Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya
terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa
kematiannya telah dekat. Namun tiba-tiba diingatnya
mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari
ditelannya.
Tiba-tiba....
Crasss!
Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan
tubuhnya, seketika padam bagai tersedot kekuatan
gaib.
"Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-
bahak penuh kesombongan.
Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksi-
kan kejadian itu. Dia amat tahu kesaktian mustika
'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat
mustika itu ditelan Warak Kendra, dia terkejut luar
biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur.
Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan
sinar mata gentar.
"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu! Aku
Warak Kendra tak akan mundur! Ayo, keluarkan
semua ilmumu...!" tantang Warak Kendra, sombong.
Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari.
Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas Pati.
"Celaka! Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa
pun tak akan mampu mengalahkannya!" desis Ki
Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang
telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki
Wangas Pati tak mau menunjukkan keciutan nyalinya.
Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali
menyerang.
"Hiaaat..!"
Seberkas sinar merah membara kembali melesat
mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi tampaknya
Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah
pemuda yang telah menelan mustika sakti itu mem-
busungkan dada.
Desss!
Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati
menghantam telak dada Warak Kendra. Namun....
Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benak-
nya tak mempercayai apa yang terjadi di depan
matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik
dengan cepat ke arahnya. Bahkan lebih cepat di-
bandingkan serangan tadi
"Celaka...!"
Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke
samping, untuk mengelakkan serangan balik pukulan-
nya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api
itu terus menderu. Kemudian menghantam gubuknya.
Blarrr!
Api seketika berkobar, menerangi malam dengan
warna merahnya. Dalam sekejap, rumah itu telah
menjadi api unggun raksasa.
Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi
menyaksikan tubuhnya mampu menahan pukulan
sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat
dikembalikan ke tuannya, sampai-sampai merepot-
kan orang tua itu.
"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain?!
Keluarkan semuanya...!" tantang Warak Kendra
dengan nada pongah.
Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak
Kendra. Kini orang tua itu berupaya untuk mencari
titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum
mampu menemukannya.
"Mangkara...! Swuiiit..!" Ki Wangas Pati bersiul,
memanggil kelelawar raksasa peliharaannya.
"Cuiiit..!"
Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar
yang berada tak jauh dari kancah pertarungan. Tak
lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah
dengan mata nyalang. Suaranya memecah kesunyian
malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara
laksana amukan angin ribut
"Bagus, kau segera datang, Mangkara! Serang
dia...!" perintah Ki Wangas Pati pada binatang itu.
Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan
kepala, seperti mengerti perintah tuannya. Kemudian
matanya yang merah laksana mengandung api,
memandang ke arah Warak Kendra.
"Cuiiit..!"
Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian
malam. Sayapnya dikepakkan lebar-lebar. Lalu tubuh-
nya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk
beberapa saat, kemudian menukik untuk melancar-
kan serangan.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi mata-
nya yang tajam, tetap waspada pada serangan
binatang raksasa itu.
"Kau adalah abdiku! Aku tuanmu.... Kau harus
menurut padaku! Serang dia...!" seru Warak Kendra
dengan suara keras dan lantang.
Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali
benar sosok tuannya dari dulu, yaitu orang tua yang
tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu
menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat
matanya terasa sakit. Itulah bukti bahwa pemuda itu
pemilik mustika Pengubah Raga.
"Mangkara, jangan hiraukan...! Serang dia...!"
Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi
binatang peliharaannya.
"Mangkara, kau harus turuti perintahku! Kalau kau
membantah, maka kau akan kukembalikan ke asal-
mu!" ancam Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa
ketakutan mendengar ancaman Warak Kendra.
Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan mulut mencuit keras.
"Bagus! Rupanya kau mengerti! Nah, serang dan
bunuh tua bangka itu...!" seru Warak Kendra.
"Cuit...!"
Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini meng-
angguk-angguk. Kemudian tatapannya beralih ke
arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh.
"Celaka...!" pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu
hendak lari, namun tiba-tiba binatang buas itu telah
menghadangnya.
"Cuiiit…!"
Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan
kedua sayapnya yang keras dan tajam. Kalau Ki
Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling,
sudah pasti tubuhnya akan hancur!
"Edan! Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi!"
maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk
mengelakkan sambaran dan kepakan sayap
Kelelawar Iblis Merah.
Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas
itu melesat ke atas diiringi teriakan keras. Tubuhnya
berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali
menukik disertai pekikan membahana.
"Cuiiit...!"
"Iblis!"
Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan
binatang itu. Tubuhnya berguling ke tanah. Kemudian
dengan cepat tangannya memukul ke tubuh
Kelelawar Iblis Merah.
Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan
menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat
menyarangkan pukulan, dengan cepat Kelelawar Iblis
Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke
angkasa sehingga serangan Ki Wangas Pati luput.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya
bergerak semakin cepat. Kali ini kakinya tak tinggal
diam, mencengkeram ke tubuh lawan.
Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali
lagi melepaskan pukulannya ke tubuh Kelelawar Iblis
Merah.
Bukkk!
Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu
bagai tak mengalami apa-apa. Serangannya malah
semakin buas.
"Edan! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis...!"
rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan
serangan-serangan binatang itu.
"Ha ha ha...! Main-mainlah dengan Mangkara, Tua
Bangka!"
Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa
terbahak-bahak menyaksikan orang tua itu pontang-
panting diserang binatang peliharaannya sendiri.
"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka
itu...!"
"Cuit..!"
Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti
perintah tuannya yang baru. Didahului cuitan keras,
binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan
deras menyerang kembali. Sayapnya menebas ke
tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain
melabrak kepala orang tua itu.
Brat!
Cras...!
"Akh...!"
Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan
menyayat terlontar dari mulut K i Wangas Pati.
Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas
dari tubuh. Darah keluar deras dari pangkal tangan
yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu
berusaha lari dari tempat itu
"Mangkara, habisi dia...!' seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu
melesat cepat ke arah Ki Wangas Pati. Tidak lama
kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua
itu.
"Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya
segera melesat ke arah lolongan kesakitan orang tua
malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana
kepala Ki Wangas Pati berlumuran darah.
"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan! Ha ha ha...! Mangkara, ayo kita
pergi...!"
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang
baru.
***
6
Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan
Ki Wangas Pati dengan Warak Kendra, Sena
Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati
keindahan malam.
Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala
tak berbatas, matanya menangkap bayangan yang
melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu
dirasanya pernah dikenal beberapa saat lalu. Sesaat
kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa
sebenarnya bayangan itu.
