Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 4 - Persekutuan Dua Iblis(2)



Rudra Sangkala ini sungguh sombong dan takabur di 
depan Adityawarman. Namun demikian Adityawarman tidak 
marah, ia masih tetap dapat mengendalikan perasaan. 
“Makara!” perintahnya. “Cobalah pemuda yang sombong 
ini apakah benar-benar keras?” 
Sebelum Hesti Makara sempat menjawah. Rudra 
Sangkala mendahuluinya, “Bagus! Marilah kita coba!” 
Lalu dengan sikapnya yang congkak dan sombong, 
pemuda ini sudah berdiri tegak sambil membusungkan 
dada. Mulutnya tersenyum mengejek sedang sepasang 
matanya menyala memandang Hesti Makara. 
Dada Hesti Makara seperti meledak melihat sikap 
pemuda ini. Namun demikian ia masih bersabar, ia mem-
bungkuk ke arah Adityawarman sambil memberikan 
sembahnya. Lalu ia menyanggupkan diri melaksanakan 
perintah itu. Dan setelah itu barulah ia menghadapi Rudra 
Sangkala. 
“Hai orang muda!” Bentaknya. “Katakanlah dengan apa 
kita mengukur kekuatan?” 
Rudra Sangkala menyeriugai penuh ejekan. Jawabnya, 
“Engkau mau menggunakan senjata apa? Silakan! Aku 
cukup dengan dua tangan dan dua kakiku ini!” 
Berkata demikian  Rudra Sangkala mengacungkan dua 
tinjunya di atas kepala dengan sikap yang amat merendah-
kan dan menghina. Sikap ini tentu saja kemarahan Hesti 
Makara semakin terbakar. Namun mengingat dirinya lebih 
tua, ia menekan perasaan. 
“Baik! Marilah kita coba dengan tangan kosong. 
Majulah!” Hesti Makara mengalah dan tidak mau memulai    
mengingat dirinya sudah tua. 
Rudra Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi. Ia 
menerjang maju dengau jari tangan terbuka membentuk 
cengkeraman. Gerakannya cepat dan aneh. Gerakannya 
seperti kacau tidak karuan, menubruk dan mencakar. 
Begitu menerjang, kedua langannya mencengkeram ke 
arah kepala lawan. Melihat serangan lawan yang kacau ini, 
Hesti Makara tersenyum dingin. Ia tidak bergerak dan 
hanya tangan kiri menyambar cepat dengan maksud untuk 
menangkap pergelangan tangan lawan. 
“Aihhh.....!” Hesti Makara berseru kaget sambil 
melompat ke samping dan menendang. 
Kurang cepat sedikit saja dirinya tentu sudah celaka di 
tangan pemuda ini dalam segebrakan saja. 
Memang tidak pernah diduga lawan, gerakan Rudra 
Sangkala tadi mengandung rahasia gerakan yang belum 
pernah dikenal oleh Hesti Makara dan amat berbahaya, 
tahu-tahu hidungnya mencuim bau yang wangi dan hampir 
saja sepasang matanya tertusuk oleh jari lawan, karena 
tiba-tiba kepalanya menjadi pening. 
Itulah racun wangi yang dapat membuat lawan mabuk 
dan pening. Dan apabila lawan kurang berhati-hati 
menghadapi akan tertipu dan gampang sekali roboh. Rudra 
Sangkala sekarang ini sadar berhadapan dengan bahaya. 
Maka pemuda ini tidak mau membuang waktu lagi dan 
ingin secepatnya merobohkan lawan. 
Dari kaget Hesti Makara menjadi marah sekali. Ia 
membentak keras lalu mengebutkan tangan kanan yang 
menerbitkan angin dahsyat ke muka Rudra Siangkala, 
disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada kemudian 
disusul pula dengan tendagnan kaki kanan ke pusar. 
Akan tetapi serangan yang susul menyusul itu oleh 
Rudra Sangkala dapat dipunahkan semua dengan ber-
lompatan cepat, dan secara diam-diam pemuda ini telah 
menjetikkan racun wangi yang disimpan di bawah kuku 
jarinya yang panjang. 
Hesti Makara tidak berani sembrono. Setiap hidungnya 
menghirup bau wangi, ia cepat-cepat menutup pernafasan 
sambil mengebut dengan telapak tangan. 
Justru serangan-serangan Rudra Sangkala yang 
dicampur dengan serangan racun wangi ini menyebabkan 
Hesti Makara menjadi sangal marah, dan dalam waktu 
singkat mereka telah terlibat dalam perkelahian sengit. 
Akan tetapi Adityawarman yang awas, melihat per-
kelahian itu menjadi curiga disamping heran. Hesti Makara 
menang pengalaman dan lebih matang dalam gerakan 
maupun tenaga saktinya. Namun mengapa gerakan Hesti 
Makara sekarang ini tampak kaku, kurang tenaga dan 
takut-takut? 
Adityawarman mengamati setiap gerak serangan Rudra 
Sangkala, penuh perhatian dan selidik. Ia ingin tahu 
mengapa sebabnya Hesti Makara berkelahi tidak seperti 
biasanya. 
“Plak plak ..... bukk..... bukk....!” terdengar suara dua kali 
pukulan disusul masing-masing terhuyung ke belakang. 
Akan tetapi secepat kilat Rudra Sangkala sudah melesat 
ke depan dan melancrkan se-rangannya lagi. 
Adityawarman mengamati perkelahian itu sekian lama. 
Namun pejabat tinggi Majapahit ini belum juga bisa 
mengetahui sebabnya mengapa sekali ini Hesti Makara 
tidak segarang biasanya? 
Menurut penilaian Adityawarman, sekalipun Rudra 
Sangkala termasuk pemuda peng-pengan (jagoan), tetapi 
tingkatnya masih sedikit di bawah Hesti Makara. Jadi sulit 
dipercaya apabila Hesti Makara harus mengalami kesulitan 
berhadapan dengan bocah ini. Tentu ada rahasia yang 
menyebabkan Hesti Makara kesulitan. 
Agaknya Kebo Druwoso juga melihat keanehan ini, 
katanya, “Gusti, perkenankanlah hamba menolong dan 
mengeroyok bocah itu. Nampaknya Hesti Makara 
menghadapi kesulitan.” 
Jangan! cegah Adityawarman halus. Hal itu akan 
menyebabhkan dia tersinggung dan merasa terhina. Sebab 
tidak seharusnya Hesti Makara menghadapi kesulitan 
seperti ini. Kalau sekarang sampai terjadi maka sebab 
itulah yang harus kita cari. Untuk itu tidak ada orangnya 
yang lebih tepat melakukannya, kecuali diriku sendiri. 
“Plak plak plak.....!” 
Adityawarman dan pengawalnya kaget, ketika melihat 
Hesti Makara terhuyung mundur beberapa langkah ke 
belakang dengan wajah pucat. Disusul kemudian Hesti 
Makara muntah darah segar. 
Akan tetapi agaknya Rudra Sangkala yang merasa di 
atas angin dan dapat memukul lawan sampai muntah 
darah ini, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan 
bernapas. Ia melesat ke depan sambil berteriak nyaring. 
Maksudnya sekali pukul, lawan harus roboh dan mampus. 
“Plakk.....!” Rudra Sangkala terhuyung mundur dan 
wajahnya pucat, ketika tangannya ditangkis orang dan 
lengannya menjadi kesemutan. Mulutnya meringis 
menahan sakit, namun sesaat kemudian wajah pemuda ini 
berubah merah padam dan sepasang matanya seperti 
menyala, menatap kepada Adityawarman. 
“Huh... huh! Kamu mau mengeroyok, bagus.” ujarnya. 
“jangan maju satu demi satu, lebih banyak lebih baik.” 
Bukau main sombongnya pemuda ini. Kebo Druwoso 
penasaran dan membentak nyaring, “Kurangajar! Apakah 
engkau menganggap dirimu sudah paling sakli di dunia ini 
dan tanpa tanding lagi?” 
Rudra Sangkala mengejek. “Heh heh heh heh, kau boleh 
mencoba.” 
Hesti Makara sudah lerluka dalam. Setelah mengatur 
pernapasan beberapa saat, darahnya berhenti bergolak 
dan sesak dadanya menghilang. Ternyata luka itu tidak 
berat dan tidak membahayakan. Karena itu ia segera 
bangkit lalu memperhatikan Adityawarman yang sekarang 
berhadapan dengan Rudra Sangkala. 
Dengan pandang mata yang masih sabar Adityawarman 
berkata, “Anak muda, dengar kataku. Menyerahlah dan 
jangan melawan, percayalah penguasa peradilan Majapahit 
bukanlah terdiri atas para manusia tamak. Tetapi apapun 
alasannya, main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan.” 
Namun manakah mungkin Rudra Sangkala mau 
mendengar nasihat Adityawarman ini? Hati bocah ini 
menjadi besar setelah dapat memukul Hesti Makara 
sampai muntah darah. Ia merasa kuat. Karena itu tidak 
ada yang perlu ditakuti lagi. 
“Heh heh heh heh, tak usah banyak mulut. Sambutlah 
pukulanku!” 
Dengan gerakan cepat Rodra Sangkala sudah kembali 
menerjang ke depan. Jari tangannya meneyntil tabung 
racun wangi di bawah kuku jari. Kemudian jari tangan kiri 
yang semula bergerak membentuk cengkeraman itu sudah 
berubah menjadi tinju memukul ke arah dada disusul 
cengkeraman tangan kanan yang mencengkeram leher. 
Adityawarman hanya menggeser kaki sedikit ke kanan 
sambil mendorongkan tangan kiri, sedangkan tangan 
kanan secepat kilat menyambar pergelangan tangan 
lawan. Rudra Sangkala melompat untuk menghindar dan 
Adityawarman kaget ketika hidungnya menghirup bau 
wangi disusul rasa pening dan pandangan menjadi kabur. 
Ia cepat menahan napas dan berusaha mendorong 
pengaruh racun itu dari dalam tubuhnya. 
Pengalamannya ini menyadarkan dirinya, pengaruh bau 
wangi ini berbahaya. Kemudian ia sadar pula, inilah 
agaknya yang menjadi penyebab Hesti Makara tidak 
mampu melawan pemuda ini. 
Sadar akau keadaan, ia menjadi marah. Ketika Rudra 
Sangkala menyerang lagi, ia tidak segan-segan lagi 
melayani. Sebab ia sadar, pemuda ini amat herbahaya bagi 
masyarakat disamping pelanggar hukum dan ketertiban. 
Maka merupakan kewajibannya untuk melenyapkan 
manusia jahat ini dari muka bumi. 
“Plakk..... Aihh...!” Rudra Sangkala berteriak kaget dan 
cepat melompat mundur sambil berjungkir balik. Wajah 
pemuda ini merah padam seteah berdiri kembali dan 
memandang Adityawarman dengan mata mendelik. 
