Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 4 - Persekutuan Dua Iblis(1)


Pengantar 
Dalam cerita “Kobaran Api Asmara” telah diceritakan 
tentang terjadinya persaingan cinta segitiga, yang 
berakibat Kebo Pradah dan Tanu Pada mati oleh 
perbuatan Kaligis dan Sangkan. Maksudnya apabila Tanu 
Pada dan Kebo Pradah sudah dapat disingkirkan, Kaligis 
dan Sangkan akan bisa mendapatkan cinta kasih dari 
Sarindah dan Sarwiyah. 
Akan tetapi perhitungan Sangkan dan Kaligis keliru. 
Sarindah dan Sarwiyah tidak juga mau memalingkan muka 
kepada dua orang pemuda tersebut dan malah kemudian 
mencurigai. 
Di saat seperti itu, tiba-tiba tokoh sakti bernama Julung 
Pujud muncul. Kemudian secara terang-terangan, Julung 
Pujud melamar Sarwiyah untuk diperisteri oleh muridnya, 
bernama Warigagung 

Akibat dari peristiwa ini, Sarindah menjadi marah dan 
benci setengah mati kepada semua orang. Secara diam-
diam gadis ini kemudian pergi meninggalkan rumah. 
Maksudnya jelas, akan mencari Tanu Pada yang dicintai 
itu, karena waktu tiga bulan bertugas sudah selesai, belum 
juga pulang. Tetapi sudah tentu keinginan Sarindah ini 
tidak bedanya dengan menggantang asap karena Tanu 
Pada sudah mati terbunuh oleh Kaligis dan Sangkan. 
Nah, dalam cerita "Persekutuan Dua Iblis" ini, Sarindah 
mengalami berbagai peristiwa yang tidak pernah diharap-
kan sejak meninggalkan rumah. 
*** 
ari sudah sore. Di ruang depan, tokoh sakti berjuluk 
Si Tangan Iblis mengelu-elukan tamunya dengan 
wajah berseri dan mulut selalu tertawa. Betapa 
tidak!?? Ikatan pertunangan antara Warigagung dengan 
cucunya, Sarwiyah, berarti antara dirinya dengan tokoh 
sakti Julung Pujud terikat sebagai keluarga. 
Padahal sudah sejak lama ia mendidik semua murid dan 
tiga orang cucunya, Sarindah, Sarwiyah maupun Sentiko 
(yang pergi diam-diam untuk memusuhi Gajah Mada dan 
Mpu Nala, dan belum diketemukan kembali ) adalah agar 
dapat membalas dendam kepada dua orang tokoh 
Majapahit, Gajah Mada dan Mpu Nala. Dan karena dalam 
menanamkan kebencian itu disertai dengan fitnah yang 
dapat membangkitkan marah, menyebabkan dendam tiga 
orang cucu ini setinggi gunung. Maka dengan tambahnya 
tenaga, Julung Pujud dan muridnya ini, Si Tangan Iblis 
merasa pasti akan dapat membalas dendam. 
Sebaliknya, Julung Pujud yang sejak muda juga mem-
benci kepada Gajah Mada dan Majapahit, juga menjadi 
gembira sekali sebab ia merasa amat beruntung, dapat 
menemukan gadis cantik cucu Si Tangan Iblis yang ber-
nama Sarwiyah ini tidak ada celanya menjadi isteri murid-
nya. Betapa tidak?!? Selain cantik juga halus, jujur, lemah 
lembut dan tentu akan setia sebagai isteri. 
Julung Pujud memandang muridnya yang diperintahkan 
duduk berdampingan dengan Sarwiyah, penuh perhatian. 
Namun demikian kakek kerdil ini diam-diam geli, kemudian 
ia terkekeh tertawa, melihat sikap dua orang muda itu. 
Ternyata baik Sarwiyah maupun Warigagung walaupun 
duduk berdampingan, mereka menundukkan kepala dan 
duduk berdiam diri bagai arca. 
“Heh… heh… heh… heh, Gagung,” katanya. “Mengapa 
sebabnya kau seperti patung dan membiarkan calon 
isterimu juga seperti arca batu? Heh… heh… heh… heh, 
engkau jangan menyebabkan calon isterimu menjadi malu. 
Hayo Gagung, ajaklah dia bicara!” 
Si Tangan Iblis geli juga melihat dua orang muda itu 
duduk bagai patung. Katanya, “Wiyah! Mengapa kau 
begitu? Engkau harus amat bahagia, menjadi calon isteri 
Warigagung dan calon menantu Kakang Julung Pujud, 
orang paling sakti di dunia saat ini. Ha… ha… ha… ha, 
kedudukanmu akan terhormat dan semua orang takkan 
berani sembarangan dan mengganggu. Dayu Wiyah, 
engkau harus pandai menempatkan dirimu sebagai pihak 
tuan rumah. Ajaklah berbicara agar hubunganmu menjadi 
lebih erat. Calon suami-istri, kamu tidak boleh malu-malu! 
Akan tetapi Sarwiyah tidak juga menyahut. Ia malah 
semakin tunduk sambil mempermainkan jari tangannya, 
yang runcing dan halus itu. Hatinya sekarang ini tidak 
karuan. Mengapa yang terjadi harus seperti ini? Harus 
menjadi calon isteri seorang pemuda yang belum pernah ia 
kenal dan di luar harapannya pula? Mengapa bukan kakak 
perempuannya yang bernama Sarindah yang lebih dahulu 
mempunyai calon suami? Bukankah seharusnya Sarindah 
yang lebih tua kawin lebih dulu? 
Padahal sudah sejak lama, dirinya sudah mengikat janji 
dengan pemuda yang menarik hatinya, Kebo Pradah, yang 
murid kakeknya sendiri. 
Lalu bagaimanakah dengan pemuda itu, apakah Kebo 
Pradah tidak menjadi patah hati, dirinya dipertunangkan 
dengan pemuda lain? Ahh, ia menjadi sedih apabila ingat 
kepada kebo Pradah yang dicintai itu. 
“Kakang Pradah, mengapa harus begini?” rintihnya 
dalam hati. “Telah lama kila saling berjanji untuk menjadi 
suami-isteri. Namun nyatanya Kakekku sekarang malah 
mempertunangkan diriku dengan orang lain. Kakang, aku 
mati saja!” 
Akan tetapi bagaimanapun ia tidak berani mengemuka-
kan perasaannya itu dan juga tidak berani membantah. 
Walaupun dalam hati menentang dan tidak setuju, tetapi ia 
seorang cucu yang selalu patuh dan setia kepada kakek-
nya. Maka kemudian terpikir, apabila yang terjadi sekarang 
ini sesuai dengan cita-cita luhur dari kakeknya, dan demi 
kepentingan keluarga, walaupun hatinya menangis namun 
ia bersedia mengorbankan kepentingan sendiri. 
Dan sekarang ini kakeknya menyudutkan dirinya. Mana-
kah mungkin? Dirinya seorang gadis, tetapi kakeknya 
memerintahkan seperti itu. Apakah dirinya harus ber-
inisiatif dan mendahului si pemuda? Tidak! Karena 
Warigagung tidak mengajak bicara, maka iapun tidak mau 
membuka mulut. 
Akan tetapi sebaliknya orang-orang sakti yang wataknya 
aneh dan mengakui sendiri dirinya dari golongan sesat, 
maka Si Tangan Iblis dan Julung Pujud tidak mau meng-
acuhkan tatakrama dan norma kesopanan umum lagi. 
Sebab menurut pendapat dua kakek ini, aturan-aturan 
yang dibuat manusia hanyalah mengikat kehebasan hidup. 
Oleh karena itu ketika melihat Warigagung dan Sarwiyah 
masih tetap duduk tanpa berani saling pandang, dua orang 
kakek ini kemudian saling pandang dan saling memberi 
isyarat dengan mata. Tahu-tahu dua orang kakek ini 
dengan gerakan amat ringan sudah berada di samping 
muda-mudi itu. Si Tangan Iblis segera memondong cucunya 
didudukkan di pangkuan Warigagung, dan sebaliknya 
Julung Pujud segera melingkarkan lengan Warigagung ke 
leher Sarwiyah 
Akibatnya Sarwiyah menjerit kecil tetapi tak mampu 
melawan. Demikian pula Warigagung terbelalak kaget. 
Iapun ingin memberontak tetapi tidak bisa. Sebab mereka 
sudah dilumpuhkan tanpa bisa melawan lagi. 
Julung Pujud dan Si Tangan Iblis terkekeh dan gembira 
sekali melihat Sarwiyah duduk di pangkuan Warigagung. 
Wajah dua orang muda ini saling berhadapan sekalipun 
duduk Sarwiyah miring. 
Dan atas perlakuan dua orang kakek ini, Sarwiyah ingin 
menangis saking malu. Akan tetapi Sarwiyah terpaksa 
menahan perasaan ini karena tahu akan akibatnya. Kakek-
nya akan marah dan tentu menuduh dirinya menentang 
keputusan kakeknya. 
Ia justru sudah memutuskan dalam hati untuk melupa-
kan Kebo Pradah dan sekarang mengorbankan dirinya 
demi kepentingan keluarga. Disamping itu iapun ber-
perasaan halus dan cerdik. Maka ia mengerti, saat 
sekarang ini dirinya harus pandai memenangkan hati 
Julung Pujud. Ia tidak boleh main-main lagi menghadapi 
Warigagung sebagai calon suaminya. Maka dalam keadaan 
tubuhnya belum bisa digerakkan ini, ia menggunakan 
sepasang matanya untuk memandang Warigagung dan 
kemudian bihirnya yang merah merekah itu tersenyum. 
Adalah Warigagung yang menjadi gelagapan, bertatap 
pandang dengan wajah molek dalam jarak amat dekat, 
ditambah melihat pula sepasang bibir merah merekah itu 
tersenyum. Maka hati Warigagung menjadi tidak karuan 
rasanya, dan jantung pemuda ini berdenyutan seperti mau 
copot. Maklum, kendati Warigagung merupakan pemuda 
dari golongan hitam, liar dan ganas jika berhadapan 
dengan lawan, namun ia seorang pemuda yang selalu 
menghormat dan menghargai setiap wanita. Maka selama 
ini ia memandang wanita sebagai mahkluk yang terlalu 
mulia dan perlu dihormati. 
Ia tidak pernah berdekatan dengan wanita, baik kepada 
nenek-nenek dan lebih lagi terhadap wanita muda. 
