Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 6 - Tersiksa Seperti di Neraka(1)



Pengantar  
Dewi Sritanjung melakukan per-
jalanan dalam usaha mencari ayah 
kandung. Di perjalanan bertemu dengan 
dua pemuda bernama Kaligis dan 
Sangkan, lalu terbujuk untuk pergi 
bersama. Di dalam hutan, gadis ini 
ditangkap oleh dua pemuda itu. Untung 
ia berkepandaian tinggi hingga usaha 
itu gagal, dan malah dapat mengusir 
Sangkan dan Kaligis lari terbirit-
birit. 

Tetapi perhatian Dewi Sritanjung 
segera tertarik oleh datangnya gadis 
cantik yang menghadang Kaligis dan 
Sangkan. Gadis ini adalah Sarindah, 
cucu tua Si Tangan Iblis. Dewi 
Sritanjung sembunyi di belakang batu 
besar dan siap menolong Sarindah 
apabila gadis itu sampai kalah. Ia 
rela apabila gadis itu celaka di 
tangan Kaligis maupun Sangkan. 
Celakanya, kepandaian Sarindah 
hampir seimbang dengan dua pemuda itu. 
Maka akibatnya, gadis ini tidak lekas 
dapat menundukkan Sangkan maupun 
Kaligis. 
Untung sekali Si Tangan Iblis dan 
Sarwiyah segera muncul dan menolong. 
Hingga kesulitan Sarindah teratasi. 
Namun segera terjadi salah paham 
antara si Tangan Iblis dengan Dewi 
Sritanjung, setelah mendengar 
keterangan mempunyai hubungan erat 
dengan Gajah Mada. Maka si Tangan 
Iblis ingin menangkap, tetapi Dewi 
Sritanjung melawan. Terjadi perkela-
hian dan hampir saja gadis ini celaka 
kalau Gajah Mada tidak segera muncul 
dan menolong. 
Dalam perkelahian secara ksatrya, 
satu lawan satu ini, pada akhirnya si 
Tangan Iblis kalah dan mati. Sesudah 
itu Dewi Sritanjung lalu mengikuti 
Gajah Mada menuju Ibukota Majapahit 
guna dipertemukan dengan ayah kan-
dungnya. 
Pada kesempatan ini Surya Lelana 
yang sudah sejak lama tertarik oleh 
kejelitaan Dewi Sritanjung tidak dapat 
menguasai perasaan dan menyatakan 
cintanya, dan tidak ditolak oleh Dewi 
Sritanjung. 
Nah, untuk seterusnya ikutilah 
cerita “Tersiksa Seperti di Neraka” 
ini. 
11  
Dewi Sritanjung dipersilakan 
masuk lebih dahulu ketika pintu kereta 
dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedi-
kitpun gadis ini masuk, lalu duduk 
pada bak bagian belakang. 
Namun ketika Surya Lelana sudah 
masuk, pemuda ini cepat memberitahu, 
“Diajeng, kita harus duduk di sini. 
Kita berjajar, sebab bak belakang 
untuk tempat duduk Rama.” 
“Idih! Kau ini bagaimana?” sahut 
Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan 
mata yang indah itu mengerling. 
“Bukankah alasanmu ini, karena engkau 
bermaksud agar engkau dapat duduk 
berdampingan dengan aku?” 
Sekalipun berkata demikian, 
sebenarnya gadis ini merasa senang 
sekali apabila dapat duduk berdam-
pingan dengan Surya Lelana. Entah apa 
sebabnya, rasanya bahagia sekali. 
Surya Lelana menyambut gadis ini 
dengan ketawa lirih. Lalu, “Diajeng, 
aku memang berkata sejujurnya. Memang 
pada bagian belakang itu merupakan 
tempat duduk kebesaran bagi Rama dalam 
kedudukannya sebagai Mahapatih 
Majapahit. Sedang engkau dan aku harus 
duduk di sini, dan....” 
Dewi Sritanjung yang sudah duduk 
di samping Surya Lelana menatap wajah 
pemuda ini sambil bertanya, “Dan 
apa...?” 
Surya Lelana tidak cepat 
menjawab. Bibirnya tersenyum dan 
matanya menatap wajah ayu itu. 
Yang dipandang menjadi berdebar 
dan malu, tapi dalam dadanya terasa 
amat bahagia. 
“Apakah engkau tidak marah dengan 
kejadian waktu itu? Ketika aku mau 
pergi dan minta diri dari kau 
sambil..... mencium...?” 
Pipi gadis ini berubah merah 
mendengar pertanyaan itu. Untuk 
sejenak gadis ini menundukkan muka. 
Setelah diangkat lagi, kepalanya 
menggeleng. 
“Tidak, Surya. Tidak ada rasa 
marah dalam hatiku,” jawabnya polos. 
“Apakah sebabnya engkau tidak 
marah?” 
Gadis ini tergagap mendengar per-
tanyaan ini. Sesungguhnya ia ingin 
sekali mengatakan, dirinya tak tahu 
mengapa sebabnya tidak marah atas 
perlakuan Surya Lelana itu, dan 
sungguh aneh pula dirinya malah selalu 
terkenang pengalaman itu. 
Dewi Sritanjung menggelengkan 
kepalanya, jawabnya lirih, “Aku tidak 
tahu....” 
Jantung Surya Lelana berdebar 
mendengar jawaban gadis yang singkat 
ini. Kalau demikian halnya, apakah 
jawaban ini merupakan tanda, gadis 
inipun mengimbangi perasaan hatinya? 
Ia sudah terlanjur tercuri hatinya 
oleh gadis ini. Gadis sederhana, 
tetapi memiliki kecantikan luar biasa, 
kecantikan yang alami. 
Dengan agak ragu Surya Lelana 
bergerak. Pemuda ini ingin menjajagi 
bagaimanakah sikap Dewi Sritanjung. 
Maka jari tangannya lalu meraba jari 
tangan Dewi Sritanjung yang kecil, 
runcing dan halus itu. Jari tangan itu 
untuk beberapa saat lamanya ia usap-
usap dan ia permainkan. Setelah 
melihat gadis ini diam saja, gera-
kannya mulai berani dan merembet naik 
ke lengan. Lalu sambil mengusap-usap 
lengan itu, Surya Lelana berkata 
halus, “Diajeng, apakah engkau takkan 
marah apabila mendengar perkataanku?” 
“Engkau mau berkata apa?” sahut 
Dewi Sritanjung sambil menundukkan 
kepala, karena usapan tangan Surya 
Lelana  itu kuasa membuat jantungnya 
berdebar tegang. “Dan mengapa pula aku 
harus marah?” 
