Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 12 - Aji Wisa Dahana(2)


Adityawarman pun menduga seperti itu. 
Maka katanya kemudian. 
- Ya! Dugaan demikian memang tidak ber-
bantah. Seperti kita ketahui dan diakui pula oleh 
Paman Gajah Mada, di antara Dharmaputra me-
mang terdapat perasaan tidak puas, sehubungan 
dengan pengangkatan Paman Gajah Mada sebagai 
Patih Mangkubumi Majapahit. Alasannya ialah, 
Paman Gajah Mada bukan keturunan bangsawan. 
Hem. tetapi semua itu menurut pendapatku tidak 
beralasan. Dengan kata lain, hanya merupakan 
alasan yang mereka cari-cari. Bagi saya, tidaklah 
tepat apabila kedudukan itu harus diukur dari 
keturunan.- 
Ia berhenti lalu membasahi bibirnya. Seje-
nak kemudian baru ia meneruskan. - Lebih-lebih 
kedudukan Patih Mangkubumi Majapahit. Wa-
laupun bukan keturunan bangsawan, apabila ca-
kap dan mampu tidak ada halangannya. Dan se-
baliknya, walaupun keturunan bangsawan akan 
tetapi apabila tidak cakap, tentu saja saya memi-
lih yang pertama.- 
Adityawarman berhenti lagi sejenak. Sete-
lah menghela napas ia meneruskan. 
- Timbul pikiran saya, untuk bisa menang-
kap Julung Pujud dalam keadaan masih hidup 
atau mati. Syukur apabila bisa kita tangkap hi-
dup-hidup, dari mulut orang itu kemudian kita 
akan  memperoleh keterangan-keterangan yang 
berharga, dan kiranya cita-cita ini baru terlaksa-
na, kalamana kita memperoleh bantuan Mpu 
Anusa Dwipa. Ehhh, Bapa Pendeta Kepakisan, 
mungkinkah Bapa Pendeta bisa membujuk Mpu 
Anusa Dwipa menangkap Julung Pujud?- 
Mpu Kepakisan menghela napas pajang. Ia 
tidak segera memberikan jawabannya. Karena ia 
cukup kenal akan watak Mpu Anusa Dwipa yang 
aneh bin ajaib itu dan yang lain dari yang lain. 
Kalau saja Mpu Anusa Dwipa itu seorang yang gi-
la terhadap pangkat dan kedudukan, kekayaan 
ataupun harta benda, adalah gampang sekali 
mempengaruhi kakek itu dengan macam-macam 
usaha dan janji. 
Akan tetapi Mpu Anusa Dwipa bukan 
orang macam itu. Bukan seorang yang gila terha-
dap pangkat, kedudukan, harta benda ataupun 
kekayaan. Dia tidak membutuhkan apa-apa! Ka-
kek itu hidup bagai burung tanpa sarang. Dia be-
bas beterbangan ke manapun dia suka. Kadang-
kala tanpa diminta dia sudah mengulurkan tan-
gan memberi pertolongan kepada orang. Akan te-
tapi kadang-kadang pula, dia tidak peduli walau-
pun tahu orang dalam kesulitan. Juga walaupun 
Mpu Anusa Dwipa telah mengetahui jelas terha-
dap watak seseorang dan jelas orang itu jahat, 
namun kalau perlu dia bersedia pula memberi 
pertolongan maupun sekedar ilmu kesaktian. 
Sesudah berpikir sejenak lamanya, baru 
Mpu Kepakisan memberi jawaban. 
- Hemm, saya kurang yakin dan sulit pula 
untuk dapat menduga, bagaimana tanggapannya 
apabila saya mengajukan persoalan itu. Dia seo-
rang yang aneh! Dia hidup tidak membutuhkan 
apa-apa, jadi sulitlah orang dapat mempengaruhi 
maupun menarik perhatian dia. Akan tetapi seka-
lipun demikian saya akan berusaha juga menco-
ba, dan juga untuk merundingkan soal ini kepada 
dia. Hemm, hanya saja ...... 
- Nampaknya Bapa Pendeta ragu. Katakan-
lah!- Adityawarman mendesak. 
- Bendara, untuk mencari kakek gendut itu 
tidak gampang, Sebab dia tidak mempunyai tem-
pat tinggal yang tetap. Dia bagai burung tanpa sa-
rang.- 
-  Ada cara untuk mengundang dia.-  Mpu 
Nala mengemukakan pendapatnya. 
- Dengan jalan apa?- Gajah Mada tertarik. 
- Maklumat Raja Majapahit, guna mengun-
dang Mpu Anusa Dwipa datang ke Majapahit.- 
-  Ha ha ha ha,-  Gajah Mada ketawa. - 
Orang-orang sakti seperti Mpu Anusa Dwipa dan 
yang lain manakah mau tunduk kepada segala 
maklumat Raja Majapahit? Mereka tidak merasa 
terikat oleh sesuatu tugas kewajiban bagi negara. 
Mereka merasa hidup bebas tiada yang dapat 
mengganggu gugat.- 
-  Ahhh, itu pendapat dan pendirian yang 
tidak benar.-  Adityawarman menyahut cepat. - 
Sebab setiap warga negara atau rakyat dalam su-
atu negara, dibebani kewajiban untuk melakukan 
sesuatu bagi kepentingan negara.- 
-  Benar! Akan tetapi sebaliknya, Bendara 
juga harus mengerti terhadap kenyataan yang ter-
jadi dalam dunia orang-orang seperti Mpu Anusa 
Dwipa itu.- Gajah Mada menerangkan. - Kita su-
dah berpayah-payah mengatur dengan Undang-
Undang dan Maklumat, guna ketenteraman tata 
kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Me-
reka yang salah harus mendapatkan hukuman 
yang setimpal dengan kesalahannya. Tetapi ba-
gaimanakah kenyataan yang terjadi dalam ling-
kungan kehidupan mereka? Mereka tidak peduli 
kepada segala macam peraturan negara itu. Dan 
mereka saling bunuh secara liar.- 
Gajah Mada berhenti, memandang yang 
hadir mencari kesan. Sejenak kemudian ia mene-
ruskan. 
-  Sesungguhnya sedih juga hati saya ini 
apabila memikirkan masalah mereka itu. Akan te-
tapi sampai sekarang saya belum juga berhasil 
menemukan obat yang mujarab guna menyem-
buhkan penyakit mereka itu.- 
Untuk beberapa saat lamanya mereka ber-
diam diri. Mereka semua justru sudah mengenal 
apa yang terjadi dalam dunia orang-orang sakti. 
Sejak zaman dahulu, usaha telah dirintis dan di-
lakukan guna mengubah cara hidup mereka. Na-
mun terbukti, segala usaha itu selalu berhadapan 
dengan kegagalan. Apabila penguasa sampai 
menggunakan kekerasan, akibat yang timbul ada-
lah malah di luar harapan dan di luar dugaan. 
Mereka kemudian malah menuduh para penguasa 
sudah bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini 
apabila sampai ditunggangi oleh pihak-pihak yang 
sengaja menimbulkan kekacauan, terjadilah pem-
berontakan. Terjadilah perebutan kekuasaan. 
Akibatnya malah tidak menyenangkan dan malah 
tidak menyenangkan dan merugikan para kawula 
di negara itu sendiri. 
- Hemm, sekarang kita usahakan saja den-
gan mempercayakan Paman Kepakisan!-  Gajah 
Mada memecah sunyi. - Paman Kepakisan justru 
mempunyai sejumlah cucu atau murid. Aku per-
caya dengan bantuan mereka itu, bantuan Mpu 
Anusa Dwipa bagi Majapahit bisa kita harapkan.- 
Mereka kemudian setuju justru memang 
tidak menemukan cara yang lebih tepat. Mereka 
kemudian bubaran. 
Tetapi Mpu Nala yang masih ingin bicara 
tentang anaknya, masih merasa belum puas ter-
hadap keterangan Mpu Kepakisan yang ia rasa-
kan terlalu singkat itu. Maka ia banyak minta 
penjelasan, lebih-lebih mengingat sampai seka-
rang ini, puteranya yang bernama Surya Lelana 
dan mencari mencari Dewi Sritanjung, belum juga 
pulang kembali ke Majapahit 
Ke manakah sesungguhnya Surya Lelana 
pergi? Marilah sekarang kita ikuti perjalanan pe-
muda itu, semenjak meninggalkan Kota Majapa-
hit. 
Surya Lelana, yang sudah menguasai Aji 
Sepi Angin itu berlarian cepat sekali dalam usa-
hanya mengejar Dewi Sritanjung. Saking gelisah 
dan tergesa, pemuda ini berlarian cepat sekali. 
Kemudian ketika pagi tiba, ia telah tiba di wilayah 
pegunungan Kendeng. 
Pada pagi itu Surya Lelana melepaskan le-
lah dengan duduk di atas sebuah batu. Ia meng-
hela napas berkali-kali, sambil menggumamkan 
nama adiknya. Ia menjadi bingung! Ia tak tahu ke 
mana harus menuju guna mencari adiknya yang 
pergi. 
- Dewi ..... ohh Dewi, ke manakah engkau? 
Ayah menjadi bingung dan akupun bingung. Dewi 
.....kembalilah ...... 
Saking terlalu memikirkan nasib adiknya, 
ia menjadi lupa terhadap perut yang lapar dan 
mata yang mengantuk. Setelah tenaga ia rasakan 
pulih kembali, pemuda ini lalu meneruskan usa-
hanya mencari adiknya, menuju ke selatan. Ia 
menduga tentu adiknya pulang ke tempat tinggal 
gurunya, Ki ageng Tunjung Biru yang letaknya 
pada pertemuan dua sungai, Lengkong dan Bran-
tas. 
Perjalanan ia percepat dan gembiralah hati 
pemuda ini ketika melihat perahu kecil yang da-
hulu ia tinggalkan, masih tetap tertambat di tepi 
sungai. Perbedaannya hanyalah perahu itu seka-
rang telah penuh oleh lumpur dan hampir ter-
pendam. Maka untuk bisa ia pergunakan menye-
berang, Surya Lelana harus bekerja keras lebih 
dahulu. 
Wajah pemuda itu berseri, ketika perahu 
sudah bersih. Perahu segera ia pakai menyebe-
rangi sungai Lengkong. Setelah menambatkan pe-
rahu kecil itu ditempat terlindung, bergegaslah 
pemuda ini menuju pondok Ki ageng Tunjung Bi-
ru. Tetapi belum jauh ia menerobos hutan itu, 
terdengarlah suara harimau yang mengaum. 