Demikian pula ia juga tidak pernah berdekatan dengan 
gadis-gadis cantik seperti Sarwiyah ini. Akibat dari semua 
itu mulut Warigagung seperti terkunci. Perasaan dalam 
dadanya tidak karuan dan jantungnya melonjak-lonjak. 
Rasa tubuhnya meriang, namun ia terpikat perhatiannya 
kepada wajah Sarwiyah yang ayu itu, di samping tanpa 
disadari menyelinap pula perasaan bahagia yang belum 
pernah ia rasakan. Maka walaupun tubuhnya sekarang 
sudah pulih kembali dan dapat digerakkan, sudah tidak 
lumpuh lagi, ia tidak berusaha menarik kembali tangannya 
yang memeluk Sarwiyah. 
Menurut perasaannya, sekarang ialah tidak ingin lagi 
melepaskan leher yang lembut dan halus yang kuasa 
menebarkan kehangatan yang sulit dilukiskan, disamping 
tercium pula bau yang harum dari rambut. 
Sarwiyah juga seorang gadis yang belum pernah duduk 
di pangkuan seorang pemuda, sekalipun ia pernah 
menyatakan cinta kasihnya kepada Kebo Pradah, tetapi 
selama ini pergaulannya terbatas. Paling banter mereka 
hanya bisa saling pandang dengan tatapan mesra dan 
paling banter hanya saling bersentuh lengan. Semua itu 
tidak lain karena Sarwiyah hati-hati menghadapi kakeknya. 
Oleh karena itu dalam dada gadis itupun timbul 
perasaan yang tidak karuan. Malu, berdebar, tetapi juga 
menyelinap rasa bahagia yang sulit dilukiskan. Rasa 
bahagia yang didorong oleh tekadnya ingin mengorbankan 
diri guna kepentingan keluarga. Guna kepentingan ter-
capainya cita-cita kakeknya membalas dendam kepada 
orang-orang yang menurut keterangan kakeknya, sudah 
membunuh ayah-bundanya. Yang sudah menyebabkan 
keluarganya berantakan, dan yang sudah menyebabkan 
dirinya tidak berayah dan tidak beribu lagi. 
Oleh dorongan keinginannya berkorban demi keluarga 
ini, ia melupakan jalan hidup yang pernab dilalui. Tidak 
peduli bagaimanakah calon suaminya ini. Dan yang jelas 
dirinya harus dapat menjadi seorang isteri setia. Itulah 
sebabnya gadis ini memandang wajah Warigagung mesra 
sekali kemudian tersenyum manis. Malah setelah ia 
merasa kelumpuhannya sudah pulih, ia lalu membalas   
memeluk   Warigagung  dan  seterusnya menyembunyikan 
wajahnya di dada pemuda itu. 
Sarwiyah dapat menduga secara pasti, dengan per-
buatannya ini akan dapat membuat kakeknya puas dan 
Julung Pujud tentu gembira. 
Dugaannya temyata benar. Dua orang kakek ini ter-
kekeh sambil berjingkrakan seperti anak kecil. Lalu mereka 
saling raugkul masih sambil tertawa-tawa. Mereka 
menyambut gembira akan sikap Sarwiyah yang menunjuk-
kan cinta kasihnya kepada Warigagung. 
Akan tetapi sebaliknya Warigagung menjadi gelagapan 
tidak karuan perasaannya. Walaupun antara wajah 
Sarwiyah dengan dadanya hanya terpisah oleh lapisan 
baju, namun dengus napas Sarwiyah seperti mengusap 
kulit dadanya. Jantungnya berdebar tidak keruan dan rasa 
tubuhnya meriang. 
Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang berperasaan 
halus, Sarwiyah menjadi malu sendiri setelah melakukan-
nya. Sebab apa yang sudah dilakukan tadi sebenarnya 
bukan atas kehendak sendiri dan juga bukan desakan hati 
yang kasih, melainkan hanya dalam usaha membuat 
kakeknya senang. Maka sesudah dua orang kakek itu ber-
jingkrakan gembira, Sarwiyah segera melepaskan lengan 
Warigagung yang melingkar di leher, kemudian duduk di 
tempat semula. 
Mereka sekarang duduk berdampingan. Tetapi sekali-
pun demikian sudah menjadi lain. Kalau tadi dua orang 
muda ini duduk sambil menundukkan muka, sekarang 
tidak lagi, sedang letak duduknya juga berubah. Duduk 
mereka sekarang merapat dan berkali-kali mereka saling 
pandang disertai bibir tersenyum. 
Tak lama kemudian Warigagung memberanikan diri ber-
tanya, tetapi suaranya menggeletar, “Sarwiyah, apakah 
engkau mencintai aku?” 
“Hemm,” Sarwiyah menghela napas pendek. “Mengapa 
sebabnya engkau masih perlu.... bertanya? Engkau sudah 
dijodohkan dengan aku dan tidak bisa ditolak. Maka 
akupun... jadiriya aku dan kau harus menjadi suami-isteri.” 
Warigagung menghela napas pendek. Kenyataan yang 
dialami dan terjadi dalam lingkungannya, perjodohan 
antara gadis dengan jejaka tidak bebas. Mereka harus 
tunduk kepada pilihan orang tua dan tidak boleh 
membantah walaupun antara si gadis dan jejaka belum 
pernah kenal. 
Akibat dari sernua itu maka banyak sekali terjadi antara 
suami dan isteri, baru bisa rukun setelah lewat beberapa 
hari, minggu atau bulan. Disamping itu juga tidak sedikit 
pula terjadi, perkawinan itu berakhir dengan perceraian, 
karena si isteri tidak mau melayani suami dan tidak 
mencintai. Akibatnya walaupun sudah disebut janda tetapi 
perempuan yang sudah kawin itu masih merupakan 
seorang gadis suci. 
Dan Warigagung juga tidak tahu apa sebutan per-
kawinan yang selalu terjadi dalam masyarakat. Tetapi yang 
jelas perkawinan itu tidak dilambari oleh rasa cinta kasih 
lebih dahulu. Rasa cinta baru tumbuh setelah mereka 
disebut sebagai suami-isteri. 
Hal-hal yang terjadi di sekitamya itu sekarang terjadi 
pula atas dirinya. Antara dirinya dengan Sarwiyah 
dijodohkan tanpa lambaran cinta kasih. Dan kenalpun baru 
setengah hari, diawali dengan perkelahian. 
Ia juga tidak tahu apakah mencintai Sarwiyah atau tidak. 
Yang jelas ia hanya merasa bahagia, dapat duduk ber-
dampingan dengan Sarwiyah yang cantik ini. 
Tetapi tiba-tiba Warigagung ingat akan sikap Sarwiyah 
ketika secara terang-terangan rnembela dirinya di depan 
Sarindah. Teringat sikap itu, kemudian ia bertanya. 
Sarwiyah, apakah sebabnya engkau jadi membela diriku? 
Malah engkau juga menentang kemauan kakakmu? 
Apakah itu merupakan permulaan rasa.... cinta kasihmu 
kepada diriku ? 
Sarwiyah tersenyum. Tentu saja bukan soal itu yang 
menjadi penyebab. Tetapi karena Warigagung ia anggap 
tidak bersalah, dan sebaliknya kakaknya sendiri yang ter-
lalu sombong dan mau menang sendiri. Oleh sebab itu 
orang yang tak bersalah harus ia bela. 
Tetapi di samping itu Sarwiyah memang juga tertarik 
oleh sikap Warigagung yang mau mengalah dan meng-
hormati perempuan. Selama ini ia belum pernah bertemu 
dengan pemuda bertabiat seperti Warigagung ini. Namun 
benarkah itu merupakan permulaan rasa cinta? Ia tidak 
tahu. 
Namun yang jelas, kalau tidak dipaksa oleh keadaan 
dan rasa pengorbanan demi tercapainya cita-cita mem-
balas sakit hati, tentu saja ia memilih Kebo Pradah. 
“Sudahlah Kakang...” sahutnya lirih, sekarang tidak 
perlu diurus lagi tentang soal itu. Pendeknya didasari cinta 
atau tidak.... kita ini merupakan calon suami isteri. Lalu 
bagaimanakah perasaanmu.......? 
“Warigagung sendiri sebenamya belum pemah memikir-
kan wanita. Akibatnya ia tidak cepat dapat menjawab. 
Namun demikian sesuai dengan wataknya yang aneh, 
amat memuliakan dan menghormati wanita, ia tidak ingin 
membuat hati wanita tidak senang. 
“Hemm, tentu saja!” jawabnya. “Aku bahagia sekali 
menjadi calon suamimu, Sarwiyah. Siapakah yang tidak 
beruntung mempunyai calon isteri yang cantik, halus dan 
menyenangkan seperti engkau ini?” 
Manakah ada orang yang tidak menjadi senang oleh 
pujian? Manakah ada orang tidak menjadi besar hati kalau 
dikatakan cantik dan menyenangkan? Demikian pula 
Sarwiyah, ia menjadi bangga dan kemudian tanpa malu-
malu lagi ia meletakkan kepalanya ke pundak pemuda itu. 
Sikap gadis ini malah seperti pamer kepada kakeknya mau 
pun calon mertuanya, bahwa dirinya mencintai calon 
suaminya. 
Warigagung sendiri menjadi tidak karuan perasaannya 
ketika pundaknya ditindih oleh kepala Sarwiyah ini. Mula-
mula ia diam saja, tegang dan berdebar. Namun sesaat 
kemudian tangannya bergerak. Yang kanan memeluk 
pinggang dan yang kiri mengusap-usap jari tangan dan 
punggung telapak tangan Sarwiyah. 
Julung Pujud dan Si Tangan Iblis menjadi semakin 
gembira melihat dua orang muda yang dijodohkan itu 
sudah menunjukkan sikap mesra. 
Tiba-tiba Julung Pujud ketawa terkekeh, lain katanya, 
“Heh… heh… heh… heh, Tangan Iblis! Apakah engkau 
mengundang aku hanya dengan cara ini, tanpa engkau 
hidangkan tuak wangi dan keras?” 
Si Tangan Iblis baru teringat kedudukannya sebagai 
tuan rumah. Lalu ia memalingkan muka ke arah Sarwiyah, 
bertanya. “Hai Wiyah! Kemanakah mbakyumu? Hayo 
perintahkan dia mengambil tuak wangi!” 
