1
Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut
hadir menyertai. Suara lolongan anjing dan
lengkingan burung hantu membuat suasana malam
menerpa rumpun bambu. Menambah suasana malam
itu makin mengerikan.
Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang
lingkungan Kadipaten Pamakasan sedang duduk di
gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang
setiap waktu siap digunakan. Rokok kelobot yang
mereka linting kini telah dinyalakan.
"Huh! Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin,
sambil menghembuskan asap rokok kawung setelah
menghisapnya dalam-dalam.
"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya
tengah malam seperti ini udara dingin. Malam ini
memang aneh sekali..."
Keempat penjaga itu kemudian melangkah
menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda.
Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos
jaga. Sepi sekali suasana sekitar kadipaten. Keempat
orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok
kawungnya dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam
percakapan yang menuangkan isi hati masing-
masing.
"Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita
semakin bertambah berat saja," keluh Gimin.
"Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah
melakukan pekerjaan yang sangat berat. Bahkan
setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok
kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi
sekarang...," Sarnopo membuka telapak tangannya
dengan raut wajah kurang senang.
"Ya. Bagaimana lagi? Kita orang kecil, Dimas,"
Karja berusaha menyabarkan hati temannya
sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan
yang bernama Sumagatri menikah lagi, mereka
memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding
sewaktu adipati itu belum menikah.
"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit.
Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di
antara mereka.
"Aaa...!"
Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-
tiba terdengar jeritan menyayat seorang wanita dari
dalam kadipaten.
Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan
ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Tidak lama
berselang, keempatnya mendengar suara teriakan
Adipati Sumagatri
"Prajurit, tolong…!" terdengar suara Adipati
Sumagatri.
"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus.
"Entahlah! Sepertinya ada yang tidak beres!" sahut
Gimin dengan mata membelalak.
Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar
Adipati Sumagatri. Mata mereka membelalak ketika
menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja
dinikahi tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa
nyawa. Dada wanita itu ditembus sekuntum mawar
merah.
"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang
masuk?!" bentak Adipati Sumagatri.
"Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan
seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk
ke dalam kadipaten," jawab Gimin ketakutan.
"Bodoh! Apakah kalian tidak melihat buktinya?!"
dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot
merah terbakar api amarah.
Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan
kepala.
"Jangan hanya mematung, Tolol! Cepat kejar dan
tangkap pembunuh itu!" perintah Adipati Sumagatri.
"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan.
Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu ber-
kelebat keluar mencari pembunuh istri Adipati
Sumagatri.
***
Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga
menemukan jejak pembunuh itu. Walaupun sudah
memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun
tetap tak ditemukan jejaknya.
"Aneh! Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?"
gumam Gimin. Matanya terus memandang ke
sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda
kalau ada orang masuk ke tempat itu.
"Mungkin dari atas, Kang."
Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten.
Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok
bayangan.
"Tak ada, Kang," kata Sarnopo.
"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh
curiga. "Bagaimana kalau kita geledah semua yang
ada di dalam kadipaten?"
"Setuju! Bukankah Kanjeng Adipati telah me-
merintahkan kita mencari si pembunuh?" sambut
Damus.
"Ya! Semua patut dicurigai," tambah Gimin.
"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo.
"Ayo kita segera ke sana!" ajak Karjo.
Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk
memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah
menyelinap seorang pembunuh. Belum juga tiba di
tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang
membuntuti. Seketika langkah mereka terhenti dan
berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk.
"Hm… Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti
kita, Dimas?" tanya Sarnopo. Matanya ditajamkan,
memandang ke sekeliling tempat itu.
"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut
Karja.
"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin.
Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa
ada yang mengikuti dari belakang.
"Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah
Damus.
Sarnopo menghela napas. Matanya masih
menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha
meyakinkan diri bahwa tak ada yang mengikuti
mereka.
"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam
Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin. Dia merasa ada
yang mengikutinya.
"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera
memeriksa seisi kadipaten," ajak Gimin.
Mereka kembali melangkah untuk memeriksa
ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba....
Zwing, zwing....!
Empat buah benda yang entah dari mana datang-
nya, melesat cepat ke arah empat prajurit itu. Mereka
tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh.
Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata
keempatnya membelalak. Empat buah benda
berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah
mereka. Tanpa dapat dielakkan, keempat bunga itu
menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai
terlebih dahulu.
Zleb zleb…!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada
keempat prajurit itu menyembur darah segar. Mata
mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat,
lalu ambruk tanpa nyawa. Di dada keempat prajurit
itu terbenam setangkai mawar merah.
Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu.
Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi.
Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia,
bahkan merenggut nyawanya. Suasana di halaman
kadipaten menjadi sepi dan mencekam.
"Prajurit...!" seru Adipati Sumagatri dari dalam,
berusaha memanggil keempat prajurit itu yang belum
juga nampak batang hidungnya.
Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu
kalau para prajurit itu telah tergeletak tanpa nyawa
dengan bunga mawar merah menghunjam di dada.
Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri
dengan gusar berlari keluar. Saat itu orang-orang
dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar
suara Adipati Sumagatri.
"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu
dengan rambut putih digelung ke atas. Walau sudah
berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini
masih terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima
Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai
penasihat Kadipaten Pamakasan.
"Bodoh semuanya!" dengus Adipati Sumagatri.
Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki
Balacatra. Lelaki tua berjubah ungu itu tak berani
membantah atau melawan.
"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?"
Semua mata membelalak saling pandang,
mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh
tidak menyangka kalau istri sang Adipati yang baru
dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas.
"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra
memberanikan diri bertanya.
"Huh! Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh
dia!" dengus Adipati Sumagatri kesal.
Kembali semua mata membelalak. Kening mereka
berkerut mendengar penuturan Adipati Pamakasan
itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak
tahu siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin
mereka menangkap si pelaku?