"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-
kan kedua alisnya.
Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, ber-
usaha mendekati wilayah terbang kelelawar itu.
Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan
Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba menghilang. Tapi dia
tidak mengurungkan niat begitu saja.
Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan
sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-
kan. Dari jubah yang dikenakannya Sena dapat
mengenali lelaki tua itu
"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa orang tua aneh
ini? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"
Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati.
Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat
sesuatu.
"Ah, aku ingat sekarang!" serunya tiba-tiba.
"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah?
Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah mem-
bunuhnya."
Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan
mendadak keningnya ditepuk, seolah-olah benaknya
ingat sesuatu kembali.
"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah
binatang peliharaan Ki Wangas Pati...?" gumamnya
kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut
kelelawar ganas itu dari tangannya?"
Telapak tangan pemuda tampan itu menekan
dada Ki Wangas Pati.
"Masih berdenyut! Ah, masih hidup," ucapnya.
Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan
memijit-mijit beberapa bagian tubuh orang tua itu.
Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang
masih mengucurkan darah.
Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki
Wangas Pati tersadar. Matanya membuka dengan
berat, laki memandang pemuda di sampingnya
dengan tatapan sayu.
"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah.
"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya
Sena sambil memangku kepala Ki Wangas Pati yang
berlumur darah.
"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan
kelelawar itu.... Ah, dia...."
Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan kata-
katanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang.
Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah
menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa
bingung dengan kata-kata lelaki tua itu. Mulutnya
nyengir, persis kera gila.
"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi?"
Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru
jernih. Dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu
kembali bergumam....
"Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat
berbahaya. Hm, apalagi kini di tangan orang lain. Dan
dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu
bukan orang baik-baik. Edan...! Bencana apa lagi yang
akan melanda rimba persilatan?"
Mata Sena masih memandangi langit. Tangan
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajah-
nya cengar-cengir tak karuan.
"Dia...? Dia siapa?"
Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud
Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat sulit. Dia sama
sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika
sakti yang dikatakan Ki Wangas Pati.
Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah
melakukan pembunuhan keji terhadap Ki Wangas
Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari
Perguruan Belibis Putih.
"Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu...!"
"Ya! Mari kita tanyai!"
Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih
mendekat ke arah Sena yang masih menggaruk-garuk
kepala dengan mulut cengengesan.
"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti
orang gila!" bentak salah seorang dari murid
Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila
dari kebingungannya.
Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi
besar dengan rambut digelung ke atas. Di tangan
orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis
dengan rantai panjang.
"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis
Putih," sambut Pendekar Gila sambil cengengesan.
Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
"Ya! kami dari Perguruan Belibis Putih! Kami
datang untuk menangkapmu!" bentak lelaki bertubuh
tinggi besar itu
"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerut-
kan kening. Kemudian dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa,
Sena kembali berkata, "Rasanya aku tak ada silang
sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian
hendak menangkapku?"
"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui?
Kau telah membunuh saudara seperguruan kami
sebulan yang lalu! Untuk itulah, kami hendak
menangkapmu!"
Tawa Sena semakin meledak mendengar
penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalah-
pahaman? Gumamnya dalam hati. Banyak sekali
kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-
gelengkan, sementara tawanya masih terdengar.
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak
kenal kalian semua. Aku hanya mengenal perguruan
kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa
menuduhku begitu?" tanya Sena masih dengan
kepala menggeleng-geleng.
"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi
tangan! Masih juga kau menutupi kekejianmu
membantai saudara-saudara seperguruan kami
sebulan lalu, ketika mereka mengejar seorang
saudara seperguruan kami yang berkhianat!" dengus
lelaki tinggi besar yang bernama Perkolo.
Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang
masalah itu, semakin tergeiak-gelak. Kepalanya
digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak
mengenal orang yang menurut kalian telah kubunuh.
Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis
Putih. Itu saja. Dan perlu kalian ketahui, aku bukan Ki
Wangas Pati!"
Bertambah marah saja orang-orang Perguruan
Belibis Putih mendengar penuturan Sena. Mereka
menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung
jawabnya.
"Rupanya kau perlu diajar adat! Serang...!" perintah
Perkolo sambil menggerakkan tangannya.
Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera
mengurung Pendekar Gila. Sementara Pendekar Gila
hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah
konyol.
"Celaka! Benar-benar celaka! Bagaimana mungkin
orang-orang dari aliran lurus memiliki sikap tidak
terpuji begini?"
"Bedebah! Jangan bawa-bawa aliran!" bentak
Perkolo, gusar.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kepalanya digeleng-
gelengkan perlahan.
"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat."
"Diam! Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk
kami bawa ke perguruan atau kami bunuh?!"
Sena masih cengengesan. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya
tampak tercenung, seperti tengah berpikir.
"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya.
"Bagus! Ikat dia...!" perintah Perkolo.
Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera
mendekati Sena yang diam, tapi masih cengengesan.
Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila.
"Ayo jalan!" bentak Perkolo. "Kau harus ber-
tanggung jawab di depan pemimpin kami!"
Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi
orang-orang Perguruan Belibis Putih.
Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di
lereng Gunung Pandalaras yang subur dengan
hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan.
Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih
yang dipimpin oleh Ratih Puri.
Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita
duduk di atas kursi. Wajah wanita itu ditutupi cadar
berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot
mata wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya
ramping dan tak begitu tinggi. Sedangkan kulitnya
kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk
bersila murid-murid Perguruan Belibis Putih.
Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak
melaporkan hasil tugasnya pada Ratih Puri.
"Kau telah datang, Perkolo? Bagaimana hasilnya?"
tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi.
"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo
seraya menjura.
Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain
putih itu menyipit mendengar laporan murid utama-
nya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati
Perkolo.
"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?"
"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."
"Kau telah menangkapnya?"
"Benar, Guru."
"Bawa dia kemari!" perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian
berlalu meninggalkan ruangan itu.
Ratih Puri masih mengerutkan kening dan
menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum
percaya dengan laporan murid utamanya itu. Bagai-
mana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-
anginan itu mudah ditangkap? Tanyanya dalam hati.
Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan.
Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan
seekor kelelawar merah raksasa. Ah, rasanya tidak
masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja.
Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda
tampan berpakaian rompi kulit ular. Mata Ketua
Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak,
kemudian memandang tajam pada Perkolo yang
menjura padanya.
"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati."
"Perkolo...!" bentak Ratih Puri dengan keras.
Matanya melotot tajam penuh amarah pada
muridnya. "Apakah matamu buta?!"