Sarwiyah mcngangguk, lalu ia minta diri kepada 
Warigagung dengan pandang mata mesra dan bibir ter-
senyum, namun tidak mengucapkan apa-apa. Warigagung 
maklum dan mengangguk. Kemudian Sarwiyah pergi ke 
belakang. 
Akan tetapi Sarindah tidak ditemukan. Para pembantu 
perempuan yang sibuk masak tidak dapat menerangkan, 
sedang para muridpun tidak bisa menjawab. Karena 
Sarindah tidak ada, ia lalu mengambil sendiri tuak 
simpanan kakeknya. Kemudian ia memerintahkan seorang 
pelayan wanita agar membawa tuak simpanan itu ke ruang 
depan untuk dihidangkan kepada tamu. 
Setelah memberi perintah agar semua hidangan 
disiapkan, maka Sarwiyah kembali ke ruang depan. Ia 
memberi laporan kepada kakeknya, bahwa Sarindah tidak 
ada dan tidak seorang pun tahu kemana pergi. 
Si Tangan Iblis rnengerutkan alis. Hatinya tidak senang 
mengapa di saat seperti itu Sarindah malah pergi? Namun 
karena dirinya sedang sibuk menerima Julung Pujud, maka 
hal ini tidak dipusingkan lagi. Ia kemudian terlihat dalam 
pembicaraan yang asyik dengan Julung Pujud. Sedangkan 
Sarwiyah karena dalam ruangan ini ada orang lain yang 
hadir, tidak berani duduk kembali dan berhimpitan dengan 
Warigagung dan malah membantu mengatur hidangan. 
Tiga orang pelayan wanita masuk membawa baki berisi 
makanan dan nasi panas mengepul di samping pula 
minuman kopi panas. Namun Sarwiyah menjadi heran, 
mengapa pelayan yang tadi diperintahkan supaya cepat 
membawa tuak simpanan untuk hidangan tamu, malah 
belum tampak? Mengapa bisa terlambat? Ia segera ber-
tanya kepada pelayan yang lain. Kemudian ia mendapat 
keterangan, pelayan yang dimaksud sedang menuju ruang 
depan. 
Apakah sebenarnya yang terjadi? Kelika pelayan ini 
sudah membawa tuak tersebut menuju ruang depan, 
dicegat oleh Kaligis dan Sangkan. Dan sambil mengancam, 
Sangkan segera merebut Guci tempat tuak. Ia membuka 
penutup guci, lalu memasukkan bubuk obat ke dalam guci. 
Setelah ditutup lagi dan diguncang sebentar guci di-
kembalikan kepada si pelayan. 
“Bawalah ke depan dan suguhkan kepada tamu! 
katanya mengancam. Tetapi huh, engkau tidak boleh 
bicara, bahwa aku sudah mencegat kau. Jika engkau 
berani membuka mulut, awas! Engkau akan kami 
perlakukan seperti bukan manusia lagi. Tahu? Engkau 
akan aku siksa, mati tidak dan hidup pun tidak. Tahu? 
Engkau pasli kuculik lalu kubawa ke dalam hutan. Di sana, 
kau akan aku telanjangi, lalu nodai bersama kawanku lebih 
dahulu sampai puas. Sesudah kami puas baru kau akan 
kusiksa. Seluruh tubuhmu akan kami siram dengan air gula 
dan semut akan segera berdatangan untuk mengeroyok 
kau. Hemm, engkau tentu akan menderita hebat sekali 
sebelum mampus. Tahu?” 
Pelayan ini ngeri dan ketakutan setengah mati men-
dengar ancaman itu. Ia gemetaran, wajahnya pucat dan 
kemudian jawabnya tidak lancar, “Ampun... jangan...! 
Aku.... aku takkan bicara! 
Hati dua orang muda itu lega, kemudian secepatnya 
menyelinap ke tempat gelap dan pergi. Dua orang muda ini 
menyeringai seperti iblis. Mereka sudah menduga pasti, 
yang minum tuak akan segera mati oleh racun. Oleh 
karena itu mereka gembira sekali, sebab dengan demikian 
akan dapat menggagalkan semua rancangan guru mereka. 
Ketika si pelayan masuk ruangan, Julung Pujud yang 
amat gemar minum tuak itu, sudah ngiler. Ia melompat 
kemudian menyambar guci sebelum diserahkan oleh 
pelayan. 
Melihat sikap Julung Pujud itu Si Tangan Iblis terkekeh 
senang. Bagi dirinya sikap seperti ini lebih menyenangkan. 
Berarti tamunya benar-benar telah menganggap sebagai 
keluarga sendiri. 
Julung Pujud adalah seorang yang sudah terlalu biasa 
minum tuak tanpa aturan. Kalau menggunakan seloki ia 
tidak puas. Maka ia menggelogok langsung dari guci, 
langsung masuk perut. Tetapi sekarang ini, ketika guci 
dibuka tutupnya dan mencium ban arak yang wangi, 
matanya berkedip-kedip dan mulutnya tersenyum. Anehnya 
tiba-tiba ia tidak jadi minum dan malah hidung kakek ini 
cungar-cangir. 
Melihat sikap Julung Pujud yang aneh, yang tidak jadi 
minum. Si Tangan Iblis heran. Ia menghampiri sambil 
bertanya, “Hai kakang Julung Pujud! Ada apa? Apakah 
sebabnya kau cungar-cangir macam itu?” 
Tiba-tiba mata Julung Pujud memancarkan api ke-
marahan. Bentaknya, “Bangsat Tangan Iblis! Hati dan 
mulutmu berlainan! Mulutmu manis tetapi hatimu penuh 
bulu dan sikapmu palsu. Heh… heh… heh… heh, engkau 
akan meracun aku?!” 
Sebelum Si Tangan Iblis menjawab, melayanglah tubuh 
Sarwiyah yang segera mencengkeram baju si pelayan. 
Hardiknya, “Katakan lekas! Siapa yang bertemu dengan 
kau ketika akan menghidangkan tuak kemari?” 
Melihat tingkah Sarwiyah ini barulah Si Tangan Iblis 
sadar. Agaknya memang ada tangan curang yang sengaja 
memasukkan racun ke dalam tuak. Ia kemudian meloncat 
pula ke depan si pelayan. Bentaknya, “Hayo katakan lekas! 
Siapa yang meracun tuak?” 
Pelayan itu tubuhnya gemetaran dan pucat saking 
takutnya. Bibirnya bergerak tetapi tidak juga terdengar 
suara dari mulut. Pelayan ini kebingungan sendiri 
disamping ngeri, teringat ancaman Sangkan dan Kaligis. 
Akan tetapi sebaliknya jika tidak menjawab, tidak urung 
dirinya celaka. 
Ketika itu Sarwiyah melepaskan cengkeramannya, dan 
pelayan itu cepat berlutut dengan tubuh gemetaran sambil      
menangis. Jawabnya  tidak lancar. “Tidak....tidak ada.... 
orang... ohh... saya tidak... tahu...” 
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat me-
nendang. Hanya terdengar jerit satu kali keluar dan mulut 
pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak 
tiang rumah. Kepalanya pecah dan mati saat itu juga. 
Pelayan yang lain menjadi pucat dan tubuh mereka 
gemetaran karena ketakutan setengah mati. Mereka 
kemudian mendeprok di lantai dan saking ngerinya tanpa 
terasa mereka terkencing di tempat itu juga. 
Sarwiyah menjadi pucat dan menyesal sekali mengapa 
kakeknya tidak sabaran dan sudah membunuh pelayan itu. 
Celanya, “Kek....ahh,.....apakah sebabnya pelayan itu kau 
bunuh? Kita sekarang kehilangan saksi utama yang bisa 
memberi keterangan penting, tentang usaha peracunan ini. 
Ahh jika Kakek tidak membunuh dia, aku tentu bisa 
mengorek keterangan untuk mencari siapa yang sudah 
melakukan pe  racunan ini...” 
Akan tetapi Si Tangan Iblis yang sudah marah, malu dan 
penasaran oleh usaha orang meracun tuak ini, menyebab-
kan ia tidak mau mendengar teguran Sarwiyah. Tuduhan 
pertama segera ditujukan kepada Sarindah yang sudah 
meninggalkan rumah diam-diam. Sebab, orang lain tidak 
mungkin dapat melakukannya, mengingat guci itu disimpan 
di tempat yang tidak mungkin orang lain bisa masuk. 
Kakek ini segera ingat akan sikap Sarindah. Sikap yang 
tidak menyetujui ikatan pertunangan antara Warigagung 
dengan Sarwiyah. Buktinya, cucunya itu tidak mau ikut 
serta menghadiri pertunangan ini malah pergi diam-diam. 
Si Tangan Iblis heran berbareng penasaran, mengapa 
Sarindah sampai hati dan seberani itu memasukkan racun 
dalam tuak? 
Menduga peracunan ini dilakukan oleh cucunya sendiri. 
Si Tangan Iblis segera membungkuk memberi hormat 
kepada Julung Pujud dan berkata, “Kakang…..ahh, maaf-
kanlah aku. Dialah yang sudah memasukkan racun dalam 
guci itu. Hemm, untung Kakang Pujud waspada.....” 
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat 
menendang. Hanya terdengar jerit satu kali dari mulut 
pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak 
tiang rumah. 
Kakek kerdil itu terkekeh di tengah rasa penasaran 
dicurangi dengan racun. Jawabnya, “Heh heh heh heh, 
siapakah orang bisa meracun aku? Aku adalah seorang 
ahli racun jempolan di dunia ini. Dengan hanya mencium 
baunya saja, aku udah tahu sifat segala macam racun yang 
dicampur dalam tuak. Ha... ha... hah... ha, racun yang 
dicampur dengan tuak ini memang keras. Tetapi bagai-
manapun tidak mungkin dapat membunuh maupun 
mencelakakan Julung Pujud. Heh... heh... heh... heh, tuak 
ini wangi sekalipun sudah campur dengan racun. Karena 
itu sayang kalau tidak diminum, dan akan aku habiskan 
sekali minum.” 
“Guru.....jangan.....!” teriak Sarwiyah yang berusaha 
mencegah. “Guru, di dalam masih banyak tuak simpanan.” 
“Heh... heh... heh heh heh, terima kasih menantuku 
yang manis. Kau jangan khawatir, dalam tubuhku sudah 
penuh racun. Maka racun yang masuk dalam tubuhku, 
hanya akan menambah kekuatan tubuhku saja dan 
menjadikan awet muda. Ha ha ha ha, wangi..... 
