Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 5 - Mencari Ayah Kandung(1)



Pengantar. 
Buku berjudul "Dewi Sritanjung Mencari Ayah kandung" ini 
didahului oleh buku berjudul "Persekutuan Dua Iblis". 
Dalam buku tersebut diceritakan terjadinya usaha 
peracunan yang dilakukan oleh dua orang murid Si Tangan 
Iblis, bernama Kaligis dan Sangkan, dan yang ingin diracun 
tokoh sakti bernama Julung Pujud. Tetapi usaha peracunan 
itu tidak berhasil karena tokoh itu tidak mempan diracun. 
Namun celakanya tuduhan malah kepada gadis cantik 
cucu Si Tangan Iblis sendiri bernama Sarindah. Dan Julung 
Pujud menuntut agar cucu berdosa itu diserahkan 
kepadama untuk diadili. 
Setelah Julung Pujud pergi, Sarwiyah tidak percaya 
apabila yang melakukan peracunan kakak perempuannya. 
Ia menduga tentu orang dalam sendiri, dan perlu dicari. 
Alasan Sarwiyah dapat diterima oleh Si Tangan Iblis, dan 
kakek ini menjadi khawatir kalau Sarindah yang pergi 
sampai bertemu dengan Julung Pujud dan dihukum. Untuk 
itu Si Tangan Iblis bersama Sarwiyah lalu meninggalkan 
rumah, setelah semua murid diperintahkan mencari 
Sarindah, juga Sentiko (cucu laki-laki) yang sudah tiga 
bulan lebih pergi tanpa kabar. 
Kaligis dan Sangkan yang merasa rahasianya tertutup 
karena tuduhan malah kepada Sarindah, gembira. Dalam 
perjalanan mencari Sarindah maupun Sentiko ini, mereka 
bertemu dengan Dewi Sritanjung di sebuah warung. Gadis 
yang cantik, polos, lugu ini bisa ditipu oleh mereka. Di 
dalam hutan Dewi Sritanjung ditangkap oleh mereka 
dengan maksud yang tidak baik. Untung Dewi Sritanjung 

gadis perkasa, hingga Sangkan dan Kaligis dapat 
dikalahkan, tetapi dilepas tanpa disakiti. 
Di saat gadis ini akan melanjutkan perjalanan, ia kaget 
mendengar bentakan perempuan. Dewi Sritanjung lalu 
mengintip, dan melihat Sarindah berhadapan dengan 
Kaligis dan Sangkan. Gadis ini marah kepada dua pemuda 
tersebut, karena merasa difilnah meracun Julung Pujud. 
Padahal yang berbuat malah Kaligis dan Sangkan sendiri. 
Apa yang terjadi dengan Sangkan dan Kaligis, maupun 
Dewi Sritanjung dalam ancaman Si Tangan Ibhs silakan 
Anda mengikuti cerita dalam buku ini. Nama pengarang 
menjadi jaminan!! 
*** 
ewi Sritanjung kaget mendengar bentakan nyaring 
suara perempuan. 
“Hai Sangkan dan Kaligis. Kamu lari ke mana?” 
Dewi Sritanjung heran. Bukankah Kaligis dan Sangkan 
itu, dua pemuda yang baru saja ia kalahkan dan ia usir? 
Sekarang ada perempuan membentak. Agaknya 
perempuan itu seperti dirinya, pernah ditipu oleh dua 
pemuda itu. 
Bagi Dewi Sritanjung apapun peristiwa akan menarik 
perhatiannya. Karena kejadian dan peristiwa yang ia alami 
dan ia saksikan akan memberi pengalaman berharga bagi 
dirinya. Maka ia membatalkan niatnya melanjutkan per-
jalanan ke ibukota Majapahit untuk mencari ayah kandung-
nya, kemudian malah timbullah keinginan tahunya, apa 
yang bakal terjadi antara perempuan itu dengan Kaligis 
dan Sangkan? Maka menggunakan kecepatan larinya 
gadis ini sudah menerobos hutan. Tak lama kemudian ia 
melihat seorang gadis yang wajahnya cukup cantik ber-
hadapan dengan Sangkan dan Kaligis, dan gadis itu 
bertolak pinggang. 
Dewi Sritanjung segera mendekati dengan hati-hati lalu 
menyembunyikan diri di belakang batu besar. 
“Adi Indah….. ahh sungguh kebetulan. Aku dan Kakang 
Kaligis mencari engkau setengah mati ternyata sekarang 
kami malah bertemu di sini.” Sangkan berkata. 
Perempuan muda yang memang Sarindah itu men-
dengus dingin. “Apakah keperluanmu mencari aku?” 
“Atas perintah Guru, kami harus memanggil engkau 
pulang.” 
“Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung 
Pujud?” 
“Ahh.... Adi Indah sudah tahu?”  Sangkan dan Kaligis 
terkejut sekali. 
“Hi hi hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan 
kamu jangan mencoba membela diri dengan cara mencuci 
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu sendiri yang 
sudah sengaja menaruh racun dalam tuak itu?” 
“Tid.... tidak!” Hampir berbareng Kaligis dan Sangkan 
menyangkal, akan tetapi ucapannya tidak lancar. 
“Huh huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu 
tidak dapat menipu diriku. Kamu sudah memberi racun 
pada tuak yang dihidangkan kepada Paman Julung Pujud 
kemudian kamu memfitnah aku, bukan? Pengecut!” 
Sangkan yang lebih licin dan pandai bicara cepat 
membela diri, “Tidak! Sungguh mati aku dan Kakang 
Kaligis tidak melakukan perbuatan itu. Adi Indah, kami 
berani bersumpah. Kami tidak melakukan perbuatan itu.” 
“Kamu keparat huh! Siapakah yang mau percaya 
kepada omonganmu? Tanganmu sudah berlumuran darah! 
Kamu bangsat busuk! Bukankah kamu secara curang 
sudah membunuh Kakang Tanu Pada dan Kakang Kebo 
Pradah?!” 
“Ohh .... ohh..... tidak! Demi Dewata Agung, aku tidak 
melakukannya!” sahut Kaligis cepat, tetapi wajahnya 
berubah pucat. 
“Aku juga tidak!” bantah Sangkan dengan wajah pucat 
pula. “Selama mencari Adi Sentiko, aku belum pernah 
ketemu dengan mereka.” 
Akan tetapi diam-diam dua orang pemuda ini kaget 
seengah mati, mengapa rahasia yang selama ini mereka 
tutup rapat, Sarindah sudah bisa tahu? 
Lalu siapakah yang sudah membocorkan rahasia ini? 
Tetapi kemudian dua orang ini teringat Mahisa Singkir yang 
ketika itu menyaksikan apa yang sudah mereka lakukan, 
membunuh Tanu Pada dan Kebo Pradah. Tentu dialah yang 
sudah membocorkan rahasia ini. 
Teringat kepada Mahisa Singkir, mereka amat menyesal. 
Mengapa ketika itu tidak membunuh mati saja Mahisa 
Singkir seperti yang telah mereka lakukan kepada Tanu 
Pada dan Kebo Pradah? Kalau saja ketika itu membunuh 
Mahisa Singkir tentunya rahasia ini takkan bisa terbuka 
karena tidak ada saksi lagi. 
Akan tetapi semuanya sudah terjadi, sesal kemudian 
tidak ada gunanya lagi. Sekarang orang sudah tahu rahasia 
mereka. Maka apabila dapat mereka akan membela diri 
dengan mulut. Kalau tidak mungkin mereka akan membela 
diri dengan ketajaman pedang. 
“Kamu keparat busuk!” caci Sarindah dengan marah. 
“Baik usahamu meracun itu, maupun pernbunuhan yang 
kamu lakukan terhadap Kakang Tanu Pada maupun Kebo 
Pradah....” 
Sarindah berhenti sejenak, karena sedu sedan naik ke 
kerongkongan. Lalu “......tak mungkin kamu dapat mungkir 
lagi. Tahu? Kamu manusia busuk yang tidak pandai 
membalas budi. Maka sekarang menyerahlah aku tangkap 
agar mendapat pengadilan dari Kakekku. Jika kamu 
melawan, pedang ini akan bicara!” 
“Sring.....” 
Seleret sinar putih memancar dari sebatang pedang, 
tertimpa sinar matahari. Sarindah sekarang sudah tidak 
kuasa menahan kemarahannya lagi berhadapan dengan 
Sangkan dan Kaligis. 
Karena sudah menduga rahasia sudah bocor maka tidak 
ada perlunya lagi berpanjang mulut. Sangkan menatap 
Kaligis. 
“Kakang Kaligis!” Katanya. “Cabut senjatamu. Tidak ada 
gunanya lagi kita membela diri dengan mulut. Hayo, 
rahasia sudah bocor. Mau apa lagi?” 
“Tapi..... tapi....” Kaligis masih ragu dan berusaha men-
cegah. 
Sangkan memotong, “Kakang Kaligis! Kalau rahasia 
sudah bocor, mau apa lagi? Mungkirpun tak ada gunanya 
lagi. Huh, semua ini gara-gara Mahisa Singkir.” 
Sarindah ketawa terkekeh nyaring, dan suara ketawa itu 
bercampur dengan sedu sedan yang naik ke 
kerongkongan, “Kakang Tanu Pada..... Oh, ternyata kau 
sudah dibunuh oleh manusia biadab ini. Hemm, 
saksikanlah hari ini aku akan membalaskan sakit hatimu, 
dan akan aku penggal kepala manusia busuk itu, lalu akan 
kubawa kepada Kakek, sebagai bukti selesainya tugasku!” 
“Trang!”  
“Trang!” 
Terdengar benturan yang nyaring kelika pedang 
Sarindah menyambar dan ditangkis oleh Kaligis maupun 
Sangkan. 
