Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 9 - Terkurung di Perut Gunung(1)


Melihat Sarwiyah sudah dapat ditawan oleh 
Gajah Agni, maka semangat Mahisa Singkir pa-
dam. Bagi dirinya tidak ada gunanya melawan te-
rus, apabila Sarwiyah, kakak seperguruan tetapi 
yang amat dicintai itu tertawan. 
Kenyataannya lawan yang mereka hadapi 
justru jauh di atas tingkat dirinya maupun ting-
kat Sarwiyah. Maka tidak mengherankan apabila 
kakak seperguruannya tidak berkutik melawan 
Gajah Agni, sedang dirinya sendiripun dalam 
keadaan sama, tak sanggup melawan Hesti Pawa-
na. 
- Aku menyerah! — serunya tiba-tiba sam-
bil membuang pedangnya. 
— Adi! Apa yang kau lakukan? — Sarwiyah 
kaget. 
- Tidak ada gunanya aku bersikeras mela-
wan, setelah engkau ditawan, Mbakyu. Karena 
kau dalam tawanan, maka biarlah aku juga men-
jadi tawanan. 
Sarwiyah terbelalak. Dalam dada gadis ini 
kemudian terdengar isak yang lirih, tetapi air ma-
ta tidak keluar. Sadarlah ia sekarang, adik seper-
guruannya ini mencintai dirinya. 
Demikianlah akhirnya, dua orang muda ini 
dibawa pulang sebagai tawanan. Dalam perjala-
nan menuju sarang mereka ini, menyebabkan 
Mahisa Singkir heran berbareng kagum. 
Ternyata dalam menuju sarang mereka ini 
tidak menggunakan jalan biasa. Membuktikan ge-
rombolan sisa pemberontak Sadeng ini diatur 
demikian rupa, guna melindungi keselamatan me-
reka. Dengan demikian orang yang berani masuk 
ke dalam wilayah gerombolan ini sulit untuk da-
pat keluar lagi, di samping juga tak gampang da-
pat menuju ke sarang mereka. 
Hanya beberapa puluh depa dari tempat 
perkelahian tadi, terdapat jurang cukup dalam. 
Hesti Pawana menggerakkan batu yang bentuk-
nya bundar di tepi jurang. Terdengar kemudian 
suara gemerisik lalu terbukalah semacam lubang 
yang bertangga batu. Dirinya dibawa masuk ke 
dalam lubang ini, yang sempit dan gelap sekali se-
telah alat dari dalam menutup lubang itu kemba-
li. 
Beberapa saat kemudian muncullah mere-
ka di dasar jurang. Dan jurang ini merupakan ja-
lan rahasia guna menuju ke sarang. Cukup lama 
mereka menelusuri jurang yang kering ini, lalu ti-
balah pada sebuah batu yang menonjol. Ketika 
batu ini digerakkan oleh alat rahasia yang terletak 
di dekatnya, batu yang menonjol tadi bergeser. 
Kemudian muncullah goa dan masuklah mereka. 
Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia 
di bawah tanah ini gelap pekat, dan bagi mereka 
yang tidak biasa kalau tidak menggunakan pene-
rangan tentu harus meraba-raba khawatir teran-
tuk batu. 
Hanya pada beberapa tempat saja terdapat 
sinar matahari yang menerobos masuk dari lu-
bang yang sengaja dibuat, guna menjamin kebu-
tuhan hawa bersih dalam jalan rahasia ini. 
Entah berapa lama Mahisa Singkir dan 
Sarwiyah dibawa menelusuri jalan rahasia ini. Se-
telah tiba di ujung lorong, Hesti Pawana mengge-
rakkan alat rahasia lagi, lalu terbukalah pintu ba-
tu. 
Mata Mahisa Singkir silau oleh sinar mata-
hari, setelah beberapa lama dalam jalan rahasia 
yang gelap. Dan ketika mereka sudah tiba di luar, 
Hesti Pawana menutup pintu batu itu lagi. 
Mulut Mahisa Singkir ternganga saking ka-
gum di samping menjadi tambah khawatir. Ia sa-
dar tanpa seizin tuan rumah sulit dirinya dapat 
melarikan diri dari tempat seperti ini. Karena dae-
rah ini merupakan daerah terasing yang hanya 
dihubungkan jalan rahasia di bawah tanah. 
Sarang gerombolan ini terletak di lembah 
yang terkurung tebing terjal yang langka dapat 
dipanjat orang. Sebab selain tebing itu licin, po-
hon yang tumbuh hanya sebangsa lumut dan tak 
mungkin dapat dipergunakan orang berpegangan. 
Dalam pada itu setiap orang yang berada di tebing 
dengan mudah bisa tampak dari bawah. Hingga 
orang yang sengaja datang mengacau, sebelum 
maksudnya tercapai sudah mati terpanggang oleh 
anak panah beracun. 
Melihat sarang gerombolan ini diam-diam 
pemuda ini menghela napas sedih. Sebab selama 
hidup dirinya takkan dapat keluar dari lembah ini 
kalau toh dirinya belum dibunuh. Lain halnya ka-
lau dirinya bersayap, dirinya akan dapat terbang. 
Perumahan bagi para anggota gerombolan 
ini berwujud rumah-rumah batu yang berderet 
memanjang. Seakan merupakan benteng yang 
memisahkan sarang itu dengan tebing. Ia tidak 
tahu dari bahan apakah yang mereka pergunakan 
sebagai atap, karena tampaknya seperti dari 
rumbia, tetapi bukan. 
Benar-benar cerdik pemimpin gerombolan 
ini. 
Kemudian Mahisa Singkir dan Sarwiyah 
dibawa masuk lewat pintu gerbang yang dibangun 
dari batu. Lalu tibalah mereka pada tempat la-
pang tidak begitu lebar tetapi panjang sekali, 
membentuk segi empat panjang. Agaknya pemim-
pin gerombolan yang bernama Mpu Galuh ini, 
tempat tinggalnya di tengah anak buah. terbukti 
mereka harus lewat jalan berbatu diapit oleh ke-
bun yang penuh berbagai macam tanaman. 
Kebun ini merupakan kebun bersama dan 
untuk sumber hidup bagi para penghuni. Pada 
kebun ini jarang terdapat rumah. Dan di samping 
itu Mahisa Singkir juga heran mengapa selama 
perjalanan ini  tidak pernah mendengar suara 
anak bermain atau bocah menangis. 
Sarang ini tampak sepi saja dan jarang pu-
la bersua manusia. Dan kalau toh bersua, orang 
itu akan segera menjatuhkan diri berlutut, mem-
berikan bukti bahwa dua kakek bernama Hesti 
Pawana maupun Gajah Agni ini kedudukannya 
memang tinggi. 
Setelah menelusuri jalan yang bercabang-
cabang dan berkali-kali membelok, tibalah mere-
ka pada tanah lapang lagi. Di  tengah tanah la-
pang yang luas ini terdapat bangunan yang besar, 
kokoh dan kuat. Bentuk atapnya tidak banyak 
beda-nya dengan rumah yang sudah mereka le-
wati. Akan tetapi rumah ini di samping dilindungi 
oleh beberapa macam pohon tinggi, rindang dan 
agak luas  masih dipisahkan pula oleh semacam 
selokan yang lebar dan dalam. Maka hanya ma-
nusia yang bisa terbang saja, bisa melompati se-
lokan ini, yang disebut dengan nama jagang. 
Selokan ini mestinya berair dalam. Tetapi 
karena musim kemarau, air pada jagang ini ham-
pir kering dan menebarkan bau yang kurang se-
dap. 
Untuk dapat masuk ke dalam bangunan 
yang terpisah di tengah lapang ini, dilengkapi 
dengan semacam jembatan kayu. Jembatan ini 
dikawal beberapa prajurit penjaga yang tugasnya 
untuk memasang maupun mengangkat jembatan 
ini, menggunakan tali kuat. 
Lewat jembatan gantung inilah Mahisa 
Singkir dan Sarwiyah dibawa masuk, lewat pintu 
gerbang yang besar dan kuat, dijaga oleh bebera-
pa orang laki-laki bertubuh kekar bersenjata 
tombak. Akan tetapi pakaian mereka ini tidak 
berbeda dengan yang sudah mereka saksikan ta-
di. Hanya memakai cawat dan tanpa baju pula. 
-  Tentunya engkau heran anak muda, 
mengapa anak buah kami hanya memakai cawat 
dan tanpa baju? — kata Hesti Pawana lirih. 
Semula ia memang tidak berani membuka 
mulut. Namun karena kakek ini mengajak bicara, 
hatinya yang merasa heran berkata, —  Benar, 
aku heran. Mengapa mereka berpakaian seragam 
macam itu. 
— Inilah hasil kecerdikan pemimpin kami, 
— Hesti Pawana bangga dan pamer. — Telah ba-
nyak terjadi peristiwa penyelundupan di tempat 
lain karena orang dengan cara melepaskan pa-
kaian. Hingga penyelundup itu dapat bergerak le-
luasa dan sulit dikenal.— 
— Tetapi di tempat ini tidak mungkin bisa 
terjadi! — Gajah Agni yang sejak tadi hanya ber-
diam diri sekarang ikut bicara. — Dengan pakaian 
cawat melulu, tanpa baju dan tanpa ikat kepala, 
penyelundup akan gampang diketahui — 
Gajah Agni berhenti sejenak, memandang 
Mahisa Singkir dan tampak sombong. Tak lama 
kemudian kakek ini meneruskan, —  memang 
orang juga bisa menggunakan cawat, akan tetapi 
kulit tubuhnya akan berlainan. Orang yang biasa 
tidak berbaju akan menjadi hitam dan kasar. Se-
baliknya orang yang biasa berbaju, kulitnya tentu 
bersih dan halus. Dan kecuali itu orang yang bi-
asa pakai baju akan kedinginan pada waktu ma-
lam. Itulah sebabnya kami memilih seragam 
hanya Cawat melulu seperti ini. — 
Mendengar ini diam-diam Mahisa Singkir 
dan Sarwiyah menjadi kagum. Cerdik sekali pe-
mimpin gerombolan yang namanya Mpu Galuh 
ini. Karena yang sudah dibicarakan baru pakaian 
laki-laki, maka  Sarwiyah lalu bertanya tentang 
pakaian perempuan. 