Pemuda ini berdebar hatinya. Namun ia se-
gera teringat kepada dua ekor harimau muda pia-
raan Ki ageng Tunjung Biru yang bernama Tum-
pak dan Manis. Ia pernah mendapatkan pelajaran 
mengenai dua ekor harimau tersebut dari Dewi 
Sritanjung. Maka setelah ia memperhatikan asal 
suara mengaum tadi, ia cepat memanggil. 
-  Tumpak! Manis! Datanglah kemari!-
Panggilannya cukup nyaring sehingga suara itu 
terdengar dari tempat jauh. Bagaimanapun pe-
muda ini berdebar, timbul kekhawatirannya kalau 
harimau itu sudah tidak mengenal dirinya lagi. 
Tak lama kemudian muncullah dua ekor 
harimau yang besar. Surya Lelana terbelalak ka-
get dan diam-diam sudah mempersiapkan senja-
tanya, khawatir apabila dua ekor harimau tutul 
yang besar itu bukan Tumpak dan Manis, da 
memusuhi dirinya. Sekalipun demikian Surya Le-
lana kemudian bersuara nguk..... nguk..... seperti 
yang sudah diajarkan adiknya. Dan sesudah itu 
ia berteriak. 
- Tumpak, Manis, apakah engkau lupa ke-
padaku?- 
Dua ekor harimau yang sekarang sudah 
menjadi besar itu, yang semula bersikap garang, 
mendadak mendekam dan bersuara seperti yang 
telah ia suarakan. Dua ekor harimau tutul itu 
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan me-
rupakan jawaban masih kenal. 
Surya Lelana memberanikan diri maju dan 
mengulurkan tangan kanan. Uluran tangan itu 
kemudian dibalas oleh Tumpak dan Manis den-
gan menggosok-gosokkan kepala ke lengan dan 
telapak tangan. Melihat sikap ini Surya Lelana 
terharu, kemudian memeluk dua ekor harimau 
itu bergantian. 
- Marilah kita menghadap majikanmu!- ka-
tanya halus. 
Dua ekor harimau tutul itu bersuara nguk 
nguk, beberapa kali. Lalu Tumpak menggosokkan 
tubuhnya ke paha Surya Lelana. Sesudah itu ia 
mendekam di depannya seperti memberitahukan 
Surya Lelana menunggang di punggungnya. Pe-
muda ini tersenyum, tanpa rewel lagi naik ke 
punggung harimau itu dan tanpa perintah lagi 
harimau itu melompat, lalu berlarian cepat sekali. 
Tidak lama kemudian tibalah pemuda ini di 
depan pondok Ki ageng Tunjung Biru. Sesudah ia 
turun dari punggung harimau pemuda ini lang-
sung menuju depan pintu. 
- Masuklah, Surya. – 
Terdengar suara halus dari dalam pondok, 
sebelum Surya Lelana sempat membuka mulut. 
-  Terima kasih, Uwa Guru,-  sahut Surya 
Lelana. Setelah memberi hormat, pemuda ini me-
langkah masuk. 
Akan tetapi pemuda ini melengak kehera-
nan, sesudah tiba di dalam pondok. Ia tidak me-
nemukan Ki ageng Tunjung Biru. Namun menga-
pa sebabnya ia tadi mendengar dengan jelas sua-
ranya? 
Pada saat Surya Lelana termangu-mangu 
heran ini, tiba-tiba terdengar lagi suara yang ha-
lus. 
-  Duduklah! Kenapa engkau tampak geli-
sah?- 
Surya Lelana terperanjat dan cepat-cepat 
menjatuhkan diri duduk. Lalu ia menengadahkan 
kepalanya dan memandang ke atas. Mulut pemu-
da ini melongo kagum, ketika ia melihat apa yang 
dilakukan oleh Ki ageng Tunjung Biru. Kakek 
yang sekarang sudah tampak tua renta itu, ter-
nyata sedang duduk bersila, dua tangannya ber-
sedekap di depan dada dan sepasang mata yang 
tajam berwibawa menatap dirinya. 
Yang membuat pemuda ini heran justru Ki 
ageng Tunjung Biru bukan duduk di atas balai-
balai melainkan duduk bersila di atas tali yang 
kecil, melintang di atas penglari pondok. Apa yang 
tampak dan apa yang ia lihat ini memberikan 
bukti, sampai di manakah tingkat ketinggian ilmu 
kakek ini dalam bidang meringankan tubuh. Wa-
laupun duduk bersila di atas tali yang kecil, tidak 
bergerak sedikitpun, seakan sedang duduk di atas 
tikar yang dikembangkan di tempat rata. 
- Uwa,- katanya dengan suara menggeletar. 
- Apakah Diajeng Sritanjung tidak pulang kema-
ri?- 
- Bukankah adikmu pergi ke Majapahit un-
tuk bertemu dengan ayahmu?- Ki ageng Tunjung 
Biru tidak menjawab pertanyaan Surya Lelana, 
malah bertanya. 
-  Benar, Uwa, dan sudah bertemu pula 
dengan Ayah. Tetapi sekarang dia pergi lagi tanpa 
pamit ..- 
- Hemm, sudah aku duga sejak lama,- ujar 
kakek ini dan tidak menunjukkan rasa kaget se-
dikitpun. 
Surya Lelana heran. -  Apakah sebabnya 
Uwa sudah menduga?- 
- Hemm, manusia hidup di dunia ini tak-
kan bisa lepas dari takdir, Anakku. Agaknya me-
mang sudah begitulah nasib adikmu. Dia lahir 
dari isteri ayahmu yang lain. Bisa dimengerti apa-
bila dalam keluargamu terdapat pula orang yang 
menerima kehadirannya secara tidak rela. Aki-
batnya adikmu menjadi kecewa, kemudian mela-
rikan diri.- 
Diam-diam Surya Lelana kagum. Ia segera 
menceritakan apa yang sudah terjadi di Majapa-
hit. Dan sekarang dirinya sedang berusaha men-
cari adiknya itu. 
- Adikmu memang cukup cerdik. Dia agak-
nya tahu, orang akan segera menyusul kemari 
untuk mencari. Itulah sebabnya dia malah pergi 
menurutkan kehendak hatinya yang kecewa dan 
tidak mau pulang kemari. Hemm, apa harus dika-
ta, justru manusia ini tiada artinya sama sekali 
jika dibandingkan dengan Kuasa Dewata Agung 
(Tuhan). Itu sudah merupakan garis yang takkan 
dapati diubah oleh manusia. – 
- Akan tetapi Uwa, baik saya maupun ayah 
menjadi bingung. Saya dan ayah berusaha men-
gejar dan mencari, namun dia seperti lenyap.- 
Ki ageng Tunjung  Biru mengusap-usap 
jenggotnya yang putih dan panjang. Kemudian 
katanya. 
- Apa yang kau katakan bingung itu karena 
tidak tahu jalan dan arah. Apa yang kau kecewa 
dan sedih itu karena kehendak dan keinginan 
orang tidak tercapai. Itu lumrah dan itu pula pe-
kerjaan manusia hidup di dunia ini yang takkan 
dapat dihindari. Manusia akan selalu bergelut 
dengan suka duka, kecewa dan lega, marah dan 
ketawa, serta lapar maupun kenyang. Sebaliknya 
adikmu tidak perlu engkau cari. Sekarang pulan-
glah ke Majapahit dan aku percaya, apabila dia 
belum mati, kelak kemudian hari akan timbul 
sendiri.- 
- Uwa Guru, sulit sekali untuk dapat bersi-
kap seperti itu. – 
- Tak ada yang disebut sulit, jika manusia 
benar-benar menyadari hidupnya ini sebagai 
mahluk Dewata Agung (Tuhan), yang ringkih dan 
harus percaya terhadap kekuasaan Dia.- 
- Tetapi bukankah manusia wajib berusaha 
dan berihtiar?- 
-  Benar! Namun dalam usahamu mencari 
adikmu di atas bumi yang luas ini, bagaimana bi-
sa bertemu apabila belum merupakan kehendak 
Dewata Yang Agung? Maka apabila kemudian hari 
adikmu datang kemari, sudah tentu aku akan be-
rusaha membujuk dan mempengaruhi agar sele-
kasnya pulang ke Majapahit dan bertemu dengan 
ayahmu. – 
- Apakah tidak mungkin Uwa memberi pe-
tunjuk kepada saya, guna mempermudah usaha 
saya mencari dia?- 
- Heh heh heh heh, manakah mungkin aku 
bisa tahu? Jika kau ingin memperoleh petunjuk 
dariku, tiada lain yang dapat aku katakan, pulan-
glah dan tunggulah di rumah. Kepergianmu men-
cari dia hanya akan sia-sia belaka dan tidak 
mungkin bisa bertemu.- 
Tetapi Surya Lelana tak mau percaya ter-
hadap ucapan Ki ageng Tunjung Biru. Pendeknya 
ia bertekad untuk mencari terus sampai ketemu. 
Perjalanan ini malah merupakan sarana bagi di-
rinya memperoleh pengalaman yang berharga. 
Akhirnya Surya Lelana tidak telaten terlalu 
lama di tempat ini. Ia kemudian minta diri dan 
ternyata orang tua itupun tidak mencegah. 
Surya Lelana meninggalkan pondok bobrok 
ini dengan hati yang masygul dan amat kecewa. 
Semula ia berharap Dewi Sritanjung pulang ke 
pondok gurunya. Namun ternyata dugaannya ke-
liru, gurunya sendiri tidak tahu di mana dia bera-
da. 
Dalam perjalanan menuju sungai ini, ia ti-
dak bertemu lagi dengan dua ekor harimau tutul 
yang jinak itu. Pemuda ini bergegas, dan baru ia 
merasa lega setelah ia berhasil menyeberangi 
sungai. Pendeknya ia takkan pulang kembali ke 
Majapahit, dan akan berkelana sambil mencari 
adiknya itu. 
Tetapi perut yang terasa amat lapar sekali, 
menimbulkan rasa melilit-lilit dalam perut. Mata-
hari sudah mulai bergeser di bagian barat. Karena 
itu ia kemudian berusaha mendapatkan maka-
nan, baik buah-buahan maupun binatang kecil. 
Akhirnya setelah ia bersusah payah mengintai 
beberapa lama, ia mendapatkan seekor ayam hu-
tan gemuk sebagai hasil sambitannya. Kemudian 
pemuda ini sibuk dengan daging ayam hutan 
yang gurih ini. 
