1
Angin pagi berhembus tidak seperti biasanya. Pagi ini,
di sekitar Danau Sambak Neraka angin bertiup
sangat keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Angin tiba-tiba bagaikan mengamuk, menerbangkan
Danau Sambak Neraka yang terletak di sebelah
selatan Desa Krasak, pagi itu masih tertutup kabut
tebal yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya
angin bertiup sangat kencang seperti ini. Biasanya
angin bertiup tenang, menghembuskan hawa pagi
yang sejuk dan segar, yang akan menambah
kenyamanan suasana pagi.
Pagi yang biasanya cerah tiba-tiba berubah
menjadi suasana yang mencekam dan menakutkan.
Suasana aneh yang rasanya laksana berada di dalam
kematian alam akherat.
Sementara itu, dari arah timur nampak sesosok
tubuh wanita membopong seorang bayi yang masih
merah. Wanita yang nampaknya habis melahirkan itu
berlari-lari seperti ada sesuatu yang dicarinya.
Wajahnya nampak pucat. Seperti memendam
ketakutan. Sesekali menoleh ke belakang, me-
mandang ke arah timur. Seakan ada sesuatu yang
dikhawatirkannya.
Air mata wanita yang mengenakan pakaian hijau
lumut berparas cantik dengan rambut diikat ekor
kuda itu, meleleh di kedua pipinya.
“Kakang Anjasmara, bagaimana nasibmu,
Kakang?” keluh wanita cantik yang bernama Sambi,
sambil terus berlari dengan tangan masih meng-
gendong bayi. Sementara bayi di gendongannya
terdengar menjerit-jerit tiada henti.
“Oaaa...! Oaaa...!”
“Cup, Sayang...! Cup...!” Sambi berusaha me-
nenangkan bayinya yang terus menangis. Bayi itu
seperti mengerti kalau ayah dan ibunya dalam
keadaan menderita. Sesaat tangisnya berhenti.
Namun kemudian terdengar kembali menjerit-jerit,
seperti ikut merasakan cekaman rasa takut ibunya.
Sementara itu pula, dari kejauhan nampak se-
orang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut
terurai panjang, tengah menghadapi sepuluh orang
berpakaian kembar warna ungu yang mengeroyoknya
dengan senjata berupa toya.
Lelaki tinggi tegap berwajah tampan itu tiada lain
Anjasmara. Sedangkan kesepuluh lelaki dengan
pakaian ungu dan berkepala botak itu, ternyata Dasa
Toya Kuil Merak. Mereka merupakan para resi dari
Kuil Merak.
“Menyerahlah, Anjasmara! Kau harus memper-
tanggungjawabkan tindakanmu!” seru resi pertama,
bernama Kopayana. Orang itu bertubuh tinggi kurus
dan agak bungkuk. Matanya tajam, berhidung
mancung seperti paruh betet, dan berjanggut
panjang.
“Ya! Kau harus bertanggung jawab pada Ki
Badawi, karena kau telah melarikan anaknya!”
sambut Resi Udayana, lelaki bertubuh pendek dengan
perut gendut. Wajahnya panjang seperti ular, dengan
alis mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung
seperti resi pertama.
“Itu bukan urusan kalian!” sahut Anjasmara. “Aku
bukan menculik Sambi. Kami saling mencintai!”
“Tak peduli! Yang jelas kau telah merebut Sambi
dari calon suaminya! Kau harus bertanggung jawab
atas perbuatanmu!” bantah Resi Sadayana, lelaki
berbadan besar dengan wajah garang ditumbuhi
kumis tebal melintang.
“Cuh! Enak saja kalian bicara! Sumantri-lah yang
telah merebut Sambi dari tanganku!” sentak
Anjasmara sengit, dituduh kalau dirinya merebut
Sambi dari Sumantri. Padahal antara dirinya dan
Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak sama-
sama di Perguruan Pedang Darah.
Pertarungan Anjasmara melawan kesepuluh resi
yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak nampak seru.
Meski menghadapi sepuluh orang yang berilmu
lumayan, Anjasmara yang merupakan murid kedua
dari Perguruan Pedang Darah nampak tak mengalami
desakan yang berarti. Bahkan serangan-serangan
yang dilancarkannya cukup mengejutkan kesepuluh
resi berbaju ungu itu.
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya
Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari kita kembali
pada kejadian sepuluh tahun yang silam! Ketika itu
ketiganya masih menjadi satu dalam didikan seorang
tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi atau
Dewa Pedang.
Sumantri, Anjasmara, dan Sambi merupakan
kakak beradik pada Perguruan Pedang Darah.
Ketiganya dididik dan digembleng oleh guru sekaligus
orangtua angkat mereka yang bernama Ki Badawi.
Ki Badawi merupakan orang tua yang paling
sayang terhadap anak-anak telantar. Ki Badawi
menemukan Sumantri dan Anjasmara ketika tengah
berlanglang buana. Dua bocah kecil tampan yang
entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena
kasihan, dibawanya pulang. Kemudian dirawat.
Selang beberapa hari kemudian, ketika Ki Badawi
kembali dari bepergian, dia menemukan seorang
bocah perempuan kecil tengah menangis di tengah-
tengah amukan api.
Ki Badawi yang melihat bocah kecil menangis di
antara gelimpangan mayat warga Desa Pasuruhan,
segera mengambil anak itu. Kemudian membawanya
pula ke perguruan yang berada di Bukit Cagar Buana.
Dididik dan diasuhnya ketiga anak itu dengan
penuh kasih sayang. Sehingga tumbuhlah ketiganya
menjadi dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi
yang tampan dan cantik jelita. Yang lelaki diberi nama
Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang perempuan
bernama Sambi.
Semenjak kecil, di antara mereka memang
senantiasa terjadi perselisihan. Dari dulu, Sumantri
yang memiliki watak ingin menang sendiri, selalu
berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun
Anjasmara tidak bisa dikalahkan begitu saja.
Sikap ingin menang sendiri selalu ditunjukkan
Sumantri, baik di setiap latihan, maupun ketika
melakukan kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi
menganggap persaingan itu hal yang biasa saja,
karena mereka masih anak-anak. Biasanya anak-
anak kecil memiliki sikap ingin menunjukkan
keunggulan dirinya.
Persaingan antara Sumantri dan Anjasmara ber-
langsung terus-menerus tiada henti. Sampai mereka
sama-sama tumbuh menjadi pemuda. Pemuda
dewasa yang gagah dan tampan, persaingan terus
terjadi.
Pada masa ini, kedua pemuda tampan itu tidak
lagi bersaing untuk membuktikan ketinggian ilmu
mereka. Sumantri menyadari kalau ilmu yang
dikuasainya tidak sehebat milik saudara angkatnya
itu. Karena Sumantri memang tidak setekun
Anjasmara. Dirinya sering kurang giat dalam berlatih.
Di samping sering merasa manja dan besar kepala
karena Ki Badawi memang lebih menyayangi dirinya
ketimbang terhadap Anjasmara maupun Sambi.
Kini Sumantri berusaha hendak mendapatkan adik
angkatnya yang cantik jelita itu. Beberapa kali
Sumantri berusaha mendekati Sambi, tapi gadis
cantik yang juga memiliki ilmu pedang itu terus
berusaha menolaknya.
Sampai pada suatu hari, ketika Sambi tengah
mandi di sebuah pancuran, diam-diam Sumantri
mengikutinya.
Sambi yang tidak menduga kalau Sumantri
mengikutinya, tanpa segan-segan membuka
pakaiannya. Kemudian dengan bernyanyi-nyanyi
tubuhnya dicemlungkan ke kubangan air pancuran.
Menyaksikan pemandangan yang menggiurkan,
darah lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kumis
menghias di atas bibirnya itu seketika bergolak
laksana air pancuran. Lelaki muda berpakaian abu-
abu tanpa lengan dan berambut panjang dengan ikat
kepala kulit macan tutul itu, merasakan getaran yang
dahsyat dalam jiwanya.
Hampir saja dia melakukan sesuatu yang tercela.
Namun tiba-tiba Sumantri ingat akan segala petuah
gurunya.
“Jika kau mencintai seseorang, katakanlah dengan
kejujuranmu! Aku akan bangga, memiliki anak yang
menjunjung tinggi kehormatan kaum yang lemah.”
Sumantri tersentak dan mengurungkan niatnya
memperkosa Sambi. Bergegas dia pulang ke
perguruan. Ketika dilihatnya Anjasmara sedang
bekerja membelah kayu, Sumantri tersenyum sinis.
Namun Anjasmara tak menggubrisnya, dia tetap
membelahi kayu-kayu yang akan digunakan untuk
memasak. Namun ketika Sumantri masuk ke rumah
gubuk tempat gurunya berada, seketika perasaan
lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini berubah.
Pemuda tampan berhidung mancung dengan
kumis tipis menghias di atas bibirnya, dan bermata
tajam laksana mata burung elang itu menghentikan
pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada
sesuatu yang tengah dipikirkan. Entah mengapa,
seketika dia ingin tahu apa yang sedang diadukan
Sumantri pada Ki Badawi.
Dengan hati-hati, Anjasmara berusaha mendengar
aduan yang tengah disampaikan Sumantri pada guru
mereka. Matanya terbelalak, ketika mendengar apa
yang tengah diadukan Sumantri pada Ki Badawi.
“Guru, terus terang aku mencintai Sambi. Kuharap
Guru sudi menjodohkan kami, karena kami sama-
sama mencintai,” kata Sumantri berdusta.
Anjasmara menarik napas dalam-dalam. Seketika
perasaannya bergemuruh riuh tidak karuan.
Benarkah Sambi juga mencintai Sumantri? Tanya
Anjasmara dalam hati. Sungguh wanita murahan jika
dia membagi cintanya untuk Sumantri dan diriku.
Anjasmara kembali memusatkan perhatiannya
pada pembicaraan gurunya dan Sumantri.
“Apa kau tak salah ngomong, Mantri?” tanya Ki
Badawi.
“Tidak, Guru. Aku yakin kalau Sambi mencintaiku.”
“Kau sudah mengatakan padanya?”
“Sudah, Guru. Bahkan jika Guru merestui, Sambi
bersedia menikah secepatnya,” jawab Sumantri
berbohong, berusaha meyakinkan gurunya.
Dari dalam terdengar helaan napas Ki Badawi.
Sepertinya orang tua berambut digelung seperti para
resi dengan pakaian jubah putih itu dalam keadaan
bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering
melihat Sambi bersama Anjasmara ngobrol. Itu yang
meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi mencintai
Anjasmara, bukan Sumantri! Tapi kini, tiba-tiba
Sumantri mengatakan kalau dirinya dan Sambi telah
sepakat untuk menjadi suami istri.
Kurang ajar kau, Sumantri! Dengus Anjasmara
dalam hati. Celaka kalau guru sudah membicara-
kannya pada Sambi. Gadis itu tentu akan menurut
apa kata Guru!
Karena dihinggapi rasa takut kalau Sambi akan
menurut kata-kata guru mereka, Anjasmara yang tahu
bahwa Sambi sedang mandi, segera berlari ke
pancuran. Dia tidak ingin Sambi dimiliki oleh
Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah terhadap
Sumantri. Haruskah kini dia juga mengalah? Padahal
masalah ini sangat penting, karena menyangkut
harga diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin
kalut.