- Kalau laki-laki berpakaian seperti itu, lalu 
bagaimanakah dengan pakaian perempuan? — 
Gajah Agni tertawa, sahutnya, —  Pakaian 
perempuan tidak jauh berbeda bagi semua anak 
buah. Sebab para perempuan juga tidak boleh 
pakai baju! — 
—  Ahhhh ..... —  Sarwiyah berseru terta-
han. 
Bulu kuduk Sarwiyah meremang menden-
gar penjelasan ini. Kalau perempuan hanya pakai 
penutup dada melulu, betapa malu bagi dirinya, 
yang sudah terbiasa memakai baju. Dengan cara 
lepas baju dan hanya ditutup kain penutup dada, 
rasanya tentu seperti telanjang dada. 
Ketika itu terdengar suara nyaring dari 
tempat agak jauh. — Hai Pawana dan Agni! Ba-
gus, engkau berhasil mengundang tamu-tamu 
itu? Bawalah masuk, aku sudah menunggu. — 
Dua orang kakek ini membungkukkan tu-
buh sambil menjawab dengan penuh rasa hormat. 
Mereka melewati pelataran yang cukup 
luas dengan dasar pasir campur kerikil. Hati mu-
da mudi ini berdebar, setelah mulai masuk ke 
rumah depan yang luas dengan lantai batu hitam. 
Dan di dalam rumah ini tampak seorang kakek 
gagah, wajahnya keren, sinar matanya berkilat 
berwibawa, jenggotnya panjang menjuntai dan 
kumisnya panjang serta tebal. 
Kakek ini duduk pada kursi batu yang di-
hias indah sekali, beralas kulit harimau tutul. Di 
sebelah kiri duduk perempuan muda, wajahnya 
lumayan cantik. Perempuan ini duduk pada se-
buah kursi batu, dan beralas kulit harimau tutul 
pula. 
Rambut gadis itu disanggul tinggi, tetapi di 
atas dahi dihias oleh sisir emas berbentuk bulan 
separo. Namun pakaian perempuan muda ini ti-
dak seperti yang sudah diberitakan Gajah Agni. 
Perempuan ini kecuali pakai baju warna hijau 
dan dari kain sutera mahal, juga berkain panjang 
dan memakai hiasan yang gemerlapan. 
Memang dia inilah yang disebut puteri Mpu 
Galuh, bernama Ika Dewi, seorang gadis berumur 
20 tahun. 
Yang duduk di sebelah kanan Mpu Galuh 
seorang laki-laki muda. Ia memelihara kumis teb-
al, tetapi tidak berjenggot. Kumis ini, membuat 
wajah pemuda ini tampak lebih keren dan gagah, 
sekalipun tidak tergolong tampan. Sepasang mata 
pemuda ini berkilat memandang mereka yang se-
dang datang penuh perhatian. Akan tetapi yang 
jelas, perhatian pemuda ini lebih banyak tertuju 
kepada Sarwiyah. 
Karena terang-terangan diperhatikan oleh 
seorang pemuda seperti itu, menyebabkan Sa-
wiyah kikuk berbareng malu. Namun diam-diam 
dalam hatinya mencaci maki. 
Pemuda inilah Rakit Cendana, putera Mpu 
Galuh yang umurnya 22 tahun. 
Mereka dipersilahkan duduk di lantai batu. 
Sedang Hesti Pawana dan Gajah Agni lalu duduk 
pada kursi batu yang masih kosong. 
Diam-diam dua orang muda ini mencaci 
maki. Beginikah pemimpin gerombolan ini dalam 
menyambut tamunya? Namun demikian dua 
orang muda ini tidak peduli akan sikap tuan ru-
mah yang tidak mau menghargai dirinya itu. Du-
duk di lantai justru malah dapat berdampingan 
dan juga dapat sating sentuh. 
Memang setelah terjadi perkelahian tadi, 
hati dua orang muda ini menjadi semakin dekat. 
Hingga menyebabkan Sarwiyah lupa dirinya su-
dah mempunyai calon suami, dan sebaliknya Ma-
hisa Singkir juga tidak ingat lagi bahwa gadis ini 
sudah mempunyai Warigagung. 
Justru hubungan batin mereka ini yang be-
lum terucapkan dengan kata-kata, malah mem-
buat mereka merasa amat bahagia. 
Mpu Galuh mengamati sepasang orang 
muda ini penuh perhatian. Dan ketika Mahisa 
Singkir mengangkat kepala bertatap pandang, 
pemuda ini menjadi kaget dan gentar. Pandang 
mata Mpu Galuh ini demikian tajam seperti dapat 
menjenguk isi dadanya. Mata itu bersinar-sinar, 
seakan terdapat bola api di dalam mata orang tua 
ini. 
— Sudilah Paduka memberi ampun kepada 
hamba.  —  Hesti Pawana berkata dengan sikap 
amat menghormat. — Karena dua orang tamu ini 
amat bandel, maka hamba terpaksa mengguna-
kan kekerasan. — 
— Terima kasih Pawana! — sahut Mpu Ga-
luh dengan bibir tersenyum. — Kita selalu men-
gundang secara hormat kepada setiap tamu. Te-
tapi kalau memang membandel, menyesal sekali 
harus kita gunakan kekerasan. Ha ha ha ha, biar 
dunia ini terbuka matanya, bahwa wilayah kami 
tidak dapat dilanggar semena-mena oleh orang la-
gi. — 
Sesudah itu kakek ini berkata lagi, dituju-
kan kepada Mahisa Singkir. — Hai orang muda! 
Terangkanlah sejujurnya, apa saja maksudmu 
masuk ke wilayah kami tanpa pemberitahuan le-
bih dahulu dan juga tanpa minta izin? —  
—  Paman, bukanlah maksud kami untuk 
berbuat tanpa aturan di daerah asing ini, — sahut 
Mahisa Singkir halus. — Tetapi terus terang saya 
katakan, saya tidak tahu sama sekali perkara pe-
langgaran ini. Yang jelas kami tersesat jalan. Ka-
mi sedang melakukan perjalanan jauh untuk ber-
temu dengan Paman Julung Pujud. — 
Tiga orang kakek ini nampak kaget men-
dengar disebutnya  nama  Julung Pujud. Entah 
mengapa sebabnya, tetapi yang jelas tiga orang 
itu saling pandang. 
Melihat ini diam-diam Mahisa Singkir 
maupun Sarawiyah gembira. Mereka berharap 
dengan berlindung kepada nama kakek sakti itu, 
mereka akan bebas dari kesulitan. 
—  Untuk apakah kamu mencari Julung 
Pujud? Hemm, apakah kamu memang sudah bo-
san hidup berani mencari orang sesat itu? — ejek 
Mpu Galuh. 
— Engkau berani mengejek Paman Julung 
Pujud? — pancing Mahisa Singkir. 
— Hai orang muda! — bentak Gajah Agni 
tiba-tiba. — Beliau adalah Raja kami. Hati-hatilah 
engkau bicara. Jika beliau masih menggunakan 
kebijaksanaan semacam ini, adalah berarti eng-
kau untung besar. — 
Empu Galuh terkekeh. —  Heh heh heh 
heh, biarkan orang muda ini mengumbar mulut, 
karena belum tahu siapakah aku ini sebenarnya. 
Heh heh heh heh, engkau bertanya aku berani 
mengejek dia? Mengapa tidak? Siapakah yang ta-
kut kepada orang sesat seperti Julung Pujud itu? 
Dan sesungguhnya kamu harus mengucapkan te-
rima kasih kepada kami, yang telah mencegah 
pertemuanmu dengan dia. Hemm, kasihan kamu 
orang muda, belum juga kamu berhasil ketemu 
dengan dia, kamu tentu sudah mati. Tahu? 
Tetapi Mahisa Singkir yang sudah tersing-
gung tidak takut. — Tidak mungkin hal itu bisa 
terjadi. Huh, sebab Mbakyu Sarwiyah ini adalah 
calon menantu Paman Julung Pujud! — 
Sarwiyah menjadi malu dan cepat menyen-
tuh Mahisa Singkir. Maksudnya agar Mahisa 
Singkir tidak membicarakan pertunangannya 
dengan Warigagung. 
Kalau saja gadis ini tidak merasa malu, 
tentu ia akan berkata terus terang, bahwa sejak 
sekarang ini dirinya lebih suka putus hubungan-
nya. Sejak dulu ia memang tidak mencintai Wari-
gagung. Dan yang telah terjadi adalah karena 
paksaan dari kakeknya dan juga dalam usaha 
kakeknya mendapat sekutu dalam usahanya un-
tuk membalas dendam kepada Gajah Mada. 
Akan tetapi sekarang kakeknya telah tiada, 
dan sekarang hatinya sudah terisi oleh laki-laki 
lain, terisi oleh Mahisa Singkir, pemuda yang 
amat menarik hatinya selama dalam perjalanan 
ini. 
Namun sebaliknya bagi tiga orang kakek 
ini, ucapan Mahisa Singkir tadi diam-diam ber-
pengaruh. Dan tiga orang kakek ini nampak ka-
get. Sebab apabila benar gadis ini calon menantu 
Julung Pujud, adalah amat berbahaya apabila ha-
rus menahan lebih lama. Sekalipun demikian su-
dah tentu mereka malu apabila menunjukkan ke-
lemahan di depan orang. 
— Gajah Agni! — perintahnya kepada petu-
gas untuk mengantarkan dua orang tamu ini ke 
kamar yang sudah tersedia. Hari sudah agak sore, 
dan biarlah esok pagi saja kita lanjutkan pembi-
caraan ini. — 
— Tetapi kami tidak mempunyai waktu! — 
bantah Mahisa Singkir. — Sudilah paman mengi-
zinkan kami harus dapat bertemu dengan Paman 
Julung Pujud. — 
Mpu Galuh memaksa diri untuk terse-
nyum,  -  Sabarlah anak muda, kami takkan me-
nahan terlalu lama sebagai tamu terhormat kami. 
Anggaplah engkau kini, dalam rangka istirahat 
barang dua atau tiga hari. Dengan demikian agar 
tenaga kalian menjadi segar kembali, setelah ka-
mu mengaso. - . 