"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari
pembunuh itu!"
"Daulat, Kanjeng."
"Cepat!"
"Baik, Kanjeng."
Tanpa membantah, Ki Balacatra segera
menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini
meninggalkan tempat itu untuk mencari pembunuh
istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra
keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-
tumbukan dengan tubuh empat orang prajurit yang
tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah.
"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sem-
barangan. Hanya dengan sekuntum bunga, dia
mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra
sambil memandang keempat mayat prajurit itu.
Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke
sekeliling tempat itu, mencari jejak pelaku. Tapi, tidak
ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.
Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki
Balacatra mengerutkan kening. Namun, penciuman
lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-
dengus, mencium bau yang lain dengan bau orang-
orangnya.
"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang
masuk ke kadipaten ini," kembali Ki Balacatra ber-
gumam lirih. "Sayang, dia telah pergi."
"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah
seorang punggawa kadipaten.
"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki
Balacatra.
"Wanita, Ki?"
"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya."
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten
itu bergegas keluar. Mencari pembunuh istri Adipati
Sumagatri
***
Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu
menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti meng-
hilang ditelan kegelapan malam. Bau wangi seorang
wanita yang bercampur bau bunga mawar meng-
hilang seketika. Tak tercium hidung Ki Balacatra.
"Berhenti!"
"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti,
mengapa Ki Balacatra menghentikan pengejaran.
"Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya,"
kata Ki Balacatra.
"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa
alasan Ki Balacatra.
"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan
sia-sia belaka. Kita tidak tahu siapa pelaku
pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak
mengenal tokoh-tokoh wanita. Namun yang
bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku
baru mendengarnya. Dia tentu seorang wanita yang
berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya,"
ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya
Wedatama lagi. Punggawa kadipaten ini berpakaian
abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar.
Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit
kayu kuat. Wajahnya menunjukkan kewibawaan. Alis
matanya tipis dengan kumis tebal melintang.
Ki Balacatra mendesah pelan.
"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana.
Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit
untuk disingkap. Terlebih senjata pembunuh itu
sangat aneh dan belum pernah ada di rimba
persilatan," gumam Ki Balacatra.
"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-
orang persilatan di kadipaten ini, Ki?" tanya
Wedatama.
"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun
juga, masalah ini adalah masalah kita bersama.
Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten,"
tutur Ki Balacatra.
Semua terdiam. Mata mereka memandang ke
sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si
pembunuh tiba-tiba muncul. Namun sampai ayam
jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga
muncul.
"Huh! Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar
pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah bencana apa yang
akan terjadi di kadipaten ini...?"
Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya
untuk kembali ke kadipaten.
Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat
naik. Pagi telah tiba. Burung-burung berkicau riang,
berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten
Pamakasan..
Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian
istri sang Adipati dan keempat prajurit jaga telah
mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka
berbondong-bondong datang ke kadipaten untuk
melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri
sedang berduka dan mengurung diri di dalam kamar.
Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini
masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa
kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi. Semua
orang di dalam kadipaten tak ada yang tahu kapan
pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya yang
berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya
seorang wanita. Tapi siapa...? Pertanyaan itu tidak
dapat dijawab Adipati Sumagatri.
Jangankan melihat pelakunya, saat kematian
istrinya saja Adipati Sumagatri tidak tahu. Lelaki
setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah
menjadi mayat dengan dada tertancap sekuntum
mawar merah.
"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap!" ucap
seorang prajurit dari luar ruangan itu. "Apakah
Kanjeng berkenan menerimanya?"
"Suruh dia masuk!" perintah Adipati Sumagatri.
Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah
seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi
penasihat kadipaten. Lelaki tua itu langsung bersila di
depan Adipati Sumagatri.
"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar
Ki Balacatra seraya merapatkan kedua telapak
tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri.
"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng."
"Katakanlah."
"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara.
Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa
yang dapat menangkap pembunuh itu, akan diberi
hadiah," usul Ki Balacatra.
"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati
Sumagatri.
Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya.
Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan
tersembunyi, agar si pembunuh tidak mendengarnya.
"Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila.
Bagaimana, Kanjeng?"
Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya
mengangguk-angguk. Seakan menerima saran
penasihatnya.
"Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju.
Segeralah sebar undangan pada semua pendekar."
"Daulat, Kanjeng!" Ki Balacatra menyembah, lalu
beringsut mundur. Dan keluar meninggalkan Adipati
Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di
dalam kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk
tidak menentu.
2
Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit
kadipaten tengah memacu kudanya dengan kencang
menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka
tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu
sedang mengantarkan surat undangan Adipati
Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar
Gila dan Nyi Gendis Awit.
"Hiya, hiya...!"
Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari
kencang. Keduanya nampak memburu waktu agar
segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka
melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda
mereka meringkik keras. Larinya yang semula
kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-
kuda itu merasa takut.
"Hieeekh...!"
Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki
depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan berusaha
memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat
itu.
"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang
bernama Galarana terheran-heran. Kudanya seketika
menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan.
Kuda itu terus meminta kembali.
"Hush, hush...! Ayo, kita harus segera sampai,"
perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada
kudanya yang juga binal, sambil menarik tali kekang
sekuat mungkin agar tidak jatuh.
"Hieeekh...!"
Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua
binatang itu seperti melihat sesuatu yang
menakutkan di hadapannya, hingga tak berani
melangkah maju.
Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung
ke atas seperti prajurit lainnya. Matanya tajam lebar
dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan
dagu panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras
selama menjadi prajurit.
Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari
Galarana. Wajahnya bulat agak gemuk. Bertubuh
agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat.
Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu
mancung. Kumis tipis menghias atas bibirnya yang
agak tebal.
