tampan dengan tingkah laku seperti orang gila itu
tiada lain Sena Manggala yang lebih terkenal dengan
tengah memburu tiga orang yang telah lama dicari-
carinya. Matanya sempat melihat mereka masuk ke
dalam hutan itu.
"Ah, bodoh sekali aku ini! Mengapa aku mem-
biarkan mereka lolos begitu saja? Tolol...!" Sena
sambil menggaruk-garuk kepala bagai orang bodoh.
Kemudian keningnya ditepuk dengan tangan
sedangkan tangan kanannya masih menggaruk-garuk
kepala. Kakinya terus melangkah untuk memasuki
hutan lebat itu.
Langkah Sena tertahan kctika melihat seorang
wanita berpakaian merah jambu berlari ke arahnya.
Tangan wanita bercadar merah itu berlumuran darah.
Mata Sena seketika membelalak, sedangkan
mulutnya menganga bodoh.
Hai, mengapa tangan wanita itu berlumuran
darah? Apa yang telah dilakukannya...? Gumamnya,
masih belum percaya pada apa yang baru saja
dilihatnya. Kemudian terdengarlah gelak tawa dari
mulutnya.
"Ha ha ha...!" .
Sena tertawa bergelak sehingga tubuhnya turut
terguncang-guncang. Tangan kanannya menggaruk-
garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek
telinga. Hal itu membuat wanita yang tak lain
Wulandari itu menghentikan langkahnya. Matanya
memandang tajam ke arah Sena yang masih tertawa
terpingkal-pingkal.
"Diam...!" bentak Wulandari keras.
Sena menghentikan tawanya. Namun tangannya
masih menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
cengengesan. Kemudian terdengar dari mulutnya
suara cekikikan....
"Hi hi hi...!"
Mata Wulandari semakin tajam memandangi
wajah pemuda di hadapannya. Tingkah laku serta
gerak-gerik pemuda itu tak ada bedanya dengan
orang gila. Inikah Pendekar Gila itu? Hm, sungguh
berbeda dengan pemuda yang telah memperkosa
dan membunuh suamiku. Gumam Wulandari dalam
hati.
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Tatapannya mengarah tak menentu.
Terkadang pada daun-daun pohon menghijau. Dan
sesekali tertuju pada Wulandari. Kemudian Sena
kembali tertawa tergelak-gelak, ketika matanya
tertuju pada cadar yang dikenakan Wulandari.
"Lucu.... Lucu sekali dunia ini. Ah ah ah.... Rupanya
dunia ini penuh kelucuan. Mengapa wanita
secantikmu menutupi wajah dengan cadar. .? Aneh....
Hi hi hi...!" Sena cekikikan. Lalu tubuhnya melompat-
lompat seperti kera dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
Wulandari mengerutkan kening. Dia masih belum
percaya pada apa yang kini dilihatnya. Pendekar Gila
yang dulu memperkosanya dan membunuh suaminya,
bukan pemuda gila yang kini berada di hadapannya.
"Siapa kau?!" bentak Wulandari. "Apa urusanmu
dengan perbuatan yang kulakukan?"
Sena terus tertawa. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dengan menarik napas panjang
ditatapnya Wulandari lekat-lekat.
"Ah, apalah artinya namaku. Hi hi hi.... Lucu...,
mengapa kau menanyakan namaku? Bukankah kau
tak ada urusan denganku?" kata Sena balik bertanya.
"Ah, sudahlah.... Aku tak ada waktu. Maaf, aku harus
pergi."
"Tunggu...!"
Sena segera menghentikan langkahnya. Tubuhnya
berbalik menghadap ke arah Wulandari. Kepalanya
digaruk-garuk dengan mulut memperlihatkan senyum
bodoh.
"Ah, apakah ada sesuatu yang membuat kau
menghentikan langkahku?" tanya Sena.
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
Sena tersenyum.
"Ah, kurasa antara kita tak pemah saling kenal.
Ada apa...?"
Wulandari tak langsung menjawab pertanyaan
pemuda tampan namun bertingkah laku gila itu.
Matanya malah mengawasi Sena dari ujung rambut
hingga ujung kaki. Semuanya lain dengan pemuda
yang memperkosanya dan membunuh suaminya.
Pakaian pemuda itu berlengan panjang, berwarna
kuning. Sedangkan pemuda bertampang gila ini
mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular.
Wajahnya pun lain. Lebih tampan pemuda di
hadapannya sekarang.
Sena yang diperhatikan begitu rupa oleh wanita
yang sebagian wajahnya tertutup secarik kain merah
itu kembali cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
Wajahnya ditengadahkan, memandang ke atas.
Lama juga Wulandari ragu. Hatinya diusik
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa secepatnya
dijawab. Mungkinkah pemuda berbaju kuning yang
dicarinya telah mengubah penampilan dan wajahnya
menjadi pemuda yang kini di hadapannya?
Tapi dendam yang menggelegak di dadanya
membuat dia tidak ingin berpikir lebih lama. Dia
menjadi yakin kalau pemuda yang kini dihadapinya
adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
"Melihat tingkah lakumu, sepertinya kau orang gila.
Namun dari pakaian yang kau kenakan, tampaknya
kau dari orang rimba persilatan. Maka itu, aku yakin
kaulah orang yang kucari. Mesti kau berganti muka
seribu kali, aku tak akan dapat kau kibuli. Hiaaat..!"
Tanpa banyak kata lagi, Wulandari melabrak Sena
dengan ganas. Tubuhnya membungkuk, dengan
kedua tangan mengembang dan menyerang. Tangan
kanannya menyambar ke ulu hati, sedangkan tangan
kirinya bergerak mencengkeram ke selangkangan
Sena.
Sena yang tak tahu apa-apa, terkejut menyaksikan
wanita tak dikenal itu menyerangnya. Sambil
menggaruk-garuk kepala serta kening berkerut,
pendekar muda itu melompat ke belakang
mengelakkan serangan lawan.
"Eh, mengapa kau menyerangku, Nisanak?" tanya
Sena berusaha memahami apa kesalahannya.
Namun Wulandari yang sudah yakin kalau pemuda
itulah yang memperkosanya serta membunuh
suaminya tak mau berhenti. Apalagi di hatinya tersirat
api dendam pada orang-orang rimba persilatan.
Wulandari terus menyerang dengan jurus 'Kupu-
kupu Emas Merentang Sayap' yang telah mampu
membinasakan Tiga Barka Kembar. Tangannya
bergerak cepat, satu menyambar ke arah ulu hati,
sedangkan yang satunya mencengkeram ke arah
selangkangan Pendekar Gila. Tubuhnya mem-
bungkuk, sedangkan kaki-kakinya bergerak menyapu
dan terkadang menendang.
"Hei, mengapa wanita cantik ini menyerang ke
arah selangkangan?" tanya Sena heran. Dia terheran-
heran menyaksikan jurus-jurus yang dilancarkan
Wulandari. "Apa yang ingin dilakukannya?"
"Nisanak, tunggu...! Mengapa kau menyerangku?"
tanya Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan
Wulandari dengan cara menggerakkan tubuhnya ke
sana kemari dan berputar laksana menari. Kadang
tubuhnya membungkuk, tengadah atau limbung ke
samping.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Gila! Kau
harus mampus di tanganku! Heaaat..!"
Wulandari semakin bemafsu untuk secepatnya
menjatuhkan Pendekar Gila. Serangannya dilipat-
gandakan. Tangannya yang menebas dan men-
cengkeram semakin cepat bergerak. Begitu juga
dengan sepasang kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum mengerti apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh wanita itu, mau
tidak mau harus bergerak mengelitkan serangan-
serangan lawan yang mengarah pada tempat-tempat
mematikan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Kakinya melangkah ke belakang dan ke samping
mengelakkan sambaran kaki lawan.
"Nisanak, mungkin kau salah sangka! Tunggu,
hentikan seranganmu!" pinta Sena berusaha
menyadarkan wanita berpakaian merah jambu
dengan sebagian wajah tertutup kain merah.
"Pengecut! Keluarkan jurus-jurus yang dulu pernah
kau tunjukkan di depanku! Jangan hanya mengelak
saja...!" bentak Wulandari semakin berang,
menyaksikan Pendekar Gila hanya mengelak dan
belum berusaha menyerang.
Pendekar Gila yang kebingungan mendapatkan
serangan itu hanya menggaruk-garuk kepala.
Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya
menggaruk-garuk kepala. Dia masih kebingungan dan
bertanya-tanya mengapa wanita yang baru saja
bertemu dengannya tiba-riba menyerang.
Sambil terus mengelakkan serangan lawan,
Pendekar Gila menguras pikirannya. Jurus-jurus aneh.
Mengapa selalu mengarah ke selangkangan? Ah,
mengapa wanita secantik ini berlaku begitu?
Tanyanya dalam hati.
"Nisanak, hentikanlah! Sungguh aku tak mengerti
akan maksudmu...!" seru Pendekar Gila sambil
melompat ke belakang. Kemudian dia berdiri sambil
menggaruk-garuk kepala.
Wulandari yang melihat Pendekar Gila menghindar
dan melompat ke belakang, dengan cepat memburu.
Tangan dan kakinya masih bergerak menyerang. Hal
itu membuat Pendekar Gila semakin kebingungan.
Dia sama sekali tidak memahami keinginan wanita
itu.
"Nisanak, kenapa kau ini? Tak ada hujan, tak ada
badai, mengapa kau menyerangku?" tanya Pendekar
Gila masih berusaha menyadarkan wanita yang
meyerangnya. Namun semuanya sia-sia, wanita itu
tetap saja menyerangnya.
"Jangan banyak omong! Keluarkan ilmumu, kalau
kau tak ingin mati percuma...!" sentak Wulandari
sambil terus bergerak menyerang.
Pendekar Gila mengangkat kakinya tinggi-tinggi
kemudian melompat ke samping kanan mengelakkan
serangan tangan kiri lawan. Sedangkan tubuhnya
dicondongkan ke samping, kemudian tangannya
menepis serangan tangan kanan lawan.
Desss!
Benturan terjadi, membuat keduanya melangkah
dua tindak ke belakang. Pendekar Gila garuk-garuk
kepala. Sedangkan Wulandari melotot penuh amarah
pada Sena.
"Bagus! Memang itulah yang aku inginkan! Jadi
aku tidak percuma membunuhmu! Heaaa..."
Usai berkata begitu, Wulandari kembali melancar-
kan serangan. Kali ini gerakannya sangat cepat.
Kedua tangannya menyerang ke arah bawah, dengan
cengkeraman-cengkeraman yang mengarah ke titik
kematian. Itulah jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil
Menghisap Madu'.
Kedua tangan Wulandari bergerak cepat saling
bergantian dengan cengkeraman-cengkeraman yang
mematikan ke selangkangan lawan. Tubuhnya mem-
bungkuk, kakinya menyapu dan menendang.
Kemudian kedua tangannya bergerak naik ke arah
dan berakhir ke muka lawan.
Pendekar Gila yang merasakan desiran angin
serangan wanita itu, dengan cepat bergerak mengelit.
Dia tidak ingin menjadi korban kesalahpahaman. Itu
sebabnya, sampai sejauh itu dia belum juga me-
lakukan serangan balasan. Pendekar Gila hanya
mengelit dengan meliuk-liukkan tubuh, menggunakan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
***
"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin
mempermainkan aku, Pendekar Gila! Jangan
salahkan kalau aku akan membunuhmu seperti
membunuh anjing! Heaaa...!"
Dengan penuh amarah, Wulandari yang merasa
dipermainkan Pendekar Gila mempercepat serangan-
nya. Tangannya bergerak kian cepat, disambung oleh
tendangan dan sapuan kakinya.
Pendekar Gila yang masih belum tahu duduk
persoalannya, mengerutkan kening sambil bergerak
mengelak.
"Heaaa...!"
"Nisanak, tidak bisakah kau hentikan serangan-
mu? Kita bicara baik-baik...."
Belum juga selesai Pendekar Gila, tiba-tiba
Wulandari telah merangsek kembali ke arahnya
dengan serangan-serangan yang mengarah ke
kemaluan. Kalau Pendekar Gila tidak cepat
mengelak, niscaya kemaluannya akan tercengkeram
tangan lentik tapi garang itu.
