Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 3 - Kobaran Api Asmara(1)


Pengantar 
Cerita "Kobaran Api Asmara" ini didahului 
dengan cerita Si Tangan Iblis. Agar para pembaca 
tidak terganggu, ringkasan cerita dalam buku Si 
Tangan Iblis dapat disimak seperti di bawah ini: 
Seorang tokoh sakti bernama Taruno alias 
Si Tangan Iblis bertempat tinggal di Tosari, 
pegunungan Tengger. Ia bekas prajurit Majapahit 
yang dipecat karena melakukan kesalahan. 

Akibatnya Si Tangan Iblis menjadi dendam baik 
kepada Mahapati Gajah Mada maupun Mpu Nala. 
Si Tangan Iblis mempunyai tiga orang 
cucu, bernama Sarindah, Sarwiyah dan Sentiko. 
Disamping itu mempunyai belasan orang murid. 
Baik cucu dan murid ini dididik secara sesat 
untuk memusuhi Gajah Mada, Mpu Nala dan 
sekaligus Raja Majapahit. Dan khusus kepada tiga 
cucunya, ia menanamkan kebencian dan dendam 
kepada Mpu Nala dan Gajah Mada dengan fitnah, 
bahwa dua tokoh inilah yang sudah memperkosa 
ibunya dan menghancurkan keluarga. Maka 
dendam ini harus terbalas. 
Sentiko menjadi terbakar kemarahannya 
lalu melarikan diri. Keluarga geger mencari, dan 
terjadilah beberapa macam peristiwa yang menarik 
dan mendebarkan. Sebab ternyata antara murid 
bernama Tanu Pada dan Kebo Pradah dengan 
Kaligis dan Sangkan, diam-diam memperebutkan 
cinta Sarindah dan Sarwiyah. Untuk itu Sangkan 
dan Kaligis tak segan membunuh orang yang 
menghalangi. 
Sedang Sentiko dalam perjalanan 
menderita luka akibat terlalu bandel tak 
mengukur kekuatan diri melawan orang yang 
bukan tandingannya. Untung ia ditolong oleh Giri 
Samodra dan kemudian menjadi muridnya. 
Benarkah Sentiko berhasil? Baca saja Si Tangan 
Iblis man pun Kobaran Api Asmara. Anda akan 
mendapatkan jawabannya. 
Setelah berhasil membunuh Ananto 
secara curang, maka Kaligis dan Sang-
kan saling setuju untuk membunuh Kebo 
Pradah dan Tanu Pada, yang menjadi 
saingannya dalam memperebutkan gadis 
cantik cucu gurunya sendiri, Sarindah 
dan Sarwiyah. Pendeknya apapun yang 
akan terjadi, mereka takkan mundur. 
Ya, memang api asmara sudah 
berkobar di dalam dada Sangkan maupun 
Kaligis. Kobaran api ini kemudian 
mendorong kepada dua pemuda itu 
sanggup melakukan perbuatan tidak ter-
puji. Di dunia ini banyak sekali ter-
jadi peristiwa yang tidak diharapkan, 
sebagai akibat tidak kuasa lagi 
menahan hati yang sedang digoda oleh 
asmara ini. Manusia yang berbudaya 
bisa tergelincir melakukan perbuatan 
yang buas dan kejam melebihi binatang 
buas. 
Dan bagi Sangkan maupun Kaligis 
ini tidak sulit untuk mengejar dua 
orang saudara seperguruannya itu, 
karena mereka tahu kemana tujuan Tanu 
Pada dan Kebo Pradah dalam usaha men-
cari jejak Sentiko yang melarikan diri 
dari rumah. Dan Tanu Pada maupun Kebo 
Pradah melakukan tugas bertiga dengan 
Mahisa Singkir, menuju ke arah 
selatan. 
Dua pemuda ini sudah memperhi-
tungkan, apabila nanti sudah dapat 
bertemu, dan terjadi perselisihan, 
saksi satu-satunya hanyalah Mahisa 
Singkir seorang. Padahal Mahisa Sing-
kir masih mempunyai hubungan keluarga 
dengan Sangkan. Mengingat masih 
mempunyai hubungan keluarga ini, maka 
Mahisa Singkir akan menimbang-nimbang 
lebih dahulu apabila akan berpihak 
kepada Tanu Pada maupun Kebo Pradah. 
Demikianlah akhirnya Sangkan dan 
Kaligis bergerak cepat dan mengambil 
jalan pintas. Maksudnya agar dapat 
menghadang dua orang lawannya itu di 
tempat yang menguntungkan. Dan agar 
bisa menang mereka sudah merencanakan 
akan menyerang dulu dan urusan 
belakang. Menurut perhitungan mereka, 
asalkan sudah dapat membunuh salah 
seorang, pekerjaan akan menjadi lebih 
mudah. 
Hari sudah sore ketika Sangkan 
dan Kaligis tiba di Desa Sukorejo, 
sebelah selatan Desa Nongkojajar. 
Namun yang terjadi kemudian mereka 
menjadi terbelalak kaget dan ngeri 
ketika melihat pemandangan yang sama 
sekali belum pernah mereka saksikan. 
Di atas sebuah batu yang tidak 
begitu besar, seorang pemuda nongkrong 
sambil meniup seruling bambu. Rambut 
pemuda itu tidak digelung, tetapi 
dibiarkan terurai di atas pundak dan 
belakang punggung. 
Sesungguhnya saja keadaan pemuda 
itu sendiri tidak luar biasa bagi 
mereka. Adapun yang menyebabkan 
Sangkan dan Kaligis terbelalak dan 
ngeri, adalah mahkluk yang memenuhi 
tempat di depan pemuda itu, dan mereka 
hampir tidak percaya kepada pandang 
mata sendiri. 
Di tangan pemuda itu berkumpul 
banyak sekali binatang melata dan 
berbisa. Binatang berbisa itu ber-
kelompok sesuai dengan jenisnya. 
Karena itu ada kelompok kelabang, ba-
bak salu, kalajengking, ketonggeng, 
serangga dan sebagainya. Dan anehnya 
binatang itu seperti mengenal irama 
seruling yang ditiup pemuda tersebut. 
Dalam kelompok masing-masing binatang 
itu menari-nari. Kelabang dan babak 
salu yang kakinya amat banyak itu 
menari dengan berdiri dengan kepala 
berlenggok-lenggok dibarengi oleh 
gerakan kaki yang mengerikan. 
Ada pula binatang itu yang 
berdiri saling berpegangan, seakan 
menirukan manusia yang sedang ber-
joget. Dan yang lebih mengerikan lagi 
adalah kalajengking dan ketonggeng. 
Caranya menari dengan kepala di bawah 
dan ekor di atas. Ekor yang mempunyai 
sengat berbisa itu meliuk-liuk dengan 
gaya luar biasa. 
Memang mengherankan sekali. 
Mungkinkah  suara sending pemuda itu, 
yang kuasa mengundang binatang-bina-
tang ini? Dan dari mana pula binatang 
ini datang sehingga dapat berkumpul 
dalam jumlah ribuan banyaknya? 
Kaligis dan Sangkan terpaku di 
tempatnya berdiri saking merasa takut 
dan ngeri. Tetapi celakanya binatang 
berbisa itu menari-nari memenuhi jalan 
sehingga tidak mungkin bisa lewat. 
Untung Sangkan cerdik, bisiknya, 
Marilah kita mencari jalan lewat 
pematang sawah saja. 
Baiklah. Kiranya lewat pematang 
sawah lebih aman, Kaligis setuju. 
Akan tetapi ah.... belum juga dua 
orang ini sempat menggerakkan kaki, 
irama seruling itu tiba-tiba saja be-
rubah dan melengking tinggi. Binatang 
itu bergerak berkelompok lalu ber-
baris. Dan tak lama kemudian lenyaplah 
ke lubang masing-masing. Namun keper-
gian binatang-binatang itu kemudian 
diganti dengan binatang melata yang 
lebih berbahaya, terdengar suara 
berisik dan berdesis. 
Kaligis dan Sangkan hampir ping-
san ketika melihat munculnya beraneka 
ragam jenis ular yang semua menuju ke 
tempat si pemuda. Jumlahnya ratusan 
ekor, dari yang kecil sebesar 
kelingking sampai sebesar lengan orang 
dewasa, lalu berkumpul di depan si 
pemuda. 
Setelah tidak ada ular yang 
muncul lagi, tiba-tiba irama sending 
meninggi dan memekakkan telinga. Dua 
pemuda ini terkejut dan hampir tak 
dapat bernapas, ketika melihat ratusan 
ekor ular itu secara serentak meng-
angkat kepala lalu berlenggok-lenggok 
menari secara lincah. Seakan-akan 
ular-ular itu berubah menjadi ahli 
tari yang sedang asyik berjoget. 
Dan  di saat Kaligis dan Sangkan 
merasa ngeri tak dapat bergerak itu, 
tiba-tiba si pemuda memalingkan muka. 
Pemuda itu mengerutkan kening pertanda 
tidak senang. Ia menghentikan tiupan 
serulingnya sambil memandang dengan 
mata mendelik. 
Hai... siapa kalian! bentaknya. 
Apakah sebabnya kalian berani meng-
intip permainanku? Huh, menyebalkan 
sekali, dan kalian mengganggu aku 
bermain-main. 
Kaligis dan Sangkan seperti 
terkunci mulutnya tak bisa membuka 
mulut. Apa pula setelah pemuda itu 
menghentikan tiupan serulingnya, semua 
ular itu berhenti menari, lalu aneka 
macam ular tersebut menyebar kesana 
kemari, menuju tempat sembunyi masing-
masing. 
Dan yang lebih mengerikan lagi 
adalah cara bergerak ular berwarna 
hitam yang panjangnya lebih kurang 
hanya satu kaki. Ular hitam yang 
pendek ini disebut orang dengan nama 
ular Bandhotan. Ular ini bukannya 
melata, tetapi menekuk tubuhnya, 
kemudian melenting sekitar dua atau 
tiga depa jauhnya. Tiap orang yang 
tersambar oleh ular Bandhotan ini, 
besar kemungkinannya melayang nyawanya 
apabila tergigit oleh gigi yang 
mengandung bisa keras. Disamping ular 
bandhotan tersebut, ada pula ular yang 
berkaki empat, hingga berjalan seperti 
kadal (bengkarung). 
Untung sekali agaknya pemuda itu 
tidak ingin kehilangan semua ular yang 
dapat memberi keasyikan bagi dirinya 
itu. Dan tiba-tiba saja si pemuda ini 
meniup serulingnya dengan irama 
melengking tinggi, hingga ular yang 
semula bergerak pergi itu seperti 
tertarik oleh pengaruh ajaib, cepat-
cepat kembali ke arah si pemuda sambil 
menari-nari. 
