri.
“He-eh...,” Pandan Wangi hanya menganggukkan
kepalanya saja.
Rangga memapah si Kipas Maut keluar dari balik
batu. Mereka menghampiri api unggun yang masih menyala redup. Sebagian ranting
sudah hancur jadi debu. Rangga menambahkan ranting-ranting yang dikumpulkannya
sore tadi. Api kembali membesar, menambah terang sekitarnya. Pandan Wangi duduk
bersandar di bawah pohon yang cukup besar. Napasnya nampak terengah satu-satu.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di depan gadis itu.
“Aku periksa lukamu, Pandan,” kata Rangga lembut.
“Uhk! Dadaku...,” keluh Pandan Wangi meringis.
Tanpa ragu-ragu lagi, Rangga menekan ujung jari
telunjuknya di dada Pandan Wangi. Gadis itu meringis sambil menggeliatkan
tubuhnya. Buru-buru pemuda berbaju rompi putih itu menarik kembali ujung
jarinya. Dipandangi wajah gadis itu dalam-dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu
bangkit berdiri dan menghampiri kipas baja putih yang tergeletak tidak jauh
dari situ.
Dipungutnya senjata itu dan diserahkan pada Pandan
Wangi. Gadis itu menyelipkan senjata kesayangannya di balik ikat pinggang.
Jelas sekali kalau napasnya masih tersengal, namun tetap mencoba untuk
tersenyum. Mendadak saja, Pandan Wangi terbatuk dan memuntahkan darah kental
kehitaman.
“Pandan...!” sentak Rangga terkejut.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu memeluk
Pandan Wangi, tapi pelukan itu malah dicegahnya. Gadis itu beringsut menjauh,
membuat Pendekar Rajawali Sakti hanya memandanginya. Sedangkan sinar matanya
penuh diliputi berbagai macam pertanyaan. Pandan Wangi membalas tatapan itu
dengan pandangan sayu. Bibirnya yang berwarna merah kehitaman menyunggingkan
senyuman tipis dan amat dipaksakan.
“Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sesak sedikit,”
kilah Pandan Wangi lemah.
“Kau terluka dalam, Pandan. Biar kuperiksa,” desak
Rangga seraya menggeser mendekati.
Tapi Pandan Wangi mencegah, lalu menggeleng dan
tersenyum tipis. Dengan punggung tangan, diseka darah di mulutnya. Rangga
kelihatan cemas melihat Pandan Wangi begitu lemah dan pucat. Dia yakin kalau
gadis itu terluka dalam akibat pertarungannya dengan laki-laki tua misterius tadi.
“Tidurlah, Kakang. Besok, pagi-pagi sekali kita
harus keluar dari hutan ini,” kata Pandan Wangi, masih terdengar lemah
suaranya.
“Kau benar tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga
cemas.
“Tidak. Aku ingin semadi, mudah-mudahan besok sudah
segar lagi,” sahut Pandan Wangi meyakinkan.
Rangga memberi senyuman. Tapi dari sorot matanya
masih menampakkan kekhawatiran. Sedangkan Pandan Wangi sudah duduk bersila.
Ditekan kedua telapak tangannya di lutut yang terlipat. Rangga memperhatikan
sebentar, kemudian menggeser tubuhnya menjauh.
Pendekar Rajawali Sakti itu memilih tempat di
seberang api unggun. Direbahkan tubuhnya di atas rerumputan yang basah
berembun. Perhatiannya masih tertuju pada Pandan Wangi. Gadis itu sudah tidak
bergerak lagi melakukan semadi untuk mengusir rasa sesak yang menghimpit
dadanya.
Melihat Pandan Wangi tampaknya benar-benar
bersemadi, Rangga mulai memejamkan matanya. Pada saat itu Pandan Wangi membuka
kelopak matanya. Diperhatikannya Pendekar Rajawali Sakti yang terbaring di
seberang api unggun. Mata pemuda berbaju rompi putih itu terpejam rapat.
Napasnya begitu teratur, menciptakan gerak pada
dada yang bidang sedikit berbulu. Agak nanar pandangan Pandan Wangi. Sementara
malam terus merambat semakin jauh. Udara dingin begitu terasa menyebar dihembus
oleh angin. Sedangkan api semakin redup cahayanya. Tak terdengar lagi suara,
selain desiran angin malam dan jeritan binatang malam di hutan ini.
Kokok ayam jantan begitu nyaring terdengar
menyambut datangnya pagi. Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Namun burung-burung
telah ramai berkicau di atas pepohonan. Rangga menggeliatkan tubuhnya, mencoba
mengurangi rasa penat. Semalaman dia tertidur pulas, sehingga tak peduli
terhadap nyamuk-nyamuk yang berpesta-pora menikmati darahnya.
“Pandan...!” tiba-tiba Rangga tersentak begitu
teringat Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit, dan
menjadi terkejut menyadari Pandan Wangi tidak ada lagi di tempatnya. Sesaat
diedarkan pandangannya ke sekeliling, tapi gadis itu tak terlihat lagi. Rangga
terpaku begitu matanya tertumbuk pada kuda hitam yang tertambat di bawah pohon
jati. Di sana seharusnya ada dua ekor kuda, tapi kini hanya tinggal seekor.
“Oh, tidak...!” sentak Rangga mulai dirasuki
pikiran buruk.
Bergegas pendekar muda itu melompat ke punggung kuda
hitamnya, tapi tidak jadi menggebah. Dipandangi tempat Pandan Wangi semalam
duduk bersemadi. Pandangannya terpaku tak berkedip. Rerumputan di situ masih
terlihat ada bekasnya. Juga...
“Oh.... Kenapa Pandan pergi begitu saja?” gumam
Rangga dalam hati.
Terlihat jelas jejak-jejak kaki di atas rerumputan,
yang berakhir di bawah pohon ini. Kemudian disambung jejak-jejak kaki kuda yang
menuju tengah Hutan Gunung Jaran ini. Rangga menghentakkan kakinya, menyepak
perut kuda hitam itu. Perlahan-lahan Dewa Bayu melangkah mengikuti jejak yang
tertera jelas di tanah berumput.
Pagi masih terlalu gelap, namun jejak itu masih
terlihat menuju dalam hutan. Rangga mengendalikan kudanya mengikuti jejak-jejak
di tanah berumput yang dibasahi embun. Semakin jauh masuk dalam hutan, semakin
banyak jejak yang terlihat. Bukan saja di tanah, tapi juga di ranting-ranting
yang patah dan semak yang terkuak. Dan semua itu kelihatan masih baru.
Terbukti, getah pada ranting itu terus mengucur.
“Hm...,” Rangga bergumam pelan.
Hutan di Gunung Jaran ini demikian lebat. Cukup
sukar menerobos dengan menunggang kuda. Tapi jejak-jejak itu terus semakin jauh
masuk ke dalam hutan. Rangga turun dari kudanya, lalu melanjutkan dengan
berjalan kaki. Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan saja kudanya mengikuti,
dan terus berjalan sambil memperhatikan setiap jejak yang terlihat. Semakin
jauh masuk ke dalam hutan, semakin nyata kalau jejak itu masih baru.
“Kau ingin ikut denganku terus, Dewa Bayu?” tanya
Rangga bertanya pada kudanya.
Kuda hitam itu meringkik kecil dan
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan bisa mengerti ucapan Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga menepuk leher kuda itu dan kembali berjalan cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sungguh luar biasa. Dewa Bayu ternyata
mampu mengimbangi kecepatan pemuda itu. Padahal, jalan yang dilalui cukup
sulit, lebat oleh rapatnya pepohonan yang saling berkait satu sama lainnya.
Tapi kuda hitam itu tidak pernah jauh berada di belakang Rangga.
Sampai matahari berada di atas kepala, Rangga terus
bergerak cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Meskipun kelihatannya
berjalan biasa, namun kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.
Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah tiba di tepi sungai kecil
berair jernih. Sedangkan Dewa Bayu menghampiri sungai itu, lalu menjulurkan
kepalanya ke dalam sungai.
“Hhh..., putus sampai di sini,” keluh Rangga.
Jejak-jejak yang diikuti memang tidak tampak lagi
di tepi sungai ini. Rangga memandang ke seberang sungai. Tidak seberapa lebar,
dan hanya sekali lompatan saja bisa sampai ke seberang. Sungai ini juga
dangkal, sehingga dasarnya jelas terlihat. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti melompat menyeberangi sungai kecil itu.
Benar dugaannya. Hanya sekali lompatan saja, Rangga
berhasil menyeberangi sungai itu. Begitu ringan kakinya menjejak tepi seberang
sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling. Agak
berkerut juga keningnya, karena tidak lagi menemukan satu jejak pun di seberang
sungai ini. Tapi mendadak saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda dari
seberang. Saat menoleh...
“Putih...,” desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melompat
menyeberangi sungai begitu melihat seekor kuda putih berada di samping kuda
hitam miliknya. Rangga mengenali betul kalau kuda itu milik Pandan Wangi, dan
masih memakai pelana lengkap. Rangga bergegas menghampiri begitu tiba di
seberang.
“Putih! Di mana Pandan Wangi?” tanya Rangga.
Kuda putih itu seperti mengerti pertanyaan Rangga,
lalu langsung meringkik sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diputar
tubuhnya dan berlari kencang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga melompat
ke punggung Dewa Bayu dan cepat menggebahnya. Kuda hitam itu meringkik keras,
lalu melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur.
Rangga memacu kuda hitam itu membuntuti kuda putih
yang terus berlari cepat. Dua ekor kuda berlari menyusuri tepian sungai yang
jarang ditumbuhi pepohonan. Kemudian pada belokan sungai, kuda putih itu
berhenti, lalu menoleh ke belakang dan kembali berlari lagi mendaki tebing batu
yang tidak begitu terjal. Tak ada kesulitan bagi Rangga untuk mengendalikan
Dewa Bayu mendaki tebing batu itu. Dan pada akhirnya Pendekar Rajawali Sakti
sampai di sebuah dataran yang cukup luas. Rangga menghentikan kudanya, tepat
saat kuda putih itu berhenti.
“Hup!”
Rangga melompat turun dari punggung kudanya. “Kau
yakin Pandan Wangi ke sini, Putih?” tanya Rangga seraya mendekati kuda putih
itu.
Kuda putih itu meringkik sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Rangga memperhatikan tingkah kuda putih itu, kemudian memandang
sebuah perkampungan yang terlihat jelas di depan sana. Sebuah perkampungan
kecil yang kelihatan sunyi bagai tak berpenduduk.
“Hm..., aku tidak pernah mendengar ada perkampungan
di sekitar Gunung Jaran ini,” gumam Rangga berbicara pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati sekitarnya.
Suasana begitu sunyi, tak terdengar suara apa-apa. Hanya desir angin saja yang
mengusik telinga. Sama sekali tidak terdengar suara binatang. Rangga jadi
bersikap waspada terhadap kesunyian ini. Dihampirinya kuda-kuda yang tengah
merumput.
“Kalian tunggu di sini. Aku akan melihat ke sana,”
kata Rangga pada kedua ekor kuda itu.
Kedua ekor kuda itu seperti mengerti saja, dan
sama-sama terangguk dan kembali merumput. Rangga kemudian mengayunkan kakinya
menghampiri perkampungan yang tidak begitu jauh di depan. Hanya melewati
sedikit padang rumput kering, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di sana.
***
Rangga merasakan adanya keanehan di perkampungan
ini. Begitu sunyi. Malah sama sekali tidak terlihat seorang pun. Rumah-rumah
yang terbuat dari bilik bambu beratapkan rumbia, semuanya kosong tak
berpenghuni. Bahkan tanda-tanda kehidupan pun tidak dijumpai. Tidak begitu
banyak rumah yang ada, hanya sekitar dua belas yang berdiri saling berdekatan
satu sama lain.
“Hm..., apa nama tempat ini?” gumam Rangga bertanya
pada dirinya sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti sudah mengelilingi tempat
ini tiga kali, dan memeriksa setiap rumah. Tapi tetap tak dijumpai seorang pun.
Bahkan tanda-tanda bekas kehidupan saja tidak dijumpai. Rumah-rumah ini seperti
sengaja dibangun tidak untuk ditempati. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati
rumah yang berada paling tengah. Rumah yang paling besar dan kelihatan paling
mewah.
Perlahan-lahan Rangga menghampiri rumah itu.
Sepasang matanya yang tajam selalu beredar mengamati sekelilingnya. Langkahnya
berhenti tepat di depan pintu yang terbuka lebar. Dari luar sudah terlihat
kalau rumah ini kosong tak berpenghuni. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali
Sakti itu bertanya-tanya, keadaan di sini begitu bersih seperti terawat rapi.
Baru saja Rangga hendak melangkah memasuki rumah itu, tiba-tiba saja terdengar
bentakan dari arah belakang.
“Diam di tempatmu, Anak Muda!”
Rangga mengurungkan niatnya hendak memasuki rumah
itu. Perlahan diputar tubuhnya berbalik. Tampak di depannya kini sudah berdiri
seorang laki-laki berusia lanjut, dan tubuhnya agak bungkuk. Bajunya bercorak
indah dari bahan sutra halus yang cukup mahal harganya. Ikat kepalanya terbuat
dari lempengan emas berhiaskan batu-batu permata. Laki-laki tua itu memegang
sebatang tongkat hitam, yang dihiasi tiga buah cincin emas membelit tongkatnya.
Rangga benar-benar terpukau, seakan-akan tengah berhadapan dengan seorang raja
atau bangsawan kesasar di dalam hutan yang sunyi ini.
“Anak Muda, apa tujuanmu datang ke sini?” tanya
laki-laki tua itu tajam.
“Maaf. Aku tidak sengaja berada di sini, karena
sedang mencari adikku yang hilang,” sahut Rangga sopan seraya membungkuk
sedikit memberi hormat.
“Hm.... Siapa namamu?”
“Rangga. Dan adikku yang hilang bernama Pandan
Wangi.”
“Rangga...,” laki-laki tua itu bergumam pelan
mengulangi nama Rangga.
Sedangkan Rangga sendiri hanya diam saja sambil
terus mengawasi seksama. Benaknya masih dipenuhi berbagai macam tanda tanya
tentang laki-laki tua ini. Kehadirannya sungguh mengejutkan dan tidak diketahui
sama sekali. Sehingga bagai muncul dari dalam tanah saja.
“Kau memasuki daerah yang sangat terlarang, Anak
Muda,” jelas laki-laki tua itu. Suaranya serak dan berat.
“Terlarang...? Aku tidak mengerti maksudmu, Ki,”
tanya Rangga.
“Tempat ini terlarang bagi siapa saja, tanpa
kecuali. Siapa saja yang melanggar harus mati. Itu sudah menjadi hukum tetap di
sini, Anak Muda,” tegas kata-kata laki-laki tua itu.
“Eh, tunggu dulu! Aku tidak mengerti maksudmu.
Malah aku tidak tahu siapa dirimu dan apa nama tempat ini,” sergah Rangga,
terkejut juga mendengar kata-kata orang tua itu.
“Anak Muda, aku bernama Ki Ratapanca. Aku telah
diberi wewenang untuk merawat dan menjaga tempat persinggahan ini. Sudah
menjadi keputusan Gusti Prabu Sumabrata untuk menghukum mati siapa saja yang
berani mengotori tempat ini! Jelas, Anak Muda...?” tegas Ki Ratapanca.
“Oh..., tapi aku tidak mengotori tempat ini. Aku
hanya kebetulan lewat saja dan akan segera pergi kalau tidak menemukan adikku
di sini,” sahut Rangga mulai bisa mengerti sedikit.
“Aku tidak mengenal adikmu! Dan dia tidak ada di sini.
Sudah tiga purnama tempat ini tidak pernah disinggahi seorang pun.”
“Kalau begitu, aku akan segera pergi,” ujar Rangga
seraya mengayunkan kakinya hendak meninggalkan tempat yang sangat aneh baginya
ini.
“Tunggu dulu...!” bentak Ki Ratapanca.
Rangga menghentikan langkahnya.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Anak Muda. Dan
kau baru boleh pergi, kalau sudah berhasil mengalahkanku.”
“Hm.... Aku tidak kenal siapa dirimu, dan kau juga
tidak kenal siapa diriku. Kenapa harus bertarung?” Rangga mengerutkan
keningnya.
“Kenal atau tidak, suka atau tidak suka, kau harus
bertarung denganku. Jika berhasil mengalahkan aku, kau boleh bebas pergi dari
sini, Anak Muda!” tegas Ki Ratapanca.
“Aneh...?! Apakah ini juga perintah dari Gusti
Prabumu?”
“Tentu!”
“Hm...,” Rangga bergumam seraya mengerutkan
keningnya dalam-dalam.
Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
berpikir lebih jauh lagi, mendadak Ki Ratapanca sudah melompat sambil berteriak
keras menerjangnya. Tongkat hitam dengan cincin emas tiga buah berkelebat
bagaikan deburan ombak menghantam pantai.
Rangga terkejut, dan buru-buru melompat mundur
menghindari serangan mendadak ini. Terkesiap juga hatinya, begitu merasakan
angin kebutan tongkat yang demikian dahsyat itu. Tubuhnya sampai terhuyung bagai
selembar daun kering terhempas angin. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti
itu menguasai keseimbangan tubuhnya sebelum Ki Ratapanca menyerang kembali.
“Tahan! Aku....”
Belum lagi Rangga selesai berkata, Ki Ratapanca
sudah kembali menyerang dahsyat. Tongkat yang panjangnya sama dengan tubuhnya
itu berkelebatan di sekitar tubuh Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu
terpaksa berlompatan menghindari setiap serangan laki-laki tua itu.