Kemudian Julung Pujud membuka mulut. Tuak dituang 
ke dalam mulut, suaranya menggelogok dan kerongkongan 
kakek kerdil ini bersuara berkeruyuk menelan tuak. Hebat! 
Sekali tenggak satu guci sudah masuk perut. 
Kakek ini memang seorang ahli racun jarang tandirigan. 
Karena setiap hari selalu bergulat dengan racun itu maka 
ia sudah membiasakan diri untuk menelan racun secara 
terukur setiap hari. Dan kebiasaan ini menyebabkan dalam 
tubuhnya kebal akan segala macam racun. Bukan saja 
Julung Pujud yang sudah puluhan tahun lamanya bergulat 
dengan racun. Sedang Warigagung yang masih muda 
itupun kebal pula terhadap segala macam racun dan bisa. 
Itulah sebabnya murid Julung Pujud ini suka bermain-main 
dengan segala macam binatang yang beracun maupun 
berbisa. 
Julung Pujud meletakkan guci yang sudah kosong di 
meja, lalu katanya. Hemm, kalau saja calon menantuku 
bukan gadis yang halus, cantik, lemah lembut dan 
menyenangkan, usaha peracunan ini tentu sudah 
kujadikan alasan putus penunangan, dan engkau menjadi 
musuhku! Hmm, sudahlah    Semuanya sudah terjadi dan 
tidak perlu lagi diributkan. Yang penting, cucumu yang 
kurang ajar itu harus kau urus sendiri dan kau tangkap. 
Tetapi karena yang diracuni aku, maka cucumu itu harus 
kauserahkan padaku untuk menerima hukumanya, tidak 
perlu khawatir. Aku hanya akan membalas menghukum dia 
dengan racun pula. Heh heh heh heh! 
Si Tangan Iblis dan Sarwiyah pucat mendengar tuntutan 
Julung Pujud ini. Sesungguhnya manakah mungkin si 
Tangan Iblis bisa tega kepada Sarindah? Tetapi karena 
Sarindah sendiri yang sudah memulai, maka kakek dan 
cucu ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiakan. 
Demikianlah, perustiwa peracunan ini dalam waktu 
singkat sudah dilupakan. Pelayan yang mati segera dirawat 
para murid, sedang Si Tangan Iblis dengan Sarwiyah sibuk 
menjamu tamunya. 
Tetapi di pihak lain diam-diam Sangkan dan Kaligis yang 
merasa bersalah menjadi gelisah sekali, ketika usaha 
mereka meracun Julung Pujud dan yang lain gagal. 
Meskipun demikian mereka menjadi terhibur juga ketika 
mereka luput dari tuduhan, dan malah yang dituduh 
Sarindah. Dan lebih lagi saksi utama dari perbuatannya 
sudah mati dan tidak bisa ditanya lagi. Dengan demikian 
kecurangan itu sudah tertutup rapat. 
Pagi hari kemudian Julung Pujud dan Warigagung minta 
diri, setelah mereka sepakat menentukan hari perkawman 
antara Sarwiyah dan Warigagung dua tahun lagi. 
Tetapi setelah Warigagung dan gurunya pergi. Si Tangan 
Iblis masih uring-uringan. Semua orang dibentak dan 
dimarahi. Dan saking marahnya kepada Sarindah yang 
dituduh telah meracun itu, maka semua murid segera 
diperintahkan pergi mencari Sarindah sampai bisa 
ditemukan, sekaligus diperintah pula mencari Sentiko yang 
sampai sekarang belum diperoleh kabar. 
Si Tangan Iblis berpesan, semua murid dilarang pulang 
apabila tanpa membawa berita di mana Sentiko maupun 
Sarindah berada. Syukur sekali apabila para murid ini 
sanggup memaksa Sarindah untuk pulang. Tetapi kalau 
tidak sanggup, Si Tangan Iblis sendiri yang akan 
menangkap dan kemudian menyerahkan kepada Julung 
Pujud untuk diadili. 
Hari itu juga Kaligis, Sangkan, Senggring, Kebo Sobrah, 
Wastu, Wangalit dan Bala Rebo pergi menunaikan tugas 
baru dari guru mereka. Tentu saja dengan adanya tugas ini 
Kaligis merasa dadanya longgar. Siapa tahu ia dapat ber-
temu dengan gadis yang dicintai itu, kemudian berhasil 
membujuk dan mempengaruhi hatinya. 
Sebaliknya Sangkan yang gandrung kepada Sarwiyah 
menjadi putus harapan. Manakah dirinya bisa mendapat 
kesempatan mencintai Sarwiyah lagi, yang telah 
dipertunangkan dengan Warigagung itu? 
Akan tetapi setelah semua murid pergi, Sarwiyah ingat 
sesuatu. Ia menghampiri kakeknya, lalu berkata, “Kek, 
mengapa harus mempercayakan kepada para murid? 
Mereka tidakkan sanggup melawan Mbakyu Sarindah. 
Padahal Mbakyu seorang yang keras hati dan gampang 
marah. Salah-salah semua murid bisa celaka di tangan 
dia.” 
“Huh! Peduli apa kepada sejumlah murid tidak berguna 
itu? Huh, aku sungguh menyesal mengapa murid-muridku 
itu goblog! Hanya mencari bocah kecil saja mereka kembali 
dengan tangan kosong. Malah Ananto menjadi korban 
tergelincir di dalam jurang. Dan ahh…. bagaimanakah 
kabarnya Kebo Pradah, Tanu Pada dan Mahisa Singkir? 
Apakah sebabnya mereka sampai sekarang belum juga 
pulang?” 
“Itulah Kek, yang menyebabkan aku heran. Mungkinkah 
mereka celaka di tangan orang? Kalau tidak, manakah 
mungkin mereka berani melanggar perintah Kakek? Sebab 
itu Kek, apakah dalam soal ini Kakek tidak perlu 
menangani sendiri?” 
“Hemm,” Si Tangan Iblis menghela napas panjang. 
Namun ia tidak lekas membuka mulut. 
Sarwiyah berkata lagi, “Kek manakah mungkin Mbakyu 
mau kau perintahkan pulang kalau tahu dituduh telah 
meracun tamu. Dia akan ketakutan dan tak mungkin mau 
bertemu dengan Kakek lagi.” 
“Hemm… cucu seperti itu hanya menyebabkan aku malu 
saja. Dan apakah jadinya kalau Julung Pujud marah, lalu 
putus hubungan kita dan kemudian berubah menjadi 
musuh? Huh, betapa kecewa ayah bundamu di alam baka 
kalau aku tidak dapat membalas dendam kepada Gajah 
Mada maupun Mpu Nala. Huh, cucu celaka seperti itu 
sudah sepantasnya kubunuh saja!” 
Sarwiyah pucat. Ia kenal watak kakeknya yang ganas. 
Ucapannya itu tentu bukan sekadar kata-kata, tetapi tentu 
akan terjadi pula walaupun terhadap cucunya sendiri. 
“Kek, sudah pastikah Mbakyu yang melakukan 
peracunan?” 
“Mengapa tidak? Siapakah yang bisa masuk ke tempat 
guci tuak itu disimpan, kecuali aku, engkau dan mbakyumu 
Kalau bukan mbakyumu, apakah malah engkau sendiri?” 
Si Tangan Iblis mendelik. Sarwiyah tergetar jantungnya. 

Katanya, “Kek, memang benar tiada orang lain yang bisa 
masuk ke tempat penyimpanan guci. Tetapi. Ahh.....aku 
ingat Kek......ahh.....aku ingat......”  
“Ingat apa?” 
“Pelayan itu terlampau lambat melakukan perintahku 
membawa guci tuak ke ruang depan. Ahh.... sayang sekali 
Kakek kemarin tergesa membunuh pelayan itu, hingga kita 
tidak lagi bisa memaksa supaya dia menerangkan apakah 
sebabnya terlambat datang dan mengapa pula guci itu 
beracun. Kek, terus terang aku curiga dan kurang percaya, 
jika Mbakyu yang berbuat. Aku menduga ada orang lain 
yang memancing di air keruh.” 
“Wiyah! Engkau jangan mengada-ada. Engkau jangan 
mencoba membela mbakyumu yang bersalah. Tidak peduli 
siapapun, orang yang hampir nembuat rencanaku 
berantakan harus dihukum yang setimpa. Kalau benar 
Sarindah yang melakukan akupun harus juga menghukum-
nya.” 
“Kek, kalau memang ternyata benar, itu lain lagi, 
Sarwiyah membantah. Tetapi aku menjadi curiga dengan 
terjadinya beberapa peristiwa yang sudah menimpa 
keluarga kita.....” 
“Wiyah! Apakah maksudmu? Peristiwa yang mana?” 
“Kek, aku minta sudilah kakek sedikit sabar. Kek, 
semua peristiwa ini umbernya bukan lain adalah Sentiko. 
Begitu para murid kakek tugas kan, Kakang Kaligis dan 
Kakang Sangkan melaporkan  Adik Ananto tergelincir 
masuk dalam jurang dan tidak tertolong.” 
Sarwiyah berhenti dan memandang kakeknya mencari 
kesan. Setelah kakeknya tidak bereaksi, ia meneruskan, 
“Mbakyu Sarindah tidak gampang mau percaya laporan itu. 
Terus terang, ketika itu akupun kurang percaya laporan itu. 
Adik Ananto dibandirig Kakang Kaligis maupun Sangkan 
lebih tinggi kepammpuannya. Mengapa dua orang itu bisa 
selamat, sedang orang yang lebih tinggi kepandaiannya 
malah tergelincir dan masuk jurang? Ini sungguh aneh!” 
Si Tangan Iblis tergagap mendengar alasan yang di-
kemukakan Sarwiyah. Sekarang ia baru ingat akan 
kejanggalan tersebut. Si Tangan Iblis seperti baru bangun 
dari tidur. 
“Teruskan!” perintahnya. “Teruskanlah Wiyah, aku ingin 
mendengar alasanmu.” 