Di saat  Sangkan dan Kaligis 
ketakutan setengah mati melihat per-
tunjukkan yang menyeramkan ini, 
terdengar suara orang memanggil. 
Hai, Adi Kaligis dan Sangkan. 
Apakah sebabnya kalian berada di situ? 
Dua orang ini kenal benar akan 
suara orang yang memanggil, ialah Tanu 
Pada. Namun celakanya kaki seperti 
berakar di tanah dan tak bisa 
digerakkan. Sedang mulutnya juga ter-
kunci tak bisa menjawab. Mereka hanya 
mampu memalingkan muka saja dengan 
wajah sedih, tetapi tidak dapat 
menjawab. 
Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa 
Singkir menjadi heran melihat keadaan 
dua orang saudaranya itu yang seperti 
tidak wajar. Mereka cepat menghampiri, 
tetapi setelah tiba, mereka inipun 
berdiri terpaku dan ngeri, melihat 
ratusan ekor ular sedang asyik menari 
mengikuti irama seruling. 
Tetapi dengan bertambahnya orang 
yang menonton permainannya ini menye-
babkan pemuda ini makin tidak senang. 
Matanya berkilat memandang lima pemuda 
itu, namun mulutnya tidak mengucapkan 
sesuatu. 
Mendadak tiupan sending pemuda 
itu berubah. Iramanya meninggi dan 
nadanya cepat. Apa yang terjadi 
kemudian? Ternyata lima pemuda ini 
seperti mati berdiri. Sebab secara 
tiba-tiba ratusan ekor ular tersebut 
bergerak saling mendahului ke arah 
mereka berdiri. Ratusan ekor ular itu 
berdesis, sedang ular bandhotan yang 
amat berbisa itu dengan gerakan aneh, 
menekuk tubuh dan melenting tinggi 
ingin mendahului yang lain. 
Barisan ular itu sudah dalam 
jarak dekat. Tiba-tiba di dalam 
ketakutan dan ngeri ini, timbullah 
keberanian Tanu Pada. Teriaknya, Hayo 
kita lawan ular-ular jahanam ini! 
Sring....! Ia mendahului mencabut 
pedang, kemudian diikuti oleh Kebo 
Pradah dan Mahisa Singkir. Setelah 
tiga orang ini mulai menyerang dengan 
senjata, barulah Kaligis dan Sangkan 
timbul keberaniannya. Mereka mengikuti 
perbuatan saudaranya melawan. 
Beberapa ekor ular yang datang 
lebih dahulu segera terbabat mati. 
Namun barisan ular yang di belakangnya 
masih terus membanjir datang dan 
mendesis-desis. 
Senjata mereka menyambar cepat 
dan ular yang menyerbu menjadi 
bangkai. Namun ular yang beraneka 
macam jenisnya itu tidak gentar dan 
terus menyerbu sambil berdesis. Mereka 
seperti tambah buas dan gerakan lebih 
gesit. Guna menanggulangi mengamuknya 
ular itu lima orang murid Si Tangan 
Iblis ini hams mengerahkan kepandaian 
dan kegesitannya, melompat ke sana dan 
kemari sambil menyabetkan senjatanya. 
Dan lima pemuda ini sadar, apabila 
lengah nyawa sebagai taruhannya. 
Setelah bangkai ular besar dan 
kecil berserakan di sana sini, tumpang 
tindih dan darah yang amis menusuk 
hidung, tiba-tiba pemuda aneh itu 
menghentikan tiupan serulingnya. Sete-
lah tiupan sending berhenti, ular yang 
masih tersisa kaget lalu bubar dan 
melarikan diri. 
Si pemuda aneh meloncat turun 
dari batu dan membentak lantang, Bang-
sat keparat! Kamu berani mengganggu 
kesenanganku dan membunuh ular-ularku? 
Huh, jangan salahkan aku jika kamu 
haras mengganti nyawa ular itu dengan 
nyawamu! 
Diam-diam lima pemuda ini kaget, 
ketika melihat gerakan si pemuda aneh 
yang amat ringan. Jarak yang lebih dua 
puluh depa itu cukup dengan tiga kali 
lompatan. Kemudian si pemuda berdiri 
di depan mereka dengan sikap angkuh 
dan mendelik. 
Kaligis yang berangasan cepat 
tersinggung dan marah. Ia sudah akan 
menerjang maju untuk menghajar pemuda 
sombong ini, karena dirinya tidak 
merasa bersalah. Dan sebaliknya ia 
malah merasa terganggu karena jalan 
penuh dengan binatang menjijikkan dan 
berbisa hingga tidak dapat lewat. 
Untung Tanu Pada yang sabar cepat 
dapat mencegah, sebab ia sudah menduga 
pemuda ini bukan sembarangan. Meng-
ingat kemungkinan itu maka harus 
berhati-hati dalam menghadapi. 
Kisanak, kami hanya membela diri 
oleh serangan ular-ular itu, sahutnya 
sabar. Lalu apakah sebabnya Kisanak 
menjadi marah? Sebenarnya saja malah 
Kisanak yang telah mengganggu kami, 
karena Kisanak bermain ular di jalan 
umum. 
Huh! Aku mengganggu kamu? Apanya 
yang aku ganggu? pemuda itu mendelik. 
Sudah aku katakan, jalan ini 
jalan umum. Tetapi ternyata Kisanak 
menggunakan jalan ini untuk bermain-
main dengan ular sehingga kami tidak 
bisa lewat. 
Tidak peduli, heh heh heh heh. 
Tidak peduli! Kamu sudah menyebabkan 
ularku banyak yang mati. Huh, kamu 
harus mengganti dengan nyawa pula. 
Hayo heh heh heh heh, lekaslah 
berlutut supaya kamu tidak mati oleh 
siksaanku! 
Bangsat jahanam! Kaligis tak 
kuasa lagi menahan kemarahannya. Nih, 
rasakan pedangku. 
Kaligis sudah melompat ke depan 
menerjang dengan pedang. Ia meng-
gunakan serangan berantai mengarah 
mata, tenggorokan, ulu hati dan pusar 
sekaligus. Dan gerakan Kaligis ini 
cepat dan berbahaya. 
Akan tetapi pemuda ini tidak 
bergerak dari tempatnya berdiri dan 
malah terkekeh, Heh heh heh heh, 
dengan bekal kepandaianmu serendah ini 
berani menghina Warigagung murid Bapa 
Julung Pujud yang sakti mandraguna? 
Sambil mengejek, tangan kanan 
pemuda itu diangkat, lalu terdengar 
suara tring tring tring.... 
Semua serangan Kaligis dapat 
dipunahkan hanya dengan sentilan jari 
tangan. Malah menyusul kemudian pedang 
Kaligis terpental terbang, diikuti 
pekik nyaring dan robohnya pemuda itu. 
Empat orang murid Si Tangan Iblis 
yang lain  menjadi pucat dan 
terbelalak. Bukan saja karena sekali 
gebrak Kaligis sudah roboh, tetapi 
juga karena mendengar nama Julung 
Pujud. Mereka sudah pernah mendengar 
dari cerita guru tentang tokoh sakti 
yang bertempat tinggal di Blambangan. 
Tokoh sakti yang bernama Julung Pujud 
itu wataknya aneh disamping kejam. 
Maka oleh Si Tangan Iblis dianjurkan 
agar mereka menjauhkan diri dari tokoh 
sakti tersebut, demikian pula ternadap 
mereka yang mempunyai hubungan dengan 
Julung Pujud. 
Sekarang tanpa diduga mereka 
bertemu dan berhadapan dengan seorang 
pemuda yang menyebut dirinya sebagai 
murid Julung Pujud. Kalau mengindahkan 
pesan guru, mereka harus mengalah dan 
secepatnya menghindarkan diri. 
Akan tetapi sekarang ini mereka 
sudah marah dan disamping itu juga 
sangsi, benarkah pemuda ini murid 
tokoh sakti Julung Pujud? Pemuda ini 
masih lebih muda daripada mereka, 
kira-kira baru sembilan belas tahun. 
Apakah harus mengalah begitu saja, 
padahal mereka tidak merasa bersalah? 
Disamping itu hanya menghadapi seorang 
saja, mungkinkah mereka kalah kalau 
maju berbareng dan mengeroyok? 
Tanpa berunding lebih dulu semua 
murid Tangan Iblis ini sudah sepakat, 
kalau mereka mengeroyok tak mungkin 
kalah. 
Jahanam kau! teriak Tanu Pada. 
Sangkamu dengan menyebut nama Julung 
Pujud kami menjadi takut? Hayo, 
keroyok! 
Murid-murid Tangan Iblis ini 
sudah menerjang maju dengan senjata 
masing-masing. Malah Kaligis sendiri 
yang tadi roboh terpukul oleh Wari-
gagung, sudah meloncat dan menyambar 
senjatanya lalu ikut menerjang lagi. 
Bagus! Kamu mengandalkan jumlah 
banyak mengeroyok aku, heh heh heh 
heh! sambut pemuda yang mengaku 
bernama Warigagung ini dengan ke-
tawanya mengejek. Dengan gerakan 
ringan serangan dari lima orang itu 
dapat dihindari dengan gampang. 
Akan tetapi serangan yang pertama 
luput segera disusuli dengan serangan 
yang lebih dahsyat menggunakan jurus 
ilmu pedang yang paling berbahaya. 
Wut wut wut..... Tetapi semua 
serangan itu luput lagi. Warigagung 
yang baru berusia sembilan belas tahun 
ini dengan gerakan lincah seperti 
bayangan, berhasil menyelamatkan diri 
sambil ketawa terkekeh mengejek. 
Heh heh heh heh, monyet tidak 
tanu diri berani melawan aku. Kuberi 
kesempatan tiga kali untuk menyerang. 
Dan sesudah itu, kamu semua harus 
roboh mampus. Heh heh heh heh, kamu 
sendiri yang mencari penyakit, berani 
mengganggu kesenanganku! 
Wut wut wut.... Tanpa mempe-
dulikan ejekan Warigagung, lima 
saudara seperguruan ini sudah kembali 
menyerang dengan dahsyat. Serangan 
mereka yang ketiga kalinya ini luput 
lagi. Namun demikian Warigagung dalam 
usaha menyelamatkan diri terpaksa 
harus bergulingan di tanah. Karena 
bagian kosong tidak ada lain kecuali 
bagian bawah dan terpaksa harus ber-
gulingan, akibatnya pakaian Warigagung 
yang indah dari kain sutera mahal itu, 
sekarang menjadi kotor dan berbau 
anyir pula, sebab tanah di sekitar 
mereka berkelahi itu dipenuhi bangkai 
ular. 