Perkolo kebingungan. Sesaat matanya me-
mandang Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki
Wangas Pati."
Mata Ratih Puri semakin membelalak marah
mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian
melangkah lebih dekat ke arah Perkolo. Dengan
gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar
itu.
Plak!
"Tolol...! Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau!
Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat
kau tak tahu siapa dia?!" bentak Ratih Puri penuh
kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala.
Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam,
mendadak tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat
mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya.
Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin
tertawa keras. Menjadikan ruangan itu laksana
diguncang gempa.
"Ha ha ha...! Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi
beringas kini pucat, Sobat?" celoteh Sena, membuat
wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah
penuh amarah.
Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah
tahu dan kenal siapa pemuda berpakaian rompi kulit
ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah
mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak
untuk membuka tali yang mengikat tangan pendekar
muda itu.
"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-
ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri setelah
melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuh-
nya membungkuk untuk menjura hormat.
Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak
terikat menggaruk-garuk kepala.
"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang
menjadikan manusia buta," ujar Sena sambil matanya
mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan
tertunduk.
Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena
melangkah seenaknya. Matanya memandang Ratih
Puri yang tak berani menatap Sena karena malu.
"Aku memang salah, mengapa harus berada di
tempat itu. Tapi sebenarnya kedatanganku ke Hutan
Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas
Pati," tutur Sena dengan mulut cengengesan.
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk
kepala. "Sayang, orang yang hendak kujumpai
ternyata telah tewas."
Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan
kesedihan.
"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui
orang tua yang bersifat angin-anginan itu?" tanya
Ratih Puri hormat
Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali
tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar
Iblis Merah?"
"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri.
"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati
untuk mengendalikan binatang iblis itu?"
"Tepat!" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali
murung, menunjukkan kesedihan. "Sayang.... Rupa-
nya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam
keadaan sekarat. Kepalanya retak, tangan kirinya
buntung."
Ratih Puri membelalakkan mata mendengar
penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua
berilmu tinggi itu bisa dikalahkan. Selama ini, hanya
lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-
hadapinya.
Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan
Pendekar Gila yang melakukannya, jadi siapa yang
membunuhnya? Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih
itu dalam hati.
"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan
yang bisa menandingi ilmu Ki Wangas Pati.
Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?"
tanya Ratih Puri masih belum yakin
"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang
tua itu sekarat. Tapi setelah kuingat-ingat, akhirnya
aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang
bisa mengalahkannya."
Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-
anggukkan kepala. Dia pun membenarkan apa yang
dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaan-
nya yang dapat mengalahkan orang tua angin-
anginan itu.
"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai
binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri lagi.
"Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk
kepala dengan tingkahnya yang aneh. "Padahal
menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya
seorang diri di Hutan Wandar."
Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya
tengah berpikir tentang keanehan itu. Kalau Ki
Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar,
rasanya tidak mungkin binatang piaraannya
menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu
patuh terhadap orang tua itu.
"Ah, aku ingat...!" seru Ratih Puri, menyentakkan
Sena dari keterpakuannya. "Hm, sungguh berbahaya
kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya
dia telah mendapatkan mustika Pengubah Raga...,
sebab hanya dengan mustika itulah Kelelawar Iblis
Merah dapat dikendalikan."
"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena.
"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang
ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu sebabnya aku
memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama
menangkap Warak Kendra yang telah berkhianat dan
yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas
Pati."
"Celaka…!" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi
yang akan melanda rimba persilatan?"
"Kita harus mencegahnya! Jangan sampai kedua
iblis itu membuat petaka," desis Ratih Puri dengan
mata menyipit.
"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku
harus segera mencegahnya," ucap Sena.
Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu
menjura. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat dari
tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah
menghilang.
Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak
lebar. Hanya Ratih Puri saja yang kelihatannya
tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ck ck ck...! Benar-benar luar biasa! Pendekar Gila
dengan ilmu yang gila!"
"Jadi...!" Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar,
setelah mendengar siapa pemuda bertampang gila
tadi.
"Ya! Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas
Ratih Puri. "Beruntung dia tidak marah."
Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk.
"Perketat pengamanan! Tentunya murid murtad itu
akan melakukan pembalasan...!" perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru...!" sahut semua muridnya.
***
7
Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus
tenang yang membelah hutan. Jubah berwarna merah
darah yang dikenakannya dipermainkan angin,
seperti juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya
diikat kain berwarna merah pula. Sementara di
atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa
yang juga berwarna merah. Paduan warna merah itu,
membuat keduanya terlihat angker dan garang,
seangker kobaran api neraka.
Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama
Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-
nya karena tuah mustika Pengubah Raga.
"Mangkara, sebelum aku bertemu dengan
Pendekar Gila, rasanya aku belum puas," kata Warak
Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan
dendam.
"Cuit..!"
Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu
seperti memahami hasrat tuannya. Kepalanya
diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-
bangkan laki dikepak-kepakkan.
"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah
orang yang paling sakti di rimba persilatan! Ha ha
ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai
tubuhnya berguncang-guncang.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di
atasnya kembali mencuit dengan keras, mengem-
bangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menye-
ringai, menunjukkan taring-taringnya yang panjang
dan runcing.
Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak.
Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya
tajam mengawasi sekelilingnya.
"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari
kedai?" tanya Warak Kendra pada Kelelawar Iblis
Merah.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras.
Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan
menyetujui rencana tuannya.
"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya
kau pun lapar, bukan...?"
"Cuit..!"
Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai
Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan
membentang dari selatan ke utara. Belum jauh
mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang
berlari dari arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan
segera menghentikan langkah. Pendengarannya
dipasang tajam-tajam.
"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga,
Mangkara."
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari
sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya
mengangguk-angguk, seolah-olah membenarkan
ucapan tuannya.
"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah
Warak Kendra.
Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya
melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai
raja langit Kepalanya ditundukkan ke bawah,
matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayap-
nya dipercepat. Setelah berputar-putar beberapa kari
di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang
semakin melengking.
"Cuiiit...!"
Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik,
namun bukan ke arah Warak Kendra. Melainkan
masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik
rimbunan pepohonan.
Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya
menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya
terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh
suara pekikan kematian.
Prak!
"Akh...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke
angkasa, di kedua kakinya tercengkeram seorang
lelaki dengan kepala pecah.
"Bagus...! Kau memang abdiku yang setia,
Mangkara...!" seru Warak Kendra senang. Kekejian itu
dianggapnya sekadar hiburan ringan.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar
beberapa kali dengan kaki masih mencengkeram
korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepala-
nya mengangguk-angguk. Sepertinya Kelelawar Iblis
Merah yang bernama Mangkara itu tengah mem-
beritahukan sesuatu pada Warak Kendra.
"Ya, aku mengerti! Mereka memang banyak dan
tengah menuju kemari...!" seru Warak Kendra.
Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa
terbahak-bahak. Rupanya dia tak memandang
sebelah mata pun pada orang-orang yang akan
datang untuk menyerangnya.
"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk,
Mangkara...!" serunya kembali dengan nada pongah.
Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah
itu memang benar. Tidak lama kemudian, dari dalam
hutan muncul puluhan orang dengan pedang
terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala
botak bernama Kerto Mandra yang pernah bertarung
melawan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...! Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk
yang datang...," seloroh Warak Kendra untuk
merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-
dengus marah.
"Iblis...! Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga!
Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap
mengejarmu!"
Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar
ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis
menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah
Kerto Mandra lekat-lekat.
"Kecoa tolol...! Seharusnya kau bersembunyi, kalau
kau masih ingin hidup! Tapi rupanya kau nekat!
Katakan, siapa namamu?! Sebelum nyawa kecoamu
kukirim ke neraka!"
"Sombong!" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira
semudah itu kau membunuhku! Mungkin nyawa
iblismulah yang akan kukirim ke neraka! Seraaang...!"
Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan
orang bertelanjang dada seketika menghambur.
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat,
membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra.
Serangan mematikan yang cepat itu tidak mem-
buat Warak Kendra gugup. Malah dengan tertawa
keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi
serangan mereka.
"Rupanya kalian mencari mampus! Heaaat...!"
"Yeaaah...!"
Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak
menghadang serangan lawan-lawannya yang ber-
jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus,
kemudian diangkat tinggi-tinggi. Diteruskan dengan
gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak
mau diam, bergerak menendang ke belakang dan
depan. Itulah jurus 'Kelelawar Merentang Sayap
Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang
dahsyat
"Heaaa...!"
"Remuk tubuhmu...! Yeaaa...!"
Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus
dahsyat mematikan. Tangan kanannya menghantam
ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan
kirinya memukul kepala lawan yang di samping kiri.
Kedua kakinya menendang ke dada lawan di
belakang dan samping kanannya sekaligus.
Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra
sangat cepat, membuat lawan-lawan yang dijadikan
sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa
ampun lagi, empat orang lawan harus menerima
serangan mematikan itu.
Dukkk!
Desss!
"Aaakh...!"
Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan.
Seorang korban melolong dengan dada terbakar.
Sedangkan yang lainnya mengalami nasib
mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol
oleh tendangan kaki Warak Kendra. Sementara
seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur
dari mulutnya. Kemudian mereka ambruk tanpa
nyawa.
Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat
teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja.
Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan
tegang ke arah Warak Kendra yang tertawa tergelak-
gelak.
"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa
busuk yang tiada arti!" ucap Warak Kendra sombong,
membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke
ubun-ubun.
"Phuih...! Sombong...! Jangan kau kira kami takut!
Serang dan cincang dia...!" perintah Kerto Mandra
sambil melambaikan tangan.
Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak
mengepung. Pedang di tangan mereka teracung, siap
menunggu perintah selanjutnya
Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak
Kendra kembali tertawa bergelak gelak.
"Rupanya kalian benar-benar mencari mampus!"
Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali meng-
gerakkan tangan dan kakinya. Tangan kanannya
diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar.
Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan
telapak tangan di depan wajah. Kakinya dibuka
sedemikian rupa.
"Seraaang...!" Kerto Mandra kembali berseru.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya...!"
Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak
Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah
merah itu. Namun dengan cepat Warak Kendra
memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang
semula lurus di atas, kini mencakar ke arah wajah
lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan kirinya
ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak
tangan menghajar lawan sebelah kiri. Kakinya
menendang ke depan dan menyepak ke belakang.
Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat,
membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran
kembali harus menerima pukulan dan tendangannya.
Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan
tusukan pedang dengan cara meliuk dan melenting.
"Hiaaa...!"
Degk!
Crat!
"Wuaaa...!"
Empat orang memekik keras. Tubuh mereka
ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban
kesadisan serangan yang dilancarkan Warak Kendra.
***
Pertarungan semakin seru. Nampaknya orang-
orang Kerto Mandra kini benar-benar nekat.
Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka
gentar. Bahkan mereka nampak semakin beringas.
Serangan-serangan mereka semakin garang dan
penuh nafsu membunuh.
Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta,
tidak pernah membuat Warak Kendra bingung.
Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu
memanfaatkan lawan-lawannya.
"Cuiiit..!"
Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah
lama menghilang. Rupanya Mangkara telah
menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua
kakinya. Setelah kenyang, kini Mangkara kembali
menemui majikannya.
"Awas...! Kelelawar itu jauh lebih buas...! Kita bagi
dua...!" seru Kerto Mandra ketika melihat kelelawar
itu.
Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto
Mandra yang jumlahnya puluhan itu menjadi dua
kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis
Merah, sedangkan yang separoh lain berusaha terus
menyerang Warak Kendra.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat
melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah.
"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu!
Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini...!"
seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah
tuannya. Dengan mengeluarkan cuitan keras,
binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-
putar di udara beberapa saat, lalu menukik untuk
menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan
kedua sayapnya.
"Cuiiit..!"
"Awas!"
Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha
mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang
Iblis itu. Mereka serentak merunduk, kemudian
membalas dengan tebasan dan tusukan pedang.
Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti.
Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya,
tubuhnya telah melesat ke udara.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mengepak-
ngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat.
Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan
sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya yang
mampu mengeluarkan angin besar.
Wusss!
Prak!
Cras...!
Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap
Kelelawar Iblis Merah. Seorang dengan wajah
tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala
pecah, terpukul kepakan sayap.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke
angkasa, setelah melakukan serangan. Kemudian
setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya
menukik kembali untuk menyerang.
"Awas...!"
"Serang...!"
Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa
memperhitungkan baik buruknya, mereka berusaha
merangsek kelelawar raksasa itu.
"Yeaaa...!"
"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis...!"
Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar
Iblis Merah bagai mengerti. Secepat kilat tubuhnya
melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos,
Mangkara menyerang kembali dengan sabetan dan
kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawan-lawannya
yang belum siap harus menerima kenyataan pahit,
terbabat dan terhantam sayap Mangkara.
Cras!
Prak!
Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-
menyusul dari mulut mereka. Kemudian tubuh
mereka ambruk tanpa nyawa.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan
darah yang keluar dari tubuh korbannya. Binatang
iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian
kemari. Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan
pekikan kematian dari mulut lawan.
Dalam sekejap saja, korban pun banyak ber-
jatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan.
Wajah mereka tergores menyilang dengan darah
meleleh. Ada pula yang kepalanya pecah dan tangan
buntung.
Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan
segera berakhir. Terlebih Kelelawar Iblis Merah
tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun
lolos. Ke mana lawan pergi, kelelawar itu mem-
burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra
yang putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai
pengecut, lebih baik mati dalam menghadapi
makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas
itu, ada kemungkinan mereka dapat mengalah-
kannya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras.
Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini
kembali menukik. Lalu dengan deras sayapnya
menghantam lawan.
"Aaa...!"
Kembali pekikan kematian terdengar, disusul
ambruknya beberapa korban. Semakin banyak darah
yang membasahi sayapnya, semakin buas saja
Kelelawar Iblis Merah. Matanya yang laksana api,
kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya
yang menyerang. Mulutnya yang bertaring runcing pun
turut ambil bagian.
Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi.
Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga
orang, di antaranya Kerto Mandra sendiri.
"Mangkara...! Bawa orang ini ke angkasa, lalu
buang ke laut..!" seru Warak Kendra sambil menunjuk
Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya
bergerak menyerang dua lawan lain. Serangan cepat
itu tak mampu dielakkan oleh kedua lawannya.
Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban
serangan ganas Warak Kendra.
"Cuiiit..!"
Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram
tubuhnya, Kerto Mandra yang sengaja dibiarkan
hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan
muka pucat dia bermaksud melarikan diri.
"Ha ha ha...! Kejar dia, Mangkara!" perintah Warak
Kendra sambil tertawa tawa.
"Cuiiitt...!"
Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram
kaki Mangkara.
"Tidak...! Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra
berusaha memohon pengampunan.
Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangan-
nya digerakkan, menyuruh Kelelawar Iblis Merah
membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu.
"Ha ha ha...! Mangkara, kutunggu kau...!"
Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto
Mandra ke udara, melesat menuju selatan.
Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa,
meneruskan langkahnya.
8
"Tolong…! Tolooong...!"
Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak
meminta tolong. Saat itu Sena Manggala tengah
duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan
sambil meniup Suling Naga Saktinya dan berdendang.
Dia terkejut mendengar lolongan memelas di
angkasa. Setelah menghentikan tiupan suling,
kepalanya mendongak kian kemari dengan kening
berkerut Matanya yang tajam mengawasi ke
sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk
kepala. Tingkahnya persis orang bodoh, dengan mulut
ternganga mencari asal suara itu.
"Heh, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah
tadi telingaku mendengar suara orang meminta
tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya terus mencari ke setiap jurusan.
Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak
tadi.
"Tolooong...!"
Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas
telinga Sena menangkap jeritan itu, tapi saat
kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang
menjerit itu tak ditemukannya juga. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam.
"Cuiiit..!"
Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena.
Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa
kagetnya Pendekar Gila, setelah mengetahui kalau
orang yang berteriak minta tolong berada dalam
cengkeraman kaki binatang iblis itu.
"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu
kembali membuat keonaran! Hm, tentunya Warak
Kendra berada di sekitar tempat ini! Baik, aku akan
mengikuti binatang itu..."
Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya,
kemudian dengan ilmu meringankan tubuh, dia
melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di
kakinya tercengkeram Kerto Mandra yang meronta-
ronta dengan wajah pucat pasi
"Tolong...! Tolooong...!" Kerto Mandra yang semula
gagah berani, kini tak lebih dari seorang lelaki yang
takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan
ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai
kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya menggigil
gemetaran.
Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan
cepat. Segenap ilmu larinya dikerahkan, berusaha
menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto
Mandra.
"Edan! Jika dibiarkan, korban akan semakin
banyak! Tentunya Warak Kendra akan mengumbar
nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan.
Celaka...!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala
dan tetap berlari.
Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih
terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di
depan.
"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena
masih terus berlari. Dia berusaha mempercepat ilmu
larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan
Kerto Mandra dan cuitan binatang itu tetap semakin
jauh.
Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang
itu untuk berlomba dalam hal kecepatan. Kemudian
dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila
mengerahkan tenaga dalam untuk mempercepat
larinya.
"Yeaaa...!"
Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin.
Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput.
Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari
tingkat tinggi 'Sapta Bayu'.
Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh
Pendekar Gila melesat laksana tujuh kekuatan angin.
Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam
sekejap saja, dia telah mampu menyusul binatang itu.
"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?"
dengus Pendekar Gila.
Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget.
Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya
telah terbentang lautan lepas.
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu
dengan membawa manusia botak ke tengah tautan?"
gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis
Merah yang masih terus terbang membawa tubuh Ke-
to Mandra ke tengah lautan
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
nyengir, kemudian dengan gelak tawa kakinya
melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara,
tubuhnya melompat ke lautan
"Yeaaa...!"
Kembali Pendekar Gila mengerahkan
kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air,
dengan cepat Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke
depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya
pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di
permukaan air tanpa tenggelam!
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti
orang gila, semakin lucu dengan berlari di atas air.
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu
dengan membawa manusia botak ke tengah lautan?
Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu....
"Yeaaa...!" Pendekar Gila mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Maka,
tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut
dan mengejar Kelelawar Iblis Merah!
"Ha ha ha...! Enak juga lari di atas air," katanya
sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sedangkan
matanya terus mengawasi binatang Iblis yang
membawa tubuh Kerto Mandra.
"Tolooong...!"
Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar
Iblis Merah melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya
yang gemuk itu langsung melayang ke bawah.
"Aaa... Tolooong...!"
Byurrr!
Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar
tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang
iblis itu berputar-putar di angkasa, kemudian kembali
melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang
tengah berjuang mempertahankan selembar
nyawanya.
***
Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya
memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu
terbang.
"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku
akan ke sana. Tentunya manusia botak itu tahu, ke
mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena.
"Tolooong...!"
Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul
tenggelam di permukaan samudera yang hendak
menelannya hidup-hidup.
Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar
Gila yang memiliki jiwa pendekar berusaha me-
nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo
Edan. 'Seorang pendekar, akan berusaha menolong
yang lemah. Walau musuh sekalipun!'
Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas,
dengan cepat Pendekar Gila menangkapnya. Lalu
dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya
tangan itu.
"Yeaaat..!"
Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air,
seketika tertarik ke atas.
"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong
nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya saya akan mati,"
kata Kerto Mandra dengan napas tersengal.
"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan.
Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan
Pendekar...."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan
kirinya yang tidak memegangi tangan Kerto Mandra
menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya.
Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu
yang dalam kesusahan. Sekarang, berpeganglah
pada tanganku," ucap Sena kemudian.
Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan
Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal
itu membuat mata Kerto Mandra melotot heran
bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu.
Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di
atas air tanpa tenggelam!
"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto
Mandra.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar
pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu.
Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan
masih tersenyum berkata,
"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?"
"Tapi, Tuan..."
"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang
pasti, kau harus selamat Hyang Widhi belum
mengizinkan kau mati."
Usai berkata begitu, dengan tawa yang meng-
gelegar Pendekar Gila kian mempercepat larinya.
Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut
Tidak lama kemudian, keduanya sampai di pesisir.
"Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana
perginya Warak Kendra dengan Kelelawar Iblis Merah
itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut
itu mengatur napas dan melemaskan otot-ototnya.
"Ya! Kudengar mereka hendak ke Perguruan
Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.
"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan
tersenyum, tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas."
"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu
bukan membalas dendam," sahut Kerto Mandra,
membuat Sena mengerutkan kening.
"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?"
"Ya."
"Maukah kau menceritakan semua yang kau
ketahui, Ki?" pinta Sena.
"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah
tadi sudah saya katakan, bahwa sejak saat ini saya
akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya
hadapi, jiwa raga saya akan saya serahkan pada
Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu.
Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak
terjang Kelelawar Iblis Merah. Dan ini yang harus kita
pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui"
Kerto Mandra menghela napas. Matanya
memandang ke lautan yang membentang di hadapan-
nya. Kalau saja pendekar muda di hadapannya tak
menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan
penghuni lautan itu sebabnya, meski pendekar muda
itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra berjanji
akan mengabdi pada pendekar muda yang ber-
tampang gila itu
Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada
henti menggaruk-garuk kepala, membuat Kerto
Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya
adalah pendekar yang namanya belakangan ini
tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski
ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak
sedikit pun menggambarkan kesombongan.
"Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah
saya ketahui, bolehkah saya mengajukan satu
pertanyaan?" tanya Kerto Mandra.
"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab.
Katakanlah."
"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai
Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra dengan sinar
mata kekaguman.
"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya
aku yang masih bodoh ini dengan sebutan yang
terlalu besar itu..."
Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya
memandang nanar ke laut lepas.
"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang
bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-
besarkan orang saja."
"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di
hadapan Sena. "Ampunilah semua kesalahan saya,
Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat
bertemu dengan Tuan."
"Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak
kusenangi dengan nama besar. Aku bukan dewa, tak
sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah
kau hendak menceritakan segala sesuatu yang kau
ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?"
Kerto Mandra kemudian menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia
menyelidiki tentang gegernya Kelelawar Iblis Merah
yang sering memakan korban, sampai bentrokan
dengan Warak Kendra.
"Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya
memiliki satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para
pendekar. Dia belum puas dan belum bisa
menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di
rimba persilatan, sebelum mengalahkan Tuan. Dan
dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra
mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar
penuturan Kerto Mandra. Tingkahnya yang seperti
orang gila, semakin membuat Kerto Mandra ber-
tambah yakin tentang jati diri pendekar muda itu.
Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat
tubuh Sena bergerak seperti seekor monyet sambil
menggaruk-garuk kepala.
Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda
bertingkah gila itu bukan pemuda sembarangan.
Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah
sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegelian-
nya menyaksikan tingkah aneh Sena.
"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih
menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi
orang nomor satu di rimba persilatan harus
mengalahkan aku? Apalah artinya aku...? Ha ha ha...!
Bagaimana menurutmu, Ki?"
Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia
tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki gemuk itu
hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena
kembali tertawa, dan bertingkah seperti seekor
monyet
"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi
mencari kawan. Bahkan kalau mungkin, lawan diajak
untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum
seberapa dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi.
Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena.
Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata.
Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan.
Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto
Mandra dalam hati, mengingat segala perbuatannya
selama ini.
Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar
muda itu memiliki jiwa yang luhur. Mulanya dia
menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-
benar gila. Tak memiliki akal dan budi pekerti yang
luhur.
"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri
atau pemuas dendam. Namun kita bertempur untuk
membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab
semua itu adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena
menambahkan
"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar
Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku
selama ini. Tak tahu gunung menjulang, tak men-
dengar badai berhembus."
"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka.
Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak
yang mesti kita lakukan," tukas Sena menyadarkan
Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya.
"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke
Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.
"Tentunya dua Iblis itu telah ke sana."
"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha
melampiaskan nafsu angkara murkanya. Apakah kau
telah siap, Ki?" tanya Sena.
"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus
semua dosa dan kepicikanku selama ini."
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan
ucapan Kerto Mandra lucu. Tingkahnya kembali
seperti orang gila.
"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya
tanpa dapat dimengerti oleh Kerto Mandra. Apa
hubungannya antara malam dengan bencana yang
melanda rimba persilatan dengan munculnya
Kelelawar Iblis Merah? Pikirnya dalam hati.
"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan
datang menerangi bumi ini?" lanjut Sena.
Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama
sekali tidak mengerti kata-kata Sena.
"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya
meninggalkan pesisir selatan, melangkah ke utara di
mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak
Laut Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan
gemuruh angin dan tembang camar di angkasa.
***
9
Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa
Perguruan Belibis Putih terdengar suara cuitan
memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan
semua penghuni bangunan Perguruan Belibis Putih
tersentak. Yang telah terbuai mimpi, terperanjat
bangun.
"Kelelawar iblis itu telah datang...!" seru salah
seorang murid Perguruan Belibis Putih, menyentak-
kan penghuni perguruan.
"Siap pada tempat masing-masing...!" perintah
salah seorang murid utama.
Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan
masing-masing. Rupanya penyambutan kedatangan
Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-
matang.
"Cuiiit..!"
Prak!
Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur,
terhantam sayap kelelawar raksasa itu. Puing-
puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beter-
bangan, laksana tersapu angin topan.
Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid
Perguruan Belibis Putih yang berada di bangunan
utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri.
"Tenang...! Semua harus tenang...!" terdengar
seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan Belibis Putih.
"Cuit...!"
Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,
lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng
bangunan utama. Disusul oleh sabetan sayapnya
yang menghantam bangunan itu.
Brak!
Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak
tawa membahana. Disusul dengan kehadiran seorang
lelaki muda berjubah merah.
"Ha ha ha...! Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan
mau menjadi istriku! Kalau tidak, semua murid dan
perguruanmu akan kuhancurkan...!" ancam Warak
Kendra. Kemudian tangannya bergerak meluncurkan
selarik pukulan ke bangunan utama.
Wusss!
Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat
menuju bangunan utama. Dan sebuah ledakan
dahsyat pun tercipta.
Glarrr!
Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksi-
kan keadaan di tempat itu.
"Serbuuu...!"
Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat
puluhan anak panah menghujani tubuh Warak
Kendra.
Swing! Swing...!
"Ha ha ha...! Jangan kalian kira akan semudah itu
mengalahkanku! Hiaaa...!"
Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-
anak panah, Warak Kendra mengirimkan pukulan ke
arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-
pekikan kematian dari balik pepohonan yang rimbun.
"Mangkara, hancurkan semuanya...!" perintah
Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah.
"Cuiiit..!"
Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah
tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian
menukik ke bawah. Lalu kedua sayapnya dihantam-
kan ke arah bangunan perguruan.
Brak!
Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu
penyangganya berhamburan.
"Seraaang...!"
Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat
dari persembunyiannya. Dengan pedang terhunus,
mereka serentak menyerang Warak Kendra.
"Bagus! Kalian memang harus mampus! Heaaat..!"
Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk
menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut.
Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu.
Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul.
Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus meng-
hantamkan kedua sayapnya ke arah bangunan.
Membuat bangunan utama hancur berantakan.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian
melesat menyentakkan kedua sayapnya ke arah
bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih
semakin dibuat porak-poranda.
"Cuiiit..!"
Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat
terbang, lalu berputar-putar di angkasa. Kemudian
dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu
kembali melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar
merah menyala menderu dari luar perguruan ke
arahnya.
Wusss!
"Cuit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik keras,
ketika melihat pukulan yang dilontarkan seseorang.
Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke
angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil
mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya
kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari
ke arah perguruan.
"Mangkara, ada apa...?!" tanya Warak Kendra
ketika menyaksikan binatang piaraannya berhenti
menyerang.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya
digerak-gerakkan. Tampaknya binatang itu hendak
mengatakan sesuatu.
Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang
telah terjadi, tiba-tiba dari luar pagar perguruan
melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi
bertubuh gemuk dengan kepala botak bertelanjang
dada.
"Ha ha ha...! Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah
ada pesta. Mengapa kita tidak diundang?" seloroh
pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain
Pendekar Gila
Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri
melompat keluar dari dalam bangunan. Lain halnya
dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah
menyeringai.
"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini!
Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian
mulutnya kembali mengumbar tawa menggelegar.
Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan
lebih keras. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya persis seekor kera
"Ha ha ha...! Kisanak, kalau memang hendak
mengadakan pesta, mengapa tidak mengundang
kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu.
"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam
hidupmu! Bersiaplah untuk mampus!" ancam Warak
Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan
Pendekar Gila.
"Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di
sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak. Kau bukan
Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup
matinya seseorang? Ha ha ha...!"
"Bedebah! Aku akan membuktikannya, Pendekar
Gila! Mangkara, habisi dia...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara.
Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya
melesat dengan sayap mengepak siap menyerang.
"Minggirlah! Kalian bantu mereka...!" ujar Sena
seraya mendorong tubuh Ratih Puri dan Kerto
Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya
berjarak satu tombak dari Pendekar Gila. Kedua
sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara
Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan
cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah
binatang itu.
"Heaaa...!"
Begkh!
Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh
binatang itu. Namun pukulan itu bagai tak berarti.
Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa
tombak ke belakang. Bahkan binatang iblis itu
semakin bertambah beringas.
"Cuittt..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke
angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk
melancarkan serangan susulan.
"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada
artinya?!" desis Sena. Kembali tubuhnya berkelebat
mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas
itu.
Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar
Iblis Merah, Pendekar Gila menghantamkan pukulan
'Si Gila Membelah Awan'.
"Heaaat..!"
Debbb!
Telak sekali pukulan itu menghantam dada
Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata
Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu
ternyata tak mempan oleh pukulan 'Si Gila Membelah
Awan'.
Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah
berputar sesaat di udara, tubuhnya kembali meluncur
ke arah Pendekar Gila.
"Cuiiit..!"
"Heaaa...!" tubuh Pendekar Gila kali ini turut
melesat, berusaha memapak serangan binatang itu.
Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu
menukik dengan kedua sayap siap menyerang,
sedangkan yang lain melesat naik dengan jurus
saktinya.
"Cuittt..!"
'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat..!"
Darrr!
Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar
Gila bertemu dengan sayap Kelelawar Iblis Merah,
tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah,
sedangkan binatang itu bagai tak mengalami sesuatu
apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan
Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus
gila.
"Uhk...!" Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan!
Binatang itu benar-benar setan!"
Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu
telah menukik kembali, siap menghancurkan tubuh-
nya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit
kontan terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit.
Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis
Merah itu dengan pukulan saktinya. Pukulan tingkat
tinggi yang menjadi salah satu andalannya.
"Pukulan 'Inti Bayu'...! Heaaa...!"
Angin seketika keluar bergulung-gulung dari
telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara,
tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan.
Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan
pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak
mengalami kesulitan berarti. Bahkan kini sayapnya
dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan
sakti Pendekar Gila.
"Cuiiit..!"
Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan
pukulan saktinya seperti menghantam batu cadas.
Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini
binatang itu siap melabraknya lagi.
"Celaka...!" pekik Pendekar Gila seraya membuang
tubuhnya ketika sosok merah mengerikan itu kembali
menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau
memberi kesempatan. Kepakan sayapnya terus men-
cecar tubuh lawannya.
Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering
ditiup angin, berusaha mengelakkan setiap sambaran
sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda
itu membentur dinding benteng perguruan.
Kedudukannya kini benar-benar tersudut.
"Celaka...!" pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan
untuk lepas dari serangannya. Yang kumiliki tinggal
Suling Naga Sakti."
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke
arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila
melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas
ditiupnya tanpa sempat bangkit. Diarahkannya lubang
suling ke tubuh binatang itu.
Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin
lama semakin memekakkan telinga. Dari lubang
suling, melesat sinar berwarna merah yang telak
menghantam tubuh binatang iblis itu.
Desss!
"Cuiiit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan.
Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya
membubung ke angkasa dan menggelepar-gelepar
liar di sana.
Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak
berhenti sampai di situ. Terus ditiupnya suling sakti
itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-
dayu hingga menyentuh perasaan.
Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila,
orang-orang yang tenaga dalamnya rendah, seketika
terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan
air mata.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun
pekikannya tidak sekeras semula. Suaranya semakin
lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang
yang melayang di udara itu mengecil dan terus
mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud
aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan!
Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak
Kendra seketika murka. Didahului pekikan meng-
gelegar, lelaki berjubah merah itu menyerang
Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
Tangan Warak Kendra membentang ke samping,
kemudian bergantian menyerang tubuh Pendekar
Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke
arah wajah dan dada lawannya. Sedangkan kedua
kakinya bergerak menendang dan menyepak.
Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi
seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit.
Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk meng-
elakkan serangan-serangan lawan. Meski gerakannya
kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan
yang dilancarkan lawan dengan mudah dapat
dielakkannya.
Merasa serangannya gagal, Warak Kendra
semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-
sungkan lagi dikerahkan. Tangan kanannya terangkat
ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping
dengan jari-jari lurus. Kemudian dengan gerak cepat,
Warak Kendra kembali menyerang.
"Kau harus mampus, Pendekar Gila! Yeaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan
aneh yang dilancarkan lawannya Dengan cepat
dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus
'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung,
dan bersalto ke sana kemari.
Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan orang yang dianggap menjadi peng-
halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-
serangannya semakin lama semakin keras dan
gencar. Bahkan....
Degk!
Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang
cepat, tak dapat dielakkan Pendekar Gila. Pukulan itu
telak menghantam punggungnya.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya ter-
huyung-huyung akibat pukulan itu. Belum lagi siap,
kembali sebuah tendangan keras menghantam
punggungnya.
"Hari ini kematianmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Begk!
"Tuan Pendekar...!"
Semua orang dalam kancah pertarungan yang
telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti
memekik, saat menyaksikan Pendekar Gila terdorong
keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke
depan dan hampir mencium tanah, kalau saja
Pendekar Gila tidak segera menguasai keseimbangan
tubuhnya.
Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah
segar. Matanya berkobar gusar. Rasa sakit yang
menderanya benar-benar telah memancing amarah-
nya. Wajah Pendekar Gila seketika berubah
menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah
membara. Dari ubun-ubunnya terpancar sinar ungu.
Semua mata yang ada di tempat itu membelalak
lebar, menyaksikan kejadian aneh itu. Bahkan dari
mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar
gumaman takjub.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah
penglihatanku?"
Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar
Gila saat diusik rasa sakit sehingga membuatnya
murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya
menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan
kemurkaan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya
berteriak menggelegar, kemudian tubuhnya melesat
ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun
Warak Kendra yang merasa dirinya sebagai orang
paling sakti setelah menelan mustika Pengubah
Raga, segera menyambuti serangan itu.
"Yeaaa...!"
Warak Kendra memusatkan pikirannya dan
membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar.
Berkat kesaktian mustika yang mendekam di
tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah
menjadi kelelawar raksasa berwarna merah dengan
mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang
menyeramkan.
Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak
kaget menyaksikan kejadian itu. Mata mereka mem-
belalak ngeri dengan kaki menyurut mundur
ketakutan
"Ilmu iblis...!" pekik mereka.
"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis!"
desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan
kejadian yang aneh dan mengerikan itu.
Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu
pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak
cepat, sulit sekali bagi orang-orang di tempat itu
untuk mengikuti gerakan mereka.
"Cuiiit..!"
"Yeaaat..!"
Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan
jurus 'Si Gila Menggusur Karang'. Sementara
Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini
mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian
menukik untuk melakukan serangan.
Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak.
Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan
amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka
hanyalah bertarung untuk menentukan siapa di
antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam
ini.
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-
kannya ke samping, kemudian dihantamkan lurus ke
arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra.
Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya
membentang, kemudian mengepak ngepak, siap
menampar tubuh lawan
Glarrr!
Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis
Merah melesat ke atas. Sedangkan tubuh Pendekar
Gila terhempas ke tanah dengan keras.
"Cuiiit..!"
"Ugkh...!"
Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang
berat rupanya dialami Pendekar Gila. Darah seketika
menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara
nyalang. Tubuhnya semakin membara penuh amarah.
Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di
tanah, persis seekor monyet yang tengah mabuk.
Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang
lebih menyeramkan.
Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara.
Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin
berpendar terang. Bahkan kini mengepulkan asap.
Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak
terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan
sayup-sayup yang hanya dapat ditangkap telinganya.
"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan
amarahnya. Berpikirlah yang tenang. Jangan
mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis! Jika
pendekar tak mampu mengendalikan nafsunya,
berarti dia telah kalah...."
"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila,
tersentak.
Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa
murni dari kedalaman batin untuk menguasai
kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan
mengerikan itu surut dalam sekejap, Pendekar Gila
segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat
pinggangnya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di
angkasa, melesat cepat ke bawah, untuk melakukan
serangan ke arah Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling
Naga Saktinya. Diarahkan lubang suling ke tubuh
Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke
arahnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya
terasa menyentuh sukma. Menjadikan murid-murid
Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali
menangis tanpa sadar.
Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya
dengan irama mengiba. Itulah ilmu suling 'Pelayung
Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa
sedih. Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan
meratap-ratap penuh kesedihan.
Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak
menyerang Pendekar Gila, seketika terdiam bagai
terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras,
semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah
sesuatu....
Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu
mustika bersinar merah. Batu itu melesat jauh entah
ke mana.
Bersamaan dengan keluarnya batu mustika
Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis
Merah terjadi. Kelelawar itu kembali berubah menjadi
sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar.
Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas.
Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga
Saktinya. Setelah menyelipkan kembali sulingnya di
pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan
luka dalam di tubuhnya. Tidak lama kemudian
tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri Ratih
Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang
tengah mengerumuni mayat Warak Kendra yang
hangus.
"Ha ha ha...! Rupanya pesta telah berakhir!
Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto,
mungkin kau bisa membantu membangun kembali
Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila.
"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata,
ketika Pendekar Gila telah melesat meninggalkan
tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa
sempat melanjutkan kata-katanya.
"Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik!
Ha ha ha...!" seru Pendekar Gila dari kejauhan.
"Dasar Pendekar Gila...!" sungut Ratih Puri dengan
wajah merah padam.
SELESAI
Emoticon