“Sayangnya Kakek bukannya mau mengerti sikap 
Mbakyu, tetapi malah marah. Karena Kakek marah itu, 
kemudian aku dan dia pergi. Maksudnya tidak lain untuk 
mencoba melihat keadaan apakah Kakang Tanu Pada dan 
rombongannya sudah pulang? Namun ternyata aku dan 
Mbakyu malah bertemu dengan Kakang Warigagung dan 
terjadilah salah paham. Kek, timbul dugaanku bahwa 
kepergian Mbakyu tiada hubungan sama sekali dengan 
soal peracunan. Akan tetapi karena Mbakyu dalam 
keadaan gelisah memikirkan tiga orang murid yang belum 
juga pulang itu. Adalah tidak mungkin terjadi mereka 
terlambat pulang apabila tidak terjadi apa-apa di 
perjalanan. Malah aku menduga pula, Mbakyu diam-diam 
sudah pergi dalam usaha mencari jejak mereka.” 
Sarwiyah berhenti dan menatap kakeknya. Ketika 
kakeknya masih berdiam diri, ia meneruskan, “Kek, 
mungkin sekali ada pihak lain yang menggunakan 
kesempatan ini melakukan kecurangan dengan mem-
bubuhkan racun dalam guci dan memaksa kepada pelayan 
itu. Dan agaknya orang itu sudah memperhitungkan bahwa 
tuduhan akan jatuh kepada Mbakyu Sarindah yang pergi.” 
“Kalau begitu, siapakah kira-kira yang sudah berbuat?” 
“Kek, aku belum tahu. Tetapi jelas bukan orang lain, 
tetapi orang serumah. Tentu saja masalah ini memerlukan 
waktu untuk penyelidikan. Kek, ah.... aku menjadi khawatir. 
Karena Kakek sudah menuduh Mbakyu, apakah jadinya 
apabila Mbakyu ketemu dengan Kakang Warigagung dan 
gurunya? Kalau benar Mbakyu memang bersalah, bagai-
manapun memetik buah tanamannya sendiri. Tetapi kalau 
dia tidak bersalah, bukankah kasihan Mbakyu yang men-
jadi korban?” 
Dipikir-pikir pendapat cucunya memang benar. Karena 
itu pada akhirnya Si Tangan Iblis setuju untuk menangani 
sendiri masalah yang dihadapi. Maka hari itu juga setelah 
selesai berkemas dan memberi pesan kepada semua 
pelayan, kakek dan cucu ini pergi meninggalkan rumah. 
Karena Sarwiyah sudah menduga ke mana kakaknya pergi, 
maka cucu dan kakek ini menuju ke arah Tanu Pada dan 
rombongannya pergi. 
* * * 
anpa diduga justru kepergian Si Tangan Iblis dan 
Sarwiyah inilah yang menjadi pangkal semua 
peristiwa yang berlarut-larut. Sebab kalau saja Si 
Tangan Iblis dan Sarwiyah mau menunda satu hari saja, 
tentu akan dapat bertemu kembali dengan Sarindah tanpa 
pula mencari. Karena ternyata pada keesokan harinya 
masih pagi benar, Sarindah telah muncul kembali di 
rumah. Gadis ini melangkah dengan lesu dan wajahnya 
pucat, akibat telah kurang tidur disamping lelah sekali. 
Memang Sarindah sudah cukup jauh melakukan per-
jalanan dalam usahanya mencari Tanu Pada dan 
rombongannya. Sudah banyak orang yang ditanya dan 
sudah banyak desa yang dijelajah, tetapi tidak seorangpun 
dapat memberi keterangan. Karena merasa bingung dan 
tak tahu kemana harus menuju, akhirnya gadis ini 
memutuskan pulang saja guna memberitahukan kepada 
kakeknya. 
Tetapi betapa rasa keheranan gadis ini ketika pulang ke 
rumah, keadaannya amat sepi. Baru saja ia masuk ke 
rumah dan bertemu dengan seorang pelayan, gadis ini 
kaget setengah mati, karena pelayan itu menubruk, 
memeluk sambil menangis. 
Sarindah keheranan berbareng curiga. Tanyanya gugup. 
“Ada apa? Apakah sebabnya kau menangis? Dan mengapa 
pula rumah ini sepi, lalu ke mana Kakek dan Sarwiyah 
pergi?” 
Mendengar tangis dan suara Sarindah, pelayan yang lain 
segera berdatangan. Pelayan tertua, segera menceritakan 
apa yang sudah terjadi di rumah ini, ketika menerima 
tamu. Lalu diceritakan pula tentang terjadiriya usaha 
peracunan dan seorang pelayan mati terbunuh oleh 
kakeknya. 
Kemudian ketika pelayan tertua itu menceritakan, yang 
dituduh meracun adalah dirinya, Sarindah berjingrak kaget 
dan sepasang matanya menyala marah.  
“Gila! Siapakah yang menuduh aku meracun tamu?” 
tanyanya lantang dilanda kemarahan.  
“Kakek Nona......” 
“Apa? Kakek menuduh aku meracun? Gila! Demi 
Dewata Yang Agung, aku tidak melakukannya. Apakah 
kamu semua tidak tahu dan tidak bisa menduga, siapakah 
kira-kira si peracun itu?” 
Seperti burung beo yang belajar, para pelayan itu saling 
berebut memberi alasan ketika itu repot dengan urusan 
masing-masing. 
Sarindah membentak, “Jangan berbareng. Terangkan 
bergantian.” 
Para pelayan ketakutan. Lalu seorang demi seorang 
memberi keterangan. Pendeknya semua pelayan mengata-
kan tidak tahu siapakah yang sudah melakukan peracunan 
itu. 
Akibatnya gadis berangasan ini membanting-bantingkan 
kakinya saking penasaran dan kecewa. Penasaran karena 
dirinya dituduh meracun tamu dan kecewa karena tidak 
mendapat keterangan sedikitpun yang dapat dijadikan 
pegangan untuk membersihkan diri. 
Kemudian ketika Sarindah menanyakan mengapa 
rumah sepi, pelayan tua ini menerangkan, semuanya 
sudah pergi. 
“Semuanya sudah pergi, Nona, kemarin pagi. Menurut 
keterangan Nona Sarwiyah, katanya mencari Nona.....” 
“Gila!” Sarindah geram mendengar keterangan ini. 
“Semua gila! Semua orang mencari aku. Huh, untuk apa? 
Seperti anak kecil saja orang pergi mesti dicari. Huh aku 
tidak bersalah dan aku tidak meracun siapapun. Huh, 
apakah tidak seorangpun bersedia membela aku?” 
“Nona Sarwiyah yang membela,” sahut si pelayan yang 
tadi menangis. “Oleh pembelaan Nona Sarwiyah kepada 
Nona itulah kemudian Kakek Nona pergi bersama Nona 
Sarwiyah.” 
Terhibur juga hati gadis ini setelah mendengar dibela 
Sarwiyah. Lalu gadis ini teringat oleh sebabnya pergi, tanya-
nya. Apakih Kakang Tanu Pada sudah pulang? 
Semua pelayan menggelengkan kepala dan menerang-
kan Tanu Pada dan rombongannya belum pulang. 
Kemudian pelayan tua ini menyahut,  
“Kakek Nona berpesan kalau mereka pulang diperintah-
kan tetap di rumah.”  
“Mereka siapa? Tanu Pada dan rombongan. Hemm, 
kalau demikian biarlah aku menunggu mereka pulang”. 
Sambil berkata, Sarindah melangkah masuk ke ruang 
tengah. Tetapi gadis ini segera berhenti, membalikkan 
tubuh dan berteriak. “Hai! Mana kopi dan mana sarapan 
pagi? Mengapa tidak engkau sediakan seperti biasanya?” 
Pelayan tua yang bertanggung jawab cepat menyahut 
dengan gugup, “Ohh... ya memang belum Nona......” 
“Apakah sebabnya?” 
“Karena…. tak tahu Nona pulang.....” 
“Sudahlah jangan cerewet. Cepat sediakan, aku haus 
sekali dan lapar.” 
Sarindah membalikkan tubuh langsung masuk ke ruang 
tengah dan menuju ke kamarnya. 
Pelayan tua itu dengan tergopoh menuju dapur untuk 
mempersiapkan kopi dan makan pagi. Tetapi tidak urung 
mulut pelayan ini menggerundel seorang diri mencaci maki 
gadis galak itu. 
Semua pelayan memang takut kepada Sarindah yang 
galak dan gampang marah itu. Namun disamping takut 
mereka juga tidak senang. Diam-diam semua pelayan 
merasa heran mengapa antara Sarindah dan Sarwiyah 
seperti bumi dan langit? Sarwiyah gerak-geriknya halus, 
lemah lembut, sabar dan tidak pernah berbuat sewenang-
wenang kepada mereka. Kalau perlu Sarwiyah malah 
membantu urusan dapur kalau butuh makan atau minum. 
Sarindah menghempaskan tubuh ke pembaringan tanpa 
ganti pakaian. Gadis ini amat penasaran dan uring-uringan 
dituduh telah meracun tamu. Dan kemudian gadis ini 
mengumpat berkali-kali. 
“Gila! Kakek gila! Semua gila! Apakah aku ini sebusuk-
busuknya manusia sehingga ada orang diracun, tuduhan 
langsung pada diriku?” 
“Hemm, bangsat busuk manakah yang sudah bermain 
curang dan meracun di rumah ini? Sarindah menduga-
duga. Huh, tidak mungkin ada orang luar bisa masuk. Huh 
tentu orang dalam sendiri. Tetapi siapakah?” 
Ia tidak bisa menduga siapa yang melakukan. Ia merasa 
sayang juga, mengapa pelayan bersangkutan sudah mati. 
“Huh, tetapi aku harus menyelidiki siapa yang curang 
itu, untuk membersihkan namaku dari noda! Aku akan 
menunggu sampai Kakang Tanu Pada datang. Akan kuajak 
dia pergi dengan aku mengadakan penyelidikan. Kalau aku 
tahu dan mendapat bukti, tahu rasa!” 
Gadis ini kemudian menguap karena mata mengantuk 
sekali, disamping amat lelah. Tiba-tiba saja ia teringat 
betapa nikmatnya dipijat sambil tiduran ini. 
“Sayem.......Sayem......!” 
“Ya..... Nona….” suara penyahutan dari arah rumah 
belakang. 
Pelayan bersangkutan segera berlarian menuju kamar 
Sarindah. Setiba di depan pintu kamar, ia bertanya. “Nona 
memanggil saya?” 
“Masuklah! Pijitlah aku, Sayem.  Aku lelah sekali dua 
hari pergi jauh,” ujarnya sambil menelungkup. 
“Baik Nona,” sahut si pelayan sambil masuk kamar 
sekalipun sesungguhnya mengeluh. 
Pelayan itu segera menunaikan tugasnya memijit tubuh 
si gadis, dimulai dari kaki. 