"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam
Galarana terus berusaha mengendalikan tali kekang
kudanya.
"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan,
Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya binatang lebih
peka dari manusia."
"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya
menyapu ke sekeliling. Tampak pepohonan tumbuh
lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui.
Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu
yang mencurigakan atau membuat takut kuda-kuda
itu.
Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya
yang beringas dan berusaha berputar ke arah semula.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara
sekecil apa pun dapat terdengar.
Kresek!
"Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau
mendengar suara orang melangkah?"
"Ya."
"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita
beringas," dengus Galarana.
Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang
bersembunyi, tiba-tiba terdengar desingan keras yang
disertai kelebatan dua benda ke arah mereka.
Swing, swing...!
"Awas...!" seru Galarana.
"Hop!"
Mereka segera melenting ke atas dan berputaran
beberapa kali, mengelakkan senjata-senjata yang
melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna
merah darah yang terbuat dari logam besi terus
menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi
dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan
serangan gelap itu.
"Uts! Celaka...!" pekik Galarana dengan mata
melotot. Senjata rahasia lawan seperti memiliki mata
hingga mampu mengejar.
"Uh! Mati aku...!" Bandra Gali pun memekik kaget
Kedua prajurit kadipaten itu terdesak. Nyawa
mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat
kematian yang tragis ketika tiba-tiba terdengar suara
suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu
menghantam dua buah senjata rahasia yang
menyerang mereka. Sehingga....
Pluk, pluk!
Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke
tanah. Mata kedua prajurit kadipaten itu membelak
kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari
kematian.
"Kurang ajar! Siapa yang berani mencampuri
urusanku?!"
Terdengar suara wanita membentak keras. Dari
balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita
setengah tua dengan pakaian warna biru laut.
Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten
yang menyurut mundur.
Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai
itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di
punggungnya tersandang pedang kembar. Meski
usianya sudah berkepala empat, namun
kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis
Awit atau Perawan Tua dari Dagelan.
"Bedebah! Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali
setelah mengetahui siapa orang yang telah
menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar
wanita dari wilayah Kadipaten Pamakasan sendiri.
"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke
wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit. Matanya
memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu.
"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk
mengantarkan undangan padamu," jawab Galarana.
Kemudian disodorkannya surat undangan yang
berada di tangannya kepada Nyi Gendis Awit yang
segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya
surat undangan itu.
"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?"
tanya Nyi Gendis Awit.
"Benar, Nyi," sahut Galarana.
"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang
tadi meniup suling hingga mampu merontokkan
senjataku. Ayo, keluar! Jangan bisanya hanya
bersembunyi...!" seru Nyi Gendis Awit menantang.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan.
Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara
itu tengah berada di atas pohon. Tawanya
berkumandang laksana berada di setiap penjuru
angin.
"Kurang ajar! Cepat keluar!" bentak Nyi Gendis
Awit. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu,
berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar.
"Ha ha ha...!"
Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul
seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit ular. Di
tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari
emas murni dengan kepala naga. Kedatangan
pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang
gila ini cukup mengejutkan ketiga orang itu.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-
senyum. Jalannya seperti seekor kera. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya
bertanya-tanya siapa pemuda tampan berbaju rompi
kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk
Pendekar Gila?" tanya Bandra Gali, seolah berbicara
pada diri sendiri.
"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan
Kanjeng Adipati...," kata Galarana. Mata kedua
prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis
Awit mencoba menebak-nebak. Dia memang sering
mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya
belum pernah.
"Aha! Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa
tidak mengajakku...?" tanya Sena alias Pendekar Gila.
Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya
kembali.
"Ha ha ha...!"
"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya? Dan
apa urusanmu merontokkan senjataku?" tanya Nyi
Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda
tampan di hadapannya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya
menyelipkan Suling Naga Sakti ke sabuk di
pinggangnya.
"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya
tidak ingin melihat ada pembunuhan keji tanpa tahu
ujung pangkalnya."
Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar
ucapan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Apa kau kira ucapanmu akan
kudengarkan?!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang persis
orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit
bertambah jengkel. Sedangkan kedua prajurit
kadipaten semakin mengerutkan kening,
menyaksikan tingkah laku pemuda itu.
"Ah! Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau
tidak. Sudahlah. Tak perlu dipersoalkan lagi. Kurasa
kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit,"
ujar Sena seraya menjura hormat.
Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh
mana ilmu pemuda itu, tidak mau membiarkan
Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil
membentak, perempuan setengah tua itu menyerang
dengan jurus 'Cengkeraman Elang'.
"Jangan pergi dulu! Terimalah seranganku!
Hiaaa...!"
"Uts!"
Sena meminngkan tubuh ke samping,
mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang
cepat dan secara tiba-tiba. Hampir saja jari-jari
tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung
Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu.
Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan
tepukan.
"Plak!"
"Uts...!"
Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau
tepukan tangan lawan yang kelihatan sangat pelan
ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat
lamban dan lemah.
Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi
Gendis Awit bersalto ke udara. Berputaran beberapa
kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya
memandang tajam pemuda bertingkah laku gila yang
masih menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-
senyum sendiri.
"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya?!
"Ha ha ha...! Lucu sekali," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk pantat. "Tapi baiklah, aku akan
memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala.
Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah! Cukup
jelas, bukan?"
Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa
pemuda tampan berbaju kulit ular di hadapan
mereka.
"Pendekar Gila...?!"
Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua
prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di
atas kuda, melompat turun dan memberi hormat.
"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar."
"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu? Aku
bukan raja atau adipati. Sudahlah. Aku tidak punya
waktu banyak. Aku harus segera pergi."
"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali.
"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan
langkahnya.
"Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan
undangan pada Tuan," tutur Galarana sambil
menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar
Gila yang segera membuka dan membacanya.