"Jangan banyak omong! Heaaa...!"
Wanita itu benar-benar tak dapat diajak bicara
baik-baik lagi. Serangan-serangannya sangat ber-
bahaya, disertai tenaga dalam yang cukup sempurna.
Lengah sedikit saja, celakalah Pendekar Gila. Yang
lebih mengerikan, sasaran serangannya tertuju ke
selangkangan, tepatnya ke arah kemaluan.
"Edan! Dunia ini memang sudah gila. Hi hi hi...
Bagaimana mungkin wanita secantikmu meng-
gunakan jurus cabul...?" Sena tertawa tergelak-gelak
sambil terus bergerak mengelakkan serangan yang
dilancarkan oleh Wulandari. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari. Ketihatannya lamban, namun setiap
kali Wulandari berusaha menyerang, tahu-tahu
tubuhnya telah berpindah tempat.
Mendapatkan serangannya tak mengenai sasaran,
Wulandari semakin bertambah marah. Serangannya
dipercepat, berusaha menjatuhkan lawan dengan
cepat. Namun hasilnya tetap saja nihil.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar mencari
mampus! Jangan harap kau akan lepas dari
tanganku! Heaaa...!"
Wulandari semakin penasaran mendapatkan
lawan yang aneh. Meski gerakan lawan kelihatan
lemah namun senantiasa sulit diduga. Setiap kali dia
menyerang, dengan cara meliuk pemuda tampan itu
mengelak. Liukan tubuh Pendekar Gila terlihat lentur
sekali namun tahu-tahu tubuh pemuda itu telah
berpindah tempat.
"Nisanak, maaf... aku tak ada waktu lagi bercanda
denganmu! Heaaa...!" Pendekar Gila menggerakkan
tangannya ke depan dan menepuk. Sebuah rangkaian
gerakan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Gerakannya pelan dan lamban.
Wulandari yang melihat gerakan tangan lawan
yang menepuk lamban, segera memapaki dengan
pukulan telapak tangannya. Kedua tangan mereka
saling beradu.
Desss!
"Ukh...!" Wulandari mengeluh tertahan.
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sedangkan
tangannya terasa panas bagai membara. Belum juga
keseimbangannya dapat dijaga, tiba-tiba Pendekar
Gila telah menepuk kembali punggungnya. Hingga
dalam waktu cepat, tubuh Wulandari telah tertotok.
"Nah, Nisanak! Aku tak ada waktu untuk
meladeimu. Antara kita tak ada silang sengketa.
Dalam waktu sebentar, totokan itu akan hilang
dengan sendirinya. Selamat tinggal."
Usai berkata begitu, sambil menggaruk-garuk
kepala Pendekar Gila meninggalkan Wulandari yang
masih memperlihatkan sinar penasaran pada
wajahnya. Mulutnya mengumpat tak menentu.
Sedangkan Pendekar Gila meninggalkan tempat itu
dengan menerobos hutan.
Pendekar Gila terus melangkah, menyelusuri hutan
untuk mencari ketiga orang yang tengah diburunya.
Dia telah jauh meninggalkan Wulandari yang masih
tertotok dan berdiri mematung dengan pandangan
penuh amarah.
Sambil bernyanyi-nyanyi, Pendekar Gila terus
melangkah. Telinganya dipasang tajam-tajam.
Matanya pun menyapu ke sekelilingnya dengan
pandangan tajam. Tangannya menggaruk-garuk
kepala yang tak gatal.
Kakinya terus melangkah, semakin bertambah
jauh meninggalkan Wulandari. Sejauh itu, belum juga
Pendekar Gila menemukan tanda-tanda ketiga lelaki
yang dikejarnya.
"Ah, bodoh sekali aku ini!" seru Sena tiba-tiba
sambil menepuk keningnya. "Mengapa aku tidak
menanyakan pada wanita itu, apakah dia melihat tiga
lelaki berompi hitam? Huh, tolol... tolol sekali.
Sesaat Sena menghentikan langkahnya. Dan
berdiri tegak dengan kening berkerut Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sementara wajahnya
nampak cengengesan seperti orang bodoh. Kemudian
kepalanya digeleng-gelengkan. Lalu perjalanannya
dilanjutkan mencari ketiga orang itu.
"Ah, biarlah... Akan kucari sendiri. Aku yakin
mereka masuk ke dalam hutan ini," gumamnya
seperti orang bodoh sambil melangkah menyelusuri
jalan setapak di dalam hutan.
Baru beberapa langkah Pendekar Gila melanjutkan
perjalanannya, tiba-tiba matanya melihat tiga sosok
tubuh tergeletak berpencar.
"Hei, bukankah tiga orang itu yang kucari?'
tanyanya pada diri sendiri.
Pendekar Gila mempercepat langkahnya agar
segera sampai di tempat ketiga tubuh itu tergeletak.
Sesampainya di tempat itu, betapa terkejut Pendekar
Gila menyaksikan pemandangan yang mengerikan.
Sampai-sampai matanya membelalak dengan mulut
menganga. Tangannya menggaruk-garuk kepala
dengan wajah terlihat bodoh. Dari mulutnya keluar
gumaman setengah mengeluh....
"Wuah..., mengapa jadi begini? Ah, rupanya aku
telah didahului orang lain...."
Pendekar Gila memandangi ketiga mayat yang
keadaannya mengerikan.
"Ah, benar!" ujarnya seketika. "Ini pasti perbuatan
wanita bercadar merah itu. Ck ck ck..., keji! Sungguh
keji sekali! Hm, ternyata dia bukan wanita
sembarangan. Dia berbahaya... Tapi, siapa dia
sebenarnya...? "
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kemudian
dengan menggunakan ilmu larinya, pemuda tampan
itu melesat meninggalkan ketiga mayat Tiga Barka
Kembar menuju tempat Wulandari tertotok.
"Aku harus menanyakan pada wanita itu, mengapa
dia melakukan perbuatan keji," bisik Sena sambil
mempercepat larinya, dengan harapan dapat
menemukan Wulandari. Namun sesampainya di
tempat itu, Pendekar Gila tidak menemukan wanita
berbaju merah jambu itu lagi.
Sesaat pandangan Sena beredar ke tempat itu,
namun tidak juga ditemukan tanda-tanda kalau
wanita itu masih berada di sana.
"Hei, ke mana wanita itu?" gumamnya sambil
menggaruk-garuk kepala. "Huh, bodoh lagi! Ah
mengapa aku bodoh terus? Dia bukan wanita baik-
baik. Aku harus mencarinya...."
Kemudian dengan tertawa tergelak-gelak
mengejutkan hewan penghuni hutan, Pendekar Gila
me meninggalkan tempat itu untuk mengejar wanita
cadar merah yang sangat telengas perbuatannya.
TUJUH
Di sebuah tempat yang jauh dari hutan di mana
Pendekar Gila tengah mengejar wanita bercadar
merah yang tindakannya keji, nampak dari kejauhan
sebuah pedati ditarik dua ekor kuda melaju dengan
pelan dan tenang. Sebagaimana ketenangan wajah
laki setengah baya yang menjadi kusir pedati itu.
Mata lelaki itu memandang tajam ke depan. Sesekali
menyapu ke kanan dan kirinya. Pakaiannya berwarna
putih perak. Kumisnya tebal melintang di atas bibir.
Sedang kepalanya diikat dengan kulit rusa.
Melihat dari ciri-cirinya, kusir pedati itu bukanlah
orang biasa. Dia tidak lain Ki Martanu, yang lebih
terkenal dengan sebutan Sabit Kembar dari Timur.
Seperti julukannya, Ki Martanu bersenjatakan
sepasang sabit, dan berasal dari wilayah timur.
Ki Martanu dengan tenang mengendarai
pedatinya. Sesekali mulutnya berdecak, dengan
tangan menghentakkan tali kekang kuda.
"Hiya, hiya…! Ayo, jalanlah dengan tenang,"
katanya pada kedua kuda yang menarik pedatinya.
Bagaikan mengerti, kedua kuda penarik pedati itu
pun melangkah dengan tenang.
Di belakang pedati, berjalan lima orang murid
utamanya. Pakaian mereka sama, hanya bedanya
tidak berlengan. Kalau Ki Martanu mengenakan
lengan panjang putih perak, kelima muridnya rompi
putih perak. Di tangan kanan kelima murid utama itu
terdapat peti berukir indah. Tangan kiri memegang
tombak. Pedang tersandang di punggung mereka.
Wajah mereka masih muda, kuning bersih dan
tampan. Mata mereka tajam memandang lurus ke
depan.
Di dalam pedati, sepasang mempelai muda tengah
bercanda penuh kebahagiaan. Yang lelaki, adalah
anak Ki Martanu. Sedangkan perempuan cantik di
sisinya adalah anak Ki Genda Aren yang menjadi
tumenggung di Pandan Laras.
Kedua mempelai itu baru melangsungkan per-
nikahan beberapa puluh hari yang lalu. Belum sampai
sebulan, atas permintaan Ki Tumenggung, mereka
diboyong dari rumahnya.
Saat pedati melaju dengan tenang, tiba-tiba kuda
penarik pedati itu meringkik. Kemudian kedua kuda
itu ambruk dan mati. Hal itu membuat Ki Marta
tersentak kaget, matanya membelalak dan dengan
ringan melompat turun dari pedatinya. Tubuhnya
salto, kemudian turun dengan enteng menjejak kaki
di tanah.
"Keparat!" maki Ki Martanu marah, manakala
melihat kuda-kudanya mati karena jarum-jarum
beracun yang dilontarkan seseorang. Sedangkan di Di
dalam pedati, terdengar jerit ketakutan menantunya.
Mata Ki Martanu memandang tajam ke sekeliling-
nya. Napasnya kelihatan memburu, menunjukkan
kalau lelaki setengah baya itu benar-benar marah.
Dari belakang, kelima murid utamanya berlari ke
arahnya.
"Ada apa, Guru?" tanya Wikala.
"Ada yang menyerang kuda-kuda kita," dengus Ki
Martanu masih menampakkan kemarahannya.
Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya, mencari
orang yang telah melontarkan jarum-jarum beracun.
"Pengecut yang telah menyerang kuda-kudaku,
keluarlah!"
Didahului desingan puluhan jarum yang melesat ke
arah mereka, sebuah bayangan warna merah jambu
berkelebat keluar dari balik semak-semak.
Zwing! Zwing...!
Ki Martanu dan kelima muridnya tersentak kaget,
cepat-cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang
dan bersalto untuk mengelakkan serangan jarum-
jarum maut itu. Setelah kaki mereka menjejak tanah
kembali, Ki Martanu dan kelima muridnya dengan
gusar memandang wanita yang kini tegak di hadapan
mereka dengan sikap menantang. Wanita itu ber-
pakaian merah jambu dengan separuh wajah tertutup
kain merah.
"Siapakah kau, Nisanak? Kenapa kau menyerang
kami?" tanya Ki Martanu dengan suara tenang.
Matanya mengawasi wanita yang berdiri tiga tombak
di depannya.
"Hi hi hi...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu! Yang
jelas, kau harus menyerahkan anak lelakimu yang
ada di dalam pedati!" dengus Wulandari setelah
tertawa cekikikan.
Mendengar jawaban tak bersahabat tadi, lima
murid utama Ki Martanu merasa kalau wanita itu
telah mempermainkan guru mereka. Lima murid
utama itu hendak menyerang. Dengan cepat orang
tua itu mencegahnya.
"Nisanak, antara kita tak ada silang sengketa.
Kuharap Nisanak sudi memberi jalan pada kami,"
kata Ki Martanu.
Wulandari kembali tertawa. Matanya kemudian
memandang tajam ke arah Ki Martanu.
"Orang tua, sebelum kau menyerahkan mempelai
lelaki padaku, aku tak akan membiarkan kalian
lewat!"
"Kurang ajar!" maki murid Ki Martanu yang
bernama Aji Genter. Wajahnya seketika memerah,
pertanda kemarahannya telah memuncak. "Guru,
wanita ini kutampar mulutnya."
"Sabar, Genter," kata Ki Martanu tenang.