Karena pakaiannya menjadi kotor 
ini Warigagung menjadi marah sekali. 
Matanya bagaikan menyinarkan api. 
Apabila tadi sikapnya merendahkan dan 
mengejek, sekarang tidak. Sebab diam-
diam ia memang kaget oleh serangan me-
reka tadi. 
Si Tangan Iblis memang sudah 
membekali ilmu kepada murid-muridnya 
secara baik sekali. Walaupun tadi 
sekali gebrak Kaligis bisa dipukul 
roboh, namun setelah mengeroyok 
keadaan menjadi lain. Mereka memang 
sudah dibekali ilmu khusus untuk 
mengeroyok, bernama ilmu Bala Srewu. 
Ilmu ini yang paling tepat apabila 
dilakukan oleh sepuluh atau lima belas 
orang. Namun lima orangpun sudah cukup 
berbahaya. Dengan kerjasama yang baik, 
lawan tidak diberi kesempatan mencari 
tempat  kosong. Maka dalam usahanya 
menyelamatkan diri tadi, Warigagung 
terpaksa bergulingan. 
Melihat hasil serangan kerjasama 
ini, lima orang pemuda ini menjadi 
mantap. Tanu Pada segera berteriak 
memberi aba-aba untuk meng  gunakan 
jurus ilmu Bala Srewu yang paling 
ampuh. Udan Awu! Udan Awu! (hujan abu, 
hujan abu). 
Maksud serangan ini, mereka harus 
membuntu jalan lawan supaya tidak 
dapat menyelamatkan diri. Dan mereka 
menduga pasti sekali ini lawannya akan 
roboh. 
Tingkat kepandaian Warigagung se-
benarnya memang lebih tinggi dibanding 
dengan lima saudara seperguruan itu. 
Tetapi kalau harus menghadapi ke-
royokan, tidak gampang mendapat 
kemenangan. Sadar keadaan ini, cepat 
luar biasa Warigagung sudah mencabut 
pedang dan berbareng itu tangan kiri 
mempersiapkan jarum hitam yang beracun 
jahat, 
Trang... trang... tring... 
tring... wut... Aduh...! 
Tangkisan pedangnya dibarengi 
lepasnya jarum beracun dari tangan 
kiri. Kaligis dan Sangkan terhuyung ke 
belakang, pedang mereka lepas dari 
tangan dan dua orang ini meringis 
kesakitan karena lengan kanan mendadak 
lumpuh. 
Racun jarum hitam Warigagung 
memang bekerja amat cepat. Dalam waktu 
seperempat hari saja jiwa orang akan 
melayang jika tidak mendapatkan obat 
pemunahnya. 
Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa 
Singkir lebih hati-hati dibanding 
Kaligis dan Sangkan. 
Mereka masih selamat, karena 
mengubah gerak serangan dengan 
menangkis sambaran jarum, dan kemudian 
secepat kilat pula meneruskan gerak 
tangkisan itu untuk menyerang lagi. 
Akan  tetapi dengan hanya tiga 
orang ini, pertahanan menjadi lemah 
dan sebaliknya Warigagung sudah meng-
gunakan pedang dan tangan kiri siap 
menyebarkan jarum beracun, maka tiga 
orang ini tidak lagi dapat menekan 
lawan. Dengan gerakan yang lincah dan 
ringan Warigagung gampang menghindar-
kan diri, lalu wut wut... beberapa 
batang jarum hitam lepas dan menyambar 
ke arah lawan, dibarengi sambaran 
pedangnya. 
Cring cring..... Aduhhh.....! 
Beberapa batang jarum itu memang 
dapat mereka tangkis, tetapi tidak 
seluruhnya. Mahisa Singkir yang 
menangkis sambaran pedang lawan itu 
mengaduh karena pahanya mendadak 
lumpuh. Sedangkan Tanu Pada dan Kebo 
Pradah yang lebih memperhatikan 
serangan jarum, terluka pundaknya oleh 
tikaman lawan. Pundak amat sakit dan 
darah mengucur. Namun dua orang 
saudara ini masih meneruskan 
perlawanan mereka untuk melindungi 
keselamatan yang lain. 
Akan tetapi perlawanan Tanu Pada 
dan Kebo Pradah ini sudah kurang 
berarti. Maka dalam dua gebrakan saja 
dua orang ini terguling roboh dengan 
luka panjang pada paha, ditambah pula 
oleh menancapnya sebatang jarum pada 
lengan. Setelah semua lawan roboh, 
Warigagung terkekeh sambil menyarung-
kan pedangnya. 
Heh heh heh heh heh. Warigagung 
terkekeh lalu katanya sombong. Rasakan 
jarumku. Sebelum mampus kamu akan 
menderita siksaan hebat! 
Tanpa mempedulikan lima orang 
saudara seperguruan yang menderita 
itu, Warigagung melangkahkan kaki 
masih sambil terkekeh. Tak lama 
kemudian sayup-sayup terdengar suara 
sending yang ditiup Warigagung.  
Lima orang saudara seperguruan 
ini memang amat menderita. Mereka 
terluka jarum beracun pada lengan. 
Pertama kali yang mereka rasakan 
lengan menjadi lumpuh tidak dapat 
digerakkan. Sesaat kemudian mereka 
merasa seperti digelitik, sehingga 
mereka tertawa-tawa di tengah derita. 
Mereka ingin menahan  keinginan 
tertawa itu, tetapi pengaruh dari 
racun memang aneh. Orang yang sudah 
terkena racun jarum hitam Warigagung 
tak mungkin dapat menahan ketawanya. 
Kemudian orang yang menderita itu 
perutnya kaku karena ketawa terus. Tak 
lama kemudian akan terjadi, korban ini 
menderita siksaan hebat sekali karena 
korban merasa seperti dikeroyok oleh 
ribuan semut dan seterusnya akan mati. 
Demikian pula lima orang saudara 
seperguruan ini. Setelah perut mereka 
kaku karena ketawa terus, beberapa 
saat kemudian mereka merintih-rintih 
dan berguling-guling sehingga pakaian 
mereka kotor. 
Ketika itu cuaca sudah menjadi 
gelap. Sebagai biasa para penduduk 
pedesaan setelah matahari terbenam 
lebih suka berdiam dalam rumah. Kalau 
toh mereka gelisah di dalam rumah, 
mereka lebih suka bertandang ke rumah 
tetangga dekat. Oleh karena itu jalan 
desa di tempat ini sepi sekali dan 
tidak seorangpun lewat. 
Lima orang murid Tangan Iblis ini 
terus bergulingan tak kuasa menahan 
derita. Malah Kaligis yang kasar dan 
tak tahan derita itu, mengerang tidak 
karuan. Tubuhnya yang tinggi besar 
bergulingan terus dan akhirnya masuk 
ke dalam selokan. Untung sekali 
selokan itu kering. Kalau saja berisi 
air, Kaligis tentu sudah mati tak 
dapat bernapas. 
Di saat lima orang sauadara 
seperguruan ini tersiksa dan hampir 
direnggut maut, tiba-tiba berkele-
batlah bayangan yang gesit. Tahu-tahu 
seorang kakek yang tubuhnya gendut 
pendek, telah berdiri di tempat itu. 
Kakek gendut ini memakai jubah putih 
yang kedodoran, terlalu panjang dan 
terlalu longgar, hingga tubuhnya yang 
sudah gendut itu tampak lebih gendut 
lagi. 
Ayaaa..... bocah-bocah ini, 
mengapa bergulingan dan merintih? 
kakek gendut itu menggumam sambil 
memperhatikan sekeliling. 
Akan tetapi kemudian ia menekap 
hidungnya sendiri karena tidak tahan 
menghirup bau darah ular yang anyir 
dan amis, sambil berjingkrak seperti 
tapak kakinya tertusuk duri. Ah.... 
racun.... bisa..... ahhh, nyawa bocah-
bocah ini diancam maut. Hemmm..... 
kasihan...... 
Mendadak kakinya bergerak dan 
menendang mereka yang sedang tersiksa 
dan merintih-rintih itu. Ahhh, mengapa 
kakek ini sampai hati menambah derita 
para korban racun Warigagung? Uah, 
tidak menolong malah menendangi. 
Namun apabila saat itu ada orang 
yang melihat, akan menjadi terbelalak. 
Tendangan itu tampaknya keras dan yang 
ditendang segera melesat lebih lima 
depa jauhnya. Tetapi tubuh yang diten-
dang tidak terbanting keras, tetapi 
melayang perlahan dan kemudian 
menggeletak di tanah tanpa suara. 
Empat kali kakek itu menendang, 
berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu 
Pada, Sangkan  dan Mahisa Singkir 
melayang dan jatuhnya dapat berjajar 
seperti diatur. 
Kakek gendut ini kemudian 
melangkah perlahan menghampiri. Namun 
tiba-tiba telinganya yang peka 
mendengar gerakan dalam selokan. Kakek 
gendut ini mengamati sejenak, lalu, 
Ahh, masih ada satu lagi. 
Kemudian terulang seperti tadi, 
ia menendang. Tubuh Kaligis segera 
melesat dan sesaat kemudian melayang 
turun di samping yang lain. 
Setelah mengadakan pemeriksaan 
sebentar, kakek ini menghela napas 
panjang. Gumamnya, Ahhh.... tak 
kusangka,  orang sesat itu masih juga 
belum kapok. Begitu muncul kembali 
sudah menimbulkan korban lagi. 
Hemm.... semoga Dewata Agung bersedia 
menunjukkan jalan benar kepada orang 
itu. Hemm, Julung Pujud.... 
Agaknya kakek ini sudah dapat 
menduga siapa yang menyebabkan  lima 
orang muda ini menderita keracunan 
hebat. 
Akan tetapi dugaan kakek ini 
kurang tepat, karenanya yang mela-
kukannya bukan Julung Pujud, melainkan 
muridnya. Tetapi walaupun demikian, 
setelah melihat korban sudah menyebut 
orang sesat itu belum kapok adalah 
jelas kakek ini sudah kenal dengan 
Julung Pujud. 
Kenyataan memang demikian. 
Dahulu, lebih duapuluh tahun yang 
lalu, Julung Pujud melakukan perbuatan 
tercela, tangannya ganas dan jahat, 
maka dimusuhi banyak orang. Kemudian 
dalam perkelahian secara ksatrya, 
seorang lawan seorang, akhirnya Julung 
Pujud dikalahkan oleh Mpu Anusa Dwipa. 
Dan orang inilah yang di sebut bernama 
Mpu Anusa Dwipa itu. 