"Baiklah. Aku akan ke sana."
Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu. Begitu cepat
gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang
melihatnya termangu bingung.
"Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi
Gendis Awit setelah termangu beberapa saat.
"Apakah kalian akan bersamaku?"
"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar
undangan padamu dan Pendekar Gila," sahut Bandra
Gali.
"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit.
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat
itu.
Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten
sampai di perbatasan Desa Lawang Ireng. Saat itu
mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam
akan datang. Mereka membutuhkan waktu
semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan.
Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang
berjalan bersama tokoh rimba persilatan. Keduanya
mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan
tegar walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka
sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali keduanya
berhenti melangkah.
"Hm.... Kulihat kalian lelah."
"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata
Nyi Gendis Awit, kasihan melihat kedua prajurit itu.
"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana.
"Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin.
"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali.
"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus
ingat itu."
Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka
agar mau naik kuda. Namun keduanya menolak.
Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa
mereka yang lelaki tidak? Terlebih mereka merupa-
kan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya
prajurit menunjukkan ketahanan tubuhnya.
"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat
dan menginap di penginapan," saran Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit itu mengangguk.
Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya
matahari yang semula terang benderang, kini hilang,
berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun
begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak
menyenangkan. Hawa dingin yang menggigilkan dan
suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam.
Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri
jalanan yang sepi dan lengang. Di kanan dan kiri jalan
terdapat pepohonan.
"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya
Nyi Gendis Awit.
"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali.
"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk
beristirahat," kata Nyi Gendis Awit kemudian.
Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk
mencari penginapan yang ada di desa itu. Tidak lama
kemudian, mereka menemukan rumah penginapan
itu. Setelah memesan dua buah kamar, ketiganya
masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi
Gendis Awit berdampingan dengan kamar kedua
prajurit tu.
"Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan
kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa
keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis
Nyi Gendis Awit, mengingat kedua prajurit itu.
Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit
membuka pakaian. Hingga tampak tubuhnya yang
menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis
Awit, sepasang mata melihat tubuhnya yang telanjang
lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit
memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik
perhatian dua prajurit yang ada di kamar sebelah.
Sepasang mata itu melotot tak berkedip.
"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana.
"Ssst...! Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk
lubang kecil di dinding papan.
Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat.
Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-
lubang kecil. Seketika matanya membelalak. Berkali-
kali dia harus menelan ludah.
"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana.
"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?"
"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap
wanita ini. Kau ingat kata-kata Ki Balacatra?" tanya
Galarana.
"Ya."
"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit
terkenal dengan sebutan perawan tua, karena
sampai usianya berkepala empat belum juga
menikah."
Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba...
"Mengapa kalian berbisik-bisik? Kemarilah. Bukan-
kah kalian lelah? Apakah tidak sebaiknya kalian
kupijit?
Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak
mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada
memanggil itu. Mereka tersenyum dengan dada
berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar
dari kamar.
"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu,"
kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih.
"Masuklah."
Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit
itu segera masuk ke dalam kamar Nyi Gendis Awit.
Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya
mengurai senyum menyaksikan kedatangan mereka.
"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit.
Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak
mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kedua prajurit
itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang
tubuh Nyi Gendis Awit yang polos tanpa sehelai
benang pun.
"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi
Gendis Awit.
Kedua prajurit kadipaten itu mendekat.
"Bukalah pakaian kalian."
Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak
lama kemudian, suasana di kamar itu pun sepi. Yang
terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit.
3
Wut, wut...!
Jlep, jlep..!
"Aaa...!" seorang murid Perguruan Kera Merah
yang sedang berjaga-jaga di pintu gerbang perguruan
memekik keras.
Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar
merah menghujam di dada prajurit itu. Entah dari
mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat
cepat ke arahnya.
Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid
lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak.
Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka
melihat temannya terkapar menjadi mayat.
"Pembunuhan! Mawar merah...!" seru ketiga murid
itu berusaha mengundang perhatian yang lainnya
agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada
yang terbangun, tiba-tiba…
Wut, wut, wut!
Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah
mereka.
"Awas…! Akh…!”
Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah
memekik keras. Dadanya tertancap sekuntum mawar
merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika
mengejang kemudian ambruk tanpa nyawa.
Jlep, jlep!
"Aaakh...!"
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika
tangkai bungan mawar itu menghunjam dada. Mata
mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan
berkelebat cepat keluar dari kegelapan. Bayangan
merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua
prajurit itu segera meregang nyawa dan mati.
Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar
Ketua Perguruan Kera Merah yang bernama Ki
Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu
didobraknya.
Brak!
"Heh?!" Ki Anggada tersentak.
Wut, wut!
Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah
tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki tua itu cepat
membuang tubuh dengan berguling ke samping.
Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran
bunga-bunga mawar.
Jlep, jlep!
Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas.
Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah.
Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di
tangan seorang wanita berbaju serba merah. Lelaki
berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku
serta ikat kepala berwarna dadu itu mendengus.
Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari
logam yang berbentuk empat jari kera. Dengan
senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak
garang.
"Siapa kau?!"
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang
sekujur tubuhnya ditutupi kain merah. Termasuk
wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan
siapa kau sebenarnya?!" bentak Ki Anggada gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan
kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus
mampus di tanganku! Hiaaa...!"
Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat
dan tiba-tiba. Segera dia melompat ke belakang,
kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan
cakaran kedua tangannya yang menggunakan jurus
'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu
cepat. Ki Anggada hampir terkena sambaran tangan
lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian
rompi merah dadu ini memiliki ketajaman tinggi.
Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk
pukulan lawan.
"Hari ini bagianmu, Kera Busuk! Yeaaat…!"