Menyadari serangan-serangan yang datang begitu
gencar dan sangat berbahaya, Rangga segera menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’. Gerakan-gerakan kaki dan tubuhnya memang seperti tidak beraturan dan
bagai orang yang tidak pernah mengerti ilmu olah kanuragan. Tapi Ki Ratapanca
sulit untuk mendesak. Setiap serangan yang dibangun, selalu kandas dan tidak
pernah menemui sasaran tepat. Bahkan beberapa kali ujung tongkatnya hampir
menusuk tubuh Rangga. Namun tinggal beberapa helai rambut lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu dapat menghindar dengan manis.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja Ki Ratapanca melompat mundur
menghentikan serangan-serangannya. Ditatapnya Rangga, seakan-akan tengah
mengukur kemampuan pemuda itu. Sedangkan Rangga sendiri hanya berdiri tegak dan
bersikap tenang.
“Apa hanya sampai di situ kemampuan yang kau miliki,
Anak Muda?” tanya Ki Ratapanca, agak sinis suaranya.
“Persoalan yang kuhadapi sudah cukup banyak, Ki.
Dan aku tidak ingin menambah persoalan baru lagi denganmu,” sahut Rangga
tenang.
“Hm. Penolakanmu sungguh halus, tapi bukan berarti
kau bisa pergi dari tempat ini begitu saja.”
Rangga hanya diam saja. Bisa dimengerti kalau
laki-laki tua itu tetap akan menyerangnya. Memang disadari kalau dirinya tidak
akan mungkin bisa melayani jika hanya menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’.
Sementara Ki Ratapanca sudah kembali bersiap hendak
menyerang. Rangga masih berdiri tenang dan terus memperhatikan. Selama
laki-laki tua itu masih menggunakan jurus-jurus olah kanuragan, Pendekar
Rajawali Sakti akan melayaninya pula dengan jurus. Rangga tidak ingin membuat
persoalan baru, dan sedapat mungkin bisa meninggalkan tempat ini tanpa membuat
Ki Ratapanca merasa sakit hati.
TIGA
Rangga benar-benar tidak bisa mengelak lagi dan
harus bertarung dengan Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kelihatannya
bersungguh-sungguh hendak merobohkan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap serangan
yang dibangun sungguh berbahaya dan sangat mematikan. Sedikit kelengahan saja
akan berakibat parah. Dan Rangga tidak bisa lagi bermain-main. Memasuki jurus
ke dua puluh, Pendekar Rajawali Sakti itu mulai kelihatan hati-hati. Serangan
baliknya selalu membuat Ki Ratapanca kelabakan menghindarinya.
Beberapa kali Ki Ratapanca harus jatuh bangun
menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tua itu
masih juga mampu menyerang, meskipun kini sudah tidak sering. Bahkan sekarang
lebih banyak bertahan. Hingga pada jurus yang ketiga puluh, terlihat jelas kalau
Ki Ratapanca terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rangga
mendarat di tubuhnya, sehingga membuat laki-laki tua itu terguling dan
terjerembab mencium tanah.
Buk!
Satu pukulan keras kembali bersarang di tubuh Ki
Ratapanca. Laki-laki tua itu kontan mengeluh pendek. Dan belum lagi dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali satu tendangan keras bersarang di
tubuhnya. Laki-laki tua itu terjerembab ke tanah dengan posisi menelentang.
Rangga cepat memburu. Dan hampir saja kakinya menjejak dada orang tua itu, tapi
Rangga cepat melompat mundur dan mengulurkan tangannya.
“Ughk! Terima kasih,” ucap Ki Ratapanca seraya
menerima uluran tangan Rangga.
Laki-laki tua itu berdiri. Dipungut tongkatnya yang
tadi sempat terlepas dari genggaman. Sambil membersihkan debu yang melekat di
baju, dipandanginya Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya memperhatikan
saja, dan bibirnya terkatup rapat.
“Kau hebat, Anak Muda. Aku mengaku kalah,” ujar Ki
Ratapanca disertai senyum terkulum di bibir.
Sinar mata laki-laki tua itu tidak lagi tajam, dan
kini malah kelihatan cerah dengan wajah berseri-seri. Padahal wajahnya agak
memar dan sedikit berdarah pada sudut bibirnya. Sikap Ki Ratapanca membuat
Rangga jadi berpikir lain. Benaknya diliputi berbagai macam pertanyaan tentang
diri laki-laki tua dan juga tempat yang aneh ini.
“Kau boleh pergi sekarang, Anak Muda,” kata Ki
Ratapanca ramah.
Namun Rangga tetap diam tak bergeming.
“Tunggu apa lagi, Anak Muda? Kau sudah bebas, dan
bisa meninggalkan tempat ini,” ujar Ki Ratapanca.
“Ki Ratapanca, di balik sikapmu, bisa kuduga kalau
kau menyimpan sesuatu,” tebak Rangga pelan, namun terdengar mantap suaranya.
Ki Ratapanca hanya tersenyum saja, kemudian
menghampiri Rangga dan menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga
diajaknya masuk ke dalam rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya.
Rangga tidak menolak, dan mengikuti saja. Mereka kemudian duduk bersila saling
berhadapan di ruangan depan yang cukup luas. Hanya selembar permadani tipis
sebagai alas lantai yang mereka duduki kini.
“Sudah lama aku menunggu seseorang yang
berkepandaian tinggi sepertimu, Anak Muda,” jelas Ki Ratapanca setelah cukup
lama berdiam diri.
Rangga hanya diam saja.
“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini, tapi
tak seorang pun yang bisa kembali lagi...,” lanjut Ki Ratapanca, agak pelan
suaranya.
“Kau membunuh mereka, Ki?” tanya Rangga.
“Dalam suatu pertarungan, hanya ada dua pilihan,
Anak Muda. Membunuh atau dibunuh.”
“Tentu yang kau bunuh orang-orang yang tidak
bersalah. Mungkin saja mereka hanya sekadar lewat seperti aku ini, Ki. Atau
mungkin hanya seorang perambah hutan yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.”
“Tidak, Anak Muda...,” Ki Ratapanca menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Tidak ada satu desa pun di sekitar Gunung Jaran ini. Tidak ada
perambah hutan yang memasuki kawasan hutan di sini. Mereka yang datang memang
sengaja menguji nasib, tapi ternyata hanya mengantarkan nyawa. Kemampuan mereka
begitu rendah, tapi bermulut besar. Mereka tidak pernah mengukur diri sendiri,
dan semua itu tidak pernah kusesali. Tapi....”
“Tapi kenapa, Ki?”
“Sejak pertama melihatmu, aku melihat ada sesuatu
yang tidak pernah kutemukan selama tiga tahun ini. Kau begitu lain, tidak
seperti mereka yang datang ke sini terlebih dahulu. Kau begitu sopan dan selalu
merendah. Bahkan tidak bertarung sepenuh hati. Kenapa, Anak Muda? Apakah karena
kau menganggapku seorang tua yang sudah tidak waras lagi?”
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maaf, Ki.
Tidak sedikit pun terbetik di hatiku kata-kata seperti itu. Aku hanya tidak
ingin membuat persoalan denganmu. Lagi pula, tidak ada gunanya melenyapkan
nyawa seseorang sebelum aku tahu pasti segala urusannya. Dan sebenarnya bukan
nyawa manusia yang kulenyapkan, tapi iblis yang bercokol di hati mereka. Sama
sekali setiap musuhku tidak pernah kubenci. Aku hanya ingin membebaskan mereka
dari cengkeraman nafsu setannya,” tenang sekali Rangga menjelaskan.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki Ratapanca tertawa
terbahak-bahak mendengar penjelasan Rangga. Sedangkan Rangga hanya diam saja.
Sedikit pun dia tidak merasa tersinggung, bahkan hanya tersenyum saja.
“Aku benar-benar kagum padamu, Anak Muda. Belum
pernah kutemui orang sepertimu. Memiliki prinsip hidup yang begitu cemerlang.
Apakah itu keluar dari hati nuranimu...?” ujar Ki Ratapanca setelah reda
tawanya.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Rangga
mantap.
“Bagus! Aku suka jawabanmu, Anak Muda. Jika kau
jawab iya, itu berarti berdusta. Dan yang pasti aku akan menyerangmu kembali
sampai salah satu di antara kita ada yang mati!”
“Hm, kenapa begitu?”
“Karena aku tidak suka kemunafikan. Aku lebih suka
kepolosan dan sikap apa adanya. Itu sebabnya tempat ini kubangun dan kujaga
dari gangguan manusia-manusia kotor berhati iblis yang bisanya hanya mengobral
mulut besar, tapi tidak ada bukti sama sekali.”
“Hm.... Jadi, apa yang kau lakukan ini bukan karena
perintah Prabu Sumabrata? Aku tahu kalau Gunung Jaran ini masih termasuk
wilayah Kerajaan Kulon. Dan aku tahu nama rajanya bukan Prabu Sumabrata. Lalu,
siapa yang kau maksudkan, Ki?” Rangga mulai bisa memahami hampir seluruhnya.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca menjawab
dengan suara tawanya yang lepas menggelegar.
Meskipun pertanyaannya belum terjawab, tapi Rangga
tidak merasa kecewa. Ditunggunya tawa Ki Ratapanca sampai habis. Laki-laki tua
itu menepuk-nepuk pundak Rangga sambil tersenyum lebar. Sepasang bola matanya
semakin berkilat bercahaya. Sedangkan Rangga hanya diam saja menunggu sabar
jawabannya.
“Ternyata bukan hanya kepandaian tinggi saja yang
kau miliki, Anak Muda. Kau begitu cerdik dan cepat tanggap,” tegas Ki Ratapanca
memuji.
“Terima kasih. Tapi, kau belum menjawab
pertanyaanku, Ki,” ucap Rangga.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca tertawa
terbahak-bahak.
***
Pagi-pagi sekali Rangga sudah mempersiapkan
kudanya. Dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang sudah berpelana. Tangan
kirinya memegangi tali kekang kuda putih milik Pandan Wangi. Pendekar Rajawali
Sakti itu berpaling saat mendengar suara pintu terkuak. Tampak Ki Ratapanca
keluar dari rumah besar yang dikelilingi sebelas rumah yang berbentuk sama
persis.
“Jadi juga kau pergi hari ini, Rangga?” tanya Ki
Ratapanca setelah dekat di samping Rangga.
“Tentu, Ki,” sahut Rangga mantap.
“Ke mana tujuanmu?”
“Entahlah. Tapi aku yakin kalau Pandan Wangi belum
meninggalkan Gunung Jaran ini, apalagi dalam keadaan terluka,” sahut Rangga.
“Kalau bisa kubantu, pasti aku akan membantumu,
Rangga,” ucap Ki Ratapanca.
“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga seraya tersenyum.
“Seharusnya akulah yang berterima kasih, karena kau
masih memberi kesempatan padaku menikmati udara segar hari ini,” balas Ki
Ratapanca.
“Tapi sayang, Ki. Aku tidak bisa memenuhi
keinginanmu untuk tetap tinggal di sini dan membantu keinginanmu,” ujar Rangga
pelan.
“Tidak mengapa, Rangga. Aku mengerti, keselamatan
adikmu lebih penting daripada rencana gilaku ini.”
“Mumpung masih pagi, Ki. Aku pergi dulu,” pamit
Rangga.
“Berangkatlah. Jangan lupa kalau sudah ketemu, bawa
adikmu ke sini. Aku akan senang bila kau tinggal di sini beberapa hari.”
Rangga hanya tersenyum saja. Mengangguk pun tidak.
Pemuda itu memang tidak pernah melakukan janji apa pun yang dirinya sendiri
belum tahu kepastiannya. Pendekar Rajawali Sakti itu menggebah kudanya
perlahan. Dewa Bayu bergerak pelan berjalan meninggalkan Ki Ratapanca yang
memandanginya. Sedangkan kuda putih mengikuti dari belakang.
Ki Ratapanca masih berdiri memandangi kepergian
Rangga sampai pemuda berbaju rompi putih itu lenyap dari pandangan mata.
Bibirnya tersenyum, dan senyum itu semakin lebar. Lalu terdengar tawa
menggelegar terbahak-bahak. Tiba-tiba saja orang tua itu melesat dan lenyap
seketika, bagaikan hilang begitu saja.
Sementara Rangga sudah jauh meninggalkan
rumah-rumah yang kosong tanpa penghuni itu. Dia tidak tahu, arah mana yang
hendak dituju. Tidak ada lagi petunjuk atau jejak yang ditinggalkan Pandan
Wangi. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan tidak mungkin dikelilingi dalam
waktu singkat. Meskipun dibantu burung rajawali raksasa, rasanya tidak akan
cukup mencari satu harian. Itu juga belum tentu bisa berhasil.
“Hhh...,” desah Rangga pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghentikan langkah
kudanya setelah tiba di tepi sungai. Di tempat ini jejak Pandan Wangi lenyap.
Pemuda berbaju rompi putih itu turun dari punggung kudanya, lalu mendekati
tepian sungai.
“Rasanya tidak mungkin kalau Pandan Wangi hanyut.
Sungai ini sangat dangkal, dan arusnya juga tidak deras,” gumam Rangga
berbicara pada dirinya sendiri.
Selagi Rangga merenung berpikir, mendadak saja
telinganya mendengar desiran angin kencang dari belakang. Cepat sekali
dimiringkan tubuhnya, dan digerakkan tangannya cepat.
Tap!
Rangga membeliak begitu melihat di antara kedua
jarinya terselip mata sumpit berwarna biru dengan bulu-bulu halus menghiasi
pangkalnya. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan tubuhnya. Pada
saat itu, dari balik semak dan pepohonan bermunculan makhluk-makhluk yang
sangat ganjil.
Ada sekitar delapan jumlahnya. Makhluk itu berwujud
manusia, tapi sikap dan tingkahnya seperti kera. Seluruh tubuhnya berwarna
biru, bahkan rambutnya pun berwarna biru. Mereka semua membawa sumpit berwarna
kuning keemasan. Hanya selembar cawat kulit kayu yang menutupi auratnya. Mereka
berjingkrakan membuat lingkaran mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm.... Apakah mereka yang membawa Pandan Wangi
dari sini?” gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.
Rangga memandangi makhluk-makhluk aneh yang
mengelilinginya. Baik tingkah maupun suara mereka begitu mirip kera. Tapi tubuh
dan wajahnya berwujud manusia biasa. Hanya saja seluruh tubuhnya berwarna biru.
“Khuk khuk khraaaghkkk...!”
Salah satu dari makhluk seperti kera itu
memperdengarkan suara keras. Dan tiba-tiba saja makhluk yang berjumlah delapan
itu berlompatan menerkam Rangga. Tentu saja serangan yang secara bersamaan ini
tidak bisa dihindari dengan cara biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melentingkan
tubuhnya ke atas, dan hinggap di atas dahan pohon.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
bernapas lega, manusia-manusia kera itu sudah berlompatan menyerang kembali.
Tubuh mereka begitu ringan bagai kapas. Dan justru mereka semakin tangkas
berada di atas pohon. Rangga jadi kewalahan menghadapinya. Hingga...
Bughk!
Satu pukulan keras mendarat di punggung Pendekar
Rajawali Sakti itu. Tak pelak lagi, Rangga jatuh dari atas pohon yang cukup
tinggi. Pendekar Rajawali Sakti kemudian bergulingan di tanah, dan cepat
bangkit berdiri. Pada saat itu beberapa mata sumpit bertebaran di sekitar
tubuhnya.
“Hiyaaa...!”
Tak ada kesempatan lagi bagi Rangga untuk mengatur
jalan napasnya. Dia harus jumpalitan menghindari benda-benda biru yang
bertaburan mengancam tubuhnya. Namun begitu benda-benda biru itu habis, Rangga
kembali harus menghadapi delapan manusia setengah kera yang langsung menyerang
setelah lebih dahulu meluruk turun dari pohon.
Rangga benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk
mengambil napas, dan tentu saja tidak mau mati konyol di tempat ini. Segera
saja Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’, salah
satu dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’ yang sangat ampuh.
Begitu cepatnya Rangga bergerak, sehingga seolah-olah
bisa membuat dirinya menjadi seribu orang! Hal ini membuat manusia-manusia
setengah kera itu jadi kelabakan. Serangan-serangan mereka berantakan dan tidak
beraturan lagi. Tubuh Rangga seperti ada di mana-mana, dan justru seperti
mengepung mereka dari segala arah.
Beberapa kali Rangga berhasil mendaratkan pukulan
maupun tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Tapi manusia-manusia
berwarna biru itu seperti kebal dan tidak merasakan sakit sedikit pun. Bahkan
tak ada pengaruh sama sekali, meskipun Rangga mengerahkan tenaga dalamnya yang
sudah mencapai taraf kesempurnaan dalam pukulan dan tendangannya.
“Gila! Tubuh mereka seperti karet!” dengus Rangga
dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu memang merasa seperti
memukul segumpal karet. Setiap pukulan dan tendangannya selalu berbalik. Kalau
saja tenaga dalamnya belum sempurna, tentu akan memakan dirinya sendiri. Rangga
jadi berpikir keras sambil terus mempergunakan jurus ‘Seribu Rajawali’. Memang
hanya dengan jurus ini serangan-serangan yang dilancarkan manusia-manusia aneh
itu mampu diimbanginya.
“Hm..., coba akan kugabung dengan jurus ‘Pukulan
Maut Paruh Rajawali’,” gumam Rangga dalam hati.
Saat itu juga Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan
Maut Paruh Rajawali’. Tepat pada saat itu salah seorang lawan berada dalam
jangkauan pukulannya. Secepat kilat Rangga melontarkan satu pukulan keras
begitu tangannya mulai memerah bagai terbakar.
“Hiyaaa...!”
“Aaarghk...!”
Satu raungan keras terdengar bersamaan terdengarnya
bunyi berderak dari tulang-tulang yang patah. Pukulan Rangga tepat menghantam
dada salah seorang lawannya. Sungguh di luar dugaan sama sekali ternyata
manusia setengah kera itu kini menggelepar di tanah dengan dada melesak ke
dalam. Sementara dari mulutnya mengeluarkan darah segar.
Robohnya satu orang membuat yang lainnya terkejut.