Kemudian pandangannya dialihkan pada wanita di
hadapannya. "Nisanak, untuk apa kau meminta
anakku? Antara kau dan anakku tak ada silang
sengketa juga, kan?"
"Ya!" jawab Wulandari ketus.
"Lalu, untuk apa kau memintanya? Sedar anakku
sudah beristri?"
Wulandari tertawa melengking, membuat Ki
Martanu dan kelima muridnya mengerutkan kening.
Mereka tak mengerti dengan sikap wanita itu.
"Untuk apa? Hi hi hi.... Jelas untuk kujadikan budak
yang akan memuaskan keinginanku!" Wulandari
seenaknya sambil tertawa cekikikan.
"Wanita jalang!" maki murid Ki Martanu yang
bernama Abiyani. Ketika pemuda itu hendak
menyerang wanita di depannya, Ki Martanu cepat
mencegahnya dengan merentangkan tangan.
"Nisanak, kalau itu yang kau inginkan, dengan
menyesal aku tak dapat mengabulkan...."
Bibir Wulandari tersenyum sinis mendengar
jawaban orang tua setengah baya itu.
"Kalau begitu, kalian harus mampus! Heaaa…!"
bentaknya tiba-tiba.
Wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian
wajah ditutupi oleh kain merah darah itu dengan
cepat melakukan serangan. Kedua tangannya
mengembang, kemudian bergerak menyilang. Tangan
kanan ke arah ulu hati, sedangkan tangan kiri
mencengkeram ke arah selangkangan. Sementara
tubuhnya agak membungkuk, dengan kedua kaki
bergerak teratur, yang terkadang melakukan
tendangan.
Melihat serangan itu Ki Martanu terkejut dengan
mata membelalak.
'"Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'...!" desis Ki
Martanu tanpa sadar.
Ada senyum angkuh di bibir Wulandari
menyaksikan Ki Martanu terkejut melihat jurusnya.
Ki Martanu yang sudah tahu kehebatan serangan
lawan, cepat-cepat mengelak ke belakang. Dia
bermaksud menahan kelima muridnya, namun
mereka telah melesat untuk memapaki serangan
wanita itu dengan tombak.
"Heaaa...!"
Dengan tombak di tangan, kelima murid utama Ki
Martanu berusaha merangsek lawan. Mereka
melakukan gerakan mengurung. Tombak di tangan
mereka menusuk serentak ke tubuh lawan yang
membungkuk.
Mendapat serangan kelima lawannya, dengan
cepat Wulandari melenting ke atas. Kemudian turun
dengan enteng di luar kurungan mereka.
Melihat lawan telah lolos dari kurungan, cepat-
cepat kelima murid utama Ki Martanu bergerak
mengurung kembali. Tombak di tangan mereka
kembali menusuk dengan ganas.
"Tembus...! Heaaa…!"
Sebatang tombak mengancam tubuh Wulandari.
Dengan cepat Wulandari memiringkan tubuh ke
samping. Hingga tombak itu melesat di sampingnya.
Kemudian dengan cepat Wulandari melompat ke atas
lalu tubuhnya hinggap di tombak itu bagai seekor
cicak.
Melihat wanita muda itu berada di atas tombak
temannya, murid utama Ki Martanu yang berada
belakang bergerak menyerang. Tombaknya ditusuk-
kan ke arah tubuh lawan. Namun dengan cepat
Wulandari kembali melompat ke atas. Tak ampun lagi
tombak itu menusuk dada temannya sendiri.
Jrab!
"Akh...!"
Murid Ki Martanu yang bernama Lanang Jingga
memekik. Tangannya melepaskan golok yang
digenggamnya. Kini kedua tangannya memegangi
tombak yang menembus dadanya.
Sedangkan rekannya yang bernama Seta Gawe
terperangah. Dia tidak menyangka kalau tombaknya
akan menusuk teman sendiri. Wulandari tak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Kakinya yang masih
mengambang di udara, direntangkan untuk me-
nendang wajah Seta Gawe.
Dugk!
"Ukh...!" Seta Gawe memekik. Tubuhnya terhuyung
ke belakang dengan tangan menutupi wajahnya yang
terasa sangat sakit dan perih.
Menyaksikan kedua temannya jatuh, ketiga murid
lainnya kembali menyerang dengan ganas. Tombak di
tangan mereka berkelebat menusuk dan membabat
ke arah lawan. Namun Wulandari dengan mudah
mengelakkannya. Kemudian wanita berpakaian
merah jambu itu balik menyerang dengan jurus 'Kupu-
kupu Emas Merentang Sayap'.
Sepasang tangannya bergerak cepat. Yang kanan
menusuk ke arah ulu hati Abiyani. Sedangkan tangan
kirinya, bergerak mencengkeram ke arah selang-
kangan Rudali. Dibarengi tendangan ke belakang,
kaki kanannya mengancam Sengkapi.
"Heaaa...!"
Mendapat serangan balik yang begitu cepat, ketiga
murid utama Ki Martanu yang belum siap menjadi
terkejut. Dengan cepat tangan mereka memutar
tombak di depan tubuh, berusaha menangkis
serangan lawan.
"Heaaa...!"
Tombak di tangan mereka berputar cepat laksana
baling-baling, hingga tak lagi terlihat. Yang nampak
hanyalah warna gading bulat yang melindungi tubuh
ketiganya.
Melihat ketiga lawannya memerisai diri dengan
tombaknya, Wulandari tidak kehilangan akal. Cepat-
cepat serangannya ditarik, kemudian dengan cepat
tubuhnya melenting ke udara. Lalu menukik ke
bawah, tepat di belakang salah seorang dari mereka.
Tangan kanannya langsung menyerang arah
punggung, sedangkan tangan kirinya mengarah
kemaluan lawan.
Menyadari ada bahaya, pemuda itu membalikkan
tubuh. Namun tiba-tiba sebuah tendangan cepat
melesat ke wajahnya.
Pemuda itu berusaha menepiskan tendangan
wanita muda itu dengan membabatkan tombak di
depan wajahnya. Tapi serangan itu rupanya hanya
sebuah pancingan Wulandari belaka. Ketika pemuda
itu memutar tombak di depan wajahnya, secepat itu
pula Wulandari menarik tendangannya. Sedangkan
tangan kirinya yang bebas, segera bergerak men-
cengkeram kemaluan lawan.
Crak!
"Akh...!"
Pemuda itu menjerit, ketika terdengar suara
pecahnya alat kemaluannya. Matanya seketika
melotot tegang, dan tubuhnya meregang, kemudian
ambruk tanpa nyawa. Darah mengalir dari selang-
kangannya.
Mata Ki Martanu terbelalak menyaksikan per-
buatan keji wanita muda itu.
"Keji! Biadab...!" makinya gusar.
***
Wanita bercadar merah itu tersenyum sinis.
Matanya melotot menunjukkan kebengisan. Seperti-
nya tak gentar sedikit pun menghadapi lelaki
setengah baya yang namanya cukup kondang itu.
Bahkan dengan suara sinis dan sombong, wanita itu
bertanya...
"Bagaimana, Ki? Apakah kau mau menyerahkan
anakmu?"
"Bedebah! Jangan kau kira semudah itu, Betina!"
maki Ki Martanu gusar.
Kesabaran lelaki setengah baya itu sudah habis.
Napasnya turun-naik dengan rahang terkatup rapat.
Matanya yang tajam, semakin bertambah tajam
memandang ke arah wanita bercadar yang masih
tersenyum sinis.
"Jadi kau menolaknya, Ki?!" tanya wanita itu
tengah mengancam.
"Kurang ajar! Langkahi dulu mayatku! Heaaa...!"
Ki Martanu yang sudah tak dapat menahan
amarah segera melabrak Wulandari yang tertawa
mengejek.
Melihat Ki Martanu mulai menyerang, kedua
muridnya yang masih hidup segera membantu.
Hingga Wulandari harus kembali menghadapi
keroyokan tiga orang.
"Heaaa...!"
Meski dikeroyok tiga orang, tidak menjadikan nyali
Wulandari ciut. Dengan tenang wanita itu meng-
elakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki
Martanu dan kedua muridnya. Bahkan sesekali
Wulandari balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu
Emas Merentang Sayap' yang telah mampu
menjatuhkan tiga murid Ki Martanu.
Ki Martanu yang mengetahui ilmu lawan setingkat
dengannya, tidak mau gegabah dalam menyerang.
Dengan menggunakan jurus 'Rusa Melompat
Menyeruduk', Ki Martanu bergerak menyerang.
Kakinya melangkah lebar dengan kaki di depan
ditekuk. Tangannya memukul ke arah dada.
Sedangkan tangan kirinya membuat pertahanan
dengan membentuk siku.
"Heaaa...!"
Kedua muridnya yang turut menyerang tak tinggal
diam. Keduanya pun segera menusukkan tombaknya
ke arah lawan dari samping kiri dan kanan. Seakan
hendak memanggang wanita itu hidup-hidup. Melihat
serangan serentak yang dilancarkan oleh Ki Martanu
dan kedua muridnya, dengan cepat Wulandari
merundukkan tubuh sambil menggeser kaki dua
tindak ke belakang. Sedangkan tangannya bergerak
menyambar ke samping. Tombak di tangan murid-
murid Ki Martanu melewati beberapa rambut di atas
punggungnya. Sedangkan pukulan yang dilancarkan
Ki Martanu mengenai tempat kosong beberapa
jengkal di depan tubuhnya.
Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga
penyerangnya, Wulandari kembali menggebrak. Kini,
tangannya yang membentang digerakkan menyilang.
Tangan kanan ke atas, mengarah ke dada lawan di
sebelah kiri. Dan tangan kirinya mengarah ke
selangkangan lawan di sebelah kanan. Sedangkan
tubuhnya masih merunduk, dengan kaki kiri
menendang ke depan.
Ki Martanu tersuruk mundur sambil mengebaskan
tangan kirinya ke arah kaki lawan. Sedangkan kedua
muridnya berusaha memagari tubuh yang menjadi
sasaran dengan tombaknya.
Melihat kenyataan itu, cepat-cepat Wulandari
menarik semua serangannya. Kemudian dengan
berguling ke tanah, Wulandari memusatkan serangan
pada lawan di samping kanannya. Tangannya
bergerak cepat. Mencengkeram dan menghantam ke
perut serta selangkangan lawan.
"Heaaa...!"
Lawan yang diserang terkejut Dia berusaha
melindungi tubuh dengan tebasan tombaknya.
Namun gerakannya kalah cepat. Tangan kiri
Wulandari telah lebih dulu meremas selang-
kangannya dengan keras.
Crak!
"Akh...!"
Pemuda itu memekik. Tangannya yang memegang
tombak, seketika beralih memegangi kemaluannya
yang pecah. Matanya melotot, tubuhnya menegang.
Kemudian ambruk ke tanah dengan darah meleleh
dari selangkangannya.
Menyaksikan hal itu, Ki Martanu semakin ber-
tambah marah. Orang tua separuh baya itu dengan
garang kembali melancarkan serangannya.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Perempuan
iblis! Heaaa...!"
Dengan pukulan dan tendangan keras dan
beruntun, Ki Martanu terus berusaha merangsek
lawannya. Sepertinya lelaki setengah baya itu tak
mau membeikan kesempatan sedikit pun pada lawan
untuk mengembangkan serangan.
Wulandari yang mendapatkan serangan beruntun
seperti itu, tidak nampak gentar. Tubuhnya meliuk-
liuk bagai menari. Kepalanya bergerak ke kanan dan
kiri mengelakkan pukulan dan tusukan tangan lawan.
Kakinya pun bergerak lincah, terkadang melebar dan
menutup untuk menghindari sambaran-sambaran
kaki lawan.
Untuk sementara Ki Martanu mampu mendesak
lawan. Hingga lawannya kini hanya mengelak dan
menghindar dari serangan serangan yang di-
lancarkannya.
"Kau harus mampus, Wanita Iblis! Heaaa...!"
"Apakah tidak sebaliknya, Ki?! Heiiit...!" ejek
Wulandari sambil berkelit ke samping untuk
mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan
cepat dia balas menyerang. Tangannya bergerak
membuka. Tangan kanan ke arah pinggang lawan,
sedangkan tangan kiri mengarah ke selangkangan
lawan.