“Diajeng, tahukah engkau bahwa 
sejak pertemuanku denganmu yang 
pertama kali, aku sudah jatuh cinta 
kepadamu?” 
Dewi Sritanjung berjingkrak men-
dengar istilah asing yang diucapkan 
oleh pemuda tampan di sampingnya ini. 
Tetapi justru kata-kata asing ini, 
sebenarnya sudah lama tersimpan dalam 
dadanya dan selalu berharap agar Surya 
Lelana mengucapkan kata-kata itu. 
Akan tetapi sekarang, anehnya, 
setelah mendengar ucapan dari mulut 
Surya Lelana yang mencintai dirinya, 
mulut Dewi Sritanjung malah seperti 
terkunci dan tidak bisa menjawab, 
sekali pun dalam dadanya bergolak 
perasaan yang mendesak agar segera 
memberi jawaban. Gadis ini hanya bisa 
menundukkan muka, dadanya turun naik. 
“Diajeng Tanjung,” bisik Surya 
Lelana halus, sedang jari tangannya 
dengan lancang sudah mengangkat dagu 
Dewi Sritanjung yang halus dan kuning 
itu, “Bagaimana? Engkau terimakah 
perasaan cintaku ini?” 
Dewi Sritanjung belum juga men-
jawab, sekalipun hatinya amat ingin. 
Namun sekalipun gadis ini belum 
menjawab, Surya Lelana sudah cukup 
maklum bahwa gadis ini mengimbangi 
perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung 
tidak berusaha melepaskan jari tangan 
Surya Lelana yang memegang dagu. 
Tahu-tahu Surya Lelana sudah 
memeluk, lalu mencium mulut Dewi 
Sritanjung. Untuk sejenak gadis ini 
gelagapan, namun kemudian sudah 
mendorong pundak Surya Lelana 
perlahan. 
“Surya, ya... agaknya aku pun 
mempunyai perasaan yang sama...,” 
jawabnya. 
“Mengapa masih menggunakan 
istilah agaknya, Diajeng? Apakah 
engkau masih meragukan cinta kasihku?” 
“Surya, hal ini bisa kita bica-
rakan setelah aku bertemu dengan orang 
tuaku. Kemudian orang tuamu bisa 
bicara dengan orang tuaku. Hemm, 
sudahlah.... Guru datang....” 
Dewi Sritanjung mengubah letak 
duduknya, menggeser pantat ke seberang 
kanan menyentuh dinding kereta. Surya 
Lelana tahu diri bergeser pada bagian 
lain. 
Pintu kereta terbuka. Gajah Mada 
masuk sambil tersenyum. Katanya halus, 
“Aku senang sekali kalian rukun. 
Marilah kita sekarang pulang. Aku 
sudah menyuruh orang untuk memanggil 
orang tuamu, Tanjung.” 
Gajah Mada duduk pada bak 
belakang. Pintu kereta ditutupkan 
kembali oleh sais kereta dari luar. 
Dewi Sritanjung hanya bisa me-
ngangguk. Gadis ini jantungnya 
berdebar penuh perasaan gembira, tak 
lama lagi akan dapat berhadapan dengan 
orang tuanya, yang sudah belasan tahun 
lamanya belum pernah ia lihat wajahnya 
dan belum pernah ia kenal. 
Akan tetapi sesungguhnya disam-
ping jantungnya berdebaran oleh 
pengaruh bakal bertemu dengan orang 
tuanya, gadis ini juga  berdebar oleh 
perlakuan Surya Lelana tadi yang 
lancang memberi ciuman. Ia khawatir 
apabila apa yang dilakukan itu 
diketahui Gajah Mada. Sebab, ternyata 
begitu masuk tokoh itu mengatakan 
gembira mereka berdua begitu rukun. 
Tak lama kemudian roda kereta 
sudah bergerak oleh tarikan kuda yang 
dicambuk sais. Selama hidupnya baru 
kali ini Dewi Sritanjung merasakan 
naik kereta. Tubuhnya terguncang-
guncang oleh lari kuda yang cepat. 
Bagi Dewi Sritanjung, naik kereta 
seperti ini nyaman juga, sekalipun 
lambat, apabila dibandingkan dirinya 
naik di punggung harimau. 
Dewi Sritanjung menggunakan jari 
tangannya untuk membuka tirai yang 
menutup lubang kereta. Ia memandang 
keluar, kemudian terpikat oleh 
pemandangan baru yang belum pernah ia 
saksikan. Sepanjang jalan yang dilalui 
banyak berdiri rumah besar dan megah. 
Orang yang lalu lalang semakin banyak. 
Di samping juga banyak orang 
menjajakan dagangan sambil berteriak. 
Tiba-tiba perhatiannya terganggu 
oleh pertanyaan Gajah Mada. 
“Tanjung, mengapa sebabnya gurumu 
tidak menyertai engkau kemari?” 
“Apakah Paman belum membaca surat 
dari Kakek?” Sritanjung berbalik 
bertanya. 
Gajah Mada tersenyum. Lalu, 
“Memang sudah, Anakku. Tetapi Kakang 
Tunjung Biru tidak menyinggung keadaan 
pribadi gurumu. Beliau hanya membe-
ritahu, engkau adalah murid tunggal. 
Engkau merupakan pewaris Kiageng 
Tunjung Biru. Karena itu engkau 
mempunyai hak menggunakan pedang pu-
saka Tunggul Wulung.” 
“Kakek tidak bicara tentang 
siapakah orang tuaku?” 
“Bicara, Anakku, dan kau tak 
perlu khawatir. Tak lama lagi engkau 
akan dapat bertemu dengan orang tuamu. 
Anakku, engkau sungguh beruntung 
sebagai pewaris kakak seperguruanku. 
Bukan saja engkau merupakan pewaris 
ilmu satu-satunya, engkau juga mempe-
roleh hak mewarisi senjata pusakanya.” 
Dewi Sritanjung tersenyum bangga. 
Lalu, “Paman, kalau tidak salah Guru 
pernah mengatakan pedang pusaka 
Tunggul Wulung itu mempunyai saudara 
kembar, bernama Tunggul Naga. Dan 
menurut Kakek, Pamanlah yang memiliki 
pedang Tunggul Naga itu. Benarkah?” 
“Itu benar, Anakku. Akan tetapi 
karena aku kurang membutuhkan pedang 
pusaka itu, maka aku pinjamkan kepada 
Gusti Adityawarman.” 
Mendengar pedang pusaka dipin-
jamkan kepada orang lain, sesungguhnya 
Dewi Sritanjung kurang senang. Tetapi 
ia tidak membuka mulut dan mencela. 
