Serial Pendekar Gila bab 02 Kumbang Dari
Neraka
Malam baru saja meninggalkan bumi,
sehingga pagi masih teramat buta. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan,
seperti menyambut sang Fajar. Keadaan masih meremang, belum banyak orang yang
terbangun. Mungkin masih banyak yang bergumul dengan selimut karena hawa terasa
dingin.
Adipati Joyo Kerto terjaga, ketika
menyadari sang istri tidak ada di sampingnya. Lelaki berbadan besar dengan muka
bulat dihiasi oleh kumis lebat dan mata agak sipit serta hidung besar itu duduk
di pinggir tempat tidur. Wajahnya tercenung, seakan tengah memikirkan kepergian
istrinya sepagi buta ini.
"Hm, ke mana dia?" tanya sang
Adipati lirih, setelah bergumam.
Perlahan dia bangun. Beberapa saat
tubuhnya menggeliat Setelah menguap beberapa kali, kakinya melangkah pelan ke
pintu kamar. Dan setelah membuka pintu, matanya diedarkan ke seluruh ruangan di
dalam kadipaten.
Sepi Sang Adipati melangkah ke luar.
firasatnya tidak enak. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi di kadipaten.
Terlebih dengan ketidakadaan istrinya di kamar. Tak biasanya istrinya bangun
sepagi buta begini. Baru saja kakinya melangkah dua tindak melewati pintu
kamar, tiba-tiba didengarnya suara yang menggelitik telinganya. Suara wanita
yang terkikikkikik manja ditimpali oleh suara lelaki.
"Ih, sabar sedikit kenapa,
Truna.... Bukankah waktu kita masih panjang?" "Ah, bagaimana mungkin
aku sabar, Diajeng....
Sebentar lagi pagi. Tentunya adipati
dungu itu bangun," sahut lelaki yang dipanggil Truna.
Darah Adipati Joyo Kerto seketika bagai
mendidih, dan dadanya bergemuruh riuh. Sementara tangannya mengepal lalu
meninju telapak tangan kirinya.
Wajahnya membara, terbakar amarah.
"Kunyuk Dikasih hati ternyata bocah
itu meminta jantung" dengus Adipati Joyo Kerto.
Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu
benarbenar marah. Bagaimana tidak? Pemuda itu telah ditolongnya. Dari pemuda
miskin tiada guna, kini menjadi pengawal pribadinya. Tapi balasan pemuda itu
sangat menyakitkan. Bukan hanya dia disebut adipati dungu, tetapi istrinya juga
kini termakan rayuan gombal pemuda itu.
Keduanya kini berada dalam satu kamar.
Apalagi yang diperbuat dua lawan jenis dalam satu kamar tanpa pengawasan?
Tentunya mereka melakukan perbuatan yang tidak senonoh.
Dugaan Adipati Joyo Kerto memang benar.
Di dalam kamar yang terletak paling belakang, dua orang manusia dalam keadaan
tanpa busana tengah bercumbu. Pemuda berambut gondrong, bertubuh kurus dengan
ikat kepala hitam itu mencumbu istrinya yang menggelinjang-gelinjang sambil
tertawa manja.
"Truna Sabar, Sayang.... Masa' kau
ingin melakukan lagi? Bukankah kita tadi baru melakukannya," desis istri
Adipati Joyo Kerto yang bernama Rana.
"Aku tak sabar, Diajeng.... Kau
sangat menggiurkan, sehingga mampu membangkitkan kelelakian ku," sahut
Truna masih terus mencumbu wanita cantik yang matanya mengerjap-ngerjap laksana
mata seekor kelinci itu. Sedangkan bibirnya mendesis-desis, bagaikan kepedasan.
Keringat membanjir deras dari tubuh
mereka yang telanjang. Tapi hal itu tidak menjadikan penghalang bagi keduanya
untuk terus menikmati kemaksiatan itu. Keduanya terus bercumbu rayu, memacu
nafsu.
"Oh, Truna..." "Diajeng,
uhhh..." keluh Truna.
Tubuh pemuda itu mengejang. Matanya
membeliak, merasakan kenikmatan yang tiada taranya.
Tangannya mencengkeram rambut Rana itu
kuat-kuat.
Berusaha mencari pegangan ketika
dirasakan tulangtulangnya bagaikan dilolosi dari tubuh.
Saat keduanya dalam puncak kenikmatan,
tiba-tiba....
Brakkk Pintu kamar itu hancur, ditendang
oleh seseorang dari luar. Menjadikan Truna dan Rana yang tengah melayang di
puncak kenikmatan tersentak. Belum juga mereka tahu siapa yang telah mendobrak
pintu kamar, terdengar makian keras....
"Bangsat Inikah balas budi kalian?
Manusiamanusia iblis Kalian harus mati Heaaa..." "Adipati...,"
desis Truna dengan mata membelalak tegang, menyaksikan Adipati Joyo Kerto
menggenggam golok besar sementara tubuhnya melesat hendak menyerang mereka.
Wajah pemuda kurus yang agak pucat itu
kian bertambah pucat. Wajar saja wajahnya jadi begitu, karena kedudukannya
memang tidak menguntungkan.
Bisa saja tubuhnya berguling ke samping
untuk mengelak. Tapi kalau hal itu dilakukan, Rana pasti akan menjadi korban.
"Celaka..." pekik Truna dengan
seluruh tubuh tegang tatkala sang Adipati meluruk semakin bertambah dekat Golok
di tangan Adipati Joyo Kerto siap membelah tubuh. Tak ada pilihan lain baginya,
kecuali menghindar.
"Heaaa..." Golok di tangan
Adipati Joyo Kerto bergerak cepat, membabat ke arah tubuh Truna yang berada di
atas tubuh Rana. Pemuda itu dengan cepat menggulingkan tubuh ke samping kanan
sebelum golok besar itu sampai. Tanpa ampun, tubuh Rana-lah yang menjadi
sasaran.
Cras "Aaakh..." Lengking
kematian yang menyayat terdengar dari mulut Rana. Tubuh sintal tanpa sehelai
benang itu seketika bermandikan darah.
"Diajeng,.." pekik Adipati
Joyo Kerto terkesiap.
Beberapa saat dia tertegun bagai patung
baru. Matanya melotot ke arah tubuh istrinya yang menggelepar-gelepar sekarat
dengan darah menyembur keluar, hingga kasur itu seketika berubah menjadi merah.
Tubuh Rana terus menggelepar-gelepar
sekarat Dari mulutnya terdengar rintihan memelas.
"Maafkan aku, Kakang.... Maafkan
aku Oh...." Kepala Rana tergolek lemas. Jiwanya melayang seketika,
meninggalkan raga yang tergolek tanpa gerak.
"Diajeng..." pekik Adipati
Joyo Kerto sambil menubruk tubuh istrinya yang telah mati. Lelaki berbadan
besar dengan perut agak buncit itu menangis sejadi-jadinya. Sedangkan pemuda
bernama Truna yang telah mengenakan pakaiannya kembali, tersenyum sinis penuh
kemenangan.
***
Rupanya kejadian tersebut terdengar oleh
para pengawal kadipaten yang tengah berjaga. Beberapa orang pengawal bergegas
masuk untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Gusti, apa yang terjadi?"
tanya seorang pengawal berbadan besar dengan otot menonjol. Wajahnya
menampakkan kegarangan dan kasar. Tulang pipinya menonjol. Matanya terbelalak
memandang mayat istri Adipati Joyo Kerto.
"Pengawal Tangkap kunyuk itu..."
perintah sang Adipati sambil menunjuk ke arah Truna yang tersenyum sinis.
Mendengar perintah atasannya, lima orang
pengawal kadipaten yang berada di tempat itu segera maju untuk menangkap Truna.
Namun dengan gesit pemuda itu berkelit, kemudian melenting ke atas dan
tahu-tahu telah berada di luar kamar.
"Kejar dia Bunuh..." seru sang
Adipati kalap.
Kelima pengawal itu kembali memburu.
Tombak di tangan mereka kini siap berbicara. Namun pemuda bernama Truna itu
sepertinya tidak gentar sedikit pun menghadapi kelima pengawal bersenjata.
Senyum sinisnya masih mengembang, seolah mengejek para pengejarnya.
"Percuma kalian menangkapku. Kalian
hanya akan membuang-buang nyawa" Usai berkata demikian, dengan cepat Truna
mengibaskan tangan kanannya ke depan disertai tenaga dalam.
"Terimalah ini, heaaat.."
Kelima pengawal itu tersentak kaget, menyaksikan selarik pukulan dahsyat
terlontar ke arah mere-ka. Mata kelima pengawal itu melotot tegang, berusaha
mengelakkan pukulan itu. Tapi, pukulan yang dilontarkan secara tiba-tiba itu
terlalu cepat untuk dihindari, sehingga....
Desss "Aaa..." Jeritan
kematian seketika terdengar. Dua orang pengawal yang berada paling depan
menggelepar. Dada mereka hangus dengan lingkaran hitam. Tubuh keduanya
mengejang sesaat, kemudian diam tanpa nyawa dengan darah hitam meleleh dari
hidung, telinga serta mulut. Tiga orang pengawal yang masih hidup kini hanya
mematung. Nyali mereka seketika menciut, menyaksikan bagaimana kedua teman
mereka mati secara mengerikan.
"Ha ha ha... Lihatlah, itu contoh
bagi kalian Jika kalian berani coba-coba menangkapku, kalian pun akan mengalami
hal seperti itu" ancam Truna.
"Jangan hiraukan ocehannya Bunuh
dia..." perintah Adipati Joyo Kerto. Nadanya penuh amarah.
Bahkan kini, dengan golok besarnya dia
menerjang kalap.
Melihat Adipati Joyo Kerto turut
menyerang, ketiga pengawal yang semula telah ciut nyalinya kembali berani.
Ketiganya segera bantu menyerang. Tombak di tangan mereka bergerak cepat,
berusaha menusuk tubuh lawan.
Diserang serentak begitu rupa, tidak
menjadikan pemuda berwajah pucat itu gentar. Tubuhnya segera berkelit dari
serangan itu. Bahkan dengan cepat tangannya menyambar salah satu senjata lawan.
"Hea..." Prajurit yang
tombaknya direbut tersentak. Dia berusaha keras mempertahankan senjatanya.
Akibatnya justru sangat parah. Pemuda itu menyentakkan senjata lawan yang telah
dipegangnya, sehingga tubuh lawan terpental ke atas. Sedangkan kaki dan tangan
kirinya menendang dan memukul dua orang pengawal.
Gerakan tangan dan kaki kiri pemuda
bermuka pucat itu sangat cepat, hingga kedua penjaga yang il-mu silatnya memang
jauh di bawah pemuda itu tak mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, keduanya
mengalami hal serupa dengan teman mereka. Tubuh keduanya mencelat ke belakang,
lalu jatuh membentur tembok dengan kepala pecah Betapa marahnya Adipati Joyo
Kerto menyaksikan kelima prajuritnya dalam satu gebrakan saja dapat dibinasakan
oleh pemuda yang semula dianggap enteng. "Kuhancurkan tubuhmu, Iblis
Heaaa..." bentak Adipati Joyo Kerto, geram.
Dengan kemarahan memuncak, Penguasa
Kadipaten Tegal Arang itu membabatkan goloknya ke tubuh lawan. Golok itu berkelebat
ganas, membuat Truna agak kaget. Tidak diduganya kalau adipati berbadan gemuk
dan berperut buncit itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Malah serangan
yang dilancarkan olehnya senantiasa mengarah pada titik kematian.
Hampir saja golok besar di tangan
Adipati Joyo Kerto membabat tubuh Truna, kalau pemuda itu tidak segera
melebarkan kakinya sambil merundukkan tubuh. Golok itu hanya mendesir di atas
rambutnya.
"Hiaaat.." Setelah dapat
mengelakkan sabetan golok lawan, dengan cepat Truna melancarkan jotosan ke
perut lawan. Jotosan itu begitu keras, karena dibarengi tenaga dalam penuh.
Celakalah Adipati Joyo Kerto jika tidak segera menghindar dengan cepat.
Ternyata adipati bertubuh gemuk itu memang tidak berusaha menghindar. Dia hanya
menghempaskan napas untuk mengerahkan tenaga dalam ke perutnya.
Buggg Adipati Joyo Kerto menyeringai
saat menerima pukulan keras lawan. Sepertinya dia tidak merasakan apa-apa.
Justru pemuda berwajah pucat yang menyerangnya terlihat meringis kesakitan.
Wajah pemuda itu semakin memucat. Bagaimanapun juga pemuda itu merasa tegang,
menyaksikan lawan bagaikan tak merasakan pukulan 'Bara Neraka' yang dianggapnya
dahsyat itu. Malah kini tangannya lengket dengan kulit perut sang Adipati.
Celaka... Keluh Truna dalam hati. Ilmu
apa yang digunakannya.
Sementara, bibir Adipati Joyo Kerto
kembali menyeringai, menyaksikan lawannya semakin memucat "Iblis cabul,
nyawa istriku harus kau tebus Terimalah kematianmu. Heaaa..." Adipati Joyo
Kerto mengangkat golok di tangannya tinggi-tinggi. Rupanya dia benar-benar
tidak ingin membuang waktu maupun memberi waktu bagi pemuda itu untuk bertobat.
Golok besar di tangan sang Adipati
terangkat tinggi. Kemudian dengan cepat meluncur ke bawah, siap membelah batok
kepala pemuda itu. Namun tanpa diduga pemuda berwajah pucat yang telah
menghancurkan rumah tangganya telah mendahului. Tangan kiri pemuda itu telah
meraih sebuah senjata yang terselip di dalam pakaiannya. Senjata berbentuk
bun-dar seperti kipas dan berwarna hitam itu disabetkan ke perut sang Adipati.
Cras "Akh... Kau..," pekik
Adipati Joyo Kerto dengan mata melotot penuh kemarahan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang seraya memegangi perutnya yang menganga lebar.
Darah tampak tersembur dari luka di perutnya.
"Ha ha ha.... Mampuslah kau,
Adipati Dungu Heaaa..." Setelah tertawa terbahak-bahak melihat lawannya
tak berdaya, Truna melemparkan benda bulat seperti kipas berwarna hitam ke arah
sang Adipati. Ben-da itu berdesing memekakkan telinga. Begitu cepat benda itu
melaju, membuat sang Adipati yang terluka tidak mampu menangkis atau mengelakkannya.
Tak ampun lagi, senjata aneh milik Truna menghantam lehernya. Cras
"Aaa..." Lolongan kematian membahana di udara pagi buta. Tubuh
adipati malang itu terhuyung ke belakang. Kedua tangannya kini memegangi leher
yang mengucurkan darah. Nampaknya leher Adipati Joyo Kerto terkoyak. Matanya
membesar dan gigi-giginya siding beradu, berusaha menahan rasa sakit yang tiada
terkira.
"Bangsat.. Licik.. Terkutuklah kau,
Iblis" maki Adipati Joyo Kerto tersendat-sendat Tubuhnya masih berusaha
bertahan untuk tetap berdiri. Namun rupanya darah sudah banyak yang keluar,
sehingga tubuh besar itu ambruk, menimbulkan suara bagai gempa.
Truna kembali tergelak-gelak.
Ditangkapnya senjata hitam seperti kipas miliknya yang melayang kembali padanya
setelah memangsa leher Adipati Joyo Kerto. Setelah memasukkan senjata itu ke
balik baju, pemuda berwajah pucat itu kembali tertawa sambil mendekati mayat
Rana.
"Memang seharusnya kau mati,
Perempuan Dungu Kau tidak berarti bagiku." Setelah memandangi tubuh
bersimbah darah itu, Truna kini melangkah ke arah mayat Adipati Joyo Kerto.
Kakinya menendang mayat bertubuh besar itu hingga telentang. Lalu dengan
congkak diludahinya.
"Cuhhh..." Usai melakukan
semuanya, tiba-tiba pemuda itu tertegun. Dia rupanya mengingat sesuatu.
"Hei, mengapa aku tidak mengingat
Suci...?" Tanpa pikir panjang lagi, dilangkahinya mayatmayat yang
bergelimpangan itu. Tubuh Truna melesat untuk mencari anak gadis Adipati Joyo
Kerto yang cantik. Yang senantiasa menggoda nafsunya untuk menikmati kecantikan
dan keperawanan si gadis.
Namun betapa gusarnya Truna setelah
mengetahui kalau gadis itu telah pergi. Rupanya ketika semuanya terjadi,
Suciati melihatnya, dan secara diamdiam pergi dari sana.
"Bangsat Bahaya kalau gadis itu
dibiarkan berkeliaran Dia akan menceritakan pada orang apa yang terjadi, bahkan
pada kerajaan," gerutunya dengan sinar wajah khawatir.
Setelah mengobrak-abrik beberapa bagian
ruangan kadipaten, pemuda itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
2
Seorang gadis cantik berbaju hijau
dengan rambut terurai nampak berlari dengan wajah ketakutan. Dia adalah
Suciati, anak Adipati Joyo Kerto yang telah melihat bagaimana ayahnya mati oleh
pemuda berparas pucat yang diangkat oleh sang Ayah sebagai pengawal pribadinya.
Sudah berkali-kali ayahnya dipe-ringati agar hati-hati dengan pemuda itu. Tapi
selalu saja ayahnya meremehkan peringatannya itu.
Suatu hari, ketika Suciati memergoki ibu
tiri nya tengah berbisik-bisik dengan pemuda itu, hatinya mengatakan kalau
pemuda itu bukan orang baik-baik.
Dan Suciati berusaha menyampaikan hal
itu pada ayahnya.
"Ayah. Suci berharap Ayah hati-hati
dengan pemuda berwajah pucat itu," kata Suciati suatu ketika saat berdua
dengan ayahnya.
"Memangnya kenapa, Anakku? Kulihat,
pemuda itu baik," jawab ayahnya. "Janganlah berprasangka yang
tidak-tidak, Anakku. Berprasangka itu tidak balk." "Tapi,
Ayah...," Suciati hendak kembali berkata, tapi ayahnya menukas dengan
cepat.
"Sudahlah, kau tak perlu
khawatir." Suciati tak dapat berkata lagi. Dia tidak berani membantah
kata-kata ayahnya. Dari kecil dia dididik agar tidak membantah. Apalagi dia
seorang gadis, yang harus mematuhi semua aturan orang tuanya.
Jauh di lubuk hatinya, Suciati
benar-benar cemas. Takut kalau-kalau pemuda berwajah pucat itu menyimpan maksud
yang buruk. Terlebih pemuda itu sering dilihatnya bersama ibu tiri nya.
Apa sebenarnya yang terjadi antara Truna
dengan ibu tiri ku? Nampaknya mereka merencanakan sesuatu. Bisik hati Suciati
menduga-duga.
Dugaannya terbukti juga. Karena suatu
malam, ketika dia terbangun dari tidur, telinganya menangkap suara tawa kecil
di kamar samping. Tawa manja seorang wanita. Dan gadis itu sangat mengenali
suara wanita itu, yang tidak lain suara ibu tiri nya. Lalu suara lelaki itu
adalah suara Truna, pengawal pribadi ayahnya.
Heh, sedang apa mereka? Tanya Suciati
dalam hati malam itu. Rasa ingin tahunya menjadikan gadis itu keluar
perlahan-lahan dari kamar. Kemudian dengan mengendap-endap, gadis itu menuju ke
kamar sebelah di mana suara itu terdengar.
Sesaat Suciati berhenti, dan mengawasi
keadaan sekeliling. Setelah yakin tak ada orang yang melihat, gadis itu
meneruskan langkahnya. Dengan mengendap-endap didekatinya pintu kamar itu.
Uh, hampir ketahuan Desis Suciati dalam
hati ketika melihat pintu kamar tidak tertutup rapat. Untung tubuhnya segera
menyelinap ke tembok, hingga kedua orang yang ada di dalam kamar tak
melihatnya.
Perlahan Suciati menjulurkan kepala
untuk mengintip dari celah pintu. Matanya tiba-tiba melotot, dan darahnya pun
berdesir. Kemudian tubuhnya di-tenderkan ke tembok. Giginya bergemeretak keras,
berusaha menahan gejolak dadanya setelah menyaksikan pemandangan tadi. Sebuah
pemandangan yang cukup membuat jantungnya berdetak kencang Jagat Dewa
Batara.... Terkutuklah kalian Desis Suciati dalam hati sambil berusaha menahan
gelora dalam dadanya. Bayangan dua tubuh polos saling rengkuh itu, seakan tidak
mampu dienyahkan dari pikirannya.
Oh, tidak Aku tidak boleh melihat terus
Bantah hati Suciati. Kemudian dengan tertatih lemas, ditinggalkannya tempat
itu. Pelan dibukanya pintu kamar lalu dikuncinya. Dengan lemas gadis itu
terduduk di tepi tempat tidur.
Rintihan-rintihan di kamar sebelah masih
terdengar. Membuat tubuh gadis itu kian menggigil. Jiwanya melayang, entah ke
mana. Bayangan dua sosok polos yang saling berpacu masih melekat di benaknya.
Sulit sekali hal itu dienyahkan.
Gadis itu merebahkan diri. Kedua
telinganya ditutupi dengan tangan agar tidak mendengar. Tapi tak bisa, suara
rintihan kenikmatan ibu tiri nya masih ju-ga terdengar.
Saat benak Suciati disesaki bayangan
kejadian yang menimpa keluarganya, terdengar suara tawa keras. Tawa itu langsung
membuyarkan lamunannya.
Betapa kagetnya gadis itu ketika tahu
kalau tawa itu terlepas dari mulut Truna yang di belakangnya. Dengan segera
Suciati lari meninggalkan tempat itu. Di wajahnya tergambar kecemasan dan
ketakutan. Dia yakin, tentunya pemuda bermuka pucat itu punya maksud tak baik.