Dewi Sritanjung yang mengintip dari belakang batu men-
jadi berdebar dan hatinya tegang. Ia tidak tahu arti dan 
arah yang mereka bicarakan. Yang dapat ia simpulkan 
hanya sedikit, gadis ini marah karena dua orang pemuda 
ini sudah mencoba meracun orang. Disamping itu juga 
dituduh pula sudah membunuh dua orang. Dalam hati 
gadis ini kemudian timbul pendapat, kalau benar tuduhan 
itu, berarti dua orang pemuda ini memang jahat. Dirinya 
mendapat beban tugas dan kewajiban oleh guru, agar 
selalu ringan tangan membela kebenaran dan keadilan. 
Maka dalam hatinya sudah memutuskan, apabila 
perempuan itu sampai kalah, ia akan turun tangan dan 
menolong. 
Apa yang sudah terjadi, sehingga bertemu dengan 
Sangkan dan Kaligis, Sarindah sudah dapat memastikan    
bahwa percobaan peracunan maupun pembunuhan ter-
hadap Tanu Pada dan Kebo Pradah, semua dilakukan oleh 
Sangkan dan Kaligis? 
Memang ada sebabnya. 
Seperti apa yang sudah di ceritakan di dalam cerita 
berjudul "Kobaran Api Asmara", para murid Si Tangan Iblis 
atau kakek Sarindah mendapat tugas supaya mencari 
Sentiko yang pergi diam-diam. Si Tangan Iblis kawatir, 
karena jelas kepergian Sentiko itu dengan maksud mem-
balas dendam kepada Gajah Mada dan Mpu Nala. Tetapi 
ternyata di antara murid ini ada yang tidak melakukan 
tugas dengan baik, malah mementingkan kepentingan 
pribadi. Murid ini adalah Sangkan dan Kaligis, karena diam-
diam mereka mencintai cucu guru mereka sendiri bernama 
Sarindah dan Sarwiyah. 
Padahal diam-diam, Sarindah dan Sarwiyah sudah terl-
anjur mencintai Tanu Pada dan Kebo Pradah. Dalam usaha 
mendapatkan cinta dari dua gadis ini maka Kaligis dan 
Sangkan secara curang membunuh pemuda tersebut. 
Maksudnya apabila dua orang pemuda itu mati, cintanya 
akan beralih kepada mereka. Pada saat terjadinya pem-
bunuhan atas diri Tanu Pada dan Kebo Pradah di desa 
Sukorejo ini, justru ada seorang saksi hidup, ialah Mahisa 
Singkir. Tetapi pemuda ini diancam akan dibunuh apabila 
berani membocorkan rahasia itu. 
Akibatnya Mahisa Singkir ketakutan. Ia tidak berani 
pulang kepada gurunya, dan malah bermaksud membunuh 
diri. Tetapi usahanya membunuh diri ini gagal dihalangi 
oleh Mpu Anusa Dwipa, yang kemudian malah menjadi 
guru Mahisa Singkir secara tidak resmi. 
Sesudah berhasil membunuh Kebo Pradah dan Tanu 
Pada ini, kemudian mereka menjadi kecewa, karena atas 
persetujuan antara Si Tangan Iblis dan Julung Pujud, maka 
Sarwiyah dipertunangkan dengan Warigagung. Akibat 
kekecewaan ini maka kemudian Kaligis bekerjasama 
dengan Sangkan berusaha meracuni tuak yang dihidang-
kan untuk Julung Pujud. 
Pada saat itu Sarindah sendiri justru kecewa hatinya, 
karena Sarwiyah mau saja dijodohkan dengan Warigagung. 
Akibat kecewa ini maka kemudian Sarindah pergi dengan 
maksud mencari Tanu Pada yang terlambat kembali pulang 
dan melaporkan hasilnya mencari Sentiko. Tetapi justru 
kepergiannya secara diam-diam ini, kemudian menimbul-
kan salah duga, Sarindah dicurigai telah melakukan 
peracunan tuak itu. (Baca cerita berjudul "Persekutuan Dua 
Iblis”, Anda akan tahu lebih jelas duduk perkaranya ). 
Dalam penasaran dan jengkelnya dituduh meracun 
Julung Pujud ini kemudian tanpa kenal lelah Sarindah 
pergi. Kepergiannya itu, disamping mencari kakeknya 
untuk membersihkan diri dari tuduhan, iapun curiga bahwa 
peracunan itu tentu dilakukan oleh Kaligis dan Sangkan. 
Ketika dirinya tiba di desa Nongkojajar, berhentilah 
Sarindah dalam sebuah warung, untuk mengisi perut. Di 
warung ini Sarindah curiga oleh pandang main seorang 
pemuda yang jajan pula di warung itu dan gadis ini menjadi 
gelisah. Untung ia segera tertolong oleh keadaan, karena 
pemuda yang bernama Rudra Sangkala itu kemudian 
terlibat perselisihan dengan Adityawarman. Maka setelah 
perut kenyang dan rasa haus hilang, Sarindah meneruskan 
perjalanan. 
Akan tetapi betapa kaget gadis ini, ketika sedang masuk 
ke dalam kawasan hutan kecil tak jauh dari desa 
Poncokusumo, gadis ini menjerit saking kagetnya. Sebab 
secara tiba-tiba seorang pemuda sudah melompal turun 
dari sebatang dahan pnhon. Dan yang menyebabkan 
Sarindah kaget adalah karena turunnya pemuda tersebut 
justru tepat di depannya, hingga hampir saja dirinya dapat 
dipeluk.  Untung sekali ia masih dapat menghindarkan diri 
kemudian ia berdiri dengan sepasang matanya yang 
memancarkan kemarahan. 
“Kurangajar kau!” Bentaknya. 
Namun kemudian hati gadis ini berdebar dan tegang, 
ketika mengenal kembali pemuda kurang ajar ini bukan 
lain adalah pemuda yang mencurigakan di warung 
kemarin, yang bukan lain adalah Rudra Sangkala. 
Bentakan Sarindah ini disambut dengan ketawa Rudra 
Sangkala yang terkekeh. Lalu sambil mengamati wajah 
jelita Sarindah, mulut pemuda itu cengar-cengir. 
“Siapakah yang kau sebut kurang ajar itu?” tanyanya. 
“Huh, siapa lagi kalau bukan kau. Aku sedang lewat, 
kenapa engkau melompat turun dari pohon tanpa melihat-
lihat dahulu? Huh, apakah jadinya apabila kakimu tadi 
jatuh tepat pada pundakku? Kau manusia tanpa aturan!” 
Rudra Sangkala terkekeh. Lalu. “Tetapi nyatanya toh 
tidak, heh heh heh heh.” 
“Tetapi engkau kurang ajar karena mau memeluk 
orang!” 
“Apakah salahnya? Engkau gadis dan aku jejaka. 
Engkau perempuan cantik dan aku laki-laki. Bukankah itu 
sudah lumrah?” 
Jawaban Rudra Sangkala yang seenaknya sendiri ini 
memancing kemarahan Sarindah. Dasar gadis ini wataknya 
berangasan, maka sudah membantingkan kakinya saking 
gemas, lalu dampratnya,  
“Bangsat kau, mulutmu kotor! Huh, aku tidak sudi bicara 
dengan kau. Minggirlah!” 
Rudra Sangkala menyeringai. Jawabnya seenaknya, 
“Kalau aku tak mau, kau bisa apa?!” 
Seperti meledak dada gadis yang berangasan ini men-
dengar jawaban yang menantang itu. Bentaknya geram. 
“Huh, akan kupukul remuk kepalamu!” 
“Aduh, jangan, heh heh heh heh!” Rudra Sangkala 
malah mengejek. “Jauh-jauh aku menyusulmu, mengapa 
tanggapanmu malah seperti ini, manis. Ahh, Adikku yang 
aku kasihi, tidakkah engkau merasa bagaimanakah 
perasaanku sejak kemarin bertemu di warung itu? Aku 
menjadi jatuh cinta pada saat pandang mata pertama kali. 
Apakah engkau tidak merasa? Ahh, engkau jangan 
menyiksa hatiku Manis, dan tanggapilah cintaku ini. 
Ketahuilah aku tidak enak makan dan tidak enak tidur 
akibat selalu ingat padamu yang jelita. Hayo......” 
“Tutup mulutmu!” bentak Sarindah memotong ucapan 
Rudra Sangkala yang belum selesai. Gadis ini menjadi 
amat muak mendengar ucapan pemuda itu. “Huh, 
sangkamu aku ini perempuan macam apa?” 
“Heh... heh... heh... heh, tentu saja engkau bukanlah 
perempuan palsu. Adik manis, lihatlah aku. Bukankah aku 
seorang pemuda gagah dan ganteng? Hayolah, jangan 
rewel lagi. Kita.....” 
“Makanlah pedang ini!” bentaknya memotong ucapan 
Rudra Sangkala yang belum selesai. 
Gadis berangasan ini, tidak kuat lagi menahan sabarnya, 
ketika ucapan Rudra Sangkala semakin menjadi kurang 
ajar. 
“Ahhh... pedang itu tidak bermata Adikku cantik, engkau 
jangan sembrono! Heh... heh... heh... heh!” Dengan ringan 
dan gesit pemuda ini melompat ke samping, namun mulut-
nya tetap terkekeh dan mengejek. 
Akan tetapi Sarindah yang berwatak berangasan ini, 
sudah tidak peduli lagi. Pedangnya bergerak seperti kilat 
cepatnya menyambar-nyambar menghujani serangan 
kepada pemuda yang dianggap kurangajar itu. Sambaran 
pedangnya demikian mantap dan berbahaya. 
Memang tidak percuma gadis ini sebagai salah seorang 
cucu dan murid Si Tangan Iblis. Sambaran pedangnya 
mantap, gerak pedangnya menggetar, menyebabkan arah 
serangan sulit diduga. Tampaknya menyerang sebelah kiri, 
tetapi sebenamya menyerang sebelah kanan. Tampaknya 
menyerang  bagian atas, tahu-tahu ujung pedang sudah 
menukik turun dan menyerang bagian bawah. Ilmu pedang 
hasil gubahan Si Tangan Iblis ini gerakannya campuran 
antara gerak ilmu tombak dan ilmu pedang memang benar-
benar berbahaya. 