Ki Martanu yang sudah melihat kehebatan
serangan itu, dengan cepat menarik mundur kakinya,
berusaha mengelakkan serangan itu. Kemudian
tangannya meluncur ke dada lawan.
"Jebol dadamu, Iblis! Heaaa...!"
"Uts...!"
Wulandari menarik tangan kanan yang menyerang
ke pinggang lawannya. Kemudian dengan cepat
menangkis tangan lawan yang memukul ke arah
dada. Sedangkan tangan kiri dan kaki kanannya
masih melancarkan serangan.
Melihat lawan menangkis, Ki Martanu segera
menarik pukulan tangan kanannya. Kemudian disusul
dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan.
Pertarungan terus berlangsung dengan serunya.
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat
menjatuhkan lawan. Sejauh itu, nampaknya belum
ada yang akan memenangkan pertarungan itu.
Keduanya masih sama-sama gesit dan lincah.
Ki Martanu terus berusaha merangsek dengan
serangan-serangannya. Namun wanita berpakaian
merah jambu pun tak mau kalah. Setelah berhasil
mengelakkan serangan lawan, dengan cepat
Wulandari balas menyerang.
Tubuh Wulandari kini melenting ke angkasa,
kemudian menukik ke bawah dengan tangan siap
meremukkan tubuh Ki Martanu.
"Heaaa...!"
Ki Martanu yang melihat jurus lawan, segera
memapakinya dengan memukulkan kedua tangan ke
atas. Tanpa dapat dicegah, bentrokan tangan mereka
pun terjadi.
Degkh!
Tubuh Wulandari terlontar kembali ke angkasa,
sedangkan kaki Ki Martanu terpendam sebatas betis
ke dalam tanah. Rupanya ketika terjadi bentrokan
tadi, keduanya sama-sama mengerahkan tenaga
dalam penuh.
Wulandari terhuyung ke belakang beberapa tindak.
Mulutnya melelehkan darah. Matanya masih
memandang tajam ke arah Ki Martanu yang juga
melelehkan darah dari mulutnya.
"Heaaa...!"
Murid utama Ki Martanu yang masih hidup
melesat untuk menyerang lawan yang belum siap.
Namun belum juga tubuhnya sampai, Wulandari telah
mengebutkan lengan bajunya. Dan dari dalam
bajunya, mendesing ratusan jarum maut ke arah
pemuda itu.
Si pemuda tersentak dengan mata melotot. Dia tak
mampu lagi mengelakkan serangan jarum itu. Tanpa
ampun lagi, jarum-jarum itu menghunjam sekujur
tubuhnya.
Jlep, jlep, jlep!
"Aaakh...!"
Murid Ki Martanu memekik. Sesaat tubuhnya
meregang dengan warna biru, kemudian ambruk ke
tanah tanpa nyawa.
Menyaksikan muridnya mati, Ki Martanu memekik
keras. Tubuhnya melesat cepat ke arah Wulandari
yang saat itu ikut memekik sambil bergerak ke arah
lelaki setengah baya itu.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Keduanya siap dengan pukulan maut di tangan
masing-masing. Tangan mereka kelihatan membara
bagai sinar bintang, melesat di udara. Kemudian
dengan sama-sama menggunakan tenaga dalam
penuh, keduanya kembali bertarung. Pukulan-pukulan
maut tangan mereka, bergerak mencari sasaran.
Desss!
"Ukh...!" Wulandari mengeluh. Tubuhnya terdorong
mundur.
"Akh...!" mulut Ki Martanu memekik keras.
Tubuhnya juga terdorong mundur beberapa langkah.
Namun keadaan lelaki setengah baya itu nampak
parah. Di dadanya terhunjam puluhan jarum maut.
Mata Ki Martanu melotot. Dari mulutnya semakin
banyak darah berwarna hitam mengalir.
"Kau.... Li..., cik.... Akh...!" ujar Ki Martai terbata.
Kemudian, tubuhnya ambruk dengan warna biru.
Menyaksikan lawan-lawannya telah binasa,
Wulandari tersenyum sinis. Kemudian dengan cepat
tubuhnya bergerak ke dalam pedati di mana
sepasang mempelai berada. Tidak begitu lama,
terdengar jeritan seorang wanita. Disusul oleh pekik
kematian yang menyayat.
Ternyata Wulandari telah membunuh mempelai
wanita, sedangkan mempelai lelaki, kini dalam
keadaan tertotok. Dibopongnya tubuh mempelai lelaki
itu pergi. Tinggallah tempat pembantaian yang
kembali sepi, dengan gelimpangan mayat-mayat
bermandi darah.
Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai
berteriak girang, melihat mayat-mayat yang
menunggu disantap.
DELAPAN
Seorang pemuda tampan berompi kulit ular sanca
tampak berlari sambil tertawa tergelak-gelak seperti
orang gila. Terkadang sambil melompat, pemuda itu
menepuk-nepuk pantat atau menggaruk-garuk
kepalanya. Pemuda tampan bertampang gila itu tiada
lain Sena Manggala atau lebih dikenal berjuluk
Pendekar Gila dari Gua Setan. Dia tengah mencari
seorang wanita berpakaian merah jambu dengan
sebagian wajah tertutup cadar merah.
"Celaka..., celaka...! Mengapa aku begitu tolol?"
gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri yang
dianggapnya telah melakukan ketololan. Bagaimana
mungkin dia melepas begitu saja seorang wanita yang
sepak terjangnya terlalu telengas dan keji?
Sena terus berlari, berusaha memburu Wulandari.
Namun sampai sejauh itu, belum juga ditemukan
tanda-tanda akan bertemu dengan wanita itu.
"Weleh, kalau begini terus, tidak ubahnya main
petak umpet. He he he...!" Sena kembali tertawa
sambil garuk-garuk kepala. Kemudian pemuda itu
melangkah biasa. Kepalanya menggeleng-geleng
lemah.
Ketika kakinya hendak meneruskan langkah, tiba-
tiba matanya yang tajam melihat sesuatu yang
menarik perhatiannya. Seketika langkahnya berHenti.
Dari ke-jauhan tampak sosok-sosok tergeletak.
Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat itu.
"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah,
benar...."
Sena segera melangkah ke tempat itu.
Sesampainya di sana, ditemukannya beberapa sosok
tubuh tergeletak tanpa nyawa dan dua ekor kuda
yang juga telah mati dengan tubuh membiru.
Diamatinya mayat-mayat itu dengan seksama.
Wajahnya menjadi tegang dengan mata membelalak,
manakala melihat sesuatu yang mengerikan di
selangkangan beberapa mayat.
"Ah, rupanya dia telah datang di tempat ini...,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian matanya menyapu ke sekeliling, berusaha
meyakinkan kalau-kalau wanita itu sudah tidak ada di
di sekitar tempat itu.
Setelah merasa yakin tak ada wanita bercadar
merah di sekitar tempat itu, Sena memperhatikan
kembali mayat-mayat yang tergeletak mengerikan.
"Hm, wanita itu benar-benar keji...," gumamnya lirih
dengan mata masih memperhatikan mayat-mayat
yang bergelimpangan. Ada empat mayat lelaki muda
dan seorang lelaki tua berpakaian putih perak. Juga
seorang wanita tanpa nyawa dalam sebuah pedati
dengan kuda-kuda yang mati.
Lama Sena memperhatikan mayat lelaki setengah
baya yang ada di tempat itu. Sepertinya pemuda
tampan itu berusaha mengingat-ingat sesuatu. Hal itu
terlihat dari keningnya yang agak berkerut.
"Ah...!" pekiknya sambil menepuk kening dengan
tangan kiri. "Bukankah orang tua ini Ki Martanu? Ada
urusan apa wanita liar itu dengannya?"
Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Dia
semakin tak mengerti dengan tingkah laku wanita
bergaun merah jambu itu. Kemarin Tiga Barka
Kembar dari aliran sesat dibantai. Kini Ki Martanu
dan keempat muridnya terbantai. Padahal mereka
dari aliran lurus.
"Wah, kacau kalau begini.... Huh, mengapa
kejadiannya begini rumit?"
Kembali Sena bergumam sambil menggaruk-garuk
kepalanya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan
kirinya menepuk-nepuk kening.
"Siapa dia sebenarnya? Ini tidak boleh dibiarkan!"
gumamnya kemudian.
Ketika Sena masih memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan dengan keadaan mengerikan, tiba-
tiba terdengar suara seruan dari arah belakang pedati
"Itu dia orangnya!"
"Serang...!"
"Cincang manusia keji itu...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, manakala matanya
melihat puluhan orang dari perguruan yang dipimpin
oleh Ki Martanu.
Pendekar Gila berusaha memberi tahu bahwa dia
bukan pelakunya. Namun belum sempat dia berkata,
murid-murid Ki Martanu yang sudah kalap menyerang
serentak dengan pedangnya.
"Cincang dia!"
"Jangan biarkan hidup...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tidak diberi
kesempatan sedikit pun untuk berkata. Mereka
benar-benar kalap, menyaksikan mayat gurunya dan
juga saudara-saudara seperguruannya yang sangat
mengerikan.
"Celaka! Mengapa jadi begini...?" keluh Pendekar
Gila sambil mengelitkan serangan-serangan yang
dilancarkan murid-murid Ki Martanu yang beringas.
Pedang-pedang di tangan mereka bergerak cepat,
membabat dan menusuk ke arah Pendekar Gila.
Hingga pemuda tampan itu harus berjumpalitan
untuk mengelakkan setiap serangan yang datang ke
arahnya, kalau tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran
pedang-pedang itu.
"Tunggu...! Beri aku kesempatan untuk bicara!"
pinta Sena sambil bersalto menjauhi mereka. Namun
rupanya murid-murid Ki Martanu sudah tak mau
peduli.
"Jangan biarkan bangsat itu lolos!"
"Cincang saja!"
"Heaaat..!"
Semua murid Ki Martanu yang dilanda oleh
amarah dan dendam atas kematian saudara-saudara
seperguruan dan gurunya, kembali melesat ke arah
Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka kembali
berkelebat, menyerang dengan sabetan dan tusukan
ke tubuh pendekar muda itu.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia benar-
benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Orang-orang yang mengeroyoknya kini, semata-mata
karena salah paham belaka. Mereka tak tahu apa-
apa. Jelas tidak mungkin baginya menurunkan tangan
kasar. Terpaksa Pendekar Gila mengelak ke sana
kemari dengan ilmu meringankan tubuhnya.
"Heaaa...!"
"Tembus tubuhmu, Iblis! Yeaaat...!"
"Remuk kepalamu! Hiaaat...!"
Puluhan pedang menghujani tubuhnya dengan
babatan, tusukan, dan sabetan. Kalau saja bukan
Pendekar Gila yang dikeroyok begitu rupa oleh
mereka, sudah barang tentu akan mengalami celaka.
Serangan mereka yang didasari dendam, benar-
benar beringas dan ganas. Sepertinya nyawa orang
tak ada artinya bagi mereka, yang penting membalas
kematian guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka dapat terbalas.
"Pemuda iblis, keluarkan ilmumu yang keji! Hadapi
kami...!"
"Ya, jangan hanya bisa mengelit saja! Apakah kau
pengecut?!"
Caci maki terus terdengar, keluar dari mulut murid-
murid Ki Martanu yang dilanda amarah. Pedang-
pedang di tangan mereka turut bicara, berusaha
menyerang ke arah lawan.
Pendekar Gila benar-benar dibuat kebingungan.
Bukannya dia takut menghadapi keroyokan puluhan
orang. Namun masalah sebenarnya memang belum
jelas. Mereka belum mengerti apa yang terjadi, dan
dia hanya ketiban sial. Orang lain yang melakukan
kejahatan, sedangkan dia yang baru sampai menjadi
tempat tuduhan.
"Kisanak sekalian, sabarlah! Hentikan dulu
serangan kalian...!" seru Sena sambil terus ber-
jumpalitan berusaha mengelakkan serangan-
serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari.
Rupanya gerakan menghindar Pendekar Gila
begitu lincah dan cepat, membuat murid-murid Ki
Martanu semakin penasaran. Mereka semakin yakin,
pemuda itulah yang telah melakukan tindakan
terhadap guru dan saudara-saudara seperguruan
mereka.