Tetapi celakanya pula, setelah perut men-
jadi kenyang, mata yang sudah mengantuk itu ti-
dak dapat ia ajak damai lagi. Maka guna mengo-
bati rasa kantuk dan lelahnya itu tiada jalan lain 
kecuali harus mencari tempat aman guna tidur. 
Surya Lelana geragapan dan terbangun, 
ketika ufuk timur sudah membara. Malam sudah 
hampir pagi. Sekarang rasa kantuk, letih dan 
pegal sudah hilang, dan tenaganya pulih kembali. 
Melakukan perjalanan jauh di pagi hari ju-
stru tidak cepat lelah. Oleh sebab itu setelah 
mencuci muka ia sudah melangkah cepat menuju 
ke selatan. 
Tanpa terasa tibalah pemuda ini di ping-
gang Gunung Wilis. Pada saat pemuda ini sedang 
mencari binatang buruan guna mengisi perutnya 
yang lapar, mendadak ia kaget oleh bentakan 
orang yang keras. 
-  Hai jahanam! Siapakah engkau berani 
berkeliaran di tempat ini?- 
Surya Lelana terbelalak. Tahu-tahu di de-
pannya sekarang telah berdiri seorang kakek. Pa-
da tangan kirinya terjinjing keranjang kecil dari 
bambu dan dalam keranjang tersebut tampak be-
berapa macam daun dan jamur. 
Mata kakek itu mengamati Surya Lelana 
penuh selidik dan curiga. 
Sedang Surya Lelana memandang kakek 
itu dengan pandang mata keheranan. Ia sekarang 
ini melangkah menurutkan langkah kakinya dan 
mendaki pinggang Wilis ini. Tetapi kenapa tiba-
tiba ada seorang yang membentak dan menjadi 
marah seperti ini? Lalu apakah kesalahannya? 
Tetapi belum juga pemuda ini sempat men-
jawab bentakan orang itu, tiba-tiba ia mendengar 
suara orang berteriak. 
- Guru! Ha ha ha ha, murid mendapatkan 
jamur yang aneh. - 
Tak lama kemudian tampak seorang pe-
muda tanggung berlarian cepat menghampiri ka-
kek itu. Katanya lagi. 
-Inilah    Guru,    jamur    aneh    itu!- 
Kakek ini menerima jamur yang bentuknya 
seperti telor burung, tetapi warnanya merah se-
perti darah. Dengan mata membelalak sebentar, 
kakek ini kemudian berkata. 
- Heh heh heh heh, inilah jamur yang se-
dang kucari!- 
Pemuda ini menyeringai gembira. Namun 
tiba-tiba ia mendelik ke arah Surya Lelana. Ia 
menatap gurunya sebentar, lalu berkata 
- Guru! Siapakah orang ini?- 
- Hai bocah! Apakah telingamu tuli? Men-
gapa sebabnya engkau tidak mau menjawab per-
tanyaanku?- hardik kakek itu dengan galak dan 
sikap tidak senang. 
Apabila kakek itu tampak tidak senang, le-
bih-lebih Surya Lelana juga tidak senang. Maka 
kemudian jawabnya. 
-  Hemm, aku tidak tuli! Huh, tetapi uca-
panmu tadi terlalu kasar dan menghina orang. 
Sudah semestinyakah seorang tua yang minta 
kau hargai, menyebut orang dengan sebutan ja-
hanam?- 
-  Uah, sombongnya orang ini, Guru. Beri-
lah kesempatan murid menghajar orang kuranga-
jar ini!- kata pemuda itu dengan nada penuh ke-
marahan dan nafsu. 
- Heh heh heh heh,- kakek itu terkekeh. - 
Bocah yang tidak tahu tingginya gunung dan da-
lamnya lautan, berani membuka mulut semba-
rangan di depanku? Hayo, jawablah pertanyaan-
ku. Apakah maksudmu berkeliaran di tempat ter-
larang ini?- 
-  Tempat terlarang?-  pemuda ini tercen-
gang. 
-  Siapakah yang melarang dan manakah 
tanda larangan itu? Aku datang ke tempat ini 
menurutkan langkah kakiku. Siapa yang bisa me-
larang? Engkaupun bukan pemilik gunung ini. 
Mengapa bisa melarang orang lain mendekati Gu-
nung Wilis ini?- 
- Tutup mulutmu yang busuk!- bentak pe-
muda itu sambil berkacak pinggang, matanya 
mendelik. 
- Apakah engkau memang sudah bosan hi-
dup, berani kurangajar di depan Guruku dan di 
depanku? Huh, dengar baik-baik. Aku bernama 
Sentiko! Sedang Guruku ini bernama Giri Samo-
dra, seorang tokoh sakti tanpa tanding. Tahu? 
Hayo lekas engkau berlutut dan mohon ampun 
atau tidak?- 
Surya Lelana tidak kaget karena memang 
belum pernah mendengar nama guru dan murid 
ini. Oleh karena itu ia menyahut dingin. 
- Hemm, aku tidak bersalah kepada siapa-
pun.- 
- Guru! Bocah ini terlalu sombong! Berilah 
kesempatan kepada murid untuk menghajarnya 
sekarang juga. Huh, siapa tahu dia berkeliaran di 
sini memang bermaksud untuk mencuri jamur 
dan daun obat?- 
-  Hem, baiklah! Hitung-hitung bisa kau 
pergunakan selingan melatih diri. Agar dengan 
perkelahian sungguh-sungguh ini, engkau men-
dapat tambahan pengalaman yang berharga.- 
-  Ha ha ha ha, terima kasih, Guru!-  seru 
pemuda yang bernama Sentiko ini dengan gembi-
ra. Kemudian bentaknya penuh ejekan dan hi-
naan.  -  Hai bocah sombong yang kurus kurang 
gizi. Apabila engkau tadi bersikap baik, aku mau-
pun Guru tidak akan menjadi marah dan mung-
kin Guruku yang baik hati ini malah sudi membe-
ri sebungkus nasi. Ha ha ha ha, aku tahu engkau 
tentu pencuri jamur dan daun obat itu. Maka hari 
ini engkau takkan dapat lolos lagi dan mampus 
dalam tangan ku.- 
Kakek bertubuh tinggi besar dan bernama 
Giri Samodra itu terkekeh senang mendengar 
ucapan muridnya yang pandai menghina dan me-
rendahkan orang itu. Ia juga merasa bangga bah-
wa muridnya bersikap gagah di hadapan orang. 
Sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh Senti-
ko, menurut penilaiannya, muridnya memang ha-
rus bersikap seperti itu. Ia tidak merasa sama se-
kali bahwa ucapan muridnya itu terlalu menghina 
orang. 
Betapa marah Surya Lelana menghadapi 
guru dan murid yang sikapnya liar seperti ini. Se-
bab tanpa meneliti dan tanpa bukti apapun, su-
dah menuduh orang seenak perutnya sendiri, se-
bagai pencuri jamur dan daun obat. 
- Huh, guru dan murid yang liar tanpa atu-
ran. Menuduh orang seenak perutnya sendiri 
tanpa bukti. Siapakah yang mau mencari jamur 
dan obat yang tidak ada harganya itu?-  jawab 
Surya Lelana, penasaran. 
-  Apa? Bedebah busuk bermulut lancang. 
Siapa bilang jamur tidak berharga? Huh, jamur 
obat ini ada dua kegunaan. Untuk ramuan racun 
dan ramuan obat.....- 
-  Sentiko! Tidak perlu berpanjang mulut, 
seranglah dia!- bentak gurunya. 
- Baik, Guru!- sahutnya singkat. 
Lalu tanpa membuka mulut lagi, pemuda 
ini menerjang ke arah Surya Lelana. Gerakannya 
cukup cepat dan sambaran anginnyapun cukup 
kuat. Namun Surya Lelana tidak menjadi gentar 
dan sekalipun tidak ingin berkelahi, ia terpaksa 
melayani juga. 
Giri Samodra sudah mengundurkan diri, 
sekarang berdiri di pinggir sambil menonton. Ka-
kek ini tampak demikian percaya akan ketanggu-
han muridnya. Murid tunggal yang kelak kemu-
dian hari menjadi tumpuan harapannya, dapat 
mewarisi seluruh ilmunya.    
Siapakah guru dan murid ini? Bagi yang 
sudah membaca buku berjudul SI TANGAN IBLIS 
kiranya masih ingat, dua nama Umbaran, ialah: 
Giri Samodra dan Sentiko. Kakek ini adalah seo-
rang pelarian dari Majapahit, dan sebelum mela-
rikan diri namanya Umbaran, salah seorang 
Dharmaputra Majapahit yang tidak senang den-
gan Gajah Mada. 
Adapun muridnya ini adalah cucu Si Tan-
gan Iblis, dank arena bocah ini pergi meninggal-
kan rumah tanpa pamit menyebabkan keluarga 
kebingungan. Karena bocah sekecil Sentiko ini 
pergi dengan maksud akan memusuhi Gajah Ma-
da. Oleh karena itu Si Tangan Iblis kebingungan 
dan khawatir sekali, maka lewat para murid, Si 
Tangan Iblis memerintahkan agar mencari Senti-
ko. 
Antara guru dan murid ini memang mem-
punyai pendirian dan cita-cita yang sama. Dengan 
jalan apapun harus dapat membunuh Gajah Ma-
da. 
Giri Samudra tertarik kepada Sentiko dan 
kemudian mengangkatnya sebagai murid, karena 
terpengaruh oleh bakat dan ketabahannya. Maka 
walaupun belum dua tahun mendapat bimbingan 
dan gemblengan Giri Samudra, bocah ini sudah 
maju pesat baik dalam ilmu kesaktian maupun 
ilmu ketabiban. 
-  Bagus, heh he heh heh  heh!  –  Sentiko 
memuji sambil terkekeh gembira ketika terjan-
gannya dengan gampang dihindari lawan. 
Pemuda yang baru meningkat dewasa ini 
kembali menerjang dan melancarkan pukulan-
pukulan berbahaya. 
Sebenarnya Surya Lelana tidak mempunyai 
selera berkelahi dengan siapapun. Dan tujuannya 
pergi sekarang ini tidak lain guna menemukan 
adiknya. Maka sambil berloncatan menghindar 
tanpa membalas, ia berteriak. 
-  Hai, hentikan! Tahan dulu! Aku tidak 
mau berkelahi, kenapa kau memaksa orang?- 
-  Cerewet!-  bentak Sentiko  sambil memu-
kul dada dengan tangan kanan dan mencengke-
ram pundak dengan tangan kiri. 