Sebaliknya Rudra Sangkala bukanlah pemuda 
sembarangan. Ia murid seorang wanita sakti Murti Sari, 
yang sudah menganggapnya sebagai anak kandungnya 
sendiri. Maka walaupun sambaran pedang gadis ini seperti 
kilat cepatnya, ia tidak kesulitan menghindarkan diri 
dengan berlompatan. 
“Tring... tring... cring... cring....!” terdengar beberapa kali 
dencingan pedang nyaring oleh sentilan jari tangan Rudra 
Sangkala. Pedang gadis ini menyeleweng dan diam-diam 
gadis yang berangasan ini menjadi kaget juga, ketika ia 
merasakan lengannya tergetar hebat dan panas. Namun 
dalam marahnya, ia terus menghujani serangan-serangan 
berantai yang amat dahsyat. 
“Heh... heh... heh... heh,” Rudra Sangkala terkekeh. 
“Engkau jangan bandel dan keras kepala Adik Manis. 
Percayalah, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu!” 
Tetapi Sarindah terus menghujani serangan berbahaya, 
tanpa membuka mulut. Sebab ia sudah menduga, pemuda 
ini tentu seorang pemuda bejat moral. Pemuda yang suka 
mempemiainkan perempuan, dan seorang pemuda yang 
hanya mengumbar nafsu. Ia sadar akan celakalah dirinya 
apabila sampai jatuh ke tangan pemuda macam ini. Maka 
apapun jadinya, ia harus dapat merobohkan pemuda 
kurangajar ini. 
“Cring... cring... tring... tring....!” sentilah jari tangan 
Rudra Sangkala secara tepat memukul batang pedang, 
hingga pedang Sarindah menyeleweng. Tetapi apa yang 
dilakukan oleh pemuda ini sekarang, bukan hanya sekadar 
menangkis pedang. Sebab sambil menangkis, diam-diam ia 
sudah menyebarkan racun wangi untuk membuat gadis ini 
pening lalu tidak sadarkan diri. Dan dengan demikian ia 
akan dengan gampang dapat menangkap gadis galak yang 
ayu ini. 
Hidung Sarindah tiba-tiba menghirup bau yang wangi. 
Namun karena gadis ini tidak menduga buruk, ia tidak 
menutup pernapasannya. Pedangnya terus menyambar 
dengan dahsyat sedang pemuda itu belompatan ke sana 
dan kemari sambil mengejek dan tertawa. 
Tiba-tiba saja Sarindah merasakan kepalanya ber-
denyutan pening sekali. Pandang matanya menjadi kabur. 
Namun demikian Sarindah masih terus menyerang Rudra 
Sangkala dengan dahsyat Hanya sayang, gerakannya 
sekarang mulai kacau dan ngawur. 
Tring.....! Ahhhhh......! 
Pedang gadis itu sudah terpental terbang, ketika dipukul 
keras oleh Rudra Sangkala dan Sarindah berteriak nyaring 
saking kaget. 
Kemudian sambil ketawa terkekeh gembira Rudra 
Sangkala sudah melompat maju dengan maksud me-
nubruk, menangkap dan memeluk gadis jelita yang me-
narik hatinya itu. 
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring dan angin 
pukulan menyambar dari arah belakang. Tetapi tanpa 
membalikkan tubuh Rudra Sangkala sudah menggerakkan 
tangan kin ke belakang. 
“Plakk..... Aihhh.....!” seruan kaget meluncur dari mulut 
dua-duanya. 
Sebagai akibat benturan tangan tadi, dua-duanya sudah 
terhuyung dan sesaat kemudian mereka sudah melompat, 
lalu berhadapan dengan mata saling mendelik. 
Adapun Sarindah yang sudah terpengaruh oleh racun 
wangi itu tidak kuasa bertahan lagi, gadis ini terhuyung, 
kemudian roboh terguling di tanah dan tidak sadarkan diri 
lagi. 
“Siapa kau!” bentak Rudra Sangkala marah karena 
merasa terganggu. 
“Hemm, tidak ada yang perlu aku sembunyikan. Aku 
Mahisa Singkir. Dan kau, apakah namamu Rudra 
Sangkala?” 
Rudra Sangkala berjingkrak kaget, pemuda yang baru 
datang ini sudah mengenal namanya. Namun sejenak 
kemudian pemuda ini terkekeh. Karena sudah barang 
tentu pemuda yang baru datang ini mengenal namanya. 
Bukankah namanya sekarang menjadi semakin menanjak 
tinggi sesudah ia membuai kegemparan di Mojoduwur, 
membunuh Tumenggung Gora Swara dan membakar desa 
itu ? 
“Heh... heh... heh... heh, engkau sudah mengenal aku?” 
Rudra Sangkala mengejek. “Hayo, lekaslah enyah dari sini, 
sebelum aku marah dan menghajarmu. Apakah sebabnya 
engkau mencampuri urusanku?” 
Hemm. Mahisa Singkir mendengus dingin, “jika engkau 
tidak melakukan kejahatan dan berbuat sewenang-
wenang, tentu saja aku takkan mencampuri urusanmu ini. 
Tetapi dengan perbuatanmu sekarang ini, yang mau 
mencelakakan Mbakyu Sarindah manakah mungkin aku 
dapat berdiam diri?” 
Rudra Sangkala mendelik. Tetapi sejenak kemudian 
segera terkekeh, “Heh heh heh heh, engkau sudah kenal 
dengan gadis ini? Bagus! Engkau akan menjadi 
pembelanya? Bagus! Ha... ha... ha... ha, marilah kita coba!” 
Selesai mengucapkan kata-katanya, dengan gerak yang 
cepat luar biasa. Rudra Sangkala sudah melesat. Jari 
tangannya terbuka seperti cakar garuda. Cengkeramannya 
segera mengancam bagian tubuh Mahisa Singkir yaug 
lemah, bertubi-tubi dan tidak terduga. 
Akan tetapi untunglah, Mahisa Singkir sekarang bukan-
lah Mahisa Singkir beberapa bulan lalu, setelah ia men-
dapat gemblengan dari Mpu Anusa Dwipa. Cengkeraman 
cengkeraman berbahaya dan bertubi-tubi itu tanpa 
kesulitan dapat ia hindari, dan salah satu cengkeraman 
Rudra Sangkala yang mengancam ubun-ubunnya ia tangkis 
dengan tangan kanan. Sedang pukulan tangan kanan 
lawan yang mengarah dadanya, diterima oleh Mahisa 
Singkir dengan tangan dengan gerakan mendorong. 
“Plak........Aihh.....!” 
Tubuh dua orang muda itu masing-masing terhuyung 
mundur beberapa langkah ke belakang. Rudra Sangkala 
kaget setengah mati. Sebaliknya Mahisa Singkir juga men-
jadi kagum. Pikirnya, Ahh benar-benar perkasa bocah ini. 
Maka pantas menjadi begitu sombong dan tidak 
memandang sebelah mata kepadaku. 
Dalam pada itu Rudra Sangkala menjadi penasaran. 
Sambil menggeram keras pemuda ini sudah melompat 
tinggi ke depan. Dua belah tangannya dengan jari terbuka 
sudah melakukan serangan dari atas sedang tangan 
kirinya berusaha mencengkeram ubun-ubun dan tangan 
kanan berusaha menusuk mata. 
Dengan gerak gesit Mahisa Singkir sudah berhasil 
menyelamatkan diri. Kemudian ia membalas dengan 
dorongan menggunakan dua tangan. Rudra Sangkala 
jungkir balik di udara untuk raenghindarkan diri dari 
dorongan lawan yang bertenaga itu. Namun Mahisa Singkir 
tidak mau memberi kesempatan, dan ia sudah melompat 
tinggi dengan maksud memukul lawan di saat lawan 
kurang menjaga diri. Tetapi tahu-tahu kepalanya menjadi 
pening dan pandang matanya menjadi kabur. 
“Dess.......blukk.....!” 
Tubuh Mahisa Singkir terbanting keras di tanah. Muntah 
darah lalu pingsan. Pemuda ini ketika menghirup bau 
wangi tidak curiga, dan ia tidak berusaha menutup 
pernapasannya. Dan sebagai akibatnya ia menjadi korban 
racun wangi Rudra Sangkala. 
“Heh... heh... heh, mana mungkin engkau dapat menang 
melawan aku?” Sesumbar Rudra Sangkala sambil 
terkekeh. “Tetapi huh... engkau sudah mengganggu diriku. 
Engkau sekarang harus mampus. Enyahlah sekarang juga!” 
Sambil berkata, kakinya sudah bergerak untuk 
menendang. “Buk.... Aduh….!”  
Ternyata bukan tubuh Mahisa Singkir yang terpental 
oleh tendangannya, malah dirinya sendiri yang terpental, 
kemudian jatuh terguling. 
Pemuda inipun cepat-cepat melompat dan berdiri. 
Namun celakanya tubuhnya terhuyung-huyung seperti 
orang mabuk. Dan ketika ia dapat berdiri tegak, mata 
pemuda ini terbelalak. Ternyata di samping tubuh Mahisa 
Singkir yang menggeletak pingsan itu sekarang ada 
seorang laki-laki tua yang gendut, memakai jubah putih 
kedodoran dan kepalanya gundul pula. Agaknya 
tendangannya tadi tidak memukul tubuh Mahisa Singkir, 
tetapi malah memukul kakek itu. Pantas saja dirinya 
terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. 
Kakek gendut yang berjubah putih kedodoran itu, 
sekarang sudah meloncat berdiri sambil mengebas-ngebas 
jubahnya yang kotor oleh tanah. 
“Heh... heh... heh... heh, kurangajar kau. Mengapa 
sebabnya ada orang tidur kau tendang?” 
Wajah Rudra Sangkala merah padam, karena merasa 
diejek dan direndahkan. Maka meledaklah kemarahan 
pemuda ini, kemudian “sring....” pedang pusaka Wesi 
Kuning sudah tercabut dari sarung. Sinar kuining 
kemilauan tertimpa oleh sinar matahari. Dan sambil 
mengamangkan pedang pusakanya ini Rudra Sangkala 
sudah membentak. 