“Kakang, ada apa kau menyusul ke sini?” tanya
Sambi ketika melihat Anjasmara menyusul dirinya
saat mandi di pancuran.
“Cepatlah naik, Sambi! Aku ingin bicara dengan-
mu,” sahut Anjasmara buru-buru.
“Nampaknya kau tak sabar, Kakang. Kenapa...?”
tanya Sambil masih belum memahami apa yang
membuat pemuda tampan kekasihnya itu tampak tak
sabar, tidak seperti biasanya. Biasanya Anjasmara
nampak tenang dan sabar. Dan karena sikapnya yang
tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi
kekasihnya.
“Naiklah, Sambi!” perintah Anjasmara semakin tak
tenang.
Dengan wajah diliputi perasaan heran, Sambi pun
menurut. Sampai-sampai ia lupa kalau tubuhnya
dalam keadaan telanjang.
“Ada apa, Kakang?” tanya Sambi.
“Pakailah pakaianmu dulu!” sahut Anjasmara
setelah terpaku memandangi keadaan tubuh
kekasihnya yang mulus dan kuning langsat.
“Heh...! Oh! I... iya. Aku sampai lupa.”
Sambi agak kaget dan malu. Lalu cepat-cepat
menutup bagian terlarang di tubuhnya dengan
tangan. Kemudian, kakinya melangkah untuk meng-
ambil pakaiannya yang tergeletak di atas batu yang
permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru
pakaiannya segera dikenakan.
“Ada apa?” tanya Sambi setelah mengenakan
pakaiannya. Matanya memandang penuh keheranan
pada pujaan hatinya yang kelihatan gelisah. “Kau
tampak gelisah, Kakang. Katakanlah! Apa yang
terjadi?”
Anjasmara menghela napas panjang.
“Benarkah kau telah bersepakat akan menikah
dengan Sumantri?”
“Hah?! Apa...?!” Sambi terkejut mendengar
pertanyaan kekasihnya. Keningnya berkerut, matanya
memandang tak berkedip ke wajah Anjasmara.
“Siapa yang berkata begitu, Kakang?”
“Sumantri. Dia mengadu pada guru dan meng-
inginkan agar guru merestui pernikahannya dengan-
mu,” sahut Anjasmara agak marah.
“Oh! Mengapa Kakang Sumantri berbuat itu?
Tidak, Kakang! Cintaku hanya untukmu. Ke mana pun
kau bawa, aku akan menurut. Aku hanya ingin
mengabdi padamu,” keluh Sambi berusaha meyakin-
kan kekasihnya.
“Kalau begitu, sebelum guru dan Sumantri
melakukan semuanya, sebaiknya kita minggat dari
sini!” ajak Anjasmara.
Sambi pun setuju dengan tekad itu. Tanpa
sepengetahuan Ki Badawi dan Sumantri keduanya
meninggalkan Bukit Cagar Buana yang berada di sisi
Hutan Prajawelerang.
Waktu berlalu. Keduanya menjadi satu dalam
hidup. Sampai akhirnya pasangan Anjasmara dan
Sambi dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil.
Sementara, kabar tentang Sumantri dan Ki Badawi
tak pernah terdengar di telinga mereka berdua.
Sampai pada akhirnya, entah dari mana sumbernya,
banyak para tokoh persilatan mencari Anjasmara dan
Sambi. Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk
menangkap Anjasmara dan Sambi. Hingga Anjasmara
dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi kecil itu
harus lari untuk menyelamatkan diri, meninggalkan
Hutan Semar Kembar tempat keduanya bersembunyi
selama ini.
***
Pertarungan Anjasmara yang bersenjatakan
pedang melawan Dasa Toya Kuil Merak masih ber-
jalan seru. Nampaknya murid dan anak angkat Ki
Badawi bukanlah lawan yang enteng bagi kesepuluh
resi dari Kuil Merak itu. Bahkan beberapa kali
Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh
lawan-lawannya.
Dengan jurus 'Lingkaran Pedang Sinar' Anjasmara
mampu membuat kesepuluh resi yang berusaha
menangkapnya kalang-kabut. Dan mau tak mau
mereka harus melompat ke belakang mengelakkan
dan menjauhi serangan pedangnya.
“Heaaa...!”
“Setan!” maki Resi Narayana kaget sambil
melompat mundur, mengelakkan babatan pedang
lawan yang cepat, sehingga mampu membuat
gerakan memutar membentuk lingkaran. Namun....
Wuttt!
Brettt!
“Uts! Setan gundul...!” maki Narayana sengit,
ketika pakaian resinya sobek terkena sabetan pedang
Anjasmara. Lelaki botak dengan hidung pesek itu
mengumpat dan mencaci-maki dengan kesal. Kalau
saja dia terlambat mengelak, sudah pasti perutnya
yang agak buncit itu terkena sabetan pedang
Anjasmara.
“Bedebah! Rupanya tikus ini minta mampus!”
dengus Andayana sengit, menyaksikan kemampuan
lawan. Toya di tangannya diputar cepat dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'. Dari putaran toyanya,
keluar angin kencang yang dahsyat.
Menyaksikan Andayana telah memutar tongkatnya
dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang Bayu',
kesembilan resi lainnya serentak melakukan hal yang
sama.
“Kuremukkan batok kepalamu, Tikus Busuk!”
dengus Resi Dupayana. “Heaaa...!”
Lelaki botak bertubuh kurus dan jangkung dengan
mata juling itu menggebrak ke arah lawan, diikuti oleh
rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'.
“Hiaaat...!”
Wuttt!
“Heaaa...!”
Teriakan-teriakan nyaring mengawali serangan
Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan.
“Yeaaa...!” Anjasmara yang merasakan angin
keluar dari toya mereka, dengan cepat mengubah
jurus pedangnya. Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin
Menerjang Belantara', dia menghadang serangan
kesepuluh lawannya.
Siiing...! Siiing...!
Pertempuran kembali berjalan dengan seru.
Dengan jurus andalan, para resi itu berusaha
mendesak Anjasmara. Toya di tangan Dasa Toya Kuil
Merak bergerak cepat, hingga menimbulkan angin
yang keras dan menyentak.
Wuttt! Wuttt!
Wusss...!
Dasa Toya Kuil Merak nampaknya tidak mau
mengalami kekacauan serangan mereka seperti tadi.
Kesepuluh resi itu terus bergerak dengan kompak.
Satu menyerang, yang lainnya bergerak melindungi
dan ganti menyerang. Gerakan mereka begitu serasi
dan susul menyusul dengan jurus 'Dasa Merak
Terbang dan Hinggap Sambil Mematuk'.
Seorang dari Dasa Toya Kuil Merak menyerang
dengan cepat, kemudian dengan cepat pula tubuhnya
merunduk. Dari belakang melesat di atas tubuh
rekannya, lalu menyerang ke tubuh Anjasmara. Begitu
seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah
menyerang, segera merundukkan tubuh untuk
dilompati rekannya untuk menyerang lawan.
“Hiaaat...!”
Wuttt! Wuttt!
Hebat juga jurus 'Dasa Merak Terbang dan
Hinggap Sambil Mematuk'. Dengan jurus itu,
kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu mendesak
Anjasmara. Sehingga pendekar pedang dari
Perguruan Pedang Darah itu harus menguras tenaga
untuk dapat mengelakkan serangan beruntun dan
susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu.
“Uts! Celaka...! Ilmu apa yang digunakan
kesepuluh resi ini?” tanya Anjasmara setengah
mengeluh lirih sambil bergerak mengelakkan
pentungan toya kesepuluh resi berkepala botak itu.
Dia tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk balas
menyerang ke arah lawan-lawannya.
Dasa Toya Kuil Merak tak pernah berhenti
menyerang. Satu menyerang, yang lainnya menyusul
dengan serangan yang sama dan cepat. Hal itu cukup
merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri.
Terlebih tenaganya terkuras dalam pertarungan yang
berjalan lama.
“Menyerahlah, Tikus Busuk!” seru Resi Indrayana
sambil menggerakkan toyanya menyerang.
Wuttt!
“Benar! Menyerahlah, agar kau tak mati percuma!”
sambung Resi Trijayana seraya melompat meng-
gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki berusia sekitar
tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal melintang,
serta badan gendut itu terus merangsek ke arah
Anjasmara.
“Cuh! Kalianlah yang busuk! Kalian telah berlaku
tidak selayaknya sebagai para resi. Hanya karena
tergiur hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri
keparat itu, kalian rela melepas kedudukan sebagai
resi!” dengus Anjasmara tak mau kalah.
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!”
bentak Resi Warayana. Mata lelaki bertubuh kaku ini
nampak garang. Hidungnya yang besar kembang-
kempis, dengan napas mendengus marah.
“Kupecahkan batok kepalamu, Setan!” sambung
Resi Ragayana. Bergantian dengan Resi Warayana,
Resi Ragayana menyerang ke arah Anjasmara.
Serangan mereka semakin gencar dan dahsyat,
mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Ketika petarungan masih berjalan sengit, dan
Anjasmara dalam keadaan terdesak, tiba-tiba angin
badai berhembus dahsyat menggulung tempat
pertempuran.
Wusss...!
“Wuaaa...!”
Kesepuluh resi itu berusaha mengelakkan
terjangan angin yang datangnya sangat kencang,
namun gerakan mereka terlambat. Akibatnya, tubuh
berpakaian ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh
mereka mencelat ke belakang laksana terbang.
Anjasmara tersentak kaget. Matanya terbelalak
ketika tiba-tiba di dalam gulungan angin yang
membentuk pusaran itu terlihat sosok wanita yang
sudah sangat dikenalnya.
“Sambi...!” seru Anjasmara sambil berlari
memburu angin besar yang berpusar dan bergerak
mengelilingi Sambi yang menggendong bayinya.
“Ka..., Kakang...!”
“Sambi...!”
Anjasmara terus berlari dengan wajah cemas,
menyaksikan istri dan anaknya dalam kekuasaan
angin besar yang terus menggulung keduanya.
Dengan nekat, Anjasmara segera menerobos masuk
ke putaran angin kencang itu.
“Sambi...!”
Seketika tubuh Anjasmara ditelan pusaran angin
besar di mana istri dan bayinya berada. Angin besar
bergulung-gulung itu terus berputar. Tapi anehnya,
setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin
itu bergerak meninggalkan tepian Danau Sambak
Neraka. Angin itu terus bergerak ke arah air danau
yang sangat dalam.
Byurrr! Byurrr...!
Tubuh Sambi dan Anjasmara jatuh ke dalam air
Danau Sambak Neraka. Bayi dalam pelukan Sambi
pun tetap dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun
suara tangisnya. Mereka terus dibawa ke tengah
danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun
Anjasmara, tak mengerti akan dibawa ke mana diri
mereka.
Ternyata angin bergulung dan berputar-putar itu
terus mengusung mereka ke Pulau Karang Api yang
berada di tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
Semakin dekat tampaklah pulau itu menyala merah
laksana api. Dan karena itulah pulau itu dinamakan
Pulau Karang Api.