"Lihat, Teman-teman. Memang pemuda orangnya!"
seru salah seorang dari mereka, membuat teman-
temannya bertambah yakin.
"Ya! Buktinya dia seperti orang gila! Hanya orang
gila yang tega berbuat sekeji itu!" sambung lainnya.
"Sudah, jangan banyak kata lagi... Serang dan
cincang dia!"
Pendekar Gila tersentak, dengan cepat tubuhnya
bergerak untuk mengelitkan serangan-serangan
lawan dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk tak ubahnya
seorang penari.
"Sabarlah, Kawan... Uts...!"
Hampir saja Pendekar Gila menjadi rencahan
senjata lawan-lawannya, ketika dia bermaksud
menyadarkan mereka. Cepat-cepat tubuhnya
melenting, bersalto lalu menjejakkan kakinya pada
sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi.
"Serbu terus...!"
Serentak semua menyerbu ke arah pohon yang
dijejaki Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka
berkelebat cepat, membabat ke tubuh Sena.
"Uts...! Rupanya kalian benar-benar mau men-
cincangku, Sobat. Hup...!"
Pendekar Gila mencelat dari pohon, lalu bersalto di
udara untuk mengelakkan tebasan-tebasan pedang
lawan. Setelah bersalto di udara beberapa saat,
tubuhnya turun dengan tenang. Mulutnya nyengir,
sedangkan kepalanya menggeleng-geleng dengan
tangan menggaruk-garuk.
"Itu dia...!"
"Wah wah wah..., ruwet sudah! Mereka benar-
benar tak bisa diajak kompromi," gumam Sena sambil
menepuk-nepuk pantatnya. Sedangkan mulutnya
masih nyengir dengan kepala menggeleng-geleng. "Ck
ck ck.... Sungguh mengerikan jika orang sudah gelap
mata."
"Serang dia...!" perintah seseorang, yang dengan
segera dipatuhi teman-temannya. Mereka kembali
menyerbu Pendekar Gila.
"Heaaat..!"
Puluhan pedang kembali bergerak bareng,
berusaha menusuk dan membabat ke tubuh
Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila mengelit
ke samping. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Hal ini tak dapat dibiarkan. Kalau begini terus,
bisa-bisa aku menjadi korban. Gumam Sena dalam
hati. Aku harus berbuat sesuatu! Tapi.... Ah,
seandainya aku memukul mati, tentunya mereka
semakin yakin kalau akulah yang melakukan
semuanya. Biarlah aku hanya menjatuhkan mereka
saja....
Usai berpikir demikian, Pendekar Gila berusaha
mendobrak pertahanan lawan-lawannya sambil
berkelit dari serangan mereka. Tubuhnya terus
meliuk-liuk laksana menari. Kemudian disusul oleh
tepukan-tepukan aneh.
Lawan-lawannya tersentak menyaksikan gerakan
aneh yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu.
Gerakan-gerakannya laksana menari dengan sesekali
menepuk. Kelihatannya lambat, namun kenyataannya
mampu menghasilkan angin pukulan yang keras dan
menyentak.
"Hai, seperti orang main-main gerakannya,"
gumam salah seorang dari mereka.
"Lihat! Bukankah itu gerakan main-main?!"
sambung yang lainnya.
"Dia benar-benar ingin mempermainkan kita!
Serang...!" seru orang pertama yang dengan cepat
ditanggapi oleh teman-temannya.
Kembali Pendekar Gila harus menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya.
Puluhan pedang mengarah ke tubuhnya, menusuk,
dan membabat. Hal itu memaksanya harus
menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'
dengan sepenuhnya, agar tubuhnya tidak terjangkau
oleh tusukan dan sabetan pedang.
"Hiaaat..!"
"Maaf, tidurlah dulu, Sobat!" Sambil berseru begitu,
Pendekar Gila menepuk pelan di dada sebelah kiri
lawan.
Tukkk!
"Hukh...!"
Satu orang kena tertotok. Tubuhnya seketika kaku,
dengan mata melotot. Sena menggaruk-garuk kepala
sambil terus meliuk-liukkan tubuh, berusaha
mengelakkan serangan pedang lawan.
Serangan-serangan gencar terus dilancarkan oleh
murid-murid Ki Martanu. Mereka bagai tidak mau
peduli dengan salah seorang temannya yang tertotok.
Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk
dan menebas.
Pendekar Gila terus meliuk-liukkan tubuhnya, dan
sesekali melompat ke sana kemari. Kemudian
dengan gerakan aneh, kembali ditepuknya seorang
lawan yang dekat dengan jangkauannya.
"Kini kau yang tidur, Sobat! Maaf...!"
Tukkk!
Orang itu seketika mematung dengan mata
melotot.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menepuk-nepuk pantat. Kemudian dengan cepat
tubuhnya dilemparkan ke samping, mengelakkan
serangan yang kembali datang mendera ke arahnya.
"Pemuda ini benar-benar harus mampus!
Heaaa...!"
"Jangan biarkan lolos!"
"Hiaaat..!"
Puluhan pedang terus menyerbu ke arah Pendekar
Gila yang meliuk-liukkan tubuhnya sambil menggaruk-
garuk kepala. Gerakannya yang kelihatan lamban,
membuat lawan bertambah penasaran. Hingga lawan-
lawannya kian bernafsu untuk segera menjatuh-
kannya.
"Wah, gawat kalau begini... Bisa-bisa korban
semakin bertambah banyak," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan bergerak untuk
mengelakkan serangan lawan-lawannya.
Tubuh Pendekar Gila segera mencelat ke samping,
bersalto di udara dan hinggap di cabang pohon randu
sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya tak henti-
henti menggaruk kepala dan menepuk pantat.
"Ha ha ha...! Hoi.... Aku di sini...!" serunya
memanggil para penyerang yang mencari-carinya.
Setelah mereka melihat, dengan tingkah konyol dan
kocak Sena menunggingkan pantatnya.
"Nih...!"
Pendekar Gila kembali tergelak-gelak. Sedangkan
murid-murid Ki Martanu yang merasa dipermainkan
semakin marah. Mereka serentak mengejar ke arah
pohon di mana Sena berada. Ada yang berusaha naik,
Ada pula yang mencoba menebang pohonnya.
Sementara, Pendekar Gila masih tergelak-gelak
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Kalian semua lucu! Ayo, kita main
panjat pinang! Ha ha ha...!"
Murid-murid Ki Martanu terus berusaha menebang
pohon randu di mana Pendekar Gila berada. Sedikit
demi sedikit pohon itu akhirnya dapat ditebang.
Namun ketika pohon itu hampir roboh, dengan cepat
tubuh Sena bersalto menjauh. Kini tinggallah murid-
murid Ki Martanu yang ketakutan, sebab pohon besar
itu tumbang ke arah mereka.
"Awas, pohon tumbang...!" seru Pendekar Gila
sambil tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya
terguncang-guncang. Tangannya menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Semua murid Ki Martanu kocar-kacir mencari
selamat. Namun tak urung, dua atau tiga orang
tersambar ranting pohon itu. Mereka menjerit-jerit
minta tolong.
Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal
menyaksikan kejadian di depannya. Kepalanya meng-
geleng-geleng, membuat murid Ki Martanu yang lain
semakin jengkel.
"Pemuda edan! Serang dia...!"
Mereka kembali bergerak untuk menyerang
Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena yang tidak
mau berurusan dengan mereka, kembali melompat
lalu bertengger di cabang pohon randu lainnya.
"Ke mana dia...?"
"Hilang..!"
Mereka celingukan mencari-cari ke mana perginya
pemuda bertingkah laku gila itu. Namun mereka tidak
juga dapat menemukannya.
Pendekar Gila tertawa keras di atas pohon
membuat pengeroyok seketika mendongak. Mata
mereka melihat pemuda itu berada di atas cabang
paling atas pohon itu. Dilihat dari cabang kecil yang
dijadikan tumpangan berpijak, seharusnya mereka
sadar kalau pemuda bertampang gila itu bukan
pemuda sembarangan.
Kalau seorang berilmu tanggung, tidak mungkin
dapat berdiri sambil tertawa tergelak-gelak di atas
sebuah cabang pohon sebesar jari tangan orang
dewasa. Namun mereka tak peduli. Kegelapan mata
mereka membuat mereka terus berusaha memburu.
"Awasi terus, jangan sampai dia pergi!"
"Ha ha ha...! Kenapa kalian tidak tebang lagi pohon
ini?" ledek Sena sambil tertawa terpingkal-pingkal
dengan tangan sesekali menepuk-nepuk pantat.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba dari arah pedati muncul tiga lelaki
berpakaian sama dengan orang-orang yang
mengeroyok Pendekar Gila. Pengeroyok yang tengah
memutar pohon seketika menjura hormat pada
ketiganya.
"Tuan pendekar, turunlah!" seru salah satu dari
ketiga orang yang baru datang. Lelaki itu berpakaian
jubah. Wajahnya terhias kerutan pertanda usianya
sudah cukup tua, dengan kumis dan jenggot putih
yang memanjang.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian
dengan ringan melompat ke bawah. Tahu-tahu
pemuda tampan itu telah berdiri di hadapan ketiga
orang yang baru datang, yang langsung menjura ke
arahnya.
Hal itu membuat murid-murid Ki Martanu yang tadi
mengeroyoknya mengerutkan dahi.
"Eyang, bukankah pemuda ini yang membunuh
guru dan saudara-saudara kami?" tanya salah
seorang dari mereka, memberanikan diri.
Lelaki yang dipanggil eyang menggelengkan
kepala.
"Toh Gendis, ceritakan pada mereka, siapa
pendekar muda ini," ujarnya seraya menatap salah
satu dari dua orang yang bersamanya.
Toh Gendis yang merupakan adik seperguruan Ki
Martanu dengan singkat menceritakan siapa pemuda
yang bertampang gila itu. Mendengar penuturan Toh
Gendis, murid-murid Ki Martanu yang tadi menyerang
Pendekar Gila melotot dan langsung memberi
penghormatan.
"Sudahlah..., sudahlah.... Mengapa kalian
membesar-besarkan julukanku? Ah ah ah, terlalu
lama dan bertele-tele. Baiklah, aku harus mem-
beritahukan pada kalian, bahwa mungkin ada
kesalahpahaman yang terjadi antara kita," kata Sena
sambil cengengesan. "Aku harus pergi untuk
mengejar pembunuh yang telah membantai guru dan
saudara seperguruan kalian dengan keji. Kalau tidak,
bahaya besar akan terus terjadi. Nah, aku mohon
pamit..."
Pendekar Gila menjura, kemudian dengan cepat
berkelebat meninggalkan mereka yang berdecak
kagum menyaksikan bagaimana anak semuda itu
memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak sombong.
"Ck ck ck.... Sungguh bukan sembarang pendekar,"
gumam lelaki tua yang dipanggil eyang sambil
menggeleng-geleng kepala. Sedangkan matanya
masih mengikuti Pendekar Gila yang berlari
menembus hutan.
SEMBILAN
Pendekar Gila yang sedang mencari Wulandari terus
berlari menerobos hutan dan sungai. Sepertinya tiada
rasa lelah sedikit pun baginya. Pikirannya hanya satu,
secepatnya mendapatkan wanita yang tindak-
tanduknya terlalu telengas itu.
Mentari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika
Sena melintas di jalan yang lengang. Angin siang
menghembuskan debu, hingga beterbangan dan
menghempas ke tubuhnya. Mau tak mau, Sena harus
menghentikan larinya. Kini dia hanya berjalan pelan
dengan tangan menutupi wajahnya agar tak terkena
serbuan debu.
"Debu sialan! Huh, terlambat lagi...!" rutuknya
sambil terus menutupi wajahnya dengan kedua
tangan. Kakinya terus melangkah, berusaha melawan
angin badai yang menerbangkan debu-debu itu.
Setelah angin mereda, Sena membersihkan
pakaiannya yang penuh debu. Tiba-tiba dari arah
samping terdengar seruan....
"Anak muda, berhenti...!"