“Jahanam tua! Siapa kau berani mencampuri urusanku? 
Hayo, lekas enyahlah sebelum pedang ku ini memancung 
kepalamu!” 
“Heh... heh... heh... heh, anak muda, mengapa engkau 
bermain-main dengan pedang itu?” tegur Mpu Anusa 
Dwipa guru Mahisa Singkir yang baru. “Sarungkanlah 
pedangmu dan kemudian pergilah. Apakah kesalahan 
muridku, hingga engkau membuat dia pingsan seperti ini? 
Huh, kau terlalu sembrono. Bukankah engkau meng-
gunakan semacam racun yang baunya wangi? Hai, apakah 
hubunganmu dengan Murti Sari?” 
Kalau saja Rudra Sangkala mau berpikir dan tidak 
takabur, seharusnya ia sadar bahwa orang tua gendut ini 
amat luas pengetahuan dan pengalaman. Ini membuktikan 
seorang sakti mandraguna, dan seharusnya ia tahu diri dan 
lekas pergi sambil minta maaf. Tetapi sayang sekali ia 
terlalu membanggakan diri dan membanggakan nama 
besar gurunya. Dan ia malah menduga, apabila kakek ini 
tahu dirinya murid tunggal dan anak angkat Murti Sari, 
kakek gendut ini tentu ketakutan, lalu lari terkencing-
kencing. 
“Huh, kau ingin tahu siapa aku?”   sahut Rudra Sangkala 
dengan nadanya yang amat merendahkan. “Aku adalah 
anak angkat dan murid tunggal Murti Sari. Dan sekarang 
kau tak lekas pergi apakah minta kuhajar babak belur?” 
Mendengar jawaban Rudra Sangkala yang sombong dan 
ketus ini Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis kurang 
senang. Kemudian katanya, “Hemm, gurumu sesat 
engkaupun ikut menjadi sesat. Sayang .... engkau masih 
muda, tetapi sepak terjangmu sudah sewenang-wenang. 
Anak, ingatlah engkau akan hari depanmu sendiri.” 
“Aku tidak butuh obrolanmu!” bentak Rudra Sangkala 
semakin marah. “Sekali lagi aku peringatkan. Lekaslah 
engkau enyah dari sini, dan bawa pergi pula muridmu yang 
memuakkan itu. Salahnya sendiri muridmu lancang 
mengganggu kesenanganku. Pergi. Pergi! Dan aku akan 
memadu kasih dengan perempuan cantik ini!” 
“Hemm, bocah! Engkau jangan meneruskan niatmu 
yang sesat itu!” 
“Cerewet!” bentak pemuda ini. “Terimalah pedangku!” 
Sambil mengucapkan ancaman ini, Rudra Sangkala 
sudah menerjang maju dan pedangnya menyambar ke 
depan menikam ke arah dada. Akan tetapi sebelum tiba 
pada sasarannya, gerak pedang itu sudah berubah meng-
geletar ke kiri, lalu menyabat leher. 
“Plakk.....dess......Aduhh.....!” Rudra Sangkala mengeluh 
dan terhuyung ke belakang. 
Gerakan Rudra Sangkala memang cepat. Tetapi gerak 
tangan Mpu Anusa Dwipa lebih cepat lagi. Tangan kanan 
telah menampar batang pedang sehingga pedang itu ter-
pental lalu jatuh ke tanah. Belum hilang rasa kagetnya, 
tubuhnya sudah terpental dan terhuyung-huyung oleh 
pukulan tangan kiri lawan. 
Masih untung pemuda ini berhadapan dengan Mpu 
Anusa Dwipa, seorang kakek berhati emas. Pukulan kakek 
tersebut tidak menyebabkan terluka, hanya menyebabkan 
dadanya sesak saja. Tetapi sekalipun demikian pemuda ini 
sekarang menjadi sadar diri. Kakek gendut ini jelas sakti 
mandraguna dan bukanlah tandingannya. Sebagai seorang 
yang licik dan cerdik, ia takkan menjadi nekad apabila 
tidak ingin celaka. 
Ia sadar dirinya tidak boleh nekad. Karena nekad sama 
artinya membunuh diri. Tetapi sekalipun demikian sebelum 
melangkah pergi, ia berkata ketus, “Lumrah saja engkau 
menang melawan aku. Tetapi huh, kemudian hari jika 
engkau berhadapan dengan Guruku, tahu rasa!” 
Mpu Anusa Dwipa tidak menyahut, dan hanya sepasang 
matanya saja memandang kepergian Rudra Sangkala. Ia 
menghela napas terharu, merasa kasihan kepada pemuda 
sesat itu. Sebab pemuda itu tidak bersalah, maka kakek ini 
tidak benci kepada pemuda itu. Sebab bagi dirinya, rasa 

benci itu adalah salah satu bentuk dari kekecewaan dan 
kekecewaan bukan lain adalah bentuk dari perwujudan 
dari "si aku" yang selalu menghendaki terpenuhinya 
keinginan. 
Sesudah bayangan Rudra Sangkala tidak nampak lagi, 
kakek gendut ini segera mengambil butiran ohat dari 
tempat simpanannya. Sebutir obat dimasukkan ke dalam 
mulut Mahisa Singkir, dan sedikit air dituangkan ke dalam 
mulut Mahisa Singkir. Sesudah itu ia berbuat sama untuk 
Sarindah. Lalu tanpa mengucapkan sesuatu kakek gendut 
ini sudah pergi dan membiarkan Mahisa Singkir dan 
Sarindah menggeletak di tanah. 
Tak lama kemudian Mahisa Singkir sudah bergerak dan 
membuka matanya. Pemuda ini mula-mula heran men-
dapatkan dirinya menggeletak di tanah. Tetapi sesudah 
otaknya kembali bekerja, ia segera ingat apa yang sudah 
terjadi. Rasa pening sudah hilang dan pandang matanya 
juga sudah pulih kembali, la meloncat bangkit, tetapi lawan 
yang tadi menyebabkan dirinya roboh pingsan sudah tidak 
tampak lagi. Di sekitar tempat ini sudah sepi. 
Namun ketika ia melihat Sarindah masih belum ber-
gerak dan menggeletak, Mahisa Singkir terjingkrak. Ia 
cepat menghampiri. Tetapi belum juga pemuda ini sempat 
menyentuh tubuh Sarindah, gadis inipun sudah bergerak 
pula. 
Melihat pemuda tadi sudah pergi, dirinya tahu-tahu pulih 
kembali seperti sedia kala, dan Sarindah pun sekarang 
sudah sadar, maka pemuda ini segera pula sadar apa yang 
terjadi. Ia percaya, Mpu Anusa Dwipa sudah muncul pada 
saat yang tepat, sehingga dapat mengusir pemuda itu dan 
menolong dirinya maupun Sarindah. 
Diam-diam Mahisa Singkir geleng-geleng kepala, apabila 
teringat sepak terjang kakek gendut itu. Selama beberapa 
bulan ini dirinya digembleng penuh kasih dan mencapai 
kemajuan pesat. Namun demikian Mpu Anusa Dwipa tetap 
saja tidak mau disebut sebagai guru, Kakek gendut itu 
selalu saja memberi alasan, dirinya bukanlah guru. Mpu 
Anusa Dwipa selalu mengatakan, secara kebetulan dirinya 
mempunyai ilmu yang perlu dipelajari Mahisa Singkir, dan 
diajarkannya. Maka hubungan antara Mahisa Singkir 
dengan Mpu Anusa Dwipa selama ini seperti dua orang 
sahabat saja. 
Akan tetapi betapa kaget Mahisa Singkir, ketika tiba-tiba 
Sarindah sudah menodongkan pedang mengancam dada. 
Maka pemuda ini pucat disamping heran. 
“Mbakyu Indah, apa-apaan ini?” tanya Mahisa Singkir 
sambil memandang gadis itu. 
Diam diam pemuda ini khawatir sekali, melihat wajah 
yang marah dan sepasang mata yang mengeluarkan sinar 
api. 
“Engkau jahanam Mahisa Singkir!” bentak Sarindah. 
“Apa saja yang sudah engkau lakukan terhadap diriku. 
Huh, apakah sebabnya tahu-tahu aku sudah menggeletak 
di tanah dan pakaianku menjadi kotor seperti ini?” 
Gadis berangasan ini sudah tentu salah duga. Karena 
dirinya menggeletak di tanah dan melihat Mahisa Singkir 
berdiri tak jauh dari tempatnya terbaring, lalu menduga 
buruk. Gadis ini cepat menduga, Mahisa Singkir sudah 
melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap dirinya. 
Untung sekali Mahisa Singkir tidak menjadi gugup oleh 
todongan ujung pedang yang tajam itu. Dan dalam pada 
itu, pemuda ini pun sudah dapat menduga, tentang 
sebabnya Sarindah berbuat seperti ini. 
“Mbakyu, mau bunuh boleh bunuh, tetapi dengarkan 
dahulu keteranganku. Sebelum aku datang di sini, lebih 
dahulu engkau berhadapan dengan siapa? Bukankah 
engkau tadi berkelahi dengan seorang laki-laki?” 
Mendengar ucapan Mahisa Singkir ini, semula Sarindah 
mengerutkan alis. Namun kemudian lengannya gemetar 
dan pedangnya runtuh di tanah, kemudian gadis ini 
menjatuhkan diri dan menangis sesenggukan. 
Melihat ini Mahisa Singkir menjadi semakin heran dan 
tidak mengerti. Apa-apaan ini? Tadi begitu bangun sudah 
marah dan menodong dirinya. Sekarang setelah diberi 
penjelasan, tahu-tahu sudah menangis. 
Mahisa Singkir terharu, lalu bertanya. “Mbakyu, apakah 
sebabnya kau menangis?” 
“Hu... hu... huk.... huuuuu.... memang nasibku amat 
buruk.” Sarindah meratap di tengah tangisnya. “Aku.... aku 
sekarang sudah ternoda.... oh.... aku tentu sudah bukan 
gadis suci lagi.... oleh perbuatan manusia terkutuk tadi. 