Sementara itu, tubuh Anjasmara dan Sambi yang
tercebur ke Danau Sambak Neraka seketika meng-
alami perubahan. Tubuh mereka memanjang. Wajah
mereka kini pun berubah, dengan mulut moncong ke
depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala
mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang memanjang
perlahan-lalian ditumbuhi sisik. Keduanya kini
berubah menjadi dua ekor naga berwarna merah
dengan mata yang membara bagaikan mengandung
api!
“Ssszzzt...!”
Kedua sosok yang telah berubah menjadi naga itu
menggeliat. Matanya tajam memandang ke daratan.
Kemudian dari mulut dan mata keduanya
menyemburkan api yang membara ke arah sepuluh
resi yang tengah berlari ke arah Danau Sambak
Neraka.
Wurrrs...!
“Wuaaa...!”
Kesepuluh resi yang tak menyangka akan
mendapat serangan berupa semburan api dari tengah
danau itu terkejut bukan main. Tiada ampun lagi,
tubuh mereka terbakar hangus.
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan
bergema di sekitar Danau Sambak Neraka. Tampak-
nya suara itu milik seorang lelaki.
“Kalian telah menjadi wargaku! Kalian berdua
telah menjadi anak-anakku. Biarlah anak kalian
kudidik! Kelak, dia akan menjadi pemuda perkasa!
Hua ha ha...!”
Kedua naga berwarna merah itu terdiam,
kemudian dengan gerakan yang lamban, mereka
menyelam ke kedalaman air Danau Sambak Neraka.
***
Sepuluh tahun sudah peristiwa di Danau Sambak
Neraka berlalu. Sumantri masih berpikir tentang
Anjasmara dan Sambi, yang raib entah ke mana. Dia
juga masih berpikir, siapa yang telah menewaskan
kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi Danau Sambak
Neraka.
Suasana pagi yang cerah nampak melingkupi di
sekitar Danau Sambak Neraka. Matahari yang baru
saja muncul di ufuk timur bersinar merah tembaga.
Nampak seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun dengan kumis tebal dan jenggot pendek,
berpakaian khas saudagar tengah melangkah
menyusuri tepian Danau Sambak Neraka.
Lelaki tampan dengan rambut terurai panjang
berbaju jubah abu-abu itu ternyata Sumantri. Dia
tampak tengah mengawasi sekitar Danau Sambak
Neraka. Pikirannya masih belum menerima peristiwa
aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu.
“Aneh,” gumam Sumantri lirih sambil matanya
memandang ke sekeliling Danau Sambak Neraka.
“Bagaimana mungkin Anjasmara dan Sambi
menghilang?”
Selama sepuluh tahun terakhir ini, Sumantri telah
beberapa kali membayar orang-orang rimba per-
silatan untuk mencari kedua orang yang raib bagai
ditelan bumi itu. Tapi selalu saja mengalami
kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya
yang menemukan jejak Anjasmara dan Sambi.
“Mungkinkah mereka benar-benar menghilang?”
tanyanya pada diri sendiri. “Ah, tidak mungkin! Guru
tak pernah mengajari Anjasmara dan Sambi ilmu
menghilang....”
Sumantri terus berdiri di tepi Danau Sambak
Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika
memandang arah Pulau Karang Api di tengah-tengah
danau.
“Heh! Apakah aku tak salah lihat?!” gumam
Sumantri terkejut, ketika matanya melihat seorang
bocah berusia sekitar sepuluh tahun berbadan penuh
sisik tengah berlari-lari kecil.
Bocah bertubuh penuh sisik itu tampaknya merasa
ada yang memperhatikan. Wajahnya memandang ke
arah Sumantri.
“Ah! Bocah atau setan!?”
Kembali Sumantri terkejut, menyaksikan mata
bocah itu berwarna merah membara laksana api,
menyorot tajam wajahnya. Bukan hanya itu yang
membuat Sumantri tersentak kaget. Ternyata gigi
bocah kecil itu bertaring menyeramkan, ketika
menyeringai memandangnya.
“Ghrrr...!
Terdengar suara keras menggelegar, ketika bocah
kecil penghuni Pulau Karang Api itu menyeringai.
Bersamaan dengan itu, seketika hawa panas
menyelubungi sekitar danau, membuat Sumantri
tersentak.
“Uh, celaka! Apa yang dilakukan bocah setan itu?”
keluh Sumantri. Tubuhnya kini menggeliat-geliat
bagaikan dipanggang di atas bara api yang sangat
panas.
“Wuaaa...! Aaa...!”
Sumantri menjerit-jerit merasakan hawa panas
yang tiada terkira menyengat tubuhnya. Dirasakan
tubuhnya seperti dikelilingi api yang membara.
“Aaa...!”
Pekikan keras kembali terdengar dari mulut
Sumantri yang terus berusaha mempertahankan
tubuhnya agar tidak mati lemas oleh hawa panas.
Namun, semakin mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh panas yang menyengat tubuhnya,
hawa panas terasa semakin menjadi-jadi.
“Celaka! Aku bisa mati terbakar kalau terus-
menerus di sini,” keluh Sumantri.
Sumantri berusaha menjauh dari tepi danau.
Nampaknya dia berhasil. Dengan cara beringsut
menggunakan lututnya yang tertekuk, Sumantri
berusah menggeser kedudukannya semakin menjauh
dari tempat itu.
“Bocah setan! Bagaimana mungkin bocah sekecil
itu memiliki kekuatan api yang kuat, sampai mampu
menyerangku?” umpat Sumantri lirih sambil terus
beringsut menjauh.
Wusss...!
Angin menderu kencang ke arah tubuh Sumantri.
Seketika itu pula, tubuhnya melayang terbawa angin
kencang itu.
“Wuaaa...!”
Sumantri menjerit ketakutan ketika tubuhnya
diterbangkan angin dahsyat itu dan terlempar sekitar
seratus tombak jauhnya dari tepian danau.
Brukkk!
“Aduh...! Angin setan!” maki Sumantri yang tampak
marah.
Wusss...!
Tiba-tiba angin dahsyat itu berhembus ke arahnya.
Angin badai itu seakan-akan tahu ucapan Sumantri
barusan. Mata lelaki itu terbelalak kaget dan
ketakutan. Keringat dingin bercucuran membasahi
tubuhnya.
“Oh! Tidaaak...! Ampun, jangan....!” pekik Sumantri
ketakutan.
Dan anehnya lagi, angin itu bagaikan mengerti apa
yang diminta Sumantri. Seketika angin itu bergulung
dan berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah
mengatakan sesuatu dan mengancam Sumantri.
Sesaat kemudian angin besar itu bergerak cepat
kembali ke Danau Sambak Neraka.
“Aneh!” gumam Sumantri keheranan tak mengerti.
“Bagaimana mungkin angin bisa mengerti ucapan-
ku?”
Sumantri masih terduduk terbengong-bengong
keheranan terhadap kejadian yang baru saja
dialaminya.
“Aneh! Benar-benar ada yang aneh di Pulau
Karang Api itu. Aku yakin, pulau itu ada penghuninya,”
kata Sumantri sambil berlari meninggalkan tempat
yang bernama Lembah Akherat ini.
Bergidik juga hati Sumantri jika teringat kejadian
yang baru saja dialaminya. Rasanya sangat tak
masuk akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia
sepuluh tahun berbadan penuh sisik mampu
mengeluarkan kekuatan sedahsyat itu? Bocah ber-
tubuh penuh sisik dengan mata merah laksana api itu
mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu
mengerahkan angin aneh.
“Bocah itu tentunya bocah sakti. Ah, kalau saja
aku bisa mendapatkannya, tentu aku akan menjadi
orang yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah
kecil itu dapat kumanfaakan. Hua ha ha...! Sumantri
akan menjadi orang yang ditakuti! Aku harus
mendapatkan bocah itu...!” gumam Sumantri sambil
terus berlari meninggalkan Lembah Akherat.
***
2
Setelah menitipkan Mei Lie pada Ki Gede Mantingan,
Sena melanjutkan pengembaraannya untuk me-
negakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai
pendekar. Selain itu, batinnya tidak suka melihat
penderitaan dan kesengsaraan orang lemah ditindas
dan disiksa oleh yang kuat dan durjana.
Setelah menghancurkan Istana Tengkorak Merah,
Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede Mantingan singgah
di padepokannya yang bernama Padepokan Karang
Tinalang. Letak padepokan itu berada di sebelah
selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu.
Tepatnya di Bukit Singgala Putri (Mengenai Ki Gede
Mantingan, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode “Tengkorak Darah”).
Setelah tiba di Padepokan Karang Tinalang,
akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada orang tua
yang baik itu. Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah
Ki Gede Mantingan turut menasihati, akhirnya gadis
itu pun menurut. Terlebih Ki Gede Mantingan telah
menganggap Mei Lie sebagai anaknya sendiri, karena
orang tua itu tidak dikarunai anak.
Masih teringat di benak Sena ucapan Mei Lie
ketika hendak melepas kepergiannya.
“Kakang, jangan lupakan aku! Aku akan selalu
menunggumu. Aku akan tetap menunggu dan
mencintaimu,” bisik Mei Lie sambil merebahkan
kepalanya di dada Sena.
Rasa haru dan syahdu beraduk menjadi satu dada.
Sena mendengar kata-kata Mei Lie. Dengan lembut
tangannya membelai rambut gadis itu.
“Aku akan mengingatmu, Mei Lie.”
“Terima kasih, Kakang! Aku akan setia
menunggumu. Menunggu janjimu....”
Sena tersenyum seraya memeluk Mei Lie penuh
kasih sayang. Kemudian dengan perasaan syahdu,
kakinya melangkah meninggalkan gadisnya yang
nampak melambaikan tangan dengan mata berkaca-
kaca
Bayangan perpisahannya dengan Mei Lie seketika
hilang, ketika tiba-tiba telinganya mendengar jeritan
seorang wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat
dirinya berada kini.
“Tolong...! Tidak...!”
“Hei....! Kudengar ada seorang wanita meminta
tolong,” gumam Sena dengan kening berkerut.
Kemudian dapasangnya telinga tajam-tajam, ber-
usaha mendengar suara jeritan tadi.
“Tolong...! Lepaskan aku, Biadab!” suara wanita itu
kembali terdengar, diikuti oleh caci-makinya.
“Hm, ada juga manusia durjana yang masih
senang iseng,” kata Sena sambil cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian
tertawa cekikikan. “Hi hi hi...! Lucu sekali! Aha, coba
kulihat.”
Sena segera melompat ke atas cabang sebatang
pohon yang tinggi, agar bisa melihat ke sekeliling
tempat di tengah Hutan Dadap Wangi.
“Hop! Ya...!”
Tap!
Kedua kakinya hinggap begitu ringan di cabang
pohon jati yang banyak tumbuh di hutan itu.
Kemudian dengan cengengesan matanya me-
mandang ke sekeliling tempat itu.
“Tolong! Bajingan, lepaskan...!” suara wanita itu
kembali terdengar, tapi belum nampak di mata Sena.
“Tak akan ada yang menolongmu! Kau harus
menyerahkan tubuhmu pada kami!” kini terdengar
suara seorang lelaki mengancam.
