Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 12 - Aji Wisa Dahana(1)


Pengantar 
Guna memudahkan para pembaca yang 
budiman untuk dapat mengikuti cerita ini secara 
baik, kiranya perlu diselami dulu peristiwa sebe-
lumnya. 
Secara tak terduga Mahisa Singkir bersama 
Sarwiyah terjebak di lembah terasing dan menjadi 
tawanan Mpu Galuh. Karena Mahisa Singkir di-
paksa kawin dengan Ika Dewi dan Sarwiyah ka-
win dengan Rakit Cendana. 
Kemudian kakak beradik (Rakit Cendana 
dan Ika Dewi) itu walaupun tidak  berjanji lebih 
dahulu telah mencampur racun yang bisa me-
nimbulkan rangsang birahi. Akibatnya Mahisa 
Singkir yang tidak menyadari, lalu melakukan 
hubungan suami isteri dengan Ika Dewi. Tetapi 
sebaliknya bagi Sarwiyah beruntung, ia menyada-
ri perubahan dirinya setelah makan. Maka ketika 
Rakit Cendana akan berbuat tidak senonoh, da-
pat ia pukul dadanya dan roboh tewas. 
Berbareng dengan saat tersebut, datanglah 
Julung Pujud dan Warigagung dan dapat meno-
long. Padahal Sarwiyah ini adalah calon isteri Wa-
rigagung, maka gadis ini gembira sekali. 
Mahisa Singkir pun tertolong oleh Mpu 
Anusa Dwipa dan diajak lari meninggalkan lem-
bah terasing itu. 
Dan ternyata lembah terasing itu sedang 
diserbu oleh pasukan Majapahit. Perang campuh 
terjadi dan kebakaran terjadi di sana sini. Pendu-
duk panik dan kebingungan. 
Setelah dapat mereka selamatkan ini, Sar-
wiyah mereka ajak menjauhi lembah. Lalu di se-
buah hutan Julung Pujud bertanya, mengapa 
Sarwiyah di lembah terasing itu. 
Sarwiyah menceritakan apa yang sudah 
terjadi Kakeknya (Si Tangan Iblis) telah tewas da-
lam tangan Gajah Mada, ketika berkelahi seorang 
lawan seorang. (Peristiwa itu dapat Anda ikuti da-
lam buku "Mencari Ayah Kandung".) 
Mendengar penuturan ini Julung Pujud 
dan Warigagung kaget sekali. Mereka berjanji un-
tuk menuntut balas. 
Lalu Sarwiyah menceritakan perjalanannya 
sekarang ini berteman dengan adik seperguruan-
nya bernama Mahisa Singkir, dalam usaha men-
cari Julung Pujud dan Warigagung untuk minta 
bantuan. 
Mendengar penuturan Sarwiyah melaku-
kan perjalanan bersama seorang pemuda berbu-
lan lamanya, tiba-tiba saja Julung Pujud curiga 
dan meragukan kesucian Sarwiyah. Maka tiba-
tiba ia memerintahkan kepada muridnya, agar 
gadis ini ditangkap lalu ditelanjangi. Sebagai aki-
batnya Sarwiyah menjadi pingsan saking malu. 
(Baca buku berjudul "Jangan Kau Siksa Hatiku"). 
Julung Pujud melakukan perbuatan itu ti-
dak dengan maksud memalukan maupun meng-
hina calon menantunya. Tetapi oleh kecurigaan-
nya, ia ingin memeriksa apakah Sarwiyah masih 
gadis suci atau sudah terjamah laki-laki. Tetapi 
caranya memeriksa sesuai dengan cara dia sendi-
ri. Mengerikan, dan membuat Warigagung sendiri 
merasa tidak tega,  
Namun setelah Julung Pujud mendapatkan 
bukti, Sarwiyah masih perawan suci, maka kakek 
ini menjadi gembira sekali, dan memuji Sarwiyah 
yang pandai menjaga diri dan pantas menjadi 
menantunya. Namun sebaliknya apabila terbukti 
gadis ini sudah tidak suci lagi, ia tidak segan un-
tuk membunuh saat itu juga. 
Demikianlah yang terjadi dan telah diceri-
takan dalam buku berjudul "Jangan Kau Siksa 
Hatiku". Dan sekarang, marilah kita ikuti secara 
seksama buku berjudi"! "Aji Wisa Dahana" ini. 
Dengan cekatan Warigagung segera memu-
tuskan tali-tali yang mengikat Sarwiyah. Adapun 
gadis ini terisak-isak, malu, tetapi juga merasa le-
ga sekali. Lega, bahwa Julung Pujud tidak ber-
maksud menghina. Dan lega bahwa selama ini di-
rinya pandai menjaga diri. Namun diam-diam ter-
getar hebat juga jantung gadis ini, jika teringat 
pengalamannya dalam kamar tahanan. Hampir 
saja dirinya celaka oleh pengaruh racun perang-
sang yang dicampurkan dalam makanannya oleh 
Rakit Cendana. Hanya berkat kekebalan tubuh-
nya terhadap racun, membuat Rakit Cendana ti-
dak berhasil menjamah dirinya. Ngeri juga apabila 
teringat pengalamannya dalam kamar tahanan 
itu. 
Sekarang setelah tali-tali yang mengikat 
tubuhnya  lepas, dengan tubuh gemetaran ia 
mendeprok di tanah, dalam usahanya menyem-
bunyikan bagian tubuhnya yang rahasia. 
Warigagung segera menolong dengan men-
gambilkan pakaian Sarwiyah. Kemudian ia meng-
hampiri gadis ini dengan langkah mundur. Agak-
nya pemuda ini tidak tega melihat calon isterinya 
bugil seperti itu. 
- Pakailah!- katanya halus sambil membe-
rikan pakaian itu. 
Sarwiyah melirik ke arah Warigagung dan 
Julung Pujud. Gadis ini menjadi lega, ketika me-
lihat guru dan murid itu tidak memandang di-
rinya. Perhatian mereka kembali tertarik kepada 
api yang berkobar di lembah dan juga terdengar 
pula sorak sorai yang gemuruh. 
Dalam waktu singkat Sarwiyah sudah sele-
sai berpakaian. Gadis ini dadanya lapang. Namun 
terasa malu juga, jika teringat keadaannya tadi 
ketika sedang diuji oleh Julung Pujud. Ia tidak 
tahu, apa yang terjadi dengan dirinya ketika ping-
san. Namun diam-diam ia menduga pula, tentu 
guru dan murid itu tadi sudah menonton dirinya 
dengan mata melotot dan tak berkedip, karena di-
rinya terikat erat pada sebatang kayu dan terku-
lai. 
Apabila menurutkan rasa malu dan pena-
sarannya, ingin sekali dirinya mengamuk. Tetapi 
apabila teringat akan tujuannya mencari guru 
dan murid ini, maka kemudian ia sadar tidak bo-
leh menurutkan kemarahan hati, dan sebaliknya 
malah harus berusaha membuat guru dan murid 
ini senang, agar bersedia membalaskan sakit ha-
tinya kepada Gajah Mada.  
Sarwiyah sudah melangkah menghampiri 
Warigagung dan Julung Pujud. Ia ikut pula me-
mandang ke arah lembah yang sudah menjadi 
lautan api. Diam-diam gadis ini teringat kepada 
Mahisa Singkir. Lalu di manakah pemuda yang 
diam-diam ia cintai itu sekarang? 
Sarwiyah amat khawatir akan keselamatan 
Mahisa Singkir. Namun demikian manakah 
mungkin gadis ini berani menanyakan tentang 
pemuda itu? Gadis ini menjadi khawatir apabila 
Warigagung dan Julung Pujud menjadi curiga la-
gi. Khawatir apabila cemburu sekalipun sudah 
terbukti saat ini dirinya masih perawan suci. Te-
tapi apabila teringat akan apa yang dilakukan Ju-
lung Pujud tadi diam-diam Sarwiyah gemetaran 
tubuhnya. Sungguh aneh, mengapa mencari buk-
ti kesucian seorang gadis, harus menggunakan 
cara demikian? 
Api di lembah itu masih terus berkobar. 
Langit di atasnya membara dan lembah itu seka-
rang menjadi lautan api. Jika teringat pengala-
mannya di lembah tadi, bagaimanapun ia bergidik 
ngeri. Entah apa yang dialami dalam kamar taha-
nan itu, apabila dirinya tidak kebal racun? 
- Biadab!- caci makinya dalam hati ia tuju-
kan kepada Rakit Cendana. -  Terlalu! Bangsat 
Rakit Cendana! Engkau sekarang sudah mampus 
dan memetik buah perbuatanmu sendiri yang 
terkutuk. - 
Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa kekhawa-
tirannya. Sebab apabila Rakit Cendana menggu-
nakan racun untuk merobohkan dirinya, apakah 
tidak mungkin Mahisa Singkir mengalami nasib 
yang sama dengan dirinya? Dan apabila perem-
puan itu  sudah menggunakan racun yang me-
rangsang itu, manakah mungkin Mahisa Singkir 
dapat bertahan lagi berhadapan dengan Ika Dewi? 
Guna menahan gangguan hatinya ini kemudian ia 
menundukkan kepalanya. Ia tidak memandang ke 
arah lembah yang terbakar itu, malah kemudian 
ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput. 
- Kau letih?- Warigagung bertanya. 
- Benar.- Sarwiyah mengangguk. 
- Setelah kita tiba di rumah, kau bisa me-
lepaskan lelah sesuka hatimu. Dan untuk men-
cukupi kebutuhanmu, biarlah aku yang akan me-
layanimu.-  
-  Heh heh hen heh!-  Julung Pujud terke-
keh. - Engkau akan melayani kebutuhan calon is-
terimu? Lucu ..... lucu sekali.- 
-  Apanya yang lucu?-  Warigagung kehera-
nan. 