Oh… lebih baik aku bunuh diri saja.....” 
Tiba-tiba tangan Sarindah menyambar pedangnya guna 
memenggal lehernya sendiri. Untung Mahisa Singkir 
waspada, secepat kilat tangannya menyambar pergelangan 
tangan Sarindah lalu memencet. 
A”duhh,  jahanam kau Mahisa Singkir!” cacinya. 
“Sabarlah Mbakyu,” hibur Mahisa Singkir. “Bertindak 
tanpa pikir hanya akan merugikau diri sendiri. Maka.....” 
“Jangan cerewet! bentak Sarindah. Keparat kau! 
Gampang saja orang buka mulut, tetapi aku... hu hu 
huuuu.....aku sudah tidak berharga lagi sesudah......hu hu 
huuuuu.....” 
“Apakah dugaanmu itu sudah benar?” tanya pemuda ini. 
“Sebaiknya Mbakyu memeriksa diri sendiri lebih dahulu. 
Ada perubahan ataukah tidak? Kalau tidak, jelas dugaan 
Mbakyu hanya ngawur belaka. Dan sebaliknya apabila itu 
memang benar terjadi, bukan engkau saja yang mati. 
Hemm, sebelum engkau bunuh diri, bunuhlah aku lebih 
dahulu.” 
Gadis ini matanya terbelalak, memandang Mahisa 
Singkir. Tetapi mendadak tangisnya berhenti. Ia mengusap 
air matanya yang membasahi pipi. 
“Ahh, Mahisa Singkir, engkau benar. Hemm, biarlah aku 
sekarang mencari tem pat untuk memeriksa diriku sendiri, 
tetapi janganlah engkau berani pergi dari sini dan 
mengintip. Jika engkau berani melanggar perintahku ini, 
hemm, jangan sesalkan aku kalau tanganku sampai hati 
membunuhmu. Mengerti?” 
“Mengerti. Mbakyu,” sahut Mahisa Singkir sungguh-
sungguh. 
Akan tetapi diam-diam hatinya kurang senang juga, akan 
sikap Sarindah yang selalu mau menang sendiri ini. Untung 
ia sudah mengenal watak gadis ini, maka sekalipun  tidak 
senang, ia dapat memaklumi. 
Sarindah sudah melompat dan berlarian mencari tempat 
bersembunyi. 
Mahisa Singkir duduk di tanah sambil me-undukkan 
kepala memandang ke bawah. Dan sambil menunggu 
kembalinya Sarindah ini, lalu terbayang kembali peristiwa 
beberapa bulan lalu. Peristiwa yang menyedihkan dan 
menyebabkan dirinya tidak berani lagi pulang ke Tosari. 
Dan sekarang secara tidak terduga, ia bertemu dengan 
Sarindah. 
Kemudian timbul keinginannya untuk membeberkan 
semua peristiwa itu kepada Sarindah. Maksudnya agar 
Sarindah mengetahui peristiwa yang sebenarnya, 
kemudian dapat memberi laporan kepada kakeknya. 
Tak lama kemudian sudah terdengar suara ketawa 
Sarindah. Mendengar ini Mahisa Singkir mengangkat 
kepalanya lalu memandang gadis itu yang sekang 
melangkah bcrgontai. Sekarang gadis itu sudah tidak 
tampak lagi bekas menangis, dan bayangan rasa sesal dan 
kekecewaan juga sudah tak berbekas lagi. Wajah gadis itu 
sekarang berseri, cantik dan sudah berganti pakaian pula. 
Diam-diam Mahisa Singkir kagum pula akan kecantikan 
Sarindah ini. Kendati galak gadis ini mempunyai daya tarik 
tersendiri. Wajahnya ayu dan tubuh padat berisi. 
Masih agak jauh gadis itu sudah berkata. “Adi Singkir, 
ah..... maafkanlah kekasaranku tadi. Ahh......ternyata kau 
benar.” 
“Benar bagaimana?” 
“Hi hi hik….benar ya benar. Mengapa sebabnya kau 
masih bertanya? Dan sekarang, di manakah pemuda 
bangsat tadi? Hemm, aku ingin menghajar dia dengan 
pedangku.” 
Sambil berkata Sarindah menebarkan pandang matanya 
ke sekeliling. 
“Mbakyu, duduklah! Aku akan memberi keterangan 
penting!” 
Tetapi gadis ini tidak juga duduk dan masih menyelidik 
dengan pandang matanya. 
“Engkau tadi tentu sudah mengalahkan pemuda 
bangsat itu. Tetapi mengapa engkau biarkan pergi?!” 
tegurnya. 
“Mbakyu, aku sendiri juga roboh dalam usahaku 
membela kau. Lihatlah, pakaianku juga kotor.” 
“Hi... hi... hik, mengapa aku ini berubah menjadi tolol? 
Kalau aku saja kalah, manakah mungkin engkau bisa 
menang melawan bangsat itu?” ujarnya dengan bangga, 
karena dalam ilmu kesaktian gadis ini merasa lebih tinggi 
tingkatannya. 
Mahisa Singkir mengangguk. Ia tidak tersinggung oleh 
ucapan Sarindah. Dan ia juga tidak ingin membocorkan 
apa yang sudah diperoleh dari Mpu Anusa Dwipa. Bukan 
hanya kepada Sarindah, tetapi juga kepada Si Tangan Iblis 
maupun saudara seperguruannya yang lain. 
“Mbakyu benar. Aku tadi hanya dalam dua gebrakan 
saja sudah roboh.” 
“Tetapi.... apakah sebabnya engkau selamat dan aku 
juga selamat?” 
“Oh.... memang ada sebabnya, Mbakyu. Begini, di saat 
aku tadi akan roboh pingsan, aku melihat berkelebatnya 
bayangan seorang kakek gendut. Kakek itu menangkis 
pukulan pemuda bangsat itu yang diarahkan kepadaku. 
Hemm, tentu kakek itu pula yang sudah mengusir dia.” 
“Siapakah dia?” 
“Mana aku tahu?” 
Sarindah menghela napas. Diam-diam ia bersyukur 
dapat terhindar dari malapetaka yang mengerikan. Namun 
setelah bahaya lewat, ia segera ingat kembali sebabnya 
pergi dari Tosari. Karena itu ia kemudian mengangkat 
kepalanya dan memandang Mahisa Singkir penuh selidik. 
“Adi Singkir. Mana Kakang Tanu Pada dan Kebo 
Pradah?” 
“Marilah kita mencari tempat yang enak dan semuanya 
akan aku ceritakan.” 
Mahisa Singkir bangkit lalu menuju tempat di bawah 
pohon gayam yang rindang, kemudian duduk di akar 
pohon. Sarindah pun duduk di atas akar pohon 
berhadapan dengan Mahisa Singkir. 
Akan tetapi gadis yang tidak sabaran ini cepat 
mendesak. “Lekas katakanlah. Hemm, engkau jangan 
dusta dan mengarang cerita. Engkau akan tahu sendiri 
upah yang bakal kau terima jika berani bohong.” 
Mahisa Singkir menghela napas panjang, terkenang 
kembali akan peristiwa yang menyedihkan itu. Diam-diam 
ia amat menyesal mengapa Sangkan dan Kaligis sampai 
hati berbuat seperti itu terhadap saudara seperguruan 
sendiri. 
Setelah ia berhasil menekan perasaan, kemudian ia 
menceritakan peristiwa pembunuhan itu. Namun karena 
dalam dadanya berkecamuk perasaan tidak keruan. maka 
dalam bercerita ini tidak lancar. 
“Apa? Kakang Tanu Pada…” 
Mahisa Singkir mengangguk. 
Tiba-tiba saja Sarindah sudah menutup wajahnya 
dengan telapak tangan, lalu menangis sesenggukan. Tentu 
saja! Sulit diiukiskan betapa perasaan gadis ini saat 
sekarang, mendengar pemuda yang sudah meucuri hatinya 
dan selama ini ia cari karena rindu, sudah mati dibunuh 
oleh Kaligis dan Sangkan. 
“Mbakyu, engkau jangan menangis,” hibur Mahisa 
Singkir. “Betapa sedih hatiku ketika itu, tidak dapat 
kugambarkan. Timbul hasratku untuk membalas dendam 
dan sakit hati Kakang Tanu Pada maupun Kakang Kebo 
Pradah. Tetapi manakah mungkin aku bisa menang 
melawan dua orang itu?” 
Mendadak Sarindah melepaskan telapak tangannya. 
Sedang air mata gadis ini masih membasahi pipi yang 
montok Namun ketika gadis ini memhuka mulut, Mahisa 
Singkir kaget setengah mati. 
“Pengecut.....! Engkau pengecut! Mengapakah sebabnya 
engkau tidak berani membela orang tak bersalah? Mati 
membela kebenaran lebih berharga dibanding mati 
sebagai pengecut. Tahu?” 
Mahisa Singkir menghela napas panjang. Kemudian, 
“Mbakyu, engkau memang tidak salah apabila menuduh 
diriku sebagai pengecut! Tetapi sebaliknya aku mempunyai 
pendirian, kalau aku mengorbankan diri, kemudian aku 
mati, akan merugikan kita dan menyebabkan rahasia ini 
tidak mungkin bisa dibongkar.” 
Mahisa Singkir berhenti mengambil napas. Lalu, 
“Mengapa demikian? Karena satu-satunya orang yang 
dapat diajukau sebagai saksi tentang pembunuhan itu ikut 
mati pula Mbakyu, terserah penilaianmu. Namun yang jelas 
sekarang terbukti aku yang benar, karena masih ada 
gunanya aku ini hidup. Sekarang aku dapat bertemu 
dengan Mbakyu, hingga kemudian hari dosa dan 
kesalahan dua orang itu masih dapat diusut dan dihukum 
sesuai kesalahannya.” 
“Tetapi apakah sebabnya engkau tidak segera pulang 
dan memberi laporan kepada Kakek?” 
“Ketika itu aku tidak berani mengambil risiko, Mbakyu. 