Pendekar Gila nyengir sambil pandangannya
beredar ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari
dari mana asal suara tadi. Dan seketika matanya
melihat serumpun semak belukar bergoyang-goyang.
“Aha, itu dia!” ujar Sena seraya melompat ke
semak-semak yang bergoyang. “Hop! Ya!”
Dua orang lelaki berpakaian merah kecoklatan
tiba-tiba tersentak kaget begitu di samping mereka
telah berdiri seorang pemuda berpakaian kulit rompi
ular yang cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Hua ha ha...! Kenapa kalian kaget?” tanya Sena
masih bertingkah laku seperti orang gila. “Ah ah ah...!
Kupanya kalian sedang asyik berpesta! Kenapa tak
mengundangku? Hi hi hi...!”
“Siapa kau?!” bentak lelaki berwajah garang
dengan rambut kaku seperti landak.
“Ha ha ha...! Aku...?” balik Sena bertanya.
Kemudian mulutnya nyengir kuda. Matanya menatap
sosok wanita muda yang pakaiannya morat-marit tak
karuan. “Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi...! Siapa
kalian berdua?”
Membelalak mata kedua lelaki berwajah garang
itu, mendengar kata-kata Sena yang persis orang gila.
“Pemuda gila dari mana dia?” gumam lelaki
berkumis tebal dengan mata lebar. Rambutnya juga
kasar berdiri seperti landak.
“Hei, Bocah Gila! Ketahuilah...,” ujar lelaki ber-
tubuh tinggi dan beralis tebal. “Aku Cakal Genala!”
“Dan aku, Cakil Gering!” sambung rekannya yang
bertubuh agak kurus, berkumis tebal melintang di
bibir tebal. “Ha ha ha...! Kami bergelar Dua Landak
Hutan Dadap Wangi. Kamilah penguasa dan penghuni
hutan ini!”
“Hua ha ha...! Gila...! Hi hi hi...! Kalianlah yang
gila!” balik Pendekar Gila sambil berjingkrak-jingkrak
seperti monyet. Sementara tangan kanannya meng-
garuk-garuk kepala dan tangan kiri menepuk-nepuk
pantat
“Bocah gendeng! Pergi sana! Jangan ganggu
kami!” bentak Cakil Gering dengan mata melotot.
Rambutnya yang berdiri seperti bulu landak, kian
meregang kaku.
Dibentak begitu rupa, bukan membuat Sena takut
atau lari. Malah dengan sengaja tingkahnya dibuat
konyol. Dengan tenangnya dia melangkah meng-
hampiri gadis cantik yang gaun kuningnya sudah
awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat Sena
menghampiri. Kemudian dengan tenang Sena
memegang tangan kiri gadis itu.
“Aha, boleh juga! Bagaimana kalau gadis ini
untukku?” tanya Sena pada Dua Landak Hutan
Dadap Wangi, yang semakin bertambah marah
melihat kelancangan dan kekonyolan pemuda itu.
“Kurang ajar! Minggat kau dari sini!” dengus Cakal
Genala sambil melepaskan jotosan ke arah Pendekar
Gila dengan jurus 'Serudukan Landak'.
“Eits! Ah, galak amat kau, Ki? Mengapa kau tidak
mau membagi aku? Aduh kepalaku...!” seru Sena
sambil bergerak cepat memnduk, mengelakkan
serangan Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke
bawah dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
“Hi hi hi...! Rupanya kau belum pernah ditampar
singa, Ki. Nih...!”
Dengan tangan menepuk ke arah dada lawan,
Sena bergerak meliuk. Gerakannya sangat lambat,
membuat lawan menyangka kalau serangan Sena
lemah dan tak perlu ditakuti. Hingga....
Bukkk!
“Aaakh...!” Cakal Genala terpekik kesakitan.
Lelaki berhidung bulat itu sungguh tak menduga
kalau pukulan lawan yang tampak pelan itu ternyata
begitu keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak
lamban dan lemah sekali. Tubuh lelaki berambut
kaku itu terlempar deras ke belakang, bagaikan
terdorong kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal
Genala baru berhenti, ketika membentur pohon
dadap berduri.
Brak!
Crab!
“Wuaaa...!” kembali Cakal Genala memekik
kesakitan. Punggungnya tertancap duri-duri pohon
dadap.
“Hi hi hi...! Lucu..! Kenapa kau, Ki? Kalau lari,
jangan mundur! Itulah akibat orang lengah!” kata
Sena ambil berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
Mulutnya nyengir.
“Bocah edan! Kuremukkan kepalamu! Heaaa...!”
Cakil Gering yang merasa saudaranya
dipermainkan begitu rupa oleh pemuda tampan
berbaju rompi kulit ular, segera melancarkan
serangan dengan pukulan tangan kirinya meng-
gunakan juris 'Landak Mengais'.
“Heaaa!” tangan Cakil Gering melakukan gerakan
menyibak cepat, lalu memukul keras ke perut
Pendekar Gila yang masih tampak cengengesan.
Melihat lawan menyerang, dengan cepat Sena
menarik kakinya ke belakang. Diangkatnya kaki agak
tinggi, kemudian dengan cepat didengkulnya kepala
lawan yang agak merunduk.
“Hi hi hi...! Kau rupanya mencari sesuatu, Ki. Aha,
kuberi sop lututku! Hih...!”
Cakil Gering tersentak melihat gerakan Pendekar
Gila. Segera ditariknya kembali serangan tadi. Tubuh-
nya didongakkan, lalu bergerak ke samping.
Kemudian dengan cepat bersalto ke samping, ketika
melihat tangan Pendekar Gila kembali menepuk.
“Uts! Ilmu edan!” makinya yang telah tahu
bagaimana hasil tepukan tangan Sena. Meski
kelihatannya lamban dan lemah, ternyata tepukan itu
begitu dahsyat dirasakan. Dengan tepukan itu,
Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal
Genala begitu keras. Sehingga tubuh lelaki itu terkulai
pingsan setelah menerjang pohon berduri.
Mata Cakil Gering terbelalak, setelah merasakan
angin keras dari tepukan tangan Pendekar Gila.
“Edan! Jurus apa yang digunakannya?” gumam
Cakil Gering masih tak mengerti dan heran. “Padahal
gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari
anginnya saja, mampu menyentakkan tubuhku.”
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah
lakunya persis seekor monyet. Hal itu semakin
membuat Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha
mereka-reka siapa sebenarnya pemuda yang ber-
tingkah seperti orang gila itu.
“Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah,
dilihat dari tingkah lakunya, semua persis dengan ciri-
ciri pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,”
gumam Cakil Gering.
“Hi hi hi...! Kenapa melongo, Ki? Nanti kau
kerasukan setan,” ujar Sena sambil cengengesan.
“Pergilah! Jangan sampai aku memberimu hadiah!”
Cakil Gering yang merasa tidak unggulan meng-
hadapi pemuda itu segera mundur. Dia semakin yakin
dengan dugaannya kalau pemuda di hadapannya
pastilah Pendekar Gila.
“Ayo pergi! Jangan ganggu aku bermesraan
dengan gadis ini! Ayo pergi!” bentak Sena dengan
garang.
“Baik...! Baik, aku akan pergi,” sahut Cakil Gering
ketakutan.
“Hua ha ha...! Bawa sekalian tikus itu!”
Cakil Gering merangkak mendekati saudaranya
yang masih terkulai pingsan. Kemudian dengan mata
menatap tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering
segera memondong tubuh saudaranya. Kemudian
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan cepat
tempat itu ditinggalkannya.
Sepeninggal Cakil Gering dan saudaranya, Sena
kembali tertawa bergelak. Tingkah lakunya yang
seperti orang gila, membuat gadis cantik itu
ketakutan bukan kepalang. Gadis berkulit kuning
langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan
masih memegangi pakaiannya yang terbuka. Matanya
menatap ketakutan pada Pendekar Gila yang meng-
garuk-garuk kepala.
“Jangan! Jangan lakukan itu…!” ratap gadis itu
mengiba.
“Aha, jangan takut, Nisanak! Aku bukanlah
manusia seperti kedua cecurut itu.”
Gadis yang bernama Saka Wuri itu memperhatikan
Pendekar Gila penuh seksama. Sepertinya berusaha
meyakinkan dirinya kalau pemuda tampan bertingkah
seperti orang gila itu benar-benar hendak me-
nolongnya.
Benarkah omongannya? Tanya Saka Wuri dalam
hati. Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi,
pakaiannya bagus mirip seorang pendekar.
Mungkinkah dia pendekar yang sering disebut-sebut
sebagai Pendeka Gila?
“Aha, mengapa diam saja? Ayo, biar kuantar
sampai ke rumahmu!” ujar Sena menawarkan jasa.
Pendekar Gila tidak ingin gadis itu kembali
mengalami musibah, diseret dan hendak diperkosa
seperti yang baru saja dialami gadis itu. Kalau saja
dirinya tidak segera datang, entah bagaimana nasib
gadis itu
“Tuankah yang sering disebut Pendekar Gila?”
tanya Saka Wuri.
“Aha, terlalu tinggi julukan itu, Nisanak. Sudahlah
yang jelas kau harus pulang! Apakah kau ingin kedua
cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?”
Saka Wuri segera bangun dari duduknya,
kemudian dengan malu-malu melangkah diiringi
Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa Kalasan,
tempat Saka Wuri tinggal.
Setelah sampai di rumah, Saka Wuri pun men-
ceritakan pada Pendekar Gila dan ayahnya mengapa
dirinya sampai hendak diperkosa Dua Landak Hutan
Dadap Wangi. Saka Wuri pagi itu hendak mandi di
pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari belakang
orang menyekap mulutnya. Dia hendak berteriak,
namun kedua orang itu telah membawanya pergi
sebelum terlebih dahulu menotoknya.
Sesampainya di Hutan Dadap Wangi, keduanya
lalu membuka totokan di tubuh Saka Wuri dan
berusaha menggagahi dirinya. Beruntung sebelum
perkosaan terjadi, Pendekar Gila telah datang.
Setelah mendengar penuturan Saka Wuri,
Pendekar Gila pun bermaksud pamit untuk
meneruskan pengembaraannya.
“Mengapa tidak menginap dulu di sini, Tuan?” kata
Saka Wuri berusaha mencegah Pendekar Gila agar
tidak segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa
ngobrol lama dengan pemuda tampan bertingkah
laku seperti orang gila itu.
“Benar, Tuan. Kenapa tidak menginap barang satu
malam. Kami ingin mengenalmu lebih dekat,”
sambung Ki Kalaban. Lelaki tua berpakaian adat
Jawa Timur itu tampak senang atas telah kembalinya
anak gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda
tampan yang telah diketahuinya sebagai Pendekar
Gila.
“Ah ah ah.... Terima kasih, Ki! Sebenarnya aku pun
ingin menginap di sini. Desa Kalasan sangat damai
dan nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang
memerlukan pertolongan dariku...,” ujar Sena
menolak dengan halus.
“Hendak ke manakah tujuan Tuan?” tanya Ki
Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang sangat berterima
kasih pada Pendekar Gila, berusaha membalas jasa
kebaikan Pendekar Gila.
