Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Sang Penakluk
SATU
MALAM ini bulan bersinar penuh. Langit
cerah tanpa sedikit pun awan menggantung. Bintang-bintang gemerlapan, menambah
keindahan angkasa raya. sepertinya keindahan malam ini tidak dinikmati seluruh
penduduk Desa Semanding. Pintu dan jendela rumah mereka tertutup rapat, tak ada
seorang pun yang terlihat di luar. Hanya binatang-binatang malam saja yang
mereguk keindahan malam.
Namun di sebuah rumah yang terletak agak
menyendiri dari rumah-rumah lain, terlihat sepasang suami istri yang telah
berumur tengah duduk-duduk beranda. Mereka hidup tanpa pernah mengecap indahnya
menimang anak dan merdunya suara tangisan seorang bayi. Hingga usia
menggerogoti, tak seorang anak pun menghiasi kehidupan mereka.
"Sepi sekali ya, Nyi...?"
gumam lelaki tua yang duduk bersandar pada tiang rumahnya.
Laki-laki itu sering dipanggil orang Ki
Jepun. Sedangkan istrinya yang tengah menikmati kinang sirih, hanya diam saja
memandang cahaya rembulan. Sesekali disemburkan ludahnya yang berwarna merah ke
dalam cawan kuningan. Sementara Ki Jepun tentu menikmati asap daun tembakau.
"Sepi atau ramai bagiku sama saja,
Ki," Dengus Nyi Jepun tak peduli.
"Yaaah.... Seakan-akan kesunyian
telah menyatu dalam kehidupan kita," desah Ki Jepun pelan. Hampir tidak
terdengar suaranya.
"Bikin saja keributan biar ramai,
Ki," Celetuk Nyi Jepun seenaknya.
Ki Jepun terbatuk mendengar olok-olok
istrinya. Sedangkan Nyi Jepun tertawa terkikik. Meskipun sudah berusia lanjut,
namun kemesraan selalu menyemaraki kehidupan mereka. Tak ada waktu bagi mereka
untuk berbicara serius. Kalau tidak Nyi Jepun yang memulai, tentu Ki Jepun yang
mendahului dengan gurauan.
Pasangan suami-istri tua itu tiba-tiba
terdiam ketika mendengar langkah kaki kuda dari kejauhan. Sesaat mereka saling
pandang. Di malam sunyi seperti ini, suara sekecil apa pun akan terdengar
jelas. Dan suara langkah kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Ki Jepun
mengarahkan pandangannya ke ujung jalan, tempat suara kaki kuda itu berasal.
"Siapa malam-malam begini berkuda,
ya..?" gumam Ki Jepun seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Aaah.... Barangkali orang kesasar,
Ki," sahut istrinya tidak peduli.
Ki Jepun terus mengamati ke ujung jalan.
Dari balik kabut tampak seekor kuda berjalan pelahan melintasi jalan desa yang
tidak begitu besar dan berdebu dipenuhi kerikil. Suara langkah kaki kuda itu
semakin jelas terdengar.
Ki Jepun berusaha memperjelas penglihatannya
dalam kegelapan. Namun mata tuanya memang terlalu sukar melihat dalam jarak
yang cukup jauh. Rasanya tak mungkin Ki Jepun mengenali penunggang kuda itu.
"Ada apa, Ki...?" tanya Nyi
Jepun melihat suaminya terus memperhatikan penunggang kuda itu.
"Kelihatannya dia mencari sesuatu,
Nyi," sahut Ki Jepun.
“Paling juga mencari penginapan. Biar
saja, Ki. Kalau dia mau menginap di sini, bisa menempati kamar belakang.
Lumayan kan, Ki...," ujar Nyi Jepun ringan.
Ki Jepun diam saja, dan terus saja memperhatikan
penunggang kuda itu. Semakin dekat, semakin jelas kalau penunggang kuda coklat
tua itu seorang wanita muda berwajah cukup cantik mengenakan baju biru gelap.
Kepalanya tertutup caping cukup lebar, sehingga hampir menyembunyikan sebagian
wajahnya.
Penunggang kuda itu berhenti tepat di
depan rumah Ki Jepun. Sebentar diperhatikannya pasangan suami istri tua itu,
penunggang kuda itu kemudian turun dari punggung kudanya. Setelah menambatkan
kudanya di pagar bambu, dilangkahkan kakinya menghampiri beranda, ke arah Ki
Jepun dan istrinya duduk.
"Malam, Ki...," sapa orang itu
dengan suara ramah, sopan, dan lembut sekali.
"Oh, malam...," sahut Ki
Jepun.
"Ada yang bisa kami bantu?"
"Aku mencari tempat penginapan, Ki.
Tapi tampaknya desa ini tidak ada rumah penginapan," sahut wanita itu
tetap bersuara lembut.
Dibukanya caping bambu yang
dikenakannya. Semakin jelas terlihat raut wajah yang cantik berkeringat. Bukan
hanya Ki Jepun yang terpana, bahkan istrinya sampai terlongong melihat
kecantikan wanita ini. Mereka seperti tengah berhadapan dengan seorang dewi
yang baru turun dari kahyangan! Begitu cantiknya bagai tak memiliki cacat
sedikit pun.
"Maaf, Ki. Di manakah kiranya aku
bisa menemukan tempat untuk bermalam?" ujar wanita itu masih dengan suara
yang halus lembut.
"Oh...!" Ki Jepun tersentak,
bagai baru terbangun dari mimpi indah.
Laki-laki tua renta itu memandang
istrinya. Nyi Jepun bergegas bangkit dan menghampiri wanita cantik itu.
"Ni sanak bisa tinggal di sini.
Desa ini memang tidak ada rumah penginapan,” jelas Nyi Jepun ramah.
"Terima kasih, Nyi," sahut
wanita itu diiringi senyum menawan.
"Mari masuk, biar kudamu Ki Jepun
yang mengurus," ajak Nyi Jepun.
"Ah, biar saja kudaku di Sana.
Jangan terlalu merepotkan, Nyi."
“Tidak apa-apa. Masuklah."
Wanita muda berwajah cantik bagai
bidadari itu melangkah masuk mengikuti Nyi Jepun. Sedangkan Ki Jepun hanya
memandanginya saja sampai lenyap di balik pintu. Kepala laki-laki tua itu menggeleng-geleng
beberapa kali, kemudian bergegas menghampiri kuda tamunya, dan membawanya ke
belakang. Sementara malam terus beranjak semakin larut Udara dingin terasa,
saat kabut semakin menebal. Kesunyian semakin terasa menyelimuti seluruh Desa
Semanding.
***
Kehadiran wanita muda yang mengaku
bernama Dewayani di rumah Ki Jepun, membuat suasana rumah itu jauh berbeda.
Bahkan Ki Jepun sudah mengakui Dewayani sebagai keponakannya yang datang dari
jauh. Setiap orang yang menanyakan tentang gadis itu, selalu dijawab begitu.
Semula Nyi Jepun tidak menyukai suaminya mengakui wanita itu sebagai keponakan,
tapi akhirnya diam saja. Bahkan kini ikut senang.
Kini mereka menumpahkan kasih sayang
pada gadis itu. Segala kerinduannya terhadap seorang anak kandung seperti
tertumpah semua terhadap Dewayani. Sudah lebih satu pekan Dewayani tinggal di
rumah pasangan tua itu. Dan kelihatannya gadis itu juga menyukai, terlebih lagi
pasangan tua itu selalu memperhatikan dan menyayanginya seperti anak sendiri.
Namun kehadiran Dewayani juga membuat Ki Jepun jadi pusing. Pemuda-pemuda desa
mulai berkasak-kusuk ingin mendekati gadis cantik itu. Hal ini membuat
laki-laki tua itu jadi kewalahan menghadapinya.
"Ki, ajak-ajaklah keponakanmu main
ke rumah," kata seorang tetangganya ketika Ki Jepun baru saja pulang dari
ladang.
"Nantilah jika sempat," sahut
Ki Jepun ramah.
Sapaan seperti itu memang sering
diterimanya sejak kedatangan Dewayani. Dan Ki Jepun masih menyambut baik,
meskipun tidak pernah mengajak Dewayani pergi bertandang ke rumah-rumah
tetangganya. Bahkan sapaan-sapaan yang bernada berani sering juga didapat.
Terutama dari kalangan anak-anak muda. Namun Ki Jepun hanya menanggapinya
dengan senyum, walaupun hatinya menggerutu dongkol.
"Kopinya, Ki..."
"Oh...!" Ki Jepun tersentak.
Seketika lamunannya buyar. Laki-laki tua itu tersenyum melihat Dewayani membawa
segelas kopi yang masih mengepulkan asap. Diletakkan kopi di atas meja,
kemudian gadis itu duduk di balai-balai bambu di depan Ki Jepun. Sedangkan
laki-laki tua itu hanya memandangi saja.
"Ada apa, Ki?" tegur Dewayani
lembut.
"Sudah lebih dari satu pekan kau
tinggal di sini, Yani," desah Ki Jepun.
"Apakah aku selalu merepotkanmu,
Ki?"
"Tidak. Bahkan aku senang kau
berada di sini. Tapi..."
"Tapi, kenapa?"
"Mereka...," desah Ki Jepun
pelan.
Dewayani tersenyum. Sudah bisa ditebak,
apa yang hendak diutarakan laki-laki tua itu. Gadis itu memang sering digoda
pemuda-pemuda iseng. Bahkan yang kurang ajar pun sering didapatkan.
Kehadirannya di desa ini memang sudah membuat suatu perubahan besar, terutama
buat kalangan anak-anak muda. Sebaliknya tidak jarang didapatkan cibiran sinis
dari para gadis yang merasa tersaing.
"Biarkan saja mereka, Ki. Toh aku
tidak lama berada di sini. Jika Aki kehendaki, sekarang juga aku bisa
pergi," tegas Dewayani tetap lembut.
"Tidak, Yani. Aku senang kau berada
di sini. Bahkan istriku juga menyayangimu. Kedatanganmu ke sini telah merubah
kehidupan kami. Semua orang di desa ini jadi memperhatikan aku, yang sebelumnya
tidak pernah kudapatkan. Hampir setiap saat sekarang mereka menyapa dan
menghormatiku. Padahal sebelumnya tak ada seorang pun yang suka bertegur sapa
denganku,” nada suara Ki Jepun seperti mengeluh menumpahkan isi hatinya.
"Aku tidak menyangka akan seperti
itu jadinya, Ki," ujar Dewayani.
"Biarkan saja mulut orang. Toh,
nanti berhenti sendiri!" tiba-tiba Nyi Jepun muncul.
Perempuan tua itu langsung menempatkan
diri di samping Dewayani. Diambilnya kotak sirih, dan mulailah diracik ramuan
sirih, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Seperti seekor sapi yang sedang
memamah biak, mulutnya tidak berhenti bergerak mengunyah sirih.
"Yang penting sekarang, kau adalah
anak kami. Aku tidak peduli sikap seluruh warga desa ini. Kalau ada maunya saja
mereka ramah, tapi kalau tidak...? Bertemu muka pun mereka enggan!" Agak
jengkel nada suara Nyi Jepun.
"Memangnya kenapa, Nyi?" Tanya
Dewayani.
"Mereka menganggap kami ini pembawa
bencana, sehingga Hyang Widi tidak memberiku anak!" Dengus Nyi Jepun.
"Jangan berkata seperti itu,
Nyi..." selak Ki Jepun.
"Biar saja! Untuk apa
ditutup-tutupi? Memang kenyataannya begitu, kok!" Rungut Nyi Jepun.
Dewayani memandangi Nyi Jepun dan
suaminya bergantian. Kening gadis itu sedikit berkerut mendengar keluhan yang
baru kali ini didengarnya. Sejak berada di rumah ini, Dewayani selalu melihat
Nyi Jepun, perempuan tua periang dan senang bergurau. Tapi pagi ini sungguh
lain, seakan-akan apa yang sudah lama terpendam dalam hatinya tertumpah.
Sedangkan Ki Jepun hanya diam tidak
berkata apa-apa. Laki-laki tua itu mengarahkan pandangannya ke jalan. Setelah
menghirup habis kopinya, kemudian laki-laki tua itu bangkit berdiri dan
mengambil cangkul. Ki Jepun mengenakan caping bambu. Sebentar wajahnya menoleh
pada Dewayani dan istrinya.
"Aku pulang siang nanti, tidak
perlu bawa makanan ke ladang," pesan Ki Jepun.
"Iya, lihat ladang sana. Nanti
pepaya kita ada yang mencuri lagi!" Rungut istrinya.
Ki Jepun melangkah ke luar memanggul
cangkul. Dewayani memandangi punggung laki-laki tua itu sampai lenyap dari
pandangannya. Kemudian dialihkan tatapannya pada perempuan tua di sampingnya.
Sedangkan Nyi Jepun masih asyik mengunyah sirih.
"Suamiku itu orangnya memang lemah.
Padahal dulu waktu muda gagah, dan semua orang menyeganinya," jelas Nyi
Jepun.
Dewayani hanya diam saja mendengarkan.
"Dulu tidak ada orang yang berbuat
macam-macam. Tapi sekarang.... Setelah kami tua renta dan tidak punya daya
lagi, tak ada seorang pun yang memandang lagi. Hidup ini memang memuakkan,
Yani. Mumpung masih muda cantik, aku hanya berpesan agar kau jangan mudah
terpancing omongan manis laki-laki. Demikian pula pada gadis-gadis yang pasti
tidak akan menyukai keberadaanmu di sini," sambung Nyi Jepun lagi.
"Ah! Aku belum berpikir ke situ,
Nyi," ujar Dewayani.
"Bagus kalau begitu. Asal tahu
saja, jangan sampai terpikat pada anak-anak muda di sini."
"Kenapa?"
"Mereka cuma melihat kecantikan
dirimu saja. Kalau kau sudah tidak cantik lagi, dengan seenaknya mereka akan
mendepakmu, lalu mencari wanita lain yang lebih cantik dan segar."
"Ah masa begitu ah, Nyi?"
"Aku ini orang asli di sini, Yani.
Jadi, tahu betul perbuatan orang-orang di sini."
"Tapi, Ki Jepun kan setia."
"Suamiku itu bukan orang sini.
Tadinya seorang pengembara, lalu terpikat padaku dan menetap di sini. Dulu aku
ini kembang desa yang selalu menjadi rebutan, Yani"
Dewayani memandangi wanita itu
dalam-dalam. Memang, meskipun sudah berusia lanjut, tapi masih terlihat
garis-garis kecantikan pada wajahnya. Gadis itu juga pernah mendengar cerita
kalau dulu Nyi Jepun adalah Kembang Desa Semanding. Dan yang beruntung
menyuntingnya adalah Ki Jepun, hingga mereka hidup rukun sampai tua renta
seperti ini
"Ki Jepun dulunya seorang pendekar
ya, Nyi?" Tanya Dewayani iseng.
"Benar," sahut Nyi Jepun. Ada
nada bangga pada suaranya. "Pantas saja bisa menyunting bunga
desa...," olok Dewayani.
"Kau ini ada-ada saja, Yani,"
Nyi Jepun tersipu.
"Tapi benar kan, Nyi?"
"Aku memang tidak bisa menyangkal.
Waktu menikah dengannya, banyak cobaan datang. Terutama dari laki-laki yang
merasa kecewa. Mereka jadi tidak menyukai suamiku. Tapi suamiku memang
laki-laki hebat Semuanya bisa diatasi. Bahkan mereka yang membenci jadi takut, tidak
berani lagi mencari gara-gara.
"Wah! Hebat..!" puji Dewayani.
"Ah, sudahlah. Jadi melantur.
Pekerjaanku masih banyak di belakang!" ujar Nyi Jepun seraya bangkit dari
balai-balai bambu itu.
***
Dewayani duduk mencangkung di pinggir
sungai. Batu yang didudukinya menjorok masuk ke sungai sehingga sebagian
kakinya terendam di dalam air Jernih yang mengalir tenang. Gadis itu
mendongakkan kepalanya ketika mendengar langkah kaki dari belakang dan sedikit
pun tidak menoleh. Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar menghampiri,
kemudian berhenti.
"Rupanya kau berada di sini,
Dewayani," terdengar suara kering dan berat.
Dewayani tersentak kaget, langsung
melompat berdiri dan memutar tubuhnya. Kedua matanya membeliak melihat seorang
laki-laki tua bertubuh kurus kering mengenakan jubah hitam panjang, tahu-tahu
sudah di dekatnya. Sebatang tongkat hitam menyangga tubuhnya berdiri.
Dewayani menggeser kakinya ke samping.
Keranjang cucian yang terbalik tidak dipedulikan lagi, ketika gadis itu
melompat terkejut. Beberapa potong pakaian hanyut terbawa arus sungai.
Pandangan gadis itu tidak berkedip merayapi laki-laki tua kurus kering yang
hanya berdiri saja sambil tersenyum tipis.
"Mau apa kau ke sini, Iblis
Hitam?" dengus Dewayani.
"Seharusnya kau bisa menjawab
sendiri pertanyaanmu, Dewayani," sahut laki-laki tua kurus kering itu yang
dipanggil Iblis Hitam oleh Dewayani.
"Aku minta kau pergi dan jangan
ganggu aku lagi!" Bentak Dewayani.
"Sayang sekali, Dewayani. Aku harus
membawamu pulang ke daerah Selatan," datar dan kering sekali suara Iblis
Hitam.
“Pulang ke Selatan...? Kau pikir aku ini
apamu, heh?!"
"Kau memang berhak untuk menolak,
tapi..."
"Tutup mulutmu!" bentak
Dewayani memutus kata-kata Iblis Hitam.
"Apa pun yang kau lakukan, ke mana
pun kau pergi, semua tak ada gunanya bagimu. Apa yang sudah ditetapkan harus
terlaksana di mana pun kau berada. Ingat-ingatlah itu, Dewayani!" Dingin
nada suara Iblis Hitam.
"Huh!" Dewayani mendengus.
"Baiklah. Kau kuberikan kesempatan
untuk berpikir," Iblis Hitam mengalah.
Dewayani diam saja tanpa memberi
tanggapan apa pun. Dan Iblis Hitam membalikkan tubuhnya. Ditinggalkannya gadis
itu dengan ayunan kaki ringan bagai tidak menapak tanah. Dewayani masih berdiri
memandangi sampai laki-laki tua kurus kering itu lenyap dari pandangan.
Buru-buru gadis itu mengambil keranjang cucian, dan bergegas meninggalkan
sungai itu.
Langkahnya lebar dan tergesa-gesa.
Hampir saja dia bertabrakan dengan seorang pemuda yang hendak menuju sungai.
Untung saja pemuda itu buru-buru menghentikan langkahnya, hanya saja keranjang
cucian yang dibawa Dewayani sempat membentur tangan pemuda itu hingga jatuh.
"Oh, maaf!" ucap pemuda itu
buru-buru mengambil keranjang cucian yang terjatuh tadi.
Dewayani hanya diam saja memandangi
seraut wajah tampan. Bahkan sampai tak sadar kalau pemuda itu menyodorkan
keranjang cuciannya. Gadis itu cepat tersentak dari keterkejutannya, dan
buru-buru menerima keranjang dari tangan pemuda berwajah tampan dengan tubuh
tegap terbalut kulit kuning langsat. Sebentar Dewayani memandangi, kemudian
bergegas pergi.
"Eh, tunggu...!" seru pemuda
itu. Dewayani berhenti, namun tidak membalikkan tubuhnya. Sedangkan pemuda itu
segera menghampiri dan berdiri di depannya. Kembali mereka saling tatap.
"Kau tidak menerima maafku, Ni
sanak?" ujar pemuda itu, penuh penyesalan. Dewayani hanya diam saja.
Dialihkan pandangannya ke arah lain. Entah kenapa, tiba-tiba saja jantungnya
jadi berdetak keras saat menerima tatapan pemuda itu. "Aku tadi
terburu-buru, jadi...."
"Sudahlah. Aku juga
buru-buru," Dewayani cepat memutus kata-kata pemuda tampan itu.
"Jadi kau sudi menerima
maafku?"
"Iya," sahut Dewayani.
Gadis itu segera melangkah pergi.
Sedangkan pemuda itu masih memandanginya. Diangkat bahunya sedikit ke atas,
kemudian dilanjutkan jalannya menuju ke sungai. Sementara Dewayani terus
berjalan tergesa-gesa, tapi sebentar kemudian berhenti dan menoleh ke belakang.
Tak terlihat lagi pemuda itu di sana.
Dewayani menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat Kembali dilanjutkan perjalanannya, tapi kali ini
langkahnya tidak terburu-buru karena sudah memasuki jalan menuju desa. Beberapa
orang yang berpapasan dengannya menganggukkan kepala dan menyapa ramah.
Dewayani membalasnya dengan anggukan kepala dan tersenyum manis.
Dewayani terus berjalan menuju rumahnya,
namun sebentar-sebentar berlari-lari kecil. Napasnya sudah tersengal memburu.
Gadis itu tak mempedulikan pandangan beberapa orang yang merasa keheranan
melihatnya seperti terburu-buru. Dewayani memang jadi tergesa-gesa kembali
begitu teringat Iblis Hitam. Gadis itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah
Ki Jepun.
Kebetulan laki-laki tua itu ada di dalam
sedang menikmati teh hangat bersama istrinya. Ki Jepun dan istrinya terkejut
melihat Dewayani seperti dikejar setan. Gadis itu langsung meletakkan keranjang
cuciannya, dan menghenyakkan tubuh di balai-balai bambu. Napasnya mendengus
tidak teratur.
"Ada apa, Yani? Ada yang
mengganggumu?" Tanya Ki Jepun.
"Tidak apa-apa, Ki," sahut
Dewayani seraya mengatur jalan napasnya.
"Tapi, kau seperti dikejar setan
saja."
"Aku memang tadi dikejar-kejar,
Ki."
"Heh...! Siapa yang berani
mengejarmu?" sentak Ki Jepun.
"Bukan orang, tapi anjing yang
mengejarku, sahut Dewayani berbohong.
"Ooo...," Ki Jepun menarik
napas panjang.
Sedangkan Nyi Jepun hanya tertawa
terkikik. Dihampirinya Dewayani yang masih sibuk mengatur jalan nafasnya.
Perempuan tua itu mengambil kain dan menghapus keringat yang membanjiri pundak
Dewayani. Gadis itu memang ha-nya mengenakan kain membelit tubuhnya, sehingga
bagian bahu dan sebagian dadanya terbuka. Putih dan mulus sekali, sampai-sampai
Ki Jepun mengalihkan pandangannya.
"Ganti bajumu dulu, sana,"
perintah Nyi Jepun.