“Tanjung, engkau belum menjawab 
pertanyaanku. Mengapa engkau tidak 
datang bersama gurumu?” 
Surya Lelana yang sejak tadi 
berdiam diri menyambut, “Ya! Mengapa 
Uwa Guru tidak datang bersama kau? 
Alangkah senang hatiku apabila Uwa 
Guru bersedia datang ke Majapahit. 
Apalagi kalau membawa serta harimau 
yang jinak itu.” 
Dewi Sritanjung menghela napas 
pendek. Lalu, “Ya, keputusan Kakek itu 
sebenarnya menyebabkan hati murid 
kurang sreg (puas). Akan tetapi Kakek 
tidak mau meninggalkan pondoknya. 
Ketika murid mengatakan tidak ingin 
pergi dan ingin menunggui dan melayani 
kebutuhannya, Kakek malah marah. Murid 
kurang tahu alasan Kakek sebenarnya, 
mengapa tidak bersedia meninggalkan 
tempat yang sepi itu.” 
Gajah Mada menghela napas. 
Sesungguhnya ia amat mengharapkan 
kakak seperguruannya itu datang ke 
Majapahit. Sebab, walaupun sudah tua, 
bantuan pikiran kakak seperguruannya 
itu amat ia butuhkan, sehubungan 
dengan jabatan yang ia pangku. 
Sudah menjadi cita-citanya untuk 
membangun Majapahit ke puncak 
kejayaan. Dan cita-citanya itu baru 
akan terwujud dan terlaksana apabila 
Majapahit menggunakan kekuatan 
angkatan perang untuk menyerbu ke 
wilayah dan menaklukkan penguasanya. 
Walaupun jumlah prajurit tidak 
terhitung banyaknya, jumlah tersebut 
tak akan ada artinya apabila 
kekurangan pemimpin yang sakti 
mandraguna. Namun apa harus dikata, 
agaknya Kiageng Tunjung Biru memang 
sudah tidak mau lagi mencampuri urusan 
duniawi dan apalagi urusan peme-
rintahan. 
“Sungguh sayang,” desisnya. 
“Tetapi ahh, sudahlah. Agaknya memang 
harus demikianlah garis yang telah 
ditentukan Yang Maha Tinggi. Manusia 
bisa berusaha, tetapi ketentuan di 
tangan Dia.” 
Untuk sejenak dalam kereta itu 
tidak ada suara. Tetapi kemudian Dewi 
Sritanjung bertanya, “Paman, bolehkah 
murid bertanya?” 
Gajah Mada memandang gadis itu 
sambil tersenyum. Jawabnya, “Mengapa 
tidak? Bertanyalah apa saja yang 
engkau butuhkan. Jika aku dapat 
menjawab, semua pertanyaanmu akan 
kujawab.” 
“Guru banyak memberi nasihat 
padaku, agar murid menggunakan ilmu 
kesaktian untuk membela rakyat dan 
memberantas kejahatan. Menurut peni-
laian murid, kakek yang bernama si 
Tangan Iblis itu jahat. Bukan saja 
berusaha menangkap murid, setelah 
diketahui mempunyai hubungan dengan 
Paman, tetapi di samping itu juga 
berusaha merebut pedang pusaka Tunggul 
Wulung. Akan tetapi mengapa pada saat 
orang itu sudah tidak berdaya dan 
minta dibunuh, Paman tidak sedia 
membunuhnya? Paman, apakah sikap ini 
sudah benar?” 
Gajah Mada mengangguk-anggukkan 
kepala mendengar pertanyaan ini. 
Setelah batuk-batuk kecil, jawabnya, 
“Ya, pertanyaanmu ini penting sekali 
artinya. Dharma seorang gagah, seorang 
ksatrya, harus mendekatkan diri dengan 
perbuatan yang menguntungkan rakyat 
banyak. Sebaliknya, jauhkanlah dirimu 
dari nafsu dan kepentingan pribadi. 
Pendeknya, dalam melaksanakan tugas 
dan dharma baktimu, harus sepi dari 
pamrih untuk diri sendiri. Semua 
ditujukan untuk kesejahteraan 
manusia.” 
Ia berhenti sejenak, dan sejenak 
kemudian meneruskan, “Tetapi engkau 
harus selalu ingat, pembunuhan 
bukanlah jalan terbaik untuk mencapai 
tujuan masyarakat yang sejahtera. 
Sebab kekerasan dan tangan besi takkan 
memberi kesadaran kepada mereka yang 
sedang gelap jiwanya. Maka berikanlah 
kasih dan petunjuk, dan beri pula 
kesempatan untuk memperbaiki diri, 
untuk kembali ke jalan benar.” 
Gajah Mada berhenti lagi sambil 
mencari kesan. Ketika melihat Dewi 
Sritanjung maupun Surya Lelana berdiam 
diri, ia meneruskan, “Betapa untung 
yang akan kau peroleh apabila orang 
yang semula tersesat itu kemudian 
menjadi sadar. Mereka akan menjadi 
pembantu yang setia. Mereka akan 
menjadi tenaga sukarela dalam usaha 
kita mencapai masyarakat sejahtera dan 
kerta raharja. Sebaliknya Anakku, 
apabila main bunuh dengan alasan 
memberantas kejahatan, akan mende-
katkan diri dengan bahaya. Dengan 
alasan apapun juga, pembunuhan 
terhadap sesama manusia adalah tidak 
baik. Lupakah engkau bahwa orang yang 
terbunuh itu mempunyai anak, cucu, 
saudara dan sanak keluarga? Betapa 
sakit hati keluarga yang terbunuh itu, 
yang kemudian hari akan menimbulkan 
rasa benci dan dendam. Seterusnya akan 
terjadi balas-membalas yang tidak ada 
akhirnya, yang semua itu hanyalah akan 
merugikan manusia sendiri.” 
Dewi Sritanjung maupun Surya 
Lelana masih berdiam diri, dan Gajah 
Mada memandang mereka mencari kesan. 
Karena dua orang muda itu tidak 
membuka mulut, ia meneruskan, “Dalam 
pada itu sudah merupakan kesopanan dan 
jiwa ksatrya, yang pantang melakukan 
perbuatan apa pun terhadap lawan yang 
sudah tidak bisa melawan, tidak 
berdaya atau sudah terluka. Itulah 
sebabnya aku tadi mengatakan, tidak 
pada tempatnya mengganggu Taruno.” 
“Tetapi Paman...,” ujar Dewi 
Sritanjung, “orang seperti si Tangan 
Iblis itu jelas tidak bisa diharapkan 
kembali ke jalan benar. Buktinya 
walaupun Paman bersikap bijaksana, 
orang itu malah membuka mulut semau 
sendiri dan mengancam kepada Paman.” 