“Ah! Entahlah, Ki. Kurasa langkah kaki tergantung
hasrat hati melangkah. Di mana kemauan berkata, di
sana aku melangkah,” jawab Pendekar Gila.
Ki Kalaban terdiam. Sulit baginya untuk berusaha
membalas jasa atas kebaikan pendekar muda itu.
Sementara Saka Wuri masih memperhatikan pemuda
tampan yang telah menolongnya. Tak jemu-jemunya
gadis cantik bergaun kuning dengan rambut diikat
ekor kuda itu memandangi wajah Pendekar Gila. Ada
perasaan aneh yang terselip di relung hatinya.
Perasaan yang selama ini belum pernah muncul
dalam hati.
“Tuan! Kalau boleh, izinkanlah aku berbakti
padamu!” ujar Saka Wuri memohon.
Pendekar Gila tertawa bergelak sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian pemuda tampan itu nyengir
sambil menggeleng-geleng kepala.
“Ah! Tak usah berlaku begitu, Dik Wuri! Kini, aku
mohon pamit,” kata Sena.
Kemudian setelah menjura, Pendekar Gila segera
meninggalkan rumah Kepala Desa Kalasan untuk
meneruskan pengembaraannya. Menegakkan
kebenaran dan keadilan di atas muka bumi ini.
***
3
Desa Pasut Piring yang terletak di sebelah selatan
Bukit Selaparang, nampak tenang malam itu. Sebuah
bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran
rumah biasa, berdiri megah di bagian timur desa.
Rumah besar dan megah yang semuanya diukir indah
itu milik Sumantri. Dia dikenal sebagai juragan yang
paling kaya di desa itu.
Saat itu, malam yang sunyi menyelimuti bumi. Di
ruang tengah rumah yang dijaga ketat empat orang
bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Lelaki yang tak
lain Sumantri, malam itu masih merenungkan apa
yang kemarin dialaminya.
Di hadapannya duduk empat orang dari rimba
persilatan. Tiga lelaki berwajah garang dan satu lagi
seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun. Keempat orang rimba persilatan itu merupa-
kan tangan kanan, sekaligus pengawal pribadi
Sumantri.
Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh
tahun. Berambut gondrong awut-awutan dan kepala-
nya terikat kain warna hijau tua. Matanya tajam dan
garang. Hidungnya besar dan beralis mata lebat.
Kumis tebal yang menghiasi bibirnya semakin me-
nunjukkan kegarangannya. Lelaki berpakaian hijau
tua lengan panjang itu bernama Jalna Kumilang atau
Hantu Hijau dari Gunung Bangau.
Orang kedua memiliki rambut dibuat ekor kuda.
Alis mata tebal dengan hidung pesek menyerupai
kera dengan cambang bauk lebat. Tubuhnya agak
gemuk dan pendek. Pakaian yang dikenakan ber-
warna merah. Dia bernama Sugatra.
Di sampingnya merupakan adik seperguruan
Sugatra yang bernama Sugatri. Lelaki berusia sebaya
dengan Sugatra sekitar tiga puluh lima tahun itu,
memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti
kakaknya, pesek hampir menyerupai hidung kera.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk seperti Sugatra.
Di punggung kedua lelaki berpakaian merah itu
tersampir senjata berupa golok. Mereka berdua ber-
juluk Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena
golok mereka dapat mengeluarkan sinar biru.
Sedangkan yang terakhir seorang wanita muda
dan cantik. Berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Bergaun merah hati dengan rambut dikepang dua.
Dia nampak tidak memegang senjata, karena senjata
yang digunakannya berupa selendang warna ungu
yang terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih
dikenal dengan julukan Iblis Selendang Ungu.
“Tuan Sumantri, kami lihat sejak tadi Tuan nampak
termenung. Kalau boleh kami tahu, apa gerangan
yang telah membebani pikiran Tuan...?” tanya Jalna
Kumilang. Orang paling tua di antara keempat tangan
kanan Sumantri.
“Benar, Tuan. Mengapa Tuan bermuram durja.
Sepertinya, setelah pulang dari Danau Sambak
Neraka ada sesuatu yang Tuan pikirkan. Adakah
sesuatu yang mengganjal pikiran dan hati Tuan?”
sambung Sugatra.
Sumantri menarik napas dalam-dalam. Dihempas-
kan napasnya panjang-panjang. Tatapan matanya
menerawang ke atas, memandang ke genteng
rumahnya.
“Hhh!” desah Sumantri. “Apa yang kalian duga
memang benar.”
Keempat tangan kanan Sumantri saling pandang.
Namun mereka masih diam, karena memang belum
tahu apa yang membuat majikan mereka kelihatan
murung terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-
tanya. Mungkinkah majikan mereka melihat
Anjasmara dan Sambi?
“Tuan, kalau boleh kami tahu. Hal apakah yang
membuat Tuan bermuram durja?” tanya Sugatri
memberanikan diri, setelah lama terdiam.
“Apakah Tuan Sumantri melihat Anjasmara dan
Sambi?” sambung Iblis Selendang Ungu dengan
senyum menggoda.
“Bukan masalah Anjasmara dan Sambi yang
membuatku gelisah dan terus berpikir,” sahut
Sumantri seraya bangkit dari duduknya, berjalan ke
pintu rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang
pintu, memandang lepas ke luar.
“Lalu apa yang menjadikan Tuan nampak
murung?” tanya Jalna Kumilang seraya menatap
majikannya yang masih diam berdiri di ambang pintu.
Sumantri menghela napas dalam-dalam, berbalik
ke arah meja. Keempat tangan kanannya tampak
masih duduk di kursi masing-masing. Sumantri
kembali duduk.
“Kemarin aku melihat sesuatu di Pulau Karang Api.
Seorang bocah bertubuh penuh sisik dengan lidah
bercabang. Sebelumnya aku bermimpi, kalau bocah
itu merupakan bocah sakti. Siapa pun yang men-
dapatkan bocah itu, akan merajai dunia persilatan.
Nah, aku ingin mendapatkan bocah itu. Siapa pun
yang mendapatkannya, akan kuberi separo dari harta
kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian
menyebar sayembara!” kata Sumantri menerangkan.
“Kalau memang itu yang Tuan inginkan, kami siap
melaksanakannya,” sahut Iblis Selendang Ungu.
“Ya! Malam ini juga, kami laksanakan,” sambut
Sugatra.
Sumantri tersenyum mendengar kesanggupan
empat anak buahnya, yang menunjukkan kesetiaan
mereka terhadapnya. Kepalanya diangguk-anggukkar
dengan bibir masih tersenyum.
“Tidak usah terburu-buru! Kalian bisa melaku-
kannya besok. Malam ini, kalian tulis isi sayembara
itu,” perintah Sumantri.
“Apa yang mesti kami tulis?” tanya Jalna Kumilang.
“Barang siapa yang bisa mendapatkan bocah
bertubuh penuh sisik, akan diberi hadiah sebagian
dari hartaku,” kata Sumantri menjelaskan isi
sayembara yang hendak ditulis anak buahnya itu.
“Baiklah, kami akan segera membuatnya,” kata
Jalna Kumilang.
Setelah semuanya disepakati, Sumantri dan
keempat anak buahnya pun meninggalkan ruang
pertemuan untuk melakukan apa yang hendak
mereka lakukan.
Sumantri masuk ke kamarnya. Di dalam kamar itu,
seorang gadis cantik berkebaya merah muda tengah
terbaring di tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya
nampak masih menggambarkan kepolosan itu tengah
menangis. Seketika dia tersentak bangun ketika pintu
kamar dibuka. Matanya menatap ketakutan, ber-
campur rasa benci pada Sumantri.
“Cah ayu, kenapa kau masih bersikap dingin?
Ayolah, malam ini aku ingin sekali menikmati tubuh-
mu,” ujar Sumantri sambil melangkah mendekat.
Gadis itu pun tampak semakin ketakutan.
“Tidak! Aku tidak mau...!” seru gadis cantik itu
dengan wajah ketakutan. “Bajingan! Kau benar-benar
bajingan! Kembalikan aku ke desaku...!”
Sumantri tersenyum sinis sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kakinya melangkah mendekat ke
tempat tidur. Gadis yang mengingatkannya pada
Sambi, semakin bertambah ketakutan. Tubuhnya ber-
ingsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap
ketakutan ke wajah Sumantri yang masih tersenyum.
“Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau harus menjadi
istriku,” kata Sumantri. Kemudian dengan penuh
nafsu, Sumantri segera menubruk gadis cantik yang
wajahnya memang mirip dengan Sambi.
“Auw! Tidak...!” teriak gadis cantik berkebaya
merah muda yang bernama Delimasari, berusaha
mengelak. Matanya semakin ketakutan. Namun,
Sumantri yang sudah bernafsu sekali tak hanya diam
sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya
Delimasari, semakin bertambah nafsu lelaki bertubuh
kekar itu.
“Mau lari ke mana, Cah Ayu? He he he...!”
Sumantri yang sudah dibakar nafsu iblis, terus
mendekap tubuh Delimasari yang terus berontak dan
meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak,
semakin bertambah menggelegak nafsu Sumantri.
Bret!
“Auw!” Delimasari terpekik, ketika kebaya merah
mudanya direnggut hingga sobek. Tampaklah pundak
kuning mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak
penuh nafsu. Apalagi ketika kebaya gadis itu terlepas
karena tetap ditarik tangan Sumantri.
“He he he...!” Sumantri tertawa terkekeh.
Kemudian kembali menubruk tubuh Delimasari.
Gulatan antara keduanya pun terjadi. Akhirnya
Sumantri yang sudah bernafsu, mampu menguasai
tubuh Delimasari yang lemah. Meskipun meronta-
ronta sekuat tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi
nafsu iblis Sumantri.
Delimasari hanya mampu menangis, meratapi
nasibnya yang buruk. Kekecewaan, dendam, dan
marah beraduk menjadi satu di hatinya. Keterlaluan
sekali kedua orangtuanya, yang telah menyerahkan
dirinya pada lelaki bajingan seperti Sumantri.
Padahal Delimasari telah memiliki pemuda pujaan
hatinya yang saling mencintai. Namun dengan
kedatangan Sumantri meminangnya, tak mungkin
cinta mereka dilanjutkan. Itulah yang menjadikan
Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski Sumantri
gagah, namun Delimasari tidak suka dengan
perbuatan lelaki itu yang selalu ingin menang sendiri.
***
Sayembara yang diadakan Sumantri ternyata
ditanggapi orang-orang dari kalangan persilatan.
Mereka sebagian tertarik dengan hadiah yang
ditawarkan Sumantri. Namun ada juga yang merasa
tertarik dengan berita tentang bocah aneh bertubuh
penuh sisik dan memiliki kesaktian. Barang siapa
menguasai anak ini akan dapat menjadi orang sakti!
Dua orang muda berparas elok dengan pedang di
pundak melangkah menyelusuri jalan menuju
Lembah Neraka. Yang pemuda berwajah tampan
dengan rambut terurai panjang. Sosok tubuhnya
tegap dan tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung
mancung. Kumis tipis menghias di atas bibirnya. Dia
bernama Sarawendo.