Dewayani mengangguk, kemudian masuk ke
dalam kamarnya. Nyi Jepun kembali duduk di samping suaminya. Diangkatnya cawan
dari kuningan, dan diludahkan liur sirih ke dalam cawan itu. Mulutnya terus
bergoyang mengunyah sirih. Sesekali dibersihkan bibir keriputnya dengan
potongan daun tembakau, kemudian meludah lagi ke dalam cawan.
“Rasanya tidak ada anjing di desa ini
yang suka mengejar-ngejar orang," gumam Ki Jepun.
"Barangkali anjing itu suka melihat
Dewayani, Ki.”
"Iya, anjing berkepala hitam!"
rungut Ki Jepun.
Nyi Jepun jadi tertawa mengikik. Ditepuk
pundak suaminya. Tapi Ki Jepun malah memberengut. Saat itu Dewayani keluar dari
kamarnya, dan sudah mengenakan baju yang cukup ketat berwarna kuning muda.
Sungguh serasi dengan warna kulitnya yang putih. Cantik sekali gadis itu,
sampai-sampai Nyi Jepun dan suaminya terpana. Sering mereka terpana begitu bila
melihat penampilan Dewayani yang sudah rapi mengenakan pakaian bersih begitu.
"Yani. Kalau ada yang kurang ajar
padamu, bilang saja," pancing Ki Jepun.
"Kenapa jadi kamu yang sewot sih,
Ki!" Dengus Nyi Jepun sebelum Dewayani menjawab.
"Aku tidak suka tingkah
mereka!"
"Lho...! Kemarin kau sendiri yang
melarangku berkata begitu. Kok sekarang lain...?"
"Ah, sudahlah!" sentak Ki
Jepun memutus ucapan istrinya.
Nyi Jepun mengangkat bahunya seraya
tersenyum-senyum memandang wajah suaminya yang memberengut. Sejak pagi tadi
wajah Ki Jepun kelihatan masam dan tidak ada senyum. Pasti ada sesuatu yang
membuat laki-laki tua ini bersikap demikian, namun Nyi Jepun tidak ambil
peduli. Dia malah senang suaminya sudah berubah sikap memandang Dewayani.
Sedangkan Dewayani sendiri hanya diam saja. Tidak ada yang tahu kalau pikiran
gadis ini sedang kalut. Dia masih teringat kata-kata Iblis Hitam di sungai
tadi.
***
DUA
Malam ini suasana di Desa Semanding
tidak seperti biasanya. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin
menggigilkan. Langit tampak kelam, terselimut awan hitam tebal. Kepekatan
benar-benar menyelimuti seluruh permukaan Desa Semanding. Suasana malam ini begitu
mencekam ditambah lolongan anjing yang panjang, seakan-akan memberi tanda akan
terjadi sesuatu.
Malam yang begitu sunyi dan mencekam,
mendadak saja dipecahkan oleh jeritan panjang melengking tinggi, yang
seakan-akan sedang meregang nyawa. Jeritan itu mengejutkan seluruh penduduk
Desa Semanding. Begitu jelas dan mengejutkan, membuat hampir seluruh penduduk
yang tengah terlelap jadi terbangun. Rumah-rumah yang semula gelap, mendadak
saja terang benderang. Seketika beberapa pintu rumah terbuka, disusul keluarnya
penghuni rumah-rumah itu. Beberapa saat kemudian seluruh penduduk desa kembali
dikejutkan suara teriakan minta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...!" Jelas
sekali kalau suara itu terdengar dan datang dari sebuah rumah yang tidak jauh
dari rumah Ki Jepun.
Semua orang yang sudah keluar rumah,
langsung terkejut begitu melihat seorang wanita bertubuh gemuk tengah berlari
ke luar rumah sambil menjerit-jerit minta tolong. Perempuan gemuk yang dikenal
seluruh penduduk Desa Semanding bernama Nyai Lantak itu jatuh tersuruk di depan
rumahnya. Seperti semut melihat gula, para penduduk desa itu berhamburan
menghampiri.
Sementara wanita gemuk itu menangis dan
melolong-lolong seperti kehilangan ingatan. Seluruh penduduk desa, baik
laki-laki, perempuan, tua, dan muda menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa
yang terjadi. Beberapa pertanyaan terlontar, namun Nyai Lantak malah semakin
menjerit histeris tak karuan.
"Minggir! Ada apa ini...?"
tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Orang-orang yang sedang mengerumuni Nyai
Lantak langsung menyingkir. Tampak seorang laki-laki bertubuh kekar yang
usianya sekitar empat puluh tahun, melangkah menyibak kerumunan orang itu.
Semua yang berkerumun tahu betul, siapa laki-laki kekar dan berkumis tebal itu.
Dia adalah Ki Jarak, Kepala Desa Seman-ding ini. Laki-laki itu langsung
menghampiri Nyai Lantak yang masih terduduk di tanah, tidak mempedulikan
pakaiannya yang acak-acakan.
"Aduh, Ki.... Tolong anakku,
Ki...," Nyai Lantak langsung memeluk kaki kepala desa itu.
“Tenang, Nyai. Ada apa dengan
anakmu?" Tanya Ki Jarak.
"Anakku, Ki.... Anakkuuu,..,"
kembali Nyai Lantak menangis melolong dan meratap. Ki Jarak jadi kebingungan.
Dilepaskan pelukan wanita gemuk itu pada kakinya, kemudian dilangkahkan kakinya
menghampiri rumah Nyai Lantak yang pintunya terbuka lebar. Namun begitu baru
saja sampai di ambang pintu, mendadak hatinya tertegun dan matanya membeliak
lebar. Orang-orang yang berkerumun jadi keheranan. Mereka menghampiri, dan....
"Ah...!"
“Hihhh...!"
Orang-orang itu langsung berhamburan
menjauh. Tapi Ki Jarak malah melangkah masuk. Matanya tidak berkedip memandangi
sosok tubuh pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang tergolek dengan leher
koyak. Darah telah menggenang di lantai, dan mengucur dari leher yang koyak
lebar itu. Sebentar Ki Jarak memandangi pemuda yang dikenalnya betul. Laki-laki
tua itu berbalik dan melangkah keluar dengan kepala tertunduk, dan berhenti di
ambang pintu.
Dipandanginya orang-orang yang
berkerumun dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran. Kemudian pandangannya
beralih, dan langsung tertuju pada Nyai Lantak yang masih menangis senggukan
dalam pelukan seorang wanita tua. Sunyi, tak ada seorang pun yang membuka
suara. Mereka hanya memandang Ki Jarak yang juga membisu, berwajah lesu. Mereka
semua tahu, apa yang ada di dalam rumah itu.
Selama bertahun-tahun desa ini belum
pernah mengalami kejadian seperti ini. Tak heran jika Ki Jarak sendiri seperti
kehilangan akal, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya berdiri
bengong di ambang pintu memandangi warganya yang berkerumun.
Pada saat itu, dari kerumunan penduduk
Desa Semanding, berjalan seorang pemuda tampan dan berambut panjang sedikit
tergelung ke atas. Dia mengenakan baju rompi dan ikat kepala putih. Dada yang
bidang dibiarkan terbuka lebar. Pemuda Itu tidak mempedulikan tatapan mata
penduduk, dan terus berjalan menghampiri Ki Jarak.
"Maaf. Kalau boleh aku tahu, ada
apa di dalam?" tanya pemuda itu sopan.
Ki Jarak tidak menjawab. Sebentar
dipandangi pemuda itu, kemudian digeser tubuhnya memberi jalan. Pemuda itu
menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian melangkah melewati kepala desa itu.
Sejenak pemuda itu tertegun begitu mencapai ambang pintu, tapi kakinya kemudian
kembali terayun masuk. Matanya agak menyipit melihat seorang pemuda tergeletak
berlumuran darah dengan leher terkoyak. Dia berlutut di samping mayat itu, lalu
memeriksa luka di leher yang koyak.
"Hm...!" pemuda itu bergumam,
seraya bangkit berdiri. Ditolehkan kepalanya ketika mendengar suara langkah
menghampiri. Ki Jarak berhenti tidak berapa jauh di ambang pintu. Sebentar
dipandangi pemuda itu, kemudian beralih pada sosok mayat di lantai rumah.
Pandangannya berganti-ganti seakan-akan ingin mengatakan sesuatu. Pemuda tampan
berbaju rompi putih itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian tangannya
menjulur mengambil selembar kain lusuh. Ditutupi mayat itu dengan kain. Segera
dihampiri-nya Ki Jarak.
"Kita harus mengubur mayat ini
sebagaimana layaknya," kata pemuda itu bernada sopan.
"Oh, iya.... Iya," sahut Ki
Jarak tergagap, seperti baru saja terjaga dari mimpi buruk.
Pemuda itu melangkah hendak ke luar.
"Tunggu, Kisanak," cegah Ki
Jarak. Ayunan langkah pemuda berbaju putih tanpa lengan itu terhenti. Diputar
tubuhnya menghadap kembali pada Ki Jarak.
"Tampaknya Kisanak bukan penduduk
desa ini. Siapa Kisanak sebenarnya?" ada nada kecurigaan pada suara Ki
Jarak.
"Hanya kebetulan lewat saja. Aku
seorang pengembara," sahut pemuda itu seraya tersenyum.
Ki jarak ingin bertanya lagi, tapi tidak
jadi.
"Sebaiknya kita urus dulu jasad
itu," usul pemuda itu sopan.
Ki Jarak hanya diam saja, tapi
menyetujui usul pemuda itu untuk mengurus mayat anak Nyai Lantak. Ki Jarak
bergegas ke luar. Sedangkan pemuda itu kembali mendekati mayat pemuda yang
terkoyak lehernya. Entah apa yang dikatakan kepala desa itu di luar, tapi tidak
lama kemudian empat orang laki-laki masuk ke dalam rumah itu. Mereka sebentar
memandangi pemuda yang tengah membenahi mayat itu.
"Apakah akan dikubur sekarang atau
menunggu besok?" Tanya pemuda itu tanpa mempedulikan empat orang yang
hanya diam saja. Sedangkan Ki Jarak hanya berdiri saja di ambang pintu.
"Dia sudah tidak punya ayah lagi.
Dan ibunya sekarang...," salah seorang menyahuti tapi terputus suaranya.
"Kalau begitu, tunggu ibunya saja,"
kata pemuda itu memutuskan.
Tak ada yang membantah. Bahkan Ki Jarak
sendiri hanya diam saja tanpa membuka mulut sedikit pun. Kejadian ini memang
membuat mereka semua jadi seperti orang dungu. Tak ada yang mampu mengemukakan
pendapat. Bahkan bertindak saja seperti tidak berani. Bertahun-tahun kejadian
seperti ini tidak pernah lagi dialami. Mereka benar-benar tidak siap untuk
menghadapinya.
***
Tidak banyak yang mengantarkan anak Nyai
Lantak ke kubur. Hanya beberapa orang saja, dan itu pun Ki Jarak yang
memerintahkan. Sedangkan pemuda berbaju putih tanpa lengan jadi sibuk sendiri.
Dia menggali dan menguburkan mayat pemuda malang yang mati tanpa diketahui
sebab-sebabnya. Begitu tragis sehingga membuat seluruh penduduk desa jadi
dicekam rasa takut yang amat sangat.
Selesai penguburan, semua yang ikut
langsung pergi tanpa berkata-kata sedikit pun. Hanya seorang perempuan tua yang
ikut. Itu pun dia selalu mendampingi Nyai Lantak yang kelihatan begitu lemah
dan terpukul sekali kehilangan anak satu-satunya. Sedangkan suaminya entah
berada di mana. Meninggalkan begitu saja sejak anaknya masih berusia sekitar
tiga tahun.
"Kenapa mereka begitu
ketakutan...?" Tanya pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri.
"Entahlah," sahut Ki Jarak
seraya mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Sedangkan pemuda berwajah tampan itu
ikut melangkah di samping Kepala Desa Semanding ini. Mereka berjalan
pelahan-lahan dengan pikiran masing-masing.
"Bertahun-tahun tidak pernah ada
kejadian seperti ini. Desa Semanding memang aman, tentram. Bahkan keributan
kecil saja jarang terjadi. Apalagi sampai..., ah!" Ki Jarak tidak
melanjutkan.
"Apakah ibunya telah menceritakan
apa sebenarnya yang terjadi?" tanya pemuda itu.
“Dia tidak tahu apa-apa. Dia terbangun
begitu mendengar jeritan anaknya," sahut Ki Jarak seraya berhenti
melangkah. Kepala Desa Semanding itu memandangi pemuda yang berada di
sampingnya. Sedangkan yang di-pandangi hanya membalas datar. Beberapa saat
mereka terdiam membisu.
"Anak Muda. Sejak semalam aku belum
kenal namamu, dan mengapa kau membantu hingga sampai ke saat penguburan?"
Tanya Ki Jarak.
"Ah, maaf. Aku lupa sampai tidak
memperkenalkan diri," ujar pemuda itu. "Namaku Rangga, dan hanya
kebetulan lewat di desa ini"
"Hm.... Belum pernah ada orang yang
suka bersusah payah untuk orang lain yang tidak dikenal sama sekali,"
gumam Ki Jarak
"Tapi apa salahnya kita menolong
tanpa diminta. Bagiku pekerjaan seperti ini belum seberapa bila dibanding dosa
yang telah kita perbuat selama hidup."
Ki Jarak tertegun mendengar kata-kata
pemuda berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga atau lebih dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Kata-katanya begitu lembut namun sangat
menyentuh kalbu.
"Siapa sebenarnya kau ini, Anak Muda?
Apakah kau seorang utusan? Atau titisan Dewata yang ingin menyadarkan manusia
dari segala tindak dan kebodohannya?"
"Aku manusia biasa, Paman. Aku
bukan utusan dari mana-mana, apalagi dari kahyangan," jelas Rangga yang
kini memanggil Ki Jarak dengan sebutan paman. Memang dia ingin lebih
mengakrabkan diri dengan laki-laki itu.
"Siapa pun kau sebenarnya, aku
patut mengucapkan terima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak ada dirimu, tentu
tak ada seorang pun yang sudi menguburkan anak itu," kata Ki Jarak.
"Tidak sepatutnya mereka berbuat
seperti itu, Paman. Mereka toh pasti akan meninggalkan dunia ini. Sebab-sebab
seseorang meninggal tidak akan sama," jelas Rangga.
"Yaaah.... Itulah yang menyulitkan
aku menjadi kepala desa di sini, Anak Muda. Mereka sudah terbiasa hidup damai
dan tentram. Apa saja tersedia di sini, sehingga mereka jadi malas bekerja, dan
mementingkan diri sendiri Hanya bersenang-senang saja yang mereka pikirkan.
Tapi tak mampu menghadapi kenyataan pahit Terus terang, aku sendiri sebenarnya takut."
"Rasa takut selalu ada pada setiap
orang, Paman. Aku juga kadang-kadang merasa ketakutan. Tapi jangan sampai
diperbudak perasaan yang akan merugikan diri sendiri."
"Kau benar, Anak Muda. Ahhh...,
tutur katamu seperti seorang cendekia. Sungguh jauh dan dalam sekali pandangan
hidupmu. Terasa kecil diriku berada di depanmu, Anak Muda," ungkap Ki
Jarak tulus, keluar dari lubuk hatinya.
Rangga hanya tersenyum saja.
Ditepuk-tepuknya bahu Ki Jarak seraya mengajak berjalan kembali. Mereka terus
berjalan sambil bertukar pikiran mengenai makna-makna kehidupan. Semakin banyak
mereka berbicara, semakin terasakan oleh Ki Jarak bahwa dirinya begitu kerdil
di depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dengan jiwa besar, Ki Jarak mengakui
kalau dirinya tidaklah berarti apa-apa. Dan Rangga mengagumi kebesaran jiwa
yang dimiliki kepala desa ini.
Memang sukar menemukan seseorang berjiwa
besar dan suka mengakui kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Biasanya
orang selalu bercermin dan menyorot sekelilingnya, tanpa peduli pada dirinya
sendiri. Rangga menghentikan langkahnya ketika melihat seorang gadis berwajah
cantik yang hanya mengenakan kain melilit tubuhnya. Rupanya gadis itu juga
melihat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Buru-buru ditutupi dadanya yang
terbuka dengan kain lusuh, lalu bergegas berjalan menuju sungai sambil
menjinjing keranjang cucian dari anyaman bambu.
"Gadis itu keponakannya Ki Jepun,”
kata Ki Jarak yang sejak tadi memperhatikan Rangga.
"Hm...," Rangga tersenyum dan
kembali melangkah. Rangga memang pernah bertemu gadis itu sekali, dan hampir
bertabrakan di dekat sungai. Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menghilangkan
bayangan gadis itu dari benaknya.
"Belum ada satu bulan dia tinggal
di sini. Aku sendiri tidak tahu kalau Ki Jepun punya keponakan seorang gadis
cantik seperti itu," jelas Ki Jarak lagi.
"Siapa itu Ki Jepun?" tanya
Rangga.
"Seorang tua yang selalu menyendiri
dan tidak pernah bergaul dengan sesama warga desa. Dia sendiri sebenarnya bukan
berasal dari desa ini. Tapi istrinya, asli kelahiran desa ini," jelas Ki
Jarak.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja.
"Rupanya kau tertarik pada gadis
itu, Kisanak," gurau Ki Jarak.
"Ah...," Rangga hanya mendesah
saja.
***
Hanya sebentar saja Rangga singgah di
rumah kepala desa. Pemuda itu bermaksud melanjutkan perjalanannya, mengembara
tanpa tujuan yang pasti. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti ini justru
menuju ke sungai dan sepertinya ada yang menuntutnya ke sana. Sama sekali
pemuda berbaju rompi putih itu tidak menyadari, dan terus saja berjalan
pelahan-lahan menapaki jalan berkerikil.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti
terhenti begitu sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar dan berair
jernih, hingga dasarnya terlihat jelas. Hanya ada seorang gadis di sungai itu,
dan kelihatan terkejut begitu melihat Rangga. Gadis yang ternyata adalah
Dewayani itu buru-buru membenahi kain yang dikenakannya. Ditutupinya bahu dan
dadanya dengan selembar kain lain.
Rangga tersenyum dan menganggukkan
kepalanya sedikit Dewayani hanya Diam, tapi membalas dengan senyuman pula.
Pendekar Rajawali Sakti itu membasuh wajah dan tangannya dengan air sungai yang
sejuk menyegarkan, kemudian berdiri, tepat saat Dewayani beranjak keluar dari
dalam sungai. Gadis itu menjinjing keranjang bambu pada ketiaknya.
"Ah...!" Tiba-tiba saja
Dewayani terpeleset, hampir jatuh ke dalam sungai. Untung saja Rangga segera
melompat menangkap tangan gadis itu. Sesaat mereka saling pandang, namun
sebentar kemudian Dewayani buru-buru melepaskan pegangan tangan Rangga.
Bergegas gadis itu melangkah. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba
saja....
"He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
depan gadis itu sudah menghadang seorang laki-laki tua kurus kering membawa
tongkat hitam untuk menyangga tubuhnya. Dewayani terperanjat, dan melangkah
mundur beberapa tindak. Sementara Rangga yang berada di belakang gadis itu
mengamati laki-laki tua kurus kering yang wajahnya begitu pucat tanpa senyum
sedikit pun menghiasi bibirnya. Meskipun terkekeh, tapi bibirnya terkatup rapat
"Batas waktumu sudah habis,
Dewayani," kering dan datar sekali suara laki-laki tua kurus kering yang
ternyata si Iblis Hitam.
"Huh! Aku tidak ada urusan lagi
denganmu!" dengus Dewayani sengit.
"Siapa bilang, Dewayani? Batas
waktumu sudah habis. Kau harus kembali ke Selatan bersamaku. Percayalah, kau
akan sengsara jika berada di sini. Tidak ada tempat yang sudi menerima dirimu,
Dewayani. Sang Penakluk pasti mencarimu."
"Pergi kau!" bentak Dewayani
berang.
"Pulanglah, Dewayani. Tidak ada
gunanya membangkang. Kau harus ingat, siapa dirimu, dan apa yang mengalir dalam
darahmu. Jangan menyengsarakan dirimu sendiri, Dewayani."
"Aku tidak peduli!
Pergiii...!" jerit Dewayani.
“Ini peringatanku yang terakhir,
Dewayani...!"
"Iblis keparat! Kubunuh kau...!
Hiyaaat..!"
Dewayani tidak mampu lagi membendung
luapan amarahnya. Tanpa menghiraukan kalau di tempat ini ada orang lain yang
selalu memperhatikan, gadis itu melem-parkan keranjang cuciannya ke arah Iblis
Hitam Keranjang yang cukup besar dan kelihatan berat itu melayang deras bagai
dilemparkan tangan raksasa.
"Uts!" Iblis Hitam memiringkan
tubuhnya ke kiri menghindari lemparan itu. Sungguh di luar dugaan sama sekali,
keranjang itu hancur berkeping-keping begitu menghantam pohon yang berada tepat
di belakang Iblis Hitam. Rangga yang menyaksikan itu sampai terkejut. Sungguh
tidak disangka kalau seorang gadis cantik yang kelihatan lemah lembut ini
ternyata mempunyai tenaga begitu besar.
"Hiyaaat...!" Dewayani yang
sudah dirasuki luapan amarah langsung melompat sambil mengangkat sedikit kain
yang dikenakannya. Ternyata di balik kain lusuh itu terdapat celana pangsi
sebatas betis. Dan yang membuat Rangga terpana, di balik kain itu juga
menyembul sebilah pedang yang sarungnya berwarna kuning keemasan.
Sementara itu Dewayani sudah menyerang
si Iblis Hitam dengan gerakan-gerakan cepat. Laki-laki kurus kering itu agak
kewalahan juga menghindari serangan-serangan lawan. Namun sebentar saja hal itu
berlalu. Jurus-jurus berikutnya, si Iblis Hitam mampu mendikte Dewayani.
"Hih! Hiyaaa...!" Hingga pada
satu saat, sambil berteriak keras si Iblis Hitam melontarkan satu pukulan keras
dengan tangan kiri. Pada saat yang sama, Dewayani juga melepaskan pukulan
tangan kanan, sehingga pertemuan tangan mereka tak dapat dihindari lagi.
Bughk! "Akh...!" Dewayani
memekik kecil. Gadis itu terlontar ke belakang sejauh dua batang tombak.
"Ughk...!" Iblis Hitam juga
mengeluh pendek. Tapi laki-laki tua kurus kering itu hanya tiga langkah saja
terdorong ke belakang.
Sementara Dewayani mendengus-dengus
bagai kuda betina yang sedang marah. Digerak-gerakkan tangannya sambil
meliuk-liukkan tubuhnya, membuat gerakan indah. Sementara si Iblis Hitam
menggeser kakinya ke samping kanan. Diputar-putarkan tongkatnya pelahan-lahan
di depan dada.