Truna masih tertawa, seperti membiarkan
gadis berbaju hijau itu lari ketakutan. Lalu, tiba-tiba tubuhnya melompat
laksana terbang. Dalam sekejap telah berada di depan gadis itu "Mau lari
ke mana, Cah Ayu...?" tanya Truna sambil bertolak pinggang. Kembali
tawanya terdengar, menjadikan Suciati semakin ketakutan.
"Tidak... Jangan ganggu
aku..." jerit si gadis.
Gadis itu segera membalikkan tubuh untuk
lari meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya seketika tertahan, manakala
dirasakan ada yang menariknya dari belakang. Ketika kepalanya menoleh, ternyata
ikat pinggangnya dipegangi oleh pemuda bermuka pucat itu.
"Ha ha ha... Mau lari ke mana, Cah
Ayu? Bukankah saat seperti ini yang kau tunggu?" seloroh Truna sambil
tertawa-tawa. Tangannya masih memegang erat pinggang si gadis.
"Lepaskan Kurang ajar..."
sentak Suciati, berusaha melepaskan ikat pinggangnya dari genggaman tangan
pemuda itu. Namun rontaannya justru semakin membuat pemuda itu senang.
"Jangan berpura-pura, Cah
Ayu...," Truna kembali tertawa. Kemudian ditariknya ikat pinggang gadis
itu, membuat tubuh Suciati tertarik ke arahnya.
Lalu dengan tergelak-gelak dipeluknya
tubuh Suciati penuh nafsu.
"Lepaskan Lepaskan aku..."
Gadis itu meronta-ronta untuk melepaskan diri dari pelukan Truna. Tapi
rontaannya sebagai gadis biasa, tidak berarti sama sekali bagi Truna. Meski
bertubuh kurus, tapi pemuda itu memiliki tenaga dalam hingga tetap sanggup
menguasai Suciati.
"Mengapa malu-malu, Cah Ayu....
Bukankah di sini tak ada siapa-siapa, selain kita berdua?" Truna kembali
tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mempedulikan rontaan Suciati, tubuhnya
segera melesat membawa gadis itu meninggalkan tempat tersebut "Lepaskan
aku Lepaskan..." jerit Suciati sambil terus meronta untuk melepaskan diri
dari panggulan Truna. Tangannya memukuli punggung pemuda itu yang masih saja
tergelak-gelak sambil terus berlari.
"Nanti kau kulepaskan, setelah aku
mendapatkan tubuhmu dan kegadisan mu.... Ha ha ha..." "Tidak Aku
tidak mau..." jerit Suciati histeris.
Dengan sekuat tenaga dipukulinya
punggung Truna.
Namun pukulannya bagai tidak berarti
sama sekali.
Jangankan pukulannya yang sekadar
mengandalkan tenaga luar, pukulan pendekar pun masih sanggup ditahan pemuda
itu.
"Nanti pun kau akan mau,"
sahut Truna meledek. Pemuda berwajah pucat itu terus berlari sambil memanggul
tubuh Suciati ke arah timur, menuju hutan yang terbentang luas. Nampaknya Truna
hendak membawa Suciati ke sana, lalu menggagahinya di tempat itu. Pemuda itu
berpikir kalau di hutan dia akan tenang. Tak akan ada orang yang mengganggunya.
Mereka mulai memasuki pedalaman hutan
yang sepi. Pepohonan besar berdiri angkuh di sanasini, membuat sinar matahari
sulit untuk menerobos masuk. Keadaan yang teduh dan agak gelap itu membuat
Truna semakin tergesa-gesa untuk melaksanakan niat busuknya.
Tanpa disadarinya, sepasang mata
mengawasinya dari rerimbunan semak. Sepasang mata itu menyipit, melihat
kepanikan seorang gadis di bahu pemuda kurus yang tertawa terbahak-bahak.
Mulutnya yang semula bersiul kini terhenti. Dan ketika jarak Truna kian
mendekat, pemilik sepasang mata itu melenting ke atas pohon.
"Manusia keparat Apa yang hendak
dia lakukan terhadap gadis itu?" gumam pemuda yang telah hinggap di sebuah
dahan besar sambil terus mengawasi. "Hm, dunia ini memang aneh. Baik, aku
ingin tahu apa yang hendak dilakukannya." Pemuda itu segera menyelinap
pada dahan yang lebih rimbun. Matanya terus mengawasi pemuda yang memanggul
seorang gadis berbaju hijau. Sedangkan pemuda bermuka pucat itu mengenakan
pakaian berwarna hitam, dengan ikat kepala hitam pula.
Sekitar lima tombak dari pohon besar
tempat pengintai tadi bersembunyi, Truna menghentikan larinya, lalu segera
menghempaskan tubuh Suciati yang memandangnya dengan sinar mata ketakutan.
"Jangan... Aku tidak mau..."
ratap gadis itu menghiba, ketika melihat pemuda berwajah pucat itu hendak
membuka pakaiannya.
"Kau harus mau, Cah Ayu.... Sebab
aku sangat menginginkan mu. Kini, kau akan merasakan hal yang kau lihat semalam,"
desis Truna seraya merenggut pakaian bagian atas Suciati dengan kasar.
Breeet "Auh, tidak..." pekik
Suciati. Segera kedua tangannya menutupi bagian dadanya yang tampak karena
bajunya terkoyak. Melihat hal itu, Truna semakin beringas. Mata jalangnya menggerayangi
tubuh Suciati seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Dengan menggeram bagai seekor macan
lapar, Truna hendak menubruk tubuh Suciati. Namun tibatiba, terdengar suara
tawa seseorang diselingi sebuah syair. "Ha ha ha.... Lucu Lucu sekali.
Bagaikan macan kelaparan. Nafsumu laksana setan. Jika setan ber-sarang di dada,
manusia pun akan buta. Ha ha ha..." Kemudian disusul oleh alunan suling
yang amat merdu, seakan ditiup dengan nurani yang bersih.
"Kurang ajar Siapa kau...?"
bentak Truna marah karena merasa kesenangannya terusik. "Kalau kau
manusia, keluarlah..." Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
Truna segera menotok tubuh Suciati yang tak akan dibiarkan lepas begitu saja.
Bukannya sesosok tubuh yang muncul
sebagai jawaban dari tantangan yang dilontarkan Truna, melainkan gelak tawa
yang menggema terdengar. Suara tawa yang mampu menggugurkan daun-daun pohon.
"Bangsat Tunjukkan wujud mu Hadapi
aku..." kembali pemuda berwajah pucat itu berkoar menantang. Matanya
memandang tajam ke atas pohon, berusaha mencari orang usil yang telah
mengganggunya.
"Hi hi hi.... Lucu, kau seperti
orang linglung," tiba-tiba terdengar tawa keras seorang lelaki.
Pemuda berwajah pucat itu membalikkan
tubuh. Seketika keningnya berkerut menyaksikan tingkah laku seorang pemuda
berusia di bawahnya. Pemuda itu tersenyum cengengesen. Sedang tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti orang bodoh dan gila.
Dia mengenakan rompi kulit ular dengan
ikat kepala yang juga terbuat dari kulit ular. Meski cengar-cengir bodoh,
wajahnya tergolong tampan dan bersih. Sedangkan jari-jari kaki kanannya
menggaruk-garuk betis kaki kiri.
Hampir saja Truna tertawa melihat
tingkah pemuda itu, kalau saja dia tidak segera ingat pada cara datangnya yang
begitu tiba-tiba. Berarti pemuda gila ini bukan sembarangan, pikirnya. Lagi
pula, dia masih ada kepentingan lain dengan Suciati.
"Pemuda gila Lekas pergi dari sini,
sebelum ke-sabaranku hilang" bentak Truna, berusaha menahan tawa melihat
tingkah lucu pemuda gila itu.
Pemuda yang persis orang gila itu adalah
Sena Manggala yang lebih dikenal oleh tokoh rimba persilatan dengan julukan
Pendekar Gila Mendapat sambutan tak ramah dari orang di depannya, mulutnya
melepas tawa nyaring. Tangan kanannya semakin cepat menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan tangan kirinya kini menepuk pantat berkali-kali.
"Lucu sekali.... Kau mengusirku,
Kisanak? Padahal hutan ini bukan milikmu. Ah, dunia ini benarbenar gila Mengapa
kalian hendak berkencan di hutan?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. Sebenarnya dia hanya berniat menyindir, sebab dia tahu kalau gadis
berbaju hijau yang kini duduk menyandar di pohon nampak ketakutan. Berarti pemuda
bermuka pucat itu bukan pemuda baik-baik.
"Pemuda gila, apa urusanmu Cepat
pergi dari sini, atau tanganku akan menghajarmu, hah?" bentak Truna, gusar
melihat tingkah laku Sena.
"Wah, memang bukan urusanku.
Baiklah, aku mau pergi," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan
wajah yang masih seperti orang bodoh yang kurang waras.
Kemudian setelah cengengesan dan
tersenyumsenyum, Sena melangkah hendak meninggalkan tempat itu. "Tuan,
tolonglah aku..." jerit Suciati melihat pemuda aneh itu hendak pergi.
Langkah Sena terhenti. Kembali tangannya
menggaruk kepala yang tak gatal.
"Nona, mengapa kau minta tolong
padaku? Bukankah lelaki bermuka mayat itu kekasihmu?" tanya Sena, sengaja
memancing kemarahan Truna.
"Pemuda gila, rupanya kau harus
diajar adat," geram Truna, yang tak dapat lagi menahan kemarahannya
setelah mendengar pemuda gila itu menyebutnya muka mayat "Adat..?"
Pendekar Gila mengerutkan kening.
"Ya, ya.... Memang kau harus diajar
adat" "Kurang ajar Kau benar-benar harus dihajar Heaaa..." Truna
segera membuka jurus. Tangannya direntangkan ke samping, bagai merentangkan
sayap.
Kemudian diangkat ke atas, membentuk
sebuah lingkaran di atas kepalanya. Jurus yang tengah dilakukan bernama 'Gagak
Hitam Mengepak Sayap'. Jurus itu merupakan jurus pembuka dari sekian banyak
jurus yang dimiliki Truna. Meski begitu, itu bukan jurus sembarangan. Karena
menilik dari gerakan tangan Truna yang keras dan cepat, tentunya jurus itu
sangat berbahaya dan mematikan.
"Yeaaa..." bentak Truna seraya
melompat untuk memulai serangan.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila
menekuk lututnya agak ke bawah. Tangannya bergerak ke atas kepala. Kemudian
kaki kanannya melangkah maju, dengan tangan kiri bergerak ke depan guna
menangkis serangan lawannya.
"Heaaa..." Gerakan Pendekar
Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu mendahuluinya. Menjadikan Truna
tersentak kaget. Dia segera melompat ke belakang. Sena nyengir sambil
menggaruk-garuk kepala, membuat Truna semakin bertambah marah.
"Yeaaa..." bentak Truna seraya
menggerakkan tangan kirinya dengan keras dan cepat Melihat hal ini, Pendekar
Gila hanya menyongsong perlahan dengan tangan kirinya.
"Heaaa .." Gerakan Pendekar
Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu menangkis serangan lawan dengan
baik "Kurang ajar Kuremukkan batok kepalamu Yeaaa..." bentak Truna
dengan mata melotot 3
Dengan penuh amarah, Truna kembali
menyerang. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah kepala Pendekar Gila.
Meski tangan pemuda bermuka pucat itu tidak besar, namun angin pukulannya
terasa berdesir keras.
"Heaaa..." Wettt Melihat
serangan lawan yang cepat, Pendekar Gila membelalakkan mata. Keningnya
berkerut, kemudian dengan cengengesan ditariknya kaki kanan ke belakang.
Sementara kaki kirinya digeser dan ditekuk agak mendatar.
"Uts... Rupanya kepalaku masih
licin, Sobat.." ledeknya sambil memutar kepala dengan menunduk, mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan tubuh meliuk-liuk, Pendekar Gila maju selangkah
sambil tangannya menepuk.
Plak "Edan" maki Truna dengan
mata membelalak.
Tubuhnya melompat mundur untuk
mengelakkan serangan lawan yang aneh dan sulit dipercaya. Gerakan lawan
kelihatannya lamban, namun hasilnya sangat di luar dugaan. Kalau saja dia tidak
melompat ke belakang, tentu dadanya sudah remuk.
"Heaaat.." Dengan melancarkan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila kembali menyerang. Tubuhnya
meliuk-liuk seperti menari, dengan sesekali menepuk.
Melihat gerakan lawan yang terlihat tak
bertenaga, Truna kembali bergerak untuk memapaki serangan lawan. Namun, belum
juga sampai, Pendekar Gila tiba-tiba telah kembali menepuk ke arah dadanya. Hal
itu membuat Truna segera menarik serangannya kembali. Dia tak mau mengambil
resiko.
"Gila... Ilmu apakah yang
digunakannya?" gumam Truna dengan mata membelalak Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kembali dia menyerang
dengan jurus yang sama.
"Hi hi hi.,.. Yeaaa..." Truna
yang sudah merasakan kedahsyatan jurus itu, segera bersalto ke udara. Tapi,
baru saja kakinya hendak menjejak tanah, lawan telah menyerangnya kembali.
"Celaka..." pekik Truna kaget.
Mau tak mau, dia harus kembali bersalto, untuk mengelakkan serangan lawan yang
aneh itu.
"He he he..." Sena terkekeh.
Tangannya masih bergerak lemah gemulai. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Kelihatannya sangat lemah dan lambat, namun dengan gerakan seperti itu,
ternyata Pendekar Gila mampu mengejar lawan yang telah mengerahkan segenap
tenaganya.
"Pemuda gila Katakan, siapa kau
sebenarnya?" bentak Truna sambil terus mengelakkan seranganserangan aneh
yang dilancarkan lawannya.
Pendekar Gila terkekeh. Tangannya
menggaruk-garuk kepala tanpa berhenti menyerang. hal itu menjadikan Truna
semakin geram dan marah. Dia segera mengeluarkan jurus 'Gagak Hitam Mengepak
Sayap', berusaha menghancurkan serangan lawan.
Namun serangannya malah berantakan,
ketika Pendekar Gila kembali meliuk dan menepuk.
"Jurus edan..." maki Truna
dengan wajah semakin pucat sambil berusaha mengelakkan serangan lawan. "He
he he... Lucu sekali kau dengan keadaan seperti itu, Sobat Wajahmu pucat
laksana mayat Ma-tamu keluar laksana jengkol tua... He he he..." Truna
semakin bertambah marah mendengar ledekan itu. Gigi-giginya bergemerutuk keras,
dan matanya melotot. Kemudian dengan mendengus, pemuda berwajah pucat itu
kembali mencoba menyerangnya dengan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap' untuk
meredam jurus lawan.
"Heaaat.." Tangan Truna
mengepak, dan sesekali mencakar ke arah lawan. Tapi serangan yang dilancarkan
dengan tenaga dalam penuh itu tak mampu juga memecahkan jurus Pendekar Gila.
Bahkan serangan yang dilancarkan oleh Truna yang berupa kepakan, cakaran, serta
hantaman, bagai membentur batu karang kokoh. "Edan Benar-benar jurus
edan..." kembali Truna memaki-maki seorang diri. Wajahnya kian memucat,
setelah menyadari kalau lawannya bukan pemuda sembarangan. Namun Truna tidak
mau mengalah begitu saja. Dengan mendengus, pemuda berwajah pucat itu kembali
menyerang.
"Kuhancurkan tubuhmu....
Heaaa..." "He he he... Kau begitu marah, Sobat? Ah, sesungguhnya
berkelahi dalam keadaan marah sangat berbahaya," celoteh Pendekar Gila
sambil bergerak meliuk-liuk. Untuk mengelakkan tamparan dan pukulan tangan
lawan.
Truna benar-benar bernafsu untuk
secepatnya menjatuhkan lawan. Gerakan tangan dan kakinya se makin lama
bertambah kencang. Tangannya seperti sepasang sayap yang mengepak dan
menghantam. Kedua kakinya tak tinggal diam, ikut menyapu dan menendang. Disusul
dengan cengkeraman dan cakaran keras yang mematikan.
"He he he..." Pendekar Gila
terkekeh, menyaksikan lawan terlihat semakin bernafsu untuk mengalahkannya. Dengan
tangan menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila merubah jurusnya. Tubuhnya
mendadak seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Sukma'.
Melihat Pendekar Gila bagai tak memiliki
tenaga sedikit pun, Truna semakin bernafsu untuk dapat menjatuhkan lawan.
Kemudian bersama pekikan menggelegar, Truna mempercepat serangannya.
"Heaaat.." Dengan jurus 'Gagak
Hitam Mencabik Bangkai' Truna berkelebat. Tangannya yang mengejang, mencakar
ganas ke muka dan dada lawan.
"Terimalah kematianmu, Pemuda Gila"
Dengan tetap terhuyung-huyung, Pendekar Gila segera menggeser tubuh ke samping.
Tangannya menepis serangan lawan dengan lemas.
"Akh..." Truna tersentak.
Ditariknya cakaran tadi. Kemudian kembali menyerang dengan cakaran tangan yang
lain.
"Uts..." Pendekar Gila
merundukkan kepala, membuat cakaran lawan melesat di atas tubuhnya, la-lu
menghunjam pohon.
Crab Pendekar Gila dengan gerakan aneh,
menampar perut lawan dengan punggung tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya,
memukul dada lawan sambil mendorong.
Degk Bettt "Uhk..." keluh
Truna tertahan. Tubuhnya langsung terlontar ke belakang. Beruntung pukulan yang
dilancarkan Pendekar Gila tidak seberapa keras, hing-ga dia tidak mengalami
luka dalam yang berarti.
Pendekar Gila tertawa dengan tangan
menggaruk-garuk kepala, membuat Truna semakin marah.
"Bedebah... Aku akan mengadu nyawa
denganmu, Gila Heaaa..." Dengan kemarahan yang meluap-luap, Truna kembali
melakukan serangan. Bahkan kini dia menjadi nekat, sehingga
serangan-serangannya membabi buta "He he he..." Pendekar Gila
terkekeh. Sementara itu, Suciati yang masih dalam keadaan tertotok memandangi
kedua pemuda itu dengan harap-harap cemas. Meskipun belum mengetahui siapa
pemuda bertingkah gila itu, dia berharap agar Pendekar Gila dapat memenangkan
pertarungan itu. Namun dilihat dari sikapnya, pemuda tampan berompi kulit ular
sanca itu adalah pemuda baik-baik "Hyang Widhi, semoga pendekar itu dapat
mengalahkan lelaki yang membunuh ayahku," bisik Suciati dengan mata masih
memandang pada pertarungan itu.
"Celaka Edan... Benar-benar jurus
edan" rutuk Truna dengan wajah tegang. Dia sungguh tidak menyangka kalau
serangannya akan hancur begitu rupa. Padahal lawan sepertinya mabuk "He he
he..." Pendekar Gila kembali terkekeh, lalu dengan gaya orang mabuk dia
kembali menyerang.
"Uts..." Truna segera
bersalto, berusaha mengelakkan tamparan tangan Pendekar Gila. Wajahnya kini
bertambah tegang, malah hampir seputih kapas.
Suciati yang melihat pemuda berwajah
pucat itu terdesak, kini tanpa sadar tersenyum. Entah mengapa, dia begitu
mengharapkan pemuda gila itu memenangkan pertarungan.
"Oh, Jagat Dewa Batara Semoga kau
mengabulkan doa ku," desis Suciati penuh harap. Senyumnya semakin
mengembang, saat menyaksikan pemuda gila itu terus mendesak lawan. Membuat
Truna semakin mundur dan mundur.
Pendekar Gila semakin mendesak lawan,
hingga keduanya jauh meninggalkan hutan. Kini mereka berada di alam terbuka
ketika tiba-tiba terdengar sua-ra orang berseru, "Tunggu..."
***
Pendekar Gila menghentikan serangan lalu
melompat dua tombak ke belakang. Matanya memandang ke arah timur, di mana
terlihat empat lelaki tua berlari menuju ke arahnya. Dan setelah dekat keempat
lelaki tua itu segera menjura hormat "Terimalah salam hormat kami,
Kisanak," kata keempat lelaki tua itu berbareng.
Sena menggaruk-garuk kepala. Dia tak
mengerti mengapa keempat lelaki tua itu menyampaikan hormat padanya.
"Ah, mengapa Kisanak semua berbuat
begitu? Seharusnya, aku yang melakukan hal tersebut. Karena menurutku,
kalianlah yang patut dihormati." "Ah, tidak begitu, Kisanak Kamilah
yang harus memberi hormat padamu," tutur lelaki tua bertubuh sedang dengan
otot menonjol, yang mengenakan rompi coklat tua. Seperti warna ikat kepalanya,
rambutnya ikal tidak terlalu gondrong Wajah lelaki itu begitu tenang, meski
cambang bauk menghiasi. Alis matanya tebal dan lebat Matanya tajam, namun tak
garang. Malah nampaknya sangat ramah. Lelaki itu bernama Ki Wirapati, Ketua
Padepokan Cakra Geni.
Di sampingnya berdiri seorang lelaki
yang mungkin seusia Ki Wirapati. Rambutnya agak putih serta panjang terurai.
Ikat kepalanya kuning dengan lukisan kepala macan. Hidungnya mancung dan
matanya agak sipit. Tak ada kumis, hanya jenggot tebal.
Sedangkan baju yang dikenakannya rompi
seperti loreng macan. Dialah Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Loreng.
Salah satu perguruan besar di wilayah tengah. Di sisi Ki Panca Loreng, berdiri
seorang lelaki berpakaian warna putih yang aneh. Keanehan itu terletak pada
lengannya yang buntung. Sedangkan jari-jari lengan kanannya, bukan jari-jari
biasa. Tapi terbuat dari logam. Rambutnya putih terurai dengan ikat kepala dari
akar pohon. Wajahnya agak murung melukiskan keprihatinan. Entah apa yang
menjadi beban pikirannya. Lelaki tua itu bernama Ki Yaksa Asti, Ketua Perguruan
Cakar Sewu.