Rudra Sangkala baru menyadari sekarang, laki-laki 
tampan yang gerak-geriknya halus ini malah sangat 
berbahaya. Pukulannya tadi begitu bertemu dengan 
tangkisan lawan, terasa telapak tangan lawan lunak seperti 
kapas dan tenaganya menjadi tenggelam. Kalau saja 
dirinya tadi tidak lekas menarik kembali tangannya lalu 
melompat dan berjungkir balik ke belakang, dirinya tentu 
celaka. 
Akan tetapi justru pengalaman ini menyebabkan Rudra 
Sangkala meledak kemarahannya. Ia takkan mungkin bisa 
mengalahkan lawan sakti ini, tanpa menggunakan 
pedangnya. Dan kalau perlu iapun harus melepaskan 
senjata rahasia pisau terbang yang kecil. 
Sing.... Sinar kekuning-kuningan terpancar dari pedang 
pusaka Rudra Sangkala, setelah mencabut pedang. 
“Aihh.....!” tak tercegah lagi Adityawarman maupun para 
pengawal itu berseru kaget, 
Pedang Wesi Kuning.... seru Adityawarman. 
Rudra Sangkala terkekeh, ejeknya. “Mengapa sebabnya 
engkau kaget? Heh heh heh heh, pedangku ini memang 
pedang pusaka dengan nama Wesi Kuning. Pedang yang 
ampuh tanpa lawan. Huh, karena kau terlalu mendesak 
aku, hemm, jangan sesalkan aku jika pedangku ini minun 
darahmu!” 
Sepasang mata Adityawarman menyala. Bukan saja oleh 
ucapan Rudra Sangkala yang amat takabur dan menghina, 
tetapi juga melihat pedang itu sendiri. Sebagai bangsawan 
Majapahit tentu saja ia amat kenal dengan pedang pusaka 
Wesi Kuning ini. Pedang pusaka milik Kerajaan Majapahit, 
tetapi mengapa tiba-tiba sudah di tangan bocah liar ini? 
“Hemm orang muda! Dari manakah engkau memperoleh 
pedang ini? hardik Adityawarman dengan mata tidak 
berkedip. Bukan saja engkau telah berdosa membunuh 
pejabat negara, engkaupun ternyata pencuri pusaka 
keraton.” 
“Keparat!” bentak Rudra Sangkala dengan mata 
menyala. “Siapakah yang mencuri? Pedang ini pemberian 
Guruku. Mengapa sebabnya engkau sudah menuduh orang 
sembarangan?” 
“Siapakah gurumu?” 
Tidak perlu aku sembunyikan. Guruku bernama Murti 
Sari!” 
“Ahhhh…….!” Adityawarman berseru tertahan 
Bukan hanya Adityawarman, tetapi juga pengawal yang 
lain, kecuali Hesti Makara  yang tadi sudah tahu. 
Akan tetapi walaupun sama-sama kaget, rasa kaget 
berlainan. Kalau para pengawal itu kaget karena Murti Sari 
terkenal sebagai wanita peng-pengan, wanita gagah 
perkasa, sebaliknya Adityawarman karena soal lain. 
Memang sudah bukan rahasia lagi bagi para bangsawan 
Majapahit tentang nama tokoh terkenal yang mengaku 
bemama Murti Sari ini. Tetapi bagi umum rahasia itu 
ditutup rapat sekali agar tidak sampai menodai nama 
Kerajaan Majapahit. 
Murti Sari adalah nama baru sesudah Sirna Dewi diusir 
dari keraton. Sebabnya diusir, akibat tindak perbuatannya    
yang menodai nama baik para bangsawan yang lain. 
Kecantikan wajah dan bentuk tubuh Murti Sari memang 
tidak tercela, karena memang cantik jelita dan menawan. 
Sebagai seorang puteri, ia telah dikawinkan seorang 
bangsawan Majapahit bemama Narmada tetapi ternyata 
Sirna Dewi seorang isteri yang tidak setia. Dia suka berbuat 
serong dengan laki-laki lain. Saking malu menyaksikan 
tingkah laku wanita itu, Narmada yang amat mencintai 
Sirna Dewi. memilih bunuh diri. 
Raja Jayanegara amat marah mendengar peristiwa itu. 
Kemudian ia memerintahkan agar Sirna Dewi yang 
mencemarkan nama baik keraton itu dihukum mati. Tetapi 
sebaliknya Mahapatih atau Dyah Malayuda yang besar 
pengaruhnya dan dekat sekali hubungannya dengan raja 
memintakan ampun, dan hukuman mati itu supaya diubah 
dengan pengusiran. Atas permintaan Mahapati ini 
kemudian Raja Jayanegara setuju. Lalu diusirlah Sirna Dewi 
dan tidak diakui lagi sebagai kerabat keraton. 
Sesudah terjadinya peristiwa ini, muncullah nama tokoh 
Murti Sari, tetapi kejam dan ganas tidak sesuai dengan 
wajahnya yang cantik jelita. 
Sekarang pemuda yang mengaku sebagai muridnya ini, 
menguasai pedang pusaka keraton yang bernama Wesi 
Kuning. Ia menduga, tentu Murti Sari yang sudah mencuri 
pusaka itu di kamar pusaka. 
Dan yang menyebabkan Adityawarman heran, mengapa 
hilangnya pusaka ini dari kamar pusaka, tidak seorangpun 
tahu? Dan kapan Murti Sari mencuri? 
“Anak muda!” Bentaknya penuh wibawa. “Kembalikan 
pedang itu kepada kami. Sebab pedang itu adalah milik 
Kerajaan Majapahit.” 
“Heh... heh... heh... heh. Rudra Sangkala mengejek. 
“Enak saja engkau membuka mulut. Pendeknya pedang ini 
milikku, pedang pemberian Guruku.” 
“Anak muda! Jika kau keras kepala, aku terpaksa 
menggunakan kekerasan!” 
Tiba-tiba terdengar suara lengking amat nyaring dari 
kejauhan, disusul suara yang kecil tetapi merdu. 
“Adityawarman! Engkau berani mengganggu muridku?” 
Adityawarman kaget, demikian pula pengawal. Orang 
yang dapat berteriak dari tempat jauh dan jelas, mem-
buktikan sampai di manakah ketinggian ilmu yang 
bersangkutan, tidak lama kemudian tampak bayangan 
ramping bergerak seperti terbang. 
“Ibu!” seru Rudra Sangkala sambil menjatuhkan diri dan 
berlutut memberi hormat kepada gurunya. 
Murti Sari tersenyum manis sekali. Dan sekalipun 
umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih 
amat cantik sedang tubuhnya masih padat berisi, 
terpelihara. 
Selintas orang akan menduga umur Murti Sari baru 
tigapuluhan kurang. Malah Adityawarman sendiri juga 
merasa heran, mengapa perempuan ini bisa awet muda? 
“Bangkitlah Anakku!” Katanya merdu ditujukan kepada 
Rudra Sangkala. 
Perempuan cantik ini lalu menghadapi Adityawarman 
sambil bertolak pinggang. Sepasang matanya mendelik, 
namun tetap saja sepasang mata itu indah dan menyedap-
kan dipandang. Katanya diiringi ketawanya yang merdu. 
“Hi... hi... hik. Adityawarman! Hati-hati sedikit engkau 
bicara. Siapakah yang sudah mencuri pedang pusaka Wesi 
Kuning?” 
“Hemm, pedang pusaka Wesi Kuning itu benda pusaka 
milik kerajaan!” sahut Adityawarman dengan sikap tenang, 
“kalau sekarang di tangan bocah ini, mana mungkin tanpa 
mencuri?” 
“Huh, engkau kurangajar sekali Adityawarman. Lupakah 
engkau, siapakah aku ini? Engkau jangan menjadi 
sombong setelah mempunyai jabatan tinggi, huh! Aku tidak 
mencuri, tetapi aku mengambil pedang itu dari kamar 
pusaka.” 
“Mengambil tanpa seijin pemiliknya, bukankah itu 
berarti mencuri?” 
“Adityawarman!” bentak Murti Sari, “engkau keparat! 
Apakah karena engkau sekarang berkedudukan tinggi, 
dihormati orang lalu setamak ini? Kalau aku rela 
kehilangan semua hak sebagai bangsawan Majapahit dan 
hanya mengambil sebatang pedang saja, engkau masih 
sampai hati menyebut diriku sebagai pencuri? Huh, Huh, 
engkau jangan sembarangan membuka mulut!” 
Mendengar ucapan Murti Sari yang kasar dan menghina 
tuannya ini, tiga orang pengawal itu menjadi amat 
penasaran. Apakah sebabnya tuannya itu masih bisa ber-
sikap sesabar itu? 
Akan tetapi sekalipun marah dan penasaran mereka 
tidak berani sembarangan membuka mulut maupun 
menyerang Murti Sari. Sebab mereka menyadari, Murti Sari 
sakti mandraguna. 
Meskipun demikian kedudukan mereka hanya sebagai 
pengawal, mereka tidak takut untuk mengorbankan nyawa 
dalam membela tuan mereka. Karena alasan itu diam-diam 
mereka sudah bersiap diri untuk membela keselamatan 
Adityawarman. 
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Mengapa sebabnya 
engkau menyesal kehilangan hak itu?” 
“Keparat! Siapakah yang menyesal? Aku hanya ingin 
mengatakan, apakah salahnya aku mengambil pedang itu 
untuk kepentingan muridku?” 
“Murti Sari, apa yang engkau lakukan itu memang salah. 
Benda itu adalah milik kerajaan. Maka siapapun tidak 
boleh sembarangan mengambil tanpa ijin Raja. Dan tahu-
kah engkau akan akibat dari kelancanganmu ini? Dengan 
pedang ini muridmu mengganas dan berani membunuh 
tumenggung Gora Swara.” 
“Hi... hi... hik, engkau membela tumenggung keparat itu? 
Semestinya engkaulah yang berkewajiban menghajar dia. 
Tetapi apakah sebabnya ada orang yang bersedia mewakili 
engkau dan tidak minta imbalan jasa, engkau malah tidak 
mengucapkan terima kasih? Apakah jadinya negara 
Majapahit ini kalau terdapat sepuluh orang saja yang mem-
punyai pangkat tumenggung dan perbuatannya sewenang-
wenang seperti Gora Swara itu? Dia telah menyebabkan 
muridku ini yatim piatu. Dialah yang menghancurkan 
keluarganya. Apa salahnya dengan kemampuannya sendiri 
membalas sakit hati dan menghukum bawahanmu yang 
jahat itu?” 
“Murti Sari!” bentak Aidtyawarman menggeledek. 