Cengkeraman tangan kiri ini setiap waktu 
bisa berubah menjadi pukulan berbahaya, se-
dangkan kakipun siap sedia melancarkan seran-
gan dari bawah. Terusnya. 
- Kau pencuri jamur obat. Jika bandel dan 
tidak mau menyerah, huh, engkau harus mam-
pus dalam tanganku.- 
Mendengar dirinya tetap dituduh sebagai 
pencuri jamur itu, Surya Lelana menjadi marah. 
Ia tidak mau berbantahan lagi, sebab bagaimana-
pun dirinya akan tetap dituduh sebagai seorang 
pencuri. Sungguh terlalu! Maka apapun yang ter-
jadi dirinya harus dapat mengalahkan pemuda 
sombong dan main tuduh ini.  
Dan sekalipun ia sadar tidak mungkin da-
pat menang melawan kakek itu, ia akan membela 
kehormatan dan kebenaran, kalau perlu malah 
dengan pertaruhan nyawa. Ia bersedia mati! Oleh 
sebab itu sesudah mengalah tiga gebrakan, ia 
mulai melakukan serangan balasan. 
Perkelahian cepat menjadi sengit. Lebih lagi 
serangan-serangan Sentiko demikian ganas. Se-
rangan yang selalu memilih bagian tubuh yang 
mematikan. Maka Surya Lelana tidak berani sem-
brono lagi dan mengimbangi pukulan-
pukulannya. 
Giri Samodra mengamati perkelahian itu 
dengan alis berkerut. Diam-diam kakek ini kagum 
dibuatnya, melihat kecepatan gerak Surya Lelana. 
Disamping gerak-geriknya yang mantap, matang 
dan setiap pukulannya bertenaga kuat. Sebagai 
seorang tokoh sakti yang berpandangan tajam, ia 
sudah dapat menduga apa yang akan terjadi. Dan 
jika ia membiarkan terus, jelas sekali muridnya 
sendiri yang akan kalah. 
Giri Samodra masih berdiam diri dan me-
nonton penuh perhatian. Ia baru akan bertindak 
apabila keadaan memaksa dan muridnya dalam 
bahaya. 
Namun tiba-tiba kakek ini terbelalak. Ka-
kek ini kemudian mengejap-ngejapkan matanya 
seperti tidak percaya akan pandang matanya sen-
diri. Hanya sekejap saja dan tiba-tiba terdengar-
lah bentakan nyaring. 
- Sentiko! Mundur!- 
Sentiko mendengar jelas perintah gurunya 
ini. Tetapi pemuda ini tidak segera tunduk kepada 
perintah itu. Sebab ia menjadi penasaran, tidak 
cepat dapat mengalahkan lawan, dan sebaliknya 
ia tidak merasa kewalahan dan juga belum kalah. 
Lalu mengapa gurunya sudah memerintahkan 
agar dirinya mundur? Karena penasaran ia malah 
menyerang lebih dahsyat ke arah lawan. Maksud-
nya untuk mempercepat guna mendapat keme-
nangan. 
Wut.....wut.........-Ahhhh........! 
Pemuda bandel ini tiba-tiba berteriak ter-
tahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang bebe-
rapa langkah. Demikian pula Surya Lelana ter-
huyung ke belakang beberapa langkah tanpa 
mampu menahan diri, terdorong oleh kibasan 
tangan Giri Samodra yang bertenaga dahsyat, dan 
kakek itu sendiri sekarang telah berdiri di depan-
nya. 
-  Hemm, siapapun adanya aku tidak ada 
hubungannya dengan engkau!- bentaknya dengan 
ketus dan nadanya dingin. 
Sebenarnya tidak biasa bagi Surya Lelana 
untuk bersikap seperti ini kepada seorang tua. Ia 
seorang pemuda yang telah terdidik semenjak ke-
cil dalam hal tata kesopanan. Sebagai seorang 
muda ia pandai sekali menempatkan diri apabila 
berhadapan dengan orang tua. 
Adapun sebabnya ia bersikap dingin dan 
seangkuh itu, bukan lain hatinya tersinggung dan 
penasaran oleh sikap guru dan murid ini yang se-
cara membabi buta telah menuduh dirinya seba-
gai "pencuri". Semudah itukah orang menuduh 
dirinya sebagai pencuri, tanpa mengingat bukti-
bukti? 
-  Huh! Engkau seorang pemuda yang ku-
rangajar, dan tidak pandai menghormati orang 
tua!- 
Surya Lelana mendelik marah. Balasnya, 
- Tergantung kepada orang tua itu sendiri, 
penghargaan orang muda diberikan.- 
Giri Samodra terbelalak. - Apa katamu?- 
-  Huh, aku berkata, seorang muda tentu 
saja akan menempatkan diri sebagai seorang mu-
da, kalamana orang yang lebih tua pandai me-
nempatkan diri.- sahut Surya Lelana tanpa gentar 
sedikitpun, dan membalas menatap tajam kepada 
kakek itu. 
Sejenak kemudian pemuda ini meneruskan 
dalam usaha membela diri. 
- Engkau dan muridmu tanpa alasan dan 
bukti telah menuduh aku seenak perutmu sendi-
ri, sebagai seorang pencuri. Huh! Untuk apakah 
aku mencuri jamur dan daun-daunan itu? Wa-
laupun jamur dan daun itu kau pandang amat 
berguna, tetapi bagi aku tiada harganya sama se-
kali. Sebab aku tidak tahu kegunaan jamur mau-
pun daun yang kau sebut obat itu.- 
- Heh heh heh heh, jika engkau tidak men-
gandung maksud semacam itu, lalu apakah mak-
sudmu mendaki gunung ini?- 
- Aku sedang melakukan perjalanan jauh. 
Siapakah yang dapat melarang aku lewat gunung 
ini? Huh, engkau bukan pemilik gunung ini. Apa-
kah hak engkau melarang orang lain?- 
- Uah, mulutmu terlalu lancang dan mem-
buka mulut sembarangan di depanku. Hayo kata-
kanlah terus terang. Apakah hubunganmu den-
gan Gajah Mada?- 
Surya Lelana terbelalak kaget mendengar 
pertanyaan ini. Apakah sebabnya kakek ini secara 
tepat dapat menduga seperti itu? Apakah kakek 
ini seorang waskita yang telah tahu lebih dahulu, 
sebelum orang menerangkan? Untung sekali 
Surya Lelana bukan pemuda bodoh, sahutnya te-
gas. 
-  Kenalpun belum, apakah sebabnya eng-
kau menduga seperti itu?- 
- Heh heh heh heh, seekor tikus kecil bera-
ni membohong di depan Giri Samodra?- Giri Sa-
modra mendelik marah. - Gerak tata kelahi yang 
kau pergunakan itu, jelas ilmu tangan kosong 
yang bernama Hastha Marga. Ilmu tata kelahi 
tangan kosong itu dibanggakan oleh Gajah Mada. 
Hayo, mengaku punya hubungan atau tidak?- 
Surya Lelana terkesiap mendengar ucapan 
Giri Samodra yang tepat ini. Sebab, apa yang ia 
pergunakan berkelahi tadi memang ilmu tata ke-
lahi yang bernama Hastha Marga Manila (delapan 
penjuru angin) ajaran Gajah Mada. Kalau kakek 
ini sudah mengenal ilmu tata kelahi yang ia per-
gunakan, jelas kakek ini sudah amat luas penga-
laman. Atau setidak-tidaknya kakek ini pernah 
kenal, atau pernah berkelahi melawan Gajah Ma-
da, gurunya. 
Sebagai seorang pemuda cerdik, tentu saja 
Surya Lelana tak mau mengaku adanya hubun-
gan antara dirinya dengan Gajah Mada. Ia cukup 
menyadari, Gajah Mada yang bijaksana dan keras 
dalam menjalankan pemerintahan Majapahit itu, 
banyak dimusuhi dan dibenci orang. 
Bagi dirinya sendiri, nyawanya yang hanya 
selembar tidak ada harganya. Dan yang ia khawa-
tirkan bukan keselamatan sendiri, tetapi malah 
Gajah Mada. Sebab, siapa tahu kalau kakek ini 
kemudian menggunakan dirinya untuk maksud-
maksud tertentu yang akan merugikan Gajah 
Mada? Dan mungkin malah menggunakan dirinya 
sebagai sandera untuk memeras dan memaksa 
Gajah Mada dengan maksud tertentu yang jahat. 
- Ha ha ha ha,- tiba-tiba saja Surya Lelana 
tertawa terkekeh, sehingga Giri Samodra terbela-
lak heran. 
Surya Lelana memang sengaja ketawa be-
kakakan, guna mengurangi rasa tegang dalam 
dadanya. 
-  Hai orang tua! Engkau jangan mimpi di 
siang bolong. Kenal pun tidak, mengapa sebabnya 
engkau menanyakan orang yang berkedudukan-
nya amat tinggi di Majapahit itu? Dan kalau toh 
aku mempunyai hubungan dekat dengan dia, 
atau katakanlah salah seorang muridnya, mana-
kah mungkin aku mendapat kesempatan berke-
liaran pergi sesuka hatiku sendiri seperti ini? Seo-
rang murid Gajah Mada tentunya memikul tugas 
kewajiban yang tidak enteng di Majapahit.- 
Untuk sejenak kakek ini melongo. Namun 
demikian kakek ini juga tak gampang mau per-
caya. Jelas ia tadi melihat pemuda di depannya 
ini, berkelahi menggunakan ilmu tata kelahi Has-
tha Marga Maruta, yang sudah ia kenal ketika di-
rinya berkelahi melawan Gajah Mada. Adalah 
mustahil pemuda ini menggunakan ilmu tersebut, 
tidak mempunyai hubungan apapun dengan Ga-
jah Mada. 
-Setan cilik, engkau berani berdusta kepa-
daku? Huh, tidak ada gunanya kau berdusta ke-
pada Giri Samudra. Huh, engkau tentu mempu-
nyai hubungan dengan Gajah Mada – 
-Hai Setan gede! – balas pemuda ini sambil 
mendelik, tampak tidak gentar sedikitpun. –Ilmu 
tata kelahi yang dikenal oleh manusia di dunia 
ini, tentu saja ada kalanya hampir bersamaan. 
Kenapa kau menjadi heran? Pendeknya engkau 
boleh percaya dan boleh tidak percaya. Aku tidak 
kenal dengan Gajah Mada itu, apapula mempu-
nyai hubungan. Sudahlah, pendeknya apakah 
maksudmu hai orangtua? – 
Surya Lelana sengaja memancing Giri Sa-
mudra dengan kata-kata ketus menghina. Bukan 
lain maksudnya agar  Giri samudra tidak terus 
mendesak tentang hubungannya dengan Gajah 
Mada. 