Dan seorang lagi adalah lelaki bertubuh
tinggi besar dengan sorot mata tajam. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya
mirip seorang resi. Di tangannya tergenggam senjata berupa tombak bermata dua
yang panjangnya se lengan. Hidungnya besar, sedangkan mulutnya tertutup oleh
kumis yang lebat Dialah Ki Tunggal Manik dari Perguruan Teratai Putih.
Setelah memandangi satu persatu keempat
lelaki tua yang masih tersenyum ramah ke arahnya, Sena mengaruk-garuk kepala
sambil cengengesan "Ah ah ah.... Kenapa harus begini?" tanyanya masih
menggaruk-garuk kepala. "Ah, antara kita belum saling mengenal. Mengapa
kalian menghormatiku yang gila ini?" Tanpa menghilangkan rasa hormat,
keempat lelaki tua itu memperkenalkan nama dan dari mana asal mereka sebenarnya
satu persatu.
Kepala Sena mengangguk-angguk. Sementara
tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya tersungging senyum yang
terlihat aneh. Kini mulai diketahui, siapa mereka sebenarnya. Rupanya keempat
lelaki tua itu adalah orang-orang nomor satu di perguruan masing-masing. Nama
mereka memang pernah didengarnya.
"Hm...," gumam Sena perlahan.
"Tak pantas rasanya aku menerima hormat kalian. Bukankah kalian lebih tua
dariku dan memiliki nama besar yang patut dihormati pula?" "Kami
yakin tak keliru," sahut Ki Wirapati.
"Benar," sambung Ki Yaksa
Asti. "Kami yakin, kaulah Pendekar Gila dari Gua Setan." "Ah,
rupanya pandanganmu tajam juga, Ki," gumam Sena sungkan, sambil tetap
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. "Tak dapat aku menutup diri lagi
dari pandangan kalian." "Kami berharap, Kau sudi menerima hormat
kami..." ujar keempat lelaki tua itu, seraya menjura hormat "Ah...,
ah Kalian jangan berlebihan terha-dapku. Sekarang katakanlah, mengapa kalian
menghentikan pertarungan kami?" tanya Sena tegas.
"Maafkan kalau kami lancang.
Sesungguhnya kami ada urusan juga dengan bocah...," tiba-tiba Ki Wirapati
menghentikan ucapannya. Matanya memandang ke tempat Truna tadi berada.
"Celaka, dia telah pergi..." 4
Semua mata seketika mengikuti pandangan
Ki Wirapati. Mata mereka terbelalak lebar, karena pemuda berwajah pucat itu
telah berkelebat pergi ketika mereka tengah berbicara.
"Kita harus mendapatkannya"
kata Ki Tunggal Manik. "Sebenarnya, ada urusan apa antara kalian dengan
pemuda itu...?" tanya Sena ingin tahu.
Dengan cepat dan singkat, Ki Panca
Loreng menceritakan mengapa mereka hendak menangkap sekaligus membunuh pemuda
berwajah pucat itu. Pemuda yang dikenal dengan nama Anjasmara, Widura, Rupasa,
Kulana, dan kini bernama Truna itu sesungguhnya pemuda hidung belang. Dia telah
banyak membuat keresahan. Suka mengganggu istri orang dan gadis-gadis. Bahkan
anak-anak mereka mati setelah diperkosa oleh pemuda itu.
"Begitulah ceritanya....."
ucap Ki Panca Loreng, mengakhiri ceritanya.
"Heh, mengapa kalian tak bilang
dari tadi?" sentak Sena.
Keempat lelaki tua itu tak menjawab.
Mereka hanya menundukkan kepala.
"Kalau begitu, kita kejar dia Aku
yakin, dia kembali ke hutan. Ayo, jangan sampai kita terlambat," ajak
Sena.
Kemudian, kelima orang ini segera
melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar pemuda berwajah pucat yang
menjadi buronan keempat lelaki tua tersebut Apa yang diduga oleh Sena ternyata
benar. Pemuda berwajah pucat yang memiliki banyak nama itu tengah berlari ke
arah hutan di mana Suciati berada.
Di bibirnya tersungging senyum, seakan
puas dapat lepas dari kelima orang yang tentunya akan membuatnya semakin repot.
"Huh, untung mereka tidak langsung
menyerangku. Hm, ada gunanya juga pemuda gila itu..," gumamnya sambil
tersenyum-senyum. "Tapi aku tidak habis pikir, siapakah pemuda gila itu?
Ki Wirapati dan lainnya menyebut Pendekar Gila. Ah, mungkinkah pendekar yang hidup
pada puluhan tahun silam muncul lagi...?" Truna terus memikirkan siapa
sesungguhnya pemuda berompi kulit ular yang seperti orang gila itu.
Dia terus mempercepat langkahnya agar
segera sampai di tempat Suciati berada.
"Dilihat dari gerakannya, memang
persis dengan cerita orang-orang tua tentang Pendekar Gila.
Hm...," gumamnya kembali dengan
hati yang dipadati rasa penasaran. "Kalau benar dia Pendekar Gila,
celakalah aku Rimba persilatan akan semakin bersih dari orang-orang sepertiku.
Ah, persetan dengan dia Yang penting aku harus mendapatkan Suci. Gadis itu
sangat menggiurkan" Truna kembali tersenyum, ketika melihat Suciati masih
berada di tempatnya dalam keadaan tertotok. Mata gadis itu membelalak
ketakutan, manakala melihat kemunculannya.
"He he he.... Kita akan
senang-senang, Manis Tak ada lagi yang akan mengganggu," kata Truna sambil
melangkah mendekati tubuh Suciati yang semakin ketakutan.
Dengan cepat digendongnya tubuh gadis
itu di pundak. Pemuda berwajah pucat ini hendak meninggalkan tempat itu, tapi
tiba-tiba terdengar suara gelak tawa memenuhi hutan.
"Ha ha ha..." Truna terkejut.
Matanya menyapu ke sekelilingnya, mencari asal suara tawa itu.
"Pemuda gila itu...," desisnya
kelu. Nampak raut keterkejutan tergambar di wajahnya. Sehingga wajahnya yang
pucat semakin pucat pasi.
Tawa itu masih menggema, seakan-akan
berada di setiap penjuru hutan. Truna menjadi semakin kebingungan, ketika suara
itu berubah-ubah arah.
Terkadang di depan, di belakang,
kemudian di sampingnya.
Pemuda berwajah pucat itu perlahan
menurunkan tubuh gadis yang tak berdaya dalam totokannya.
Dia berdiri mematung, dengan mata
menyapu ke sekeliling dengan wajah tegang.
"Ha ha ha... Kau lucu sekali, Sobat
Tadi kulihat kau tersenyum-senyum. Mengapa kini kau seperti tikus ketakutan?"
Marah sekali Truna diejek seperti itu. Selama malang-melintang di rimba
persilatan, dia belum pernah takut "Pemuda gila Kalau kau memang lelaki,
keluarlah Tunjukkan mukamu Aku Truna tak pernah takut pada siapa pun"
"Benarkah...?" Tiba-tiba pemuda gila itu telah di belakangnya.
Tingkahnya masih tetap seperti tadi,
cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Truna terkejut, dan matanya melotot
tegang ketika mendengar suara pemuda gila itu di belakangnya.
Segera tubuhnya diputar.
"Kau..?" desis Truna, geram.
"Ya, aku...," sahut Sena
tegas. Namun tingkah lakunya masih tetap seperti semula. Bahkan pemuda gila itu
kini tertawa terbahak-bahak. Hingga suaranya menggema dalam sepinya hutan.
"Kenapa kau ikut campur
urusanku?" tanya Truna berusaha menutupi kesalahannya.
"Kenapa...? Ha ha ha.... Kau lucu
sekali, Sobat.
Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk
keluar dari persembunyian ku? Itu berarti kau meminta ku untuk ikut campur
urusanmu," kata Sena dengan niat meledek.
Belum juga mulut pemuda berwajah pucat
itu sempat menanggapi ledekan Sena, tiba-tiba dari arah timur terdengar seruan
seseorang.
"Kisanak, biarlah pemuda berandal
itu kami urus. Dia harus bertanggung jawab kepada kami atas perbuatannya"
Tidak lama kemudian, muncullah empat orang lelaki tua yang terdiri dari empat
pemimpin perguruan berbeda.
Truna tersenyum melihat kedatangan empat
lelaki tua itu untuk menyembunyikan ketakutannya.
Malah dengan berpura-pura ramah,
mulutnya melepas basa-basi.
"Ah, sungguh kehormatan bagiku
karena kalian sebagai orang penting rimba persilatan sudi menemuiku."
"Tutup mulutmu, Iblis Kami datang bukan untuk mempercayai kata-katamu yang
busuk" dengus Ki Wirapati kesal.
"Ya Kami datang bukan untuk
mempercayaimu lagi. Tap kami datang untuk menghukum mu" tambah Ki Yaksa
Asti dengan mata tajam menghunjam ke arah pemuda berwajah pucat yang masih
tampak tenang.
"Apa salahku, hingga kalian hendak
menghukumku?" tanya Truna kalem. Seakan dirinya benar-benar tak berdosa.
Hal itu membuat keempat orang tua itu mendengus gusar.
"Bedebah Masih juga kau
menyembunyikan muka di balik kedok bututmu, Bocah Bukankah gadis itu sebagai
bukti siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Ki Panca Loreng.
"Ya, ikutlah kami untuk dihukum
Atau kau harus berhadapan dengan kami?" ancam Ki Tunggal Manik. Truna
bagaikan tak gentar menghadapi keempat orang tua itu. Mulutnya malah mengumbar
tawa, membuat keempat orang tua yang hendak menangkapnya mengerutkan kening dan
saling pandang. Mereka seperti terkesima. Dan tanpa mereka sadari, tawa yang
dilepaskan pemuda berwajah pucat itu mengan-dung ilmu tawa 'Pengikat Sukma'.
Suatu ilmu yang mampu membuat orang terkesima jika mendengarnya.
Pendekar Gila mengerutkan kening,
menyaksikan keempat tokoh tua itu hanya saling pandang kebingungan. Dia hampir
tak habis pikir, mengapa semuanya terkesima oleh tawa Pemuda berwajah pucat
itu? Karena lucu, tangan kanannya menggaruk-garuk kepala serta tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat seraya tergelak-gelak.
"Ha ha ha... Lucu..., lucu..."
oceh Pendekar Gi-la, diselingi tawa mengguntur yang mampu membuyarkan serangan
ilmu tawa Truna.
Keempat lelaki tua itu tersentak, bagai
baru tersadar dari mimpi. Mata mereka langsung membelalak. Kemarahan mereka pun
semakin menjadi-jadi.
"Kurang ajar Tangkap dia..."
seru Ki Wirapati.
***
Pendekar Gila yang merasa tak ada urusan
dengan pemuda berwajah pucat itu lagi, segera melompat ke arah Suciati.
Dibukanya totokan pada tubuh gadis itu. Kemudian diajaknya menjauh dari arena
per-tempuran antara empat tokoh tua dengan pemuda itu.
Pertarungan antara keempat orang tua
gagah yang berusaha menangkap pemuda berwajah pucat itu mulai berlangsung
sengit. Keempat tokoh tua yang sudah tahu bagaimana ilmu pemuda itu, tanpa
sungkansungkan mengeroyoknya.
Urusan mereka sama. Karena mereka telah
diperdayai oleh pemuda itu. Anak dan murid wanita keempat tokoh tua itu telah
menjadi korban rayuan gombal si pemuda. Pantaslah jika mereka bergabung untuk
menuntut balas.
"Kau harus mampus, Buaya Darat
Heaaat.." Ki Wirapati membuka serangan dengan jurus 'Seribu Guntur'nya
yang dahsyat. Kepalan tangannya membara. Setiap dia memukul, deru angin panas
laksana guntur bersahutan.
"Hm.... Percuma kau melawanku"
ujar Truna, meremehkan lawannya.
"Bangsat rendah Jangan sombong
Heaaa..." Ki Wirapati terus melancarkan serangan. Tangannya bergerak cepat
Terkadang memukul, kemudian menangkis. Suatu gerakan yang hebat, cepat dan
berbahaya. Namun ucapan pemuda itu terkadang memang tidak kosong. Dengan tenang
dia menanggapi serangan lawan.
"Hiaaat.." "Hup..."
Sambil menekuk kedua kakinya sedemikian rupa, Truna melebarkan kakinya ke
samping. Kemudian dengan cepat kaki kanannya diangkat, lalu menendang.
Sedangkan tangannya menepak untuk menepis pukulan lawan.
Plak "Uhhh..." Cepat-cepat Ki
Wirapati membuang tubuh ke samping. Kalau tidak, tentu iganya akan patah
terkena tendangan lawan yang keras dan mematikan.
"Sudah kukatakan, percuma kalian
melawanku...," ejek pemuda berwajah pucat itu sambil tersenyum sinis.
"Sombong Jangan pongah dulu, Buaya
Darat Terimalah kematianmu Heaaat.." Kini Ki Yaksa Asti yang menyerang.
Tangan kanannya yang terbuat dari logam bergerak cepat, mencakar ke arah lawan.
Gerakannya sangat cepat, sehingga tangannya tampak banyak sekali. Karena itulah
dia berjuluk si Cakar Seribu.
Truna tersenyum pongah. Dengan tenang
serangan lawan dielakkannya. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk, dan melentur
menghindari. Dengan menggunakan jurus 'Gagak Merunduk Mengelak Elang', pemuda
berwajah pucat itu terus berkelit dari cakaran lawan.
"Hiaaat.." "Uts... Masih
belum, Ki?" ejeknya.
Kepongahan pemuda berwajah pucat itu
semakin menjadi-jadi, membuat muka Ki Yaksa Asti merah padam. Matanya semakin
melotot lebar. Dia kemudian meningkatkan serangannya. Tangannya bergerak
lincah, mencakar ke samping, ke atas, lalu ke bawah.
Kalau saja Truna tak gesit dan lincah
dalam mengelak, sudah pasti tubuhnya akan hancur tercabik-cabik cakar lawan.
Namun pemuda berwajah pucat itu bagai telah tahu jurus-jurus lawan, dengan
enteng dia mengelitkan serangan-serangan lawan.
"Percuma kau mengeluarkan jurus
'Cakar Langit'mu, Ki" ejek Truna ketus, membuat Ki Yaksa Asti terkejut karena
jurusnya telah dikenali lawan "Dari mana kau tahu nama jurusku, Buaya
Darat" bentak Ki Yaksa Asti.
"Kau lupa kalau dua tahun aku
berada di perguruanmu," ujar Truna setelah tertawa tergelak-gelak,
"Bangsat.. Heaaa" Ki Yaksa Asti kembali melancarkan serangan.
Kini tak dipedulikannya ocehan pemuda
berwajah pucat itu. Dia harus bisa menjatuhkan pemuda itu dan membunuhnya bila
perlu.
Namun Truna ternyata benar-benar telah
tahu semua jurusnya. Hingga dengan mudah pemuda berwajah pucat itu mampu
mengatasi serangannya. Bahkan tanpa diduga Ki Yaksa Asti, dia mampu
mengeluarkan suatu jurus gabungan yang dahsyat Jurus 'Cakar Seribu' digabung
dengan jurus dari Padepokan Cakar Sewu. "Celaka..." pekik Ki Yaksa
Asti dengan mata melotot kaget. Bukan hanya dia, Ki Wirapati pun terkejut
menyaksikan bagaimana pemuda berwajah pucat itu menggabungkan jurus
padepokannya dengan jurus Perguruan Cakar Sewu.
"Kurang ajar Licik..." rutuk
Ki. Wirapati.
"Lebih baik kita serang dia
bersama-sama Kurasa dia pun telah menyerap jurus-jurus milik kita," saran
Ki Tunggal Manik.
"Baiklah Kita memang tak perlu
malu" sahut Ki Panca Loreng setuju. Kemudian mereka langsung menyerang
Truna bersama-sama.
"Heaaa..." Meski dikeroyok
oleh empat orang tokoh silat berilmu tinggi, pemuda berwajah pucat itu masih
tenang. Dia masih mencibirkan bibirnya sambil meladeni serangan-serangan lawan.
Meski kelihatannya pemuda itu agak kerepotan mengelakkan serangan keempat
lawan, namun wajahnya tak sedikit pun tergambar rasa takut "Rupanya kalian
telah menjadi orang pengecut" dengusnya penuh kesinisan. Sedangkan tangan
dan kakinya bergerak menyerang atau menangkis serangan lawan. "Persetan
dengan ucapanmu kau harus segera kami singkirkan dari dunia, agar gadis-gadis
aman" dengus Ki Panca Loreng sengit. Tangannya yang bergerak seperti
tangan macan, terus berusaha merangsek lawan. "Heaaat.." "Uts...
Hiyaaa..." Pertarungan keempat orang tua melawan seorang pemuda yang
berwajah pucat itu berlangsung seru. Keempat orang tua itu berusaha secepatnya
untuk merobohkan lawan. Jurus-jurus mereka bergantian menyerang. Hal itu cukup
merepotkan Truna yang kini hanya mampu bertahan.
"Heaaat.." "Hup...
Heaaa..." Pertarungan itu masih terus berlangsung. Tak ada kata-kata yang
keluar dari mulut mereka. Semua hanya terpusat pada pertarungan itu. Keempat
orang tua yang terus menyerang, tak mau menganggap enteng pemuda berwajah pucat
yang telah menyerap ilmu perguruan mereka. Sedangkan Truna pun tidak mau mati
konyol begitu saja. Dia terus saja mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Tanpa terasa pertarungan itu terus
bergeser dari tempat semula. Kini keempat lelaki tua itu terus menggiring Truna
keluar dari hutan.
Sementara Sena dan Suciati hanya
menonton.
Mereka tak dapat berbuat apa-apa,
kecuali mengikuti pertarungan antara pemuda berwajah pucat melawan keempat
tokoh tua.
"Kita ikuti mereka, Nona,"
ajak Sena. Suciati sesaat menatap wajah Sena dalam-dalam, membuat bibir pemuda
tampan itu tersenyum-senyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya
yang persis orang gila datang lagi, setelah hilang beberapa saat "Terima
kasih atas pertolonganmu, Tuan Pendekar," kata gadis itu dengan rasa haru,
semakin membuat Sena kebingungan. Terlebih ketika melihat air matanya mengalir
membasahi pipi. "Kalau saja tak ada Tuan, entah sudah bagaimana
nasibku." "Ah, mengapa begitu?" ujar Sena setelah tertawa
cekikikan. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Suciati tak langsung
menjawab. Kembali ditatapnya wajah Sena, meski telah melihat tingkah laku
pemuda itu sejak awal, namun gadis itu belum yakin kalau pemuda tampan dan
gagah itu benar-benar gila.
Itu sebabnya dia beberapa kali menatap
wajah Sena, seakan-akan ingin meyakinkan hatinya. Setelah yakin kalau pemuda
tampan itu memang tidak sungguhsungguh gila, barulah dia berkata, "Jika
tidak, tentunya pemuda itu sudah memperkosaku." Tanpa diminta, Suciati
menceritakan hal yang telah menimpa dirinya. Ayahnya, Adipati di Tegal Arang
telah mati di tangan Truna, ketika dia memergo-ki pemuda berwajah pucat itu
tengah bergumul dengan ibu tiri nya. Setelah kematian ayahnya, pemuda itu
hendak memperkosanya.
"Untunglah Tuan Pendekar datang....
Kalau tidak, entah bagaimana nasibku," ulang Suciati dengan terisak.
"Ah ah ah, jangan menangis, Nona.... Hu hu hu.... Aku jadi sedih,"
Sena turut menangis. Hatinya terenyuh mendengar penuturan Suciati. Tapi
tiba-tiba dia tergerak sambil bergumam lirih. "Oh, persoalan kehidupan
memang tak akan ada habisnya. Sudahlah, Nona. Tak perlu ditangisi apa yang
telah terjadi. Ayo-lah, kita lihat apa yang tengah terjadi." Kemudian Sena
menggandeng tangan Suciati meninggalkan tempat itu untuk melihat apa yang
terjadi pada keempat pendekar tua yang tengah mengeroyok pemuda berwajah pucat
Pertarungan ternyata masih berlangsung sengit dan telah sampai di bibir sebuah
jurang dalam yang menganga. Siap memangsa siapa saja yang terperosok ke
dalamnya.
Kelihatannya pemuda berwajah pucat sudah
tak dapat berbuat banyak. Wajahnya bersimbah darah seperti ada bekas cakaran.
Entah itu hasil serangan Ki Yaksa Asti atau Ki Panca Loreng.
Pemuda berwajah pucat itu benar-benar
terdesak. Pandangan matanya gelap karena tertutup darah.
Hingga ketika Ki Wirapati dengan pukulan
'Seribu Guntur'nya menyerang, pemuda itu tak dapat mengelak lagi.
"Terimalah kematianmu. Heaaa..." Degk "Uhk... Wuaaa..."
Darah langsung tersembur dari mulut pemuda itu, kemudian tubuhnya yang limbung
terjerumus ke jurang disertai lengkingannya yang menyayat Keempat orang tua itu
tertegun, memandang ke bawah jurang yang sangat dalam. Mereka menghela napas
lega, merasa biang keladi yang telah banyak memangsa gadis-gadis telah dapat
dibinasakan.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala, membuat keempat lelaki tua itu tersentak. Mereka segera
mengalihkan pandangan ke arah Pendekar Gila yang berdiri di sisi Suciati.
"Kisanak, kalau kau tak keberatan,
kami ingin mengajak mu ke padepokan kami," kata Ki Wirapati setengah
mengajak.
"Ah, sebuah kehormatan bagiku.
Baiklah, Ki....