Agaknya ia telah hilang kesabarannya. “Negara ini mem-
punyai hukum dan masyarakat dilindungi oleh hukum. Tiap 
manusia tidak boleh berbuat semau sendiri dan main 
hakim sendiri. Hemm, apakah tuduhanmu bahwa Gora 
Swara jahat dan sewenang-wenang itu tidak membuka 
kedokmu sendiri, bahwa engkau sendirilah yang sewenang-
wenang? Kalau benar Gora Swara bersalah, yang berhak 
menentukan salah dan tidaknya bukanlah engkau, bukan 
muridmu dan bukan aku pula. Salah dan benar itu baru 
terbukti apabila sudah diadili oleh pengadilan negara. Nah, 
mestinya laporkan tindak perbuatan dengan bukti-bukti 
dan saksi-saksi kepada hakim. Kemudian pengadilanlah 
yang akan memeriksa dan mengadili. Hemm, bukan 
dengan caramu sendiri yang main hakim sendiri.” 
Adityawarman berhenti sejenak. “Lalu, Murti Sari! 
Sekarang begini. Demi aku dan demi engkau, kembalikan 
pedang pusaka Wesi Kuning itu dan serahkan pula 
muridmu kepadaku.” 
Murti Sari terkekeh mengejek. “Heh... heh... heh... heh, 
enak saja engkau membuka mulut. Serahkan pedang dan 
serahkan murid, siapa bilang muridku bersalah? Huh... 
huh, taukah engkau siapa yang berani mengganggu murid-
ku berarti pula menantang diriku Adityawarman! Katakan-
lah terus terang, engkau berani melawan aku?” 
“Hemm, aku seorang petugas negara, tidak pandang 
bulu! Siapa yang bersalah harus mendapat hukuman yang 
setimpal. Dan sebagai seorang hamba kerajaan, nyawa aku 
pertaruhkan demi pengabdianku kepada kerajaan. Akan 
tetapi sekalipun demikian sungguh menyesal sekali, 
mengapa peristiwa semacam ini harus terjadi? Mengapa 
engkau tersesat sejauh ini”? Adityawarman menghela 
napas di tengah rasa penasaran. Karena sesungguhnya 
saja ia tidak tega harus menggunakan kekerasan terhadap 
Murti Sari. 
Murti Sari tertawa dingin, jawabnya. “Kau bilang sebagai 
petugas negara dan tidak pandang hulu? Bagus! Dan kau 
bilang aku sesat? Bagus! Marilah kita buktikan siapa di 
antara aku dan engkau, siapa yang lebih kuat? Tetapi huh, 
jangan sesalkan aku jika terpaksa aku akan membunuh 
engkau!” 
Murti Sari memalingkan muka kepada Rudra Sangkala 
yang berdiri di belakangnya, lalu berkata, “Sangkala! 
Pinjamkan pedang itu padaku. Pedang Wesi Kuning setiap 
sudah dihunus tak boleh disarungkan lagi, sebelum minum 
darah manusia.” 
Rudra Sangkala segera maju dan memberikan pedang 
pusaka Wesi Kuning yang terhunus itu. Oleh sinar matahari 
yang menimpa batang pedang itu, berkilauan cahaya 
kuning. Setelah memegang pedang pusaka Wesi Kuning 
itu, katanya. “Adityawarman. Cabutlah senjatamu!” 
Dengan agak malas, Adityawarman mencabut pedang-
nya pula. Sungguh mati dalam hati Adityawarman tidak 
senang harus menghadapi Murti Sari dengan kekerasan 
ini. 
“Sring....” ketika pedang dicabut, berkilauan sinar itu 
dari batang pedang. Kemudian pedang tersebut dilintang-
kan di depan dada. 
Dua batang pedang yang sama-sama menyinarkan 
cahaya. Yang satu berkilauan dan sinarnya kuning, sedang 
sebatang lagi bersinar kebiruan. Ini merupakan bukti 
bahwa dua-duanya merupakan pedang pusaka. Memang 
pedang yang digunakan Adityawarman ini pedang Tunggul 
Naga. 
“Murti Sari!” kata Adityawarman. “Demi tugas, terpaksa 
aku meuyambut tantanganmu. Dan demi kewibawaan 
negara Majapahit pula aku harus bertindak keras kepada-
mu.” 
“Tak usah banyak mulut. Sambutlah!” lengking Murti 
Sari. 
Seleret sinar kuning menyambar ke depan. Pedang Wesi 
Kuning itu hanya sebatang saja. Tetapi di tangan Murti Sari 
ketika pedang bergerak lalu berubah menjadi beberapa 
batang, menyamhar ke arah mata, leher, pundak dan 
uluhati. 
“Trang…trang….trang…!” Benturan dua pedang me-
nimbulkan suara berdencing beberapa kali. Kemudian dua 
leret sinar biru dan kuning itu saling libat seperti kilat 
cepatnya. Pemandangan itu indah sekali bagai pelangi. 
Namun di balik pandangan yang menarik itu tersembunyi-
lah ancaman maut yang mengerikan. 
Dalam waktu singkat, mereka sudah berkelahi dengan 
sengit. Tubuh mereka lenyap terbungkus oleh sinar pedang 
yang tidak pernah putus. Kadang melebar, kemudian 
menyempit lagi. Sesaat lagi terpisah menjadi dua gulung 
sinar yang menyilaukan. 
Perkelahian yang terjadi antara dua orang sakti ini men-
debarkan dan menegangkan. Lebih-lebih mereka sama-
sama memegang pedang pusaka. Suara berdencing selalu 
terdengar dan di tengah suara dencingan senjata ini, ter-
dengarlah Murti Sari berteriak kepada muridnya. 
“Sangkala! Pergilah engkau. Biarlah cacing-cacing busuk 
ini, aku sendiri yang menyelesaikan.” 
“Ibu! Manakah mungkin murid dapat meninggalkan 
Guru dalam keadaan seperti ini? Pendeknya murid baru 
mau pergi jika bersama Ibu.” 
“Kurangajar kau, Sangkala! Engkau berani membantah 
perintah Ibumu? Hayo lekaslah pergi. Ibumu akan segera 
menyusul engkau.” 
Rudra Sangkala tidak berani membantah lagi, tetapi 
baru saja akan melangkah. Kebo Druwoso sudah mem-
bentak nyaring, “Berhenti!” 
Laki-laki tinggi besar itu sudah melompat dan meng-
hadang. Namun menyusul terdengar seruan kaget dari 
mulut Kebo Druwoso sambil sibuk melompat dan 
mengebutkan dua tangannya, sehingga Rudra Sangkala 
dapat pergi tanpa gangguan lagi. 
“Apa yang sudah terjadi?” Begitu Kebo Druwoso mem-
bentak dan menghadang. Rudra Sangkala telah menyerang 
dengan senjata rahasia pisau kecil. Dalam menyambitkan 
pisau terbang ini, Rudra Sangkala tidak tanggung-
tanggung. Pisau dua kali tujuh telah menyambar ke arah 
Kebo Druwoso dalam jerak cukup dekat. Dalam kagetnya 
ia memang masih dapat menghindari sambaran pisau 
terbang kelompok pertama. Tetapi sambaran pisau yang 
kedua, sungguh di luar dugaan Kebo Druwoso. Di antara 
tujuh pisau belati yang menyambar itu, masih sempat 
mampir pada pahanya. 
Pisau kecil itu menancap dan mengeluarkan darah. 
Untung sekali pisau itu tidak beracun. Pisau tersebut cepat 
dicabut lalu tempat luka itu dibubuhi obat luka, tetapi 
justru kesempatan ini menyebabkan Rudra Sangkala dapat 
pergi tanpa gangguan lagi. Sebab baik Hesti Makara 
maupun Wukir Boja yang tak menduga peristiwa itu, tidak 
sempat membantu dan menghadang 
Akan tetapi kalau Kebo Druwoso menderita rugi oleh 
serangan Rudra Sangkala, sebaliknya Murti Sari harus 
menderita rugi pula, karena tadi melawan sambil berbicara 
dengan muridnya. Oleh gerakan yang sedikit lambat saja, 
tangkisan pedangnya melesat dan menyebabkan baju 
pada bagian pundaknya robek. 
Masih untung sekali Murti Sari sempat merendahkan 
pundaknya, sehingga ujung pedang pusaka Tunggul Naga 
itu tidak melukai kulit dan dagingnya, tetapi sekalipun 
hanya robek bajunya, peristiwa ini menyebabkan Murti Sari 
amat marah. Mendadak perempuan sakti ini melengking 
nyaring, menerjang Adityawarman dengan pedang pusaka 
Wesi Kuning, sedangkan lengan kirinya sudah memegang 
saputangan kecil warna hijau. Sambil menyerang itu Murti 
Sari mengebutkan saputangan ke arah muka Aditya-
warman. 
Adityawarman kaget sekali oleh kebutan sapu tangan 
kecil ini dan sadar bahwa saputangan ini tentu 
mengandung racun berbahaya. Maka cepat-cepat ia 
menutup pernapasan. 
Saputangan kecil warna hijau ini memang amat 
berbahaya. Di saputangan inilah tersimpan racun wangi 
yang dapat menyebabkan orang pening, mabuk tak sadar-
kan diri. Dan berkat keampuhan racun wangi inilah yang 
membantu menanjaknya nama Murti Sari, sehingga di-
takuti oleh banyak orang. 
Berkat pengalamannya menghadapi Rudra Sangkala 
tadi dan menutup pernapasan, ia selamat dari serangan 
racun. Namun demikian manakah mungkin dirinya dapat 
bertahan terus tanpa menghirup napas? Hal ini menyebab-
kan Adityawarman harus membagi perhatian. Sebab 
disamping menggunakan pedangnya untuk melindungi diri 
dan membalas serangan, ia juga harus menggunakan 
tangan kiri untuk mengebut guna mengusir hawa beracun 
yang selalu  disebarkan oleh Murti Sari. 
Dan celakanya pula Murti Sari adalah perempuan yang 
cerdik. Makin kuat Adityawarman mengusir racun yang 
ditebarkan makin banyak pula kebutan yang dilakukan. 
Melihat repotnya Adityawarman melawan Murti Sari ini. 
Kebo Druwoso, Hesti Makara dan Wukir Boja menjadi 
khawatir sekali dan tegang. Akan tetapi untuk menerjang 
maju dan membantu, mereka juga tidak berani. Mereka 
sudah kenal watak Adityawarman. Seorang ksatrya sejati 
yaug benci setengah mati kepada apapun yang berbau 
curang. Maka kalau mereka maju membantu, hal ini bisa 
menyebabkan Adityawarman tidak senang. Sebab per-
buatan itu akan menurunkan martabat dan harga dirinya. 
Itulah sebabnya walaupun mereka kawatir, mereka tidak 
berani berbuat apa-apa dan mereka bagai semut di atas 
api. 