Gajah Mada ketawa lirih. Lalu, 
“Bisa dimengerti apabila dia membuka 
mulut seperti itu. Sebab hati dan 
perasaannya masih dilanda oleh 
penasaran. Seseorang akan bisa sadar 
tidaklah mungkin terjadi secara tiba-
tiba, dan tentu memerlukan waktu. 
Anakku, orang yang sudah mendapat 
kesempatan untuk merenungkan, untuk 
mendalami dan menghayati, baru dengan 
demikian hati dan perasaan ini bisa 
terbuka. Dan kemudian membawa kepada 
kesadaran.” 
“Akan tetapi, sudah tentukah 
orang mau merenungkan, mendalami, 
menghayati atau mawas diri?” 
Gajah Mada terkekeh senang 
mendengar bantahan Dewi Sritanjung 
ini. Ia mengangguk-angguk, lalu, “Ya, 
memang antara manusia satu dan yang 
lain akan terjadi perbedaan. Dan 
memang belum tentu semua orang mau 
merenungkan, menghayati dan mawas 
diri. Akan tetapi Anakku, orang yang 
bijaksana takkan mengambil keputusan 
sebelum mencoba. Segala sesuatu 
dipikir lebih dahulu sedalam-dalamnya, 
ditimbang-timbang, dan takkan menyesal 
maupun putus asa apabila harapannya 
sampai gagal. Sebab engkau harus tahu, 
kita ini amat kecil apabila 
dibandingkan dengan Dia.” 
Ketika itu roda kereta sudah 
berhenti berputar. Sais meloncat dari 
tempat duduknya, lalu membuka pintu 
kereta. 
Gajah Mada tersenyum sambil 
berkata, “Tanjung, kita sudah sampai. 
Dan kau Surya, engkau harus dapat 
menjadi tuan rumah yang baik. Ajaklah 
adikmu lebih dulu menghadap ibumu, dan 
perkenalkanlah pula dengan Trisna 
Dewi.” 
Surya Lelana mengangguk mengi-
akan, lalu membimbing Dewi Sritanjung, 
diajak keluar dari kereta. 
Dewi Sritanjung terbelalak kagum 
begitu turun dari kereta, dan melihat 
bangunan rumah yang luas, kokoh dan 
bagus. Pekarangan rumah dikurung oleh 
tembok batu yang amat tinggi, dan 
beberapa orang prajurit yang bertugas 
jaga tak pernah lepas dengan tombak 
telanjang. Mereka nampak gagah dan 
menyeramkan. 
Akan tetapi gadis ini tidak 
mendapat kesempatan melihat semua itu 
lama-lama, karena lengannya sudah 
ditarik dan diajak melangkah oleh 
Surya Lelana. 
“Diajeng Tanjung,” katanya, “jika 
engkau menginginkan melihat keadaan 
kota Majapahit, jangan khawatir. Aku 
akan selalu bersedia menjadi teman dan 
pengawalmu. Tetapi saat sekarang ini, 
kita harus patuh kepada perintah Guru. 
Aku harus mengantar engkau menghadap 
Ibu, isteri Rama Gajah Mada untuk 
memperkenalkan diri, dan juga kepada 
Diajeng Trisna Dewi, puteri Rama.” 
“Tetapi....” 
“Mengapa?” 
“Aku malu. Bagaimanakah perasaan 
Puteri Trisna Dewi itu kalau melihat 
kelancanganku menggunakan pakaiannya?” 
“Engkau sudah memperoleh izin 
dari Rama. Aku yang akan menerangkan 
bahwa engkau hanyalah menuruti 
perintah Rama saja,” Surya Lelana 
menghibur. “Ahh, engkau belum kenal 
dan tahu wajah Diajeng Trisna Dewi, 
maka engkau menjadi khawatir. Dia 
seorang puteri bangsawan yang amat 
baik, sabar, dan ramah. Sudahlah, 
engkau jangan takut. Aku yang akan 
menerangkan semuanya.” 
Dewi Sritanjung ragu. Kemudian 
katanya, “Tetapi... aku biasa hidup di 
hutan, kurang mengenal segala macam 
adat kesopanan, tatakrama maupun 
aturan dalam lingkungan keluarga 
pembesar tinggi. Lalu bagaimanakah aku 
harus bersikap, baik kepada Ibu Gajah 
Mada maupun kepada Puteri Trisna 
Dewi?” 
Surya Lelana bisa mengerti 
keraguan gadis ini. Maka sambil 
melangkah menuju rumah belakang, 
pemuda ini terpaksa memberi sedikit 
pengertian dalam hubungan lingkungan, 
sikap dan tutur kata, yang diperlukan 
gadis ini nanti. 
Petunjuk itu amat diperhatikan 
oleh Dewi Sritanjung, maka perjalanan 
mereka menjadi agak terlambat, dan 
bagi mereka yang tidak tahu, agaknya 
dua orang muda ini sedang membicarakan 
perasaan hati masing-masing, yang 
sedang dilanda oleh gelora asmara 
muda. 
Akan tetapi sekalipun sambil 
melangkah Surya Lelana sudah memberi 
sekadar petunjuk, tidak urung hati 
Dewi Sritanjung kurang tenteram dan 
selalu berdebaran. 
Kaki Dewi Sritanjung terasa kaku 
ketika dirinya harus menirukan Surya 
Lelana, menggunakan jari kaki dan 
lutut untuk berjalan dengan jongkok 
(laku dhodhok  -  Jawa), sesuai dengan 
tata kesopanan di dalam rumah 
bangsawan tinggi. 
Akan tetapi hati gadis ini 
kemudian agak terhibur, ketika dari 
tempat duduknya isteri Gajah Mada 
memberi senyum manis sedang tangannya 
diangkat memberi isyarat agar lekas 
datang menghadap. 
Puteri Trisna Dewi yang ketika 
itu duduk di samping ibunya, cepat-
cepat bangkit, lalu lari-lari kecil 
mendapatkan Dewi Sritanjung. Dan gadis 
ini dengan wajah cerah dan senyum 
manis sudah berkata halus, “Diajeng, 
berdirilah. Mengapa kau harus 
merendahkan diri seperti itu?” 
Trisna Dewi menarik bangun Dewi 
Sritanjung dan gadis ini pun tidak 
membantah, lalu berdiri. Memang jari 
kaki dan lututnya terasa sakit dipaksa 
untuk berjalan seperti itu. Kemudian 
kepada Surya Lelana, puteri ini 
berkata, “Surya, tugasmu sudah 
selesai.” 
