"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami
mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan
kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan.
"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka den-
utama bukan bersenang-senang dengan perempuan!
Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!"
"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua."
"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku
marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!"
Cring!
Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya
yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu
membuat mata ketiga anak buahnya semakin membe-
lalak tegang.
"Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ra-
tap ketiganya hampir bersamaan. Mereka segera men-
cium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung
dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang
keluar dari Pedang Darahnya.
"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami ti-
dak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi
mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas.
"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pen-
dekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso.
"Dapatkah kupegang janji kalian?!" bentak De-
wa Pedang.
"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar
Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ke-
tiganya bersamaan
"Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika da-
lam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuh-
nya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pe-
dang.
"Kami berjanji!"
"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tu-
buh masih bergetar hebat, terbawa oleh kekuatan gaib
Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur
keluar dari warangkanya.
Ketiga anak buahnya langsung berguling me-
nyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan
ketua mereka tak akan diam jika belum menyentuh
darah dan merenggut nyawa.
"Heaaa...!"
Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala,
Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Ma-
tanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di
tempat tidur.
"Tidaaak..!"
Wuttt!"
Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu
cepat memangsa nyawa. Dan....
Crab!
"Aaakh...!"
Pekikan melengking memecah suasana di ruan-
gan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu
terkapar berlumur darah di tempat tidur. Dadanya
yang hancur menyemburkan darah. Seketika nya-
wanya melayang.
Dewa Pedang menarik napas panjang, kemu-
dian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang
tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua
berjubah putih itu meninggalkan tempat itu.
***
Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan
tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya men-
dengar suara jeritan-jeritan dari desa sebelah barat
Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu berada.
"Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila.
"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!"
Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur.
Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Ma-
tanya memandang ke asal suara jeritan itu.
"Tolong! Perampok...!"
"Diam!"
Cras!
"Aaakh...!"
Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara
bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan sen-
jata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di
sebelah utara Hutan Gareng.
"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?"
gumam Sena.
Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas
pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara.
Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan
malam.
Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam
yang seharusnya tenang berubah hiruk-pikuk oleh jeri-
tan ketakutan bercampur dengan kematian.
Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah
ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan
kaum wanita yang dipaksa para perampok untuk men-
gikuti mereka.
"Tolong! Tolooong...!"
Crab!
"Aaa...!"
Pekikan kematian kembali terdengar, memecah
keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh
besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang
gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membe-
baskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa ber-
gelak-gelak dan sesekali menjilati dan menciumi wajah
gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan keta-
kutan.
"Lepaskan! Tolooong...!"
"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang
dari warga. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam
puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan
berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu. "Le-
paskan anakku!"
"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?"
tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyum-
nya menampakkan kesinisan. Kemudian dengan buas,
diciuminya wajah gadis itu.
"Lepaskan, Bajingan!"
"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus
menurut padaku!"
"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki
tua bertubuh kurus tampak berang. Dia segera berge-
rak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, le-
laki tinggi besar berkepala botak itu telah menghan-
tamkan pukulan dengan tangan kirinya.
"Pergilah ke akherat sana! Hih!"
Wusss!
Dugk!
"Akh!"
Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari
mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk
dengan nyawa melayang.
"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki
berkepala botak. Gadis bertubuh langsing dan semam-
pai itu terus meronta. "Lepaskan, Bajingan!"
"He he he...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin
bertambah buas menciumi wajah gadis cantik anak
orang tua yang telah tewas di tangannya.
Gadis berpakaian hijau tua itu terus meronta-
ronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam,
berusaha mengundang amarah lelaki berbadan tinggi
besar yang terus mendekapnya.
"Iblis! Setan laknat, lepaskan!"
"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia me-
mang setan...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda tu-
rut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan
pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini meman-
dang ke sekeliling tempat itu.
"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berke-
pala botak itu gusar.
"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu per-
sis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!"
seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat cepat, dan....
Pletak!
"Aduh!"
Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepa-
lanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepa-
lanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis
itu terlepas.
"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu,
Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti
orang gila itu tahu-tahu telah berdiri tiga tombak di
hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
tertawa cengengesan dengan tangan kanan mengga-
ruk-garuk kepala.
"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pen-
dekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus!
Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak
buahnya. Seketika berdatangan beberapa orang yang
langsung menyerang.
"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue
apem. Baik, majulah! Hua ha ha...!"
Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si
Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang
menyerangnya. Tubuhnya bergerak laksana baling-
baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Sul-
ing Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala
orang-orang yang menyerangnya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wusss!
Pletak!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susul-
menyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang
Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil merin-
gis-ringis memegangi kepala yang benjol dan ber-
denyut-denyut
"Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar
Gila sambil berjingkrak-jingkrakkan seperti seekor ke-
ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala botak
yang menjadi pimpinan para perampok bertambah ma-
rah.
"Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan
suara keras menggelegar.
"Heaaa...!"
Serempak anak buahnya kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut den-
gan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Heaaa...!"
Wusss!
"Wuaaa...!"
Kesepuluh perampok itu seketika lintang-
pukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pen-
dekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian ja-
tuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tubuh mereka
akan hancur berantakan.
Pendekar Gila segera menghampiri salah seo-
rang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar
berkepala botak pimpinan para perampok yang dideka-
tinya.
"Katakan, siapa yang membuat rencana semua
kejahatan ini?" bentak Sena garang.
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi
besar itu.
"Cepat katakan, siapa dalang semua ini?!" ben-
tak Sena.
"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!"
Belum usai lelaki berkepala botak itu menun-
taskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah me-
nancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu se-
gera berlari ke arah sembilan anak buah lelaki berke-
pala botak itu.