Mereka mengancam akan membunuh aku jika berani 
pulang ke Tosari. Mengingat itu maka aku memilih 
gelandangan sambil menunggu kesempatan.” 
Mahisa Singkir tidak berani berterus lerang, dirinya 
berguru kepada Mpu Anusa Dwipa. 
“Huh... huh, bangsat busuk Kaligis dan Sangkan!” desis 
Sarindah geram. “Akan datang saatnya aku membunuh 
dua murid durhaka itu. Hemm, pantas yang lain sudah 
pulang, tetapi Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah dan 
juga kau sendiri tidak pulang. Hemm, tahukah engkau. 
Ananto juga mati dibunuh oleh dua bedebah itu?” 
Mahisa Singkir berjingkrak saking kaget. “Benarkah 
itu?” 
“Mengapa tidak betul? Sangkan dan Kaligis bertugas 
bersama Ananto. Tetapi mereka pulang tanpa Ananto dan 
lapor kepada Kakek, bocah itu mati tergelincir masuk 
jurang. Manakah mungkin? Siapa dapat percaya? Huh, 
dosa dua orang itu bertumpuk. Merekapun sampai hati 
memfitnah diriku.” 
“Memfitnah apa?” 
“Memfitnah diriku meracun tamu. Akibatnya Kakek 
marah sekali dan akan membunuh aku.” 
“Ahhh....!” Mahisa Singkir berjingkrak kaget. “Mengapa 
bisa begitu?” 
“Hemm, itu bisa terjadi karena waktu itu aku sedang 
pergi. Begini, aku gelisah memikirkan Kakang Tanu Pada 
yang belum juga pulang, dan maksudku akan 
menyongsong. Nah, disaat aku pergi itulah dua bangsat itu 
meracun tamu, kemudian memfitnah diriku. Aku tidak 
sabar lagi, lalu pergi mencari bangsat itu. Dan kau, hayo 
sekarang ikut aku sebagai saksi.” 
“Ahhh.... Mbakyu....” Mahisa Singkir kaget berbareng 
bingung. “Kiranya... tidak baik apabila aku menyertai 
engkau pergi mencari dua orang itu. Aku.... aku takut....” 
Gadis ini sekarang terkekeh. “Hi hi hik, mengapa takut? 
Toh ada aku yang akan melindungi keselamatanmu dari 
ancaman mereka.” 
Mahisa Singkir menggelengkan kepala, “Tidak Mbakyu. 
Aku mohon jangan memaksa aku dalam masalah ini. 
Mbakyu, kasihanilah diriku ini dan biarkanlah aku pulang 
ke Tosari saja, melapor kepada Guru. Dengan demikian 
engkau terbebas dari tuduhan itu dan agar guru tahu pula 
tentang pengkhianatan dua orang itu”. 
Sarindah memandang Mahisa Singkir dengan mata 
mendelik. Gadis ini tidak senang perintahnya dibantah 
orang. Namun sejenak kemudian dia menghela napas dan 
kemudian berkata, “Hemm, baiklah jika demikian. Lapor-
kanlah juga kepada Kakek, aku takkan pulang sebelum 
dapat menyeret dua orang murid durhaka itu.” 
“Nah, itu lebih bagus”, puji Mahisa Singkir dengan lega. 
“Biarlah Guru sendiri yang akan menjatuhkan hukuman 
kepada mereka itu.” 
“Baiklah. Kita sekarang berpisah dan sampai ketemu!” 
Itulah yang terjadi. Dan itu pula sebabnya Sarindah 
dapat membongkar rahasia pembunuhan atas diri Tanu 
Pada dan Kebo Pradah, bersumber keterangan Mahisa 
Singkir. 
erkelahian yang terjadi antara Sangkan dan Kaligis 
yang mengeroyok Sarindah seru sekali. Perkelahian 
antara hidup dan mati, karena Sarindah ingin 
membalas dendam atas kematian pemuda yang ia cintai. 
Sedang di pihak Kaligis dan Sangkan, berusaha membela 
nyawa dari ancaman maut. 
Berkali-kali terdengar dencing pedang yang berbenturan. 
Mereka menggunakan ilmu dari satu sumber, baik 
menyerang maupun bertahan. Bedanya gerak Sarindah 
lebih cepat dan mantap dibanding dua orang pemuda itu, 
sedang ilmunya juga setingkat lebih tinggi. 
Akan tetapi karena menghadapi keroyokan dua orang, 
maka sulitlah bagi Sarindah untuk dapat mengalahkan 
dalam waktu singkat. Sebaliknya kalau satu lawan satu, 
tentu Sarindah bisa menang dengan gampang. 
Menghadapi kesulitan ini, Sarindah menjadi penasaran. 
Gadis ini tambah sesalnya, mengapa Mahisa Singkir tidak 
mau bersama dirinya. Kalau saja Mahisa Singkir ada, tentu 
takkan kesulitan seperti ini. 
Saking penasaran mulut Sarindah melengking nyaring 
sambil menerjang dengan pedangnya. Sambaran 
pedangnya cepat sekali kearah mata, leher dan dada 
Kaligis. Sedangkan tangan kiri membantu dengan 
cengkeraman ke arah pundak. Akan tetapi gerakan itu 
kemudian terpaksa ia ubah, pedang ia tarik dan ia 
sabatkan ke belakang untuk menghalau sambaran pedang 
Sangkan. 
“Trang!  
Kaligis terhuyung mundur dengan lengan bergetar. 
Akan tetapi manakah dua pemuda ini mau mengalah 
dan mundur? Secepat kilat dua pemuda ini menerjang lagi 
dari kiri dan kanan. Lalu terjadi lagi perkelahian sengit. 
Dewi Sritanjung yang menonton sambil bersembunyi ini 
hatinya tegang. Sebenarnya ia ingin muncul lalu membantu 
gadis yang belum ia kenal itu, agar secepatnya dapat 
mengalahkan dan menangkap dua orang berdosa itu. 
Namun Dewi Sritanjung ingat kembali pesan kakeknya. 
Membantu orang yang belum kalah, bisa menimbulkan 
akibat salah paham. Dan salah-salah bisa dianggap meng-
hina atau merendahkan orang. Yang akibatnya bermaksud 
mendapat sahabat malah berbalik mendapat musuh. 
Karena itu ia tahankan hatinya, terus bersembunyi sambil 
menonton perkelahian sengit itu. 
Mendadak Dewi Sritanjung kaget dan jantungnya ber-
debar keras ketika mendengar bentakan menggeledek.  
“Berhenti! Apakah sebabnya kamu berkelahi?!” 
Suara bentakan itu menyebabkan wajah Sarindah 
berseri. Ia kenal suara kakeknya, dan diam-diam ia men-
duga, lengkingannya yang tidak sengaja tadi telah meng-
undang kakeknya. 
Sarindah melompat mundur dan membalikkan tubuh, 
kemudian tampaklah kakeknya dan Sarwiyah. 
Hadirnya Si Tangan Iblis ini menyebabkan Kaligis dan 
Sangkan kaget setengah mati. Pada saat masih ada 
kesempatan mengapa tidak lari? Maka mereka sudah 
melompat dan pergi menyelamatkan diri. 
“Berhenti!” bentak Si Tangan Iblis. 
Tetapi mereka bukannya berhenti, malah semakin 
mempercepat lannya Sarindah menjadi amat penasaran 
dan mengejar. Namun tahu-tahu berkelebatlah bayangan 
kakeknya yang mendahului. Saking takutnya, mereka 
membalikkan tubuh sambil menyerang. 
“Cring.... cring....” dua batang pedang itu terpental 
terbang oleh sentilan jari tangan Si Tangan Iblis. Sebelum 
Sangkan dan Kaligis dapat berbuat sesuatu dua orang ini 
sudah roboh terduduk dan wajah mereka pucat. 
Sarindah yang penasaran sudah menyerbu sambil 
membentak. “Hu... huu, mampuslah kamu!” 
“Cring...!” pedang Sarindah tertangkis oleh sentilan Si 
Tangan Iblis dan menyeleweng. 
Pedang gadis ini memang tidak lepas dari tangan, 
namun demikian ia merasakan lengannya sakit seperti 
lumpuh mendadak. 
Sarindah menjadi tidak senang dan protes, “Kakek! 
Mengapa sebabnya engkau melarang aku membunuh 
murid durhaka ini? Semua yang terjadi adalah gara-gara 
perbuatan mereka ini. Mereka bukan saja meracun Kakek 
Julung Pujud, tetapi mereka jugalah yang membunuh 
Kakang Tanu Pada maupun Kebo Pradah... hu... hu... 
huuuu.” 
Ia memang tidak kuasa menahan perasaannya lagi dan 
menangis setelah menyebut nama Tanu Pada maupun 
Kebo Pradah. 
“Apa? Tanu Pada dan Kebo Pradah terbunuh?” Si 
Tangan Iblis kaget dan setengah tidak percaya. 
Sarwiyah cepat menghampiri Mbakyunya, lalu men-
desak, “Mbakyu, benarkah itu? Lalu siapakah pelakunya?” 
Sarindah melompat dan menggerakkan pedangnya 
untuk menikam Sangkan. Tetapi dengan tangkas Si Tangan 
Iblis sudah menangkis dengan jari telunjuk dan jari tengah, 
untuk menjepit batang pedang kemudian mendorong. 
Sebagai akibatnya gadis ini terhuyung ke belakang dan 
pedangnya lepas. 
Setelah dapat berdiri tegak lagi, Sarindah mendelik dan 
membentak, “Engkau mau mungkir ya? Kamu sudah 
membunuh Kakang Tanu Pada dan Kebo Pradah.....” 
“Ahhh….!” Sarwiyah menjerit dan wajahnya pucat 
Sekarang ia baru menyadari, Kebo Pradah yang ia cintai itu 
terbunuh mati. 
Sangkan dan Kaligis tidak membuka mulut. 
“Kamu membunuh mereka di pinggir Desa Sukorejo. 
Kamu masih mau mungkir?” Sarindah meneruskan 
tuduhannya. 