Surya Lelana mengangguk dan 
tersenyum. Kemudian pemuda ini kembali 
keluar, tetapi dalam hatinya agak 
masygul. Sebab apabila boleh, ia tidak 
ingin berpisah sekejap pun dengan 
gadis yang ia cintai itu. Dan setiba 
di luar, pemuda ini mengamati ke 
dalam, ke arah Dewi Sritanjung. 
Dewi Sritanjung seperti mimpi 
ketika tiba-tiba isteri Gajah Mada 
meraih, lalu memeluk dan menciumi 
sepasang mata berkaca-kaca penuh rasa 
haru. Gadis ini tidak tahu akan 
sebabnya, memandang wajah wanita tua 
itu dengan rasa heran, dan ketika 
memalingkan muka memandang Trisna 
Dewi, ternyata puteri Gajah Mada 
itupun sepasang matanya berkaca-kaca. 
Sekalipun demikian bibir Trisna Dewi 
menyungging senyum manis. 
Di luar tahu gadis ini, Gajah 
Mada sudah memberitahu kepada isteri 
dan anaknya, tentang gadis malang 
bernama Dewi Sritanjung. 
Dewi Sritanjung disuruh duduk di 
atas kursi, diapit oleh ibu dan anak 
itu. Sesaat kemudian terdengar isteri 
Gajah Mada berkata, “Anakku, engkau 
jangan merasa rendah diri. Tahukah 
engkau, siapakah sesungguhnya orang 
tuamu?” 
Dewi Sritanjung menggeleng. 
Hatinya berdebar kemudian bertanya, 
“Siapakah sebenarnya orang tua 
hamba...?” 
“Ahhh...,” potong isteri Gajah 
Mada. “Jangan engkau gunakan kata 
hamba itu, Anakku. Engkau bukan 
seorang hamba.” 
“Diajeng Tanjung, Ibu benar,” 
sambung Trisna Dewi. “Engkau pun 
seorang puteri bangsawan seperti aku.” 
“Puteri?” Dewi Sritanjung 
terbelalak. “Mengapa seorang puteri, 
dan siapa pula ayah bundaku?” 
“Engkau adalah puteri Laksamana 
Nala, seorang Panglima Angkatan Laut 
Majapahit. Ayahmu seorang panglima 
yang amat terkenal, dan berkedudukan 
tinggi.” 
“Laksamana Nala?” Dewi Sritanjung 
ragu. 
Dewi Sritanjung menundukkan 
kepala dan merenung. Dalam hatinya 
timbul rasa heran dan bertanya-tanya. 
Kalau benar dirinya seorang puteri 
bangsawan, mengapa sampai tujuhbelas 
tahun umurnya, ia belum pernah 
mendapat kesempatan mengenal wajah 
orang tua dan belum merasakan kasih 
sayangnya pula? Mengapa bisa demikian? 
“Saya menjadi bingung,” ujar 
gadis ini ragu. “Bagaimanakah 
sesungguhnya saya ini? Mengapakah 
sebabnya saya hidup di tengah hutan 
bersama Kakek Tunjung Biru seorang 
diri? Lalu apa sajakah rahasia dari 
kehidupanku ini?” 
“Anakku, engkau jangan kecil 
hati,” hibur ibu itu. “Semua akan 
segera engkau ketahui, sesudah ayahmu 
datang.” 
“Tetapi mengapakah sebabnya aku 
harus di sini? Dan mengapa sebabnya 
tidak langsung dibawa ke rumah orang 
tuaku?” 
“Hal itu sesuai dengan surat 
Kakang Tunjung Biru. Tetapi percayalah 
bahwa baik gurumu maupun Kangmas Gajah 
Mada bermaksud baik. Dan engkau akan 
mendengar semua itu nanti.” 
Keterangan yang samar-samar ini 
menyebabkan Dewi Sritanjung tetap 
bingung dan kurang mengerti. Akan 
tetapi gadis ini terpaksa harus puas 
dengan semua ini. Namun demikian oleh 
sikap ramah dari ibu dan anak ini, 
menyebabkan Dewi Sritanjung terhibur, 
dan segala keraguannya sedikit 
menghilang. Ia mulai dapat 
menyesuaikan diri dengan kehidupan 
para bangsawan. 
Pada kesempatan ini, beberapa 
orang pelayan wanita bermunculan, lalu 
menghidangkan minuman dan makanan. 
Lalu dengan  ramah ibu dan anak ini 
mengajak Dewi Sritanjung makan. 
Menghadapi meja yang penuh 
hidangan dan belum pernah ia kenal ini 
Dewi Sritanjung gembira dan lupalah ia 
kepada hal yang lain. Dasar perutnya 
sudah lapar, maka Dewi Sritanjung 
makan dengan lahap. Sedang baik ibu 
maupun Trisna Dewi tidak jemunya 
menerangkan nama makanan yang sedang 
diambil maupun dimakan gadis ini. 
Demikianlah Dewi Sritanjung cepat 
dapat menyesuaikan diri, berkat sikap 
isteri dan puteri Gajah Mada yang 
ramah. Seusai makan, diajaklah gadis 
ini pergi ke taman. Bagi gadis ini 
segala macam tanaman dan bunga yang 
terdapat di dalam taman ini tidak 
menarik, karena tanaman dan bunga-
bunga yang bermekaran itu jauh kalah 
indah dan kalah menyedapkan apabila 
dibanding dengan bunga-bunga yang 
tumbuh  liar di dalam hutan. Akan 
tetapi ketika diajak ke kolam ikan, 
Dewi Sritanjung gembira dan berkali-
kali mengemukakan kekagumannya, 
melihat ikan di dalam air yang 
warnanya aneka macam itu. 
Pada kesempatan ini Dewi 
Sritanjung banyak diminta untuk 
menceritakan  kehidupannya di dalam 
hutan. Dan gadis ini menceritakan apa 
adanya, tentang keadaan hutan yang 
penuh belukar, sepi dan banyak 
binatang liar dan buas maupun berbisa. 
Trisna Dewi tertarik sekali oleh 
cerita ini, sebab bagi puteri ini, apa 
yang disebut hutan  dan belukar itu 
adalah asing. Sering juga ia minta 
kepada ayahnya untuk ikut serta di 
kala Gajah Mada berburu. Namun 
permintaan itu tidak pernah dika-
bulkan, ditolak secara halus dengan 
berbagai alasan. 
Di saat dua orang gadis ini 
sedang asyik bicara sambil memandang 
ikan-ikan yang berseliweran di dalam 
kolam ini, datanglah seorang pelayan 
yang tergopoh. Perempuan itu setelah 
berlutut di depan Trisna Dewi, 
berkata, “Ampunkan hamba, Gusti. Tuan 
puteri berdua mendapat panggilan agar 
langsung datang ke pendapa. Semuanya 
sudah menunggu Gusti berdua.” 