Tapi mereka pun telah tewas.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar se-
buah bayangan merah yang berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu.
***
6
Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok
bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang
telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tu-
buh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala
itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila
yang tak ingin kehilangan buruannya, segera menge-
rahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat lak-
sana terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di
depan lelaki berpakaian rompi merah itu.
"Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa
Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia seki-
tar tiga puluh tahun itu.
"Kau...?!" mata lelaki itu membelalak dengan
wajah tegang.
"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa
yang menyuruhmu melakukan semua ini? Dan kuden-
gar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!"
bentak Sena dengan mata melotot.
Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki
muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan
Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya
menganga bengong.
"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus ku-
tangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," an-
cam Sena.
"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku
ke penjara, Pendekar Gila?!" dengus lelaki berambut
gondrong dengan ikat kepala merah.
"Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa? Baik,
aku akan menangkapmu!"
Pendekar Gila baru saja hendak melangkah
maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah,
tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap.
"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak.
Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan Senapati Kera-
jaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini mem-
buru dirinya.
"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya
Sena kaget. Dia benar-benar tak menyangka, kalau dia
yang hendak menangkap penjahat justru akan ditang-
kap.
"Tangkap dia...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget me-
nyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena
benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang di-
jadikan sasaran? Padahal dia bermaksud membantu
pihak kerajaan.
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam
Sena lirih.
Sena hendak menghindari bentrokan dengan
pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dike-
pung puluhan, bahkan ratusan prajurit yang siap me-
nyerangnya.
Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu
Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang te-
lah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun ter-
libat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam
hati
"Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lam-
bayu memerintah pada para prajuritnya agar menye-
rang.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan
Sunda Layung meramaikan tempat itu.
"Cincang dia...!"
"Tangkap hidup atau mati!"
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali
menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang ber-
maksud menangkap dan membunuhnya.
"Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat’
Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang
menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari,
dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah
dada lawan
Bugk!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari seorang praju-
rit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketi-
ka tubuh prajurit itu terpental deras ke belakang,
menghantam prajurit-prajurit lainnya.
Wuttt! Wuttt!
Dari arah belakang dan samping, para prajurit
menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata
mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliuk-
kan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan be-
runtun menendang lawan-lawannya yang telah men-
dekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan
yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para
prajurit yang mengeroyoknya.
Plak! Bugk!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para pra-
jurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar
Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak
menghiraukan kematian teman-temannya, terus me-
rangsek menyerang.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah
Senapati Lembu Lambayu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa!"
Kembali para prajurit kerajaan bergerak menye-
rang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka
berkelebat cepat, menusuk, membabat dan membelah
ke arah tubuh Pendekar Gila.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pen-
dekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkan-
nya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak
laksana baling-baling. Tangannya terus bergerak
menghantam dan memapas setiap serangan yang da-
tang.
"Heaaa...!"
Wusss!
Plak! Plak!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan,
disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang
tadi menyerangnya. Kenyataan itu membuat marah
dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit
yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu
menangkap Pendekar Gila.
"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja
tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah.
Gelombang penyerangan kembali terjadi. Pulu-
han prajurit serentak merangsek dengan serangan se-
rangan mematikan ke arah Pendekar Gila.
Pertempuran semakin bertambah seru. Pende-
kar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk
dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian
beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menye-
rang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat
dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan
dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjata-
senjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok
bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang
ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu berge-
rak cepat dan langsung masuk ke arena pertempuran
dengan pedang di tangan.
"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping
itu sambil bergerak cepat memapas dan menyerang pa-
ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pen-
cabut nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan
jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan
dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan
sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu
tak nampak bentuknya. Itu sebabnya dia mendapat ju-
lukan Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena.
Kini keduanya bergerak saling berlawanan
arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Ma-
laikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila memben-
dung serangan membabi buta para prajurit kerajaan.
"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin
mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati
Lembu Lambayu bertambah gusar melihat kedatangan
Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar
Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita ha-
rus segera keluar dari kepungan ini," ujar Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Tampaknya kau punya kepentingan denganku,
Kisanak? Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagai-
mana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan me-
ninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayang-
an.
"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki."
"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, kelua-
rkan Suling Naga Saktimu, Kisanak," perintah Malai-
kat Tanpa Bayangan. "Hanya dengan suling itulah kita
dapat mendobrak mereka."
"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapa-
kah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus beru-
saha mengelak dan membalas serangan para prajurit
dengan pukulan dan tendangan.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus sece-
patnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tan-
pa Bayangan.
Srt!
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila
berusaha menggempur kepungan para prajurit Suling
Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup.
Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut,
mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana.
Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin
mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit
Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa seng-
saranya manusia-manusia yang buta hatinya karena
nafsu iblis.
Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu.
Mereka menangis!
"Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa
Bayangan.
"Aha! Benar! Hi hi hi...!"
Keduanya pun segera melesat meninggalkan
kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Da-
lam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari
tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua
merasa bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang
menyedihkan.
"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati
Lembu Lambayu, menyaksikan kedua orang yang tadi
dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan
mereka.
***
Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda
Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa
Bayangan melangkah beriringan.
"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku
belum tahu siapa kau sebenarnya," ujar Sena.
Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya.
Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus
melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi
dan nampak masih perawan.
"Namaku Asem Gede, namun orang menye-
butku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede
memperkenalkan diri.
"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang
tua yang namanya cukup disegani dan ditakuti...," gu-
mam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan
kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan
dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan
nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang
pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk ke-
benaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini,
merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah
"Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku
heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hen-
dak menangkapku?" gumam Sena.