—  Paman, saya tidak dapat menunda-
nunda waktu, —  Sarwiyah berusaha pula ikut 
membantah. — Kami mempunyai keperluan amat 
penting  dan secepatnya harus dapat bertemu 
dengan beliau. — 
— Aku tahu anak muda, dan itulah sebab-
nya aku takkan mempersulit kalian. Setelah ka-
lian menjadi tamu kami barang dua hari, kalian 
akan kami antar. — 
Ketika itu Gajah Agni sudah kembali den-
gan diiringi oleh empat orang lelaki muda bertu-
buh tegap kokoh, yang pakaian seragamnya 
hanya cawat melulu. Mahisa Singkir dan Sar-
wiyah masih terus berusaha membantah dan 
membela diri agar diizinkan meneruskan perjala-
nan. 
Akan tetapi celakanya Hesti Pawana dan 
Gajah Agni sudah turun tangan. Maka dua orang 
muda ini lalu digelandang meninggalkan pendapa 
ini, sambil diiringi oleh empat orang petugas me-
nuju kamar masing-masing yang telah mereka 
sediakan. 
Tanpa dapat melawan, baik Mahisa Singkir 
maupun Sarwiyah terpaksa menurut  perintah. 
Dan kemudian betapa kaget dua orang muda ini, 
setelah tiba dalam kamar yang dimaksud.  
Sarwiyah yang biasanya tenang, halus dan 
sabar ini menjerit dan berusaha memberontak, 
setelah mengetahui keadaan kamar itu. Tetapi ce-
lakanya pintu sudah dikunci dari luar. 
Sekalipun ia memberontak, menggedor pin-
tu, memekik-mekik dan mencaci maki, semuanya 
tidak ada gunanya sama sekali. Penjaga di luar 
pintu malah mengejek dan dengan mulutnya yang 
menyeringai, mereka pamer gigi yang kuning ti-
dak kenal sikat gigi. 
Mahisa Singkir juga kaget, setengah mati. 
Namun demikian ia sadar, tiada gunanya men-
gumbar kemarahan dan penasaran. Pemuda ini 
hanya dapat menghela napas sedih, harus berha-
dapan dengan keadaan yang tidak pernah ia ha-
rapkan itu. 
Apakah yang terjadi? Kalau tadi mereka 
oleh Mpu Galuh disebut sebagai "tamu terhor-
mat", ternyata hanyalah dalam ucapan melulu. 
Karena kenyataannya mereka menjadi tawanan 
dan sekarang mereka harus menempati kamar 
yang hanya sempit, jorok dan pintu terkunci dari 
luar di samping masih dijaga orang pula. 
Mahisa Singkir mencoba menggunakan jari 
tangannya mengetuk dinding kamar. Namun ter-
nyata kamar ini dibatasi oleh dinding batu gu-
nung yang keras. Sedang sebagai atap dan langit-
langit juga hanya terbuat dari batu hitam yang 
keras. Maka bagi dirinya tak mungkin dapat lolos 
dari kamar ini tanpa diketahui oleh penjaga, 
Yang terdapat dalam kamar ini hanyalah 
batu berbentuk segi empat dan di atasnya diberi 
rumput kering. Melihat ini ia segera tahu pula, 
itulah merupakan tempat tidurnya. 
Ia justru sudah merasa payah, setelah ia 
tadi berkelahi dengan Hesti Pawana. Maka setelah 
mengamati sekitar kamar, ia menjatuhkan diri 
duduk di atas batu tempat tidur ini sambil berto-
pang dagu dan sedih. Ia menyesal sekali tanpa 
sengaja telah tersesat dalam wilayah gerombolan 
liar ini dan kemudian menjadi tawanan. Sedang 
apa yang harus ia deritapun, ia tak dapat mem-
bayangkan.  
Diam-diam ia mengeluh dan merasa tersik-
sa walaupun baru saja masuk dalam kamar ta-
hanan ini. Yang menyiksa hatinya bukan lain 
adalah memikirkan Sarwiyah. Selama ini dalam 
perjalanan dirinya tak pernah berpisah sekejap 
pun. Pagi, siang maupun malam selalu berdua, 
dengan rukun senasib sepenanggungan. Tetapi 
sekarang secara paksa mereka telah dipisahkan 
orang. 
Tiba-tiba saja  hatinya  bergetar,  ketika ia 
teringat ucapan Sarwiyah pada saat menghadapi 
Hesti Pawana dan Gajah Agni. Ia masih ingat be-
nar ucapan gadis itu, yang menyatakan ingin mati 
bersama dengan dirinya. Juga masih terasa sekali 
getaran jari tangan gadis itu, ketika jari tangan-
nya mengusap-usap perlahan. 
Benarkah gadis itu diam-diam mencintai 
dirinya? Kalau benar, ah betapa bahagia hatinya 
bisa mendapatkan isteri seperti Sarwiyah yang 
penyabar itu. 
Namun tiba-tiba ia memukul kepalanya 
sendiri dan mencaci maki perlahan. 
—  Kurang ajar  kau, Mahisa Singkir! Apa-
kah engkau sekarang sudah menjadi gila? 
Mbakyu Sarwiyah adalah tunangan Warigagung. 
Apakah sebabnya engkau mengharapkan yang ti-
dak-tidak? Daripada engkau melamun yang gila 
ini, berusahalah engkau untuk bisa lolos dan me-
nolong Sarwiyah.— 
Mahisa Singkir bangkit berdiri lalu meneliti 
dinding kamar. Kemudian pintu kamar, yang ter-
dapat lubang-lubangnya sebagai jalan hawa. Na-
mun kemudian ia menggelengkan kepalanya dan 
menghela napas. Sebab tidak mungkin dirinya 
dapat menghancurkan pintu kayu yang tebal dan 
dijaga orang pula di bagian luar. 
Yang bisa dilakukan kemudian hanya men-
jatuhkan diri dan duduk di atas pembaringan ba-
tu, dan tiada lain sekarang kecuali menyerah dan 
tinggal dapat mengharapkan pertolongan dari 
Dewata yang Agung. Harapannya adalah peristiwa 
ini dapat diketahui gurunya yang baru, Mpu Anu-
sa Dwipa. Sebab tanpa adanya pertolongan orang, 
tidak mungkin dirinya dapat melarikan diri dari 
kamar ini. 
Pada pihak lain, Mpu Galuh, Hesti Pawana, 
Gajah Agni, Rakit Cendana dan Ika  Dewi masih 
duduk di tempat semula. 
— Hemm, — Mpu Galuh menghela napas 
pendek.  —  Bagaimanakah menurut pendapatmu 
dengan dua bocah tadi? Ternyata gadis tadi ada-
lah calon menantu Julung Pujud, sedang pemuda 
tadi adalah saudara seperguruannya yang bertin-
dak sebagai pengawalnya. Apabila diingat Julung 
Pujud tak dapat kita anggap sepele, memang apa 
yang kita lakukan sekarang ini adalah ibarat 
bermain-main dengan ular berbisa.— 
Mpu Galuh berhenti dan mencari angin. 
Setelah mereka tidak ada yang membuka mulut, 
ia meneruskan 
— Akan tetapi hem ... anakku Rakit Cen-
dana demikian tergila-gila setelah melihat gadis 
itu, Sedang Ika Dewi pun entah mengapa sebab-
nya sudah berterus terang tidak mau kawin apa-
bila tidak mempunyai suami seperti pemuda itu. 
Hemm.... Pawana dan Agni, berilah aku pandan-
gan dan nasihat guna mengatasi persoalan ini. —  
Gajah Agni yang memang berwatak  kasar 
sudah terkekeh, lalu jawabnya, — Heh he he heh, 
apakah  sebabnya  Paduka gampang sekali terpe-
daya oleh mulut bocah itu? Dan apabila toh benar 
bocah perempuan itu calon menantu Julung Pu-
jud, apakah yang perlu kita gelisahkan dan perlu 
kita khawatirkan? Paduka,  kita  cukup kuat. Se-
dangkan wilayah Paduka dilengkapi oleh alat-alat 
rahasia maupun jebakan. Maka apabila Julung 
Pujud sampai marah, dia bakal mampus sebelum 
berhasil masuk kemari. — 
— Adi Agni benar! — sambut Hesti Pawana. 
Paduka telah diperdayakan oleh bocah itu. Kare-
na memang sulit kita percaya, seorang gadis me-
lakukan perjalanan jauh dalam usaha mencari 
calon mertuanya, hanya ditemani seorang pemu-
da. Adakah orang tua yang bersedia melepaskan 
anak gadisnya melakukan perjalanan jauh den-
gan lelaki muda? Nah siapa tahu kalau dua orang 
muda ini melarikan diri dari rumah, karena orang 
tua mereka tidak setuju dengan hubungan bocah 
itu?  
— Ahhh .... Celaka apabila dugaan Paman 
Pawana benar. — Rakit Cendana yang sejak tadi 
berdiam diri membuka mulut. 
Mpu Galuh memalingkan mukanya me-
mandang anaknya. — Ada apakah engkau, Rakit? 
— 
— Apabila mereka lari dari rumah, karena 
diam-diam sudah saling jatuh cinta, apakah 
mungkin gadis itu masih perawan suci? Ayah .... 
ahhh, kalau gadis itu sudah bukan perawan suci 
lagi, aku tidak sudi! Huh, wajahnya memang 
amat menarik dan aku menjadi tergila-gila. Akan 
tetapi kalau sudah demikian murah menyerahkan 
kehormatannya kepada lelaki di luar nikah, berat 
rasa hatiku dapat mempercayai perempuan seper-
ti itu. 
— Heh heh heh heh, kenapa engkau men-
jadi bingung sendiri seperti kebakaran jenggot? — 
Mpu Galuh terkekeh. — Kapan nanti terbukti ga-
dis itu sudah tidak suci lagi, bukanlah soal yang 
sulit kita pecahkan, anakku. Engkau berhak 
menghukum dengan talak, atau juga boleh pula 
kau bunuh dia. Dan apabila engkau merasa pe-
nasaran kepada lelaki yang telah menyebabkan 
gadis itu tidak suci lagi, ayah memberi pula izin 
untuk membunuh lelaki itu. —  
— Idih, kenapa Ayah berkata seperti itu? — 
Ika Dewi  berkata dengan wajahnya memerah. — 
Akulah yang akan membela dan melindungi kese-
lamatan pemuda itu. — 
Mendengar bantahan Ika Dewi ini, Mpu 
Galuh terkekeh. Ia baru ingat, bahwa dirinya ha-
rus pula memperhatikan kepentingan anaknya 
perempuan. 