Beberapa saat kemudian pelayan tua yang mengurus 
dapur sudah datang melapor. “Nona, kopi dan sarapan 
pagi sudah tersedia.” 
“Bawalah kemari. Aku lelah dan sedang dipijit Sayem.” 
Tergopoh pelayan tua itu mengambil kopi dan sarapan 
pagi, langsung dibawa masuk ke dalam kamar tidur. Ketika 
pelayan itu akan meletakkan di meja depan tempat tidur. 
Sarindah berkata. “Mbok, suapilah aku. Bukankah nikmat 
sekali sambil dipijit dan makan disuapi?” 
Pelayan tua itu tidak membantah sekalipun dalam hati 
mengumpat. “Sudah besar dan sudah gadis lagi, tetapi 
mengapa masih seperti bayi?” 
Setelah Sarindah selesai makan dan tertidur pelayan ini 
baru bebas dari kewajibannya. Dengan langkah hati-hati 
pelayan ini meninggalkan kamar. 
Akan tetapi kemudian ternyata Tanu Pada, Kebo Pradah 
dan Mahisa Singkir tidak juga muncul, sekalipun ditunggu 
tiga hari. Sarindah semakin menjadi gelisah dan hilang 
sabar. Kemudian ia memutuskan esok pagi akan pergi 
mencari jejak Tanu Pada yang dicintai itu kalau belum juga 
muncul. 
Kasihan juga gadis ini mengharapkan munculnya orang 
yang sudah mati. Orang yang sudah tewas oleh kecurangan 
Kaligis dan Sangkan. 
Kasihan? Mengapa? Di dunia ini tidak terhitung jumlah-
nya manusia yang ditimpa kemalangan dan kesedihan. 
Semua itu terjadi oleh perbuatan manusia pula yang 
mencari keuntungan diri pribadi, dan merugikan orang lain. 
Sungguh kasihan manusia di dunia ini, manusia ber-
budaya, tetapi sesungguhnya lebih buas dibandirig dengan 
binatang buas yang tidak mengenal akan budaya. Sebagai 
akibat kebuasan manusia ini maka terjadilah perang, 
bunuh membunuh, fitnah, kecurangan, tipu muslihat dan 
banyak perbuatan jahat yang lain lagi. 
Manusia-manusia yang buas semacam ini lupa, siapa 
yang menanam pasti memetik buahnya sesuai dengan 
hukum alam. Hukum sebab dan akibat. Hukum karma. 
Namun biasanya manusia tidak mau juga mawas diri dan 
lupa kepada Yang Maha Tinggi. 
Maka berbahagialah manusia di dunia ini yang pandai 
mawas diri. Yang hidup dengan wajar tanpa merugikan 
orang lain. Yang selalu mengagungkan ambeg paramaarta 
dan pandai menempatkan diri sebagai mahkluk Yang Maha 
Tinggi. Berbahagialah manusia yang sadar akan hidupnya. 
Sadar bahwa di atas manusia ini masih ada Yang Maha 
Tinggi dan Yang Maha Kuasa. 
Akan tetapi kenyataannya memang tidak gampang 
orang bisa mawas diri dan menyadari akan hidupnya ini, 
kalau memang tidak mau berusaha, kalau memang tidak 
mau menempatkan diri secara wajar. 
Demikian pula yang terjadi dalam keluarga besar Si 
Tangan Iblis ini. Karena masing-masing mengumbar 
kehendak dan kemauau sendiri, tak segan merugikan dan 
mencelakakan saudara seperguruan sendiri, maka 
terjadilah piristiwa yaag berekor panjang. 
Akhirnya Sarindah tidak kerasan lagi di rumah. Ia 
kemudian pergi juga tekadnya hanya satu, ia harus bisa 
membersihkan diri dari tuduhan mencoba membunuh 
Julung Pujud. Ia harus dapat bertemu dengan kakeknya 
atau Sarwiyah. Dan kalau perlu harus bisa bertemu dengan 
Warigagung atau Julung Pujud sendiri. Ia akan mem-
beberkan semua keadaan, kepergiannya tidak ada 
hubungan sama sekali dengan percobaan pimbunuhan itu. 
Sarindah menempuh perjalanan cepat. Ia menduga, 
kakeknya dan Sarwiyah tentu searah dengan perjalanan 
yang semula ia tempuh. Karena itu kemudian ia menuju ke 
barat. 
Pada tengah hari tibalah Sarindah di Desa Nongkojajar. 
Ia merasa lapar, kemudian masuk ke sebuah warung. 
Dalam warung ini banyak pula orang sedang jajan. Tetapi 
sebagai seorang gadis, ia merasa malu kalau harus mem-
perhatikan mereka yang pada jajan. 
Sarindah memilih sebuah meja yang masih kosong, lalu 
duduk. Seorang pelayan dengan wajah berseri mendekati. 
Lalu dengan ramah ia tersenyum dan bertanya. 
“Nona menghendaki masakan apa? Rumah makan ini 
terkenal dan langganannya terdiri atas segala lapisan 
masyarakat. Hal ini memang tidak mengherankan Nona, 
karena koki rumah makan ini, sudah puluhan tahun 
lamanya hidup di Ibukota Majapahit. Dulunya seorang juru 
masak Pangeran. Maka saya tanggung, sekali Nona masuk 
di rumah makan ini, selamanya akan terkenang kepada 
kenikmatan.....” 
“Sudahlah, aku minta disediakan jeruk panas dan nasi 
pindang,” potong Sarindah yang menjadi sebal mendengar 
pelayan itu ceriwis dalam menawarkan dagangannya. 
“Apa lagi, Nona?” tanya pelayan 
“Sediakan pula ayam panggang.” 
Pelayan itu mengangguk-angguk. Namun ketika si 
pelayan itu mau pergi,  ia cepat mencegah. “Eh, nanti dulu 
aku ingin bertanya, pernahkah ada seorang kakek dan 
seorang gadis  yang singgah kemari?” 
Pelayan itu tersenyum jawabnya. “Wah, tentu saja 
banyak sekali. Nona, rumah makan ini amat terkenal dan 
banyak langganannya dan....” 
“Sudah, jangan menyobongkan larisnya warungmu ini!  
Aku sedang mencari kakekku dan adikku perempuan. 
Kakekku kira-kira berumur enam puluh tahun dan adikku 
berumur 19 tahun. Kau tahu apa tidak?” 
Pelayan itu pucat oleh bentakan gadis ini. Kemudian 
dengan agak gugup dan takut, sahutnya, “Ohh, maafkanlah 
Nona. Aku…….aku tidak tahu. Tetapi eh.....apakah kiranya 
Nona bisa memberikan ciri-cirinya? Perlunya aku bisa 
mengingat-ingat. Oh ya... Nona.... apakah yang Nona 
maksudkan itu seorang kakek jangkung dan seorang gadis 
cantik, lemah lembut dan gerak-geriknya halus pula....?” 
“Nah, itu dia! Sarindah gembira dan mendesak, Cepat 
terangkanlah   kapan mampir ke warung ini dan tahukah 
kemana kira-kira mereka pergi? Nah terimalah ini untuk 
membeli tembakau.” 
Sarindah memberi dua keping uang tembaga sebagai 
hadiah. Dan pelayan ini menerima dengan wajah berseri 
serta mengangguk-anggukan kepala. 
“Dua hari lalu, kakek dan adik Nona jajan kemari. Tetapi 
saya tidak tahu pasti ke mana mereka pergi. Hanya dari 
pembicaraan yang dapat saya tangkap tidak lengkap, 
agaknya sedang mencari seseorang....” 
“Mereka mencari aku.” 
“Oh... mengapa bisa terjadi saling mencari? Uah... 
lucu...” 
“Hai! Apanya yang lucu? Kau anggap aku ini badut ya? 
Kurang ajar!” 
Pelayan itu pucat kembali dibentak. Diam-diam pelayan 
ini merasa heran juga mengapa gadis ini berbeda jauh 
dengan adiknya yang halus itu? Baru bertemu dirinya 
sudah dibentak dua kali. 
Jawabnya agak takut. “Ahh, Nona.... maksud saya bukan 
begitu. Saya heran sekali mengapa sampai terjadi. Nona 
dan Kakek Nona saling mencari?” 
“Hemm sudahlah! Itu bukan urusanmu! Lekas siapkan 
pesananku. Tenggorokanku sudah kering dan perutku 
sudah amat lapar.” 
“Baik. Nona.” 
Pelayan itu segera pergi ke belakang. Namun diam-diam 
pelayan ini geli juga berhadapan dengan perempuan galak 
itu. 
Sarindah menyeka peluh yang membasahi lehemya. 
Hatinya agak terhibur juga meudapat keterangan, dua hari 
lalu kakeknya dan Sarwiyah meninggalkan desa ini. Ia 
percaya, tidak memerlukan waktu lama tentu sudah dapat 
bertemu dengan kakeknya. 
Karena masih menunggu pesanan ia mencoba meng-
angkat muka memandang sekitarnya kepada para tamu 
yang jajan. Pada meja di depannya enam orang laki-laki 
sedang makan sambil membicarakan masalah harga. 
Sarindah cepat bisa menduga mereka ini terdiri atas para 
pedagang. 
Ketika pandang matanya beralih ke sudut, ia melihat 
seorang laki-laki kira kira empat puluh tahun, wajahnya 
agung dan berwibawa, sedang pakaiannya indah. Di 
depannya terhalang oleh meja yang penuh hidangan, tiga 
orang laki-laki setengah baya. Mereka bicara sambil 
makan, tetapi sikap tiga orang laki-laki ini baik di saat 
menyuap maupun mengucapkan kata-kala tampak amat 
menghormati kepada laki-laki agung tersebut. 
“Ahh, dia tentu orang kota Majapahit. Orang yang mem-
punyai kedudukan tinggi. Hemm, begitukah orang kota, 
pakaiannya indah?” Sarindah menduga-duga. 
Sarindah memang tidak pernah diberi kesempatan pergi 
jauh dari Tosari. Maka walaupun dirinya sekarang sudah 
gadis dewasa, ia belum pernah berkesempatan melihat 
kotaraja Majapahit. 
Sesudah itu pandang matanya beralih ke meja lain. 
Tetapi ia menjadi gelagapan sendiri ketika menyadari diri-
nya diperhatikan oleh seorang pemuda yang duduk 
sendirian seperti dirinya. 