Sekalian aku ingin menimba lebih banyak
pelajaran hidup darimu," jawab Sena. "Oh, ya. Gadis ini adalah putri
Kanjeng Adipati...." "Putri Kanjeng Adipati...?" ucap empat
tokoh tua itu hampir berbareng.
Mata mereka membelalak setelah mendengar
penuturan Sena. Keempatnya seketika memandang ke arah Suciati dengan seksama.
Kemudian serentak mereka menjura hormat.
"Ampuni kami yang tak tahu adat
ini, Kanjeng Putri" "Tak apa, Paman. Aku kini bukan anak Kanjeng
Adipati lagi. Ayahanda telah tiada," tutur Suciati sambil berlinang air
mata, membuat kelima orang lelaki itu turut terhanyut dalam kesedihannya.
"Kanjeng Putri, kalau kami boleh
tahu... apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Ki Wirapati.
"Hamba lihat, tadi Kanjeng Putri
bersama pemuda iblis itu." Dengan terisak, Suciati menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Diceritakan awal mula kejadian yang akhirnya menimpa
keluarganya. Mulanya datang seorang pemuda berwajah pucat yang mengaku bernama
Truna ke kadipaten untuk mencari pekerjaan.
"Dari pertama aku sudah tidak
simpati padanya. Sorot matanya sangat jalang dan memendam nafsu. Namun ayahanda
tak mau percaya...," tutur Suciati. Kelimanya diam. Tak ada yang buka
suara. Se-na masih menggaruk-garuk kepala. Namun mukanya tidak cengengesan
seperti biasa. Pemuda itu seperti turut terbawa alur cerita yang dituturkan
Suciati.
Setelah sesat menarik napas panjang dan
dalam, Suciati meneruskan.
"Sering aku memergoki pemuda itu
bercakapcakap dengan ibu tiri ku. Aku semakin curiga. Hingga pada akhirnya
kulihat sendiri apa yang mereka lakukan. Sungguh terkutuk perbuatan
mereka" Sampai di sini, mimik muka Suciati nampak geram. Sedangkan
sepasang matanya berkilat-kilat menahan amarah.
"Saat itu, sebagai seorang gadis
aku tak tahu harus berbuat apa melihat perbuatan terkutuk itu.
Aku hanya bisa memendam kejengkelan.
Rupanya ayah terjaga ketika hari menjelang pagi. Dan ayah memergoki mereka,
hingga terjadi pertarungan antara ayah dan pemuda itu...." "Kami
turut berduka cita," ucap keempat lelaki tua dengan suara penuh keharuan.
Apalagi mereka kini mendengar isak tangis Suciati yang semakin menjadi-jadi.
"Lalu, apa yang hendak Tuan Putri lakukan?" tanya Ki Panca Loreng
memberanikan diri untuk buka mulut Suciati hanya menggeleng. Namun kini
tatapannya tertuju pada Sena. Sepertinya dia meminta pendapat dari pemuda itu.
Sementara yang ditatap hanya menggaruk-garuk kepala, tak tahu apa yang harus
dikatakannya.
"Apakah Tuan Putri hendak ikut Tuan
Pendekar?" tanya Ki Wirapati yang melihat Suciati masih memandang Sena.
"Kalau boleh," sahut Suciati,
bernada pasrah.
Mendengar jawabannya, Sena merasa
bingung.
Tangannya menggaruk-garuk kepala semakin
keras.
Lalu dahinya ditepuk dengan tangan kiri.
"Ah, mengapa begitu?" katanya
dengan suara lirih.
"Apakah Tuan tak sudi menerimaku?
Sedangkan Tuan telah menolongku?" desak Suciati, semakin membuat Sena
kebingungan.
Pendekar muda itu cengengesan Kemudian
bibirnya memperlihatkan nyengir kuda seraya menggeleng-geleng kepala.
"Ah ah, bukan begitu, Tuan
Putri." "Lalu apa yang membuat Tuan ragu?" desak Suciati.
"Entahlah, aku tak tahu. Yang pasti, aku tak mungkin membawamu. Ah,
mengapa aku bodoh? Bukankah lebih baik kau bersama Ki Wirapati?" saran Sena.
"Bagaimana, Ki?" "Aku tak keberatan," sahut Ki Wirapati.
"Ah, syukurlah. Tuan Putri, kuharap
kau mau menerima uluran tangan Ki Wirapati. Bukannya aku tak mau diikuti
olehmu. Namun langkahku tak menentu. Aku hanya mengikuti naluri belaka. Kau tak
akan sanggup, Tuan Putri. Nah, kuharap Tuan Putri paham...," tutur Sena.
"Bagaimana kalau Kisanak mampir di
pesanggrahan ku?" ajak Ki Wirapati.
Sena tak langsung menjawab. Wajahnya
menatap langit, di mana mentari belum tinggi. Kepalanya digaruk-garuk,
sedangkan mulutnya nampak nyengir.
"Baiklah Tak baik rasanya menolak
ajakan mu," setelah terdiam beberapa saat, akhirnya menye-tujui ajakan
itu.
Mereka kemudian segera meninggalkan
tempat yang kembali sepi itu. Angin pagi bertiup lembut, membawa rasa sejuk
bagi siapa saja yang diterpanya.
Sedangkan mentari pelan merayap naik.
***
5
Tubuh Truna menukik deras ke dalam
jurang yang dinamakan Jurang Neraka. Tentu tubuhnya akan hancur, jika
menghunjam dasar Jurang Neraka yang berbatu setajam pisau.
Saat tubuh Truna melayang, berkelebat
sesosok tubuh bungkuk bagai terbang. Kemudian dengan cepat menyambar tubuh
pemuda itu, sebelum sampai ke dasar Jurang Neraka.
Tappp Tubuh kecil dan bungkuk berpakaian
serba hitam itu ternyata seorang wanita tua. Dia terus berkelebat sambil
memanggul tubuh Truna. Dilihat dari caranya menangkap tubuh pemuda itu,
tentunya dia bukan orang sembarangan. Dialah Dewi Bunga Iblis, tokoh wanita
sesat yang pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan tahun silam.
Kini tiba-tiba dia muncul kembali, menolong pemuda berwajah pucat yang tubuhnya
hampir saja hancur.
"Licik... Mereka licik Tunggu
saatnya, kalian akan mendapatkan balasan atas perbuatan kalian" rutuk Dewi
Bunga Iblis sendirian sambil berlari membawa pemuda yang wajahnya bersimbah
darah.
Dewi Bunga Iblis membawa tubuh pemuda
itu ke sebuah tempat di sekitar Jurang Neraka, tepatnya sebuah gubuk yang
sangat sederhana. Di dalam gubuk itu, terdapat sebuah tempat tidur yang terbuat
dari ba-tu. Di situlah tubuh Truna dibaringkan.
Perempuan tua itu sejenak memandangi
tubuh Truna. "Hm.... Rupanya puluhan tahun aku tak berke-cimpung dalam
rimba persilatan, menjadikan mereka tenang mempelajari dan memperdalam
ilmu," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
Perlahan perempuan tua itu membuka
pakaian Truna yang penuh darah. Matanya seketika membelalak, saat menyaksikan
sesuatu di dada pemuda itu.
"Pukulan 'Seribu Guntur'"
pekiknya tanpa sadar.
Dewi Bunga Iblis menyurut mundur dengan
mata masih memandang tajam ke dada pemuda yang ditolongnya. Sepertinya dia
sangat mengenali pukulan itu "Wiasa keparat Rupanya dia telah melanggar
janji" dengusnya dengan wajah bengis. "Licik Dia telah mengangkat
murid" Lalu kaki perempuan tua itu kembali melangkah, mendekati tubuh
Truna. Dirabanya dada si pemuda. Kepala perempuan tua itu menganggukangguk,
sementara bibirnya terulas senyum tipis. Kemudian dari bibir yang keriput itu
terdengar gumaman. "Wiasa, karena kau telah mengangkat murid, maka aku pun
akan mengangkat murid pula. Bocah ini akan menjadi muridku Dialah yang akan
menggantikan ku Hik hik hik...," ujar Dewi Bunga Iblis sambil tertawa
mengikik nyaring.
Kemudian dengan mulut berkomat-kamit
merapal mantera, Dewi Bunga Iblis menekankan telapak tangannya ke dada Truna.
Dan tak lama kemudian, asap mengepul di antara tangan dan dada yang menyatu
itu.
"Akh..." Truna menjerit
kesakitan. Tubuhnya menggeliat, berusaha menahan rasa sakit Namun Dewi Bunga
Iblis tak peduli. Dia terus menekan telapak tangannya dengan mulut masih
komat-kamit merapal mantera.
Sedangkan matanya terpejam rapat.
Semakin keras tekanan telapak tangannya, semakin banyak asap yang mengepul.
"Aaakh..." Truna makin keras
menjerit. Keringat sebesar biji jagung yang bercampur darah tersembul dari
wajahnya yang pucat. Begitu juga dengan Dewi Bunga Iblis. Keringat tampak
membanjiri seluruh tubuhnya.
Lama kejadian itu berlangsung. Pada
akhirnya, dengan napas terengah perempuan tua itu berhenti.
Dan ketika tangannya diangkat, bekas
pukulan yang menghitam di dada Truna telah hilang.
Dewi Bunga Iblis terhuyung meninggalkan
tempat itu. Dia harus melakukan semadi untuk memulihkan tenaga dalamnya yang
telah dikuras untuk menyembuhkan luka akibat pukulan maut 'Seribu Guntur'.
Pemuda yang tadi menjerit-jerit kesakitan dengan tubuh bergelinjangan, kini
terdiam. Rupanya dia tertidur pulas. Napasnya yang tadi tersengal-sengal, kini
terdengar agak teratur.
***
"Uhhh..." Terdengar keluhan lirih
dari mulut Truna. Bibirnya meringis, merasakan sakit yang masih mendera
wajahnya.
Dari dalam sebuah kamar, Dewi Bunga
Iblis melangkah terbungkuk-bungkuk. Wajahnya yang semula letih, kini telah
kembali seperti semula. Malah langsung berbinar manakala melihat pemuda yang
ditolongnya nampak menggeliat sadar.
"Hik hik hik... Akhirnya kau sadar
juga," kata Dewi Bunga Iblis sambil menghampiri tubuh Truna yang masih
terbaring di atas pembaringan batu.
"Di mana aku...?" tanya Truna
setengah bergumam sambil memandang ke sekelilingnya. Kemudian matanya tertuju
ke sosok tua renta, bungkuk, dan agak menyeramkan. "Siapa kau? Apakah aku
di nera-ka...?" Dewi Bunga Iblis terkikik mendengar pertanyaan yang
dilontarkan oleh anak muda itu. Kepalanya mengangguk-angguk, sedang matanya
menyipit memandang Truna.
"Kau memang ada di neraka. Hik hik
hik... Kita memang ada di neraka, Anak Muda. Namun sebentar lagi kau akan ke
surga. Hik hik hik,.." Tubuh Truna terlonjak mendengar jawaban perempuan
tua itu. Dia hendak bangun, tapi cepat dicegah Dewi Bunga Iblis.
"Jangan bangun dulu, Anak Muda. Kau
masih lemah. Hik hik hik... Tenanglah, kau aman di sini," kata Dewi Bunga
Iblis sambil menekankan jari-jarinya ke dada si pemuda.
"Siapa kau, Nek?"
"Aku...? Orang-orang menyebutku Dewi Bunga Iblis. Hik hik hik... Dan siapa
kau, Anak muda...?" balik tanya perempuan tua itu. Matanya yang menyipit
memandangi wajah Truna yang dikotori darah.
"Dewi Bunga Iblis..." sentak
Truna mendengar nama wanita tua itu. "Tidakkah aku benar-benar di alam
kematian? Bukankah menurut kabar kau telah mati?" Dewi Bunga Iblis tertawa
mendengar pertanyaan tadi. Dan karena terlalu kuatnya tertawa, tubuh bungkuknya
sampai terguncang-guncang.
"Hik hik hik... Itu omong kosong
Aku memang sengaja menghilang dari rimba persilatan. Tapi setelah melihatmu,
hatiku tertarik untuk kembali. Aku juga ingin tahu desas-desus yang telah
kudengar...," celo-tehnya. "Jadi...." "Ya Aku akan kembali
ke rimba persilatan untuk membuktikan desas-desus tentang Pendekar Gila dari
Gua Setan. Hik hik hik... Kalau dulu aku pernah di-pecundangi, tapi kini tak
akan lagi Hik hik hik..." "Benar apa yang kau katakan, Nek,"
tukas Truna cepat "Pendekar Gila memang muncul kembali. Ta-pi...."
"Tapi apa...?" potong Dewi Bunga Iblis.
"Dia masih muda."
"Ah...?" Mata Dewi Bunga Iblis membelalak, memandang tajam pada
pemuda di hadapannya. Sepertinya dia tidak percaya mendengar penuturan pemuda
itu.
"Apakah kau tak bercanda,
Bocah?" "Sama sekali tidak, Nek. Bahkan aku tadi sempat bertarung
dengannya," jawab pemuda berwajah pucat itu, meyakinkan.
Dewi Bunga Iblis mengangguk-angguk
mengerti. Lama dia tercenung setelah mendengar penuturan pemuda itu. Keningnya
berkerut, seperti tengah memikirkan kebenaran penuturan Truna.
"Hm, rupanya rimba persilatan telah
banyak berubah. Hik hik hik... Aku semakin tertarik. Hm, tapi biarlah dulu. Kau
harus ku didik dahulu, sebelum kembali ke luar. Dengar baik-baik, Anak Muda.
Sejak saat ini, kau kuangkat sebagai muridku" Truna mengeryitkan dahi.
Alisnya bertaut rapat. Dia tak percaya pada perkataan yang baru saja
didengarnya. Menjadi murid Dewi Bunga Iblis, tokoh tingkat atas golongan sesat?
"Apa..., apakah aku tidak salah dengar. Nek?" tanyanya ragu.
Dewi Bunga Iblis menggeleng mantap,
seraya menyunggingkan senyumnya yang tampak seperti sebuah seringai.
"Oh, terima kasih, Nek. Aku sungguh
senang menjadi muridmu," ucap Truna seraya bangkit dan hendak berlutut,
namun perempuan tua itu mencegahnya. "Sudahlah, tak perlu berlaku begitu.
Kau harus sabar di Jurang Neraka ini selama empat puluh hari untuk melakukan
latihan ilmu yang akan aku wariskan padamu. Ilmu itu bernama 'Kumbang Hitam
Menyengat Bunga'," ucap Dewi Bunga iblis dengan getar bangga pada
suaranya.
"Terima kasih, Guru...." Sejak
saat itu, Truna resmi menjadi murid tunggal Dewi Bunga Iblis. Seorang tokoh
sesat yang pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan tahun silam,
tanpa ada yang mampu mengalahkannya, kecuali Pendekar Gila dari Gua Setan. Dan
sejak dipecundangi pendekar aneh tersebut, dia memutuskan untuk meninggalkan
rimba persilatan.
***
Sore itu di Padepokan Cakra Geni nampak duduk
tiga orang di ruang utama. Dua lelaki dan seorang wanita muda nan cantik.
Ketiganya adalah Ki Wirapati, Pendekar Gila, dan Suciati. Sore itu mereka
tengah berbincang-bincang, membicarakan rencana mereka masing-masing.
"Biarlah Tuan Putri tinggal
bersamaku," kata Ki Wirapati menyarankan. "Anggaplah aku yang bodoh
dan tak berguna ini sebagai ayahmu." "Terima kasih, Ki," sahut
Suciati. "Sungguh aku tak bisa membalas jasa baikmu ini. Dalam keadaan
terkatung-katung sebarang kara, ternyata masih ada yang sudi memperhatikan
ku." "Sudahlah, tak ada yang perlu disedihkan. Kini anggaplah semua
kejadian menyakitkan yang menimpamu sebagai mimpi buruk. Saat kau terbangun,
akulah ayahmu. Bukan Kanjeng Adipati," tutur Ki Wirapati penuh ketulusan.
Lalu dia mengalihkan pertanyaan pada Pendekar Gila yang duduk di hadapannya.
"Bagaimana menurutmu, Sena?" Bibir Sena nyengir ditanya begitu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, aku sungguh bahagia
mendengarnya. Memang sepantasnya Tuan Putri menerima tawaran Ki Wirapati."
"Terima kasih atas pendapatmu, Sena. Lalu kalau boleh ku tahu, hendak ke
mana tujuanmu...?" tanya Ki Wirapati setelah menjura hormat Sena tidak
langsung menjawab pertanyaan orang nomor satu di Padepokan Cakra Geni itu.
Wajahnya ditengadahkan, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Entahlah, aku
tak tahu harus ke mana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Namun,
sebenarnya aku hendak mencari paman ku. Dia satusatunya keluarga ayahku yang
masih hidup. Tapi entah di mana dia kini," gumam Sena.
Ki Wirapati terdiam, tampak terharu
mendengar penuturan pendekar muda itu.
"Apakah tidak sebaiknya kau
menginap beberapa hari di padepokan ini?" tanyanya kemudian.
"Oh, terima kasih," kata Sena.
"Sungguh senang aku mendengar tawaranmu, Ki. Tapi aku tidak bisa tinggal
lama. Masih banyak yang harus kulakukan untuk menyelami kehidupan yang beragam
ini." Ki Wirapati mengangguk-angguk mengerti. Dihelanya napas panjang
sebelum kembali berkata, "Kalau begitu, aku tak dapat memaksa. Dunia ini
memang masih memerlukanmu, Sena. Aku hanya bisa berdoa, semoga kita dapat
bertemu lagi" "Aku pun berharap begitu," sahut Sena.
"Izin-kanlah aku pamit" "Baiklah. Semoga kau selalu dilindungi
Hyang Widhi," ucap Ki Wirapati seraya bangun dari duduk-nya, diikuti oleh
Suciati.
"Kuucapkan terima kasih atas
semuanya, Ki," tutur Sena, kemudian matanya memandang Suciati yang
tertunduk. "Semoga Tuan Putri betah di sini.
Anggaplah Ki Wirapati ayahanda Tuan
Putri sendiri. Ki, aku pamit untuk melanjutkan pengembaraanku mencari paman ku
dan mempelajari kehidupan." "Ku iringi dengan doa," kata Ki
Wirapati sambil menjura, membalas bungkukan Sena. Kemudian Ki Wirapati dan
Suciati melangkah di belakang Sena, mengiringi kepergiannya.
Sampai di pintu gerbang padepokan, Sena
menghentikan langkahnya. Tubuhnya dlbalikkan, lalu memandang Ki Wirapati yang
berdiri di sisi Suciati.
"Sekali lagi, kuucapkan terima
kasih, Ki. Dan untuk Tuan Putri, saya berharap agar dapat menyesuaikan diri di
lingkungan yang baru. Aku mohon pamit," kata Sena seraya kembali menjura.
"Jangan sungkan-sungkan bertandang
ke sini, Sena. Pintu padepokan senantiasa terbuka untukmu," ucap Ki
Wirapati lirih.
"Aku akan bertandang, Ki,"
janji Sena.
Lalu, pendekar muda itu berkelebat
dengan cepat. Dalam sekejap tubuhnya menghilang ditelan keremangan senja.
Sedangkan Ki Wirapati dan Suciati masih tertegun menyaksikan bagaimana pemuda
itu berkelebat sangat cepat.
"Sungguh-sungguh pewaris ilmu Si
Gila," bisik Ki Wirapati perlahan. "Mari kita masuk...."
Kemudian tanpa banyak bicara, Suciati segera mengikuti langkah ayah angkatnya.
Mereka masuk ke padepokan, di mana puluhan muridnya tengah melakukan latihan.
6
Empat puluh hari telah berlalu sejak
kejadian di Jurang Neraka. Selama itu, Kadipaten Tegal Arang kembali tenang.
Tak ada perkosaan atau gadis yang mati setelah diperkosa.
Penduduk kadipaten kini merasa yakin
kalau pelaku pemerkosaan dan pembunuhan para gadis adalah pemuda berwajah pucat
itu. Terbukti setelah pemuda itu hilang, kejadian-kejadian seperti dulu tak ada
lagi.
Hari menjelang malam. Suasana di
Perguruan Cakar Sewu yang dipimpin oleh Ki Yaksa Asti nampak sepi. Semua
penghuni perguruan tengah beristirahat setelah seharian melakukan kegiatan.
Di ruangan besar, tempat yang biasa
digunakan untuk mengadakan pertemuan, nampak Ki Yaksa Asti duduk di atas
kursinya. Di hadapannya bersila dua orang murid utama. Dua pemuda berpakaian
rompi loreng dengan tubuh kekar yang menandakan keduanya selama ini melakukan
latihan keras, duduk dengan muka tertunduk.
"Wilapati Dan kau, Wilayuda,"
panggil Ki Yaksa Asti pada kedua murid utamanya.
"Saya, Guru...," jawab
keduanya seraya menjura. Ki Yaksa Asti menghela napas pelan. Matanya memandang
ke pintu ruangan yang masih terbuka. Tatapannya kosong, seakan memendam
perasaan. Setelah beberapa saat memaku pandangan ke arah pintu, pandangannya
dialihkan ke arah dua murid utamanya.
"Wilapati dan Wilayuda, ketahuilah
oleh kalian berdua. Aku sudah tua. Sepertinya aku harus segera melimpahkan
tanggung jawab perguruan ini pada kalian...." Belum juga usai Ki Yaksa
Asti, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar dari luar. Tawa itu begitu dahsyat,
mampu menggetarkan dada ketiga orang yang berada di ruang pertemuan.
"Ha ha ha... Kalau kau memang sudah
tak sanggup lagi memimpin Perguruan Cakar Sewu, lebih baik kau mampus
saja..." Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tersentak mendengar suara
lancang itu. Ketiganya seketika berdiri dengan mata mengawasi arah datangnya
suara tadi.