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah, 
akibat desakan dua orang anaknya ini, maka ke-
mudian Mpu Galuh memerintahkan penangkapan 
kepada Sarwiyah maupun Mahisa Singkir. Sebab 
sesudah melihat Sarwiyah, anak laki-laki  berna-
ma Rakit Cendana ini jatuh cinta, sedangkan 
anak perempuannya yang bernama Ika Dewi itu 
pun tergila-gila kepada Mahisa Singkir.  
— Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir, — 
hiburnya kemudian — Kamulah yang berhak pe-
nuh atas diri mereka. Dan akupun percaya bahwa 
dua orang tawanan itu takkan dapat menentang 
keputusan kita. Hemm, mereka harus memilih sa-
tu di antara dua. Menyerah dan aku angkat men-
jadi anak menantu, ataukah menentang dan aku 
berikan hukuman yang setimpal.— 
Mpu Galuh berhenti sejenak, kemudian ka-
tanya lagi, — Tetapi masih ada masalah yang per-
lu aku pikirkan masak-masak, ialah hubungan 
bocah perempuan itu dengan Julung Pujud. — 
—  Apakah yang harus kita takutkan? — 
sahut Gajah Agni. —  Wilayah Paduka ini penuh 
rahasia. Dan orang luar takkan mungkin dapat 
masuk kemari dengan selamat. Maka sekalipun 
Julung Pujud terkenal sakti mandraguna, tidak 
mungkin dapat mengganggu Paduka.  
Hesti Pawana juga cepat menghibur dan 
memberi semangat kepada junjungannya, — Apa-
bila Paduka masih khawatir, izinkanlah hamba 
berdua menambahkan kekuatan penjagaan. Dan 
apabila Paduka setuju, kita gunakan kekerasan 
saja-  
— Apakah maksudmu? — tanya Mpu Ga-
luh. 
— Karena jelas putra Paduka menghendaki 
dua orang muda itu, maka apakah salahnya kita 
kawinkan saja secepatnya? Apa yang akan dapat 
dilakukan oleh mereka, apabila gadis dan pemuda 
itu sudah menjadi menantu Paduka? Manakah 
dua bocah itu dapat melawan lagi, apabila kita 
beri minuman obat "rampas jiwa"? mereka akan 
menjadi lupa diri dan asal-usulnya, hingga mere-
ka akan menurut saja. —  
Tiba-tiba Rakit Cendana terkekeh, —  Heh 
heh heh heh, Paman Pawana benar. Mengguna-
kan obat tersebut, mereka tinggal seperti boneka 
hidup. Mereka akan menurut apa saja yang kita 
perintahkan. — 
Sebenarnya Ika Dewi kurang setuju dengan 
cara yang curang itu. Akan tetapi apabila dalam 
keadaan sadar, mungkinkah dirinya dapat men-
guasai pemuda yang sudah mencuri hatinya itu? 
Dan betapa kecewa hatinya apabila tidak berhasil 
memiliki pemuda yang membuat dirinya gan-
drung wuyung (tergila-gila) itu, maka jalan mudah 
dan tepat untuk mencapai maksud, memang ti-
dak ada jalan lain kecuali harus menggunakan 
obat racun "rampas jiwa" itu saja. 
Sesungguhnya memang tidak menyenang-
kan juga apabila dirinya mempunyai seorang su-
ami yang lupa diri dan lupa asal-usulnya itu. Ka-
rena lelaki itu hanya sebagai seorang lelaki tolol, 
tidak bisa berpikir, sehingga tugasnya tidak lain 
hanyalah sebagai pemuas nafsu melulu. 
Akan tetapi daripada tidak memperoleh 
sama sekali, maka sekalipun mempunyai seorang 
laki-laki tolol dan dungu masih  bisa disebut lu-
mayan juga.  
Dewi Sritanjung yang malang, setelah 
mendapat pertolongan dari Mpu Anusa Dwipa dan 
kemudian bebas dari kekuasaan Rudra Sangkala, 
meneruskan perjalanan dengan langkah cepat 
agar secepatnya dapat menjauhi Ibukota Majapa-
hit. 
Tetapi justru gadis ini dapat ditangkap oleh 
Rudra Sangkala, malah menambah pengalaman-
nya hingga tidak gampang ditipu orang. Gadis ini 
memang tidak menduga kalau akan berhadapan 
dengan pemuda curang. Di saat menghadapi Ru-
dra Sangkala ia menghirup bau wangi. Semula ia 
menduga dari bunga, namun ternyata bau wangi 
Itu adalah racun wangi yang disebarkan oleh Ru-
dra Sangkala. 
Gadis ini bergerak cepat menerobos hutan 
perawan. Timbullah keinginannya untuk segera 
dapat pula ke padepokan gurunya Ki ageng Tun-
jung Biru. Kalau semula ia tidak ingin melapor-
kan tentang nasibnya ini, karena takut bertemu 
dengan ayahnya maupun kakaknya, maka seka-
rang perasaan ini lenyap. Pengalamannya yang 
roboh di tangan pemuda jahat Rudra Sangkala 
menyadarkan gadis ini, kepandaiannya belum 
dapat dibanggakan untuk berkelana seorang diri. 
Karena itu ia ingin minta petunjuk sambil mengu-
ras ilmu kesaktian Kiageng Tunjung Biru. 
Dewi, Sritanjung tidak menyadari sama se-
kali bahwa sekarang ini dirinya sudah termasuk 
perempuan perkasa, dan sulit memperoleh tand-
ing. Adapun sebabnya ia sampai roboh oleh Ru-
dra Sangkala tidak lain karena pengaruh racun 
wangi. Akan tetapi dalam hal ilmu kesaktian, De-
wi Sritanjung tidak di bawah Rudra Sangkala. 
Tanpa kenal lelah dan takut gadis ini terus 
menerobos hutan dan perbukitan. Tetapi karena 
gadis ini masih asing dalam berkelana, tanpa se-
sadarnya ia tersesat. Ia bukan semakin dekat 
dengan tujuan, sebaliknya malah menjauhi pade-
pokan gurunya. 
Ia berlarilah ke arah selatan. Tiba-tiba ga-
dis ini berhenti ketika melihat jauh di depan tam-
pak adanya sebuah gunung yang tinggi dan dari 
puncak itu mengeluarkan asap. Gadis ini kehera-
nan. Gunung apakah itu? Di sekitar padepokan 
Ki ageng  Tunjung Biru tidak terdapat gunung 
yang mengeluarkan asap seperti itu. 
Dari heran kemudian hatinya menjadi ter-
tarik. Secara tidak sengaja datang di tempat ini, 
mengapa tidak sekalian melihat gunung yang 
aneh itu dari dekat? 
Selama hidup ia belum pernah melihat gu-
nung yang mengeluarkan asap. Maka betapa rasa 
inginnya ia dapat melihat gunung itu dari dekat. 
Di samping ingin melihat, ia juga ingin tahu men-
gapa gunung itu bisa mengepulkan asap, dan 
apakah ada api dalam gunung itu? Dan apabila 
ada api, apa sajakah yang dipergunakan sebagai 
bahan bakar?  
Saking tidak tahu dan saking keheranan, 
Dewi Sritanjung tidak menyadari bahwa gunung 
itu namanya Gunung Kelud. Gunung berapi yang 
amat berbahaya dan tidak seorangpun akan 
sanggup mendekati kawah gunung yang selalu 
mengeluarkan asap itu. Sedang orang yang secara 
sembrono berani mendekati kawah gunung berapi 
itu sama artinya dengan membunuh diri. 
Gadis ini menjadi lupa kepada perut yang 
lapar dan lupa pula ketika itu matahari sudah be-
rada di barat belahan bumi. Padahal sekalipun ia 
dapat bergerak cepat, ia tidak mungkin dapat ber-
lomba dengan gerak matahari. Dalam pada itu 
gunung yang tinggi seperti Kelud ini hawanya 
amat dingin. Maka tanpa persiapan yang diperlu-
kan, mendaki gunung seperti ini akan sulit juga 
karena harus melawan dingin. 
Sekalipun lambat tetapi pasti, matahari 
bergeser secara tetap ke arah barat. Makin lama 
matahari semakin menjadi berkurang teriknya. 
Akan tetapi Dewi Sritanjung yang amat in-
gin melihat gunung yang dapat mengeluarkan 
asap itu, terus berlarian cepat lupa waktu dan ra-
sa lelah. 
Gadis ini sama sekali tidak menyadari se-
dang diperhatikan oleh tiga orang laki-laki yang 
berlindung di belakang rumpun pohon berduri. 
Yang seorang adalah kakek kurus kering berjeng-
got kambing dan tanpa pakai baju. Adapun dua 
orang lagi masih muda umur mereka masing-
masing baru 20 tahun.  
Dua orang pemuda itu memandang Dewi 
Sritanjung dengan mata melotot. Mereka menjadi 
tertarik sekali oleh kejelitaan gadis ini, tetapi juga 
merasa heran, mengapa ada seorang gadis berani 
berkeliaran di hutan belantara ini hanya seorang 
diri. 
Siapakah tiga orang ini? Mereka adalah 
guru dan murid. Kakek kurus kering berjenggot 
kambing ini bernama Klinthung Waluh. 
Akan tetapi jangan dikira kakek ini berpe-
nyakitan dan ringkih, sekalipun tampaknya akan 
roboh apabila tertiup angin kencang. Sebab kakek 
ini adalah seorang yang amat berbahaya. Sebab di 
samping kakek ini sakti mandraguna, juga memi-
liki semacam aji kesaktian bernama Aji "Netra 
Luyub", 
Orang yang berani bertatap pandang, akan 
segera terpengaruh oleh aji tersebut, hingga ke-
mudian akan tunduk terhadap kemauannya, ka-
rena aji tersebut mempunyai kekuatan seperti il-
mu sihir. 