-  Dimanapun, di dunia ini, sudah kodrat-
nya manusia perempuan yang harus melayani 
kebutuhan laki-laki. Tetapi kau malah kebalikan-
nya, akan melayani kebutuhan calon isterimu!- 
-  Guru! Antara laki-laki dan perempuan 
mempunyai kedudukan yang sama, baik menurut 
kodrat sebagai manusia maupun dalam tata hi-
dup. Sebab mereka sama-sama membutuhkan 
dan sama-sama pula mengharapkan kebahagiaan 
hidup. Perempuan sebagai seorang isteri, harus 
memperoleh tempat yang wajar, harus mendapat 
penghargaan dari suami. Hanya laki-laki yang ti-
dak tahu diri saja, yang beranggapan kedudu-
kannya lebih tinggi daripada perempuan.- 
Warigagung berhenti sejenak. Setelah me-
nelan ludah ia meneruskan. 
-  Guru! Sebaliknya, apabila perempuan 
yang semau gue, tidak dapat menghormati sua-
minya, suka menyeleweng, itupun perempuan ti-
dak tahu diri. Perempuan yang demikian mana-
kah mungkin dapat mendidik anak-anaknya seca-
ra baik dan menjaga ketenteraman rumah tang-
ganya?- 
- Heh heh heh heh, engkau seperti burung 
beo belajar bicara,- Julung Pujud terkekeh. - Mari 
sekarang kita pergi. Hemm, pada fajar ini aku 
akan membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis, ka-
kek Sarwiyah.- 
- Ahhh.....guru akan ke Majapahit dan me-
nantang Gajah Mada untuk bertanding?- Wariga-
gung kaget berbareng heran.         
- Tak usah kita terlalu jauh pergi, Anakku. 
Hemm, tahukah engkau bahwa pasukan yang 
menyerbu lembah ini merupakan pasukan Maja-
pahit?-    
- Ohhh, Guru akan membunuh mereka?- 
-  Mengapa tidak? Aku akan menghancur-
kan pasukan itu. Hanya satu atau dua orang saja 
yang akan aku beri hidup.- 
- Untuk apa?- 
- Agar orang itu dapat memberi laporan ke-
pada Gajah Mada. Dengan perantaraan orang itu 
aku akan menantang Gajah Mada berkelahi di 
puncak Gunung Tengger pada tiga bulan lagi. 
Berkelahi secara ksatrya, seorang lawan seorang.- 
- Ahhh, Guru, manakah mungkin bisa ter-
jadi? Gajah Mada adalah Patih Mangkubumi Ma-
japahit. Seorang yang kedudukannya amat tinggi 
dan penting. Manakah mungkin mau datang seo-
rang diri? Dia tentu akan disertai oleh para pen-
gawal dalam jumlah banyak. Guru, murid menja-
di khawatir sekali.- 
- Heh heh heh heh, apakah engkau seka-
rang menjadi seorang penakut, setelah bertemu 
dengan calon isterimu yang manis ini? Heh heh 
heh heh jika engkau khawatir keselamatanmu 
dan sayang pula akan calon isterimu, biarlah aku 
seorang diri yang akan menerjang ke sana.- 
-  Ihh, tidak!-  Sarwiyah berseru. -  Paman, 
aku takkan berdiam diri dan aku harus ikut ke 
sana.- 
- Apakah sebabnya?- 
-  Kakekku akan penasaran apabila aku 
menjadi pengecut dan membiarkan Paman berha-
dapan dengan bahaya. Apapun yang akan terjadi 
aku menyertai Paman dan menghadapi Gajah 
Mada!- 
-  Heh heh heh heh, bagus! Engkau calon 
menantuku yang terpuji. Hai Wiragagung. Apakah 
engkau tidak malu kepada calon isterimu sendi-
ri?- 
- Guru, baiklah! Di sana Guru akan tahu 
apakah aku ini murid yang baik ataukah murid 
pengecut.- 
Julung Pujud terbelalak, namun hanya se-
jenak dan kemudian ia terkekeh lagi. Katanya. 
- Heh heh heh heh, apakah yang akan kau 
lakukan di sana?-         
-Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-
da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan 
yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu bahwa mu-
rid bukan penakut. Murid akan memilih salah 
seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti.- 
- Jika engkau sampai tak mampu melawan, 
apakah jadinya?- 
-  Bukankah taruhannya hanyalah mati? 
Apabila toh murid tewas dalam perkelahian itu, 
bukankah murid akan mati dengan puas? Murid 
mati membela nama baik kakek mertua dan da-
lam usaha membalaskan sakit hati keluarga.- 
-  Ha ha ha ha, engkau jangan mengacau 
tak keruan.-  
Warigagung melongo, tak tahu maksud gu-
runya. 
-  Hemm, Warigagung! Engkau sekarang 
sudah mengerti, dirimu sekarang sudah lain den-
gan keadaanmu dua tahun lalu mau pun kema-
rin. Sekarang engkau sudah mempunyai calon is-
teri cantik jelita. Lalu bagaimanakah dengan Sar-
wiyah apabila kau tewas dalam perkelahian itu?- 
Warigagung memalingkan mukanya me-
mandang Sarwiyah. Akan tetapi gadis ini menun-
dukkan  kepala, sehingga tidak membalas pan-
dang mata calon suaminya. Warigagung menghela 
napas pendek, sekarang ia menjadi ragu sehingga 
tidak kuasa membuka mulut. 
Tetapi apakah yang terjadi dengan Sar-
wiyah sekarang ini? Dalam dada gadis ini seka-
rang terjadilah pergulatan dan pertentangan batin 
yang hebat sekali. 
Apabila mengingat kata-kata kakeknya 
yang ingin membalas dendam kepada Gajah Ma-
da, sesungguhnya hati gadis ini terharu berba-
reng bangga. Dan apabila Julung Pujud dan Wa-
rigagung sampai tewas dalam perkelahian itu, se-
harusnya dirinya sendiri harus pula berani men-
gorbankan nyawa. 
Namun tiba-tiba dalam benak gadis ini ter-
bayang kembali wajah tampan Mahisa Singkir 
dan wataknya yang sabar dan sikapnya yang 
amat sopan. Dalam dada gadis ini tiba-tiba saja 
malah timbul harapannya, agar Warigagung tewas 
dalam perkelahian yang direncanakan itu. Sebab 
bagaimanapun dalam hatinya tidak sepercikpun 
api cinta kepada Warigagung. Ia setuju dipertu-
nangkan dengan pemuda ini tidak lain adalah 
hanya menuruti kemauan kakeknya saja. Ternya-
ta sekalipun ia sudah berusaha mencintai Wari-
gagung, usahanya gagal. Api cinta itu tidak per-
nah menyala dan benih cinta itu tidak mau tum-
buh. Lebih lagi sekarang, setelah dadanya terisi 
oleh bibit cinta kepada Mahisa Singkir, harapan 
satu-satunya sekarang ini tidak lain hanya ingin 
hidup bersama, membentuk keluarga bahagia 
dengan Mahisa Singkir. 
Sarwiyah tidak membuka mulut dan Wari-
gagung mengiakan. Kemudian dua orang muda 
ini mengikuti Julung Pujud meninggalkan tempat 
ini. 
Dugaan Julung Pujud bahwa pasukan Ma-
japahit yang dipimpin Mpu Kepakisan belum jauh 
pergi memang tepat. Pasukan itu walaupun dalam 
waktu singkat sudah dapat melumpuhkan lawan, 
sehingga Mpu Galuh dan Hesti Pawana tewas, 
namun yang harus diurus memang amat banyak. 
- Bagaimanakah Sarwiyah? Bagaimanakah 
perasaanmu, jika aku sampai tewas dalam perke-
lahian untuk membalaskan sakit hati kakekmu?- 
Pertanyaan Warigagung ini membuat Sar-
wiyah terkesiap. Ia mengangkat mukanya, yang 
agak pucat. 
Melihat wajah Sarwiyah yang pucat itu, Ju-
lung Pujud terkekeh gembira. Sebab kakek ini 
menduga, kepucatan wajah gadis ini karena rasa 
khawatir apabila calon suaminya sampai tewas. 
Demikian pula Warigagung, pemuda ini menduga 
sama. 
Lebih lagi ketika melihat gadis ini tidak 
membuka mulut dan hanya mampu menggeleng. 
Dugaan guru dan murid ini semakin kuat, jelas 
gadis ini tidak menginginkan Warigagung sampai 
tewas. 
- Sudah, sudah, Sarwiyah, engkau tak per-
lu khawatir dan sedih!-  ujarnya dengan nada 
menghibur. - Semua ini baru merupakan rencana 
saja. Aku belum tahu, Gajah Mada sedia ataukah 
tidak melayani tantanganku. Hemm, sekarang 
marilah kita berangkat. Aku percaya, pasukan 
Majapahit itu belum jauh pergi.- 
Pasukan itu lebih dahulu harus membakar 
semua jenazah yang tewas, baik pada pihak la-
wan maupun pihak sendiri. Disamping itu sesuai 
dengan perintah Gajah Mada, mereka yang me-
nyerah harus diperlakukan sebaik-baiknya dan 
dibawa ke Majapahit 
Di antara tawanan yang jumlahnya amat 
banyak itu, sebagian besar terdiri atas wanita dan 
anak-anak. Para tawanan itu di sepanjang jalan 
selalu menangis akibat kesedihan hatinya, oleh 
tewasnya suami, ayah atau anaknya. Karena me-
nangis maka perjalanan menjadi lambat sekali. 
Beberapa orang prajurit yang bertugas menjaga 
para tawanan, mulai naik darah. Mereka kemu-
dian membentak-bentak dan ada pula yang tidak 
kuasa lagi menahan tangannya dan main pukul. 
Untung hal ini cepat diketahui oleh Rangga 
Premana, putera Gajah Mada yang menyertai Mpu 
Kepakisan. Sekalipun sekarang ini Rangga Pre-
mana menderita luka pada pundaknya, namun 
pemuda ini tidak dapat tinggal diam. Ia cepat ber-
tindak sekalipun tanpa kekerasan, setelah men-
dengar laporan itu. 