"Mudah sekali, Anak Muda."
"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena
penasaran.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Semen-
tara malam terus merayap menyelimuti bumi. Kedua-
nya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi
dan gelap.
"Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Mu-
da, ujar Ki Asem Gede.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon
yang paling besar?" saran Sena,
"Itu lebih baik."
"Itu pohon besar. Hop!"
"Hops!"
Keduanya melesat begitu cepat, naik ke seba-
tang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka
hinggap pada sebuah cabang pohon.
"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Ba-
ru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan,"
desah Ki Asem Gede.
"Meski kedamaian dan keindahan itu harus ki-
ta cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil
tertawa.
"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah
aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus
keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem
Gede.
"Aha, dengan senang hati aku akan menden-
garkannya."
"Baiklah...."
Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal
mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua
purnama yang lalu perguruannya didatangi teman la-
manya. Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud
mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila.
Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Ba-
yangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa
murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu
meninggalkan surat tantangan.
"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku
yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun men-
carimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai
dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku
yakin kaulah orangnya. Maka aku tadi ikut mencam-
puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceri-
tanya.
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malai-
kat Tanpa Bayangan. Tentunya semua itu ada sangkut
pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk
lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Perjalanan ke Akhirat").
"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu sia-
pa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya.
Aku akan menceritakan semua kejadian yang terja-
di...."
Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-
tan para pendekar. Tersiar kabar kalau di lembah itu
ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang menda-
patkan bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-
tu di rimba persilatan. Sumantri pun mengerahkan
orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong
yang sebenarnya kemenakannya sendiri.
"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki
Asem Gede terkekeh.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Me-
mang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah
terjadi kemelut cinta."
"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi
merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede
yang tahu karena Ki Badawi alias Dewa Pedang.
"Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak
angkatnya," sahut Sena.
Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai
memahami apa yang telah terjadi.
"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?"
"Begitulah...," sahut Sena.
"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua na-
ga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede.
"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," ja-
wab Sena.
"Orang tua itu memang dari dulu keras kepa-
la...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya me-
mandang lepas ke kegelapan malam yang menyelimuti
sekelilingnya. "Sudah kuduga ketika dia menceritakan
padaku tentang dirimu."
Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan pera-
saan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pende-
kar muda di sampingnya.
"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kera-
jaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpu-
lan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan
generasi muda?" tanya Sena ingin tahu.
"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku
tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi
mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan.
Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Seri-
gala Merah. Mereka bertujuan mencari dan membu-
nuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring
Ceper," kata Ki Asem Gede.
"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku
pun menaruh curiga kalau kedai itu merupakan tem-
pat jual beli mereka," sahut Sena.
"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?"
tanya Ki Asem Gede.
Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tan-
gan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya nyengir tersenyum-senyum.
"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi
prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian.
"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede. "Satu purna-
ma lagi, aku harus pergi ke Bukit Siluman," gumam Ki
Asem Gede.
"Untuk apa?"
"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menan-
tangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai
masalahnya denganmu, maka dia mengundangku di
Bukit Siluman."
"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan
tugas kita. Kita harus segera bertindak menghancur-
kan Serikat Serigala Merah," kata Sena.
"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orang-
orang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede. "Ayo
kita pergi!"
Keduanya pun melompat, kemudian berlari me-
lesat meninggalkan Hutan Balambu.
***
7
Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang
biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tu-
tup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa
orang di dalamnya.
"Kurasa, kita harus segera menemukan Pende-
kar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-
ta," terdengar suara lelaki berkata.
"Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh
Pendekar Gila," timpal lainnya.
"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin ka-
lian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar
suara orang muda menyela.
"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang
gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan
kening, mendengar percakapan mereka.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah
mencariku? Aku ada di luar...!" seru Sena sambil ter-
tawa tergelak-gelak.
"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede.
"Ayo!"
"Heaaa...!"
Brak!
Pintu papan kedai seketika hancur berantakan,
terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang
ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan
mata terbelalak, mereka melompat mundur.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus ber-
temu kucing?" tanya Sena sambil berjingkrakan seperti
seekor kera kegirangan.
"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus
mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil men-
cabut pedang. Kemudian dengan cepat tubuhnya me-
lompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak
ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wuttt!
Glarrr!
"Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi
hi hi... "
Dengan jurus 'Sambar Geledek' dan jurus
'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pende-
kar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan de-
ras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tan-
gan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran
angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek.
Melihat lawan melakukan serangan dengan ju-
rus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila
tak hanya tinggal diam. Dengan tingkah seperti kera,
serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu den-
gan cepat pula melakukan serangan balasan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya
disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas
dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahan-
lahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan
ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar
dengan pinggang
"Yeaaa...!"
Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila
menghantamkan telapak tangannya bergantian ke da-
da lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-
pencar mengelakkan serangan yang dilancarkan Pen-
dekar Gila.
"Heaaa!"
"Yeaaah...!"
Dengan melakukan salto beberapa kali, keti-
ganya mengelakkan serangan gencar itu.
"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Su-
gonggo.
"Ya! Mari kita serang lagi!" ajak Suroso.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketiganya kembali bergerak dengan cepat me-
nusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila sege-
ra bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Mene-
puk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan.
Wut! Wut..!
"Heaaa..!"
Beberapa kali serangan lawan memburunya,
tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gi-
la yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat
serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sa-
saran.
Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga la-
wannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikelua-
rkan bahkan ketiga lawan itu pun telah mengerahkan
jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh
itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan
yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan mu-
da dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan....
"Heaaa...!"
Bukkk!