“Baiklah,” sahut Trisna Dewi, 
kemudian mengajak Dewi Sritanjung 
langsung menuju ke pendapa. 
Ketika tiba di pendapa, Dewi 
Sritanjung agak heran melihat Surya 
Lelana menundukkan kepala dan 
tampaknya masgul sekali. Perubahan 
sikap ini menimbulkan pertanyaan dalam 
hati gadis ini. Sebab biasanya Surya 
Lelana akan segera memandang dirinya 
dengan mata bersinar-sinar dan bibir 
tersenyum. 
Laksamana Nala duduk juga 
berhadapan dengan Gajah Mada, menga-
mati Dewi Sritanjung penuh perhatian. 
Hatinya berdebar tidak karuan, karena 
baik wajah maupun bentuk tubuh Dewi 
Sritanjung mirip sekali dengan ibunya, 
Dewi Anwari. Hati panglima ini amat 
terharu, teringat kepada Dewi Anwari 
yang sudah tiada. 
Tiba-tiba saja Laksamana Nala 
bangkit dari tempat duduknya. Ia 
melangkah dan langsung memeluk Dewi 
Sritanjung. Tentu saja gadis ini kaget 
dan hampir saja memberontak. Untung 
nalurinya mencegah, hingga gadis ini 
berdiam diri dengan pandang mata 
keheranan. 
Melihat ini Gajah Mada cepat 
memberitahu, “Tanjung, dialah ayahmu.” 
“Ohh.... Ayah...,” pekik Dewi 
Sritanjung. 
Dan tiba-tiba saja gadis ini 
menyembunyikan mukanya ke dada 
Laksamana Nala, sambil menangis ter-
sedu. Sebaliknya Laksamana Nala 
memeluk pundak anaknya ini, sambil 
meneliti kalung gadis ini yang 
mempunyai hiasan burung garuda. 
Dari sudut mata laki-laki ini 
kemudian menitik pula air mata yang 
bening. Laksamana Nala yang gagah 
perkasa itu, sekarang menangis benar-
benar. Menangis karena hatinya amat 
terharu berbareng menyesal, teringat 
akan isteri tercinta Dewi Anwari. 
Kalau saja waktu itu dirinya tidak 
meninggalkan Dewi Anwari secara diam-
diam, tentunya isterinya itu tidak 
akan mati. Dan tentunya Dewi 
Sritanjung tidak kehilangan ibu 
kandungnya, juga tak akan dibuang ke 
sungai. 
Di saat Dewi Sritanjung 
sesenggukan di dada ayahnya ini, tiba-
tiba terdengarlah jerit tertahan. 
“Anakku...!” 
Lalu seorang wanita yang wajahnya 
masih nampak cantik sekalipun sudah 
tua, sudah menubruk dan memeluk Dewi 
Sritanjung. 
Dewi Sritanjung mengangkat 
wajahnya yang basah air mata, 
memandang perempuan itu sejenak. 
Laksamana melepaskan pelukannya 
sambil berkata lirih, “Tanjung, inilah 
ibumu.” 
“Ibuuuu...!” pekik Dewi 
Sritanjung sambil memeluk erat perem-
puan itu dan menyembunyikan mukanya ke 
dada. 
Menyusul kemudian terdengar suara 
tangis dua orang perempuan yang 
mengibakan hati, dan menimbulkan rasa 
haru kepada mereka yang melihat. 
Saking terharu, isteri Gajah Mada 
maupun Trisna Dewi ikut menangis di 
tempat duduknya. Adapun Gajah Mada 
hanya berdiam diri sambil menghela 
napas berulang-ulang, sedang Surya 
Lelana menundukkan kepala tampak lesu 
dan sedih. 
Akan tetapi Laksamana Nala kaget 
dan cepat menyambar tubuh isterinya, 
hingga perempuan itu tidak jadi roboh. 
Ternyata perempuan yang mengaku 
sebagai ibu Dewi Sritanjung itu sudah 
pingsan. Dan menyebabkan Dewi 
Sritanjung yang baru bisa bertemu 
dengan ibunya itu, kebingungan dan 
memanggil-manggil. 
Isteri Gajah Mada dan Trisna Dewi 
cepat menyerbu dan menghibur Dewi 
Sritanjung. Dan yang pingsan segera 
dirawat, dipondong Laksamana Nala, 
lalu dibaringkan di pembaringan kayu 
berukir indah, beralas kain warna 
jambon (merah jambu). 
Apakah sebabnya isteri Laksamana 
Nala menjadi pingsan setelah mengaku 
sebagai ibu Dewi Sritanjung? Memang 
ada sebabnya. Semula terjadilah 
pertentangan dalam hatinya, dibujuk 
oleh Gajah Mada, agar mau mengaku 
sebagai ibu kandung Dewi Sritanjung. 
Hal itu dilakukan dengan maksud agar 
gadis yang belum pernah melihat wajah 
ayah bundanya itu tidak menjadi kecil 
hati. Sebab betapa akan sedih Dewi 
Sritanjung, apabila tahu ibunya sudah 
tiada! Di samping untuk menjaga agar 
hati dan perasaan gadis ini tidak 
kaget, langkah ini dimaksud pula untuk 
menutup rahasia Laksamana Nala yang 
sudah menyia-nyiakan Dewi Anwari. 
Sedang yang teramat penting adalah 
guna menghilangkan noda hitam dalam 
keluarga, karena Dewi Sritanjung 
adalah cucu Kuti, seorang dharmaputra 
yang memberontak dan mati terbunuh. 
Itulah sebabnya Dewi Sritanjung 
tadi sengaja disingkirkan ke taman 
dulu, agar gadis ini tidak mendengar 
rahasia kematian ibu kandungnya. 
Akan tetapi betapa berat rasa 
hati isteri Laksamana Nala ini, tahu-
tahu harus mengakui anak dari madunya, 
sebagai anak kandungnya sendiri. 
Lebih-lebih gadis ini adalah cucu 
Kuti, seorang pemberontak yang hampir 
saja menimbulkan bencana hebat bagi 
Majapahit. 
Namun sekalipun berat rasa hati 
perempuan ini, setelah dipikir lebih 
dalam dan luas lagi, semua kesalahan 
terletak pada pundak suaminya sendiri. 
Sebab taklah mungkin anak Kuti itu 
menjadi isteri suaminya, kalau su-
aminya memang tidak menghendaki. 
Sebaliknya anak yang tidak berdosa 
ini, tidak mungkin lahir di dunia ini 
dan mencari orang tuanya, apabila 
tidak ada dua insan yang mencip-
takannya. 