Mereka segera berlompatan menjauh. Tapi Rangga sudah melepaskan dua pukulan
beruntun sekaligus, dan langsung mengenai dua orang manusia setengah kera yang
terlambat menghindar. Kembali terdengar raungan keras. Dua manusia setengah
kera kembali menggelepar. Salah seorang kepalanya pecah, dan seorang lagi
perutnya jebol berantakan. Mereka langsung tewas seketika.
“Khraghk...!”
Begitu terdengar seruan keras yang serak, lima
orang lainnya berlompatan kabur masuk ke dalam hutan. Rangga tak sempat lagi
mengejar. Apalagi gerakan mereka begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah
lenyap dari pandangan mata. Tinggal tiga makhluk biru yang tergeletak tak
bernyawa lagi di tanah.
“Hm..., aku yakin, ada orang lain di belakang
mereka,” gumam Rangga pelan.
Belum lagi hilang suara gumaman Pendekar Rajawali
Sakti, tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-bahak. Rangga menggerinjang
melompat tiga langkah ke depan. Suara tawa itu menggema, seolah-olah datang
dari segala penjuru mata angin. Jelas kalau suara tawa itu disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Rangga merasakan telinganya mulai sakit. Buru-buru
dikerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk mengimbangi suara tawa itu.
***
Rangga menggerak-gerakkan tangannya di depan dada.
Ditarik napasnya dalam-dalam, dan dihimpun seluruh tenaga dalamnya di dada.
Kemudian perlahan-lahan tangannya merentang ke samping, lalu...
“Yeaaah...!”
Dengan satu teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti
mengeluarkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang sudah terhimpun di dalam dada.
Bumi bergetar, dan batu-batu berlompatan. Pohon-pohon berguncang menggugurkan
daun-daunnya. Sungguh dahsyat suara teriakan yang disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna itu. Seluruh alam bagaikan murka. Dan suara tawa itu seketika
berhenti, berganti jeritan panjang melengking.
“Hup! Hup! Hiyaaa...!”
Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil
memutar tubuhnya ke kanan. Maka dari kedua telapak tangannya meluncur sinar
merah yang langsung menghantam semak belukar. Ledakan keras terdengar begitu
sinar merah menghantam semak belukar itu. Pada saat yang sama, tiba-tiba
melesat sebuah bayangan biru dari dalam semak yang hancur berantakan. Tahu-tahu
di depan Rangga sudah berdiri seorang laki-laki berbaju biru tua. Tangannya
menggenggam tongkat berbentuk kepala tengkorak manusia pada ujungnya.
“Hhh! Kau lagi, Orang Tua!” dengus Rangga.
“Hebat! Ternyata kau memiliki kepandaian tinggi
juga, bocah...!” terdengar dingin nada suara laki-laki tua itu.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam tidak jelas.
Pandangan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata laki-laki tua
bertongkat kepala tengkorak di depannya.
“Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi, bocah!?”
bentak laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.
“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Orang
Tua!” sambut Rangga dingin.
“Heh...! Aku tidak ada waktu bermain-main, bocah
setan!” bentaknya gusar.
“Kau pikir aku juga ada waktu bermain-main
denganmu?! Kenal pun aku tidak sudi...!” dengus Rangga tidak kalah ketusnya.
“Kadal! Mulutmu begitu lancang, bocah! Kau akan
berlutut memohon ampun jika tahu siapa diriku!”
“Aku tidak peduli meskipun kau utusan iblis dari
neraka sekalipun!”
“Setan...! Dengar, bocah! Kau sekarang ini
berhadapan dengan pengawal Dewa Iblis, penguasa seluruh daerah Kulon!” lantang
suara laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak yang menyebut dirinya sebagai
pengawal penguasa daerah Kulon.
“Baru pengawal, sudah sok! Bahkan junjunganmu
sendiri, aku tidak akan tunduk!” dengus Rangga dingin penuh ejekan.
“Beledek bongkrek! Kau menghina Dewa Iblis...!”
geram laki-laki tua itu marah. “Kau harus mampus di tangan Borga si Tongkat
Samber Nyawa!”
“Rasanya kau yang lebih dahulu akan terbang ke
neraka, Orang Tua,” begitu dingin sambutan Rangga.
“Keparat...! Hiyaaa...!”
Rupanya laki-laki tua yang menyebut dirinya Borga
atau si Tongkat Samber Nyawa itu sudah tidak bisa lagi membendung amarahnya.
Seluruh wajahnya sudah memerah bagai besi terbakar di dalam tungku. Dia
langsung saja melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti disertai teriakan
keras menggelegar.
“Uts!” Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ketika
ujung tongkat si Tongkat Samber Nyawa meluruk ke arah dada. Secepat itu pula
dikibaskan tangannya, menyampok tongkat yang lewat di depan dada. Tapi Borga
lebih cepat lagi menarik pulang tongkatnya sambil melayangkan satu tendangan
menyimpang dengan tubuh setengah berputar.
“Hait!”
“Hiya...!”
Cepat Rangga menarik mundur kakinya ke belakang
sejauh dua tindak. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu berbuat sesuatu,
Borga sudah menyerang dahsyat kembali. Tongkat berkepala tengkorak itu bagai
memiliki mata saja. Meliuk-liuk berkelebatan mengincar setiap bagian tubuh
Rangga yang mematikan. Ke mana pun Rangga berkelit, ujung tongkat yang runcing
selalu cepat memburunya.
Trak! Trak...!
Beberapa kali tangan Rangga berhasil menyampok
tongkat itu. Tapi setiap kali tangannya berbenturan, dirasakan adanya sengatan
yang membuat aliran darahnya seolah-olah membeku. Bahkan jantungnya bergetar
keras bagai hendak pecah. Rangga langsung menyadari kalau tongkat itu sangat
berbahaya dan memiliki suatu kekuatan dahsyat. Menyadari akan hal itu,
buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang begitu si Tongkat Samber
Nyawa baru selesai memberikan serangan ke arah kaki.
“Kau tidak akan bisa lari, bocah! Dan kali ini harus
mampus di tanganku!” dengus Borga menggerung.
“Tidak ada gunanya lari!” sahut Rangga dingin.
“Kita tentukan, siapa yang mati lebih dulu hari ini, Borga!”
Setelah berkata demikian, Rangga mencabut Pedang
Pusaka Rajawali Sakti dari dalam warangkanya di punggung.
Sret! Cring...!
Seketika itu juga cahaya biru berkilau menyemburat
keluar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu. Mata Borga langsung terbeliak
lebar begitu melihat pamor pedang lawannya. Tubuhnya menggerinjang melangkah
mundur tiga tindak. Kedua matanya tidak berkedip memandangi pedang yang
melintang di depan Rangga.
“Kau gentar melihat senjataku ini, Borga...?” ejek
Rangga memanasi.
Borga tidak menyahuti, tapi kembali menggeser
kakinya ke belakang beberapa langkah. Mata dan mulutnya ternganga lebar,
seakan-akan terpana menyaksikan pedang bercahaya biru di tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Bocah! Siapa kau sebenarnya...?” sentak Borga
tiba-tiba.
“Namaku Rangga! Tapi, orang-orang selalu
memanggilku Pendekar Rajawali Sakti. Puas...?” sahut Rangga lantang.
“Hah...?!”
Borga kelihatan begitu terkejut mendengar nama
Pendekar Rajawali Sakti disebut. Dia kembali melompat ke belakang beberapa
langkah. Entah kenapa, tubuhnya seketika itu juga jadi gemetar bagai
kedinginan. Padahal siang ini udara begitu panas, dan matahari bersinar amat
terik.
“Kau.... Kau tunggulah di sini, bocah!” kata Borga.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki tua bertongkat
kepala tengkorak itu langsung melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam
sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang
Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Sama sekali hatinya
tidak berminat mengejar laki-laki tua itu. Langsung dihempaskan tubuhnya ke
atas rerumputan dan disandarkan punggungnya pada sebongkah batu yang cukup besar.
Terdengar hembusan napas panjang dan cukup berat dirasakan.
“Hhh.... Apa sebenarnya yang terjadi pada
diriku...?” keluh Rangga lirih. “Ke mana perginya Pandan Wangi...? Hhh....
Terlalu banyak keanehan yang kujumpai di Gunung Jaran ini.”
Memang semua yang terjadi di Gunung Jaran ini belum
bisa dimengerti Pendekar Rajawali Sakti. Terlalu banyak peristiwa yang dialami
secara beruntun. Dan kesemuanya itu sukar dipahami. Terlebih lagi Rangga tidak
bisa menghubungkan antara peristiwa yang satu dengan lainnya. Hanya saja, pusat
pikirannya kini tertuju penuh pada hilangnya Pandan Wangi.
“Hhh..., Dewa Iblis. Siapa pula dia...?” gumam
Rangga bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
***
EMPAT
Seperti malam-malam sebelumnya, di sekitar Gunung
Jaran suasananya begitu kelam. Langit tertutup awan hitam, sehingga menghalangi
sinar bulan menerangi sekitar gunung itu. Angin bertiup kencang menyebarkan
udara dingin membekukan tulang. Suasana di sekitar Gunung Jaran begitu sunyi,
tak terdengar sedikit pun suara binatang malam. Hanya desiran angin dan
gemerisik dedaunan yang terdengar.
Namun kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara
genderang ditabuh bertalu-talu. Suara-suara itu membangunkan Rangga dari
tidurnya di tepi sungai kecil yang berair jernih dan mengalir pelan, Pendekar
Rajawali Sakti menggerinjang bangun. Dimiring-kan sedikit kepalanya, mencari
arah sumber suara genderang itu. Seketika pandangannya tertuju ke satu arah,
tempat terlihatnya cahaya terang menyembul dari puncak pepohonan yang merapat
hitam.
“Hm.... Suara itu dari...,” gumam Rangga terputus.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas menghampiri
kudanya, tapi tidak jadi naik. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu beberapa kali.
“Kau tunggu di sini, jaga si Putih,” kata Rangga.
Kuda hitam itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
seperti mengerti ucapan Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu berlari
cepat menuju cahaya terang yang terlihat jelas dari tempat ini. Begitu ringan
dan cepat gerakannya, bagaikan terbang tak menyentuh bumi. Sebentar saja
Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di perkampungan yang pernah dimasukinya.
Perkampungan sunyi tanpa seorang penduduk pun menempatinya.
Rangga berhenti berlari, dan agak tertegun begitu
melihat sebuah api unggun besar menyala di tengah halaman rumah yang paling
besar di antara rumah-rumah yang ada di situ. Terlihat jelas, di sekitar api
unggun itu berkeliling makhluk-makhluk berwarna biru yang bertingkah seperti
kera. Mereka berjingkrakan mengikuti irama tabuhan genderang, bersorak-sorak
sambil mengelilingi api unggun yang menyala besar membuat sekitarnya jadi
terang.
Rangga bergerak mengendap-endap mendekati tempat
itu. Sejak semula dia memang sudah curiga pada Ki Ratapanca yang bersikap aneh
dan penuh tanda tanya. Semakin dekat ke perkampungan aneh itu, semakin jelas
terlihat suasananya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap saat menatap ke
beranda depan rumah besar itu. Tampak di sana terdapat dua buah kursi berukir
indah yang diduduki sepasang manusia. Di samping kanan dan kirinya berdiri dua
orang laki-laki tua yang sudah dikenal Rangga. Mereka adalah Ki Ratapanca dan
si Tongkat Samber Nyawa.
Namun bukan kedua orang tua itu yang menjadi
perhatian Rangga. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sampai tidak berkedip
menatap wanita muda berbaju biru dengan sebentuk mahkota bertengger di
kepalanya. Wajah yang cantik semakin terlihat cantik bagai dewi kahyangan.
Wanita itu duduk di kursi berdampingan bersama seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju indah dan bermahkota.
“Pandan Wangi.... Apa yang dilakukannya di
sini...?” desis Rangga bergumam.
Memang wanita itu adalah Pandan Wangi. Wajahnya
nampak cerah, namun sorot matanya begitu redup tak bercahaya. Tak ada senyum
sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah menyala. Sedangkan pemuda di
sampingnya terlihat senyum-senyum, dan sepasang bola matanya berbinar seperti
bertaburkan bintang.
Baru saja Rangga hendak bergerak lebih mendekat,
seketika dibatalkan niatnya. Dari dalam rumah yang berdiri mengelilingi rumah
besar itu, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dari
kulit kayu. Sebagian besar tubuh mereka dibiarkan terbuka lebar. Mereka
berjalan beriringan membawa baki yang penuh makanan dan minuman serta
buah-buahan. Sebentar saja di sekitar halaman rumah itu bagai sedang diadakan
pesta.
Saat itu, di tempat persembunyiannya, Rangga terus
mengawasi tanpa berkedip. Dia semakin ingin tahu kelanjutannya. Rasa
penasarannya be-gitu dalam dan tertumpah penuh pada Pandan Wangi yang duduk
berdampingan bersama seorang pemuda tampan bermahkota di kepalanya. Kelopak
mata Pendekar Rajawali Sakti itu agak menyipit saat melihat seorang laki-laki
berjubah bagai pendeta tengah meniti anak-anak tangga beranda depan. Di
belakangnya gadis-gadis yang berjumlah dua belas orang mengiringi.
Suara genderang berhenti ketika laki-laki tua
berjubah bagai pendeta itu tiba di depan dua insan yang duduk berdampingan.
Makhluk-makhluk berwarna biru juga berhenti berjingkrakan. Semua perhatian
tertumpah ke beranda depan rumah besar itu. Rangga tidak berkedip, dan terus
memperhatikan dari tempat persembunyiannya.
“Paman Pendeta Gorayana, apakah kau sudah siap
melaksanakan upacara perkawinan ini?” tanya pemuda tampan yang duduk di samping
Pandan Wangi.
“Semua sudah siap, Gusti Prabu Sumabrata,” sahut
laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul yang dipanggil
Pendeta Gorayana itu.
“Bagus! Laksanakanlah segera,” sambut Prabu
Sumabrata seraya tersenyum cerah.
“Tapi, Gusti Prabu....”
“Apa lagi, Paman Pendeta?”
“Apakah mempelai wanita benar-benar sudah sehat?
Sebab hamba tidak berani meresmikan perkawinan ini jika mempelai wanita masih
dalam keadaan terluka.”
“Luka yang diderita calon istriku benar-benar sudah
sembuh, Paman Pendeta. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Kau bisa bertanya
pada Paman Ratapanca.”
“Benar, Kakang Gorayana. Pandan Wangi sudah sehat
dan pulih seperti sediakala,” jelas Ki Ratapanca yang berdiri di samping Prabu
Sumabrata.
“Kalau begitu, upacara bisa dilaksanakan, Gusti
Prabu,” ujar Pendeta Gorayana.
“Laksanakanlah. Sudah terlalu lama aku menunggu
peristiwa ini, Paman Pendeta. Aku tidak sudi lagi gagal berantakan seperti
dulu.”
“Baiklah, Gusti Prabu.”
***
Rangga benar-benar terkejut bukan main mendengar
semua percakapan itu. Sudah dapat ditebak, siapa calon pengantin yang
dimaksudkan. Keheranan semakin menyelimuti diri Pendekar Rajawali Sakti itu
saat mendengar kesediaan Pandan Wangi menikah dengan Prabu Sumabrata. Ternyata
gadis itu mengangguk mengiyakan saat ditanya Pendeta Gorayana.
“Gila! Ini tidak boleh dibiarkan!” geram Rangga dalam
hati.
Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada
Pendekar Rajawali Sakti. Marah, geram, dan kecemburuan berkecamuk menjadi satu.
Merah padam seluruh wajah Rangga. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya
mendengus memburu.
“Hentikan...!” seru Rangga tiba-tiba sambil
melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Semua yang ada di tempat itu terkejut melihat
kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tiba-tiba. Rangga langsung
berdiri tegak di depan tangga beranda depan. Sama sekali tidak dipedulikan
makhluk-makhluk berwarna biru yang sudah bergerak mengepungnya.
“Heh! Siapa kau, manusia tidak tahu adat?!” bentak
Prabu Sumabrata.
“Aku Rangga. Aku tidak mengizinkan kau mengawini
Pandan Wangi!” sahut Rangga dingin.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu sangat tajam
dan terasa dingin menusuk. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam duduk seperti
patung. Seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran Rangga di tempat ini.
“Gusti Prabu, ijinkan hamba memberi pelajaran
kepada bocah kurang ajar ini,” ujar si Tongkat Samber Nyawa seraya membungkuk
memberi hormat.
“Tunggu dulu, Paman. Aku ingin tahu, apa maksud
kedatangannya ke sini,” cegah Prabu Sumabrata.
“Gusti, bocah ini bisa menjadi sumber bencana bagi
kita semua. Hamba sudah pernah bertarung dengannya. Kepandaiannya sangat
tinggi,” sergah Borga.
“Benar, Gusti Prabu,” sergah Ki Ratapanca.
“Hm..., jadi kalian pernah ber-hadapan dengannya?”
“Benar, Gusti Prabu,” sahut Ki Ratapanca dan Borga
berbarengan seraya membungkuk memberi hormat.
“Kenapa kalian tidak mengatakannya padaku?” tanya
Prabu Sumabrata menyesalkan.
“Ampun, Gusti Prabu. Hamba berdua tidak ingin
merusak hari perkawinan ini. Hamba berusaha mengusirnya keluar dari daerah ini.
Segala daya sudah hamba lakukan, tapi...,” kata-kata Borga terputus.
“Tapi kenapa, Paman?” desak Prabu Sumabrata.
“Bocah ini tangguh sekali,” jelas Borga tanpa
malu-malu lagi mengakui.
“Gusti, bocah itu datang bersama Pandan Wangi. Dan
Pandan Wangi diakuinya sebagai adiknya,” celetuk Ki Ratapanca.
“Oh..., begitu...?” Prabu Sumabrata tersenyum
sinis. “Sejak kapan Pandan Wangi mempunyai seorang kakak? Atau dia kekasihnya?”
“Hamba pikir memang demikian, Gusti,” sahut Ki
Ratapanca.