Ternyata pancingan Surya Lelana ini ber-
hasil juga. Kakek itu mendelik dengan mata me-
rah. Bentaknya menggeledek. 
-Kurang ajar! Setan kecil yang sombong 
dan ketus! Engkau mau minta ampun atau tidak 
kepadaku? Huh, jahanam orang jembel yang hina 
dan tak kenal kesopanan. Huh, jahanam orang 
jembel yang hina dan tak kenal kesopanan. Sang-
kamu aku ini orang apa, hee!- 
- Huh, kau sendiri orang jembel yang hina 
dan terkutuk. Buktinya kau berkeliaran di Wilis 
ini!- 
Giri Samodra berjingkrak saking marah. 
Matanya menyala dan kumisnya berdiri seperti 
sapu lidi. Bentaknya lebih keras, suaranya ter-
dengar seperti guntur dan kuasa menggetarkan 
jantung. 
-  Bangsat hina! Dengarlah dan buka ma-
tamu lebar-lebar hai orang hina! Aku adalah Um-
baran, salah seorang Dharmaputra Majapahit, 
putera Pangeran Jayawangsa. Huh huh, engkau 
jangan membuka mulut sembarangan di depan-
ku. Tahu?- 
Mendengar disebutnya nama Umbaran se-
bagai putera Pangeran Jayawangsa ini, Surya Le-
lana terbelalak. Tentu saja pemuda ini sebagai 
putra Mpu Nala, sudah pernah pula mendengar 
nama itu. Ialah nama seorang Dharmaputra yang 
ketika itu berpihak kepada Kuti dan Semi dan 
memberontak kepada Raja Jayanegara. Ternyata 
Umbaran ini sekarang masih hidup dan bersunyi-
sunyi di gunung ini, hanya hidup bersama seo-
rang muridnya. 
-  Heh heh heh heh,-  Umbaran terkekeh 
mengejek. - Engkau kaget! Nah, sesudah engkau 
mendengar dan mengerti aku ini Umbaran, putera 
Pangeran Jayawangsa, hayo, segeralah berlutut di 
depanku dan mohon ampun!-  
Akan tetapi justru oleh pengakuan Umba-
ran ini. Surya Lelana menjadi lebih hati-hati lagi. 
Kakek ini bukan saja benci kepada Gajah Mada, 
tetapi juga tentu benci kepada ayahnya, Mpu Na-
la. Kakek ini merupakan orang yang berbahaya 
bagi Majapahit dan para pemegang kekuasaan 
negara Majapahit. 
Surya Lelana terkekeh mengejek. Katanya 
kemudian. 
- Heh heh heh heh, lucu.....lucu! Siapakah 
yang mau percaya, ada anak seorang pangeran 
Majapahit, seorang Dharmaputra Majapahit, ber-
sedia hidup bersunyi di sini? Heh heh heh heh, 
kalau toh benar ada seorang putera pangeran 
yang hidup sengsara seperti engkau ini, kiranya 
adalah anak pangeran yang berdosa. Karena eng-
kau takut kepada akibat perbuatanmu sendiri 
yang terkutuk, lalu melarikan diri, mencari sela-
mat!- 
Betapa marah Giri Samodra mendengar 
ucapan pemuda ini. Lebih-lebih ucapan pemuda 
ini tepat sekali, justru dirinya memang sudah 
berbuat dosa. Berbuat salah terhadap kerajaan, 
sehingga dirinya terpaksa melarikan diri dan ber-
sunyi-sunyi di gunung ini. Saking marahnya, ti-
ba-tiba saja tangan Giri Samodra bergerak dan 
memukul ke arah pohon yang tumbuh tegak di 
sampingnya. 
Brakkk.....krakkkk.....bummm.....! 
Tangan Giri Samodra tidak menyentuh ba-
tang pohon itu. Tetapi akibat dari pukulan itu he-
bat sekali. Hanya tersambar oleh angin pukulan 
saja, pohon sebesar paha orang dewasa itu telah 
patah di tengah dan roboh. 
Diam-diam Surya Lelana kaget. Jelas sekali 
tenaga kakek ini hebat bukan main. Ia tidak boleh 
semberono menghadapi kakek ini, jika masih in-
gin hidup. 
-  Huh huh lihat baik-baik! Batang pohon 
itu roboh sekali ku pukul. Huh, kepalamu akan 
kuremukkan jika kau lancang mulut. Hayo, lekas 
berlutut dan mohon ampun atau tidak?- 
Sekarang Surya Lelana harus mengguna-
kan kecerdasan otaknya menghadapi kakek ini. 
Maka katanya kemudian. 
-  Paman, aku tidak bersalah sedikitpun 
terhadap engkau. Mengapa sebabnya engkau in-
gin memaksa aku supaya minta ampun dan ber-
lutut di depanmu?- 
- Setan cilik! Setan alas! Engkau masih ju-
ga berusaha mungkir?! Huh, akui sajalah dan 
jangan berusaha mungkir?! Huh, engkau datang 
di tempat ini secara mencurigakan. Huh, mau 
apakah jika engkau memang tidak bermaksud 
mencuri jamur dan daun obat? Huh, akui sajalah 
dan jangan mungkir!- 
Surya Lelana penasaran sekali. Bantahnya 
keras. 
- Engkau selalu menuduh aku mencuri ja-
mur dan daun obat. Huh, aku tidak mencuri! Aku 
lewat di sini dalam perjalananku mencari adikku. 
Engkau boleh percaya dan boleh tidak percaya. 
Pendeknya, aku tidak sudi harus minta ampun 
dan berlutut di depanmu, karena aku tidak bersa-
lah!- 
-  Setan cilik yang keras kepala! Engkau 
memiliki ilmu tata kelahi yang mirip dengan ilmu 
tata kelahi Gajah Mada, namun engkau tidak juga 
mau mengaku. Dan sekarang engkau pun mung-
kir, tidak mau mengaku akan mencuri jamur dan 
daun obat itu. Huh huh, baiklah! Setan cilik yang 
keras kepala seperti kau ini, memang sepantas-
nya aku bunuh!- 
- Setan gede!- teriak Surya Lelana semakin 
tambah marah. - Sangkamu semudah ucapanmu 
membunuh aku? Huh, marilah kita coba.- 
Karena tak ada jalan lagi untuk menghin-
darkan diri dari ancaman Giri Samodra, pemuda 
ini menjadi nekad. Ia memang sadar, bukan la-
wan kakek penghuni Gunung Wilis ini dan yang 
mengaku masih seorang Dharmaputra Majapahit, 
bernama Umbaran. Akan tetapi sebaliknya mana-
kah mungkin ia mau dihina dan dibunuh tanpa 
memberi perlawanan? Apapun yang terjadi, ia 
bertekad untuk melawan. Mati, kalah dalam ber-
kelahi bagaimanapun masih lebih terhormat dan 
lebih berharga, dibanding dengan mati tanpa per-
lawanan sama sekali. 
Disamping itu sadar dirinya bukan tandin-
gan Giri Samodra, ia tidak berani sembrono da-
lam melawan dan harus bersenjata. 
Sring.....seleret sinar yang panjang men-
cuat ke atas. Sebatang pedang yang tajam dan 
putih telah teracung di depan muka pemuda ini. 
Dan kemudian sepasang matanya menatap tajam 
kepada Giri Samodra tak berkedip. Pendeknya 
pemuda ini telah dalam keadaan siap siaga 
menghadapi segala kemungkinan. 
-  Bagus, heh heh heh heh!-  kata Giri Sa-
modra sambil terkekeh. - Engkau mengajak ber-
main-main dengan kakekmu? Mari engkau berpe-
dang dan aku layani dengan tangan kosong. Ka-
lau dalam lima jurus aku tidak dapat merebut 
pedangmu, heh heh heh heh, anggap saja kakek-
mu ini kalah. – 
- Benarkah katamu?- pemuda ini menyam-
but gembira. 
Lima jurus tidak lama. Apabila dirinya cu-
kup berhati-hati dalam melawan, tidak mungkin 
pedangnya dapat direbut orang. 
Pada kenyataannya memang Surya Lelana 
bukan pemuda sembarangan. Disamping mempe-
roleh gemblengan dari ayahnya sendiri, Mpu Nala, 
iapun mendapat gemblengan Gajah Mada. Dan 
itulah sebabnya ia merupakan murid Gajah Mada 
pula. 
Di ibu kota Majapahit, Mpu Nala terkenal 
sebagai ahli pedang tanpa tanding. Kecepatan ge-
rak pedangnya, orang sulit menduga sehingga ti-
dak sedikit tokoh sakti yang mengagumi ilmu pe-
dangnya. Surya Lelana mewarisi ilmu pedang 
ayahnya yang hebat itu. Ilmu pedang yang ber-
nama Thathit Leliweran, dan sesuai dengan na-
manya, maka kecepatan pedang tersebut seperti 
thathit menyambar-nyambar 
Justru ia menguasai dua macam ilmu, dari 
ayahnya dan dari Gajah Mada itu, menyebabkan 
ketika bertanding dengan Dewi Sritanjung, secara 
kebetulan Surya Lelana menggunakan tata kelahi 
dari ayahnya, sehingga ilmu mereka berdua tiada 
kemiripannya. Untuk ini agar jelas, silakan Pem-
baca yang budiman membaca buku berjudul 
JASA AIR SUSU HARIMAU. 
Pemuda ini justru mempunyai sarana da-
lam ilmu pedang itu. Sarana kecepatannya berge-
rak sehingga dirinya mendapat julukan Si Tapak 
Angin. Disamping itu ia juga mewarisi ilmu pe-
dang dari Gajah Mada, bernama Samodra Kine-
bur. 
Sekarang dua macam ilmu pedang yang 
hebat itu, telah  berhasil ia kuasai dengan  baik, 
sekalipun belum sempurna. Akan tetapi antara 
dua macam ilmu pedang tersebut memang sama 
cepatnya, disamping rapat pertahanannya. Ter-
bangunlah semangat pemuda ini, penuh rasa per-
caya, dirinya akan dapat bertahan sebaik-baiknya 
dalam lima jurus. Ia akan memilih bagian-bagian 
yang paling hebat dari dua macam ilmu pedang 
itu. 
Giri Samodra menatap Surya Lelana penuh 
perhatian. Lalu perintahnya. 