Dua orang muda yang berdiri di samping 
kiri dan kanan itu adalah muridnya yang amat ia 
sayanginya. Yang tinggi kurus dan matanya sipit, 
bernama Guna Praya sebagai murid yang tua. Se-
dang yang tinggi besar berkulit hitam legam dan 
berkumis tebal itu adalah Damar Seta. 
Dua orang murid ini tampaknya memang 
masih muda. Namun sesungguhnya mereka me-
rupakan pemuda gemblengan pula. Mereka ada-
lah ahli ilmu golok. Di samping ilmu golok mereka 
yang hebat, masih ada pula senjata yang amat 
berbahaya. Senjata itu berwujud sumpit dari bu-
lu. Dan sebagai peluru dari sumpit ini adalah ta-
nah liat. Tetapi sekalipun hanya tanah liat, peluru 
ini sangat berbahaya, karena tanah liat tersebut 
telah dicampur dengan racun jahat. Orang  yang 
sampai terkena oleh peluru sumpitan ini sekali-
pun tidak terluka, nyawa bisa melayang setelah, 
lebih dahulu keracunan hebat.  
Oleh sebab itu di daerah Gunung Kelud ini 
adalah merupakan daerah angker. Orang takkan 
berani sembarangan berkeliaran di tempat ini. 
Lebih kurang pada tiga tahun lalu, Gajah 
Mada pernah berusaha menumpas gerombolan 
Klintung Waluh ini, setelah mendapat laporan 
tentang sepak terjangnya yang sewenang-wenang. 
Utusan tersebut terdiri dari empat puluh orang 
prajurit, dipimpin oleh seorang Senapati bernama 
Kebo Wulung. Tetapi ternyata pasukan itu tidak 
pernah kembali ke Majapahit lagi. Karena semua 
sudah tewas akibat pengaruh Aji "Netra Luyub' 
Karena mereka terpengaruhi pandang mata 
Klintung Waluh, sehingga mereka kemudian tun-
duk dan menurut yang diperintahkan Klintung 
Waluh. 
Karena kegagalan itu kemudian Gajah Ma-
da melupakan Klintung Waluh, karena tugas yang 
lebih berat dan penting banyak yang harus dipi-
kirkan oleh Gajah Mada. 
— Guru! — Guna Praya berkata. — Waduh, 
jantung murid seperti  mau copot melihat kejeli-
taan gadis itu. Murid telah lama sekali ingin ka-
win, tetapi sampai sekarang belum pernah berte-
mu dengan gadis yang cocok dengan hatiku. Te-
tapi sekarang ..... murid ingin kawin dengan gadis 
itu. 
—  Huh, engkau mencari enak sendiri! — 
Bentak Damar Seta tiba-tiba dengan nada tidak 
senang. Apakah engkau sendiri saja yang ingin 
kawin Kakang. Akupun sudah dewasa dan perlu 
pula seorang isteri. Maka akupun menghendaki 
gadis itu, Guru. - 
—  Damar!  —  bentak Guna Praya sambil 
mendelik. Tetapi karena matanya sipit, sekalipun 
mendelik namun mata itu tetap saja sipit. — Aku 

lebih tua dibanding kau. Kalau aku yang tua saja 
belum kawin karena belum mendapatkan gadis 
yang cocok, mengapakah sebabnya engkau mau 
mengacau? —    
—  Ha, ha, ha, ha, adakah aturan seperti 
itu? Yang tua harus kawin lebih dahulu dan yang 
muda belakangan? — 
— Aturan itu memang tidak tertulis, tetapi 
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat kita 
bukankah begitu? — 
— Heh, heh, heh, heh, kalau bisa berlaku 
maka engkau pun belum mempunyai hak. — . 
—  Hai! Engkau mengacau. Mengapa aku 
tidak berhak?- 
—  Guru lebih tua dari umurmu, padahal 
Guru belum kawin. — 
— Ha ha ha ha, heh heh heh heh, - Klin-
thung Waluh yang sejak tadi berdiam diri dan 
membiarkan dua orang muridnya berbantahan 
sekarang tertawa geli. Perut yang buncit seperti 
orang berpenyakit cacing itu bergerak-gerak, se-
dangkan dua murid itupun kemudian ketawa geli 
pula. 
—  Guna Praya dan Damar Seta! Hemm, 
aku ini sampai heran apabila memikirkan kalian. 
Aku hanya mempunyai dua murid saja, akan te-
tapi kerjamu setiap hari hanya selalu cekcok mu-
lut seperti kucing dan anjing. Apakah kamu me-
mang tidak bisa rukun dan mencintai? — 
Klintung Waluh berhenti dan mengambil 
napas. Lalu, —  Saudara seperguruan itu tidak 
bedanya dengan saudara kandung, sedang guru 
itu kasih sayang kepada murid tidak bedanya ke-
pada anak sendiri. Apakah kalian ini memang 
sengaja merongrong hatiku? Huh, semestinya an-
tara kamu masing-masing harus pandai memba-
wa diri. Yang tua tidak boleh menurut kemauan 
sendiri dan merasa lebih  tua, selalu ingin me-
nang. Yang muda pun harus dapat menempatkan 
diri sebagai orang muda, harus tunduk dan patuh 
kepada kakak seperguruannya, karena seorang 
kakak seperguruan merupakan pengganti ayah 
atau guru di kemudian hari. Mengerti? — 
Mendengar ucapan gurunya ini dua orang 
murid itu wajahnya menjadi agak pucat dan ta-
kut. Hampir berbareng mereka menjatuhkan diri 
berlutut. Lalu berturut-turut dua pemuda ini ber-
kata.  
— Murid mengerti, Guru. —  
— Nah, jika kamu mengerti, aku perintah-
kan padamu, harus rukun dan saling mencintai. 
Yang tua harus pandai mengalah, momong dan 
menempatkan diri sebagai orang tua. Sebaliknya 
yang muda juga harus pandai menempatkan diri 
sebagai orang muda, tunduk dan patuh kepada 
kakak seperguruannya. Nah, masing-masing tak 
boleh menuruti kemauan sendiri, tahu? —  
Kakek itu berhenti dan menatap dua orang 
muridnya yang masih berlutut. Dan beberapa 
saat kemudian terusnya, —  Hemm, kamu mem-
persoalkan perempuan yang menuju ke mari itu 
dan saling berebut... Apakah jadinya apabila ka-
mu saling berebut? Tak urung kamu bermusuhan 
dan saling menderita rugi. Ya, ya, kamu memang 
masih muda, maka pengertianmu juga masih pi-
cik — 
Kakek itu berhenti lagi dan mengurut-urut 
jenggot kambingnya. Sesaat kemudian ia berkata 
lagi, — Anakku, tahukah kamu pengaruh perem-
puan cantik itu lebih berbahaya dibanding den-
gan golokmu dan tulupmu (sumpitmu) yang bera-
cun itu? Negara bisa hancur oleh pengaruh paras 
cantik, karena pemimpin, negara itu menjadi lupa 
daratan. Kerukunan sebagai saudara akan beran-
takan, karena saling kokoh dalam mempere-
butkan perempuan cantik itu; yang akibatnya pu-
la akan menimbulkan derita yang perih saja. – 
Kakek ini berhenti kembali dan menghela 
napas dalam. Karena bicara tentang perempuan, 
ia teringat kepada pengalaman hidupnya. Ia terin-
gat pada jalan hidupnya ketika masih muda, aki-
bat ia memperebutkan perempuan kemudian di-
rinya harus bermusuhan dengan adik sepergu-
ruan dirinya sendiri, yang bernama Damar Talun. 
Antara mereka pernah berkelahi sampai dua hari 
dua malam. 
Sebagai akibatnya mereka semua menderi-
ta luka berat. Dalam keadaan setengah mati, ke-
mudian mereka berdua mempertahankan hidup 
masing-masing. Dan sampai sekarang peristiwa 
itu telah berlalu 40 tahun lalu dan tidak pernah 
lagi bertemu dengan Damar Talun. Ia tidak tahu, 
Damar Tallin sekarang masih hidup ataukah su-
dah mati. Tetapi yang jelas peristiwa itu membuat 
hatinya amat- berduka. 
Mendengar gurunya menghela napas dalam 
itu dua orang murid ini tidak berani bergerak dan 
terus berlutut. 
Mereka memang pernah mendengar cerita 
guru mereka ketika masih muda, yang harus ber-
kelahi dengan adik seperguruannya sendiri. 
—  Anakku, berkali—kali aku menase-
hatkan kepada kamu berdua, sebaiknya tidak 
usah kawin saja. Sebab, kawin itu berarti engkau 
akan dijajah oleh perempuan. Engkau tidak 
mempunyai kebebasan lagi, ibarat seekor burung 
di dalam sangkar emas. Apakah gunanya menjadi 
penghuni sangkar emas itu, kalau tidak bisa be-
bas terbang lagi ia berhenti sejenak mencari ke-
san, dan sejenak kemudian baru meneruskan, — 
Anakku, apabila engkau kawin, engkau harus 
memeras tenaga guna mencukupi kebutuhan is-
teri dan anak-anakmu! Engkau akan menjadi ku-
da beban oleh perempuan. Engkau akan menjadi 
budak perempuan. Dan engkau salah sedikit saja, 
isterimu akan marah-marah dan ngambek. Ke-
mudian akan mencaci-maki engkau sebagai lelaki 
tidak bertanggung jawab. Huh, apakah enaknya 
jika setelah engkau kawin akan dijajah perem-
puan? Lebih baik engkau, hidup seorang diri dan 
bebas. Sebagai lelaki yang tidak kawin, tiada ha-
langan jika engkau mencari dua atau tiga orang 
perempuan setiap malam berganti-ganti.   Engkau 
bisa menculik atau merampas gadis atau isteri 
orang. Dan begitu selesai dengan kebutuhanmu, 
mereka bisa engkau suruh pulang. Kemudian 
ganti yang lain heh heh hen heh. – 
Klintung Waluh berhenti lagi dan mengam-
bil napas. Lalu memandang kepada gadis yang 
sedang dibicarakan oleh dua muridnya. Beberapa 
jenak kemudian barulah ia meneruskan lagi. 