Mara pemuda itu bersinar tajam. Ketika pandang mata 
mereka bertemu, pemuda itu tersenyum dan matanya ber-
kedip-kedip penuh arti. 
Sarindah cepat menundukkan kepala lalu mengalihkan 
pandang matanya ke arah lain. Hati Sarindah berdebar 
tetapi perasaan kewanitaannya curiga. Cara memandang 
dan tersenyum dan mengedipkan mata tadi, tampak sekali 
sikapnya kurangajar. 
Sebagai seorang gadis yang memang mempunyai 
pembawaan watak angkuh keras hati dan galak ia menjadi 
tidak senang. Dalam hatinya sudah mencaci maki, 
“Kurangajar! Engkau membanggakan ketampanan 
wajahmu? Huh, dan kau beranggapan setiap perempuan 
pasti tertarik kepadamu? Huh. tak sudi! Rasakan jika 
engkau berani lancang dan kurangajar kepadaku, kupukul 
mulutmu yang laucang dan kucukil matamu yang 
kurangajar itu.” 
Tetapi walaupun ia tidak senang dan menjadi benci 
kepada pemuda itu ia masih menggunakan sudut matanya 
melirik. Ia ingin tahu apakah pemuda itu masih me-
mandang dirinya? Ahh, ternyata benar pemuda itu me-
mandang tanpa berkedip. Diam-diam ia penasaran ber-
bareng gelisah sendiri. 
Untunglah pelayan segera datang mengantarkan 
pesanannya. Gadis yang lelah haus dan lapar ini segera 
mengalihkan perhatiannya kepada makanan dan minuman 
yang sudah tersedia. Baru tiga suap Sarindah menelan nasi 
terdengar suara pemuda itu yang memanggil pelayan, yang 
baru selesai melayani Sarindah. 
“Hai, Pelayan! Cepat sediakan masakan yang sama 
seperti pesanan dia.” 
“Baik Raden, akan segera kami sediakan,” pelayan itu 
menyahut penuh hormat. 
Mendengar pemuda itu pesan makanan yang sama 
dengan pesanannya, diam-diam Sarindah amat dongkol. Ia 
menghentikan suapan nasinya, memalingkan muka ke 
arah si pemuda dengan pandang mata tidak senang. 
Namun celakanya justru si pemuda juga sedang 
memandang dirinya. Pemuda itu kembali tersenyum dan 
matanya berkedip-kedip. 
Kalau saja apa yang terjadi sekarang ini tidak di dalam 
warung makan, Sarindah yang angkuh dan berangasan itu 
tentu sudah marah dan mendamprat. Sebab dari sikap 
pemuda itu jelas, dia memang sengaja mau mengganggu 
dan mau kurangajar. Tetapi karena perutnya memang 
lapar, biarlah untuk sementara ia menyabarkan diri dan 
mengisi waktu sampai kenyang. Ia ingin tahu apa yang 
akan dilakukan pemuda itu, sesudah meninggalkan 
warung ini. Kalau pemuda ini memang akan mengganggu 
dan kurangajar, huh, ia sudah siap untuk menghajar. 
Pemuda tampan itu masih tetap memperhatikan 
Sarindah dengan pandang mata yang terpesona dan ber-
selera. Tak lama kemudian datanglah yang dipesan. 
Pemuda ini mulai makan, namun matanya bukan 
memperhatikan makanan yang tersedia, malah lebih 
banyak memperhatikan Sarindah. 
Meskipun tanpa melihat pemuda itu dapat menyuap 
nasi dan tidak keliru dalam memasukkan ke mulut. Tetapi 
makan nasi putih melulu tentu saja kurang enak. Karena 
itu ia segera menyenduk isi mangkuk berisi kuah. Tanpa 
diamati langsung dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi tiba-
tiba.... makanan itu tidak jadi ditelan dan malah dimuntah-
kan di dekat kakinya. Bibirnya secara mendadak menjadi 
merah dan air matanya keluar, disamping mluutnya men-
desis-desis. Aha... ternyata pemuda itu keliru menyenduk 
sambal. Akibatnya pemuda itu kepedasan dan megap-
megap seperti ikan kehabisan air. 
Sarindah memalingkan muka. Saking mendongkol dan 
tak kuat menahan rasa geli. Ia menghentikan makannya 
lalu  ketawa terpingkal-pingkal. 
Tamu yang lain pada mulanya heran. Tetapi setelah 
memandang ke arah si pemuda, merekapun lalu ter-
senyum. 
“Itulah upahnya orang yang makan tetapi mulutnya 
jelalatan tidak melihat,” caci gadis ini dalam hati. “Hai… 
pemuda kurangajar, rasakan nanti setelah di luar warung 
jika kau berbuat kurangajar!” 
Pemuda yang kepedasan dan mendesis-desis ini amat 
malu, mendongkol dan penasaran ditertawakan oleh 
Sarindah, sedangkan tamu lain juga tersenyum dan ada 
pula yang menertawakan. Matanya mendelik ke arah para 
tamu, sedang para tamu yang dipandang menjadi takut 
dan cepat mengalihkan pandang matanya. 
Akan tetapi ketika pandang mata pemuda itu bertemu 
dengan laki-laki agung berpakaian indah, jantungnya ter-
getar dan tidak sanggup bertatap pandang. 
Pemuda itu kemudian menundukkan kepala masib 
sambil mendesis kepedasan. Guna mengurangi rasa pedas 
pada bibir dan mulutnya, pemuda itu tidak jadi makan dan 
hanya menggamang ayam panggang. 
Meskipun demikian pemuda ini diam-diam sudah 
memutuskan, setelah keluar dari warung akan membalas. 
Baik kepada para tamu yang menertawakan maupun 
kepada gadis itu. 
Para pedagang itu agaknya sudah kenyang. Mereka 
membayar lalu pergi. Setelah orang itu pergi, si pemuda 
bergegas pula ke luar setelah membayar. 
Agaknya laki-laki berpakaian indah itu sudah bisa 
menduga. Ia mengerutkan alis lalu memberi perintah 
kepada salah seorang yang duduk di depannya supaya 
keluar mengawasi gerak-gerik pemuda itu. 
Dugaan laki-laki berpakaian indah itu ternyata benar. 
Pemuda tadi sedang menghadang enam pedagang tadi, 
mendelik dan membentak. Kamu tadi kurang ajar sekali 
berani menertawakan aku.  
“Huh, kamu berani menghina aku maka rasakan 
pembalasanku!” 
Enam orang pedagang itu pucat dan ketakutan. Sahut 
salah seorang dari mereka sambil membungkuk dan 
memberi hormat, “Ampunilah kami, Raden. Kami…….kami 
tidak menghina....” 
“Apa katamu? tidak menghina? Huh, enak saja kau 
bicara. Apakah aku ini kau anggap badut?” 
“Tidak Raden, tidak! Sudilah Raden memaafkan kami.” 
“Hemm, orang macam kamu harus dihajar biar tahu 
rasa. Nih makanlah pukulanku.” 
Selesai berkata pemuda itu sudah melompat ke depan 
dalam usaha memuaskan kemendongkolannya. 
Tahan! terdengar teriakan nyaring.  
Dengan gerakan ringan laki-laki suruhan priyayi tadi 
sudah menghadang di depan si pemuda. 
Si pemuda yang sudah hampir menghajar enam orang 
tersebut menarik tangannya. Lalu sambil mendelik ia 
membentak. “Siapa kau!” 
“Hemm, orang muda, aku bernama Hesti Makara. Dan 
kau, siapakah orang muda?” 
“Hemm, tidak perlu aku sembunyikan. Namaku Rudra 
Sangkala.” 
“Ahhh.... jadi engkaukah....?” Hesti Makara melengak 
kaget. 
“Benar! Tidak ada yang perlu aku tutupi.” Potong Rudra 
Sangkala tidak menunggu Hesti Makara selesai bicara. 
“Bukankah engkau ini ingin bertanya tentang peristiwa 
hancurnya Desa Mojoduwur dan terbunuh matinya Gora 
Swara itu? Huh, tumenggung macam itu mengapa tidak 
dipecat oleh Raja Majapahit?” 
“Orang muda, engkau jangan bicara sembarangan!” 
hardik Hesti Makara. “Tahukah engkau Tumenggung Gora 
Swara adalah aparat Kerajaan Majapahit? Seorang yang 
pangkatnya tinggi dan segala sesuatunya hanya Sri Paduka 
Raja Puteri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani 
sendiri yang berhak menilai salah seorang hambanya, baik 
atau buruk. Hemm, orang muda! Apakah alasanmu berani 
membunuh Tumenggung Gora Swara?” 
“Huh, apakah sebabnya kau bertanya aku berani 
membunuh tumenggung keparat itu? tumenggung yang 
sewenang-wenang, huh!” 
“Hai orang muda. Engkau jangan mengumbar mulut 
tanpa aturan.” 
“Heh heh heh heh,” Rudra Sangkala terkekeh mengejek, 
“sekalipun peristiwa itu sudah terjadi amat lama namun 
tidak mungkin bisa terhapus dari kenanganku. Huh, 
kenangan menyedihkan yang telah menimpa Ibu dan 
kakakku perempuan. “ 
“Ada apakah dengan ibu dan kakakmu?” Hesti Makara 
heran dan tertarik. 
“Huh, engkau masih juga bertanya?” Rudra Sangkala 
mendengus marah. “Akulah korban sewenang-wenang 
tumenggung keparat itu. Dahulu, dua belas tahun lalu, 
ketika aku baru berumur delapan tahun. Aku tidak tahu 
apakah alasan dan kesalahan orang tuaku. Tetapi 
nyatanya tumenggung keparat itu datang bersama prajurit. 
Ayahku mau ditangkap dan dipaksa ikut dia. Tetapi ayah 
tak mau dan melawan. Akhimya ayah dan kakakku laki-laki 
tewas dikeroyok. Kemudian aku melihat dengan mata 
kepalaku sendiri, ibuku dan kakakku perempuan menjerit-
jerit. Ibuku diseret dengan paksa oleh beberapa orang 
prajurit, sedang kakakku perempuan menjerit dan meronta 
dalam pondongan tumengggung keparat itu. Tidak 
seorangpun tetangga berani menolong. Rumahku dibakar 
dan mungkin akupun sudah dibunuh kalau saja tidak 
ditolong oleh tetangga.” 
Pemuda itu berhenti dan matanya berkaca-kaca, 
agaknya ia terkenang akan peristiwa menyedihkan yang 
lelah menimpa keluarganya ketika itu. 