Sena tersentak. Tubuhnya langsung dibalikkan ke
arah asal suara itu. Nampak seorang lelaki berkepala
botak di bagian atas. Rambutnya hanya tumbuh di
bagian samping serta belakang kepala. Lelaki itu
berlari ke arahnya. Tubuhnya tinggi besar dengan
wajah dihiasi cambang bauk lebat. Hidungnya yang
besar, menambah angker penampilannya. Sedangkan
matanya lebar, bagai burung hantu.
Lelaki itu mengenakan pakaian berwarna hitam
berbentuk rompi. Dadanya menonjol dan berotot. Di
pinggangnya terselip sepasang senjata berbentuk
trisula besar.
Senjata dan pakaian yang dikenakan lelaki
setengah baya itu mengingatkan Sena pada tiga
orang kembar yang dikejarnya namun kedapatan mati
dengan keadaan mengerikan. Ya, pakaian dan
senjata orang itu sama dengan pakaian dan senjata
Tiga Barka Kembar.
Bibir Sena cengengesan. Matanya memandang
dengan seksama lelaki tinggi besar yang masih berlari
ke arahnya.
"Anak muda, apakah kau yang berjuluk Pendekar
Gila?" tanya lelaki setengah baya berwajah seram itu
dengan mata tajam.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya sangat aneh,
mirip seekor kera gila. Lelaki tinggi besar itu jadi
mengerutkan kening dan menyipitkan mata. Kesal
juga hatinya menyaksikan tingkah laku pemuda di
depannya.
"Anak muda, apakah kau tak punya sopan santun,
heh?!" bentak lelaki setengah baya itu. "Apakah kau
tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Bocah
Edan?! Akulah Ki Kempala atau Trisula Setan, guru
dari Tiga Barka Kembar!"
"Aha... Rupanya aku bertemu dengan seorang
tokoh hitam yang tersohor. Ah, terimalah hormatku.
Sungguh aku yang bodoh telah berlaku kurang
sopan," kata Sena, seraya menjura hormat
Kemudian setelah berkata begitu, Sena kembali
tertawa tergelak-gelak, membuat Ki Kempala
semakin gusar.
"Bocah edan! Kaukah Pendekar Gila dari Gua
Setan itu?"
Sena menghentikan tawanya. Matanya me-
mandang tajam ke arah Ki Kempala. Kemudian
kembali tawanya diteruskan. Tingkahnya membuat
kemarahan lelaki setengah baya itu semakin
memuncak.
"Anak muda, cepat katakan, di mana aku harus
menemui pendekar itu?!" bentaknya keras dengan
mata melotot penuh kemarahan.
"Kisanak, untuk apa kau mencarinya?" tanya Sena
dengan kata sopan. Sepertinya dia berbicara
sungguh-sungguh.
"Membunuhnya!" tegas Ki Kempala.
"Membunuhnya?!" ulang Sena.
"Ya!"
"Ah, mengapa pula kau hendak membunuhnya?"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan
wajah cengengesan.
"Karena dia telah membunuh ketiga muridku!"
Masih keras dan kasar suara Ki Kempala.
Wajahnya yang beringas semakin menyeramkan
untuk dipandang. "Hei, apakah kau Pendekar Gila dari
Gua Setan itu?!"
Sena tak langsung menjawab. Kembali tangannya
menggaruk-garuk kepala dengan nyengir kuda.
"Apakah kau punya bukti menuduh Pendekar Gila
melakukan pembunuhan terhadap ketiga muridmu?"
"Kalaupun bukan dia, aku tetap akan me-
nantangnya bertempur. Sebab, aku memang berniat
untuk menjajaki ilmunya, yang katanya tinggi dan
dijadikan buah bibir orang-orang rimba persilatan!"
jawab Ki Kempala, masih menunjukkan keangkeran
dan ketegasannya.
"Ah, sungguh picik sekali. Mengapa ilmu manusia
yang belum seberapa dibandingkan ilmu Hyang Widhi
harus dijajal?! Ah ah ah..., sungguh menyedihkan,"
gumam Sena, membuat Ki Kempala semakin naik
pitam. Dianggapnya pemuda ingusan itu telah berani
menggurui.
"Lancang sekali mulutmu, Anak Muda?! Apakah
kau yang berjuluk Pendekar Gila itu, heh?!" bentaknya
sengit
"Ya, memang aku orangnya, Ki...," jawab Sena
tenang.
"Kalau begitu, kau harus mampus! Heaaat...!"
Tanpa banyak kata lagi, Ki Kempala langsung
membuka serangan. Kedua tangannya membentang
ke atas. Kemudian tangan kanannya dengan cepat
mencakar ke arah Pendekar Gila, sedangkan tangan
kiri membentuk siku.
Mendapatkan serangan yang tiba-tiba, Pendekar
Gila yang sudah waspada segera memiringkan tubuh
ke samping. Tangannya bergerak menangkis.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya sedikit dirunduk-
kan ke depan, sedangkan kedua kakinya melangkah
ke belakang dengan teratur.
Mendapatkan serangan permulaannya gagal, Ki
Kempala kembali melakukan serangan susulan.
Tangan kanannya diangkat ke atas, kemudian dengan
jari-jari membentuk cakar, segera menyerang ke dada
Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini meng-
genggam, kemudian menghentak ke muka lawan.
"Hiaaat..!"
"Uts...!"
Pendekar Gila tidak mau tinggal diam. Dia tahu,
tentunya lelaki tinggi besar itu tidak main-main dan
bukan orang sembarangan. Dengan menggunakan
jurus 'Kera Gila Melempar Batu', dibalasnya serangan
lawan. Tangannya bergerak cepat ke bawah seperti
mengambil sesuatu, kemudian bergerak ke depan
layaknya melempar.
Sedangkan tangan kirinya turut bergerak dan
sesekali menggaruk-garuk kepala. Terkadang ditekuk
ke dalam, kemudian menjentik ke depan. Kakinya
pun tak tinggal diam, menyambar dan menendang ke
arah perut lawan.
Melihat gerakan aneh yang dilancarkan lawan,
Kempala sesaat mengerutkan kening. Namun
menyaksikan gerakan Pendekar Gila yang kelihatan
lamban Ki Kempala kembali merangsek. Kedua
tangannya menyerang bergantian. Kedua kakinya
secara bergantian turut bergerak menendang. Namun
semuanya tak menghasilkan apa-apa. Serangan-
serangannya pupus tertiup angin. Setiap kali dia
melancarkan serangan, tiba-tiba Pendekar Gila telah
menjauh atau berkelit ke samping.
"Edan! Jurus edan...!" makinya marah.
Cepat-cepat Ki Kempala mengejar tubuh pemuda
itu, disusul oleh tendangan kakinya yang panjang dan
cepat ke arah tubuh Pendekar Gila yang kelihatan
bergerak lambat. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Pemuda
gila itu tahu-tahu telah berada di sampingnya.
Ki Kempala kembali bergerak untuk menyerang ke
arah samping. Tangan kirinya lurus memukul,
sedangkan tangan kanannya berada di atas kepala.
Setelah serangan pertama tak berhasil, dengan cepat
Kempala memutar tubuh. Tangan kanannya yang
semula di atas kepala, kini memukul ke arah lawan.
"Pecah batok kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Masih lemah, Ki."
Sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar
Gila berguling ke bawah. Lalu kembali melakukan
serangan seperti melempar. Ki Kempala mau tak mau
harus menyurutkan tubuh ke belakang. Kakinya
digeser ke samping, seraya memiringkan tubuhnya.
"Meskipun ilmumu tinggi, namun aku tak akan
kalah olehmu! Hiaaat..!"
Ki Kempala kembali menghentak dengan
serangan-serangan bawah. Kedua kakinya menen-
dang bergantian, dan terkadang menyapu ke tubuh
Pendekar Gila yang terus berguling.
Pendekar Gila terus melakukan gaya kera
berguling sambil mencakar. Dengan berguling tangan-
nya sesekali mencakar ke arah kaki lawan yang
menendang. Atau kakinya menjejak ke arah kaki
lawan. Hal itu memaksa Ki Kempala untuk menarik
mundur serangannya.
Hm, kalau begini terus, sulit bagiku untuk
menyerangnya. Gumam hati Ki Kempala. Dengan
cepat dia merubah jurusnya. Kali ini digunakannya
jurus 'Musang Berguling Menangkap Mangsa'.
"Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala berguling, sejajar dengan tubuh
Pendekar Gila. Sementara keduanya berguling di
tanah, mereka terus bergerak saling menyerang.
Tangan dan kaki mereka saling mencakar dan
menendang.
Pertarungan dengan cara berguling itu ber-
langsung lama. Tangan dan kaki mereka terus saling
cakar dan menendang. Namun sejauh itu, Pendekar
Gila belum berusaha melancarkan serangan yang
mematikan. Dia masih mencoba mengukur sampai
sejauh mana ilmu lawan. Padahal Ki Kempala telah
mengerahkan hampir tiga perempat ilmunya untuk
dapat mengalahkan pemuda itu, sekaligus mem-
bunuhnya.
"Hiaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Ki Kempala terus mengikuti cara bertarung
lawannya dengan berguling. Tanpa terasa, mereka
telah jauh meninggalkan tempat semula. Tangan Ki
Kempala terus mencakar ke arah wajah dan dada
lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat selalu
dapat berkelit. Tangannya menyilang, kemudian
membuat gerakan melempar yang mau tak mau
harus dielakkan Ki Kempala.
Setelah beberapa jurus mereka kerahkan untuk
melakukan pertarungan dengan cara berguling, tiba-
tiba tangan mereka berbenturan keras. Diikuti
pekikan menggelegar, kedua tubuh itu melompat ke
atas dahan laksana terbang.
"Heaaat..!"
"Hup, heaaa...!"
Dua tubuh itu berkelebat ke atas, kemudian salto
ke belakang. Wajah Ki Kempala nampak pucat
menandakan betapa kagetnya dia. Sama sekali tidak
diduganya kalau lawan yang masih muda memiliki
tenaga dalam yang sempurna, hingga mampu
melontarkan tubuhnya jauh.
"Hm, rupanya dia bukan pemuda sembarangan.
Pantas namanya saat ini melambung. Tapi aku tidak
akan mundur. Heaaa...!"
Tubuh Ki Kempala yang baru saja menjejak tanah,
kini telah berkelebat lagi untuk melakukan serangan.
Dicabutnya kedua senjata kembarnya yang berbentuk
trisula.
Melihat lawan telah menggenjot kakinya untuk
menyerang, Pendekar Gila tak mau tinggal diam.
Tanpa mengeluarkan senjatanya, Pendekar Gila
memapaki serangan lawan.
"Heaaa...!"
Ki Kempala menyodokkan ujung trisula di tangan
kanannya ke dada lawan. Sedangkan trisula di tangan
kirinya menyabet ke arah kepala.
Pendekar Gila dengan cepat meliukkan tubuh ke
samping. Sedangkan kepalanya ditundukkan dalam-
dalam. Tangan kanannya melakukan hentakan ke
dada lawan dengan tepi telapak tangan. Sedangkan
tangan kirinya menghentak ke dagu lawan dengan
telapak tangan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala tersentak kaget Dia tidak menduga
sama sekali akan mendapatkan serangan yang begitu
cepat. Dengan cepat Ki Kempala menarik
serangannya. Tangan kirinya ditebaskan di depan
dadanya. Sedangkan tangan kanannya melakukan
tusukan ke dada lawan.
Mendapatkan lawan melakukan tangkisan,
Pendekar Gila menarik serangannya. Dengan cepat
tubuhnya memutar ke samping tubuh Ki Kempala.
Dan dengan cepat pula, lutut kaki kanannya
menyodok ke arah pinggang Ki Kempala.
"Uts...! Celaka...!" pekik Ki Kempala dengan mata
melotot kaget. Cepat-cepat tubuhnya diegoskan,
mengelakkan sodokan lutut lawan. Kemudian
kembali trisulanya ditebaskan ke kaki lawan.
Pendekar Gila menarik lututnya ke belakang.
Dengan kaki kanan masih mengambang di udara,
tangan kirinya menyerang ke dagu lawan. Sedangkan
tangan yang kanan, memukul ke perut lawan.