“Kalau begitu, singkirkan dia!” perintah Prabu
Sumabrata tegas.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Borga dan Ki Ratapanca
bersamaan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua laki-laki
tua itu berlompatan menerjang Rangga. Tentu saja Rangga yang sudah siap sejak
tadi segera melompat ke belakang, dan langsung membalas serangan orang tua itu
dengan sengitnya.
Tapi baru beberapa gebrakan saja, Borga dan Ki
Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan. Mereka berteriak memerintahkan
makhluk-makhluk berwarna biru untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Makhluk-makhluk berwarna biru dengan tingkah seperti kera itu langsung
berlompatan merangsek. Jumlah mereka tinggal lima orang. Tapi begitu mereka
menyerang, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk serupa yang
langsung mengeroyok pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Borga dan Ki
Ratapanca menyingkir mendekati tangga beranda rumah.
Semakin lama jumlah makhluk berwarna biru itu
semakin banyak saja. Mereka bersembulan dari dalam tanah. Rangga benar-benar
kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya semakin sempit. Beberapa kali pukulan
dan tendangannya berhasil mengenai sasaran, tapi makhluk-makhluk biru itu
seperti tidak merasa sama sekali. Terus merangsek, tanpa mengenai gentar
sedikit pun.
“Huh! Sekarang harus kugunakan jurus ‘Pukulan Maut
Paruh Rajawali’,” dengus Rangga yang teringat pada pertarungannya melawan
makhluk-makhluk ini di tepi sungai kecil.
Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti ini
menggunakan jurus yang dahsyat itu. Kedua kepalan tangannya jadi merah membara
bagai terbakar. Tidak ada satu pukulan pun yang luput dari sasaran. Jeritan
melengking mulai terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh berwarna biru. Darah
mulai bersimbah membasahi tanah yang telah basah oleh embun. Namun
makhluk-makhluk biru itu benar-benar tidak mengenal rasa takut. Mereka terus
merangsek meskipun sudah banyak yang bergelimpangan berlumuran darah tak
bernyawa lagi.
“Kalau begini terus, mereka bisa habis, Kakang
Borga,” kata Ki Ratapanca.
“Kau tidak perlu cemas, Adi Ratapanca. Mereka tidak
akan habis. Kau lihat saja,” sahut Borga atau si Tongkat Samber Nyawa tenang.
Memang benar apa yang dikatakan Borga.
Makhluk-makhluk biru itu terus bermunculan dari dalam tanah. Seakan-akan
kehidupan mereka berasal dari setitik debu. Dan hal ini tentu saja membuat
Rangga semakin kewalahan menghadapinya. Keringat sudah ber-cucuran membasahi
sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sudah tidak terhitung lagi, berapa
yang tewas. Tapi lebih banyak lagi yang bermunculan dari dalam tanah. Rangga
jadi tidak habis mengerti. Mereka ini bagai mayat hidup yang tidak takut mati
dan tidak punya perasaan sama sekali.
Tak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali segera
mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika
itu juga cahaya terang berkilau menyemburat dari pedang itu. Dengan senjata
andalan tergenggam di tangan, Rangga bagai malaikat maut yang mengamuk dan
membantai makhluk-makhluk biru itu. Tapi mendadak saja keanehan terjadi.
Makhluk-makhluk biru itu berlompatan mundur sambil menutupi mata dengan kedua
tangannya.
“Gusti, sebaiknya pernikahan ini ditunda saja,”
usul Pendeta Gorayana yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.
“Benar, Gusti Prabu. Sebaiknya Gusti kembali saja
ke istana dulu,” celetuk Borga.
Sebentar pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata itu
terdiam sambil memandangi Rangga yang masih mengamuk dengan pedang bersinar
biru berkilau di tangan. Kemudian digamitnya lengan Pandan Wangi, lalu
melangkah masuk ke dalam diikuti Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca. Sedangkan
si Tongkat Samber Nyawa tetap tinggal di tempat itu. Gadis-gadis cantik yang
hanya mengenakan cawat dan selembar kain penutup dada juga bergegas masuk ke
dalam rumah-rumah lainnya.
***
“Wuih...! Makhluk apa ini..,?” gumam Rangga
keheranan melihat makhluk-makhluk berwarna biru itu tiba-tiba saja melesak
masuk ke dalam tanah.
Semua makhluk aneh berwarna biru itu menghilang,
terpendam ke dalam tanah. Hanya si Tongkat Samber Nyawa yang masih tinggal.
Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu menghentakkan ujung tongkatnya ke
tanah tiga kali. Maka tiba-tiba saja dari dalam tanah bersembulan tiga pasang
tangan yang langsung mencekal pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget.
Tapi belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba
saja Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan kakinya ditarik ke dalam tanah.
Seketika kedua kakinya melesak sampai ke lutut. Rangga segera mengerahkan
tenaga dalamnya, mencoba menarik kembali kakinya keluar dari dalam tanah. Tapi
hasilnya bukannya keluar, melainkan malah semakin melesak dalam.
Sudah hampir sepinggang tubuh Pendekar Rajawali
Sakti melesak ke dalam tanah. Pemuda itu merasakan kedua kakinya dicengkeram
kuat, dan terus ditarik ke dalam tanah. Sekuat tenaga berusaha ditahan agar
tubuhnya tidak terus melesak masuk ke dalam tanah. Tapi tarikan itu demikian
kuat, dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin jauh masuk ke dalam.
“Ha ha ha...!” Borga tertawa terbahak-bahak melihat
Pendekar Rajawali Sakti terus amblas ke dalam tanah.
Rangga mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas
kepala dengan ujung berada di bawah. Digenggamnya gagang pedang dengan kedua
tangan erat-erat. Kemudian...
“Hiyaaa...!”
Wuk!
Crab!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam,
Pendekar Rajawali Sakti itu menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke tanah, tepat
di depan perutnya. Tepat saat terdengar raungan panjang, Rangga segera
mengempos tenaganya melenting ke udara.
Tawa si Tongkat Samber Nyawa seketika itu juga
lenyap. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali kakinya
menjejak tanah tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Borga. Secepat kilat
Rangga mengibaskan pedangnya ke leher laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak
itu.
Bet!
“Uts...!”
Buru-buru Borga mengibaskan tongkatnya menyampok
pedang itu sambil melompat mundur dua tindak.
Trak!
“Heh...!”
Betapa terkejutnya si Tongkat Samber Nyawa melihat
tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa
terkejutnya, Rangga sudah melayangkan satu tendangan menggeledek bertenaga
dalam sangat sempurna ke arah Borga.
Des!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam
dada si Tongkat Samber Nyawa. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpental jauh
ke belakang dan menghantam pilar beranda depan rumah besar itu hingga roboh.
Atap beranda langsung ambruk menimpa tubuh Borga.
Rangga melompat mundur ke belakang beberapa
langkah. Bumi laksana bergetar ketika atap beranda rumah itu ambruk. Pendekar
Rajawali Sakti berdiri tegak. Di samping kakinya menggeletak tongkat berkepala
tengkorak manusia. Rangga hendak memungut tongkat itu, tapi mendadak saja...
“Jauhkan tongkat itu dari tanganmu, Pendekar
Rajawali Sakti...!” terdengar bentakan keras mengejutkan.
Rangga yang sudah membungkuk hendak mengambil
tongkat berkepala tengkorak itu jadi mengurungkan niatnya, dan pelahan berdiri
tegak kembali. Pandangannya langsung tertuju pada Borga yang sudah berada di
atas reruntuhan atap beranda rumah besar itu. Tampak mulutnya dipenuhi darah,
dadanya kelihatan melesak ke dalam. Borga berdiri gontai di atas kedua kakinya
yang bergetar.
“Kau tidak boleh menjamah tongkat itu, bocah!”
dengus Borga seraya melangkah gontai menghampiri.
“Kenapa? Tongkat ini tidak ada artinya lagi bagimu.
Aku akan menggunakannya untuk memanggang tubuhmu!” dingin nada suara Rangga.
“Kau bisa saja membunuhku, Anak Muda. Tapi jangan
harap dapat menyentuh tongkat itu!” kata Borga tidak kalah dinginnya.
“Kenapa tidak...?”
Rangga kembali membungkuk hendak memungut tongkat
di dekat kakinya. Tapi belum juga tangannya menyentuh tongkat itu, Borga sudah
melompat sambil berteriak keras. Langsung dilontarkan dua pukulan sekaligus ke
arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts...!”
Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ke samping
menghindari pukulan laki-laki tua itu. Namun selagi tubuhnya doyong, si Tongkat
Samber Nyawa mengibaskan kakinya mengarah perut. Terpaksa Rangga melentingkan
tubuhnya berputar, maka tendangan Borga luput dari sasaran. Secepat itu pula
Borga menyambar tongkat yang tergeletak di tanah dengan ujung kakinya. Tongkat
itu melayang ke udara.
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagai kilat, Borga melesat ke udara mengejar
tongkat berkepala tengkorak itu. Pada saat yang sama, Rangga juga melentingkan
tubuhnya ke udara mengejar tongkat yang sama. Dua tokoh tingkat tinggi melesat
cepat mengejar sebuah tongkat berkepala tengkorak manusia.
Tap!
Tap!
Dalam waktu yang sama, kedua orang itu menangkap
tongkat berkepala tengkorak di udara. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga
melayangkan satu pukulan keras ke bagian dada Borga. Pukulan yang begitu cepat
dan tidak terduga sama sekali itu tak dapat dielakkan lagi.
Dug!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Pegangannya pada tongkat berkepala tengkorak
langsung terlepas, dan tubuhnya meluruk deras ke bawah. Seketika itu juga
Rangga cepat memburu mempergunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.
Kedua kakinya bergerak cepat, sedangkan tubuhnya meluruk deras mengejar Borga.
“Hiyaaa...!"
Buk! Prakkk...!
“Aaa...!”
Satu jeritan melengking tinggi terdengar begitu
kaki Rangga menghantam keras kepala si Tongkat Samber Nyawa. Laki-laki tua itu
jatuh berdebum ke tanah. Kepalanya pecah dan darah bercucuran deras. Tepat pada
saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Borga tak bergerak-gerak lagi. Dia
tewas, dan kepalanya pecah bersimbah darah.
“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang dan agak
berat.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya sebentar
memastikan kalau lawannya sudah tewas, kemudian langsung melesat ke dalam rumah
besar. Dia tahu kalau Pandan Wangi tadi dibawa pemuda yang dipanggil Prabu
Sumabrata ke dalam rumah ini bersama Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca.
***
LIMA
Rangga benar-benar tidak habis mengerti, rumah
besar ini kosong, tak ada seorang pun yang dijumpai. Pendekar Rajawali Sakti
itu terus mencari sampai ke belakang. Tetap saja tidak dijumpai seorang pun.
Bergegas dia keluar lagi melalui pintu belakang, lalu memutari rumah ini. Dia
berdiri tegak di tengah-tengah halaman yang cukup besar dan luas. Api unggun
masih menyala terang membuat malam yang gelap gulita ini jadi terang-benderang.
“Pandan...!” teriak Rangga memanggil.
Teriakan yang begitu keras menggema terpantul, dan
menyusup terbawa angin malam ke seluruh hutan di Gunung Jaran ini. Tapi tak ada
sahutan sama sekali. Hanya gema yang menyahuti teriakan itu. Rangga
menge-darkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada yang dapat dilihat, kecuali
mayat-mayat bertubuh biru dan mayat Borga yang tergeletak hampir memenuhi
halaman rumah ini.
Dengan perasaan kesal bercampur kecemasan, Pendekar
Rajawali Sakti itu mengambil tongkat berkepala tengkorak manusia milik Borga
dan menghentakkan ke tanah. Saat itu juga tanah yang dipijak bergetar. Rangga
terkejut, lalu berjingkrak ke belakang beberapa langkah. Belum hilang
keterkejutannya, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk-makhluk
berwarna biru. Dan anehnya, makhluk biru yang sudah tewas, kembali hidup tanpa
ada bekas luka sedikit pun!
“Edan! Lagi-lagi makhluk keparat ini muncul!” dengus
Rangga gusar.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung bersiap
kalau-kalau makhluk biru itu menyerangnya. Tapi pemuda itu jadi terheran-heran,
karena mereka hanya berdiri diam memandangnya. Malah sama sekali tidak
mengadakan penyerangan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan sinar mata
penuh keheranan dan segumpal tanda tanya memadati benaknya.
“Siasat licik macam apa lagi ini...?” Rangga
bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Sebelum pertanyaan itu bisa terjawab, kembali
Pendekar Rajawali Sakti dibuat keheranan yang amat sangat. Makhluk-makhluk biru
itu tiba-tiba saja berlutut, dan kedua telapak tangannya ditekan ke tanah.
Kepala mereka semua tertunduk dalam. Rangga melangkah mundur, dan seketika
mereka yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menyingkir
memberi jalan. Hal ini membuat Rangga jadi semakin bertanya-tanya. Makhluk yang
semula buas, mendadak jadi seperti hamba sahaya berada di depan majikannya.
“Apa yang kalian lakukan padaku...?” tanya Rangga
terheran-heran.
Tak ada yang menjawab. Semuanya tertunduk diam, dan
sikapnya tetap berlutut. Rangga memandangi makhluk-makhluk berwarna biru yang
jumlahnya puluhan itu.
“Kalian punya mulut, tentunya bisa berbicara,
bukan?” tanya Rangga lagi.
Salah satu makhluk biru yang berada tepat di depan
Rangga mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersila. Dan yang lainnya segera
mengikuti. Serentak mereka menggu-mamkan suara sambil merapatkan kedua telapak
tangan di depan dada. Hal ini membuat Rangga semakin tidak mengerti.
“Katakan, kenapa kalian tiba-tiba berubah sikap
padaku?” pinta Rangga masih penasaran.
Makhluk biru yang tadi bersila lebih dulu, bangkit
berdiri. Dibungkukkan tubuhnya dengan tangan masih merapat di depan dada.
Rangga mengamati penuh keheranan. Dia tahu kalau itu merupakan sikap
penghormatan. Tapi baginya sikap itu lebih pantas ditujukan buat seorang
pemimpin, atau pada seorang raja.
“Kau bisa berbicara sepertiku?” tanya Rangga.
“Hamba, Yang Mulia,” sahut makhluk biru itu dengan
suara berat, tapi nyaring. Lebih mirip suara jeritan seekor kera.
“Hm..., kau menyebutku Yang Mulia. Kenapa?” tanya
Rangga ingin tahu.
“Yang Mulia adalah pemimpin kami. Kami siap
mengabdi dan menjalankan segala perintah yang dititahkan Paduka Yang Mulia,”
sahut makhluk biru itu penuh hormat.
“Pemimpin...?!” Rangga benar-benar tidak mengerti.
“Benar. Yang Mulia membawa tanda kepemimpinan dan
telah memanggil kami yang telah siap menjalankan titah.”
Rangga baru tersadar kalau saat ini tengah memegang
potongan tongkat milik Borga. Potongan tongkat berkepala tengkorak. Pendekar
Rajawali Sakti itu memandangi tongkat yang tergenggam di tangannya, kemudian
beralih pada makhluk biru yang berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan
makhluk-makhluk biru lainnya masih duduk bersila dengan kepala tertunduk dalam.
“Siapa namamu?” tanya Rangga.
“Nama...? Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti,”
sahut makhluk biru itu.
“Heh...! Apakah kau tidak punya nama?” Rangga
terkejut heran. “Lalu, biasanya dipanggil apa?”
“Kami semua sama, Yang Mulia. Kami hanya mengabdi
dan menjalankan titah pemimpin. Kami tidak pernah berhubungan satu sama lain.
Jadi kami tidak memiliki panggilan apa pun,” makhluk biru itu menjelaskan
dengan hormat.
“Aneh...,” gumam Rangga.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum.
Memang makhluk-makhluk aneh berwarna biru itu satu sama lain sangat mirip.
Jadi, sukar untuk membedakan. Tapi sedikit banyak Rangga sudah bisa mengerti,
mengapa sikap mereka langsung berubah padanya. Rangga tahu kini, siapa saja
yang memegang tongkat berkepala tengkorak ini, akan dianggap sebagai pemimpin
mereka yang harus ditaati segala perintahnya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan memanggilmu si Biru
saja. Bagaimana?” tanya Rangga meminta pendapat.
“Hamba, Yang Mulia,” makhluk biru itu membungkukkan
badannya.
Rangga hanya tersenyum saja. Tentu saja semua
makhluk biru itu menyetujui, karena baginya tidak ada masalah menggunakan nama
apa pun juga. Dan lagi Rangga sendiri tidak akan bisa mengenali lagi jika
mereka satu sama lain sudah bergabung. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah
menghampiri beranda depan salah satu rumah yang terdekat, kemudian mengambil
sebuah tali kulit binatang yang digunakan untuk mengikat tiang. Pendekar
Rajawali Sakti itu memberikan pada makhluk biru yang masih berdiri di
tempatnya.
“Kalungkan ini pada lehermu, dan jangan dilepas,”
perintah Rangga.
“Hamba, Yang Mulia.”
Makhluk berwarna biru itu menerima tali kulit dari
tangan Pendekar Rajawali Sakti dan mengalungkannya di leher. Disimpulkannya
ujung tali kulit binatang itu menjadi satu, kemudian dibungkukkan tubuhnya
kembali memberi hormat. Rangga tersenyum, karena kini bisa mengenali salah satu
makhluk yang sama seluruhnya itu.
“Nah, kalian boleh kembali. Kecuali kau, Biru,”
perintah Rangga lagi.
Dia memang tidak membutuhkan makhluk-makhluk biru
untuk saat ini. Makhluk-makhluk biru itu memberi hormat, kemudian kembali masuk
ke dalam tanah. Sungguh menakjubkan! Begitu tubuh mereka lenyap ke dalam tanah,
permukaan tanah kembali seperti semula. Tak ada tanda-tanda kalau
makhluk-makhluk aneh berwarna biru keluar masuk dari dalam tanah ini. Kini
tinggal satu yang masih bersama Rangga di atas permukaan tanah.
“Nah, Biru. Kau kenal orang itu?” tanya Rangga
menunjuk mayat Borga yang tergeletak tidak jauh dari situ.
“Dia bernama Borga, Gusti. Sepuluh tahun lebih
bangsa kami dikuasainya. Tapi sekarang Yang Mulia adalah pemimpin kami,” sahut
si Biru.
“Apakah sebelum Borga, ada orang lain yang pernah
menjadi pemimpin bangsamu?” tanya Rangga menyelidik disertai perasaan ingin
tahu.
“Benar, Gusti. Kami selalu berganti-ganti pemimpin
sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.”
“Hm..., kenapa kalian selalu menganggap orang yang
memegang tongkat ini sebagai pemimpin? Kenapa tidak mengangkat salah satu dari
kalian saja yang menjadi pemimpin?” tanya Rangga.
“Hanya Sang Hyang Wenang yang mengetahui, Yang
Mulia. Kami sudah ditakdirkan hidup dengan jumlah tetap sampai dunia ini
berakhir. Begitu pula pemimpin kami yang selalu datang dari bangsa manusia.
Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak tahu, karena semua ini adalah kodrat yang sudah
ditentukan Sang Hyang Wenang,” sahut si Biru.
“Ya, sudah,” Rangga tidak mendesak lagi.
***
Pagi sudah menghiasi mayapada ini. Sang surya
menampakkan cahayanya menerangi seluruh permukaan bumi yang indah. Semalaman
Rangga tidak bisa tidur, dan terus mencari Pandan Wangi. Tapi sudah setiap
jengkal tanah di sekitar tempat ini diteliti, tidak juga ditemukan tanda-tanda
yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan Pandan Wangi.
Rangga duduk mencangkung di atas akar pohon yang
menyembul dari dalam tanah. Tidak jauh di depannya bersimpuh si Biru. Makhluk
aneh bertubuh seperti manusia, namun berwarna biru dan tingkahnya lebih mirip
kera. Rangga memandangi si Biru dalam-dalam. Sebenarnya dia tidak ingin
menggunakan makhluk ini untuk kepentingannya. Tapi mengingat makhluk ini pernah
bersama orang-orang yang kini menculik Pandan Wangi, Pendekar Rajawali Sakti
itu jadi punya pertimbangan lain.
“Biru, kau tahu di mana mereka kini berada?” tanya
Rangga.
“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak mengerti maksud
Yang Mulia,” sahut si Biru seraya memberi hormat.
“Maksudku Prabu Sumabrata dan orang-orangnya,”
jelas Rangga.
“Yang Mulia, selama hamba hidup ribuan tahun di
sini, tidak ada yang bernama Prabu Sumabrata. Hamba tahu kalau sekitar Gunung
Jaran ini termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Tapi raja sendiri tidak pernah
mengijinkan rakyatnya mengusik tempat ini. Dan kami semua memang tidak ingin
diganggu. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu, kecuali..."
“Teruskan, Biru,” pinta Rangga.
“Kecuali Dewa Iblis, Yang Mulia.”
“Dewa Iblis...?!” Rangga terhenyak mendengar nama
itu.
“Benar, Yang Mulia.”
Rangga terdiam membisu. Nama itu memang pernah
didengarnya saat si Tongkat Samber Nyawa dulu pernah menyebutkan. Cukup lama
juga Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam merenung. Otaknya berputar keras,
kemudian Rangga tersentak dan bangkit berdiri. Dipandanginya si Biru
dalam-dalam.
“Kau tahu di mana si Dewa Iblis itu tinggal?” tanya
Rangga.
“Di Puncak Gunung Jaran ini, Yang Mulia. Dewa Iblis
tinggal di sebuah kuil tua,” sahut makhluk biru itu.
Rangga mengalihkan pandangannya ke Puncak Gunung
Jaran yang selalu terselimut kabut, baik siang maupun malam. Sepanjang mata
memandang, hanya kehijauan yang tertutup kabut. Gunung Jaran ini memang tidak
pernah dijamah manusia, dan Rangga sendiri baru kali ini ke sini.
“Biru, mengapa Dewa Iblis selalu mengganggu
bangsamu?” tanya Rangga ingin tahu.
“Dewa Iblis yang ini adalah keturunan terakhir,
Yang Mulia. Sejak jaman nenek moyang, antara kami dan dia selalu bermusuhan.
Mereka selalu ingin menguasai bangsa kami untuk maksud-maksud jahat. Tapi sudah
menjadi takdir, kalau kami tidak akan mempunyai pemimpin dari keturunan Dewa
Iblis.”
“Kenapa begitu?”
“Karena Sang Hyang Wenang memang sudah menggariskan
demikian, Yang Mulia. Dewa Iblis bukanlah manusia utuh, tapi keturunan darah iblis.
Sedangkan kami sudah ditakdirkan untuk mengabdi pada manusia seutuhnya yang
bukan keturunan neraka atau nirwana. Untuk itu, kami membuat tanda yang terbuat
dari tulang-tulang pemimpin pertama. Tanda itu kini dipegang Yang Mulia,” jelas
si Biru.
“Hm, jadi siapa saja yang memegang benda ini
langsung menjadi pemimpin bangsamu?” Rangga ingin memperjelas.
“Benar, Yang Mulia.”
“Tidak peduli apakah orang itu baik atau jahat?”
“Kami tidak bisa membedakan antara yang baik dan
yang jahat. Kami terlalu patuh pada pemimpin, dan itu sudah menjadi sumpah kami
di hadapan Sang Hyang Wenang.”
“Dewata Yang Agung...,” desah Rangga tidak
menyangka. “Tidak seharusnya makhluk sepertimu jatuh ke tangan orang berwatak
jahat.”
Rangga memandangi potongan tongkat yang tergenggam
di tangannya. Sungguh, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan tongkat
ini. Tidak mungkin tongkat ini dibawa terus selama hidup. Makhluk-makhluk biru
ini harus mempunyai pegangan hidup sendiri, tapi tidak mudah untuk merubahnya.
Dan ini semua ditentukan Hyang Widi, penguasa tunggal seluruh jagad raya ini.
Rangga tidak mungkin mampu merubah keyakinan mereka. Tongkat kepala tengkorak
ini sudah menjadi lambang kepemimpinan yang tidak bisa dirubah lagi.
“Ayo, Biru. Kita ke Puncak Gunung Jaran,” ajak
Rangga.
“Mau apa ke sana, Yang Mulia?” tanya si Biru sambil
berdiri.
“Siapa tahu Pandan Wangi ada di sana. Kalaupun
tidak, aku akan membebaskan bangsamu dari gangguan si Dewa Iblis,” tegas
Rangga.
“Sebaiknya jangan, Yang Mulia,” cegah si Biru.
“Kenapa?”
“Dewa Iblis sangat kejam. Dia tidak segan-segan
membunuh siapa saja yang coba-coba mengusik kehidupannya. Sudah banyak orang
yang tewas di tangannya, terutama rakyat Kerajaan Kulon dan desa-desa sekitar
kaki Gunung Jaran ini. Yang Mulia, pernah suatu ketika Raja Kerajaan Kulon
minta bantuan kami untuk membinasakannya. Tapi kami sendiri tidak sanggup,
meskipun tidak bisa mati oleh apa pun. Kecuali, bila Sang Hyang Wenang
menghendaki kami mati.”
“Hm...,” gumam Rangga tidak jelas.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu agak
terkejut juga, karena tidak menyangka kalau orang-orang di wilayah Kulon ini
sudah mengetahui tentang adanya kehidupan suatu makhluk berwarna biru di Gunung
Jaran ini. Bahkan rajanya sendiri mengetahui. Rangga jadi berpikir juga. Kalau
hal ini sampai diketahui para tokoh rimba persilatan, tentu kedamaian
makhluk-makhluk biru ini akan terancam.
Rangga tahu betul watak orang-orang rimba
persilatan yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Rangga tidak ingin memikirkan tentang hal itu sekarang ini. Pikirannya masih
tertuju pada keselamatan Pandan Wangi yang kini entah di mana. Tanpa berkata
apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya melangkah.
“Yang Mulia...,” panggil si Biru seraya mengejar.
“Ada apa, Biru?” tanya Rangga terus saja berjalan
tanpa menoleh.
“Apakah Yang Mulia tetap akan ke Puncak Gunung
Jaran?”
“Tentu,” sahut Rangga mantap.
“Hamba mohon, Yang Mulia mengijinkan hamba untuk
kembali,” mohon si Biru.
Rangga berhenti melangkah, lalu membalikkan
tubuhnya menghadap pada makhluk berwarna biru itu. Dipandanginya dalam-dalam,
kemudian ditepuk pundak makhluk itu sambil mengulas senyum.
“Baiklah. Kukabulkan permintaanmu ini. Tapi kuminta
kau menjaga tongkat ini baik-baik,” kata Rangga.
“Apakah Yang Mulia akan mengambilnya lagi nanti?”
“Iya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
“Tapi tongkat ini berguna untuk memanggil, Yang
Mulia.”
“Lalu, bagaimana cara memanggilmu selain dengan tongkat
itu?”
“Hentakkan kaki tiga kali, dan sebut namaku. Hanya
hamba yang akan muncul membawa tongkat ini dan menyerahkan kembali pada Yang
Mulia untuk memimpin kami.”
“Baiklah. Aku pergi dulu dan jaga tongkat ini
baik-baik.”
“Akan hamba jaga dengan baik, Yang Mulia.”
Rangga tersenyum dan menepuk pundak makhluk biru
itu. Setelah membungkuk hormat, makhluk bertubuh biru itu melesak cepat masuk
ke dalam tanah sambil membawa tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga
memandangi beberapa saat, kemudian bergegas berbalik dan berlari cepat menuju
Puncak Gunung Jaran.
***
ENAM
Tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk menemukan
letak puri yang merupakan tempat tinggal Dewa Iblis. Pendekar Rajawali Sakti
itu memandangi bangunan yang seluruhnya terbuat dari batu itu. Sebuah bangunan
puri tua yang kelihatannya tidak terawat baik. Sekitarnya ditumbuhi rumputan
liar. Seluruh dinding puri berlumut tebal. Bangunan ini seperti tidak pernah
dijamah manusia.
Rangga mengayunkan kakinya lebih mendekat ke puri
itu. Sikapnya begitu waspada. Matanya tidak berkedip memandang sekitarnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’,
untuk menangkap suara-suara yang mencurigakan. Tapi sampai sejauh ini, tidak
terdengar suara apa pun selain desir angin yang mengganggu gendang telinga.
Tapi ketika tinggal beberapa langkah lagi mencapai bangunan puri itu, mendadak
saja...
“Berhenti...!” terdengar bentakan keras
menggelegar.
Rangga langsung menghentikan langkahnya. Dan belum
sempat berbalik, tiba-tiba saja sebuah tombak panjang meluncur deras dari arah
belakang. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan tubuh, maka
tombak itu lewat sedikit di sampingnya. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya membelakangi puri. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depannya sudah berdiri seorang wanita muda berwajah cantik.
Wanita itu hanya mengenakan selembar kain kecil
yang menutupi auratnya. Tangannya memegang sebatang tombak panjang bermata tiga
pada ujungnya. Wanita itu menghentakkan tombaknya ke tanah tiga kali. Maka
seketika itu juga dari dalam semak dan balik pepohonan berlompatan
wanita-wanita berwajah cantik menggenggam tombak bermata tiga. Mereka semua
hanya mengenakan cawat dan penutup dada. Sebagian besar tubuhnya terbuka lebar,
memamerkan kulit putih halus yang membungkus tubuh ramping nan indah. Ada
sekitar dua puluh orang yang kini sudah mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm...,” gumam Rangga perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu bersikap waspada. Dia
tahu kalau wanita-wanita ini pasti bermaksud tidak bersahabat. Dan Rangga
pernah melihat mereka di perkampungan aneh yang hanya memiliki dua belas rumah
saja. Dan itu dilihatnya pada saat diadakan upacara perkawinan yang membuat
darahnya mendidih.
“Ternyata kau cukup punya nyali juga untuk datang
ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!” kata wanita itu, dingin nada suaranya.
“Siapa kau, Nisanak?” tanya Rangga tenang.
“Aku Lara Pandini, penguasa Puri Jaran ini,” jawab
wanita itu lantang.
Rangga bergumam tidak jelas. Wanita yang satu ini
memang agak lain dari yang lainnya. Dia mengenakan ikat kepala berwarna kuning
keemasan yang dihiasi sebuah batu merah di tengah-tengah keningnya. Sedangkan
yang lain tidak mengenakan apa-apa. Dan itu sudah menandakan kalau wanita
cantik ini adalah pemimpinnya. Tapi bukan dia yang dicari.
“Kau telah melanggar daerah kekuasaanku, Pendekar
Rajawali Sakti. Kau tahu, puri ini terlarang bagi laki-laki. Dan siapa saja
yang berani melanggar harus mati!” tegas kata-kata Lara Pandini.
“Hebat! Mudah sekali kau mengatakan mati pada
seseorang. Padahal, kau juga menyimpan laki-laki di tempat ini,” sinis nada
suara Rangga.
“Tutup mulutmu, keparat!” bentak Lara Pandini
memerah wajahnya.
“Kenapa kau kelihatan marah, Nisanak?”
“Mulutmu memang harus dibungkam, Pendekar Rajawali
Sakti! Seraaang...!”
Seketika itu juga sekitar dua puluh wanita cantik
yang bersenjatakan tombak bermata tiga, langsung berlompatan menyerang Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siaga sejak tadi, segera
bergerak cepat mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang sesekali
dipadukan dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ pada tingkatan pertama.
Dugaan Rangga memang benar. Wanita-wanita itu
bukanlah tandingannya. Tingkat kepandaian mereka masih terlalu jauh bila
dibandingkan dengannya. Sehingga mudah sekali pemuda berbaju rompi putih itu
memorak-porandakan serangan mereka.
Dalam beberapa gebrak saja, mereka sudah
berpelantingan memperdengarkan suara jeritan kesakitan. Rangga memang sengaja
tidak mengerahkan tenaga dalam penuh dalam melancarkan pukulan-pukulan agar
tidak membahayakan lawan-lawannya. Satu per-satu mereka dibuat roboh tak
sadarkan diri tanpa terluka sedikit pun.
Sebentar saja, dua puluh orang wanita cantik itu
sudah tergeletak tidak sadarkan diri. Tinggal sang pemimpin yang bernama Lara
Pandini masih berdiri kokoh dengan tombak bermata tiga tergenggam erat di
tangan kanan.
“Jangan merasa besar kepala dulu hanya karena bisa
menjatuhkan pengawal-pengawalku, Pendekar Rajawali Sakti!” dengus Lara Pandini
sengit.
“Aku ingin tahu, apakah kau sama tololnya dengan
mereka!” ejek Rangga memanasi.
“Bedebah! Pantang aku dihina, Pendekar Rajawali
Sakti!” geram Lara Pandini gusar.
Setelah berkata demikian, Lara Pandini langsung
melompat menerjang Rangga yang sudah siap sejak tadi. Wanita cantik ini
ternyata memang tidak seperti yang lain, ilmu olah kanuragannya ternyata cukup
tinggi juga. Bahkan serangan-serangannya pun cukup berbahaya. Tapi Rangga
melayaninya dengan bibir tersungging senyuman.
***
Kepandaian yang dimiliki Lara Pandini memang cukup
tinggi, tapi itu bukan berarti dapat mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Kalau
boleh dibilang, masih jauh untuk bisa mendesak sekali pun! Maka tidak terlalu
sukar bagi Rangga menjatuhkan wanita itu. Dalam waktu singkat saja satu pukulan
telak berhasil disarangkan Rangga pada tubuh wanita itu. Akibatnya Lara Pandini
terpekik jatuh tersuruk mencium tanah!
Sebelum sempat bangkit berdiri, Rangga sudah
menubruknya dan memberi satu totokan halus di dada Lara Pandini. Wanita cantik
itu langsung lemas tak bertenaga lagi. Jalan darahnya tersumbat akibat totokan
Pendekar Rajawali Sakti yang tidak dapat terelakkan lagi. Rangga membalikkan
tubuh wanita itu hingga menelentang.
“Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi liar
begini, Nisanak. Sinar matamu mencerminkan adanya pengaruh kuat di luar akal
sehatmu sesungguhnya,” kata Rangga datar.
“Huh!” Lara Pandini mendengus berang.
“Baik-baiklah di sini. Akan kucoba menghilangkan pengaruh
yang ada pada dirimu,” kata Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Rangga langsung melompat
mendekati puri tua yang tampak tidak terurus itu. Hanya sekali lesatan saja,
Rangga sudah mencapai ambang pintu yang tidak memiliki penutup. Tapi belum juga
Pendekar Rajawali Sakti itu bisa melangkah masuk, mendadak dari dalam
berkelebat sebuah bayangan biru.
“Uts!”
Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya, sehingga
terjangan bayangan biru itu lewat di depannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung
melompat ke belakang, dan jadi terkejut. Ternyata bayangan biru itu kembali
menyerang ganas. Tapi yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terkejut adalah
bukan serangannya, melainkan orangnya.
“Pandan, tahan...!” bentak Rangga keras.
Secepat kilat Rangga melompat ke belakang sejauh
dua batang tombak. Serangan wanita berbaju biru yang ternyata memang Pandan
Wangi itu terhenti. Sejenak Rangga tertegun melihat sorot mata Pandan Wangi
merah menyala, bagai sepasang bola api yang siap membakar. Raut wajahnya begitu
kaku, dan bibirnya terkatup rapat. Gadis itu bagai sosok makhluk yang tidak
mengenal siapa dirinya sendiri.
“Ha ha ha...!”
Belum lagi Rangga sempat berpikir jauh, mendadak
saja terdengar tawa terbahak-bahak. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Tampak
di atas puri sudah berdiri Prabu Sumabrata yang didampingi Ki Ratapanca dan
Pendeta Gorayana.
“He he he..., permainan yang paling mengesankan,
Gusti Prabu,” ujar Ki Ratapanca diiringi tawanya yang terkekeh. “Sepasang
kekasih saling berhadapan. Sungguh mengesankan. He he he...!”
“Bedebah...!” desis Rangga menggeram marah.
“Ayo, Pandan. Kau tidak ingin ada duri dalam
dirimu, bukan...? Bunuh bocah setan itu!” perintah Ki Ratapanca keras dan
sangat lantang.
Pandan Wangi menoleh, lalu membungkukkan badannya
sedikit pada tiga laki-laki yang berdiri di atas puri itu. Rangga jadi
menggeram marah. Gigi-giginya bergemeletuk dan otot-ototnya menegang menahan
kemarahan yang memuncak. Kini disadari kalau Pandan Wangi dan gadis-gadis
cantik yang tergeletak di tanah itu benar-benar terpengaruh jiwanya, sehingga
tidak bisa lagi mengenali diri dan lingkungannya lagi. Mereka hanya patuh
menjalankan perintah, tidak peduli apakah perintah itu dapat mencelakakan diri
sendiri.
“Hiyaaat...!”
Sambil berteriak keras melengking, Pandan Wangi
melompat menyerang Rangga. Cepat sekali serangan si Kipas Maut itu, sehingga
Rangga sedikit terperangah. Namun cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu
melompat ke samping sambil memberi satu pukulan tanpa disertai pengerahan
tenaga dalam. Namun Pandan Wangi dapat berkelit manis sekali, dan bahkan juga
melepaskan satu pukulan keras menggeledek.
“Ufs...!”
Rangga benar-benar terkejut. Meskipun pukulan itu
dapat dielakkan, tapi tubuhnya sempat juga terdorong ke belakang oleh hempasan
angin pukulan yang bertenaga dalam tinggi itu. Rangga sadar kalau Pandan Wangi
bertarung di luar kesadarannya sendiri. Serangan-serangan yang dilakukan
demikian dahsyat dan sangat berbahaya.
Rangga jadi kebingungan sendiri, karena tidak ingin
melukai gadis ini. Tapi kalau bertarung seperti ini terus, bisa-bisa dia
sendiri yang akan tewas. Cukup sulit keadaan yang dihadapi Rangga sekarang ini.
Dua nyawa harus diselamatkan dalam waktu bersamaan. Nyawanya sendiri dan nyawa
Pandan Wangi yang tengah dipengaruhi alam pikirannya.
Keragu-raguan memang akan membuat diri menjadi
terpedaya. Demikian juga yang dialami Rangga. Sulit untuk menentukan, harus
berbuat apa terhadap Pandan Wangi yang sedang kehilangan kesadarannya. Keraguan
Pendekar Rajawali Sakti itu menjadi sasaran empuk Pandan Wangi. Beberapa kali
pukulan dan tendangan gadis itu bersarang di tubuh Rangga.
“Pandan, cukup...!” sentak Rangga hampir kehilangan
kesabaran.
Darah sudah menetes di sudut bibir Pendekar
Rajawali Sakti itu. Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang bersarang di
dada membuatnya berkunang-kunang, dan napasnya terasa sesak. Pendekar Rajawali
Sakti bergulingan beberapa kali di tanah, dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk
melompat tinggi ke udara.
“Hiyaaa...!”
Dengan mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah
Mega’, Rangga meluruk deras ke atas puri tempat di mana Prabu Sumabrata, Ki
Ratapanca, dan Pendeta Gorayana berada di sana sambil memperhatikan sejak tadi.
Mereka jadi terkejut, karena tiba-tiba saja Rangga meluruk ke arah mereka.
“Awas...!” seru Prabu Sumabrata memperingatkan.
Ketiga orang itu buru-buru berlompatan menghindari
terjangan Rangga yang begitu cepat bagai kilat. Prabu Sumabrata dan Ki
Ratapanca berhasil menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti, tapi Pendeta
Gorayana terlambat bertindak. Akibatnya kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti
tidak bisa dihindari lagi, tepat menghantam dadanya.
Des!
“Akh...” Pendeta Gorayana memekik keras tertahan.
Darah langsung muncrat dari mulutnya. Laki-laki tua
berjubah kuning dan berkepala gundul itu kontan terjengkang ke belakang.
Punggungnya menghantam batu puri hingga hancur berantakan. Pendeta Gorayana
menggeliat berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga mampu berdiri tegak,
Rangga sudah kembali melompat sambil menyarangkan satu pukulan keras bertenaga
dalam sempurna.
“Hiyaaa...!”
Prak!
“Aaa...!” jeritan panjang melengking terdengar.
Sungguh luar biasa pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Kepala gundul itu bagai buah kelapa yang hancur tertimpa batu. Darah bersimbah
membasahi batu-batu puri. Hanya sebentar Pendeta Gorayana berkelojotan, sesaat
kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Laki-laki gundul itu tewas seketika
dengan kepala hancur!
Rangga berdiri tegak di samping tubuh yang
tergeletak tak bernyawa lagi itu. Diputar tubuhnya pelahan-lahan menghadapi
Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca yang sangat terkejut melihat kematian Pendeta
Gorayana yang begitu tragis.
***
Pelahan-lahan Rangga melangkah maju mendekati dua
orang laki-laki itu. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Tangannya terkepal
erat, pertanda sudah begitu marah. Belum pernah Rangga marah seperti ini.
Dirinya merasa benar-benar dipermainkan, ditambah lagi perasaan cemburu melihat
Pandan Wangi jadi sedemikian rupa.
“Kalian harus mampus, iblis-iblis keparat..!” desis
Rangga menggeram marah. “Hiyaaa...!”
Sambil berteriak nyaring, Pen-dekar Rajawali Sakti
melompat mener-jang sambil mencabut pedangnya. Seketika cahaya biru menyemburat
terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Prabu Sumabrata dan Ki Ratapanca
terperangah sesaat, tapi cepat-cepat berlompatan menghindari sabetan pedang
yang memancarkan sinar biru yang menyilaukan mata itu.
Glarrr!
Ledakan keras terdengar ketika Pedang Rajawali
Sakti menghantam batu puri. Rupanya Rangga mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
sewaktu membabatkan pedang itu. Akibatnya batu bangunan puri yang begitu keras,
hancur berkeping-keping terkena tebasan pedang pusaka yang dahsyat itu.
Seluruh bangunan puri bergetar hebat bagai
diguncang gempa sangat dahsyat. Rangga terus mengamuk membabatkan pedangnya
yang luar biasa. Sinar biru bergumpal-gumpal di mata pedang yang berkelebatan
cepat mencecar dua orang laki-laki itu. Mereka hanya bisa berlompatan
menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu dahsyat dan
berbahaya sekali. Hampir seluruh bangunan puri berantakan, terkena sabetan
pedang Pendekar Rajawali Sakti.
“Mampus kalian, iblis keparat! Hiyaaa...!” teriak
Rangga keras menggelegar.
Ledakan-ledakan terus menggelegar membahana.
Batu-batu bangunan puri berhamburan terbabat pedang bersinar biru berkilau itu.
Rangga terus mencecar dua orang laki-laki yang telah membuat kemarahannya memuncak
tak terkendali lagi. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan jurus
‘Pedang Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang jarang sekali digunakan. Dan
akibatnya sungguh luar biasa! Bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu
itu jadi hancur berkeping-keping!
Rangga seperti tidak mempedulikan lagi dua orang
musuhnya. Dia terus mengamuk membabi buta membabatkan pedangnya pada apa saja
yang berada di dekatnya. Hal ini membuat Prabu Sumabrata mengambil kesempatan
untuk melarikan diri. Dengan cepat dia melompat kabur pada saat Rangga
menyerang Ki Ratapanca.
“Hup...!”
Ki Ratapanca melompat menghindari tebasan pedang
Pendekar Rajawali Sakti. Sigap sekali serangan itu dihindari. Pedang yang
bersinar biru itu menghantam batu dinding puri hingga hancur berantakan. Ki
Ratapanca sempat melihat Prabu Sumabrata melarikan diri. Dia juga bermaksud
kabur, tapi Rangga tidak memberi kesempatan. Pendekar Rajawali Sakti itu terus
mencecar menggunakan jurus ‘Pedang Pemecah Sukma’ yang sangat dahsyat.
“Gila! Dahsyat sekali pedang-nya...!” dengus Ki
Ratapanca mulai gentar hatinya.
“Mau lari ke mana kau, setan!” geram Rangga sengit.
Ki Ratapanca menggeser kakinya ke samping dengan
tongkat menyilang di depan dada. Sedangkan Rangga mengikuti gerakan laki-laki
tua itu dengan tatapan tajam menusuk. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu
memerah membara bagai sepasang bola api yang siap membakar apa saja. Ki
Ratapanca agak bergidik juga saat pandangannya tertumbuk pada tatapan mata
Rangga yang begitu tajam.
“Mampus kau! Hiyaaa...!” seru Rangga keras dan
tiba-tiba sekali.
Sebelum suara teriakannya menghilang, tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat bagaikan kilat menerjang Ki
Ratapanca.
Wuk!
Bagaikan kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke arah
leher laki-laki tua itu. Sesaat Ki Ratapanca terperangah, tapi cepat-cepat
mengangkat tongkat-nya. Segera dikibaskan tongkat itu untuk menangkis sabetan
pedang bersinar biru itu.
Trang!
Trak!
“Heh...!”
Ki Ratapanca terkejut bukan main, hingga melompat
mundur sejauh dua batang tombak. Kedua matanya terbeliak melihat tongkatnya
buntung jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya lenyap, mendadak saja
Rangga sudah menyerang kembali dengan pedang terhunus mengarah ke dada.
“Hiyaaa...!”
“Uts!”
Bergegas Ki Ratapanca membanting tubuhnya ke tanah.
Pada saat itu, Rangga cepat menarik pedangnya kembali. Dan secepat itu pula
diayunkan kakinya disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf
kesempurnaan.
Des!
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat
dibendung lagi. Ki Ratapanca menjerit keras merasakan iganya terhantam
tendangan keras bertenaga dalam sempurna itu. Tubuh yang belum juga menyentuh
tanah itu kembali terpental dan menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang!
“Yeaaah...!”
Rangga benar-benar seperti kesetanan. Sedikit pun
lawannya tidak diberi kesempatan lagi. Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti
melompat deras, kemudian mengibaskan pedangnya memenggal leher Ki Ratapanca
hingga terpenggal putus dari badan.
Tak ada suara jeritan yang keluar, karena Ki
Ratapanca sudah tewas sebelum pedang Pendekar Rajawali Sakti memenggal
lehernya. Tendangan yang dilepaskan Rangga membuat seluruh tulang iganya remuk.
Rangga berdiri tegak di samping mayat tanpa kepala lagi itu. Sedangkan Pedang
Rajawali Sakti masih tergenggam erat di tangannya. Pelahan-lahan kakinya
melangkah mundur, lalu dimasukkan pedang pusakanya ke dalam warangka. Cahaya
biru langsung lenyap seketika.
Rangga membalikkan tubuhnya, mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Gerahamnya bergemeletuk begitu menyadari kalau
Prabu Sumabrata yang diyakininya sebagai si Dewa Iblis sudah lenyap dari tempat
ini. Pandangan Rangga langsung tertuju pada sosok tubuh berbaju biru yang
tergolek di tanah, bersama wanita-wanita bercawat dari kulit kayu.
“Pandan...,” desis Rangga bergegas memburu
menghampiri.
***
TUJUH
Rangga mengangkat tubuh Pandan Wangi yang masih
tergeletak dan matanya terpejam rapat. Dengan lembut ditepuk-tepuknya pipi
gadis itu. Sebentar kemudian Pandan mulai mengeluh, dan kepalanya bergerak
menggeleng pelahan. Dan kini kelopak matanya mulai terbuka sedikit demi
sedikit.
“Pandan...,” panggil Rangga.
“Ohhh...,” lemah sekali suara Pandan Wangi.
Sebentar gadis itu memejamkan matanya kembali.
Dipegangi kepalanya, kemudian dibuka matanya. Begitu melihat Rangga memeluk
tubuhnya, gadis itu langsung menggerinjang bangun sambil mendorong Pendekar
Rajawali Sakti. Hampir saja Rangga tersuruk jatuh kalau saja tidak cepat-cepat
menahan dengan tangannya. Bergegas pemuda itu berdiri dan menghampiri Pandan
Wangi yang tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling seperti orang
kebingungan.
“Pandan...,” panggil Rangga lembut.
“Oh! Apa yang terjadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi
terkejut. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Justru itu yang hendak kutanyakan padamu,” sahut
Rangga.
“Siapa mereka, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku tidak tahu.”
Pandan Wangi memandangi Rangga, seperti tidak
percaya atas jawaban Pendekar Rajawali Sakti barusan. Pandangan gadis itu
kembali tertuju pada gadis-gadis muda yang mulai siuman. Mereka mulai bangun,
dan tampak kebingungan. Hampir bersamaan mereka terpekik begitu menyadari hanya
mengenakan cawat, dan tubuh hampir seluruhnya terbuka. Mereka jadi kelabakan,
terlebih lagi di situ juga ada seorang pemuda yang jadi risih sendiri.
“Siapa kalian? Kenapa berada di sini?” tanya
seorang gadis yang dikenal Rangga bernama Lara Pandini.
“Kau yang menjawab, Pandan,” kata Rangga setengah
berbisik.
“Aku...? Aku sendiri tidak tahu,” Pandan Wangi juga
kebingungan.
“Hhh.... Kenapa jadi begini...?” keluh Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu belum bisa menjelaskan,
karena tiba-tiba saja gadis-gadis cantik bercawat itu jadi ribut melihat puri
hancur berantakan tak berbentuk lagi. Gadis-gadis itu memandangi bangunan puri
yang hancur, kemudian berpaling pada Rangga, seakan-akan meminta penjelasan.
Lara Pandini mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku minta, tolong jelaskan semua ini, Kisanak,”
ujar Lara Pandini, agak tertekan suaranya.
Rangga mengangkat bahunya. Tanpa diminta dua kali,
dijelaskanlah semua yang terjadi di puri ini. Tak ada yang membuka mulut, semua
mendengarkan penuh perhatian. Rangga menjelaskan sampai pada hal-hal yang
terkecil.
Keheningan menyelimuti sekitar tempat itu. Masih
belum ada yang membuka suara, meskipun Pendekar Rajawali Sakti telah selesai
menceritakan semua kejadiannya. Tampak wajah gadis-gadis cantik itu seperti
mendung. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka melangkah menghampiri puri yang
berantakan. Hanya Lara Pandini masih berada di tempatnya, di depan Pendekar
Rajawali Sakti yang berdiri di samping Pandan Wangi.
“Di mana sekarang Dewa Iblis itu?” tanya Lara
Pandini, agak tertahan nada suaranya.
“Entahlah. Dia berhasil kabur dan mengorbankan
orang-orangnya,” sahut Rangga.
Lara Pandini menoleh dan menyaksikan dua sosok
mayat yang tergeletak mengerikan. Darah masih mengucur dari tubuh mayat itu.
Sedangkan gadis-gadis lainnya mulai memberesi puri yang berantakan. Mereka
menyusun kembali batu-batu yang masih bisa ditata. Satu pekerjaan berat. Dan
Rangga sendiri tidak tahu, siapa gadis-gadis yang kelihatannya begitu berduka
melihat kehancuran puri itu.
“Kisanak, sebetulnya puri ini terlarang bagi
laki-laki. Kami semua sangat mensucikan puri ini. Kami adalah orang-orang yang
terbuang dan ternoda akibat perbuatan laki-laki. Itu sebabnya mengapa aku
selalu keras terhadap setiap laki-laki yang mencoba memasuki daerah ini,” jelas
Lara Pandini setelah lama terdiam.
“Aku mengerti, dan secepatnya akan pergi dari sini.
Maaf, kalau aku telah membuat tempat sucimu jadi kotor dan berantakan begini,”
ujar Rangga sopan.
“Tidak, Kisanak. Justru aku yang minta maaf karena
telah mencurigaimu. Terus terang, semula aku telah berprasangka buruk padamu.
Dan ternyata kaulah yang membebaskan kami dari jerat manusia iblis yang
menguasai kami dengan ilmunya. Mereka membuat kami tidak sadar dan patuh pada
perintah dan keinginannya selama bertahun-tahun,” ada nada penyesalan pada
suara Lara Pandini. Tapi sinar matanya memancarkan dendam membara.
Rangga hanya tersenyum saja. Diliriknya Pandan
Wangi yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum juga dan menganggukkan
kepalanya sedikit, hampir tidak terlihat gerakan kepala itu.
“Maaf. Aku tidak bisa lama-lama berada di sini,
karena harus mengejar si Dewa Iblis,” ucap Rangga berpamitan.
“Kisanak, maukah kau membawakan kepalanya untukku?”
pinta Lara Pandini.
“Kepalanya...?! Untuk apa?” Rangga terkejut.
“Untuk peringatan bagiku dan saudara-saudaraku yang
lain, agar tidak terpedaya rayuan manis laki-laki,” sahut Lara Pandini.
Rangga tidak bisa memastikan. Diliriknya Pandan
Wangi sekali lagi. Yang dilirik hanya mengangkat bahunya saja, tidak bisa
memberikan keputusan apa pun.
“Aku mohon padamu, Kisanak,” ucap Lara Pandini
lagi.
“Hhh..., baiklah,” sahut Rangga mendesah setelah
berpikir beberapa saat lamanya.
“Terima kasih,” ucap Lara Pandini berseri-seri.
Rangga kemudian mohon diri, dan segera mengajak
Pandan Wangi meninggalkan tempat ini sebelum Lara Pandini meminta yang
macam-macam lagi. Mereka segera berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan halaman puri
di Puncak Gunung Jaran ini. Lara Pandini masih berdiri memandangi, sampai kedua
pendekar muda itu lenyap dari pandangannya.