Dari sedikit tetapi pasti, pengaruh racun wangi yang 
sempat terhirup oleh pernapasan Adityawarman 
mempengaruhi perlawanannya. Karena pengaruh racun 
tersebut menyebabkan kepala pening, dada sesak dan 
pandang mala kabur. 
Sekalipun demikian masih untung Murti Sari belum 
melupakan hubungan keluarga dengan Adityawarman. 
Pendeknya Murti Sari sudah merasa puas apabila bisa 
menang melawan tokoh Majapahit yang namanya amat 
terkenal itu. Dengan demikian nama besarnya akan 
menjadi semakin menanjak dan akan ditakuti semua 
orang. 
“Tring trang trang cring trang.... Aihh....” 
Setelah terjadi benturan pedang berturut-turut yang 
nyaring, terdengar seruan tertahan Adityawarman, lalu 
tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari pundaknya sudah 
robek berikut sedikit kulit dan dagingnya. Sekalipun 
demikian luka itu tidak berat. 
“Hi... hi... hik, Adityawarman! Engkau bersedia mengakui 
diriku yang menang atau tidak?” Murti Sari ketawa genit 
sambil mengejek. 
“Hemm,” Adityawarman menghela napas panjang. 
“Terus terang aku mengaku kalah dan pergilah. Aku takkan 
mengganggu lagi.” 
“Hi... hi... hik,” Murti Sari ketawa merdu, lalu melangkah 
meninggalkan Adityawarman yang penasaran dan para 
pingawalnya. 
Tiba-tiba Wukir Boja berteriak. “Berhenti!” 
Murti Sari berhenti juga dan mengangkat alisnya yang 
lentik. Sepasang matanya yang indah itu menyala menatap 
tajam kepada Wukir Boja. 
Akan tetapi sebelum Murti Sari sempat membuka mulut 
Adityawarman sudah mendahului membentak. “Wukir Boja 
Apakah maksudmu? Aku sudah kalah dan biarkan dia 
pergi.” 
Wukir Boja menundukkan kepala masygul, tetapi tidak 
berani membantah. 
Murti Sari terkekeh, katanya, “Adityawarman. Jika tidak 
memandang mukamu, pengawal yang lancang mulut itu 
tentu sudah aku remuk kepalanya. Sudahlah, selamat 
tinggal.” 
Sekali melompat tubuh Murti Sari yang ramping dan 
masih berisi itu, sudah bergerak cepat sekali meninggalkan 
empat orang itu yang memandang dengan hati penasaran. 
Diam-diam tiga orang pengawal ini mencela tuannya, 
mengapa mengalah kepada perempuan itu. Padahal kalau 
Murti Sari tidak menggunakan saputangan beracun ter-
sebut, manakah mungkin menang melawan Aditya-
warman? 
Di antara tiga pengawal itu yang berani mengemukakan 
perasaan hanyalah Hesti Makara. Katanya, “Gusti, dia jelas 
bersalah melindungi muridnya yang berdosa. Akan tetapi 
mengapa sebabnya Gusti membiarkan dia pergi?” 
Adityawarman menghela napas panjang. Sesaat 
kemudian ia berkata penuh wibawa. “Dengarlah kamu 
semua. Apapun alasannya aku sudah dikalahkan dalam 
perkelahian tadi. Aku menderita di pundak. Benar atau 
salah seorang yang menderita kalah harus mau mengakui 
secara jujur. Dan sudah tentu pula sebagai orang yang 
kalah, aku tidak berhak menahan dia lebih lama lagi, dan 
tidak boleh pula mengganggu.” 
Tiga orang ini diam-diam mendengar jawaban Aditya-
warman memuji keagungan wataknya. Memuji sikap 
ksatrya yang penuh tanggungjawab. Namun mereka masih 
tidak percaya Adityawarman kalah benar-benar ber-
hadapan dengan Murti Sari. Dalam hal ilmu kesaktian jelas 
Adityawarman unggul. Dan sebabnya sampai menderita 
luka karena pengaruh racun wangi yang disebarkan Murti 
Sari lewat saputangan. 
Maka setelah berdiam diri beberapa saat lamanya, 
berkatalah Kebo Druwoso. “Tetapi Gusti, kalau dikatakan 
menang, kemenangan Murti Sari tidak wajar. Dia curang 
menggunakan racun.” 
“Engkau benar! sahut Adityawarman. Tetapi siapakah 
yang dapat melarang Murti Sari menggunakan akal 
ataupun racun? Dia toh butuh menang, maka tidak salah 
apabila dia menyebarkan racun wangi yaug membuat 
orang pening dan dada sesak. Hemm, sudahlah. 
Pendeknya aku sudah kalah melawan Murti Sari dan 
Marilah kita pulang.” 
Tiga orang pengawal itu tidak berani membuka mulut 
lagi. Mereka kemudian mengikuti langkah tuannya. 
Beberapa orang yang sempat menyaksikan apa yang 
terjadi, dan sempat pula mendengar pembicaraan itu tidak 
ada yang berani mengganggu, tetapi bagaimanapun dalam 
hati orang-orang ini memuji watak Adityawarman. 
Memang demikianlah watak  Adityawarman. Watak 
seorang ksatrya sejati yang dijauhkan oleh rasa benci dan 
dendam. Segala langkah dan perbuatannya, terkenal selalu 
bijaksana dan adil. Maka terhadap peristiwa ini terus 
terang diakui kekalahannya, tanpa mau bicara lagi tentang 
sebab musababnya menderita kekalahan. 
* * * 
ebagai seorang gadis remaja yang belum pernah 
pergi kemanapun, perjalanan Dewi Sritanjung 
sekarang ini menimbulkan kecanggungan juga 
disamping merasa ragu untuk berbuat. Namun sesuai 
dengan pesan Kiageng Tunjung Biru agar tidak menunjuk-
kan rasa asingnya di tengah masyarakat maka dalam me-
langkahkan kaki ini gerakkannya mantap. 
Disamping itu agar tidak menarik perhatian orang ia 
melangkah seperti yang lain apabila di tempat ramai. Baru 
setelah di tempat sepi, ia menggunakan kepandaiannya 
lari dan bergerak cepat. 
Akan tetapi walaupun Dewi Sritanjung sudah berusaha 
agar tidak tampak asing, orang yang melihat kemudaan-
nya, kecantikannya dan tubuhnya yang padat berisi itu, 
bagaimanapun menarik pula perhatian orang. Baik bagi 
orang yang hanya sekadar kagum akan kecatnikan wajah-
nya, maupun laki-laki mata keranjang yang selalu memburu 
wanita, karena menimbulkan perasaan dag dig dug.  
Disamping menarik juga menimbulkan perasaan heran. 
Sebab, sebagai seorang gadis dan cantik pula, mengapa 
berani melakukan perjalanan seorang diri? Namun 
disamping orang merasa heran, juga tidak sembarangan 
orang berani mengganggu, karena setiap orang bisa 
menduga, orang yang berani melakukan perjalanan se-
orang diri dan wanita pula, tentu sakti mandraguna. Maka 
bagi para laki-laki biasa, hanya dapat mengagumi dan tidak 
berani mengganggu. 
Pada hari ini matahari menyinarkan cahaya gemilang 
sehingga terasa terik. Maka peluh membasahi sekujur 
tubuh Dewi Sritanjung, dan gadis ini merasa kegerahan. 
Bagi gadis yang lain, jika merasa haus takkan kesulitan, 
mampir ke dalam warung lalu membeli tetapi bagi Dewi 
Sritanjung yang belum pernah mengenal nilai uang dan 
belum pernah pula membeli sesuatu, merasa repot juga 
berhadapan dengan rasa haus ini. 
Benar kakeknya sudah membekali uang dan petunjuk 
seperlunya, bagaimanakah cara orang mau membeli dan 
membayar kalau jajan di warung. Namun demikian gadis 
ini masih timbul rasa ragu dan bimbang untuk membeli. 
Sebaliknya kalau harus masuk ke pekarangan orang untuk 
minta air, juga timbul rasa malu disamping takut. 
Sebenarnya saja seorang gadis berwajah cantik seperti 
Dewi Sritanjung ini, berbahaya juga berpergian seorang diri, 
sekalipun sudah membekali ilmu kesaktiannya yang cukup 
tinggi. Soalnya ia belum pernah bergaul dalam masyarakat, 
dan belum pernah pula mengenal tipu muslihat orang. 
Sudah tentu gadis belum berpengalaman seperti ini akan 
menjadi mangsa empuk bagi orang jahat. 
Masalah ini memang suduh terpikir pula oleh Kiageng 
Tunjung Biru, hingga pada mulanya timbul pula perasaan 
tidak tega. Namun kemudian Kiageng Tunjung Biru 
memaksa diri untuk melepas muridnya ini. Sebab menurut 
pendapatnya, dengan kesulitan dan bahaya yang dihadapi 
akan memberi pengalaman berharga bagi bocah itu 
sendiri, hingga cepat dapat berpikir secara dewasa dan 
kemudian tahu bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini 
harus tahu cara bergaul dengan orang lain. 
Ketika Dewi Sritanjung menginjakkan kakinya di 
Nganjuk, matahari tepat memancarkan sinar peraknya di 
tengah jagad. Sinar matahari itu terasa panas sekali hingga 
gadis ini merasa tidak sanggup lagi menahan rasa haus. 
Untung kemudian tidak jauh di depan ada sebuah 
warung yang tidak jauh dari pasar. Sekali pun diselimuti 
rasa ragu dan bimbang, namun kakinya dipaksa pula 
supaya melangkah tanpa ragu. 
Warung itu agak besar dan beberapa meja maupun 
bangku panjang memenuhi ruangan. Beberapa 
perempuan, menikmati pesanan sambil bicara dan 
bercanda. 
Dewi Sritanjung berketetapan hati, masuk warung tanpa 
ragu dan tidak pedulian lagi. Ia segera duduk di salah satu 
bangku dan mejanya masih kosong. Pendeknya, orang 
masuk warung dapat membayar, siapa dapat melarang? 
Akan tetapi ketika ia merasa menjadi perhatian orang, 
hatinya terasa berdebaran juga. Maka setelah duduk 
dengan sepasang matanya yang indah, tanpa rikuh lagi ia 
sudah membalas setiap pandangan orang, baik laki-laki 
maupun perempuan. Sebab menurut pikiran gadis ini, 
apakah salahnya kalau dirinya membalass memandang 
orang-orang itu, justru mereka juga memandang dirinya?  
Tidak disadari sama sekali oleh gadis ini, bahwa dalam 
pergaulan masyarakat pandangan perempuan yang mem-
balas pandangan laki-laki bisa menimbulkan salah duga. 
Laki-laki bisa mengir perempuan itu adalah suka me-
nanggapi ajakan laki-laki atau suka diajak kencan. 
Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan dengan 
sikap hormat bertanya, “pesan apa?” 