"Kau akan menyesal, Dewayani!"
Dengus Iblis Hitam dingin.
"Phuih! Yiaaat..!" Dewayani
kembali melompat sambil mencabut pedang yang tersembunyi di balik kainnya.
Sret! "Hait..!" Secepat
Dewayani mengibaskan pedangnya, secepat itu pula si Iblis Hitam mengebutkan
tongkatnya. Dan...
Trang! Benturan dua senjata itu
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala penjuru. tampak sekali
kalau tangan Dewayani bergetar, dan pedangnya hampir terpental dari genggaman.
Namun rupanya gadis itu masih bisa menguasai. Bahkan dengan gerakan sangat
indah, diputar pedangnya ke bawah sambil meliukkan tubuhnya.
"Eh! Uts...!" Iblis Hitam
tampak terperanjat Buru-buru dikibaskan tongkatnya menyamping ke bawah. Namun
tanpa diduga sama sekali, Dewayani cepat menarik pedangnya, dan secepat itu
pula menusukkannya ke arah perut.
"Setan alas..!" sentak Iblis
Hitam terperanjat. Secepat kilat laki-laki tua kurus kering itu melentingkan tubuhnya
ke belakang, menghindari tusukan pedang Dewayani yang datang bagaikan gelombang
samudra. Namun rupanya Dewayani benar-benar tak ingin memberi kesempatan pada
lawannya. Gadis itu melompat menerjang kembali. Pedangnya berkelebatan cepat
mengurung gerak tubuh si Iblis Hitam.
Trang! Trak...! Beberapa kali senjata
mereka beradu. Dan sekali beradu senjata, tampak tangan Dewayani bergetar. Tapi
gadis itu mampu menutupi kelemahan tenaga dalamnya yang masih di bawah si Iblis
Hitam. Kelemahan itu bisa ditutupi dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu
lentur dan indah sekali. Hasilnya, Iblis Hitam merasa kesulitan setiap kali
punya peluang setelah membenturkan tongkatnya ke pedang gadis itu.
"Hiyaaa...!” Tiba-tiba Iblis Hitam
melentingkan tubuhnya ke udara, dan berputaran beberapa kali. Manis sekali Si
laki-laki tua kurus kering itu hinggap di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
Sedangkan Dewayani berdiri tegak sambil menghunus pedang melintang di depan
dada. Gadis itu mendongak menatap berang pada lawannya.
"Turun kau, iblis keparat!"
bentak Dewayani berang.
"Sayang sekali, aku tidak boleh
melukaimu, Dewayani. Tapi tunggulah. Kau akan menyesal, gadis bodoh!"
dengus Iblis Hitam dingin.
Setelah berkata demikian, si Iblis Hitam
me-lesat pergi cepat bagai kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh laki-laki
tua kurus kering itu lenyap dari pandangan mata. Dewayani mengumpat dan memaki
habis-habisan. Dimasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Kemudian
membenahi kain yang melilit tubuhnya. Gadis itu berpaling ke arah Rangga,
kemudian terus berlari cepat meninggalkan tempat ini.
“Hey, tunggu...!" seru Rangga
langsung melesat mengejar.
Tapi Dewayani terus berlari, bahkan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa saja mengejar. Tapi gadis itu sudah keburu sampai di jalan Desa Semanding.
Rangga berhenti berlari, dan hanya dapat memandangi Dewayani yang kini sudah
berjalan biasa di antara para penduduk desa yang sibuk dengan urusannya
masing-masing.
"Hm, gadis yang aneh," gumam
Rangga pelan.
***
TIGA
Hampir seharian Dewayani duduk saja di
samping rumahnya. Sedangkan Ki Jepun dan istrinya berada di ladang. Gadis itu
tidak tahu kalau sejak tadi selalu diperhatikan sepasang mata. Dia baru tahu
setelah mendengar langkah kaki meng-hampiri. Seorang laki-laki muda bertubuh
agak kurus mengenakan baju biru dan ikat kepala hitam, tengah menghampiri
sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Sendiri saja, Dewayani?"
tegur pemuda itu ramah.
"Oh! iya nih, Kang Aji," sahut
Dewayani berusaha ramah.
"Kok sepi, ya...?"
"He eh. Ki Jepun dan Nyi Jepun
sedang ke ladang. Aku disuruh tunggu rumah," sahut Dewayani.
"Kalau begitu...," suara Aji
terputus.
"Ingin menemani? Boleh saja kok,
Kang," celetuk Dewayani bisa mengetahui maksud pemuda desa itu.
"Waduh...! Mimpi apa aku
semalam...?" Desah Aji dalam hati.
Pemuda itu kemudian duduk di samping
Dewayani, setelah gadis itu menggeser memberi tempat. Sikap Aji begitu kaku,
dan hanya menggosok-gosok tangannya sambil senyum-senyum. Sesekali diliriknya
wajah cantik di sampingnya. Tidak banyak kesempatan untuk bisa ngobrol berdua
bersama gadis ini. Hampir seluruh pemuda di desa ini berlomba-lomba mencari
kesempatan untuk hanya sekadar bisa berbicara saja.
Tapi mereka memang hanya berani
memandang dari jauh. Sedangkan Dewayani hanya tersenyum geli dalam hati melihat
tingkah pemuda lugu ini. Hanya saja gadis itu tidak memperlihatkannya. Dia
hanya diam saja sambil memandang ke depan. Lama juga mereka hanya diam saja.
Sedangkan beberapa kali Aji hendak berbicara. Tapi begitu mulutnya terbuka,
suaranya serasa tertanggal di tenggorokan.
"Dewayani Yani..," agak
bergetar suara Aji.
"Apa?" tanya Dewayani tanpa
berpaling.
"Ng..., boleh tidak aku
sering-sering ngobrol bersamamu?" tanya Aji polos.
Sebenarnya Dewayani ingin tertawa, tapi hanya
tersenyum saja di dalam hati. Pemuda itu benar-benar polos dan lugu, seperti
layaknya pemuda-pemuda lain di desa ini. Tapi Dewayani memuji juga
keberaniannya hingga datang ke sini dan berbicara dengannya. Tidak seperti
pemuda-pemuda lainnya, yang hanya bisa mencuri pandang dari jauh. Kalaupun
menegur, saat kebetulan berpapasan saja. Itu pun dengan sikap kaku, seperti
dipaksakan.
"Boleh tidak, Yani...?" harap
Aji.
“Kenapa tidak? Kau boleh datang ke sini
kapan saja."
"Sungguh..?" berbinar mata
Aji.
Dewayani tersenyum dan mengangguk
"Oh.... Betapa bahagianya hati
ini..," desah Aji dalam hati.
"Sebentar ya, tuh Ki Jepun sudah
pulang," kata Dewayani menunjuk Ki Jepun dan istrinya yang berjalan menuju
rumah ini.
"Eh! Aku pamit saja dulu,
Yani," Aji buru-buru bangkit
"Nanti saja, Ji. Kenapa sih
buru-buru?" cegah Dewayani
"Besok aku ke sini lagi deh. Aku
pergi dulu, Yani"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Aji
bergegas pergi melalui jalan samping rumah, terus menuju belakang dan memutari
rumah tetangga. Pemuda itu menghilang di balik rumah tetangga. Dewayani
tersenyum geli melihat tingkah laku pemuda itu. Bibirnya masih tersenyum
meskipun Ki Jepun dan istrinya sudah sampai.
"Siapa pemuda itu tadi, Dewayani?”
tanya Ki Jepun sambil meletakkan cangkul di bawah balai-balai bambu yang
diduduki Dewayani.
"Aji," sahut Dewayani pendek.
"Ada apa dia ke sini?" dengus
Nyi Jepun bernada tidak senang.
"Hanya ngobrol saja, Nyi,"
sahut Dewayani.
“Tapi..."
"Tapi kenapa, Yani?" potong Ki
Jepun.
"Lucu, seperti anak kecil saja.
Masa dia kabur begitu melihat Aki pulang."
"Ha ha ha...!" Ki Jepun
tertawa terbahak-bahak. "Dasar anak muda sekarang, mentalnya lembek!"
"Ah sudahlah, Yani. Jangan layani
anak seperti itu. Kau harus bisa mendapatkan pemuda gagah dan tampan seperti
Aki waktu muda dulu," kata Nyi Jepun.
"Mana ada pemuda seperti itu di
sini, Nyi. Berani taruhan, sepuluh orang saja masih sanggup kuhadapi!" Ki
Jepun menyombongkan diri.
"Ingat, Ki. Kau ini sudah tua,
sudah loyo..."
"Biar tua, sentilanku masih mampu
menjungkalkan mereka!"
Dewayani hanya tersenyum geli saja
mendengar celotehan pasangan tua itu. Keceriaan memang selalu terjadi. Apalagi
Dewayani memang pandai memancing suasana ceria seperti itu. Meskipun tubuh
penat dan kepala pening, masih juga mereka bisa berkelakar kalau Dewayani sudah
memulai lebih dahulu. Dan biasanya gadis itu selalu tersenyum. Bahkan
kadang-kadang tawanya lepas tak terkendali lagi.
Kalau sudah begitu, lenyap sudah rasa
letih dan penat pasangan tua itu. Dewayani memang pandai dalam segala hal, dan
ini membuat Ki Jepun dan istrinya semakin menyayangi gadis itu. Malam baru saja
merayap turun menyelimuti seluruh Desa Semanding. Tiga orang anak muda berjalan
pelahan sambil bercanda. Di antara mereka terlihat Aji yang banyak bercerita,
membanggakan dirinya karena bisa berbicara dengan Dewayani yang menjadi kembang
desa ini. Dan itu membuat kedua temannya menjadi iri. Mereka tidak percaya,
tapi banyak juga yang memang melihat Aji duduk berdua bersama gadis cantik itu.
"Kalian tahu, besok aku ada janji
dengan Dewayani," tutur Aji semakin membuat.
"Ke mana, Ji?" tanya temannya
yang berjalan di kanan.
"Ke sendang," sahut Aji Kedua
temannya saling berpandangan.
Mereka tahu kalau sendang yang dimaksud
Aji letaknya di tengah hutan. Jarang orang yang datang ke sana. Selain jalannya
sulit, juga tak ada sesuatu yang bisa dilihat. Tapi tempat itu memang disukai
anak-anak muda yang tengah kasmaran.
"Aku duluan, ya .?" Aji
melangkah cepat menuju rumahnya yang memang lebih dekat daripada kedua
temannya.
Sedangkan kedua temannya itu hanya
memandangi, diliputi perasaan iri. Sebenarnya Aji bukanlah pemuda tampan.
Tubuhnya saja bisa dikatakan kurus. Tapi kenapa begitu beruntung...? Pertanyaan
itu yang selalu ada di benak pemuda-pemuda lain di desa itu. Kedua anak muda
itu masih saja berdiri memandangi Aji yang membuka pintu rumahnya. Tapi
mendadak saja, begitu pintu terbuka lebar, Aji menjerit keras melengking.
"Aaa...!" Tubuh pemuda itu
terpental jauh ke belakang dan ambruk keras ke tanah. Kedua temannya terperanjat
kaget, dan jadi terpaku dengan mata membeliak lebar dan mulut ternganga.
Seketika wajah mereka pucat pasi, dan tubuh gemetar melihat Aji menggelepar
dengan leher koyak mengucurkan darah segar.
"Tolooong...!" Kedua pemuda
itu jadi kalang kabut. Mereka ingin berlari tapi seperti terpaku dan berat
untuk menggerakkan kaki. Dua pemuda itu hanya bisa berteriak-teriak minta
tolong. Sebentar saja, tempat itu sudah dipenuhi orang yang kaget dan
berhamburan keluar rumah mendengar teriakan kedua anak muda itu. Namun mereka
langsung terpaku begitu melihat tubuh Aji yang sudah diam kaku berlumuran
darah.
***
Kematian Aji yang begitu tragis membuat
penduduk Desa Semanding diliputi perasaan takut yang amat sangat. Dua pemuda
sudah tewas dalam waktu yang tidak begitu lama, dan dengan cara yang sama.
Leher terkoyak lebar, hampir putus. Tapi yang menjadi tanda tanya, kedua pemuda
yang tewas itu sebelumnya pernah ngobrol bersama Dewayani. Gadis cantik yang
diakui Ki Jepun adalah keponakannya.
Kasak-kusuk mulai terdengar. Para
penduduk menghubung-hubungkan kedua peristiwa mengerikan itu dengan kehadiran
Dewayani didesa ini. Tapi tak ada seorang pun yang berani berterus terang,
apalagi melakukan sesuatu. Kecurigaan penduduk semakin menebal begitu mendengar
cerita kedua teman Aji yang melihat kejadian itu. Mereka memang baru saja
mendengar cerita Aji yang katanya sudah berhasil mendekati Dewayani, gadis
cantik yang menjadi buah bibir di Desa Semanding ini.
"Huh! Mereka bisanya hanya
kasak-kusuk tanpa bukti!" dengus Ki Jepun yang mendengar juga selentingan
kabar burung itu.
"Kenapa harus dipusingkan, Ki. Biar
saja, memang sudah begitu adat mereka," timpal istri-nya tak peduli.
"Kau enak! Aku ini yang
mendengar...! Rasanya kuping ini panas mendengar Dewayani dituduh sebagai
penyebab kematian anak-anak tolol itu!" rungut Ki Jepun.
Sedangkan Dewayani hanya diam saja,
duduk mencangkung sambil memeluk lutut di balai-balai bambu di samping Nyi
Jepun. Pandangannya kosong lurus ke depan, mengamati jalan yang tampak sepi
lengang. Para penduduk Desa Seman-ding ini seperti sengaja menghindari depan
rumah ini.
"Mau ke mana, Ki?" tegur Nyi
Jepun begitu melihat Ki Jepun berjalan ke luar.
"Ke rumah Kepala Desa," sahut
Ki Jepun terus saja melangkah ke luar rumah.
"Mau apa kau ke sana?"
Tapi Ki Jepun tidak menyahut, dan terus
saja berjalan cepat Nyi Jepun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Dia
tahu betul watak suaminya yang keras, tapi lembut dan penyabar. Perempuan tua
itu berpaling memandangi Dewayani yang diam saja, memandang kosong ke depan.
"Sudahlah, Yani Jangan terlalu
dipikirkan. Aku percaya kau tidak mungkin melakukan itu," bujuk Nyi Jepun
mencoba menghibur.
"Aku menyesal, Nyi. Kenapa mereka
menuduhku demikian...? Aku jadi merepotkanmu saja," keluh Dewayani.
“Penduduk di sini memang manja. Biar
mereka belajar dari peristiwa ini. Dulu, suamiku pernah menganjurkan agar
pemuda-pemuda di sini berlatih ilmu olah kanuragan, tapi malah melecehkan.
Sekarang baru tahu rasa, bagaimana kalau tidak memiliki kepandaian sama
sekali!" agak ketus nada suara Nyi Jepun.
Dewayani mengangkat kepalanya, berpaling
memandang perempuan tua di sampingnya.
"Kau percaya aku yang melakukan
semua itu, Nyi?" tanya Dewayani.
"Kalau aku percaya, sama tololnya
dengan mereka!" sahut Nyi Jepun mendengus.
"Kalau ternyata memang aku?"
"Jangan mengada-ada, Yani. Aku tahu
kau bisa ilmu olah kanuragan. Tapi untuk apa melakukan itu? Aku tidak melihat
adanya kegarangan pada dirimu. Bahkan kau seperti seorang putri raja, atau
paling tidak putri bangsawan," sanggah Nyi Jepun.
Dewayani tersenyum. Nyi Jepun juga
memberi senyum semanis mungkin. Sesaat mereka terdiam saling berpandangan. Nyi
Jepun memang tidak percaya jika Dewayani yang melakukan kedua pembunuhan itu.
Mereka yang tewas memang pernah ngobrol dengan Dewayani sebelumnya, tapi bukan
berarti gadis itu yang membunuh. Mereka hanya bicara, tidak lebih dari itu.
Yang pertama berbicara sambil berjalan pulang dari sungai. Sedangkan yang kedua
di samping rumah ini. Banyak yang melihat kalau mereka hanya ngobrol saja. Tapi
penduduk desa sudah menuduh Dewayani penyebab semua peristiwa mengerikan itu.
"Aku mau ke kebun belakang dulu.
Kau ingin ikut, Yani?" kata Nyi Jepun seraya bangkit berdiri.
"Nanti aku menyusul, Nyi,"
sahut Dewayani.
Nyi Jepun menepuk punggung tangan gadis
itu, kemudian berjalan ke belakang. Dewayani masih saja duduk memeluk lutut
yang tertekuk. Kepalanya disandarkan ke lutut. Sedangkan pandangannya kembali
kosong ke depan. Tapi mendadak saja kedua matanya terbeliak, lalu gadis itu menggerinjang
melompat berdiri. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke depan. Tampak di bawah
pohon seberang jalan rumah ini berdiri seorang laki-laki berwajah tampan.
Pakaiannya indah dari bahan sutra halus bersulamkan benang-benang emas. Pemuda
itu memegang kipas yang terbuka lebar di depan dada. Dewayani berdiri mematung
memandangi laki-laki berwajah tampan itu.
"Dewayani! Kau telah menyia-nyiakan
kesempatan yang kuberikan. Kini rasakan sendiri akibatnya. Tidak ada tempat
yang bisa menampungmu. Tidak ada orang yang akan menolongmu. Seumur hidup kau
akan tersiksa," terdengar suara halus di telinga Dewayani.
"Heh...!" gadis itu tersentak
kaget. Jelas sekali suara itu mendengung di telinga Dewayani, Hanya sekejap
saja gadis itu berpaling. Dan begitu memandang ke pohon di seberang jalan,
laki-laki muda itu sudah tidak terlihat lagi, tepat ketika sebuah pedati
melintasinya. Dewayani jadi menggerinjang, lalu melompat keluar sambil
menyambar pedang yang tergantung di dinding. Gadis itu mengedarkan pandangannya
ke sekeliling.
Tapi tak seorang pun yang dilihatnya.
Bahkan pedati yang tadi melintas di jalan itu pun sudah tidak terlihat lagi.
Rasanya tidak mungkin sebuah pedati yang hanya ditarik seekor sapi bisa begitu
cepat menghilang di jalan. yang lurus tanpa belokan sama sekali ini. Dewayani
menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Dia kembali masuk ke
dalam rumahnya. Tapi baru saja melewati ambang pintu, kembali matanya terbeliak
kaget
"Kau.... Mau apa kau ke sini?"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dalam rumah itu sudah berdiri seorang
laki-laki tua kurus kering berjubah hitam sambil menggenggam tongkat yang
berwarna hitam pula.
Dewayani menggenggam pedangnya dengan
kedua tangan erat-erat, namun belum menghunus nya. Pandangannya begitu tajam
menusuk langsung bola mata tua yang memerah agak cekung ke dalam.
"Aku hanya menyampaikan pesan,
kalau kau masih punya kesempatan, Dewayani. Kembalilah dan jangan siksa dirimu
sendiri," kata laki-laki tua kurus kering yang tak lain Iblis Hitam itu.
"Aku tidak perlu nasihatmu! Pergi
kau!" bentak Dewayani sengit.
"Sayang sekali, kau begitu keras
kepala. Waktumu tinggal tiga hari lagi, Dewayani. Selepas itu, tak ada yang
bisa menolongmu. Bahkan dirimu sendiri tak mampu. Camkan kata-kataku ini,
Dewayani."
"Pergiii...!" jerit Dewayani.
"Aku akan pergi, tapi kau
bo...."
"Pergi, keparat..!" bentak
Dewayani memutus ucapan Iblis Hitam. Iblis Hitam menggeleng-gelengkan
kepalanya, kemudian berbalik dan berjalan melalui pintu belakang. Gadis itu
memandangi sampai tubuh tua kurus kering itu lenyap di balik pintu. Dewayani
menghempaskan tubuhnya ke atas balai-balai bambu. Napasnya memburu, dan
tubuhnya agak gemetar. Pada saat itu Nyi Jepun tergopoh-gopoh masuk menghampiri
Dewayani.
"Ada apa, Yani? Kenapa
menjerit-jerit?" Tanya Ny Jepun.
"Tidak apa-apa, Nyi Aku hanya
bermimpi," sahut Dewayani seraya menyeka keringat di wajahnya.
"Makanya kalau siang-siang jangan
tidur. Banyak setan datang," kata Nyi Jepun lagi.
Dewayani hanya tersenyum saja, dan masih
merebahkan tubuhnya menelentang memandang langit-langit rumah. Sementara Nyi
Jepun meninggalkannya.
***
Sementara itu di rumah Kepala Desa
Semanding, Ki Jepun disambut secara ramah dan penuh persaudaraan oleh Ki Jarak.
Namun kepala desa itu terkejut juga begitu mendengar penuturan laki-laki tua
itu mengenai tuduhan penduduk desa terhadap Dewayani. Saat itu Rangga masih
berada di rumah kepala desa, dan mendengarkan semua penuturan Ki Jepun penuh
perhatian. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja, tidak memberikan suara
sedikit pun.
“Terus terang, aku belum mendengar
tuduhan itu, Ki Jepun. Aku sendiri terkejut mendengar keponakanmu dituduh
sebagai pembunuh," kata Ki Jarak dengan suara pelan seakan-akan menyesalkan
sikap warganya yang menuduh sembarangan tanpa bukti.
"Itulah sebabnya, kenapa aku
cepat-cepat datang ,ke sini," ujar Ki Jepun.
"Lalu, apa yang harus
kulakukan?"
"Ki Jarak bisa mengatakan pada
semua penduduk kalau keponakanku tidak bersalah, dan tidak ada hubungannya
dengan kedua pembunuhan itu," tegas Ki Jepun.
"Rasanya tidak semudah itu, Ki.
Maaf...! Bukannya menyepelekan laporanmu, tapi aku harus mencari bukti dulu
kebenarannya," kata Ki Jarak bijaksana.
"Kebenaran apa lagi, Ki? Sudah
jelas keponakanku tidak tersangkut Mereka saja yang usil dan dengki pada
Dewayani!" dengus Ki Jepun.
"Baiklah, Ki Jepun. Laporanmu
kuterima, tapi aku tidak ingin bertindak gegabah dan berat sebelah.
Bagaimanapun juga aku seorang kepala desa yang harus bertindak adil dan
bijaksana. Kalau memang benar Dewayani tidak ada hubungannya dengan peristiwa
berdarah ini, aku atas nama seluruh penduduk Desa Semanding tidak segan-segan
meminta maaf padanya." Kata-kata Ki Jarak rupanya sedikit memberi kepuasan
Ki Jepun.
Laki-laki tua itu kemudian mohon diri
dan meninggalkan rumah kepala desa itu. Ki Jarak memandangi hingga laki-laki
tua renta itu jauh meninggalkan rumahnya. Ditariknya napas panjang, lalu
dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja.