"Kurang ajar Cecunguk manakah yang
berani lancang berkoar di hadapan guru kami?" bentak Wilapati, tak bisa
mengendalikan gejolak kegusarannya.
Usai berkata demikian, Wilapati melesat
keluar diikuti Wilayuda dan sang Guru. Mereka berhenti di halaman perguruan.
Mata mereka menatap geram pada dua orang yang sudah berdiri di halaman
perguruan. Tampak seorang lelaki kurus dengan tubuh terbalut kain hitam dari
ujung rambut hingga ujung kakinya. Hanya matanya saja yang terlihat. Rupanya
lelaki tinggi kurus terbungkus kain hitam itu yang tadi melontarkan ucapan yang
dianggap lancang oleh ketiga orang Perguruan Cakar Sewu.
Seorang lagi adalah perempuan tua
berbadan agak bungkuk. Pakaian yang dikenakannya juga hitam. Matanya liar dan
bengis. Dan ketika terkekeh, nampak giginya yang tinggal beberapa biji.
"Siapa kalian?" bentak
Wilapati.
Lelaki berpakaian serba hitam itu
tertawa. Begitu juga si nenek Tawa mereka sangat menggetarkan hati yang
mendengarnya. Terlebih tawa lelaki terbalut kain hitam yang sekuat halilintar.
Kalau saja ketiga orang itu tak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu mereka
sudah mati.
"Hei Apakah kalian orang-orang gila
yang tersasar ke sini? Kalau benar, pergilah Jangan sampai kami
mengusirmu" bentak Wilayuda agak geram melihat kedua orang itu yang seakan
meremehkan gurunya. "Hik hik hik.." si nenek tertawa. "Mulutmu lancang,
Bocah Begitukah cara kalian menyambut tamu? Sungguh memalukan Perguruan Cakar
Sewu yang katanya ramah, ternyata hanya bualan kosong belaka" Wajah Ki
Yaksa Asti merah padam mendengar ucapan nenek itu. Matanya melotot, memandang
penuh kemarahan pada kedua tamu yang tak diundang itu. Kemudian tangan kanannya
digerakkan, memberi isyarat pada kedua murid utamanya untuk mundur.
"Maafkan atas kelancangan kedua
muridku, Nyi. Kalau boleh ku tahu, siapa kalian? Dan ada perlu apa kalian
datang ke tempatku?" tanya Ki Yaksa Asti, berusaha menghormati kedua
tamunya.
Perempuan tua dan lelaki terbalut kain
hitam itu tertawa bergelak "Kaukah Yaksa Asti atau si Cakar Seribu?"
tanya si nenek "Benar. Akulah orangnya," sahut Ki Yaksa Asti setenang
mungkin, berusaha menekan kemarahan menyaksikan tingkah kedua tamu tak diundang
itu.
"Hm, bagus Ketahuilah, aku Dewi
Bunga Iblis dari Jurang Neraka. Dan muridku ini adalah orang yang kalian
keroyok di tepi Jurang Neraka" tutur Dewi Bunga Iblis, membuat wajah Ki
Yaksa Asti menegang.
Pandangannya kini tertuju pada lelaki
terbalut kain hitam.
"Kau...?" desis Ki Yaksa Asti
tak percaya.
Lelaki terbalut kain hitam itu tergelak
kemudian matanya menghunjam tajam pada Ki Yaksa Asti.
"Ya, aku.... Rupanya aku masih
diberi umur panjang untuk melakukan perhitungan denganmu.
Sekaligus mencabut nyawa tuamu, Yaksa
Asti..." jawab lelaki yang tak lain Truna, seraya tertawa penuh
kepongahan.
"Bukan hanya mencabut nyawa tuamu,
Yaksa Asti Kami datang untuk mencabut nyawa keempat temanmu juga, termasuk
Pendekar Gila..." sambung Dewi Bunga Iblis.
Seketika telinga ketiga orang Perguruan
Cakar Sewu menjadi panas mendengar ucapan sombong yang dilontarkan guru dan
murid dari aliran sesat itu. Mata mereka semakin menatap tajam. Gigi Ki Yaksa
Asti malah bergemeretuk, menahan kekalapan yang hendak menerobos ubun-ubunnya.
"Sombong Meski nama Dewi Bunga
Iblis pernah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun silam, namun kami
dari Perguruan Cakar Sewu tak gentar Kalianlah yang harus minggat ke
neraka" geram Wilapati. Tampaknya dia hendak segera menyerang, namun
dengan cepat Ki Yaksa Asti mencegahnya dengan merentangkan tangan.
"Jangan gebabah, Muridku.
Menghadapi orangorang seperti ini, kita harus hati-hati," cegah Ki Yaksa
Asti sambil melangkah setindak ke muka. "Dewi Bunga Iblis, antara aku dan
kau tak ada silang sengketa.
Mengapa kau tiba-tiba hendak mencampuri
urusan? Aku hanya ada silang sengketa dengan pemuda durjana di sampingmu."
"Ah, dia tak ada bedanya. Dia adalah muridku.
Maka aku pun berhak membelanya." Ki
Yaksa Asti terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang. Dia tidak takut menghadapi
nenek sakti itu, meski nama Dewi Bunga Iblis telah didengarnya.
Bagaimana nenek sakti itu malang
melintang di rimba persilatan tanpa tanding pada masanya, dan hanya pernah
kalah ketika menantang Pendekar Gila dari Gua Setan. Tapi, apakah aku sanggup
menghadapinya? Sungguh berbahaya bagi rimba persilatan jika tokoh sesat seperti
Dewi Bunga Iblis kembali turun.
Desis Ki Yaksa Asti dalam hati. Tak
dapat dibayangkan, bagaimana rimba persilatan nantinya.
"Bagaimana, Yaksa Asti. Kau siap
menemui ajal?" tanya Truna. Suaranya bernada sinis, mencermin-kan
kesombongan dan keangkuhan.
Ki Yaksa Asti mendengus gusar. Namun
masih berusaha tenang.
"Untuk kebenaran dan keadilan di
rimba persilatan, apa pun akan kuhadapi" "Bagus Berarti kau memang
ingin mampus" dengus Dewi Bunga Iblis tegas.
"Bersiaplah untuk mampus, Yaksa
Asti" sambung Truna sombong.
Disertai gelak tawa yang menggelegar,
lelaki terbalut kain hitam itu seketika melakukan serangan ke arah Ki Yaksa
Asti.
"Heaaat.." Sementara itu,
seluruh murid Perguruan Cakar Sewu keluar ketika mendengar keributan. Mereka
berkumpul dalam barisan yang tak teratur, karena tak menyangka kejadian seperti
itu akan terjadi.
***
Melihat lawannya telah membuka serangan,
Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tak mau tinggal diam.
Disertai pekikan keras menyaingi
kerasnya teriakan Truna, ketiganya siap meladeni serangan lawan. Ki Yaksa Asti
menghadang lelaki terbalut kain hitam. Sedangkan kedua murid utamanya
menghadapi Dewi Bunga Iblis.
"Heaaa..."
"Ciaaat.." Dengan mengeluarkan jurus 'Cakar Sewu' guru dan kedua
muridnya itu melakukan serangan, tangan mereka membentuk cakar yang kuat dan
keras dan bergerak cepat. Tangan kanan dan kiri mereka bergantian mencakar
dengan jari-jari mengeras laksana baja.
Kaki mereka pun turut bergerak cepat,
dan saling menyilang setiap melangkah dengan lutut sedikit ditekuk
"Heaaat.." Ki Yaksa Asti yang hanya memiliki sebelah lengan,
nampaknya tetap mampu melancarkan jurusjurus yang keras dan cepat. Tangan kanannya
yang terbuat dari logam, mencakar ke arah lawan. Pertama ke arah wajah, membuat
lawan mendongak. Menyusul ke arah dada, lalu ke selangkangan. Gerakan itu
dilakukan bertubi-tubi.
Truna yang terbalut kain hitam tergelak,
meremehkan serangan yang dilancarkan lawannya. Bahkan dengan berkelit, dia
berkata sombong, "Tak adakah serangan yang lebih mematikan dari ini, Orang
Tua?" "Bedebah jangan pongah dulu, Iblis Hiaaat.." Kemarahan Ki
Yaksa Asti semakin menjadi-jadi, karena merasa diremehkan oleh Truna. Dia tahu
kalau pemuda yang pernah tinggal di padepokannya untuk beberapa lama, memang
telah menyerap ilmu silatnya.
Namun, begitu, dia tidak yakin kalau
semua ilmunya telah diserap. Masih ada jurus-jurus andalan yang belum diketahui
Truna. Dan jurus-jurus itulah yang akan digunakannya untuk menghadapi pemuda
pongah itu. "Lebih baik kau istirahat di alam baka, ketimbang
membuang-buang tenaga, Tua Bangka" ejek Tru-na, seraya menggeser kaki ke
samping. Tubuhnya dimiringkan agak ke belakang untuk mengelitkan serangan
lawan. Kemudian tangan kanannya bergerak memukul. Serangan balik dari lelaki
terbalut kain hitam itu begitu cepat dan keras. Kalau mengena, remuklah muka Ki
Yaksa Asti.
Ki Yaksa Asti tersentak kaget. Sama
sekali tidak diduganya akan mendapat serangan balasan yang cepat dan keras.
Segera tangan kanannya ditarik, kemudian sambil melompat mundur kakinya
menyabet. Tubuh bagian atas dilenturkan ke kiri untuk mengelitkan pukulan
lawan. Tangan kanan menyiku ke atas, berusaha menangkis serangan lawan.
"Heaaa..." "Hm, rupanya
kau masih punya simpanan, Orang Tua Tapi percuma saja Kau tak akan mampu
menghadapi jurusku yang ini" Usai berkata demikian, Truna melompat ke
belakang. Kemudian dengan mendengus dia menyerang kembali. Tangannya
mengembang, bagai sebuah sayap. Tapi anehnya kembangan tangannya tidak seperti
biasa. Kedua tangannya yang mengembang, kini berada lurus di depan dada.
Kemudian diangkat ke atas, lalu diputar ke dalam dan kembali seperti semu-la.
Gerakan jurus yang dilakukan oleh Truna
kelihatan aneh. Bertentangan dengan jurus kembangan sayap yang biasa
dilakukannya. Hal itu membuat Ki Yaksa Asti yang telah banyak makan asam garam
kehidupan tidak mau gegabah. Orang tua ini langsung maklum kalau itu adalah
sebuah jurus baru di rimba persilatan. Tentunya diciptakan oleh Dewi Bunga
Iblis.
"Yeaaat.." Melihat lawan masih
mematung dengan mata memperhatikan gerakannya, Truna kembali menyerang disertai
pekikan keras. Tangannya bergerak kaku, namun menggambarkan kekuatannya yang
penuh. Sepasang tangan lelaki itu membuat sebuah gerakan yang berlawanan.
Pertama lurus ke muka, kemudian membuka ke samping. Selanjutnya memutar dan
membentuk perisai, diteruskan dengan tangan kanan memukul.
Gerakan kedua kakinya pun tampak kaku.
Merentang lebar-lebar bagai hendak melompat, kemudian disilangkan begitu rupa
dengan satu kaki agak menekuk. Lalu dilanjutkan dengan tendangan ke arah perut
"Hiaaat.." Ki Yaksa Asti dengan cepat melempar tubuh ke samping,
manakala serangan lawan tiba-tiba meluruk ke arahnya. Sambil melompat, tangan
kanannya kembali mencakar ke arah lawan. Sedangkan kaki kanannya menendang.
Namun Ki Yaksa Asti seketika tersentak kaget mengetahui serangan yang baru saja
dilancarkan lawan ternyata merupakan serangan pancingan. Sedangkan serangan
yang sebenarnya dilakukan ketika Ki Yaksa Asti berkelit Sebuah tendangan kaki
kanan lawan tak mampu dielakkan lagi oleh Ki Yaksa Asti. Hingga tanpa ampun
lagi...
Degkh "Ukhhh..." Ki Yaksa Asti
mengeluh tertahan, tubuhnya terlontar ke belakang tiga tindak.
"Hoeeekh..." Darah menyembur
dari mulut Ketua Perguruan Cakar Sewu itu. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa
sakit yang mendera dada. Dipandanginya penuh kebencian lelaki berbalut kain
hitam yang tertawa senang. "Guru..." pekik kedua murid utama
Perguruan Cakar Sewu, saat menyaksikan gurunya luka dalam.
Hingga perhatian keduanya kini tercurah
pada sang Guru. Melihat kedua lawan yang mengeroyok kini dalam keadaan tak
siap, Dewi Bunga Iblis tak mau membuang kesempatan baik itu. Dengan mengerahkan
tenaga penuh, perempuan tua itu melancarkan serangan. "Mampuslah kalian
Heaaat.." "Wilapati, Wilayuda Awas..." pekik Ki Yaksa Asti
berusaha memperingatkan kedua murid utamanya. Namun seruan Ketua Perguruan
Cakar Sewu itu terlambat Wilapati memang dapat lepas dari serangan maut itu
dengan membuang tubuhnya ke samping tiga langkah. Tapi Wilayuda yang tak siap,
harus menerima serangan itu.
Degk "Hugkh... Kau..."
Wilayuda terhuyung ke belakang dengan tangan menekap dadanya yang terasa sesak
dan sakit.
Dari mulutnya meleleh darah segar.
Matanya nanar bersama kemarahannya yang meledak.
"Licik Kau..., kau licik Kubunuh
kau...
Heaaat.." Dengan sisa-sisa
tenaganya, Wilayuda berusaha menyerang lawan. Namun belum juga sampai, Dewi
Bunga Iblis telah mendahuluinya dengan satu pukulan maut yang dinamakan 'Bunga
Kematian Menebar Racun'. "Yeaaat.." "Wilayuda, awas..."
pekik Wilapati, mencoba mengingatkan adik seperguruannya. Tapi terlambat,
pukulan maut itu telah lebih dahulu menghantam tubuh Wilayuda.
Degk "Aaa..." Jeritan menyayat
terdengar dari mulut Wilayuda. Matanya melotot. Tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa lagi.
Melihat adik seperguruannya mati dan
gurunya terluka dalam, Wilapati jadi mata gelap. Didahului sebuah pekikan
menggelegar, Wilapati menyerang nenek sakti itu.
"Kubunuh kau, Iblis" Dewi
Bunga Iblis tidak gentar melihat lawan yang menyerang dengan membabi buta.
Bahkan dengan tertawa mengikik wanita tua itu dengan enteng mengelitkan
serangan lawan. Tubuhnya digeser ke samping, hingga serangan lawan meleset di
sampingnya. Dan ketika tubuh lawan meluruk, secepat kilat tangan wanita tua itu
memukul dari bawah. Wilapati yang tengah merunduk, tak mampu lagi mengelakkan
pukulan yang mendarat telak di dadanya. Kemudian disusul sebuah hantaman lutut
yang tak kalah kerasnya. Krak "Aaakh..." Wilapati menjerit kesakitan.
Tubuhnya yang tadi terdongak kini terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Matanya melotot, membara penuh kemarahan.
"Kau..., kau Aaa..." Tubuh Wilapati
ambruk tanpa nyawa dengan tulang iga patah. Sedangkan Dewi Bunga Iblis tertawa
terkekeh-kekeh. Kini perhatiannya tertuju pada pertarungan antara muridnya
dengan Ki Yaksa Asti.
"Serang terus, Kumbang Hitam Kita
harus secepatnya membereskan dia, karena sebentar lagi pagi..." seru Dewi
Bunga Iblis memberi semangat sekaligus peringatan pada muridnya.
Serangan sang Murid semakin bertambah
gencar. Ditambah dengan luka dalam yang diderita, semakin membuat Ki Yaksa Asti
terdesak hebat. Hingga pada suatu kesempatan, sebuah pukulan 'Kumbang
Menyengat' mendarat telak di dada Ki Yaksa Asti Degk "Hugkh..." Ki
Yaksa Asti terhuyung dengan mata melotot.
Mulutnya kembali mengeluarkan darah.
Sementara itu, murid-murid Perguruan
Cakar Sewu yang sejak tadi hanya menyaksikan, segera memekik bergemuruh. Mereka
segera menyerang dua tamu tak diundang itu setelah melihat gurunya terluka
dalam. "Seraaang..." "Jangan..." tahan Ki Yaksa Asti,
khawatir akan jatuh korban lebih banyak. Tapi murid-muridnya telah telanjur
menyerang.
Pertarungan kembali berkobar. Meskipun
dengan jumlah banyak, tapi ilmu mereka belum seberapa dibandingkan dengan ilmu
kedua penyerangnya. Dalam waktu singkat, korban semakin banyak berjatuhan.
Sampai akhirnya, mereka tertumpas semua. Termasuk Ki Yaksa Asti yang sejak tadi
telah menghembuskan napas terakhir.
"Bakar, Kumbang Hitam..."
perintah Dewi Bunga Iblis.
Kumbang Hitam dari Neraka segera
membakar Perguruan Cakar Sewu, yang penghuninya telah bergeletakan. Nampaknya
tak seorang pun yang tersisa. Lalu dengan gelak tawa, guru dan murid itu
melesat meninggalkan tempat itu.
7
Kehadiran Kumbang Hitam dari Neraka dan
gurunya yang telah membantai Ki Yaksa Asti beserta seluruh muridnya, seketika
menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Dengan cepat sepak terjang Kumbang
Hitam dari Neraka dan gurunya tidak lagi menjadi rahasia, melainkan telah
menjadi pokok pembicaraan setiap orang. Baik itu dari dunia persilatan, maupun
dari orang-orang kebanyakan yang tahu tentang ilmu silat Kebanyakan dari
orang-orang awam, sangat tercekam sekaligus mengutuk perbuatan biadab Kumbang
Hitam dari Neraka dan gurunya tersebut. Karena mereka tahu pasti, kalau Ki
Yaksa Asti orang baik, pe-negak kebenaran dan keadilan.
Siang itu di sebuah kedai, tampak
beberapa orang tengah berbincang-bincang membicarakan perihal kematian Ki Yaksa
Asti dan hancurnya Perguruan Cakar Sewu.
Seorang pemuda tampan berpakaian rompi
kulit ular masuk. Kepalanya digaruk-garuk, ketika mendengar pembicaraan
pengunjung kedai. Keningnya berkerut, lalu bibirnya nyengir kuda.
Pemuda tampan berambut gondrong itu
melangkah santai, lalu duduk di dekat orang yang tengah bercakap-cakap.
"Kau tahu apa yang semalam
terjadi?" tanya orang pertama berpakaian longgar warna biru tua dengan
ikat kepala batik. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, orang itu bukan
orang rimba persilatan.
"Ada apa semalam?" tanya
temannya, seorang lelaki berbadan tegap dengan kumis tebal. Namun dilihat dari
pakaiannya, dia pun bukan orang persilatan.
"Semalam terjadi bencana di
Perguruan Cakar Sewu. Ki Yaksa Asti dan seluruh muridnya terbantai menyedihkan.
Dada mereka gosong dengan gambar telapak tangan hitam." "Siapa yang
melakukan perbuatan keji itu?" tanya temannya ingin tahu.
"Kabarnya dua orang. Yang satu
seluruh tubuhnya tertutup kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia
menyebut dirinya Kumbang Hitam.
Sedangkan satunya lagi, seorang wanita
tua renta dengan tubuh agak bungkuk. Katanya bernama Dewi Bunga Iblis...,"
tutur orang yang pertama kali bercerita.
Pendekar Gila mengerutkan kening
mendengar penuturan lelaki itu Kumbang Hitam? Dewi Bunga Iblis? Heh, siapa
mereka? Dan mengapa mereka menyerang Ki Yaksa Asti? Tanya Sena dalam hati
sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sena memang tercenung, biarpun
wajahnya tetap meringis.
Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa Ki
Yaksa Asti. Tiba-tiba dari mulutnya keluar desisan keras, "Ah, aku tahu
Bukankah Ki Yaksa Asti orang tua yang berlengan satu" Sena tertawa
cekikikan dan kembali berkata. "Eh Apakah aku tidak salah dengar?"
Kedua orang yang tengah berbincang-bincang seketika mengalihkan pandangannya
pada pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular itu. Keduanya mengerutkan
kening, terlongong heran melihat tingkah laku pemuda itu.
"Kasihan sekali, pemuda se tampan
dia harus gila," bisik salah lelaki berpakaian longgar.
"Hush Jangan sembarangan ngomong
Nampaknya dia bukan orang sembarangan. Lihat pakaian dan tubuhnya yang
berotot," lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal memperingatkan.
"Maksudmu, dia orang rimba
persilatan?" "Ya Atau jangan-jangan dia yang disebut orang Pendekar
Gila?" gumam lelaki bertubuh tegap mencoba menebak Sena yang tengah
dibicarakan tampak tak menggubris pembicaraan kedua orang itu. Dia masih asyik
menggaruk-garuk kepala dengan bibir cengarcengir. "Wah, bodohnya aku
ini.... Kenapa aku tak bertanya?" tanyanya kepada diri sendiri.
Sena lalu melangkah untuk mendekati
kedua orang yang tengah berbincang-bincang itu. Dia masih menggaruk-garuk
kepala dengan wajah cengar-cengir seperti orang tolol.
"Kisanak kalau boleh ku tahu,
apakah yang tadi kalian bicarakan?" tanyanya setelah menjura hormat Kedua
orang yang di tanya kembali mengerutkan kening. Keduanya memandang lekat-lekat
pemuda di depannya. Mereka merasa heran melihat tingkah pemuda tampan itu.
Lagaknya seperti orang gila, namun tampaknya mengerti tata krama. Tidak seperti
orang gila yang sering mereka lihat Sena yang dipandangi begitu rupa, kembali
nyengir kuda. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. "Kisanak, benarkah
Ki Yaksa Asti yang Kisanak maksud bertangan buntung?" tanya Sena lagi,
setelah melihat kedua lelaki itu hanya menatapnya.