“Tidak! Aku tidak pernah melakukan itu!” bantah 
Sangkan dengan mantap dalam usaha membela diri. 
“Huh, kamu jangan coha-coba mungkir!” geram 
Sarindah yang tambah penasaran.  
Tangan dan kakinya gemetar ingin sekali memukul 
remuk kepala dua orang pemuda itu, dan kakinya juga 
ingin menendang. “Kamu membunuh dua orang saudara 
seperguruanmu sendiri, di saat ditugaskan oleh Kakek, 
mencari Sentiko.” 
Sangkan tetap menggelengkan kepala dan tetap 
mungkir. “Tidak. Aku tidak berbuat!” 
Dengan wajah pucat Kaligis memandang Sangkan, 
karena mendengar keterangan Sangkan yang mengatakan 
Aku tidak berbuat. Tiba-tiba saja dalam hatinya timbul rasa 
khawatir, apabila Sangkan akan menimpakan seluruh 
kesalahan pada dirinya. 
Pemuda ini sudah akan membuka mulut dan protes, 
tetapi sudah didahului oleh bentakan Sarindah, “Bangsat 
kau! Mahisa Singkir sudah menceritakan semuanya, dan 
mungkirpun tak ada gunanya. Hayo, sekarang apakah 
masih tetap mungkir?” 
Di sebut nama Mahisa Singkir makin menjadi 
khawatirlah Kaligis, apabila Sangkan yang licik itu 
menimpakan seluruh kesalahan kepada dirinya. Karena 
khawatir tanpa pikir panjang lagi Kaligis sudah menegur. 
“Adi Sangkan, engkau ini bagaimana? Kalau Mahisa 
Singkir sudah membuka rahasia, mungkirpun tak ada 
gunanya lagi. Apakah engkau lupa bahwa waktu itu engkau 
malah membujuk aku, supaya bekerja sama membunuh 
Tanu Pada dan Kebo Pradah? 
Sangkan marah sekali dan mendelik dan dalam hati 
mengumpat caci. “Tolol! Goblog! Aku membela diri dan 
mungkir, ternyata engkau malah mencari mampus. Karena 
gara-garamu, aku bakal celaka di tangan guru. Huh, aku 
belum ingin mati. Engkau sendirilah yang harus mampus.” 
Tiba-tiba Sangkan terkekeh, “Heh... heh... heh... heh, 
mengapakah sebabnya engkau menjadi pengecut seperti 
itu, Kakang Kaligis. Huh, engkau mau menyeret aku yang 
bersalah? Engkau sendiri yang sudah melakukan 
pembunuhan, mengapa orang tidak bersalah engkau 
libatkan? Hemm, sayang sekali Adi Mahisa Singkir tidak 
ada di sini. Kalau hadir, dia akan dapat kujadikan saksi, 
engkaulah yang membunuh saudara seperguruan sendiri!” 
“Sangkan!” teriak Kaligis yang kaget berbareng 
penasaran. “Engkau bilang apa? Semua adalah gara-
garamu. Malah Adi Ananto yang tergelincir ke jurang pun, 
engkau sendiri yang melakukannya....” 
“Plakk..... Aihhh.....!” 
Sarindah terhuyung, ketika kakinya yang dipergunakan 
menendang Sangkan ditangkis kaki kakeknya. Hingga 
Sarindah memekik tertahan dan meringis menahan sakit. 
“Indah, mundurlah,” bentak kakeknya. “Biarkan 
kakekmu sendiri yang mengurus soal ini. Yang salah harus 
dihukum, tetapi tidak di sini dan harus di rumah, sambil 
mendengar keterangan Mahisa Singkir sebagai saksi satu-
satunya. “Indah, engkau harus mengerti persoalan ini 
merupakan urusan rumah tangga perguruan. Karena itu 
orang luar tidak boleh mendengar dan mengerti.” 
Bentakan kakeknya ini menyebabkan Sarindah takut 
lalu mundur. Sedang Si Tangan Iblis lalu memandang ke 
arah batu besar lalu meneruskan bentakannya, “Hai! Siapa 
yang bersembunyi di belakang batu dan mendengarkan 
urusan kami? Hayo cepatlah keluar sebelum aku terpaksa 
memaksamu!” 
Dewi Sritanjung kaget setengah mati mendengar 
bentakan yang ditujukan kepada dirinya itu. Diam-diam 
gadis ini heran sekali. Sudah lama dirinya bersembunyi di 
belakang batu ini dan tidak terlihat oleh siapapun. Tetapi 
setelah kakek ini datang, tahu-tahu dirinya sudah dibentak 
dan disuruh muncul. 
Sarindah dan Sarwiyah saling pandang keheranan. 
Mereka tidak melihat seorangpun. Tetapi mengapa kakek-
nya menyuruh orang keluar dari tempat persembunyian? 
Karena kurang percaya, dua gadis ini sudah melompat ke 
arah batu besar dalam usaha membuktikan. Tetapi pada 
saat itu justru Dewi Sritanjung sudah melompat dari balik 
batu. 
“Aihhh….!” hampir berbareng Sarindah dan Sarwiyah 
berseru tertahan. 
Sebaliknya Dewi Sritanjung yang berdiri dengan tenang 
ini, menyebabkan Sarindah penasaran dan menjadi marah 
Bentaknya, “Siapa engkau, berani mencuri dengar orang 
bicara?” 
Dewi Sritanjung tidak senang dibentak seperti ini dan 
mengerutkan alis. Dalam dada gadis ini timbul pula rasa 
penasaran. Kehadirannya di tempat ini bukan lain siap 
menolong gadis ini sendiri kalau terancam bahaya. Tetapi 
mengapa sekarang gadis ini tahu-tahu malah bersikap 
galak kepada dirinya? 
Sebagai gadis yang baru saja terjun ke dunia 
masyarakat, tentu saja menjadi tersinggung dan tidak 
senang. Beginikah sikap orang kepada dirinya yang tidak 
bersalah? Sebagai seorang gadis yang belum mengenal 
tata hidup dan tata kesopanan masyarakat, tentu saja 
kurang dapat menguasai sikap dan bahasa dalam 
menjawab pertanyaan orang. 
Gadis ini hanya merasa dirinya tidak bersalah, maka 
jawabnya angkuh, “Huh, siapa yang melarang aku berada 
di belakang batu itu? Aku sudah lebih dahulu di belakang 
batu itu dibanding kalian semua. Dan aku juga tidak 
mempunyai kepentingan dengan apa yang sekarang kamu 
bicarakan. Apakah gunanya aku harus mencuri dengar 
pembicaraanmu? Huh, entah urusanmu penting atau tidak, 
pendeknya aku tidak membutuhkan!” 
Celakanya Dewi Sritanjung sekarang ini berhadapan 
dengan Sarindah, seorang gadis berangasan. Jawaban 
yang angkuh ini menyebabkan Sarindah tambah 
penasaran. 
“Kurangajar engkau!” bentaknya. “Kurangajar kau! 
Orang sudah bersalah tidak mau minta maaf, malah 
lagaknya angkuh. Tahukah engkau, siapa kami?” 
Dewi Sritanjung dengan sikap yang polos menggeleng. 
“Tak tahu! Engkau keliru, jika mengatakan aku bersalah. 
Aku sudah lebih dahulu datang di sini dan kamu datang 
belakangan, dan kemudian membuat keributan di sini. 
Hemm, engkau yang mengganggu aku di saat istirahat, 
mestinya malah engkaulah yang minta maaf  kepadaku 
dan bukan aku.” 
Melihat munculnya Dewi Sritanjung ini, Kaligis dan 
Sangkan kaget sekali. Namun di balik itu tiba saja Sangkan 
memperoleh pikiran bagus dan ingin membalas dendam. Ia 
akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Rasa 
penasaran dan dengki kepada gadis itu campur aduk 
dalam dadanya. Sebab gadis itu yang membuat dirinya 
tergila-gila, yang semula dikira gadis lemah, ternyata malah 
menyebabkan dirinya malu. 
‘Jangan percaya omongan siluman perempuan itu, Adi 
Indah!” teriaknya lantang. “Dia datang di sini dan mencuri 
dengan pembicaraan kita, tentu mengandung maksud 
tidak baik. Buktinya, siluman perempuan itu tadi sudah 
berusaha membujuk Kakang Kaligis, supaya bersedia 
membocorkan rahasia perguruan. Dan ketika aku dan 
Kakang Kaligis menolak, dia marah lalu menggunakan 
kekerasan. Sudah tentu kami tak sampai hati berhadapan 
dengan perempuan. Kami mengalah dan memilih 
melarikan diri. Lalu secara tidak terduga bertemu dengan 
engkau di sini!” 
Dewi Sritanjung mendelik marah mendengar ucapan 
orang yang memutarbalikkan kenyataan itu. Teriaknya. 
“Keparat kau! Huh, kau jangan mengumbar mulut 
sembarangan. Siapa yang butuh rahasia perguruanmu?” 
“Huh, kamu manusia tidak tahu malu, siapa yang tadi lari 
terbirit-birit setelah kalah berkelahi melawan aku? 
Berdirilah sekarang! Keroyoklah! Mana aku takut 
menghadapi kamu dua orang bangsat itu?” 
Mendengar ucapan gadis berbaju biru muda ini. Si 
Tangan Iblis memandang dengan mata berapi tanda 
marah. Gadis ini demikian sombong dan di depannya 
berani menantang dua orang muridnya agar mengeroyok. 
Manakah ada seorang guru tidak merasa terhina oleh 
ucapan orang lain yang demikian takabur? Sebab 
menantang muridnya sama pula menantang gurunya. 
Dalam marahnya Si Tangan Iblis menjadi lupa 
kedudukannya sebagai seorang kakek. 
“Bocah! Siapakah kau!” bentaknva tiba-tiba. 
Karena pengalamannya yang tadi hampir celaka di 
tangan Sangkan dan Kaligis, sekarang gadis ini hati-hati. 
Huh, apakah gunanya nama ku perkenalkan? Sekalipun 
engkau mengerti, juga tidak ada gunanya. 