- Hayo, cepat seranglah!-  
Siut..... wut..... Tanpa membuka mulut 
Surya Lelana sudah menerjang maju dan melan-
carkan serangannya. Surya Lelana memulai se-
rangannya menggunakan ilmu pedang ajaran 
ayahnya. Ilmu pedang bernama Thathit Leliweran, 
langsung memilih jurus yang ketujuh, pedangnya 
menyambar leher. 
Giri Samodra terkekeh. Kakek ini tidak 
bergerak dan hanya mengangkat tangan kiri men-
gibas disusul oleh gerakan tangan kanan yang 
langsung mencengkeram batang pedang. 
-  Ahhhh  -  Giri Samodra berseru kaget 
sambil mengebutkan telapak tangan kanan dan 
melompat ke samping. 
Kakek ini memang benar-benar kaget ka-
rena sama sekali tidak pernah ia duga, pedang 
Surya Lelana hampir saja berhasil membabat 
pundaknya. Benar-benar merupakan gerak ilmu 
pedang yang aneh, tetapi amat berbahaya. 
Serangan Surya Lelana tadi disebut Kem-
bang Elok Mawa Wisa (Bunga Indah  Beracun). 
Babatan ke arah leher hanya pancingan. Maka 
ketika tangan kakek ini tadi mengebut, pedang ini 
melenceng juga sebagai akibat kibasan angin 
yang kuat. Tetapi pedang yang menyeleweng itu 
gerakannya diteruskan membabat pundak dari 
bawah. 
Sekali serang hampir berhasil ini menye-
babkan Surya Lelana lebih mantap dan berse-
mangat. Ia tidak memberi waktu untuk bernapas. 
Maka ia menyusuli serangan ilmu pedang yang 
sama, menggunakan jurus yang ke sebelas dan 
diteruskan dengan jurus yang ke tigabelas. Kece-
patan gerak serangan yang kedua lebih cepat dan 
berbahaya dibanding dengan yang pertama. Dan 
bagian yang ketigabelaspun merupakan serangan 
yang tidak kurang berbahayanya. 
Akan tetapi Giri Samodra seorang kakek 
sakti mandraguna, cerdik dan luas pengalaman. 
Serangan pertama yang hampir mencelakai di-
rinya tadi menyadarkannya, pemuda ini mempu-
nyai kecepatan bergerak yang bukan main. Maka 
begitu serangan kedua dan ketiga menyusul, Giri 
Samodra telah dapat mengatasi. Tetapi bagaima-
napun pula, diam-diam kakek ini kagum juga 
oleh kecepatan gerak pemuda ini. 
Sebaliknya Surya Lelana menjadi penasa-
ran, tiga kali serangannya tidak berhasil menyen-
tuh tubuh lawan. Malah sedikit saja lambat gera-
kannya, pedangnya tentu sudah berhasil direbut 
oleh lawan. 
Sekarang tinggal dua jurus lagi. Apabila 
kakek ini tidak berhasil merebut pedangnya, be-
rarti kakek ini tidak akan mengganggu gugat di-
rinya lagi. Untuk itu ia menggunakan ilmu pe-
dang ajaran Gajah Mada yang bernama Samodra 
Kinebur. Sebab, ilmu pedang ini disamping mem-
punyai ciri kecepatan gerak dan serangannya, ju-
ga memiliki pertahanan yang amat kuat. Dengan 
demikian tidaklah mudah bagi orang untuk dapat 
merebut senjatanya. 
Sringsiuttt.....- Ahhhh .....! 
Lagi-lagi terdengar seruan tertahan dari 
mulut kakek itu. 
Seruan tertahan dari mulut kakek ini me-
nimbulkan kakek ini kaget berbareng kagum oleh 
serangan pedangnya yang berbahaya. 
Akan tetapi dugaan pemuda ini keliru. Pe-
muda ini menjadi lupa, ilmu pedangnya itu mem-
buka kedoknya sendiri yang mempunyai hubun-
gan dengan Gajah Mada. Kalau tadi begitu meli-
hat ilmu tangan kosong yang ia pergunakan su-
dah bisa menduga hubungannya dengan Gajah 
Mada, apalagi sekarang. Kalau tadi Giri Samodra 
sudah terlupa soal ini, sekarang teringat kembali. 
- Kau ..... kau murid Gajah Mada!- bentak 
Samodra dengan mata mendelik menyinarkan api 
kemarahan. - Huh! Kubunuh kau! Kubunuh kau!- 
Surya Lelana kaget setengah mati. Seka-
rang ia baru sadar kesembronoan ya sendiri, telah 
menggunakan ilmu pedang Samodra Kinebur. Ka-
lau tadi ketika dirinya menggunakan ilmu tangan 
kosong saja kakek ini dapat mengenal, maka se-
karang malah dapat menetapkan sebagai murid 
Gajah Mada. 
Akan tetapi sekalipun benar dirinya salah 
seorang murid Gajah Mada, sudah tentu Surya 
Lelana takkan mau mengaku. Bukan karena si-
kapnya ini merupakan sikap yang pengecut. Sa-
ma sekali bukan! Tetapi malah dalam usaha 
menghindarkan hal-hal yang tidak ia harapkan, 
dan juga jangan merugikan nama baik Gajah Ma-
da. 
-  Hei! Jangan menuduh secara ngawur!- 
bentak Surya Lelana sengit. - Aku tidak mempu-
nyai hubungan apapun dengan Gajah Mada. – 
- Heh heh heh heh, jika engkau bukan mu-
rid Gajah Mada. Katakan bahwa Gajah Mada seo-
rang terkutuk dan tidak tahu malu!- 
-  Apa? Beliau adalah Patih Mangkubumi 
Majapahit. Beliau seorang mahapatih yang mem-
peroleh kepercayaan penuh memerintah Majapa-
hit. Benarkah seorang kawula bersikap kurang-
ajar seperti ini? Huh, aku bukanlah kawula Maja-
pahit yang membabi buta. Aku tahu Gajah Mada 
bukanlah terkutuk dan tidak tahu malu seperti 
tuduhanmu itu.- 
- Guru! Jika dia tidak berani mencaci maki 
Gajah Mada, berarti dia benar-benar mempunyai 
hubungan. Dan tentu dia datang ke tempat ini 
mempunyai maksud tidak baik!- teriak Sentiko. 
Bagi pemuda ini, setiap nama Gajah Mada 
disebut-sebut, justru membangkitkan semangat 
dan api dendam. Cerita kakeknya yang bernama 
Si Tangan Iblis itu, amat mengesan di dalam lu-
buk hati pemuda ini. Menurut pikirannya baik 
ayah maupun ibunya, semua meninggal akibat 
dibunuh Gajah Mada dan Nala. Dendam ini tak-
kan mungkin dapat terhapus, sebelum dirinya 
dapat membalas dendam. 
Rasa  dendam dan kebenciannya kepada 
Gajah Mada maupun kepada Nala itu, makin ber-
tambah lagi setelah Sentiko menjadi murid Giri 
Samodra. Sebab kakek yang pada waktu mu-
danya bernama Umbaran ini, membenci setengah 
mati kepada Gajah Mada, seorang bukan keturu-
nan bangsawan yang mempunyai kedudukan 
amat tinggi di Majapahit. Maka pada setiap ke-
sempatan kakek ini selalu melancarkan tuah 
bahwa Gajah Mada seorang yang jahat. 
Dan sekarang, baik Giri Samodra maupun 
Sentiko menekan kepada Surya Lelana, supaya 
pemuda ini mencaci maki Gajah Mada guna 
membuktikan tiada hubungan sama sekali. Tetapi 
sebaliknya apabila Surya Lelana menolak, terbuk-
tilah memang benar, hubungan ini tidak bisa di-
pungkiri. 
Pada zaman cerita ini terjadi, hubungan 
antara guru dengan murid memang amat mengi-
kat. Sebab, kedudukan guru bukan saja hanya 
melulu sebagai guru, tetapi juga sebagai ayah, 
dan lebih dari itu juga mempunyai wewenang 
yang amat luas. Guru mempunyai hak mengikat 
dan hak istimewa terhadap muridnya. Dan itulah 
sebabnya, maka sering pula terjadi, seorang guru 
menghukum muridnya sendiri dengan hukuman 
mati, kalau murid itu dianggap dosanya dan kesa-
lahannya tidak dapat diampuni lagi. 
Oleh ikatan batin yang demikian kuat an-
tara murid dan guru ini, maka seorang murid 
yang baik dan pandai menghormati guru, tak 
mungkin bersedia mencela gurunya, apalagi men-
caci maki dan merugikan nama baik guru. Dan 
sekalipun berhadapan dengan maut, seorang mu-
rid yang setia dan baik akan memilih mati terbu-
nuh daripada harus berkhianat. 
- Hai setan gede!- teriak Surya Lelana den-
gan mata menyala merah, sedangkan pedangnya 
itu melintang di depan dada. -  Apabila engkau 
menyuruh aku mencaci maki engkau sebagai ma-
nusia busuk, jahanam, setan alas.....- 
Wut wut......... 
Surya Lelana terpaksa harus melompat 
menghindarkan diri, dan ucapan yang belum se-
lesai itu tak sempat ia ucapkan. Serangan Giri 
Samodra hebat sekali. Walaupun dirinya sudah 
menggunakan kecepatannya bergerak untuk 
menghindar, namun dadanya masih terasa sesak 
oleh sambaran angin pukulan kakek ini. 
Baru sambaran angin pukulannya saja su-
dah kuasa membuat dadanya sesak. Betapa hebat 
akibat pukulan kakek ini, apabila sampai berhasil 
menyentuh tubuhnya. Tentu sedikitnya tulang 
tubuhnya akan ada yang remuk dan salah-salah 
nyawanya malah melayang. Akan tetapi tentu saja 
pemuda ini tidak gentar sedikitpun. Ia justru le-
bih suka mati daripada harus mengaku dirinya 
salah seorang murid Gajah Mada. 
- Hiyaaaat .....!- teriak Surya Lelana dalam 
usahanya menambah semangat dan keberanian-
nya. Ia sudah membuka serangan untuk memba-
las serangan Giri Samodra, dan menerjang maju 
dengan pedangnya. Ia langsung menggunakan il-
mu pedang ajaran Gajah Mada, memilih bagian ke 
delapan, yang kemudian ia rangkai dengan bagian 
ke delapan belas. Bagian ini justru merupakan 
bagian yang paling hebat dan  aneh gerakannya, 
apabila dipergunakan untuk menyerang. Tetapi 
sebaliknya, juga membutuhkan tenaga yang lipat 
dibandingkan dengan bagian lain. 