Seorang lagi, wanita muda dan cantik. Rambutnya
berombak dengan hidung mancung dan dagu
berbentuk indah. Dia bernama Saraswati. Keduanya
memakai pakaian biru yang panjangnya sampai ke
lutut. Mereka adalah sepasang suami istri yang
terkenal dengan julukan Dewa-Dewi Paras Elok.
Wajah mereka memang tampan dan cantik jelita,
mirip dengan dewa dan dewi dari kahyangan. Bukan
hanya kecantikan dan ketampanan mereka saja yang
membuat orang kalangan persilatan merasa kagum.
Ilmu pedang keduanya juga sangat tersohor.
Terutama dengan jurus 'Sepasang Pedang Memburu
Hati', yang merupakan jurus pamungkas bagi mereka.
Sulit bagi lawan-lawan mereka untuk melepaskan diri
dari serangan keduanya.
Dewa-Dewi Paras Elok melangkah menuju Lembah
Akherat sehubungan dengan keikutsertaan mereka
dalam sayembara yang diadakan Sumantri. Sebenar-
nya tujuan mereka bukan mencari kekayaan. Mereka
hanya ingin membuktikan kebenaran yang mereka
baca dari pengumuman seyembara itu.
Sebagai pendekar, keduanya memang selalu ingin
membuktikan kebenaran suatu berita. Apalagi berita
yang dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa
menguji sampai di mana ilmu mereka. Di samping
berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan,
keduanya juga ingin menimba pengalaman yang lebih
banyak di rimba persilatan.
“Kakang, apa benar jalan yang sedang kita tuju?”
tanya Saraswati.
“Entahlah! Aku juga kurang begitu paham daerah
sekitar tempat ini,” jawab Sarawendo sambil meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling daerah itu.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya
hamparan petak-petak sawah.
Saat itu, keduanya tengah memasuki wilayah Desa
Tarub, yang sepertiga bagian wilayahnya merupakan
petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang
sebagian besar bercocok tanam, karena letak desa
mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga atau
nelayan. Karena tak ada aliran sungai, maupun
tempat berjualan yang ramai. Hanya ada pasar kecil
di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-
waktu tertentu.
“Bagaimana kita bisa sampai ke Lembah
Akherat?” gumam Saraswati agak cemas. Meski
mereka tidak bertujuan mendapatkan salah satu
kemungkinan antara harta dan anak sakti itu,
keduanya merasa penasaran dan ingin melihat
seperti apa bocah sakti yang telah mengundang
banyak tokoh rimba persilatan berdatangan untuk
mendapatkannya.
Sarawendo menghela napas panjang. Matanya
memandang ke sekelilingnya yang masih merupakan
hamparan persawahan. Dia berusaha mencari salah
seorang petani yang dapat memberi petunjuk arah.
“Nah! Itu ada dua orang petani! Bagaimana kalau
kita tanyakan pada mereka...?” ajak Sarawendo.
“Ayolah,” jawab Saraswati. Langkah keduanya
segera dipercepat untuk dapat mengejar kedua
petani yang berjalan di depan. Sesaat kemudian,
keduanya sudah berada di dekat kedua petani itu.
“Sampurasun...!” sapa sepasang suami istri itu
dengan ramah, yang menjadikan kedua petani itu
menghentikan langkahnya. Keduanya membalikkan
tubuh memandang ke arah sepasang pendekar cantik
dan tampan.
“Rampes...!” sahut kedua petani itu berusaha
ramah.
“Ada apa gerangan kalian berdua mengejar kami?”
tanya lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun
dengan wajah tampak sabar. Kumis yang memutih
menghias di atas bibirnya. Matanya menatap tajam
sepasang pendekar itu.
“Maaf, Ki!” kata Sarawendo. “Namaku Sarawendo
dan ini istriku Saraswati. Kami ingin bertanya, ke arah
mana kami harus melangkah agar sampai ke Lembah
Akherat?”
“Benar, Ki. Kami hendak ke sana,” Saraswati
menimpali sambil tersenyum.
Kedua petani itu seketika mengerutkan kening,
mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasangan
muda berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak
percaya, kalau pasangan muda berwajah elok itu
bertujuan ke tempat yang sangat dikeramatkan
penduduk desa-desa sekitar Danau Sambak Neraka.
Tak seorang pun yang berani pergi ke Danau
Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada sepasang pendekar
yang bermaksud pergi ke Danau Sambak Neraka.
Meski keduanya tidak menyebutkan nama Danau
Sambak Neraka, kedua petani itu telah maklum kalau
sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain
Danau Sambak Neraka. Hal itu dapat diketahui
karena danau itu berada di wilayah Lembah Akherat.
Seperti apa tempat itu? Siapa pun yang akan
datang ke tempat itu niscaya bagaikan hendak
menuju ke akherat saja.
“Ke Lembah Akherat?” tanya petani yang berusia
di bawah petani yang satunya. Petani ini berambut
hitam. Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek
matanya lebar. Mulutnya agak lebar dengan bibir
tebal.
“Benar. Ada apakah hingga Kisanak nampak
kaget?” tanya Saraswati dengan kening berkerut,
menyaksikan tanggapan kedua petani itu ketika
menceritakan tentang tujuannya.
“Aduh, kami harap kalian jangan ke sana! Lebih
baik kalian pulang saja!” saran petani yang lebih tua.
Hal itu membuat Dewa-Dewi Paras Elok semakin
mengerutkan keningnya.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Saraswati ingin
tahu.
“Kami mengharap, urungkan saja niat kalian ke
Lembah Akherat!” tegas lelaki berkumis putih itu.
Dewa-Dewi Paras Elok saling pandang dengan
kening berkerut. Mereka semakin tidak memahami
apa maksud kedua petani itu melarang mereka.
Belum juga keduanya sempat bertanya, petani yang
lebih muda malah menambahkan.
“Kasihan kalau kalian yang tampan dan cantik
harus menerima kemalangan!”
“Kemalangan? Maksudmu, Ki?” tanya Sarawendo
masih belum memahami kata-kata petani itu.
Matanya menatap tajam petani muda itu.
“Ya! Sangat berbahaya jika kalian ke tempat itu.
selama ini, tak seorang pun yang berani pergi ke
Danau Sambak Neraka. Bukankah kalian hendak ke
sana...?” balik tanya petani tua yang bernama Ki
Maeskarya.
“Benar, Ki?” sahut Saraswati
“Ah, urungkanlah niat kalian! Sia-sia saja kalian ke
tempat itu,” ujar Ki Wadul, petani yang lebih muda.
“Terima kasih atas nasihat kalian! Tapi kami tetap
hendak ke tempat itu. Kalau kalian tahu jalannya,
sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,”
pinta Sarawendo.
Kedua petani itu kembali saling berpandangan
dengan kening berkerut. Mereka tidak menyangka,
kalau kedua pasangan muda ini akan nekat ke
tempat itu.
“Apakah telah kalian pikirkan semuanya?” tanya Ki
Maeskarya.
“Sudah, Ki,” jawab Dewa Dewi Paras Elok
bersamaan.
Ki Maeskarya dan Ki Wadul menghela napas berat.
Sepertinya kedua orang petani itu merasa sayang jika
kedua pasangan berwajah elok itu harus menemui
ajal sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata,
rupanya kedua sejoli itu telah membulatkan tekad
untuk datang ke tempat yang sangat keramat dan
paling ditakuti penduduk di sana. Bahkan mungkin
para dewa pun akan segan ke tempat itu.
Meski mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya
penghuni Pulau Karang Api yang ada di tengah-tengah
Danau Sambak Neraka, selama turun-temurun
mereka tak pernah berani menjarah tempat tersebut.
“Baiklah, kalau memang itu yang kalian kehendaki.
Berjalanlah ke selatan. Di sana, sekitar setengah hari
perjalanan, kalian akan mendapatkan lembah yang
dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat.
Kemudian sekitar seratus tombak dari Lembah
Akhirat itu, kalian akan melihat Danau Sambak
Neraka. Hati-hatilah!” kata Ki Maeskarya meng-
ingatkan.
“Terima kasih atas petunjukmu, Ki,” kata
Sarawendo.
Kemudian setelah menjura kepada kedua petani
yang telah memberi petunjuk dan peringatan, Dewa
Dewi Paras Elok segera melesat cepat menuju ke
Lembah Akherat tempat Danau Sambak Neraka
berada.
“Hah?!” Ki Maeskarya terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala melihat gerakan mereka.
“Dilihat dari gerakan, pakaian dan senjata yang
disandang mereka, tampaknya kedua orang itu
pendekar, Ki,” gumam Ki Wadul seraya menggeleng-
gelengkan kepala.
“Ya!” desah Ki Maeskarya. “Tapi aku belum yakin,
apakah mereka akan selamat di Danau Sambak
Neraka.”
Sesaat keduanya terdiam. Mata keduanya mata
memperhatikan kedua sejoli yang berlari begitu cepat
menuju ke arah Lembah Akherat yang bagi mereka
sangat mengerikan. Nampaknya kedua pendekar itu
menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi,
sehingga dalam sekejap saja keduanya telah berada
jauh sekali. Bahkan sesaat kemudian telah sampai di
Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut pedang
dari warangka masing-masing.
Sret! Sret!
“Kita telah sampai, Dinda. Mungkin inilah yang
dinamakan Danau Sambak Neraka. Dan pulau yang
menyala itu, tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau
itu dihuni bocah sakti itu,” ujar Sarawendo.
“Ya! Kita harus hati-hati, Kakang,” sahut Saraswati.
Dewa-Dewi Paras Elok kini melangkah perlahan.
Setapak demi setapak kaki mereka melangkah,
meyusuri Lembah Akherat yang sepi dan mencekam.
Meski lembah itu terang karena tak ada pepohonan,
namun jika ingat akan kematian mengerikan sepuluh
resi dari Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras
elok harus waspada.
Baru beberapa langkah kaki mereka maju, tiba-
tiba angin bertiup dengan kencang laksana mem-
badai. Angin itu menuju ke arah mereka, berusaha
menerbangkan tubuh keduanya.
“Awas, Dinda! Ini serangan pertama..!” seru
Sarawendo mengingatkan Istrinya. “Kita satukan
pedang kita dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...!”
“Mari Kakang! Heaaa…!
Trang!
Dengan menyilangkan kedua pedang, keduanya
berusaha menahan serangan dahsyat berupa angin
yang tiba-tiba berhembus kencang itu. Dari kedua
pedang yang menyilang, keluar sinar pelangi
bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu
seketika mendesak angin yang membadai dahsyat
itu.
“Heaaa...!”
Wusss!
Angin yang membadai seketika lenyap dengan
sendirinya. Sedangkan sinar pelangi itu tampak masih
bergulung-gulung di udara tak tentu arah.
“Arahkan ke Pulau Karang Api itu, Kakang!” ajak
Saraswati.
“Bagaimana kalau sinar itu membunuh bocah yang
kita cari?” tanya Sarawendo.
Saraswati terdiam. Apa yang dikatakan suaminya
memang beralasan. Mereka datang ke tempat itu
semata-mata untuk membuktikan kebenaran ucapan
para tokoh persilatan, juga berita sayembara
Sumantri.