Suara pekikan tertahan terdengar ketika gera-
kan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat
ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pu-
kulan itu terdorong ke belakang dan melayang. Tubuh
lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu terhenti
ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting
di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat
mengerang lirih kemudian tak berkutik lagi. Tewas!
Brak!
"Aaa...!"
Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetu-
lan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat
Tanpa Bayangan. Mereka terkagum-kagum menyaksi-
kan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau
tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dah-
syat kekuatannya.
Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nya-
linya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu,
namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya se-
gera menghadang.
"Mau ke mana kalian?"
"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu,
Ki!" dengus Getih Ireng.
"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak
Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya
kau pun ada sangkut pautnya dengan Dewa Pedang,"
tukas Ki Asem Gede.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-
ru.
"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang
berada kalau kalian ingin selamat!"
"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Ja-
ngan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manu-
sia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit
"Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu ter-
hormat?! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari ke-
coa busuk yang hanya main kucing-kucingan saja!"
ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Pera-
wan semakin naik darah.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit,
Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan.
"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit!
Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri
dengan serbuk iblis! Karena itulah, aku akan menang-
kap kalian!"
"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih
Ireng.
"Yeaaa...!"
"Heaaat...!"
Lima Darah Bukit Perawan yang sudah kepa-
lang tanggung segera menyerang dengan sengit. Den-
gan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Pera-
wan langsung menggebrak dengan serangan-serangan
gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mema-
tikan.
Wut! Wut..!
"Heaaa...!"
Melihat keberingasan kelima orang muda itu,
Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua
itu dengan cepat bergerak memapaki serangan lawan
lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Ma-
laikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah
mengatasi setiap serangan yang datang secara berun-
tun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang.
Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari
menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan
yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengelu-
arkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak
kaget
Wut!
"Uts!"
Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan
Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak
ingin menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan.
Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus
menggebrak Malaikat Tanpa Bayangan.
"Heaaa!"
"Hiaaa...!"
Kedai yang semula tenang dan sepi, telah beru-
bah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan
kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan
patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Se-
mentara suara teriakan dan makian yang mengiringi
pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi
yang dingin.
Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya
bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan
yang dilancarkan kedua lawannya.
"Heaaa...!"
Wuttt!
Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghin-
dari serangan pedang lawan yang selalu diikuti puku-
lan-pukulan 'Sambar Geledek'nya. Sesekali tangan
Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Heit!"
Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya
ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar
Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang
dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar
Gila.
"Heaaa...!"
Wuttt!
"Uts!"
Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samp-
ing, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan ce-
pat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Ge-
rakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak
tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang
tersentak kaget berusaha mengelak, tapi tangan Pen-
dekar Gila ternyata lebih cepat. Dan....
Degk!
"Aaakh...!"
Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke
belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari
busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tu-
buh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-
ja lelaki tua itu tidak segera lompat ke samping, tentu
akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan kekar.
Wusss!
Brak!
"Akh...!"
Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan
terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari
belahan papan itu jebol. Dan tubuh kekar Suroso ter-
kapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya
remuk dan gosong kehitaman.
Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima la-
wannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat
Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan
nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat
dan gesit sehingga bayangannya tak terlihat.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hanta-
man tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di
dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu men-
galir darah segar. Sesaat tubuhnya mengejang, kemu-
dian ambruk tanpa nyawa.
***
Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat
kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah me-
rangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan.
Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, ke-
cuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami,
Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus
Getih Ireng dengan wajah merah membara penuh ama-
rah.
"Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda
Bejat?!" tanya Ki Asem Gede. "Kalianlah yang harus se-
gera disingkirkan!"
"Kurang ajar! Yeaaat...!"
Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera me-
nyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan
Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak lak-
sana bayangan yang sangat cepat, membabat dan me-
nusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya
digeser setindak ke belakang. Lalu dengan cepat dita-
rik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak
ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak
membabat dan menusuk ke lambung lawan
"Heaaa...!"
Wut!
Trang!
Benturan senjata mereka terdengar berdentang,
memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata
terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemu-
dian dengan didahului pekikan keras, keempatnya
kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus
'Empat Pedang Penjuru Angin'.
"Heaaa..!"
"Yeaaa...!"
Wut, wut..!
Empat pedang di tangan anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat
dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak
memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua ber-
jubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan
sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan ke-
empat lawannya.
"Yeaaa...!"
Wut!
"Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat meng-
gerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamung-
kas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan me-
mutar, secepat kilat pedangnya membabat lawan-
lawannya.
"Heaaa...!"
Wrt!
Jrabs!
"Wuaaa...!"
Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar
pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun
memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru
mengerang lirih, tapi kemudian ambruk dengan nyawa
melayang.
Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata
mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang
menderu di depan mereka ketika pedang Malaikat
Tanpa Bayangan menyabet
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi
Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-
go semakin kewalahan menghadapi Pendekar Gila yang
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana
menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas
tepukan itu nampak pelan sekali, tapi angin yang me-
nyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Su-
gonggo.
"Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke
samping, mengelakkan serangan Pendekar Gila yang
ternyata begitu keras dan cepat. "Ilmu siluman!"
Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus
aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia
melihat jurus ilmu silat yang aneh. Kelihatan sepintas
sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang re-
kannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua te-
mannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya
seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak
tangan hingga terbanting dan tewas.
"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pende-
kar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrak-
an. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliuk-
liuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepu-
kan.
Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan
tengah menggebrak dengan jurus andalannya,
'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu
terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gera-
kan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin
kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Na-
mun....
"Heaaa...!"
Wuttt!
Bret!
"Aaa...!"
Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih
Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan me-
nyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung
beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di pe-
rutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian me-
rah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian
tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi.
"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka!
Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah me-
rangsek Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam
tak jelas. Matanya yang tajam laksana mata elang, me-
natap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang
menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat...
"Heaaa...!"
Wuttt..!
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat mem-
babatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan
ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya.
Wuttt! Wuttt!
Crab, crab!
"Akh!"
"Wuaaa...!"
Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang me-
layang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai.
Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka
menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya
tewas berlumuran darah.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali ber-
gumam lirih, lalu disekanya darah yang menempel di
mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan itu
dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di
punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke
tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawan-
nya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada se-
buah langkah....
Plak!
"Akh!"
Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar
deras ke belakang. Kemudian membentur tembok ke-
dai.
Brak
"Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena.
"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?"
tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hei, dia pergi!" seru Sena,
Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana
perginya pemilik kedai, tiba-tiba....
***
8
"Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pen-
dekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan tersentak ke-
tika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Sua-
ra itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat
Tanpa Bayangan. Dialah Senapati Lembu Lambayu,
Panglima Kerajaan Sunda Layung.
"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak
kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Bagaimana langkah kita, Ki?"
"Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-
da kebenaran. Meski harus menentang pihak kerajaan,
terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat
Tanpa Bayangan, manggut-manggut
"Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena.
"Mari!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-
gelak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke-
luar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan.
"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah mem-
buat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lam-
bayu. "Tangkap mereka...!"
Mendengar perintah sang Panglima, seketika
para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah
ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa
tombak dan pedang. Ratusan prajurit itu langsung
mengurung dan menyerang.
"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat ke-
rajaan, Ki!" celetuk Sena.
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti
yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan tertawa-tawa dan melompat-lompat berjingkra-
kan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan ter-
bang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga
Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala pra-
jurit yang dapat dijangkaunya.
"Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!"
Wut!
Pletak! Pletak...!
"Akh?"
"Aduh!"
Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga
orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi
kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling
Naga Sakti.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan...? Hua ha
ha...!"
Sambil tertawa tergelak-gelak dan tangan kiri
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus menge-
brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga
Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit.
Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala
prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya se-
bagai jembatan bagi langkah Pendekar Gila yang terus
bertingkah seperti kera.
"Kurang ajar!"
"Setan!"
"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para pra-
jurit sambil memegangi kepalanya yang telah terinjak
kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, kare-
na kepala mereka dianggap sebagai titian bambu saja.
"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu
semakin bertambah gusar melihat tingkah laku Pende-
kar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling
bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan
amarah yang menggelegak di kepalanya.
Pendekar Gila semakin bertambah konyol ting-
kah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor
kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejak-
kan kakinya di atas kepala para prajurit
"Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Ka-
wan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke ke-
pala prajurit yang dapat dijangkaunya dan bermaksud
menyerangnya.
"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!"
"Kubikin sate tubuhmu, Setan!"
"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!"
Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya
diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka
langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Su-
ling Naga Sakti memapak serangan mereka.
"Hi hi hi...!"
Trang!
Beberapa kali terdengar suara dentangan dari
benturan senjata dengan Suling Naga Sakti.
Pletak!
"Aduh!"
"Wuaaa...!"
Kembali tiga orang prajurit mengerang kesaki-
tan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pen-
dekar Gila. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Menerkam
Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menye-
rang dengan patukan-patukan sulingnya.
Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan
kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan
mengamuk dengan jurus 'Pukulan Tangan Malaikat’
nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam
para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya.
"Sikat..!"
"Cincang dia!"
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar
dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung
Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki
tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menye-
rang.
"Heaaa!"
Bug!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terden-
gar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan
Sunda Layung. Namun sepertinya para prajurit itu tak
me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat
menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Sena-
pati Lembu Lambayu terus memerintah pada para pra-
juritnya.
"Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo
Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas ke-
pala lawan-lawannya. "Turunlah kemari! Bukankah ki-
ta tengah berpesta?! Hua ha ha...!"
Pletak!
"Aduh!"
Seorang prajurit yang terkena totokan Suling
Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol
dipegangi. Tubuhnya berputar-putar karena pening,
dan jatuh pingsan.
Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terin-
jak-injak temannya yang terus berusaha merangsek.
Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyada-
ri bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pi-
haknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasu-
kannya. Namun karena Senapati Lembu Lambayu ten-
gah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan
tak peduli dengan semuanya. Para prajuritnya dibiar-
kan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseo-
rang yang telah memperalat mereka untuk membunuh
Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
terus mengamuk, menyerang para prajurit yang ber-
jumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka,
setiap gerakannya membuat prajurit-prajurit menjerit
kesakitan. Ambruk dan akhirnya terinjak-injak teman-
nya.
Sementara suasana semakin terang. Matahari
di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah temba-
ga, mengusir embun dan halimun pagi.
Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak
Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban in-
jakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta
dentang benturan senjata mereka semakin riuh ter-
dengar.
Suasana di depan kedai seketika berubah men-
jadi berantakan. Malah kedai yang semula sudah ru-
sak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika
itu, dari dalam kedai yang ambruk muncul anak-anak
muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak
serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi
lawan, pemuda-pemuda itu langsung menyerang para
prajurit kerajaan.
"Heaaa...!"
Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi
ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemuda-
pemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para
penduduk desa yang marah melihat tingkah polah pa-
ra prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka
telah tahu kalau di dalam angkatan perang kerajaan
itu terdapat Serikat Serigala Merah.
"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru
warga desa itu.
Dengan berbagai macam senjata seperti cang-
kul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak
atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan
Serikat Serigala Merah, kini merangsek maju membe-
rikan serangan.
Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit
kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, ha-
rus menghadapi pula ratusan penduduk Desa Piring
Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya.
"Serang...!" seru warga desa.
"Hancurkan serbuk iblis!"
"Hancurkan kerajaan yang tak adil!"
"Bunuh panglima perang iblis itu...!"
Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat
para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mere-
ka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk
meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayan-
gan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka
harus menghadapi penduduk desa, ditambah para
pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok
orang bingung turut menghambur ke dalam pertempu-
ran itu.
"Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lam-
bayu.
Pertarungan besar itu pun tak dapat dielakkan
lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan
kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-
tumbuhan yang ada di sekitar tempat itu banyak yang
tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang
semakin ganas.
Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula
tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pe-
kikan yang membahana. Darah membanjir, dari tu-
buh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.
Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti
itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar
suara teriakan menggelegar.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan...!"
Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan
rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak
jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih
gagah berani dari Kerajaan Sunda Layung Telunjuknya
mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati
kerajaan.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap
panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari
berseru, memerintah para prajuritnya untuk memban-
tu penduduk desa.
***
Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah se-
ru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya
para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya.
Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu kini kian terdesak.
"Serbu...!"
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara
menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang
merupakan tangan kanan Dewa Pedang.
"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang
kedua yang dihormati dalam Serikat Serigala Merah se-
telah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu.
Serentak anak buah Serikat Serigala Merah
yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu
para prajurit pemberontak yang selama ini membantu
mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala
Merah.
Trang! Trang...!
Crab!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar
dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Semen-
tara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi den-
tang senjata tajam mereka.
Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpi-
nan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat
meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malai-
kat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa
pendekar yang hadir dalam pertempuran itu.
Serentak mereka menghadang para tokoh rim-
ba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah
pimpinan Dewa Pedang. Di antara para pendekar yang
turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi
Jaladri, Gagak Putih, Kupu-kupu Emas, dan Resi An-
gling Mukti.
Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung
dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gen-
tro, Buta Cakra, Banaspati, Ampel Gegel, Nyi Capis,
Rana Jalna, dan Gempal Sudra.
Kini dari kedua golongan saling berhadapan sa-
tu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan de-
ngan Gajah Bedeg. Malaikat Tanpa Bayangan berha-
dapan dengan Gempal Sudra.
"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa
Bayangan.
"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi?
Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha
ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap
pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!"
dengus Gajah Bedeg.
"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira
kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak
sebaliknya, kalianlah yang akan mampus?" sahut Sena
dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah
Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah.
"Pendekar Gila, kami memang mendapat perin-
tah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu!
Heaaa...!"
Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menye-
rang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang.
Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak
Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam
Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu mem-
bentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi
amarah.
Wut!
"Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah
Bedeg.
"Heits! Hua ha ha...! Tangkap kodok itu, Seriga-
la Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki
kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian
dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak
merunduk.
"Heaaa!"
Wut!
"Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melom-
pat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki Pende-
kar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg
balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan
wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian
dengan cepat tubuhnya bergerak ke samping. Kaki ki-
rinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-
la Melempar Batu' Sena balas menyerang.
Serangkum angin pukulan menderu keras ke
arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang
bergerak seperti tengah melempar bebatuan menye-
rang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya
bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesa-
kitan.
"Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil ber-
gerak mengelitkan serangan lawan. Kemudian dengan
cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Se-
rigala Menerkam Mangsa'.
Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan
mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum
tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit
dengan meliukkan tubuh. Kemudian disusul gerakan
menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan ju-
rus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila
membuat Gajah Bedeg kembali tersentak.
"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar
sambil menarik serangannya, menyaksikan serangan
Pendekar Gila yang begitu cepat
Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak
para pendekar dapat menekan lawan mereka masing-
masing. Para pendekar tak mau memberikan kesempa-
tan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih den-
gan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia
memburu lawannya dengan jurus 'Malaikat Sambar
Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeraman-
cengkeraman maut, terus memburu lawan.
"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat
mundur, mengelakkan serangan Malaikat Tanpa Ba-
yangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah
hijau lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan ba-
ginya untuk membuka serangan.
"Mau lari ke mana, Iblis?!" dengus Malaikat
Tanpa Bayangan yang marah setelah melihat bagaima-
na pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang me-
nyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis,
tubuhnya bagaikan tak berdarah.
Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah te-
lanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang
yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah.
Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Pu-
tih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan ta-
hun tak ikut meramaikan rimba persilatan. Ilmu-ilmu
silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat
Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', ter-
paksa dikeluarkan dalam pertempuran kali ini.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Ar-
wah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Ma-
laikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gen-
car. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah la-
wan.
Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Ma-
laikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! De-
sis Gempal Sudra dalam hati.
Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui
kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin
menunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Gempal
Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan,
sambil sesekali balas menyerang.
Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak
memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk
membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak
dengan serangan-serangan gencar. Dan...
Degk!
"Hugk! Akh...!"
Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang
dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah se-
gar. Sesaat tubuhnya meregang, lalu ambruk tanpa
nyawa.
"Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-
tunggu kalian di Bukit Siluman...!" terdengar suara
Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra am-
bruk.
"Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat
Tanpa Bayangan mengejar, diikuti Pendekar Gila.
Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Ga-
jah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu
membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar
Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar.
Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit
yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemu-
dian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para
prajurit Kerajaan Sunda Layung pimpinan Patih Pra-
meswari.
***
9
Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan
Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin
bertiup kencang, seperti akan terjadi badai. Bulan per-
lahan-lahan merangkak dari ufuk timur, menerangi
sekeliling Bukit Siluman.