Wanita berpakaian serba merah itu terus
merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-
serangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada
tempat-tempat mematikan.
Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita
misterius itu segera berkelit ke samping. Lalu dengan
gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini
menggunakan jurus 'Kera Merangsek Naga'.
Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain
merah itu terus menyerang dengan gabungan jurus
'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut
Sukma'. Sesekali tangannya melemparkan bunga
mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak
berarti, tapi di tangan wanita itu sangat berbahaya.
Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam
sekejap.
Swing, swing!
"Uts! Bunga setan!" maki Ki Anggada seraya
mengelakkan bunga-bunga maut yang telah
membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke
sana ke mari, terkadang berputaran di udara untuk
mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Uts!"
Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan
pada Ki Anggada untuk balas menyerang. Serangan-
serangannya begitu cepat, disusul lemparan-
lemparan mawar mautnya yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar
gurunya, murid-murid Perguruan Kera Merah
berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun
baru saja mereka sampai di pintu, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Ki Anggada mengingatkan.
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita
misterius itu melemparkan bunga-bunga mawarnya
ke arah murid-murid Ki Anggada.
"Hih!"
Swing, swing...!
Jlep, jlep...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tiga orang murid perguruan yang berada di depan
langsung roboh. Di dada mereka menghunjam
setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat
keluar dari dada mereka.
"Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan
siapa dirimu!" bentak Ki Anggada semakin marah
menyaksikan murid-muridnya menjadi korban
keganasan mawar merah lawan.
"Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat!
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu
kembali melemparkan bunga-bunga mawar merah ke
arah Ki Anggada yang tersentak kaget.
Swing, swing...!
"Hop! Uts...!"
Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian
melesat ke samping kanan untuk mengelakkan
serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera
Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!"
Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya
bergerak lebih jauh. Dengan cepat, pedangnya yang
bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau
oleh sinar yang keluar dari pedang lawan. Ki Anggada
memekik menyebutkan nama pedang di tangan
wanita misterius itu.
"Pedang Perak! Hei. Ada hubungan apa kau
dengan Dewi Pedang Beracun?! Siapa kau...?!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk! Kini
terimalah ajalmu! Hiaaat. .!"
Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik
Dewi Pedang Beracun itu tak mau membuang waktu
lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan
dan babatan Pedang Perak yang mengandung racun
ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut!
"Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa
sesak oleh racun yang ditebarkan pedang di tangan
lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada
masih bertanya-tanya siapa wanita misterius itu.
Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak
mungkin.
Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan
tahun silam.
Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di
tangan lawannya. Dia belum yakin kalau wanita
misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-
jurus pedangnya, sama dengan jurus-jurus milik Dewi
Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya....
Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di
Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya pernah
membuat heboh para pendekar di wilayah itu.
Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang
Beracun banyak membunuh pendekar golongan
putih. Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada
para pendekar yang telah membunuh ayah dan
ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun,
sepak terjang Dewi Pedang Beracun dapat
dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki
Balamprang, Ki Anggada, Ki Mandra Dupa dan Ki
Sangkutra.
Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun? Tapi...
Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau
seperti senjatanya yang berupa bunga kenanga.
Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah
darah seperti bunga yang digunakannya.... Ki
Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus
mengelakkan sabetan-sabetan senjata lawan.
Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang
lawan.
"Heaaa!"
Pedang di tangan wanita misterius itu terus
bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan
babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang
keluar dari pedang lawan membuat napas Ki Anggada
tidak lancar lagi.
"Uhuk, uhuk...!" Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan
kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena
terlalu banyak menghisap racun.
"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk! Hiaaa...!"
Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya.
Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki
Anggada yang tak mampu lagi mengelakkan serangan
lawan. Maka....
Cras!
Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah
berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat,
kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain
merah segera melesat meninggalkan tempat itu.
Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang
di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai.
Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh
keji yang telah membunuh guru mereka. Malam itu
Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki
Anggada.
Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak
memacu kudanya menuju Perguruan Kera Merah
untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri.
Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya
ketika melihat bendera kuning dipasang di kanan dan
kiri jalan.
"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya
prajurit yang memegang sebuah gulungan daun
lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung
mancung. Matanya tidak terlalu lebar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Kera
Merah," ujar prajurit pertama yang bernama Buwala.
"Benar. Ada apa di sana? Nampaknya banyak
sekali orang berdatangan," desis Sagola.
"Ayo kita ke sana."
Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera
mendekat. Perguruan Kera Merah tampak dipenuhi
oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada
pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah
menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar
dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala,
memandang kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah
saja kejahatannya," gumam pemuda yang tak lain
Sena atau Pendekar Gila itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut
gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening
saling pandang. Kemudian mata keduanya
memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa
engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola hampir
tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang
konyol dan lucu. Mirip orang gila. Terkadang mimik
wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan
senyum melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol,
pemuda itu suka menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik
mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil meringis kegelian.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu
membendung tawanya.
"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana."
"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan
mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan mene-
ngok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola.
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya
Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena
sambil mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak
beri tahu, ke arah mana aku harus pergi?"
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening,
mendengar pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh
itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda
Edan?" tanya Buwala.
"Bukankah di kadipaten ada pesta? Tentu banyak
makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana.
Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila.
Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu
hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri
mengundang pemuda edan seperti ini? Tanya Sagola
dalam hati.
"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak
mengundang pemuda gila sepertimu, Kisanak. Tapi,
Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada
pesta di sana," tutur Sagola.
"Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni
pemuda gila ini?" rungut Buwala mengajak temannya
meneruskan berjalan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka.
Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya
melihat tingkah laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan,
heh?!"
Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan,
bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju
kadipaten?!" Sena membentak tak kalah keras.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala.
Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar
yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya.