Sesungguhnya bagi Dewi Sritanjung yang biasa hidup di 
dalam hutan, lebih suka minum air serai seperti 
kebiasaannya sehari-hari. Sedang dalam soal makan cukup 
singkong, ketela, gembili, kimpul atau jagung. Malah kalau 
perlu sudah cukup kenyang hanya makan daging bakar. 
Namun sesuai dengan pesan kakeknya agar tidak 
menimbulkan kesan keasingannya, maka gadis ini 
berlagak juga. Malah kemudian timbul pula seleranya 
untuk mencicipi makanan lain yang selama ini belum 
pernah dinikmati. Bukankah hal ini penting bagi dirinya dan 
penting pula dalam usaha menyesuaikan dirinya dalam 
pergaulan masyarakat yang baru saja ia kenal? 
“Terangkan yang jelas, apa saja makanan yang paling 
terkenal di warung ini,” ujarnya tanpa ragu. 
Dalam mengucapkan kata-kata ini ia cukup keras, dan 
ucapan itu memancing perhatian orang disamping ketawa 
pula. Mendengar orang tertawa dan beberapa pasang mata 
memandang dirinya, ia mengerutkan alis. Akan tetapi 
karena tidak lahu arti dari ketawa orang itu, ia hanya 
merasa heran dan aneh. Ia tidak marah dan mengalihkan 
perhatian kepada pelayan yang masih berdiri di dekatnya. 
Dipandang sedemikian rupa oleh seorang gadis yang 
cantik jelita, sudah tentu si pelayan menjadi gelagapan 
disamping terpesona. Sebagai akibatnya pula mulut si 
pelayan ini seperti terkunci dan sulit mengucapkan kata-
kata. 
Pada meja yang berhadapan letaknya dengan meja Dewi 
Sritanjung, duduk dua orang pemuda. Kalau pada mulanya 
pemuda ini duduk berhadapan sekarang menggeser diri, 
kemudian mereka duduk berdampingan. Maksudnya jelas 
agar dengan demikian dapat memandang gadis itu lebih 
leluasa. 
Ketika melihat si pelayan tidak segera dapat menjawab, 
salah seorang sudah membuka mulut. “Warung ini terkenal 
dengan gulai kambing. Agaknya lebih tepat apabila Adik 
pesan nasi gulai saja.” 
Kalau gadis lain, kelancangan pemuda ini tentu sudah 
dapat menimbulkan salah paham dan salah-salah bisa 
terjadi percekcokan pula. Tetapi Dewi Sritanjung yang 
masih asing di masyarakat ini tidak marah dan malah 
mengangguk. 
“Terima kasih Saudara telah menolong aku,” katanya 
diiringi senyum manis. “Baiklah, berikan kepadaku nasi 
gulai. Sedang minumannya apa saja boleh.” 
“Lebih enak kopi tubruk,” pemuda yang lain ikut 
memberi saran, agaknya ingin pula mendapat senyum 
manis seperti temannya. 
Harapannya terkabul juga, karena gadis ini mengangguk 
sambil tersenyum manis. Ia mengucapkan terima kasihnya 
seperti tadi dan kepada pelayan ia minta disediakan kopi 
tubruk. 
Memang tidak bisa disalahkau kalau Sritanjung bersikap 
seperti itu, karena ia beranggapan bahwa dua orang 
pemuda ini memberi pertolongan. Sesuai dengan petunjuk 
kakeknya, setiap orang yang mengulurkan tangan tanpa 
diminta, itu merupakan pertolongan, dan harus diterima 
dengan senang hati sambil mengucapkan terima kasih. 
Hanya agak sayang cara menanggapi pertolongan yang 
diberikan orang ini. Dewi Sritanjung menanggapi tanpa 
prasangka buruk. Ia menyangka pertolongan mereka ini 
merupakan pertolongan yang wajar. Padahal dua pemuda 
ini menerima keadaan ini dengan dugaan lain, mengira 
gadis jelita yang belum mereka kenal ini sudah bersedia 
menanggapi. 
Pemuda yang bicara pertama tadi kemudian mem-
beranikan diri bertanya. ”Apakah Adik seorang diri saja?” 
Dewi Sritanjung mengangguk sambil tersenyum, 
jawabnya, “Ya! Aku hanya seorang diri.” 
“Bolehkah kami menemani makan di meja Nona?” 
Seperti dua ekor kucing melihat tikus, mereka cepat 
bangkit, kemudian mereka duduk di depan Sritanjung, 
dibatasi oleh meja. Dengan duduk berhadapan seperti ini 
mereka dapat menikmati wajah ayu itu lebih jelas. 
Kaki dua pemuda ini saling sentuh, mengandung arti 
tertentu tanpa ungkapan kata. 
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu memang 
belum tahu dan tidak menyadari bahwa cara mereka me-
mandang itu adalah kurang sopan dalam pergaulan. Hanya 
saja memang dalam dada gadis ini timbul pertanyaan pula 
yang tidak terjawab, mengapa orang-orang itu memandang 
dirinya penuh perhatian dan siap memberi pertolongan? 
Setelah satu meja, dua pemuda ini lalu memperkenal-
kan diri. Yang seorang menyebut dirinya dengan nama 
Kaligis, dan yang seorang memperkenalkan diri dengan 
nama Sangkan. Dan sebaliknya Dewi Sritanjung yang tanpa 
prasangka itu memperkenalkan diri tanpa ragu. 
Dalam kegembiraannya, kemudian Sangkan memanggil 
pelayan. Setelah pelayan itu datang, ia berkata, “kami akan 
merayakan perkenalan kami dengan Adik Sritanjung in 
karena itu sekarang tolong sediakan sate hati, masak 
buntut, gulai dan tiga piring nasi putih.” 
“Ahh,Saudara Sangkan,” ujar Sritanjung. “Aku tadi 
sudah pesan makanan yang saya butuhkan. Tetapi 
mengapa Saudara pesan lagi?” 
Sangkan yang cerdik dan licin ini tentu saja lebih pandai 
memikat perhatian orang. Jawabnya, “Adik Sritanjung, 
maafkan aku. Sekarang ini Adik sebagai tamu kami maka 
harus kami hormati. Dan untuk itu, kami selenggarakan 
pesta sederhana ini.” 
Kaligis yang sudah dapat menangkap maksud Sangkan 
segera menyambut dengan ujar manis, “Benar! Adik 
Sritanjung jangan menolak itu tidak baik. Bagaimanapun 
perkenalan kita ini harus kita rayakan, sekalipun hanya 
secara sederhana.” 
“Lalu bagaimanakah dengan pesananku tadi?” 
“Hal itu gampang, sebab bisa kita batalkan. Sebab 
dalam merayakan perkenalan kita ini akan menjadi lebih 
akrab kalau kita makan hidangan yang sama,” Sangkan 
membujuk. 
Dewi Sritanjung yang tidak mempunyai prasangka buruk 
mengangguk. Ia setuju dengan maksud dua orang pemuda 
yang baru ia kenal ini. 
Sambil menunggu datangnya hidangan yang dipesan, 
Sangkan memulai dengan pertanyaan, “Apakah Adik 
Sritanjung sekarang ini sedang melakukan perjalanan? 
benarkah? Kalau benar, lalu mau ke mana?” 
“Aku? Oh. Saudara pandai sekali menduga orang.” Dewi 
Sritanjung heran mengapa Sangkan dapat menduga secara 
tepat. Memang sebenarnya aku sedang menuju Ibukota 
Majapahit. 
“Ohhh.....” tidak tercegah lagi terlepas seruan tertahan 
dari mulut Kaligis dan Sangkan. 
Tentu saja mereka menjadi heran dan hampir tidak 
percaya, karena jarak Majapahit tidak dekat. Mengapa 
gadis yang muda dan jelita ini bepergian seorang diri? 
Kalau menilik gerak-geriknya yang halus dan sikapnya yang 
polos ini, Sangkan sudah dapat menduga, gadis ini tentu 
berasal dari desa yang jauh dengan kota. Dan agaknya 
hanyalah gadis desa biasa yang tidak mengenal tajamnya 
pedang. Karena gadis ini juga tidak tampak menyandang 
senjata. 
Memang tidak mengherankan apabila Sangkan sampai 
keliru duga, menganggap gadis ini gadis lemah yang tidak 
kenal ilmu kesaktian. Karena pedang pusaka Tunggul 
Wulung disembunyikan sedemikian rupa hingga tidak 
tampak. Dan hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk 
Kiageng Tunjung Biru. 
“Seorang diri Adik ke Ibukota Majapahit. Apakah Adik 
sudah tahu, di manakah letak kota tersebut?” pancing 
Sangkan. 
Dewi Sritanjung menggeleng. Ia memang belum tahu, 
maka ia menggeleng dan kemudian menjawab sejujurnya. 
“Baru kali ini aku mau ke sana. Kakek hanya bilang, 
Ibukota Majapahit letaknya di bagian timur. Akan tetapi di 
mana, terus terang aku belum tahu.” 
Mendengar ini Kaligis dan Sangkan saling pandang 
disusul bibir tersenyum penuh arti. 
“Ahh, kita sungguh beruntung karena kita mempunyai 
tujuan sama,” ujar Sangkan. “Apakah Adik Sritanjung tidak 
keberatan kalau kita menuju ke sana bersama-sama? 
Dengan bersama-sama berarti Adik Sritanjung mempunyai 
teman untuk diajak bicara dalam perjalanan.”  
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka ini menyambut 
ajakan ini dengan seuyum manis dan wajah berseri. 
Apakah salahnya menerima ajakan pemuda ini justru 
dengan adanya teman, perjalanannya ke Ibukota Majapahit 
akan lebih lancar, dan kalau terjadi apa-apa bisa diminta 
pertimbangannya? 
“Tentu saja aku senang sekali,” jawabnya. “Melakukan 
perjalanan bersama kalian. Disamping itu tentunya kalian 
sudah pernah datang ke sana?” 
“Bukan hanya pernah, tetapi malah sudah berkali-kali 
datang ke sana,” Sangkan menyahut cepat, nadanya 
sungguh-sungguh. “Melakukan perjalanan ke sana ber-
sama kami tentu saja akan lebih aman dan cepat tiba di 
sana, karena tidak perlu bertanya-tanya lagi.” 
Bagi gadis ini yang masih asing dengan kota dan baru 
terjun ke masyarakat, tentu saja masih belum mengenal 
macam apakah manusia jahat yang suka menggunakan 
tipu muslihat ini. Karena itu dirinya mengira, orang yang 
sudah sering ke Ibukota Majapahit akan mengenal semua 
orang. 
“Sudah berapa kali kalian ke sana?” tanyanya penuh 
minat. “Dan apakah kalian juga sudah kenal pula dengan 
seorang pemuda tampan bernama Surya Lelana?” 