"Akh...! Gila! Benar-benar gila...!" seru Ki Kempala,
kaget menyaksikan gerakan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Kelihatannya sangat lambat pemuda
itu melakukan serangan, namun tahu-tahu tangannya
yang menyentak ke dagu dan perut telah tepat pada
sasaran.
Ki Kempala memiringkan tubuh ke belakang
hingga agak mendongak. Kemudian kembali tubuh-
nya dimiringkan ke samping kanan. Dilanjutkan
dengan tendangan ke selangkangan lawan.
Cepat-cepat Pendekar Gila mengelit ke samping
kiri, sedangkan kaki kanannya yang masih
mengambang dengan cepat menendang ke pinggang
lawan.
"Hiaaat..!"
Ki Kempala terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat
dia mencelat ke belakang untuk mengelak. Kalau
terlambat, pinggangnya tentu sudah remuk terkena
tendangan kaki lawan. Sambil berdiri, matanya
memandang tegang ke arah Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Jangan dikira aku akan kalah
olehmu, Gila!"
Usai membentak begitu, Ki Kempala segera
menjatuhkan diri ke tanah, kemudian dengan cara
berbaring dia melakukan serangan ke arah lawan.
"Heaaa...!"
Tangan Ki Kempala yang menggenggam trisula
bergerak menusuk dan membabat, membuat
Pendekar Gila berlompatan ke sana kemari
mengelakkan sabetan senjata lawan. Dengan jurus
'Kera Gila Menari Menggoda Ular' Pendekar Gila terus
bergerak. Kedua kakinya berirama menari-nari,
dengan tangan tak ketinggalan melakukan gerakan
menghempas ke bawah.
Repot juga Ki Kempala menghadapi jurus yang
dimainkan Pendekar Gila. Tangan kanannya harus
bisa menangkis serangan-serangan yang dilancarkan
lawannya. Sedangkan tangan kirinya terus berusaha
menyerang.
Ki Kempala menyilangkan kedua tangannya ke
atas, manakala tangan Pendekar Gila menyerang.
Hingga kedua tangan mereka saling beradu. Lalu Ki
Kempala menendang ke wajah Pendekar Gila, yang
dengan cepat memiringkan tubuh ke samping.
Kemudian balas menyerang dengan dupakan kaki
kanannya.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaat..!"
Kedua tangan itu masih menyatu, ketika Pendekar
Gila menyentakkan tubuh ke atas. Sehingga tubuh Ki
Kempala turut tersentak melesat ke atas.
Saat tubuh mereka melayang di atas, keduanya
kembali saling menyerang. Tangan mereka yang
semula menyatu, kini saling menghantam dan
menangkis. Sedangkan kaki mereka turut bergerak
menyerang.
"Heaaat..!"
"Hup! Heaaa...!"
Keduanya memapaki serangan dengan telapak
tangan masing-masing, sehingga kedua telapak
tangan mereka beradu keras.
Degkh!
"Ukh...!"
"Hhh...!"
Tubuh keduanya mencelat ke belakang, bersalto di
atas kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Tubuh
Ki Kempala terhuyung ke belakang dua langkah.
Mulutnya melelehkan darah. Sementara Pendekar
Gila tersenyum acuh sambil garuk-garuk kepala.
"Ki Kempala, kurasa tak ada gunanya pertarungan
ini. Lebih baik kita sudahi saja. Aku masih banyak
urusan," ucapnya sambil mengorek-ngorek telinga.
"Tidak! Aku tak akan membiarkan kau pergi! Huh
jangan kira aku telah kalah olehmu! Hiaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan benar-benar hendak mengadu nyawa.
Telinganya terasa agak berdengung mendengar
teriakan yang menggelegar tadi. Pendekar Gila
berusaha menahan getaran teriakan itu dengan
mengerahkan tenaga dalamnya. Kemudian dengan
cepat dicabut Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
"Heaaa...!"
Dengan melompat untuk menghindari serangan
lawan, Pendekar Gila meniup sulingnya. Suara tiupan
suling itu berubah melengking. Sekaligus meng-
hancurkan teriakan Ki Kempala yang menggelegar.
Hingga lelaki tinggi besar itu tersentak dan meng-
hentikan teriakannya.
Melihat Ki Kempala telah menghentikan teriakan,
Pendekar Gila pun menghentikan tiupan sulingnya.
Setelah itu tubuh keduanya kembali melesat untuk
saling menyerang.
Dengan tangan menggenggam senjata masing-
masing, keduanya bergerak menyerang. Ki Kempala
menusukkan trisulanya ke dada lawan. Namun
dengan cepat Pendekar Gila membabatkan Suling
Naga Sakti ke arah senjata lawan. Dan terjadilah
benturan keras yang memekakkan telinga.
Trang!
Ki Kempala tersentak kaget. Tubuhnya melompat
mundur dengan mata membelalak lebar. Tangannya
kesemutan dan terasa sangat panas. Napasnya
mendengus semakin marah. Lalu dengan segenap
tenaga dalamnya, Ki Kempala kembali menyerang
dengan memekik dahsyat.
"Hiyaaat..!"
"Heit..!"
Ki Kempala kembali berusaha menusukkan
trisulanya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan
cepat Pendekar Gila membabatkan sulingnya untuk
mementahkan tusukan itu. Sedangkan tangan kirinya
memukul dengan telapak tangan ke dada lawan yang
kosong.
Ki Kempala tersentak kaget. Dia berusaha
menutupi dadanya dengan tangan kiri. Namun
gerakannya kurang cepat, hingga pukulan telapak
tangan Pendekar Gila menghajar dadanya.
Degk!
"Akh...!" Ki Kempala memekik keras. Tubuhnya
terlontar jauh ke belakang, melayang dengan dada
gosong. Kemudian tubuh itu membentur bukit cadas
hingga terdengar suara patahnya tulang punggung
dan pecahnya tulang kepala.
Krak
Pendekar Gila terpaku diam sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Sungguh kau seorang lelaki yang perkasa,
Seharusnya tak perlu terjadi hal seperti ini kalau saja
kau tidak memaksa...," desah Pendekar Gila sambil
memandangi tubuh Ki Kempala yang tewas secara
mengerikan. Kemudian dengan cepat kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu.
SEPULUH
Seorang wanita cantik bertubuh kuning langsat
tengah menggeluti tubuh seorang lelaki muda
tampan. Wanita itu adalah Wulandari, sedangkan
lelaki tak berdaya dalam pelukannya adalah putra Ki
Martanu yang berhasil dibawanya.
"Ayo, Sayang....!" desis Wulandari sambil meng-
geluti tubuh pemuda itu.
Sementara itu, lelaki di pelukannya hanya diam.
Matanya memandang hampa, seakan-akan tidak ada
gairah sama sekali. Benaknya terus terbayang pada
istrinya yang dibunuh oleh Wulandari dua hari yang
lalu.
Namun, lelaki tetap lelaki. Menghadapi godaan
wanita secantik Wulandari, akhirnya pupus juga
bayangan tentang kematian istri tercinta di benaknya.
Perlahan-lahan pemuda itu terbawa anus birahi yang
mulai tercipta oleh iblis dalam dadanya.
Hingga pemuda itu mulai membalas kecabulan
yang diberbuat Wulandari. Dan keduanya terhanyut di
tengah gelombang nafsu laknat.
Saat keduanya hendak mencapai puncak
kenikmatan duniawi, tiba-tiba....
Jlep, jlep, jlep!
"Aaa...!" si pemuda menjerit. Tubuhnya meregang
dengan kepala mendongak. Matanya melotot
mengerikan, membuat Wulandari tersentak kaget.
Lalu tubuh pemuda itu ambruk ke samping. Di
punggungnya tertancap tiga bilah pisau beracun.
"Kurang ajar! Siapa cecunguk yang telah berani
mengganggu kesenanganku?!" maki Wulandari.
Dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali,
kemudian berkelebat ke luar.
Di luar telah berdiri sesosok tubuh dengan wajah
bertopeng. Seorang lelaki muda berpakaian kuning,
yang mengingatkan Wulandari pada lelaki yang telah
memperkosanya. Lelaki muda bertopeng itu tertawa
ngakak.
"Mengapa kau harus susah-susah mencari
kepuasan? Bukankah aku telah siap? Bagaimana
dulu? Nikmat bukan?" tanyanya sambil meneruskan
gelak tawa.
Mara Wulandari melotot penuh kebencian.
Pemuda ini yang dicari-carinya. Kini dia telah datang
kembali, tanpa harus susah-susah mencarinya.
"Rupanya kau yang dulu mengaku Pendekar Gila?!
Hm, kau harus mampus, Bajingan! Hiaaat...!"
Dengan penuh kemarahan, Wulandari menyerang
pemuda bertopeng yang memang dicarinya. Serangan
yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung. Jurus-
jurus maut yang didapatinya dari Nyi Kendil kini
dikeluarkannya untuk menggempur pemuda
bertopeng yang mengaku sebagai Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat dan keras dari
Wulandari, pemuda bertopeng itu malah tertawa.
Kemudian dengan pongah dan sombong pemuda itu
berkata...
"Percuma kau melawanku, Perempuan Tolol.
Pendekar Gila bukanlah tandinganmu!"
Sambil berkata begitu, pemuda bertopeng yang
mengaku-ngaku sebagai Pendekar Gila itu berkelit
mengelakkan serangan Wulandari yang bertubi-tubi
"Bedebah! Kau kira aku akan percaya kalau kau
Pendekar Gila?! Kau salah besar! Aku telah
berhadapan langsung dengan Pendekar Gila yang
sesungguhnya. Dan dia tidak bejat seperti kau!
Heaaat..!"
Wulandari yang dendamnya terus membara tak
mau banyak omong lagi. Tangannya yang membentuk
sayap kupu-kupu terus menyambar. Sedangkan
kakinya menendang dan menyapu.
"Ha ha ha...! Rupanya kau tak percaya, kalau aku
Pendekar Gila! Hm, baiklah! Kau lihatlah buktinya."
Usai berkata begitu, pemuda bertopeng itu
melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk
bagai menari. Namun gerakannya kasar dan keras,
tidak seperti gerakan yang dilakukan Sena untuk
mengelak.
"Pembohong! Iblis...! Jangan kira aku tak tahu
siapa Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wulandari yang merasa telah ditipu mentah-
mentah oleh pemuda itu, terus melancarkan
serangan. Pukulan dan sambaran maut dilancar-
kannya. Namun pemuda bertopeng itu dengan mudah
mengelakkan setiap sambaran dan pukulan lawan.
Wulandari terus merangsek dengan serangan-
serangannya. Namun setiap kali melakukan
serangan, secepat itu pula lawan dapat me-
matahkannya. Hal itu membuat Wulandari semakin
marah dan penasaran.
"Aku belum puas sebelum membetot kemaluanmu,
Iblis! Heaaa...!"
Kini Wulandari membuka serangan baru dengan
jurus yang lebih keras dan dahsyat. Jurus 'Kupu-kupu
Hinggap Sambil Menghisap Madu'. Kakinya yang
mengambang, sedikit ditekuk. Sedangkan kedua
tangannya bergerak membuka dan menyambar
dengan cepat.
"Hiaaat..!"
Pemuda bertopeng itu kembali tertawa. Tubuhnya
melompat ke sana kemari untuk mengelakkan setiap
serangan lawan.
"Sudah kukatakan, percuma saja kau melawan
Pendekar Gila!" katanya lagi.
"Bedebah! Jangan kira mulutmu tak dapat
kurobek! Heaaat..!"
Saat keduanya bertarung seru, tiba-tiba terdengar
suara gelak tawa membahana. Bersamaan dengan
itu, seorang lelaki berpakaian rompi kulit ular sanca
telah hinggap di atas sebuah ranting pohon di hutan
itu, Gerak-geriknya seperti orang gila. Tangannya
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Ha ha ha...! Jadi inikah orang yang mengaku
sebagai Pendekar Gila?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
membuat kedua orang yang tengah bertarung
seketika menghentikan pertarungannya.
"Siapa kau? Berani benar kau berkata begitu di
depan Pendekar Gila, heh?!" bentak pemuda
bertopeng.
Sena kembali tertawa tergelak-gelak. Tangannya
menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantat
kemudian dengan cengengesan sambil meng-
gelengkan kepala, Sena menjawab....