—  Humm, apakah gunanya menjadi laki-
laki yang begitu, lebih senang tidak kawin diband-
ing dengan kawin dan dijajah oleh perempuan? —  
Nasihat Klintung Waluh ini tentu saja me-
rupakan nasihat yang sesat. Nasihat yang tidak 
pantas dianut dan jelas sekali Klinthung Waluh 
ini bukanlah guru yang baik, bukanlah guru yang 
pantas digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh) 
Dia merupakan guru yang  tidak bertang-
gungjawab, dan malah sengaja mencelakai mu-
ridnya sendiri, dengan cara mendidik muridnya 
menjadi manusia tidak bermoral. 
Kawin adalah merupakan kewajiban ma-
nusia yang kodrati. Lelaki membutuhkan perem-
puan dan perlu memberikan cinta dan kasih 
sayangnya. Dan sebaliknya perempuan pun 
membutuhkan seorang laki-laki dan memberikan 
cinta maupun kasih sayangnya. Kemudian mere-
ka membentuk bebrayan (rumah tangga) bahagia 
tidak ada istilah menjajah dan dijajah. 
Mereka menempuh hidup bersama dan 
bergotong-royong penuh pengertian dalam satu 
keluarga, saling memberi dan menerima, saling 
menggantungkan dan memperoleh untung. 
Yang baik adalah sekali nikah untuk sela-
ma hidup, ini yang utama! Dan itu membuktikan 
bahwa kasih sayang mereka adalah suci murni. 
Membuktikan cinta yang setulus hati. Sebab yang 
kawin dan kemudian cerai, kawin lagi dan cerai 
lagi, ini membuktikan perkawinan tadi hanyalah 
merupakan tempat mengumbar hawa nafsu birahi 
melulu. Dan bukan menjadi contoh yang baik ba-
gi para anak dan keturunannya. 
Cinta yang murni, tidak akan dikotori den-
gan nafsu. Cinta murni penuh pengertian. Bukan 
hanya pada saat menguntungkan dan terpenuhi 
kebutuhannya, terpenuhi nafsunya, kemudian 
akan marah apabila tuntutan itu tidak terpenuhi. 
Dan sesudah marah kemudian mencari yang lain. 
 Juga sudah merupakan kodrat pula, bah-
wa laki-laki harus mempertanggungjawabkan is-
teri maupun keluarganya. Memang lelaki yang ha-
rus memeras keringat dan tenaga guna mencu-
kupi kebutuhan keluarga. Perempuan berkewaji-
ban di rumah mengatur dan mendidik anak-anak. 
Dan sesungguhnya saja, isteri itu adalah 
pemberian Tuhan. Seorang sudah lebih dari cu-
kup untuk selama hidup, dan tidak mungkin ha-
bis! Akan tetapi apabila isterinya dua orang, ma-
lah akan menjadi kurang. Tiga, mungkin empat 
dan seterusnya akan semakin menjadi kurang la-
gi. Karena lelaki yang terus-terusan kawin itu ti-
dak pernah merasakan puas seperti harapannya 
semula. 
Memang aneh! Seorang isteri lebih dari cu-
kup untuk selama hidup. Akan tetapi apabila le-
bih malah akan selalu merasa kurang. Soalnya 
nafsu dan keinginan manusia ini akan berkem-
bang terus, apabila manusia itu hanya menu-
rutkannya saja. Karena itu jalan terbaik bagi ma-
nusia, harus pandai mengendalikan nafsu dalam 
bentuk apapun, Sebab napsu yang tidak terken-
dali akan menjadi binal dan kemudian bisa ber-
tindak di luar kesadaran hukum yang berlaku. 
Akibatnya bisa beristeri lebih dari satu, 
atau tampaknya isteri hanya satu, tetapi di luar 
rumah tidak terkendali dan adakalanya tidak ma-
lu pula merebut isteri orang lain. 
Demikianlah bagi lelaki yang ingin dapat 
membina rumah tangga bahagia, mempunyai seo-
rang isteri dan anak yang selalu tenteram dan 
damai 
Kebahagiaan memang sulit dicari karena 
kebahagiaan itu tidak berwujud, tetapi dapat di-
rasakan. Oleh sebab itu kebahagiaan tidak berda-
sarkan  pada kekayaan maupun kedudukan se-
seorang yang tinggi. Gelandangan pun bisa mera-
sakan kebahagiaan dan tidak bedanya dengan 
orang lain. 
Akan tetapi bagi Guna Praya dan Damar 
Seto ini, yang sudah lama mendapat didikan se-
cara salah oleh gurunya, beranggapan setiap yang 
diucapkan oleh guru selalu benar. Maka mempu-
nyai anggapan pula lelaki yang kawin akan dija-
jah perempuan 
—  Bangkitlah anakku! —  perintah Klin-
thung Waluh kemudian. Dan dua orang murid itu 
pun patuh, lalu bangkit berdiri. 
— Perempuan itu sudah semakin menjadi 
dekat!—  katanya lagi. Dan dua orang muridnya 
membalikkan tubuh, memandang ke arah Dewi 
Sritanjung. 
Jarak yang menjadi semakin dekat menye-
babkan kejelitaan gadis itu semakin nyata. Dan 
yang membuat jantung dua pemuda ini seperti 
meloncat-loncat  tidak keruan dan mereka ingin 
segera dapat menubruk, memeluk dan menci-
uminya. 
— Anakku, gadis itu memang benar-benar 
cantik! - ujarnya lagi sambil mengurut-urut jeng-
gotnya.  —  Tangkaplah dia! Tetapi kamu jangan 
berebut dan rukunlah! Jadikan dia menjadi mi-
likmu bersama selama kamu suka. Akan tetapi 
apabila baju itu sudah robek dan tidak dapat ka-
mu pergunakan lagi, buanglah. dan dengan begi-
tu barulah kamu menjadi lelaki berharga. Kamu 
takkan pernah sampai dijajah perempuan yang 
manapun.-  
— Guru benar! — dukung Guna Praya. — 
Perempuan itu harus kita miliki bersama, Adi. 
Sebagai saudara tua, aku mengalah sesudah kau 
tercukupi kebutuhanmu — 
Betapa gembira Damar Seto sulit terlu-
kiskan lagi. Kemudian pemuda ini ketawa lepas, 
—  Ha ha ha ha, terima kasih Kakang. Engkau 
baik sekali.—  
Suara ketawa Damar Seto yang lepas ini 
terdengar oleh Dewi Sritanjung dan gadis ini ka-
get. Ia menghentikan langkahnya, kemudian gadis 
ini celingukan. Hati gadis ini berdebaran dan di-
am-diam tangan kanan sudah meraba hulu pe-
dang. Pengalamannya dengan Rudra Sangkala 
menyebabkan gadis ini bersikap hati-hati dan 
waspada. Tiba-tiba melesatlah sebuah benda bu-
lat, melenting ke atas tak jauh dari tempatnya 
berdiri, menyebabkan gadis ini kaget sekali. Dan 
pada saat belum hilang rasa kagetnya ini Dewi 
Sritanjung mendengar suara halus. 
—  Anak, depanmu ada bahaya mengha-
dang dan berhati-hatilah.— 
Dewi Sritanjung celingukan ke kiri dan ke 
kanan. Siapakah yang bersuara tadi dan darima-
na pula? Karena itu ia segera memburu ke tempat 
benda bulat tadi yang jatuh. Tetapi ia kembali ke-
heranan karena benda itu sudah lenyap tanpa 
bekas. 
- Setankah? - tanyanya dalam hati. Ia tidak 
habis mengerti kepada hal-hal yang baru terjadi 
di tempat ini. Apakah sebabnya ia berhadapan 
dengan keanehan? Ia tadi mendengar secara jelas 
suara orang ketawa lepas. Pada saat kaget itu dan 
sedang mencari asal suara, ada benda bulat me-
lenting secara aneh dan menyusul terdengar sua-
ra halus yang memperingatkan adanya bahaya.  
Dan yang aneh lagi, mengapa setelah di-
rinya memburu ke arah benda  bulat itu jatuh, 
benda itu sudah lenyap tanpa bekas. Ia tidak ta-
kut kepada setan maupun hantu. Tetapi diam-
diam ia menjadi tegang juga menghadapi peristi-
wa seaneh ini. 
Namun hanya beberapa saat saja Dewi Sri-
tanjung ini tegang dan ragu-ragu. Sesaat kemu-
dian dengan langkah yang tetap dan hati penuh 
rasa percaya akan diri sendiri, ia melanjutkan 
perjalanan.  
Ia benar-benar tertarik kepada gunung 
yang mengepulkan asap itu. Ia ingin meliat dari 
dekat dan ia ingin juga mengerti apa sebabnya, 
gunung itu mengepulkan asap yang tidak pernah 
berhenti.. Timbul semacam gambaran dalam otak 
gadis ini, penduduk di sekitar puncak gunung ini 
tentu senang sekali. Sebab mereka takkan pernah 
merasa kedinginan, karena gunung itu selalu me-
nyebarkan hawa hangat dari api yang tidak per-
nah padam guna memasak maupun. untuk ke-
perluan lain! 
Memang tidak bisa disalahkan apabila De-
wi Sritanjung mempunyai gambaran seperti ini. Ia 
belum tahu sama sekali bahwa gunung berapi itu 
amat berbahaya. Apabila gunung ini meletus bak-
al menimbulkan malapetaka yang sulit digambar-
kan. 
Akan tetapi belum lama Dewi Sritanjung 
melangkah meneruskan perjalanannya, tiba-tiba 
gadis ini berhenti dan hatinya tegang sekali. Ka-
rena secara tiba-tiba di depannya sudah mengha-
dang dua orang lelaki muda. Mulut mereka me-
nyeringai, mata mereka melotot tak berkedip. Dan 
kemudian seperti mendapatkan aba-aba, dua 
orang muda ini sudah ketawa bekakakan. 
Dewi Sritanjung menatap mereka kehera-
nan. Gilakah dua lelaki muda ini? Kalau tidak gila 
mengapa mereka tertawa seperti itu? Tetapi wa-
laupun ia belum berpengalaman, nalurinya mem-
beritahukan sedang berhadapan dengan bahaya 
dan ia tidak boleh sembrono menghadapi mereka 
ini. 
—  Hai! Apakah kamu sudah gila? Huh, 
apakah yang kamu tertawakan seperti ini?— 
Bentakan ini justru malah membuat mere-
ka ketawa lebih keras. 