Sayang sekali Surya Lelana tidak ingat, se-
dikit banyak Giri Samodra sudah mengenal ilmu 
pedang itu. Sebagai seorang yang pernah berkela-
hi dengan Gajah Mada, dan menaruh dendam pu-
la, sudah tentu selalu berusaha untuk mencoba 
mempelajari dan menyelidiki ilmu musuh be-
buyutannya itu. Sebab dengan berhasilnya mem-
pelajari, menyelidiki dan memecahkan raha-
sianya, pada saat membutuhkan, kegunaannya 
besar sekali. 
Kakek ini ketawa mengejek. Ia melompat ke 
samping sambil mengibas dengan tangan kiri dan 
tangan kanan bergantian. Angin yang amat kuat 
menyambar dari telapak tangan, kuasa membuat 
pedang itu menyeleweng hingga dada Surya Lela-
na terasa semakin sesak juga. 
Namun demikian Surya Lelana yang sudah 
bertekad lebih baik mati itu, sama sekali tidak 
gentar. Pedangnya yang menyeleweng ia teruskan 
gerakannya. 
Plakkk......- Aduhhh ........!- 
Pekik tertahan tidak kuasa ia tahan lagi, 
meluncur dari mulut pemuda itu. Sebab samba-
ran pedangnya yang dahsyat tadi ditahan oleh 
kebutan telapak tangan kanan kakek itu. Dan 
pada saat dirinya kaget, tahu-tahu pedangnya 
sudah terpukul oleh telapak tangan kiri kakek ini, 
sehingga tidak kuasa ia pertahankan lagi, dan 
terbang cukup jauh. Lepasnya pedang dari tangan 
ini masih ditambah dengan lengannya menjadi 
lumpuh tidak kuasa ia gerakkan lagi. 
Sekalipun demikian pemuda ini tidak juga 
gampang menyerah. Walaupun pedangnya sudah 
terbang dan lengan kanan  lumpuh mendadak, 
namun pemuda ini secepat kilat sudah menggu-
nakan tangan kiri mencabut keris. Senjata yang 
hanya pendek itu secepat kilat sudah menyambar 
dan menyerang. 
- Ahhhhh........! - Giri Samodra kaget. 
Ia sudah berusaha menyelamatkan diri da-
ri sambaran keris itu. Namun sungguh sayang 
sekali tikaman Surya Lelana tadi memang tidak 
terduga sama sekali. Maka keris itu masih berha-
sil menyerempet lengannya, sehingga tiba-tiba sa-
ja darah merah memercik keluar dari lengan yang 
terluka, 
Sesungguhnya luka goresan oleh mata ke-
ris ini hanya kecil saja. Tetapi karena mata keris 
itu dilumuri oleh warangan (racun), maka luka itu 
terasa perih dan panas. Rasa sakit ini tentu saja 
menyebabkan Giri Samodra menjadi marah bu-
kan main. Matanya mendelik dan menyala. Ben-
taknya. 
-  Bangsat! Engkau memang harus mam-
pus!-  Setelah membentak, angin yang dahsyat 
sudah mendahului menyambar ke arah pemuda 
itu sekalipun pukulan belum datang. Surya Lela-
na tidak takut dan memaksa diri. Dada yang tera-
sa sesak ia pertahankan dan keris pada tangan 
membalas serangan itu tanpa kenal takut. 
Akan tetapi walaupun Surya Lelana pan-
tang menyerah dan masih tetap melawan mati-
matian, ia terus terdesak dan berkali-kali tubuh-
nya terlempar mundur oleh sambaran angin yang 
kuat sekali. 
Diam-diam Giri Samodra kagum juga oleh 
kebandelan pemuda ini. Sebab sekalipun jelas ti-
dak berdaya melawan dirinya, namun bocah ini 
masih tetap juga melawan dan pantang menye-
rah. Diam-diam timbul pula perasaan sayang, ka-
lau pemuda pemberani dan pantang mundur se-
perti ini harus mati dalam tangannya. Namun ka-
rena sudah merasa pasti pemuda ini mempunyai 
hubungan dekat dengan Gajah Mada, maka ke-
bencian dan rasa dendamnya kepada musuh be-
buyutan ini masih mendesak segala pertimbangan 
yang lain. 
Keadaan Surya Lelana sekarang ini me-
mang sudah payah. Tenaganya sudah hampir ha-
bis dan seluruh bagian tubuhnya terasa sakit-
sakit dan serasa tulang-tulangnya remuk, sekali-
pun hanya tersambar oleh angin pukulan.  
Akan tetapi Surya Lelana sudah bertekad 
mati. Ia takkan menyerah sebelum nyawa me-
layang. Maka sambil menguatkan hati dan men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya, pemuda ini terus 
berusaha membela diri. 
Pada saat keadaan Surya Lelana dalam ba-
haya maut ini tiba-tiba terdengarlah teriakan Sen-
tiko yang amat nyaring. 
- Guru.....! Guru.....! Aduh ..... tolonggg.....! 
Giri Samodra kaget dan cepat menghenti-
kan desakannya sambil memalingkan mukanya 
ke arah Sentiko. Kakek ini terbelalak kaget berba-
reng keheranan, ketika melihat Sentiko sudah ti-
dak berdaya lagi, dua lengannya ditekuk ke bela-
kang punggung oleh makhluk yang menyeram-
kan. Makhluk ini seluruh tubuhnya penuh oleh 
bulu panjang warna merah, bentuk muka mirip 
dengan kera, tetapi tinggi dan besarnya hampir 
seperti manusia. 
- Orang utan .....!- desis kakek ini dengan 
wajah pucat. 
-  Guru, tolongggg.....!-  teriak Sentiko yang 
kesakitan. 
Pemuda ini tidak kuasa memberontak dan 
lengannya yang ditekuk ke belakang, tulangnya 
sudah seperti patah dan amat sakit 
- Lepaskan dia!- bentak Giri Samodra sam-
bil melompat dan sekarang telah berdiri tidak 
jauh dengan Sentiko, yang telah ditawan oleh 
orang utan. 
- Lepaskan aku..... teriak Sentiko. 
Tetapi orang utan yang membelenggu tan-
gan Sentiko ini tidak juga mau melepaskan. 
Hanya bedanya, kalau tadi orang utan itu membe-
lenggu dengan tangan kanan dan kiri, sekarang 
yang dipergunakan cukup dengan tangan kanan, 
kemudian tangan kiri menuding-nuding sambil 
bersuara nguik-nguik yang sukar diketahui mak-
sudnya. Mungkin sekali orang utan itu mengajak 
bicara dengan bahasanya sendiri, yang tidak difa-
hami oleh Giri Samodra maupun Sentiko. 
-  Engkau bilang apa?-  tanya kakek ini 
sambil memperhatikan orang utan yang menud-
ing-nuding itu. 
Tangan orang utan itu sejak tadi memang 
menuding-nuding dan bersuara nguik-nguik. Se-
tiap sudah menuding Surya Lelana, orang utan 
itu kemudian menuding dirinya sendiri. Tetapi 
sebaliknya, sesudah menuding Sentiko, kemudian 
menuding ke arah Giri Samodra, diikuti oleh ge-
rakan jari tangan yang dibuka dan dikibas-
kibaskan beberapa kali. 
Pada mulanya Giri Samodra memang tidak 
faham apakah maksud orang utan itu. Tetapi se-
telah berkali-kali gerakan itu diulang-ulang pada 
akhirnya kakek ini dapat menduga maksud orang 
utan itu, diulang-ulang.  
Giri Samodra melihat Sentiko meringis me-
nahan sakit, sedangkan matanya sudah berubah 
Merah. Dan ketika ia mengalihkan pandang ma-
tanya ke Surya Lelana, kakek ini menyeringai. 
Sebab pemuda itu sekarang sudah roboh tak ber-
gerak di tanah. Entah sudah mati atau pingsan 
kehabisan tenaga.  
Kakek ini mulai dapat menduga maksud 
orang utan ini. Agaknya menuntut kepada di-
rinya, bersedia melepaskan Sentiko asal saja 
mendapat ganti pemuda yang roboh tak berkutik 
itu. 
Bagi Giri Samodra pemuda yang sekarang 
roboh tidak berkutik itu memang tidak ada gu-
nanya. Sebaliknya Sentiko adalah muridnya, dan 
sebagai murid tunggal pula, yang amat ia ha-
rapkan  menjadi pewaris semua ilmunya. Dan 
yang kemudian hari akan dapat ia jadikan pem-
bantu membalas dendam kepada Gajah Mada, 
apabila sudah tiba saatnya. 
Sekarang dengan memperhatikan gerak-
gerik dan suara orang utan itu, kakek ini dapat 
menduga bahwa binatang ini mengajak damai 
dan menukarkan Sentiko dengan pemuda yang 
roboh itu. 
-  Heh heh heh heh, engkau mengajak tu-
kar-menukar? Lepaskan muridku dan bawalah 
dia. Huh, terlalu lama di sini, pemuda itu hanya 
akan membuat aku muak saja.- 
Entah tahu arti ucapan Giri Samodra atau 
tidak. Yang jelas, tiba-tiba saja orang utan. itu 
melepaskan tangan Sentiko. Kemudian melompat 
ke arah Surya Lelana yang menggeletak tidak 
berkutik. Gerakan melompat dan menyambar tu-
buh Surya Lelana ini sungguh cepat. Dan tubuh-
nya yang besar itu ternyata tidak mengurangi ke-
gesitannya bergerak. 
Diam-diam Giri Samodra merasa kagum, 
lalu ia menduga kiranya orang utan itu bukanlah 
binatang liar seperti yang lain. Kemungkinan 
orang utang ini merupakan binatang piaraan seo-
rang sakti mandraguna. 
Setelah menyambar tubuh Surya Lelana, 
orang utan itu sudah berlarian cepat sekali dan 
dalam waktu singkat tidak tampak bayangannya 
lagi. 
Melihat kepergian orang utan bersama pe-
muda pencuri jamur itu, Sentiko kaget. Katanya. 
- Guru! Mengapa sebabnya Guru membiar-
kan orang utan itu pergi sambil membawa si pen-
curi jamur obat? Ahhh.....kalau rahasia tempat ini 
ketahuan orang lain, kita yang akan menderita 
rugi sendiri!- 
Giri Samodra mendelik. Hardiknya garang 
sekali. 
-  Sentiko! Hati-hati sedikit jika engkau 
membuka mulut!- 
- Guru, apakah kesalahan murid?- 
-  Huh! Kau masih juga bertanya? Tolol! 