Semakin tercengang kedua orang itu
mendengar pertanyaan yang dilontarkan pemuda bertampang gila di depannya.
Dengan masih terheran-heran, salah seorang dari mereka menjawab.
"Benar. Kenapa?" "Apakah
yang tadi kudengar itu benar? Perguruan Cakar Sewu diobrak-abrik oleh
orang?" tanya Se-na tanpa menjawab pertanyaan kedua lelaki itu.
"Benar. Siapakah Kisanak? Ada
hubungan apa Kisanak dengan Ki Yaksa Asti dan Perguruan Cakar Sewu?" tanya
lelaki berpakaian longgar warna biru penuh selidik. Keningnya masih berkerut,
menandakan keheranannya.
"Ah, aku hanya temannya. Kalau
memang benar Ki Yaksa Asti mati, siapakah yang membunuhnya?" kembali Sena
meminta ketegasan.
"Kami tak tahu pasti, sebab kami
bukan orang persilatan. Namun kami mendengar kalau pelakunya dua orang, guru
dan murid. Seorang nenek-nenek dan seorang lagi terbungkus kain hitam dari
ujung rambut hingga ujung kaki," jelas lelaki berpakaian longgar warna
biru.
Alis Sena terpaut. Hatinya
bertanya-tanya. Siapa mereka? Dari aliran apa mereka? Setelah menggaruk kepala
karena merasa tak mampu menjawab pertanyaan hatinya, Sena kembali bertanya,
"Maaf, Kisanak. Siapa nama mereka?" "Si nenek bernama Dewi Bunga
Iblis. Sedangkan yang lelaki terbungkus kain serba hitam menamakan dirinya
Kumbang Hitam. Keduanya dari Jurang Neraka," urai orang itu lagi, membuat
Sena nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas pemberitahuan
mu. Permisi..." ujar Sena sambil menjura hormat Kemudian, pemuda itu
berkelebat cepat meninggalkan kedai. Gerakannya sangat luar biasa, hing-ga
kedua orang itu bengong dengan mata melotot "Gila Ilmu apakah yang
digunakannya?" "Mungkinkah pemuda itu Pendekar Gila dari Gua
Setan?" "Ya Ilmunya sungguh hebat Dalam sekejap dia telah
menghilang," sambung lelaki bertubuh kekar dan berkumis lebat Kedua orang
itu masih terkesima. Bahkan orang-orang di dalam kedai pun turut terpaku
menyaksikan kecepatan gerak pemuda tadi. Kedai yang semula tenang, kini riuh
oleh pembicaraan tentang pemuda bertampang gila itu.
"Siapakah pemuda gila tadi? Ilmunya
sangat tinggi," tanya pemilik kedai.
"Ya, ilmunya sangat tinggi Hingga
dalam sekejap dia telah menghilang," sambung orang yang duduk di sudut
kedai.
"Mungkinkah dia yang disebut
Pendekar Gila dari Gua Setan," lelaki berbaju merah menyahuti.
"Pendekar Gila dari Gua
Setan?" pekik yang lain dengan mata membelalak kaget mendengar julukan
pemuda aneh itu.
"Mungkin Bukankah tingkahnya memang
seperti orang gila?" timpal yang lain.
"Syukurlah kalau pendekar itu masih
ada. Semoga sepak terjang Kumbang Hitam dan Dewi Bunga Iblis dapat
dihentikan," harap orang-orang di kedai yang pada umumnya tidak menyukai
kejahatan.
***
Orang yang menjadi pembicaraan di kedai, seat
itu telah sampai di tempat yang dituju. Sena mematung di dekat puing-puing
bangunan Perguruan Cakar Sewu. Hanya papan namanya saja yang tampak masih utuh.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan kening berkerut. Tatapan matanya
kosong. Beberapa kali pemuda itu menghela napas panjang. Lalu dari mulutnya
terdengar gumaman lirih.
"Ah, mengapa kejahatan seperti
susulmenyusul? Belum usai yang satu, datang yang lain.
Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya
apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih. Kemudian, perlahan kakinya
melangkah memasuki pintu gerbang Perguruan Cakar Sewu yang telah hancur.
Pendekar Gila mematung di dekat
puing-puing bangunan Perguruan Cakar Sewu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
kening berkerut. Tatapan matanya kosong.
"Ah, mengapa kejahatan seperti
susulmenyusul? Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang telah
terjadi?" keluhnya lirih.
Angin siang berhembus semilir,
menerbangkan debu-debu dan mengusik rumput kering. Pemuda itu terus melangkah
masuk. Dia tertegun dengan mata memandang ke satu tumpukan puing bangunan
perguruan. Saat Sena merenungkan nasib Ki Yaksa Asti, tiba-tiba telinganya
menangkap desiran angin dari belakang. Cepat-cepat tubuhnya dibalikkan ke
belakang.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat
sebilah belati melesat cepat ke arahnya.
Swing "Heaaa..." Sena melempar
tubuh ke samping, mengelakkan serangan gelap itu. Dia berhasil. Pisau itu terus
meluncur dan akhirnya menancap di sebatang pohon.
Jlep Sena menggaruk-garuk kepala dengan
mulut nyengir. Keningnya berkerut ketika melihat di gagang pisau itu terdapat
selembar daun lontar. Sepertinya sebuah surat "Licik" maki Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. Pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.
Namun, dia tidak melihat seorang pun.
"Hm, rupanya orang itu berilmu tinggi. Tentunya ada maksud terten-tu pada
diriku." Setelah yakin kalau di sekitarnya sudah tidak ada orang lain,
Sena kemudian menghampiri pohon yang tertancap pisau bersurat itu. Diamatinya
pisau itu dengan seksama. Bibir pemuda itu nyengir, sedangkan tangannya menepuk
kening.
"Ah, hanya sebilah pisau
biasa," gumamnya.
Lalu dicabutnya pisau itu dari pohon.
Kembali diamatinya benda itu. Sebilah pisau kecil yang sangat tajam. Dan ketika
tangannya memegang mata pisau, tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap berwarna
ungu kemerahan.
"Racun...," bisik Sena masih
tersenyumsenyum.
Pendekar Gila memang tidak takut
terhadap racun. Karena tubuh telah kebal terhadap segala macam racun, akibat
Racun Kabut Ungu yang dihisapnya di Gua Setan.
Tanpa sepengetahuannya, orang yang
bersembunyi di balik bukit cadas terbelalak menyaksikan apa yang terjadi.
Pemuda yang bertingkah seperti orang gi-la itu ternyata tak apa-apa. Padahal
racun yang dioleskan pada mata pisau bukan racun sembarangan.
Bahkan lebih ganas dari bisa ular laut
sekalipun "Hah...? Tidak salahkah penglihatanku?" Tanpa sadar mulut
orang itu memekik hingga membuat Pendekar Gila yang semula menyangka tak ada
orang, kini terkejut. Tubuhnya langsung berbalik, untuk menemukan asal suara
tadi.
"Licik Keluarlah kau dari
persembunyianmu" seru Pendekar Gila setengah membentak. Kemudian tangannya
bergerak memutar. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam, telapak tangannya
diarahkan ke bukit cadas, tempat asal suara itu Selarik pukulan menderu keluar
dari telapak tangannya. Itulah pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Orang yang bersembunyi di balik batu
cadas terkesiap. Dia hendak lari, namun pukulan jarak jauh yang dilancarkan
pemuda bertampang gila itu lebih cepat menghantam bukit cadas tempatnya
bersembunyi Glarrr "Aaa..." pekik orang itu. Tubuhnya terlontar ke
atas, lalu jatuh dengan suara berdebum disertai erangan. Pendekar Gila segera
memburu ke arah orang yang kini menggeliat-geliat kesakitan. Tangannya
memegangi pinggang yang terasa patah. Pendekar Gila tergelak-gelak,
menggaruk-garuk kepala, serta menggeleng-gelengkannya.
"Ha ha ha... Mengapa kau main
lompatlompatan Bukankah jatuhnya sakit?" ledeknya sambil terus
terbahak-bahak. Tingkah gila pendekar muda itu kumat lagi. Sementara tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala, tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.
Tubuhnya berjingkrak-jingkrak bagai
seekor kera kegi-rangan. Lelaki bercelana hitam sebatas lutut dan berte-lanjang
dada itu masih mengerang-erang kesakitan.
Bibirnya meringis, sekan-akan hendak
menangis.
Pendekar Gila makin tergelak-gelak.
Tingkah gilanya pun makin menjadi-jadi.
"He he he... Lucu sekali kau,
Sobat. Tadi kau main sembunyi-sembunyian denganku. Tapi, mengapa sekarang malah
bermain lompat-lompatan?" celoteh Sena seenaknya, membuat orang bertampang
galak itu mendelikkan mata.
Melihat orang itu melotot ke arahnya,
timbul niat iseng Sena untuk mempermainkan orang itu. Lalu dengan menggoda
kembali dia berkata, "Sobat, rupanya kau belum puas melompat.
Baiklah, aku akan membantumu main
lompatlompatan." Usai berkata begitu, Pendekar Gila menghentakkan kakinya
dengan tenaga dalam ke tanah di dekat tubuh lelaki itu. Tubuh orang itu
seketika mencelat tinggi, disertai jeritan ketakutan.
"Tolong... Ampun Jangan...,"
ratapnya memo-hon, ketika tubuhnya menukik ke bawah. Sementara Pendekar Gila
masih tertawa riuh rendah dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha... Lucu-lucu sekali kau,
Sobat" seru Sena "Eh, eh.... Aduh Tolonglah aku...," ratap orang
itu ketakutan ketika tubuhnya semakin dekat ke tanah. Sudah terbayang di
benaknya, bagaimana tubuhnya akan remuk jika membentur batu-batu cadas.
"Ha ha ha... Kau semakin
menyenangkan, Sobat Baiklah, aku akan membantumu." Pendekar Gila lalu
menggerakkan tangan kirinya sedemikian rupa. Dan dari telapak tangan itu,
berhembus serangkum angin yang menahan tubuh orang itu. Perlahan-lahan tubuh
orang itu diturunkan, namun tak urung menimbulkan, suara berdebum disertai
erangan kesakitan.
"Aduh.... Pinggangku patah,"
ratap lelaki berwajah seram yang kini pucat pasi. Tubuhnya meliuk-liuk menahan
sakit "Sobat, apa maksudmu menyerangku dari belakang?" tanya Sena,
setelah puas tertawa.
"Ti..., tidak. Aku tidak bermaksud
menyerangmu. Sungguh" "Lalu, apa maumu?" tanya Sena.
"Aku..., aku hanya diperintah
mengirim surat padamu oleh seseorang," jawab lelaki itu ketakutan,
menyaksikan mata Pendekar Gila yang membesar seperti orang gila yang sedang
marah.
"Siapa yang menyuruhmu?"
bentak Sena.
"Di..., dia tak mengatakan namanya
padaku" "Bohong Katakan, atau kau akan main lompatlompatan lagi"
ancam Pendekar Gila. Matanya semakin melotot, bagikan hendak mencelat keluar.
Wajahnya yang tampan, kini terlihat bengis.
"Ampun..., jangan...," ratap
lelaki itu.
"Kalau begitu, katakanlah" "Dia
berpakaian serba hitam. Bahkan seluruh tubuhnya terbalut kain hi..." Belum
juga selesai orang itu berkata, tiba-tiba beberapa pisau melesat ke arah
mereka. Pendekar Gila terkejut dan dengan cepat melompat mengelakkan serangan
gelap itu.
"Licik Heaaa..." Dengan
menggunakan pukulan 'Inti Bayu', pisau-pisau terbang itu dikembalikan ke
penyerangnya yang bersembunyi di semak-semak. Maka terdengar jerit kesakitan
yang menyayat susul-menyusul. Sedangkan salah satu pisau luput dan menghunjam
lelaki yang di tanyai Pendekar Gila. Lelaki itu menjerit, meregang sesaat
kemudian diam tak bernyawa lagi.
Pendekar Gila tersentak. Matanya
memandang tubuh lelaki di dekatnya yang seketika membiru. Ternyata pisau yang
digunakan untuk menyerang telah diolesi racun.
"Benar-benar licik Huh..."
dengus Sena.
Kemudian dengan cepat tubuh Pendekar
gila berkelebat cepat ke semak-semak tempat asal pisaupisau beracun tadi. Dia
berusaha mencari seorang yang masih hidup. Ternyata semuanya telah mati dengan
tubuh membiru.
Pemuda tampan itu menggaruk-garuk
kepala.
Matanya menyapu ke sekeliling untuk
memastikan tak ada lagi penyerang gelap. Setelah yakin tak ada, pemuda itu
menghela napas. Ditinggalkannya tempat itu, kembali ke puing-puing Perguruan
Cakar Sewu.
Pendekar gila kembali menatap
puing-puing reruntuhan bangunan. Setelah menghela napas dalamdalam, dia duduk
di atas batu prasasti di bekas halaman Perguruan Cakar Sewu. Dibukanya lipatan
daun lontar yang ada di gagang pisau, kemudian dibacanya.
Satu orang temanmu telah ku binasakan
Satu persatu mereka akan menerima bagian Dan kau yang terakhir Setelah itu, aku
akan menjadi penguasa rimba persilatan Kumbang Hitam dari Neraka.
Pendekar Gila mengerutkan kening.
Dicobanya untuk menerka, siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dari Neraka itu. Dan
mengapa dia membunuh tokohtokoh tingkat atas aliran lurus? Dan siapa pula yang
dimaksudkan dengan temanku? Tanya Pendekar Gila dalam hati.
Tiba-tiba sepasang alisnya bertemu,
seolah-olah teringat sesuatu.
"Celaka Mungkin Kumbang Hitam dari
Neraka adalah pemuda berwajah pucat yang tempo hari jatuh ke dalam Jurang
Neraka. Ah, tidak salah lagi.... Namanya mengingatkan aku pada jurang itu"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dia harus segera menghubungi ketiga tokoh tua yang masih hidup 8
Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan
Loreng malam itu nampak gelisah. Matanya sulit dipejamkan. Pikirannya terus
terusik berita kematian salah seorang rekannya dari Perguruan Cakar Sewu.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku pembunuhan itu? Siapa orang
yang menamakan dirinya Kumbang Hitam yang tubuhnya dibalut oleh kain hitam?
"Kumbang Hitam.... Hm, siapa dia? Rasanya seumur hidup, baru kali ini aku
mendengar nama itu di rimba persilatan. Menurut kabar, Kumbang Hitam adalah
murid Dewi Bunga Iblis. Tapi, bukankah Dewi Bunga Iblis selama hidupnya tidak
memiliki murid? Kenapa pula wanita jahat yang telah menghilang puluhan tahun
itu tiba-tiba muncul kembali?" gumam Ki Panca Loreng seakan bertanya pada
diri sendiri.
Lelaki tua itu tak habis pikir tentang
Dewi Bunga Iblis. Dia pernah dengar kalau wanita jahat yang berilmu tinggi itu
pernah malang-melintang di rimba persilatan. Tak ada yang dapat mengalahkannya,
sampai Pendekar Gila dari Gua Setan muncul, dan mampu menundukkannya.
Sejak saat itu, nama Dewi Bunga Iblis
bagai menghilang dari dunia persilatan, terkubur bersama kekalahannya atas
Pendekar Gila dari Gua Setan. Kalau sekarang dia muncul kembali, tidak dapat
dibayangkan bagaimana tinggi ilmunya.
Ki Panca Loreng memegang dagunya seraya
menggelengkan kepala berulang kali. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam.
"Ada apa, Kang Mas? Sudah malam
begini kau belum juga tidur?" tanya istrinya, cemas melihat suaminya belum
juga tidur.
Ki Panca Loreng kembali menghela napas
panjang. Tubuhnya berbalik untuk memandang sang Istri yang kini duduk sambil
memandang suaminya. Dihampirinya sang Istri, kemudian dia duduk di sampingnya.
Wajahnya masih menggambarkan kecemasan, membuat istrinya semakin tak mengerti.
"Kang Mas, apa ada masalah dalam
perguruan?" "Tidak" "Lalu, apa yang membuat Kakang begitu
cemas?" desak istrinya ingin tahu.
Ki Panca Loreng tak langsung menjawab.
Kembali dia menghela napas dalam-dalam, seolah dengan berbuat seperti itu,
segala ganjalan di hatinya dapat dienyahkan.
"Aku tak habis pikir, Diajeng.
Bagaimana mungkin Dewi Bunga Iblis yang telah menghilang puluhan tahun silam,
tiba-tiba muncul kembali? Bahkan dengan muridnya yang berjuluk Kumbang Hitam
dari Neraka...." Istrinya tersentak mendengar penuturan Ki Panca Loreng.
Matanya sedikit membelalak lalu menatap suaminya lekat-lekat. Wanita itu seakan
tak percaya pada ucapan suaminya tadi.
"Dewi Bunga Iblis?" tanya
wanita itu setengah mendesis ngeri mendengar nama tokoh sesat itu di-ucapkan
suaminya. Bahkan suaminya mengatakan kalau tokoh sesat itu muncul kembali di
rimba persilatan.
"Ya," jawab Ki Panca Loreng
singkat "Apakah telah kau persiapkan murid-murid pilihan untuk
menghadapinya?" Ki Panca Loreng menggelengkan kepala.
"Kenapa? Bukankah wanita itu adalah
tokoh sesat berilmu tinggi?" "Tak perlu, Diajeng. Sebagai seorang
ksatria, seharusnya kita menghadapinya sendiri, tanpa harus mengorbankan orang
lain. Makanya, untuk sementara semua murid-murid perguruan ini kuperintahkan
untuk pulang ke tempat masing-masing." Baru saja ucapan Ki Panca Loreng
selesai, dari luar tiba-tiba terdengar seseorang berseru disertai tenaga dalam
penuh.
"Bagus Rupanya kau pun telah
mempersiapkan kematianmu, Panca Loreng..." Ki Panca Loreng dan istrinya
tersentak mendengar seruan yang menggelegar laksana halilintar, memecah
kesunyian malam.
"Mereka telah datang," desis
Ki Panca Loreng.
Lalu, orang tua berpakaian rompi kulit
macam itu berkelebat keluar, diikuti istrinya yang juga seorang pendekar. Di
halaman yang biasanya dipakai murid-murid Perguruan Macan Loreng berlatih,
berdiri dua sosok manusia berpakaian serba hitam. Seorang nenek bungkuk,
didampingi lelaki yang sekujur tubuhnya terbungkus kain hitam. Hanya matanya
yang nampak menyorot tajam. Keduanya tergelak-gelak melihat orang yang diincar
telah keluar bersama istrinya.
Ki Panca Loreng menatap tajam pada dua
orang tamu tak diundang itu, berusaha mengenali mereka.
Yang seorang memang jelas terlihat
wajahnya. Tentunya nenek itu yang berjuluk Dewi Bunga Iblis. Sedangkan yang
lelaki tentunya yang menamakan dirinya Kumbang Hitam. Tapi, bagaimana mungkin
Ki Panca Loreng dapat mengenali lelaki itu, kalau wajahnya saja tertutup rapat?
"Kisanak dan Nisanak, ada maksud apa kalian datang ke Perguruan Macan
Loreng? Aku rasa, antara kita tak ada silang sengketa," sambut Ki Panca
Loreng, berusaha tenang sambil menatap kedua tamunya Kedua orang berpakaian
hitam itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ki Panca
Loreng. Malah lelaki yang terbalut kain hitam dengan sinis dan sombong berkata,
"Panca Loreng, kami datang untuk mencabut nyawamu seperti si Cakar Seribu
Bersiaplah untuk mati..." Usai berkata begitu, lelaki yang menamakan
dirinya Kumbang Hitam dari Neraka menggebrak dengan satu serangan ke arah Ki
Panca Loreng. Sedangkan Dewi Bunga Iblis berkelebat untuk menyerang istri Ketua
Perguruan Macan Loreng "Heaaat.." Melihat lawan telah merangsek
dengan ganas, Ki Panca Loreng segera membuka jurusnya untuk mengimbangi. Dari
mulutnya keluar auman keras.
Tangannya membentuk cakar. Sedangkan
matanya merah, penuh amarah.
"Arrrgh..." Tangan Ki Panca
Loreng yang membentuk cakar macan, bergerak membeset ke depan. Sedangkan
kakinya menendang dengan cepat. Cakaran-cakaran tangan orang tua itu
susul-menyusul, seakan tiada henti. Pertama ke wajah, kemudian ke dada, lalu
kakinya menendang ke arah selangkangan lawan.
Serangan Ki Panca Loreng yang mematikan
itu tidak membuat gentar Kumbang Hitam. Lelaki terbalut kain hitam itu dengan
cepat berkelit. Kedua kakinya ditarik ke samping agak melebar, kemudian ditekuk
merendah. Tangannya terbuka, laksana kepakan elang. Hal itu menjadikan Ki Panca
Loreng tersentak.
Dia mengenali jurus yang dibuka lawan.
"Kau...?" "Ya, aku
Rupanya aku masih diberi umur panjang untuk membuat perhitungan denganmu,
sekaligus mencabut nyawa tuamu Heaaat.." Kumbang Hitam meneruskan
serangannya.
Tangannya yang mengepak, kini bergerak
susulmenyusul secara bertubi-tubi. Kalau tangan kanan memukul, tangan kiri
membuat perisai. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan kakinya menyapu ke arah kaki
lawan. Itu-lah jurus 'Gagak Hitam Menyambar Bangkai'. "Iblis durjana
Rupanya kau belum mampus Kali ini kau harus benar-benar mampus Yeaaat.."
Ki Panca Loreng yang sangat terkejut menyaksikan jurus pembuka lawan, dengan
penuh amarah kembali menyerang. Dikeluarkannya jurus 'Macan Loreng Mengintai
Menerkam Mangsa'. Kakinya melangkah beraturan dengan menjejak satu persatu.