Binatang-binatang malam terdengar merdu
berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk ber-
diri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, di-
tingkahi lolongan anjing hutan yang menyayat dan
memilukan.
Malam itu, merupakan malam purnama ketiga.
Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang
Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila
yang dianggapnya telah membunuh muridnya.
Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang
tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah
Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang
itu nampaknya ingin menunjukkan kalau dirinya bu-
kan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada
Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pende-
kar Gila akan dituntaskannya malam ini.
Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki
memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda
berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang
tidak lain adalah Pendekar Gila. Sedangkan seorang
lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang
berwarna hijau lumut, adalah Malaikat Tanpa Bayan-
gan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh
rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak me-
nyusul. Bukit Siluman yang semula sepi dan terkenal
angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak ke-
hadiran mereka.
Tak berapa lama kemudian, muncul para pra-
jurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka
nampaknya ingin menyaksikan pertarungan seru anta-
ra Dewa Pedang melawan dua pendekar.
"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu,
tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-
ru Dewa Pedang dengan mata menatap tajam pada
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang ma-
sih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini
tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti ke-
ra.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sung-
guh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal ga-
gah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru
Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam
menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih
pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih
bersikap tenang.
"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan.
Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok,"
ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan.
"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti
berdua? Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-
ri, Ki," sahut Sena dengan cengengesan. Kemudian ka-
kinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan
pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masa-
lahnya.
"Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-
tanganmu. Sebenarnya dari dulu aku ingin mencari-
mu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku
ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan se-
telah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan
dengan suara yang masih terdengar tenang.
"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di po-
hon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan
menyingkirkan mu dan Pendekar Gila yang telah
membunuh muridku!"
Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan
tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang.
"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?"
"Ya!"
"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesung-
guhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem
Gede.
"Aha, baiklah! Biar kau tak penasaran, aku
akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid
kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk ma-
nusia. Dia tega-teganya memfitnah Anjasmara...."
Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila
menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat,
sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa
pula kedua naga api. Tak lupa juga Pendekar Gila
menjelaskan siapa adanya bocah sakti.
"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru
Sena diikuti gelak tawanya, serta tingkah lakunya yang
konyol.
"Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bo-
cah Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan per-
caya! Rupanya kau takut menghadapiku!" dengus De-
wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam
menatap Pendekar Gila.
"Terserah! Kau memang tikus keras kepala
yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa
cekikikan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila?!"
maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu
hendak menyerang ke arah Pendekar Gila, tapi dengan
cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya.
"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pe-
dang!"
"Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus
lebih dahulu, Asem Gede! Bersiaplah...!"
Sring!
"Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayan-
gan.
Sring!
Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pe-
dang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bi-
lah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih
keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang de-
ngan langkah yang teratur. Mata mereka saling mena-
tap tajam.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan didahului pekikan keras menggelegar
yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman,
keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di
tangan.
Wut! Wut..!
Trang!
Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak sege-
ra membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segan-
segan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut
Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya
merah itu bergerak laksana kilat, memburu ke arah
Malaikat Tanpa Bayangan.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan membuka serangan dengan
jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus
'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus
pamungkas.
"Heaaa...!"
Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupa-
kan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama
mereka perlihatkan. Karena, jurus-jurus itu mereka
ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh
tahun.
Tubuh keduanya melesat begitu cepat laksana
terbang. Pedang di tangan mereka bergerak cepat,
membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu
cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu,
wujud mereka sampai tak terlihat. Yang nampak hanya
sinar putih keperakan dan merah menyala.
Trang!
Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyar-
ing disertai percikan bunga api keluar dari benturan
pedang. Keduanya melompat ke belakang dengan posi-
si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan ta-
jam. Kemudian dengan pekikan menggelegar, ke-
duanya kembali melakukan serangan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha mem-
buru lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Si-
nar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke
arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tu-
buh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena mena-
han kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar
mengiringi serangan kedua tokoh tua itu.
Wut! Bet!
Trang!
"Heaaa!"
Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang
membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Ma-
laikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan,
dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan
pedang bersinar merah itu meleset beberapa jari saja
di atas kepalanya. Kemudian tanpa membuang waktu,
Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pe-
dangnya sebagai serangan balasan.
"Yeaaa!"
"Heit..!"
Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu
pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke
dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat
ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Ke-
mudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya dite-
baskan ke arah pedang lawan.
Trang!
Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang
sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masing-
masing ke belakang. Kemudian dengan didahului pe-
kikan keras, keduanya kembali menggebrak.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan la-
wannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya
yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malai-
kat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan.
Wut!
Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lu-
mut itu merundukkan kepala, berusaha menghindar.
Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan.
Cras!
Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tu-
buhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan.
Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan
dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasan-
tebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus
berguling.
Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba....
Trang!
"Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedang-
nya berbenturan dengan senjata di tangan Pendekar
Gila. "Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-
la!"
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak
sambil berusaha membantu Malaikat Tanpa Bayangan
bangkit berdiri.
"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!"
***
Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pe-
dang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila
yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk
bangkit berdiri.
"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus
Sena melihat serangan cepat yang dilancarkan Dewa
Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat
Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya lang-
sung bersalto mengelakkan serangan lawan.
"Yeaaa...! Tembus dadamu!"
Wut..!
"Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila
sambil masih berjumpalitan di udara. Kemudian de-
ngan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang lak-
sana terbang sambil tangannya bergerak dengan jari-
jari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram
ke arah lawan.
Wuttt..!
"Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil
menggeser kaki ke samping. Lalu disusul dengan tu-
sukan pedangnya ke arah Pendekar Gila.