Apakah sangkamu engkau masih hidup tanpa 
persyaratan tukar-menukar tadi?- 
- Tukar menukar?- pemuda ini keheranan. 
-  Tolol kau! Sangkamu, engkau lepas dari 
tangan orang utan itu tanpa syarat? Dengarlah 
hai tolol, orang utan tadi menggunakan isyarat 
tangan, bersedia membebaskan engkau, asalkan 
saja ditukar dengan pemuda tadi dan aku setuju. 
Itulah sebabnya aku tadi membiarkan orang utan 
pergi sambil membawa dia.- 
- Ahhh, Guru, janji dengan mulut gampang 
untuk kita pungkiri. Guru, silakan menuduh aku 
tolol. Akan tetapi apabila Guru tadi menggunakan 
kesempatan menyerang orang utan tadi sesudah 
membebaskan murid, bukankah hal ini akan 
memberi keuntungan kepada kita? Murid percaya 
Guru  takkan kesulitan membunuh orang utan 
tadi. Dengan demikian, si pencuri jamur takkan 
dapat lolos dari tangan kita.- 
Mendengar alasan ini diam-diam kakek ini 
menyesal juga. Mengapa ia tadi tidak mengguna-
kan kesempatan menyerang orang utan itu, pada 
saat Sentiko sudah lepas? 
Akan tetapi kedudukannya justru sebagai 
guru. Sekalipun alasan muridnya ini benar, ma-
nakah mungkin ia mau disalahkan? Oleh sebab 
itu kemudian ia memerintah. 
-  Sudahlah! Sekarang kumpulkan semua 
jamur obat itu ke dalam keranjang. Dan marilah 
kita secepatnya pulang ke rumah.- 
Sentiko tidak membantah, sekalipun ha-
tinya kecewa sekali. Ia segera mengumpulkan ja-
mur hasil usahanya mencari, dipersatukan den-
gan daun obat, dalam satu keranjang. Sesudah 
itu ia menjinjing keranjang bambu ini, mengikuti 
langkah gurunya menuju ke tempat tinggal gu-
runya. 
Akan tetapi baru beberapa langkah mereka 
berjalan, mendadak mereka berhenti. Guru dan 
murid ini mendengar suara perempuan yang 
nyaring, memanggil-manggil nama seseorang. 
-  Kakang ...... Kakang Dewa Asmara ....! 
Kakang.....suamiku..... ahh, di mana engkau.....? 
Guru dan murid ini bertatap pandang. 
Agaknya timbul rasa heran dalam dada, siapakah 
perempuan itu? Dan mengapa pula memanggil 
nama Dewa Asmara? 
-  Ahhh.....perempuan itu agaknya diting-
galkan suami yang tercinta. Huh, mari kita cepat 
pulang. Untuk apakah kita mengurusi orang 
lain?- ajak Giri Samodra sambil melangkah pergi. 
- Guru..... kasihani dia .....!- ujar Sentiko. 
-  Guru..... kalau benar dia ditinggalkan 
oleh suaminya yang tercinta ..... murid wajib un-
tuk memberikan bantuannya.- 
Tiba-tiba sepasang mata Giri Samodra 
mendelik, lain membentak garang. 
- Sentiko! Apakah engkau sekarang sudah 
berani membantah gurumu? Huh, murid macam 
apa kau ini! Bukankah aku selalu memberi nasi-
hati agar engkau jangan memikirkan perempuan 
sebelum engkau berhasil menguasai seluruh il-
muku? Huh! Tetapi mengapa mendengar suara 
perempuan saja, sekarang kau sudah memperha-
tikan dan kebingungan? Siapa tahu sekalipun su-
aranya merdu, tetapi wajah perempuan itu jelek 
sekali? Hayo, kita lekas pulang. Dan sekali lagi 
aku melarang keras engkau memikirkan perem-
puan. Huh, jika engkau berani melanggar, dan 
engkau berani main perempuan, lebih baik eng-
kau mampus saja.- 
-  Guru.....ohhh, mengapakah sebabnya 
Guru cepat menjadi marah dan salah mengerti ?- 
Sentiko yang melihat sinar mata gurunya 
yang marah, hatinya tergetar hebat dan takut. Te-
tapi entah mengapa sebabnya, suara perempuan 
itu amat menarik perhatiannya. Suara perempuan 
itu seperti mempunyai pengaruh dan daya tarik 
yang hebat terhadap dirinya, sehingga mau tidak 
mau harus memperhatikan. 
- Apa? Salah mengerti?- hardik gurunya. 
-  Benar! Guru salah mengerti.-  Sentiko 
menjawab tanpa rasa takut. - Dalam hati murid 
merasa kasihan, apabila perempuan itu benar-
benar telah ditinggalkan oleh suaminya.- 
Pada saat itu, suara perempuan yang mer-
du dan nyaring, semakin terdengar nyaring dan 
dekat sekali. 
-  Kakang.....! Kakang Dewa Asmara! Di 
manakah engkau? Aku......aku ..... isterimu, men-
gapa tanpa pamit kau sudah meninggalkan diri-
ku? Hi hi hik .....hu hu huuuuu ...... apakah eng-
kau tidak kasihan kepada isterimu......yang rin-
du?- 
Maafkan Pembaca, sampai di sini terhenti 
cerita ini, dan terpaksa Anda ikuti cerita baru ber-
judul : PENIPU LICIK DAN TERKUTUK. Cerita 
yang tentu akan lebih menarik, dan Anda pasti 
tak mau meletakkan buku ini sebelum selesai 
membaca. Sebagai petikan dari isi buku tersebut, 
antara lain seperti ini: 
..... Sarindah merasakan hawa dingin me-
rayapi sekujur tubuhnya. Ketika membuka mata, 
perempuan ini kaget dan terbelalak, karena men-
dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa busana 
sama sekali. Lebih kaget lagi ketika pandang ma-
tanya tertumbuk kepada seorang laki-laki yang 
tidur di sampingnya. 
Saking kaget, main dan penasaran, gadis 
ini menjadi lupa kepada keadaannya sendiri yang 
masih bugil. Tangan kanan bergerak memukul 
kepala laki-laki itu yang tampaknya masih tidur 
pulas. 
Plakkk!..... 
- Aihhh ....!- 
Seruan tertahan meluncur dari mulut Sa-
rindah, kemudian tubuh mulus tanpa busana itu 
terjengkang ke belakang. 
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau memukul aku, isteriku yang manis? Menga-
pakah sebabnya engkau memukul suamimu sen-
diri, yang selalu memanjakan dan membahagia-
kan engkau?- kata laki-laki itu sambil cepat-cepat 
menyambar pakaiannya sendiri. 
Nyatalah sekarang laki-laki ini sudah lebih 
dahulu bangun, namun masih malas dan pura-
pura tidur. Maka ketika pukulan Sarindah me-
nyambar, dengan tangkas laki-laki ini sudah ber-
hasil menangkis dengan baik. 
Sarindah juga cepat pula menyambar kain 
panjangnya, lalu ia pakai menutup tubuh. Kain 
panjang itu hanya ia talikan ujungnya, menutup 
sampai di atas payudara. Mata Sarindah menyala 
merah, menatap laki-laki itu tidak berkedip. Ia 
berdiri tegak dalam keadaan siap siaga mengha-
dapi segala kemungkinan ............ 
........  -  Laki-laki ceriwis!-  hardik Sarindah 
sambil mendelik. -  Sudahlah! Engkau jangan 
mengganggu aku lagi. Huh, aku tidak tahu pe-
rempuan yang kau maksud itu!- 
Sentiko terbelalak kaget mendengar jawa-
ban ini. Sungguh aneh mengapakah sebabnya 
mbakyunya ini bertanya seperti ini? Benarkah 
mbakyunya ini sudah lupa kepada dirinya? 
-  Mbakyu ..... apakah sebabnya kau lu-
pa.....? 
-  Huh huh, jangan cerewet! Aku hidup di 
dunia ini hanya mempunyai Kakang Dewa Asma-
ra seorang, suamiku! Dan tidak mempunyai yang 
lain, apalagi adik.-  Sarindah membentak sambil 
melompat.  -  Hai tua bangka! Engkau berani 
mengganggu suamiku? Huh, kurangajar. Kubu-
nuh kau!- .......... 
..........- Bangsat! Lepaskan aku!- caci maki 
Sarindah semakin keras. -  Huh, tak tahu malu, 
ditolak perempuan masih juga berusaha membu-
juk. Ohhh ..... Kakang Dewa Asmara, tolonglah 
aku. Pukullah laki-laki ini biar mampus, agar ti-
dak mengganggu aku lagi!- 
Sarindah berusaha mati-matian untuk da-
pat melepaskan diri dari sekapan itu. Tetapi cela-
kanya laki-laki yang menyekap dari belakang itu 
semakin kuat. 
Mulut  Sarindah mencaci maki kalang ka-
but. Akan tetapi laki-laki ini tidak peduli. 
Mendadak gadis ini menggunakan kakinya 
untuk mengait ke belakang. Akibatnya laki-laki 
ini kehilangan keseimbangan tubuhnya, dan ja-
tuh terguling. Akan tetapi karena sekapannya 
kuat  sekali, Sarindah pun ikut roboh terguling 
dan kemudian terjadilah pergumulan................ 
Siapakah gadis bernama Sarindah yang se-
dang sial ini? Perlu kita jelaskan. Bahwa Sarindah 
ini kakak perempuan Sarwiyah dan Sentiko, me-
rupakan tiga bersaudara cucu dari Si Tangan Ib-
lis. Sarindah menjadi terganggu jiwanya, sebagai 
akibat pengaruh Aji Netra Luyub dari Kakek Ma-
drim, pada saat gadis ini minta kepada kakek itu 
agar membunuh Gajah Mada dengan tenung. 
Oleh pengaruh Aji Netra Luyub itu, ia me-
rasa telah menjadi isteri Dewa Asmara. Karena 
merasa sudah menjadi isteri Dewa Asmara ini, 
maka gadis ini mencari terus dalam usaha me-
nemukannya. Justru dalam pengembaraannya 
mencari Dewa Asmara ini, Sarindah berhadapan 
dengan berbagai peristiwa kelabu dan menyedih-
kan. 
Bagi Anda yang ingin tahu tentang Kakek 
Madrim dengan Aji Netra Luyubnya ini, silakan 
membaca buku berjudul : TERSIKSA SEPERTI DI 
NERAKA dan RAHASIA DEWA ASMARA. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
http://duniaabukeisel.blogspot.com
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com