"Kau dengar sendiri, Nak Rangga.
Sudah kuduga kalau peristiwa ini pasti akan berbuntut panjang," ujar Ki
Jarak sedikit mendesah.
"Memang sulit diterima akal sehat
Hampir semua penduduk desa mengatakan kalau kedua korban sebelumnya pernah
berbincang-bincang dengan Dewayani sebelum mereka ditemukan tewas," gumam
Rangga.
"Sebelumnya tidak pernah terjadi
hal ini, Nak Rangga. Sejak kedatangan Dewayani di desa ini, ada saja peristiwa
yang terjadi. Pertama penduduk diributkan dengan hilangnya hewan ternak, yang
kemudian ditemukan di pinggir hutan dalam keadaan mati. Leher terkoyak dan
sebagian darah terkuras. Dan kejadian selanjutnya ya, begini ini,"
"Hm...," Rangga bergumam
pelan. Dua pemuda yang jadi korban pembunuhan misterius itu juga lehernya
terkoyak lebar. Dan memang, korban pertama darahnya hampir habis. Tapi Rangga
tidak pernah berpikir sejauh itu, karena banyak juga darah yang tergenang di
lantai. Sedangkan pada korban yang kedua, hanya leher saja terkoyak tanpa sisa
darah sedikit pun di tubuhnya.
"Aku jadi berpikir, jangan-jangan
desa ini kedatangan makhluk aneh haus darah...," gumam Ki Jarak pelan
seperti untuk dirinya sendiri.
Rangga memandangi laki-laki setengah
baya itu dalam-dalam. Selama dalam pengembaraannya, belum pernah terdengar hal
seperti ini. Sedangkan Ki Jarak hanya menatap kosong ke depan. Untuk beberapa
saat mereka hanya diam membisu dengan pikiran berkecamuk. Di dalam hati, Rangga
semakin tertarik pada persoalan ini. Terlebih lagi setelah mendengar dugaan Ki
Jarak yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Satu pemikiran yang dirasakan
amat ganjil, tapi bukannya tidak mustahil hal itu bisa terjadi. Masih banyak
masyarakat yang mempercayai hal-hal seperti itu, yang sukar diterima akal
sehat. Apakah memang benar ada makhluk haus darah di Desa Semanding ini?
***
EMPAT
Dewayani merendam tubuhnya di dalam
sungai. Sebentar ditenggelamkan kepalanya, kemudian diangkat sambil dibasuh
wajahnya dengan air sungai itu. Sama sekali tidak disadari kalau dari balik
semak di tepi sungai, sepasang mata selalu memperhatikan. Gadis itu tetap asyik
mandi tanpa mengetahui ada yang tengah merayapi tubuhnya. Setelah puas berendam
dalam sungai, Dewayani keluar dari dalam sungai itu. Dia berjalan ke tepi dan
mengganti kain yang basah dengan pakaian kering berwarna biru tua.
Sementara sepasang mata dari balik semak
semakin tidak berkedip menjilati tubuh Dewayani yang tengah berganti pakaian.
Sepasang mata itu terus memperhatikan sampai Dewayani meninggalkan sungai
dengan ayunan kaki pelahan-lahan.
Trek! Tiba-tiba terdengar suara ranting
patah terinjak. Dewayani langsung berhenti melangkah. Ditatapnya sumber suara
tempat pemilik sepasang mata itu bersembunyi. Gadis itu memutar tubuhnya
sedikit, dan pandangan matanya tajam ke arah semak itu. Tampak semak itu
bergoyang-goyang.
Sebentar kemudian, muncul seorang pemuda
bertubuh sedang dengan wajah polos, tapi sinar matanya memancarkan sesuatu yang
sukar diterka. pemuda itu melangkah mendekati Dewayani yang hanya diam
memperhatikan saja. dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah
lagi di depan gadis itu.
"Kang Odi.., aku kira siapa,"
desah Dewayani mengenali pemuda itu.
Pemuda itu kelihatan kaku. namun sinar
matanya begitu tajam merayapi wajah cantik di depannya. sedangkan Dewayani
memberi senyuman yang teramat manis, membuat jakun pemuda itu bergerak turun
naik. terasa kering seketika tenggorokan Odi melihat senyum gadis cantik ini.
"Siang-siang kok ada di sini, kang.
tidak ke ladang?" Tanya Dewayani, lembut dan halus.
"Oh...! eh, tidak," sahut Odi
tergagap. Pikiran pemuda itu jadi melayang, semula Odi hanya ingin mengintip
saja, tapi tidak disangka ketahuan juga. dia tahu kalau hampir semua penduduk
seakan-akan menjauhi Dewayani dan menuduh gadis ini biang keladi dari dua
pembunuhan yang terjadi kemarin. Tetapi tetap saja pemuda desa itu tidak peduli
dan tetap berusaha mendekati gadis ini secara sembunyi-sembunyi, kecantikan
Dewayani memang telah membuat dia tidak peduli akan segala macam prasangka
warga desa Temanding.
“Terus, mau apa kau di sini?" Tanya
Dewayani bernada curiga.
"Aku..., Aku.... Eh, Anu...,"
Odi semakin tergagap.
Dewayani tersenyum manis sekali sepasang
matanya berbinar semakin indah dipandang. Namun Odi malah kelihatan bertambah
gugup. Tubuhnya beberapa kali menggeletar seperti kedinginan. wajahnya sebentar
pucat dan sebentar kemudian berubah merah. Dewayani memang cantik sekali,
sehingga tidak ada seorang pemuda pun yang sanggup berlama-lama bersama gadis
ini. Rata-rata tidak ada yang tahan jika bertatapan mata. kharisma Dewayani
memang sungguh luar biasa. bukan saja anak-anak muda. bahkan yang sudah punya
anak istri saja bakal tidak berkedip bila memandang gadis ini.
"Seharusnya tidak perlu
sembunyi-sembunyi begitu, Odi. Aku sungguh senang jika ada yang sudi berteman
denganku," ujar Dewayani semakin lembut suaranya.
"Oh, benarkah...?" Odi seperti
tidak percaya.
“Tentu saja. di sini aku tidak punya
teman. Malah sekarang seperti dimusuhi," agak memberengut wajah Dewayani.
"Mereka memang bodoh, Dewayani.
tapi aku sama sekali tidak percaya kalau kau bisa membunuh orang. aku yakin,
membunuh semut pun kau pasti tak mampu," Odi mulai berani.
Dewayani tertawa renyah. sungguh merdu
suara tawanya. Sampai-sampai Odi terpana memandangi baris-baris gigi yang
begitu rapi dan putih bersih. Memang kecantikan Dewayani sungguh sempurna.
seperti tidak mempunyai cela sedikit pun. Beberapa kali Odi terpaksa harus
menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak kering kerontang.
"Kita ngobrol di sana,
yuk...?" ajak Dewayani sambil menunjuk batu-batu yang bertumpuk dan
tersebar di tepi sungai.
Gadis itu langsung saja menarik tangan
Odi, sehingga membuat pemuda itu bergetar bagai tersengat ribuan lebah berbisa.
Odi jadi terpaku kaku. Malah kakinya seperti terpantek, sukar untuk digerakkan.
Tangan Dewayani yang halus bagai kapas mencekal pergelangan tangan Odi.
"Ayo...," ajak Dewayani
seperti tidak mempedulikan keadaan pemuda itu.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Odi
menurut saja. Mereka berjalan mendekati tepian sungai yang berbatu. Tapi pemuda
itu semakin kelihatan kaku, dan beberapa kali tubuhnya menggeletar seperti
terserang demam. Dua orang itu kemudian duduk di atas sebongkah batu datar.
Mereka duduk hampir merapat, membuat pemuda itu semakin tidak menentu
perasaannya. Namun tampaknya Dewayani sama sekali tidak peduli. Bibirnya yang
merah tersenyum-senyum dan beberapa kali mengerlingkan mata pada pemuda itu.
"Kok gemetaran, Di?" tegur
Dewayani diiringi senyuman.
"Dingin," sahut Odi seenaknya.
"Panas begini kok dingin sih? Terus
terang saja. Kau tidak biasa berdekatan dengan perempuan, ya?"
Odi langsung membisu. Tepat sekali
tebakan Dewayanti. Pemuda itu memang belum pernah berdekatan dengan seorang
gadis mana pun juga. Apalagi gadis secantik bidadari ini. Masih bisa bernapas
saja Odi sudah harus bersyukur. Baginya hari ini adalah hari yang paling indah
daripada hari-hari lainnya. Tidak semua pemuda di Desa Semanding punya
kesempatan duduk berdua bersama gadis ini.
"Nanti malam kamu bisa keluar
tidak, Di?" Tanya Dewayani lembut sambil meletakkan tangannya di punggung
tangan pemuda itu.
Kembali tubuh Odi gemetar. Seketika itu
juga jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Lidahnya terasa kelu, seperti
tidak mampu menjawab pertanyaan Dewayani.
"Kalau tidak bisa, tidak
apa-apa," kata Dewayani setengah merajuk.
"Bi..., bisa. Tentu saja
bisa," buru-buru Odi membuka suara meskipun tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa menolongku
dong," rajuk Dewayani.
"Menolong apa?" Tanya Odi.
Pemuda itu seperti merasakan punya kesempatan untuk lebih mendekati gadis ini.
Dalam hatinya, Odi bertekad untuk menyanggupi apa saja yang diinginkan
Dewayani. Yang penting baginya bisa berada berdua saja dengan gadis ini.
"Mengantarku ke sendang,"
sahut Dewayani.
"Malam-malam...?!" Odi
terkejut.
"Bisa tidak...?" desak
Dewayani.
"Bisa!" sahut Odi tanpa
berpikir panjang lagi.
“Kalau begitu, aku tunggu di sini
ya?"
"Di mana saja, Dewayani. Aku jemput
ke rumahmu juga tidak apa-apa."
"Jangan, nanti Ki Jepun marah.
Soalnya sekarang ini aku dilarang bergaul. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Padahal, tanpa bergaul pun aku sudah dijauhi.” agak menghiba nada suara
Dewayani.
"Jangan khawatir, Dewayani.
Pokoknya aku bersedia mendampingimu kapan saja," tegas Odi, langsung
berbunga hatinya.
“Sungguh...?"
"Apa harus bersumpah?"
Dewayani tersenyum manis. Tiba-tiba saja
diberikannya satu kecupan tipis di pipi pemuda itu. Seketika itu juga Odi
merasa jantungnya berhenti berdetak. Tubuhnya mengejang kaku, dan matanya
menatap kosong tidak percaya. Sebelum Odi menyadari apa yang baru saja didapat,
Dewayani sudah meninggalkannya sambil berlari-lari kecil. Pemuda itu masih
terpaku bagai sepotong area batu. Sungguh sulit dipercaya kalau dirinya baru
saja dicium seorang gadis cantik yang menjadi buah bibir dan menjadi incaran
setiap anak muda di Desa Semanding.
"Yihuii...!" tiba-tiba saja
Odi terlonjak melompat sambil berteriak keras. Pemuda itu
berjingkrak-jingkrakan seperti baru saja mendapat lotre. Sambil
berteriak-teriak, pemuda itu berlari-lari dan melonjak-lonjak tidak karuan.
Bahkan lebih dari itu, dipeluk dan diciuminya sebatang pohon bertubi-tubi
sambil menyebut-nyebut nama Dewayani. Kelakuan Odi sungguh menggelikan.
Sampai-sampai dia tidak sadar kalau ada beberapa orang memperhatikan tingkahnya
yang memeluk pohon sambil menyebut nama Dewayani. Pemuda itu benar-tidak
mempedulikan pandangan orang-orang yang keheranan. Dia berlari-lari dan
berjingkrakan bagai orang tidak waras.
"Ha ha ha..! Aku berhasil! Aku
berhasil..!" Teriak Odi keras sambil terus berjingkrakan.
***
Pagi-pagi sekali kegemparan kembali
terjadi di Desa Semanding. Orang-orang yang hendak ke sungai dikejutkan dengan
diketemukannya tubuh Odi yang tergeletak tak bernyawa di tepi sungai. Pemuda
itu tewas dengan cara mengerikan. Leher terkoyak hampir buntung dan dada
berlubang besar hingga seluruh rongga bagian dalam dadanya terlihat. Yang lebih
mengejutkan lagi, tak ada setetes darah pun terdapat di tubuh pemuda itu.
Bahkan sekitarnya juga kelihatan bersih tanpa ada sedikit bercak darah.
Kematian Odi membuat seluruh penduduk
Desa Semanding marah. Mereka beramai-ramai mendatangi rumah Ki Jepun. Semua
orang tahu kalau kemarin Odi seperti orang gila, selalu menyebut-nyebut nama
Dewayani sambil memeluk dan menciumi pohon. Bahkan Odi sendiri cerita pada
teman-temannya kalau dirinya dicium Dewayani di tepi sungai. Tentu saja cerita
Odi tidak ada yang mempercayai. Terlebih lagi anak-anak muda yang secara
diam-diam selalu bersaing memperebutkan gadis itu. Namun tidak demikian halnya
gadis-gadis dan kaum wanita di desa yang tampak be-gitu marah. Bahkan
orang-orang tua tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah mereka
mendatangi rumah Ki Jepun.
"Dewayani! Keluar kau...!"
"Bunuh saja perempuan setan
itu!" "Usir dia dari desa kita...!"
Macam-macam teriakan terdengar dari
mulut para wanita dan gadis-gadis muda yang berkumpul di depan rumah Ki Jepun.
Sedangkan yang laki-laki, baik tua maupun muda, hanya diam saja mengawasi di
belakang mereka. Sementara jendela dan pintu rumah Ki Jepun tertutup rapat. Di
dalam rumah, Ki Jepun, istrinya, dan Dewayani hanya diam saja mendengarkan
teriakan-teriakan yang menyakitkan telinga.
"Apa yang harus kita lakukan,
Ki?" Tanya Nyi Jepun dengan suara agak bergetar.
"Tenang saja, Nyi. Biarkan mereka
meluapkan kemarahannya sampai serak suaranya," sahut Ki Je pun tenang.
Nyi Jepun memandangi Dewayani yang hanya
duduk saja di balai-balai bambu. Gadis itu juga memandang perempuan tua yang
telah begitu baik padanya. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Jepun yang berdiri
dekat jendela mengintip ke luar.
"Biar kuhadapi mereka, Ki,"
kata Dewayani sambil turun dari balai-balai bambu.
"Jangan...!" cegah Nyi Jepun
langsung menarik tangan Dewayani, dan membawanya duduk kembali.
Ki Jepun memalingkan mukanya menatap
dalam-dalam gadis itu. "Mereka semua bersenjata, Dewayani. Kau akan
dirajam kalau keluar," jelas Ki Jepun, terdengar tenang suaranya.
"Aku bisa menghadapi mereka,
Ki," tegas Dewayani tidak tahan lagi mendengar kata-kata yang menyakitkan
hatinya di luar sana.
"Lebih baik kau tutup saja telingamu,
Dewayani. Sabarkan hatimu, dan jangan lawan mereka dengan hati panas
juga," Ki Jepun menasehati.
Dewayani diam saja, duduk di samping Nyi
Jepun. Kata-kata Ki Jepun barusan memang benar. Para penduduk itu sedang
dilanda kemarahan sehingga hati mereka menjadi buta. Jika dilawan dengan hati
panas juga, justru akan memperburuk suasana. Saat mereka berdiam diri,
terdengar ketukan di pintu beberapa kali. Sejenak Ki Jepun memandang kedua
wanita yang duduk berdampingan, kemudian melangkah menghampiri pintu. Ki Jarak
dan Rangga serta beberapa sesepuh des berdiri di depan pintu yang dibuka Ki
Jepun.
Setelah dipersilakan masuk, mereka yang
berjumlah lima orang, masuk ke dalam rumah itu. Ki Jepun menyambut mereka
dengan ramah, lalu mempersilakan duduk. Dua orang laki-laki tua berdiri saja di
pintu yang tetap dibiarkan terbuka. Sementara para wanita yang berkerumun di
depan rumah Ki Jepun terus berteriak-teriak menyuruh Dewayani keluar.
"Aku ke sini bukan hendak mengadili
keponakanmu, Ki Jepun," jelas Ki Jarak membuka suara.
"Terus terang, Ki Jarak. Aku tidak
mengerti, mengapa mereka menuduh keponakanku yang membunuh Odi," keluh Ki
Jepun.
"Itulah yang hendak kuselesaikan
sekarang, Ki," kata Ki Jarak lagi.
"Ki Jarak, kan aku sudah katakan.
Kalau memang Dewayani benar-benar bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya.
Nah, sekarang mana bukti-buktinya kalau keponakanku bersalah?" tantang Ki
Jepun.
"Memang tidak ada bukti kuat,
Ki," sahut Ki Jarak.
"Nah! Kenapa mereka tidak
dibubarkan saja?" agak keras nada suara Ki Jepun.
Ki Jarak menarik napas panjang.
Dipandanginya, dua orang laki-laki tua yang menjaga di pintu. Ki Jarak meminta
agar orang-orang yang berkerumun di luar dibubarkan. Bukan hanya dua orang
laki-laki di pintu saja. Bahkan seorang yang usianya sebaya dengan Ki Jarak
yang duduk di samping kepala desa itu juga ikut keluar. Hanya Rangga yang masih
duduk di samping kiri Ki Jarak.
"Ki Jepun, kudengar Dewayani
mempunyai ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Apa benar begitu?" Tanya
Ki Jarak setelah suasana di luar sunyi.
"Aku tidak tahu," sahut Ki
Jepun.
Ki Jarak memandang Dewayani yang tetap
duduk di pinggir balai-balai bambu bersama Nyi Jepun. Gadis itu membalas
tatapan kepala desa dengan sinar mata lembut. Agak bergetar juga hati Ki Jarak
menerima pandangan mata gadis itu. Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak lebih
kencang. Buru-buru Ki Jarak mengalihkan pandangannya ke pintu yang masih
terbuka lebar.
Tak terlihat lagi penduduk desa di depan
rumah ini. Hanya ada beberapa laki-laki dan tiga orang sesepuh desa yang berada
tidak jauh dari pintu. Sementara itu pandangan Dewayani sudah beralih pada
Rangga. Gadis ini tahu, kenapa Ki Jarak bertanya seperti itu. Rangga memang pernah
melihat Dewayani bertarung melawan seorang tua berjubah hitam yang bernama
Iblis Hitam di tepi sungai. Maka Dewayani yakin betul kalau pemuda berbaju
rompi putih itulah yang mengatakan demikian pada kepala desa ini.
"Ilmu olah kanuragan yang kumiliki
bukan untuk membunuh," tegas Dewayani tanpa mengalihkan pandangannya dari
wajah Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak menuduhmu dalam
peristiwa pembunuhan di sini, Dewayani," ujar Ki Jarak.
"Tapi pertanyaanmu bernada
menuduhku, Ki," dengus Dewayani dingin.
"Maaf kalau kau tersinggung oleh
pertanyaanku,” ucap Ki Jarak menghindari suasana tegang.
"Asal kalian tahu saja, semalaman
aku tidak keluar kamar. Kuakui, aku memang ngobrol dengan Odi kemarin. Tapi itu
bukan berarti aku sebagai pembunuhnya!" tegas kata-kata Dewayani.
Ki Jarak memandang Rangga yang saat itu
juga menoleh padanya. Laki-laki setengah baya itu seperti minta pendapat
Pendekar Rajawali Sakti, tapi pemuda itu malah mengangkat bahu saja. Rangga
memang tidak punya alasan untuk mencurigai Dewayani. Dan jalan pikiran Ki Jarak
sendiri seperti buntu. Dia jadi tidak tahu, apa yang harus dikatakan lagi.
Sementara Dewayani terus menatap tajam Ki Jarak dan Rangga bergantian dengan
sinar mata dingin.
***
Hampir jauh malam Ki Jarak bam pulang
dari rumah Ki Jepun. Banyak yang dibicarakan setelah Dewayani masuk ke dalam
kamarnya. Sementara Ki Jepun bisa mengerti kalau kepala desa itu memang hendak
berbuat adil dan tidak berpihak pada siapa pun. Ki Jepun menghargai sikap
kepala desa itu. Dan dengan hati besar diakui kesalahannya yang telah menduga
buruk terhadap Ki Jarak.
Malam itu suasana di Desa Semanding
begitu mencekam. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin membekukan
tulang. Ki Jarak berjalan pelahan-lahan menuju kerumahnya. Sedangkan tetangga
sudah sejak sore tadi pergi entah ke mana. Tak ada seorang pun yang terlihat di
luar rumah. Kematian tiga anak muda yang begitu tragis membuat hampir seluruh
penduduk desa dicekam rasa takut.
Mendadak langkah kaki kepala desa itu
terhenti. Tiba-tiba di depannya menghadang seseorang berpakaian gelap
mengenakan sebuah tudung besar yang menutupi sebagian wajahnya. Suasana malam
yang hanya diterangi cahaya bulan, membuat Ki Jarak kesulitan untuk mengetahui
orang yang menghadangnya di tengah jalan itu, Melihat kilatan cahaya pedang di
depan dada, Ki Jarak sudah dapat menduga kalau orang itu pasti tidak bermaksud
baik.
"Apa maksudmu menghadang di tengah
jalan..?" Tanya Ki Jarak yang tidak mengetahui apakah orang itu laki-laki
atau perempuan.
Orang itu tidak menjawab sepatah kata
pun, tapi tiba-tiba saja melompat cepat tanpa menimbulkan suara. Ringan dan
bagaikan kilat lompatan orang itu, sehingga membuat Ki Jarak agak terpukau
sesaat. Namun begitu terlihat kelebatan cahaya keperakan, secepat kilat Ki
Jarak melompat mundur dua langkah.
Wutt! Ki Jarak terhuyung sedikit begitu
ujung pedang yang berkilatan itu lewat di depan dadanya. Sungguh luar biasa!
Angin tebasan itu demikian kuat, membuat keseimbangan tubuh Ki Jarak tergoyah.
Dan pada saat itu, orang berbaju gelap dan bertudung itu kembali menyerang
dengan melontarkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Tak ada lagi
kesempatan bagi Ki Jarak untuk menghindari pukulan itu. Dengan cepat dikibaskan
tangannya untuk menangkis pukulan orang tak dikenal itu.
Tak! "Ikh...!" Ki Jarak
terpekik tertahan. Buru-buru kepala desa itu melompat mundur. Pergelangan
tangan kanannya terasa seperti remuk ketika membentur tangan orang itu. Dan
belum juga hilang rasa sakit pada pergelangan tangannya, orang bertudung besar
itu sudah kembali melompat sambil mengibaskan pedang ke arah dada.