Mendengar pertanyaan ini Sangkan dan Kaligis garuk-
garuk kepala. Namun Sangkan seorang licik dan licin, 
sesaat kemudian sudah menjawab mantap. “Ohh, apakah 
Adik merupakan teman baik Surya Lelana? Sungguh 
kebetulan sekali akupun sahabatnya.” 
“Bagus sekali kalau kalian juga sahabat baik Surya 
Lelana.” Dewi Sritanjung gembira sekali, hingga bibirnya 
yang indah itu tersenyum lebih indah dan sedap dipandang 
mata. Senyum gadis ini merupakan senyum polos dan 
tidak malu-malu. 
“Sungguh menyenangkan sekali Saudara,” sambut 
Sritanjung. “Dengan demikian berarti perjalananku tidak 
akan kesepian lagi. Dan sudah tentu pula melakukan 
perjalanan jauh bersama kawan akan mengurangi rasa 
lelah dan perjalanan yang jauh itu seperti tidak terasa.” 
“Adik benar,” Kaligis yang sejak tadi hanya berdiam diri 
mulai ikut bicara. “Lebih-lebih Adik belum pernah datang 
ke sana. Sebaliknya, kami yang sudah berkali-kali datang 
ke sana, dengan gampang akan mengantarkan Anda ke 
rumah Surya Lelana.” 
“Ya!” Sritanjung yang selalu menyungging senyum 
maniss ni, menyebabkan suaranya lebih merdu lagi. “Dan 
tentu rumahnya bagus sekali. Ah, lebih lagi Surya Lelana 
berdiam di rumah Mahapatih Gajah Mada. Rumah pejabat 
tinggi Majapahit itu tentu amat bagus disamping besar.” 
“Ohhhh... !” tidak tercegah lagi meluncurlah seruan 
kaget dari mulut dua orang muda ini, mendengar nama 
Gajah Mada disebut. 
Kemudian timbullah dugaan dalam hati dua pemuda ini, 
apakah hubungan gadis ini dengan Gajah Mada? 
Tiba-tiba saja dua orang pemuda ini teringat kepada 
cita-cita guru mereka yang akan membalas dendam 
kepada Mahapatih Gajah Mada. Dengan demikian apabila 
dapat menangkap gadis ini, bukankah berarti mereka 
sudah dapat memberikan jasa bagi guru mereka? 
Apabila melihat pula bahwa gadis ini nampaknya 
sederhana, tentunya gadis ini cantik jelita tetapi lemah dan 
tiada kepandaian. Dan hal ini sudah tentu amat kebetulan, 
karena merupakan permulaan baik bagi mereka. 
Sebagai seorang pemuda yang licin dan licik. Sangkan 
dapat menguasai perasaan, lalu jawabnya dengan lagak 
dibuat-buat. “Ya, tentu saja rumah Mahapatih amat bagus 
dan juga luas sekali, disamping berada di tengah kota. Adik 
Sritanjung tahu, sudah tak terhitung lagi jumlahnya kami 
masuk ke rumah Mahapatih Gajah Mada. Uah… perabot 
rumahnya amat bagus, indah dan menyedapkan pandang 
mata. Demikian pula hamba sahayanya banyak sekali. 
Hemm, pendek kata Adik kebetulan sekali dapat bertemu 
dengan kami. Sebab dengan perantaraan kami Adik 
Sritanjung dengan gampang akan dapat masuk ke rumah 
Mahapatih Gajah Mada tanpa kecurigaan dan tanpa 
pemeriksaan lagi.” 
“Pemeriksaan? Pemeriksaan tentang apa?” Dewi 
Sritanjung kaget berbareng heran. Sebab kakeknya tidak 
pernah memberitahukau masalah ini. 
Meledak ketawa Sangkan dan Kaligis. Lalu Kaligis men-
dahului menjawab. “Di sana memang dijaga oleh banyak 
prajurit pengawal. Maka orang yang mau masuk ke rumah 
Mahapatih Gajah Mada tentu akan ditanya macam-macam, 
dan kalau perlu dilakukan penggeledahan.” 
“Penggeledahan bagi orang yaug dicurigai,” sambung 
Sangkan. “Tangan petugas yang menggeledah, meraba-
raba seluruh tubuh, barangkali ada senjata yang di-
sembunyikan dan bisa membahayakan Kerajaan Majapahit 
dan Mahapatih Gajah Mada. Malah kalau perlu orangpun 
diperintahkan harus membuka pakaiannya.” 
“Aihh....!” wajah Sritanjung berubah menjadi merah. “Itu 
tidak sopan.....” 
Sangkan dan Kaligis menyeringai hatinya senang me-
lihat perubahan wajah dan kekagetan gadis ini. Dua orang 
muda ini gembira sekali, omong kosong dan bualannya 
dapat mempengaruhi gadis ini dengan gampang. Padahal 
jangankan sudah pernah masuk rumah Gajah Mada. 
Datang ke Ibukota Majapahit pun belum pernah. 
Akan tetapi gadis ini yang baru saja terjun ke dalam 
masyarakat, dan belum mengetahui keadaan sebenarnya, 
tentu saja gampang dipengaruhi. 
“Adik jangan kaget!” Sangkan meneruskan bualannya. 
“Itu memang sudah menjadi peraturan, guna menjaga 
ketertiban dan keamanan bagi para pejabat tinggi 
kerajaan. Akan tetapi bersama kami Adik akan aman dari 
gangguan siapapun.” 
Melihat keasyikan tiga orang muda itu para tamu yang 
sedang jajan di warung menjadi tertarik disamping heran. 
Namun semua orang tidak berani mendekati maupun 
mengganggu, setelah dalam pembicaraan itu menyebut-
nyebut nama Mahapatih Gajah Mada. Mereka lalu men-
duga, tentunya tiga orang muda ini orang-orang penting 
atau putera bangsawan Majapahit, tetapi sedang 
menyamar sebagai kawula biasa dalam melakukan tugas. 
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Melihat 
masakan daging yang baru kali ini saja ia saksikan, dari 
mulut Dewi Sritanjung sudah terdengar suara ck ck ck, 
sedang hidungnya kembang kempis karena menghirup bau 
gurih, sedap dan wangi. Kepada masakan yang baunya 
seperti ini hidungnya merasa asing. Sebab biasanya 
apabila memasak daging di pondok gurunya, paling-paling 
hanyalah daging bakar dengan bumbu seadanya, yang 
penting asal terasa asin. 
Sangkan segera mengajak Dewi Sritanjung mulai 
makan. Sedang gadis im tanpa malu-malu sudah mulai 
mengunyah daging yang kecil-kecil itu, yang terasa sedap 
dan nikmat. Tadi ketika ia melihat daging yang diiris kecil, 
ia agak kecewa, sebab biasanya ia menghadapi daging 
yang irisannya besar berikut tulang. 
Namun setelah tahu daging yang kecil inipun lebih 
sedap, gadis ini gembira sekali sambil memuji-muji 
enaknya masakan. 
“Itulah sebabnya aku tadi meuganjurkan agar Adik 
pesan gulai,” kata Sangkan dengan bangga. 
Pemuda ini merasa berjasa, gadis jelita ini cocok dengan 
gulai dan sate. 
Karena Dewi Sritanjung memang masih asing kepada 
tatacara hidup dalam masyarakat dan segala aturan tetek 
bengeknya, maka gadis ini tidak tahu bahwa dalam soal 
makanpun manusia ini di atur dengan sopan dan 
santunnya. Karena ketidaktahuannya ini maka Dewi 
Sritanjung makan dengan lahap, dan tanpa peduli lagi 
kepada yang lain. Sambil mengunyah dan menelan 
masakan yang belum pernah ia nikmati ini, berkali-kali 
gadis ini menghirup pula kuah yang hangat dengan mulut 
bersuara. 
Sesungguhnya agak merasa heran juga Sangkan 
maupun Kaligis melihat cara gadis ini makan. Mengapa 
sebagai seorang gadis menghirup kuah sampai bersuara 
seperti itu? Kalau di rumah sendiri memang tidak 
mengapa, tetapi di warung, berarti di tempat umum, makan 
yang baik harus mencegah timbulnya suara. 
Akhirnya tiga orang ini silesai makan, kemudian Kaligis 
yang membayar seluruh harga makanan, dan mereka 
meninggalkan warung itu. 
Mereka menuju ke selatan. Dewi Sritanjung di tengah 
dan diapit oleh Kaligis dan Sangkan. Dalam berjalan ini si 
gadis tahu benar menuju ke selatan, sebab matahari di 
sebelah kanan. 
Sebagai seorang yang memang belum pernah 
mengunjungi Ibukota Majapahit dan tidak tahu pula 
letaknya, maka gadis ini berdiam diri. Menurut perkiraan 
gadis ini tentu menuju langsung ke Ibukota Majapahit 
seperti janji semula. Karena mengira menuju Majapahit 
itulah maka Dewi Sritanjung melangkah pasti tanpa ragu 
dan dalam perjalanan inipun mereka asyik bicara, memb-
icarakan apa saja sebagai pengisi waktu senggang. 
Akan tetapi setelah perjalanan ini lama dan setiap ter-
dapat jalan simpang selalu dilewati tanpa membelok, 
akhirnya ia bertanya. “Mengapa sebabnya kita terus ke 
selatan? Bukankah seharusnya kita menuju ke timur?” 
“Belum waktunya kita membelok ke timur, Adik manis.” 
sahut Sangkan. “Kita baru membelok ke timur, sesudah 
kita melewati hutan kecil di depan itu. Marilah Adik, 
perjalanan agak kita percepat dan Adik tidak perlu ragu.” 
Sambil berkata ini Sangkan meuyambar lengan kanan 
Dewi Sritanjung. Maksudnya, Sangkan ingin membimbing 
gadis ini agar perjalanan lebih cepat. 
“Ihhh....!” Dewi Sritanjung kaget dan cepat meronta, 
melepaskan tangan yang dipegang Sangkan. 
“Ahhh.....!” Sangkan kaget dan terhuyung hampir jatuh. 
“Hai.....kenapa, Adik Sangkan...?” Kaligis kaget melihat 
Sangkan sempoyongan. 
“Ahh, tidak apa apa!” sahut Sangkan guna menutup 
rasa malunya. “Aku terantuk batu dan hampir jatuh.” 
Jawaban ini sesungguhnya tidak masuk akal. Tetapi 
Kaligis tidak mendesak lagi dan percaya. Sebaliknya 
karena Dewi Sritanjung tidak melakukan perbuatan apa-
apa, hanya berdiam diri. 
Apa yang telah terjadi memang di luar kesadaran Dewi 
Sritanjung. Ia tidak menyadari bahwa ketika tangannya 
yang meronta tadi mengandung tenaga yang kuat dan 
mendorong Sangkan. Tenaga yang kuat itu menyalur 
sendiri ke lengannya yang menyebabkan Sangkan tak 
dapat bertahan, sekalipun diam-diam Sangkan tadi 
menggunakan tenaga pula dalam menyambar lengan Dewi 
Sritanjung. 
Akan tetapi sebaliknya, kendati Sangkan merasa 
terdorong oleh tenaga kuat yaug tidak tampak, pemuda ini 
sama sekali tidak sadar kepada keadaan. Ia tadi hanya 
mengira pegangannya kurang kuat, sehingga dirinya sendiri 
terhuyung. 
“Apakah sebabnya kau pegang-pegang tangan orang?” 
protes Dewi Sritanjung tidak senang. Protes yang keluar 
dari perasaan kewanitaannya yang halus dan sepi dari 
perasaan lain.  
Sangkan hanya menyeringai.  
Tak lama kemudian tibalah mereka di hutan yang 
membentang agak luas dan mereka menerobos masuk. 
Setelah agak jauh mereka menerobos hutan, tanpa 
terduga Sangkan dan Kaligis yang sudah saling memberi 
isyarat dengan mata itu, menubruk hampir berbareng. 
“Ahhh...!” Dewi Sritanjung kaget sekali ketika tiba-tiba 
empat tangan yang kuat sudah memeluk tubuhnya. Dalam 
kagetnya gadis ini hanya dapat berteriak tertahan. 
Sebaliknya begitu berhasil menubruk dan memeluk 
tubuh gadis jelita dan montok itu, tidak tercegah lagi mulut 
Sangkan dan Kaligis sudah terkekeh gembira. Tentu saja 
mereka gembira, dengan sekali tubruk sudah berhasil. 
Jelas sekali gadis jelita ini seperti perempuan lain, 
hanyalah seorang perempuan lemah. 
Saking tidak kuasa lagi menahan selera, melihat wajah 
jelita dan menggiurkan, hampir berbareng Kaligis dan 
Sangkan sudah mencium pipi yang kuning dan montok itu. 
Namun segera terdengar suara mengaduh kesakitan 
dari mulut Kaligis dan Sangkan, disusul tubuh dua pemuda 
ini terhuyung hampir jatuh. 
Tadi ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari kiri dan 
kanan, dalam kagetnya Sritanjung hanya bisa berteriak 
tertahan. Namun naluri kewanitaannya segera mem-
beritahu, bahwa dua orang pemuda ini mempunyai maksud 
tidak baik. Lebih lagi ketika dua pemuda ini sudah 
berusaha mencium pipinya, secara otomatis gadis ini 
mendongakkan kepalanya, sehingga ujung hidung dua 
pemuda itu mendarat di leher. 
Justru sentuhan ujung hidung ke leher ini menyebabkan 
rasa ngeri. Sritanjung lalu memberontak! Hawa sakti dalam 
tubuh gadis ini segera bekerja sendiri, dan akibatnya 
walaupun Kaligis dan Sangkan bukan pemuda lemah, 
mereka tak kuasa lagi mempertahankan pelukannya. 
Setelah dua pemuda ini terhuyung hampir roboh, gadis 
ini berdiri dengan wajah merah dan alis terangkat, tanda 
marah. Bentaknya, “Huh huh, apa maksudmu main peluk 
orang?” 
Sangkan dan Kaligis dapat berdiri tegak kembali. Mulut 
mereka menyeringai dan hati mereka penasaran, gemas 
dan hampir tidak kuasa lagi menahan hasrat berhadapan 
dengan gadis cantik ini. Mereka berpikir di dalam hutan 
seperti ini, dan jauh dari orang, siapakah yang bisa 
menolong gadis ini? 
“Heh... heh... heh... heh, engkau tanya apa maksud 
kami? Sangkan mengejek. Kalau laki-laki sudah memeluk 
perempuan, engkau masih juga bertanya maksudma? Adik 
Manis, engkau harus menyerah kepada kami agar tidak 
menderita. Kalau kami marah, kami merasa sayang 
kepada kecantikanmu dan sayang pula akan keindahan 
tubuhmu kalau kami harus main paksa dan menyiksa 
engkau.” 
Kaligis cepat menyambung, “Adik cantik, kami dua orang 
saudara, merupakan perkasa. Jika engkau menjadi kekasih 
kami, engkau pasti bahagia. Mari, Adik cantik kita lewatkan 
waktu dengan bersenang-senang di hutan ini. Hemm, tak 
akan ada orang yang mengganggu.” 
Dewi Sritanjung mengerutkan alis. Ucapan dua orang 
pemuda ini sebenarnya asing bagi telinganya, dan juga 
tidak tahu artinya. Tetapi walaupun demikian naluri 
kewanitaannya dapat menduga maksud dua orang pemuda 
ini tentu tidak baik. 
Setahun lalu tanpa seijinnya, Surya Lelana sudah men-
cium pipinya, akan tetapi ketika itu Surya Lelana cepat 
minta maaf, sebaliknya dirinya juga tidak marah atas per-
lakuan itu. 
Namun dua orang muda ini sekalipun juga tidak minta 
ijin lebih dahulu, dalam dadanya timbul perasaan lain. 
Naluri kewanitaannya sudah memberitahu perbuatan 
dua orang ini mengandung maksud tidak baik. Perasaan 
yang demikian ini makin kuat lagi setelah termata sikap 
dua orang ini jauh berlainan dengan sikap Surya Lelana. 
Dua pemuda ini tidak mau minta maaf, sebaliknya malah 
mengucapkan kata-kata asing bagi telinganya. 
“Kau…….kau…….apakah maksudmu sesungguhnya?” 
bentaknya. 
“Heh... heh... heh... heh, jangan rewel. Adik manis, 
menyerahlah kepada kami!” Sangkan terkekeh sambil 
membusungkan dada. “Setelah kita lewatkan hari dan 
malam di hutan ini, baru kemudian kita bersama ke 
Majapahit.” 
“Ya, kita lewatkan hari dan malam bahagia di hutan 
yang sepi ini. Kaligis menyambut dengan mulut 
menyeringai. Adik cantik harus melayani kami berdua dan 
secara adil.” 
Sritanjung menjadi marah sekalipun belum begitu jelas 
maksud orang. Sebab bagaimanapun sebagai gadis yang 
terasing dari pergaulan, ia asing dengan kata cinta itu. 
“Huh... huh, kalau aku tidak sudi, kalian bisa apa?” 
tantang Dewi Sritanjung. 
Dua orang muda itu terkekeh, lalu Kaligis mengancam. 
“Hem, engkau seorang perempuan, dan takkan menang 
melawan kami. Sudahlah, jangan rewel. Jika rewel, engkau 
jangan menyalahkan kami kalau terpaksa menggunakan 
kekerasan. Hemm, Adik cantik, apapun alasannya adalah 
tidak baik kalau harus lewat jalan kekerasan. Karena itu 
menyerahlah baik-baik kepada kami.” 
Sebenarnya saja dua orang pemuda ini bukan merupa-
kan pemuda bejat moral dan selalu mengumhar nafsu 
jahat. Dorongan yang menyebabkan Kaligis dan Sangkan 
sampai lupa diri dan buas menghadapi Dewi Sritanjung ini, 
akibat diketahuinya hubungan Dewi Sritanjung dengan 
Gajah Mada. Padahal Gajah Mada adalah musuh guru 
mereka. Kalau sekarang mereka dapat menangkap dan 
memmpermainkan gadis ini, siapa yang dapat disalahkan 
justru berhadapan dengan lawan? 
Gadis ini hanya seorang diri, padahal mereka dua orang. 
Apa yang harus ditakutkan dan manakah mungkin gagal 
lagi? 
Dewi Sritanjung tambah marah dan membentak, 
“Kurang ajar! ternyata kamu manusia jahat berpura-pura 
baik. Huh, kamu lekas pergi atau tidak? Jika tidak, engkau 
jangan menyalahkan aku jika aku terpaksa menghajar 
kamu!” 
Ucapan yang demikian ketus ini memancing gelak tawa 
dua pemuda itu. Kaligis dan Sangkan saling pandang dan 
mulut meringis seperti iblis kelaparan. 
“Adi Sangkan! Hayo kita keroyok saja dengan kekerasan. 
Mana mungkin kila kalah?” Kaligis mengajak. “Betapa 
gembira Guru kita, apabila kita berhasil menawan salah 
seorang yaug mempunyai hubungan dekat dengan Gajah 
Mada ini.” 
“Engkau benar. Marilah!” sambut Sangkan sambil men-
dahului menerjang ke depan dengan gerakan menubruk. 
Melihat gerakan pemuda itu sadarlah Dewi Sritanjung 
akan keadaan. Lebih lagi ketika mendengar ucapan 
mereka yang menyinggung nama Gajah Mada. Semakin 
jelaslah bahwa di balik sikap begitu baik, memang 
mengandung maksud tidak baik. 
Dengan gerakan gesit gadis ini sudah menghindarkan 
diri dari tubrukan dua lawan itu. Gerakan dua lawan ini 
walaupun cepat, menurut pandangan Dewi Sritanjung, 
masih kurang cepat. 
Gadis ini melawan dengan serangan-serangan tak 
terduga. Tubuh gadis ini berkelebat cepat sekali seperti 
kilat menyambar hingga Sangkan dan Kaligis kaget. 
Mereka menjadi sadar bahwa gadis yang tampaknya lemah 
itu ternyata bukan gadis sembarangan. Kemudian 
merekapun sadar tidak mungkin dapat mengalahkan gadis 
ini tanpa senjata. 
“Sring! Sring!” dua orang pemuda ini sudah mencabut 
pedang hampir berbareng. Sangkan menyerang dari arah 
kiri dan Kaligis menyerang dari kanan. 
Dewi Sritanjung kaget oleh sambaran pedang itu. Tetapi 
tanpa kesulitan gadis ini dapat menghindari. 
“Tring! Tring! Cring! Cring!” dentingan pedang terdengar 
empat kali. Pedang Sangkan maupun Kaligis menyeleweng 
kemudian dua orang pemuda ini melompat mundur, guna 
menghindari sambaran tangan dan kaki gadis itu. 
Dalam menghadapi sambaran pedang tadi, Sritanjung 
sudah menyentil dengan jari tangannya dan berhasil mem-
buat pedang lawan menyeleweng. Hati gadis ini menjadi 
besar disamping timbul rasa percaya diri. 
Ia tadi memang nekad dan untung-untungan. Ia men-
coba untuk menangkis dengan sentilan jari tangan. Bagi 
dirinya yang belum berpengalaman menghadapi lawan 
sungguh-sungguh, apa yang dilakukan sering menimbulkan 
rasa ragu. 
Sekarang dengan hasil yang diperoleh, dirinya menjadi 
tambah mantap, dan sambil menguji pula sampai di 
manakah ilmu tangan kosong bernama "Sindhung Riwut". 