Setelah mendapatkan serangan pertama, mereka
merasa yakin kalau apa yang diceritakan Sumantri
tentu ada benarnya.
“Kita tarik saja dulu, Dinda.”
“Baiklah,” sahut Saraswati.
Baru saja keduanya hendak menarik mundur
serangannya, tiba-tiba serangkum sinar melesat
cepat ke arah mereka. Secepat itu pula, mereka
merasa hembusan hawa panas membakar tubuh.
Mereka berusaha sekuat tenaga mempertahankan
diri, tapi tiba-tiba serangkum sinar itu bergerak
menyambar ke dada mereka dengan cepat.
Slats...!
Cras! Cras!
“Aaa...!”
Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok terjungkal dengan
dada tergores penuh luka. Puluhan jarum beracun
menancap di dada mereka. Tanpa ampun, mereka
langsung meregang nyawa dan mati!
Lembah Akherat kembali sepi. Hanya serangkum
sinar membara yang bergerak seperti cambuk itu
yang masih melesat cepat ke arah Pulau Karang Api,
kemudian menghilang di sana.
***
4
Siang itu udara terasa sangat panas. Langit bersih
tanpa awan. Terik matahari terasa menyengat.
Beruntung sesekali angin bertiup semilir, membuat
suasana agak terasa sejuk. Apalagi jika berada di
bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa
ngantuk.
Hutan Kawi-kawi yang berada di sebelah barat
Pegunungan Punakawan juga tertimpa teriknya
mentari siang itu. Sebatang pohon beringin yang
sangat rindang, tumbuh di tepi Hutan Kawi-kawi. Di
bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda
tampan, berpakaian rompi kulit ular.
Pemuda tampan yang tidak lain Pendekar Gila,
siang itu tampaknya tengah menikmati semilirnya
angin yang sejuk sambil menyuarakan tiupan merdu
Suling Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu pujaan
pada alam yang ada di sekitarnya.
Semilir angin terus mengimbangi suasana teriknya
mentari yang semakin menggarang. Sementara itu
dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok
bayangan merah berlari dengan cepat. Bayangan
merah itu melintas sekitar dua batang tombak
jauhnya di sebelah kiri Sena. Seketika sosok
bayangan merah itu berhenti ketika matanya melihat
Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya.
Bayangan merah itu tak lain Serigala Merah. Lelaki
berbadan tinggi tegap dengan senjata sepasang golok
besar itu mengerutkan kening dan menghampiri
Pendekar Gila.
“O, rupanya kita bertemu lagi, Sena. Apa kabar?”
sapanya ramah sambil melangkah mendekat. Setelah
dekat, Serigala Merah menjura hormat.
Sena yang tengah meniup sulingnya, segera
menghentikan tiupannya, ketika melihat Serigala
Merah menjura. Dia segera bangun dari duduknya,
kemudian balas menjura pada Serigala Merah.
“Aha, ada apa gerangan sampai kau berlari-lari
seperti itu, Serigala Merah?” tanya Sena sambil
menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Serigala Merah tidak segera menjawab. Keningnya
berkerut dan matanya menatap heran pada Pendekar
Gila.
“Apakah kau belum mendengar tentang
sayembara berhadiah besar, Sena?”
“Ah ah ah...! Rupanya ada sayembara lagi,” gumam
Sena sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepala.
“Benar. Kali ini hadiahnya sangat menarik, Sena.”
“Benarkah?”
“Ya!” sahut Serigala Merah.
“Aha, kalau boleh aku tahu, hadiah macam apakah
yang dijanjikan? Dan sayembara macam apa yang
tengah dilaksanakan itu?” tanya Sena sambil
cengengesan. Pandangannya menyapu ke sekeliling
pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak ke
langit, yang nampak biru dan bersih tak bernoda.
Dari arah utara, nampak sekawanan burung
pemakan bangkai berkaok keras membelah angkasa
bim. Burung-burung itu terbang mengepakkan
sayapnya ke selatan, sepertinya di sana ada makanan
yang sangat memuaskan.
“Kau tertarik, Sena?” Serigala Merah balik tanya.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dengan cengengesan kepalanya
mengangguk, walau sebenarnya bukan karena hadiah
yang inginkan. Dia hanya ingin tahu sayembara
macam apa yang diceritakan Serigala Merah.
“Ah, dari tadi tidak kulihat Bidadari Pencabut
Nyawa. Ke manakah...?” tanya Serigala Merah.
Matanya mencari-cari ke sekeliling tempat itu, tapi dia
tidak juga menemukan Mei Lie. “Bukankah Bidadari
Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?”
Sena tertawa terbahak-bahak. Tingkah laku yang
seperti kera kembali muncul. Berjingkrak sambil
menggaruk kepala dan menepuk-nepuk pantat
“Aha, rupanya pandanganmu cermat sekali, Srigala
Merah!” ujarnya bergumam. “Dia memang tidak ikut”
“Hm, kenapa? Apakah dia sakit?” tanya Serigala
Merah.
“Ah, tidak. Aku ingin berjalan seorang diri
sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan kita jadi
melantur, Serigala Merah?” sahut Sena.
“Ah, benar. Apa yang tadi kau tanyakan padaku...?”
tanya Serigala Merah.
“Mengenai sayembara dan hadiahnya,” jawab
Pendekar Gila. “Ah, mengapa kau jadi pikun begitu
Serigala Merah? Hi hi hi...! Lucu, kau lebih tepat
menjadi Serigala Pikun dan Tua.”
Serigala Merah yang sudah tahu tabiat dan watak
Pendekar Gila malah tertawa mendengar ejekan
Pendekar Gila barusan.
“Ya ya, kau benar, Sena. Memang lebih pantas
kalau julukanku Serigala Tua Pikun. Ha ha ha...!”
Seketika tepian Hutan Kawi-kawi yang semula sepi
menjadi riuh oleh suara gelak tawa dari keduanya.
Sampai-sampai burung yang sedang bertengger di
ranting-ranting pohon beterbangan, karena kaget.
“Ah, jangan terlalu bertele-tele, Serigala Tua! Hi hi
hi...! Ayo, katakanlah sayembara macam apa dan apa
hadiahnya?” tanya Pendekar Gila setelah tawanya
berhenti.
Serigala Merah tersenyum. Kemudian segera
menceritakan semua yang didengar dan dibacanya
pada selebaran yang dipasang di beberapa tempat.
Selebaran yang dikeluarkan oleh Saudagar Sumantri
itu berisikan tentang sayembara besar dengan hadiah
yang sangat menggiurkan.
“Saudagar Sumantri menawarkan pada semua
pendekar baik dari aliran putih maupun hitam hadiah
yang cukup besar. Dia memberikan separo harta
kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah
sakti yang ada di Pulau Karang Api,” tutur Serigala
Merah mengakhiri ceritanya.
“Aha, sebuah berita yang menarik!” seru Sena.
“Kau tertarik, Sena?”
“Tertarik! Ah... ya ya! Aku tertarik. Tapi aku tidak
suka dengan hadiahnya. Aku hanya tertarik ingin tahu
kebenaran berita tentang bocah sakti itu,” jawab
Sena.
“Bagaimana kalau kita ke sana?” ajak Serigala
Merah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti merasakan sesuatu.
“Ah, kurasa aku belum ingin ke sana, Serigala
Merah. Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah! Nanti
jika aku telah berpikir ke sana, aku akan segera
menyusulmu. Di mana kau berada nanti?” tanya Sena
“Entah. Tapi mungkin aku akan berada di daerah
terdekat dengan tempat bocah sakti itu berada.”
Setelah saling menjura, Serigala Merah segera
meninggalkan tepian Hutan Kawi-kawi, berlari ke arah
tenggara menuju tempat yang tadi dikatakannya.
Pendekar Gila nampak masih berdiri di bawah
pohon beringin yang rindang. Wajahnya nampak
nyengir, memandang ke angkasa. Matahari bersinar
dengan teriknya, seperti hendak memanggang bumi.
“Aha, mengapa aku diam di sini?” gumam Sena
mengalihkan pandangannya ke selatan. Di sana
tampak Gunung Petruk menjulang tinggi. Sena masih
pikir-pikir, hendak ke arah manakah kakinya berjalan.
Apakah hendak berjalan ke arah tenggara menyusul
Serigala Merah? Atau hendak ke selatan, ke Gunung
Petruk?
Belum juga Sena sempat menentukan tujuan
nampak dari arah barat tiga orang lelaki berjalan
menuju arahnya. Tiga lelaki berpakaian kuning itu
tampak berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada
sesuatu yang mendorong mereka mempercepat
langkah.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, melihat
ketiga lelaki berpakaian kuning itu. Apalagi ketika
tahu kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan
orang-orang sesat.
“Hm, ada apa kiranya? Nampaknya Tri Pakit
Palimping juga hendak menuju ke arah yang tadi
dituju Serigala Merah,” gumam Sena.
Apa yang diduganya benar juga. Tri Pakit
Palimpingkini dengan terburu-buru dan mempercepat
langkah kaki mereka setelah melihat Pendekar Gila
berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki
berpakaian kuning itu tampak segan jika bertemu
dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka
bergegas meninggalkan tempat itu dengan setengah
berlari.
Sena tertawa-tawa menyaksikan ketiganya yang
tampak segan padanya. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan bibir masih tersenyum-senyum.
“Sebaiknya aku ke sana, agar bisa melihat apa
yang terjadi...,” kata Sena. Kemudian dia pun
melangkah meninggalkan tempat itu, menuju arah
tenggara menyusul Serigala Merah dan Tri Pakit
Palimping.
Angin siang berhembus perlahan, menambah rasa
kantuk semakin menyekat. Gemerisik daun kering
terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu
beterbangan, dihembus angin yang cukup kencang.
Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok akhirnya
terdengar. Keduanya dikabarkan telah binasa di
Lembah Akherat. Hal itu cukup mengejutkan para
pendekar yang hendak menuju ke lembah tersebut.
Mereka kini berpikir lagi. Sepertinya mereka tidak
ingin mengalami nasib yang dialami Dewa-Dewi Paras
Elok.
Di sebuah kedai yang terletak di sebelah barat
Desa Kalimas, nampak berkumpul para pendekar,
baik dari aliran lurus maupun sesat. Kedai itu cukup
besar, sekitar sepuluh tombak di samping kedai itu,
ada sebuah penginapan yang cukup luas. Sehingga
bagi mereka yang hendak menginap, tinggal berjalan
beberapa langkah saja. Beberapa orang pendekar
pun telah berada di penginapan itu.
Di kedai itu, nampak Serigala Merah, Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu, Nyi Rawit Abang dan Ki Braga
Kumba, Tri Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar
lainnya.
“Kurasa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri-
sendiri,” kata Serigala Merah.
“Memang benar,” sahut Nyi Rawit Abang. “Kurasa
kita harus bersatu untuk mendapatkan Bocah Sakti
itu.”
“Tidak bisa!” bantah lelaki berbadan besar dengan
kepala botak di atasnya. Dia salah seorang dari Tiga
Pakit Palimping. “Kami bertiga, mengapa harus takut
menghadapi Penghuni Pulau Karang Api?”
“Aha, benar juga katamu, Kisanak. Kami bertujuh
mengapa mesti takut pada penghuni Pulau Karang
Api?” timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia
adalah salah satu anggota Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu memang memakai
pakaian berbeda.
Orang pertama yang tadi berbicara bernama
Sadra. Berbadan tegap dengan wajah bengis dihiasi
cambang bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak
terlalu panjang. Hidungnya besar dengan mata lebar.
Orang kedua yang memakai pakaian merah muda
bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi, gagah, dan
tegap, hidungnya kecil, namun tidak mancung.
Rambutnya lurus dengan ikat kepala merah muda.
Begitu juga dengan yang lainnya, memiliki ciri
tersendiri dengan keadaan yang lain. Namun watak
mereka sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang
datang dari sarang hantu.
Serigala Merah mendengus, begitu juga dengan Ki
Rawit Abang serta Ki Braga Kumba. Kemudian
setelah membayar semua yang dia pesan, Serigala
Merah pun meninggalkan kedai untuk meneruskan
perjalanannya menuju Lembah Akherat yang sudah
tak begitu jauh dari Desa Kalimas.
Panas matahari memanggang bumi, namun
Serigala Merah bagaikan tidak menghiraukannya.
Kakinya terus melangkah di jalan berdebu yang
menghubungkan Desa Kalimas dengan Lembah
Akherat.
“Huh! Jauh juga jarak Desa Kalimas dengan
Lembah Akherat,” dengus Serigala Merah sambil
menyeka keringat yang bercucuran karena terik
matahari yang menyengat.
Serigala Merah sesaat menghentikan langkahnya.
Matanya menatap ke sekelilingnya yang sepi. Hanya
hamparan tanah kering berpasir yang tampak
sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul
ke udara.
“Hm, mengapa aku harus lewat dari arah sini?”
keluh Serigala Merah, merasa bahwa jalan yang
dilaluinya ternyata salah. Kini dia harus mengarungi
hamparan pasir yang sangat panas, apalagi dengan
teriknya matahari siang.
Beberapa kali disekanya keringat yang terus
mengalir di dahi, leher dan wajahnya, sambil terus
melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin
putus asa dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia
harus mendapatkan kemenangan dalam sayembara
itu. Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang
kaya.
“Seandainya aku dapat memenangkan sayembara
itu, aku akan menjadi orang kaya. Hhh..., akan
kubangun rumah yang megah untuk hidupku yang
telah lelah ini. Akan kucari istri yang cantik lalu aku
dapat hidup tenang...,” ujar Serigala Merah saja terus
membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah
memenangkan sayembara.
Serigala Merah memang telah merasa jenuh hidup
mengembara menjadi pendekar. Tak pernah ada
urusan duniawi yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat
sekali dapat menikmati sisa hidupnya dalam
ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga, dapat
bersanding bersama istri yang cantik, dengan rumah
yang megah dan mewah.
“Persetan dengan apa yang akan dikatakan
pendekar lain dan orang-orang rimba persilatan,”
gumam Serigala Merah yang merasa selama ini
pengembaraannya tak ada artinya. Pertarungan demi
pertarungan telah dialami. Itu pula yang menyebab-
kan dirinya merasa jemu dengan pengembaraan. Dia
ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan
berkecukupan. Dan itu pula yang menjadikan dia
selama ini senantiasa berusaha mencari sayembara
(Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial
Pendekar Gila dalam episode “Tengkorak Darah”).
Bayangan dapat hidup tenang sebagai orang kaya
itulah yang seketika memacu semangatnya. Semula
hatinya mulai lemah dan hampir putus asa akibat
rasa panas yang menyengat. Kini kembali bergairah.
Langkah-langkahnya yang tadi pendek, kini panjang-
panjang dan lebih cepat. Hatinya berharap segera
sampai di tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa
yang dibayangkan.
“Ha ha ha! Serigala Merah akan menjadi orang
kaya...!” seru Serigala Merah sambil tertawa-tawa.
Kakinya terus melangkah penuh semangat,
menyelusuri jalanan berpasir yang panasnya terasa
sangat menyengat. Namun Serigala Merah tidak
peduli, terus melangkah tanpa mengenal lelah.
Ketika matahari agak condong ke arah barat,
Serigala Merah sampai di tempat yang dituju. Lembah
Akherat yang membentang luas telah ada di
hadapannya.
“Ah, akhirnya aku sampai juga ke tempat yang
kutuju. Hm, tentunya danau itulah yang dimaksud
Danau Sambak Neraka...,” gumam Serigala Merah
berbicara pada diri sendiri.
Serigala Merah kembali melangkah dengan penuh
semangat, berusaha mencapai Danau Sambak
Neraka. Namun tiba-tiba matanya terbelalak ketika
melihat dua ekor naga berwarna merah. Naga itu
secara tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak
matanya merah laksana api yang membara.
“Ghrrrmh...! Ghrrrmh...!”
Suara menggelegar terdengar dari mulut kedua
naga berwarna merah itu.
“Hah?! Tidak salahkah penglihatanku?!” tanya
Serigala Merah dengan mata membelalak, menyaksi-
kan pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua
ekor naga berwarna merah membara laksana
diselimuti api. Kini naga itu memandang ke arahnya
dengan tajam.
“Ghrrrrrh...! Ghrrrrrrh...!''
Kedua naga itu menggeliat-geliat seperti
menampakkan kemarahan. Kepalanya bergerak ke
sana ke mari seperti berusaha mengusir Serigala
Merah dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api
yang terasa sangat panas.
“Ghrrrmh...!”
Slarts...!
“Hah?! Ular setan...!” maki Serigala Merah sambil
melompat mengelakkan hantaman sinar yang keluar
dari kedua naga itu.
Blarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar seketika terdengar,
ketika sinar merah yang keluar dari mulut kedua naga
itu menghantam tanah berpasir. Seketika pasir
berhamburan, membubung tinggi sampai sekitar lima
puluh tombak tingginya.
“Astaga...! Sinar itu bukan sembarangan!” gumam
Serigala Merah dengan mata membelalak. Tangannya
yang semula bersidekap segera menarik sepasang
golok, kemudian dengan cepat disilangkan di depan
dada ketika sinar merah kembali melesat dari mulut
kedua naga itu.
“Ghrrrmh...!”
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah menyembur dari mulut naga
yang tampak murka itu.
“Heaaa...!”
Wut! Trang...!
Terdengar suara benturan yang sangat keras,
diikuti oleh pekikan kaget Serigala Merah. Sinar
merah yang meluncur cepat ke arahnya membentur
goloknya.
“Akh...!”
Serigala Merah segera melepas goloknya yang
membara merah bagai terbakar api. Seketika tangan-
nya dirasakan begitu panas, bahkan seperti melepuh.
Rasa panas itu juga dirasakan di seluruh tubuhnya.
“Edan! Binatang sinting!” maki Serigala Merah
dengan mata melotot garang. “Kalian harus kuhajar
Heaaat...!”
Serigala Merah segera mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi. Kemudian disilangkan di atas
kepala dengan telapak tangan membuka. Setelah itu,
kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas
dalam dalam. Lalu....
“'Brajamukti'! Heaaa...!”
Dengan mengeluarkan suara keras, Serigala
Merah segera menghantamkan pukulan saktinya
yang bernama 'Brajamukti'. Kedua telapak tangan-
nya menghentak keras ke arah kedua naga yang
tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau
Sambak Neraka.
Wut...!
Putaran api yang bergerigi-gerigi melesat dari
pukulan dahsyat Serigala Merah. Putaran api itu
melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya
kedua naga itu mengerti. Sebelum kedua gulungan
sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua
binatang itu menyelam ke dalam air. Hal itu
menjadikan sinar merah bergulung melesat ke Pulau
Karang Api, membentur bagian pulau itu.
Glarrr...!
Sisi sebelah timur Pulau Karang Api runtuh,
terkena hantaman aji 'Brajamukti' yang dilancarkan
Serigala Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau
Karang Api yang belum diketahui siapa adanya,
marah dan dengan gusar terdengar suaranya
membentak.
“Kurang ajar! Ada manusia yang mencari mati
rupanya! Terimalah kematianmu...!”
Sesaat setelah ucapan itu selesai, dari Pulau
Karang Api berhembus angin bergulung-gulung ke
arah Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu
tersentak kaget. Baru kali ini dilihatnya sesuatu yang
mengerikkan. Angin membadai itu, tiba-tiba datang
dari balik Pulau Karang Api.
'“Inti Bayu'...!” pekik Serigala Merah ketika
mengenali ilmu yang kini mengarah ke arahnya.
“Hei?! Bukankah itu ilmu Pendekar Gila?”
Serigala Merah tertegun tak mengerti dengan
semua kejadian di tempat itu. Hatinya benar-benar
heran, mengapa ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila
kini datang dari Pulau Karang Api.
Wusss...!
“Heaaa...!”
Dengan teriakan keras, Serigala Merah bersalto
mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh entah
siapa berupa angin membadai.
“Tidak mungkin! Ilmu ini milik Pendekar Gila,”
gumamnya terheran-heran.
Merasa serangan pertama gagal, sesuatu yang
berada di balik Pulau Karang Api kembali melakukan
serangan dengan ajian lainnya Serigala Merah
kembali terkejut. Ajian yang kini keluar dan
menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan
dikenalnya pula.
“Inti Brahma'...?!” Serigala Merah terpekik kaget,
setelah tahu pukulan yang kini menyerangnya. Tubuh-
nya dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara
api yang membara.
“Pendekar Gila yang menyerangku?”
Serigala Merah berusaha bertahan dari serangan
hawa panas yang menyengat. Hawa panas itu
ditimbulkan oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah
siapa pelakunya. Serigala Merah menyangka kalau
Pendekar Gila pelaku semuanya.
“Tobat, Sena! Jangan kau lakukan ini...!” ratap
Serigala Merah merasakan siksaan yang tak ter-
bendung. Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas
bara api yang membara. Terasa begitu panas,
melebihi panas matahari yang siang tadi
memanggangnya. Malah jauh lebih panas. Sampai-
sampai tubuhnya terasa mulai melepuh.
Belum juga hawa panas itu menghilang, seketika
dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar
laksana cambuk meluncur ke arah Serigala Merah.
Wuuut...!
Clat!
“Tobaaat...!” Serigala Merah melolong tinggi.
Tubuhnya sesaat mengejang, kemudian ambruk
dengan tubuh gosong. Di dadanya terdapat luka-luka
bagai digores pedang. Puluhan jarum beracun
menancap di wajah dan dadanya. Sungguh tragis
kematian Serigala Merah. Harapannya untuk menjadi
orang kaya melayang bersama nyawanya.
Senja yang cerah tampak begitu indah menyelimuti
suasana di sekitar Danau Sambak Neraka. Suasana
itu sangat berbeda dengan keadaan nasib yang
diterima Serigala Merah. Baru saja benaknya di-
penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya
tewas mengenaskan di Lembah Akherat. Matahari
seperti tidak menghiraukan kejadian itu, terus
menyusup di dua gumpalan awan putih di sebelah
barat. Senja pun semakin tua mengantar kepergian
nyawa Serigala Merah.
***
Emoticon