Sedangkan sepasang tangannya berganti melakukan serangan. Tangan kiri maju
menyerang muka. Disusul tangan kanan menyodok perut lawan.
"Heaaa..."
"Yiaaa..." Dengan jurus-jurus andalan, keduanya terus berkelebat
bertukar serangan untuk dapat menjatuhkan satu sama lain. Namun dilihat dari
keadaannya, Ki Panca Loreng berada dalam kesulitan. Dia kini terdesak hebat.
Bahkan serangan-serangan yang dilancarkan kelihatan mentah, selalu dapat
dipatahkan lawan.
"Terimalah kematianmu sekarang,
Panca Loreng Hiaaat..." Dengan menggunakan jurus 'Kumbang Hitam
Menyengat', lelaki terbalut kain hitam itu kembali menyerang. Tangan dan
kakinya kelihatan mengejang, menandakan betapa besar tenaganya.
Ki Panca Loreng yang tidak mau mati
sia-sia, dengan nekat memapaki serangan lawan. Tangannya yang membentuk cakar
macan dialiri tenaga dalam sepenuhnya. Kemudian disertai pekikan keras, orang
tua itu berkelebat untuk memapaki serangan lawan.
"Heaaa..." Tanpa dapat
dihindari, dua lelaki yang telah melesat ke udara itu harus mengadu kekuatan
tenaga dalam masing-masing. Tangan dan kaki keduanya bergerak cepat. Memukul
dan menendang. Kemudian terdengar ledakan keras, manakala kedua tangan mereka
saling beradu.
Blarrr "Ugkh..." Ki Panca
Loreng mengeluh tertahan. Tubuhnya terlontar ke belakang tiga tombak dan jatuh
berlutut.
Dari mulutnya keluar darah segar.
Mata Ki Panca Loreng membeliak, sebelum
tubuhnya terkulai.
Sementara, Kumbang Hitam mampu
menjejakkan kakinya di atas tanah. Sesaat tubuhnya terhuyung ke belakang,
dengan darah meleleh di sela bibirnya.
Hingga merembes ke kain hitam penutup
wajah.
Sesaat Kumbang Hitam menatap lawannya
yang tak bernyawa. Kemudian kakinya melangkah tertatih mendekati Dewi Bunga
iblis yang tengah bertarung dengan istri Ki Panca Loreng. Pendekar wanita yang
usianya sudah tidak muda lagi itu tampaknya tak kenal menyerah. Bahkan
serangan-serangannya cukup merepotkan Dewi Bunga Iblis.
"Guru, cepat selesaikan Tak ada
waktu untuk kita berlama-lama di sini" sera Kumbang Hitam.
Mendengar seruan muridnya, Dewi Bunga
Iblis segera mempercepat serangan. Kini nampaklah kesaktian yang sesungguhnya.
Belum lagi istri Ki Panca Loreng sempat bernapas lega didera serangan beruntun
itu, tiba-tiba tangan Dewi Bunga Iblis bergerak cepat, menaburkan beberapa
tangkai bunga ke arah lawan yang terkejut "Celaka" pekik istri Ki
Panca Loreng kaget melihat bunga berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.
"Bunga Racun Iblis..."
"Hik hik hik... Mampuslah kau..." Saat istri Ki Panca Loreng
kerepotan mengelakkan senjata rahasia itu, dengan licik Dewi Bunga Iblis
menghantamkan pukulan saktinya. Hingga tak pelak lagi, pukulan dahsyat itu pun
mendarat telak di tubuhnya.
Degk "Aaa..." Tubuh wanita
istri Ketua Perguruan Macan Loreng itu terhuyung-huyung dengan darah tersembur
dari mulutnya. Matanya mendelik, memandang penuh kebengisan.
"Kau.." Hanya itu yang keluar
dari mulutnya, sebelum tubuhnya ambruk mencium tanah.
Murid dan guru dari Jurang Neraka itu
tertawa terbahak-bahak menyaksikan kematian suami istri dari Perguruan Macan
Loreng. Lalu dengan masih tertawa, keduanya berkelebat cepat meninggalkan
tempat itu.
***
Selang beberapa waktu, nampak seorang pemuda
tampan berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular berkelebat ke arah
tempat itu. Pemuda yang tidak lain Pendekar Gila, seketika tertegun menyaksikan
dua tubuh tergeletak di halaman perguruan. Seorang lelaki berpakaian rompi
harimau. Sedangkan yang satunya seorang wanita berkebaya dengan kain di atas
lutut mengenakan celana kulit macan pula. "Terlambat Aku terlambat.."
keluh Sena Manggala sambil menggaruk-garuk kepala. Dia memang terlambat datang,
hingga tidak dapat membantu Ki Panca Loreng. "Rupanya Kumbang Hitam
sungguh-sungguh dengan ancamannya." Pemuda bertingkah laku dan bertampang
seperti orang gila itu mendekati tubuh Ki Panca Loreng.
Dirabanya tubuh lelaki tua itu. Masih
hangat. Berarti belum mati. Kemudian Sena menekan denyut nadinya, untuk memastikan
dugaannya itu.
"Ah, memang masih hidup"
serunya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala
sesaat Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, disalurkannya hawa murni ke
tubuh Ketua Perguruan Macan Loreng itu.
"Uuuh..." Terdengar keluhan
lirih dari mulut Ki Panca Loreng, setelah beberapa saat Sena menyalurkan hawa
murni. Sena menghentikan penyaluran hawa murninya. Dibalikkannya tubuh Ki Panca
Loreng. Nampak bekas pukulan menghitam di dada lelaki tua itu.
"Ki, apa yang telah
terjadi...?" tanya Sena.
"Kaukah...?" lemah suara Ki
Panca Loreng bertanya. Matanya perlahan-lahan membuka. Kemudian dari mulutnya
keluar muntahan darah menghitam.
"Hoeeek..." "Benar. Aku,
Ki... Aku Pendekar Gila," sahut Sena sambil membantu meringankan rasa
sakit yang diderita Ki Panca Loreng dengan menotok dan mengurut beberapa jalan
darah di tubuh Ketua Perguruan Macan Loreng itu.
"Dia..., dia telah datang. Dia...,
pemuda..., berwajah pucat itu telah kembali dengan guru..., nya...."
"Jadi, Kumbang Hitam adalah pemuda berwajah pucat itu, Ki?" tanya
Pendekar Gila berusaha memastikan. Wajahnya nampak tegang. Sedangkan matanya
menatap penuh harap agar orang tua itu dapat menceritakan semuanya.
"Katakanlah, Ki. Siapakah gurunya itu?" "Dewi..., Dewi Bunga
Iblis.... Seorang tokoh wanita sesat yang pernah malang-melintang di dunia
persilatan. Akh... Aku..., aku tak kuat. Selamatkan..., se-lamatkan kedua
sahabatku.... Tentunya mereka ke sana.... Ohhh..." Kepala Ki Panca Loreng
terkulai. Ketua Perguruan Macan Loreng akhirnya mati setelah menceritakan siapa
sesungguhnya Kumbang Hitam dan gurunya. Sena sesaat tercenung. Namun tangannya
tak henti-hentinya menggaruk kepala. Setelah lama menatap mayat Ki Panca
Loreng, pemuda itu menghela napasnya. "Ke mana dulu aku harus pergi?"
tanyanya kebingungan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu tibatiba tangannya
menepuk kening seraya bergumam, "Ah, kenapa aku bodoh? Kalau benar Kumbang
Hitam itu pemuda berwajah pucat, tentunya dia kini ke Padepokan Cakra Geni.
Celaka Aku harus ke sana" Setelah kembali memandang mayat Ki Panca Loreng
dan istrinya, dengan cepat Sena berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun
sebelum pergi, dia sempat bergumam lirih yang ditujukan pada mayat kedua orang
Perguruan Macan Loreng.
"Semoga kalian tenang di alam sana
Maaf, aku tak dapat menolong kalian...."
***
Apa yang diduga Pendekar Gila ternyata benar.
Setelah melakukan penyerangan di
Perguruan Macan Loreng, guru dan murid dari Jurang Neraka itu kini melakukan
penyerbuan ke Padepokan Cakra Geni.
Saat itu, di Padepokan Cakra Geni tengah
berlangsung pertarungan yang sengit Murid-murid Padepokan Cakra Geni yang telah
dipersiapkan Ki Wirapati untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi,
dengan gigih dan gagah berani berusaha menghalau kedua penyerang.
Namun rupanya, guru dan murid dari
Jurang Neraka itu bukanlah tandingan mereka. Terbukti murid-murid dari
Padepokan Cakra Geni telah banyak yang menjadi korban amukan kedua orang itu.
"Serang terus..." seru Ki
Wirapati yang terus menyerang Dewi Bunga Iblis. Suciati tidak terlihat di sana.
Mungkin gadis itu sengaja disembunyikan Ki Wirapati.
Ki Wirapati yang telah maklum siapa
lawannya, kini tidak mau tanggung-tanggung menyerang. Seperti halnya Ki Panca
Loreng yang kini telah tewas, Ki Wirapati cukup tahu banyak tentang Dewi Bunga
Iblis. Itu sebabnya, dia sangat hati-hati dalam melakukan serangan. Pertama,
mengingat lawan yang tengah dihadapinya tokoh sakti yang berilmu beberapa
tingkat di atasnya. Dan kedua, dia menyadari kalau wanita itu lebih
berpengalaman di rimba persilatan.
Ki Wirapati tak mau mati konyol begitu
saja karena ragu pada kemampuannya menghadapi Dewi Bunga Iblis. Dia pun
meneguhkan hati untuk terus berusaha melancarkan serangan.
"Hiaaa..." Ki Wirapati
melancarkan tendangan pancingan ke dada lawan yang membungkuk. Tapi dengan
cepat serangan itu dielakkan Dewi Bunga Iblis dengan menggeser kaki ke samping.
Kemudian wanita tua itu balik melancarkan serangan dengan tangan kanan. Disusul
kibasan tangan kirinya.
Ki Wirapati menarik tendangannya, lalu
dengan cepat mengganti dengan pukulan tangan kanannya.
Sedangkan tangan kirinya menyapu ke
atas, berusaha menangkis serangan lawan.
"Heaaa..." "Hik hik
hik... Inikah murid Wiasa?" ejek Dewi Bunga Iblis, membuat Ki Wirapati
tersentak kaget manakala nama gurunya disebut wanita tua itu. "Sungguh tak
berguna kau menjadi murid Wiasa" "Sombong Dari mana kau tahu nama
guruku?" bentak Ki Wirapati marah, karena dihina begitu rupa oleh Dewi
Bunga Iblis. Serangannya dipergencar.
Pukulan-pukulan 'Seribu Guntur'
dilipatgandakan.
Namun si nenek masih terkikik sambil
berkelit dari serangan itu "Hik hik hik... Bukan hanya nama gurumu yang
aku tahu. Bahkan semua ilmunya aku paham Hik hik hik.. Mana Cakra Geni warisan
gurumu itu, heh?" Semakin bertambah marah saja Ki Wirapati dihina begitu
rupa. Serangan orang tua itu mulai membabi buta, sampai akhirnya tak terkontrol
lagi. Padahal itu sangat berbahaya bagi dirinya.
"Jangan sombong, Nenek Iblis
Heaaa..." "Percuma kau melawanku Gurumu kalau masih hidup tak akan
mampu menandingi ku Hiaaa..." Dewi Bunga Iblis mengibaskan tangannya
dengan cepat. Dan dari kibasan tangan itu, berdesing bunga-bunga hitam yang
melesat ke arah Ki Wirapati.
"Bunga Racun Iblis... Celaka..."
Ki Wirapati terkesiap. Dia tidak menduga kalau nenek itu akan mengeluarkan
senjata rahasianya yang terkenal maut itu. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke
samping untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat tangannya
mengambil sesuatu dari balik rompinya. Sebuah benda bulat bergerigi kini
tergenggam di tangannya. Kemudian segera dilemparkannya ke arah bunga-bunga
hitam yang tengah meluncur deras.
Swing...
Benda bulat bergerigi yang mengeluarkan
api itu adalah Cakra Geni. Sebuah senjata pusaka warisan gurunya, Wiasa.
Senjata itu melesat cepat, membabati
bungabunga hitam yang hendak menyerang Ki Wirapati, hingga bunga-bunga itu
berguguran dengan menimbulkan suara berdesing.
Tring Dewi Bunga Iblis terkekeh melihat
lawan telah mengeluarkan senjata pusakanya. Sepertinya, perempuan tua itu tidak
gentar sedikit pun terhadap Cakra Geni milik lawan.
"Senjata butut itu tak ada gunanya
bagiku" ejeknya meremehkan.
Usai berkata begitu, tubuh Dewi Bunga
Iblis melenting hingga berada di atas Cakra Geni. Lalu dengan cepat kakinya
mendarat di atas senjata lawan yang langsung berhenti.
Mata Ki Wirapati melotot menyaksikan
kejadian itu. Selama ini, tak pernah ada orang yang mampu menghentikan Cakra
Geni miliknya. Namun perempuan tua itu ternyata menghentikannya dengan mudah.
Bahkan berdiri di atas senjata itu sambil tertawa terkekeh.
9
Di sisi lain, terjadi pertarungan tidak
seimbang antara murid-murid Padepokan Cakra Geni melawan Kumbang Hitam dari
Neraka. Murid-murid Padepokan Cakra Geni bagai tak berarti menghadapi lelaki
dengan tubuh terbalut kain hitam itu. Korban telah banyak berjatuhan. Namun
demikian, semangat sisa murid padepokan seperti tak padam begitu saja. Bahkan
serangan mereka semakin bertambah garang.
"Percuma kalian membuang nyawa
Lebih baik kalian menyingkir, jangan sampai aku membunuh kalian semua"
bentak Kumbang Hitam, berusaha menakut-nakuti sisa murid Padepokan Cakra Geni.
"Jangan harap kami akan menyerah,
Iblis" sahut salah seorang murid utama. "Demi kebenaran dan keadilan
kami rela berkorban, meski harus mati" "Rupanya kalian benar-benar
mencari mati Baik Jangan salahkan aku bila kalian pindah ke nera-ka"
bentak Kumbang Hitam seraya melancarkan serangan dengan menggunakan jurus
'Gagak Hitam Mengepak Sayap'.
Tangannya terentang ke samping, lalu
dengan cepat bergerak memutar ke depan membantu tusukan lurus. Disusul oleh
tendangan ke depan.
"Jangan banyak mulut, Iblis Gempur
dia..." "Hiaaa..." Sisa murid Padepokan Cakra Geni yang masih
hidup, kembali menyerbu dengan berani Dengan ilmu beberapa tingkat di bawah
lawan, kesepuluh sisa murid padepokan berusaha merangsek lawan.
Pertarungan antara Kumbang Hitam melawan
murid-murid Padepokan Cakra Geni kembali berjalan seru. Kesepuluh murid-murid
padepokan itu dengan gigih dan berani terus menyerang. Namun lawan yang mereka
hadapi bukan lawan sembarangan. Yang mereka hadapi seorang berilmu tinggi yang
setaraf dengan guru mereka.
"Kalian benar-benar mencari mampus
Heaaa..." Kumbang Hitam mengepakkan tangannya untuk menyerang. Kedua
tangannya membentuk sayap lurus, kemudian dengan cepat diputar ke depan dan
menghentak lawan. Sedangkan kakinya bergerak menendang dengan cepat ke samping
dan ke belakang.
Setiap kali tangan atau kakinya
bergerak, terdengar pekikan memecah udara. Disusul oleh ambruknya tubuh lawan.
Dua orang lawan jatuh. Mulut mereka
melelehkan darah. Namun hal itu tidak membuat yang lainnya gentar. Bahkan
kembali terdengar seruan lantang.
"Serang terus..."
"Heaaa..." Sisa murid Padepokan Cakra Geni kembali merangsek. Namun
Kumbang Hitam yang sudah tak sabar untuk secepatnya menghabisi pengeroyoknya,
menyambuti dengan serangan cepat Jurus-jurus pamungkas yang sebenarnya tidak
perlu dikeluarkan, kini digunakannya.
Gerakan tangan dan kaki Kumbang Hitam
semakin cepat. Tangannya mengepak, mematuk dan menyambar ke sana kemari dengan
keras dan ganas. Sedangkan kedua kakinya menendang, menyepak dan mendupak tak
kalah keras dan cepat. Sebuah gerakan yang membuat para pengeroyoknya terkejut,
tak menyangka akan menghadapi jurus aneh dan dahsyat itu.
"Hiaaat.."
"Heaaa..." Kumbang Hitam terus bergerak dengan cepat.
Kedua tangannya yang mengepak, mematuk,
dan menyambar terus menebas ke arah lawan-lawannya. Kakinya pun tak tinggal
diam, bergerak lincah dengan tendangan mematikan.
Mau tak mau, para pengeroyoknya harus
bersusah payah berkelit, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang. Kini bukannya
mereka yang mendesak Kumbang Hitam. Keadaannya justru berubah. Merekalah yang
terdesak.
Kumbang Hitam yang ingin segera
menghabisi lawannya, Wan bertambah beringas. Setiap sabetan, pukulan dan
kepakan tangan dan kakinya, menimbulkan jeritan kematian yang menyayat. Disusul
oleh ambruknya tubuh korban dengan mulut memuntahkan darah. Satu persatu lawan
dibabat Sampai akhirnya tak tersisa lagi.
"Ha ha ha... Semua telah beres,
Guru Mengapa kau masih membiarkan tikus tua itu hidup?" celoteh Kumbang
Hitam dengan mata angkuh memandang tubuh Ki Wirapati yang berusaha mengelakkan
serangan Dewi Bunga Iblis.
"Hik hik hik..," Dewi Bunga
Iblis tertawa. "Kau lakukanlah keinginanmu. Aku yakin, gadis itu berada di
dalam. Biar aku main-main sebentar dengannya." "Baiklah kalau memang
itu keinginanmu." Usai berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam segera
berkelebat masuk ke bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal. Dicarinya
Suciati di setiap kamar, Nampaknya Kumbang Hitam sudah tak sabar ingin segera
menikmati kehangatan tubuh gadis itu, yang selama ini ditahannya. Bahkan dia
telah membayar mahal untuk itu. Mukanya hancur, sampai harus ditutup kain
hitam.
Lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam
itu terus mencari Suciati. Dia benar-benar tak sabar. Dan gejolak keinginannya
itu dilampiaskan dengan mendobrak pintu-pintu kamar yang tertutup rapat
"Di mana dia...," geram Kumbang Hitam semakin tak sabar. Bayangan tubuh
Suciati yang pernah di-intipnya ketika tengah mandi saat masih di Kadipaten
Tegal Arang, kembali menghiasi pikirannya Membangkitkan nafsu birahi yang
melonjak-lonjak liar.
Semua kamar telah dijelajahinya, namun
gadis itu belum juga ditemukannya. Tentunya di salah satu kamar itulah Suciati
berada, pikir Truna.
Kumbang Hitam menyeringai. Perlahan
kakinya melangkah menghampiri pintu kamar yang tak tertutup di samping
kanannya.
"Hm, tentunya di kamar ini dia
disembunyikan," gumannya perlahan.
Dengan langkah halus, lelaki terselubung
kain hitam itu mendekati pintu kamar. Didorongnya pintu tersebut
perlahan-lahan.
"Hiaaat.." Berbareng dengan
terbukanya pintu, sebilah pedang tiba-tiba menyerang ke arahnya. Beruntung
Kumbang Hitam cepat berkelit. Kalau tidak, kepalanya tentu akan terbelah oleh
pedang yang ada di tangan Suciati. "Hiat.." Gadis cantik berbaju
hijau itu terus menyerang dengan tusukan-tusukan pedangnya. Namun karena ilmu
silat yang dipelajari selama di padepokan itu belum seberapa, serangannya tidak
membahayakan bagi Kumbang Hitam. Bahkan sambil tertawa Kumbang Hitam
mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Suciati. Gerakannya seperti
hendak menggoda gadis yang sedang kalap itu.
Suciati terus menyerang dengan gerakan
tak teratur, meski dia belum tahu siapa lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam
itu. Namun dari caranya masuk ke kamar itu, dia sudah dapat menduga kalau orang
itu tidak bermaksud baik.
Menghadapi serangan pedang Suciati,
Kumbang Hitam berkelit sambil tertawa-tawa. Tangannya sesekali berbuat nakal
pada tubuh gadis itu sehingga membuat Suciati bertambah kalap.
"Kurang ajar Kubunuh kau
Heaaa..." maki Suciati yang merasa dipermainkan.
Serangan Suciati kian membabi buta. Hal
itu membuat Kumbang Hitam dapat membaca gerakannya. Ketika gadis itu
membabatkan pedang ke arah kanan, Kumbang Hitam menggeser kakinya ke belakang
dan bergerak ke kiri.
"Percuma saja kau melawanku, Cah
Ayu... Lebih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan," bu-juk Kumbang
Hitam sambil bergerak mengelakkan babatan-babatan pedang lawan. Sesekali
tangannya kembali nakal menjamah tubuh Suciati.
"Cuhhh... Lebih baik aku mati,
ketimbang menuruti kata-katamu Heaaat.." Dengan membabi buta, Suciati
kembali melakukan serangan. Pedang di tangannya bergerak tak beraturan,
membabat ke segenap penjuru.
"Kau benar-benar nekat, Cah
Ayu..." Sambil berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam melenting ke udara.
Kemudian dengan bersalto, jarinya menotok jalan darah Suciati.
Tukkk "Akh..." Tubuh Suciati
yang hendak kembali menyerang, seketika menjadi kaku laksana patung kayu.