***
Rangga dan Pandan Wangi baru berhenti berjalan
setelah tiba di perkampungan aneh yang tidak ada penduduknya. Mereka merayapi
sekitar-nya yang sunyi senyap. Bahkan suara binatang pun tidak terdengar. Hanya
desir angin saja yang terdengar, mengalun bermain di gendang telinga. Beberapa
saat mereka berdiri diam terpaku merayapi kesunyian itu. Pelahan Rangga
berpaling menatap Pandan Wangi. Saat itu Pandan Wangi juga berpaling memandang
Rangga.
“Kau pernah ke sini, Kakang...?” tanya Pandan Wangi
seperti ragu-ragu. Suaranya pun terdengar pelan sekali.
Rangga memandangi Pandan Wangi dalam-dalam. Agak
terkejut juga mendengar pertanyaan gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi sendiri
merayapi perkampungan yang sunyi tanpa seorang penduduk pun yang menghuni.
Perhatiannya lurus tertuju pada rumah yang paling besar, yang bagian depannya
hancur berantakan.
“Semalam kau hampir jadi pengantin di sini,” jelas
Rangga.
“Ya, aku tahu,” sahut Pandan Wangi mendesah
pelahan. “Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kau tahu...?!” Rangga benar-benar tidak bisa
menyembunyikan keterkejutannya kali ini.
“Kau terkejut, Kakang?” Pandan Wangi tersenyum
penuh arti. Tapi entah apa arti senyuman si Kipas Maut itu.
Rangga hanya diam saja, dan semakin tidak mengerti
akan sikap Pandan Wangi kali ini. Sungguh aneh dan penuh misteri. Rangga tidak
mengerti, apa sebenarnya yang tengah terjadi pada diri gadis ini. Sejak berada
di Gunung Jaran ini, sikap Pandan Wangi sungguh lain. Sepertinya selalu
diliputi perasaan takut, dan jadi lebih pendiam tidak seperti biasanya.
“Sebenarnya ini persoalan lama, Kakang. Aku sendiri
tidak tahu, kenapa dia masih juga mengharapkanku menjadi istrinya,” kata Pandan
Wangi, pelan bernada mengeluh.
“Ceritakan, apa yang terjadi, Pandan,” pinta
Rangga.
“Kau tidak marah, Kakang?”
“Aku akan marah jika memang kaulah yang membuat
persoalan ini sebelumnya,” kata Rangga diiringi senyuman kecil.
“Kalau begitu, marahlah! Karena memang akulah yang
membuat persoalan jadi berlarut-larut ini,” kata Pandan Wangi.
Rangga menelan ludahnya. Tidak disangka kalau
Pandan Wangi akan berkata seperti itu. Walaupun sudah lama mengenal dan selalu
bersama-sama gadis ini, tapi belum seluruhnya Rangga mengetahui perihal Pandan
Wangi sesungguhnya. Bagi pemuda itu, diri Pandan Wangi masih terlalu banyak
diselimuti kabut misteri yang tidak mudah diungkapkan sekaligus. Asal-usul
Pandan Wangi pun masih belum begitu jelas, meskipun sebagian sudah
diketahuinya. Tapi Rangga tidak pernah ambil peduli.
Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
bisa berdiam diri saja. Rangga sudah merasakan kalau peristiwa ini bukan
main-main dan tidak bisa didiamkan. Beberapa kali nyawanya harus dipertahankan,
dan selama itu pula muncul ketidakmengertiannya. Kini tanpa diduga sama sekali,
Pandan Wangi mengaku kalau semua kejadian ini ada hubungannya dengan dirinya.
Bahkan dirinya sendiri yang membuatnya seperti ini. Sungguh sulit dipercaya.
Tapi Rangga harus mempercayainya.
“Sudah lama aku menyimpan dan ingin melupakannya,
tapi ternyata tidak semudah yang kukira. Hidupku selalu dibayang-bayangi, dan
semuanya jadi petaka begitu melihat Gunung Jaran ini, Kakang...,” jelas Pandan
Wangi pelan.
“Ceritakan apa sesungguhnya yang terjadi, Pandan,”
pinta Rangga lembut.
“Aku senang, ternyata kau tidak marah,” seloroh
Pandan Wangi.
Rangga tersenyum tipis. Pendekar Rajawali Sakti itu
kembali melihat Pandan Wangi yang dulu lagi. Pandan Wangi yang dikenalnya
selama ini. Meskipun dalam keadaan genting, selalu saja masih bisa berseloroh.
Dan inilah yang hilang selama beberapa waktu di Gunung Jaran.
Sambil berjalan memasuki perkampungan sunyi itu,
Pandan Wangi terus menceritakan semua yang pernah terjadi pada dirinya, hingga
berbuntut panjang sampai kini. Persoalan yang tak akan pernah berakhir sebelum
Dewa Iblis berhasil dilenyapkan untuk selama-lamanya. Sementara Rangga
mendengarkan penuh perhatian.
“Jadi masalahnya karena kau pernah menantang Dewa
Iblis...?” gumam Rangga bertanya seperti untuk dirinya sendiri.
“Ya, dan aku kalah. Sungguh aku menyesal telah
membuat perjanjian dengan manusia iblis itu. Jika kalah, aku bersedia menjadi
istrinya. Tapi aku tidak sudi apabila harus menjadi istri manusia iblis seperti
dia. Lebih baik mati, daripada harus ikut-ikutan berlumur dosa.”
“Hm..., Pandan. Apakah Dewa Iblis memiliki suatu
ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa orang lain?” tanya Rangga, teringat akan
gadis-gadis di Puri Gunung Jaran. Bahkan Pandan Wangi sendiri juga pernah
mengalaminya.
“Bukan dia, tapi Pendeta Gorayana. Ilmunya langsung
lenyap begitu kau membinasakannya, Kakang. Dia pengikut setia Dewa Iblis.
Demikian juga Ki Ratapanca, dan si Tongkat Samber Nyawa,” jelas Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini baru
jelas kalau dirinya pernah terjebak oleh Ki Ratapanca di perkampungan ini.
Ternyata laki-laki tua itu hanya ingin menguji kemampuannya. Mengusirnya secara
halus begitu mengetahui kemampuan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sungguh cerdik,
tapi sangat licik. Sampai-sampai Rangga terpedaya tipu muslihatnya. Hampir saja
Pendekar Rajawali Sakti itu meninggalkan Gunung Jaran ini, kalau saja malam itu
tidak mendengar suara genderang ditabuh.
“Pandan, kau tahu di mana Dewa Iblis kini berada?”
tanya Rangga setelah mereka cukup lama berdiam diri.
“Aku tidak tahu. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dia
selalu mengembara dan mencari korban, terutama gadis-gadis muda. Para gadis itu
akan dinikmati, lalu dibunuhnya tanpa ada rasa berdosa sedikit pun,” kembali
Pandan Wangi menjelaskan.
“Rupanya kau tahu banyak tentang dia, Pandan.”
“Karena aku pernah kehilangan seorang sahabat karib.
Itu sebabnya aku menantangnya bertarung untuk membalas kematian sahabatku,
Kakang.”
“Dan kau tidak mengukur kemampuan dirimu
sendiri...?”
Pandan Wangi tidak menyahut. Mengangguk pun tidak.
“Kau terlalu berani, Pandan,” ucap Rangga seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kakang....”
“Hm?”
“Dewa Iblis biasanya membawa korbannya ke sini.
Tempat ini dijadikan sebagai istananya. Tapi kedatangannya ke sini hanya kalau
sudah mendapatkan korban seorang gadis muda,” jelas Pandan Wangi lagi.
“Hm..., kalau begitu kita tunggu saja di sini,”
gumam Rangga.
“Mustahil kalau akan ke sini lagi, Kakang. Dia
selalu mencari istana baru jika istana yang satu sudah diketahui orang lain
yang dianggap sebagai musuhnya. Dan kau adalah musuh terbesarnya saat ini,
Kakang.”
Rangga terdiam. Otaknya berputar keras mencoba
mencari cara untuk mengejar Dewa Iblis yang kini entah berada di mana.
Keterangan Pandan Wangi barusan membuat Pendekar Rajawali Sakti itu merasa menemukan
jalan buntu. Tapi mendadak saja pemuda itu tersenyum, kemudian berjalan cepat
mendahului Pandan Wangi.
“Kau tunggu di situ saja, Pandan!” seru Rangga
begitu melihat Pandan Wangi hendak mengejar.
Pandan Wangi hendak bertanya, tapi Rangga keburu lenyap
di balik lebatnya hutan ini. Terpaksa gadis itu menunggu, duduk di bawah
sebatang pohon yang cukup besar dan lebat untuk melindungi dirinya dari
sengatan sinar matahari.
***
Apa yang dilakukan Rangga sama sekali tidak
diketahui Pandan Wangi. Meskipun gadis itu sudah mengerahkan ilmu ‘Pembeda
Gerak dan Suara’, tetap saja tidak mendengar apa-apa selain desiran angin dan
gemerisik dedaunan. Pandan Wangi mengernyitkan alisnya saat melihat Rangga
muncul lagi disertai senyuman di bibir. Gadis itu menunggu, tapi benaknya
dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Sampai Rangga menggamit tangannya dan
mengajaknya pergi, Pendekar Rajawali Sakti itu belum juga mengatakan apa yang
telah diperbuatnya di balik pepohonan.
“Sebenarnya aku tidak ingin membalas dendam. Tapi karena
aku tidak rela kau jatuh ke tangan manusia iblis itu, maka dia harus kubunuh
sekarang juga,” kata Rangga tanpa menghentikan ayunan langkahnya.
“Kau tahu di mana dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi
ingin tahu.
“Ya. Sekarang ini mungkin dia sedang menunggu kita.
Tapi yang pasti, menungguku,” sahut Rangga kalem.
Pandan Wangi mengernyitkan dahinya. Sulit
dimengerti, kenapa tiba-tiba saja Rangga bisa mengetahui di mana Dewa Iblis itu
berada. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti juga tahu kalau manusia iblis yang
memakai nama Prabu Sumabrata itu sedang menunggunya. Pandan Wangi mencoba
menerka-nerka, tapi tidak bisa menemukan jawabannya. Dia tidak melihat
kedatangan Rajawali Putih. Juga tidak ada yang bisa diketahui selama Rangga
pergi beberapa saat lalu.
“Kakang, dari mana kau tahu dia sedang menunggu
kita?” tanya Pandan Wangi tidak bisa lagi mengekang keingin-tahuannya.
Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
Sedikit pun tidak berpaling dan terus berjalan ringan bagai tidak menyentuh
tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghemat
tenaga. Terpaksa Pandan Wangi mengimbanginya juga. Meskipun kelihatannya mereka
berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari sekuat tenaga.
“Aku tahu, kau ingin membalasku. Baik.... Aku tidak
akan bertanya lagi,” keluh Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya.
“Ini bukan pembalasan, Pandan. Tapi belum waktunya
untuk mengatakannya padamu. Nanti pembalasannya,” kata Rangga seraya
mengerling.
“Aku tunggu,” tantang Pandan Wangi tidak mengerti
maksud Pendekar Rajawali Sakti itu.
Pandan Wangi memang tidak bertanya-tanya lagi.
Diikuti saja ke mana Rangga pergi membawanya. Sama sekali gadis itu tidak
mengetahui arah yang dituju. Hutan Gunung Jaran begitu luas, dan belum terjamah
tangan-tangan manusia. Meskipun Pandan Wangi pernah ke Gunung Jaran ini, tapi
belum pernah menjelajah sampai sejauh ini. Jalan yang dilalui memang sukar,
tapi itu bukanlah halangan yang berarti bagi kedua pendekar muda ini.
Pandan Wangi memang tidak pernah tahu kalau Rangga
kini mempunyai sahabat makhluk-makhluk aneh berwarna biru yang hidup dalam
tanah. Dari sahabatnya itulah dapat diketahui, di mana Dewa Iblis kini berada.
Selama masih berada di lingkungan Gunung Jaran, makhluk-makhluk berwarna biru
itu bisa mengetahui siapa saja dengan cepat. Bahkan mereka bisa berada di mana
saja. Karena selama masih ada debu di atas muka bumi ini, di situ mereka bisa
muncul kapan saja bila diperlukan. Mereka memang berasal dari debu-debu halus
yang dianggap kotor oleh semua orang.
Dan Rangga tidak mempunyai kesulitan meminta
keterangan dari makhluk-makhluk biru itu. Ini karena Pendekar Rajawali Sakti
dianggap sebagai pemimpin mereka. Dan Rangga sendiri memang cerdik. Diserahkan
tongkat kepemimpinan pada salah seorang makhluk yang sudah diberi tanda. Dengan
demikian, tak ada lagi yang dapat menguasai mereka. Sebab tongkat berkepala
tengkorak yang menjadi lambang pemimpin bagi makhluk-makhluk biru itu kini ada
pada makhluk yang diberi tanda. Rangga sudah berjanji dalam hati, akan
merahasiakan hal ini tanpa terkecuali.
Kedua pendekar muda itu baru berhenti berjalan
setelah tiba di suatu bibir lembah yang tidak begitu besar, namun kelihatan
sangat indah. Di tengah-tengah lembah itu terdapat danau yang airnya berwarna
keperakan tertimpa cahaya matahari. Rangga berdiri tegak memandang ke seluruh
lembah itu. Sementara Pandan Wangi berdiri di sampingnya tanpa berbicara
sedikit pun.
“Kau lihat sesuatu, Pandan?” tanya Rangga tanpa
berpaling.
“Tidak,” sahut Pandan Wangi.
Si Kipas Maut itu memang tidak melihat sesuatu
selain pepohonan, rumput ilalang, dan batu-batu serta danau di dalam lembah
itu. Hanya burung-burung dan binatang lain yang ada di sana. Tak ada
tanda-tanda kehidupan lain lagi. Apalagi manusia.
“Di sanalah Dewa Iblis berada sekarang, Pandan,”
kata Rangga memberitahu.
“Kau yakin, Kakang?” tanya Pandan Wangi memastikan.
“Tentu!” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling memandang si
Kipas Maut yang masih saja mengedarkan pandangannya ke seluruh lembah. Tampak
jelas kalau raut wajah Pandan Wangi begitu tegang, seperti akan menghadapi
sesuatu yang sangat genting dengan mempertaruhkan nyawanya. Rangga bisa
memahami. Karena jika tidak dihalangi atau didahului, gadis ini pasti akan
berhadapan kembali dengan lawan tangguh yang memiliki kepandaian di atasnya.
“Apa yang kau pikirkan, Pandan?” tanya Rangga.
“Tidak ada,” sahut Pandan Wangi agak mendesah.
Rangga tidak bertanya lagi, dan memang tidak ingin
mendesak gadis itu untuk mengungkapkan isi hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu
kembali memperhatikan lembah yang terbentang di depan.
“Kakang....,” terdengar pelan dan agak ragu-ragu
nada suara Pandan Wangi.
“Ya...?” Rangga memalingkan mukanya menatap gadis
di sampingnya.
“Kau harus hati-hati, Kakang. Dia licik sekali. Kau
sudah mengalami saat kehilangan aku ketika kau tidur,” kata Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Diakui dirinya pernah
kecolongan saat Pandan Wangi menghilang. Dia tidak tahu kalau di saat tidur,
Dewa Iblis membawa si Kipas Maut yang sedang terluka cukup parah. Dewa Iblis
juga mengelabui Rangga saat menyangka Pandan Wangi pergi secara diam-diam
menggunakan kudanya. Padahal kuda putih itu memang sengaja dilepas dan dibawa
ke arah berlawanan. Dan tentunya, agar Rangga masuk dalam perangkap. Tapi
meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyadari, ternyata perangkap itu
gagal. Bahkan Ki Ratapanca harus mengakui ketangguhan pendekar muda itu,
sehingga mencari jalan halus agar Rangga meninggalkan Gunung Jaran ini.
“Ayo kita turun, Pandan,” ajak Rangga.
“Hhh,” Pandan Wangi mengangguk.
***
DELAPAN
Tidak terlalu sukar bagi Rangga dan Pandan Wangi
untuk menuruni lembah itu. Sebentar saja keduanya sudah sampai di tepi danau
kecil di tengah-tengah lembah. Memang tidak ada seorang pun di sini. Rangga
jadi ragu-ragu juga, apakah memang benar si Dewa Iblis menunggu di sini?
“Aku tidak yakin dia ada di sini, Kakang,” kata
Pandan Wangi.
“Tunggu saja sebentar, Pandan. Tidak lama lagi
pasti datang,” kata Rangga menyabarkan. Padahal hatinya sendiri juga ragu-ragu.
“Hhh...!” Pandan Wangi menarik napas panjang.
Mereka merayapi sekitar lembah ini. Tidak ada
tanda-tanda kalau Dewa Iblis akan datang ke tempat ini. Semakin lama ditunggu,
perasaan Pendekar Rajawali Sakti semakin ragu-ragu. Tapi sebelum keputusan
diambil, mendadak saja...
“Ha ha ha...!”
Terdengar tawa menggelegar bagai hendak meruntuhkan
dinding-dinding lembah yang sebagian besar terdiri dari batu-batu cadas. Pandan
Wangi langsung melompat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Diraba kipas baja
putih di pinggangnya. Sedangkan Rangga mencoba mencari arah sumber tawa yang
menggelegar itu.
Belum sempat Rangga mendapatkan arah sumber suara
tawa itu, mendadak saja seberkas sinar merah membentuk bulatan sebesar kepala
orang dewasa meluncur dari arah utara di atas lembah. Sinar bulat merah bagai
bola api itu meluruk deras ke arah Rangga dan Pandan Wangi.
“Awas, Pandan...!” seru Rangga keras memperingati.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Hap!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi
segera melompat ke samping. Sedangkan Rangga merentangkan kakinya ke samping.
Dan seketika itu juga kedua tangannya menghantam ke depan dengan jari-jari
tangan terbuka lebar. Pada saat bola merah itu hampir menghantamnya, mendadak
saja dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu menghentak hembusan angin
keras.