"Uts!" Ki Jarak menarik tubuhnya
ke belakang menghindari tebasan pedang itu. Secepat kilat dilepaskan satu
pukulan keras dengan tangan kiri begitu ujung pedang itu lewat di depan
dadanya. Namun orang itu manis sekali mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Ki
Jarak hanya menyambar tempat kosong.
Tiba-tiba saja orang itu cepat menggeser
kakinya ke samping. Dan dengan gerakan setengah memutar, secepat kilat
diberikan satu tendangan keras disusul tusukan pedang ke arah perut. Ki Jarak
langsung meliukkan tubuhnya menghindari tendangan menggeledek itu, namun
terlambat menarik tubuhnya. Sehingga...
Crab! "Akh...!" Ki Jarak
memekik keras.
Tusukan pedang orang itu berhasil
merobek lambung Ki Jarak. Darah langsung muncrat keluar begitu pedang ditarik
dari perut. Ki Jarak terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang
sobek akibat tusukan pedang. Dan sebelum kepala desa itu mampu melakukan
sesuatu, orang bertudung besar itu kembali melompat sambil mengibaskan
pedangnya ke arah leher. Ki Jarak terbelalak. Buru-buru ditarik kepalanya ke
belakang. Dan tebasan pedang itu lewat sedikit saja di depan tenggorokan Ki
Jarak. Namun sebelum pedang itu tertarik pulang, orang bertudung sudah
memberikan satu tendangan melingkar sambil memutar tubuhnya pada kaki kiri.
Begitu cepat serangan berantai itu, sehingga membuat Ki Jarak tidak sempat lagi
menghindarinya.
Des! Tendangan itu tepat menghantam dada
Ki Jarak, membuat kepala desa itu terpental sejauh tiga batang tombak ke
belakang. Pada saat itu, secepat kilat orang bertudung besar melesat mengejar
sambil menghunus pedang lurus ke depan. Dan bagaikan kilat dikibaskan pedangnya
dua kali.
Bret! Cras!
"Aaa...!" Ki Jarak menjerit
tinggi. Leher dan dadanya sobek terbabat ujung pedang. Darah mengucur deras
dari luka yang menganga lebar. Hanya sebentar Ki Jarak mampu bertahan berdiri.
Ketika satu tendangan keras menghantam dadanya, tubuh laki-laki setengah baya
itu kontan terjungkal keras menghantam tanah berdebu. Ki Jarak kini menggelepar
meregang nyawa. Darah semakin banyak keluar dari tubuhnya. Sebentar kemudian,
kepala desa itu mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
***
LIMA
Rangga berdiri tegak di samping pusara
Ki Jarak. Kematian Kepala Desa Semanding itu membuat seluruh penduduk gempar.
Tuduhan terhadap Dewayani sebagai pelakunya semakin kuat. Tapi kini tak ada
seorang pun yang berani mendatangi rumah Ki Jepun. Mereka marah, tapi juga
takut bertindak. Sedangkan sesepuh desa sendiri tak mampu berbuat banyak.
Rangga mengangkat kepalanya ketika
mendengar suara langkah kaki dari arah depan. Kening Pendekar Rajawali Sakti
itu berkerut saat melihat seorang wanita berbaju hitam, tahu-tahu sudah berdiri
tidak jauh di depannya. Sebagian wajahnya tertutup kerudung tipis berwarna
hitam. Namun Rangga masih bisa mengenali kalau wanita itu adalah Dewayani.
Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri dan berdiri sekitar tiga langkah di
depan gadis itu.
Saat kerudung hitam tersibak dan turun
dari kepala, terlihat seraut wajah cantik bagai seorang bidadari kahyangan
turun ke bumi. Sesaat Rangga terpaku memandangi wajah cantik di depannya, namun
perasaannya yang jadi tidak menentu, cepat-cepat dikuasai. Dia lalu menoleh
memandang pusara Ki Jarak, kemudian berpaling lagi menatap Dewayani.
“Aku menyesal, orang sebaik Ki Jarak
harus ikut jadi korban," ucap Dewayani pelan, hampir tidak terdengar
suaranya.
"Banyak yang ingin kubicarakan
denganmu. Mudah-mudahan kau tidak keberatan, Dewayani," kata Rangga tanpa
mempedulikan ucapan penyesalan gadis itu.
Sebentar Dewayani memandangi pusara Ki
Jarak, kemudian menghampiri dan meletakkan seikat bunga mawar yang dibawa.
Gadis itu kini kembali menghampiri Rangga dan terus berjalan pelahan. Rangga
mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping kanannya. Mereka berjalan
pelahan tanpa berbicara. Sampai jauh meninggalkan tempat pemakaman, belum ada
yang membuka suara. Tanpa disadari mereka berjalan menuju ke hutan di sebelah
Barat Desa Semanding.
“Terus terang, semalam aku mengawasi
rumah Ki Jepun," Rangga mulai membuka suara.
Semula Rangga mengira kalau Dewayani
akan terkejut mendengar kata-katanya. Tapi, Kenyataannya gadis itu tampak biasa
saja. Pandangannya tetap lurus ke depan tak berkedip. Ayunan kakinya juga
teratur. Sedikit pun Dewayani tidak berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku melihat seseorang keluar dari
pintu belakang. Cepat sekali, sehingga sulit melihat jelas. Tapi arahnya menuju
sungai. Aku mengejar ke sana, dan kehilangan jejak. Di situ aku mendengar
jeritan Ki Jarak. Ternyata begitu aku datang, dia sudah tewas," sambung
Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu berbicara
sambil terus mengamati raut wajah gadis cantik di sampingnya. Untuk kedua
kalinya Rangga harus menelan ludah pahit. Ternyata Dewayani tetap datar tanpa
sedikit pun ada perubahan pada wajahnya. Bahkan sorot mata gadis itu demikian
kosong, bagai seorang gadis yang sudah enggan-hidup di dunia lagi.
"Bukannya ingin menuduhmu, tapi aku
hanya ingin tahu. Di mana kau malam itu?" lanjut Rangga terus
memperhatikan wajah di sampingnya.
"Di rumah," jawab Dewayani
datar.
"Kau tidak ke luar rumah
semalam?" Tanya Rangga lagi.
“Tidak," singkat saja jawaban Dewayani.
"Kau tahu di mana Ki Jepun dan
istrinya malam itu?"
"Untuk apa kau bawa-bawa Ki
Jepun?" dengus Dewayani balik bertanya. "Pikiranmu sama piciknya
dengan mereka...," agak terputus suara Dewayani.
"Kau bisa memanggilku Rangga,"
Rangga memperkenalkan diri
"Siapa yang peduli dengan namamu?
Yang aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke desa ini? Kau juga hanya
pendatang, bukan?"
Rangga terhenyak mendengar pertanyaan
ketus itu. "Aku heran, kenapa mereka tidak mencurigaimu? Padahal kau juga
hanya pendatang. Malah kedatanganmu bertepatan dengan jatuhnya korban pertama.
Kenapa justru aku yang dituduh? Kenapa tidak menuduhmu...?"
Untuk kesekian kalinya, Rangga terpaksa
harus menelan makian pahit. Kata-kata Dewayani barusan jelas memojokkan
dirinya, di samping gadis itu mengelak dari tuduhan seluruh penduduk Desa
Semanding. Secara jujur, Rangga memang mengakui kebenaran kata-kata gadis ini.
Sama sekali tidak dibantah kebenarannya.
"Sekarang kau ikut-ikutan
menuduhku. Justru itulah yang membuatku jadi curiga padamu!" dalam sekali
nada suara Dewayani.
"Kau cerdas, Dewayani," puji
Rangga tulus.
Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu
tidak tersinggung mendengar tuduhan Dewayani yang begitu langsung tanpa tedeng
aling-aling lagi. Dan kembali Rangga mengagumi keberanian gadis ini. Buktinya
dia sendiri masih berbasa-basi dan berpikir agar tidak menyinggung lawan
bicaranya. Tapi justru gadis ini secara terbuka mengeluarkan isi hatinya,
meskipun begitu pedas berbau tuduhan. Namun hal itu justru membuat Rangga jadi berpikir
lain, dan tidak tersinggung. Apalagi marah. Pendekar Rajawali Sakti itu malah
tersenyum.
"Kuakui kau memang benar,
Dewayani," ujar Rangga terbuka. "Untuk itu aku ingin banyak bicara
denganmu. Itu pun jika tidak keberatan."
"Kau ingin mengorek tentang
diriku?" tebak Dewayani langsung.
“Tidak. Karena aku juga tidak suka kalau
ada orang yang coba-coba mengutak-atik kehidupan diriku," tegas Rangga.
"Bagus! Kalau begitu, sebaiknya
lupakan saja semua yang terjadi di sini. Dan aku juga tidak akan lebih lama
tinggal di sini. Percuma saja, desa ini seperti neraka buatku."
"Itu bukan pemecahan yang terbaik,
Dewayani."
Dewayani berhenti melangkah, tepat di
saat mereka tiba di sebuah kolam kecil berair jernih. Pinggiran kolam itu
dihiasi batu-batu hitam berlumut yang bertumpuk-tumpuk, seperti sengaja ditata.
Dewayani duduk di atas batu di pinggir kolam itu. Tempat inilah yang disebut
penduduk Desa Semanding sebagai sendang. Sebuah kolam kecil yang merupakan
sumber mata air jernih. Letaknya tidak begitu jauh di dalam hutan. Namun
suasananya begitu tenang dan sunyi.
***
Sementara itu di Desa Semanding, Ki
Jepun duduk mencangkung dengan satu kaki terangkat menopang dagu di beranda
depan rumahnya. Sedangkan Nyi Jepun asyik mengunyah sirih sambil menganyam
tikar. Sejak pagi tadi mereka tidak melihat Dewayani. Sedangkan senja sudah
merayap turun. Saat itu seorang wanita bertubuh gemuk melintas di depan rumah.
Disemburkan ludahnya dan terus berjalan. Cepat Ki Jepun ter dongak kaget.
“Biar saja, Ki.," kata Nyi Jepun
melihat suaminya sudah akan berdiri.
"Huh! Seumur hidup belum pernah aku
dihina seperti ini!" dengus Ki Jepun sambil memandangi perempuan gemuk
yang sudah lenyap di tikungan jalan.
Sejak pagi tadi, sudah beberapa kali Ki
Jepun melihat penghinaan seperti itu. Entah sudah berapa orang yang meludah
saat melintas di depan rumahnya. Kematian kepala desa benar-benar merupakan
pukulan berat bagi seluruh warga Desa Semanding. Terutama, bagi Ki Jepun yang
langsung merasakan akibatnya. Semua penduduk jadi begitu benci, seperti melihat
kotoran busuk terhadap pasangan tua ini.
"Belum pernah hal ini
terjadi...!" rungut Ki Jepun menggerutu.
"Kau jangan menyalahkan Dewayani,
Ki!" sentak Nyi Jepun.
"Aku tidak menyalahkan anak itu.
Tapi sejak dia datang ke sini.... Rasanya kewibawaanku lenyap!"
"Sebelum Dewayani datang, mereka
juga sudah tidak pernah memandang lata lagi, Ki. Aku tidak senang kalau
Dewayani dijadikan alasan."
"Aku jadi heran, kau selalu saja
membela anak itu, Nyi," nada suara Ki Jepun mulai curiga.
"Anak itu baik, Ki, Dan kita sudah
sepakat untuk mengangkatnya sebagai anak. Justru sekarang aku yang heran,
kenapa tiba-tiba kau jadi berubah? Apa sudah tidak sayang lagi pada
Dewayani?" Nyi Jepun balik menyerang sengit.
“Terus terang, Nyi Kadang-kadang aku
suka ragu. Aku memang menyayanginya. Tapi sampai saat ini kita belum tahu, dari
mana asalnya? Dan lagi, kenapa tiba-tiba saja dia menyetujui begitu kita
mengutarakan hendak mengangkatnya anak? Sejak itu..."
“Terjadi pembunuhan misterius!"
potong Nyi Jepun cepat
"Nyi..," Ki Jepun menggeser
duduknya mendekati istrinya.
"Apa tidak sebaiknya nanti kita
tanyakan asal-usulnya?" usul Ki Jepun, setengah berbisik.
"Apa kau ini sudah pikun, Ki...?
Kau sendiri yang mengatakan kalau tidak akan peduli siapa dan dari mana asal
Dewayani. Aku tidak setuju!"
"Hhhmm.!" Ki Jepun
menghembuskan napas berat.
Laki-laki tua itu memang bisa memahami,
betapa cintanya istrinya terhadap Dewayani. Kerinduannya terhadap seorang anak
begitu tertumpah penuh pada gadis itu. Sehingga membuat Nyi Jepun tidak
mempedulikan situasi yang kini sedang dihadapi. Suasana yang tidak mengenakkan
sama sekali, dibenci semua penduduk desa. Kehadiran Dewayani di rumah ini
memang sempat membuat semarak, tapi itu tidak berlangsung lama.
Sekarang suasananya begitu jauh
terbalik. Mereka Selalu dihadapkan pada hal-hal yang sukar di mengerti. Sejak
pertama, sebenarnya Ki Jepun hendak menanyakan asal-usul Dewayani. Tapi begitu
melihat gadis itu sangat rajin, ringan tangan, dan selalu membuat keceriaan,
pupus segala keingintahuan nya mengenai diri gadis itu. Tapi sekarang rasa
ingin tahunya begitu tebal, bahkan bisa dikatakan kecurigaan, Ki Jepun jadi
ragu-ragu tentang diri gadis itu yang sebenarnya.
Pandangan Ki Jepun mendadak tertumbuk ke
ujung jalan. Terlihat Dewayani berjalan bersama seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan baju rompi putih. Ki Jepun tahu, siapa pemuda itu. Beberapa penduduk
yang melihat langsung mencibirkan bibirnya. Bahkan ada di antaranya yang langsung
menyemburkan ludah. Tapi nampaknya Dewayani tidak peduli, dan tetap berjalan
tenang di samping Pendekar Rajawali Sakti. Ki Jepun dan istrinya tetap saja
duduk di balai-balai bambu beranda depan rumahnya, meskipun Dewayani sudah
berada di halaman. Gadis itu langsung menghenyakkan tubuhnya di samping Nyi
Jepun. Sedangkan Rangga hanya berdiri saja, namun bersikap sopan.
"Silakan duduk, Den," Nyi
Jepun mempersilakan.
“Terima kasih," ucap Rangga seraya
duduk di kursi kayu di depan Ki Jepun. Sedangkan Ki Jepun hanya memandang
dalam-dalam pemuda itu. Sukar ditebak arti pandangan laki-laki tua itu. Rangga
sendiri tidak mengerti, dan jadi merasa tidak enak. "Aku hanya
mengantarkan Dewayani Sebaiknya aku permisi dulu," ucap Rangga seraya
bangkit berdiri.
“Tunggu dulu, Anak Muda," cegah Ki
Jepun. Rangga kembali duduk.
"Aku ingin bicara denganmu,"
kata Ki Jepun seraya melirik istrinya. Nyi Jepun bisa mengerti, lalu segera
bangkit berdiri dan mengajak Dewayani ke dalam. Gadis itu berpamitan pada
Rangga, kemudian mengikuti perempuan tua itu yang sudah lebih dulu masuk ke
dalam rumah.
"Kelihatannya penting sekali,
Ki," ujar Rangga setelah Nyi Jepun dan Dewayani tidak terlihat lagi.
"Tentang Dewayani," kata ki
Jepun datar.
"Oh...," Rangga menyandarkan
punggungnya. "Ada apa dengan Dewayani, Ki?"
"Hhh...!" sebentar Ki Jepun
mendesah pajang. "Aku tahu kau bukan penduduk desa ini, Anak Muda. Aku
juga yakin baru beberapa hari kau kenal Ki Jarak."
"Aku memang pendatang, Ki,"
sahut Rangga terus terang.
"Itulah yang ingin kubicarakan
denganmu, Anak Muda."
Rangga mengerutkan keningnya hingga
alisnya hampir bertaut menjadi satu. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi semakin
ingin tahu melihat raut wajah Ki Jepun yang kelihatan bersungguh-sungguh.
Bahkan laki-laki tua ini tidak tersenyum sedikit pun. Pandangan matanya begitu
tajam, seakan-akan hendak menembus relung hati pemuda di depannya.
"Anak Muda, jika kau sudi mendengar
kata-kataku, sebaiknya tinggalkan saja desa ini secepatnya," kata Ki
Jepun, datar dan dalam nada suaranya.
Kening Rangga semakin berkerut dalam.
"Kenapa, Ki?" Tanya Rangga
tidak mengerti. "Demi kebaikanmu sendiri dan mengurangi bebanku, Anak
Muda. Kau dan aku sama-sama buta. Dan sebaiknya kau menghindar sebelum telanjur,"
ujar Ki Jepun lagi.
"Ki, apakah ini ada hubungannya
dengan Dewayani?" Pelan sekali suara Rangga, hampir tidak terdengar.
"Aku tidak bisa mengatakannya, Anak
Muda. Meskipun aku sendiri bingung, tapi tidak bisa kukatakan padamu.
Maaf," sahut Ki Jepun.
"Yaaah..., aku juga sebenarnya
memang akan pergi dari desa ini Tapi sayang sekali, aku menunggu seseorang. Dan
yang kutunggu belum datang," kata Rangga beralasan.
Rangga langsung bangkit berdiri dan
berpamitan. Ki Jepun tidak bisa mencegah lagi. Dipandanginya punggung pemuda
itu. Hembusan napas berat terdengar keluar dari hidung laki-laki tua itu.
Sementara Rangga semakin jauh berjalan, menuju rumah Ki Jarak yang berada di
ujung jalan. Rumah yang kini kosong karena istri Ki Jarak telah lama meninggal.
Sedangkan anak-anaknya sudah tidak tinggal lagi di desa ini. Ki Jarak tidak
pernah cerita, di mana anak-anaknya sekarang berada.
Sementara Ki Jepun masih memandangi
punggung Pendekar Rajawali Sakti itu. Beberapa kali dihembuskan napas panjang
dan terasa berat. Entah kenapa, penolakan Rangga yang begitu halus membuat
dirinya jadi gelisah. Ki Jepun sendiri tidak tahu, kenapa jadi mengkhawatirkan
pemuda itu. Tiga anak muda yang tewas sebelumnya pernah ngobrol dengan
Dewayani. Dan barusan Rangga berjalan beriringan dengan gadis itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja tidak
ada korban lagi," desah Ki Jepun dalam hati.
Rangga duduk bersila di beranda depan
rumah Ki Jarak. Tidak ada seorang pun di rumah besar ini. Semua pembantu Ki
Jarak langsung pergi begitu kepala desa itu tewas secara tragis. Bahkan empat
orang pengawalnya langsung menghilang. Mereka semua merasa takut menjadi
sasaran pembunuh misterius yang sampai saat ini belum ketahuan siapa orangnya.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin semakin terasa. Kabut
pun semakin menebal di seluruh permukaan bumi Desa Semanding kali ini. Tak ada
lagi terdengar suara, selain desir angin dan suara binatang-binatang malam.
Begitu sunyi suasana malam di desa itu.
"Hm...," tiba-tiba Rangga
menggumam pelan. Pendekar Rajawali Sakti itu mengangkat kepalanya sampai tegak.
Telinganya yang tajam, mendengar adanya suara halus yang hampir tidak
terdengar. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu mampu berpikir lebih jauh,
mendadak saja...
Wusss! Sebuah benda tiba-tiba meluncur
deras dari kegelapan malam yang berkabut. Benda itu mengarah kepada Rangga yang
duduk bersila di beranda depan rumah Ki Jarak. Masih dalam posisi duduk bersila
Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menggerakkan tangannya, lalu menangkap benda
sepanjang jengkal tangan itu dengan dua jari tangannya. Sebentar Rangga
melirik, ternyata hanya sebatang ranting kering yang panjangnya sekitar satu
jengkal.
"Hup...!" Cepat Rangga melesat
keluar dari beranda, begitu melihat sesosok tubuh berada di dalam gumpalan
kabut. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti itu berputaran di udara, lalu manis
sekali mendarat di depan sosok tubuh berbaju gelap mengenakan tudung lebar yang
hampir menutupi seluruh wajahnya. Jarak di antara mereka tepat sekitar lima
langkah lagi.
"Siapa kau?" Tanya Rangga
Orang itu tidak menjawab, namun
tiba-tiba saja menarik pedangnya keluar dari sarungnya di pinggang. Dan secepat
itu pula dia melompat menerjang, seraya mengibaskan pedangnya tiga kali ke atas
dan ke bawah.
"Uff! Hup..,!" Bergegas Rangga
mengegoskan tubuhnya, lalu melenting ke belakang ketika ujung pedang itu
meluruk menusuk ke arah dada. Tapi orang itu terus mengejar. Tubuhnya meluruk,
dan pedangnya diarahkan lurus ke depan. Dia seperti terbang dalam posisi tubuh
tegak. Dan Rangga tidak punya pilihan lain lagi. Begitu kakinya menjejak tanah,
dengan cepat dirapatkan kedua tangannya di depan dada, tepat pada saat ujung
pedang hampir menembus dadanya.
Tap! Pedang itu terkunci rapat di dalam
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menyatu rapat. Dan dengan
mengerahkan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Rangga
menghentakkan tangannya ke depan sambil melepaskan pedang itu. Tubuh orang
bertudung itu terlontar deras ke belakang. Secepat kilat Rangga melesat
mengejar sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega’. Kedua
tangannya bergerak cepat mengarah ke kepala lawan. Begitu cepatnya, sehingga
orang itu jadi kelabakan menghindari serangan-serangannya. Dan pada satu
saat...
Prak! Kibasan tangan Rangga berhasil
menghancurkan tudung yang dikenakan orang itu. Namun belum juga Rangga sempat
melihat wajahnya, orang itu sudah lebih cepat melesat kabur.
"Hei..!" teriak Rangga.
Slap!
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti itu melesat mengejar. Sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, Rangga juga merapalkan aji 'Tatar Netra’. Keadaan malam yang
begitu pekat dan berkabut memang menyulitkan pandangan mata biasa, memaksa
Pendekar Rajawali Sakti hams menggunakan aji 'Tatar Netra’ untuk mempertajam
penglihatannya. Dengan demikian orang itu dapat terlihat walaupun berlari cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Hiyaaat..!" Rangga
melentingkan tubuhnya ke udara. Tapi begitu hampir saja mengejar orang itu,
mendadak sebuah bayangan hitam menyambarnya. Buru-buru Rangga memutar tubuhnya
di udara, dan mendarat turun dengan manis sekali. Namun baru saja kakinya menjejak
tanah, kembali bayangan hitam berkelebat menyerang.
"Hup! Hiyaaa...." Rangga tetap
berdiri tegak, dan langsung menghentakkan kedua tangannya menyambut bayangan
hitam itu.