Namun sejenak kemudian ia sudah meneruskan, 
“Tetapi huh, agaknya para prajurit itu tahu aku masih hidup 
dan ditolong tetangga. Buktinya belum lama mereka pergi 
sudah kembali lagi. Aku digelandang jatuh bangun oleh 
kekasaran para prajurit itu. Tentu saja ketika itu aku 
menangis dan berusaha memberontak. Namun aku segera 
ditendang dan dipukuli disamping dibentak-bentak. Saking 
takutnya terpaksa aku menurut digelandang. Tetapi ketika 
prajurit itu lengah, aku berhasil memberontak dan lepas. 
Lalu aku lari secapatnya, meninggalkan mereka. Huh, 
sebagai anak kecil tentu saja aku tidak secepat mereka 
lari. Tiba-tiba kepalaku sakit dan menjerit, lalu roboh 
terrguling, entah apa yang kemudian terjadi. Ketika aku 
membuka mata, aku sudah dalam dukungan seorang 
perempuan dan dibawa lari cepat sekali.....” 
“Siapakah perempuan itu?” selidik Hesti Makara. 
“Engkau ingin tahu, huh huh. Engkau akan tekencing- 
kencing mendengar nama perempuan itu. Karena 
perempuan yang menolong aku, kemudian menjadi guruku 
itu, adalah Ibu Murti Sari.” 
“Ahhh…. dia gurumu?” Lurah Prajurit Bhayangkara 
Majapahit yang bernama Hesti Makara ini benar-benar 
kaget, dan wajahnya berubah pucat. 
Tentu saja! Siapakah yang tidak kaget mendengar nama 
perempuan itu disebut sebagai guru pemuda ini? Seorang 
wanita sakti mandraguna jaman ini. 
“Heh heh heh heh, guruku itulah yang sudah menolong 
diriku. Dan dari guruku pula kemudian aku mendapat 
keterangan jelas. Guruku mengakui datang terlambat 
untuk menyelamatkan ibuku dan kakak perempuanku. Ibu 
dan kakakku telah mati dalam keadaan menyedihkan. 
Semua tewas setelah dinodai lebih dahulu...” 
“Ahh.... tak mungkin. Itu bohong! Fitnah!” 
Rudra Sangkala mendelik marah. “Apa? Fitnah. Apakah 
engkau bisa membuktikan bahwa aku bohong dan 
memfitnah? Hayo tunjukkan di mana ibu dan kakakku 
perempuan sekarang berada.” 
Hesti Makara tidak dapat nunjawah. Bagaimanakah 
mungkin, ia dapat menjawab? Ia tidak tahu sama sekali 
terjadinya peristiwa itu. Tetapi sebaliknya ia juga tidak mau 
percaya kepada dongeng pemuda ini. 
“Hemm, apapun alasanmu dan bagaimanapun yang 
terjadi, kau tak boleh berbuat semau sendiri dan main 
hakim sendiri. Negara Majapahit merupakan negara 
hukum. Karena ini apa yang sudah kau lakukan itu 
merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan berdosa 
kepada Sri Paduka Raja. Hemm, anak muda, sungguh 
kebetulan. Aku memang bertugas untuk menyelidiki 
engkau. Sekarang begini saja, menyerahlah!” 
“Heh... heh... heh... heh, kau mau menangkap aku? 
Tangkaplah jika memang bisa!” ejek pemuda itu. 
“Orang muda! Aku bermaksud baik, dan engkau jangan 
takabur. Jika engkau mau menyerah baik-baik, 
kemungkinan engkau masih mendapat pengampunan Sri 
Paduka Raja. Akan tetapi apabila kau membandel, apakah 
engkau berani melawan aparat kerajaan?” 
“Heh... heh... heh... heh, mengapa tidak? Jika orang 
macam eugkau mau sewenang-wenang dan membangga-
kan kedudukanmu sebagai aparat kerajaan, huh. siapa 
takut?” 
Ketika itu laki-laki yang berpakaian indah sudah keluar 
dari warung, diiringkan dua orang yang lain. Memang 
priyayi ini bukan orang sem barangan. Dia seorang Patih 
Dalam Kerajaan Majapahit yang namanya amat terkenal. 
Adityawarman. Dia memang seorang bangsawan yang 
berpandangan luas, cerdik dan bisa bergaul dengan 
kawula cilik. 
Adityawarman sejak masih muda hubungannya dengan 
Gajah Mada amat erat. Dan dia pulalah salah seorang 
pendukung Gajah Mada untuk menduduki jabatan Patih 
Mangkubumi atau Mahapatih Majapahit. Walaupun 
sesungguhnya Gajah Mada bukan keturunan bangsawan. 
Kedudukan Adityawarman saat sekarang ini amat tinggi 
di Majapahit. Dia sejajar kedudukannya dengan 
Laksamana Nala. Tetapi sesuai dengan kesukaannya 
bergaul dengan kawula cilik ini, maka Adityawarman suka 
sekali menjelajah desa. 
Adityawarman selalu mengadakan wawancara dengan 
rakyat dari hati ke hati untuk mengetahui kehidupan para 
kawula cilik. Semua itu berguna bagi dirinya dan Kerajaan 
Majapahit. Sebab dengan demikian bisa mengetahui 
keadaan yangsebenarnya, bukan hanya berdasar laporan 
dari bawahan yang belum tentu benar. Yang belum tentu 
bawahan melaporkan keadaan sebenarnya. Tetapi sering 
pula merupakan laporan yang bertentangan dengan 
keadaan sebenarnya, yang semua itu guna menutupi 
kekurangannya. Lebih lagi mereka yang suka bertindak 
sewenang-wenang, mereka takut boroknya terbuka. 
Dan sekarang ia hanya dikawal oleh tiga orang prajurit 
Bhayangkara, menjelajahi beberapa desa. Ketika 
mendengar Hesti Makara dengan pemuda itu bersitegang 
Adityawarman kaget. Maka dengan pengawalnya segera 
menghampiri. 
“Makara! Apakah sebabnya kau bersitegang?” tanyanya. 
“Gusti,” sahut Hesti Makara sambil memberikan 
sembahnya. “Di luar dugaan hamba ternyata pemuda ini 
mengaku, dialah pelaku kekejaman di Mojoduwur.” 
“Apa?” Adityawarman kaget. “Maksudmu, yang sudah 
membunuh Gora Swara dan membakar desa itu?” 
“Kalau benar, kau mau apa?” sahut Rudra Sangkala 
lantang, sambil mendelik. “Engkau siapa, berani men-
campuri urusanku?” 
Mendadak pengawal pribadi bertubuh tinggi besar 
bernama Kebo Druwoso membentak marah. “Jahanam 
busuk! Siapakah eugkau, berani kurang ajar di depan Gusti 
Adityawarman? Hayo, lekas berlutut dan mohon ampun!” 
Rudra Sangkala kaget juga mendengar disebutnya nama 
Adityawarman, seorang yang kedudukannya amat tinggi di 
Majapahit dan terkenal sakti mandraguna. Namun rasa 
kagetnya ini hanya sekilas saja, kemudian pemuda ini 
ketawa terkekeh dan mengejek, “heh... heh... heh... heh, 
aku mempunyai kebebasan sebagai orang yang tidak hidup 
dari pemberian raja dan para bangsawan. Aku bukannya 
budak seperti kau. Siapakah yang sudi berlutut di depan 
orang?” 
“Bedebah!” Kebo Druwoso menyumpah.  
“Druwoso, diamlah,” ujar Adityawarman. Adityawarman 
memandang Rudra Sangkala penuh selidik, kemudian 
bertanya, “Benarkah engkau yang sudah membunuh Gora 
Swara?” 
“Mengapa masih bertanya lagi?” Tanpa tedeng aling-
aling aku sudah mengakui. “Aku berani berbuat berarti 
pula bertanggung jawab. Huh, aku bukan pengecut yang 
menyambit batu menyembunyikan tangan.” 
Sepasang mata Adityawarman menyala mendengar 
jawaban menantang ini. Tetapi dia seorang bangsawan 
tinggi yang bijaksana. Seorang yang kedudukannya tinggi 
dan pandai menguasai perasaan. Walaupun dalam hatinya 
amat marah oleh sikap Rudra Sangkala, ia menahan diri 
dan malah tersenyum. 
“Hemm, anak muda. Tahukah engkau bahwa apa yang 
sudah engkau lakukan ini merupakan perbuatan yang 
berdosa amat besar? Engkau seorang kawula, tetapi berani 
main hakim sendiri. Engkau harus sadar bahwa negara 
Majapahit merupakan negara hukum. Kalau toh henar 
Gora Swara bersalah sebaiknya kau laporkan kepada 
pejabat di Majapahit, disertai bukti-bukti. Akulah yang akan 
mengurus secara adil. Dan kalau Gora Swara sebagai 
tumenggung memang bersalah, mengapa tidak dihukum? 
Pasti! Siapapun bersalah tentu mendapat hukuman yang 
setimpal.” 
 Adityawarman berhenti dan mengambil napas. Sejenak 
kemudian ia meneruskan. “Anak muda, Aku Adityawarman. 
Dalam menegakkan keadilan dan demi hukum, tidak 
mengenal bulu. Hemm, sayang, engkau sudah lancang 
tangan dan main hakim sendiri, membunuh seorang aparat 
negara. Dosamu besar sekali anak muda, maka 
menyerahlah untuk kubawa ke Majapahit dan diadili di 
sana. Apabila dalam pemeriksaan ternyata engkau tidak 
bersalah, kau tidak perlu khawatir. Aku yang menanggung 
engkau akan dibebaskan kembali.” 
Rudra Sangkala terkekeh mengejek mendengar ucapan 
Adityawarman ini. Walaupun Adityawarman terkenal 
sebagai seorang bangsawan Majapahit yang sakti 
mandragnna, ia tidak takut! Apa yang harus ditakutkan? 
Gurunya pernah berkata, dirinya sekarang merupakan 
seorang pemuda pilih tanding. Maka timbullah niatnya 
untuk membuktikan, apakah benar dirinya perkasa dan 
sakti mandraguna? 
“Heh... heh... heh... heh, kepada orang lain engkau bisa 
membujuk dan mengancam. Tetapi Rudra Sangkala tidak 
bisa digertak. Hayo, siapakah yang akan maju dan 
melawan aku? Atau kamu mau maju berbareng dan 
mengeroyok?”