Guna Praya dan Damar Seto justru menja-
di keheranan, mengapa gadis ini tidak ketakutan? 
Maka Damar Seto yang tubuhnya tinggi besar dan 
berkumis tebal itu membuka mulut. 
— Denok, kau jangan salah mengerti, Cah 
ayu! Kami bukannya gila benar-benar. Akan teta-
pi kami menjadi gila akibat tergila-gila oleh kecan-
tikanmu. Heh heh heh heh, engkau terlalu berani 
hanya sendirian berani berkeliaran di tempat ini 
— 
Dewi Sritanjung cepat tersinggung. Ben-
taknya,  -  Hati-hatilah membuka mulut! Sangka-
mu aku ini gadis apa? — 
- Heh heh heh heh — Guna Praya terkekeh 
mengejek. - Tentu saja kami sudah tahu, kau ga-
dis manusia dan bukan wewe gombel. Dan kami 
sengaja menghadang kau, Anak manis. Sebab se-
telah melihat wajahmu yang cantik ini, jantung 
kami menjadi seperti mau copot. Marilah kami 
dua orang bersaudara ini, layanilah guna mem-
bahagiakan kau sendiri. — 
— Benar! — sambut Damar Seto. —Apabila 
engkau tidak membantah, engkau akan kami 
buat bahagia dan senang. Kau akan kami ajak 
pesiar ke alam aneh yang memabukkan tetapi in-
dah. Ha ha ha ha.—  
Dada Dewi Sritanjung bergerak-gerak sak-
ing marah mendengar kata-kata mereka ini. Ia 
dapat menduga dua orang laki-laki ini tentu 
mempunyai maksud tidak baik. 
—  Aku tidak punya waktu!  —  bentaknya 
nyaring.  -  Huh, kamu lekas menyingkir apakah 
tidak? — 
- Ha ha ha ha, ternyata engkau galak juga, 
Cah ayu! — ejek Damar Seto sambil ketawa beka-
kakan. — Hemm, sangkamu engkau berhadapan 
dengan siapa, berani berlagak seperti ini? Tempat 
ini adalah wilayah kami dan tidak gampang orang 
masuk tanpa seizin kami. Huh, kalau saja kau la-
ki-laki, tanpa banyak bicara sudah kami bunuh, 
Tahu?- 
Damar Seto berhenti sambil mendelik. Ke-
mudian, — Tetapi karena engkau perempuan dan 
cantik pula, maka heh heh heh heh, tentu saja 
sikap kami menjadi lain. Cah ayu, kami tidak in-
gin bermusuhan dengan kau. Malah sebaliknya 
kami ingin mengikat persahabatan sekalipun jelas 
kau berani lancang masuk dalam wilayah kami 
tanpa izin. Maka sekarang, marilah kau ikut kami 
singgah ke pondok.— 
Dewi Sritanjung sudah tidak kuasa mena-
han sabarnya lagi, bentaknya nyaring, —  Jaha-
nam keparat! Engkau jangan mengumbar mulut 
tanpa aturan! Kamu mau menyingkir apakah ti-
dak? Huh, apabila kamu membandel, aku terpak-
sa mengusir kamu dengan pedangku ini!— 
Sring . . . Dengan gerakan yang amat cepat, 
sebatang pedang bersinar biru sudah tercabut da-
ri sarungnya. Inilah pedang pusaka "Tunggul Wu-
lung" pemberian gurunya. Pedang yang amat ta-
jam dan juga amat berbahaya. 
Pedang pusaka yang menyinarkan warna 
biru itu sekarang sudah melintang di depan dada. 
Kalau dua orang pemuda ini berani nekad meng-
ganggu, dengan terpaksa akan ia usir dengan pe-
dangnya. Karena gadis ini tidak ingin membuang 
waktu terlalu lama, mengingat hari sudah hampir 
sore. Ia tidak ingin kemalaman di tengah belanta-
ra ini dan ia ingin secepatnya menemukan desa, 
minta pertolongan penduduk guna dapat mengi-
nap barang semalam. Kemudian pada pagi hari, ia 
akan meneruskan perjalanan menuju ke puncak, 
untuk melihat gunung yang mengeluarkan asap  
itu. 
Damar Seto dan Guna Praya agak kaget ju-
ga melihat sebatang pedang yang menyinarkan 
cahaya biru itu. Sebagai murid Klinthung Waluh 
yang sakti, tentu saja mereka mengenal benda 
pusaka. Karena itu dalam hati mereka sudah ber-
janji untuk berhati-hati.  
Akan tetapi sekalipun demikian Guna 
Praya masih berusaha mempengaruhi, katanya, 
—  Aihh... Adikku cantik, sabarlah! Orang yang 
cepat marah akan cepat menjadi tua, Adik Manis. 
Dan bermain-main dengan pedang adalah amat 
berbahaya. Percayalah Adikku ayu, kami bermak-
sud baik. Karena kau masuk ke dalam wilayah 
kami tanpa izin, maka kami mengundangmu gu-
na bicara. Tahukah engkau Adik molek, kami 
mempunyai seorang Guru? Beliau tentu gembira 
sekali menerima engkau sebagai tamu terhormat. 
Dan ...... 
-  Cukup!—  lengking gadis ini yang sudah 
tidak sabar lagi. —  Siapakah yang mau percaya 
kepada mulutmu yang busuk itu? Aku tidak ken-
al baik dengan kamu maupun gurumu. Persetan 
dengan undangan itu. Pendeknya, aku bebas me-
nentukan langkah sendiri. Siapapun yang berani 
mengganggu kebebasanku, akan berkenalan den-
gan pedangku ini. Huh!—  
Ucapan gadis ini membakar kemarahan 
dua orang muda ini karena pada dasarnya me-
mang mempunyai watak tidak baik. Selama ma-
sih dapat membujuk dengan ucapan manis, me-
mang mereka bersikap baik. Akan tetapi apabila 
bujukan itu tidak mempan, mereka tidak segan 
lagi menggunakan, kekerasan. 
— Huh, kau jangan membuka mulut sem-
barangan!  -  bentak Guna Praya. Sikapnya yang 
tadi manis sekarang lenyap. —  Engkau bisa 
menggertak orang lain, tetapi tidak kepada kami. 
Hemm, jika engkau membandel dan mengandal-
kan  pedangmu itu, kami menyesal sekali harus 
menghadapi dengan kekerasan.— 
—  Tidak peduli kamu akan berbaik atau 
menggunakan kekerasan. Pendeknya orang yang 
berani mengganggu aku, huh, jangan tanya do-
samu!— 
— Ha ha ha ha, ternyata tidak melulu ga-
lak, tetapi juga sombong gadis ini!— ejek Damar 
Seto.  —  Aku ingin menguji sampai di manakah 
kemampuan Adik ayu ini. Tetapi heh heh heh 
heh, awas! Apabila kau sampai tertangkap oleh 
tanganku, engkau jangan berharap akan aku le-
paskan lagi. Wajahmu cantik, hem. Pipimu halus 
kuning dan bibirmu merah menantang. Huh, ge-
mas aku! Engkau takkan kulepaskan lagi sebe-
lum aku menciumi pipimu yang halus itu dan 
mengecup bibirmu yang merah menantang itu.— 
—  Mampuslah!-  bentak Dewi Sritanjung 
yang sudah tidak sabar lagi lalu menerjang ke de-
pan sambil menikamkan pedangnya. 
Siut wutt....  
- Aihh...!- 
Damar Seto kaget dan wajahnya menjadi 
pucat. Ia tidak pernah menduga sambaran pe-
dang gadis ini amat cepat. Hampir saja lambung-
nya tembus, kalau dia tidak cepat membanting 
diri bergulingan. 
Akan tetapi dapatnya menghindarkan diri 
inipun berkat jasa Guna Praya. Ketika melihat 
adik seperguruannya hampir celaka dalam sege-
brakan, ia menerjang maju melancarkan puku-
lannya. Hingga Dewi Sritanjung terpaksa melom-
pat menghindarkan diri.  
—  Bagus, hem! Akan mengeroyok?—  ejek 
gadis ini.      
—  Gadis sombong. Siapakah yang mau 
mengeroyok?—  Damar Seto tersinggung dan 
mendelik. — Akan aku coba sampai di mana ke-
tinggian ilmumu.— 
Tidaklah mengherankan apabila pemuda 
berkumis tebal ini berkata seperti itu! Apa yang 
terjadi menurut perasaannya adalah karena ia ta-
di terlalu sembrono dan merendahkan kepan-
daian lawan. Tetapi sekarang ia telah bersiaga, 
maka ia merasa pasti, akan mampu menghadapi 
gadis berpedang ini, sekalipun dirinya hanya ber-
tangan kosong. 
- Hemm — dengus Dewi Sritanjung. — Ca-
butlah senjatamu.- 
— Huh, menghadapi engkau cukup dengan 
dua tangan dan kakiku saja!— sahut Damar Seto 
merendahkan.  
- Hemm, kau keras kepala. Engkau jangan 
menyalahkan aku jika engkau mampus oleh pe-
dangku Ini. Awas ... serangan datang!— 
Tampaknya Dewi Sritanjung hanya meng-
gerakkan lengannya sembarangan ke depan. Pe-
dang itu hanya dilonjorkan ke depan saja dan ge-
rakannya lambat sekali. Damar Seto tersenyum, 
apakah sulitnya menangkap pedang yang gera-
kannya lambat ini?     
Akan tetapi belum juga senyum pada bi-
birnya lenyap ia sudah memekik kaget. 
— Aihhh! — teriaknya dan pemuda ini ce-
pat membuang diri ke belakang sambil bergulin-
gan. Dan sebagai akibatnya pakaiannya menjadi 
kotor. 
Tetapi celakanya pedang gadis ini terus 
mengejar sehingga Damar Seto harus mengerah-
kan kepandaiannya guna menyelamatkan diri dari 
tikaman pedang gadis ini.  
Memang yang terjadi, ketika melihat gera-
kan pedang yang lambat, hanya dilonjorkan ke 
depan, Damar Seto menjadi sembrono. Ia sudah 
hampir menggerakkan tangan untuk menangkap 
dan merebut pedang lawan. 