Rangga Premana yang semula mengendarai 
kuda berjajar dengan Mpu Kepakisan di bagian 
depan, pemuda ini menghentikan langkah ku-
danya untuk menunggu pasukan yang bergerak 
di belakang. Ia baru menggerakkan kendali ku-
danya lagi, setelah pasukan penjaga tawanan itu 
tiba di sampingnya. Dengan demikian pemuda ini 
sekarang dapat mengawasi langsung semua ta-
wanan. Rangga Premana cukup bijaksana. Ia ti-
dak menegur maupun marah kepada para praju-
rit, dan ia hanya berdiam diri dan mengikutinya. 
Sekalipun demikian, pengaruhnya amat besar. 
Para prajurit tawanan itu sekarang tidak berani 
main pukul dan galak lagi. 
Waktu sudah fajar. Pasukan yang bergerak 
menuju Majapahit itu  baru tiba di Rambipuji. 
Mendadak pasukan itu berhenti dan Rangga Pre-
mana yang dibelakang keheranan. 
Pada saat itu seorang lurah prajurit berla-
rian menghampiri Rangga Premana. Setelah 
memberi hormat, lurah prajurit ini melapor, per-
jalanan terhenti. Di depan telah menghadang seo-
rang kakek kerdil yang rambutnya awut-awutan 
tidak keruan. 
Rangga Premana kaget. Ia kemudian berbi-
sik dan menugaskan lurah prajurit itu supaya 
mengawasi para tawanan. Kemudian ia mengge-
rakkan kudanya ke depan. Dan ternyata laporan 
itu  benar belaka, ia melihat Mpu Kepakisan su-
dah berdiri berhadapan dengan kakek kerdil yang 
tertawa terkekeh-kekeh. 
- Heh heh heh heh, siapakah engkau kakek 
tua?- tanya kakek kerdil ini yang bukan lain Ju-
lung Pujud. 
Mpu Kepakisan memandang tajam kepada 
Julung Pujud. Timbul perasaan heran dalam hati 
kakek ini, apakah sebabnya Julung Pujud berani 
menghadang pasukannya? Orang yang waras 
ataukah gila? Namun sebagai kakek yang berjiwa 
besar, ia menjawab juga. 
-  Aku yang disebut orang dengan nama 
Mpu Kepakisan. Siapakah engkau dan apa mak-
sudmu menghadang perjalanan kami?- 
Julung Pujud mengerutkan alisnya yang 
sudah putih mendengar nama Mpu Kepakisan. Ia 
memang sudah pernah mendengar nama ini, dan 
terkenal sebagai tokoh sakti mandraguna, yang 
menjadi sahabat Gajah Mada. 
Namun demikian Julung Pujud tidak men-
jadi gentar. Kakek ini malah ketawa terkekeh-
kekeh. 
-  Heh heh heh heh, sungguh beruntung 
pagi ini aku dapat berhadapan dengan tokoh sakti 
bernama harum. Ha ha ha ha, kau ingin tahu 
namaku? Baik! Aku inilah yang disebut orang 
dengan nama Julung Pujud, orang Belambangan.- 
- Kau.....kau.....Julung Pujud?- Mpu Kepa-
kisan kaget. 
Nama Julung Pujud justru amat terkenal, 
semenjak puluhan tahun lalu. Hanya sayang se-
kali tokoh sakti ini memilih jalan sesat, dan tidak 
segan-segan mengganas kepada orang yang sama 
sekali tidak berdosa. Julung Pujud melakukan 
kekejaman dan membunuh orang justru untuk 
hiburan dan kesenangan. 
-  Heh heh heh heh, kau kaget?-  ejek Ju-
lung Pujud. 
-  Hemm, apakah maksudmu menghadang 
kami?- 
- Maksudku sudah jelas. Kenapa masih ju-
ga bertanya? Aku sengaja menghadang perjala-
nanmu pagi ini bukan lain karena aku tertarik. 
Pasukan yang banyak jumlahnya ini dan bergerak 
waktu fajar pula, pulang dari mana?- 
Julung Pujud sengaja bertanya dan pura-
pura tidak tahu. Tetapi Mpu Kepakisan yang se-
karang ini berkedudukan sebagai panglima, ber-
sikap hati-hati. Ia belum tahu maksud Julung Pu-
jud yang sebenarnya. Kalau berbuat baik adalah 
syukur, tetapi kalau jahat tidak boleh sembaran-
gan. 
- Hemm,- dengus Mpu Kepakisan dingin. - 
Perjalanan kami pada pagi ini tidak ada sangkut 
pautnya dengan kau. Maka maafkanlah aku tidak 
dapat memberi keterangan.- 
Julung Pujud berjingkrakan saking amat 
marah. Ia mendelik dan tiba-tiba rambutnya yang 
awut-awutan itu berdiri seperti sapu lidi dan ke-
mudian bentaknya menggeledek. 
- Jahanam! Setan Alas! Aku bertanya baik-
baik, jawabanmu menyebabkan orang marah. 
Huh! Apakah sangkamu aku tidak tahu, kau baru 
saja pulang menumpas sarang Mpu Galuh?- 
Mpu Kepakisan kaget sekali mendengar ini. 
Tetapi ia malah semakin hati-hati bersikap. 
Karena ia cepat dapat menduga kakek ker-
dil ini tentu salah seorang sahabat Mpu Galuh, 
dan agaknya kakek ini menghadang ingin membe-
la Mpu Galuh. 
-  Hemm, kalau sudah menghadang, apa-
kah maksudmu ?- 
-  Heh heh heh heh, maksudku jelas. Aku 
tahu pasukan ini pasukan Majapahit. Dan aku 
tahu pula, apa yang kau lakukan ini sesuai perin-
tah jahanam busuk Gajah Mada!- 
-  Bangsat! Tutup mulutmu yang busuk!- 
teriak Rangga Premana yang menjadi marah, ke-
tika mendengar kakek kerdil itu berani mencaci 
maki ayahnya. 
Julung Pujud mendelik ke arah Rangga 
Premana. Bentaknya. 
- Hai orang muda yang lancang mulut. Sia-
pakah engkau ini?- 
- Hemm, dengarkanlah baik-baik. Namaku 
Rangga Premana, dan aku putra Maha Patih Ga-
jah Mada – 
- Kau, kau anak Gajah Mada? Heh heh heh 
heh, sungguh kebetulan sekali. Engkau harus ku-
tangkap hidup-hidup!- 
Belum juga lenyap suara Julung Pujud, 
kakek kerdil ini sudah melesat ke arah Rangga 
Premana. Gerakannya sungguh cepat. Dan kare-
na tubuhnya memang kerdil, maka tubuhnya 
hampir tidak tampak. 
Rangga Premana terkesiap. Ia sudah me-
loncat turun dari kuda dan secepat kilat  meng-
hunus pedang. Sring...... 
Seleret sinar panjang dan warna ungu me-
nyambar. Inilah pedang pusaka Tunggul Naga. 
Pedang pusaka milik Gajah Mada yang dipinjam-
kan anaknya supaya dalam tugasnya lebih man-
tap. Namun demikian sejak Rangga Premana ber-
tugas menyertai Mpu Kepakisan ini ia belum per-
nah menghunus pedang pusaka itu. Ketika me-
nyerbu ke sarang Mpu Galuh, ia hanya menggu-
nakan pedang biasa. Kenapa? Ia patuh pesan 
ayahnya, tidak boleh sembarangan menggunakan 
pedang pusaka itu kalau tidak terancam oleh ba-
haya. 
Tetapi sekarang ini ia sadar berhadapan 
dengan bahaya. Maka tidak ragu-ragu lagi sudah 
mencabut pedang pusaka Tunggul Naga itu. 
Plakkk!....... 
Benturan tenaga terdengar cukup keras 
dan Rangga Premana terbelalak. Ternyata Mpu 
Kepakisan sudah bertindak tangkas ketika meli-
hat Julung Pujud menerjang ke arah Rangga 
Premana. Kakek sakti itu tidak mau tinggal diam 
dan sudah melompat menyambut pukulan kakek 
kerdil itu. 
Akibat dua orang kakek ini turun ke bumi 
dan terhuyung ke belakang beberapa langkah. 
Kemudian dua orang kakek ini berdiri saling 
mendelik. Agak lama mereka tukar pandang se-
perti sedang menaksir. 
- Heh heh heh heh, bagus!- Julung Pujud 
terkekeh.  -  Agaknya engkau cukup alot. Sudah 
lama sekali aku tidak pernah bertemu tanding, ha 
ha ha ha. Pertemuan kita sekarang ini sungguh 
menggembirakan hatiku!- 
Mpu Kepakisan hanya berdiam diri dan 
hanya sepasang matanya tak berkedip, siap siaga 
menghadapi segala kemungkinan. 
Rangga Pramana yang sudah bersiap diri 
dengan pedang pusaka, cepat memerintahkan pa-
sukan untuk mundur. Kemudian membentuk ba-
risan bentuknya seperti payung agung. Semua itu 
bukan lain guna menjaga segala kemungkinan, 
apabila kakek kerdil ini tidak sendirian. 
-  Hai Mpu Kepakisan! Agaknya engkau 
menjadi besar hati berhasil menghancurkan sa-
rang Mpu Galuh. Heh heh heh heh, engkau jan-
gan mimpi. Engkau takkan dapat pulang ke Ma-
japahit dalam keadaan masih bernyawa.- 
-  Jangan membuka mulut sembarangan!- 
bentak Mpu Kepakisan.  - Apakah maksudmu se-
benarnya? Apakah engkau sekarang ini membela 
pemberontak itu dan sengaja memusuhi Majapa-
hit?- 
-  Heh heh heh heh, antara aku dan Mpu 
Galuh tidak ada hubungan sama sekali. Aku ada-
lah aku, bukan pembela Majapahit dan bukan 
pula pemberontak. Akan tetapi aku mempunyai 
persoalan pribadi dengan Gajah Mada. Heh heh 
heh heh, engkau dan seluruh pasukan harus 
mampus pada pagi ini.- 
- Uh sombongnya! Mari kita coba saja, sia-
pakah yang harus roboh dan mampus!- 
Mpu Kepakisan melangkah maju perlahan, 
ke arah kiri. Di pihak lain Julung Pujud juga ber-
gerak maju ke arah kiri. Langkah dua orang ka-
kek sakti ini perlahan saja, tetapi sekalipun de-
mikian merupakan langkah yang teratur. Be-
danya, kalau lingkaran dari langkah yang dibuat 
oleh Mpu Kepakisan tidak begitu lebar, lingkaran 
yang dibuat Julung Pujud lebar. 
Untuk beberapa saat lamanya dua orang 
kakek ini terus berputaran, seakan dua ekor 
ayam jantan yang siap berlaga, saling menaksir 
dan saling mencari kesempatan baik guna mener-
jang. 
Mpu Kepakisan sadar kakek kerdil yang ia 
hadapi sekarang ini bukan tokoh sembarangan, 
tetapi tokoh jahat, licik dan penuh tipu muslihat. 
Mpu Kepakisan belum lupa terjadinya peristiwa 
yang menggemparkan belasan tahun lalu. Tidak 
sedikit jumlahnya orang tewas dalam tangan ka-
kek kerdil ini. 
Keganasan kakek ini baru kemudian sirap, 
setelah Mpu Anusa Dwipa turun tangan. Julung 
Pujud dihajar babak belur, dan selanjutnya kakek 
ini menghilang tanpa kabar. Sekarang dengan 
munculnya Julung Pujud, diam-diam Mpu Kepa-
kisan khawatir juga kalau kekacauan akan timbul 
lagi oleh keganasan Julung Pujud. 
Dalam kedudukannya sebagai salah seo-
rang pejuang dan membela kepentingan Majapa-
hit, maka merupakan kewajibannya pula untuk 
memberantas siapapun yang berbuat jahat. 
Tiba-tiba Julung Pujud sudah  menggeram 
sambil meloncat tinggi, dan dua tangannya berge-
rak ke depan. 
Plak!..... plak! 
Benturan telapak tangan dua orang sakti 
ini di udara terdengar amat nyaring. Dua tubuh 
orang sakti itu terpental ke belakang lagi bebera-
pa langkah. Mereka kemudian berdiri tegak saling 
berhadapan dalam jarak kira-kira empat depa. 
Dua pasang mata saling mendelik, tetapi tampak 
napas dua orang tua ini agak sesak, dada mereka 
kembang kempis. 
Apa yang sudah terjadi memang diluar ta-
hu orang yang melihat. Benturan telapak tangan 
ini merupakan benturan yang tidak main-main, 
tetapi benturan tenaga sakti tingkat tinggi yang 
hebat sekali. Benturan yang dilambari tenaga ini 
akibatnya hebat. Isi dada masing-masing tergun-
cang hebat dan sesak. 
Ternyata dalam mengukur tenaga tadi, an-
tara Mpu Kepakisan dengan Julung Pujud dalam 
keadaan seimbang. Sadar bertemu dengan tand-
ing, masing-masing bertindak lebih hati-hati. Ma-
ka setelah sesak dadanya hilang, Julung Pujud 
sudah menerjang maju lagi dengan pukulan dan 
cengkeram. 
Memang bukan sembarang pukulan, kare-
na pukulan ini mengandung racun, yang disebut 
ilmu pukulan Wisa Dahana atau Aji Wisa Dahana. 
Baik sambaran angin maupun akibat dari puku-
lan ini akan menyebabkan lawan keracunan dan 
panas seperti terbakar. 
Sesungguhnya memang Aji Wisa Dahana 
yang amat beracun itu, yang selalu dibanggakan 
dan mengangkat namanya di tempat cukup tinggi 
sebagai tokoh sakti. Disamping itu sekarang ini 
Julung Pujud ingin pula agar dapat mengalahkan 
Mpu Kepakisan dalam waktu singkat. Dan ia sa-
dar pula, apabila berhasil merobohkan kakek ini, 
ia masih harus berhadapan dengan para prajurit 
yang banyak jumlahnya dan tidak gampang men-
gatasi. 
Disamping semua ini iapun sadar sekarang 
ini Warigagung hadir. Ia sudah amat kenal watak 
Warigagung yang setia dan patuh kepada guru. 
Kalau melihat dirinya dikeroyok orang atau roboh 
di tangan Mpu Kepakisan, bocah itu takkan dapat 
dicegah lagi, tentu mengamuk. Dan jika sampai 
terjadi demikian, keselamatan murid tunggalnya 
itu terancam. 
Pertimbangan-pertimbangan ini menye-
babkan Julung Pujud langsung menggunakan Aji 
Wisa Dahana yang beracun itu, menghadapi Mpu 
Kepakisan. Maksud yang terutama agar dapat 
mengalahkan lawan dalam waktu singkat. Tetapi 
sungguh sayang, yang ia hadapi sekarang ini seo-
rang tokoh sakti sahabat Gajah Mada yang sakti. 
Maka perkelahian secara ksatrya sekarang ini 
berlangsung cepat dan sengit, 
Saking cepatnya dua kakek ini bergerak, 
menyebabkan pandang mata mereka menjadi ka-
bur dan kepala mereka menjadi pening. Jangan 
lagi para prajurit itu sanggup mengikuti apa yang 
terjadi. Malah Rangga Premana yang telah cukup 
tinggi ilmu kesaktiaannya, masih tidak sanggup 
untuk mengikuti perkelahian sengit itu. 
Tanpa terasa matahari sudah bersinar. Se-
bagian dari pasukan itu, saking lelah dan men-
gantuk, telah tertidur di tempat dalam sikap du-
duk atau berdiri bersandar pada batang pohon. 
Para tawanan wanita dan anak-anak pun, 
yang semula pada menangis, mendapat kesempa-
tan melepaskan lelah dan tidur di tanah dan re-
rumputan. 
Hanya Rangga Premana dan beberapa per-
wira prajurit Majapahit saja yang masih kuasa 
bertahan, sekalipun terasa amat lelah dan men-
gantuk. 
Perkelahian antara Julung Pujud dengan 
Mpu Kepakisan telah berlangsung hampir seten-
gah hari. Tetapi ternyata dua orang itu masih te-
tap tangguh. 
Diam-diam Julung Pujud heran sekali me-
lihat kegagahan Mpu Kepakisan. Pukulan-
pukulannya yang mengandung racun hebat, teta-
pi seperti tidak berdaya terhadap kakek itu. Dan 
herannya pula mengapa tenaga lawan tidak juga 
berkurang dan serangannya tetap hebat dan ber-
bahaya. 
Kenyataan yang tidak terduga ini menye-
babkan Julung Pujud harus berpikir dan berpikir 
lagi. Munculnya matahari bumi, bagaimanapun 
akan memberikan keuntungan pihak lawan dan 
dirinya rugi. Apabila secara pengecut Mpu Kepa-
kisan memerintahkan para prajurit itu menge-
royok. Walaupun dirinya dapat membunuh pulu-
han orang, tidak urung keselamatannya sendiri 
sulit ia pertahankan. 
Sing.....sing.....wir.....wir...... 
Beberapa sinar hitam tiba-tiba saja me-
nyambar dari tangan kiri Julung Pujud ke arah 
Mpu Kepakisan. Sambaran sinar hitam ini menge-
jutkan kakek itu. Karena itu ia cepat melenting 
tinggi di udara sambil mengebutkan telapak tan-
gan kiri dan kanan secara bergantian. Angin yang 
dahsyat menyambar ke bawah hingga sinar hitam 
itu semuanya telah runtuh ke tanah. 
-  Kurang ajar! Lambat sedikit, nyawaku 
tentu melayang!- desisnya setelah berdiri di bumi, 
sambil memandang Julung Pujud yang berlarian 
seperti terbang, meninggalkan tempat perkela-
hian. 

-  Apakah sebabnya tidak Kakek kejar?- 
tanya Rangga Premana sambil menghampiri Mpu 
Kepakisan. 
- Hemm, tak ada gunanya!- sahut Mpu Ke-
pakisan sambil menghela napas lega. 
Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tubuhnya 
limbung, terhuyung dan kemudian jatuh terdu-
duk. Dan kakek ini kemudian bersila di tanah 
sambil memejamkan mata. 
-  Kakek.....kau.....kau  terluka!-  tanya pe-
muda ini dengan gugup dan kaget. 
Mpu Kepakisan tidak menyahut. Orang tua 
ini hanya mengangkat tangan kirinya, memberi 
isyarat agar pemuda itu tidak mengganggu dirinya 
lagi. Melihat isyarat itu Rangga Premana segera 
mundur dan tidak berani mengganggu lagi. 
Tak lama kemudian Mpu Kepakisan sudah 
membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Ketika 
melihat Rangga Premana masih berdiri tidak jauh 
dari tempatnya duduk dan masih memegang pe-
dang terhunus. 
Mpu Kepakisan tersenyum, katanya halus. 
- Sarungkan pedangmu! Bahaya sudah le-
wat!- 
-  Apakah Kakek terluka?-  tanya Rangga 
Premana sambil menyarungkan pedangnya. 
- Hemm, tidak!- sahut kakek ini sambil ter-
senyum. - Akan tetapi pengaruh dari pukulan Ju-
lung Pujud yang beracun itu amat berbahaya. Ji-
ka tidak dapat kuusir, akan dapat menimbulkan 
bahaya bagi diriku.- 
Rangga Premana terbelalak. Kemudian ia 
bertanya. 
- Apakah yang Kakek maksudkan pukulan 
beracun itu?- 
-  Hemm, Julung Pujud mempunyai nama 
harum sejak puluhan tahun lalu, karena memiliki 
ilmu pukulan beracun dan berbahaya bagi lawan. 
Apabila lawan telah menghirup cukup banyak 
hawa beracun dari sambaran pukulannya, orang 
itu bisa tewas. – 
Rangga Premana mengangguk-anggukkan 
kepala dan diam-diam bergidik. Betapa ba-
hayanya pukulan yang mengandung racun itu. 
-  Begitu jarum beracun yang digunakan 
sebagai senjata rahasia itu, siapapun yang terluka 
oleh jarum itu, sulit ditolong lagi jiwanya.-  Mpu 
Kepakisan menambahkan. - Hemm, aku tidak da-
pat membayangkan apa yang akan terjadi kalau 
saja dia tadi menghamburkan jarumnya yang be-
racun itu ke arah prajurit. – 
Rangga Premana menghela napas pendek. 
Ia mengerti ucapan Mpu Kepakisan. Memang sulit 
sekali ia duga, bagaimanakah akibat dari jarum 
yang beracun itu, kalau dipergunakan menyerang 
para prajurit. Tentu akan segera jatuh korban pu-
luhan orang. Sekalipun demikian ia merasa lega 
pula bahwa Julung Pujud sudah melarikan diri, 
sebelum menimbulkan korban. 
-  Hem, aku tahu maksud Julung Pujud 
menghadang rombongan kita ini,-  ujar Mpu Ke-
pakisan lagi. - Aku hanya mengerti amat sedikit, 
bahwa Julung Pujud menyinggung nama ayahmu. 
Persoalan apakah yang menyebabkan Julung Pu-
jud membenci ayahmu?- 
- Kalau Ayah banyak dimusuhi orang me-
mang tidak mengherankan.-  Rangga Premana 
menyahut.  -  Bukankah tidak sedikit orang yang 
menjadi iri akan kedudukan Ayah yang terlalu 
tinggi di Majapahit? Kakek, semua orang tahu 
bahwa Ayah bukan keturunan bangsawan. Seja-
rah yang belum lama berlalu telah mencatat, ten-
tang terjadinya pemberontakan Dharmaputra. 
Pada waktu itu kedudukan Ayah baru sebagai 
Bekel Bhayangkara. Jelas bahwa di antara ketu-
runan bangsawan Majapahit selalu dilanda perpe-
cahan, akibat saling berebut kedudukan. – 
Rangga Premana berhenti dan sejenak ke-
mudian lanjutnya. 
- Dan kiranya Kakek tidak akan menutup 
mata, sikap Ayah yang demikian keras dalam me-
nunaikan tugas. Tidak peduli siapapun apabila 
salah harus memperoleh hukuman setimpal. Ten-
tu saja sikap Ayah yang keras dalam usaha mem-
bawa Majapahit ke puncak kejayaan ini, menim-
bulkan rasa tidak senang di hati mereka yang 
memang sudah iri hati. Kakek, agaknya peristiwa 
ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Bu-
kanlah peristiwa pribadi antara Ayah dengan 
orang bernama Julung Pujud itu.- 
Mpu Kepakisan mengangguk-anggukkan 
kepalanya. Katanya. - Ya! Orang besar yang jujur 
dan bijaksana serta mengabdikan diri secara jujur 
untuk kepentingan masyarakat dan negara, bi-
asanya malah banyak orang memusuhi. Hal itu 
tidak lain, terdorong rasa dengki dan iri hati. 
Keinginan untuk memperoleh kedudukan setinggi 
itu dengan memfitnah apabila memang perlu.- 
Mpu Kepakisan menebarkan pandang ma-
tanya ke arah pasukan dan ia melihat sebagian 
besar dari mereka tertidur di tempatnya. Melihat 
ini ia menghela napas dan terharu. Ia mengerti 
dan sadar, mereka kepayahan. Maka ia biarkan 
pasukan ini untuk sementara istirahat. 
-  Rangga,-  katanya lagi. -  Perintahkan ke-
pada semua perwira, pasukan kita perlu istirahat 
di tempat ini juga guna melepaskan lelah.- 
Rangga Premana melaksanakan pula perin-
tah panglima ini. Dan ternyata kebijaksanaan 
Mpu Kepakisan ini disambut oleh seluruh pasu-
kan dengan sorak sorai gembira. Mereka yang ti-
dak bertugas jaga segera berebut untuk tidur 
maupun mengaso, memilih tempat di bawah po-
hon rindang maupun tempat yang rumputnya 
tebal. 
Julung Pujud yang penasaran berlarian ce-
pat seperti terbang. 
-  Guru! Guru!-  Warigagung berteriak me-
manggil, kemudian bersama Sarwiyah memburu. 
Tetapi Julung Pujud tidak segera menghen-
tikan larinya, tetapi mengurangi, hingga dua 
orang muda ini dapat mengejar. Kemudian tiga 
orang ini berlarian terus tanpa membuka mulut. 
Warigagung mengerti, gurunya sedang gelisah, 
karena usahanya mengalahkan Mpu Kepakisan 
tidak berhasil. Sebaliknya Sarwiyah berdiam diri 
karena memang takut bicara. 
Setelah cukup jauh berlarian dan kemu-
dian masuk ke dalam hutan barulah Julung Pu-
jud mau berhenti, dan kemudian kakek kerdil ini 
membantingkan pantatnya di atas sebuah batu. 
- Hemm,- Julung Pujud menghela napas.- 
Ternyata Mpu Kepakisan memang cukup atos!- 
-  Ohhh .....jadi dia itu tadi yang bernama 
Mpu Kepakisan?-  Warigagung menatap gurunya 
dan keheranan.  
Pemuda ini sudah cukup kenal sampai di 
manakah kesaktian gurunya dan banyak kali pu-
la menyaksikan, setiap berkelahi kebanyakan la-
wanlah yang akan roboh tak bernyawa atau ber-
tekuk lutut. Tetapi apakah sebabnya kali ini gu-
runya malah melarikan diri? 
- Apakah Paman kalah?- Sarwiyah membe-
ranikan diri bertanya sambil memandang kakek 
itu. 
-Apa? Kalah?! Siapakah yang kalah?!- ben-
tak Julung Pujud sambil mendelik kurang se-
nang. 
Sarwiyah yang halus perasaannya menjadi 
ketakutan lalu menundukkan kepalanya. Melihat 
ini Warigagung menjadi iba, kemudian berkata. 
-  Guru! Kalau Guru tidak kalah, apakah 
sebabnya lari?- 
- Huh! Siapakah yang lari?- bentak Julung 
Pujud. - Aku tidak lari dan juga tidak kalah. Ta-
hu? Aku memang menghentikan perkelahian itu, 
sebelum salah seorang roboh mampus!- 
- Apakah sebabnya?- 
- Hemm, mengapa sebabnya engkau seka-
rang tambah tolol? Huh, kalau saja siang tadi ti-
dak segera datang, aku akan masih terus berke-
lahi. Huh! Kau harus tahu Mpu Kepakisan tidak 
sendirian. Engkau harus pandai mengenal gela-
gat, sebab prajurit itu bisa dia perintahkan men-
gurung dan mengeroyok aku. Dan mungkin bisa 
pula mereka perintahkan agar menghujani den-
gan anak panah. Apakah itu tidak berbahaya? 
Itulah sebabnya aku tadi lebih baik lari, semua 
itu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak aku 
harapkan.- 
- Ahhhh.....- tiba-tiba saja Sarwiyah menge-
luh. 
- Kau ada apa?- tanya kakek kerdil ini. 
- Tidak apa-apa, paman - sahut Sarwiyah 
sekenanya. 
Tetapi sebenarnya, timbul rasa kecewa da-
lam hati gadis ini. Apabila baru berhadapan den-
gan pembantu Gajah Mada saja sudah tidak 
mampu mengalahkannya, manakah mungkin ka-
kek ini mampu menghadapi Gajah Mada? Dan 
manakah mungkin sakit hati keluarganya dapat 
terbalas? 
Melihat perubahan wajah gadis ini, tiba-
tiba saja Julung Pujud terkekeh. Katanya kemu-
dian. 
-  Hemm, Wiyah! Engkau jangan menjadi 
khawatir dan salah sangka. Apa yang sudah ter-
jadi tadi bukannya aku kalah. Akan tetapi aku 
menggunakan otakku untuk berpikir, agar tidak 
sampai mati konyol. Siapakah yang akan mende-
rita rugi? Tidak urung engkau sendiri. Karena itu 
sekarang, mari sebaiknya kita pulang dahulu. 
Engkau dan Gagung harus segera kawin. Di sana, 
engkau akan aku didik, aku gembleng agar eng-
kau menjadi wanita perkasa. Dan yang kelak ke-
mudian hari akan berguna dalam membalas sakit 
hati keluargamu,  sebab engkau maupun suami-
mu akan menjadi pembantuku yang bisa aku per-
caya,- 
Sarwiyah menjadi sedih mendengar ajakan 
ini dan untuk segera kawin dengan Warigagung. 
Tiba-tiba saja terbayanglah kembali dalam be-
naknya, pemuda tampan Mahisa Singkir. Pemuda 
yang  amat ia cintai itu sekarang bagaimanakah 
nasibnya? Sekalipun pemuda itu belum pernah 
mengucapkan janji setianya, namun ia sudah me-
rasa pasti bahwa pemuda itu mencintai dirinya. 
Kalau mendengar dirinya sudah kawin dengan 
Warigagung, apakah pemuda itu tidak merana? 
Akan tetapi sebaliknya tidak mungkin ia 
dapat menolak kehendak Julung Pujud ini. Ia su-
dah kalah janji dan hal itu justru sudah mempe-
roleh restu kakeknya. Untung juga Sarwiyah se-
gera memperoleh alasan, katanya. 
-Paman, memang sudah seharusnya aku 
dan Kakang Warigagung segera kawin. Tapi.....- 
-  Tetapi apa? Apakah engkau mau berk-
hianat?-Julung Pujud mendelik. 
- Paman .....ohh..... dengarlah dahulu ...... - 
kata gadis ini. -  Yang aku maksudkan, apakah 
pada saat aku kawin, Mbakyu Sarindah tidak per-
lu hadir?- 
- Ohh, heh heh heh heh, tentu. Kakakmu 
perempuan itu memang harus hadir, sekalipun 
mbakyumu malah belum kawin. Ahh, aku malah 
mempunyai pikiran baru.- 
- Pikiran baru tentang apa, Guru?- Wariga-
gung heran.    
- Betapa baiknya apabila Sarwiyah dan Sa-
rindah dapat rukun dan bersatupadu. Dengan 
begitu pembantuku untuk membalaskan sakit ha-
ti keluargamu kepada Gajah Mada, bukan hanya 
dua orang, tetapi malah tiga orang.-  
-Tentu saja Paman. Selamanya aku dengan 
Mbakyu selalu rukun dan bersatupadu. Aku dan 
Mbakyu Sarindah bisa disebut satu hati.- 
- Betul, heh heh heh heh. Kalau benar be-
gitu, engkau dan mbakyumu. harus bersedia 
membuktikan. Maka sebaiknya engkau maupun 
mbakyumu kawin saja dengan Gagung.- 
- Ahhh.....!- Warigagung dan Sarwiyah ber-
seru tertahan hampir berbareng saking kaget. 
- Tidak Guru!- bantah Warigagung. - Murid 
cukup seorang isteri saja.- 
- Goblok kau Gagung! Mempunyai isteri le-
bih seorang justru lebih enak, heh heh heh heh.- 
Julung Pujud terkekeh. Agaknya kakek ini 
menjadi senang sekali mendapat pikiran seperti 
itu. 
Sebaliknya Sarwiyah menjadi pucat wajah-
nya. Gadis ini sama sekali tidak menduga apabila 
Julung Pujud mempunyai maksud seperti ini. 
-  Tidak Guru, tidak! Kasihan Adik Sar-
wiyah!- bantah pemuda ini. 
-  Apakah sebabnya kasihan?! Kalau me-
mang Sarwiyah dan Sarindah suka, tentu saja le-
bih baik heh heh heh heh. Dengan demikian aku 
akan lebih mantap lagi dalam usahaku untuk 
membalaskan sakit hati Si Tangan Iblis.- 
Julung Pujud memandang Sarwiyah. Ke-
mudian ia bertanya. 
-  Hai Sarwiyah! Bagaimanakah pendapat-
mu? Apakah engkau tidak setuju dimadu dengan 
mbakyumu sendiri ?- 
-  Hal itu terserah kepada Paman dan 
Mbakyu Sarindah. Apabila Mbakyu Sarindah se-
tuju, manakah aku dapat menolak? Karena itu, 
sebaiknya Paman bicara langsung dengan 
Mbakyu.- 
Jawaban  Sarwiyah ini mempunyai alasan 
yang cukup kuat. Ia kenal baik akan watak mba-
kyunya yang keras hati. Ia yakin mbakyunya tak 
mungkin setuju dengan maksud kakek ini. Dis-
amping itu, ia juga yakin, mbakyunya yang cantik 
jelita itu, manakah sudi menjadi isteri Wariga-
gung? Sedangkan dirinya sendiripun, apabila ti-
dak kalah janji dengan kakeknya, lebih suka me-
milih Mahisa Singkir.  
-  Heh heh heh heh ha ha ha ha, bagus!- 
Julung Pujud gembira sekali mendengar jawaban 
ini.  -  Aku sendiri yang akan bicara dengan dia. 
Marilah sekarang kita pergi ke Tosari.- 
- Guru.....- 
-  Ada apa lagi? Huh, laki-laki seperti kau 
ini, laki-laki apa? – 
-  Guru, murid kasihan kepada Adik Sar-
wiyah apabila aku harus mempunyai dua isteri.- 
- Apakah alasanmu?- Julung Pujud mende-
lik. 
- Guru! Murid mempunyai pendapat begini. 
Adalah tidak adil apabila seorang laki-laki beriste-
ri dua orang.-  
-  Apakah sebabnya tidak adil? Laki-laki 
punya dua atau tiga isteri sudah jamak. Tetapi 
sebaliknya, tidak lumrah apabila seorang perem-
puan mempunyai dua atau tiga orang suami. Heh 
heh heh heh.- 
- Guru! Murid mempunyai pendapat tidak 
adil, karena cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Pa-
dahal kalau murid mempunyai dua isteri, bagai-
manakah mungkin murid dapat membagi cinta 
itu? Apakah ini adil? Kalau isteri memberikan cin-
tanya kepada suami secara utuh, tidak dibagi-
bagi, mengapa suami harus membagi-bagi cinta? 
– 
- Sudah, sudah! Aku tidak mau berbanta-
han. Kawin dengan dua perempuan sekaligus, 
dan ka-kak-adik pula.-  
Warigagung tidak berani membuka mulut 
lagi, sekalipun hati tidak setuju. Pemuda ini su-
dah kenal watak gurunya yang tidak dapat ia 
bantah kehendaknya. Ia melirik ke arah Sar-
wiyah. Dan ia melihat wajah gadis ini menjadi pu-
cat dan tampak kecewa sekali. Namun demikian 
ia tidak berani berkata apa-apa, dan hanya me-
nundukkan kepalanya 
- Hayo, sekarang kita berangkat ke Tosari!- 
ajak Julung Pujud mantap. 
Perintah ini tidak mungkin dapat mereka 
bantah pula. Warigagung dan Sarwiyah segera 
pula bangkit, mengikuti langkah Julung Pujud. 
Untuk singkatnya cerita, mereka sudah ti-
ba di Tosari. Akan tetapi betapa kecewa tiga orang 
ini ketika tidak dapat ketemu dengan Sarindah. 
Rumah Si Tangan Iblis sudah kosong. Malah su-
dah banyak yang rusak dan halaman yang semu-
la bersih itu sekarang sudah ditumbuhi rumput 
liar. Diam-diam Sarwiyah sedih melihat rumah ini 
yang sekarang kosong dan rusak. 
Tentu saja mereka tidak dapat menemukan 
Sarindah, yang sekarang jiwanya sudah tergang-
gu. Sebabnya tidak lain karena selalu menggeng-
gam laki-laki tampan yang sudah menjadi sua-
minya, bernama Dewa Asmara. Entah ke mana 
sekarang Sarindah pergi, dan entah pula di mana 
dia berada. 
Tetapi yang jelas Sarindah seorang gadis 
yang keras hati dan bernasib malang. (Baca: 
RAHASIA DEWA ASMARA, oleh pengarang dan 
penerbit yang sama. Anda akan dapat menjenguk 
gadis malang bernama Sarindah ini, dan tahu pu-
la sebabnya Sarindah sampai mendapat gangguan 
jiwa). 
Gajah Mada disamping berkedudukan se-
bagai Mahapatih (Patih Mangkubumi) Majapahit, 
juga merangkap kedudukan Rajajaksa. Dialah 
yang mengawasi pelaksanaan Undang-Undang 
Raja. Sedangkan sebagai Aspada, Gajah Mada ha-
rus menyusun suatu rencana penuntutan leng-
kap dalam soal-soal sengketa yang penting. Jadi 
Patih Mangkubumi Majapahit yang bernama Ga-
jah Mada ini tidak saja menjalankan aturan Un-
dang-Undang Negara, tetapi juga menjaga supaya 
aturan itu berjalan dengan baik. Dan kalau perlu 
menuntut segala pelanggaran yang terjadi. 
Gajah Mada seorang yang berpengalaman 
luas dalam urusan negara. Ia memperoleh penga-
ruh luas bukan karena keturunan bangsawan, 
bukan karena keturunan ksatriya, akan tetapi 
oleh kecakapan dan keberaniannya. 
Selama mengabdikan diri di Majapahit, ia 
memulai dari kedudukan yang paling bawah dan 
berkat ketekunannya dapat mencapai puncak ke-
kuasaannya, sebagai Mahapatih Majapahit. Mula-
mula Gajah Mada mengabdikan diri di Majapahit 
sebagai pesuruh. Kemudian ia menjadi prajurit 
Bhayangkara. Kemudian naik tingkat menjadi 
Bekel Jayanegara ia diangkat menjadi Patih Dha-
ha. 
Akan tetapi semua itu tidak mungkin bisa 
terjadi, apabila Gajah Mada tidak memiliki kese-
tiaan dan semangat pengabdiannya yang diberi-
kan kepada Majapahit. Jadi, kedudukan Gajah 
Mada yang mencapai puncak tertinggi itu bukan-
lah datang dengan sendirinya, tetapi oleh jerih 
payahnya sendiri. 
Namun sudah lumrah yang terjadi di dunia 
ini, kemudian timbul perasaan orang yang menja-
di iri hati dan dengki, jika melihat orang lain 
mencapai puncak kejayaan. Lebih pula Gajah 
Mada bukan keturunan bangsawan Majapahit. 
Maka sering kali pula Gajah Mada menghadapi 
ancaman bahaya, baik yang terang-terangan 
maupun gelap-gelapan. Ia mempunyai banyak 
musuh gelap sekalipun ia tidak sadar dimusuhi 
orang. 
Sekalipun demikian berkat kebijaksanaan-
nya, berkat kewaspadaannya, semua usaha orang 
yang akan berbuat jahat selalu dapat digagalkan, 
baik oleh Gajah Mada sendiri maupun oleh pem-
bantu-pembantunya yang setia. 
Disamping itu berkat kecakapan dan kese-
tiaan pembantu-pembantunya ini, maka sekali-
pun yang berkuasa di Majapahit seorang raja wa-
kil, Tribhuwanattunggadewi Jayawishnu-
warddhani, Gajah Mada dapat mengendalikan 
keamanan Majapahit dengan baik. 
Dan pagi ini dengan wajah berseri-seri, Ga-
jah Mada menerima kedatangan Mpu Kepakisan 
di rumah tempat tinggalnya. Hadir pula Laksa-
mana Nala, Rangga Premana dan Adityawarman. 
-  Terima kasih atas bantuanmu, Paman 
Mpu Kepakisan. Ahh, kalau saja engkau tidak ce-
pat memberi laporan dan cepat bertindak pula, 
mungkin sisa-sisa pemberontak Sadeng itu akan 
bisa menjadi bibit penyakit yang membahayakan 
Majapahit!-  Demikianlah ucapan Gajah Mada 
dengan halus, setelah mendengar laporan Mpu 
Kepakisan, sisa-sisa  pemberontakan Sadeng su-
dah berhasil ditumpas. 
Akan tetapi Mpu Kepakisan adalah seorang 
pendeta yang tentu saja selalu jujur, dijauhkan 
dari hal-hal yang dusta dan kurang patut. Sahut-
nya kemudian. 