Wusss!
Bola api itu jadi berbalik arah dan menghantam
dinding batu hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya seluruh
lembah ini jadi bergetar bagai diguncang gempa amat dahsyat. Dinding batu
lembah itu hancur berkeping-keping, menimbulkan kepulan debu bagai jamur
raksasa.
Belum lagi Rangga berhasil menarik pulang
tangannya, kembali datang satu bola api yang kini meluncur lebih deras bagai
kilat. Suara menderu terdengar memekakkan gendang telinga. Buru-buru kedua
tangan Pendekar Rajawali Sakti diangkat, dan diturunkan hingga sejajar dada.
Kemudian secepat kilat dihentakkannya sambil berteriak nyaring.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Glarrr!
Kembali ledakan keras terdengar begitu bola api itu
berbalik arah. Dan kini kembali ke atas, lalu menghantam bibir lembah yang
lebat ditumbuhi pohon cemara. Tepat saat bibir lembah itu hancur, melesat satu
bayangan putih ke udara. Rangga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, karena
tidak ingin Dewa Iblis kembali kabur.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu
melentingkan tubuhnya ke udara mempergunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah
Mega’ pada tingkatan terakhir. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti meluncur deras
bagai sebatang anak panah terlepas dari busur. Kedua tangannya merentang ke
samping dan bergerak-gerak cepat membuat lingkaran bagai sayap burung.
Wut! Wut...!
Dua kali Rangga mengebutkan tangannya begitu bisa
mencapai sosok tubuh berbaju putih ketat yang melayang di udara. Tapi sosok
tubuh putih yang ternyata memang Dewa Iblis atau juga dikenal sebagai Prabu
Sumabrata itu berhasil mengelak dengan memutar tubuhnya mengikuti arah sabetan
tangan itu.
Dan tanpa diduga sama Sekali, Dewa Iblis berhasil
memberi serangan balasan dengan dua pukulan beruntun mengandung kemposan tenaga
dalam tinggi. Rangga juga berhasil mengelakkan pukulan itu dengan
meliuk-liukkan tubuhnya. Pertarungan yang sangat ganjil terjadi di udara. Tapi
tubuh mereka melorot turun pelahan-lahan tanpa menghentikan pertarungan. Mereka
saling serang dan saling berkelit dengan kecepatan tinggi, sukar diikuti
pandangan mata biasa.
Tap!
Tap!
Hampir bersamaan mereka mendarat di tanah dengan
manis sekali. Pada saat itu, Rangga langsung memberi satu pukulan keras
menggeledek. Pada saat yang sama, Dewa Iblis juga memberikan satu pukulan
bertenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Buk!
Dug!
Pukulan-pukulan itu tidak bisa terbendung lagi. Dan
tak mungkin masing-masing bisa mengelakkannya. Sehingga mereka sama-sama
menerima pukulan pada waktu yang bersamaan. Tubuh mereka terpental ke belakang
dan bergulingan di tanah, namun sama-sama cepat bangkit kembali dengan sigap.
Langsung masing-masing mempersiapkan diri untuk pertarungan berikutnya.
“He he he...! Bagus! Ternyata nama besarmu tidak
kosong, Pendekar Rajawali Sakti. Hari ini aku sungguh beruntung karena bisa
berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menggegerkan rimba persilatan,”
ungkap Dewa Iblis disertai tawanya yang terkekeh.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Namun
tatapan matanya sangat tajam menusuk.
“Sudah lama kurindukan kesempatan seperti ini,
Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata para pembantuku yang goblok memang benar. Kau
benar-benar tangguh. He he he...!” kembali Dewa Iblis terkekeh di akhir
kata-katanya.
“Hm.... Jadi kau sengaja menggiring Pandan Wangi ke
sini, heh?!” dingin sekali nada suara Rangga.
“Ternyata kau cukup cerdas juga, Pendekar Rajawali
Sakti. Pandan Wangi memang tidak bisa kudapatkan selama kau masih hidup. Dan
saat inilah yang tepat untuk memperebutkan gadis itu,” tantang Prabu Sumabrata
atau si Dewa Iblis.
“Mungkin kau lebih dahulu mengenal Pandan Wangi.
Tapi sayang.... aku lebih beruntung daripadamu, Dewa Iblis!” balas Rangga
sinis.
“Ha ha ha...! Keberuntungan belum ada, Pendekar
Rajawali Sakti. Asal tahu saja, Pandan Wangi sudah mempertaruhkan jiwa dan
raganya untukku. Dia ingin membalas kematian kekasihnya, tapi kalah. Maka
janjinya harus ditepati, dengan menyerahkan diri seutuhnya padaku. Sekarang kau
tidak berhak sama sekali memiliki gadis itu!” keras sekali suara Dewa Iblis.
Pandan Wangi yang berada di tepi danau langsung
memerah wajahnya. Ditatapnya Rangga yang pada saat itu juga melirik ke arahnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh terkejut, karena baru kali ini mengetahui
kalau Pandan Wangi ternyata dulu pernah punya kekasih. Bahkan rela
mempertaruhkan martabat dan kehormatannya untuk membalas dendam atas kematian
kekasihnya pada laki-laki muda yang wajahnya cukup tampan itu.
“Hari ini kita tentukan, Pendekar Rajawali Sakti!
Bersiaplah! Hiyaaa...!”
Rangga tidak sempat lagi berpikir lebih jauh
tentang Pandan Wangi dan si Dewa Iblis ini. Kini laki-laki muda berbaju putih
ketat itu sudah melompat menyerang kembali menggunakan jurus-jurus dahsyat dan
sangat berbahaya. Terpaksa Rangga melayaninya. Langsung saja dikerahkan seluruh
gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’. Jurus-jurus pertama yang
didapatkan ketika menjadi seorang pendekar muda, dan sampai saat ini masih
sukar dicari tandingannya.
***
Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Dewa Iblis
langsung mengerahkan jurus-jurus andalannya yang dahsyat dan sangat berbahaya.
Serangan-serangannya begitu cepat dan mengarah pada bagian-bagian tubuh lawan
yang mematikan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti juga tidak lagi menganggap
main-main. Serangan-serangan balasannya seringkali membuat Dewa Iblis harus
jatuh bangun menghindarinya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sementara Pandan
Wangi yang berada di tepi danau memperhatikan jalannya pertarungan itu tanpa
berkedip. Gadis itu selalu menahan napas jika Rangga terdesak, dan
menghembuskan napas panjang kalau Pendekar Rajawali Sakti itu mendesak
lawannya.
Meskipun Pandan Wangi memiliki kepandaian tinggi,
tapi menyaksikan pertarungan tingkat tinggi seperti ini, kepalanya jadi pening
juga. Hampir sulit membedakan, mana Rangga dan mana Dewa Iblis. Karena mereka
berdua sama-sama mengenakan baju putih. Sedangkan pertarungan berjalan begitu
cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan putih berkelebat saling
sambar.
Mendadak saja Pandan Wangi dikejutkan suara jeritan
keras setelah sebelumnya terdengar suara pukulan keras bertenaga dalam tinggi
yang menghantam tubuh. Dan si Kipas Maut itu jadi menahan napas manakala
terlihat salah seorang terpental tinggi ke angkasa. Begitu cepat kejadian itu
sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Sedangkan seorang lagi langsung
melesat mengejar.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Entah bagaimana kejadiannya, dua bayangan tubuh
yang berada di udara itu saling berbenturan keras sekali, sehingga menimbulkan
ledakan menggelegar bagai guntur di siang bolong. Dua orang yang berbenturan di
udara itu saling terpental dan jatuh bergelimpangan di atas tanah, namun
sama-sama cepat bangkit berdiri. Tampak yang mengenakan baju rompi putih agak
terhuyung. Sedangkan yang seorang lagi agak terbungkuk. Masing-masing
mengeluarkan darah pada mulutnya.
“Kita tentukan sekarang, Pendekar Rajawali Sakti!”
dengus Dewa Iblis di sela dengusan napasnya yang memburu.
“Silakan,” tantang Rangga sambil mengatur jalan
napasnya.
Dewa Iblis menggerak-gerakkan tangannya di depan
dada. Jari-jari tangannya menegang terbuka lebar. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk, langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tampak, pelahan-lahan
seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu terselimut sinar hijau.
“Hih!”
Rangga cepat merentangkan kakinya lebar-lebar ke
samping. Dirapatkan tangannya di depan dada, lalu menarik tubuhnya miring ke
kanan, dan perlahan-lahan ditarik ke kiri. Dan dengan cepat tubuhnya kembali
tegak, namun kakinya tetap terentang lebar agak tertekuk. Perlahan-lahan sekali
tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas sejajar wajahnya. Dan begitu tangan
kirinya kembali cepat ditarik turun ke dada, cahaya biru langsung menyelimuti
kedua telapak tangannya yang berada di depan dada. Rangga kini mengerahkan aji
‘Cakra Buana Sukma’ tanpa menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Memang
tidak sedahsyat jika menggunakan pedang, tapi sampai saat ini hanya satu dua
orang yang mampu menandinginya.
“Hup! Hup! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Dewa
Iblis berlari cepat ke arah Rangga sambil merentangkan tangan ke depan. Seluruh
tubuh laki-laki muda itu sudah terselubung sinar hijau kekuning-kuningan.
“Aji ‘Cakra Buana Sukma’...! Hiyaaa...!” seru
Rangga keras menggelegar.
Tepat pada saat tangan Dewa Iblis berada dalam
jangkauan, seketika Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan. Benturan dua
pasang tangan tak dapat dihindari lagi. Ledakan keras terdengar dahsyat. Dan
pada saat itu, masing-masing terpental ke belakang dan bergulingan di tanah.
“Kakang...!” jerit Pandan Wangi cemas.
Tampak Rangga tergeletak sambil menggeliat-geliat
di tanah. Sedangkan Dewa Iblis langsung bangkit berdiri meskipun tubuhnya
sempoyongan dan tidak mampu berdiri tegak. Darah semakin banyak keluar dari
mulut dan hidungnya.
Pandan Wangi berlari menubruk tubuh Rangga. Tapi
belum juga gadis itu bisa memeluk, Rangga sudah merentangkan tangannya
mencegah. Sambil menekap dada dengan tangan kiri, Pendekar Rajawali Sakti itu
berusaha bangkit. Dirasakan kepalanya berat sekali, dan pandangannya
berkunang-kunang. Darah terus menetes dari mulutnya.
“Kau.... Kau terluka, Kakang,” Pandan Wangi tidak
bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
“Menyingkirlah, Pandan. Pertarungan ini belum
selesai,” ujar Rangga dingin.
“Kakang....”
“Dia benar, Pandan. Kau tidak perlu ikut campur!”
celetuk Dewa Iblis lantang.
“Iblis keparat! Kubunuh kau, hiyaaa...!” geram
Pandan Wangi tidak bisa menahan kemarahannya.
Seketika itu juga Pandan Wangi melompat bagaikan
kilat menerjang Dewa Iblis. Langsung dilepaskan kipas baja putihnya yang
berujung tajam melebihi mata pisau. Dengan pedang kipas baja putih di tangan,
Pandan Wangi langsung merangsek pemuda berbaju putih itu.
Namun sungguh di luar dugaan, ternyata walau
pertarungannya melawan Rangga banyak menguras tenaga, tapi Dewa Iblis itu masih
juga tangguh. Bahkan sukar bagi Pandan Wangi untuk mendesaknya. Dan dalam
beberapa jurus saja, justru Pandan Wangi yang terdesak.
“Lepas...!” seru Dewa Iblis nyaring.
Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menyodok ulu
hati Pandan Wangi. Maka gadis itu buru-buru mengegoskan tubuhnya ke samping.
Tapi tanpa diduga sama sekali, satu kibasan tangan yang cepat menghantam
pergelangan tangan kanan si Kipas Maut.
“Akh...!” Pandan Wangi terpekik keras tertahan.
Belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak Pandan
Wangi merasakan adanya satu sodokan keras di perut. Mulutnya mengeluh pendek
dan tubuhnya terbungkuk. Pada saat itu Dewa Iblis menghantamkan satu pukulan
keras ke arah dagu.
“Akh!” lagi-lagi Pandan Wangi terpekik.
Kepala gadis itu terdongak. Satu tendangan keras
bertenaga dalam tinggi telak menghantam dada gadis itu. Akibatnya dia terpental
jauh ke belakang menghantam sebatang pohon besar di tepi danau lembah ini.
“Oh...,” Pandan Wangi merintih lirih, lalu
menggeliat mencoba bangun. Tapi seluruh tubuhnya seperti remuk.
“Bajingan, keparat...!” geram Rangga marah.
Wajahnya memerah melihat Pandan Wangi menggeliat-geliat seperti sedang meregang
nyawa. “Mampus kau! Hiyaaa...!”
Dengan hati diliputi kemarahan serta kecemasan yang
mendalam, Rangga melompat menyerang Dewa Iblis. Serangan Rangga kali ini
sungguh dahsyat luar biasa. Pendekar Rajawali Sakti itu bertarung seperti tidak
mempunyai aturan sama sekali. Gerakan-gerakannya sungguh aneh, cepat, dan sukar
diterka arah tujuannya.
Memang Pendekar Rajawali Sakti menggunakan seluruh
gabungan dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ yang dirubah-rubah cepat
sekali. Tentu saja hal ini membuat Dewa Iblis jadi kelabakan menghadapinya.
Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan lawannya untuk
balas menyerang. Pemuda berbaju rompi putih itu selalu mengurung rapat, dan
semakin mempersempit ruang gerak pemuda yang juga biasa dipanggil Prabu
Sumabrata. Padahal dia tidak mempunyai istana dan wilayah kerajaan.
“Hiyaaa...!”
Sret!
Kemarahan Rangga semakin memuncak karena ternyata
lawannya alot dan sukar ditundukkan. Pendekar Rajawali Sakti itu mencabut
pedang pusakanya. Maka seketika itu juga cahaya terang biru berkilau memancar
dari pedang itu.
“Hiyaaa! Yeaaah...!”
Rangga langsung saja mengerahkan jurus ‘Pedang
Pemecah Sukma’. Satu jurus andalan yang menjadi simpanan dan jarang digunakan.
Terlebih lagi, ditambah dengan pedang pusaka yang maha dahsyat ini.
Sinar biru segera menggumpal-gumpal bergulung
disertai gumpalan asap memenuhi sekitar pertarungan. Pedang bersinar
menyilaukan itu berkelebatan di sekitar tubuh Dewa Iblis. Begitu cepatnya,
sehingga seluruh tubuh laki-laki muda berbaju putih itu telah terselubung
cahaya biru dan asap yang semakin tebal menggumpal. Rupanya dalam kemarahan
yang memuncak, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tahap terakhir jurus ‘Pedang
Pemecah Sukma’.
“Ughk! Oh...,” Dewa Iblis mulai mengeluh.
Sungguh tidak dimengerti, karena perhatiannya jadi
terpecah belah dan tidak terpusat pada pertarungan ini. Gerakan-gerakan
jurusnya juga menjadi berantakan. Dewa Iblis tidak menyadari kalau jiwanya
sudah terpengaruh oleh jurus yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Laki-laki itu mulai limbung, dan jurus-jurusnya semakin kacau. Dia seperti
tidak tahu lagi, di mana musuhnya berada.
“Ucapkan selamat tinggal, Dewa Iblis! Hiyaaa...!”
seru Rangga lantang.
Wuk!
Bagaikan kilat, Rangga mengebutkan pedangnya ke
arah leher Dewa Iblis yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Dan
memang, tebasan itu tidak dapat terbendung lagi. Rangga langsung memasukkan
pedang dan melompat mundur. Tampak Dewa Iblis berdiri tegak dan terdiam seraya
menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri sejauh hampir lima langkah di
depannya.
Bruk!
Tubuh Dewa Iblis tiba-tiba ambruk ke tanah! Belum
juga tubuhnya menyentuh tanah, kepala pemuda itu terlepas buntung. Seketika itu
juga darah muncrat keluar dari leher yang tanpa kepala lagi. Dewa Iblis tewas
seketika tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sungguh dahsyat tebasan pedang Pendekar
Rajawali Sakti, sehingga mampu menebas leher lawan bagaikan menebas batang
pisang saja!
“Hhh...,” Rangga menarik napas panjang.
“Kakang...!” seru Pandan Wangi lemah.
Rangga menoleh, langsung membalikkan tubuhnya dan
berlari menghampiri Pandan Wangi yang tergolek di antara reruntuhan pohon.
Darah merembes keluar dari mulut gadis itu. Rangga membantu si Kipas Maut
bangkit duduk, sedangkan dia sendiri duduk di depannya.
“Kau terluka cukup parah, Pandan,” kata Rangga.
“Ya. Tapi, lukamu lebih parah lagi, Kakang,” sahut
Pandan Wangi lirih.
“Sudah tidak lagi, Pandan. Jurus ‘Pedang Pemecah
Sukma’ membantu penyembuhan lukaku. Tanpa disadari jurus yang mengandung unsur
hawa murni itu mengalir ke seluruh tubuh,” jelas Rangga.
Pandan Wangi tersenyum, tapi begitu lemah dan tipis
sekali.
“Aku kenal seorang tabib yang sangat ahli. Kau akan
kubawa ke sana, Pandan,” kata Rangga lagi.
Pandan Wangi kembali tersenyum. Setitik air bening
menggulir jatuh ke pipinya. Hatinya begitu terharu akan ketulusan cinta Rangga.
Padahal seharusnya pemuda itu membencinya karena telah tahu dirinya kini.
Seorang gadis yang hampir menghancurkan martabat dan harga diri, hanya karena
hendak membalas dendam buat kekasihnya yang diakui sebagai teman biasa. Tapi
Rangga tidak mempedulikan itu semua. Dipondongnya tubuh Pandan Wangi. Pendekar
Rajawali Sakti kini melangkah pergi meninggalkan lembah ini bersama Pandan
Wangi di pondongannya.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DENDAM RARA ANTING
Emoticon