Dughk!
Satu benturan keras terjadi. Pendekar
Rajawali Sakti itu terdorong sejauh tiga langkah ke belakang. Sedangkan
bayangan hitam itu terlontar sejauh tiga batang tombak, lalu jatuh bergulingan
di tanah. Tapi cepat-cepat dia bangkit berdiri. Saat itu Rangga sudah melompat
sambil memberikan dua pukulan beruntun.
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Orang berbaju hitam longgar itu segera
melompat ke samping. Dan secepat itu pula dikibaskan sebatang tongkat yang
tergenggam di tangan kanan, ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun pemuda
berbaju rompi putih itu lebih tangkas lagi. Segera diangkat kakinya, dan tanpa
diduga sama sekali kaki kanannya melayang deras ke arah dada.
Buk!
"Akh...!" orang itu terpekik
keras.
Tendangan Rangga memang tidak diduga
sama sekali, sehingga sukar lagi dihindari. Kembali orang bertongkat itu
terbanting keras ke tanah. Dan sebelum dia sempat berdiri, Rangga sudah
melompat. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu
menjejakkan kakinya ke arah dada orang itu. Tapi orang itu cepat menggulirkan
tubuhnya ke samping, sehingga pijakan kaki Rangga hanya menghajar tanah. Begitu
keras dan sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga tanah bergetar bagai gempa akibat pijakan kakinya.
"Hiyaaa...!" Sukar dipercaya!
Gagal dengan pijakan kaki, Rangga langsung memutar tubuhnya sambil melayangkan
tendangan berputar. Padahal, gerakan itu sangat sukar dilakukan orang yang
ilmunya cukup tinggi sekalipun. Dan orang bertongkat itu jadi terkejut. Dia
baru saja bisa berdiri, dan kini tidak ada kesempatan menghindar lagi. Terpaksa
dikebutkan tongkatnya memapak tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!"
Trak,..!
"Heh...?!"
Orang itu terperanjat tidak percaya.
Tongkatnya terpental dan patah jadi dua bagian tersambar tendangan Rangga.
Belum lagi lenyap keterkejutannya, nendadak saja satu pukulan keras bertenaga
dalam penuh sudah cepat dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu tidak
bisa lagi mengelak, dan...
Des!
"Aaakh...!" orang itu menjerit
melengking tinggi. Tubuh berjubah hitam itu terpental deras ke belakang, dan
baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Rangga tidak
membuang-buang waktu lagi, dan langsung melentingkan tubuhnya mengejar. Dan
begitu tangannya terangkat hendak menghantam kepala orang itu, mendadak saja
terdengar seruan keras dari arah belakang.
"Jangan...!"
Seketika Rangga menghentikan niatnya
untuk menghantamkan pukulan ke kepala orang yang sudah tidak berdaya itu. Dia
kemudian melompat mundur dua langkah. Sedangkan orang berjubah hitam itu masih
tergeletak di antara kepingan kayu dari pohon yang hancur terlanda tubuhnya.
Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh, tapi...
Wut...!
"Heh...?!" Rangga tersentak
kaget.
Mendadak saja secercah cahaya merah
meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Secepat pula Rangga menarik
tubuhnya ke samping, maka sinar merah itu lewat di samping bahunya. Sinar merah
itu menghantam sebatang pohon di pinggir jalan.
Glarrr...!
Ledakan keras terdengar bersamaan dengan
hancurnya pohon itu. Bunga api memercik menyebar ke segala arah. Rangga
benar-benar terkejut. Tapi belum juga sempat menarik kembali posisi tubuhnya,
mendadak saja berkelebat sebuah bayangan gelap.
"Hup!"
Cepat Rangga melompat menghindari
terjangan itu. Namun sungguh tidak diduga sama sekali. Ternyata bayangan gelap
itu bukan hendak menyerangnya, tapi menyambar tubuh yang masih tergeletak
dengan napas tersengal di tanah. Bagaikan kilat, bayangan gelap itu berkelebat
membawa orang berjubah hitam.
"Hei...!" Rangga terkejut.
Secepat kilat pula Pendekar Rajawali Sakti itu melompat mengejar. Namun pada
saat itu hampir seluruh penduduk desa keluar dari rumahnya. Mereka terkejut
mendengar ledakan keras barusan. Tapi mereka tidak akan bisa melihat apa-apa.
Ternyata baik orang misterius itu maupun Rangga sudah lenyap entah ke mana.
***
ENAM
“Huh! Ke mana perginya...?" dengus
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu kehilangan jejak buruannya. Dia berhenti
berlari dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi yang tampak hanya
kegelapan dan pohon-pohon yang rapat hitam kelam bagai tangan-tangan raksasa
yang hendak merangkul dan melumatnya.
Rangga tertegun begitu mengenali tempat
ini karena pernah ke sini bersama Dewayani siang tadi. Sebuah kolam berbatu
berada dekat di depannya. Di tempat ini buruannya menghilang tak berbekas.
Keadaan yang begitu gelap, memang sulit mencari jejak. Terlebih lagi buruannya
memiliki ilmu yang cukup tinggi. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai meneliti
setia jengkal sekitar sendang ini tanpa mengenal putus asa.
Namun sampai begitu lama, buruannya
tidak juga ditemukan. Andai dia menyadari kalau yang dikejarnya tadi adalah
orang yang selama ini membuat kekacauan di Desa Semanding. Tapi siapa...? Yang
jelas sudah terlihat dua orang. Dan salah satunya dapat dikenali. Rangga tahu
betul orang yang hampir tewas di tangannya adalah si Iblis Hitam. Seorang laki-laki
tua yang pernah bertarung melawan Dewayani di tepi sungai.
"Rasanya jelas kalau Dewayani ada
hubungannya Dengan semua peristiwa yang terjadi di Desa Semanding. Tapi aku
sangsi kalau gadis itu yang membunuh mereka," gumam Rangga sambil terus
meneliti sekitar Sendang.
Sampai menjelang fajar, Pendekar
Rajawali Sakti itu belum juga menemukan tanda-tanda di mana buruannya berada.
Begitu terasa penat, segera dihenyakkan tubuhnya di tepi sendang berbatu.
Pandangannya beredar berkeliling. Semburat cahaya matahari di ufuk timur
memperjelas keadaan sekitar sendang ini.
"Hm, apakah ada tempat tersembunyi
sekitar sendang ini?" Gumam Rangga bertanya-tanya di dalam hati. Sudah
seluruh pelosok sekitar sendang ini dijelajahi semalaman, tapi tidak juga
ditemukan tanda-tanda tempat persembunyian. Sejak semalam Pendekar Rajawali Sakti
memang sudah berpikir ke arah situ. Tapi sampai pagi begini belum juga
ditemukan. Dan Rangga jadi ragu-ragu. Mungkin juga orang itu hanya lewat saja
di sini, dan mungkin juga...
Berbagai macam kemungkinan memang bisa
saja terjadi, Dan Rangga tidak ingin semuanya serba mungkin. Pendekar Rajawali
Sakti itu mengangkat kepalanya, ketika mendengar suara langkah orang menuju
sendang ini, Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya
ke sekeliling, kemudian melesat ke atas. Manis sekali kakinya hinggap di dahan
pohon yang cukup tinggi dan terlindung. Matanya tajam tak berkedip memandang ke
arah suara langkah yang didengarnya.
"Dewayani...?!" Desis Rangga
dalam hati ketika melihat seorang gadis dari dalam semak belukar.
Gadis itu mengenakan baju berwarna biru
gelap dengan sebilah pedang tergantung di pinggang. Dai atas pohon, Rangga
terus memperhatikan gadis itu yang menuju sendang. Tampaknya Dewayani tidak
tahu kalau ada orang yang memperhatikannya. Langkahnya kemudian berhenti di
tepi sendang. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu membuka pakaiannya.
Dilemparkannya begitu saja pakaian itu ke atas batu di samping kakinya.
Sementara Rangga yang berada di atas
pohon, langsung memalingkan mukanya. Rasanya tak sanggup memandang tubuh
Dewayani yang polos tanpa benang selembar pun melekat di tubuhnya. Gadis itu
melangkah masuk ke dalam sendang, lalu berenang membersihkan diri di dalam air
yang bening bagai kaca itu. Sesekali Rangga memperhatikan.
Tapi setiap kali Dewayani menyembulkan
tubuhnya keluar dari dalam air, buru-buru Pendekar Rajawali Sakti itu
memalingkan muka. Dalam persembunyiannya Rangga jadi gelisah sendiri. Rasanya
tidak mungkin kalau harus pergi. Sedikit gerakan saja, akan mengejutkan gadis
situ. Rangga terpaksa bertahan walaupun jantungnya berdetak kencang.
"Setan!" rutuk Rangga dalam
hati ketika seekor semut merah menggigit punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti
itu meringis. Dan sialnya semut itu malah berpindah-pindah tempat. Menggigit
beberapa bagian kulit tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun gigitan itu
masih bisa ditahan. Tapi saat dirasakan semut itu mulai merayapi leher, dia
sudah tidak tahan lagi. Terlebih saat merasakan semut itu menuju telinga.
"Mati aku..." Dengus Rangga.
Tanpa dapat dicegah lagi, Rangga menepak
semut merah yang hampir saja masuk ke dalam telinganya. dan apa yang
dikhawatirkan pemuda itu terjadi. Tepakannya terdengar Dewayani yang masih
asyik bermain-main di kolam. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya. Matanya
seketika membelalak tatkala melihat Rangga nangkring di atas pohon, tidak jauh
dari sendang ini.
"He...! Apa yang kau lakukan di
situ?" bentak Dewayani seraya menenggelamkan tubuhnya. Tinggal leher dan
kepala saja yang berada di atas permukaan
"Semut sialan!" rutuk Rangga
dalam hati. Merasa sudah diketahui, Rangga melompat turun dari atas pohon itu
walaupun dengan muka merah. Dengan sekali gerakannya, dan tanpa suara sedikit
pun kakinya menjejak tanah. Sementara Dewayani masih merendam tubuhnya di dalam
air hingga sebatas leher. Tapi air sendang yang jernih tetap memperlihatkan
bayang-bayang tubuhnya.
"Maaf, aku tidak
bermaksud...," ucap Rangga terputus.
"Berbalik ke sana!" bentak
Dewayani.
Pendekar Rajawali Sakti itu membalikkan
tubuhnya. Dewayani buru-buru keluar dari dalam sendang Bergegas pula dikenakan
pakaiannya kembali. Sedangkan Rangga masih memunggunginya. Ada rasa penyesalan
terselip di hatinya karena telah melihat gadis itu dalam keadaan tanpa busana.
Tapi semua yang terjadi memang bukan kehendaknya, dan sudah dicobanya untuk
menghindar. Tapi gara-gara seekor semut... Rangga memaki binatang kecil itu
dalam hati.
"Kau pasti sengaja menungguku di
sini!" dengus Dewayani langsung menuduh.
"Tidak," sangkal Rangga seraya
memutar tubuhnya, menghadap kembali pada gadis itu.
“Kalau begitu, untuk apa kau pagi-pagi
begini ada di sini?! Tingkahmu pasti sama dengan anak-anak muda desa. Selalu
saja mencuri kesempatan!" dengus Dewayani memberungut.
"Terserahlah," Rangga
mengangkat bahunya "Yang jelas sama sekali aku tidak tahu kalau setiap
pagi kau mandi di sini. Biasanya semua warga Desa Semanding mandi di
sungai."
“Tadinya memang begitu, tapi sekarang
tidak. Setiap kali aku ke sungai, selalu saja ada yang menunggu atau
membuntuti. Huh! Mereka semua pengecut! Bisanya hanya mencuri," Dewayani
masih memberungut.
“Jangan samakan aku dengan mereka,
Dewayani.”
“Kau memang lain. Mereka bodoh,
sedangkan kau punya kepandaian tinggi. Lagi pula kau memang tampan...,"
Dewayani memberikan senyum.
Rangga hanya tersenyum tipis.
"Seharusnya kau tidak perlu
sembunyi-sembunyi begitu, Kakang. Kalau ingin mandi bersamaku, kenapa tidak
berterus terang saja?" ujar Dewayani, mendadak lenyap keketusan di
wajahnya.
Rangga menelan ludahnya. Sebenarnya
Pendekar. Rajawali Sakti itu heran juga melihat perubahan yang begitu cepat.
Tapi mengingat tawaran gadis cantik ini jantungnya jadi berdetak kencang juga.
Pria mana yang begitu tolol menolak ajakan menggairahkan itu? Setiap laki-laki
normal, mustahil akan menolak ajakan gadis cantik ini. Dan Rangga jadi serba
salah.
Dewayani memang cantik dan penuh daya
rangsang tinggi. Tidak akan ada seorang laki-laki pun yang akan berpaling ke
arah lain bila memandang kecantikan gadis ini. Bukan hanya kecantikan wajahnya,
tapi bentuk tubuhnya sanggup membuat seorang laki-laki bertahan berjemur diri
di bawah terik panas matahari satu harian. Bahkan kalau perlu dapat
meninggalkan anak dan istri, asalkan bisa mendapatkan Dewayani.
Walau hanya sebentar saja. Dan kini
dalam batin Pendekar Rajawali Sakti tengah terjadi pertempuran sengit. Satu
pertempuran ganjil antara menolak dan menerima ajakan menggairahkan itu.
"Sendang ini cukup jauh dari desa.
Tidak ada yang datang ke sini kecuali air sungai sudah kering," pancing
Dewayani.
"Kau baru saja selesai mandi. Untuk
apa mengajakku mandi lagi?" agak bergetar juga suara Rangga.
"Itu juga kalau kau mau, Kakang.
Aku bisa menggosok punggungmu. Aku yakin, pagi ini kau pasti belum membersihkan
diri. Iya, kan...?"
Rangga tidak menjawab. Memang diakui
kalau dirinya belum mandi. Bahkan sejak pagi kemarin belum tersentuh air. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu masih sukar menerima keinginan Dewayani. Entah
kenapa perasaannya jadi tidak menentu. Terlebih lagi saat Dewayani menarik
tangannya, dan mendekap ke dadanya. Seketika detak jantung pemuda itu tidak
menentu.
"Dewayani...," desah Rangga
hendak menolak.
Tapi Dewayani malah merapatkan tubuhnya
di tubuh pemuda itu. Dan dengan berani sekali dilingkarkan tangannya ke leher.
Begitu dekat sekali wajah mereka, sehingga Rangga dapat merasakan desahan napas
gadis itu menerpa kulit wajahnya. Begini segar dan harum, membuat pikirannya
jadi tidak menentu. Dengan gerakan lembut, Dewayani melepaskan tali pengikat
pedang di punggung Pendekar Rajawali Sakti, dan menjatuhkannya ke tanah.
Sedangkan Rangga hanya diam saja.
Seperti hilang kesa-darannya pemuda
berbaju rompi putih itu menurut saja. Dewayani merendahkan tubuhnya sambil
menarik leher pemuda itu. Rangga jadi ikut merendahkan tubuhnya berlutut dengan
kaki tertekuk sejajar tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu merasa seluruh aliran
darahnya seketika terhenti begitu bibir Dewayani melumat bibirnya disertai
gairah menggelora.
Sedikit pun Rangga tidak mencegah ketika
tangan Dewayani melepaskan bajunya. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu
jadi lupa diri. Dan yang ada kini hanya gairah yang menggebu-gebu menggelegak
dalam dada. Semula hanya diam saja, tapi kini...
"Ah...," Dewayani mendesis
saat merasakan jari-jari tangan Rangga merayapi dadanya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya. Rangga
seperti tak kuasa menolak, ikut merebahkan tubuhnya tanpa melepaskan pelukan.
Dilumatnya bibir gadis itu disertai gairah menggelegak. Tak ada lagi kata-kata,
hanya desah dan rintihan tertahan terdengar. Dewayani menggeliat-geliatkan
tubuhnya di bawah himpitan Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dipedulikan lagi
jari-jari tangan Rangga yang mulai melepaskan pakaiannya. Bahkan gadis itu ikut
membantu dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Sebentar saja, gadis itu sudah
polos. Tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Pakaiannya berserakan
di samping tubuhnya sendiri.
"Oh, Kakang...," rintih
Dewayani mendesah.
Tapi mendadak saja...
"Khraghk...!"
"Aaakh...!" tiba-tiba Rangga
menjerit keras. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu menggelimpang dari tubuh
Dewayani. Dipegangi kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak. Lalu dengan
tatapan mata merah, Pendekar Rajawali Sakti itu mendesis menatap Dewayani.
Secepat kilat, Rangga menyambar pakaian dan pedangnya, lalu melesat pergi.
Begitu cepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Kakang...!" jerit Dewayani.
Buru-buru gadis itu mengenakan pakaiannya kembali, lalu bangkit berdiri. Tapi
Dewayani tidak jadi mengejar pemuda berbaju rompi putih itu, dan mendadak jadi
tertegun. Gadis itu kemudian terus berlari kencang ke arah yang berlawanan
dengan kepergian Rangga.
“Tidak...!" jerit Dewayani sambil
terus berlari kencang.
***
Rangga menjatuhkan dirinya berlutut.
Dipegangi kepalanya dan dijambak rambutnya. Kemudian tangannya memukul-mukul
tanah. Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan kepalanya hingga membentur tanah
berumput dengan keras.
"Oh, Dewata Yang Agung..., Apa yang
telah kuperbuat? Oh, tidak! Aku tidak melakukan itu...," rintih Rangga.
Memang, suara burung rajawali putih
telah menyadarkannya. Rangga benar-benar tidak ingat apa yang telah
dilakukannya terhadap Dewayani. Kesadarannya saat itu hilang, dan yang ada
hanya gairah nafsu menggelora. Rangga tak mampu melawan, dan tidak tahu apa
yang telah terjadi.
"Oh...!" Rangga tersentak
ketika mengangkat kepalanya. Tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang
laki-laki berbaju putih. Wajahnya bersinar bagai matahari.
Rangga langsung bersujud menempelkan
keningnya di tanah. Seluruh tubuhnya gemetaran, tak sanggup mengangkat
kepalanya kembali. Apalagi memandang laki-laki yang kini berdiri di depannya,
yang sangat dihormati. Dialah guru sejati yang telah moksa ratusan tahun lalu. Seorang
pendekar tanpa tanding pada masa hidupnya dulu, dan dikenal berjuluk Pendekar
Rajawali. Tampak di angkasa seekor burung rajawali putih melayang-layang
mengitari. Bayang-bayang burung itu membuat tubuh Pendekar Rajawali Sakti
semakin bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran deras Rangga semakin tidak
sanggup menggerakkan tubuhnya. Hatinya sudah pasrah dengan apa yang akan
terjadi pada dirinya.
"Bangunlah, Rangga," lembut
dan berwibawa sekali suara Pendekar Rajawali.
"Guru.... Aku mohon ampun. Aku tidak
melakukannya. Sungguh...," rintih Rangga tetap bersujud dengan kening
menyentuh tanah.
"Bangun, Rangga."
"Ampunkan aku, Guru...."
Dengan tubuh masih bergetar dan keringat mengucur deras, Rangga bangkit dan
duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk.
"Pandang aku, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti itu merapatkan tangannya di depan hidung, kemudian
mengangkat kepalanya pelahan dan memandang wajah laki-laki berbaju putih yang
wajah dan tubuhnya bersinar bagai matahari.
"Kau tidak perlu bersikap seperti
itu, Rangga. Tegarlah! Angkat kepala, dan busungkan dadamu! Kau bukan laki-laki
lembek yang mudah mengucurkan air mata. Aku tidak suka melihatmu seperti
itu!" tegas kata-kata Pendekar Rajawali.
"Maafkan aku, Guru," ucap
Rangga mulai tenang.
"Aku tahu kau tidak kuasa menolak.
Bagaimanapun juga kau manusia normal. Dan apa yang telah terjadi pada dirimu
adalah di luar kendali dan kesadaranmu. Kau terpengaruh, Rangga. Dan hal itu
tidak kau sadari, karena hati, pikiran, dan perasaanmu sedang terguncang. Kau
harus tegar menghadapi segala sesuatu. Jangan biarkan hatimu lemah. Jangan
biarkan pikiranmu terguncang. Kau seorang pendekar sejati. Hati dan pikiranmu
harus sejalan."
Rangga diam saja. Disimak dan
dimasukkannya kata-kata gurunya itu ke dalam hati yang paling dalam. Setiap
kata yang terucapkan dicerna dengan baik di dalam hati. Rangga mengakui,
meskipun kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya, tapi dalam
beberapa hal masih memiliki kelemahan.
"Rangga! Orang yang kau hadapi sekarang
bukan manusia sembarangan. Dalam diri orang itu telah merasuk roh jahat
meskipun dia sendiri tidak menginginkannya. Itu sebabnya dalam waktu sekejap
perangainya bisa berubah. Dan dia sadar dengan apa yang dilakukannya, tapi
tidak mampu menolak. Kau harus dapat membebaskannya dari pengaruh Roh Sang
Penakluk dari dalam dirinya," kata Pendekar Rajawali lagi.
"Guru, apakah yang dimaksudkan itu
adalah Dewayani?" Tanya Rangga.
"Benar, Rangga. Gadis itu berasal
dari daerah Selatan. Dan sengaja lari ke wilayah Kulon ini untuk menghindari
kekuasaan Roh Sang Penakluk. Tapi rupanya roh jahat itu tetap mengikutinya, dan
ingin menjadikan Dewayani sebagai penerus! Menjadi Sang Penakluk.
"Maksud, Guru?" Rangga tidak
mengerti.
"Rangga. Dulu ketika aku masih
hidup, ada seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Suatu ilmu yang sangat
langka dan jarang dimiliki orang lain. Dia bisa menguasai pikiran dan hati
manusia. Tidak peduli apakah itu laki-laki, perempuan, anak-anak, atau
orang-orang tua. Dia bisa menguasai hanya dari pandangan matanya saja, tidak
ada yang bisa menandinginya. Bahkan aku sendiri nyaris tewas ketika mencoba
menghentikan perbuatannya. Tapi, akhirnya bisa kulenyapkan, meskipun aku
sendiri harus menderita luka parah. Tapi sebelum tewas, dia bersumpah akan
terus mengembara dalam bentuk roh, dan merasuk ke dalam raga orang-orang yang
diinginkan. Rangga, tidak sembarang orang bisa dimasuki dan dipengaruhi dalam
bentuk roh seperti sekarang ini. Hanya mereka yang terlahir kembar, dan
kembarannya meninggal sebelum sempat melihat dunia saja yang bisa dipengaruhi.
Tapi jika sudah merasuk ke dalam tubuh orang yang dipilihnya, maka kekuatannya
akan kembali sempurna pada orang itu."
"Guru, apa yang harus
kulakukan?" Tanya Rangga.
"Hm..., kau memang tidak mungkin
bisa membunuh roh tanpa jasad. Tapi kau harus bisa melepaskan gadis itu dari
pengaruhnya. Hanya saja itu tidak mudah, Rangga. Kau bisa melenyapkan roh itu
jika memang sudah menyatu di dalam diri gadis itu.
Tapi...."
"Tapi kenapa, Guru?"
"Harus ada korban."
"Maksud Guru?"
"Dewayani harus merelakan dirinya
menyatu bersama roh itu...," kembali kata-kata Pendekar Rajawali terputus.
"Aku mengerti, Guru," ujar
Rangga pelan.
***
TUJUH
Hampir tengah malam Rangga sudah berada
tidak jauh dari rumah Ki Jepun. Dan sebenarnya pula, sejak menjelang malam tadi
Pendekar Rajawali Sakti sudah mengawasi rumah pasangan tua itu. Kini
diyakininya kalau Dewayani terlibat langsung terhadap semua yang terjadi di
Desa Semanding ini. Tapi Rangga masih sangsi, kalau Dewayani yang membunuh tiga
pemuda desa.
Tapi menurut gurunya yang muncul dalam
bentuk roh halus, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi ragu-ragu juga. Menurut
gurunya, Dewayani memang membunuh ketiga pemuda desa itu. Tapi itu dilakukannya
di luar kendali dan keinginannya sendiri. Ada suara kekuatan lain yang tidak
bisa dilawan sendiri. Suatu kekuatan yang telah lama mati ratusan tahun yang
lalu. Kekuatan itu disebut Sang Penakluk.
"Hm.... Dewayani harus kubebaskan.
Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya...? Mungkinkah manusia dapat melawan roh
tak berujud?" Rangga berbicara sendiri dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti
itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia teringat kembali kata-kata gurunya. Dan
setiap kali teringat, rasanya tidak mungkin memisahkan Dewayani dari kekuatan
itu. Bisa saja roh itu dilenyapkannya, tapi hanya untuk sementara waktu saja.
Dan ini juga menyangkut keselamatan Dewayani sendiri, karena gadis itu harus
jadi korban. Tak mungkin roh halus itu dilawan kalau tidak menyusup lebih
dahulu ke dalam raga gadis itu.
"Sangat disayangkan sekali, gadis
itu harus mati dalam usia muda. Hhh...!" Desah Rangga dalam hati. Rangga
memang menghadapi satu pilihan sulit. Dan rasanya sulit menghindar dari
Kenyataan yang akan terjadi. Bagaimanapun juga tekad Pendekar Rajawali Sakti
adalah mengenyahkan kekuatan jahat yang kini bersemayam di dalam diri Dewayani.
Kalaupun mungkin, gadis itu harus diselamatkan. Tapi Rangga tidak yakin bisa
menyelamatkan Dewayani. Masalahnya sekarang, gurunya sendiri tidak yakin kalau
Dewayani bisa diselamatkan.
Rangga terus berpikir keras mencari
jalan yang terbaik. Namun perhatiannya tidak lepas ke arah rumah Ki Jepun.
Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti itu merasa yakin kalau malam ini Dewayani
akan keluar kembali dan mencari korban baru. Darah dari pemuda-pemuda yang berhasil
ditaklukkan melalui kecantikannya. Darah yang akan membuat roh dalam tubuhnya
semakin bertambah kuat. Semakin banyak darah yang didapat, semakin bertambah
kekuatannya.
"Hm...," Rangga bergumam
ketika melihat pintu belakang rumah Ki Jepun terbuka. Pendekar Rajawali Sakti
itu semakin menajamkan penglihatannya. Tampak dari dalam rumah, keluar
seseorang mengenakan baju berwarna gelap. Rangga terus memperhatikan orang yang
bergerak ringan keluar dari dalam rumah. Masih sulit baginya untuk
mengenalinya, karena orang itu berjalan agak memunggunginya.
Tepat pada saat orang itu melesat,
Rangga langsung melentingkan tubuhnya mengejar. Pendekar Rajawali Sakti tidak
ingin ketinggalan walau hanya sesaat saja. Dengan mempergunakan ilmu
meringankan tubuh dan aji ‘Tatar Netra', ke mana orang berbaju gelap itu pergi,
terus dikuntitnya.
***
Sementara itu di sebuah rumah yang
letaknya agak menyendiri dari rumah-rumah lainnya, tampak dua orang laki-laki
tengah duduk di beranda depan. Yang seorang masih muda, berusia sekitar dua
puluh tahun. Sedangkan seorang lagi sudah setengah baya. Mereka duduk saling
berhadapan di atas selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh sambil
berbincang-bincang. Semua penduduk Desa Semanding mengenal mereka. Yang muda
bernama Caraka. Sedangkan laki-laki setengah baya itu adalah ayahnya, yang
biasa dipanggil Ki Pudit.
"Caraka, apa kau yakin kalau
Dewayani akan ke sini malam ini?" Tanya Ki Pudit. Nada suaranya terdengar
tegang.
"Aku yakin. Ayah. Siang tadi aku
sengaja menunggunya di tepi hutan, dan lama juga bicara dengannya. Dan aku
merasa yakin ada sesuatu di dalam dirinya, tapi tidak tahu kekuatan apa yang
ada," sahut Caraka.
“Tapi kau harus hati-hati, Caraka. Sudah
tiga anak muda dan kepala desa yang tewas terbunuh," ujar ayahnya
khawatir.
Caraka hanya tersenyum saja. Sebenarnya
Caraka baru dua hari ini berada kembali di desa, tanah kelahirannya ini.
Kedatangannya juga karena mendengar di desanya sedang terjadi sesuatu yang
menimbulkan tiga korban nyawa. Selama ini pemuda itu tinggal di sebuah
padepokan, dan berguru disana. Hanya sesekali saja pulang ke rumah orang
tuanya. Dia sudah banyak mendengar, baik dari cerita ayah dan ibunya maupun
dari para penduduk desa ini.
Sebenarnya Caraka tidak yakin kalau
pelaku semua pembunuhan itu adalah seorang gadis yang sangat cantik dan nampak
lembut. Tapi setelah berbicara cukup lama siang tadi, dia merasa ada sesuatu di
dalam diri gadis itu. Sesuatu yang hampir tidak dirasakan. Namun demikian
pemuda itu masih juga merasa ragu-ragu. Apalagi, Caraka tidak membantah kalau
hatinya sempat tergetar pula saat melihat kecantikan Dewayani.
"Sebaiknya Ayah di dalam saja.
Jangan memberi kesan kalau kita sedang menunggu," kata Caraka.
"Hati-hatilah, Caraka. Aku mungkin
tidak bisa membantumu. Aku tidak bisa apa-apa," ucap Ki Pudit seraya
bangkit berdiri, namun agak berat hatinya.
"Percayalah, Ayah. Apa pun namanya
kejahatan di muka bumi ini, tidak akan berumur panjang. Kalaupun tidak bisa
menandinginya, aku berusaha agar masih bisa selamat," ujar Caraka
memberikan ketenangan pada ayahnya.
Ki Pudit menepuk pundak anaknya,
kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya. Semula orang tua itu tidak ingin
menutup pintu. Tapi, Caraka meminta agar pintunya ditutup saja. Ki Pudit
terpaksa menuruti keinginan anaknya ini. Di Desa Semanding, memang Ki Puditlah
orang tua yang bisa berbangga. Sebab, anaknya bisa berguru di sebuah padepokan
yang cukup mempunyai nama dan termasuk seorang murid pilihan yang berkemampuan
cukup tinggi.
Memang di desa ini bisa dihitung dengan
jari, orang yang memiliki ilmu olah kanuragan. Bahkan itu pun hanya sekadar untuk
menjaga diri saja. Tidak ada keistimewaannya sama sekali. Tapi malam ini
kecemasan benar-benar menghantui hati Ki Pudit. Betapa tidak? Baru saja dua
hari anaknya datang, sudah harus menghadapi bahaya besar yang bisa membuat
nyawa melayang.
Sementara itu Caraka duduk mencangkung
di beranda depan rumahnya. Meskipun kelihatan tenang, namun hatinya tetap
diliputi sesuatu yang sukar dienyahkan. Secara jujur, Caraka mengakui kalau
dirinya juga khawatir tidak akan mampu menghadapi pembunuh misterius itu. Caraka
bangkit berdiri ketika melihat seseorang berjalan setengah berlari di kejauhan.
Pemuda itu melangkah keluar dari beranda
dan berdiri di tengah jalan, tepat di depan rumahnya. Ditunggunya orang yang
menghampiri setengah berlari itu. Semakin dekat, semakin jelas terlihat kalau
orang itu adalah wanita. Caraka tersenyum begitu melihat wajahnya. Ternyata dia
adalah Dewayani.
"Ada yang mengejarmu?" Tanya
Caraka begitu Dewayani sudah dekat di depannya.
"Tidak." Sahut Dewayani seraya
memberi senyuman yang begitu manis.
Gadis itu mengenakan baju cukup ketat
berwarna biru gelap, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan padat
berisi. Sejenak Caraka memandang gadis itu. Sebagai laki-laki normal, tentu
pemuda itu agak bergetar juga melihat seorang gadis yang begitu cantik dengan
bentuk tubuh menggairahkan. Tapi Caraka berusaha menekan perasaannya.
"Bagaimana? Kita jadi ke
sendang?" Tanya Caraka.
"Rasanya...."
"Ada apa, Dewayani? Bukankah kau
sendiri yang memintaku untuk mengantarkan ke sendang malam ini?"
Dewayani hanya diam saja. Ditolehkan
kepalanya ke kiri dan ke kanan, seakan-akan ada yang dicari. Caraka ikut
memperhatikan sekelilingnya. Keadaan sekitarnya sepi senyap, tak tampak seorang
pun di sekitar tempat ini. Pemuda itu memandangi wajah cantik di depannya.
Kening pemuda itu agak berkerut saat melihat raut wajah Dewayani yang berubah
jadi menegang. Caraka menelan ludahnya. Dirasakan adanya sesuatu yang sukar
diketahui apa namanya.
Pemuda itu mulai waspada dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi. Pelahan kakinya bergerak mundur beberapa tindak.
Sementara Dewayani semakin kelihatan menegang kaku. Sepasang matanya mendadak
saja berubah merah menyala. Wajah yang cantik itu jadi memucat bagai tak
teralirkan darah.
"Kau ingin menjebakku, Caraka...!"
Desis Dewayani dengan suara yang serak dan datar.
Kembali Caraka menelan ludahnya
mendengar suara yang begitu lain. Jelas sekali kalau itu bukan suara Dewayani,
meskipun keluar dari bibir gadis itu. Dan pemuda itu semakin yakin kalau ada
suatu kekuatan lain di sekitar tempat ini. Kekuatan itu datang dari gadis di
depannya.
"Kau harus mampus, Caraka!
Shaaa...!" Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Dewayani melompat
menerjang pemuda itu.
Bergegas Caraka menggeser kakinya ke
samping, dan secepat itu pula dicabut golok yang tersembunyi di balik bajunya.
Wuk! Bagaikan kilat, Caraka mengibaskan
goloknya begitu dapat menghindari ter-jangan Dewayani yang kini sudah berubah.
Tebasan golok itu berhasil menghantam pinggang gadis itu. Tapi sungguh di luar
dugaan sama sekali! Golok itu malah terpental, lepas dari genggaman Caraka.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, Dewayani mengibaskan tangan kanannya dengan
kecepatan bagai kilat.
"Graghk...!"
Bughk!
"Akh..." Caraka memekik keras
tertahan. Kibasan tangan Dewayani menghantam dada pemuda itu. Akibatnya tubuh
Caraka terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Begitu keras, sehingga
membuatnya bergelimpangan di tanah beberapa kali. Pemuda itu meringis sambil
mendekap dadanya. Tangan Dewayani yang kecil, lembut, dan halus itu terasa
bagai sebuah potongan baja yang amat keras.
"Ughk...” Caraka berusaha bangkit
berdiri sambil mengatur jalan napasnya. Seluruh tulang-tulang dadanya terasa
remuk. Kalau saja kekuatan tenaga dalam tidak dikerahkan, mungkin seketika
sudah tewas dengan dada remuk. Namun demikian, rasa nyeri dan sesak napas
mengganjal di dalam dada pemuda itu. Dan sebelum Caraka bisa menguasai jalan
nafasnya, Dewayani sudah kembali melompat seraya memperdengarkan suara raungan
keras bagai binatang buas.
"Auuurghk...!"
“Hup!" Cepat sekali Caraka
melentingkan tubuhnya ke samping, menghindari ter-jangan gadis itu. Dua kali
pemuda itu berputaran di udara, dan manis sekali mendarat agak ke belakang dari
tubuh Dewayani. Caraka tidak membuang-buang kesempatan. Sambil berteriak keras,
dia melompat dan menghentakkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup
tinggi.
"Hiyaaa...!"
Buk!
Tendangan Caraka yang demikian keras tak
dapat dihindari Dewayani. Punggung gadis itu telak dihantam tendangan bertenaga
dalam cukup tinggi. Tapi sungguh sukar dipercaya. Bukannya Dewayani yang
terpental, tapi justru Caraka yang terpental cukup jauh. Dan pemuda itu
mengerang keras saat punggungnya menghantam sebatang pohon hingga hancur
berantakan. Caraka menggeliat sambil meringis kesakitan di antara serpihan
pohon yang terlanda tubuhnya.
Sementara Dewayani sudah memutar
tubuhnya berbalik menghadap pemuda yang berusaha bang-kit sambil merintih
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Belum lagi rasa nyeri seperti remuk
pada tulang-tulang kakinya. Pemuda itu tadi seperti menendang seonggok benda
campuran antara batu cadas dengan baja yang sangat kuat Sungguh tak tergoyahkan
meskipun telah dikerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
"Gila! Makhluk apa ini...?"
Dengus Caraka seraya menggeser kakinya ke samping. Pemuda itu meraba
pinggangnya, lalu mengeluarkan dua senjata pendek berujung tiga dari besi
berwarna kuning keemasan. Senjata itu berbentuk trisula pendek, yang
ujung-ujungnya runcing berkilat tertimpa cahaya sinar rembulan. Caraka
memutar-mutar kedua senjata di tangannya. Pandangannya begitu tajam mengawasi
setiap gerak gadis cantik yang kini sudah berubah menjadi sosok makhluk
mengerikan dan sangat liar.
"Maju kau, iblis laknat!"
dengus Caraka.
“Ha ha ha...!" Dewayani malah
tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa itu terdengar kering dan agak
serak, persis tawa seorang nenek-nenek. Caraka agak tersentak juga
mendengarnya. Dia jadi menduga, mungkinkah Dewayani sebenarnya adalah
nenek-nenek yang mampu mempertahankan bentuk wajah dan tubuhnya sehingga masih
kelihatan seperti gadis muda dan cantik?
Namun belum juga pemuda itu bisa
menjawab pertanyaan yang menggeluti benaknya, mendadak saja Dewayani sudah
kembali melompat cepat luar biasa. Direntangkan tangannya ke depan, dan
kuku-kuku jari tangannya mengembang runcing berwarna hitam.
"Hiyaaa...!"
Wut! Wuk...!
Caraka langsung mengibaskan senjatanya
sambil melompat berkelit. Dua kali senjatanya berhasil ditancapkan ke tubuh
gadis itu. Tapi Caraka jadi terbeliak keheranan. Ternyata senjatanya tak mampu
melukai tubuh gadis ini. Bahkan Dewayani semakin liar dan ganas saja.
Serangan-serangannya sungguh cepat, meskipun sama sekali tidak berusaha untuk
menghindari serangan balasan yang dilepaskan pemuda itu.
Beberapa kali Caraka berhasil
mendaratkan tendangan dan menancapkan senjatanya ke seluruh bagian tubuh gadis
itu. Tapi hasilnya nihil. Bahkan pemuda itu sendiri jadi kewalahan menghindari
setiap serangan yang datang dan sangat berbahaya dari Dewayani. Caraka tidak
ingin terkena lagi. Dan dia tahu, sekali saja terkena pukulan gadis ini, maka
tamatlah riwayatnya. Namun mendapat serangan yang begitu gencar dan sangat
berbahaya, Caraka semakin sulit meladeninya. Bahkan beberapa kali harus jatuh
bangun untuk menghindari.
Apalagi setiap serangan balasan yang
dilancarkannya tidak mempunyai arti sama sekali. Dewayani terus mendesak dengan
serangan-serangan dahsyatnya. Gadis itu benar-benar tidak mempedulikan serangan
balasan yang dilontarkan Caraka, sehingga membuatnya putus asa. Sudah seluruh
kepandaian yang dimiliki dikeluarkan, tapi tidak juga mampu mendesak lawan.
Bahkan kini dia hanya bisa bertahan dan terus bertahan.
"Uh! Aku tidak bisa begini
terus-menerus!" Dengus Caraka dalam hati. Caraka berniat lari dari
pertarungan yang bakal merenggut nyawanya ini. Tapi sebelum niatnya terlaksana,
mendadak saja Dewayani memberikan satu pukulan keras dan tiba-tiba. Itu terjadi
tepat ketika Caraka baru saja menghindari sebuah tendangan gadis ini, dan tidak
bisa terhindari lagi.
Des! "Aaakh...!" Caraka
menjerit keras melengking. Pemuda itu terpental sejauh tiga batang tombak, lalu
keras sekali ambruk ke tanah. Saat itu juga Dewayani sudah melompat hendak
menerkam. Caraka tak mampu lagi berbuat sesuatu. Pukulan keras yang bersarang
di dadanya membuatnya serasa lumpuh, tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi.
Pemuda itu hanya bisa menahan napas dan menerima apa yang akan terjadi pada
dirinya.
"Aaarghk...!"
Namun mendadak saja sebuah bayangan
putih berkelebat, langsung menghajar Dewayani. Gadis itu meraung keras, dan
terpental sebelum mencapai tubuh pemuda yang tergeletak pasrah di tanah. Saat
itu Caraka hanya bisa memandang saja. Matanya terbeliak begitu melihat seorang
pemuda berbaju rompi putih tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
Dan Dewayani tampak menggerung-gerung
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatap pemuda yang baru datang
dengan mata merah membara. Bibirnya mengeluarkan suara mendesis bagai ular.
Tampak dari sela-sela bibirnya menyembul sepasang taring yang sangat tajam dan
berkilat. Wajah Dewayani demikian memucat, namun sangat kaku sekali bagai sosok
mayat.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak?"
Tanya pemuda berbaju rompi putih itu lembut seraya melirik pada Caraka sedikit.
"Tidak," sahut Caraka seraya
berusaha bangkit berdiri. Sambil memegangi dadanya, Caraka mampu berdiri di
samping pemuda berbaju rompi putih itu. Dia masih kesulitan mengatur jalan
napasnya. Dan setiap kali menarik napas, dadanya terasa nyeri. Caraka tahu
kalau ada tulang dadanya yang kemungkinan patah, atau paling tidak retak. Dan
juga disadari kalau dirinya tidak akan mampu melakukan pertarungan lagi. Caraka
memandang pemuda di sampingnya. Dia tidak tahu siapa pemuda ini, tapi diyakini
kalau pemuda yang tidak jauh berbeda usianya ini berada di pihaknya.
"Menyingkiriah. Kau terluka dalam
cukup parah," jelas pemuda berbaju rompi putih itu.
Caraka tidak membantah, dan segera
bergerak menjauh, mendekati beranda rumahnya. Pemuda ini terus menerka-nerka,
siapa sebenarnya laki-laki berbaju rompi putih itu? Suaranya sangat dalam dan
berwibawa, namun tidak menghilangkan kelembutannya.
Sementara itu Dewayani sudah menggeram
sambil menggerak-gerakkan tangannya yang mengembang dengan kuku-kuku panjang
berwarna hitam. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu hanya berdiri tegak
memperhatikan, sedikit pun tidak melakukan gerakan apa-apa.
"Ghraughk...."
"Hap!"
DELAPAN
Cepat sekali Rangga melompat menyongsong
serangan Dewayani. Dihentakkan tangannya ke depan seraya mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tak pelak lagi,
dua kekuatan dahsyat bertemu di udara, sehingga menimbulkan ledakan sangat
dahsyat.
Glarrr...!
Percikan bunga api menebar ke seluruh
penjuru. Tampak Rangga dan Dewayani sama-sama terpental ke belakang, dan jatuh
bergulingan di tanah. Namun mereka cepat melompat bangkit berdiri dan kembali
siap melakukan serangan berikutnya. Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum
tipis. Sedangkan Dewayani menggerung kecil sambil memperlihatkan taringnya.
“Pergilah! Bukan di sini tempatmu, Sang
Penakluk!" ujar Rangga dingin.
"Gherrr..! Rupanya kau sudah tahu
diriku, Anak Muda. Siapa kau sebenarnya?" geram Dewayani. Suaranya begitu
serak dan kering.
"Kau lihat ini...!"
Sret!
Pelahan namun pasti Rangga mencabut
Pedang Rajawali Sakti dari warangka nya di punggung. Malam yang gelap gulita
itu, seketika terang benderang oleh cahaya biru yang memancar dari mata pedang
di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaarghk...!" Dewayani meraung
keras sambil mengangkat tangan. Gadis itu menutupi muka yang dipalingkan dengan
tangannya. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak, tapi hanya sebentar saja.
Pelahan dia kembali tegak sambil menggeram. Sepasang bola matanya semakin merah
membara bagai sepasang bola api yang siap membakar Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sendiri berdiri tegak sambil melintangkan pedang di depan
dada. Sorot matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata wanita di depannya.
"Kau....! Kau sudah mati!"
geram Dewayani menuding.
"Ya! Dan kau juga sudah lama
mati." Balas Rangga dingin.
"Ha ha ha...!" mendadak saja
Dewayani tertawa terbahak-bahak.
“Tertawalah sepuasmu, Iblis Penakluk!
Kau tidak akan bisa berlama-lama dalam diri gadis itu selama aku masih
menghirup udara di dunia ini!" Dingin sekali nada suara Rangga.
"Ha ha ha...! Kau boleh besar
kepala ketika mengalahkan aku, Pendekar Rajawali. Tapi kini. Tak bakal kau bisa
menandingi ku, karena...."
"Kau sekarang adalah Iblis yang
sesungguhnya! Bukan lagi manusia berhati iblis!" potong Rangga cepat.
"Bedebah!" geram Dewayani.
"Pedang ini pernah berlumur
darahmu. Dan dengan pedang ini pula, kau akan kukirim kembali ke neraka! Kau
tidak bisa lupa, Iblis Penakluk. Setitik darah yang mengalir dari tubuhmu,
itulah yang akan mengembalikanmu ke neraka. Dan aku memiliki sedikit darahmu di
pedang ini!"
"Keparat..!" semakin pucat
wajah Dewayani. Namun sorot matanya memancarkan luapan amarahnya. Kata-kata
Pendekar Rajawali Sakti barusan memang menggetarkan.
Dan Rangga sudah tahu, setiap iblis akan
binasa oleh darahnya sendiri. Memang, tak ada kekuatan lain yang bisa
mengalahkan kekuatan iblis selain darahnya sendiri. Bahkan manusia pun akan
tewas oleh darahnya sendiri pula. Setetes darah sangat berarti bagi
kelangsungan hidup. Kehilangan setetes darah merupakan kehilangan setitik
kehidupan. Rangga pernah mengetahui hal itu dari Kitab yang dibacanya di
kediaman gurunya di Lembah Bangkai.
Dan kini ingin dibuktikannya. Pendekar
Rajawali Sakti itu tahu, kalau gurunya tidak akan menuliskan kata-kata tersebut
tanpa mengandung arti yang dalam. Dan sekarang baru bisa dimengerti maknanya.
Hanya saja hatinya masih diliputi perasaan cemas akan keselamatan Dewayani.
Bagaimanapun juga Dewayani harus diselamatkan, di samping melenyapkan pengaruh
Roh Sang Penakluk di dalam diri gadis itu.
Tapi Rangga juga menyadari kalau hal itu
tidak mudah dilaksanakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti sudah siap seandainya
Dewayani harus menjadi korban. Pada saat itu terdengar ayam jantan berkokok,
pertanda pergantian waktu akan segera terjadi. Tak berapa lama lagi fajar akan
menyingsing. Suara ayam jantan itu membuat Dewayani tampak gelagapan, dan
wajahnya kelihatan gelisah.
"Satu saat, aku akan membunuhmu,
keparat!" geram Dewayani. Setelah berkata demikian, Dewayani langsung
melesat pergi. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja sudah
lenyap dari pandangan mata.
"Hey...!" Sentak Rangga
terkejut Tapi terlambat Tidak mungkin lagi Pendekar Rajawali Sakti itu untuk
mengejar. Rangga memang tahu arah kepergian gadis itu, tapi bukan tidak mungkin
kalau Dewayani membelokkan arahnya sehingga akan sia-sia saja pengejarannya.
Rangga mendesah panjang. Dimasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti dalam
warangkanya dipunggung. Kegelapan kembali menyelimuti sekitarnya. Rangga mengayunkan
kakinya hendak pergi, tapi...
“Tunggu...!"
Rangga menghentikan langkah, lalu
memutar tubuhnya. Tampak Caraka melangkah cepat menghampiri. Anak muda itu
berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Darah masih
terlihat disekitar mulutnya.
”Terima kasih, kau telah menyelamatkan
nyawaku," ucap Caraka.
"Bagaimana lukamu?" Rangga
malah bertanya.
"Tidak terlampau parah. Aku sudah
mengobatinya dengan bersemadi tadi," sahut Caraka.
Pada saat itu Ki Pudit keluar dari dalam
rumahnya. Laki-laki setengah baya itu tergesa-gesa menghampiri. Tampak di
ambang pintu berdiri dua orang wanita. Yang seorang sudah berusia empat puluh
tahun, dan seorang lagi masih sekitar delapan belas tahun. Mereka adalah ibu,
dan adik Caraka.
"Oh, Den. Mari, Den. Istirahatlah
di dalam," ujar Ki Pudit dengan tubuh agak terbungkuk.
Caraka agak mengerutkan kening melihat
sikap ayahnya terhadap pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini. Tapi
sebelum Caraka bertanya, ayahnya telah menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti
dan membawa ke rumahnya. Rangga tidak bisa lagi menolak, dan tidak ingin
mengecewakan orang tua ini, Caraka memandangi sebentar, kemudian mengangkat
bahunya dan ikut melangkah.
***
Rangga memandangi sekitar sendang. Masih
diyakini kalau tempat ini telah dijadikan persembunyian Roh Sang Penakluk.
Sedangkan Caraka yang memaksa ikut, tampak sibuk menyibak setiap semak belukar.
Sudah setengah harian mereka meneliti tempat ini, tapi tempat persembunyian
yang dimaksud, tidak juga ditemukan.
"Kakang, sini...!" seru Caraka
memanggil tiba-tiba. Pemuda ini sudah membiasakan diri memanggil kakang
terhadap Rangga. Rangga bergegas menghampiri. Kening Pendekar Rajawali Sakti
berkernyit melihat ke dalam semak yang disibakkan Caraka. Tampak di dalam semak
itu tergolek sesosok tubuh tua kurus berjubah hitam. Sebatang tongkat
tergeletak di sampingnya. Rangga mengenali kalau sosok itu adalah si Iblis
Hitam.
Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu
memeriksa keadaan si Iblis Hitam, telinganya mendengar langkah kaki menginjak
ranting kering. Tepat pada saat Rangga dan Caraka memutar tubuhnya, dari dalam
semak muncul seorang gadis mengenakan baju biru tua. Gadis itu juga nampak
terkejut begitu melihat Rangga dan Caraka, dan langsung menghentikan
langkahnya.
"Kebetulan kau datang,
Dewayani," ujar Rangga seraya melempar senyum. Pendekar Rajawali Sakti itu
sempat menyikut perut Caraka yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu langsung
diam, padahal sudah membuka mulutnya.
"Kalian menungguku, ya?" Tanya
Dewayani.
"Benar. Ada sesuatu yang ingin
kutunjukkan padamu," sahut Rangga.
Dewayani mengayunkan kakinya
menghampiri, sedangkan Caraka menggeser ke samping. Saat Dewayani berada di
samping Rangga, pemuda itu langsung menyibakkan semak. Dewayani terpekik begitu
melihat sosok tubuh tua kurus berjubah hitam terbaring kaku di dalam semak itu.
Tubuhnya langsung bergerak mundur beberapa langkah, dan wajahnya memucat.
"Aku tahu kau kenal orang itu,
Dewayani," tegas Rangga.
Dewayani menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan bibir bergetar. Ditatapnya Rangga dan Caraka bergantian. Tubuh gadis itu
tampak menggeletar bagai kedinginan, padahal siang ini matahari bersinar terik.
"Waktu itu dia berhasil kurobohkan,
tapi aku tidak yakin kalau sampai tewas. Seseorang telah menyelamatkannya.
Yaaah.. ternyata tewas juga. Mungkin karena pukulanku yang keras," jelas
Rangga.
"Aku..., aku...," Dewayani
tergagap.
"Kau tahu, siapa yang membawanya ke
tempat ini?" Tanya Rangga langsung.
"Aku tidak tahu," jawab
Dewayani.
"Ya, kau memang tidak tahu. Tapi,
roh yang ada dalam dirimulah yang tahu. Aku yakin kaulah yang membawanya ke
sini, tapi tanpa disadari olehmu."
"Kau..., kau menuduhku...?!"
agak tersedak suara Dewayani.
"Sama sekali tidak. Justru aku
ingin menolongmu, Dewayani. Kau dalam kesulitan besar, dan aku yakin kau tidak
ingin berlarut-larut dengan semua ini. Kau ingin bebas dari semua pengaruh yang
membuatmu tidak berdaya, bukan?"
Dewayani diam dengan kepala tertunduk,
dan agak lama juga membisu. Pelahan-lahan gadis itu mengangkat kepalanya,
langsung menatap Rangga dengan pandangan sayu.
"Percayalah, Dewayani. Aku akan
membebaskan dirimu dari pengaruh iblis itu," tegas Rangga.
"Tidak... Kau tidak akan sanggup,
Kakang. Dia terlalu kuat untuk dilawan. Seluruh diriku sudah hampir
dikuasainya. Tinggal menunggu waktu saja, Kakang. Percuma, tidak ada
gunanya...," pelan dan tersendat suara Dewayani.
"Dengan bantuanmu, aku yakin mampu
mengusir iblis itu dari dalam dirimu," Rangga meyakinkan.
"Apa yang harus kulakukan?"
tanya Dewayani
“Tetapkan dirimu. Lawan setiap kali dia
mencoba merasuk dan menguasaimu."
Dewayani menggeleng-gelengkan kepalanya.
Air bening mulai terlihat menitik dari sudut matanya. Sementara itu Caraka
hanya mendengarkan saja. Sedikit sudah bisa dimengerti, karena Rangga
sebelumnya telah menceritakan perihal gadis ini. Tapi pemuda itu belum begitu
memahami tentang Roh Sang Penakluk yang dimaksudkan Pendekar Rajawali Sakti
itu. Roh yang katanya tengah berusaha menguasai diri Dewayani sepenuhnya. Gadis
itu akan dijadikan penerus Sang Penakluk yang akan menggemparkan seluruh rimba
persilatan!
"Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak
kuat menolak kehadirannya. Kalau ingin menghentikan, bunuhlah aku sekarang
juga. Aku rela, Kakang," sergah Dewayani setengah meratap.
“Tidak, Dewayani. Bukan cara itu yang
kuinginkan. Memang bisa saja kau korbankan dirimu, tapi iblis itu akan mencari
gadis lain atau pemuda yang cocok dengannya."
“Tapi tidak mungkin aku mampu
melawannya, Kakang. Kau bisa melenyapkannya, tapi juga harus membunuhku. Tidak
ada jalan lain lagi. Bunuhlah aku selagi dia berada di dalam tubuhku. Di situ,
aku akan berusaha untuk tidak melawan."
"Aku tahu itu, Dewayani. Tapi hal
seperti itulah yang tidak kuinginkan. Ada cara lain, dan aku sendiri ragu
apakah bisa menyelamatkanmu."
"Lakukanlah, Kakang. Aku sudah
lelah, dan tidak suka menjadi budak iblis untuk selamanya," Dewayani
kelihatan pasrah.
Rangga tersenyum terharu. Keyakinannya
terbukti kalau Dewayani sebenarnya tidak menginginkan iblis itu bersarang di
tubuhnya. Maka dengan demikian akan mempermudah cara yang akan digunakan,
meskipun masih ragu-ragu akan keselamatan gadis itu sendiri. Terlalu besar
resikonya, dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak punya pilihan lain. Cara yang
akan ditempuhnya juga sungguh berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika tidak kuat,
tentu dirinya akan musnah dan Roh Sang Penakluk akan semakin kuat lagi.
Rangga sudah mempertimbangkan semua itu.
Dan hatinya sudah bertekad, apa pun yang akan terjadi pada dirinya maupun pada
Dewayani, harus dihadapi. Kemungkinan yang terburuk bagi mereka berdua adalah
kematian. Sementara, iblis itu masih tetap tangguh untuk mencari tubuh baru
berupa seorang manusia kembar yang kembarannya meninggal sebelum menghirup
udara dunia. Ini sudah menjadi ketentuan yang tidak bisa lagi ditolak.
Bisa saja roh itu menyusup ke tubuh
manusia lain dan sembarangan, tapi kekuatannya tidak akan setangguh bila
menyusup di tubuh manusia kembar. Karena dia bisa menggunakan roh kembarannya
yang biasanya memiliki sifat dan watak yang sangat berbeda. Jelasnya, dua roh
yang menjadi satu di dalam tubuh seseorang.
Sungguh sukar diterima akal sehat, tapi
memang itulah kenyataannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti harus menghadapinya
dengan segala macam resiko terburuk sekalipun. Rangga sudah memutuskan, di
sendang ini dan pada malam ini harus bertarung mengadu jiwa melawan Roh Sang
Penakluk.
***
Rangga duduk bersila sambil memohon
kekuatan pada Sang Pencipta. Sedangkan Dewayani juga duduk bersila di depan
Pendekar Rajawali Sakti itu. Tidak jauh dari mereka, Caraka mengawasi di
samping ayahnya. Pemuda itu tidak ingin melewatkan saat-saat paling berharga
dalam hidupnya untuk menyaksikan pertarungan tokoh digdaya melawan roh yang
sudah ratusan tahun meninggal. Bahkan dia sempat memanggil ayahnya untuk ikut
menyaksikan.
Ki Pudit sebenarnya tidak ingin, tapi
karena didesak terus akhirnya ikut juga. Tidak ada orang lain lagi di sendang
ini selain mereka berempat. Dan malam terus merayap semakin larut. Udara dingin
menyelimuti sekitarnya. Kabut semakin tebal, namun Rangga sudah berpesan agar
tidak menyalakan api. Pendekar Rajawali Sakti itu tetap duduk bersila
menyatukan jiwa dan raganya pada Sang Pencipta, penguasa tunggal jagad raya
ini.
"Graaagh...!" tiba-tiba
terdengar raungan keras.
"Oh...!" Ki Pudit tersentak
kaget, sehingga sampai terlonjak melompat ke belakang anaknya.
"Tenang, Ayah. Jangan membuat
gerakan yang akan mengundang iblis itu," kata Caraka.
"Iya, iya...," sahut Ki Pudit.
Sementara itu Rangga menggerak-gerakkan
tangannya di depan dada. Sebentar ditarik napas panjang, lalu dibuka matanya
yang sejak tadi terpejam. Ditatapnya Dewayani yang duduk bersila di depannya.
Wajah gadis itu mulai tampak berubah, dan tubuhnya menggigil seperti terserang
demam. Kini seluruh raut wajah gadis itu pucat pasi.
"Hup!" Rangga menghentakkan
tangannya kedepan, dan tepat menempel di dada gadis itu. Seketika itu juga
tubuh Dewayani bergetar bagai tersengat ribuan lebah berbisa. Tampak dari
jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti keluar sinar biru yang semakin lama
semakin meluas menyelimuti dirinya dan Dewayani. Sinar biru membuat sekitarnya
jadi terang benderang, sehingga memberi keleluasaan pada Caraka dan ayahnya
untuk melihat jelas.
"Hssss..!" Rangga mendesis.
"Aaarghk..!" Dewayani meraung
keras sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya. Tapi sebentar kemudian gadis itu
hanya diam kaku tak bergeming sedikit pun. Dan Rangga juga tak bergerak-gerak,
dan kedua telapak tangannya tetap menempel erat di dada gadis itu.
Cahaya biru masih bersinar terang
menyelimuti kedua orang itu. Tak ada yang tahu kecuali mereka berdua kalau di
dalam jiwa mereka tengah berlangsung suatu pertarungan ganjil. Rangga
melepaskan jiwanya dari raga dan menyatu ke dalam raga Dewayani. Di alam sana,
Pendekar Rajawali Sakti bertemu seorang laki-laki bertubuh kekar, dan berwajah
tampan mengenakan baju putih dari bahan halus. Namun di balik ketampanan
wajahnya terbersik cahaya mata kejam, sekejam iblis.
"Siapa kau sebenarnya, Anak
Muda?" Tanya Sang Penakluk dengan suara dingin menggetarkan.
"Aku Pendekar Rajawali Sakti, murid
tunggal Pendekar Rajawali yang hidup di jamanmu!" Rangga memperkenalkan
diri.
"Hm.... Ternyata kau lebih tangguh
dari gurumu sendiri, Anak Muda. Kau mampu memisahkan jiwa dan ragamu untuk
menemuiku di sini, dalam raga semayamku!"
"Aku datang dengan satu maksud,
Sang Penakluk!"
“Tidak perlu kau katakan, Anak Muda.
Sudah kuketahui apa maksudmu!"
“Kalau begitu, enyahlah dari tubuh
Dewayani. Dan jangan ganggu dia lagi. Bukan di sini tempatmu Sang Penakluk. Kau
sudah punya tempat tersendiri, bukan di alam dunia lagi!" tegas Rangga.
"Hebat sekali pengusiranmu ini,
Anak Muda. Tapi, ketahuilah! Aku sudah mati, dan tidak akan mati untuk kedua
kalinya. Sia-sia saja usahamu, Anak Muda. Malah aku khawatir, kaulah yang akan
tewas di sini seperti si Iblis Hitam tolol itu!"
"Jika kau jantan, aku menantangmu
bertarung sampai salah satu di antara kita tewas!" Tantang Rangga.
"Ha ha ha...! Bagus! Aku terima
tantanganmu, Anak Muda. Tapi jangan menyesal, karena kau terlalu bodoh
meninggalkan ragamu!"
"Bersiaplah, Sang Penakluk!"
desis Rangga.
Sret!
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak akan
tanggung-tanggung lagi. Langsung dicabut Pedang Rajawali Sakti dari dalam
warangkanya. Sementara itu Sang Penakluk melompat mundur dua tindak. Arena
pertarungan yang akan terjadi ini memang berada di dalam tubuh Dewayani. Tapi
yang dilihat Rangga hanyalah gumpalan asap bercampur cahaya biru. Suatu yang
sangat luas tak bertepi. Dan yang pasti, tak akan ditemukan lagi. Jika selamat
kembali ke dunia.
"Hait..!"
"Hiyaaa...!"
Secara bersamaan mereka berlompatan
memberi serangan. Rangga mengebutkan pedangnya menggunakan jurus 'Pedang
Pemecah Sukma'. Pertarungan yang sangat ganjil tak dapat dihindari lagi.
Sementara itu Caraka dan ayahnya hanya
bisa melihat tubuh Rangga dan Dewayani terguncang-guncang dalam selimut cahaya
biru yang keluar dari sela-sela jari tangan Pendekar Rajawali Sakti yang
menempel erat di dada gadis itu. Tampak jelas, cahaya itu seperti memberi
petunjuk jalannya pertarungan di dalam. Sebentar cahaya itu redup, dan sebentar
kemudian terang benderang.
Beberapa kali Rangga menggeletar dan
mengerang lirih, tapi Dewayani setiap kali juga mengerang dengan tubuh
berkelojotan bagai meregang nyawa. Sedangkan dalam raga Dewayani, Pendekar
Rajawali Sakti yang hanya jiwanya saja masih bertarung sengit melawan Roh Sang
Penakluk. Pertarungan berjalan sengit, karena masing-masing mengerahkan
ilmu-ilmu sulit dan sangat tinggi tingkatannya. Tampak jelas kalau Roh Sang
Penakluk selalu menghindar dari tebasan dan tusukan pedang di tangan Rangga.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Jurus demi jurus berlalu cepat. Entah
sudah berapa jurus yang dikerahkan masing-masing. Bahkan sesekali mereka
menggunakan ajian kesaktian. Namun tampaknya mereka sama-sama tangguh.
Pertarungan yang cukup adil, masing-masing lawan hanya bisa menolong diri
sendiri untuk kelangsungan hidup.
"Modar! Hiyaaa...!" tiba-tiba
Rangga berteriak keras sambil melontarkan satu pukulan keras.
Pukulan lurus bertenaga dalam sempurna
ini mengarah ke bagian perut. Pada kenyataannya Sang Penakluk masih bisa
menghindari dengan manis sekali. Tapi mendadak saja dia terperangah, karena
tanpa diduga sama sekali Rangga mengibaskan pedangnya ke arah leher selagi
tubuhnya miring menghindari pukulan lawan.
"Keparat!" umpat Sang Penakluk
seraya cepat-cepat menarik lehernya ke belakang.
Tapi pada saat itu, Rangga secepat kilat
menarik pulang pedangnya, dan secepat itu pula diputar tubuhnya sambil
mengibaskan pedangnya ke arah dada. Sungguh suatu jurus luar biasa. Akibatnya
Sang Penakluk mengalami kesukaran menghindari, sehingga...
Crab!
"Aaakh...!" Sang Penakluk
menjerit keras melengking tinggi. Seketika ujung Pedang Rajawali Sakti berhasil
mengoyak dada Roh Sang Penakluk. Laki-laki muda berwajah tampan itu kontan
terhuyung ke belakang sambil mendekap dadanya.
Pada saat itu, Rangga tidak memberi
kesempatan lagi. Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
dan mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Hiyaaa...!"
Cras!
"Aaa...!" kembali Sang Penakluk
menjerit keras. Seketika lehernya terbabat buntung, sehingga kepalanya
menggelinding. Sebelum tubuh itu ambruk, kembali Rangga menghunjamkan pedangnya
ke dada. Dan secepat menarik pedangnya keluar, secepat itu pula disarungkan
kembali. Maka...
"Aji Cakra Buana Sukma!
Hiyaaa...!"
Glarrr!
Seketika tubuh Sang Penakluk meledak dan
hancur menjadi debu saat dari telapak tangan Rangga memercik kilat berwarna
biru. Rangga berdiri tegak memandangi debu yang berkepul menyatu bercampur
asap. Kemudian dirapatkan kedua tangannya di depan dada, lalu pelahan-lahan
menghilang.
"Hup!"
Rangga melepaskan tangannya dari dada
Dewayani. Seketika itu juga Dewayani terkulai sambil merintih lirih. Tampak
dari atas kepalanya mengepul asap putih kebiru-biruan.
"Dewayani...," panggil Rangga
seraya menyentuh bahu gadis itu.
Tak ada lagi cahaya biru yang
menyelimuti mereka. Semuanya lenyap, tepat saat tangan Pendekar Rajawali Sakti
ditarik kembali dari dada gadis itu.
"Ohhh...," Dewayani merintih
lirih.
"Kau sudah selamat, Dewayani,"
ujar Rangga memberitahu.
"Oh, Kakang...." Dewayani
menangis dan memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga menepuk-nepuk punggung gadis itu,
kemudian melirik Caraka dan ayahnya yang masih saja berdiri di tempatnya.
"Tolong nyalakan api, Caraka,"
Pinta Rangga.
"Oh! Iya..., iya, segera,"
sahut Caraka bergegas.
"Kita semua selamat, Dewayani.
Tidak ada yang mengganggumu lagi," ucap Rangga seraya melepaskan pelukan
gadis itu.
“Terima kasih, Kakang. Tapi...."
"Kenapa?"
"Apakah mereka suka menerimaku
lagi?"
"Pasti, Dewayani. Aku yang akan
mengatakan kepada mereka," celetuk Ki Pudit yang sudah berada di belakang
Rangga.
“Terima kasih, aku bahagia sekali,"
desah Dewayani.
"Ya! Kita semua bersyukur bisa
selamat, dan iblis itu tidak akan kembali lagi," ucap Ki Pudit sok tahu.
"Mudah-mudahan," sambung
Rangga mendesah.
Malam ini mereka terpaksa bermalam di
sendang, karena tidak mungkin kembali ke desa malam-malam begini. Masih terlalu
jauh menjelang pagi. Mereka berkumpul mengelilingi api unggun yang dibuat
Caraka. Dan Rangga terpaksa menceritakan pertarungannya atas desakan mereka
semua.
Dan mereka semua bersyukur karena Sang
Penakluk sudah tiada. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Dia masih ragu,
apakah Sang Penakluk sudah dilenyapkan? Tapi untuk sementara ini, Dewayani bisa
hidup tenang tanpa gangguan lagi.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
DEWA
IBLIS
Emoticon