Akan tetapi belum juga ia melakukannya, 
mendadak pedang Dewi Sritanjung bergetar. Pe-
dang yang hanya sebatang itu mendadak seperti 
berubah menjadi beberapa batang. Ujungnya 
mengancam beberapa bagian tubuh yang berba-
haya. Dalam kagetnya tidak ada jalan lain lagi ke-
cuali harus membuang diri jauh ke belakang lalu 
bergulingan. 
Melihat ini Guna Praya menjadi amat kha-
watir. Secara cepat luar biasa pemuda ini sudah 
mencabut golok. Kemudian ia melompat sambil 
membacokan goloknya dari belakang. Bacokan 
golok ini amat cepat dan angin yang dahsyat me-
nyambar mendahului datangnya senjata. Ini 
membuktikan sekalipun tubuhnya tinggi kurus, 
namun tenaganya kuat sekali. 
Sayang sekali yang ia serang sekarang ini 
Dewi Sritanjung. Ia gadis perkasa murid tunggal 
Ki ageng Tunjung Biru, hingga pada punggungnya 
seperti tumbuh mata.  
- Aihhh . . . !- 
Punggung goloknya yang mengkilap tajam 
itu sudah disentil dengan jari tangan oleh Dewi 
Sritanjung yang kecil dan halus itu. Namun seba-
gai akibatnya memang hebat. Golok ini menyele-
weng dan tidak tertahan lagi mulut Guna Praya 
berteriak tertahan, sebab lengannya bergetar he-
bat. 
Tetapi justru oleh gangguan serangan Gu-
na Praya ini, dia berhasil menolong Damar Seto 
yang sembrono. Pemuda itu cepat bangkit ketika 
serangan Dewi Sritanjung tertunda. Kemudian 
dengan wajah yang pucat Damar Seto sudah 
mencabut goloknya yang mengkilap tajam pula. 
Ia memang tidak malu mencabut senjata 
sekalipun tadi sikapnya amat merendahkan. Se-
karang pemuda  berkumis  tebal ini menjadi kha-
watir dan sadar bahwa gadis yang tampaknya le-
mah lembut ini tidak seperti yang mereka duga 
semula. Ternyata bukanlah gadis sembarangan 
dan justru malah amat berbahaya. 
Dua pemuda ini justru sudah dididik seca-
ra sesat oleh gurunya. Mereka tidak kenal apa 
yang disebut berwatak ksatrya dan kejujuran. 
Bagi mereka yang penting adalah mendapat ke-
menangan, dan tidak peduli kemenangan itu me-
reka peroleh dengan tipu muslihat dan berbuat 
curang. Jadi mereka sudah tidak kenal malu lagi. 
Itulah sebabnya sekalipun tadi secara 
sombong Damar Seto berkata sanggup mengha-
dapi seorang diri dan bertangan kosong, sekarang 
ia mengajak kakak seperguruannya untuk menge-
royok. 
—  Kakang!-  teriaknya.  —  Bantulah aku! 
Hemm, ternyata dugaanku keliru Kakang. - 
—  Hi hi hik,—  Dewi Sritanjung ketawa 
mengejek. — Bukankah aku tadi sudah bilang se-
baiknya kamu mengeroyok aku dan mencabut 
senjatamu pula? Aku ingin melihat apakah si-
kapmu memang sesuai dengan kesaktianmu.—  
— Wah sombongnya!— Guna Praya menja-
di marah dan penasaran. 
Namun  karena wajah Dewi Sritanjung ini 
amat menarik, maka menjadi sayang apabila ga-
dis ini sampai mati terbunuh. Justru mengingat 
itu, maka Guna Praya memperingatkan adiknya. 
— Tetapi Adi, sungguh sayang pula apabila 
perawan ayu ini sampai terluka atau lecet kulit-
nya.— 
—  Benar Kakang. Akupun sayang juga.— 
Damar Seto berterus terang. 
Telinga Dewi Sritanjung menjadi merah 
mendengar ucapan mereka ini. Mereka demikian 
merendahkan dirinya. Maka bentaknya, —  Jan-
gan banyak mulut. Bersiaplah kamu untuk mam-
pus.- 
— Sombong! Jagalah seranganku!— bentak 
Damar Seto sambil menerjang maju dan memba-
cokkan goloknya. 
Sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, 
tenaganya demikian kuat di samping cepat juga. 
Golok menyambar ke arah lambung. Tetapi sece-
pat kilat golok telah berbalik arah, membabat dari 
bawah ke atas. Serangan ini cukup berbahaya. 
Dan lawan yang kurang hati-hati lengannya bisa 
tertebas kutung dari bawah. 
Untung sekali Dewi Sritanjung perawan 
perkasa dan murid tokoh sakti. Ia menghadapi 
lawan dengan tenang. Kemudian ia menggeser 
kaki ke samping sambil menangkis dengan pe-
dangnya. 
Damar Seto tidak berani beradu senjata, ia 
menarik goloknya dan berputar satu kali di atas 
kepalanya, kemudian berteriak,  
— Hiyaaaattttt!— 
Golok yang tajam itu seperti kilat cepatnya 
menyambar dari atas ke bawah. Apabila bacokan 
ini sampai berhasil tubuh lawan akan terbelah 
menjadi dua bagian. Sebaliknya apabila serangan 
ini dihindari, golok ini segera berubah arah den-
gan menyerampang. 
Serangan berbareng ini justru amat berba-
haya. Maka sambil membuang diri ke samping, 
pedang gadis ini bergerak seperti kilat menangkis 
senjata lawan.  
Trang . . . trang . . . !  
Benturan senjata itu hebat sekali. Dua 
orang pemuda itu terhuyung mundur dan telapak 
tangan mereka terasa panas. Mereka kemudian 
terbelalak heran. Tadi mereka sudah memperhi-
tungkan, apabila serangan mereka ditangkis la-
wan tentu pedang lawan aka lepas dari tangan. 
Sebab gabungan tenaga seperti ini berkali-kali 
berhasil dengan baik. Karena itu mereka hampir 
tidak pernah gagal setiap menghadapi musuh 
yang kuat sekalipun. 
Akan tetapi yang terjadi sekarang ini be-
nar-benar menyebabkan mereka kaget setengah 
mati. Pedang gadis itu tidak juga runtuh, malah 
telapak tangan mereka panas. Dan sekalipun ga-
dis yang cantik ini terhuyung mundur juga, na-
mun tidak mengalami perubahan apa-apa. 
Di luar tahu mereka, sebenarnya Dewi Sri-
tanjung juga kaget. Lengannya bergetar hebat dan 
hampir saja tak kuasa mempertahankan pedang-
nya. Maka hal ini menyebabkan Dewi Sritanjung 
agak keheranan pula, mengapa sebabnya golok  
lawan  tidak patah berbenturan dengan pedang 
pusakanya? Apakah golok lawannya itu juga pu-
saka? 
Dugaan Dewi Sritanjung ini keliru. Sebab-
nya golok lawan tidak patah oleh tangkisannya, 
karena ia sendiri yang salah. Dalam menangkis 
tadi ia kurang berhati-hati dan kurang tepat. Ma-
ka apabila tepat manakah mungkin golok lawan 
sanggup menghadapi pedang pusaka Tunggul 
Wulung? 
Hari sudah sore dan menyebabkan gadis 
ini tidak telaten lagi. Karena itu dirinya tidak bo-
leh main-main dan harus dapat mengalahkan la-
wan secepat mungkin. 
—  Hiyaaaatttt....!  —  Dewi Sritanjung telah 
menerjang maju sebelum dua orang lawannya 
sampai menyerang. 
Sekarang gadis ini menggerakkan pedang-
nya, langsung menggunakan bagian terpilih dari 
ilmu pedang Jala Nidhi. Gerak pedangnya seka-
rang berubah dan sesuai dengan nama ilmu pe-
dang ini sendiri, yang mempunyai arti samudera 
atau lautan. Maka ilmu pedang ini disamping ce-
pat juga bergelombang tidak pernah putus. Makin 
bergerak tenaga sakti yang menyalur dari tubuh 
semakin menjadi bertambah kuat. 
Hal itu tidak mengherankan, karena ilmu 
pedang ini ciptaan khusus guru Ki ageng Tunjung 
Biru, dan merupakan ilmu pedang tingkat tinggi 
dan juga merupakan ilmu pedang yang diandal-
kan oleh guru Ki ageng  Tunjung Biru semenjak 
masih berumur lima puluhan tahun. 
Ketika Dewi Sritanjung menggerakkan pe-
dangnya, maka angin yang halus segera menyam-
bar-nyambar ke arah lawan tidak pernah putus. 
Makin lama menjadi semakin kuat dan angin 
yang menyambar inipun mempunyai kekuatan 
yang mukjijat. Lawan yang belum kuat tenaga 
saktinya mudah terpengaruh oleh gelombang te-
naga sakti ini, sesuai dengan gerak dan irama pe-
dang. Dan anehnya pula, makin dilawan tenaga 
yang menyambar malah semakin bertambah kuat 
pula. 
Dengan berbareng Damar Seto dan Guna 
Praya telah menyerang maju. Mereka justru su-
dah terlatih dalam kerjasama menghadapi lawan. 
Maka golok masing-masing dapat menyesuaikan 
diri dan saling bantu, sedangkan tenaga gabun-
gan ini bukan main kuatnya. 
Dalam waktu singkat mereka telah terlibat 
dalam perkelahian yang amat sengit. Kalau pada 
mulanya baik Damar Seto maupun Guna Praya 
saling berjanji untuk mengalahkan gadis ini tanpa 
luka, maka setelah terlibat dalam perkelahian ini 
menjadi lupa. Mereka sekarang tidak tanggung-
tanggung lagi dalam serangannya dan arah sasa-
ran mereka pun pada bagian tubuh yang memati-

kan. Mereka memang amat bernafsu untuk segera 
memperoleh kemenangan. Dan guna menambah 
semangat kerjasama mereka, maka mereka saling 
bergantian membentak. 
Akan tetapi mereka menjadi kaget setelah 
lama berkelahi. Pengaruh sambaran pedang gadis 
ini yang banyak membentuk lingkaran besar 
maupun kecil, membanjir kuat sekali dan berkali-
kali golok mereka seperti tersedot oleh kekuatan 
yang tidak nampak.