Waktu itu memang banyak orang 
yang menuntut agar Julung Pujud 
dibunuh saja. Tetapi Mpu Anusa Dwipa 
berpendapat lain. Ia ingin memberi 
kesempatan kepada Julung Pujud untuk 
memperbaiki diri dengan berbuat baik. 
Sebaliknya Julung Pujud sendiri juga 
bersumpah tidak lagi melakukan 
perbuatan jahat. 
Sejak itu tidak terdengar lagi 
Julung Pujud mengganas sampai lebih 
dua puluh tahun. Maka semua orang 
menduga tentunya Julung Pujud sudah 
benar-benar kapok, dan semua orang 
sudah melupakan nama kakek itu. 
Akan tetapi hari ini tanpa 
terduga Mpu Anusa Dwipa sendiri 
menyaksikan keganasan serupa dan 
korbannya lima orang muda. Tentu saja 
diam-diam kakek gendut ini tidak 
senang. Dalam hati kakek ini khawatir 
juga, dunia akan digemparkan lagi oleh 
perbuatan ganas yang dilakukan oleh 
Julung Pujud terhadap orang tidak 
berdosa. 
Setelah mengadakan pemeriksaan 
dan tahu benar, semua korban luka oleh 
sebatang jarum, maka kakek ini segera 
mencabut jarum beracun itu. Dan 
sesudah itu kakek ini mengambil lima 
butir obat kering warna merah. Satu 
persatu obat itu dihancurkan dengan 
air lalu diminumkan kepada korban. 
Yang terjadi kemudian sungguh 
mengherankan. Semua korban tak lama 
kemudian bergerak seperti orang habis 
tidur lelap. Dan setelah merasa pasti 
lima pemuda ini tertolong, ia 
tersenyum lega, lalu melangkah pergi 
entah kemana. 
Watak Mpu Anusa Dwipa memang 
demikian. Ia selalu ringan tangan 
menolong orang tanpa pamrih. Ia selalu 
mengulurkan tangan, tetapi tidak 
mengharapkan balasan dari orang. Bagi 
dirinya sudah gembira sekali apabila 
orang yang ditolong dapat hidup 
senang. 
Hanya yang agak aneh, Mpu Anusa 
Dwipa  tidak pernah pilih bulu. Baik 
korban itu orang jahat maupun orang 
baik semuanya di tolong dengan senang 
hati. 
Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa 
berbuat seperti ini? Padahal menurut 
pendapat umum orang yang jahat tidak 
perlu ditolong. Namun kakek ini 
mempunyai pendirian sendiri. Ia 
memberi pertolongan dan mengulurkan 
tangannya, kepada setiap pihak yang 
perlu ditolong dan tanpa diminta, baik 
kepada manusia maupun kepada binatang. 
Namun justru pendiriannya yang 
aneh ini malah menyebabkan nama kakek 
ini amat terkenal. Ia disegani dan 
dihormati oleh semua pihak, baik dari 
golongan jahat maupun sebaliknya. Akan 
tetapi justru oleh keanehan wataknya 
ini pula, sulitlah orang mau mencari 
dia. Dan sebaliknya tanpa dicari malah 
datang sendiri, seperti yang terjadi 
sekarang ini. 
Demikianlah, kira-kira tengah 
malam lima orang muda ini sudah sadar 
hampir berbarengan. Mereka kaget dan 
cepat meloncat bangun ketika menda-
patkan diri menggeletak di atas rumput 
di bawah langit. Dari mereka itu hanya 
Kebo Pradah yang begitu meloncat 
segera meringis kesakitan. Namun 
ketika meraba paha yang terluka, ia 
terbelalak. Sebab paha yang terluka 
itu sekarang sudah diobati dan dibalut 
dengan kain. 
Untuk beberapa saat lamanya lima 
orang muda ini saling pandang. Tetapi 
sejenak kemudian mereka ingat, tadi 
mengeroyok seorang pemuda. Namun 
mereka dikalahkan, Lalu ke manakah 
pemuda tadi, dan mengapa mereka 
ditinggalkan begitu saja tidak 
dibunuh? 
Tanu Pada menjadi khawatir kalau 
pemuda itu kembali lagi dan meng-
ganggu. Karena itu ia cepat mengajak 
saudara-saudaranya untuk pergi. Kat-
anya, Tempat ini amat berbahaya dan 
Marilah kita selekasnya meneruskan 
perjalanan. 
Mereka berpendapat sama, tempat 
ini amat berbahaya. Kalau pemuda ganas 
itu datang kembali, mereka akan 
celaka. 
Malam itu tiada bulan di angkasa 
dan hanya diterangi oleh bintang. 
Namun demikian sinar bintang itu besar 
bantuannya bagi mereka, dan agak ngeri 
juga melihat bangkai ratusan ular yang 
tadi mereka bantai. Untuk tidak 
bersentuhan dengan bangkai ular itu 
maka mereka terpaksa berlompatan. 
Ketika itu Tanu Pada dan Kebo 
Pradah berjalan di depan, bersama 
Mahisa Singkir, sedang Sangkan dan 
Kaligis sengaja berjalan di belakang. 
Diam-diam meraka saling sentuh dan 
berbisik. 
Sementara itu diam-diam Tanu 
Pada, Kebo Pradah dan Mahisa Singkir 
heran oleh hadirnya Sangkan dan 
Kaligis di tempat ini. Bukankah tugas 
yang ditetapkan menuju ke timur 
bersama Ananto? Tetapi mengapa Ananto 
tidak ikut serta? 
Sekalipun heran mengapa Sangkan 
dan Kaligis muncul di tempat ini, Tanu 
Pada masih menyabarkan diri. Ia baru 
akan minta keterangan dua orang itu 
setelah masuk ke dalam desa Sukorejo 
dan mendapat penginapan. Tanu Pada 
percaya para penduduk desa itu akan 
mau menerima mereka menginap. Orang 
yang datang dengan maksud baik para 
penduduk tentu menyambut dengan baik 
pula. 
Tetapi kalau Tanu Pada dapat 
menyabarkan diri, sebaliknya Kebo 
Pradah tidak. Ia terlalu curiga kepada 
dua orang ini. Maka sambil melangkah 
dan tanpa berpaling, ia bertanya, 
Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan. 
Mengapa kalian tiba-tiba berada di 
tempat ini? 
Sangkan yang lebih cerdik dan 
lincah cepat mendahului menjawab, 
Memang kami bergegas kemari guna 
bertemu dengan Kakang Tanu Pada. Ada 
sesuatu yang perlu kita bicarakan, 
namun nanti sajalah, tak enak kita 
bicara di tempat ini. Karena siapa 
tahu pemuda jahat itu datang lagi dan 
mengganggu kita? Kami akan memberi 
laporan selengkapnya setelah tiba di 
desa depan itu. 
Namun Kebo Pradah seorang pemuda 
yang teliti dan gampang curiga. Ia 
tidak puas dengan jawaban itu. Ia 
berhenti membalikkan tubuh sambil 
bertanya, Soal apakah yang perlu 
dipikirkan itu? Dan mengapa pula 
kalian tidak langsung saja lapor 
kepada Guru? 
Sangkan yang licik tertawa. 
Jawabnya, Kita semua ini mendapat 
tugas dari Guru. Dan Kakang Tanu Pada 
adalah murid tertua. Padahal kau tahu 
juga  bahwa pada saat kita mau 
berangkat Kakang Tanu Pada yang 
dipercaya Guru untuk mengatur. Maka 
tidak enak kiranya apabila aku 
langsung lapor kepada Guru, tanpa 
lewat Kakang Tanu Pada. 
Mendengar jawaban ini Tanu Pada 
yang jujur mengangguk tanda bisa 
menerima. Dan ia malah berterima kasih 
dan merupakan tanda adik sepergu-
ruannya ini menghormati dirinya 
sebagai murid tertua. 
Terima kasih Adi Sangkan, 
katanya. Engkau percaya padaku sebagai 
murid tertua. Baiklah, memang lebih 
tepat menunggu sampai di desa Sukorejo 
itu kita bicarakan. 
Kebo Pradah kurang senang men-
dengar jawaban Tanu Pada ini. Namun 
dirinya seorang adik perguruan yang 
baik. Ia tak mau membantah kakak 
seperguruannya, dan kemudian ia diam 
saja dan melangkah mendampingi Tanu 
Pada. 
Sebaliknya Mahisa Singkir yang 
melangkah di depan paling kanan 
hatinya agak gelisah. Ia tidak membuka 
mulut tetapi diam-diam selalu kha-
watir. Sebagai seorang yang masih 
mempunyai hubungan keluarga dengan 
Sangkan, ia cukup kenal akan wataknya, 
disamping tahu pula diam-diam Sangkan 
tidak senang kepada Kebo Pradah dan 
tahu pula persaingan diam-diam 
memperebutkan Sarwiyah. 
Disamping itu iapun tahu pula 
antara Kaligis dengan Tanu Pada diam-
diam juga bersaing dalam memperebutkan 
Sarindah. Ia pernah mendengar langsung 
dari mulut Sangkan yang mencintai 
Sarwiyah dan Kaligis mencintai 
Sarindah. Akan tetapi sayang, dua 
orang ini tidak mendapat tanggapan 
dari dua gadis itu, karena sudah 
menjatuhkan pilihan kepada pemuda 
lain. 
Di saat Mahisa Singkir sedang 
berpikir ini, tiba-tiba ia menjadi 
kaget mendengar pekik kesakitan dari 
samping. Kemudian ia terbelalak kaget 
melihat robohnya Tanu Pada dan Kebo 
Pradah. Darah membanjir keluar dari 
punggung, sedang Kaligis dan Sangkan 
masih memegang pedang bernoda darah, 
menyeringai seperti iblis. 
Mampus kau! geram Kaligis. 
Kakang.... apa yang kaulakukan? 
Mahisa Singkir gugup. 
Akan tetapi Kaligis dengan 
mendelik sudah membentak, Singkir! 
Engkau jangan mencampuri urusan ini 
kalau masih ingin hidup. 
Sangkan cepat menyambung dengan 
nada membujuk, Singkir, memang tidak 
seharusnya kau mencampuri urusan 
pribadi ini, supaya kau selamat. Eng-
kau masih mempunyai hubungan keluarga 
dengan diriku. Asal engkau tidak 
berkhianat, aku dan Kakang Kaligis 
takkan mencelakakan engkau. 
Tetapi.....tetapi.....Mahisa 
Singkir terbata-bata saking tegang dan 
khawatir. Engkau tahu, kepergianku 
bersama Kakang Tanu Pada dan Kakang 
Kebo Pradah. Bagaimana.... aku harus 
menjawab....jika kelak Guru bertanya? 
Kaligis membentak, Huh, mengapa 
kau setolol itu? Katakan saja di jalan 
dihadang penjahat. Tanu Pada dan Kebo 
Pradah mampus di tangan penjahat dan 
kau berhasil menyelamatkan diri. 
Mana mungkin Guru percaya... ? 
Mahisa Singkir gelisah, menundukkan 
kepala lalu mengamati dua saudara yang 
menjadi korban itu bergantian. 
Ternyata kegelisahannya sejak 
tadi terbukti. Kaligis dan Sangkan 
sudah menyerang Tanu Pada dan Kebo 
Pradah secara curang. Agaknya tikaman 
dari belakang itu tepat menembus 
jantung. 
Sangkan mendelik tidak senang. 
Kesabarannya hilang, lalu mengancam, 
Pendeknya peristiwa ini hanya kau 
seorang yang tahu. Kalau rahasia kami 
ini sampai bocor, engkaulah orangnya 
yang membocorkan. Dan apabila terjadi 
demikian kau harus menebus dengan 
nyawamu. Tahu? 
Mahisa Singkir pucat. Ia sadar 
kalau membantah, jiwanya tentu 
melayang di tangan dua orang ini. Ia 
tidak dapat berbuat lain kecuali harus 
tunduk. Jawabnya kemudian, Baiklah! 
Urusan ini adalah urusan kalian 
sendiri dan aku tidak akan ikut 
campur. Dan akupun berjanji takkan 
membuka rahasia ini kepada siapapun. 
Akan tetapi sebaliknya akupun tidak 
mungkin kembali ke Tosari. 
Mengapa begitu? bentak Kaligis. 
Kalau begitu, kau lain di bibir lain 
di hati! 
Kakang, kau jangan cepat curiga, 
Mahisa Singkir menjawab sambil 
menghela napas dalam. Engkau tahu aku 
tidak  mungkin dapat berdusta kepada 
Guru. Mengingat hal itu maka tiada 
jalan lain yang lebih baik, kecuali 
sejak sekarang aku menyingkir dari 
Guru. 
Mahisa Singkir berhenti sejenak 
mengambil napas. Lalu, Lenyapnya 
Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah tentu 
akan merupakan peristiwa besar bagi 
Mbakyu Sarindah maupun Mbakyu Sar-
wiyah. Manakah mungkin gampang percaya 
jika aku memberi laporan, bahwa dua 
orang itu tewas di tangan penjahat 
sedangkan diriku selamat tak kurang 
suatu apa? Hemm, salah-salah diriku 
sendiri yang  dicurigai dan kemudian 
disiksa. Nah, kalau sudah terjadi 
seperti itu, manakah mungkin aku kuat 
lagi menyimpan rahasia ini? Itulah 
sebabnya aku memutuskan paling selamat 
kalau aku ikut menghilang juga. 
Sangkan puas. Katanya, Bagus! 
Keputusan yang tepat, dan jalan ini 
memang yang terbaik. 
Tetapi sekarang bagaimana dengan 
mayat dua orang ini ? 
Hemm, mengapa sebabnya kau repot? 
Letakkan dua mayat ini di tepi desa. 
Esok pagi tentu akan dirawat orang. 
Hayo cepat, dan kita pergi dari sini! 
Kaligis sudah mendahului menyam-
bar mayat Tanu Pada. Mau tak mau 
Sangkan mengikuti dan menyambar mayat 
Kebo Pradah. Lalu dua orang ini 
berlarian menuju desa. 

Mahisa Singkir tak kuasa menahan 
mengalirnya air mata. Ia kemudian lari 
cepat ke jurusan lain. Lalu ia duduk 
di atas batu, sambil terisak. Hati 
pemuda ini amat sedih dan masygul. 
Mengapa antara saudara seperguruan 
sendiri terjadi persaingan dan 
mengakibatkan saling bunuh? Apakah 
kalau begitu cinta itu jahat? Cinta, 
apakah mendorong manusia melakukan 
perbuatan terkutuk? Ahh, ia menjadi 
ngeri sendiri. 
Lama sekali pemuda ini menangis 
sedih dan menyesali peristiwa yang 
baru terjadi. Tidak pernah terbayang 
sama sekali dalam benaknya, Tanu Pada 
dan Kebo Pradah akan mati seperti itu. 
Disamping ia menyesalkan peristiwa 
yang baru terjadi, iapun menjadi 
bingung sendiri. Kepergiannya tanpa 
minta diri kepada orangtua. Namun se-
karang karena takut bertemu dengan 
gurunya, tidak mungkin ia kembali ke 
Tosari dan menemui orang tuanya. 
Saking bingung dan sedih, tiba-
tiba saja timbul keputusannya yang 
nekad. Hemm, aku tidak sanggup menjadi 
murid murtad dan menjadi anak tidak 
berbakti kepada orang tua. Daripada 
hidup terus tetapi menderita, lebih 
baik mati saja.... 
Sringg....! Pedang dicabut. 
Kemudian secara nekad mata pedang itu 
disabetkan ke leher sendiri. 
Akan tetapi ahh.... Mahisa 
Singkir kaget sendiri karena tiba-tiba 
pedangnya runtuh ke tanah terpukul 
oleh benda. Dengan sigap pemuda ini 
meloncat karena menduga ada orang yang 
menyerang dirinya. Dalam keadaan 
seperti ini ia tak takut mati. 
Siapapun akan dihadapi dengan mata 
terbuka dan hati tabah. 
Heh heh heh heh. Engkau mau apa 
orang muda? mendadak seorang kakek 
gendut memakai jubah putih kedodoran 
sudah muncul di depan Mahisa Singkir. 
Munculnya kakek itu tiba-tiba dan 
menyebabkan Mahisa Singkir berjingkrak 
kaget. 
Siapa kau! bentaknya menggeletar. 
Engkau manusia atau hantu? 
Kakek gendut yang bukan lain Mpu 
Anusa Dwipa ini terkekeh, hingga 
perutnya yang gendut itu bergerak-
gerak. 
Heh heh heh heh, adakah hantu 
dapat bicara seperti manusia? Hai 
orang muda, apakah sebabnya engkau 
ingin memenggal lehermu sendiri? 
Kau.....kau yang sudah 
menyebabkan pedangku runtuh? 
Heh heh heh heh, kalau benar, 
mengapa? 
Aku mau bunuh diri. Mengapa 
sebabnya kau mengganggu? 
Heh heh heh heh, apakah sebabnya 
kau mau bunuh diri? Agaknya engkau 
menghadapi urusan pribadi yang ruwet, 
sehingga engkau ingin mengakhiri 
hidupmu dengan jalan itu? Hemm, orang 
muda. Engkau keliru jika menganggap 
urusan dapat selesai begitu saja jika 
engkau sudah bunuh diri? 
Mengapa tidak? Bukankah sesudah 
aku mati segala urusan menjadi 
rampung? 
Ha ha ha ha, kau picik 
pengetahuan tentang hidup dan mati 
anak muda. Sudah tentukah engkau mati 
jika memenggal lehermu sendiri? Apakah 
kau lupa semua kehidupan di dunia ini 
hanya Dewata Agung saja yang 
menentukan? Jika tidak dikehendaki 
engkau takkan bisa mati. Hemm, orang 
muda, apakah engkau lupa bahwa sesuai 
dengan kepercayaan dalam agama, bakal 
terjadinya kehidupan lagi setelah 
manusia ini meninggal dunia? Keta-
huilah hai anak muda, orang yang mati 
membunuh diri, dalam kehidupan kemu-
dian hari, bisa tersesat. Senangkah 
kau apabila harus menjelma sebagai 
cacing atau babi? 
Mendengar ini Mahisa Singkir 
terbelalak. Serta merta pemuda ini 
menjatuhkan diri dan berlutut, lalu 
terdengar katanya yang setengah 
meratap. 
Kakek, ohh.... terima kasih atas 
nasihat kakek. Tetapi .... aku bingung 
dan tak tahu apa yang harus aku 
lakukan, karena saudara seperguruanku 
saling bunuh dan aku takut bertemu 
kembali dengan guruku. Itulah sebabnya 
aku menjadi nekad mau membunuh diri. 
Kalau sekarang Kakek melarang aku 
membunuh diri, tolonglah.... aku yang 
malang ini.... 
Mpu Anusa Dwipa terkekeh, Heh heh 
heh heh, apakah maksudmu orang muda? 
Aku sendiri manusia yang tanpa tempat 
tinggal, Aku sendiri beratap langit 
dan berselimut embun. 
Ambillah diriku sebagai murid. 
"Hait...." kakek gendut ini 
berjingkrak. Walaupun tubuhnya gendut, 
namun tubuhnya bisa ringan sekali dan 
melenting cukup tinggi. 
Mahisa Singkir melongo saking 
kagum. Tahulah pemuda ini, kakek 
gendut ini seorang sakti mandraguna. 
Mungkin tidak kalah sakti dengan 
gurunya. Ia harus bisa diterima 
sebagai muridnya. 
Kau ingin menjadi muridku? Murid 
apa, heh heh heh heh. Aku tidak 
mempunyai ilmu kepandaian apa-apa. 
Heh heh heh heh. Engkau mau apa 
orang muda? mendadak seorang kakek 
gendut memakai jubah putih kedodoran 
sudah muncul di depan Mahisa Singkir. 
Aku tidak perduli Kakek pandai 
apa. Pendeknya, Kakek harus menjadi 
guruku. Jika kakek menolak, aku akan 
membunuh diri saja.....Mahisa Singkir 
mendesak dan tidak memberi kesempatan 
kepada Mpu Anusa Dwipa menolak. 
Hemm, sesungguhnya engkau ini 
murid siapakah, anak muda? 
Si Tangan Iblis. 
Hait.....lagi-lagi Mpu Anusa 
Dwipa berjingkrak lagi. Baru tangannya 
sudah iblis, apalagi kakinya. Tentu 
gurumu sakti mandraguna. Tetapi me-
ngapa sebabnya engkau tinggalkan 
pergi? 
Mahisa Singkir tidak mau bicara 
kepanjangan. Pendeknya ia harus 
mendapat kepastian, sedia ataukah 
tidak kakek ini menerima sebagai 
murid. 
Karena itu kemudian katanya 
berubah menjadi ketus, Sudahlah, Kek, 
mau atau tidak menerima diriku sebagai 
murid? Kalau tak mau tidak apa. 
Pergilah dan aku mau membunuh diri. 