Dengan ilmu Sindhung Riwut yang berarti angin ribut 
maupun badai itu, maka gerakan Dewi Sritanjung hebat 
bukan main. Tubuhnya berkelebat cepat menerobos di 
antara sinar pedang lawan. Saking cepatnya ia bergerak, 
yang tampak hanyalah warna dari pakaiannya. 
Dewi Sritanjung memang menyukai warna bira muda. 
Maka seleret warna biru muda berkelebat seperti 
bayangan, dan makin lama gerakan gadis ini semakin 
mantap. 
“Kesempatan bagus!” ujar gadis ini dalam hati. “Selama 
ini aku hanya memperoleh kesempatan berlatih dengan 
Kakek. Dan selama itu pula Kakek tidak pernah menyerang 
aku sungguh-sungguh. Bukankah peristiwa ini dapat aku 
jadikan semacam ujian?” 
Berpikir demikian kalau semula gadis ini ingin sekali 
segera dapat menghalau lawan, sekarang menjadi lain. Ia 
mencoba kecepatannya bergerak menerobos di sela 
sambaran pedang lawan tanpa membalas menyerang. 
Berkali-kali Kaligis dan Sangkan celingukan dan heran 
karena tiba-tiba lawannya sudah lenyap. Tahu-tahu ada 
angin menyambar dari belakang, maka cepat-cepat mereka 
membalikkan tubuh dan menyerang lagi. 
Setelah beberapa kali dilakukan, gerak cepatnya dengan 
mencoba kecepatan gerak tangannya. Gerakannya 
sekarang menjadi lambat, tetapi tiap kali pedang lawan 
menyambar, tring, jarinya yang lentik itu menangkis dan 
pedang lawan menyeleweng. 
Sebaliknya Kaligis dan Sangkan menjadi penasaran, 
setelah peluh mereka membasahi tubuh belum juga 
berhasil mengalahkan lawan. 
Kalau lawan juga bersenjata, hal ini masih tidak 
mengapa. Tetapi sekarang ini lawan yang dikeroyok hanya 
bertangan kosong Mengapa pedang mereka tidak pernah 
berhasil menyentuh ujung baju lawan? Dalam penasaran 
ini mereka tidak mau sadar akan keadaan, sebaliknya 
malah tambah marah dan nekad. 
Sambil membentak nyaring pedang mereka berkelebat 
lebih cepat lagi, menyambar ke arah bagian tubuh lawan 
yang berbahaya. Tetapi celakanya walaupun suara 
bentakan mereka sampai habis sambaran pedang mereka 
tak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan. 
Mereka berkelahi sudah cukup lama. Dewi Sritanjung 
menjadi heran sendiri melihat keadaan dua orang lawan itu 
sudah mandi peluh dan napasnya kembang kempis, 
sebaliknya dirinya masih segar dan napasnya masih biasa 
saja. 
Setelah mendapat bukti dirinya bukan gadis 
sembarangan seperti ucapan kakeknya. Dewi Sritanjung 
menjadi puas, lalu timbul rasa bosan dan muak meng-
hadapi dua pemuda ini. Mendadak terdengar bentakan 
nyaring dari mulutnya, “Lepas!” 
Sangkan dan Kaligis berteriak kaget dan wajahnya 
pucat, ketika hampir berbareng pedangnya sudah terbang, 
dan lengannya menjadi lumpuh. Untung sekali gadis ini 
tidak ingin mencelakakan pemuda itu. Ia tidak menyusuli 
serangan karena ia sudah puas. 
“Kamu tidak lekas pergi, apakah ingin merasakan 
pukulanku!” bentaknya. “Huh, aku masih berlaku murah 
kepadamu, mengingat di warung tadi sudah menemani aku 
makan.” 
Menyadari gadis  cantik dan menggiurkan ini berilmu 
tinggi, tanpa rewel lagi dua orang murid Si Tangan Iblis itu 
sudah melompat dan menyambar pedang, lalu berlarian 
cepat meninggalkan Dewi Sritanjung. 
Gadis ini tetap berdiri dengan mulut menyungging 
senyum puas. Sepasang matanya yang indah itu 
memandang kepergian mereka. Dan baru setelah 
bayangan dua pemuda itu tidak tampak lagi, ia menghela 
napas lega. Hatinya besar dan bangga, berkat gemblengan 
kakeknya, seorang diri dapat mengalahkan dua orang 
lawan. Karena itu dalam perjalanan selanjutnya ia tidak 
perlu khawatir lagi berhadapan dengan bahaya. Bukankah 
dirinya sekarang ini termasuk seorang sakti mandraguna? 
Ia membusungkan dadanya yang sudah membusung. Lalu 
terdengar suara hatinya yang takabur. 
“Inilah aku! Dewi Sritanjung, murid Kiageng Tunjung 
Biru. Sekalipun perempuan, belum tentu kalah melawan 
laki-laki. Huh, betapa gembira dan bangga, setelah Ayah 
dan Ibu mendengar kisahku hari ini. Ibu tentu memeluk 
diriku penuh cinta kasih, seperti yang dilakukan Kakek 
setiap kali hatinya puas melihat kemajuan ilmuku.” 
Siapa yang dapat menyalahkan Sritanjung menepuk 
dada dan takabur seperti ini? Dia masih muda. Dia belum 
mengenal corak dan isi dunia luas ini. Dan dia belum juga 
tahu betapa luasnya dunia, dalamnya lautan dan tingginya 
gunung. Dia belum tahu bahwa tidak seorangpun di dunia 
ini dapat menepuk dada merasa paling sakti dan paling 
pandai. 
Yang merasa bodoh masih ada yang lebih bodoh. Yang 
merasa pandai masih ada lagi yang lebih pandai. Betapa 
kerdil dan kecilnya manusia di dunia ini, apabila mau sadar 
akan hidupnya. Dan betapa besar kekuasaan Yang Maha 
Tinggi. Tetapi gadis semuda Dewi Sritanjung ini memang 
belum kenal dan belum tahu serta belum dapat berpikir 
sejauh itu. Pengalaman hidupnya, kemudian hari akan 
menjadi guru dan pelajaran. Dikaji, dimawas, dan diselidiki, 
serta dirasakan. Dengan demikian orang menjadi benar-
benar dewasa, sebab ketidakdewasaan itu hanya lerletak 
dalam ketidaktahuannya tentang diri sendiri. Mengerti diri 
sendiri adalah permulaan daripada kebijaksanaan. 
Gadis ini kemudian melangkah, menuju utara lewat 
jalan yang tadi telah dilalui. Dan sambil melangkah ia 
bergumam. “Kakek benar? Nyatalah di dunia ini tidak 
sedikit jumlahnya manusia jahat. Hemm, aku harus hati-
hati tidak boleh sembarangan percaya kepada orang. Ahh, 
terlalu percaya kepada orang, akibatnya akan mendekat-
kan diri sendiri dengan bahaya.” 
Demikianlah pengalaman memberi pelajaran kepada 
Dewi Sritanjung. Ia menjadi sadar bahwa nasihat dan 
petunjuk kakeknya memang tidak bisa diabaikan. 
Akan tetapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia 
mendengar bentakan nyaring perempuan, “Hai Sangkan 
dan Kaligis! Kau mau lari ke mana?” 
Dewi Sritanjung menghentikan langkahnya dengan rasa 
heran, Kaligis dan Sangkan? Bukankah orang itu yang tadi 
lari setelah ia kalahkan? Sekarang ada perempuan yang 
membentak. Agaknya perempuan itupun seperti dirinya, 
pernah ditipu. 
Bagi gadis ini apapun yang terjadi akan menarik hatinya. 
Lebih-lebih ia berpikir makin banyak peristiwa yang di-
saksikan dan dialami, akan memberi pengalaman berharga 
bagi hidupnya. 
Ia membatalkan niatnya pergi. Ia melangkah kembali ke 
selatan, kemudian berlarian. Tak lama ia berlarian, ia 
melihat seorang perempuan yang wajahnya cukup cantik 
berhadapan dengan Sangkan dan Kaligis. Perempuan itu 
sikapnya garang, mendelik sambil bertolak pinggang. 
Dengan hati-hati Dewi Sritanjung menyelinap mendekat, 
lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar. 
Kemudian ia mendengar Sangkan berkata. 
“Adi Indah...ahh.... sungguh kebetulan. Aku dan Kakang 
Kaligis mencarimu setengah mati, ternyata sekarang malah 
bertemu di tempat ini.” 
Perempuan muda itu memang Sarindah mendengus 
dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?” 
“Atas perintah Guru, kami mencarimu untuk dipanggil 
pulang.”  
“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung 
Pujud?” 
“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?” dua pemuda itu kaget. 
“Hi... hi... hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan 
kamu jangan mencoba membela diri dengan mencuci 
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu yang sudah 
menaruh racun dalam tuak itu?” 
“Tid..... tidak!” hampir berbareng Kaligis dan Sangkan 
menyangkal, tetapi tidak lancar. 
“Huh... huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu 
tak dapat menipu aku. Kamu sudah memberi racun pada 
tuak itu, kemudian memfitnah aku, bukan? Pengecut!” 
*** 
Mengapa Sarindah bisa tahu rahasia Kaligis dan 
Sangkan? Lain siapakah yang memberi tahu? Anda akan 
mendapat jawabannya dalam buku berjudul "DEWI 
SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” 
Ceritanya akan lebih seru dan menegangkan. Karena : 
......... Mendadak Sarindah merasakan kepalanya 
berdenyutan dan pening sekali, pandang matanya kabur. 
“Trang...... Ahhhh... !” pedang Sarindah terpental terbang 
oleh pukulan Rudra Sangkala. Dan Rudra Sangkala sudah 
melompat maju lalu memeluk gadis ayu itu. Sarindah 
sudah pingsan, dalam pondongan Rudra Sangkala dan 
diciumi...... 
...... “Bocah! Kalau saja engkau tidak mempunyai 
hubungan dengan Gajah Mada, tentu saja aku tidak 
memusuhi, Karena itu sebelum aku menggunakan 
 
kekerasan, menyerahlah aku jadikan sandra!” ancam Si 
Tangan Iblis. 
Sepasang mata Dewi Sritanjung menyala. Jawabnya 
lantang, Apakah salahnya orang mempunyai hubungan 
dengan Mahapatih Gajah Mada? Orang yang berani 
memusuhi beliau, berarti pemberontak!....... 
Sanggupkah Dewi Sritanjung menghadapi Si Tangan 
Iblis yang sakti mandraguna dan mempunyai Aji Mega 
Lengking? Dalam buku Seri Dewi Sritanjung yang berjudul 
“DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG” Anda akan 
mendapat jawabannya. 
*** 
Sala, awal Maret 1987
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com