"Laki-laki laknat Bunuh saja aku
Lepaskan totokanmu, dan kita bertarung sampai mati..." Kumbang Hitam
tergelak-gelak mendengar tantangan Suciati. Dengan pandangan penuh nafsu,
didekatinya tubuh Suciati yang tak bergeming. Kemudian mengangkatnya.
"Lepaskan... Lepaskan totokanmu,
Keparat.." maki Suciati penuh kebencian.
Kumbang Hitam tidak peduli. Dengan
tertawatawa diletakkannya tubuh Suciati ke atas tempat tidur.
Matanya memandang penuh api nafsu.
Kemudian dengan buas, tangannya merenggut pakaian gadis itu.
Breeet "Auh..." pekik Suciati.
Kemesuman hampir saja terjadi, kalau
tidak terdengar suara hentakan keras tiba-tiba. "Bajingan...
Keluar kau..."
***
"Kurang ajar Siapa yang berani lancang
kepadaku?" maki Kumbang Hitam seraya berkelebat meninggalkan calon
korbannya.
Sesampainya di luar, Kumbang Hitam
terkejut bukan kepalang. Gurunya tengah dikeroyok dua orang.
Sedangkan di depannya, berdiri seorang
pemuda yang telah dikenalnya. Pemuda itu tidak lain Pendekar Gila.
Yang tampak cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Pendekar Gila tertawa melihat Kumbang Hitam keluar dari
dalam. Kemudian dengan masih menggaruk-garuk kepala, dia mengejek,
"Rupanya kau kumbang busuk yang suka merusak kehormatan gadis-gadis itu?
Ha ha ha... Mengapa mukamu ditutup, Sobat? Apa kau malu menunjukkan tampang
burukmu?" Murkalah Kumbang Hitam mendengar ejekan yang keluar dari mulut
Pendekar Gila. Terlebih melihat tingkah laku menyebalkan pemuda gila itu.
"Pemuda gila Tak percuma aku
mencarimu Akhirnya kau datang sendiri untuk mengantar nyawa" dengus
Kumbang Hitam penuh geram.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak
mendengar ucapan Kumbang Hitam. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan yang kiri menepuknepuk pantat "Aha.... Rupanya nyawaku sangat
berharga bagimu, Kumbang Busuk Ah ah ah. Sungguh beruntung aku yang bodoh dan
hina ini memiliki nyawa yang sangat berharga. Karena nyawaku berharga, kukira
aku akan berusaha mempertahankan dari tangan busukmu itu" ujar Pendekar
Gila.
"Bedebah Akan kubuktikan kalau
tanganku akan mencabut nyawamu dengan mudah Heaaa..." Dengan amarah
meledak-ledak, tubuh Kumbang Hiram melesat untuk melabrak Pendekar Gila.
Tangannya mengembang, membuat gerakan
'Sayap Kumbang Melebar'. Kemudian digerakkan memutar ke depan, membentuk sebuah
perisai dari pukulan. Sedangkan kakinya, nampak menyilang agak direndahkan
"Hiaaat.." Melihat serangan yang dilancarkan lawan, Pendekar Gila
segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus dari 'Ilmu
Silat Si Gila' yang dahsyat. Gerakan tubuhnya terlihat lemah gemulai laksana
menari, disertai tepukan-tepukan tangan.
Jika diperhatikan, jurus yang dilakukan
Pendekar Gila hanya gerakan main-main. Namun, sesungguhnya gerakan itu sangat
berbahaya.
Melihat gerakan lawan seperti itu,
Kumbang Hitam merasa yakin akan dapat menerobos pertahanan lawan dengan jurus
barunya. Tangannya yang bergerak membuat suatu kepakan dan pukulan, menyerang
Pendekar Gila.
"Hiat" Pendekar Gila cepat berkelit
dengan cara memiringkan tubuh ke samping. Gerakan mengelitnya pun seperti
menari. Tubuhnya lentur dan lemas. Jika dilihat sekilas, nampak tak ada tenaga
yang dikeluarkannya. Lalu disusul oleh tepukan tangan ke arah dada lawan.
Kumbang Hitam tersentak kaget ketika serangannya dapat digagalkan lawan. Bahkan
tepukan tangan Pendekar Gila kini mengancamnya. Cepat-cepat Kumbang Hitam
melangkah ke belakang dua tindak, lalu kembali tangannya digerakkan ke atas
dengan jari-jari mengepal. Setelah itu, dengan cepat tangan kirinya membentuk
siku sebagai tameng. Sedangkan tangan kanannya mengarah lurus ke dada lawan.
"Heaaa..." Pendekar Gila
menarik serangan. Tubuh surut setindak ke belakang. Tubuhnya dibuang ke
samping, kemudian dengan cepat kakinya ditarik ke samping dengan sedikit
menekuk. Tangannya saling menyanggah. Tangan kanan berada di atas tangan kiri,
kemudian dihempaskan ke depan untuk menyerang lawan.
Tap Satu tangan mereka saling
berpegangan. Sedangkan tangan yang lainnya kini bergerak cepat saling menyerang
dan menangkis. Sebuah permainan yang sulit dilakukan oleh orang persilatan
biasa. Dengan satu tangan sating berkait, mereka terus bertukar serangan.
Bukan hanya tangan mereka yang bergerak
melakukan serangan. Kaki mereka pun turut bergerak, berusaha saling mengait dan
menjatuhkan lawan.
"Heaaa..."
"Yiaaat.." Keduanya saling dorong, berusaha untuk mendaratkan pukulan
dan sapuan kaki. Kejadian itu berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya keduanya
saling mendorong dengan keras. Tubuh mereka terlontar ke belakang, bersalto di
udara dan kembali menjejak di tanah. Sesaat mata keduanya saling pandang.
Kemudian, didahului pekikan melengking tinggi, keduanya kembali melesat dengan
jurus-jurus baru.
"Heaaat.." Saat itu Ki
Wirapati tengah kerepotan menghadapi gempuran yang dilancarkan Dewi Bunga
Iblis. Dia dalam keadaan terdesak, ketika tiba-tiba terdengar suara seorang
lelaki berseru, "Ki Wirapati, aku datang membantumu" Nampak seorang
lelaki tua berpakaian mirip resi dengan tangan menggenggam tombak pendek bermata
dua, berlari menuju tempat itu. Kemudian lelaki tua yang tidak lain Ki Tunggal
Manik itu langsung menggebrak untuk membantu temannya.
"Terima kasih," desis Ki
Wirapati, merasa lega dengan kedatangan Ki Tunggal Manik. Dengan ban-tuan Ketua
Perguruan Teratai Putih itu, paling tidak dia tidak lagi terlalu kerepotan
menghadapi Dewi Bunga Iblis. "Heaaat.." Dewi Bunga Iblis kembali
menggebrak, berusaha mematahkan serangan yang dilancarkan lawannya yang kini
berjumlah dua orang. Tangannya bergerak cepat menangkis dan menampar ke arah
lawan. Sedangkan kedua kakinya terus menyapu ke arah kaki, atau sesekali
menendang ke dada lawan-lawannya.
Melihat serangan cepat dilancarkan oleh
Dewi Bunga Iblis, kedua lelaki itu dengan cepat pula berkelit. Kemudian dengan cepat
pula mereka menyerang bersamaan.
Ki Tunggal Manik menyerang bagian perut
perempuan tua itu. Tangannya memukul, menotok dan menepis setiap gerakan kaki
lawan. Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam, kini mengarahkan serangannya
pada bagian atas. Tangannya yang kanan memukul, sedangkan yang kiri membentuk
tameng untuk menangkis serangan lawan.
Serangan keduanya datang dari arah yang
berlawanan. Satu dari sisi kiri, sedangkan yang satunya dari sisi kanan. Namun
begitu, Dewi Bunga Iblis bukanlah orang kemarin sore, Namanya telah mampu
menggetarkan dunia persilatan pada masanya. Menghadapi serangan kedua lawannya
yang berlawanan arah, tidak menciutkan nyalinya. Terlebih melihat salah seorang
lawannya telah terluka dalam.
Di samping itu, Cakra Geni yang
merupakan senjata pusaka milik Ki Wirapati kini telah berada dalam
kekuasaannya. Jika dia terdesak, senjata itu akan digunakan.
Meski usia sudah lanjut, namun gerakan
mengelit dan menyerang Dewi Bunga Iblis ternyata masih gesit. Tubuhnya yang
agak bungkuk laksana menari.
Kakinya bergerak menyilang dan
merenggang. Sedangkan tangannya bagaikan sepasang senjata tajam yang mematikan.
Bahkan dengan tertawa mengikik, Dewi
Bunga Iblis bergerak mengelak dan balas menyerang. Sesekali tangannya melambat,
mengeluarkan angin pukulan yang menyentakkan kedua lawannya. Atau terkadang
menepak, menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Pertarungan terus berlangsung keras.
Sudah puluhan jurus yang telah mereka keluarkan. Sampai sejauh itu, tak ada
tanda-tanda kalau kedua pengeroyoknya akan mampu menjatuhkan Dewi Bunga Iblis.
Malah berkali-kali keduanya harus
membelalakkan mata, manakala mendapat serangan yang tak terduga.
"Heaaa..." "Hik hik
hik..." Dewi Bunga Iblis terkikik. Tangan kanannya dikibaskan ke arah
lawan sebelah kanan. Sedangkan kaki kirinya bergerak menendang dan menyapu
lawan sebelah kiri.
Kedua lawan yang mengeroyoknya
tersentak.
Segera mereka menarik serangan, kemudian
mengubah jurus lain. Bergantian mereka mencari sasaran.
Kalau tadi Ki Wirapati menyerang di
bagian atas, kini sebaliknya. Ki Wirapati memusatkan serangannya pa-da bagian
bawah. Sedangkan Ki Tunggal Manik beralih menyerang bagian atas tubuh Dewi
Bunga Iblis.
Sebuah penggabungan serangan yang hebat.
Kalau saja lawannya tak berilmu setaraf
dengan mereka, sudah dari tadi lawan akan diremukkan.
"Heaaat.."
"Ceaaa..." Gerakan kedua lelaki tua itu serempak. Sepertinya telah
diatur sebelumnya. Tak ada kesalahan dalam melakukan serangan. Yang menyerang
bagian atas, terus mencecar dan berusaha mencari titik luang di bagian atas.
Sedangkan yang menyerang bagian bawah, terus mencari titik luang di bagian
bawah.
Namun sejauh itu, belum juga mereka
berhasil menjatuhkannya. Seakan semua tubuh Dewi Bunga Iblis terlindungi. Hal
itu disebabkan wanita tua itu mampu melakukan gerakan yang cepat dan gesit.
Hingga jika serangan datang, secepat itu
pula dia me-lindungi tempat yang diserang. Bahkan tak segansegan balik
menyerang lawan.
Kedua lelaki tua itu kembali menyerang,
ketika tiba-tiba Dewi Bunga Iblis melompat ke belakang dengan cepat Lalu
sebelum kedua penyerangnya sadar dari kekagetannya dan menguasai diri, wanita
tua itu menghantamkan pukulan mautnya ke arah mereka.
"Celaka" pekik Ki Tunggal
Manik.
"Ahhh..." keluh Ki Wirapati
kaget.
Keduanya yang belum bisa menguasai diri
seketika mati langkah. Mata mereka membelalak tegang, menyaksikan angin pukulan
yang datang menderu cepat ke arah mereka.
Sebisanya Ki Tunggal Manik menjatuhkan
diri ke tanah lalu berguling, sehingga dia luput dari maut.
Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam
tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya langsung menjadi sasaran pukulan lawan.
Degk "Akh..." Ki Wirapati
memekik. Tubuhnya terdorong ke belakang tiga tindak dengan terhuyung-huyung.
Darah semakin banyak keluar.
"Ki..." seru Ki Tunggal Manik,
ketika tubuh Ki Wirapati terhuyung kemudian ambruk mencium tanah tanpa nyawa.
Hal itu membuat Ki Tunggal Manik menjadi kalap. Disertai pekikan, dia kembali
menyerang.
Kali ini di tangannya tergenggam
senjatanya yang berupa tombak bermata dua.
Tombak sepanjang lengan di tangan Ki
Tunggal Manik bergerak cepat dengan gerak memutar bagai menghilang. Yang nampak
hanya sinar putih kebirubiruan, menyelimuti tubuhnya.
"Iblis Kau harus mati
Heaaa..." Dewi Bunga Iblis terkekeh, kemudian dengan cepat mengelakkan
serangan lawan dan balas menyerang. Pertarungan kembali berlangsung.
10
Suciati yang melihat Pendekar Gila
tengah bertarung melawan lelaki yang tadi hendak memperkosanya dan kini tengah
terdesak oleh seranganserangan yang dilancarkan Pendekar Gila, segera
berkelebat turut menyerang. Pedang di tangannya diarahkan ke arah tubuh lelaki
terbalut kain hitam. Memang, saat itu pengaruh totokan Kumbang Hitam telah
mus-nah dengan sendirinya.
"Hiaaat.." Kumbang Hitam yang
kerepotan menghadapi Pendekar Gila terkejut manakala mendengar suara seorang
gadis menyerang ke arahnya. Dengan masih berusaha mengelitkan serangan Pendekar
Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Kumbang Hitam
menepiskan tangan kirinya ke belakang. Suciati yang tak menduga akan
mendapatkan serangan begitu tiba-tiba, tak mampu berkelit dari ke-butan tangan
Kumbang Hitam. Tanpa ampun tubuh gadis itu harus menerima sambaran angin
pukulan yang mengarah dadanya.
Desss "Ukh..." Suciati
mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai lima tindak. Dari sela
bibirnya meleleh darah segar. Wajahnya sesaat mengejang, sebelum ambruk
terkulai di tanah dalam keadaan pingsan.
"Pengecut" maki Pendekar Gila
melihat gadis itu dihantam oleh lawannya. Hal itu membuatnya kian bertambah
marah. Belum juga habis amarahnya menyaksikan bagaimana Ki Wirapati ditahan
oleh wanita tua itu. Kini telah dikobarkan lagi oleh kejadian yang dianggapnya
pengecut itu.
Dengan mempercepat gerakan 'Si Gila
Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila terus merangsek lawan. Tangannya
terangkat ke atas, dengan jari-jari terbuka. Kemudian tangan kanan bergerak
menghantam ke muka. Sedangkan tangan kiri bergerak dari bawah menghajar ke
selangkangan.
"Heaaat.." Kumbang Hitam yang
berusaha mengembangkan serangan dengan jurus 'Kumbang Hitam Menyengat' bagikan
tak memiliki kesempatan. Setiap kali dia hendak mengembangkan jurusnya, secepat
itu pula Pendekar Gila telah melancarkan serangan anehnya.
Tiba-tiba saja tangan atau kaki Pendekar
Gila yang kelihatannya bergerak lambat, telah mendekati tubuhnya. Hingga mau
tak mau Kumbang Hitam harus mengurungkan niatnya.
Seperti juga saat ini. Beberapa kali
Kumbang Hitam berusaha menyerang. Tapi tiba-tiba saja Pendekar Gila telah
merangsek. Jurus yang dilancarkan Pendekar Gila kelihatannya lamban dan lemah.
Namun entah bagaimana caranya, setiap kali Kumbang Hitam bergerak, tangan atau
kaki Pendekar Gila telah dekat ke tubuhnya.
"Ilmu silumankah?" desis
Kumbang Hitam dengan mata membelalak kaget. Dia benar-benar menghadapi lawan
yang seperti memiliki ilmu siluman saja. Ke mana pun dia bergerak, lawan
tiba-tiba telah men-jangkaunya, meski gerakan lawan kelihatan lamban dan lemah.
Pendekar Gila yang sempat melirik ke arah
Ki Tunggal Manik terkejut, menyaksikan orang tua itu ki-ni terdesak. Kalau dia
tidak cepat-cepat membereskan yang satu ini, bisa-bisa celakalah orang tua dari
Perguruan Teratai Putih itu.
"Heaaa..." Tangan Pendekar
Gila semakin cepat bergerak, hingga laksana menghilang. Itulah jurus 'Angin
Gila Membadai'. Tubuhnya berputar cepat menimbulkan angin yang keras menderu.
Sedangkan kedua tangannya bergerak cepat menyerang bergantian.
Kumbang Hitam kian tersentak kaget.
Sesaat dia tertegun dengan mata membelalak menyaksikan gerakan yang semakin
aneh dilakukan oleh lawannya.
Pada saat itu, tangan Pendekar Gila yang
menyerang dengan cepat tanpa dapat dielakkan menghantam telak dadanya. Tubuh
Kumbang Hitam terlontar keras, melayang laksana tersapu angin diikuti pekikan
yang menyayat "Aaa..." Pekikan keras yang keluar dari mulut Kumbang
Hitam, membuat kedua tokoh tua yang tengah bertarung seketika menghentikan
pertarungan. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah datangnya pekikan itu.
Dewi Bunga Iblis membelalak saat matanya
sempat menyaksikan gerakan aneh yang dilakukan oleh pemuda berpakaian rompi
kulit ular sanca. Gerakan itu mengingatkannya pada seorang pendekar yang telah
mampu mengalahkannya. Pendekar itu pun mengeluarkan jurus serupa ketika
menjatuhkan dirinya, hingga tubuhnya bungkuk seperti sekarang.
Setelah pemuda berpakaian rompi kulit
ular menghentikan gerakan anehnya, pandangan Dewi Bunga Iblis tertuju ke asal
suara pekikan. Matanya semakin membalalak, menyaksikan sesosok tubuh terbungkus
kain hitam yang tidak lain muridnya, melayang jauh, dan baru berhenti ketika
membentur pohon besar dengan menimbulkan suara berderak.
Brakkk...
Tubuh Kumbang Hitam hancur, bersamaan
dengan tumbangnya pohon besar yang terhantam tubuhnya.
"Sungguh dahsyat jurus itu. Hm,
rupanya Pendekar Gila telah meningkatkan ilmunya. Tak kusangka, kalau ilmu
Pendekar Gila yang masih muda ini lebih dahsyat dari pendahulunya. Untuk
menandinginya, aku harus mendalami ilmumu puluhan tahun lagi. Atau mungkin ratusan
tahun lagi Tak ada gunanya aku mencari keributan dengannya," desis hati
Dewi Bunga Iblis.
Tanpa menghiraukan apa yang akan
dikatakan oleh Pendekar Gila dan Ki Tunggal Manik padanya, Dewi Bunga iblis
hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja beberapa langkah kakinya
bergerak, Ki Tunggal Manik dengan cepat melemparkan senjatanya ke arah tubuh
wanita bungkuk itu. Senjata itu melaju begitu deras, hingga Dewi Bunga Iblis
yang tak menyangka akan diserang, tak dapat mengelakkannya.
Crab Tombak bermata dua menghunjam
punggung wanita bungkuk itu. Mulut keriputnya seketika menjerit. Darah muncrat
dari punggung yang terluka lalu membasahi pakaiannya. Sesaat tubuh bungkuk itu
membalik memandang dengan penuh kemarahan ke arah Ki Tunggal Manik. Gigi-giginya
yang tinggal beberapa biji saling beradu. Jemari tangannya meregang.
Kemudian dengan memekik keras, Dewi
bunga Iblis meluruk bagai banteng luka. Namun karena darah banyak keluar, serta
racun pada tombak mata dua itu, baru beberapa tindak saja tubuh bungkuk itu
telah ambruk mencium tanah.
Pendekar Gila yang menyaksikan Kejadian
itu hanya mampu menghela napas. Kemudian kakinya melangkah mendekati Ki Tunggal
Menik yang masih terpaku, memandangi tubuh bungkuk yang kaku.
"Sebentar lagi pagi, Ki.... Kita
harus mengubur mereka," bisik Pendekar Gila, membuat Ki Tunggal Manik
tersadar dari ketertegunannya. Lelaki tua dari Perguruan Teratai Putih itu
mengangguk perlahan.
Kemudian melangkah beriringan dengan
Pendekar Gila.
Setelah mengubur mayat-mayat mereka yang
mati, Sena mendekati Ki Tunggal Manik yang berdiri berjajar dengan Suciati.
"Ki, semua kewajibanku di sini
telah selesai.
Aku mohon pamit padamu untuk meneruskan
perjalananku, untuk mengikuti kata hati. Kutitipkan Kanjeng Putri padamu,"
ujarnya lirih. Merasa sedih korban nyawa demikian banyak.
"Mengapa harus cepat-cepat pergi,
Pendekar Gila? Tinggallah di sini untuk beberapa hari, biar kami dapat
menjamumu," balas Ki Tunggal Manik setengah mencegah kepergian Pendekar
Gila dari kadipaten itu.
"Ah, terima kasih atas tawaranmu,
Ki. Tapi, dengan berat aku menolaknya. Masih banyak orang dalam kesengsaraan.
Masih banyak tugas yang harus kujalankan. Hidupku untuk alam. Di mana alam
membutuhkan, di situ aku harus mengabdi." Ki Tunggal Manik mengangguk-anggukkan
kepala mendengar penuturan Pendekar Gila.
"Ya, ya. Aku mengerti. Maaf, aku
tadi terlalu mendesak mu." Pendekar Gila tersenyum. Tangannya yang
diulurkan, disambut oleh Ki Tunggal Manik dengan perasaan haru. Mereka
berpelukan erat penuh persahabatan. "Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit
Tolong ja-ga Kanjeng Putri baik-baik," ucap Pendekar Gila sambil memandang
Suciati yang nampak sedih berpisah dengan Sena. Mata Suciati yang bulat itu
telah dilinangi air bening.
Pendekar Gila segera berkelebat
meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap, tubuhnya telah jauh dan berada di
bawah. Samar-samar terlihat Sena masih sempat melambaikan tangan sebagai
isyarat perpisahan yang tidak bisa dielakkan oleh seorang manusia, siapa pun
dia dan di mana pun berada. Lambaian itu dibalas oleh Ki Tunggal Manik dan
Suciati dengan penuh keharuan.
SELESAI
Emoticon