"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa
Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya.
Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tu-
buhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tu-
sukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah
dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke ka-
nan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan
tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan
gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'
"Heaaa...!"
Kaki mereka melangkah secara beraturan, sal-
ing berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan
tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut
bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh
lawan.
Sementara Pendekar Gila masih menghadapi
Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di
tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pe-
dang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, pa-
ra pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan
dengan cepat menangkap mereka.
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan
Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah
terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, te-
rus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedang-
nya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat
pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan.
"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tu-
buh ke kanan, terkejut mendapat tusukan yang tiba-
tiba dan cepat itu.
Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan
dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya
melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengan-
dung kekuatan gaib pun bergerak cepat
"Heaaa...!"
"Heits! Hih...!
Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila
melancarkan serangan dengan tepukan tangannya.
Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pe-
dang. Sehingga....
Wuttt!
Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pe-
dangnya ke dada Pendekar Gila.
"Hah...?!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan ce-
pat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun....
Bret!
"Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak
tertutup rompi tergores Pedang Darah. Dari goresan
itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melom-
pat ke belakang dengan mata melotot
"Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-
gelak, merasa telah mampu melukai Pendekar Gila.
"Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil me-
nyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Se-
mentara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda
Layung nampak tegang. Mereka khawatir kalau Pen-
dekar Gila akan kalah.
"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa
Busuk!" dengus Pendekar Gila. "Kurasa aku memang
harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu.
Hm.... Mari kita lanjutkan!"
Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan
Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju
rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang ke-
luar dari pedangnya.
"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mam-
pus!"
"Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!"
Dengan semakin bertambah marah menyaksi-
kan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh
racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang
Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan
jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Ge-
ledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini
dilakukan Dewa Pedang.
Dewa Pedang benar-benar bermaksud meng-
hancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu se-
babnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya
dengan ajian tingkat tinggi.
"Heaaa...!"
Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan
pedang Dewa Pedang.
Wut!
Ctar!
Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar ke-
luar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya te-
lah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila
segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan ce-
pat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat
kesempatan, Pendekar Gila segera balas menyerang
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hosss!"
Kedua tangannya disatukan, kemudian diren-
tangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam,
Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sam-
pai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan meng-
gelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan
pukulan-pukulan telapak tangannya.
"Keaaa...!"
Wut! Wut!
Jlegar!
Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru me-
narik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan han-
cur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan
dahsyat jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' itu
menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri.
Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang
besar.
Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat
karena pukulan dahsyat yang dilancarkan Pendekar
Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya
kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan
pendekar sembarangan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang marah akibat luka di da-
danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan un-
tuk menggempur Dewa Pedang. Mau tak mau Dewa Pe-
dang harus melompat ke sana kemari dan sesekali me-
lenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak in-
gin tubuhnya hancur lebur seperti tanah yang terkena
hantaman pukulan Pendekar Gila.
Rupanya dia bukan sembarangan pendekar!
Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap be-
rusaha membendung serangan-serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan
Pedang Darahnya.
"Yeaaa...!"
Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat
ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya
yang menggelegar.
"Heaaa...!"
Wut! Wut!
Cletar...!
"Heits! Hop! Heaaa...!"
Pendekar Gila melompat ke samping, lalu den-
gan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan
jurus pamungkasnya.
Pertarungan semakin seru, ketika bulan pur-
nama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah
cahaya bulan purnama tampak tubuh mereka berkele-
batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras men-
giringi setiap serangan mereka.
Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pe-
dang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan
cepat bergerak melompat untuk menghindar. Namun
Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan....
Bret!
"Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan
kembali membabat tubuhnya. Pundaknya yang tak ter-
tutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh ke-
luar.
"Ha ha ha...!"
Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak
menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya.
Sementara, para pendekar kini membelalakkan mata-
nya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan
Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah.
"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!"
ejek Dewa Pedang.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak.
"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk!
Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-
gat dan dunia!"
"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!"
"Aha, kita buktikan!"
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa
Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, ke-
mudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pen-
dekar Gila membuka gerakan.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mam-
pus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyak-
sikan jurus Pendekar Gila yang seperti gerakan seekor
monyet
Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang,
kemudian ditekuk membentuk siku. Matanya terpe-
jam, lalu kaki kanannya dilangkahkan ke depan de-
ngan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri
ditekuk, kemudian digeser ke samping diikuti senta-
kan tangan kiri.
Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang se-
dang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah
putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus
'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatan-
nya mampu menghancurkan bangsa siluman dan me-
leburkan batu menjadi tepung.
"Heaaa...!"
"Mampuslah kau, Bocah!"
Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gi-
la tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah ma-
buk kemenangan, seketika mencelat hendak menye-
rang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang te-
rayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menu-
suk dan membabat ke arah lawan.
"Heaaa...!"
Wut!
Pendekar Gila yang kini menggunakan mata ba-
tin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser
ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang me-
luruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tan-
gan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan.
Dan....
Prat!
Jlegar!
"Aaakh...!"
Dewa Pedang melolong keras menyayat hati.
Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar
ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pende-
kar Gila meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan
mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang
bersalto. Maka....
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah membara melesat keluar
dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang.
Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu
menghantam tubuh Dewa Pedang.
Jlegar!
"Aaa...!"
Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan
dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi te-
pung yang beterbangan, ketika angin bertiup.
Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan
Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri me-
nyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pende-
kar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Ke-
mudian diam-diam mereka meninggalkan tempat itu
dengan rasa takut.
"Kukuruyuuuk....!"
Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa berge-
lak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pende-
kar Gila melangkah seiring dengan para pendekar lain
meninggalkan Bukit Siluman.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon