Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 2 - Si Tangan Iblis(1)


SI TANGAN IBLIS 
Karya : Widi Widayat 
Cover & Illustrasi: Arie 
Penerbit: MELATI Jakarta 
Cetakan pertama : 1987 
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-
undang 
Penyiaran harus seizin Penulis. 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 
Pagi  itu amat cerah. Matahari 
menyinarkan cahayanya yang gemilang. 
Burung berkicau bernyanyi di atas 
dahan. Demikian gembira seakan burung-
burung itu menyambut datangnya pagi 
dengan penuh harapan baru. Dan jika 
hari ini tidak hujan, jelas mereka 
akan mendapatkan kesempatan mencari 
makan sepanjang hari tanpa rasa takut 
oleh hujan, dan anak yang ditinggalkan 
di sarang juga tidak kehujanan dan 
kedingingan. 
Penduduk desa Tosari menyambut 
datangnya pagi yang cerah inipun 
dengan wajah yang berseri gembira. 
Desa yang letaknya di pinggang Bronio 
ini bangun kembali sesudah semalam 
istirahat. 
Dan seperti pagi hari sebelumnya, 
mereka telah membagi kewajiban ter-
tentu kepada setiap anggota keluarga 
dalam usaha mempertahankan hidup. 
Mereka tidak pernah mengharapkan ter-
lalu banyak, yang penting perut 
kenyang dan sandang tidak robek. 
Tetapi di halaman rumah yang 
terpisah dengan pemukiman penduduk 
itu, terjadilah kesibukan yang kurang 
mendapat perhatian penduduk desa ini. 
Rumah Taruno atau lebih terkenal de-
ngan sebutan Si Tangan Iblis ini 
pekarangannya luas dan dipagar rapat 
dengan batu gunung maupun pagar hidup. 
Di halaman rumah yang luas dan 
terlindung itu, murid-muridnya sedang 
berlatih dan ditilik langsung oleh Si 
Tangan Iblis sendiri. 
Akan tetapi setelah semua murid 
bubar untuk melakukan tugas masing-
masing, maka cucu tertua bernama 
Sarindah menghampiri Si Tangan Iblis 
sambil mendesak. 
Kek, dahulu Kakek bilang, apabila 
aku dan Sarwiyah sudah dewasa, Kakek 
akan segera membeberkan rahasia besar 
yang menyangkut ayah dan ibu. Tetapi 
apakah sebabnya sampai sekarang Kakek 
masih saja pelit? Kakek selalu saja 
berdalih ilmu Sarindah maupun Sarwiyah 
belum cukup tinggi. Hemm, kalau 
demikian, aku menjadi tahu. Bukankah 
ayah bundaku dibunuh mati orang? 
Kakek memang pelit! sambung 
Sarwiyah. Dan melihat gelagatnya, 
dugaan Mbakyu benar. Ayah bunda tentu 
sudah dibunuh orang. Kek, apakah ini 
benar? Kalau benar, lalu siapakah 
pembunuh itu, dan sekarang terangkan-
lah agar aku dapat membalas dendam. 
Sentiko mengerutkan kening 
mendengar ucapan kakak  perempuannya 
itu. Lalu dengan mata berapi-api dan 
tangan mengepal, ia berkata, Benarkah 
itu? Ayah bundaku sudah dibunuh orang? 
Kalau benar demikian, sebagai anak 
laki-laki akulah yang paling berhak 
untuk menuntut balas. 
Taruno alias Si Tangan Iblis 
mendelik ke arah dua cucu perempuan-
nya. Sebab telah berkali-kali ia 
melarang bicara tentang orang tuanya 
di depan Sentiko. Maksudnya untuk 
mencegah bocah yang belum cukup umur 
itu mengetahui persoalan yang sebenar-
nya. 
Melihat kakeknya tidak senang, 
Sarindah cepat membela diri. Ujarnya, 
Mengapa sebabnya Sentiko tidak boleh 
tahu? Diapun anaknya dan dia harus 
tahu pula persoalan sebenarnya. 
Kakek itu menghela napas panjang. 
Ia tidak bisa marah sekalipun hatinya 
penasaran. Disamping itu karena sudah 
didengar oleh Sentiko, ia tidak bisa 
mungkir lagi. 
Hemm, baiklah, katanya kemudian. 
Marilah kita ke rumah dan bicara. 
Setelah masuk di dalam rumah dan 
tiga cucunya duduk di depannya, Si 
Tangan Iblis berkata, Mestinya masalah 
ini belum waktunya kita bicarakan. 
Itulah sebabnya kepadamu bertiga, aku 
selalu bersikap keras dalam mendidik 
ilmu kesaktian. Karena semua itu demi 
kepentinganmu sendiri untuk bekal 
membalaskan sakit hati orang tuamu 
yang sudah dibunuh orang. 
Nah, apa kataku? seru Sarindah 
tertahan. Lalu siapakah orangnya yang 
sudah membunuh ayah bundaku? 
Si Tangan Iblis tidak mungkin 
menceritakan apa adanya. Oleh sebab 
itu ia mengarang cerita untuk memfit-
nah Gajah Mada. 
Akan tetapi kamu jangan sembrono! 
jawabnya tegas dan sungguh-sungguh. 
Musuh besar itu bukan orang 
sembarangan. Karena yang membunuh ayah 
bundamu bukan lain Mahapatih Gajah 
Mada dan Panglima Nala! 
Ahhh....! tidak urung tiga orang 
bocah ini kaget dan berseru tertahan. 
Tidak pernah terpikir dalam benak tiga 
bocah ini musuh besarnya adalah tokoh 
sakti Majapahit. 
Memang baik Gajah Mada maupun 
Nala menanjak hampir berbarengan. 
Gajah Mada oleh jasa-jasanya kemudian 
diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, 
sedangkan Panglima Nala diangkat 
menjadi Panglima Angkatan Laut. 
Nah, kamu sudah tahu sekarang? 
ujar kakeknya. Musuh besarmu bukan 
orang sembarangan. Itulah sebabnya aku 
selalu menekankan kepada kamu agar 
berlatih dengan rajin. Hemm, aku sudah 
tua, semua ilmuku harus kamu kuras 
sampai habis. Dan kemudian hari kamu 
bertigalah yang memikul kewajiban 
membalas sakit hati ini. Entah dengan 
cara apa, aku tidak tahu. Pendeknya 
ayah bundamu mengharapkan baktimu 
sebagai anak. Namun demikian kamu 
harus bersabar, sedikitnya dua tahun 
lagi. Sebab kamu harus menunggu 
sesudah kamu mahir menggunakan Aji 
Mega Langking. Karena hanya itu 
sajalah senjata pamungkas bagimu 
bertiga untuk dapat mengalahkan musuh 
besarmu itu. 
Kalau kakek yakin bisa menang 
dengan Aji Mega Langking itu, mengapa 
Kakek tidak mencari musuh besar 
keluarga itu? tanya Sentiko tiba-tiba. 
Pemuda ini menjadi tidak senang 
oleh sikap kakeknya, yang dinilai 
sebagai pengecut. 
Si Tangan Iblis kaget mendengar 
pertanyaan ini. Namun rasa kagetnya 
ini segera ditutup dengan ketawanya 
yang terkekeh, lalu jawabnya. 
Heh heh heh heh, bukannya kakekmu 
takut kepada musuh besar itu. 
Ketahuilah, aku mempunyai maksud yang 
lebih dalam dan mulia. Aku tidak ingin 
mengecewakan kamu sebagai anak 
keturunan ayah-bundamu, dan agar di 
sana ayah bundamu menjadi puas. 
Sentiko mengerutkan alis. Jawaban 
kakeknya ini menurut pendapatnya 
mengada-ada. Jawaban seorang pengecut. 
Sebab kalau benar kakeknya sakti yang 
tak kalah melawah Gajah Mada dan Mpu 
Nala, mengapa tidak bertindak dan 
membalas dendam sendiri? Maka diam-
diam ia tidak puas dan mencela sikap 
kakeknya. 
Nah, sekarang kamu sudah 
mengetahui siapakah musuh besarmu itu. 
Kelak kemudian hari setelah tiba 
saatnya, semua saudara seperguruanmu 
akan membela dan membantu usahamu! 
ujarnya dalam usaha menekankan 
maksudnya. 
Sarindah yang juga belum puas 
akan keterangan kakeknya dapat 
bertanya, Kek, mengapa kau tidak 
menerangkan sebabnya ayah-bundaku 
terbunuh mati oleh dua orang musuh 
besar itu? 
Taruno terbatuk-batuk. Kemudian 
jawabnya, Ya, aku sampai lupa. 
Dengarlah peristiwa yang terjadi 
ketika itu, justru kamu masih kecil. 
Dahulu, ibumu seorang perempuan  yang 
terkenal kecantikannya. Dan sebelum 
menjadi isteri ayahmu, banyak laki-
laki yang memperebutkan maupun 
tergila-gila. Nah, para laki-laki yang 
tergila-gila kepada ibumu itu termasuk 
Mpu Mada dan Mpu Nala. Ketika itu Mpu 
Mada masih berkedudukan sebagai Bekel 
Bhayangkara Majapahit, sedangkan Mpu 
Nala belum panglima. Sebaliknya ayahmu 
hanya seorang prajurit biasa. 
Ia berhenti dan mendehem. Sejenak 
kemudian terusnya, Ternyata kemudian, 
kendati sudah melahirkan tiga orang 
anak, kecantikannya tidak juga 
berkurang dan malah bertambah matang 
hingga menarik perhatian Mpu Nala dan 
Mpu Mada. Dua orang yang sama-sama 
jatuh cinta kepada ibumu itu kemudian 
menggunakan akal busuk. Ketika itu 
ayahmu diperintahkan melaksanakan 
tugas di luar kota. Sudah tentu ayahmu 
tunduk perintah itu tanpa rasa curiga 
dan pada waktu yang .sudah ditetapkan 
berangkat tugas. Namun ketika ayahmu 
pergi meninggalkan keluarga itu, 
datanglah dua orang manusia terkuluk 
itu. Mereka menggunakan ancaman dan 
kekerasan. Tetapi ibumu tetap keras 
kepala dan menolak. Dan hal ini 
menyebabkan dua orang itu penasaran, 
dan akibatnya ibumu diperkosa..... 
Ihh..... seru Sarindah dan 
Sarwiyah berbarengan. 
Jahanam terkutuk! seru Sentiko 
penasaran. 
Memang jahanam terkutuk mereka 
itu karena sesudah itu ibumu 
dibunuh.... 
Ahh.... Sarindah dan Sarwiyah 
berseru kaget. 
Aku akan mencincang manusia 
biadab itu! seru Sentiko. 
Itu tepat sekali. Mereka memang 
patut dicincang. 
Lalu bagaimanakah dengan Ayah? 
tanya Sarwiyah. 
Hemm, sesudah dua orang terkutuk 
itu memperkosa dan membunuh ibumu, 
ayahmu tidak boleh pulang dan 
ditugaskan di tempat lebih jauh. Namun 
ternyata ayahmu sudah dihadang oleh 
pasukan yang diperintah oleh Mpu Mada 
dan Mpu Nala. Ayahmu mati terbunuh! 
Tetapi mengapa Kakek bisa tahu 
semuanya? selidik Sarwiyah. 
Heh  heh heh heh, tentu saja 
kakekmu tahu, sahutnya bangga. Setelah 
aku mendengar kabar ibumu mati dan 
ayahmu tewas dalam tugas dari seorang 
sahabat, aku menjadi curiga lalu 
menyelidik. Akhirnya aku dapat memaksa 
seorang prajurit dan prajurit itu 
mengaku terus terang. 
Dan tentang ibu? selidik Sentiko. 
Aku tahu hal itu atas laporan 
pengasuhmu yang ketika itu melindungi 
keselamatanmu. 
Tiga orang muda itu saling 
pandang tanpa membuka mulut. Di pihak 
lain Si Tangan Iblis ini menyesal 
terpaksa harus membohong. 
Kemudian timbul perasaan dendam 
dalam hati tiga orang bocah ini, 
setelah mendengar keterangan kakeknya. 
Ketika pagi tiba terjadilah 
keributan kecil dalam rumah itu. 
Keributan itu mula-mula timbul akibat 
ulah Sarindah dan Sarwiyah. 
Kakeknya yang merasa terganggu 
membentak, Hai, mengapa kamu ribut? 
"Sentiko... Dia tidak ada... Kek 
sahut Sarindah dengan hati risau dan 
khawatir. 
Ke mana bocah itu...? Si Tangan 
Iblis kaget. 
Entahlah. Tetapi tidak biasanya 
dia pergi tanpa sepengetahuanku. 
Sarwiyah yang diam-diam 
menggeledah tempat simpanan pakaian 
Sentiko, wajahnya pucat ketika melihat 
semua pakaian itu tidak ada. Malah 
tombak trisula, senjata bocah itu pun 
tidak ada. Ia berlarian keluar kamar 
mendapatkan kakek dan kakak 
perempuannya. 
Kek... ahh .... Sentiko sudah 
pergi... lapornya gugup. 
Celaka! Pergi ke mana...? Kakek 
itu pucat. Bocah itu tentu penasaran 
mendengar riwayat ayah bundanya. 
Cepat, perintahkan kepada saudara-
saudara seperguruanmu untuk mengejar. 
Bahaya! Manakah mungkin adikmu mampu 
menghadapi dua orang sakti mandraguna 
itu? Hemm, semua ini kamu berdua yang 
menjadi gara-gara. Kalau kamu tidak 
mendesak aku, adikmu takkan pergi! 
Sarindah segera menuju ke pondok 
saudara-saudara seperguruannya untuk 
menyampaikan perintah kakeknya. 
Ributlah dua belas orang murid laki-
laki itu. 
Apa? seru Tanu Pada tertahan. 
Kapankah Adik Sentiko pergi? Dan apa 
pula maksudnya? 
Sekalipun hatinya tegang oleh 
kepergian adiknya, Sarindah sempat 
mengerling ke arah pemuda tegap dan 
tampan itu. Tetapi tentu saja Sarindah 
takkan menceritakan rahasia keluarga. 
Tak mungkin ia bercerita jujur kepada 
orang lain. 
Kalau tahu, tentunya Kakek tidak 
ribut, sahutnya. Ketahuilah dia pergi 
diam-diam dan agaknya baru menjelang 
pagi tadi. Tentang ke mana dan juga 
maksud kepergiannya, yang tahu hanya 
Sentiko sendiri. 
Ahh... lalu bagaimana? tanya Kebo 
Pradah. 
Kakek memerintahkan kalian, pergi 
dan mencari. Karena tidak diketahui 
kemana tujuan bocah itu maka kalian 
diperintahkan mencari ke segala 
penjuru. Dia masih bocah, dikhawatir-
kan mendapat bahaya di perjalanan. 
Bersiaplah kalian dan berangkatlah 
secepatnya. Untuk membagi tugas kepada 
semua murid, aku serahkan kepada 
kakang Tanu Pada. 
Tanpa menunggu jawaban Sarindah 
sudah pergi. Diam-diam gadis ini 
gelisah memikirkan Sentiko. Ia bisa 
menduga bocah itu pergi ke Ibukota 
Majapahit, mencari Mpu Nala dan Gajah 
Mada. Manakah mungkin bocah itu dapat 
menghadapi dua orang sakti itu? 
Begitu tiba kembali di depan 
kakeknya, Sarindah masih mendengar 
kata-kata Sarwiyah yang setengah 
bertengkar dengan kakeknya. Ketika itu 
Sarwiyah memprotes kakeknya. 
Mengapa sebabnya Kakek melarang 
aku pergi mencari Sentiko? Apakah 
Kakek tega kepada bocah  yang belum 
dewasa itu, pergi seorang diri 
menempuh bahaya? 
Sarwiyah! jawab kakeknya. Tentu 
saja akupun tidak tega membiarkan 
bocah itu pergi. Itulah sebabnya semua 
murid aku perintahkan mencari. Hemm, 
Sarwiyah, dan kau Sarindah. Hendaknya 
kamu mau mengerti  jalan pikiran 
kakekmu. Janganlah ibarat kehilangan 
seekor kerbau, kita mempertaruhkan 
kerbau lain dalam kandang. 
Apakah maksud Kakek? tanya 
Sarwiyah. 
Maksudku, janganlah kita yang 
kehilangan Sentiko, lalu mempertaruh-
kan seluruh keluarga. Taruno menjelas-
kan. Biarkan sekarang murid-murid itu 
pergi mencari. Hemm, apabila benar me-
reka tidak becus mencari, baru 
kemudian kita pikirkan daya upaya. 
Lebih penting kau sekarang berlatih 
Aji Mega Langking yang amat berguna 
sebagai senjata pamungkas itu, dan 
sebagai senjata ampuh untuk mencapai 
cita-cita. Sesudah kamu sempurna betul 
mempelajari aji tersebut, dadaku akan 
lapang melepaskan kepergianmu. Sentiko 
juga penting bagi kita, tetapi 
membalas dendam kepada Mpu Nala dan 
Mpu Mada adalah lebih penting lagi. 
Mendengar keterangan kakeknya ini 
Sarindah dan Sarwiyah dapat mengerti. 
Kemudian sambil menghela napas 
panjang, mereka menyerahkan urusan 
Sentiko kepada murid yang lain. Dan 
sebelum para murid ini mulai tugasnya, 
mereka minta diri kepada guru. Dan 
oleh gurunya diberi batas waktu sampai 
tiga bulan. Apabila mereka belum dapat 
menemukan Sentiko, secepatnya harus 
pulang. Dan semua murid mengiakan. 
Tanu Pada memerlukan minta diri 
kepada Sarindah secara khusus. Sedang 
Kebo Pradah juga minta diri kepada 
Sarwiyah secara istimewa. Memang 
diantara mereka diam-diam telah tumbuh 
tunas cinta kasih. Maka tidak 
mengherankan apabila mereka minta diri 
secara khusus. 
Dua orang murid itu tidak sadar, 
apa yang mereka lakukan menimbulkan 
rasa iri dan tidak senang bagi saudara 
seperguraan yang lain. Karena mereka-
pun merupakan saudara-saudara 
perguruan dan sudah dewasa pula. 
Memang secara diam-diam Sarindah 
dan Sarwiyah ini mereka perebutkan dan 
saling berusaha menarik perhatian. 
Kalau sekarang Tanu Pada dan Kebo 
Pradah mendapat perhatian khusus, 
tentu saja yang lain menjadi iri dan 
tidak senang. 
Huh! Tanu Pada kurangajar! gerutu 
Kidang Kaligis sambil mengepalkan 
tinjunya. Huh, kuhajar mampus kau, di 
saat guru dan Sarindah tidak tahu! 
Bagus! Jika engkau menghajar Tanu 
Pada, aku akan menghajar Kebo Pradah! 
sambut Sangkan sambil mengepalkan 
tinjunya pula karena amat penasaran. 
Mendengar rencana dua orang 
saudara seperguraan itu, Kuda Ananto 
mengeratkan alis tidak senang. 
Mengapa di dalam melaksanakan 
tugas, melaksanakan perintah guru, 
masih  memikirkan hal lain, dan malah 
merupakan masalah pribadi? Sebagai 
salah seorang saudara seperguruan 
tentu saja Kuda Ananto tahu rahasia 
hati murid yang lain. Karena itu sudah 
bukan rahasia lagi di antara mereka, 
telah terjadi persaingan yang 
memperebutkan  Sarindah. Mereka ini 
bukan lain Tanu Pada, Kidang Kaligis 
dan Kuda Sobrah. Disamping itu tiga 
orang yang lain, saling bersaing dalam 
memperebutkan Sarwiyah. Pemuda ini 
tidak lain adalah Kebo Pradah, Sangkan 
dan Senggring. Tetapi sekalipun 
demikian persaingan ini tidak berani 
secara terang-terangan karena takut 
kepada sang guru. 
Kakang Kaligis dan Kakang 
Sangkan, kata Ananto halus. Bukankah 
kita ini sedang melaksanakan tugas 
untuk mencari Adi Sentiko? 
Kaligis dan Sangkan mendelik 
marah. Hardik Kaligis, Apa katamu? 
Engkau adik seperguraanku, saudara 
muda! Tahu? Tetapi apakah sebabnya kau 
lancang mulut? Ketahuilah aku lebih 
tahu tugas dibanding kau. Huh, di 
dalam rangka menunaikan tugas dari 
guru itu. 
Sekalipun dirinya lebih muda umur 
dan dalam perguruan, Ananto tidak mau 
menyerah begitu saja. Ia merasa benar 
dan ingin memperingatkan, agar di 
dalam melaksanakan tugas tidak 
selewengan memikirkan soal lain. 
Karena merasa benar ia menjawab tanpa 
rasa gentar sedikitpun. 
Kakang, sekalipun aku lebih muda, 
sebagai saudara seperguraan aku 
mempunyai hak pula untuk berbicara. 
Kakang, bukan maksudku untuk lancang 
mulut, tidak sama sekali. Tetapi 
mengingat dalam tugas ini diriku 
ditugaskan bersama Kakang Kaligis dan 
Kakang Sangkan, maka tentu saja aku 
mempunyai hak bicara. 
Ananto berhenti dan mengamati dua 
orang saudara seperguraan itu. Sejenak 
kemudian lanjutnya, Menurut 
pendapatku, kurang baik apabila Kakang 
akan menggunakan kesempatan untuk 
kepentingan diri sendiri. Itu namanya 
menggunakan kesempatan dalam kesempi-
tan  dan berarti pula menohok kawan 
seiring. Bukankah Kakang Tanu Pada dan 
Kakang Kebo Pradah saudara seperguraan 
kita sendiri dan sekarang melakukan 
tugas yang sama? Oleh sebab itu aku 
berharap agar kalian mau sadar akan 
keadaan. 
Ia berhenti lagi. Setelah 
mengambil napas baru meneraskan, 
Disamping itu merupakan haknya kalau 
Mbakyu Sarindah memilih Kakang Tanu 
Pada kemudian Mbakyu Sarwiyah memilih 
Kakang Kebo Pradah. Tetapi mengapa 
sebabnya Kakang berdua tidak senang 
dengan peristiwa itu? Bukan hanya 
tidak senang tetapi Kakang juga dendam 
dan sakit hati? Apakah Kakang berdua 
lupa bahwa cinta itu tidak bisa 
dipaksakan? 
Kurangajar kau! Anak kecil tahu 
apa tentang cinta? bentak Kaligis 
marah. Jika engkau berani membuka 
mulut sembarangan, awas, kupukul 
mampus kau! 
Kaligis yang memang berangasan 
dan kasar itu tentu saja cepat menjadi 
tersinggung oleh ucapan Ananto yang 
masih kecil itu. Berbeda dengan 
Sangkan, walaupun tidak senang oleh 
sikap Ananto, tetapi ia cerdik dan 
licin. Bagi dirinya tiada gunanya 
marah-marah kepada Ananto. 
Kakang Kaligis, sudahlah. Kita 
tidak perlu marah kepada adik 
seperguraan sendiri, cegahnya sabar. 
Sangkan tidak memberi kesempatan 
kepada Kaligis membantah. Lalu 
lanjutnya ditujukan kepada Ananto, 
Ananto, akupun minta kepadamu agar 
dapat menempatkan dirimu sebagai 
saudara seperguraan yang lebih muda. 
Di dalam melakukan tugas antara kita 
semua haras rukun dan bersatu padu. 
Tentu saja! sahut Ananto kurang 
senang. Antara saudara seperguraan tak 
boleh membenci dan mendendam, dan 
harus rukun bersatu. Akan tetapi 
apakah sebabnya Kakang Kaligis 
mengancam Kakang Tanu Pada? Bukankah 
itu merupakan bibit permusuhan antara 
saudara sendiri? 
Jawaban Ananto yang baru berumur 
limabelas tahun ini menyebabkan 
Kaligis makin panas dan marah. 
Bentaknya tiba-tiba, Jahanam kau! Anak 
kecil berani lancang mulut dan 
menggurui! Urusanku dengan Tanu Pada 
adalah urasan pribadiku sendiri. 
Apakah sebabnya engkau mau campur 
urusan? Kalau kau senang boleh melihat 
jika tak senang tak perlu tahu. Jika 
kau masih tetap membandel, tanganku 
masih bisa menghajar mulutmu yang 
lancang itu. 
Ananto yang merasa benar 
tersinggung dan mendelik marah. Tiba-
tiba pemuda cilik ini bertolak 
pinggang, berdiri menghadapi Kaligis 
dengan sikap menantang. Katanya, 
Kakang Kaligis, apakah katamu? Engkau 
mau menghajar mulutku? Huh, sekalipun 
engkau lebih besar dari diriku, boleh 
coba! 
Sangkan cepat melompat dan 
berdiri di antara mereka untuk 
mencegah terjadinya perkelahian. Sebab 
Sangkan tahu, apabila terjadi 
perkelahian, tidak urang Kaligis 
sendiri yang akan malu. Karena Kaligis 
tidak mungkin menang melawan Ananto, 
sekalipun Kaligis sudah 20 tahun dan 
tubuhnya lebih tinggi dan besar. Malah 
diam-diam Sangkan sendiri mengakui, 
dirinya juga takkan menang melawan 
Ananto. Sudah berkali-kali setiap 
mereka  berlatih Ananto selalu unggul 
setiap menghadapi saudara-saudara 
seperguraan yang lebih tua. Dan 
diantara murid laki-laki yang dapat 
mengalahkan Ananto hanyalah Sentiko. 
Kemenangan itupun tidak dapat 
dicapai dalam waktu singkat. Dan 
masalah ini bisa terjadi bukan 
kesalahan gurunya yang mengajar dan 
pula bukan salah asuh dan pilih kasih. 
Semua itu tergantung dari ketekunan 
berlatih disamping pula bakat dan 
kecerdasan. Ananto seorang pemuda 
berotak cerdas dan disamping itu 
umurnya sebaya dengan Sentiko. 
Pengaruh usia yang sebaya ini 
menyebabkan hubungan antara Sentiko 
dan Ananto erat sekali. Mereka 
merupakan pasangan berlatih yang 
sepadan dan karena Si Tangan Iblis 
berusaha menggembleng Sentiko menjadi 
pemuda perkasa, maka Ananto juga 
memperoleh keuntungan pula dari setiap 
latihan yang dilakukan. 
Kalau seorang lawan seorang, 
Ananto takkan bisa dikalahkan. 
Sebaliknya apabila harus mengeroyok 
dua, tentu saja Sangkan yang licin dan 
licik ini menjadi malu. Ditambah lagi 
kalau kemudian hari Ananto lapor 
kepada guru, tak urung mereka akan 
mendapat hukuman. 
Mengingat kemungkinan itu Sangkan 
yang cerdik sudah mendapat siasat 
ampuh untuk menundukkan Ananto. Yang 
penting sekarang ia harus cepat 
membujuk Kaligis, agar bisa bersabar. 
Kakang Kaligis, katanya. 
Sudahlah, yang  lebih tua wajib 
mengalah dan memberi contoh kepada 
yang muda. Mari kita sekarang 
mempercepat perjalanan, agar lekas 
bisa bertemu dengan Adik Sentiko. 
Ananto yang berdiri di belakang 
Sangkan tentu saja tidak tahu, dalam 
membujuk Kaligis mata Sangkan memberi 
isyarat. 
Baiklah, aku setuju pendapatmu 
dan marilah kita mempercepat perja-
lanan, sahut Kaligis setelah menangkap 
isyarat mata itu. Kemudian ia 
mengulurkan tangan kepada Ananto 
sambil berkata, Maafkanlah aku, Adik 
Ananto. Aku menyesal sudah bersikap 
kasar kepadamu. 
Ananto yang jujur cepat menerima 
tangan Kaligis dengan hati terharu. 
Bagaimanapun ia merasa lebih muda, 
baik umur maupun kedudukannya dalam 
perguruan. Maka tanpa malu-malu lagi, 
pemuda ini menjawab, Kakang, akulah 
seharusnya yang minta maaf kepadamu, 
karena aku lebih muda. 
Sudahlah, apa yang terjadi 
anggaplah seperti tidak pernah 
terjadi, ujar Sangkan. Mari kita mem-
percepat perjalanan. 
Tiga orang saudara seperguraan 
itu sekarang meneruskan perjalanan dan 
berdampingan. Mereka tampak kembali 
rukun seperti tidak pernah terjadi 
apa-apa. Kaligis melangkah paling 
kiri, Sangkan di tengah dan Ananto 
paling kanan. Akan tetapi sambil 
melangkah ini diam-diam Kaligis 
bertanya dalam hati, apakah maksud 
isyarat mata Sangkan tadi? 
Mereka menuju ke timur sesuai 
dengan tugas yang sudah diatur oleh 
Tanu Pada. Tetapi perjalanan menuju 
timur ini merupakan wilayah yang amat 
sulit. Wilayah ini terdiri dari hutan 
perawan, di sana-sini terdapat jurang 
dalam dan kadang harus melompat dari 
batu ke batu yang licin dan berbahaya. 
Keadaan wilayah yang sukar ini 
makin membuat hati Kaligis tambah 
penasaran dan dendam kepada Tanu Pada, 
dan menurut pendapatnya pemuda 
saingannya itu sengaja mempersukar 
dirinya. 
Tanu Pada kurangajar! gerutunya. 
Tentu saja dia sengaja memilihkan 
daerah yang paling sukar untuk diriku. 
Ananto kembali tidak senang 
hatinya mendengar gerutu Kaligis itu. 
Maka kata pemuda cilik ini, Kakang 
Kaligis! Kita semua ini melaksanakan 
perintah guru. Sedangkan Kakang Tanu 
Pada sebagai saudara kita yang tertua 
sudah membagi tugas sesuai dengan 
wewenangnya. Kenapa sekarang Kakang 
menggerutu dan tidak puas? 
Bagaimanapun sukarnya perjalanan kita 
ini, masih belum memadai kasih guru 
terhadap kita semua. 
Apa katamu? Kaligis mendelik 
marah. Engkau selalu membela Tanu 
Pada. Apakah kau memang sengaja 
memusuhi aku? 
Siapakah yang memusuhi? Hemm, aku 
tidak memusuhi siapapun, sahut Ananto 
tanpa gentar. Aku hanya bicara sesuai 
dengan kata hatiku. Kalau kita sebagai 
murid melaksanakan perintah guru, 
tiada alasan menggerutu dan tidak 
puas. Kita harus bisa menempatkan diri 
sebagai murid yang baik. 
Jahanam kau! Jadi engkau berani 
menghina aku sebagai murid tidak baik? 
bentak Kaligis tambah marah. 
Sangkan melerai lagi dengan 
katanya yang sabar dan halus, 
Sudahlah, mengapa kalian selalu 
bertengkar saja? Kita semua merupakan 
murid-murid yang taat dan baik. Tugas 
yang kita pikul sekarang ini justru 
merupakan ujian, siapa di antara kita 
yang dapat membawa kembali Adi Sen-
tiko, dialah murid teladan. Itulah dia 
murid yang pantas dipuji sanjung. Nah, 
yang penting sekarang kita berusaha 
agar bisa menemukan dan membawa 
kembali Adi Sentiko menghadap guru. 
Kaligis hampir membuka mulut, 
karena hatinya masih sangat penasaran 
merasa dimusuhi Ananto. Namun lagi-
lagi ia menerima isyarat mata dari 
Sangkan yang sebenarnya, tetapi dalam 
hatinya timbul kepercayaannya, adik 
seperguruannya yang cerdik ini tentu 
mempunyai maksud yang menguntungkan 
dirinya. 
Untuk sementara mereka tidak 
membuka mulut, karena jalan yang 
dilewati tambah sukar dan licin. Tak 
lama kemudian mereka sudah harus lewat 
jalan setapak yang lebih sukar lagi. 
Sebelah kiri tebing gunung yang 
tinggi, sedang sebelah kanan merupakan 
jurang yang amat dalam. Kalau tidak 
melangkah hati-hati, sekali terpeleset 
sulit diharapkan bisa tertolong. 
Mengingat sulitnya jalan yang 
harus dilalui ini, Ananto yang diam-
diam tidak senang dengan Kaligis, tak 
mau melangkah paling depan. Karena 
pemuda ini khawatir, apabila Kaligis 
main curang di tempat ini. Oleh sebab 
itu Ananto memilih paling belakang dan 
dengan demikian akan lebih aman. 
Akan tetapi Ananto yang masih 
kecil ini kurang menyadari bahaya di 
antara mereka bertiga, Sangkanlah yang 
paling licin, berbahaya dan tidak 
gampang diduga. Berbeda dengan 
Kaligis, sekalipun kasar dan bera-
ngasan, masih suka berterus terang. 
Kasar, namun sifat ksatryanya masih 
tebal dan tidak mau berbuat curang. 
Sebaliknya Sangkan yang licik ini 
menghadapi sesuatu lebih banyak 
menggunakan sikap pura-pura. Maka 
apabila berhadapan dengan orang yang 
tidak disukai, ia tidak segan berbuat 
curang. 
Dan tiba-tiba saja Sangkan 
berhenti melangkah kemudian membalik-
kan tubuh. Ananto yang melangkah 
paling belakang merasa heran, ikut 
menghentikan langkah di dekat Sangkan 
sambil bertanya, Apakah sebabnya kau 
berhenti? 
Aku mendengar suara orang 
memanggil, sahut Sangkan sambil 
menebarkan pandang matanya. Kemudian 
ia menuding ke arah belakang Ananto 
sambil berseru, Nah, lihatlah di sana 
dan dugaanku ternyata benar. Aduh, 
ternyata guru menyusul kita. 
Ananto tertarik dan membalikkan 
tubuh. Di saat bocah ini membalikkan 
tubuh Sangkan tidak melepaskan 
kesempatan sebaik ini. Kakinya 
bergerak mengait kaki Ananto. Dan 
karena tidak pernah menduga dirinya 
bakal diserang, Ananto kaget dan 
berusaha menghindar. 
Sayang Ananto lupa, jalan yang 
dilalui hanya jalan setapak, licin dan 
di sebelah bahwa menunggu jurang amat 
dalam. Karena itu walaupun kaitan kaki 
Sangkan luput, tetapi Ananto menginjak 
tempat kosong. Tangannya masih 
berusaha menjambret apa saja yang 
dapat dipergunakan menahan tubuhnya, 
namun tidak berhasil. 
Yang terdengar kemudian hanyalah 
jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun 
hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda 
itu sudah lenyap ke dalam jurang dan 
tertutup kabut. 
Hai, apa yang terjadi? Kaligis 
berteriak kaget, menyaksikan tubuh 
Ananto meluncur ke dalam jurang dan 
terdengar jeritnya yang nyaring. 
Sangkan ketawa terkekeh, 
sahutnya, Itulah hukuman bagi bocah 
yang cerewet. Biarlah dia mampus tanpa 
kubur di tempat ini. Bukankah dengan 
mampusnya bocah itu kita bisa lebih 
bebas? 
Ah,... jadi  dia sengaja kau 
serang? Kaligis terbelalak. 
Benar! Aku muak terhadap bocah 
lancang mulut itu. 
Tetapi.... tetapi bagaimanakah 
cara kita menjawab kalau guru 
bertanya? 
Sangkan terbahak-bahak, lalu, Ha 
ha ha ha, apakah sebabnya kau malah 
ribut? Apa yang terjadi sekarang ini 
tidak ada orang lain yang tahu. 
Katakan saja dalam perjalanan, Ananto 
sembrono tak mau mendengar nasihat 
kita dan akhirnya dia masuk jurang 
karena terpeleset. Kita sudah berusaha 
menolong, tetapi tidak berhasil, malah 
hampir saja aku dan kau ikut 
terpeleset ke jurang. Ha ha ha ha, 
habis perkara dan guru kita pasti 
percaya. 
Tetapi.... kenapa kau tega kepada 
Ananto? Kaligis masih khawatir dan 
menyesali perbuatan Sangkan. 
Ia memang benci kepada Ananto 
yang memusuhi. Namun demikian ia tidak 
tega harus berbuat seperti itu. 
Ha ha ha ha, apakah sebabnya 
Kakang Kaligis malah ribut sendiri? 
Aku toh berbuat untuk kepentinganmu 
pula, Kakang? Dengan mampusnya bocah 
itu berarti rahasia kita takkan 
diketahui siapapun. Engkau mencintai 
Sarindah tetapi terhalang oleh Tanu 
Pada. Sebaliknya aku, cintaku kepada 
Sarwiyah tidak dapat ditawar-tawar 
lagi. Tetapi celakanya manusia busuk 
Kebo Prada merupakan halanganku 
terutama. 
Kaligis terbelalak heran, tak 
tahu apa maksud Sangkan yang 
sesungguhnya. Tanyanya kemudian, Adi 
Sangkan, apakah maksudmu sebenarnya? 
Hemm, engkau terlalu jujur, 
Kakang, hingga tidak pernah terpikir 
olehmu, saat sekarang inilah yang 
paling baik bagiku dan bagi dirimu... 
Saat baik yang bagaimana? potong 
Kaligis. 
Saat baik untuk bertindak, guna 
mencapai maksud kita masing-masing. Ha 
ha ha ha, mumpung ada kesempatan baik 
dan terlepas dari pengawasan guru 
kita. Ketahuilah Kakang, soal tugas 
mencari Sentiko bagi kita tidak 
penting. 
Lalu menurutmu, apakah yang lebih 
penting?  
Kita membuat perhitungan baik 
kepada Tanu Pada maupun kepada Kebo 
Pradah, ha ha ha ha! Bukankah dua 
orang itu merupakan penghalang kita? 
Kalau mereka kita singkirkan, 
bagaimanakah mungkin dapat main mata 
lagi dengan bunga cantik yang sama-
sama kita cintai itu? Nah, apakah kau 
masih juga belum tahu maksudku? 
Yang terdengar kemudian hanyalah 
jerit kaget Ananto yang nyaring. Namun 
hanya sesaat saja, karena tubuh pemuda 
itu sudah lenyap ke dalam jurang dan 
tertutup kabut. 
Kaligis mengerutkan alis dan 
tampak berpikir. 
Kakang, mampusnya Ananto 
merupakan tanggungjawab kita berdua, 
sambung Sangkan. Karena itu kita 
berdua harus rukun dan kerjasama. Se-
karang aku sudah mempunyai rencana 
bagus. Yang lebih penting, kita harus 
menangguhkan perjalanan mencari 
Sentiko. 
Ohh...  lalu  apalagi  rencanamu?  
Kaligis bingung. 
Sekarang kita berbalik arah. 
Engkau tahu, Tanu Pada dan Kebo Pradah 
pergi bersama dan marilah kita susul, 
kita bunuh dengan jalan apapun juga, 
yang pokok berhasil. 
Kaligis terbelalak pucat 
mendengar rencana Sangkan ini. Bagi 
dirinya walaupun bersaing tetapi ingin 
menggunakan jalan wajar. Ia tidak per-
nah berpikir untuk mencelakakan 
saudara seperguruannya sendiri, lebih-
lebih menggunakan siasat curang. 
Namun Sangkan tak mau memberi 
kesempatan Kaligis berpikir. Bujuknya 
setengah mengancam,  
Kakang, kita jangan ragu 
sedikitpun dalam usaha mencapai cita-
cita. Orang bercita-cita harus 
berusaha dengan jalan apapun juga. 
Baik terang-terangan atau kalau perlu 
menggunakan akal dan tipu daya. Orang 
yang tak mau menggunakan kesempatan 
baik yang ada, adalah sebodoh-bodohnya 
manusia. Itu tolol! Dan orang yang 
demikian apa yang dicita-citakan tidak 
mungkin bisa tercapai! 
Sangkan berhenti dan memandang 
Kaligis mencari kesan. Sejenak 
kemudian lanjutnya,  
Kakang, dalam persoalan ini 
antara engkau dan Tanu Pada 
kedudukannya lebih kuat Tanu Pada. 
Jelas Sarindah lebih tertarik kepada 
Tanu Pada. Dengan demikian dia 
merupakan sainganmu. Maka tanpa usaha 
melenyapkan saingan itu, apa yang kau 
harapkan tidak mungkin bisa terwujud. 
Malahan Tanu Pada bisa memfitnah 
kau lewat mulut Sarindah. Engkau bisa 
celaka sendiri jika kau kalah dulu 
untuk bertindak. Dan kau tentunya juga 
sadar bahwa Sarindah adalah cucu guru 
kita. Bagi seorang kakek yang cinta 
kepada cucunya tentu lebih percaya 
kepada cucu sendiri dibanding kepada 
murid. 
Sangkan berhenti lagi dan menatap 
Kaligis mencari kesan. Ketika melihat 
bujukannya mulai mempan ia cepat 
menambahkan,  
Kakang Kaligis. Engkau bisa mati 
konyol oleh tangan guru sendiri jika 
engkau lengah. Kalau saja pada suatu 
hari Tanu Pada mau mencelakakan 
engkau, gampangnya seperti kita 
membalikkan telapak tangan sendiri. 
Mencelakakan aku? Mana mungkin? 
Dan bagaimana pulakah caranya? 
Gampang saja, ha ha ha ha. 
Menghadapi orang seperti kau yang 
jujur ini, apakah sulitnya? Tanu Pada 
bisa bekerjasama dengan Sarindah. 
Umpamanya saja begini. Sarindah 
meletakkan salah satu benda berharga 
di dalam simpanan pakaianmu. Kemudian 
dia melaporkan kepada guru, kehilangan 
benda berharga tersebut. Tentu saja 
engkau yang tak merasa berbuat salah 
akan bersumpah engkau tidak mengambil. 
Tetapi ketika dilakukan penggeledahan, 
ternyata benda itu di tengah tumpukan 
pakaianmu. Bukti sudah ada, 
bagaimanakah engkau akan mungkir? Guru 
yang sudah termakan hasutan Sarindah 
takkan mau mendengar alasanmu lagi. 
Padahal kau tahu bagaimanakah bunyi 
peraturan yang dibuat guru? 
Wajah Kaligis pucat mendadak. 
Sahutnya, S-tiap murid yang terbukti 
mencuri dua belah tangannya harus 
dipotong... 
Nah, bagaimanakah jadinya kau ini 
kalau hidup tanpa tangan? Hemm, engkau 
akan menjadi manusia cacat tanpa guna 
lagi. Selama hidup kau akan menjadi 
beban keluargamu. Karena itu sebelum 
terlambat kita harus bertindak lebih 
cepat. Sebelum peristiwa itu terjadi 
dan menimpa dirimu, kita bunuh Tanu 
Pada dan Kebo Pradah. 
Kaligis tidak cepat membuka 
mulut. Ia masih ragu. 
Akan tetapi tiba-tiba saja 
bayangan wajah Sarindah yang cantik 
menggoda di depan matanya. Bibir yang 
merah merekah itu tersenyum amat 
manis. Jantungnya tiba-tiba berdegup. 
Kemudian ia mengangguk dan menjawab, 
Ya, engkau benar. Aku pikir 
rencanamu lebih tnenguntungkan 
dibanding jalan lain. Hemm, Adi 
Sangkan! Kita sudah membunuh Ananto. 
Maka kita tidak boleh bertindak 
setengah mentah. Baik, marilah kita 
cari jahanam itu dan kita bunuh! 
Sangkan gembira sekali mendengar 
jawaban ini. Kemudian mereka melangkah 
menurut jalan setapak yang tadi mereka 
lalui. Mereka putar haluan lalu menuju 
kembali ke arah Tanu Pada dan Kebo 
Pradah melakukan tugas. Dan sambil 
melangkah ini, antara dua orang ini 
mematangkan rencana dan siasat. Mereka 
sadar tidak mudah membunuh Tanu Pada 
dan Kebo Pradah. Ilmu kepandaian di 
antara mereka setingkat dan malah 
sebagai murid tertua, Tanu Pada 
sedikit lebih tinggi ilmunya. Jelas 
apabila terang-terangan melawan dua 
orang saingannya itu sulit terwujud. 
Karena itu jalan terbaik harus 
menggunakan tipu daya. 
Ke manakah sebenarnya pemuda 
cilik Sentiko itu pergi? Dugaan 
keluarganya memang tepat. Bocah itu 
menjadi panas dan penasaran sekali 
setelah mendengar orang tuanya tewas 
dibunuh secara kejam. Ia merasa, 
dirinya sebagai keturunan laki-laki 
satu-satunya. Maka dirinyalah yang me-
rasa berkewajiban membalaskan sakit 
hati dan dendam orang tuanya. Oleh 
pengaruh pikirannya ini kemudian ia 
menjadi nekad. Tanpa mengukur 
kemampuan diri, malam itu juga ia 
pergi diam-diam. 
Sentiko tidak peduli cuaca gelap 
ia terus bergerak cepat menuruni 
pinggang gunung Bromo. Ia tidak ingin 
maksudnya gagal, baik dicegah oleh 
kakeknya maupun yang lain. Pendeknya 
ia memilih mati daripada menjadi 
seorang anak tak berguna. 
Sentiko membekal semua pakaian 
yang dimiliki, sedangkan senjata 
trisula yang tangkainya dapat ditekuk 
itu, disembunyikan di dalam bajunya. 
Ia tidak pernah berpikir bahwa orang 
yang pergi melakukan perjalanan jauh 
memerlukan bekal uang. Padahal ia 
tidak mempunyai uang simpanan, maka 
ketika pagi tiba  perutnya melilit 
minta diisi dan ia menjadi bingung 
sendiri. 
Perut, mengapa sebabnya engkau 
merengek minta isi? Hemm, perut, 
tunggu sebentar lagi setelah kita 
bertemu dengan warung, nanti kita 
membeli nasi yang kau butuhkan. 
Sentiko menghibur perutnya 
sendiri dan sesaat kemudian bocah ini 
ketawa terpingkal-pingkal sendiri 
merasa geli. 
Soalnya, manakah mungkin perutnya 
itu mau mendengar kata-katanya? Perut 
yang lapar tidak bisa dihibur dengan 
kata-kata, tetapi membutuhkan isi. 
Disamping itu ia tidak memiliki uang 
sepeserpun, mengapa begitu gegabah 
menyanggupkan diri untuk membeli nasi? 
Kemudian tibalah pada sebuah desa 
yang cukup makmur, bernama Purwosari. 
Begitu masuk ke desa ini hidungnya 
segera kembang kempis dan perutnya 
semakin merengek, ketika lubang hi-
dungnya menghirup bau gurih dari dapur 
seorang penduduk. Hidungnya cukup 
kenal dengan bau khusus ini. Tentu 
seseorang sedang membakar ikan asin. 
Terbayang dalam benaknya 
kemudian, betapa nikmatnya sepagi ini 
makan nasi putih hangat, sambal dan 
ikan asin  dibakar. Sanggup rasanya 
untuk menghabiskan nasi tiga piring 
sekaligus. 
Akan tetapi ah, bagaimanakan ia 
dapat makan seperti yang dibayangkan 
itu? Dirinya tidak punya uang, dan 
haruskah ia minta-minta kepada 
penduduk? Hemm, ia tidak sudi 
merendahkan diri sebagai pengemis. 
Betapa mendongkol hatinya kalau orang 
tidak mau memberi malah mencaci maki 
sebagai seorang muda yang malas? 
Apakah dirinya harus menjual tenaga 
dengan bekerja apa saja asal 
memperoleh sesuap nasi? Tidak? Orang 
yang menjual tenaga tanpa diminta, 
tidak urung direndahkan. Menurut 
pikirannya orang tentu tidak mau 
menghargai tenaganya. Dan tentu 
terpaksa bekerja berat namun upah yang 
bakal diterima tidak seimbang. 
Aku mempunyai ilmu kepandaian. 
Mengapa tidak aku coba dan aku 
pergunakan ? katanya seorang diri 
sambil terus melangkah menyusuri jalan 
desa itu. Kiranya lebih berharga 
dengan melakukan perampasan atau 
mencuri. 
Dalam benaknya segera terbayang 
betapa enaknya merampas atau mencuri. 
Tidak perlu banyak tenaga dirinya akan 
mendapat uang atau benda berharga yang 
cukup banyak. 
Tiba-tiba saja ia melihat seorang 
perempuan desa yang berjalan seorang 
diri menuju ke luar desa. Dilihatnya 
pula jalan desa itu menuju ke tengah 
ladang jagung yang menghubungkan desa 
lain. Apakah sulitnya melakukan 
perampasan terhadap perempuan lalu 
lari dan bersembunyi? 
Setelah menetapkan hati bocah ini 
mempercepat langkahnya, dan sesaat 
kemudian sudah berlarian cepat sekali 
mengejar perempuan desa itu. 
Sungguh sayang bocah yang masih 
semuda Sentiko, sudah mempunyai 
pikiran sesat seperti itu, yang 
beranggapan lebih terhormat merampas 
dan mencuri daripada menjual tenaga 
kepada orang. Inilah akibat salah 
didik. Kakeknya kurang memperhatikan 
usaha menggembleng batin dan watak. 
Kakeknya lebih memperhatikan 
penggemblengan ilmu  kesaktian, guna 
bekal mencapai cita-cita. Karena salah 
didik, menyebabkan bocah ini sudah 
tersesat. 
Perempuan yang menggendong 
tanggok itu kaget ketika tiba-tiba 
dihadang Sentiko. Akan tetapi karena 
Sentiko masih kecil, rasa kaget perem-
puan ini cepat menghilang, kemudian 
tanyanya, Nak, apa maksudmu menghadang 
aku? 
Berikan uangmu! hardiknya sambil 
mendelik. Kalau tidak, kupukul kau! 
Perempuan ini terbelalak tidak 
percaya. Benarkah bocah sekecil ini 
sudah berani menjadi perampok? 
Anak, engkau jangan main-main, 
ujarnya tak percaya. Tempat ini tak 
jauh dari desa. Apa yang akan terjadi 
kalau aku menjerit minta tolong? Anak, 
engkau masih kecil, sayang sekali jika 
tersesat. Kalau memang butuh uang, 
nih, aku beri sekadarnya untuk membeli 
nasi. 
Perempuan ini kemudian mengambil 
pundi-pundi berisi uang yang disimpan 
di ujung selendang. 
Melihat pundi-pundi yang jelas 
berisi uang itu, timbul niatnya untuk 
merampas semuanya. 
Aku tak mau pemberianmu. Sebab 
engkau tentu hanya memberi sedikit! 
Perempuan ini terbelalak dan 
menghentikan gerak tangannya yang 
berusaha membuka ujung pundi-pundi 
itu. 
Apa katamu, Nak? katanya tak 
percaya. Kau tak mau aku beri sedikit? 
Ih, mengapa masih sekecil engkau sudah 
serakah? Kau...  
Perempuan ini mendadak 
menghentikan ucapannya dan wajah 
berubah pucat, ketika tahu-tahu pundi-
pundi itu sudah direbut oleh Sentiko. 
Hai... kembalikan...! 
Sentiko ketawa mengejek. Hati 
bocah ini menjadi besar ketika dengan 
gampang berhasil merampas uang itu.  
Ha ha ha ha, uang ini aku 
butuhkah. Maka tak mungkin aku 
kembalikan. 
Apa? Jika kau membandel, aku 
menjerit... ancam perempuan itu. 
Sentiko khawatir juga kalau apa 
yang dilakukan diketahui orang oleh 
jeritan perempuan ini. Ia tidak mau 
menghadapi bahaya. Ia sudah melakukan 
perampasan mengapa tanggung-tanggung? 
Pikirnya, Hemm, lebih baik kupukul 
saja perempuan ini. Jika aku bisa 
membuat perempuan ini pingsan, 
perbuatanku akan aman. 
Kembalikan...! Kembalikan...! 
teriak perempuan ini sambil menubruk 
dan berusaha merebut. 
Kesempatan ini tidak disia-siakan 
oleh bocah ini. Kaki kanan menghadang 
dan berbareng tinjunya memukul ulu 
hati. 
Plakk.... bukk... 
Dua macam serangan ini mengenai 
sasarannya secara tepat, karena 
perempuan itu tidak dapat menghindar. 
Maka tanpa dapat berteriak lagi 
perempuan ini sudah terkulai lalu 
roboh miring, sedang tanggok masih 
dalam gendongannya. 
Sentiko tertawa senang. Katanya, 
Huh, engkau terlalu pelit, inilah 
upahmu. Kecil cabe rawit, sekalipun 
kecil aku tak kalah dengan kau, ha ha 
ha ha! 
Ia mengamati perempuan itu dengan 
wajah berseri. Terbayang dalam 
benaknya dengan memiliki pundi-pundi 
uang ini, kebutuhan mengisi perut 
terjamin. 
Ia sudah melangkah meninggalkan 
perempuan yang roboh itu. Tetapi baru 
tiga langkah ia berhenti dan 
memalingkan muka memandang perempuan 
itu. Ia heran mengapa perempuan itu 
belum juga bergerak? Hatinya tertarik 
lalu kembali. Ia membungkuk 
memperhatikan dan benar perempuan ini 
tidak bergerak. 
Eh, kenapa tidak bernapas? 
Matikah? pikirnya. 
Jarinya meraba dada. Dada itu 
lunak dan tiba-tiba saja jantungnya 
berdegup. Mengapa dada perempuan 
lembut dan lunak, tidak seperti 
dadanya sendiri? Namun pertanyaan aneh 
ini cepat berganti dengan rasa kaget. 
Ah benar, perempuan ini tidak bernapas 
lagi, sudah mati. 
Celaka! Kenapa perempuan ini mati 
oleh pukulanku?  
Bocah ini tegang dan kemudian 
lari secepatnya meninggalkan 
korbannya. 
Sentiko memang menjadi kaget dan 
ketakutan melihat perempuan yang 
dipukul itu mati. Ia tidak sengaja 
membunuh. Ia tadi hanya ingin 
merobohkan supaya pingsan saja. 
Sentiko tidak pernah berpikir bahwa 
pukulannya amat berbahaya bagi seorang 
perempuan desa ini. 
Setelah Sentiko pergi, muncullah 
seorang kakek, tubuhnya tinggi besar 
dan semua rambut sudah berubah putih, 
baik pada alis, jenggot maupun 
kumisnya. Melihat perempuan yang 
menggeletak tewas ini, kakek tua tidak 
kaget dan juga menyesali keganasan 
Sentiko, tetapi anehnya malah 
terkekeh. 
Heh heh heh heh, bagus! gumamnya 
sambil meninggalkan perempuan itu. 
Bagus sekali. Bocah sekecil itu 
tangannya sudah ganas! Heh heh heh 
heh, hari ini aku beruntung. Pada usia 
tuaku seperti sekarang ini aku belum 
mempunyai murid seorangpun. Tetapi 
bocah itu sungguh tepat untuk menjadi 
muridku. 
Tak lama kemudian kakek ini 
melihat, Sentiko sudah hampir masuk 
sebuah desa sebelah utara Lawang. 
Bocah itu sudah tidak lari lagi dan 
sesaat kemudian bocah itu malah masuk 
dalam warung, lalu duduk di dekat 
seorang laki-laki gagah  berumur 
sekitar empat puluh tahun. 
Laki-laki itu brewok dan 
menyeramkan. Namun demikian Sentiko 
tidak takut karena menurut jalan 
pikiran bocah ini orang sama-sama 
butuh jajan. Berbeda dengan orang yang 
lain, mereka yang jajan lebih suka 
duduk berhimpitan pada bangku panjang 
di meja lain. Entah mengapa sebabnya, 
Sentiko sendiri tidak peduli. 
Saking perutnya sudah merengek 
kelaparan, Sentiko tidak peduli kepada 
yang lain. Ketika nasi diterima tanpa 
membuka mulut lagi ia sudah makan 
dengan lahap. Seolah-olah bocah ini 
ingin memasukkan semua nasi itu hanya 
sekali telan saja. 
Melihat sikap Sentiko, laki-laki 
brewok itu mengerutkan alis. Ia 
menjadi kurang senang, entah apa 
sebabnya. 
Mendadak orang itu bersin. 
Beberapa percik ludahnya menghambur ke 
nasi di depan Sentiko. 
Sentiko kaget. Perutnya amat 
lapar dan nasi baru separo ia makan. 
Tetapi nasi itu sudah campur ludah 
orang, manakah mungkin ia mau makan 
lagi? 
Bocah ini melirik tidak senang. 
Tetapi laki-laki itu malah memandang 
ke arah lain. Karena yang penting 
sekarang ini mengisi perut, maka 
Sentiko menahan kemendongkolan hatinya 
lalu pesan nasi lagi. 
Oleh si penjual pun cepat pula 
dilayani. Ketika nasi sudah diterima, 
iapun mulai makan lagi. Namun baru 
tiga suap nasi masuk ke perut, lagi-
lagi orang itu bersin  dan menyemprot 
nasinya dengan ludah. Sekarang bukan 
saja laki-laki itu bersin, tetapi 
malah diikuti dengan sindirannya. 
Hemm, bocah tak tahu adat. Orang 
tua belum makan, bocah cilik sudah 
mendahului! 
Sentiko tidak senang oleh sikap 
laki-laki ini. Mengapa makan  di 
warung, membayar dengan uang sendiri 
harus diatur orang? 
Akan tetapi saat sekarang ini 
hatinya gelisah, ingat kepada 
perbuatannya tadi. Oleh karena itu 
tiada nafsu untuk bertengkar dengan 
orang, dan lebih baik segera membayar 
harga makanan dan mencari warung lain. 
Karena itu ia cepat mengeluarkan 
pundi-pundi sambil bertanya harga ma-
kanan yang sudah dibelinya. 
Celakanya baru saja mau membuka 
tali pundi-pundi, mendadak sudah 
pindah ke tangan laki-laki itu. Dan 
laki-laki ini kemudian tertawa sambil 
bicara seenak udelnya sendiri. 
Heh heh heh heh, tak patut bocah 
cilik membawa banyak uang 
Wajah Sentiko sebentar pucat dan 
sebentar merah. Apakah uang hasilnya 
merampas sekarang harus ganti dirampas 
orang secara terang-terangan di warung 
ini? Apakah harus dibiarkan saja 
perbuatan orang kasar ini? Dan kalau 
dibiarkan, apa yang harus dipergunakan 
membayar harga makanan? 
Kembalikan uangku! teriaknya 
sambil menggerakkan tangan untuk 
merebut.  
Plakkkk....! 
Tangan Sentiko ditangkis dan 
terhuyung beberapa langkah ke belakang 
lalu menabrak tiang warung. Dan ia 
meringis karena lengannya tergetar 
hebat dan sakit. 
Tetapi sebaliknya laki-laki yang 
merebut pundi-pundi terbelalak heran 
hampir tidak percaya akan pandang 
matanya sendiri. Benarkah bocah itu 
tidak roboh dan patah lengannya? 
Orang lain yang melihat bergegas 
meninggalkan warung. Mereka takut 
akibatnya dan lebih baik menyingkir 
sebelum terlambat. 
Pemilik warung sendiri menjadi 
gemetar ketakutan. Namun yang ia 
takutkan hanyalah apabila terjadi 
kerusakan pada benda-benda dalam 
warungnya. 
Nak Jayus... kasihanilah aku, 
bujuknya halus, jangan di warung ini. 
Heh heh heh heh, jangan khawatir, 
tukasnya sambil terkekeh. 
Setiap penduduk Purwosari dan 
Lawang sekitarnya, memang sudah kenal 
siapa laki-laki ini. Dia seorang 
kasar, lagaknya jagoan, sewenang-
wenang dan merampas milik orang lain. 
Memang sebenarnya saja laki-laki ini 
disebut gentho (Gali) oleh orang 
banyak. 
Setiap orang kenal namanya, Kreto 
Jayus. Masih ada baiknya memang, 
sekalipun penjahat, tidak mau 
mengganggu milik tetangga. Jika 
melakukan kejahatan hanya kepada 
penduduk desa yang jauh dan atau belum 
kenal. Sekalipun demikian, sebagai 
penjahat, orang yang berani melawan 
kehendaknya akan dihajar babar belur. 
Dan sekarang begitu melihat 
Sentiko yang kecil dan makan 
disampingnya tanpa mau menawarinya, ia 
menjadi tersinggung. Itulah sebabnya 
ia bersin dan sengaja ditujukan ke 
nasi Sentiko, untuk mengobati 
kemendongkolannya. 
Akan tetapi demi melihat bocah 
cilik itu mempunyai banyak uang tiba-
tiba saja timbul keinginannya untuk 
merampas. Namun ketika tangkisannya 
tidak membuat orang itu roboh, Kreto 
Jayus menjadi penasaran. 
Kembalikan uangku....! teriak 
Sentiko.  
Heh heh heh heh, rebutlah kembali 
kalau bisa! ejek Kreto Jayus sambil 
keluar dari warung. Sentiko mendelik 
marah. Sekalipun kecil ia  bocah 
berilmu  di samping tabah dan berani. 
Tantangan itu menyebabkan ia 
penasaran. Teriaknya, Jahanam busuk! 
Engkau hanya berani mengganggu anak 
kecil saja. Sangkamu aku takut? 
Pemilik  warung  sudah pucat dan 
khawatir, bocah sekecil itu, mengapa 
berani melawan Kreto Jayus? Ia sudah 
membayangkan tidak urung bocah cilik 
ini akan mati. 
Di pihak lain orang-orang yang 
tadi jajanpun menjadi tegang dan 
khawatir pula. Mereka tidak berani 
mencampuri, namun demikian mereka 
menonton juga dari tempatnya 
bersembunyi. Sentiko telah melompat 
mengejar Kreto Jayus. Laki-laki itu 
terkekeh di tengah jalan sambil 
memamerkan pundi-pundi yang tadi ia 
rebut. 
Hai Bocah! Engkau tak patut 
memiliki uang sebanyak ini. Hayo, 
katakan dari mana kau mencuri? 
Jahanam! Aku tidak mencuri. 
Kembalikan uangku! 
Sentiko sudah meloncat menyerang 
menggunakan tangan dan kaki yang 
kecil. Tangan kiri dengan dua jari 
menyerang mata, sedang tangan kanan 
menyerang ulu  hati, ditambah pula 
dengan gerakan yang cepat menendang 
tangan kiri orang yang memegang pundi-
pundi. 
Aihh... kurangajar! Kreto Jayus, 
lalu terkekeh  dan mengejek, Heh heh 
heh heh, agaknya kau mempunyai sedikit 
kepandaian, lalu menjadi sombong dan 
tidak memandang sebelah mata kepadaku. 
Bagus, aku ingin mematahkan kaki dan 
tanganmu biar kapok. 
Sentiko tidak peduli. Begitu 
serangan pertama dihindari lawan, ia 
menerjang maju dengan kecepatan kilat. 
Tubuh yang kecil itu dengan ringan 
melesat ke depan. Dua tangannya 
bergerak, tangan kiri mengulang 
menyerang mata dan tangan kanan 
kembali menyerang uluhati. 
Kreto Jayus berdiri dan tidak 
menghindar. Setelah menyimpan pundi-
pundi dalam bajunya ia mengangkat 
tangan kiri untuk menangkis sambil 
merendahkan tubuh. Berbareng dengan 
itu tangan kanan mencengkeram pundak. 
Wut... wut... plak... Aihhh...! 
Kreto Jayus kaget setengah mati, 
ketika tangkisan dan pukulan 
balasannya luput, malah pundaknya 
terpukul. Sekalipun kecil tangan 
Sentiko, namun pukulan itu menyebabkan 
Kreto Jayus kesakitan. 
Orang yang menonton heran 
mendengar teriakan Kreto Jayus karena 
mereka sulit percaya. Kreto Jayus yang 
biasanya garang berhadapan dengan 
lawan itu, mengapa sekarang terpukul 
bocah cilik saja sudah berteriak? 
Apakah bocah ini bocah ajaib? 
Kreto Jayus menjadi amat marah. 
Kalau tadi ia melawan Sentiko dengan 
sikap mengejek dan merendahkan, 
sekarang tidak berani sembrono lagi. 
Diam-diam ia malu dan berjanji takkan 
melepaskan bocah ini sebelum mampus. 
Karena itu sambil membentak lantang 
dua tangannya bergerak cepat untuk 
memukul roboh lawan. 
Ia menubruk ke depan bermaksud 
menangkap Sentiko. Namun Sentiko dapat 
bergerak gesit seperti bayangan. Tiba-
tiba tubuh bocah itu melesat cukup 
tinggi. Di udara berjungkir balik, 
kepala di bawah dan kaki di atas. Lalu 
dua tangannya seperti kilat cepatnya 
menyambar ke arah mata dan ubun-ubun. 
Sekalipun bocah cilik, serangan ini 
amat berbahaya. 
Akan tetapi Kreto Jayus merasa 
jagoan dan bertenaga raksasa. Tangan 
Sentiko yang meluncur itu disambut 
dengan tangkisan tangan kiri sedang 
tangan kanan berusaha mencengkeram 
pusar lawan. 
Aduhhh...! Kreto Jayus berteriak 
kaget ketika dekat telinganya 
terserempet pukulan lawan. Kepalanya 
sakit dan nanar. 
Sungguh, tidak pernah dibayangkan 
oleh Kreto Jayus mengalami peristiwa 
ini. Ia menjadi amat malu. Dirinya 
terkenal sebagai jagoan tanpa tanding 
di wilayah ini. Haruskah sekarang 
menyerah di tangan anak kecil? Saking 
marah dan penasaran ia menjadi lupa 
daratan dan mata gelap. Tiba-tiba saja 
ia mencabut goloknya yang menghitam 
karena berkali-kali sudah minum darah 
korban. Dan sekarang golok ini akan 
disuruh minum darah Sentiko. 
Melihat orang mencabut golok 
diam-diam Sentiko gentar. Bagaimanapun 
selama ini ia belum pernah berkelahi 
sungguh-sungguh. Kalau berkelahi hanya 
berlatih dengan murid kakeknya. 
Meskipun demikian bocah ini tidak 
takut. Ia sudah mendapatkan bukti 
bahwa ilmu yang dimilikinya tidak 
kalah dengan ilmu lawan. 
Tiba-tiba saja malah timbul 
kegembiraan bocah ini.  Bukankah 
perkelahian ini malah bisa dijadikan 
semacam ujian? Kepergiannya sekarang 
ini untuk mencari Gajah Mada dan Mpu 
Nala. Padahal dua orang itu terkenal 
sebagai tokoh Majapahit yang sakti 
mandraguna. Kalau sekarang berhadapan 
dengan lawan ini saja tak  dapat 
mengalahkan, manakah mungkin bisa 
menang melawan dua tokoh itu? 
Teringat itu Sentiko jadi makin 
mantap. Secepat kilat tangannya 
mencabut tombak trisula dari balik 
baju. Tombak trisula yang dapat 
ditekuk itu lalu diluruskan. Dan 
sambil melintangkan  di depan dada 
bocah ini dengan garang berkata,  
Kembalikan uangku habis perkara! 
Tetapi jika tidak engkau kembalikan, 
akupun tidak takut! Kau punya golok 
akupun punya tombak trisula! 
Heh heh heh heh, Kreto Jayus 
terkekeh mengejek. Bagus! Sungguh 
tidak nyana  bayi kemarin sore berani 
melawan aku. Huh, sesungguhnya aku 
malu melawan bocah. Tetapi karena kau 
sudah berani memukul aku dua kali, 
sekarang rasakan pembalasanku! 
Tanpa malu lagi Kreto Jayus sudah 
mendahului menerjang ke depan 
menggerakkan goloknya menyerang 
Sentiko. Serangan itu cepat dan kuat, 
menerbitkan angin menyambar-nyambar. 
Orang yang menonton dari tempat 
sembunyi amal khawatir. Manakah 
mungkin bocah itu dapat melawan golok 
Kreto Jayus? 
Akan tetapi sekalipun belum 
pernah berkelahi, ia seorang murid dan 
cucu tokoh Sakti. Ilmu yang dipelajari 
merupakan ilmu tinggi. Begitu melihat 
golok menyambar, dengan senjata tombak 
trisula Sentiko meloncat ke samping 
dan tak mau beradu senjata, karena 
sadar tenaganya kalah. Dan apabila 
terjadi benturan senjata sulit bagi 
dirinya mempertahankan senjatanya. 
Sambil menghindar ke samping ini 
tombak trisulanya menikam lambung. 
Kreto Jayus tak mau  memberikan 
lambungnya luka, menarik kembali 
goloknya dan membabat sambil 
menggerakkan tangan kiri untuk 
mencengkeram tangkai tombak trisula 
lawan. 
Takk.... Ahh, aduhhh...! 
Lagi-lagi Kreto Jayus berteriak 
kaget dan kesakitan. Ternyata 
gerakannya kalah tangkas dan kalah 
cepat. Tangkai tombak trisula lawan 
yang akan dicengkeram itu malah 
memukul lengannya. Kreto Jayus 
meringis oleh pukulan itu karena 
lengan kiri hampir lumpuh. 
Akan tetapi justru pukulan ini 
menyebabkan Kreto Jayus tambah marah. 
Kalau tadi ia masih melawan seorang 
bocah cilik, sekarang ia sudah lupa 
daratan. Maka sambil membentak 
nyaring, ia membabatkan goloknya. 
Hiyaaaat.... hiyaaaaat....! 
Babatan golok itu menyebabkan 
hati Sentiko khawatir juga. Dapatkah 
ia mengalahkan lawan dan dapat 
merampas kembali pundi-pundi uangnya? 
Pengalamannya tadi berkali-kali ia 
berhasil memukul lawan. Teringat itu 
bocah ini menjadi lebih mantap. 
Rasa percaya kepada ilmu kesak-
tian yang dimiliki ini menyebabkan 
gerakan Sentiko semakin menjadi 
mantap. Tombak trisulanya menyambar-
nyambar dengan gerakan ilmu tombak 
yang bercampur dengan ilmu pedang. 
Memang si Tangan Iblis, kakek Sentiko, 
dahulu terkenal sebagai ahli senjata 
tombak. Berdasarkan pengalamannya 
pula, ia kemudian berhasil menggubah 
ilmu senjata yang dicampur antara ilmu 
tombak dan ilmu pedang pilihan. 
Saat itu Kreto Jayus sudah 
memuncak kemarahannya. Ia  membetak 
nyaring, berbareng merendahkan tubuh 
untuk menyerampang kaki lawan. 
Maksudnya sekali membabat, akan segera 
buntunglah kaki lawan. Tetapi justru 
gerakan membabat inilah kesalahan 
orang itu. 
Sambil meloncat tinggi 
menghindari serangan, Sentiko memukul 
tengkuk lawan. Kreto Jayus cepat 
memiringkan tubuh sambil menggerakkan 
tangan kiri ke atas untuk mencengkeram 
bawah pusar. Dan kesempatan ini tidak 
disia-siakan Sentiko yang masih 
mengapung di udara. Ia memukulkan 
tombak trisulanya, namun Kreto Jayus 
menarik kembali tangannya sambil 
melompat ke samping. 
Tak..... bukk....! Tubuh Kreto 
Jayus yang tinggi besar itu terguling-
guling sambil meringis. Ia dapat 
menyelamatkan nyawanya, namun  pundak 
kanan terpukul dan goloknya lepas. 
Disamping itu tendangan tendangan 
Sentiko yang tidak terduga-duga 
menyebabkan dada sesak dan sulit 
bernapas. 
Di saat Kreto Jayus bergulingan 
ini, pundi-pundi yang disimpan 
menggelinding keluar. Sentiko tidak 
menyia-nyiakan kesempatan, dan cepat 
disambar dengan tangan kiri, lalu 
disimpan di bank baju. Bagi Sentiko 
tak ada maksud berkelahi. Maka apabila 
pundi-pundi sudah kembali, sudah 
cukup. Oleh sebab itu bocah ini 
kemudian melangkah pergi. 
Orang-orang yang menonton sambil 
bersembunyi terbelalak kaget. Benarkah 
apa yang mereka lihat dan saksikan 
ini? Kreto Jayus yang suka berbuat 
sewenang-wenang dan merupakan gentho 
yang ditakuti orang itu, sekarang 
babak belur hanya menghadapi anak 
kecil saja? Diam-diam mereka  senang, 
tentunya dengan peristiwa ini Kreto 
Jayus akan berubah tabiatnya. 
Akan tetapi sudah tentu Kreto 
Jayus tak mau berhenti sampai di sini. 
Sekalipun dada sesak dan pundak sakit, 
tetapi tidak terluka. Ia harus 
membalas kekalahannya, maka sambil 
menggeram marah, ia melompat berdiri 
kemudian menyambar goloknya. Tanpa 
mempedulikan pakaiannya yang kotor, ia 
sudah berteriak lantang sambil 
mengejar. 
Bocah bangsat! Jahanam! Hayo 
berhentilah! Makanlah golokku ini! 
Sentiko kaget dan cepat melompat ke 
samping. Karena tak mungkin dapat 
melawan tanpa senjata, maka secepat 
kilat ia mengambil senjatanya. Dan 
diam-diam bocah ini marah juga, karena 
ia sudah bersikap lunak, tetapi 
ternyata orang tinggi besar ini tak 
tahu diri. 
Diam-diam bocah inipun menjadi 
penasaran dan ingat kepada nasihat 
kakeknya yang antara lain, dalam 
berkelahi menggunakan senjata apabila 
tidak mati terbunuh harus membunuh 
lawan. Karena itu sebelum lawan sempat 
membunuh, engkau harus membunuh lawan 
lebih dahulu. 
Nasihat yang berbau sesat ini 
sudah tentu ditelan begitu saja oleh 
otak yang belum pandai 
mempertimbangkan baik dan buruknya 
ini. Ia beranggapan setiap nasihat 
kakeknya tentu benar dan baik. Maka 
sekarang menghadapi lawan bersenjata 
ini, ia harus membunuh kalau tidak 
ingin dibunung orang. Karena itu tanpa 
membuka mulut bocah inipun sudah 
melengking nyaring sambil menggerakkan 
senjatanya. Dan kemudian terjadilah 
perkelahian yang cukup sengit, dua 
senjata itu menyambar dahsyat. 
Apa yang terjadi itu tidak pernah 
lepas dari pengamatan kakek tua yang 
sejak tadi membayangi Sentiko. Ia tadi 
merasa keheranan ada bocah cilik 
sanggup membunuh perempuan desa. 
Sekarang ia menjadi terbelalak, 
melihat gerak senjata Sentiko yang 
cepat tetapi ganas, penuh tipu  daya 
dan pancingan licik. Jelas bahwa ilmu 
bocah ini berbau sesat. 
Dalam pada itu melihat gerakan 
Sentiko yang mantap, kakek inipun bisa 
menduga, tentu guru bocah ini tokoh 
sesat yang sakti mandraguna. Ahh, 
alangkah senangnya apabila ia dapat 
memiliki murid tunggal seperti bocah 
ini, bocah yang berbakat, akan tetapi 
juga sesuai dengan wataknya sendiri 
yang sesat. Ia sudah membayangkan 
betapa gempar dunia ini, apabila 
beberapa tahun kemudian, muridnya ini 
mulai mengganas di sana sini. 
Karena tak ingin bocah yang 
diincar untuk menjadi muridnya ini 
terlalu lama berkelahi, kakek ini 
segera membantu diam-diam. Ia memungut 
dua butir kerikil, dan ketika tangan 
bergerak, dua butir kerikil ini 
meluncur amat cepat. 
Bantuan yang diberikan ini justru 
sudah diperhitungkan secara tepat. Dua 
butir kerikil itu memukul secara tepat 
pada pundak kiri dan pundak kanan 
Kreto Jayus dan pada saat itu pula 
tombak trisula Sentiko justru 
menyambar. 
Pukulan kerikil itu menyebabkan 
pundak Kreto Jayus sakit dan panas. 
Lengannya mendadak lumpuh dan 
tangkisannya gagal, malah disusul 
kemudian goloknya runtuh di tanah. Ia 
kaget sekali ketika melihat senjata 
lawan menyambar ke arah dada. Ia 
bermaksud melompat menghindarkan diri, 
tetapi celaka! Di belakang tubuhnya 
seperti ada benteng yang kuat menempel 
punggung dan tak dapat bergerak lagi. 
Apa yang sudah terjadi? Benteng 
yang tidak tampak itu adalah tenaga 
dalam yang dikirim kakek tua itu dan 
yang menyebabkan Kreto Jayus tak dapat 
menghindar lagi. 
Crott....! Aduhhh.....! 
Dada Kreto Jayus berlubang tiga 
tempat, terhunjam oleh tombak trisula. 
Pekik mengerikan keluar dari mulut dan 
darah merah membanjir keluar dari 
dada. 
Sentiko sendiri terbelalak dan 
ngeri, melihat mengucurnya darah merah 
dari dada lawan. Ia cepat menarik 
senjatanya, dan begitu lepas Kreto 
Jayus roboh, meregang sebentar lalu 
tak bergerak lagi untuk selamanya. 
Tadi, membunuh seorang perempuan 
tanpa sengaja saja, bocah ini sudah 
lari terbirit-birit. Apa pula 
sekarang, melihat korbannya roboh 
mandi darah, Sentiko memekik nyaring 
lalu lari sipat kuping (cepat sekali), 
dan tombak trisula yang bernoda darah 
itu masih dipegang tangan kanan. Tak 
lama kemudian ia sudah masuk ke dalam 
sebuah hutan kecil tak jauh dari 
tempat itu. 
Akan tetapi tiba-tiba Sentiko 
roboh terguling dan tombak trisulanya 
lepas melesat agak jauh. Bocah ini 
keheranan, merasa menabrak sesuatu 
yang lunak yang mempunyai daya membal 
dan menyebabkan dirinya seperti 
dilemparkan. Maka cepat-cepat ia 
meloncat berdiri dan kemudian.... 
Sentiko terbelakak. 
Didepannya sudah berdiri seorang 
tua, tubuhnya tinggi besar, sedang 
tertawa terkekeh kegelian. Munculnya 
kakek ini seperti setan saja, seperti 
muncul dari dalam bumi. Karena itu 
Sentiko tadi merasa tidak ada orang, 
tetapi tahu-tahu sudah menabrak. 
Kakek! Apakah sebabnya Kakek 
duduk di tengah jalan? tegurnya sambil 
membersihkan pakaiannya yang kena 
debu. "Dan apakah sebabnya pula aku 
kau banting roboh? 
Kakek itu tertawa semakin 
terkekeh, Heh heh heh heh, lucu... 
Sentiko tidak senang, protesnya, 
Apanya yang lucu? Aku tidak apa-apa, 
tetapi apakah sebabnya kau banting? 
Uah uah, engkau yang menabrak 
aku, tidak minta maaf, sebaliknya 
malah marah-marah kepada orang. 
Wajah yang semula berseri dan 
terkekeh itu tiba-tiba berubah dan 
tampak sungguh-sungguh, sedangkan 
matanya tak berkedip memandang Sen-
tiko. Hai Bocah! Apakah engkau ini 
benar-benar bocah yang tidak tahu 
aturan? Seharusnya kau minta maaf 
karena sudah menabrak aku. Tetapi 
mengapa engkau malah menyalahkan aku? 
Huh huh kurangajar. 
Apa? Kaulah yang bersalah! 
Sentiko membantah dengan lantang tanpa 
gentar. Engkau tahu, aku sedang lari. 
Tetapi mengapa kau tak mau menyingkir 
dan malah membanting aku? 
Siapakah yang membanting? Aku 
tidak melakukan sesuatu. 
Tetapi nyatanya aku terpental 
roboh. Bukankah engkau telah sengaja 
membanting aku ? 
Melihat sikap bocah yang tabah 
dan berani ini, kakek itu ketawa 
kembali. Katanya sambil mengusap 
jenggotnya yang menjuntai panjang, Heh 
heh heh heh, luar biasa. Luar 
biasa....