Sagola segera menerima dan cepat membuka
gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak
setelah membaca tulisan di daun lontar itu.
"Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah
Pendekar Gila," ujar Sagola sambil turun dari kudanya
dan menjura memberi hormat.
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah
kelancangan kami," tambah Buwala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan
kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus
berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan,
biarlah nanti kami bersama Tuan," pinta Sagola.
"Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai
di sana. Bahaya akan mengancam kadipaten ini. Ki
Anggada telah tewas di tangan seseorang yang
bersenjatakan bunga mawar," tutur Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada
yang hendak didatangi telah tewas. Tapi, yang
membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian
Ki Anggada sama dengan cara kematian istri Adipati
Sumagatri dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda
Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum
mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri
Kanjeng Adipati dan empat orang teman kami yang
tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola
setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh
mawar merah."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata
mereka memandang ke arah Perguruan Kera Merah
yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah
bertanya pada diri sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena
yang dituruti kedua prajurit kadipaten. Ketiganya
menempuh perjalanan menuju Kadipaten
Pamakasan.
4
Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten
Pamakasan menyelusuri jalan setapak di tengah
hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin
terasa menggigit. Namun ketiganya masih saja
melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu
menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih
dengan adanya suara-suara menyeramkan binatang-
binatang hutan.
"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini,
Kisanak," kata Sena sambil menghentikan
langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab
kedua prajurit kadipatan itu bersamaan.
"Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api
dulu."
Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting
kering. Gerakannya cepat tak dapat dilihat kedua
prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan
membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api," pinta Sena.
Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu
harus bagaimana membuat api. Biasanya mereka
menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin
mereka mencari batu api dalam keadaan gelap
seperti ini?
Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti
apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu.
Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian
berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali
dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada
mereka. Dan dengan menggosok-gosokkan kedua
batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup
memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan
kucarikan ayam hutan. Tunggulah di sini," kata Sena,
lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus
kerimbunan pohon.
Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan
Pendekar Gila dengan perasaan tercekam. Mereka
takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti
itu. Selama ini, keduanya tidak pernah berada di
dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang ramai dan
terang.
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala
mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa
pun yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi.
Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu
dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan
diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata
rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, meng-
ingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar
Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing, swing...!
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit
itu. Senjata rahasia itu bergerak begitu cepat, entah
dari mana datangnya.
"Celaka! Bunga mawar!" pekik Buwala kaget.
Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata
lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya
meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat
ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, bunga itu
menghunjam dadanya.
Jlep!
"Ukh!" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat
mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa
nyawa.
Jlep!
Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang
juga tak sempat mengelak. Seperti Buwala, Sagola
pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah
tubuhnya mengejang dengan mata melotot.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang
dengan membawa tiga ekor ayam hutan. Sena
tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit
kadipaten itu telah tewas. Matanya menyapu ke
sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa
kuntum bunga ke arahnya.
Swing, swing...!"
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena sambil
bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di
udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila
Melempar Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan
Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa bunga
mawar yang menyerangnya.
Belum lagi Sena berhasil merontokkan bunga-
bunga itu, serangan berikutnya datang. Bunga-bunga
mawar merah kembali melesat ke arahnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan
nyawaku!" dengus Sena sambil terus berjumpalitan
mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya.
Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan
cepat dibabatkan ke arah bunga-bunga itu.
"Heaaa...!"
Prak, prak...!
Pluk, pluk...!
Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan
aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran
Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar
Gila sambil menghantamkan pukulan ke arah tempat
bunga-bunga mawar itu berasal.
Tak ada sahutan.
Sena semakin bertambah geram, merasa diper-
mainkan lawan.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet
denganku. Baik. Ha ha ha...!"
Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan
ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat
laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang
begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang.
Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa
kali Pendekar Gila memutari tempat itu, namun tidak
ditemukannya seorang pun di situ.
"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu
siapa yang menyerangku?" gumam Pendekar Gila.
Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di
dada keduanya tertancap bunga mawar.
"Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera
berjongkok mengambil bunga mawar yang menancap
di dada dua prajurit itu.
Prul!
Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata
Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu
yang aneh. Bunga mawar yang tadinya segar dalam
sekejap berubah layu.
"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun
seraya memandangi bunga mawar di tangannya.
Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di
dada prajurit kadipaten yang lain. Keduanya sangat
berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu
nampak segar. Sedangkan yang di tangannya telah
layu.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala.
Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan
keanehan itu. Dicobanya ditusukkan kembali ke
tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga
mawar yang semula layu menjadi segar.
"Hah?! Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena
dengan mata melotot dan mulut ternganga.
Sena kembali menyapukan pandangan ke
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau
penyerang yang belum diketahui wujud dan rupanya
itu memang telah pergi dari situ.
"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga
biasa. Bunga iblis penghisap darah," gumam Sena
lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu
makin lama tambah merekah.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak
percaya pada apa yang dilihatnya. Bunga-bunga
mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian
membesar. Dari kuntum kecil dengan kelopak-
kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman
tangan. Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami
perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur memucat.
Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu
mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak.
"Oh! Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian
aneh itu. Dengan perasaan ingin tahu, dicabu bunga
mawar yang semakin membesar. Prul!
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku
duknya merinding. Bunga mawar itu kini memiliki aka
panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar
benar bunga iblis," gumam Sena sambil membuai
bunga itu jauh-jauh.
Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga
merinding, dicabutnya bunga mawar yang menancap
dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya
jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang
akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat
meninggalkan tempat itu setelah mematikan api
unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan
menggunakan ilmu larinya yang melebihi kecepatan
angin.
***
Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak
menggeliat bangun dari tidurnya.
"Hua…!" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap.
Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat
tubuhnya melayang turun dari atas cabang pohon di
Hutan Waranggalih.
Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-
ototnya yang agak kaku. Seketika matanya tertumbuk
pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar
sepuluh tombak dari tempat dia tidur.
"Heh! Rupanya ada orang yang datang ke tempat
ini," gumam Sena lirih. "Hm. Bagaimana mungkin aku
sampai tidak tahu?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya
melangkah menuju ke pohon itu. Dengan tangan
masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila
membaca tulisan di kulit pohon itu.
Pendekar Gila,
Kuharap kau jangan mencampuri urusanku!
Mawar Maut.
Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung
yang diselipkan di pinggang. Lalu dengan nikmat
kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis,
sedangkan tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah
bergumam. "Kurasa dia bukan orang sembarangan.
Kalau dia mau sangat mudah membunuhku."
Sena memandang berkeliling, berusaha mencari
jejak seseorang yang lewat di tempat itu. Tapi tak
ditemukan jejak apa pun.
"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak
ada sama sekali," gumam Sena, bicara pada diri
sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh
Mawar Maut yang senjata rahasianya berupa Mawar
Penghisap Darah.
Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila
meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tidak gentar
sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan
semakin ingin menyibak misteri tokoh itu. Sepak
terjangnya sangat membahayakan. Terutama senjata
rahasianya yang berupa bunga mawar merah.
"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin
penasaran, Mawar Maut!" gumam Sena sambil
melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan
itu.
Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-
tiba matanya melihat sebaris tulisan. Kali ini bukan
ancaman, melainkan sebuah petunjuk.
"Heh! Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia
mengancamku. Mengapa sekarang memberi
petunjuk?"
Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena
membaca tulisan Itu,
Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya! Beloklah
ke kanan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran
dengan tingkah laku Mawar Maut yang dirasa sangat
aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar
Maut benar. Terbukti, orang itu tidak membunuhnya
sewaktu tidur.
"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika
aku berjalan lurus," gumam Sena. Kemudian kakinya
pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar
Maut.
Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam.
Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui.
Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan
setapak.
Brosss!
"Akh!" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok
ke bawah. Tubuhnya melayang cepat ke dalam
lubang perangkap.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam sana,
Pendekar Gila! Bukankah sudah kukatakan jangan
berjalan lurus! Nah, kini tetaplah di situ menunggu
kematianmu!" dari atas terdengar suara seorang
wanita.
"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah
dia?" gumam sena, menduga-duga siapa Mawar Maut
itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara
desisan keras dari arah samping.
"Zsss...!"
Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya
berbalik memandang arah asal suara. Seketika
matanya beradu dengan sepasang mata merah
menyala.
"Ular!" desis Sena seraya menyurut mundur.
"Rupanya ini sarang ular."
Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya
tajam memandang pemilik sepasang mata merah
membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari
belakang terdengar desisan yang keras.
"Hei. Ada dua ekor!" seru Sena kaget.
Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah
menyala merayap ke arahnya. Lidah kedua binatang
menyeramkan itu menjulur-julur keluar. Mulutnya
yang mendesis-desis terbuka lebar, menunjukkan
gigi-giginya yang runcing dan berbisa.
"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka
mengira mudah memangsaku. Baik kawan, kita main-
main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga
Sakti.
Kedua ular besar hitam kelam itu semakin
mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar
menyeramkan. Mulutnya menganga, siap memangsa
Sena.
Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya
Suling Naga Sakti dengan perlahan hingga
menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu.
Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda
badai. Dari atas lubang menyeruak masuk beratus-
ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil
oleh tiupan suling Pendekar Gila.
"Zsss...!"
Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan
diperintah, ular-ular itu menyerang kedua ular hitam
besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam
sekejap, pertarungan dua ekor ular besar dengan
ratusan ekor ular kecil berlangsung. Ular-ular kecil itu
dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam
besar.
Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya,
semakin bertambah banyak ular-ular kecil ber-
datangan.
Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan
sakit akibat gigitan ular-ular kecil. Sampai-sampai
Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan
banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua
ular hitam besar itu lumat dimangsa ular-ular kecil.
Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu
membentuk sebuah tangga. seperti menyuruh
Pendekar Gila untuk naik ke atas.
Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik.
"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku.
Pergilah."
Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong
mereka meninggalkan Pendekar Gila yang masih
tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja
dialami.
"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas
pertolongan-Mu padaku," desah Sena. Kemudian
melesat pergi meninggalkan tempat itu.
5
Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan
tampak telah hadir beberapa orang undangan yang
sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah
Ki Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki
Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan Sena Manggala
atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim
di wilayah Kadipaten Pamakasan. Selain mereka,
tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang tua yang
menjadi penasihat kadipaten.
Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri
yang dikawal dua orang prajurit pilihan. Semua yang
hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura
hormat.
"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata
Adipati Sumagatri. "Silakan duduk kembali."
Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang
sudah disediakan. Sejenak semuanya terdiam. Mata
Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar
yang hadir di tempat itu.
"Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya
kemudian.
"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada
tewas oleh pembunuh misterius yang sampai saat ini
belum diketahui siapa sebenarnya."
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti.
Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu
duduk di kursinya. Semua pendekar yang hadir di
tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas
kematian Ki Anggada.
"Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di
kadipaten ini, bukan? Contoh yang nyata adalah Ki
Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati
Sumagatri setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk
dicekam rasa takut dengan kemunculan pembunuh
misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...,"
tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara
mereka. Lelaki berjenggot panjang putih dengan
hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang
dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra.
Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak
lain guru besar di Perguruan Tambak Segara.
"Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang
kewalahan menghadapinya. Senjatanya mengingat-
kan kita pada tokoh yang pernah membuat
kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki
Lurah Banjilan, Ki Sangkutra masih ingat siapa tokoh
bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki
Balacatra, mengejutkan semuanya termasuk Adipati
Sumagatri.
"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati
Sumagatri.
"Benar."
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
sambut Ki Lurah Banjil.
"Aku telah memperhatikan dengan seksama
korban-korban tokoh itu. Bunga mawar merah itu
ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di
tubuh korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan.
"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara.
"Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya
Adipati Sumagatri.
Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil
tersenyum-senyum.
"Ya! Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin
malam bersamaku diserang oleh Mawar Maut. Mawar
itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika
dicabut, mawar itu akan layu," tutur Sena.
"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai
saat ini," gumam Adipati Sumagatri sambil meng-
angguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung.
"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena.
"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya
Ki Balacatra. Penasihat kadipatan itu ingin tahu
mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar
Maut. Padahal, pendekar muda itu bukan orang
sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua orang
prajurit saja tidak sanggup.
Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena mencerita-
kan apa yang terjadi kemarin malam.
"Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa mencerita-
kan bagaimana dia terperosok ke dalam lubang yang
berisi dua ekor ular besar berwama hitam.
Semua yang mendengar mengangguk-angguk.
Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar
Gila. Meski sebelumnya mereka belum pernah
bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh
yang dikenal arif dan bijaksana itu tak akan mungkin
berkata bohong.
"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar
maut itu memang bukan orang sembarangan.
Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?"
tanya Ki Balamprang setengah bergumam.
"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit.
"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya?
Bukankah kita telah membunuhnya? Bahkan,
kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu,
Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra. Lelaki ini paling
muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan.
Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di
atas bibir. Matanya sedang dan alis matanya tidak
terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar.
Pakaian yang dikenakannya hijau tua.
"Benar! Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki
Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng Adipati
menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang
sudah mati hidup kembali," bantah Ki Mandra Dupa,
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang
bauk lebat. Matanya lebar memandang garang.
Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang
hingga wajahnya seperti wajah ular. Pakaiannya
berwarna coklat muda.
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-
kan.
"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan
Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu, kamilah yang
menguburkan Dewi Pedang beracun beserta
pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat
kata-kata Ki Sangkutra dan Ki Mandra Dupa.
"Hm....!"
Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat
dalam pembunuhan Dewi Pedang Beracun, Pendekar
Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas.
"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama
dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki Balamprang.
"Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang
sepuluh tahun silam kita bunuh?"
Semua terdiam. Larut dalam pikiran masing-
masing. Mereka sungguh tak mengerti, mengapa
kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau
benar Dewi Pedang Beracun yang melakukannya,
sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi
Pedang Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah
Dewi Pedang Beracun muncul dan bermaksud
menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya.
"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak
menceritakan kejadian sepuluh tahun silam itu?"
tanya Sena.
"Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang.
Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua
kejadian yang menyangkut Dewi Pedang Beracun.
Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang
dipimpin Adipati Kerto Amabrang dihebohkan oleh
seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau
dengan senjata bunga kenanga. Wanita cantik itu
memiliki sebatang pedang perak yang mengeluarkan
racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang
Beracun.
Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu
belaka. Membalas dendam dengan membunuh para
pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati.
Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi
Pedang Beracun anak sepasang suami istri yang telah
dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas
perintah Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan
guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi Kandri.
Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto
Amabrang mengundang lima pendekar yang ada di
wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki
Anggada, Ki Mandra Dupa dan pendekar muda yang
kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang kuat
akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang
Beracun dan menguburkannya di atas Bukit Lawa
Ireng.
"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang
Beracun benar-benar hidup kembali, rasanya
mustahil. Mungkinkah arwahnya? Hingga gerakannya
melebihi Dewi Pedang Beracun yang sebenarnya?"
tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun
merasa heran setelah mendengar cerita Ki
Balamprang. Ingatannya segera melayang pada
kejadian kemarin, saat dia terperosok ke dalam
lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan
berkelebat. Kakinya menginjak tanah.
"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata
Sena pasti.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut
Adipati Sumagatri.
"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat
semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-
gerik yang sama persis dengan Dewi Pedang Beracun.
Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang
Beracun," tutur Sena membuat semuanya ter-
cengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila
mampu rnenarik kesimpulan dari cerita yang baru
saja didengarnya.
"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau
berkenan, berilah penjelasan yang sempurna," pinta
Ki Balacatra.
"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian
mau memperhatikan dengan seksama. Pertama,
Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan
bunga kenanga yang menancap di kening korban,
seperti yang diceritakan Ki Balamprang. Tapi orang ini
membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa
hidup pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai
ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan mereka.
Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang.
Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan
jurusnya agak berbeda."
"Maksudmu, Pendekar Gila...?!" tanya Adipati
Sumagatri.
"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita
kematian Ki Anggada? Dia mati dengan leher
tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut
cerita Ki Balamprang, Dewi Pedang Beracun hanya
cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan
dengan cara menyilang...," tutur Sena menjelaskan.
Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin
kagum pada Pendekar Gila. Mereka tidak pernah
menyangka kalau pendekar muda itu sanggup
menarik kesimpulan dari peristiwa yang penuh
misteri.
"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan
pada keanehan dan dugaan sesat," kata Ki Balacatra.
"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap
pelaku itu."
"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena.
"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra.
"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun."
"Hm.... Benar!" sambut Ki Sangkutra.
"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang
Beracun masih terkubur di sana," sambung Ki
Mandra Dupa.
"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati
Sumagatri.
"Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki
Balamprang saja," kata Sena. "Bagaimana, Ki?"
"Aku setuju."
"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena.
Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi.
Setelah menjura hormat, mereka bergegas
meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi
Pedang Beracun yang berada di Bukit Lawang Ireng.
***
Emoticon