Baik Si Tangan Iblis, Sarindah maupun Sarwiyah marah 
kepada gadis ini dan mereka menganggap terlalu angkuh 
dan sombong. Tetapi sebelum Sarindah sempat mem-
bentak, telah didahului oleh teriakan Sangkan. 
“Guru! Perempuan itu mempunyai hubungan dekat 
dengan Gajah Mada!” 
Si Tangan Iblis membalikkan tubuh dan memandang 
Sangkan. Bentaknya. “Apa?” 
“Guru! Manakah murid berani berdusta kepada guru? Di 
Nganjuk, dia mengatakan mau pergi ke Majapahit, dan 
untuk bertemu dengan Gajah Mada. Itulah sebabnya murid 
bersama Kakang Kaligis tadi berusaha menangkap dia. 
Tetapi.....murid......gagal....” 
“Apakah sebabnya gagal?” desak Sarindah. “Karena.... 
sekalipun sudah mengeroyok dua…tetap saja kalah.....” 
“Huh ... murid memalukan!” Sarindah penasaran. “Kek, 
kalau benar gadis ini mempunyai hubungan dekat dengan 
Gajah Mada, biarkanlah aku yang menangkap. Siapa tahu, 
Kek, gadis ini dapat kita jadikan sandera sehubungan 
dengan cita-cita kita?” 
“Baiklah Indah, tetapi kau harus berhati-hati.” 
Sulit dilukiskan betapa kaget dan gentar hati Dewi 
Sritanjung saat ini. Diam-diam ia menyesal, mengapa diri-
nya begitu sembrono, sehingga dirinya berhadapan dengan 
bahaya? 
Di samping ia menyesal akan kelancangannya, dalam 
hati gadis ini juga timbul rasa heran. Mengapa sebabnva 
Mahapatih Gajah Mada dimusuhi oleh guru dan murid ini? 
Kalau demikian apakah Mahapatih Gajah Mada seorang 
jahat, sehingga dimusuhi banyak orang? 
Sebagai seorang gadis yang masih hijau dalam per-
gaulan dan sama sekali belum mempunyai pengetahuan 
akan faedahnya membohong dan menipu orang guna 
menyelamatkan diri dan membela kepentingannya, maka 
gadis ini jawabannya lugu. 
“Huh, huh, kamu ini manusia-manusia macam apa? 
Begitu bertemu dengan orang sudah memusuhi aku. Kalau 
benar aku mempunyai hubungan dengan Mahapatih Gajah 
Mada, apakah salahnya?” 
“Kami akan membunuh engkau,” bentak Sarindah yang 
berangasan. 
Sambil membentak, Sarindah sudah menerjang ke 
depan, menggerakkan dua tangannya. Tangan kanan 
dengan jari telunjuk, sedangkan jari lain ditekuk untuk 
menusuk mata orang dan untuk tangan kiri dengan jari ter-
buka membentuk cakar garuda mencengkeram ulu hati. 
Akan tetapi serangan tersebut sebelum sampai ke 
sasaran sudah berubah. Sekarang menjadi pukulan ke 
dada, sedang tangan kiri menyusul mencengkeram ke arah 
kepala. Gerakan gadis ini cukup cepat. Namun Dewi 
Sritanjung tidak menjadi gentar. Ia menggeser kaki 
setengah lingkaran dan kaki kanan mundur dengan 
setengah langkah. Lalu disusul tangannya bergerak seperti 
kilat memukul pundak lawan. 
Untung Sarindah waspada, menarik tangan yang kanan 
guna menangkis.  
“Plaaakkk.....Aih.....!” 
Sarindah berseru tertahan, ketika tangannya ber-
benturan. Bukan saja tubuhnya terdorong sehingga ter-
huyung, tetapi juga merasakan lengannya panas dan 
kesemutan. 
Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi 
orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi 
kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak 
terduga dan tahu-tahu.... “Bukkk....!” 
“Aduhhh....!” 
Sarindah sudah tertendang pantatnya sekalipun sudah 
berusaha menghindar dan menangkis. Sarindah menjerit 
kesakitan, lalu terhuyung-huyung hampir roboh. Dewi 
Sritanjung sudah menyerbu dengan maksud untuk 
secepatnya dapat mengalahkan lawan. 
“Plakk....!” Pukulannya sudah tertangkis. 
Namun Sarwiyah yang menolong mbakyunya dengan 
menangkis pukulan Dewi Sritanjung itu meringis kesakitan 
dan terhuyung mundur.  
“Bagus! Kamu mau mengeroyok?” desisnya. 
Kemudian tubuhnya sudah berkelebat seperti kilat 
menyambar, menghujani serangan kepada dua gadis itu. 
Angin yang halus keluar dari telapak tangannya 
menyambar-nyambar ke arah lawan, menyebabkan 
Sarindah dan Sarwiyah gelagapan kaget, karena dada 
mereka seperti ditindih batu berat. 
Si Tangan Iblis yang memperhatikan heran bukan main. 
“Murid siapakah bocah ini? Masih amat muda, tetapi 
sungguh luar biasa.” Kalau dua orang cucunya yang sudah 
mempunyai ilmu lebih tinggi dari saudara-saudara seper-
guruannya saja kesulitan melawan, apalagi Sangkan dan 
Kaligis. Kakek ini mengamati penuh perhatian. Ia ingin 
mengenal ciri-ciri gerakan gadis itu, sehingga dengan tepat 
akan dapat menebak, siapakah guru gadis ini ? 
Akan tetapi Si Tangan Iblis semakin tambah keheranan. 
Telah lama ia mengamati gerakan gadis ini, belum juga 
dapat meraba asal usul ilmu gadis ini. Gerakannya cepat 
bukan main disamping setiap gerakannya berisi tenaga 
kilat yang tidak tampak. 
Dewi Sritanjung menjadi penasaran merasa dimusuhi 
orang. Ia cepat menerjang ke depan tanpa memberi 
kesempatan lawan bernapas. Gerakannya cepat tidak 
terduga dan tahu-tahu.... “bukkk....! 
Makin lama kakek ini menjadi tambah heran. Ia sudah 
mendidik cucunya sejak masih kecil dengan gemblengan 
keras. Tetapi mengapa dalam hal kecepatan bergerak 
maupun tenaga, dua cucunya masih belum dapat 
memadai? Ia menjadi penasaran. Namun perasaan itu 
masih ditahan dalam dada. Kalau ternyata dua orang 
cucunya tidak mampu mengalahkan dan menangkap gadis 
itu, barulah ia mempunyai alasan kuat untuk bertindak 
sendiri. 
*** 
erkelahian satu lawan dua ini makin lama menjadi 
semakin sengit. Lebih-lebih Sarindah dan Sarwiyah 
didorong oleh rasa penasaran, menyebabkan kakak 
beradik ini mengerahkan seluruh kepandaian yang mereka 
miliki. Serangannya ganas dan menyambar-nyambar, 
pukulannya bertubi-tubi mengarah bagian tubuh lawan 
yang mematikan. Akan tetapi yang menggemaskan, semua 
serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Bagi kakak 
beradik ini gerakan Dewi Sritanjung teramat cepat di 
samping aneh, sehingga tidak berhasil menyentuh ujung 
bajunya.  
Dewi Sritanjung melawan keroyokan ini dengan hati 
mantap dan tanpa rasa gentar sedikit pun. Makin lama 
berkelahi, peredaran darah dalam tubuhnya makin tambah 
lancar, dan hawa sakti dalam tubuh menyebar sendiri 
tanpa ia gerakkan, dan gerakannya menjadi semakin luwes 
dan berbahaya, di samping juga tidak merasakan lelah. 
Gadis ini masih tetap dalam keadaan segar, scbaliknya 
Sarindah dan Sarwiyah dadanya sesak hampir kehabisan 
napas, peluh sudah membanjir membasahi tubuh. 
Sarindah yang berangasan menjadi tidak telaten lagi. 
“Wiyah! teriaknya. Mari kita gunakan pedang!” 
“Sring! Sring...!” Dua leret sinar putih sudah menyambar 
tubuh lawan. 
Tetapi Dewi Sritanjung menghindari serangan ini dengan 
mantap, sekalipun masih tetap bertangan kosong. Untung 
sekali gadis ini ketika berhadapan dengan Kaligis dan 
Sangkan, ia amat memperhatikan gerak serangan lawan. 
Maka sedikit banyak ia sudah mengenal ilmu pedang 
lawan. 
Namun diam-diam timbul pula rasa heran dalam hati 
gadis ini. Ternyata walaupun gerakannya serupa tetapi 
lawan ini gerakannya lebih cepat dan lebih bertenaga. 
Sekalipun demikian gadis ini dapat menghadapi serangan 
bertubi-tubi tanpa kesulitan.  Ilmu  tangan  kosong yang 
bernama “Sindung Riwut” ternyata menolong dirinya dari 
ancaman bahaya. 
Dewi Sritanjung tidak sadar sama sekali, bukan hanya 
ilmu ajaran gurunya saja yang menolong dirinya. Gadis ini 
tidak sadar, bahwa di samping ilmu tangan kosong ini 
merupakan kesaktian tingkat tinggi, juga air susu harimau 
yang menghidupi dirinya ketika bayi itu amat besar 
pengaruhnya bagi dirinya. Air susu harimau yang memberi 
hidup pada saat dirinya masih bayi, pengaruhnya 
mempunyai tubuh yang kuat luar biasa. 
“Cring! Cring....! sentilan jari tangannya menyebabkan 
dua pedang itu terpental dan menyeleweng. Kemudian 
disusul oleh gerak tangan dan kaki menyerang, 
menyebabkan dua gadis itu meloncat untuk meng-
hindarkan diri dari serangan, sambil meringis karena 
lengannya bergetar hebat. 
Sarindah tambah penasaran, lawannya belum juga 
mencabut pedang, Teriaknya, “Cabutlah senjatamu! 
Apakah engkau memang ingin mampus?” 
“Tangan dan kakiku masih sanggup menghadapi engkau 
berdua,” sahut Dewi Sritanjung dingin.