Setelah terjadi pertentangan 
hebat dalam dada ibu ini, pada akhir-
nya kesadarannya menang. Ia sedikit 
berkorban untuk suaminya sendiri, 
adalah sudah sepatutnya bagi seorang 
isteri. Merupakan kewajibannya pula, 
justru apa yang dilakukan adalah untuk 
nama baik suaminya sendiri. Akan 
tetapi walaupun sudah sedemikian jauh 
ia berpikir dan ia mempertimbangkan, 
tidak urung ibu ini pingsan juga. 
Akhirnya ibu ini sadar juga 
setelah dirawat sendiri oleh Laksamana 
Nala, Setelah membuka mata dan sadar, 
mulutnya sudah berkata, “Tanjung.... 
ohh, anakku....” 
Dewi Sritanjung segera memberikan 
kepalanya untuk diusap-usap oleh 
ibunya, juga memberikan pipinya untuk 
dicium ibunya. Air mata mereka 
membanjir membasahi pipi, dan untuk 
beberapa lama tidak ada yang bicara. 
Jari-jari tangan isteri Panglima 
Nala mengusap-usap rambut, kemudian 
seluruh muka dan leher Dewi 
Sritanjung. Dan gadis ini hatinya amat 
terharu, bangga, gembira dan bahagia. 
Apa yang diharapkan selama ini, dan 
apa yang dibayangkan serta dikenang 
selama belasan tahun lamanya itu, 
sekarang terwujud. Ia bertemu dengan 
ibunya, dan beginilah kasih sayang 
seorang ibu kepada anaknya. 
Akan tetapi sekalipun gadis ini 
merasa amat bahagia dan bangga, dapat 
bertemu dengan ayah bundanya, timbul 
pula perasaan aneh dalam dadanya. 
Sekarang menjadi jelas dirinya bukan 
anak orang sembarangan. Ternyata diri-
nya seorang puteri Panglima Angkatan 
Laut, Laksamana Nala, yang kedudu-
kannya amat tinggi di Kerajaan 

Majapahit. Namun mengapa sebabnya 
dirinya terpisah dengan ayah bundanya, 
dan kemudian sampai dipelihara oleh 
Kiageng Tunjung Biru? Timbul perta-
nyaan dalam hatinya, kalau demikian 
apakah dirinya ini memang salah 
seorang anak yang disia-siakan oleh 
ayah bundanya? 
Dewi Sritanjung tak kuasa menahan 
perasaan dan pertanyaan yang bergolak 
dalam dadanya ini. Maka masih sambil 
memeluk ibunya, gadis ini bertanya, 
“Ibu.... ohh, mengapa aku ini?” 
“Apakah maksudmu, Anakku?” tanya 
ibunya dengan nada yang amat kasih. 
“Apakah sebabnya Ayah dan Ibu 
tega kepadaku? Mengapa baru sekarang 
ini saja Tanjung dapat bertemu dan 
mengenal wajah Ayah maupun Ibu? Dan 
mengapa pula sebabnya Tanjung terpisah 
dengan Ayah dan Ibu?” 
Ibunya tidak cepat menjawab. 
Tetapi malah memandang suaminya dengan 
sinar mata yang bertanya. Laksamana 
Nala dapat menduga maksud isterinya. 
“Anakku, kisahnya cukup panjang,” 
sahut ayahnya. 
Laksamana Nala segera mengarang 
cerita yang ia pikir masuk akal. Ia 
mengatakan bahwa ketika Dewi 
Sritanjung masih kecil, kira-kira baru 
berumur satu setengah tahun, sudah 
dilarikan oleh pengasuhnya. Tentu saja 
peristiwa ini menyebabkan seluruh 
keluarga sedih dan berusaha menemukan 
kembali, dengan menyebar banyak hamba 
untuk mencari. Namun usaha-usaha yang 
sudah mengerahkan ratusan orang 
banyaknya, dan pencarian dilakukan ke 
seluruh penjuru itu, sia-sia belaka. 
Setiap petugas yang pulang, selalu 
memberi laporan sama, tidak dapat 
menemukannya. Setelah lebih dua tahun 
lamanya mencari tidak juga berhasil, 
akhirnya usaha pencarian dihentikan. 
“Betapa sedih hatiku dan hati 
ibumu, sulit dilukiskan, Anakku,” 
lanjut Laksamana Nala. “Akhirnya 
karena usaha itu gagal, baik aku 
maupun ibumu hanya dapat mohon kepada 
Dewata Agung, agar engkau selalu 
selamat dan kemudian hari dapat 
bertemu kembali.” 
“Tetapi Ayah, siapa yang kemudian 
memberi petunjuk bahwa Tanjung dirawat 
oleh Guru?” sela Dewi Sritanjung. 
“Ya. Itulah permulaan aku dan 
ibumu dapat bertemu dengan anak yang 
sudah lama hilang. Dalam surat gurumu 
yang ditujukan kepada Kangmas Gajah 
Mada, belum lama berselang gurumu 
datang ke Caruban. Kemudian gurumu 
mendengar keterangan dari Bupati 
Caruban yang memang sudah aku mintai 
pertolongan ikut serta mencari 
jejakmu. Adapun sebagai tanda anakku 
yang hilang itu, ialah seutas kalung 
dengan hiasan burung garuda, terbuat 
dari emas. Nah, Anakku, setelah gurumu 
mendengar keterangan ini, maka 
terpikir kemudian untuk mengembalikan 
engkau kepada orang tuanya.” 
“Tetapi.... mengapa sebabnya Ayah 
tidak datang ke sana?” 
“Anakku..., agaknya memang sudah 
menjadi kehendak gurumu, memang harus 
demikian. Buktinya gurumu tidak mau 
memberitahu langsung padaku. Melainkan 
malah mengutus engkau supaya datang 
sendiri ke Majapahit. Bukankah gurumu 
pun menerangkan, bahwa di Majapahit 
engkau bakal bertemu dengan orang 
tuamu?” 
Dewi Sritanjung menghela napas 
panjang. Untuk beberapa saat lamanya 
gadis ini hanya terisak-isak. 
Ketika itu datanglah Gajah Mada, 
isterinya, Trisna Dewi dan Surya 
Lelana. Gajah Mada dan isterinya 
berseri wajahnya setelah melihat Dewi 
Sritanjung dengan ibunya nampak rukun. 
Laksamana Nala menatap Surya 
Lelana yang nampak lesu dan kecewa. 