Mpu Anusa Dwipa terkekeh. Dan 
tentu sesuai dengan wataknya yang suka 
menolong, ia tak sanggup membiarkan 
orang muda ini bunuh diri. Namun 
sebaliknya untuk menerima sebagai 
murid, iapun keberatan. Dirinya tidak 
pernah punya murid. Namun sudah tidak 
terhitung jumlahnya manusia yang 
diberi bagian ilmu kesaktiannya. 
Kakek ini mengusap jenggotnya 
yang putih panjang menjuntai. Lalu 
katanya, Engkau seorang anak muda yang 
keras hati, tetapi jujur. Hemm, 
baiklah aku akan mendidik kau sambil 
lalu selama dua tahun. Dan engkau 
tidak berhak pula menyebut aku sebagai 
guru. 
Betapa gembira hati pemuda ini 
sulit dilukiskan. Ia menjatuhkan diri 
dan berlutut sampai dahinya membentur 
tanah. 
Mari kita pergi dari sini. Tapi 
ingat, aku bukan gurumu, ujar kakek 
itu. 
Tanpa membantah Mahisa Singkir 
mengikuti di belakang. Akan tetapi 
pemuda ini menjadi terbelalak kaget 
dan kelabakan, karena gerakan kakek 
gendut itu amat gesit. Ia sudah 
melangkah cepat, kemudian lari. Akan 
tetapi ternyata dirinya tidak dapat 
mendekati  kakek itu. Namun ia 
mengeraskan hati dan terus berlarian, 
sekalipun napasnya sudah keluar dan 
masuk telinganya. Ia takkan berhenti 
berlari mengejar Mpu Anusa Dwipa 
sebelum napasnya putus. Karena ia 
sadar tentu kakek gendut itu menguji 
kesetiaannya. 
Tiga bulan telah berlalu tanpa 
terasa. Tibalah batas waktu para murid 
Si Tangan Iblis harus kembali ke 
Tosari memberi laporan hasil tugasnya. 
Rombongan yang datang pertama kali 
adalah Wastu, Warigalit dan Bala Rebo. 
Hari itu juga menyusul datang 
rombongan murid yang menuju ke utara, 
Kuda Sobrah, Senggring dan Pahang. 
Semua murid yang sudah tiba ini 
menyebabkan Si Tangan Iblis, Sarindah 
dan Sarwiyah menghela napas sedih dan 
menyesal. Karena semua pulang tanpa 
membawa hasil. 
Harapan Si Tangan Iblis tinggal 
kepada rombongan Tanu Pada dan 
rombongan Kaligis. Orang tua ini 
berharap, mudah-mudahan murid yang be-
lum datang melapor itu berhasil. 
Akan tetapi esok paginya Si 
Tangan Iblis, Sarindah dan Sarwiyah 
kaget ketika Kaligis dan Sangkan 
datang tanpa Ananto. Maka timbul 
pertanyaan dalam hati kakek dan cucu 
ini, ke mana Ananto? 
Untunglah Kaligis maupun Sangkan 
cukup cerdik dan mengenal pula watak 
gurunya. Sebelum gurunya bertanya, dua 
orang murid ini sudah berlutut di 
depan Si Tangan Iblis sambil mem-
benturkan dahi di tanah. Dan guna 
menutupi rahasia kebusukannya, dua 
murid ini malah sudah menangis sambil 
meratap-ratap mohon supaya dibunuh 
mati saja. 
Guru.... hu hu huuuuukkk..... 
bunuh sajalah murid yang tidak berguna 
seperti aku ini! ratap Sangkan di 
tengah tangisnya. 
Benar.... Guru.... bunuh sajalah 
kami.... Kaligis menirukan. 
Sarindah dan Sarwiyah yang diam-
diam benci kepada Kaligis maupun 
Sangkan,  tidak senang dan merasa 
sebal. Mengapa dua orang ini begitu 
datang sudah menangis dan minta 
dibunuh? 
Huh huh, pemuda cengeng tiada 
guna! bentak Sarindah. Apa sih 
sulitnya membunuh kamu berdua, kalau 
memang berdosa? Lekas katakanlah apa 
sebabnya kamu datang dan meratap-ratap 
? Sebal aku melihat murid Kakek yang 
gampang menitikkan air mata. 
Sarwiyah tak kalah angkuh dan 
ketusnya. Bentaknya, Huh huh melihat 
kamu datang tanpa Sentiko, jelas kamu 
tak becus mencari. Tapi huh, di mana 
Ananto? Mengapa tidak datang  bersama 
kamu? 
Si Tangan Iblis mengerutkan alis. 
Kakek ini kurang senang mendengar 
ucapan dan sikap cucunya. Tegurnya, 
Indah! Wiyah! Sikapmu jangan sekasar 
itu kepada saudara seperguruan 
sendiri. Ibaratnya kita semua ini 
adalah telor dalam satu sarang, dan 
ibarat pula setandan pisang. Yang satu 
busuk yang lainpun menjadi busuk. 
Tahu? Kamu semua harus rukun dan 
bersatu padu dan kelak kemudian hari 
kamu semua menunaikan tugas suci! 
Si Tangan Iblis memang mendidik 
murid-muridnya penuh disiplin, 
menanamkan kerukunan adalah dengan 
harapan kemudian hari semua murid ini 
dapat mewakili dirinya membalaskan 
sakit hati kepada musuh-musuhnya. 
Mengingat cita-cita ini maka ia 
terang-terangan menegur sikap cucunya. 
Kaligis dan Sangkan, apa yang 
sudah terjadi? Ceritakanlah  sejujur-
nya, apakah sebabnya Ananto tidak 
datang bersama kamu? Lalu di manakah 
dia sekarang? tanya Si Tangan Iblis 
dengan nada sabar, sesuai kedudukannya 
sebagai guru. 
Sangkan yang lebih pandai bicara, 
segera memberikan laporannya. Ia 
mengarang cerita, bahwa di saat lewat 
pada tebing gunung yang licin, Ananto 
terpeleset jatuh dan masuk ke dalam 
jurang. Dikatakan pula bahwa ia 
bersama Kaligis sudah berusaha 
menolong. Tetapi justru usaha mereka 
itu malah hampir saja Kaligis 
tergelincir masuk ke jurang. 
Bohong! bentak Sarindah tiba-tiba 
dan sring... gadis cantik ini sudah 
menghunus pedang dan me-ompat ke 
depan. Pedangnya menyambar untuk 
memancung leher Kaligis dan juga 
Sangkan sekaligus. 
Tring.....! Sarindah terhuyung 
mundur dan hampir saja pedangnya 
lepas. Telapak tangannya panas sedang 
lengannya seperti lumpuh, sebab 
pedangnya yang menyambar sudah 
disentil dengan jari tangan kakeknya 
sendiri. 
Indah! Apa maksudmu? tegur Si 
Tangan Iblis sambil mendelik marah. 
Aku tidak percaya keterangannya. 
Keterangan itu bohong belaka, Kek, dan 
Kakek harus mengadakan penyelidikan di 
tempat, baru aku bisa mempertim-
bangkan. Apabila keterangan mereka 
tidak masuk akal, sepatutnyalah murid 
jahat ini dihukum mati. 
Sadar keselamatan nyawanya dalam 
bahaya, Sangkan yang licin cepat 
menyahut setengah menantang, Adi 
Sarindah! Apakah alasanmu menuduh 
keteranganku bohong? Mau menyelidiki 
di tempat peristiwa silakan. Tetapi 
sebaliknya, bagaimanakah kalau kete-
ranganku ini benar? Kalau Guru memang 
mempersalahkan aku tak becus menjaga 
keselamatan Adi Ananto, itu urusan 
lain. Dan sebagai murid, akupun sudah 
mengaku bersalah, karena itu aku sudah 
menyerahkan jiwaku dan kalau perlu 
dihukum mati oleh Guru, sebagai 
penebus kesalahanku, akupun tidak 
menyesal. Karena bagaimanapun, murid 
yang setia dan baik harus tunduk 
kepada Guru. Tetapi karena masalah ini 
di luar kemampuan kami dan merupakan 
kecelakaan, hanya Dewata saja yang 
sudah tahu. 
Sudah, sudahlah! cegah Si Tangan 
Iblis. Kalian jangan ribut sendiri. 
Sarindah, sekalipun engkau cucuku, 
tetapi dalam urusan perguruan, kau pun 
kedudukanmu sebagai murid. Dalam 
perguruan sikap seorang guru harus 
adil dan bijaksana dan tidak boleh 
pilih kasih. Tahu? 
Sarindah terbungkam mendengar 
ucapan kakeknya yang keras ini. Namun 
diam-diam gadis ini tetap pada 
pendiriannya, tidak percaya keterangan 
Sangkan itu. Disamping timbul rasa 
tidak percaya, gadis inipun menjadi 
marah juga. Ia merasa malu dibentak 
dan ditegur kakeknya di depan orang 
lain. Maka sambil membantingkan kaki 
gadis ini kemudian menyeret adiknya 
diajak pergi meninggalkan rumah. 
Si Tangan Iblis menghela napas 
panjang. Ia menyesal juga mengapa 
terpaksa menegur cucunya sendiri 
secara keras. Namun apa harus dikata? 
Ia dalam kedudukannya sebagai guru 
tidak boleh pilih kasih dalam 
menghadapi semua muridnya. Maka 
Sarindah yang mau menang sendiri tidak 
boleh terjadi, apa pula secara lancang 
sudah berusaha membunuh orang, sebelum 
ada pembuktian salah dan benarnya 
keterangan Sangkan. Disamping itu ia 
merasa pula sedang menghadapi 
persoalan yang lebih penting, tentang 
Sentiko. Karena itu dengan sikap yang 
sabar, ia menanyakan tentang hasil 
usaha para murid dalam usaha mencari 
Sentiko. 
Dengan kepandaiannya mengarang 
cerita, Sangkan menerangkan secara 
lancar tentang peristiwa Ananto, 
diberi bumbu yang menarik. Hingga Si 
Tangan Iblis mendengarkan penuh 
perhatian. 
Padahal kenyataan yang terjadi 
jelas berbeda. Kaligis maupun Sangkan 
tidak menunaikan tugas semestinya. 
Kenyataannya sesudah berhasil membunuh 
Tanu Pada dan Kebo Pradah, mereka 
menghabiskan waktu untuk pergi ke mana 
mereka sukai. Dalam hal ini Sangkan 
malah menceritakan pula dalam 
perjalanan menunaikan tugas hampir 
saja mati di tangan seorang pemuda 
yang berkawan dengan binatang berbisa. 
Si Tangan Iblis terbeliak kaget 
mendengar cerita ini. Orang yang 
terkenal berkawan dengan binatang 
berbisa, hanya Julung Pujud. Apakah 
orang itu masih hidup dan pemuda itu 
muridnya? Kalau benar, sungguh 
kebetulan, Julung Pujud bisa dijadikan 
sekutunya. 
Di mana kau bertemu dengan pemuda 
itu? tanya Si Tangan Iblis. Apakah 
pemuda itu berdua dengan seorang tua 
kerdil yang rambutnya dibiarkan 
terurai tanpa digelung? 
Melihat gurunya tertarik, Sangkan 
gembira. Kalau gurunya sudah tertarik 
persoalan lain bukankah ini merupakan 
permulaan yang menguntungkan? Berarti 
dirinya takkan didesak tentang 
persoalan Ananto. Jawabnya cepat, 
Tidak, Guru. Apakah guru sudah kenal 
dengan guru bocah itu? Kalau tak salah 
dia mengaku bernama Warigagung, sedang 
gurunya, dia menyebut nama Julung 
Pujud. 
Ha ha ha ha, memang benar dia! 
Sayang, bocah  itu sendirian saja. 
Kalau gurunya hadir, hemm.....betapa 
menggembirakan. Karena tahukah kau 
guru bocah itu merupakan sahabat 
baikku? Telah puluhan tahun lamanya 
nama Julung Pujud lenyap dan semula 
aku mengira dia sudah mati. Namun 
ternyata sekarang, nyawa orang kerdil 
itu masih ulet juga. 
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh 
suara lengkingan nyaring. Seperti anak 
panah lepas dari busur, tubuh Si 
Tangan Iblis melesat keluar rumah. 
Lalu kakek itu berlarian seperti 
terbang menuju ke timur. 
Kaligis dan Sangkan saling 
pandang dengan bibir tersenyum, hati 
merasa lega dan merasa bebas dari 
bahaya. Kemudian seperti murid yang 
lain, dua orang inipun berlarian 
mengikuti jejak gurunya. 
Si Tangan Iblis berlarian cepat 
sekali dengan hati gelisah. Karena 
lengkingan nyaring tadi merupakan 
tanda bahaya dalam perguruannya. 
Lengking yang sudah amat ia kenal itu, 
tentu lengking cucunya sendiri, 
Sarwiyah. Hanya yang menyebabkan kakek 
ini heran, bahaya apakah yang 
mengancam cucunya itu dan mengapa pula 
sebabnya Sarwiyah pergi diam-diam? 
Memang sesungguhnya, dengan hati 
amat mendongkol, Sarindah dan Sarwiyah 
meninggalkan rumah diam-diam. Karena 
semua murid kakeknya sudah pulang 
sedang yang belum tinggal Tanu Pada, 
Kebo Pradah dan Mahisa Singkir, maka 
Sarindah segera mengajak adiknya pergi 
untuk menjemput rombongan murid yang 
belum pulang itu. Dengan kata lain 
Sarindah sudah merindukan Tanu Pada 
sedang Sarwiyah sendiri sudah rindu 
kepada Kebo Pradah. 
Dan sebenarnya kakak beradik ini 
gelisah juga, mengapa pemuda yang 
mereka rindukan itu terlambat datang? 
Maka daripada di rumah hati tidak 
tenang, lebih baik pergi dari rumah 
sambil mencari hawa baru. 
Dalam perjalanan ini Sarindah 
yang berangasan itu bersungut-sungut 
mencela sikap kakeknya. Katanya, Huh, 
mengapa sebabnya Kakek jadi begitu? 
Mengapa Kakek malah membela Kaligis 
dan Sangkan? Huh, aku benci sekali. 
Hemm, sudahlah, engkau jangan 
marah-marah sendiri seperti itu! sahut 
Sarwiyah yang nadanya seperti memberi 
nasihat. 
Watak kakak beradik ini memang 
berlainan. Sarindah berangasan, 
sebaliknya Sarwiyah sabar dan agak 
pendiam. 
Kita memang tidak bisa begitu 
saja menyalahkan Kakek. Sebab kita 
belum memperoleh bukti, benar dan 
tidaknya keterangan dua orang itu. 
Guna mencari keterangan, tentu saja 
kita harus mendapat bantuan Kakang 
Kebo Pradah dan Kakang Tanu Pada. 
Hemm, tetapi sayang sekali mengapa 
mereka terlalu lambat? Mudah-mudahan 
kita tidak terlalu jauh harus 
menjemput. 
Tetapi huh, sikap Kakek itu, 
mengapa malah berpihak kepada dua 
bedebah itu? Huh, kalau saja tidak 
dihalangi Kakek, lehernya tentu sudah 
putus kubabat pedang. Huh, benci aku 
melihat dia! Sarindah mengucapkan 
kata-katanya dengan geram. Coba siapa 
yang tidak benci? Matanya itu seperti 
iblis kalau memandang aku. Huh, 
sangkanya dia pemuda tampan dan aku 
tertarik? Huh, kalau melihat orang, 
mulutnya cengar-cengir seperti monyet! 
Tiba-tiba terdengar suara orang 
ketawa terkekeh. Belum juga lenyap 
suaranya sudah muncul seorang pemuda 
yang rambutnya  tidak digelung, 
mendelik dan menghardik, Hai, apa 
katamu tadi? Siapa yang cengar-cengir 
seperti monyet? 
Munculnya pemuda itu yang bukan 
lain Warigagung menyebabkan dua gadis 
ini kaget. Dalam keadaan sedang uring-
uringan ini, menyebabkan Sarindah amat 
tersinggung. Gadis ini mendelik dan 
marah. Dan pemuda ini malah bisa 
dijadikan sasaran kemarahannya. 
Engkau itulah yang cengar-cengir 
seperti iblis. Huh, apakah sangkamu 
dengan pakaianmu macam itu, menjadi 
tambah keren dan tampan? Huh, muak aku 
melihat kau! 
Warigagung ketawa terkekeh. Akan 
tetapi matanya mendelik marah. Ia juga 
pemuda berangasan, gampang marah dan 
suka gila-gilaan. Jangan lagi kepada 
orang yang menyinggung perasaannya, 
walaupun kepada orang yang tak 
bersalah sekalipun, ia bisa bertindak 
semau  sendiri. Suka mengganggu orang 
untuk memancing kemarahan dan 
tangannya ganas dan tidak segan 
membunuh manusia. 
Sesuai dengan wataknya itu maka 
balasnya tak kurang lantang. Kau 
bilang apa? Aku seperti iblis, heh heh 
heh heh. Sangkamu kau ini seperti apa? 
Huh, engkau perempuan bawel. Perempuan 
lancang mulut, apakah sangkamu kau 
cantik? Huh huh, engkaupun seperti 
wewe gombel penjaga kuburan! 
Mbakyu, tegur adiknya. Sudahlah, 
jangan kau layani dia. Mari kita 
mengambil jalan lain. 
Apa? bentak Sarindah. Kita harus 
mengalah kepada pemuda gila ini? Kita 
mau saja dihina orang? Huh huh, tidak! 
Aku tidak takut! Aku masih sanggup 
menghajar pemuda liar dan lancang 
mulut ini! 
Bagus, heh heh heh heh! Dengan 
apa engkau mau menghajar aku? ejek 
Warigagung. Marilah kita coba, dan 
tanganku sudah gatal untuk menampar 
mulutmu yang bawel itu. Heh heh heh 
heh, aku ingin melihat. Apakah pipimu 
yang halus dan bibirmu yang merah 
itu..... 
Sring.. Sarindah mencabut pedang. 
Mampuslah! teriaknya sambil 
menerjang ke arah Warigagung. Gadis 
yang wataknya memang berangasan ini 
sudah tidak kuasa lagi menahan 
kemarahannya. Begitu menyerang dengan 
pedang sekaligus sudah menyerang mata, 
leher dan ulu hati. 
Sarwiyah yang memang lebih sabar 
berdiri menonton ia tak akan memberi 
bantuan kepada mbakyunya, kalau 
keadaan tidak memerlukan benar. Karena 
bantuan itu hanya akan merendahkan 
martabat kakak-perempuannya yang belum 
tentu kalah. 
Ahhh....! Warigagung berteriak 
kaget, ketika tiba-tiba sinar putih 
yang panjang menyerang dirinya dengan 
ganas dan cepat. Ia melompat ke sam-
ping sambil menyentil dengan jari 
tangan. 
Akan tetapi pedang Sarindah 
seperti ular hidup. Sentilan jari 
tangan Warigagung tidak kena, malah 
hampir saja lengannya tertabas pedang. 
Dalam hal ilmu pedang, Sarindah 
memang merupakan murid terpandai dan 
tingkatya lebih tinggi dibanding 
Sarwiyah. 
Memang tidak percuma Si Tangan 
Iblis menggembleng cucunya semenjak 
masih kecil. Maka tidak mengherankan 
kalau pedangnya bergerak seperti hidup 
dan menyambar ke depan dengan ganas. 
Akan tetapi sekalipun usianya 
masih lebih muda, Warigagung dididik 
penuh disiplin dan penuh ketekunan 
oleh Julung Pujud, tokoh sakti 
mandraguna yang wataknya aneh. Maka 
serangan ganas yang dilakukan Sarindah 
itu disamping menimbulkan kegembira-
annya juga menyebabkan pemuda  ini 
marah. Ketika pedang sarindah 
berkelebat dari atas membabat leher 
yang diteruskan ke bawah untuk menikam 
dada, dengan gesit Warigagung menekuk 
tubuh lalu berjungkir balik ke 
belakang beberapa jauhnya. Begitu 
berdiri, tahu-tahu pedang dengan hulu 
dihias ukiran kepala ular sudah di 
tangan. 
Pemuda ini meringis dan mulai 
beringas. Bentaknya geram, Huh, tanpa 
sebab kau sudah menyerang aku dengan 
ganas dan berusaha membunuhku. Karena 
itu engkau jangan menyalahkan aku jika 
pedangku ini sampai melubangi tubuhmu! 
Enak saja kau bicara! ejek 
Sarindah. Engkau sendiri yang akan 
mampus dalam tanganku. Berbareng 
dengan ucapannya yang terakhir, 
Sarindah sudah menerjang ke depan. 
Sinar putih yang panjang berkelebat, 
kemudian bergulung membungkus tubuh 
lawan. 
Tetapi serangan yang hebat itu 
hanya disambut dengan ketawa Wari-
gagung yang terkekeh dan sesaat 
kemudian, trang.... benturan pedang 
terdengar nyaring. 
Sarindah memekik tertahan dan 
tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke 
belakang. Gadis ini meringis menahan 
sakit disamping tambah marah. 
Sebaliknya Warigagung hanya 
mundur dua langkah ke belakang, lalu 
pemuda ini terkekeh merendahkan. 
Peristiwa yang terjadi ini di 
luar dugaan. Sarindah menahan rasa 
sakit karena lengannya seperti lumpuh. 
Kemudian dengan sinar mata yang 
beringas, gadis ini memaki. 
Bangsat hina! Engkau berani 
kurangajar di tempat ini? Huh Sar-
wiyah! Mari kita keroyok dan kita 
bunuh pemuda busuk ini. 
Sring! Sarwiyah menghunus pedang-
nya setelah mendapat izin kakaknya. 
Lalu kakak-beradik ini membagi 
serangan dahsyat. Sarindah menyerang 
bagian tubuh atas sedang Sarwiyah me-
nyerang bagian tengah dan bawah. 
Serangan ini merupakan serangan 
ganas dan amat berbahaya, karena 
serangan kakak beradik ini menutup 
ruang gerak Warigagung. 
Trang trang..... Auww....! 
Warigagung berhasil menghalau 
sambaran dua batang pedang kakak 
beradik ini dengan tangkisan pedang-
nya. Namun pemuda ini tidak urung 
harus berteriak kaget sambil melompat 
ke belakang. Sebab ternyata walaupun 
ia berhasil menangkis pedang tersebut, 
pedang lawan meluncur kembali 
menyerang. Pedang Sarindah hampir saja 
melukai lehernya, sedang pedang 
Sarwiyah hampir saja melubangi pe-
rutnya. 
Apa yang terjadi memang di luar 
dugaan Warigagung. Pedang yang bisa 
ditangkis itu  sekalipun mental 
menyeleweng masih merupakan ancaman 
berbahaya. 
Memang inilah termasuk keis-
timewaan ilmu pedang yang dicampur 
dengan gaya permainan tombak hasil 
ciptaan Si Tangan Iblis. Kehebatan 
ilmu pedang itu baru tampak nyata dan 
lebih ganas apabila sudah mengeroyok. 
Gabungan tenaga dan kerjasama dalam 
mengeroyok ini akibatnya akan 
menyulitkan pihak yang dikeroyok. 
Karena kekuatannya akan menjadi 
berlipat ganda. Demikian pula yang 
terjadi sekarang ini, walaupun 
Warigagung seorang pemuda yang sudah 
mendapat gemblengan Julung Pujud, 
tidak urung agak kesulitan juga 
menghadapi keroyokan ini. Kecepatan 
dan perubahan gerak pedang lawan ini 
sulit diduga, dan hanya karena menge-
rahkan kepandaiannya saja Warigagung 
sanggup menghadapi keroyokan ini. 
Kalau pada tiga bulan lalu 
Warigagung menghadapi lima orang murid 
Si Tangan Iblis tanpa kesulitan, 
adalah tidak mengherankan. Karena 
tingkat para murid Si Tangan Iblis itu 
jauh di bawah Sarwiyah maupun 
Sarindah. Jangan lagi terhadap dua 
orang gadis ini, baru dengan Ananto 
dan Sentiko saja, tingkat Tanu Pada 
dan adik-adik seperguruannya masih 
kalah tinggi. Itulah sebabnya Wari-
gagung menghadapi keroyokan dua orang 
ini harus mengerahkan kepandaiannya. 
Sekalipun demikian Warigagung hanya 
kuasa mengimbangi saja tanpa bisa 
mendesak. 
Keadaan ini menyebabkan Wari-
gagung yang mempunyai watak liar dan 
ganas itu menjadi penasaran. Hanya 
untungnya sekalipun pemuda ini ganas, 
Warigagung merupakan seorang pemuda 
yang tak sampai hati mengganas kepada 
perempuan. Ia masih mempunyai sifat-
sifat baik terhadap wanita. Ia 
demikian menghormati. Oleh sebab itu 
walaupun ia seorang pemuda yang 
mempunyai sifat liar, ia benci kepada 
laki-laki yang berani menghina dan 
mempermainkan perempuan. Tak segan-
segan membunuh orang dalam usahanya 
membela wanita. 
Mengapa Warigagung mempunyai 
watak dan sikap seperti ini terhadap 
perempuan? Semua ini mempunyai sangkut 
paut dengan sejarah hidupnya sendiri. 
Ia tidak akan lupa kepada peristiwa 
yang telah menimpa ibunya. 
Peristiwa itu terjadi ketika 
Warigagung baru berumur enam tahun. 
Pada suatu hari terjadilah percekcokan 
antara ayah dan ibunya. Sikap ayahnya 
memang sewenang-wenang dan kasar 
terhadap ibunya. Maka dalam per-
cekcokan ini ayahnya telah memukuli 
ibunya. Bukan saja dengan tangan dan 
kaki, tetapi juga  menggunakan alat 
pemukul. Karena dipukuli dan disiksa 
sedemikian rupa oleh ayahnya, sebagai 
akibatnya ibu itu meninggal karena 
luka-lukanya yang berat dan tidak kuat 
menahan sakit. Dan ketika itu entah 
mengapa sebabnya, walaupun ia baru 
berumur enam tahun, tidak tahan 
melihat ibunya menggeletak dan mandi 
darah. Ia kemudian marah dan membela 
ibunya, dengan mengambil alat pemukul 
dari kayu yang semula dipergunakan 
ayahnya memukuli ibunya. Kemudian 
menggunakan seluruh kekuatannya, ia 
memukul ayahnya dari belakang. 
Pukulan itu walaupun tidak 
menimbulkan sakit tetapi ayah yang 
sedang mata gelap ini bukannya 
menginsyafi kesalahannya telah membu-
nuh isterinya sendiri, malah segera 
menyambar alat pemukul tersebut dan 
direbut. Warigagung berusaha memper-
tahankan alat pemukul itu tetapi kalah 
kuat dan roboh terguling. Dalam 
kalapnya ayah ini segera memukuli 
Warigagung sekuat tenaga sambil 
berteriak, Mampuslah kau anak durhaka! 
Bukk.....! sekali pukul Wari-
gagung yang kecil itu hanya menjerit 
satu kali lalu pingsan. 
Untung ketika alat pemukul itu 
melayang untuk kedua kalinya, si ayah 
yang kalap terhuyung ke belakang 
roboh, terdorong oleh angin yang kuat 
sekali. Ternyata saat itu muncullah 
Julung Pujud yang menyelamatkan 
Warigagung, dan seterusnya menjadi 
gurunya. 
Peristiwa meninggalnya si ibu 
yang amat dicintai itu dan di tangan 
ayahnya sendiri, mengesan sekali dalam 
sanubari bocah itu. Peristiwa itu se-
lalu menjadi kenangan pahit dan tidak 
bisa dilupakan sekejap pun, kecuali di 
kala tidur. 
Apa yang terjadi ini kemudian 
mempengaruhi watak dan tabiatnya. Ia 
menjadi seorang pemuda yang amat 
menghormati kepada wanita. Ia takkan 
rela melihat setiap wanita yang 
direndahkan laki-laki. Tanpa peduli 
lagi, siapa yang dibelanya dan laki-
laki yang berani merendahkan tentu di-
siksa dan mungkin malah dibunuh mati. 
Tetapi apakah sebabnya sekarang 
ini ia menjadi marah dan melawan 
kepada Sarindah dan Sarwiyah soalnya 
bukan lain karena sikap Sarindah ini 
amat menyinggung perasaan dan 
menyebabkan ia menjadi marah. 
Warigagung masih ingat bahwa yang 
dihadapi ini perempuan, sekaum dengan 
ibunya. Maka walaupun penasaran tidak 
segera dapat mengalahkan lawan, ia 
masih dapat membatasi diri. Ia tidak 
mau menggunakan jarum beracun yang 
berbahaya itu. 
Akan tetapi ternyata usahanya 
mengalahkan dua orang gadis ini tidak 
juga berhasil. Walaupun ia sudah 
mengerahkan kepandaiannya dan seratus 
jurus sudah lewat, keadaan masih tetap 
imbang. Diam-diam ia menjadi gelisah, 
karena untuk melukai dengan jarum 
beracun tidak sampai hati. Lalu apa 
yang harus dilakukan menghadapi dua 
gadis ini! 
Untung ia segera ingat perempuan 
jijik kepada binatang melata. Lebih-
lebih sebangsa ular. Teringat itu 
timbullah akalnya. Ia akan mengundang 
ular, dan ia percaya di tempat ini 
banyak binatang itu. 
Mendadak ia melengking nyaring 
sambil melompat jauh ke belakang. Pada 
kesempatan ini ia segera mencabut 
serulingnya, dan segera pula meniup 
serulingnya itu dengan langan kiri. 
Pada mulanya kakak-beradik ini 
heran dan curiga melihat lawannya 
mencabut seruling lalu meniup. Namun 
sesaat kemudian dengan melengking 
nyaring dan marah, Sarindah dan 
Sarwiyah sudah menerjang maju 
berbareng. Sarindah menyerang dari 
arah kiri, sedang Sarwiyah menyerang 
dari arah kanan. Angin yang dingin 
dari pedang segera menyambar ke arah 
Warigagung. 
Warigagung yang sedang meniup 
seruling menggunakan tangan kiri tentu 
saja tak mau melayani serangan 
tersebut dan menggunakan kelincahannya 
menghindar sambil menangkis. 
Trang trang trang  
Tulit.... tulit…..tulit....! 
Benturan senjata pedang terdengar 
berkali-kali dan diselingi suara 
seruling yang nyaring. 
Melihat lawannya hanya selalu 
menangkis sambil meniup serulingnya 
ini, tiba-tiba mereka menjadi curiga. 
Khawatir kalau lawan menggunakan ilmu 
sihir. Maka Sarindah segera mem-
perhebat serangannya, sambil mengan-
jurkan  kepada adiknya untuk berbuat 
sama. 
Wiyah! Hayo lekas kita bunuh 
pemuda liar ini! 
Mari kita berlomba Mbakyu, dia 
sudah tidak dapat membalas serangan 
kita. Tetapi di saat dua orang kakak-
beradik ini memperhebat serangannya, 
tiba-tiba terdengarlah suara berisik 
dari segala jurusan dan terdengar pula 
suara desis panjang yang saling sahut. 
Pada mulanya dua orang gadis ini 
heran. Tetapi setelah suara berisik 
itu menjadi semakin dekat sedang suara 
mendesis semakin nyata terdengar, baik 
Sarindah maupun Sarwiyah menjadi kaget 
dan pucat. Ular yang tidak terhitung 
banyak nya bergerak cepat dari segala 
penjuru. Suara desis tidak pernah 
putus, dan bau anyir bercampur amis 
segera menusuk hidung mereka, 
menyebabkan dua gadis ini mual.