- Bukan saya yang berjasa dalam masalah 
ini.- 
- Ahh, kalau bukan, lalu siapakah?- Gajah 
Mada kaget, demikian pula Nala maupun Aditya-
warman. 
-  Apabila tidak ada petunjuk dari Mpu 
Anusa Dwipa manakah mungkin saya bisa tahu?- 
- Ahhh..... Mpu Anusa Dwipa?- 
- Benar, Ayah,- Rangga Premana ikut ber-
bicara.  -  Memang atas petunjuk orang tua itu, 
Kakek Kepakisan tahu tentang sisa pemberontak 
Sadeng. Disamping itu tanpa adanya petunjuk pe-
ta dari Mpu Anusa Dwipa pula, kiranya sulit kita 
menerobos masuk ke lembah yang penuh jebakan 
dan jalan rahasia itu.- 
- Ahh, menarik sekali! Ceritakanlah Rang-
ga, aku ingin sekali mendengar situasi lembah 
itu!- ujar Adityawarman. 
-  Ceritakanlah yang jelas, Rangga,-  pinta 
Mpu Kepakisan pula sambil mengeluarkan peta 
pemberian Mpu Anusa Dwipa. 
Tiga orang pimpinan Majapahit itu menjadi 
amat tertarik kepada peta yang dibentangkan di 
atas meja. Adapun Rangga Premana segera mene-
rangkan segala sesuatunya dengan perlahan teta-
pi jelas sekali. 
-  Bukan main!-  Mpu Nala menggeleng-
gelengkan kepalanya, kagum sekali. Demikian pu-
la Gajah Mada maupun Adityawarman. 
Mereka menjadi kagum atas kepandaian 
Mpu Galuh yang memilih lembah itu dan dia 
lengkapi dengan jebakan-jebakan pintu rahasia di 
bawah tanah. Demikian rapi dan tentu penggara-
pannya membutuhkan waktu yang lama dan te-
naga yang banyak jumlahnya pula. Sebab, mem-
buat lorong di bawah tanah jauh lebih sulit di-
banding membuat jalan di atas tanah 
-  Benar-benar hebat dan cerdik,-  puji Ga-
jah Mada. - Tetapi aku justru lebih tertarik kehe-
batan dan kecerdikan Mpu Anusa Dwipa. Lalu da-
ri manakah orang tua itu memperoleh pengeta-
huan keadaan lembah itu, kemudian bisa dia tu-
angkan dalam peta yang jelas dan terperinci se-
perti itu? Bukan saja pengetahuannya tentang je-
bakan, tetapi juga tahu semua pintu rahasia. – 
Untuk beberapa jenak lamanya mereka ti-
dak ada yang membuka mulut. Pertanyaan Gajah 
mada ini memang tidak mudah dijawab, kecuali 
oleh yang berkepentingan sendiri, ialah Mpu Anu-
sa Dwipa.  
-  Entahlah, saya sendiri tidak tahu dari 
mana Mpu Anusa Dwipa memperoleh peta ini. 
Saya bertemu dengan dia di pinggang Gunung Ke-
lud dan bertemu tidak sengaja!- jawab Mpu Kepa-
kisan. - Ohh, ya, dan secara tidak sengaja pula, 
aku bertemu dengan gadis jelita murid Ki ageng 
Tunjung Biru.....- 
- Ahhhh .....!- Mpu Nala kaget. - Katakan-
lah, di mana bocah itu sekarang?- 
Mpu Kepakisan dan Rangga Premana he-
ran mendengar pertanyaan Mpu Nala yang begitu 
besar perhatiannya kepada bocah perempuan itu. 
-  Lekas katakanlah, di mana bocah itu? 
Dan apakah dia membawa pedang pusaka ber-
nama Tunggul Wulung?- desak Nala. 
-  Ahh, benar! Mengapa Bendara tahu?- 
Mpu Kepakisan heran. 
Sebenarnya Gajah Mada sendiri kaget, te-
tapi juga gembira mendengar pemberitahuan itu. 
Sebab, Gajah Mada segera dapat menduga, tentu 
bocah itu Dewi Sritanjung, putri Mpu Nala yang 
sudah lama mereka cari. 
- Paman Kepakisan!- ujar Gajah Mada ha-
lus. - Agar engkau tidak menjadi bingung meng-
hadapi pertanyaan Adimas Nala, maka sedikitnya 
dengarlah dahulu ceritaku.- 
Tetapi sebelum memulai ceritanya, Gajah 
Mada menatap Nala dan bertanya. 
- Adimas Nala, sekarang ini yang hadir ha-
nyalah terbatas dan bisa  aku katakan keluarga 
sendiri. Bolehkah aku menceritakan hal-ihwal bo-
cah itu?- 
- Silakan!- sahut Nala. - Aku percaya Bapa 
Pendeta akan bersedia merahasiakan peristiwa 
ini.- 
- Ahhh ada apakah?- Mpu Kepakisan kehe-
ranan. 
Rangga Premana tidak membuka mulut. Ia 
memandang mereka yang hadir bergantian den-
gan pandang mata bertanya-tanya. Adapun Adi-
tyawarman yang sudah mengetahui perihal ini, 
hanya berdiam diri. 
Gajah Mada segera menceritakan tentang 
peristiwa yang sudah belasan tahun berlalu. Keti-
ka secara tidak sengaja, Mpu Nala kawin dengan 
salah seorang puteri Ra  Kuti, seorang anggota 
Dharma putra yang memberontak dan telah ter-
bunuh mati. Peristiwa itu memang tidak terduga 
sama sekali, sebab Mpu Nala mengira, isterinya 
seorang gadis desa. 
Dari perkawinan ini hamillah si isteri dan 
Mpu Nala gembira sekali. Kemudian pada suatu 
ketika inginlah Mpu Nala memboyong isteri ini ke 
Kota Majapahit dan maksudnya ini pun mendapat 
persetujuan isterinya. 
Namun sebelum ketentuan waktu boyong 
ini mereka laksanakan, tiba-tiba Mpu Nala tahu, 
isterinya itu sebenarnya puteri Ra Kuti. Pemberi-
tahuan dari ibu angkat isterinya ini mengejutkan 
Mpu Nala, sehingga pada malam harinya Mpu Na-
la pergi ke Majapahit tanpa pengetahuan siapa-
pun. Masalahnya, Mpu Nala merasa kecewa seka-
li, sudah kawin dengan gadis anak pemberontak. 
Akibat penderitaan yang berat, maka ke-
mudian isteri setia ini meninggal dunia pada saat 
melahirkan anaknya. Bayi yang lahir itu kemu-
dian dibuang ke sungai oleh para tetangga, yang 
akhirnya dirawat oleh Ki ageng Tunjung Biru. Da-
lam asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, anak ter-
sebut diberi nama Dewi Sritanjung, dan menjadi 
seorang gadis jelita dan berilmu tinggi. (Baca: Bu-
ku berjudul JASA SUSU HARIMAU, oleh penga-
rang dan penerbit yang sama). 
Pada saat Sritanjung mendapat pendidikan 
dan asuhan Ki ageng Tunjung Biru ini, Mpu Nala 
sudah cukup lama berusaha mencari anaknya 
yang hilang itu, namun belum pernah terkabul 
harapannya. Baru kemudian harapannya ini bisa 
terkabul dan diketahui Dewi Sritanjung adalah 
puterinya yang hilang, setelah bocah ini oleh Ki 
ageng Tunjung Biru disuruh pergi ke Kota Maja-
pahit, dan kemudian diboyong ke rumah Mpu Na-
la. (Agar para Pembaca yang budiman bisa men-
getahui lebih jelas peristiwa ini, bacalah buku : 
MENCARI AYAH KANDUNG). 
Akan tetapi pada malam harinya kemudian 
bocah ini melarikan diri dari rumah tanpa pamit, 
seperti telah kita ceritakan di dalam buku berju-
dul: TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA. 
Mendengar penuturan ini Mpu Kepakisan 
menggeleng-gelengkan kepalanya. Apabila ia tahu 
sebelumnya, tentu ia berusaha  mengajak bocah 
itu pergi bersama ke Majapahit. 
-  Ahhh.....kalau saja aku tahu, tentu dia 
sudah kuajak kemari, - ujar Mpu Kepakisan ber-
nada menyesal. - Sayang sekali, hemm, aku tidak 
tahu lagi di manakah sekarang bocah itu.- 
-  Pergi ke manakah dia?-  desak  Nala dan 
hatinya tegang. 
- Maafkanlah saya, Bendara, sungguh aku 
tidak tahu ke mana dia, sebab terjadi peristiwa 
yang kemudian menyusul.- 
- Peristiwa apakah?- 
Mpu Kepakisan kemudian menceritakan 
tentang terjadinya peristiwa menyusul, terbu-
kanya sebuah lubang pintu jebakan, dan semen-
jak itu dia lenyap.- 
Kiranya para Pembaca yang budiman akan 
lebih asyik apabila berkenan membaca pula buku 
berjudul: TERKURUNG DI PERUT GUNUNG, oleh 
pengarang dan penerbit yang sama. 
- Aduhhh.....anakku.....anakku ..... engkau 
mati masuk perangkap? Aduhh.....aku lah yang 
berdosa.....- 
Mpu Nala menutupi mukanya dengan dua 
telapak tangan dan Adityawarman cepat menghi-
bur. 
-  Belum tentu dia celaka, kenapa engkau 
sudah menjadi khawatir? Sudahlah, sebaiknya 
persoalan anakmu ini serahkan saja atas kehen-
dak dan perlindungan Dewata Agung (Tuhan).- 
-  Saya juga tidak yakin apabila celaka!- 
Rangga Premana ikut pula menghibur, tetapi juga 
amat terharu. - Lebih-lebih lagi, Mpu Anusa Dwi-
pa sudah menyanggupkan diri untuk menca-
rinya.- 
- Ahhh.....tetapi dia anak yang malang. Dia 
kasihan sekali karena tidak sempat mengenal 
ibunya sendiri.....- ujar Mpu Nala penuh rasa ses-
al. 
-  Paman Kepakisan,-  kata Gajah Mada. - 
Aku mohon pertolonganmu. Sudilah Paman me-
nugaskan beberapa orang cucumu (muridmu) 
ikut serta mencari bocah itu. Cirinya mudah se-
kali. Apabila ada seorang gadis memiliki pedang 
pusaka yang bersinar biru, jelas pedang itu pe-
dang pusaka Tunggul Wulung dan itu pula dia. 
Maka bujuklah agar bocah itu suka datang ke Ko-
ta Majapahit dan bawalah kemari.- 
- Baiklah! Akan saya usahakan.- 
Untuk beberapa saat lamanya keadaan 
hening, tidak seorangpun membuka mulut. Agak-
nya mereka seperti terpengaruh oleh kekhawati-
ran Mpu Nala. 
Guna mengalihkan suasana yang kurang 
menyenangkan ini kemudian Gajah Mada mema-
lingkan mukanya kepada Adityawarman. 
-  Bendara Adityawarman, saya mohon 
khabar tentang Bali. Tidaklah mengherankan 
apabila Gajah Mada menyebut Adityawarman 
dengan sebutan "bendara" sekalipun kedudukan 
Gajah Mada di Majapahit demikian tinggi. Hal ini 
bukan saja oleh kebiasaan lama, semenjak Gajah 
Mada masih berpangkat rendah, memang sudah 
menjadi sahabat Adityawarman. Akan tetapi dis-
amping itu juga pengaruh dari keadaan Gajah 
Mada sendiri yang merasa bukan keturunan Ma-
japahit, dan juga karena ia memang berjiwa seo-
rang pemimpin yang rendah hati. Dan oleh penga-
ruh sikap Gajah Mada terhadap Dharmaputra 
yang demikian menghargai mereka itu, maka se-
baliknya para Dharmaputra Majapahit juga 
menghargai Gajah Mada. 
- Ahhh, apakah tentang Tatagalapura Ger-
hastadara itu?- tanya Adityawarman. 
- Benar.- 
- Sudah saya perintahkan untuk membuat 
dan sudah selesai pula. Ya, mudah-mudahan 
dengan berdirinya pura itu, maka orang-orang 
yang berkuasa di Bali mengerti maksud baik Ma-
japahit.- 
- Benar. Harapan kita memang demikian,- 
Gajah Mada mengangguk-angguk tampak puas. 
Perlu kita ketahui, bahwa semenjak Maja-
pahit berdiri, hubungannya dengan Bali terputus. 
Bali merasa bukan wilayah Majapahit dan Bali 
merasa merdeka di atas rumahnya sendiri. Hal ini 
tentu saja menjadi perhatian penuh bagi Gajah 
Mada yang bercita-cita mempersatukan Nusanta-
ra dan bercita-cita demi kejayaan Majapahit. 
Guna menarik perhatian Bali, bahwa Maja-
pahit ingin menyelenggarakan hubungan baik, 
maka atas prakarsa Gajah Mada, didirikanlah pu-
ra itu, dan bernama Tatagatapura Gerhastadara. 
Mendengar itu Mpu Nala bangkit seman-
gatnya, tergugah jiwa kesatrianya sehingga ia ter-
lupa kepada urusan keluarga. 
-  Tetapi bagaimanakah apabila Bali tetap 
membangkang?- tanyanya sambil menatap Gajah 
Mada dan Aditywarman bergantian. 
- Apabila Bali memang bandel, untuk apa 
tidak kita hancurkan?-  sahut Adityawarman pe-
nuh semangat pula. 
Gajah Mada bersenyum. Diam-diam ia 
bangga sekali terhadap keperwiraan dua orang 
pemimpin ini. Katanya kemudian. 
- Benar! Apabila Bali memang bandel, me-
mang tidak ada jalan lain lagi, kecuali kita guna-
kan kekerasan. Akan tetapi selama masih bisa ki-
ta usahakan dengan jalan damai, bukankah itu 
lebih baik?- 
Ciri-ciri kebesaran Gajah Mada memang 
seperti itu. Dalam mencapai cita-cita mempersa-
tukan seluruh Nusantara, apabila memang bisa 
tercapai akan ia gunakan jalan halus dan damai. 
Akan tetapi sebaliknya apabila jalan damai itu 
sampai gagal, Gajah Mada akan menggunakan 
kekerasan. Menggunakan kekuasaan pasukan 
dan perang. 
- Paman Kepakisan,- kata Gajah Mada ke-
mudian. - Apakah tidak ada hal-hal yang engkau 
sampaikan, sehubungan dengan tugasmu?- 
- Memang ada yang perlu saya sampaikan, 
ialah tentang terjadinya peristiwa yang menarik 
perhatian saya, sehubungan dengan adanya usa-
ha pencegatan pasukan yang dilakukan oleh Ju-
lung Pujud.- 
-  Siapakah Julung Pujud itu,-  Adityawar-
man nampak heran, tetapi juga tertarik. 
-  Bendara, Julung Pujud adalah seorang 
tokoh sakti yang sesat- Gajah Mada menjelaskan. 
-  Telah belasan tahun lamanya, tokoh itu tidak 
pernah muncul. Ahh, menarik sekali, apabila to-
koh itu demikian muncul sudah berani mengha-
dang pasukanmu.- 
- Benar! Memang amat menarik. Akan teta-
pi disamping itu juga membuat saya tak habis pi-
kir. Sebab dari ucapannya jelas sekali, maksud 
penghadangan itu ada hubungannya dengan 
Nakmas Gajah Mada.- 
- Ahhh, ada hubungan dengan diriku? Ten-
tang apa saja?-  Gajah Mada tidak kaget, hanya 
tertarik perhatiannya saja. Karena bagi tokoh ini 
yang sudah terbiasa dimusuhi orang, sudah men-
jadi kebal apabila ada orang yang berusaha me-
musuhinya. 
- Pada saat menghadang pasukan itu.....- 
- Nanti dulu!- sela Mpu Nala. - Berapakah 
jumlah kawan dia yang ikut menghadang?- 
-  Waktu itu saya tidak melihat yang lain, 
kecuali Julung Pujud seorang saja.- 
- Ahhh.....bukan main! Seorang diri berani 
menghadang rombongan pasukan dalam jumlah 
banyak. Sungguh menarik!- 
-  Benar! Memang itulah hebatnya Julung 
Pujud. Dia seorang pemberani. Maka sekalipun 
hanya seorang diri, tidak mengherankan pula 
apabila berani menghadang kami. Akan tetapi 
disamping keberaniannya, dia juga terkenal seba-
gai seorang pengecut, licik, dan penuh tipumusli-
hat.- Gajah Mada berusaha memberi penjelasan. 
Dan Mpu Kepakisan segera menambah pu-
la, - Ya! Watak Julung Pujud memang demikian. 
Hal itu terbukti setelah merasa tidak mampu 
mempertahankan diri saya, dia kemudian melari-
kan diri. Namun demikian sebelum melarikan di-
ri, diapun berusaha membunuh saya dengan ja-
rum beracun yang selalu dia banggakan keampu-
hannya.- 
Mpu Kepakisan berhenti. Sejenak kemu-
dian ia meneruskan. 
-  Tetapi terus terang bila dia tidak segera 
melarikan diri, mungkin saja saya celaka.....- 
- Apakah sebabnya?- Adityawarman kaget. 
Demikian pula yang lain kecuali Rangga Premana 
yang telah tahu. 
-  Karena Julung Pujud mempunyai ilmu 
pukulan yang beracun. Dari sambaran tangannya 
menyebarkan racun yang dapat merobohkan la-
wan. Apabila hanya dalam waktu singkat, kiranya 
saya masih bisa menahan pengaruh dari hawa 
beracun itu. Akan tetapi apabila waktunya cukup 
lama, memang amat berbahaya. Seperti yang su-
dah terjadi dengan diri saya, setelah berkelahi 
hampir setengah hari, begitu dia pergi saya harus 
lekas-lekas mengatur pernapasan....... 
- Apakah sebabnya!- Mpu Nala bertanya. 
- Semua itu guna mengusir pengaruh dari 
pukulan beracun itu.....- 
-  Ahhh, berbahaya juga!-  Adityawarman 
menggumam. 
- Benar! Julung Pujud memang amat ber-
bahaya!- Gajah Mada membenarkan pendapat itu. 
-  Dan saya masih ingat pada peristiwa belasan 
tahun yang lalu, pada waktu Julung Pujud mela-
kukan keganasannya membasmi orang-orang ti-
dak berdosa. Setelah Mpu Anusa Dwipa turun 
tangan, baru Julung Pujud kapok lalu menyem-
bunyikan diri.- 
-  Lalu, apakah maksud Julung Pujud 
menghadang pasukan itu?- tanya Mpu Nala. 
- Seperti yang tadi sudah saya kemukakan, 
katanya untuk memusuhi Nakmas Gajah Mada. 
Tentang apakah alasannya, saya sendiri kurang 
jelas.- 
- Hemm, bagiku takkan kaget apabila ada 
orang yang memusuhi diriku,- ujarnya dengan bi-
bir menyungging senyum. - Tetapi justru banyak 
orang memusuhi diriku ini, menimbulkan gairah 
dan semangatku untuk mencurahkan seluruh 
perhatianku demi kejayaan Majapahit. – 
- Namun persoalan ini tidak cukup kita ab-
aikan demikian saja.- Adityawarman memberikan 
pendapatnya. - Sebab, kedudukan Patih Mangku-
bumi Majapahit merupakan kunci jaya dan han-
curnya Negara Majapahit kita.- 
-Benar! Bendara Warman benar! Menurut 
pendapat saya, Nakmas Gajah Mada harus lebih 

waspada dan hati-hati. Sebab siapa tahu apabila 
ada orang ketiga yang berdiri di belakang Julung 
Pujud? Lebih berbahaya lagi apabila orang ketiga 
itu justru merupakan orang dalam.- Mpu Kepaki-
san mendukung. 
- Pendapat Bapa Pendeta beralasan.- Mpu 
Nala menjadi tertarik. - Siapa tahu apabila masih 
ada satu atau dua orang Dharmaputra yang tidak 
puas?-