"Aku...? Ha ha ha.... Entahlah. Maaf, aku berlaku
tak sopan di depan lelaki busuk yang ngaku-ngaku
sebagai Pendekar Gila!" usai berkata Sena melompat
ke bawah dan menjejakkan kakinya di depan kedua
orang tadi. "Hm, rupanya ini orang yang membuat
cemar nama Pendekar Gila. Ah ah.... Mengapa
Pendekar Gila harus bertopeng?"
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya?!" bentak
pemuda bertopeng.
"Siapa pun aku, yang jelas aku ingin menangkap-
mu, Manusia Busuk! Ha ha ha...! Enak sekali kau
mengaku-ngaku Pendekar Gila," ancam Sena.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, berani
kurang ajar pada Pendekar Gila. Heaaa...!"
Pemuda bertopeng bergerak menyerang ke arah
Sena yang masih tertawa-tawa sambil menggaruk-
garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Gerak-
geriknya persis orang gila, membuat Wulandari
terpaku di tempat.
Wulandari benar-benar bingung. Dilihatnya kedua
orang lelaki muda yang sama-sama tampan. Yang
satu mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular
sanca. Sedangkan yang satunya berbaju lengan
panjang warna kuning dengan wajah bertopeng.
Kalau dilihat dari gerak-geriknya, tentunya pemuda
yang mengenakan rompi kulit ular sanca adalah
Pendekar Gila, pikir Wulandari.
Pemuda bertopeng terus melancarkan serangan.
Tangannya bergerak menyambar dada lawan.
Sedangkan tangan yang lain memukul ke arah muka.
Kedua kakinya tak tinggal diam, menyapu dan
menendang ke arah kaki Pendekar Gila.
Mendapat serangan cepat dan bertubi-rubi, tidak
membuat Pendekar Gila gentar. Dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat', dielakkannya serangan
lawan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Sementara
tangannya terkadang menepuk. Gerakan meliuk dan
menepuknya kelihatan sangat pelan dan lamban. Hal
itu membuat pemuda bertopeng semakin yakin kalau
dalam beberapa gebrakan saja pemuda yang
bertingkah seperti orang gila itu akan dapat
dijatuhkannya.
Pemuda bertopeng semakin mempercepat
serangan. Tangannya mengembang ke samping
dengan satu kaki menekuk. Itulah jurus 'Belalang
Mencakar'.
Dengan cepat tangannya membentuk kaki-kaki
belalang yang mencakar dan menjentik ganas ke arah
Pendekar Gila. Sedangkan kakinya turut menendang
dan menyapu.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, sambil
menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila terus berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Lucu sekali
gerakan yang dilakukannya, sampai-sampai
Wulandari yang menyaksikannya jadi terkesima dan
tak dapat berbuat apa-apa.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Tangan pemuda bertopeng itu terus bergerak
mencakar dan menyentuh ke dada dan wajah
Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila
berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping untuk
mengelak kemudian tangannya bergerak menyambar
topeng pemuda itu.
"Heaaa...!"
***
Breeet!
Topeng yang dikenakan pemuda berbaju itu
terlepas dari wajahnya. Dan nampaknya seraut wajah
tampan.
"Hm... Tidak kusangka lelaki setampan dia harus
menyembunyikan wajah di balik topeng. Tentunya kau
bermaksud buruk...?" gumam Pendekar Gila.
Melihat lawannya lengah, dengan cepat pemuda
berbaju kuning mengirimkan tendangan cepat.
Pendekar Gila tersentak kaget. Dia berusaha
mengelak, namun terlambat. Tendangan pemuda itu
begitu cepat dan tiba-tiba. Tanpa ampun lagi,
dadanya terhantam tendangan lawan.
Degk!
"Hukh...!"
Pendekar Gila terhuyung ke belakang dengan mata
melotot kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk
mengusir rasa mual yang sampai ke kepala. Mulutnya
menyeringai, kemudian tangannya menggaruk-garuk
kepala.
Pemuda berbaju kuning yang mengira Pendekar
Gila terkena luka dalam akibat tendangannya,
kembali menyerang dengan gabungan pukulan dan
tendangan. Gerakannya cepat dan mematikan.
Nampaknya pemuda berbaju kuning itu merasa yakin
kalau dia akan dapat menjatuhkan Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
"Celaka! Pemuda itu dalam bahaya...!" seru
Wulandari tersadar dari keterpakuan.
Bagai ada yang mendorong, Wulandari dengan
cepat berkelebat menghadang serangan pemuda
berbaju kuning. Pendekar Gila yang tidak menduga
kalau Wulandari berbuat nekat, tersentak kaget. Dia
berusaha mencegah, namun wanita itu telah melesat
cepat.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Kedua tubuh itu melesat cepat menuju satu tirik.
Rasanya sulit bagi Pendekar Gila untuk meng-
halanginya. Akhirnya Pendekar Gila hanya mampu
menonton apa yang akan terjadi.
Jlegar!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Keduanya memekik dengan tubuh terlontar
beberapa tombak ke belakang. Tubuh Wulandari
terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan
memegangi dada. Dari mulutnya meleleh darah
segar, membasahi bibir dan dagunya.
Sementara itu, pemuda berbaju kuning pun
mengalami hal yang sama. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata memandang
tegang. Sepertinya dia tidak percaya kalau wanita
yang dulu lemah dan dapat diperkosanya dengan
mudah, kini telah memiliki tenaga dalam yang
seimbang dengannya.
Pendekar Gila hanya dapat memandangi kedua
orang yang kini sama-sama terhuyung. Dia tak tahu
harus berbuat apa. Pantang baginya menyerang
orang yang lemah dan tidak mampu menyerang lagi.
Pemuda berbaju kuning mendengus marah. Tanpa
diduga oleh Pendekar Gila, dia kembali menyerang ke
arahnya. Pendekar Gila tersentak, karena sama sekali
tak menduga diserang oleh pemuda itu.
"Hiaaat..!"
"Uts...! Hampir saja...!" ucapnya sambil bergerak
mengelitkan serangan lawan yang tiba-tiba dan cepat.
Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan
cepat balas menyerang dengan tepukan tangan ke
dada lawan.
Mendapatkan serangan balasan yang kelihatannya
lemah namun tahu-tahu telah dekat ke dadanya,
pemuda berpakaian kuning tersentak. Cepat-cepat
serangannya ditarik mundur dengan menggeser kaki
ke belakang dua langkah. Setelah itu, pemuda
berpakaian kuning ini kembali melancarkan
serangan.
"Hiaaat..!"
Jurus 'Ular Kobra Mematuk' dilancarkan pemuda
berbaju kuning itu. Gerakan tangannya yang
mematuk begitu cepat, dibarengi oleh sabetan-
sabetan tangan yang lain. Kakinya laksana ekor ular
kobra yang turut menyerang.
Melihat serangan lawan tidak main-main lagi,
Pendekar Gila segera mengubah jurusnya. Dengan
jurus 'Kera Gila Menari dan Mencengkeram',
dihadapinya jurus lawan. Kakinya bergerak tak
ubahnya seperti kaki kera. Sedangkan tangannya
sesekali mencengkeram ke lengan lawan yang
mematuk seperti ular kobra.
Pertarungan itu tidak ubahnya pertarungan sengit
antara seekor kera gila yang menari-nari melawan
seekor ular kobra ganas.
"Heaaat...!"
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila dengan sesekali menggaruk-garuk
Kepalanya, terus meladeni jurus ular yang
dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Tangannya
mencengkeram ke tangan lawan yang tak ubahnya
kepala kobra yang mendesis-desis berusaha
mematuk.
Jurus keras yang dilancarkan lawan, kini dihadapi
oleh gerakan-gerakan lucu seperti seekor kera.
Tangan lawan kembali mematuk ke arah dada,
disusul dengan tebasan tangan yang lain. Namun
dengan cepat Pendekar Gila mencengkeramkan
tagan kanannya ke arah tangan lawan. Sedangkan
tangan kirinya menepis serangan. Kakinya berjingkat-
jingkat mengelakkan sambaran kaki lawan.
Pertarungan itu masih berjalan dengan seru.
Masing-masing berusaha menjatuhkan. Pemuda
berpakaian kuning semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan Pendekar Gila. Namun dengan gerakan-
gerakan aneh dan lucu, Pendekar Gila dengan mudah
mematahkan serangan lawan. Bahkan ketika melihat
ada bagian yang lowong, tangannya ditepuk ke dada
lawan. Sedangkan tangan lain mencakar ke arah
wajah.
Degk! Bret!
"Ukh...!"
Tubuh pemuda berbaju kuning itu terlontar ke
belakang dengan deras, laksana terdorong kekuatan
yang maha dahsyat. Tubuhnya terus meluncur
menuju sebatang pohon besar.
Pemuda berbaju kuning menjerit keras ketika
tubuhnya hampir membentur pohon besar yang akan
meremukkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat menyambar
tubuhnya sambil berseru....
"Pendekar Gila, kutunggu kau purnama yang ketiga
di Puncak Lawu!"
Pendekar Gila tersentak. Segera tubuhnya
berkelebat, berusaha mengejar lelaki yang membawa
tubuh pemuda berpakaian kuning itu.
"Tunggu! Jangan lari...!" cegah Sena sambil
mengejar dengan mengerahkan ilmu larinya. Namun
lelaki berpakaian jubah hitam berambut putih itu
ternyata telah melesat cepat meninggalkannya.
"Huh, orang aneh.... Mengapa dia menyuruhku
datang ke Puncak Lawu? Dan mengapa pula harus
purnama ketiga yang berarti tiga bulan lebih? Ah,
mengapa aku pikirkan? Aku harus kembali untuk
menemui wanita itu!"
Pendekar Gila kembali melesat dengan ilmu
larinya menuju tempat Wulandari. Namun
sesampainya di sana, wanita muda itu telah tiada.
Sena hanya menemukan sebaris tulisan yang digurat
di sebatang pohon besar.
Sena mengerutkan kening, sambil menggaruk-
garuk kepala. Didekatinya pohon besar itu, kemudian
dibacanya tulisan yang kelihatannya masih baru,
sehingga getahnya nampak masih menetes.
Tuan Pendekar, maaf aku telah salah menuduh.
Izinkanlah aku menebus kesalahan yang telah
kuperbuat selama ini. Namun aku tak akan diam,
sebelum pemuda keparat itu kudapatkan. Dialah
yang telah menghancurkan masa depanku.
Merenggut kehormatanku, serta membunuh suami-
ku.
Sena kembali menggaruk-garuk kepalanya sesaat
Kemudian dia kembali membaca lanjutan tulisan
Wulandari.
Mulanya aku percaya kalau pemuda laknat itu
adalah Pendekar Gila dari Gua Setan, yang
sebenarnya Tuan sendiri orangnya. Itu sebabnya
aku dendam pada orang-orang persilatan. Hal itu
kulakukan, semata-mata untuk melampiaskan
kebencianku pada Pendekar Gila. Sebab kutahu
kalau Pendekar Gila bukan orang sembarangan.
Sekali lagi, maafkan aku. Sampai ketemu di Puncak
Lawu tiga pumama yang akan datang.
Sena menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
lesu melangkah memasuki gubuk yang berada di
dalam hutan itu. Hati Sena terkesiap saat melihat
sesosok mayat lelaki muda tanpa pakaian berada di
dalam gubuk itu.
"Tentunya ini perbuatannya. Huh, semoga dia
benar-benar sadar," gumam Sena lirih, lalu kembali
melangkah keluar sambil menutup pintu gubuk itu.
Sesaat wajahnya ditengadahkan, kemudian tubuh-
nya melesat meninggalkan tempat itu.
Siapakah pemuda berpakaian kuning itu sesung-
guhnya? Dan, siapa lelaki tua berpakaian jubah hitam
yang menolong pemuda berpakaian kuning itu? Untuk
apa lelaki tua itu mengundang Pendekar Gila ke
Puncak Lawu? Lalu bagaimana nasib Wulandari
selanjutnya? Sadarkah dia akan perbuatannya
selama ini? Siapa pula pemuda berpakaian kuning?
Untuk dapat menjawabnya, silakan ikuti kisah
Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Duel di
Puncak Lawu".
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon