Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Dendam Rara Anting
SATU
DUA orang penunggang kuda berpacu cepat melintasi
jalan berdebu di Kaki Bukit Growong. Yang paling depan adalah seorang laki-laki
separuh baya namun masih terlihat gagah. Sebilah pedang yang tergantung di
pinggang semakin menambah kegagahannya. Sedangkan yang berkuda di belakang
adalah seorang gadis berwajah cukup cantik, mengenakan baju agak ketat berwarna
merah muda.
“Cepat, Tarsih. Sebentar lagi malam!” seru
laki-laki setengah baya itu seraya mendera kudanya agar berpacu lebih cepat
lagi.
Gadis yang berada di belakang menghentak-hentakkan
tali kekang kudanya, mengharapkan agar kuda coklat belang putih itu berlari
lebih cepat. Derap kaki kuda menciptakan kepulan debu yang menghalangi
pandangan mata. Apalagi saat itu hari sudah jauh senja. Hanya semburat rona
merah jingga yang meredup di balik cakrawala belahan barat.
Saat mereka memasuki tikungan jalan, tiba-tiba saja
kuda yang ditunggangi gadis bernama Mintarsih meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Gadis itu terkejut dan berusaha
mengendalikan kudanya yang mendadak liar. Tapi...
“Ayah...!” jerit Mintarsih keras. Gadis itu tidak
bisa lagi menguasai kendali. Tubuh yang ramping terbungkus baju merah muda itu
terpental jatuh ke tanah, tepat saat kuda itu ambruk. Seketika laki-laki
setengah baya yang berkuda di depan menghentikan laju kudanya.
“Tarsih...!”
Laki-laki setengah baya itu langsung melompat turun
dari punggung kudanya. Manis sekali gerakannya. Dan dengan ringan sekali,
didaratkan kakinya di samping Mintarsih yang terduduk di tanah. Laki-laki
separuh baya yang mengenakan baju putih itu membantu Mintarsih bangun.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih.
Gadis itu memeluk ayahnya erat-erat. Wajahnya
kelihatan pucat dan tubuhnya agak bergetar. Sementara laki-laki setengah baya
itu menepuk-nepuk punggung anaknya. Dipandangi kuda yang tergeletak di tanah.
Agak terbeliak matanya begitu melihat sebuah benda kecil berwarna merah dan
berbentuk segitiga tertanam pada leher kuda itu.
Buru-buru laki-laki setengah baya itu membawa
anaknya menyingkir dari jalan. Matanya tajam memandang sekitarnya. Dan
tiba-tiba saja hatinya dikejutkan suara ringkik kuda. Langsung pandangannya
beralih pada kudanya yang meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Mendadak saja kuda itu jatuh menggelepar dan langsung tidak
berkutik lagi. Pada lehernya terlihat sebuah benda kecil berwarna merah
berbentuk segitiga.
“Ayah...,” bergetar suara Mintarsih.
Belum juga laki-laki setengah baya itu mampu
bersuara, tiba-tiba terdengar siulan nyaring bernada sumbang. Sebentar kemudian
siulan itu berubah lembut dengan irama merdu menyejukkan. Namun laki-laki
setengah baya itu malah tergetar, wajahnya nampak pucat pasi dan bola matanya
berputar. Sedangkan Mintarsih semakin erat memeluk ayahnya.
“Sayang sekali! Waktumu sudah habis, Jara Botang!”
tiba-tiba terdengar suara keras dan halus bersamaan dengan berhentinya siulan
itu.
Belum lagi hilang suara itu, mendadak saja sebuah
bayangan merah berkelebat, dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang
wanita mengenakan baju merah menyala. Wajahnya cantik sekali, bagai dewi
kahyangan. Hanya saja wanita itu tersenyum sinis. Sorot matanya pun sangat
tajam menusuk, seakan ingin mengoyak jantung dua orang yang berpelukan di
depannya.
Perlahan-lahan laki-laki setengah baya yang
dipanggil Jara Botang itu melepaskan pelukan anaknya. Ditariknya gadis itu agar
berlindung di belakang punggungnya. Mintarsih bergegas berlindung di belakang
punggung ayahnya. Gadis itu seperti tidak sanggup membalas tatapan mata wanita
berbaju merah di depannya.
“Sungguh sukar dipercaya, Jara Botang yang perkasa
kini tidak ubahnya seperti seekor tikus menjelang ajal,” sinis terdengar nada
suara wanita berbaju merah itu.
“Siapa kau? Kenapa selalu mengejarku?” sentak Jara
Botang ketus.
“Oh... Rupanya kau masih bisa membentak juga,
ya...? Bagus! Aku memang tidak suka melihat laki-laki lembek!”
Cring!
Jara Botang menarik pedangnya ke luar. Mata pedang
yang tipis itu berkilatan tertimpa cahaya matahari senja yang hampir tenggelam
di ufuk barat. Sedangkan wanita cantik berbaju merah itu hanya tersenyum dan
berdiri tegak bertolak pinggang. Sikapnya menantang.
“Majulah! Aku ingin tahu sampai di mana
kehebatanmu, Jara Botang!” tantang wanita itu ketus.
“Sebutkan namamu, sebelum pedangku ini memenggal
lehermu!” bentak Jara Botang sengit.
“Hi hi hi...!” wanita itu hanya mengikik saja.
“Kau pasti yang membunuh kuda-kudaku, dan harus
bayar mahal semua ini! Kau juga pembunuh istri dan anak laki-lakiku! Jangan
mungkir lagi, perempuan laknat!” bentak Jara Botang.
“Aku tidak menyangkal. Dan lagi mereka memang
sepatutnya mampus!” jawab wanita itu dingin.
“Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaa...!”
“Hait!”
Jara Botang tidak bisa lagi mengendalikan
kemarahannya. Tidak dipedulikan lagi siapa yang dihadapinya kala mendengar
pengakuan wanita berbaju merah itu. Sebuah pengakuan yang lugas tanpa ada rasa
penyesalan sedikit pun. Bagaikan seekor singa terluka, Jara Botang menyerang
wanita cantik berbaju merah itu dengan ganas. Pedangnya berkelebat cepat
mengarah pada bagian-bagian yang mema-tikan.
Namun rupanya wanita cantik ini memiliki kepandaian
yang tinggi. Dengan mudah setiap serangan yang datang berhasil dielakkan.
Bibirnya tidak pernah lepas mengulas senyum. Bahkan beberapa kali diberikannya
serangan balasan yang tidak terduga sama sekali, sehingga membuat Jara Botang
kelabakan menghadapinya.
“Hhh! Ternyata hanya sebegini kemampuanmu, Jara
Botang!” dengus wanita itu seraya mengelakkan tusukan pedang Jara Botang.
Dan pada saat pedang Jara Botang lewat di bawah
ketiak wanita itu, mendadak saja dikepitkan lengannya. Seketika pedang itu
terjepit di bawah ketiaknya. Jara Botang terkejut, dan berusaha melepaskannya.
Namun jepitan itu sangat kuat. Meskipun sudah mengerahkan kekuatan tenaga
dalam, tetap saja tidak mau terlepas dari ketiak wanita itu.
“Hih!”
Tiba-tiba saja wanita itu mengayunkan kakinya, sehingga
tepat menghantam keras perut Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu terpekik
keras, dan tubuhnya terlontar ke belakang. Pedangnya pun terlepas dari tangan.
Wanita itu mengambil pedang lawannya lalu ditimang-timangnya seperti
mempermainkan sebatang ranting. Dan....
“Nih, kukembalikan! Hih...!”
Wut!
Jara Botang terperangah begitu wanita berbaju merah
itu melemparkan pedangnya. Senjata itu meluncur deras bagaikan sebatang anak
panah terlepas dari busurnya. Buru-buru Jara Botang menggu-lirkan tubuhnya ke
samping, sehingga pedang itu menancap dalam di samping tubuhnya.
Belum lagi Jara Botang bisa berdiri, wanita berbaju
merah menyala itu sudah melompat hendak menerkamnya. Buru-buru Jara Botang
menggulirkan tubuhnya bergelimpangan beberapa kali ke samping. Tapi wanita itu
terus mencecar dengan menjejakkan kakinya yang halus dan indah itu.
“Hap!”
Pada injakan yang entah ke berapa kali, Jara Botang
jadi nekad. Ditangkapnya kaki wanita itu di depan dada. Dan dengan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, dihentakkannya kuat-kuat.
“Hiyaaa...!”
Wanita itu terpental ke udara dan berputaran
beberapa kali. Buru-buru Jara Botang melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga
mampu berdiri tegak, mendadak saja wanita berbaju merah itu mengayunkan satu
tendangan menggeledek selagi masih berada di udara.
Des!
“Akh!” Jara Botang memekik keras tertahan.
Tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu tepat
mendarat di dada Jara Botang. Laki-laki setengah baya itu kembali terjungkal ke
tanah. Dan wanita berbaju merah itu tidak lagi membiarkan Jara Botang bangkit
berdiri. Dengan cepat tubuhnya meluruk dan langsung menjejakkan kakinya di dada
laki-laki separuh baya itu. Dan ditekannya dada itu dengan kuat sekali.
Trek!
“Aaakh...!”
“Mampus kau, Jara Botang!” desis wanita itu
menggeram.
Jara Botang menggeliat-geliat berusaha melepaskan
pijakan kaki wanita cantik berbaju merah ini. Tapi pijakan itu semakin kuat dan
menyesakkan dadanya. Dirasakan beberapa tulang dadanya patah. Dia menoleh pada
putrinya yang berdiri dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Cukup jauh juga
jaraknya dari tempat itu.
“Tarsih! Cepat lari...!” teriak Jara Botang keras.
“Aaakh...!”
“Keparat...!” desis wanita itu menggeram.
Wanita itu berpaling pada Mintarsih yang tampak
kebingungan, kemudian kembali menatap Jara Botang yang masih berusaha menahan
pijakannya. Dicengkeramnya kuat-kuat kaki wanita itu. Dia berusaha menahan agar
tidak cepat mati dengan dada remuk.
“Tarsih, cepat lari...!” teriak Jara Botang.
“Ayah...,” desis Mintarsih ragu-ragu.
Tapi begitu melihat tatapan mata wanita itu nyalang
memerah, Mintarsih jadi bergidik dan seketika itu juga berlari cepat. Terpaksa
ayahnya ditinggalkan, walaupun laki-laki itu sedang berusaha menahan pijakan
wanita berbaju merah itu dengan cengkeramannya yang makin kuat.
“Keparat...! Hih!”
Wanita berbaju merah itu jadi marah bukan main.
Apalagi setelah melihat Mintarsih sudah pergi. Ditekannya kuat-kuat kakinya
dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
“Hih!”
Krek!
“Aaa...!” Jara Botang menjerit keras melengking
tinggi.
Jari-jari tangan Jara Botang semakin mencengkeram
kuat hingga melukai kulit kaki yang putih halus itu. Meskipun dadanya remuk,
tapi Jara Botang masih berusaha bertahan. Sementara darah mengucur deras dari
mulutnya.
“Setan keparat...! Mampus kau, hih!” geram wanita
cantik itu.
Seketika itu juga dihantamkan satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi ke kepala Jara Botang.
“Aaa...!” lagi-lagi Jara Botang menjerit
melengking.
Ternyata itu merupakan jeritan terakhir yang keluar
dari mulut laki-laki setengah baya itu. Kepalanya telah hancur terkena pukulan
bertenaga dalam tinggi. Seketika itu juga Jara Botang tewas dengan darah
berhamburan dari kepala yang pecah.
“Huh!” wanita cantik berbaju merah itu mendengus.
Sebentar dipandangi mayat Jara Botang, kemudian
beralih ke arah kepergian Mintarsih. Wanita itu memang sempat melihat Mintarsih
pergi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia bergegas berlari cepat mengejar
Mintarsih yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sungguh luar biasa ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu. Dalam waktu sekejap saja sudah
tidak terlihat lagi bayangannya.
***
Sementara itu di tempat yang cukup jauh, tampak
Mintarsih terus berlari kencang disertai nafasnya yang tersengal-sengal. Gadis
itu sempat berhenti kaku saat mendengar jeritan panjang melengking tinggi dari
arah belakang. Mulutnya mendesis menyebut nama ayahnya, tapi kemudian gadis itu
berlari kencang lagi dan sekuat tenaga. Sementara senja terus merayap semakin
turun. Suasana hampir gelap. Hanya sedikit cahaya merah terlihat di ufuk barat.
Mintarsih terus berlari kencang. Berapa kali gadis
itu terjatuh karena terantuk akar yang menyembul dari dalam tanah. Tapi cepat
bangun, dan kembali berlari kencang. Tidak dipedulikan lagi arah mana yang
harus ditempuh. Hanya satu yang ada di dalam kepalanya, berlari terus, dan
menyelamatkan diri selagi masih bisa bernapas. Kata-kata itu selalu terngiang,
dan sering diucapkan ayahnya setiap kali habis memberikan latihan ilmu olah
kanuragan. Mintarsih memang bukan seorang gadis yang cepat menangkap ilmu olah
kanuragan. Jadi wajar saja kalau hanya memiliki sedikit kepandaian. Terlebih
lagi dirinya memang tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu dan malas
mempelajarinya.
Dan sekarang baru dirasakannya. Mintarsih memang
benar-benar menyesal karena tidak pernah bersungguh-sungguh mempelajari ilmu
olah kanuragan. Hanya saja rasanya tidak ada gunanya lagi menyesal. Yang ada
hanyalah menyelamatkan diri, dan masih bisa hidup esok hari. Namun mendadak
saja napas gadis itu serasa berhenti dan jantungnya serasa tak berdetak. Kedua
matanya membeliak lebar. Seketika itu juga larinya berhenti dengan tubuh
bergemetaran.
“Kau...?!” tercekat suara Mintarsih di tenggorokan.
“Ya, kaget...?” lembut sekali suara jawaban itu.
Entah bagaimana, tahu-tahu wanita cantik berbaju
merah sudah menghadang jalan Mintarsih sambil duduk tenang di bawah sebatang
pohon yang cukup besar dan lebat daunnya. Mintarsih melangkah mundur. Wajahnya
langsung pucat pasi bagai tak pernah teraliri darah.
“Jangan takut, Adik Manis. Aku tidak akan
menyakitimu. Asalkan...,” wanita berbaju merah itu tidak melanjutkan
kalimatnya, tapi malah tersenyum-senyum memandangi Mintarsih yang pucat pasi
ketakutan.
“Apa yang kau inginkan? Biarkan aku hidup,” kata
Mintarsih dengan suara bergetar.
“Bagus! Rupanya kau cukup tanggap juga, Adik
Manis,” senyum di bibir wanita berbaju merah itu semakin melebar.
“Katakan, apa yang kau inginkan dariku?!”
“Tidak banyak. Aku hanya ingin mengetahui letak
Padepokan Arum,” tenang sekali suara wanita itu.
“Oh...!” Mintarsih tersedak. Semakin pucat wajahnya
mendengar permintaan wanita cantik ini.
“Bagaimana, Adik Manis?”
Mintarsih tidak menjawab, dan agaknya dia sedang
berpikir keras mengenai tawaran wanita cantik ini. Padahal ayahnya berpesan
agar tidak memberitahukan letak Padepokan Arum pada siapa pun. Terlebih lagi
pada orang asing yang tidak dikenal sama sekali.
“Apa yang kau pikirkan, Adik Manis? Berpikirlah
tentang keselamatanmu sendiri. Mudah sekali aku membunuh, semudah membalikkan
telapak tangan,” ancam wanita berbaju merah itu lagi.
“Apa.... Apa tidak ada yang lain?” Mintarsih
mencoba menawar.
“Sayang sekali. Aku hanya ingin mengetahui letak
Padepokan Arum,” tegas wanita itu ringan.
“Untuk apa kau ingin tahu Padepokan Arum?” tanya
Mintarsih ingin tahu.
Gadis itu sebenarnya memang tidak mengerti kenapa
ayahnya berpesan begitu. Mintarsih memang tahu letak Padepokan Arum. Namun
mengingat pesan ayahnya, Mintarsih jadi berpikir juga. Terlebih lagi wanita ini
telah membunuh ibu, kakak laki-lakinya, dari barusan saja membunuh ayahnya.
Mintarsih kian menduga kalau wanita ini tentu punya maksud buruk pada Padepokan
Arum. Hanya saja tidak diketahui apa maksudnya.
“Ah! Kau membuatku tidak sabar, Adik Manis,” desah
wanita berbaju merah itu.
“Baiklah, akan kukatakan. Tapi kau harus berjanji
dulu,” pinta Mintarsih setelah berpikir.
“Baik. Aku harus berjanji apa?”
“Kau tidak akan membunuh dan mengejar-ngejarku
lagi.”
“Ha ha ha...! Sudah kuduga. Kau adalah seorang
gadis yang selalu mementingkan diri sendiri. Baik, kuterima tawaranmu.”
“Janji...?”
“Aku janji, dan tidak akan mengingkari.”
“Dengar. Letak Padepokan Arum ada di sebelah barat
Gunung Ratak,” jelas Mintarsih dengan mimik wajah dibuat serius.
“Hm... Kau tidak mendustaiku, Adik Manis?” wanita
berbaju merah itu curiga.
“Untuk apa? Toh aku tidak tahu maksudmu. Dan aku
juga tidak tahu, mengapa ayahku melarang memberitahukannya pada orang lain.
Lagi pula aku tidak tahu dan tidak pernah ke sana.”
“Jadi, dari mana kau tahu letak padepokan itu?”
“Ayah sering cerita. Dan katanya aku akan dikirim
ke sana kalau sudah cukup ilmu olah kanuragan yang kumiliki. Tapi aku tidak
peduli, karena tidak suka belajar begitu.”
“Baiklah. Untuk sementara aku percaya padamu. Tapi
kalau kau berdusta, jangan harap punya kesempatan hidup lagi,” ancam wanita
itu.
Agak bergidik juga Mintarsih men-dengar ancaman
itu. Tapi dia malah tersenyum, meskipun terasa hambar. Wanita berbaju merah itu
bangkit berdiri, lalu berjalan menghampiri Mintarsih.
“Ke mana tujuanmu?” tanya wanita itu, agak lembut
nada suaranya.
“Aku tidak tahu. Mungkin ke rumah paman,” sahut
Mintarsih asal saja.
“Aku memang tidak perlu tahu ke mana tujuanmu. Tapi
kalau kau berdusta.... Di mana pun berada, kau pasti bisa kutemukan. Aku sudah
tahu semua sanak keluarga dan kerabat dekat ayahmu. Dan kau akan melihat mereka
semua jadi mayat sebelum kau sendiri kukirim ke neraka! Ingat itu baik-baik,
Adik Manis,” kata wanita berbaju merah itu kembali mengancam.
Mintarsih diam saja dan hanya menarik napas panjang
setelah wanita berbaju merah itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara malam sudah jatuh. Sekitar Bukit Growong
terselimut gelap. Jerit binatang malam mulai terdengar. Mintarsih terus
berjalan cepat, terkadang berlari kecil melintasi jalan berdebu dan berkerikil
tajam. Tidak dipedulikannya lagi kerikil-kerikil tajam yang menusuk kakinya.
Gadis itu terus berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sungguh, dia tidak
ingin bertemu wanita berbaju merah itu lagi yang telah membunuh habis
keluarganya.
***
DUA
Pagi baru saja datang menjelang. Matahari
memancarkan sinarnya lembut dari balik Bukit Growong. Kabut masih terlihat
menyelimuti seluruh bukit itu, meskipun sudah agak memudar. Hangatnya sinar
matahari pagi membangunkan Mintarsih dari tidurnya. Gadis itu menggeliat dan menggosok-gosok
matanya, namun mendadak saja terbeliak kaget.
“Oh...!”
“He he he...."
Bukan main terkejutnya Mintarsih, karena di
depannya kini sudah berdiri tiga orang laki-laki bertubuh tinggi kekar berwajah
kasar penuh brewok. Gagang golok dari tanduk kerbau menyembul di pinggang.
Mereka tertawa-tawa sambil menyeringai. Sinar mata mereka begitu liar menjilati
wajah dan seluruh tubuh Mintarsih.
“Siapa kalian...?” tanya Mintarsih dengan tubuh
agak bergidik.
“He he he.... Nasib kita memang lagi mujur, Kakang.
Cantik sekali kelinci ini,” kata salah seorang sambil terkekeh. Dijilati
bibirnya sendiri yang tebal hampir tertutup kumis.
Mendengar kata-kata itu Mintarsih semakin bergidik
ketakutan. Nalurinya langsung mengatakan kalau ketiga laki-laki ini tentunya
tidak bermaksud baik. Gadis itu buru-buru bangkit berdiri dan melangkah mundur.
Namun langkahnya tertahan oleh sebuah pohon yang cukup besar. Wajahnya semakin
pucat karena ketiga laki-laki itu sudah bergerak mendekati disertai pandangan
mata liar dan tawa terkekeh.
“Mau apa kalian...?” bentak Mintarsih. “Pergi!
Jangan dekati aku...!”
Tapi ketiga laki-laki itu seperti tak mendengar
bentakan itu. Mereka hanya terkekeh dan terus melangkah maju. Mintarsih
menggeser kakinya ke samping. Namun belum juga sempat berbuat sesuatu, mendadak
saja salah seorang laki-laki yang berada di tengah melompat menerkamnya.
“Oh...!” Mintarsih terkejut bukan main.
Tanpa disadari, gadis itu menggerakkan tangannya
dan tepat menghantam dada laki-laki yang hendak menerkam bagai serigala lapar
melihat domba gemuk.
Des!
“Ughk!” laki-laki itu mengeluh pendek.
Pukulan Mintarsih rupanya cukup keras juga,
sehingga membuat laki-laki brewok itu terpental balik ke belakang. Dua temannya
hanya terpana, tidak percaya melihat temannya terjengkang dan tergeletak di
tanah. Sedangkan Mintarsih sendiri hampir tidak percaya kalau mampu memukul
begitu keras, dan hasilnya lumayan juga.
Tapi kejadian itu hanya sebentar saja. Ternyata
orang yang terjungkal itu sudah bangkit kembali dan langsung menggeram marah.
Sambil memaki, dia kembali melompat hendak menerkam Mintar-sih. Namun gadis itu
cepat menggeser kakinya sambil memiringkan tubuh ke kanan. Terkaman laki-laki
brewok itu luput dari sasaran, dan hanya memeluk pohon yang berada di belakang
Mintarsih.
“Setan alas...!” rutuknya sengit.
Kedua temannya bergegas berlompatan menyerang
Mintarsih. Tapi kali ini Mintarsih tidak akan menyerah begitu saja.
Bagaimanapun juga, gadis itu pernah mempelajari jurus-jurus ilmu olah
kanu-ragan dari ayahnya. Dengan kepandaian yang sedikit, ditambah lagi perasaan
takut yang amat sangat, Mintarsih beru-saha melawan sebisa-bisanya.
Menyadari kalau gadis cantik ini memiliki
kepandaian juga, ketiga laki-laki itu menjadi gusar bukan main. Apalagi sampai
saat ini gadis itu belum juga berhasil diringkus. Mereka menggeram bagai
binatang buas terkecoh oleh seekor domba cantik yang lemah.
Sret!
Hampir bersamaan mereka mencabut golok. Mintarsih
terkesiap, karena tidak memiliki senjata apa pun untuk menandinginya. Ada
sedikit penyesalan, karena menolak anjuran ayahnya agar dirinya membawa
senjata. Gadis itu menggeser kakinya ke belakang beberapa tindak, kemudian
dengan cepat berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.
“Kejar...! Jangan biarkan lolos!” seru salah
seorang.
Ketiga laki-laki brewok itu langsung berlari cepat
mengejar. Mintarsih terus berlari sekuat tenaga menerobos lebatnya hutan di
kaki Bukit Growong ini. Kejar-kejaran pun terjadi. Memang agak sukar berlari di
dalam hutan yang lebat ini. Tapi Mintarsih tidak peduli, dan terus berlari
sekuat tenaga. Dia tahu kalau di depan sana ada jalan yang menghubungkan hutan
ini dengan sebuah desa. Dan biasanya jalan itu ramai dilalui orang.
“Tolong...!” teriak Mintarsih kencang.
Tapi di dalam hutan yang sunyi ini, mana ada yang
mendengar teriakannya? Suara gadis itu bagaikan tenggelam termakan pepohonan.
Mintarsih terus berlari dan kadang-kadang tersuruk jatuh terganjal akar pohon
yang menyembul keluar dari dalam tanah. Jalan setapak di depan sudah terlihat.
Dan hutan ini semakin terbuka. Mintarsih semakin mempercepat larinya.
“Tolooong...!” teriak Mintarsih begitu tiba di
jalan setapak yang berdebu itu.
Ketika menoleh ke belakang, ternyata ketiga
laki-laki bersenjata golok itu masih terus mengejar. Mintarsih terus berlari
melintasi jalan setapak berdebu ini. Hatinya agak heran dan khawatir juga,
karena jalan ini sangat sepi. Tak terlihat seorang pun yang melintasinya.
Dengan perasaan cemas yang amat sangat, Mintarsih semakin kuat berlari. Tidak
dipedulikannya lagi nafasnya yang sudah tersengal dan dada yang terasa akan
pecah kehabisan udara.
“Tolooong...!” teriak Mintarsih lagi ketika melihat
seseorang tengah duduk mencangkung di atas batu, di pinggir jalan di depannya.
Mintarsih langsung memburu, akhirnya dia jatuh tersuruk di depan seorang pemuda
berwajah tampan dan berkulit kuning langsat. Pemuda itu terkejut, hingga
melompat berdiri. Dia mengenakan baju putih tanpa lengan, sedangkan bagian
dadanya dibiarkan terbuka lebar. Mintarsih merayap berusaha mendekati pemuda
itu.
“Tolong aku, Kisanak. Tolooong...,” rintih
Mintarsih penuh harap.
Pemuda itu bergegas menghampiri lalu membantu
Mintarsih berdiri. Sedangkan gadis itu buru-buru berlindung di belakang pemuda
itu. Tubuh Mintarsih benar-benar gemetar dan wajahnya pucat. Nafasnya tersengal
memburu. Keringat mengucur deras membasahi seluruh wajah dan tubuhnya.
“Ada apa?” tanya pemuda itu lembut.
“Tolong aku, Kisanak. Mereka hendak berbuat jahat
padaku,” sahut Mintarsih, masih dengan suara tersendat dan napas tersengal.
Pemuda itu menatap ke depan. Pada saat itu ke tiga
laki-laki yang mengejar Mintarsih sudah dekat. Mereka mendengus-dengus dan
memaki-maki dengan kata-kata kotor yang tidak pantas didengar telinga. Pemuda
itu menarik tangan Mintarsih dan membawanya ke tepi jalan. Sementara ketiga
laki-laki bersenjata golok terhunus itu sudah menyebar, mengepung dari tiga
jurusan.
“He, bocah! Minggir kau...! Jangan ikut campur
urusanku!” bentak salah seorang yang mengenakan baju hitam, dan bercelana
sebatas lutut.
“Hm..., mengapa kalian mengejar gadis ini?” tanya
pemuda itu tenang.
“Bukan urusanmu! Dia istriku!” bentak orang itu
sengit.
“Bohong! Aku tidak kenal mereka!” sentak Mintarsih
sambil menuding.
“Paman, dunia ini sudah pengap. Janganlah Paman
bertiga menambah kotor lagi,” ujar pemuda itu lembut.
“Phuih! Aku tidak perlu nasehatmu, bocah! Cepat
menyingkir, atau ingin merasakan tajamnya golokku ini!”
“Ah! Kau terlalu kasar sekali, Paman. Hendak kau
apakan gadis ini?”
“Tutup mulutmu, monyet!” bentak orang yang berada
di samping kanan.
Pemuda itu melirik sedikit. Agak memerah juga
wajahnya mendapat perlakuan kasar seperti itu. Tapi segera ditariknya napas
dalam-dalam, mencoba untuk tetap bersabar. Dia tahu manusia macam apa ketiga
laki-laki tinggi tegap ini. Sementara ketiga laki-laki itu saling memberi
isyarat, kemudian bergerak perlahan sambil melintangkan golok di depan dada.
“Menjauhlah, Nisanak. Tampaknya mereka membutuhkan
sedikit pelajaran,” kata pemuda itu lembut.
Tanpa diminta dua kali Mintarsih segera menyingkir
mencari tempat yang aman. Sedangkan ketiga laki-laki itu sudah semakin
mendekati pemuda berbaju putih tanpa lengan itu. Dan mendadak....
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Ketiga laki-laki brewok itu berlompatan sambil
mengibaskan cepat goloknya ke arah pemuda berbaju rompi putih itu. Namun
sungguh tidak terduga, hanya dengan menggerakkan tubuh sedikit dan
mengkelebatkan cepat tangannya, tahu-tahu terdengar pekikan-pekikan keras
disusul terpentalnya tiga laki-laki itu ke belakang.
Mereka bergegas berdiri dan terkejut bukan main.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu golok mereka sudah terampas pemuda itu.
Seketika wajah mereka semua memucat dan saling berpandangan.
“Aku harap Paman bertiga segera angkat kaki dari
sini,” ujar pemuda itu dingin.
Trek!
Hanya sekali pukul saja, tiga batang golok itu
patah jadi dua bagian! Pemuda itu melemparkannya ke depan kaki tiga orang
laki-laki yang hanya terpana dan mulut ternganga lebar.
“Pergilah, sebelum aku berubah pikiran!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga orang itu
bergegas lari sekencang-kencangnya. Pemuda berbaju rompi putih itu
menggeleng-gelengkan kepala. Sebentar kemudian diputar tubuhnya dan
dihampirinya Mintarsih yang berdiri di bawah pohon beringin besar. Gadis itu
memandangi wajah tampan yang kini tersenyum lembut menawan. Entah kenapa,
mendadak saja Mintarsih merasakan jantungnya jadi berdetak kencang tak
terkendali. Perasaannya benar-benar jadi gugup. Buru-buru dialihkan
pandangannya ke arah lain, tepat pada saat pemuda itu sampai di depannya.
“Terima kasih, kau telah menyelamatkan diriku,”
ucap Mintarsih dengan kepala tertunduk.
“Sebaiknya Nisanak cepat pulang,” ujar pemuda itu
lembut.
Mintarsih tidak menyahut dan hanya tertunduk saja.
Hatinya bingung, karena tidak tahu harus pergi ke mana saat ini. Gadis itu
meninggalkan rumah bersama ayahnya memang hendak menuju ke suatu tempat. Tapi
dia tidak tahu, di mana arah tujuannya. Yang diketahuinya tempat itu bernama
Padepokan Arum.
“Ada apa, Nisanak?” tanya pemuda itu lembut.
“Ah, tidak. Sebaiknya aku memang cepat-cepat
pergi,” sergah Mintarsih buru-buru.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu
bergegas pergi meninggalkan pemuda berbaju rompi putih itu. Mintarsih berjalan
cepat dan terlihat tergesa-gesa sekali. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih
itu memandangi tanpa berkedip. Kemudian dilangkahkan juga kakinya ke arah yang
sama dengan Mintarsih.
***
Hari hampir senja. Terik sinar matahari tidak lagi
terasa. Mintarsih berjalan perlahan-lahan melintasi jalan tanah berdebu. Sebuah
perkampungan sudah terlihat tidak berapa jauh lagi di depan. Gadis itu tampak
kelelahan karena seharian penuh menempuh perjalanan tanpa tujuan pasti. Dia
berhenti sebentar dan memandang perkampungan itu. Kemudian kembali dilanjutkan
perjalanannya, walaupun dengan langkah tertatih-tatih.
“Oh...!” tiba-tiba Mintarsih tersentak kaget.
Tiba-tiba saja dari balik sebuah pohon di depannya
muncul seorang laki-laki berwajah kasar dan penuh ditumbuhi brewok. Belum juga
lenyap keterkejutannya, dari samping kanan dan kirinya muncul lagi dua orang
laki-laki yang tidak kalah seram wajahnya. Mintarsih langsung berhenti berjalan
dan seketika tubuhnya bergetar. Ketiga laki-laki inilah yang pernah mencegat
dan mengejarnya.
“He he he.... Kita ketemu lagi, Manis. Tapi kali
ini tak ada lagi yang bisa menolongmu,” ujar laki-laki yang berada di depan
sambil melangkah mendekati.
“Oh! Apa yang akan kalian perbuat,” bentak
Mintarsih, bergetar suaranya.
“He he he.... Hanya tubuhmu, Manis.”
Dua laki-laki yang lain langsung tertawa
terbahak-bahak. Pucat pasi wajah Mintarsih seketika itu juga. Ditelan ludahnya beberapa
kali. Gadis itu bisa memahami kata-kata laki-laki berwajah kasar itu. Sedangkan
mereka semakin dekat, disertai sinar mata liar menjilati seluruh tubuh ramping
menggiurkan. Mintarsih bergidik ngeri.
“Aku mohon, biarkan aku pergi...,” rengek Mintarsih
menghiba.
“Ha ha ha...!” ketiga laki-laki itu hanya tertawa
terbahak-bahak.
Tiba-tiba saja salah seorang yang di sebelah kiri
melompat. Tangannya terkembang hendak menerkam. Mintarsih terkesiap kaget dan
buru-buru berbalik hendak berlari. Namun sebelum niatnya terlaksana, laki-laki
lain yang berada di depan sudah lebih dulu melompat melewati kepalanya. Dan
pada saat itu, sepasang tangan kasar berhasil memeluk pinggang Mintarsih.
“Auw...! Lepaskan...!” jerit Mintarsih.
Gadis itu memberontak. Tapi pelukan laki-laki itu
demikian kuat. Dengan sekuat tenaga Mintarsih berusaha memberontak melepaskan
diri. Namun akibatnya malah semakin parah. Dia terjatuh bersama orang yang
memeluk pinggangnya. Dua orang lainnya tertawa terbahak-bahak. Mintarsih
menjerit-jerit sambil terus meronta mencoba melepaskan diri dari himpitan tubuh
besar, kekar, dan kasar itu.
Meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, namun tenaga
Mintarsih memang tak ada artinya dibandingkan laki-laki itu. Terlebih lagi,
kini dua orang lainnya sudah memegangi tangannya hingga terlentang ke samping
melekat dengan tanah berdebu. Mintarsih semakin ketakutan dan terus menjerit
minta tolong.
Bret!
Tiba-tiba salah seorang menjambret bagian atas baju
gadis itu hingga terkoyak lebar.
“Auh...!” Mintarsih terpekik.
Tiga pasang mata liar kontan merayapi bagian dada
yang terbuka lebar. Begitu indah dan putih mulus tanpa cacat sedikit pun.
Mintarsih memejamkan mata saat sebuah tangan kekar menjulur hendak menjamah
dadanya yang terbuka lebar. Air matanya mulai mengalir. Digigit-gigit bibirnya
sendiri begitu merasakan buah dadanya diremas-remas.
“Tidak..., jangan...,” rintih Mintarsih lirih.
Lemas seluruh tubuh gadis itu saat tangan-tangan
kasar kembali merenggut baju dan kain yang dikenakan. Mintarsih tak mampu lagi
membuka mata, apalagi meronta. Dirinya seakan-akan pasrah terhadap apa yang
akan terjadi nanti. Gadis itu hanya bisa merintih, menghiba, dan menangis.
Namun ketiga laki-laki itu tidak peduli. Rintihan Mintarsih bagaikan nyanyian
merdu yang membangkitkan gairah.
Des! Bug! Dughk...!
Tiba-tiba saja terdengar benda-benda keras
berbenturan. Dan entah bagaimana, tahu-tahu Mintarsih merasa tubuhnya ringan,
dan tak ada lagi tangan-tangan kasar mencengkeramnya. Perlahan gadis itu
membuka mata, dan menjadi terbeliak begitu melihat tiga laki-laki yang hendak
memperkosanya bergelimpangan sambil mengaduh dan merintih kesakitan.
Buru-buru Mintarsih meraih pakaiannya yang sudah
koyak tercabik, dan bergegas mengenakannya kembali. Tubuhnya dengan cepat
beringsut menyingkir. Kini matanya menatap seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih yang berdiri tegak, sambil menatap tajam tiga orang
laki-laki bertubuh besar yang mulai bangkit berdiri.
“Binatang pun masih punya belas kasihan. Hanya saja
kalian bukan lagi binatang, tapi iblis...!” geram pemuda itu dingin.
Saat mengetahui siapa yang menolong Mintarsih,
ketiga laki-laki brewok berwajah kasar itu lari lintang pukang tanpa
berkata-kata lagi. Pemuda itu tidak mengejar, dan hanya berbalik memandang
Mintarsih yang sudah berdiri dengan pakaian koyak. Gadis itu memegangi belahan
baju pada bagian dada yang sobek. Sementara itu pemuda berbaju rompi putih
menghampirinya.
“Kau tidak apa-apa, Adik Manis?” tanya pemuda itu
lembut.
“Tidak,” sahut Mintarsih lirih. “Terima kasih....”
“Sudahlah. Mari kuantar sampai ke rumah,” pemuda
itu menawarkan jasa.
Tapi Mintarsih malah memandanginya.
“Kenapa? Kau tidak ingin diantar?”
“Aku..., aku...,” suara Mintarsih tersendat dan
tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya. Mintarsih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Air matanya semakin deras mengalir, membasahi pipi halus agak
kemerahan. Pemuda itu jadi mengerutkan kening. Kemudian direngkuhnya bahu gadis
itu dan dipeluknya. Mintarsih semakin keras menangis dalam pelukan pemuda
tampan berbaju rompi putih.
Agak lama juga gadis itu menguras air mata di
pelukan pemuda yang telah dua kali menolongnya. Sedangkan pemuda berbaju rompi
putih itu mencoba meredakan tangis Mintarsih. Perlahan-lahan dilepas-kan
pelukannya dan dibawanya gadis itu ke bawah pohon. Mereka duduk di sana
berdampingan, menghadap jalan tanah berdebu yang sunyi senyap. Sementara
mentari semakin condong ke arah barat. Sinarnya semakin redup, lembut terasa
menyentuh kulit
“Namaku Rangga. Kau siapa, Adik Manis?” pemuda
berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri.
“Mintarsih.”
“Kenapa berada seorang diri di tempat sepi seperti
ini?” tanya pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, atau
dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Mintarsih tidak langsung menjawab, tapi malah
memandang wajah tampan di sampingnya. Dengan punggung tangan, disusut air
matanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi masih memegangi belahan baju bagian
dada yang terkoyak. Memang Mintarsih tidak bisa melindungi bagian tubuh
lainnya. Hampir seluruh pakaiannya terkoyak, sehingga menampakkan kulit
tubuhnya yang putih halus.
Rangga mengumpulkan ranting kering, lalu ditumpuk
menjadi satu. Pendekar Rajawali Sakti itu kini tengah membuat api unggun kecil
di pinggir jalan tanah berdebu. Sementara Mintarsih hanya duduk saja di bawah
pohon. Pandangannya lurus merayapi perkampungan yang tidak berapa jauh lagi di
depan. Lampu-lampu terlihat jelas dari rumah-rumah yang berdiri berkelompok.
Malam memang sudah jatuh dan kegelapan menyelimuti sekitarnya. Angin bertiup
lembut, menambah dinginnya udara malam itu.
“Sebetulnya aku bisa saja membawamu ke desa itu,
lalu meminta pada kepala desa agar kau mendapat perlindungan di sana,” kata
Rangga seraya menghenyakkan tubuhnya di samping Mintarsih.
Mintarsih memalingkan mukanya, memandang Pendekar
Rajawali Sakti di sampingnya. Ditariknya napas panjang-panjang. Dia tidak kenal
pemuda ini, tapi sudah dua kali dirinya diselamatkan dari cengkeraman
manusia-manusia berhati iblis. Kalau bukan karena pemuda ini, Mintarsih tidak
tahu lagi pada nasib kehidupannya.
“Kakang...,” pelan suara Mintarsih dan terputus.
“Ng..., boleh aku memanggilmu Kakang?”
“Kenapa tidak?” Rangga tidak keberatan.
“Kenapa kau menolongku?” tanya Mintarsih bernada
ragu-ragu.
Rangga menatap gadis itu dalam-dalam, kemudian
tersenyum lembut. Ditepuk lembut punggung tangan gadis itu, kemudian
ditambahkan sebatang ranting ke atas api unggun.
“Aku akan menolong siapa saja yang membutuhkan,”
ujar Rangga disertai desahan napas panjang.
“Kakang seorang pendekar?” tanya Mintarsih lagi.
“Bukan. Aku hanya pengembara yang tidak punya
tujuan pasti,” sahut Rangga merendah.
“Seorang pengembara sudah pasti pendekar,” tegas
Mintarsih.
“Memang sukar untuk membedakannya di jaman ini,
Tarsih.”
Mintarsih tersenyum, Rangga pun tersenyum. Entah
apa yang membuat mereka saling melemparkan senyuman. Dan Mintarsih merasakan
dirinya begitu dekat pada Rangga yang seperti bukan orang asing lagi. Kelembutan
Rangga telah mengetuk pintu hati gadis itu, sehingga Mintarsih lupa akan pesan
ayahnya untuk tidak terlalu terbuka pada seseorang yang belum dikenalnya.
“Ke mana tujuanmu sebenarnya, Tarsih?” tanya Rangga
setelah agak lama berdiam diri.
“Entahlah.... Aku tidak tahu,” sahut Mintarsih.
“Kau kabur dari rumah?” tebak Rangga.
Mintarsih menggeleng. Ada kemendungan pada raut
wajah gadis itu. Dan Rangga bisa cepat menangkap. Pendekar Rajawali Sakti itu
menggeser duduknya lebih mendekat ke depan. Dirayapinya wajah yang kini
tertunduk. Dengan ujung jari telunjuk, Rangga mengangkat wajah Mintarsih agar
memandangnya. Mintarsih tidak bisa lagi menghindar. Saat itu juga dirasakan
jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Aliran darahnya terasa terhenti
seketika. Buru-buru Mintarsih mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Gadis itu sadar kalau ketampanan pemuda yang
mengaku bernama Rangga ini telah menggetarkan hatinya. Dan rasanya sulit
ditebak sebab-sebabnya.
“Aku bisa menangkap adanya persoalan pada dirimu,
Tarsih. Suatu duka yang amat dalam terpancar dari sorot matamu...,” tebak
Rangga, dengan suara lembut.
Mintarsih memalingkan mukanya, dan langsung bertemu
pandang dengan mata pemuda tampan yang kini berada tepat di depannya. Hal itu
sulit dielakkan, sehingga pandangan mereka bertemu pada satu titik.
“Mungkin kau bisa mempercayaiku, Tarsih. Tapi aku
tidak akan memaksa,” kata Rangga lagi.
Mintarsih masih diam tak bersuara. Bibirnya terbuka
bagai memancing gairah pemuda itu untuk memagutnya. Tapi Rangga tidak pernah
terpikir sampai ke sana. Meskipun diakui kalau gadis ini sangat cantik. Bahkan
sanggup membangunkan seorang laki-laki di kala tidur nyenyak sekalipun. Belum
lagi keharuman yang tersebar dari tubuhnya. Rangga sendiri hampir tergoda kalau
saja tidak segera teringat Pandan Wangi yang sekarang berada di Istana Karang
Setra.
“Terus terang, aku memang mempunyai persoalan
berat. Rasanya tidak bisa kupikul sendiri, Kakang...,” keluh Mintarsih.
“Katakan saja, barangkali aku bisa membantu
menyelesaikannya,” pinta Rangga lembut.
“Sungguh kau ingin menolongku, Kakang?” berbinar
wajah Mintarsih.
“Sungguh,” Rangga mengangguk pasti.
“Oh, terima kasih,” desah Mintarsih.
Rangga tersenyum.
“Tapi...,” mendadak wajah gadis itu berubah murung
lagi.
“Kenapa?” tanya Rangga.
Mintarsih terdiam, dan langsung teringat akan pesan
ayahnya. Pesan yang tak bisa dilupakan seumur hidup, agar jangan menyusahkan
orang lain, meski dalam keadaan apa pun juga. Sedangkan saat ini dirinya
benar-benar butuh pertolongan seseorang yang mampu melindunginya. Mintarsih
juga teringat pendustaannya terhadap wanita cantik yang telah membunuh habis
seluruh keluarganya. Dan yang lebih menciutkan hati Mintarsih adalah saat
mengingat ancaman wanita itu.
Gadis itu memang tahu di mana Gunung Ratak itu
berada, tapi tidak pernah ke sana. Dia hanya mendengar saja kalau Gunung Ratak
jauhnya tiga hari perjalanan dari Bukit Growong ini. Dan itu berarti hanya enam
hari Mintarsih punya waktu untuk bersembunyi dari ancaman wanita cantik berdarah
dingin itu. Gadis itu juga masih memiliki beban berat yang diberikan oleh
ayahnya. Satu beban yang begitu berat dipikul seorang diri. Mintarsih harus ke
Padepokan Arum untuk menyampaikan pesan pada ketua padepokan itu. Sedangkan
dirinya sendiri tidak tahu, di mana letak padepokan itu. Ayahnya memang
berpesan begitu sebelum mereka meninggalkan rumah, dan sepertinya sudah
merasakan akan adanya bahaya besar. Dan itu memang terjadi, ayahnya tewas di
tangan seorang wanita cantik berbaju merah.
“Apa yang dilamunkan, Tarsih?” tegur Rangga.
“Oh!” Mintarsih terbangun dari lamunannya.
“Kau memikirkan sesuatu?” tanya Rangga.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah memandangi
Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam. Rasanya ingin sekali diutarakan semua
yang ada di hatinya, tapi terasa begitu berat. Lidahnya mendadak kelu, sukar
untuk diajak bicara. Saat ini Mintarsih berperang di dalam batin sendiri.
“Kakang, apakah kau sungguh-sungguh ingin
menolongku?” tanya Mintarsih seolah-olah hendak meyakinkan dirinya.
“Kenapa kau tanyakan itu, Mintarsih?” tanya Rangga
berbalik.
“Maaf, bukannya hendak menyinggung perasaanmu. Tapi
saat ini aku harus berhati-hati pada setiap orang yang belum kuketahui dengan
pasti.” Rangga tersenyum dan mengangkat bahunya.
“Kalau begitu, sebaiknya tunda saja dulu. Aku tidak
ingin mendesak agar kau lebih yakin siapa diriku,” kata Rangga bijaksana.
“Terima kasih, Kakang,” hanya itu yang bisa
diucapkan Mintarsih.
“Tidurlah, agar kau lebih baik besok pagi.”
Mintarsih merebahkan tubuhnya di atas rerumputan
kering, namun belum dapat memejamkan matanya. Pikirannya masih terus berkelana
entah ke mana. Ingin sekali kesulitannya diutarakan pada Pendekar Rajawali
Sakti ini, tapi kata-kata ayahnya selalu terngiang. Hal ini membuatnya sukar
untuk mengatakannya.
Sedangkan Rangga sudah menjauh, duduk bersandar
pada sebongkah batu besar. Tangannya terlipat di depan dada, dan kelopak
matanya terpejam rapat. Mintarsih tidak tahu, apakah Rangga langsung tidur atau
tidak. Tapi yang jelas, malam ini rasanya sulit sekali memejamkan mata. Pikiran
gadis itu terus melayang mengembara ke batas awang-awang. Sesekali dipandangi
wajah tampan yang matanya tengah terpejam itu.
***
TIGA
Pagi-pagi sekali Mintarsih sudah bangun dari
tidurnya. Tubuhnya yang terasa pegal, menggeliat, lalu digerak-gerakkan. Baru
pertama kali ini gadis itu tidur di alam terbuka beralaskan bumi dan beratapkan
langit. Pandangan mata gadis itu langsung tertumbuk pada Rangga yang tengah
tenang duduk bersila di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar, namun
permukaannya sangat datar.
“Ganti pakaianmu dulu, Tarsih,” perintah Rangga
tanpa berpaling.
Mintarsih terkejut dan semakin heran karena di
dekat kakinya terdapat sebuah bungkusan. Diraihnya bungkusan itu, lalu dibuka.
Gadis itu semakin terkejut bercampur heran melihat bungkusan itu berisi
seperangkat pakaian bersih, berwarna biru terang. Meskipun dari bahan yang
tidak terlalu mahal, tapi cukup bagus bentuk dan warnanya.
“Dari mana kau dapatkan ini, Kakang?” tanya
Mintarsih.
“Tadi kubeli di desa,” sahut Rangga.
“Pagi-pagi begini?” Mintarsih tidak percaya.
“Walaupun kedai belum dibuka, tapi aku katakan pada
pemiliknya kalau pakaian istriku dicuri orang. Malah aku juga diberikan
potongan harga. Katanya, dia ingin kenal denganmu, Tarsih.”
“Ah, Kakang ini ada-ada saja,” Mintarsih tersipu.
Wajah gadis itu menyemburat merah. Entah kenapa, hatinya begitu senang saat
Rangga mengakuinya sebagai istri. Perlahan-lahan Mintarsih bangkit berdiri,
namun jadi kebingungan juga. Ternyata memang tidak ada tempat untuk mengganti
baju.
“Di sebelah kananmu ada sungai kecil. Kau bisa
mandi dan mengganti baju di sana,” jelas Rangga seperti mengetahui kebingungan
Mintarsih.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum tersipu, kemudian
bergegas berjalan ke arah kanan. Sementara Rangga tetap duduk di atas batu di
pinggir jalan. Mintarsih terus berjalan, dan suara air sungai mengalir sudah
didengarnya. Benar saja. Tidak berapa jauh berjalan, di depannya mengalir
sebuah sungai kecil yang berair cukup jernih. Mintarsih menoleh ke kiri dan ke
kanan sebentar, kemudian berpaling ke belakang.
Setelah yakin tidak akan ada yang melihat, gadis
itu mencopot pakaiannya yang koyak, kemudian buru-buru menceburkan diri ke
dalam sungai. Terasa sejuk dan segar setelah berada di dalam air. Mintarsih
membersihkan tubuhnya cepat-cepat. Sungai ini terletak tidak berapa jauh dari
jalan. Dan tentu sebentar lagi banyak orang yang akan lewat di jalan itu.
Mintarsih bergegas keluar dari dalam sungai, lalu mengenakan baju yang
diberikan Rangga. Cukup pas, tidak kebesaran dan tidak juga kekecilan. Warnanya
juga sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Mintarsih bergegas kembali menemui Rangga.
Langkahnya begitu cepat dan tergesa-gesa, meninggalkan begitu saja bajunya yang
koyak. Untunglah belum ada orang yang lewat di jalan itu. Mintarsih menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti yang kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah desa.
“Kakang...,” panggil Mintarsih pelan.
Rangga membalikkan tubuhnya dan langsung terpana
begitu melihat Mintarsih sudah berada di dekatnya. Gadis itu demikian cantik
setelah mengenakan baju ketat berwarna biru dan celana sebatas betis. Rangga
sampai terbengong dan mulutnya ternganga, seakan-akan melihat seorang bidadari
baru turun dari kahyangan.
“Kenapa, Kakang? Ada yang aneh pada diriku...?”
tanya Mintarsih.
“Oh, tidak..., tidak,” sahut Rangga agak terbata.
Buru-buru dipalingkan mukanya menatap ke arah lain.
Mintarsih memperhatikan dirinya sendiri. Mungkin
pikirannya bertanya-tanya, apakah ada yang salah pada dirinya. Tapi tak ada
kejanggalan sedikit pun. Gadis itu memandangi Rangga yang kini kembali menatap
ke arah desa. Mintarsih menghampiri dan berdiri di samping pemuda berbaju rompi
putih itu.
“Kakang....”
“Oh...!” Rangga agak tersentak.
“Terima kasih atas pemberian bajumu ini,” ucap
Mintarsih mencoba mengusir kekakuan yang tiba-tiba saja terjadi.
“Ya,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengayunkan kakinya
perlahan-lahan melintasi jalan berdebu menuju desa yang telah terlihat di depan
sana. Mintarsih mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.
Mereka berjalan tanpa berkata-kata lagi. Entah kenapa, Rangga jadi kaku tidak
seperti semula. Mungkin masih terpana akan kecantikan Mintarsih yang kini
kelihatan apik mengenakan baju yang sangat cocok dengan kulit dan bentuk
tubuhnya.
Dari jauh terlihat tiga orang menunggang kuda yang
datang dari arah desa. Sudah terlihat jelas kalau mereka terdiri dari dua orang
laki-laki muda dan seorang wanita yang cukup cantik. Mereka berkuda tanpa
tergesa-gesa. Semakin dekat, semakin terlihat. Pakaian mereka seperti layaknya
kaum persilatan yang hidupnya tak pernah menetap. Penunggang kuda itu
menghentikan kudanya tepat di depan Rangga dan Mintarsih yang berjalan di tepi.
“Maaf, Kisanak. Boleh bertanya?” terdengar ramah
suara pemuda penunggang kuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam.
“Oh, silakan,” sahut Rangga juga ramah.
“Apakah Kisanak tahu, di mana Lembah Punai itu?”
tanya pemuda itu masih ramah.
“Lembah Punai...?” Rangga mengerutkan keningnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu semakin berkerut
keningnya ketika melihat Mintarsih nampak pucat dan serba salah begitu
mendengar nama Lembah Punai. Gadis itu tertunduk, menyembunyikan raut wajah
yang pucat.
“Maaf. Rasanya baru kali ini mendengar nama Lembah
Punai. Mungkin para penduduk desa itu mengetahuinya,” kata Rangga sopan.
“Tidak ada yang tahu,” celetuk gadis berbaju putih
yang menunggang kuda itu.
“Terima kasih, Kisanak. Maaf kami telah
mengganggu,” ujar pemuda berbaju kuning itu sopan.
Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya
sedikit. Ketiga penunggang kuda itu menggebah kuda tunggangannya, kembali
meneruskan perjalanan tanpa terlihat tergesa-gesa. Rangga masih berdiri
memandangi, hingga ketiga penunggang kuda itu jauh. Digamitnya lengan
Mintarsih, lalu diajaknya terus berjalan. Gadis itu mengikuti tanpa
berkata-kata lagi.
***
Sudah lebih dari dua pekan ini Rangga tidak
menikmati makanan yang layak. Dan baru hari inilah bisa masuk ke kedai dan bisa
menikmati harumnya arak. Kedai ini memang tidak terlalu besar, bahkan hanya
sedikit pengunjungnya. Pemiliknya seorang wanita tua bertubuh gemuk. Wanita ini
biasa dipanggil Nyai Lambat. Mungkin karena tubuhnya yang gemuk sehingga
gerakannya juga lambat seperti ular yang kekenyangan sehabis menyantap seekor
domba.
Rangga memandangi Mintarsih yang hanya makan
sedikit. Gadis ini seperti selalu menyembunyikan wajahnya, dan tidak berani
bertatapan muka dengan pengunjung kedai lainnya. Sikap Mintarsih ini selalu
menjadi perhatian Rangga. Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti
jadi bertanya-tanya.
“Sedikit sekali makanmu, Tarsih?” Rangga membuka
suara.
“Aku tidak terlalu lapar,” sahut Mintarsih tanpa
mengangkat wajahnya.
“Kalau di malam hari kedai-kedai di sini tidak ada
yang buka. Aku bisa minta pemilik kedai untuk membungkus makananmu,” kata
Rangga lagi.
“Terima kasih. Aku sedang tidak enak makan saja,”
sahut Mintarsih.
“Terserahlah. Tapi kalau nanti kelaparan
malam-malam, jangan paksa aku mencari makanan,” kata Rangga berseloroh.
Mintarsih hanya tersenyum saja. Dengan sudut mata,
diliriknya Pendekar Rajawali Sakti ini. Untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya berdiam diri saja. Rangga bangkit berdiri, lalu membayar makanannya.
Mintarsih mengikuti. Mereka keluar dari kedai tanpa bicara sedikit pun.
Mereka berjalan menyusuri jalan desa yang tidak
begitu padat. Hampir semua penduduk desa ini adalah petani, jadi kalau siang
hari biasanya berada di sawah dan ladang masing-masing. Yang ada hanya wanita,
anak-anak, beberapa pemuda serta orang-orang tua yang sudah tidak kuat lagi
bekerja di ladang.
“Aku pernah sekali ke sini, tapi hanya menginap
satu malam dan terus pergi lagi,” ujar Rangga mengisi kebisuan.
“Kapan?” tanya Mintarsih iseng.
“Sehari sebelum bertemu denganmu.”
“Jadi sebenarnya tujuanmu tidak ke sini?”
“Aku memang tidak punya tujuan pasti. Aku senang
mengembara, dan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolonganku. Rasanya
senang sekali bila melihat kedamaian, ketentraman, dan keindahan. Dan aku
paling benci terhadap segala macam tindak kekerasan di luar batas kewajaran
manusia,” agak dalam suara Rangga terdengar.
Mintarsih diam saja dan terus berjalan di samping
Rangga dengan kepala tertunduk. Beberapa penduduk wanita yang kebetulan
berpapasan selalu memperhatikan Mintarsih. Ada beberapa di antaranya yang
berbisik-bisik. Dan Rangga tahu itu, tapi masih mencoba untuk mengekang
keingin-tahuannya. Dia menduga kalau hampir seluruh penduduk desa ini mengenal
Mintarsih. Hanya saja, gadis itu berpura-pura tidak pernah datang ke desa ini,
walau hanya satu kali.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah penginapan.
Rangga menandangi rumah itu, kemudian berpaling menatap Mintarsih. Gadis itu
masih saja tertunduk menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang lain. Tapi
gadis itu tidak menolak saat Rangga mengajaknya masuk ke dalam penginapan itu.
Seorang laki-laki setengah baya menyambut ramah.
Tapi saat menatap Mintarsih dia tertegun sesaat, dan kembali bersikap ramah,
melayani Rangga dengan baik. Keramahan yang sebenarnya dibuat-buat. Dan Rangga
tidak peduli. Saat ini yang dibutuhkan adalah tempat untuk menginap malam ini.
Bukan basa-basi.
Rangga memesan dua kamar yang berdampingan.
Kebetulan rumah penginapan ini sedang kosong, jadi bisa memilih kamar sesuka
hati. Pemilik rumah penginapan mengantarkan sampai ke kamar mereka
masing-masing. Sengaja Rangga mengantarkan Mintarsih lebih dahulu ke kamarnya,
baru kemudian ke kamarnya sendiri diantar pemilik rumah penginapan ini.
“Sebentar, Ki...,” cegah Rangga ketika laki-laki
setengah baya yang dikenal bernama Ki Rampat itu hendak ke luar kamar. Nama
yang sama dengan nama penginapan ini, Penginapan Rampat.
“Ada apa, Den?” tanya Ki Rampat seraya
membungkukkan badannya.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” jelas Rangga.
“Ah! Kalau bisa kujawab, tentu akan kujawab, Den.”
“Bagus. Hanya pertanyaan ringan.”
“Apa itu, Den?”
“Kau tentu masih mengingatku, bukan?” Rangga
memulai.
“Ah, tentu saja. Raden yang menginap di sini
beberapa hari lalu. Tentu saja masih ingat, Den,” sahut Ki Rampat.
“Jadi kau pasti tahu kalau aku hanya seorang diri
saja. Dan sekarang aku berdua bersama seorang wanita yang tidak kukenal,” agak
pelan suara Rangga.
“Ah, Raden ini bercanda....”
“Tidak ada waktu untuk main-main, Ki. Aku
benar-benar tidak kenal gadis itu dalam arti sesungguhnya. Bahkan tidak tahu,
apakah nama yang disebutkannya itu benar atau hanya karangannya saja.”
“Memangnya, dia menyebutkan namanya siapa, Den?”
tanya Ki Rampat jadi tertarik juga.
“Mintarsih,” sahut Rangga pelan.
“Sudah kuduga...!” sentak Ki Rampat.
“He...?!” Rangga terkejut.
“Sudah kuduga, Den. Dia pasti Mintarsih, putri
bungsu Ki Jara Botang.”
“Ki Rampat mengenalnya...?” tanya Rangga masih
belum hilang rasa terkejutnya.
“Semua orang di desa ini mengenal Ki Jara Botang.
Dia dulu kepala desa di sini. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja pergi membawa
keluarganya dan menyerahkan desa ini pada penghulu untuk memilih kepala desa
baru,” jelas Ki Rampat.
“Hm..., aneh,” gumam Rangga pelan.
“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Rampat.
“Entahlah,” desah Rangga. “Terima kasih, Ki. Aku
minta padamu untuk tidak mengatakan pembicaraan ini pada Mintarsih. Juga
kuminta, agar kau berpura-pura saja tidak mengenalnya. Tampaknya dia tidak
ingin dikenali di desa ini,” jelas Rangga lagi.
“Tentu, Den. Tapi aku tidak bisa menjamin kalau
warga desa lainnya mengenali.”
“Aku yang akan mengatasi,” ujar Rangga.
“Permisi, Den.”
Rangga mengangguk, membiarkan saja Ki Rampat
meninggalkan kamar ini. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, namun cukup
bersih dan nyaman untuk beristirahat. Rangga menghenyakkan tubuhnya di
pembaringan tanpa menutup pintu lagi. Dibiarkan saja pintu dan jendela kamar
ini terbuka lebar. Udara memang cukup panas. Dengan jendela dan pintu terbuka
lebar, memberi kesempatan angin lebih banyak masuk.
***
Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan pintu
kamar Mintarsih. Diketuknya pintu kamar itu berulang-ulang sambil memanggil.
Tapi tak ada jawaban dari dalam. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi curiga dan
mencoba membuka pintu. Tapi rupanya pintu ini terkunci. Rangga menggedor pintu
kamar itu keras-keras, sampai bergetar seluruh dinding kamar penginapan ini.
“Tarsih...!” panggil Rangga keras.
“Dia sudah pergi, Den...,” tiba-tiba terdengar
suara dari arah belakang.
Rangga membalikkan tubuhnya. Tampak Ki Rampat sudah
berada tidak jauh dari pemuda berbaju rompi putih itu. Rangga menghampiri.
“Kapan dia pergi?” tanya Rangga.
“Tengah malam tadi,” sahut Ki Rampat.
Rangga tertegun sesaat. Semalaman dia memang tidur
nyenyak, bahkan sampai tidak mendengar apa-apa. Mungkin karena kebanyakan minum
arak di kedai, sehingga kepalanya terasa berat dan jatuh tertidur seperti orang
mati. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Ki Rampat dalam-dalam.
“Dia pergi sendiri?” tanya Rangga.
“Tidak, Den. Ada dua orang laki-laki yang sebaya
Raden menjemputnya di sini,” jelas Ki Rampat.
“Mintarsih kenal kedua orang itu?”
“Wah kurang tahu itu, Den. Aku langsung tidur dan
tidak peduli.”
Rangga mengeluh panjang dan berat. Memang pemilik
rumah penginapan ini tidak bisa disalahkan. Ki Rampat tentu tidak akan
mempedulikan setiap orang yang datang menginap di sini. Juga tidak akan peduli
dengan segala macam urusannya. Yang paling penting baginya adalah membayar sewa
penginapan.
“Den, sebaiknya tidak usah mengurusi gadis itu.
Lupakan saja, Den. Bikin susah saja...,” pinta Ki Rampat, agak ragu-ragu nada
suaranya.
Rangga tidak menyahuti dan malah berjalan
meninggalkan laki-laki setengah baya itu. Dia terus berjalan keluar dari rumah
penginapan ini. Tapi belum juga jauh berjalan, ayunan langkahnya terhenti.
Tampaklah tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan wajah kasar penuh
brewok baru keluar dari kedai. Mereka cepat pergi sambil tertawa-tawa dan
menggoda gadis-gadis desa.
Tanpa membuang-buang waktu lagi Rangga bergegas
mengikuti. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap menjaga jarak agar tidak
diketahui kalau sedang membuntuti. Ketiga orang itu terus berjalan menuju ke
Bukit Growong. Mereka berjalan cepat sehingga sebentar saja sudah sampai di
luar batas desa.
“Hup...!”
Hanya sekali lesatan saja Rangga melewati kepala
ketiga orang itu. Kakinya mendarat lunak, tepat sekitar satu batang tombak di
depannya. Bukan main terkejutnya ketiga orang itu saat Rangga berbalik
menghadap mereka.
“Mau apa kau menghadang kami?!” bentak salah
seorang yang berada di tengah.
Rangga tidak menjawab, bahkan malah berjalan
menghampiri dengan pandangan mata tajam menusuk. Ketiga orang itu saling
berpandangan. Sudah dua kali dipecundangi, sehingga pertemuan ketiga kali ini
sudah membuat hati mereka gentar.
“Di mana kalian sembunyikan gadis itu?” tanya
Rangga dingin.
“Jangan cari gara-gara, Anak Muda. Aku tahu kau
memang tangguh, tapi kami semua pantang dituduh tanpa bukti!” dengus orang yang
berdiri di tengah.
“Aku tidak main-main, tikus!” bentak Rangga.
Ketiga orang itu bungkam.
“Apa yang kalian bawa itu?” Rangga menunjuk
buntalan yang dipanggul orang sebelah kiri.
“Hanya makanan,” sahutnya sambil meletakkan
buntalan di depan kakinya.
“Untuk apa?”
“Untuk majikan kami. Maaf, kami tidak ingin kena
marah. Majikan kami sudah menunggu terlalu lama,” jelas laki-laki berbaju
kuning yang berdiri di tengah. Ketiga laki-laki itu terus saja berjalan cepat.
Sebenarnya Rangga ingin mencegah, tapi diurungkan niatnya. Begitu mereka
melewati, dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu melesat ke atas dan hinggap
di cabang pohon yang cukup tinggi. Salah seorang dari mereka terkejut begitu
melihat ke belakang.
“Dia sudah pergi,” bisiknya.
“Ayo, cepat! Jangan pedulikan monyet jelek itu.
Kita harus secepatnya memberikan makanan ini pada Nini Ayu,” tegas seorang
lagi.
Tanpa diketahui, Rangga mengikuti kepergian ketiga
laki-laki itu. Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari pohon yang satu ke
pohon yang lain. Dia tetap menjaga jarak dan terus mengikuti tanpa diketahui.
Ketiga laki-laki tadi terus menuju kaki Bukit Growong, tapi tidak mengikuti
jalan yang ada. Mereka menerobos hutan yang cukup lebat. Sementara Rangga terus
membuntuti dari atas pohon.
Ketiga laki-laki itu tiba di suatu tempat yang
banyak ditumbuhi semak-semak berduri. Di sana, ternyata sudah menunggu seorang
wanita muda dan berwajah cantik. Bajunya merah menyala cukup ketat sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping, indah dan menggiurkan. Orang yang membawa
bungkusan itu langsung menyerahkannya. Mereka kelihatan begitu hormat, atau
lebih tepat dikatakan takut.
Sementara dari tempat yang cukup tersembunyi,
Rangga mengawasi tanpa berkedip. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti ingin
mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi jika mempergunakan satu ajian saja, dia
khawatir akan ketahuan. Makanya kini dia hanya bisa melihat saja. Dan Rangga
agak terkejut juga saat mengetahui bungkusan kain itu ternyata berisi uang,
perhiasan, serta barang-barang berharga lainnya. Bukan makanan seperti yang
dikatakan mereka.
“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa wanita cantik
berbaju merah itu.
Tawa yang sangat lepas berderai dan keras, sehingga
cukup jelas terdengar dari tempat persembunyian Rangga yang cukup jauh.
Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian meninggalkan tempat ini. Kini baru
diyakini kalau mereka memang tidak membawa Mintarsih. Lagi pula wanita berbaju
merah itu tidak dikenalinya. Rangga tidak peduli lagi dengan kelakuan mereka,
meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menduga kalau ketiga orang itu
baru saja merampok kedai. Dan ada seorang wanita cantik di belakang mereka.
***
EMPAT
Di mana sebenarnya Mintarsih berada? Gadis itu
sebenarnya tidak berada jauh dari Bukit Growong. Bahkan masih berada di sekitar
kaki bukit itu. Tepatnya di sebuah dataran yang agak tersembunyi dan terlindung
oleh batu-batu besar bertumpuk bagai sebuah lembah kecil. Namun batu-batu itu
seperti sengaja dibuat sedemikian rupa, sehingga melingkari sebuah rumah besar.
Ada sekitar dua puluh orang pemuda tengah berlatih
jurus-jurus di bagian depan halaman rumah itu. Halaman itu memang cukup luas,
dan mampu menampung seratus orang, bahkan mungkin lebih. Sedangkan di bagian
belakang terlihat suatu sarana tempat berlatih kekuatan fisik.
Di beranda depan, terlihat Mintarsih duduk di
lantai beralaskan permadani halus bercorak kembang-kembang. Warnanya begitu
serasi dan sedap dipandang mata. Di depan gadis itu duduk seorang laki-laki
setengah baya didampingi seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Di
belakang Mintarsih duduk bersila dua pemuda berwajah cukup tampan dan tegap.
Dan di belakang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju panjang dan ikat
kepala putih, duduk seorang pemuda lain yang mengenakan baju biru. Dia
menyandang pedang di punggung.
“Aku benar-benar menyesal terlambat menjemput
kalian,” ujar laki-laki setengah baya itu, pelan suaranya. Hampir tidak
terdengar.
Sedangkan Mintarsih hanya diam saja memandangi
laki-laki setengah baya itu. Semalam gadis itu memang sudah diperkenalkan,
kalau laki-laki setengah baya ini bernama Citrasoma. Sedangkan wanita yang
duduk di samping kanannya adalah istrinya yang bernama Dewi Wulan. Dan pemuda
yang berada di belakang Citrasoma adalah putranya, bernama Ganggala. Sementara
dua pemuda di belakang Mintarsih adalah dua bersaudara kepercayaan Citrasoma.
Masing-masing bernama Bantara dan Andira. Kedua pemuda inilah yang membawa
Mintarsih ke tempat asing bagi gadis itu.
Mintarsih juga baru tahu kalau ini adalah Padepokan
Arum. Citrasoma adalah adik ayahnya. Mintarsih juga tahu kalau sebenarnya dia
dan ayahnya akan ke tempat ini. Tapi sebelumnya tidak diketahui kalau ayahnya
sudah menghubungi Citrasoma. Gadis itu memang mengagumi tempat ini, karena
letaknya tersembunyi meskipun tidak terlalu jauh dari desa di kaki Bukit
Growong.
“Kau tidak kenal wanita yang telah membunuh ayahmu
itu, Mintarsih?” tanya Citrasoma lagi, setelah lama terdiam.
“Tidak,” sahut Mintarsih pelan seraya menggeleng.
“Sayang sekali, kita tidak bisa berbuat apa-apa,”
keluh Citrasoma.
“Tapi kita masih bisa mencari keterangan tentang
dia, Kakang,” selak Dewi Wulan.
“Bagaimana kita bisa mencari keterangan, Dinda
Wulan? Sedangkan Mintarsih sendiri sudah mengatakan kalau wanita itu telah
dikelabui. Sedangkan setahuku, di gunung itu tidak ada lembah. Gunung itu hanya
merupakan gunung batu gersang. Jadi aku yakin kalau wanita itu pasti akan
mencari Mintarsih,” jelas Citrasoma.
Semua yang berada di beranda depan rumah itu
terdiam. Mintarsih memang sudah menceritakan semua pengalamannya begitu keluar
dari rumah bersama ayahnya, yang katanya hendak ke Padepokan Arum. Dan
pamannyalah yang memimpin padepokan itu. Sekarang Mintarsih sudah berada di
tengah keluarga pamannya, meskipun tanpa ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya yang
tewas di tangan seorang wanita cantik yang misterius. Mintarsih sendiri tidak
tahu, mengapa wanita itu membunuh seluruh keluarganya.
Gadis itu memang sudah bertanya pada Citrasoma,
tapi laki-laki setengah baya itu sendiri tidak tahu. Bahkan tidak mengenal
wanita cantik berbaju merah yang telah membunuh keluarga kakak kandungnya,
hingga hanya Mintarsih saja yang tersisa. Dan itu juga belum bisa dikatakan
tenang, karena Mintarsih membuat persoalan baru untuk menyelamatkan diri dari
maut.
“Kau terlalu berani mendustai manusia berhati iblis
itu, Tarsih,” ujar Dewi Wulan agak menyesali sikap Mintarsih.
“Mintarsih tidak salah, Ibu. Aku pun akan berbuat
yang sama jika sadar kemampuanku tidak akan bisa menandinginya,” celetuk
Ganggala.
“Kau harus menyebutnya kakak, Ganggala!” sentak
Citrasoma.
“Maaf, Ayah,” ucap Ganggala buru-buru. “Habis baru
bertemu sekali ini, sih. Jadi, kaku.”
“Tidak apa, Paman. Toh aku juga mungkin lebih muda
daripada Ganggala,” kata Mintarsih seraya memberikan senyum pada pemuda itu.
“Kau memang lebih muda dua tahun, Tarsih. Tapi biar
bagaimanapun kau tetap kakaknya. Dan Ganggala tidak boleh seenaknya memanggil
namamu begitu saja,” tegas Citrasoma.
“Ah, sudahlah. Yang kita bicarakan sekarang bukan
itu!” sentak Dewi Wulan menengahi. “Aku jadi penasaran.... Siapa, sih perempuan
itu?”
Gumaman Dewi Wulan memang sukar dijawab sekarang ini.
Dan tak ada seorang pun yang bisa menjawab. Pertanyaannya itu memang membebani
benak mereka semua. Karena tak seorang pun yang tahu, siapa wanita berbaju
merah itu. Dan juga mengapa membunuh keluarga Jara Botang. Bahkan mengancam
akan membunuh siapa saja yang ada hubungan dengan Jara Botang. Itu berarti dia
akan menjarah sampai ke tempat ini.
“Paman, di perjalanan aku juga bertemu dengan tiga
orang penunggang kuda. Dua orang laki-laki, dan seorang lagi wanita. Mereka
juga menanyakan Padepokan Arum,” kata Mintarsih setelah cukup lama tidak ada
yang membuka suara.
Citrasoma dan Dewi Wulan saling berpandangan.
Demikian pula Ganggala, Bantara, dan Andira yang juga saling berpandangan.
Kata-kata Mintarsih barusan membuat gadis itu jadi kebingungan sendiri. Dia
tidak tahu, kenapa mereka seperti terkejut mendengarnya.
“Ada apa, Paman?” tanya Mintarsih.
“Tarsih, apa kau juga mendustai mereka?” tanya
Citrasoma berbalik tanpa menjawab.
“Aku kan tidak tahu di mana Padepokan Arum, jadi
kutunjukkan saja seadanya. Soalnya aku takut, Paman,” sahut Mintarsih, menutupi
hal sebenarnya. Karena waktu itu Ranggalah yang menjawab pertanyaan mereka.
“Ya, sudah...,” desah Citrasoma seraya melirik
istrinya.
Dewi Wulan hanya mengangguk kecil dan tersenyum
penuh arti. Wanita berusia tiga puluhan dan kelihatan masih cantik itu kemudian
bangkit berdiri seraya mengajak Mintarsih masuk ke dalam. Gadis itu tidak
membantah, lalu mohon diri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti
bibinya. Tapi Citrasoma sempat menanyakan, ke arah mana ketiga orang itu pergi.
Dan Mintarsih menjawab apa adanya tanpa ada yang dikurangi.
“Bantara, Andira, kau susul mereka dan bawa ke
sebelah barat Bukit Growong. Aku akan menunggu di sana,” kata Citrasoma pelan,
seperti takut suaranya terdengar sampai ke dalam.
“Baik, Guru,” sahut Bantara dan Andira bersamaan.
Mereka memberi hormat, kemudian bangkit berdiri dan
meninggalkan beranda depan rumah itu. Ganggala pindah duduknya ke depan
ayahnya.
“Ayah, boleh aku ikut mereka?” pinta Ganggala.
“Kau harus tetap berada di sini, Ganggala. Kalau
terjadi sesuatu denganku, kau harus meneruskan padepokan ini bersama ibumu,”
jelas Citrasoma.
Ganggala tidak membantah, meskipun sebenarnya ingin
sekali ikut bersama dua orang kepercayaan ayahnya itu. Ganggala memang tidak
bisa membantah setiap kata yang diucapkan ayahnya. Karena apa yang dikatakan
ayahnya selalu dianggap benar, dan demi kebaikan semuanya. Ganggala tidak lagi
membuka suara dan hanya duduk diam dengan kepala tertunduk.
***
Tepat di kala sang mentari berada di atas kepala,
Citrasoma memacu kudanya keluar dari Padepokan Arum. Tak ada yang mendampingi.
Istri dan anaknya hanya mengantar di pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu
bertumpuk menyerupai mulut gua. Pintu gerbang itu kemudian ditutup oleh
sebongkah batu besar setelah Citrasoma melewatinya.
Lak-laki separuh baya itu memacu cepat kudanya
menuju Bukit Growong, sehingga tidak harus melewati desa yang hanya ada
satu-satunya di sekitar bukit itu.
Jelas sekali kalau tujuan Citrasoma adalah sebelah
barat bukit yang merupakan dataran kecil dan hanya ditumbuhi rerumputan. Tidak
terlalu jauh jarak dari Padepokan Arum ke tempat itu, sehingga tidak memakan
waktu lama. Belum juga matahari bergeser dari tempatnya, Citrasoma sudah tiba
di pinggir padang rumput kecil itu. Dia melompat turun dari punggung kudanya
dengan satu gerakan indah dan ringan.
Baru saja Citrasoma menambatkan kuda di bawah pohon
jati, muncul dua orang murid utamanya. Citrasoma menunggu dan memandangi
Bantara dan Andira yang berjalan menghampiri. Kedua pemuda itu menjura memberi
hormat setelah sampai di depan laki-laki setengah baya itu.
“Bagaimana, Bantara?” tanya Citrasoma.
“Kami berhasil menyusul mereka, Guru. Dan sebentar
lagi akan datang,” sahut Bantara.
“Hm... di mana kau temukan mereka?” tanya
Citrasoma.
“Di Lereng Bukit Growong tidak jauh dari Jurang
Ular,” sahut Bantara lagi.
“Hm...,” gumam Citrasoma tidak jelas.
Sebelum Citrasoma sempat bertanya lagi, terdengar
langkah kaki kuda menuju tempat ini. Citrasoma dan kedua muridnya berpaling ke
arah suara itu, dan terlihatlah tiga orang penunggang kuda berpacu cepat
mendekati mereka. Tampak jelas kalau mereka adalah dua orang pemuda dan seorang
gadis cantik. Citrasoma dapat mengenali ketiga penunggang kuda itu.
Yang mengenakan baju kuning adalah Rakalpa.
Sedangkan yang berwarna gading adalah adiknya, bernama Rapondah. Dan yang
wanita adalah adik mereka bernama Antika. Citrasoma tahu betul, siapa dan apa
tujuan mereka mencari dirinya sampai ke tempat ini. Laki-laki setengah baya itu
menunggu sampai ketiga bersaudara itu dekat dan turun dari punggung kuda
masing-masing. Mereka menghampiri dan berhenti setelah jaraknya tinggal
beberapa langkah lagi.
“Aku khawatir kalian datang membawa kekecewaan,”
kata Citrasoma menyambut ramah, disertai senyum mengembang di bibir.
“Justru kami datang hendak menuntut keadilan, Paman
Citrasoma!” sahut Rakalpa tegas.
“Keadilan macam apa yang hendak kalian tuntut?”
“Menuntut balas atas kematian ayah kami!” dengus
Rapondah.
“Kalian salah alamat kalau mencariku hanya karena
ingin menuntut balas,” tenang jawaban Citrasoma.
“Paman, kami semua tahu siapa dirimu! Dan kami
tidak akan salah jika datang padamu. Bertahun-tahun kami harus mengubur dendam,
mempersiapkan diri untuk menuntut balas dan keadilan. Hanya itu yang kami
inginkan. Selanjutnya, kami akan pergi jauh, melupakan semua yang terjadi,”
tegas Rakalpa.
“Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu. Aku kenal
baik dengan ayah kalian. Tapi semua telah dirusak oleh kesalahpahaman.
Bertahun-tahun kukubur masa lalu dan melupakan semua masa suram. Tapi itu tidak
mudah. Aku menyesal tidak bisa membantu ayahmu dan...”
“Dan Paman salah satu dari mereka!” serobot Antika
yang sejak tadi diam saja.
“Sudah kuduga, kalian pasti akan menuduhku begitu
pula. Tapi jika kalian memang benar-benar yakin, silakan. Aku tidak akan
memberikan perlawanan sedikit pun. Sungguh aku rela mati di tangan kalian,
asalkan kalian puas,” kata Citrasoma seraya tersenyum.
“Bukan ini yang kami inginkan, Paman. Kami memang
ingin menuntut balas, tapi tidak akan menghukum orang yang lemah dan pasrah!”
sergah Rakalpa.
“Aku tidak peduli kau akan melawan atau tidak!
Hiyaaat..!” seru Antika lantang.
Sambil berteriak keras melengking, Antika melompat
menerjang Citrasoma. Tindakan gadis ini membuat kedua kakaknya terperanjat dan
tidak mampu mencegah lagi. Memang Antika sudah melepaskan dua pukulan beruntun
ke arah Citrasoma. Dan laki-laki separuh baya itu hanya diam saja, tanpa
sedikit pun menghindar. Hingga....
Des!
Dughk...!
Citrasoma terpental jauh ke belakang begitu dua
pukulan keras mengandung tenaga dalam cukup tinggi mendarat di tubuhnya.
Bantara dan Andira tersentak kaget. Mereka bergegas melompat menghadang Antika
yang sudah siap hendak menyerang kembali.
“Bantara, tahan...!” seru Citrasoma.
“Tapi, Guru....”
“Mundur kalian!”
Bantara dan Andira saling berpandangan sejenak,
lalu perlahan-lahan bergerak menyingkir. Pada saat itu Citrasoma sudah mampu
berdiri kembali. Meskipun mendapat dua pukulan keras bertenaga dalam cukup
tinggi, tapi kelihatannya tidak mengalami cedera sedikit pun. Bahkan masih
mampu berdiri tegak. Sementara Antika sudah bersiap hendak menyerang lagi.
“Hiyaaa...!” teriak Antika keras.
Gadis itu kembali melompat menyerang Citrasoma yang
hanya diam saja tanpa memberikan perlawanan sedikit pun. Beberapa kali pukulan
dan tendangan Antika mendarat di tubuh laki-laki setengah baya yang kemudian
harus jatuh bangun. Namun tak ada satu keluhan sedikit pun terdengar dari
bibirnya. Citrasoma sengaja memberikan dirinya jadi bulan-bulanan Antika.
Sementara Andira dan Bantara tidak bisa berbuat
banyak. Mereka cemas melihat gurunya seperti benda mati yang tak melawan
sedikit pun saat mendapat hajaran dari seorang gadis muda. Sedangkan di lain
tempat, Rakalpa dan Rapondah hanya menyaksikan saja, dan sebentar-sebentar
saling melempar pandangan saja.
“Ayo, lawan aku! Lawan aku, Paman...!” dengus
Antika sambil terus melancarkan pukulan-pukulan deras bertenaga dalam cukup
tinggi.
Tapi Citrasoma tidak mengeluarkan suara sedikit
pun. Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk bagi kemarahan gadis itu.
Sungguh suatu tontonan yang tidak sedap. Tapi mendadak saja Antika menghentikan
serangannya, dan jatuh bersujud di tanah. Entah kenapa, gadis itu tiba-tiba
saja menangis, memukul-mukul tanah.
Sementara Citrasoma masih berdiri satu langkah di
depan gadis itu. Hanya sedikit darah yang menetes keluar dari sudut bibirnya,
meskipun seluruh baju yang dikenakan sudah dikotori debu dan keringat. Rakalpa
dan adiknya menghampiri Antika. Mereka membangunkan gadis yang masih menangis
itu. Dipeluk kakaknya dan ditumpahkan air mata di dada Rakalpa. Sedangkan
Citrasoma hanya memandangi saja dengan bibir terkatup rapat.
“Kami tahu kau memiliki ilmu kebal yang sukar
ditandingi, Paman. Tapi janganlah Paman menyakiti hati kami yang sudah terkoyak
ini. Tidak sepatutnya Paman bersikap begitu. Kami lebih baik mati dalam
pertarungan daripada hati kami koyak, kau permalukan begitu rupa,” tegas
Rakalpa dengan suara tertahan.
“Bukan maksudku menyakiti hati kalian. Tapi sungguh
aku tidak kuasa membendung ilmu kebal yang kumiliki. Ilmu itu bekerja sendiri
saat tubuhku menerima pukulan,” jelas Citrasoma.
“Kau memang sengaja ingin mempermainkan kami!”
bentak Antika keras.
“Maaf, Antika. Aku tahu, kalian begitu dendam
sehingga hendak menuntut balas kematian ayah kalian. Aku juga punya perasaan
yang sama. Terlebih lagi, selama bertahun-tahun selalu kena fitnah. Aku dituduh
mengkhianati persahabatan dan dituduh bersekongkol membunuh ayahmu. Memang hal
itu tidak bisa kusangkal, karena tidak ingin hal seperti itu berkepanjangan.
Tapi aku juga tidak bisa tinggal diam begitu saja. Aku mencoba mencari mereka,
tapi yang kudapatkan hanya para kroco yang tidak tahu apa-apa. Akhirnya
kuputuskan untuk menyendiri, mencoba melupakan semuanya. Aku juga mendengar
kalau kalian sudah membunuh begitu banyak orang yang dicurigai tersangkut atas
pembunuhan ayah kalian. Hanya saja sadarilah kalau perbuatan kalian justru
membuat tokoh-tokoh rimba persilatan jadi gelisah, karena tindakan yang tanpa
pandang bulu. Setiap orang yang dicurigai langsung dibunuh. Tidak peduli siapa
sebenarnya dia dan apakah memang benar-benar tersangkut dalam peristiwa itu.
Sayang sekali, aku sudah memutuskan untuk tidak lagi terjun dalam dunia
persilatan yang keras. Dan terpaksa kubiarkan kalian semua bertindak menurut
kepercayaan dan keyakinan kalian sendiri. Aku tidak akan mengusik dan tidak
akan memberikan perlawanan apa-apa jika kalian ternyata memang mencari dan
hendak membunuhku. Silakan.... Aku tidak akan melawan jika itu dapat memuaskan
hati, sehingga kalian berhenti memburu orang-orang yang mungkin tidak
bersalah,” panjang lebar Citrasoma menuturkan seluruh isi hatinya.
Sedangkan Rakalpa dan kedua adiknya hanya diam
saja. Antika sudah tidak menangis lagi. Ketiga bersaudara itu seperti terpaku
mendengar penuturan Citrasoma yang begitu gamblang, satria, dan keluar dari
lubuk hatinya. Bahkan mereka semakin terpaku begitu melihat Citrasoma
melemparkan keris dan pedang yang tergantung di pinggang. Kedua murid laki-laki
setengah baya itu mengambil senjata tadi dan membawanya menyingkir.
“Kenapa kalian diam? Kalian ingin membunuhku,
bukan? Silakan, laksanakan keinginan kalian,” ujar Citrasoma.
Tapi ketiga bersaudara itu hanya diam saja. Bahkan
perlahan-lahan bergerak mundur. Sementara Citrasoma masih tetap berdiri tegak
memandangi. Ketiga bersaudara itu berhenti setelah jaraknya sudah mencapai
sekitar tiga batang tombak.
“Ayo, kita pergi dari sini,” ajak Rakalpa.
“Tapi, Kakang...!” sentak Antika.
“Kita memang salah alamat. Aku yakin Paman
Citrasoma tidak termasuk. Kita sudah terlalu jauh melangkah. Sudahlah, kita
tidak usah mencari gara-gara lagi untuk membalas kematian Ayah,” tegas Rakalpa.
“Mari kita pulang.”
Kedua adiknya saling memandangi. Sebentar kemudian
mereka bertiga sudah berbalik dan menghampiri kuda masing-masing. Tanpa
berbicara satu patah kata pun, mereka menggebah kuda meninggalkan tempat itu.
Sementara Citrasoma masih memandangi, sedangkan kedua muridnya menghampiri dan
menyerahkan senjata gurunya itu. Citrasoma menerima, memasang kembali pada
tempatnya.
“Hhh.... Anak-anak yang malang. Syukurlah mereka
sudah sadar,” desah Citrasoma pelan.
***
LIMA
Rangga melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang
membelah lereng Bukit Growong. Sudah dua hari ini Mintarsih tidak kelihatan
lagi. Seorang gadis penuh misteri, yang kini lenyap dibawa dua orang laki-laki
dari rumah penginapan. Sebenarnya Rangga tidak ingin memikirkan gadis itu. Tapi
kalau mengingat cerita Ki Rampat, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi penasaran
juga. Apalagi sudah dua kali Mintarsih dihadang tiga orang laki-laki. Dan
Rangga menduga kalau mereka tidak sekedar bermaksud buruk, tapi lebih dari itu
yang tidak diketahuinya.
Dan itulah yang membuat Rangga jadi semakin
tertarik, ditambah lagi dengan cerita Ki Rampat. Benak Pendekar Rajawali Sakti
itu terus berputar, mencoba mencari jawaban atas semua pertanyaan yang
berkecamuk menghantuinya. Namun semua tak ada yang terjawab pasti.
Pertanyaan-pertanyaan besar masih saja menguntitnya.
“Itu, dia orangnya, Nini Ayu...!”
Tiba-tiba Rangga dikejutkan suara keras dari arah
samping kanan. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Keningnya langsung berkerut
begitu melihat tiga orang laki-laki yang pernah ditemuinya saat mereka berniat
mengganggu Mintarsih sebanyak dua kali. Dan mereka kini ditemani seorang
perempuan cantik berbaju merah menyala. Wanita itulah yang dilihat Rangga
kemarin.
“Hm..., tampan juga. Tapi sayang, dia mencari
perkara denganku,” gumam wanita cantik itu mendesah.
Rangga hanya diam saja. Dirayapi wanita berbaju
merah yang didampingi tiga laki-laki berwajah kasar. Sama sekali Rangga tidak
mengerti kata-kata gumaman itu, tapi tidak ingin memperpanjang. Dia tidak kenal
wanita itu. Hanya saja, ada satu pikiran terlintas di benaknya. Apakah wanita
ini ada sangkut pautnya dengan Mintarsih?
“Kisanak, di mana kau sembunyikan Mintarsih?” tanya
wanita itu langsung tanpa basa-basi lagi.
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya kembali.
Dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu benar. Wanita
ini mencari Mintarsih. Tapi memang belum bisa ditebak, untuk apa wanita itu
mencari Mintarsih? Rangga merayapi ketiga laki-laki yang berada di belakang
wanita cantik berbaju merah itu. Tak ada senjata yang dibawa. Perhatiannya
kembali tertuju pada wanita cantik itu. Dari pakaiannya yang ringkas, Rangga
sudah bisa menebak kalau wanita itu pasti berkepandaian tinggi.
“Aku tahu kau bersama Mintarsih beberapa hari ini.
Di mana dia sekarang?” tanya wanita itu lagi.
“Nisanak, siapa kau ini? Dan mengapa mencari
Mintarsih?” Rangga balik bertanya.
“Phuah! Jawab saja pertanyaanku, Kisanak!” sentak
wanita itu mendelik.
“Maaf! Aku tidak bisa menjawab sebelum tahu siapa
dirimu dan apa tujuanmu mencari Mintarsih,” tegas nada suara Rangga.
“Sombong!” rungut wanita itu.
“Dia memang keras kepala, Nini Ayu. Hajar saja biar
kapok!” salah seorang laki-laki brewok itu memanasi.
“Benar, Nini. Hajar saja,” sambung yang lain.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil memandangi
mereka. Agak kesal juga Pendekar Rajawali Sakti itu mendengar mereka
memanas-manasi, tapi hal itu masih bisa diredam. Sedangkan wanita cantik
berbaju merah itu sudah menggeser kakinya ke samping, lalu melangkah tiga
tindak ke depan. Sorot matanya begitu tajam menusuk, dan bibirnya terkatup
rapat. Gurat-gurat ketegangan terlihat jelas pada wajahnya.
Rangga tahu kalau wanita ini akan menggunakan
kekerasan, dan dia sudah siap menyambutnya. Pendekar Rajawali Sakti begitu
yakin kalau wanita ini mencari Mintarsih tentu dengan maksud buruk. Apalagi
jika menghubungkan perbuatan ketiga laki-laki kasar itu dengan Mintarsih.
Sepertinya mereka sudah bersekongkol dengan wanita ini.
“Sebenarnya aku tidak ingin berlaku keras padamu,
Kisanak. Tapi rupanya kau menghendaki lain,” dingin sekali nada suara wanita
itu.
“Mungkin bisa dihindari jika kau bersedia
mengatakan untuk apa mencari Mintarsih,” sambut Rangga kalem.
“Itu bukan urusanmu!”
“Mungkin tidak, mungkin juga iya. Karena Mintarsih
sudah minta perlindungan padaku. Dan dia harus kulindungi,” tegas Rangga tetap
tenang.
“Phuih! Anak setan itu rupanya menggunakan
kecantikannya untuk menjeratmu, Kisanak!”
Merah padam wajah Rangga mendengar kata-kata itu.
Meskipun diucapkan datar, tapi sudah menyinggung perasaannya. Mintarsih memang
cantik, tapi tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mengharapkan lebih
dari gadis itu. Rangga memang paling tidak suka dikatakan demikian.
“Kata-katamu sudah keterlaluan, Nisanak...!” desis
Rangga menahan geram.
“Heh! Mana ada laki-laki suci di dunia ini...? Anak
buahku saja menginginkannya. Dan itulah mengapa mereka jadi tolol sepertimu!”
ketus nada suara wanita itu.
“Tutup mulutmu, Nisanak!” bentak Rangga gusar.
“Kau marah, Kisanak? Dan itu berarti kau memang
suka pa....”
“Bedebah...!” gertak Rangga memutuskan ucapan
wanita itu.
Pendekar Rajawali Sakti marah bukan main mendengar
kata-kata yang tidak sedap didengar itu. Walaupun banyak mengenal gadis-gadis,
tapi dia belum pernah menaruh hati pada seorang gadis selain Pandan Wangi. Tak
ada nama lain di hatinya, tak ada gadis lain yang bisa meruntuhkan tembok
benteng hatinya. Dan Rangga paling tidak suka jika ada orang yang mengatakan
kalau hatinya mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis. Darahnya langsung
mendidih, amarahnya terbangun menggolak bagai gunung berapi hendak memuntahkan
lahar panas mendidih.
“Ha ha ha...!” wanita cantik itu malah tertawa
melihat wajah Rangga memerah bagai bara.
“Huh!” Rangga mendengus keras.
Ingin sekali mulut wanita itu ditamparnya. Tapi
tindakan demikian akan meruntuhkan nama besarnya. Daripada menghadapi
manusia-manusia seperti ini, Rangga lebih baik meninggalkannya. Sambil
mendengus keras, Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik dan langsung melangkah
cepat meninggalkan mereka.
“Hei...!” seru wanita cantik itu mencoba mencegah
kepergian Rangga.
Tapi Rangga tidak lagi peduli, dan terus saja
melangkah dengan ayunan kaki cepat. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Dan belum jauh berjalan, mendadak saja
wanita berbaju merah itu mengibaskan tangannya ke depan.
Sebuah benda merah meluncur deras dari telapak
tangan wanita itu, langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Desiran
angin benda itu membuat ayunan langkahnya terhenti seketika. Dan bagai kilat
Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara.
“Hap!”
Wusss!
Benda merah itu melesat lewat di bawah kaki
Pendekar Rajawali Sakti, lalu menancap dalam di sebuah batang pohon yang cukup
besar dan berdaun rimbun. Sungguh luar biasa! Daun-daun pohon itu langsung
kering dan berguguran. Kemudian batang pohon itu juga jadi kering bagai
kekurangan air di musim kemarau. Sesaat kemudian pohon itu roboh menimbulkan
suara gemuruh, membuat bumi bergetar bagai diguncang gempa.
Rangga agak terpana menyaksikan kejadian itu, dan
langsung memutar tubuhnya begitu menjejak tanah. Sedangkan wanita cantik
berbaju merah itu bertolak pinggang sambil mengulas senyum tipis. Ketiga
laki-laki di belakangnya terkekeh-kekeh, bersikap mengejek Pendekar Rajawali
Sakti.
Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
melakukan sesuatu, wanita cantik berbaju merah itu kembali memberikan serangan.
Kedua tangannya bergerak cepat mengibas bergantian ke depan beberapa kali. Seketika
benda-benda merah menyala bagai terbakar, bertebaran ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hup! Hiyaaa...!”
Rangga berlompatan menghindari benda-benda merah
yang memancarkan hawa panas luar biasa itu. Sungguh dahsyat sekali. Apa saja
yang terlanda oleh benda-benda merah berbentuk segitiga itu pasti hancur
berantakan! Ledakan-ledakan keras ter-dengar. Debu, pecahan pohon, dan bebatuan
membumbung tinggi ke angkasa. Rangga berjumpalitan menghindari setiap serangan
yang datang. Tak ada kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghentikan
serangan itu. Jangankan memberi serangan balasan, bahkan menghindari pun sudah
cukup repot.
“Huh! Kalau begini terus, bisa habis semua
tenagaku...!” dengus Rangga dalam hati.
Serangan-serangan yang dilancarkan wanita berbaju
merah itu memang sangat gencar, meskipun mereka tidak secara langsung
bertarung. Rangga cukup sukar untuk mendekati, karena wanita itu selalu
berlompatan mengelilinginya sambil terus melontarkan benda-benda merah
berbentuk segitiga kecil. Belum lagi hawa panas yang menyebar dari benda-benda
itu semakin membuat pengap udara. Hal ini menjadikan napas Rangga terasa sesak,
dan sulit untuk mendesak.
“Aku harus keluar dari pertarungan edan ini!”
dengus Rangga dalam hati.
Dan ketika mengelakkan satu benda yang mengarah ke
kaki, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melentingkan tubuhnya ke udara
sambil menotok benda itu dengan jari telunjuk. Sambil meminjam tenaga lontaran
lawan, Rangga mengayunkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa. Saat itu juga
dikerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’.
“Yeaaah...!”
Sambil merentangkan tangannya lebar-lebar ke
samping, Rangga berputaran di udara, kemudian meluruk deras dan langsung
merubah jurus menjadi ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Sikap tubuh Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung berubah saat semakin mendekati wanita itu. Kakinya
bergerak cepat, lurus ke bawah mengincar kepala lawan. Seketika wanita itu
terkesiap, dan berhenti melontarkan benda-benda segitiga berwarna merah.
“Modar...!” teriak Rangga keras dan tiba-tiba.
“Uts!”
Bergegas wanita muda berbaju merah itu membanting
tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Serangan Rangga luput dari
sasaran. Sedangkan sebongkah batu besar yang terkena jejakan kaki Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan dahsyat
menggelegar. Debu dan pecahan batu mengepul ke udara. Tubuh Rangga berputaran
dua kali, kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu, tiga orang
laki-laki berwajah penuh brewok langsung berlompatan sambil menghunus goloknya.
Mereka berteriak keras, langsung menghujani Rangga dengan bacokan-bacokan golok
yang cukup besar dan berkilat.
“Hait! Hiyaaa...!”
Rangga segera berkelit, meliuk-liukkan tubuhnya
menghindari setiap serangan yang datang dari tiga jurusan. Serangan-serangan
ketiga lawannya itu memang cepat, tapi bagi Rangga masih terasa lambat.
Sehingga....
“Lepas...! Hiyaaa...!” seru Rangga tiba-tiba.
Dengan satu gerakan kilat, Pendekar Rajawali Sakti
itu memutar tubuh sambil mengibaskan tangannya tiga kali. Satu gerakan yang
sukar diikuti pandangan mata biasa. Sehingga....
Plak! Slap! Trak...!
Tiga kali terdengar suara keras, kemudian disusul
pekikan-pekikan keras yang saling susul. Tampak tiga orang laki-laki bertubuh
tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu limbung terhuyung-huyung ke
belakang. Golok-golok mereka berpentalan di udara, dan masing-masing saling
memegangi tangan kanannya.
Memang sungguh luar biasa akibatnya jika
berbenturan tenaga dalam dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tulang pergelangan
tangan mereka patah, sehingga tak dapat digunakan lagi. Mereka meringis
merintih kesakitan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi peduli. Batas
kesabarannya sudah habis dan telah mencapai puncaknya. Dengan satu gerakan
cepat bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih itu melesat sambil mengibaskan
kedua tangannya secara beruntun.
Jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling
sambut. Tampak ketiga laki-laki bertubuh tinggi besar itu terhuyung-huyung
sambil menekap dada. Sukar diikuti pandangan mata biasa, karena gerakan
Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh cepat luar biasa. Tahu-tahu ketiga
laki-laki itu ambruk dan menggelepar di tanah dengan dada terbelah lebar
berlumuran darah. Hanya sebentar mereka mampu menggelepar meregang nyawa,
sesaat kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tewas.
Rangga memutar tubuhnya, tapi menjadi terkejut
bukan main. Ternyata wanita cantik berbaju merah itu sudah tidak ada lagi di
tempat ini. Entah kapan dan ke mana perginya, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
tahu. Dia hanya bisa mengumpat, namun juga bertanya-tanya dalam hati.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan meninggalkan
tempat itu, mendadak terdengar suara langkah kaki kuda yang dipacu cepat ke
arahnya. Rangga mengurungkan niatnya, dan hanya menunggu penunggang kuda itu.
Dalam hati, dihitungnya jumlah penunggang kuda yang semakin jelas terdengar
suaranya.
“Hanya tiga...,” gumam Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengarahkan
pandangannya lurus pada segumpal debu yang mengepul di udara. Jelas sekali
kalau kepulan debu itu semakin dekat ke arahnya. Rangga berdiri tegak menunggu
di tengah-tengah jalan. Sebentar kemudian terlihat tiga ekor kuda dipacu cepat
membelah jalan berdebu.
“Hooop...!” ketiga orang penunggang kuda itu
menghentikan laju kudanya tepat di depan Rangga.
Tiga orang laki-laki. Yang berada paling depan
sudah berusia sekitar enam puluh tahun. Sedangkan dua orang lagi masih muda,
dan mungkin sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga mengamati ketiga
orang itu. Mereka berlompatan dari punggung kudanya masing-masing, langsung
memandang pada tiga sosok mayat yang tergeletak menghalangi jalan.
Dua orang pemuda bergegas menghampiri, dan kontan
terkejut begitu melihat wajah ketiga mayat itu. Mereka saling berpandangan,
kemudian bergegas menghampiri laki-laki setengah baya yang menunggu di depan
kuda-kuda mereka. Entah apa yang dibicarakan, Rangga tidak ingin mendengar.
“Kisanak, apakah kau yang telah membunuh mereka?”
tanya laki-laki setengah baya itu sambil menunjuk tiga sosok mayat.
“Benar. Tapi itu keinginan mereka sendiri,” sahut
Rangga tegas.
“Hm.... Tidak ada seorang pun yang menginginkan
mati terbunuh, Kisanak,” gumam laki-laki setengah baya itu.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu kalau orang
setengah baya itu tidak mempercayai jawabannya. Rangga jadi bertanya-tanya,
siapa mereka itu...? Apakah mereka teman dari tiga mayat ini? Mata Pendekar
Rajawali Sakti itu merayapi dengan seksama tiga orang yang berada di depannya.
“Kisanak, namaku Citrasoma. Dan ini kedua muridku.
Namanya Bantara dan Andira. Aku hanya ingin tahu, mengapa kau membunuh ketiga
orang itu?” laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri dan bertanya
bernada ringan.
“Rasanya jawabanku sudah jelas,” sahut Rangga.
“Apakah kalian teman-teman mereka?”
“Bukan. Tapi kami semua kenal mereka,” sahut
Citrasoma sambil menunjuk mayat-mayat itu.
“Bagus! Kalau begitu, Paman pasti sudah tahu kenapa
aku membunuh mereka,” agak sinis nada suara Rangga.
Rupanya Pendekar Rajawali Sakti itu masih diliputi
kekesalan dan kemarahan di dalam hati, sehingga sedikit melampiaskan pada
ketiga orang yang berada di depannya ini. Sama sekali Rangga tidak mengenal
siapa mereka, meskipun sudah memperkenalkan diri. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
itu tetap waspada, apalagi setelah Citrasoma mengakui kalau mengenal ketiga
laki-laki itu.
“Kisanak, apakah kau dirampok? Atau mungkin
dibegal...?” tanya Citrasoma.
“Tidak,” sahut Rangga tegas.
“Lalu?”
“Mereka menghadang jalanku bersama seorang wanita
yang katanya adalah majikan mereka sendiri. Aku tidak pernah tahu, siapa mereka
dan wanita itu. Tapi mereka telah membuat kemarahanku bangkit, dan tidak pernah
menggunakan kesempatan untuk berubah sikap. Sudah dua kali sikap mereka seperti
itu, dan tetap saja tidak berubah. Bahkan baru saja merampok kedai milik Nyai
Lambat,” jelas Rangga.
“Bisa kumengerti alasanmu, Kisanak. Mereka memang
berandalan dan sering membuat susah penduduk. Tapi yang kutahu, mereka tidak
memiliki seorang majikan pun. Kisanak.., kau tahu siapa wanita yang kau
maksudkan tadi?”
“Aku tidak tahu, tapi dia mencari seorang gadis
yang bernama Mintarsih. Sedangkan aku sendiri juga mencarinya.”
Citrasoma dan kedua muridnya terkejut setengah mati
saat Rangga menyebut nama Mintarsih. Dan tampaknya keterkejutan mereka
diketahui Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Kenapa Paman terkejut?” tanya Rangga.
“Kisanak, kau tadi menyebut seorang gadis bernama
Mintarsih. Apakah kau mengenalnya?” tanya Citrasoma ingin tahu.
“Untuk apa Paman tanyakan itu?” Rangga balik
bertanya.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja,” sahut
Citrasoma seraya melirik Bantara dan Andira.
“Hm.... Rupanya banyak juga yang menghendaki gadis
itu. Ada apa pada diri Mintarsih...?” gumam Rangga di dalam hati.
“Kisanak, sepertinya di antara kita belum pernah
berjumpa sebelumnya. Dan aku tidak tahu siapa dirimu. Tapi, mengapa kau juga
ingin mencari Mintarsih? Apa hubungannya antara kau dengan gadis itu?” tanya
Citrasoma menyelidik.
“Tidak ada hubungan apa-apa. Dia hanya punya hutang
denganku,” jawab Rangga seenaknya.
“Hutang...? Hutang apa, Kisanak?” desak Citrasoma.
“Hanya dia yang tahu. Dan kau, atau siapa saja
tidak boleh mengetahuinya,” tegas Rangga.
Sedangkan Rangga sendiri tidak tahu, hutang apa
yang harus dibayar Mintarsih padanya. Pertanyaan tadi memang hanya dijawab
seenaknya saja. Pendekar Rajawali Sakti itu memang tidak ingin orang lain tahu,
mengapa dia mencari gadis itu. Karena, Rangga memang tidak punya alasan yang
kuat, dan hanya didasari rasa penasaran saja. Masalahnya begitu banyak orang
yang menghendaki Mintarsih. Sedangkan gadis itu belum mengatakan apa-apa sampai
menghilang tak ketahuan rimbanya.
Tapi keisengan dan jawaban seenaknya itu justru
membuat Rangga heran, karena tiba-tiba saja Citrasoma mengegoskan kepalanya
sedikit. Dua orang muridnya seketika berlompatan ke samping kanan dan kiri
Pendekar Rajawali Sakti itu. Segera saja pemuda berbaju rompi putih itu waspada
begitu melihat gelagat yang kurang baik ini. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap
tajam Citrasoma yang berada di depannya.
“Tidak kusangka, ternyata kau adalah orangnya, Anak
Muda,” terasa dingin nada suara Citrasoma.
“Hm...,” Rangga hanya bergumam dan berkerut
keningnya.
“Semula dugaanku pelakunya adalah wanita. Tapi
dugaanku meleset. Ternyata pelakunya adalah anak muda gagah dan tampan. Sayang
sekali, hatimu tidak lebih busuk dari mereka!” Citrasoma menuding mayat-mayat
yang bergelimpangan.
“Heh...?!” Rangga terkejut mendengar kata-kata yang
tidak dimengerti sama sekali itu.
“Aku peringatkan padamu, Anak Muda. Jangan ganggu
Mintarsih lagi. Dia sudah berada di tempat yang aman. Dia tidak bersalah. Kau
sudah menghancurkan hidupnya, membunuh ayah dan ibunya serta
saudara-saudaranya. Dengar, Anak Muda. Jangan ganggu Mintarsih lagi, atau akan
berhadapan denganku!” tegas kata-kata Citrasoma.
Rangga benar-benar terhenyak kali ini. Sama sekali
tidak dimengerti perkataan laki-laki setengah baya yang mengaku bernama
Citrasoma ini. Semula laki-laki setengah baya itu ramah dan sopan, tapi
mendadak saja beringas begitu mendengar nama Mintarsih disebut Pendekar
Rajawali Sakti ini.
“Ini hanya peringatan saja, Anak Muda! Kau boleh
saja membunuh keluarga Mintarsih, tapi belum tentu dapat menandingiku!” ujar
Citrasoma lagi.
Rangga benar-benar terpaku dan sampai ternganga
tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Mulutnya serasa terkunci dan otaknya jadi
beku. Sukar sekali berpikir jernih. Kata-kata Citrasoma begitu tegas dan sangat
menusuk, namun sukar dimengerti. Pendekar Rajawali Sakti itu masih terpaku
bengong saat Citrasoma melompat naik ke punggung kudanya.
Dua pemuda muridnya bergegas melompat naik ke
punggung kudanya masing-masing. Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali,
pertanda memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Terutama Citrasoma. Gerakannya
tak menimbulkan suara sedikit pun. Tanpa menunggu banyak waktu lagi, mereka
menggebah kudanya meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
***
ENAM
Persoalan yang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti
semakin bertambah rumit saja. Dia sudah tidak ingin lagi mem-perpanjang
pencariannya pada Mintarsih, tapi kini malah seperti hewan buruan saja. Ke mana
pun pergi, selalu saja ada yang menghadang. Mereka selalu ingin meminta
Mintarsih. Bahkan Rangga tidak mungkin bisa menghindari kekerasan. Selama tiga
hari ini, siang dan malam Pendekar Rajawali Sakti tak dapat beristirahat
tenang.
Sepertinya setiap jengkal tanah yang dipijak
memiliki mata. Entah sudah berapa kali Pendekar Rajawali Sakti harus berhadapan
dengan orang-orang tidak dikenal yang menginginkan Mintarsih. Bahkan mereka
juga selalu mendesak agar Rangga menunjukkan letak Padepokan Arum. Hal ini
tentu saja membuat pemuda berbaju rompi putih itu jadi kebingungan, tapi juga
penasaran.
“Phuih...! Apa sih sebenarnya yang ada pada
Mintarsih...?” dengus Rangga seraya menyeka keringat di leher.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti itu menyelesaikan
satu pertarungan yang melelahkan. Tidak kurang dari sepuluh orang berkemampuan
cukup tinggi mengeroyoknya. Seperti yang lain-lainnya, mereka juga menghendaki
Mintarsih. Bahkan mendesak Rangga untuk memberitahukan di mana letak Padepokan
Arum. Beberapa kali pula Rangga mengatakan kalau dia tidak tahu, tapi
orang-orang itu terus mendesak. Bahkan menggunakan kekerasan.
Kesabaran Pendekar Rajawali Sakti benar-benar
lenyap. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Memang, bisa saja Rangga
pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi apakah itu akan menyelesaikan semua
persoalan? Tidak! Rangga tidak akan meninggalkan daerah ini sebelum apa yang
membuat dirinya terpontang-panting seperti ini tuntas. Tapi kapan...? Dari mana
harus memulainya...? Pertanyaan ini yang selalu menghantui Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu memandangi mayat-mayat
yang bergelim-pangan di sekitarnya. Sebenarnya hatinya tak tega bila
menjatuhkan tangan, karena tidak mengenal mereka. Tapi itu harus dilakukan demi
keselamatan dirinya. Mereka akan membunuh kalau tidak dibunuh. Sungguh Rangga
tidak menghendaki hal seperti ini terjadi. Tangannya berlumuran darah
orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Bahkan tidak mempunyai persoalan
dengannya.
“Aku harus mencari biang keladi dari semua ini!”
desis Rangga datar. “Ya..., harus! Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi
berjatuhan. Aku tidak ingin jadi pembunuh orang-orang yang tidak berdosa. Aku
bukan pembunuh...!”
Hampir gila rasanya Rangga menghadapi kejadian
seperti ini. Hal itu tidak diinginkan, tapi harus dilakukan. Pendekar Rajawali
Sakti memandangi desa yang tidak berapa jauh dari Lereng Bukit Growong ini.
Desa yang sampai kini tidak diketahui namanya, dan kelihatan tenang. Sepertinya
tidak pernah mendengar dan terpengaruh peristiwa ini.
“Hm..., mungkin harus kumulai dari Ki Rampat.
Tampaknya dia mengetahui tentang diri Mintarsih. Ya..., pemilik penginapan itu
harus kutemui,” desis Rangga berbicara sendiri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurnanya
ilmu yang dimiliki, sehingga seperti terbang saja di atas tanah. Sepasang
kakinya bergerak cepat bagai tidak menapak permukaan tanah.
Begitu cepatnya Rangga berlari, sehingga yang
tampak hanya bayangan putih berkelebat menuruni lereng Bukit Growong. Pendekar
Rajawali Sakti itu terus berlari kencang menuju desa di kaki bukit ini.
***
Dalam waktu yang tidak begitu lama Rangga sudah
tiba di depan rumah penginapan milik Ki Rampat. Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung saja menerobos masuk ke dalam rumah yang cukup besar dan memiliki
lebih dari sepuluh kamar sewaan. Ki Rampat yang sedang duduk di kursi goyang,
sangat terkejut begitu melihat Rangga tiba-tiba muncul seperti hantu saja.
Laki-laki tua itu menggerinjang bangkit berdiri.
“Duduk saja, Ki. Aku hanya sebentar di sini,” kata
Rangga.
Meskipun pemuda berbaju rompi putih itu baru saja
berlari cepat dari lereng Bukit Growong, tapi tak terlihat kalau merasa lelah.
Bahkan setetes keringat pun tidak tampak di wajahnya. Rangga menarik kursi
rotan dan mendekatkannya pada kursi goyang. Ki Rampat sudah duduk kembali di
kursinya.
“Ada apa, Den? Kelihatannya penting sekali,” ujar
Ki Rampat seraya merayapi wajah Rangga.
Pemuda itu memang kelihatan tegang. Mimik wajahnya
begitu sungguh-sungguh, dengan sorot mata tajam menusuk. Ki Rampat jadi jengah
juga dipandangi sedemikian rupa.
“Ki Rampat masih ingat gadis yang kubawa ke sini?”
tanya Rangga datar.
“Mintarsih maksud Raden?” Ki Rampat ingin
menegaskan.
“Benar.”
“Ada apa dengannya, Den?”
“Di mana dia sekarang, Ki?” Rangga balik bertanya.
Namun suaranya dingin, tanpa getaran sama sekali.
“Wah...! Mana aku tahu, Den,” sahut Ki Rampat. “Ki
Rampat tahu, siapa yang membawa Mintarsih pergi?”
“Tidak, Den.”
“Dengar, Ki. Aku akan berkata terus terang padamu,
tapi kuminta kau juga jangan menyembunyikan sesuatu padaku. Ini masalah serius,
Ki. Menyangkut nyawa!” mantap suara Rangga.
Ki Rampat terdiam membisu. Ditatapnya wajah
Pendekar Rajawali Sakti itu dalam-dalam.
“Sejak Mintarsih pergi tanpa diketahui, aku selalu
dikejar-kejar orang-orang yang tidak kukenal sama sekali. Mereka menyangka aku
menyem-bunyikan Mintarsih, dan selalu mendesakku agar menunjukkan letak
Padepokan Arum. Padahal semua itu aku tidak tahu, Ki,” jelas Rangga bernada
sungguh-sungguh.
Ki Rampat masih terdiam. Raut wajahnya kelihatan
menegang. Sorot matanya memancarkan sesuatu yang sukar dilukiskan. Sedangkan
Rangga menatap tajam laki-laki tua pemilik kedai ini.
“Aku ingat kau pernah bilang kenal dengan
Mintarsih, juga keluarganya. Siapa sebenarnya gadis itu, Ki? Kenapa begitu
banyak orang mencari dan menginginkannya?” desak Rangga.
“Yaaah..., aku memang mengetahui keluarga
Mintarsih, tapi tidak seluruh-nya. Terutama kehidupan ibunya. Tak ada yang
tahu, siapa wanita itu dan dari mana asalnya. Ayah Mintarsih membawa wanita itu
sepulang dan pengembaraannya yang panjang...,” Ki Rampat berhenti.
“Teruskan, Ki,” pinta Rangga ingin tahu.
“Ki Jara Botang bisa terpilih jadi kepala desa di
sini, karena ayahnya juga dulu kepala desa di sini. Jadi keluarga mereka memang
sudah turun-temurun menjadi kepala desa. Tapi Ki Jara Botang tidak begitu lama
menjadi kepala desa. Kedudukannya diserahkan pada penghulu, lalu seluruh keluarganya
dibawa pergi. Tidak ada yang tahu, kenapa dan ke mana perginya. Dan sejak itu
tak ada kabar beritanya lagi. Itu sebabnya aku terkejut saat melihat kau datang
ke sini bersama Mintarsih. Wajahnya tidak berubah banyak, meskipun waktu pergi
masih berusia lima belas tahun. Hanya saja sekarang ini dia kelihatan begitu
cantik,” kembali Ki Rampat menghentikan ceritanya.
“Ki, apakah Mintarsih punya saudara?” tanya Rangga.
“Ada. Ki Jara Botang punya adik bernama Citrasoma.
Tapi tidak ada yang tahu, di mana Citrasoma kini berada. Sudah puluhan tahun,
bahkan sebelum Ki Jara Botang datang ke desa ini, Citrasoma sudah tidak pernah
lagi terdengar kabar beritanya.”
“Citrasoma...,” desis Rangga bergumam.
Pendekar Rajawali Sakti itu teringat akan
pertemuannya dengan Citrasoma dan dua orang pemuda yang kelihatan begitu patuh.
Tapi, mengapa Citrasoma menuduh Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih?
Apakah Mintarsih yang mengatakannya? Rangga tidak percaya kalau gadis secantik
Mintarsih bisa melakukan perbuatan keji seperti itu. Pendekar Rajawali Sakti
juga ingat kalau Citrasoma mengatakan Mintarsih sudah berada di tempat aman.
Mungkinkah dua orang pemuda itu yang membawa Mintarsih dari penginapan ini...?
“Ki, apakah dua laki-laki yang membawa Mintarsih
masih muda...?” Rangga kemudian menyebutkan ciri-ciri dua pemuda yang bersama
Citrasoma.
“Wah! Benar itu, Den...!” sentak Ki Rampat. “Memang
yang menjemput Mintarsih masih muda, dan ciri-cirinya pun tepat, Den.”
Rangga bergumam pelan. Kini barulah diketahui kalau
Mintarsih sekarang berada dalam lindungan pamannya. Kalau memang benar
laki-laki itu bernama Citrasoma, adik kandung ayah gadis itu. Tapi kelihatannya
memang benar, karena dia begitu marah saat Rangga menyebut nama Mintarsih dan
mengatakan sedang mencarinya. Laki-laki setengah baya itu langsung menuduh
Rangga membunuh seluruh keluarga Mintarsih, meskipun baru ancaman saja yang
dikeluarkan.
“Dari mana Raden tahu kalau mereka yang membawa
Mintarsih?” tanya Ki Rampat heran.
“Aku sempat bertemu mereka, Ki. Bahkan ada yang
mengaku bernama Citrasoma,” sahut Rangga terus-terang.
“Oh...,” Ki Rampat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi sekarang Mintarsih bersama pamannya...?”
“Dugaanku memang begitu, Ki. Hanya saja....”
“Kenapa, Den?”
“Aku tidak mengerti, mengapa mereka menuduh aku
sebagai pembunuh seluruh keluarga Mintarsih. Padahal....”
“Jagad Dewa Batara...!” desis Ki Rampat terkejut,
sehingga memutuskan ucapan Rangga.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Ternyata semua ini terjadi juga,” desah Ki Rampat
bergumam lirih.
Rangga jadi keheranan begitu melihat raut wajah Ki
Rampat berubah mendung. Dan laki-laki tua itu memandangi bola mata Pendekar
Rajawali Sakti di depannya. Dengan tangan bergetar, Ki Rampat mengambil tangan
Rangga dan menggenggamnya erat-erat. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak
mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara sedikit pun keluar dari bibirnya.
“Raden, dapatkah Raden menolongku...?” pinta Ki
Rampat berharap.
“Apa yang harus kutolong, Ki?” tanya Rangga.
“Tolong hentikan semua partumpahan darah ini. Tidak
ada gunanya mengumbar nafsu. Tolong, Den.... Aku percaya Raden mampu
melakukannya,” ratap Ki Rampat penuh harap.
Rangga benar-benar tidak mengerti sikap Ki Rampat
yang mendadak jadi berubah begini, tepat saat Rangga mengatakan kalau seluruh
keluarga Mintarsih sudah tewas terbunuh. Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati
dan semakin tidak mengerti. Kepalanya berdenyut kencang, pening rasanya...
***
Rangga terbangun dari tidur ketika mendengar suara
percakapan yang samar-samar. Pendekar Rajawali Sakti itu memiringkan kepalanya
ke kanan dan ke kiri, dan menjadi tertegun. Ternyata suara itu datang dari
depan kamarnya, yang berarti adalah kamar Ki Rampat. Perlahan-lahan Pendekar
Rajawali Sakti itu beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah ringan
mendekati pintu. Ditempelkan telinganya di daun pintu.
Dengan mempergunakan ilmu ‘Pembeda Gerak dan
Suara’, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat mendengar jelas pembicaraan di
seberang kamarnya. Dan hatinya terkejut, karena salah satu suara adalah milik
Ki Rampat. Sedangkan satunya lagi suara seorang wanita.
“Aku tidak mengerti, mengapa kau masih juga belum
bisa melupakannya, Rara Anting?” terdengar suara Ki Rampat begitu pelan.
“Hidupku tidak akan tenang sebelum dendamku
terbalas, Ayah,” terdengar sahutan suara wanita.
“Tapi perbuatanmu ini sudah keterlaluan, Rara
Anting. Tidakkah kau sadari kalau semua itu akan membahayakan dirimu sendiri?
Berpikirlah sekali lagi, Anakku. Rasanya belum terlambat untuk menghentikan
semuanya....”
“Tidak! Aku tidak akan berhenti sebelum mereka
semua mampus!” agak keras suara wanita itu.
“Dengar, Rara Anting. Perbuatanmu itu sudah
membahayakan jiwa orang lain. Bahkan telah meluas sampai mengorbankan
orang-orang yang tidak tahu apa-apa.”
“Memang itu yang kuharapkan, Ayah. Aku akan membuat
mereka berpikir seribu kali. Aku akan mengoyak jiwa mereka sebelum akhirnya
akan mengoyak jantung mereka!”
“Anting...!”
“Ayah tidak perlu cemas. Bersikaplah seperti biasa,
pura-pura tidak tahu apa-apa. Semua ini urusanku, Ayah. Aku tidak akan
melibatkanmu, atau sanak keluarga dan kerabat kita. Ini semua menjadi tanggung
jawabku. Dan aku akan mati tersenyum jika mereka semua sudah mampus.”
“Setan sudah merasuk dalam jiwamu, Rara Anting.”
“Aku tidak peduli apakah itu setan atau malaikat.
Tekadku sudah bulat, dan tidak akan tercabut sampai tetes darahku yang
terakhir. Ayah tidak akan bisa menghalangiku, juga siapa saja tidak akan bisa!”
“Oh..., Rara Anting. Kau tidak berbeda dengan
ibumu....”
“Jangan bawa-bawa mendiang ibu dalam urusan ini,
Ayah. Ibu tidak tahu apa-apa, dan sudah tenang di sisi Hyang Widi.”
“Tapi ibumu akan kecewa atas perbuatanmu, Rara
Anting. Bahkan aku juga kecewa.... Kecewa sekali....”
“Tapi ingat, Ayah. Semua yang kulakukan adalah
untuk mengembalikan derajat dan martabat seluruh keluarga. Aku tidak rela
keluargaku terinjak-injak, terhina, dan terbuang bagai sampah kotor
menjijikkan!”
“Tidak ada yang melakukan itu padaku, Rara Anting.
Tidak ada....”
“Mungkin sungkan pada Ayah! Tapi apakah mereka
memandangmu saat...,” suara wanita itu terputus.
“Sudahlah, Rara Anting. Jangan kau ungkit-ungkit
lagi masa lalu. Aku ingin kau menghentikan semua ini. Sebelum terlambat, Rara
Anting.”
“Tidak, Ayah! Martabat, kehormatan, dan harga diri
kita sudah tercabik. Dan aku tidak akan diam begitu saja. Aku akan membalas,
apa pun yang akan terjadi pada diriku. Percayalah, Ayah. Semua yang kulakukan
karena aku mencintaimu, mencintai seluruh keluarga kita.”
Tidak lagi terdengar suara Ki Rampat. Juga tidak
lagi terdengar suara wanita itu. Sementara Rangga terus mengerahkan ilmu
‘Pembeda Gerak dan Suara’. Pendekar Rajawali Sakti itu masih berada dekat
dengan pintu kamar yang disewanya ini. Pembicaraan tadi sungguh menarik
perhatiannya. Sungguh tidak diketahuinya kalau Ki Rampat mempunyai seorang anak
yang memiliki suara merdu, tapi juga amat tegas kedengarannya.
Lama juga Rangga menunggu, tapi tidak kunjung
terdengar percakapan itu lagi. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai jenuh. Tapi
begitu ajiannya akan ditarik, mendadak terdengar suara langkah kaki, disusul
terdengarnya daun pintu berderit terbuka. Tak lama kemudian terdengar suara
daun pintu tertutup. Kembali terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Rangga terus mendengarkan sampai suara langkah kaki itu hilang dari
pendengaran.
***
Pagi-pagi sekali Rangga sudah keluar dari kamar
penginapannya. Pada saat hendak menutup pintu, Ki Rampat keluar dari kamarnya
sendiri yang berada tepat di depan kamar Pendekar Rajawali Sakti itu. Ki Rampat
tampak terkejut, tapi buru-buru tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit.
Rangga membalas dengan anggukan kepalanya juga.
“Akan pergi, Ki?” tegur Rangga melihat Ki Rampat
kelihatan begitu rapi.
“Akan mengunjungi kerabat,” sahut Ki Rampat.
“Pagi-pagi begini...?”
“Rumahnya cukup jauh, agar tidak kesiangan. Aku
harus pagi-pagi sekali agar pulangnya tidak kemalaman di jalan. Aku tidak
menginap, kok.”
Rangga mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat melihat kedua mata Ki Rampat memerah seperti
tidak tidur semalaman. Sedangkan Ki Rampat sudah melangkah meninggalkannya.
Sejenak Rangga memperhatikan punggung laki-laki tua itu, kemudian juga berjalan
ke luar.
Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan
menyusuri lorong yang tidak begitu panjang, yang di kanan kirinya terdapat
pintu-pintu kamar sewaan yang tertutup rapat. Keluar dari lorong itu, Rangga
langsung masuk ke bagian ruangan yang cukup besar dengan perabotan cukup indah
tertata apik. Pemuda berbaju rompi putih itu terus saja berjalan melintasi
ruangan depan ini menuju pintu keluar.
Rangga sempat melihat Ki Rampat memacu cepat
kudanya keluar dari halaman rumah ini. Saat ini memang masih terlalu pagi, dan
matahari baru saja menampakkan cahayanya yang memerah jingga di ufuk timur.
Belum ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Kabut tebal menyebarkan udara
dingin membuat seluruh penduduk desa ini masih suka berada di pembaringan.
Rangga terus berjalan melintasi halaman yang tidak
begitu luas ini. Embun masih membasahi tanah berumput, terasa dingin menusuk
kulit kaki. Namun Pendekar Rajawali Sakti itu terus saja berjalan, menuju arah
yang sama dengan arah kepergian Ki Rampat. Tapi belum juga jauh meninggalkan
rumah penginapan Ki Rampat, mendadak saja matanya melihat sebuah bayangan merah
berkelebat cepat bagaikan kilat. Bayangan merah itu bergerak menuju arah yang
sama dengan kepergian Ki Rampat.
“Hm...,” Rangga menggumam pelan.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali
Sakti itu segera melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar bayangan
merah itu. Dalam keadaan berkabut tebal begini, memang sukar bagi Rangga untuk
bisa melihat jauh. Namun karena mempergunakan aji ‘Tatar Netra’, Pendekar
Rajawali Sakti itu mampu mengikuti gerakan bayangan merah yang berkelebat cepat
menyelinap di antara pepohonan. Bahkan Ki Rampat masih bisa terlihat walaupun
laki-laki tua itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
“Hm..., tampaknya dia mengikuti Ki Rampat,” gumam
Rangga dalam hati.
Rangga semakin yakin kalau bayangan merah itu terus
mengikuti ke mana Ki Rampat pergi. Memang tampaknya bayangan itu menjaga jarak
agar Ki Rampat tidak mengetahui. Dan Rangga sendiri juga menjaga jarak dari
bayangan merah itu. Tapi, mendadak saja bayangan merah itu berhenti bergerak,
dan tiba-tiba pula berbalik.
Wuk!
“Heh...!”
Rangga terkejut bukan main, begitu tiba-tiba sosok
tubuh berbaju merah itu mengebutkan tangannya. Seketika secercah sinar merah
meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Begitu cepatnya sehingga
Rangga sampai terpe-rangah. Namun bergegas dilentingkan tubuhnya berputar
menghindari terjangan sinar merah itu.
Dan saat kakinya menjejak tanah, Rangga jadi
tertegun karena orang yang dibuntuti sudah lenyap. Demikian pula Ki Rampat yang
juga sudah tidak terlihat lagi. Kabut demikian tebal. Hal ini menyulitkan
Rangga untuk melihat lebih jauh lagi, meskipun mengerahkan aji ‘Tatar Netra’.
Pendekar Rajawali Sakti itu berpaling, dan bukan main terperanjatnya begitu
melihat pohon di belakangnya hancur bagai terbakar. Pada batangnya terlihat
sebuah benda kecil berbentuk segitiga berwarna merah tertanam agak menyembul ke
luar.
“Ki Rampat...!” sentak Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu jadi mencemaskan
keselamatan Ki Rampat. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Sungguh luar biasa! Hanya bayangan
putih saja yang terlihat dan sulit ditangkap oleh pandangan mata biasa.
TUJUH
Dalam waktu sebentar saja Rangga sudah kembali
melihat bayangan merah itu yang masih terus membuntuti Ki Rampat. Pendekar
Rajawali Sakti itu juga agak heran karena Ki Rampat justru memutari kaki Bukit
Growong. Padahal di sekitar kaki bukit ini tidak ada desa lain. Bahkan sebuah
rumah pun tidak ada.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti itu bisa
berpikir lebih jauh lagi, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking.
Pendekar Rajawali Sakti itu sempat terkejut. Namun belum juga hilang keterkejutannya,
mendadak saja dia dihujani ratusan anak panah dari segala penjuru.
“Hiyaaa..!”
Terpaksa Rangga berjumpalitan di udara menghindari
serbuan anak panah itu. Luar biasa! Tak ada sebatang anak panah pun yang bisa
menjamah kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan Rangga memang luar biasa
cepatnya. Berjumpalitan di udara tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Mendadak hujan anak panah itu berhenti, tapi sesaat
kemudian terdengar teriakan-teriakan keras membahana. Sebentar kemudian
bermunculanlah orang-orang bersenjata berbagai macam. Mereka langsung menyerang
Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak keras.
“Tahan...!” seru Rangga keras menggelegar.
Tapi seruan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
didengar sama sekali. Puluhan orang bersenjata itu terus merangsek melancarkan
serangan gencar. Rangga tak punya pilihan lain lagi. Begitu menjejakkan kakinya
di tanah, langsung direntangkan tangannya ke samping. Maka seketika itu juga
dihentakkan tangannya ke depan, lalu ditarik ke depan dada dengan telapak
tangan tertutup merapat.
“Aji ‘Bayu Bajra’...! Hiyaaa...!” teriak Rangga
keras.
Begitu suara Pendekar Rajawali Sakti itu lenyap,
seketika terdengar suara angin menggemuruh. Lalu entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saja di sekitar tempat itu terjadi badai topan amat dahsyat.
Orang-orang yang mengeroyok Rangga langsung menjerit-jerit, dengan tubuh
berpelantingan. Mereka terhempas tak mampu menahan hembusan angin yang begitu
kuat.
Orang-orang itu berhamburan, beterbangan bagai
daun-daun kering berguguran. Jerit dan pekik melengking kesakitan terdengar
meningkahi deru angin dahsyat. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak
sambil merentangkan kaki lebar-lebar dan tangan menyatu di depan dada.
“Hiyaaa...! Hap!”
Mendadak Rangga menghentakkan tangannya ke samping.
Seketika itu juga badai berhenti. Sekitar tempat itu jadi porak-poranda bagai
baru saja diamuk ratusan babi hutan. Tubuh-tubuh bergelimpangan tertindih batu
dan pepohonan tumbang. Suasana jadi sunyi sepi. Rangga mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, dan matanya kemudian tertumbuk pada sosok tubuh berjubah hitam
agak bungkuk yang berdiri di atas sebatang pohon tumbang.
Sosok tubuh berjubah hitam itu seorang perempuan
tua keriput, dan rambutnya sudah memutih semua. Tangannya menggenggam sebatang
tongkat berwarna merah yang bagian atasnya berbentuk segitiga berujung runcing.
Rangga menggeser kakinya ke samping saat perem-puan tua berjubah hitam itu
melompat turun dari pohon yang tumbang. Dia melangkah beberapa tindak, lalu
berhenti setelah jaraknya sekitar lima langkah lagi di depan Rangga.
“Hebat...! Ternyata kau memiliki kepandaian yang
tinggi juga, bocah!” kering dan datar suara wanita tua itu.
“Nisanak, siapa kau? Kenapa menghadang
perjalananku?” tanya Rangga tegas.
“Hik hik hik..., orang-orang biasa memanggilku Dewi
Maut. Kedatanganku ke sini karena permintaan muridku yang merasa terganggu
dengan adanya kau di sini, bocah,” sahut perempuan tua itu yang memperkenalkan
dirinya sebagai Dewi Maut.
“Aku tidak kenal siapa muridmu, dan juga tidak
kenal denganmu, Dewi Maut,” ujar Rangga dingin.
“Aku tidak peduli kau kenal atau tidak! Tapi adanya
kau di sini telah membuat muridku jadi tidak tenang. Dan kau telah merusak
hampir semua rencananya!” agak keras suara Dewi Maut.
“Aku semakin tidak bisa memahami kata-katamu, Dewi
Maut,” desis Rangga agak bergumam.
“Aku tidak peduli! Aku hanya minta, tinggalkan
daerah ini, dan jangan kembali lagi! Mengerti?!”
“Aneh...?! Kenapa aku harus pergi? Aku bebas ke
mana saja aku suka. Dan aku akan pergi dari sini juga sesuka hatiku. Kau tidak
perlu memerintahku, Dewi Maut,” dingin sambutan Rangga.
“Beludak! Aku peringatkan sekali lagi padamu,
bocah! Pergi dengan selamat, atau hanya nyawamu yang pergi!” ancam Dewi Maut.
“Kau sudah main ancaman segala, Dewi Maut.”
“Aku tidak main-main, bocah!”
“Aku juga tidak main-main. Aku akan pergi kapan
saja aku suka. Tapi saat ini aku belum akan pergi!”
“Monyet..! Rupanya kau memilih mampus!” geram Dewi
maut.
“Hidup dan matiku bukan kau yang menentukan. Dan
aku tidak akan bisa mati olehmu!” dingin suara Rangga.
“Setan...! Hiyaaa...!”
Dewi Maut tidak bisa menahan amarahnya lagi
mendapat tantangan terbuka seperti itu. Dengan satu gerakan cepat luar biasa,
dia melompat menerjang sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali. Rangga
bergegas melompat ke belakang, lalu meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap
tebasan tongkat berwarna merah itu.
Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi.
Serangan-serangan Dewi Maut sungguh luar biasa dan sangat berbahaya. Hanya
sebentar saja Rangga menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, karena Dewi Maut
seperti mengetahui jurusnya. Hal ini membuat Rangga cepat-cepat merubah
jurusnya.
Semula Rangga ingin mengukur dulu, sampai di mana
tingkat kepandaian Dewi Maut. Tapi belum juga maksudnya terlaksana, Dewi Maut
sudah menghujaninya dengan serangan berbahaya dari jurus-jurus tingkat tinggi.
Hal ini membuat Rangga kewalahan. Sehingga....
“Hiyaaa...!”
Des!
“Akh...!”
Satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi tak dapat
dihindari lagi. Pendekar Rajawali Sakti terpekik keras, dan tubuhnya terlontar
ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak terkena pukulan Dewi Maut. Pendekar
Rajawali Sakti jatuh bergulingan di tanah. Dan belum sempat berdiri, Dewi Maut
sudah melompat menerjang sambil memukulkan kepala tongkatnya ke arah tubuh
pemuda itu.
Terpaksa Rangga bergulingan menghina-dari hantaman
tongkat yang bertubi-tubi itu. Setiap tongkat itu menghantam tanah, maka tanah
itu bergetar dan berlubang cukup besar. Sambil menahan rasa sakit dan sesak
pada dadanya, Rangga bergegas melompat bangkit berdiri begitu berhasil
mengelakkan satu pukulan tongkat berbentuk segitiga pada ujungnya itu.
“Hih!”
Rangga segera mengempos hawa murni untuk mengusir
rasa sakit dan sesak pada dadanya. Untung saja Dewi Maut hanya mengerahkan
tenaga dalam saja pada pukulannya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti hanya
merasakan nyeri dan sesak pada dadanya. Tapi hanya dengan menyalurkan hawa
murni, semua itu bisa cepat dihilangkan. Dan Rangga kembali bersiap menerima
serangan berikut dan kali ini tidak ingin main-main lagi.
Kini Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi
serangan berikut. Tapi Dewi Maut hanya berdiri tenang saja sambil terkikik.
Diputar-putar tongkatnya sampai menimbulkan suara angin menderu. Belum juga
Rangga sempat berpikir, mendadak saja terdengar siulan nyaring melengking
tinggi. Irama siulan itu sungguh aneh dan menyakitkan telinga.
“Hih hik hik..., ternyata nyawamu masih terlindungi,
bocah,” kata Dewi Maut diiringi tawa terkikiknya.
Rangga jadi tertegun.
“Tapi ini bukan berarti persoalan di antara kita
sudah selesai,” sambung Dewi Maut.
Setelah berkata demikian, Dewi Maut langsung
melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
dari pandangan. Rangga tersentak kaget, tapi tidak punya kesempatan lagi untuk
mengejar. Bayangan wanita tua itu sudah tidak terlihat lagi. “Phuih! Edan...!
Kenapa di sini begitu banyak orang tak waras...?!” dengus Rangga sengit.
Rangga semakin sengit karena buruannya sudah tidak
ketahuan lagi. Sambil bersungut-sungut kesal Pendekar Rajawali Sakti itu
melangkah pergi. Kakinya menyepak tubuh yang menghalangi jalannya. Sosok tubuh
tanpa nyawa itu terpental jauh menghantam pohon. Rangga terus berjalan dengan
hati diliputi kekesalan.
Rangga tidak tahu lagi, arah mana yang harus
dituju. Tak ada jalan di sini. Sekelilingnya hanya hutan. Namun kekesalan hati
Pendekar Rajawali Sakti itu terobati ketika melihat jejak-jejak tapak kaki kuda
tertera jelas di tanah. Bergegas dia berjalan cepat mengikuti jejak-jejak kaki
kuda. Jelas sekali terlihat kalau jejak itu masih baru, dan Rangga yakin kalau
itu jejak kaki kuda Ki Rampat.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, sehingga bisa bergerak cepat mengikuti jejak yang tertera
jelas di atas permukaan tanah. Terlebih lagi matahari sudah bersinar penuh, dan
kabut pun tak lagi menghalangi pandangan mata. Tapi mendadak Rangga tersentak.
Matanya membeliak lebar dengan mulut ternganga.
“Ki Rampat..!” seru Rangga terkejut.
Tampak Ki Rampat terbujur bersimbah darah, dan
sebagian tubuhnya berada di dalam semak. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu
menghampiri dan mengeluarkan laki-laki tua itu dari dalam semak. Seberkas
cahaya harapan memancar di mata, Rangga begitu mengetahui Ki Rampat masih
bernapas.
“Ki..., Ki Rampat,” panggil Rangga pelan.
“Ohhh...,” Ki Rampat merintih lirih. Perlahan mata
laki-laki tua itu terbuka. “Raden...,” lemah sekali suara Ki Rampat.
“Iya, ini aku. Kenapa jadi begini, Ki? Siapa yang
melakukan semua ini?” tanya Rangga.
“Raden..., tolonglah aku. Hentikan pertumpahan
darah ini. Tolong Raden...,” semakin lemah suara Ki Rampat.
“Aku akan membantumu, Ki. Tapi katakan, siapa yang
melakukan semua ini?”
“Aku orang tua yang gagal, Raden. Aku gagal....
Seluruh hidupku tidak luput dari gelimang dosa. Aku tidak mengharapkan semua
ini terjadi, tidak kuasa mencegah. Aku hanya orang tua yang gagal...,”
tersendat suara Ki Rampat.
“Tenang, Ki...,” ujar Rangga.
“Memang sudah kuduga semua ini bakal terjadi. Tapi
aku sudah berusaha mencegah.... Oh Dewata Yang Agung, begitu besar dosa yang
kuperbuat sehingga kau hukum aku dengan siksaan begini berat..,” rintih Ki
Rampat. Air matanya menitik keluar.
Rangga tak bisa berkata apa-apa lagi, dan memang
tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya mendengarkan saja, meskipun suara Ki
Rampat sudah terbata-bata dan begitu lemah.
“Seandainya aku punya anak sepertimu, tentu hidupku
akan bahagia sekali, Den. Tapi rupanya Hyang Widi menghendaki lain. Meskipun
dia wanita, tapi hatinya sekeras batu. Aku tidak tahu, setan mana yang
membuatnya jadi buta....”
“Ki....”
“Aku menyayanginya, Den. Aku mencintainya. Tapi
balasan yang kuperoleh... Oh! Tidak.... Sungguh memalukan, Den. Dia bukan lagi
manusia, tapi iblis yang tidak bisa lagi membedakan dan lupa dari mana
asalnya.”
Rangga diam saja, dan langsung teringat akan
pembicaraan yang didengarnya semalam.
“Ki, apakah anakmu yang melakukan semua ini?” tanya
Rangga, agak tertahan suaranya.
“Aku mencintainya, Den. Tolong sadarkan dia. Tolong
bawa dia kembali ke jalan yang benar. Singkirkan iblis yang bersemayam di
hatinya. Tolong, Den...,” rintih Ki Rampat lemah.
“Aku akan berusaha, Ki,” sahut Rangga pelan.
“Terima kasih, Den. Aku senang mendengarnya.”
Ki Rampat tersenyum. Tapi senyum itu langsung
memudar, dan matanya terpejam. Kepala laki-laki tua itu terkulai. Rangga
meletakkan tubuh Ki Rampat yang sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar dipandangi
jasad laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri.
“Hhh.... Aku tidak yakin apakah aku mampu...?
Sedangkan dia sudah begitu tega membunuh ayahnya sendiri,” desah Rangga dalam
hati.
***
Rangga baru saja selesai menguburkan jasad Ki
Rampat ketika mendengar jeritan melengking tinggi, disusul teriakan-teriakan
keras disertai denting senjata beradu. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti itu
mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara itu. Jelas sekali suara-suara itu
terdengar, dan sepertinya tidak jauh dari tempat ini.
Rangga tertegun memandangi gundukan batu-batu besar
yang menyembul keluar dari puncak pepohonan. Suara-suara pertarungan itu
berasal dari sana. Sedangkan Rangga tahu kalau itu merupakan bukit batu kecil
yang berada di lereng Bukit Growong ini. Maka pemuda berbaju rompi putih itu
tidak mau berpikir panjang lagi, lalu bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh menuju arah suara pertarungan itu.
Jarak dari tempat Rangga menguburkan Ki Rampat
dengan gundukan batu itu memang tidak seberapa jauh lagi. Sehingga dalam waktu
sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di sana. Suara pertempuran
itu memang jelas terdengar, dan berasal dari tempat ini. Tapi....
“Edan...!” dengus Rangga sambil memandangi gundukan
batu yang menjulang cukup tinggi itu.
Jelas sekali kalau suara pertarungan itu berasal
dari situ. Dan Rangga hampir saja tidak percaya kalau tidak melihat percikan
bunga api membumbung tinggi ke angkasa. Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar
Rajawali Sakti segera naik ke puncak batu itu. Hanya dua kali lompatan saja,
Rangga sudah mencapai puncak batu. Dan kembali hatinya tertegun. Ternyata batu
ini bukan hanya sebuah bukit kecil di lereng Bukit Growong, tapi merupakan
tempat yang sangat tersembunyi.
Tumpukan-tumpukan batu ini membentuk lingkaran
bagai sebuah cincin raksasa. Dan di dalam lingkaran batu itu, terlihat sebuah
pertarungan dahsyat. Sudah tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan tak
bernyawa. Angin yang berhembus menyebarkan bau anyir darah. Rangga pasti tidak
akan bisa mengetahui siapa yang sedang bertarung itu, kalau saja tidak melihat
Citrasoma. Di situ ada pula perempuan tua yang tadi bertarung dengannya.
Perempuan tua berjubah hitam yang mengaku sebagai Dewi Maut.
Kini Rangga tahu, ada dua kelompok yang bertarung.
Dan perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat pada seorang gadis muda
berwajah cukup cantik mengenakan baju merah menyala. Dia bertarung bagai singa
betina mengamuk karena kehilangan anaknya. Dengan sebatang tongkat pendek yang
ujung-ujungnya berbentuk segitiga, gadis itu seperti malaikat maut pencabut
nyawa.
“Mintarsih...,” desis Rangga ketika mengalihkan
perhatiannya ke arah lain.
Tampak di balik sebatang pohon, Mintarsih
berlindung memperhatikan jalannya pertempuran. Wajah gadis itu kelihatan
ketakutan dan tubuhnya bergemetar. Rangga segera melentingkan tubuhnya, meluruk
turun ke bawah. Langsung didaratkan kakinya tepat dibelakang Mintarsih.
“Oh...!” Mintarsih terkejut.
Tapi begitu melihat Rangga yang muncul, gadis itu
menarik napas panjang. Langsung gadis itu menghambur memeluk Pendekar Rajawali
Sakti. Tentu saja pemuda berbaju rompi putih itu jadi kelabakan. Buru-buru
dilepaskan pelukan Mintarsih. Sementara itu pertarungan terus berlangsung
sengit.
“Tolong, Kakang. Mereka hendak menghancurkan
Padepokan Paman,” rintih Mintarsih berharap.
“Siapa mereka?” tanya Rangga.
“Mereka yang selalu mengejar-ngejarku, Kakang.
Mereka ingin menuntut balas, terutama Rara Anting. Mereka sangat kejam,
Kakang,” agak terbata suara Mintarsih.
Rangga memandangi dalam-dalam gadis itu. Pendekar
Rajawali Sakti memang pernah mendengar nama Rara Anting. Ya..., dia ingat! Rara
Anting adalah putri Ki Rampat. Hal itu diketahuinya ketika mendengar percakapan
Ki Rampat dengan Rara Anting semalam.
“Tarsih, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Rangga
meminta penjelasan.
“Nanti kujelaskan, Kakang. Sekarang tolonglah bantu
Paman mengusir mereka,” sahut Mintarsih sambil berharap. “Aku tidak tahu, mana
kelompok pamanmu, dan mana musuh-musuhnya.”
“Pokoknya yang memakai baju biru, itulah
murid-murid Paman. Sedangkan yang lainnya bukan,” Mintarsih memberitahu.
Rangga mengalihkan perhatiannya pada pertarungan
itu. Dan memang, tampaknya orang-orang yang mengenakan baju biru sudah
terdesak. Terlebih lagi Citrasoma yang sudah kewalahan menghadapi Dewi Maut.
Hanya saja Rangga masih ragu-ragu, harus memihak kelompok yang mana.
Namun melihat orang-orang Padepokan Arum semakin
terdesak, Pendekar Rajawali Sakti akhirnya memutuskan untuk segera melompat
masuk ke dalam kancah perta-rungan itu. Kehadiran Pendekar Rajawali Sakti
rupanya membuat kedua kelompok itu terkejut, karena mereka tidak ada yang
mengenal. Hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya.
Tapi karena Rangga menghajar orang-orang yang tidak
mengenakan baju biru, maka kehadiran Pendekar Rajawali Sakti itu disambut gegap
gempita oleh mereka yang mengenakan baju biru. Terlebih lagi dalam waktu
sebentar saja, Rangga sudah menjatuhkan lebih dari sepuluh orang.
Namun kemunculan Rangga rupanya mendapat perhatian
dari Dewi Maut juga. Dan perempuan tua itu jadi geram bukan main. Sedangkan
Citrasoma keheranan, karena Rangga berpihak padanya dengan menggempur
orang-orangnya Dewi Maut. Meskipun diliputi perasaan heran dan tanda tanya,
tapi melihat Rangga terus menjatuhkan musuh-musuhnya, Citrasoma bangkit kembali
semangatnya.
Dalam waktu sebentar saja, keadaan jadi terbalik.
Kini anak buah Dewi Maut terus terdesak. Dan mereka semakin terdesak hebat
karena jumlahnya yang semakin berkurang saja. Tak ada yang sanggup membendung
amukan Rangga. Mereka yang berani mendekat, tidak berumur panjang.
Jeritan-jeritan melengking tinggi dan menyayat kini lebih sering terdengar. Dan
tubuh-tubuh terus berja-tuhan berlumuran darah.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ganggala melompat
menghampiri Mintarsih. Putra Citrasoma itu keluar dari arena pertarungan, dan
langsung menyeret Mintarsih menjauh. Gadis itu menurut saja.
“Siapa laki-laki itu, Kak Tarsih?” tanya Ganggala.
Rupanya pemuda itu sempat juga melihat Rangga
berbicara dengan Mintarsih sebelum terjun ke dalam pertempuran.
“Namanya Rangga. Dialah yang telah menolongku
selama ini,” sahut Mintarsih.
“Hm...,” Ganggala bergumam.
Tatapan mata pemuda itu sangat dalam, dan penuh
arti yang sukar dilukiskan. Tatapan mata itu langsung menusuk ke dalam bola
mata Mintarsih. Tapi yang ditatap malah terus memperhatikan Rangga yang sedang
bertarung.
DELAPAN
Keadaan Dewi Maut dan orang-orangnya semakin tidak
menguntungkan. Jumlah mereka semakin berkurang banyak. Bahkan tidak sedikit
yang sudah kabur melarikan diri. Dan keadaan semakin memburuk lagi, saat Rangga
sudah mengalihkan perhatian-nya pada Dewi Maut. Memang para pengikut perempuan
tua itu sudah tidak berarti lagi baginya.
“Hup! Hiyaaa...!”
Dengan sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti
menghadang Dewi Maut yang mencoba menyingkir mendekati pintu gerbang Padepokan
Arum ini. Dewi Maut menggeram marah, lalu melintangkan tongkatnya di depan
dada. Sedangkan Citrasoma bergerak menghampiri Rangga.
“Kita bertemu lagi, Dewi Maut,” ujar Rangga dingin.
“Phuih!” Dewi Maut hanya menyemburkan ludahnya
saja.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja, Dewi Maut” tegas
Rangga lagi lebih dingin suaranya.
“Bocah kurang ajar! Terimalah seranganku ini...!
Hiyaaa...!”
Dewi Maut rupanya tidak punya pilihan lain lagi,
dan langsung saja menyerang Rangga yang memang sudah siap sejak tadi. Perempuan
tua itu langsung mengerahkan jurus-jurus dahsyat dan berbahaya sekali.
Sedangkan Citrasoma bergerak menyingkir, mendekati istri dan anaknya yang sudah
berada mendampingi Mintarsih.
Mereka kini hanya jadi penonton saja. Sedangkan
murid-murid Padepokan Arum sudah berhasil menghancurkan kekuatan para
penyerangnya. Kini pertarungan tinggal antara Rangga melawan Dewi Maut. Tak ada
yang memperhatikan kalau Rara Anting diam-diam sudah meninggalkan tempat ini.
Tapi itu tidak semua. Ternyata Ganggala justru selalu memperhatikan gadis
berbaju merah itu. Dan begitu Rara Anting melesat keluar, Ganggala segera melompat
mengejar. Tak ada seorang pun yang mengetahui, karena perhatian mereka
tertumpah pada pertarungan antara Rangga melawan Dewi Maut. Suatu pertarungan
tingkat tinggi yang sangat dahsyat.
Tampak jelas sekali kalau Dewi Maut begitu bernafsu
ingin cepat-cepat menyu-dahi pertarungannya ini. Tapi rupanya lawan yang
dihadapi sekarang bukanlah lawan enteng. Meskipun masih muda, tapi memiliki
kepandaian yang sangat tinggi dan sukar diukur tingkatannya. Sedangkan Rangga
bertarung dengan sikap tenang dan penuh perhitungan.
Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada
tanda-tanda pertarungan akan berakhir. Mereka masih sama-sama tangguh. Serangan
datang silih berganti tanpa henti. Semakin lama pertarungan semakin berjalan
cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan berkelebat saling sambar dan
menghindar. Hanya mereka yang memiliki kepandaian tinggi saja masih bisa
mengikuti jalannya pertarungan itu.
“Lepas..!” tiba-tiba Rangga berteriak keras.
Dan seketika itu juga diegoskan tubuhnya ke kiri
sambil melontarkan satu tendangan menyamping. Dewi Maut segera menggeser
kakinya menghindari tendangan itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja
tangan kiri Rangga mengibas cepat menghajar pergelangan tangan kanan perempuan
tua itu.
Plak!
“Akh!” Dewi Maut terpekik kaget
Tapi belum hilang keterkejutannya, Rangga sudah
menghantamkan satu pukulan telak ke arah dada, disusul satu tendangan bertenaga
dalam tinggi menghajar tangan kanan perempuan tua itu. Kembali Dewi Maut
terpekik keras dan tubuhnya terjajar ke belakang.
Perempuan tua itu mengumpat, karena tongkatnya
terlepas dari tangan. Namun belum juga habis mengumpat, Rangga sudah kembali
melompat menerjangnya secara cepat. Dewi Maut berusaha menghindar, tapi....
“Hiyaaa...!”
Des!
“Aaakh...!” untuk kesekian kalinya Dewi Maut
menjerit keras.
Sukar diikuti pandangan mata biasa, tiba-tiba satu
pukulan bertenaga dalam sempurna kembali mendarat di dada wanita tua berjubah
hitam itu. Akibatnya tubuh Dewi Maut terpental jauh ke belakang. Dan pada saat
itu, Rangga melompat cepat bagaikan kilat dengan kedua tangan mengembang lebar.
Wuk! Wut..!
Dua kali tangan Pendekar Rajawali Sakti itu
mengibas, dan tepat menghantam bagian dada dan kepala Dewi Maut. Tak terdengar
suara lagi dari mulut wanita tua itu. Tubuhnya langsung membentur batu hingga
bergetar seluruh batu yang melingkari tempat ini. Sementara Rangga sudah
berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada.
Tubuh Dewi Maut melorot turun. Dari dada dan
kepalanya mengucurkan darah segar. Sungguh dahsyat serangan jurus ‘Sayap
Rajawali Membelah Mega’. Tangan-tangan Rangga bagaikan sebilah pedang yang
sangat tajam. Apalagi tubuh manusia, sebongkah batu yang sangat keras sekalipun
akan hancur! Dan ini dialami Dewi Maut yang tewas seketika itu juga.
Rangga menarik napas panjang, lalu memutar tubuhnya
saat mendengar suara-suara langkah kaki menghampiri. Tampak Citrasoma, Dewi
Wulan, Mintarsih, dan seluruh murid Padepokan Arum menghampiri Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Rangga tidak bisa menolak ketika Citrasoma
memintanya masuk ke dalam rumah. Dan mereka kemudian duduk di bagian depan
rumah yang besar dan cukup indah ini. Hanya ada Citrasoma, istrinya, Mintarsih,
Bantara dan Andira di situ. Sedangkan murid-murid Padepokan Arum yang masih
hidup langsung sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Anak Muda, apakah kau akan menerima permintaan
maafku?” ucap Citrasoma.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman. Bisa
kumengerti kalau keadaannya memang membuat kita semua saling mencurigai,” ujar
Rangga memaklumi sikap Citrasoma padanya tempo hari.
“Aku waktu itu memang sedang tegang, sehingga tidak
bisa membedakan mana kawan dan mana lawan,” kata Citrasoma mengakui.
“Aku mengerti, Paman,” ujar Rangga.
“Yaaah.... Sebenarnya ini persoalan keluarga yang
sudah bertahun-tahun dan berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang pasti. Aku
sendiri sudah mengalah, dan mencari kehidupan tenang di sini. Juga kakakku,
atau ayahnya Mintarsih yang juga mengalah sehingga meletakkan kedudukannya
sebagai kepala desa. Dia bahkan menyingkir jauh untuk mencari ketenangan,
melupakan semua persoalan dan kemelut dalam keluarga,” kata Citrasoma.
“Tadinya kami semua sudah bisa melupakan, tapi
yaaah.... Beginilah jadinya jika dendam tidak bisa dikubur jauh-jauh di dasar
hati,” sambung Dewi Wulan.
“Kalau boleh tahu, apa persoalan yang sebenarnya,
Paman?” tanya Rangga ingin tahu.
“Persoalan yang dibuat oleh orang-orang tua kami
dulu. Tapi kami semua anak-anaknya yang harus menanggung akibatnya. Meskipun
sudah berusaha melupakan, tetap saja ada segelintir yang tidak puas dan
mencari-cari perkara dengan mengkait-kaitkan persoalan lama,” sahut Citrasoma
setengah mendesah. “Sebenarnya persoalannya berawal dari perebutan sumber mata
air saja,” sambung Dewi Wulan.
“Mata air...?” Rangga terhenyak.
“Benar. Di desa itu dulu hanya ada satu sumber mata
air. Dan desa yang terdiri dari dua keluarga itu yang akhirnya berkembang
terus, tahun demi tahun. Dulu pernah terjadi kemarau yang sangat panjang,
sehingga kebutuhan air sangat penting. Dari situlah awal malapetaka ini
terjadi. Dua kelompok keluarga yang semula hidup rukun, akhirnya pecah hanya
karena memperebutkan sumber mata air demi kepentingan masing-masing. Bahkan
mereka saling bunuh,” tutur Citrasoma.
“Oh...,” Rangga mendesah.
“Tapi hal itu tidak berlangsung lama ketika turun
hujan kembali, dan menjadikan daerah ini subur. Bertahun-tahun pertengkaran itu
terlupakan. Tapi kembali timbul lagi saat musim kemarau tiba. Dan pertentangan
itu kembali menghangat sekitar sepuluh tahun lalu. Kemarau datang begitu
panjang, dan banyak sumber air kering. Hanya satu yang masih bisa diharapkan,
tapi tampaknya tidak akan cukup digunakan orang sedesa.
Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai timbul, yang
akhirnya menjadi besar. Kembali dua kelompok keluarga terpecah menjadi dua, dan
akhirnya baku hantam, saling berebut menguasai mata air yang tinggal satu.
Inilah awal permulaan baru yang sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Dua
kelompok itu terus bertentangan sampai sekarang, meskipun sekarang tidak lagi
terjadi kemarau panjang yang menyengsarakan.”
“Kenapa bisa begitu, Paman?” tanya Rangga.
“Satu kelompok keluarga dipimpin kakeknya Rara
Anting. Dan satu kelompok keluarga lagi dipimpin kakeknya Mintarsih, yang juga
ayahku. Entah karena apa, suatu malam kakek Rara Anting tewas di dalam
kamarnya. Dan yang membuat pertentangan itu kembali timbul, di situ tergeletak
sebilah keris milik ayahku. Padahal malam itu kami semua sedang berkumpul
hingga pagi. Dari situlah dimulai perang kecil yang tidak akan berakhir sampai
kapan pun, kecuali salah satu kelompok keluarga lenyap.”
Rangga mengangguk-anggukkan kepa-lanya, dan kini
mengerti sudah. Rupanya Rara Anting termasuk penerus yang ingin memusnahkan
musuh keluarganya. Dan pertentangan ini rupanya dimanfaatkan orang-orang
persilatan yang membenci keluarga Citrasoma. Karena, keluarga ini adalah
keturunan pendekar, dan sebagian keluarganya hidup sebagai pengembara yang
berkelana menjelajahi rimba persilatan.
Tidak heran kalau kelompok keluarga ini selalu
menang, karena kebanyakan dari mereka adalah kaum pendekar yang memiliki
kepandaian rata-rata cukup tinggi. Saat mereka tengah berbincang-bincang,
mendadak seorang murid Padepokan Arum masuk tergesa-gesa. Dia membungkuk
memberi hormat pada gurunya.
“Ada apa?” tanya Citrasoma.
“Maaf, Guru. Ganggala tidak ada, dan beberapa teman
mengatakan kalau Ganggala mengejar Rara Anting.”
“Apa...?!” Citrasoma tersentak.
***
“Anting...! Rara Anting...!”
Rara Anting yang berlari kencang meninggalkan
Padepokan Arum, berhenti berlari saat mendengar panggilan keras dari belakang.
Gadis berbaju merah itu memutar tubuhnya berbalik, dan menjadi terkejut begitu
melihat Ganggala berlari-lari menghampirinya. Pemuda itu baru berhenti berlari
setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan Rara Anting.
“Anting...,” pelan suara Ganggala.
“Untuk apa kau mengejarku, Kakang?” sentak Rara
Anting ketus.
“Anting...,” tercekat suara Ganggala. Wajah yang
menegang dan sorot mata tajam, perlahan memudar. Untuk beberapa saat mereka
hanya diam saling tatap.
“Anting, semua ini bisa kujelaskan pada Ayah. Aku
yakin, Ayah akan mengerti,” ujar Ganggala lembut.
“Percuma, Kakang. Aku telah gagal. Sebaiknya kau
kembali saja dan jangan mengingatku lagi,” tegas Rara Anting dengan suara
lembut dan pelan.
“Tapi, itu bukan keinginanku kalau Mintarsih berada
di sana. Ayahku yang menginginkan begitu, Anting.”
“Dan aku hampir menghancurkan padepokan ayahmu,
Kakang. Lupakan saja aku. Lupakan cinta yang sempat bersemi di antara kita! Aku
bukan gadis yang cocok untukmu. Aku sekarang sudah menjadi musuhmu! Musuh besar
seluruh keluargamu! Dan aku tidak akan berhenti mencari cara untuk membunuh
Mintarsih dan semua keturunan Jara Botang. Tapi aku janji, tidak akan mengusik
keluargamu lagi. Aku janji, Kakang,” jelas Rara Anting.
“Aku bisa memahami apa yang kau lakukan, Anting.
Aku juga menyesali kejadian ini.”
“Kau menyesali, tapi tidak melakukan tindakan
apa-apa,” agak sinis nada suara Rara Anting.
“Mana mungkin aku mengambil tindakan terhadap Paman
Jara Botang....” “Meskipun dia sudah membunuh kakakku?”
“Anting, bukan Paman Jara Botang yang membunuh
kakakmu!”
“Sama saja! Laki-laki hidung belang seperti dia,
sudah sepatutnya mati. Dan seluruh keturunannya juga harus mampus! Aku sudah
bersumpah di depan pusara kakakku untuk membalas sakit hatinya. Jara Botang
telah menghancurkan hidup dan harapannya!”
Ganggala terdiam. Dia memang tahu peristiwa itu,
ketika pamannya Jara Botang mengadakan pesta panen. Ayah Mintarsih itu mabuk
berat waktu itu, sehingga tidak sadar telah menodai kakak Rara Anting. Suatu
aib yang sangat besar. Paman Jara Botang ingin mempertang-gungjawabkan perbuatannya,
tapi kakak Rara Anting sudah mengambil keputusan sendiri. Mati bunuh diri!
Ganggala tidak tahu kalau Rara Anting menyimpan dendam, dan beranggapan semua
itu karena kesalahan Jara Botang.
“Aku pergi, Kakang. Aku akan kembali untuk membunuh
Mintarsih, dan bersumpah akan membuat Mintarsih merasakan seperti yang dialami
kakakku!”
Setelah berkata demikian, Rara Anting langsung
membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan Ganggala.
“Anting...!” seru Ganggala memanggil. Tapi Rara
Anting terus berlari cepat. Sedangkan Ganggala hanya berdiri saja memandangi
kepergian gadis yang pernah dicintainya. Mereka memadu kasih, dan berkeinginan
untuk melebur semua permusuhan yang terjadi antara keluarga mereka dengan
ikatan tali perkawinan. Tapi semuanya telah dirusak oleh perbuatan Jara Botang
yang menodai kakak Rara Anting, hingga gadis itu mengambil keputusan nekad.
“Anting, tunggu...!” teriak Ganggala.
Pemuda itu cepat berlari mengejar Rara Anting yang
sudah jauh meninggalkannya. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
Ganggala berhasil memperpendek jarak, dan terus mengejar sambil
memanggil-manggil gadis itu. Tapi Rara Anting tidak lagi peduli, dan terus
mempercepat larinya.
“Anting! Kita tidak boleh berpisah hanya karena
persoalan begini...!” teriak Ganggala.
“Lupakan aku, Kakang!” balas Rara Anting tanpa
menghentikan larinya.
“Tidak! Sampai kapan pun aku tetap akan mengejarmu!
Aku tidak peduli semua ini! Aku mencintaimu, Anting...!”
Mendadak Rara Anting berhenti berlari, dan cepat
memutar tubuhnya berbalik. Tangan kanannya berkelebat cepat bagai kilat.
Seketika secercah cahaya merah meluncur deras ke arah Ganggala.
“Anting...!” Ganggala tersentak kaget.
Buru-buru pemuda itu melentingkan tubuhnya
menghindari terjangan benda kecil berbentuk segitiga yang dilepaskan Rara
Anting. Manis sekali gerakan Ganggala menghindari serangan itu. Tapi hatinya
menjadi terkejut karena benda merah kecil itu mampu menghancurkan sebuah pohon
yang berada di belakangnya.
“Anting...,” tertahan suara Ganggala.
“Dengar, Kakang. Aku tidak akan berkedip membunuhmu
jika kau tetap menghalangiku. Sudah cukup banyak aku berkorban. Ayahku sudah
tewas karena mencoba menghalangi keinginanku. Dan aku tidak segan-segan
membunuhmu, Kakang!” dingin nada suara Rara Anting mengancam.
Tercekat tenggorokan Ganggala mendengar ancaman
itu. Kini baru nyata kalau Rara Anting yang sekarang bukanlah Rara Anting yang
dikenalnya dulu. Meskipun mereka sudah lama memadu kasih, tapi masing-masing
keluarga tidak ada yang tahu. Bahkan Jara Botang dan Citrasoma sendiri tidak
tahu siapa itu Rara Anting, karena sejak kecil tinggal bersama bibinya, yaitu
Dewi Maut.
“Kakang, pulanglah sebelum pikiranku berubah.
Katakan pada Rangga, satu saat nanti aku akan menantangnya bertarung!”
Kembali Rara Anting berbalik dan melesat cepat.
Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan Ganggala. Beberapa saat lamanya Ganggala masih berdiri
terpaku memandangi kepergian bekas kekasihnya. Sungguh suatu perpisahan yang
tidak mengenakkan.
Dengan hati pedih dan lesu, Ganggala membalikkan
tubuhnya dan melangkah kembali menuju Padepokan Arum. Langkahnya gontai dan
kepalanya tertunduk. Bagaimanapun juga Rara Anting sekarang ini, cintanya tetap
pada gadis itu. Bahkan penderitaan Rara Anting membuat cintanya semakin besar
berkobar. Ganggala bertekad dalam hati. Apa pun yang terjadi, gadis itu harus
didapatkan! Tapi..., apakah kedua orang tuanya akan menyetujui! Apakah ini
tidak akan membuat permasalahan baru?
Ganggala menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dihembuskan napas panjang dan berat. Perlahan-lahan kepala pemuda itu
terangkat, dan langsung tertegun begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti sudah
berdiri menghadang di depannya. Ganggala menghentikan langkahnya.
“Aku mendengar semua pembicaraan kalian. Sebaiknya
kau berpikir lagi, Ganggala,” Ujar Rangga memberi nasihat.
“Dia menantangmu,” kata Ganggala pelan.
“Ya, aku tahu. Tapi aku berjanji untuk tidak
menanggapi tantangannya.”
Ganggala tidak peduli, lalu kembali melangkah.
Rangga tidak mencegah pemuda itu yang berjalan melewatinya. Hanya dipandangi
saja ayunan kaki Ganggala yang pelan dan tak bergairah lagi. Rangga hanya
menarik napas panjang dan berat. Memang bisa dirasakannya, apa yang kini
dirasakan Ganggala.
“Hhh..., semoga saja kau mendapatkan gadis yang
cocok, Ganggala,” desah Rangga dalam hati.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
PEMBURU KEPALA
Emoticon