Tetapi karena tidak tahu apa yang 
dikandung dalam hati pemuda ini, maka 
Laksamana Nala memalingkan muka ke 
arah Dewi Sritanjung. Katanya, 
“Tanjung, sudahkah engkau kenal dengan 
saudaramu yang tua?” 
“Mana, Ayah? Siapa?” Dewi 
Sritanjung terperangah. 
“Dia inilah abangmu, namanya 
Surya Lelana,” Laksamana Nala memper-
kenalkan. 
Dewi Sritanjung terbelalak kemu-
dian terpaku seperti patung dan tidak 
dapat membuka mulut, Surya Lelana 
diperkenalkan sebagai abangnya. 
Dalam hatinya timbul rasa masy-
gul, mengapa bisa terjadi demikian? 
Mengapa pemuda tampan yang sudah 
mencuri hatinya dan ia cintai pula 
itu, adalah abangnya sendiri? Hemm, 
seorang abang dan sudah memberi ciuman 
beberapa kali kepada dirinya, ciuman 
penuh kasih sayang antara pria dan 
wanita. Timbullah rasa malu dalam hati 
gadis ini, hingga ia menundukkan 
mukanya, tidak berani bertatap pandang 
dengan Surya Lelana. 
Untunglah Surya Lelana cepat 
dapat menekan perasaan. Walaupun 
hatinya amat sedih setelah tahu gadis 
ini adiknya sendiri, ia melangkah 
menghampiri sambil meletakkan telapak 
tangannya di atas pundak. 
“Adikku, oh.... maafkanlah 
aku.... yang tidak tahu....” 
Dewi Sritanjung tidak menjawab, 
hanya menangis sesenggukan. Laksamana 
Nala dan isterinya memandang mereka 
dengan heran. Dalam hati bertanya, apa 
yang sudah terjadi? 
Di antara mereka yang hadir hanya 
Gajah Mada yang tahu sebabnya. Katanya 
dengan nada penuh sabar,  “Anakku, 
hidup manusia ini takkan lepas dari 
garis yang sudah ditetapkan oleh Yang 
Maha Tinggi. Manusia yang bijaksana, 
karena merasa hidupnya dikuasai dan 
ada yang memberi hidup, akan menerima 
hidupnya ini secara wajar, dan apa 
adanya. Karena dengan cara  itu 
hidupnya akan dijauhkan dari rasa 
sesal atau kecewa. Dan menerima apa 
adanya karena sadar hidupnya sesuai 
dengan garis yang sudah ditentukan 
oleh Dewata Yang Agung.” 
Gajah Mada berhenti sejenak, 
lalu, “Anakku, lupakanlah apa yang 
sudah terjadi. Jangan  kau tengok apa 
yang sudah kau lalui. Ketahuilah, 
hidup adalah saat ini. Sekarang, bukan 
kemarin, bukan tadi dan bukan pula 
esok pagi atau nanti. Yang lalu 
biarlah berlalu, yang belum jangan 
dipikir. Bersyukurlah kalian kepada 
Dewata Yang Agung, kita dipertemukan 
dan dapat berkumpul kembali masih 
dalam keadaan selamat tidak kurang 
satu apa.” 
Sekalipun Gajah Mada mengucapkan 
kata-kata yang samar-samar, Laksamana 
Nala sudah dapat menduga apa yang 
terjadi antara Dewi Sritanjung dengan 
Surya Lelana. Bahwa saudara seayah 
lain ibu itu, karena tidak tahu, sudah 
menjalin cinta kasih. Diam-diam Nala 
menyesal sekali, mengapa bisa terjadi 
seperti ini. Tetapi apa harus dikata, 
justru tidak tahu? Masih untung dua 
anak muda ini pada saat sudah genting 
dapat mengetahui keadaan yang 
sebenarnya. Mereka belum terlanjur. 
Baik Nala maupun isterinya 
kemudian menghibur pula dengan petun-
juk yang berharga. Dewi Sritanjung 
hanya dapat menangis sesenggukkan di 
dada ibunya. Tidak tahu apa yang harus 
ia lakukan, menghadapi peristiwa yang 
tidak pernah ia duga dan harapkan itu. 
Akhirnya terhibur juga hati Dewi 
Sritanjung setelah mendapat nasihat 
dan bujukan dari ayah, ibu, Gajah Mada 
dan isterinya. Setelah dianggap cukup, 
kemudian diboyonglah Dewi Sritanjung 
ke rumah kediaman Laksamana Nala. 
Kedatangannya disambut oleh saudaranya 
yang lain, dua orang kakak perempuan. 
Dewi Sritanjung dielu-elukan tiada 
bedanya dengan tamu agung. Semua 
keluarga dikumpulkan seluruhnya, lalu 
satu demi satu hamba sahaya ini 
berlutut di depan Dewi Sritanjung 
sambil memperkenalkan diri dan 
menghaturkan selamat datang. 
Akan tetapi betapapun meriah 
penyambutan ayah, bunda, saudara 
maupun hamba sahaya, dalam hati gadis 
ini masih terdapat perasaan yang 
kurang sreg (puas). Gadis ini masih 
kurang percaya keterangan ayahnya, 
bahwa ketika dirinya kecil dilarikan 
oleh pengasuhnya, kemudian ayah 
bundanya berusaha menemukan kembali 
dengan berbagai macam cara. Sebab 
kalau benar dirinya sudah lama dicari, 
dan kalau benar sebagai tanda seutas 
kalung emas dan hiasan burung garuda, 
mengapa pada saat Surya Lelana datang 
dan berkenalan pertama kali, Surya 
Lelana tidak segera mengenal dirinya 
sebagai adiknya yang sudah lama 
hilang? Sebab Surya Lelana pun tentu 
tahu pula tentang tanda ini. Dan kalau 
tidak tahu, itulah aneh dan sulit ia 
percaya. 
Diam-diam timbullah kecurigaan 
gadis ini, tentu ada suatu rahasia 
yang ditutup oleh ayah bundanya. 
Kemudian timbul dugaan gadis ini, 
kiranya ketika dirinya kecil, memang 
sengaja dibuang oleh ayah bundanya. 
Dan berarti dirinya lahir di dunia 
ini,  memang diluar kehendak orang 
tuanya. 
Berkecamuk berbagai macam 
perasaan di dalam dada gadis ini, 
ketika sudah berbaring di pembaringan 
kayu yang berukir indah, beralas kain 
sutera biru dan di dalam kamar indah 
berbau harum pula. Akibatnya gadis ini 
tidak juga dapat tidur, sekalipun 
tubuhnya terasa lelah. 
Entah mengapa sebabnya, dalam 
hati gadis ini timbul perasaan tidak 
puas oleh sikap ibu maupun dua orang 
kakak perempuan. Sebab setelah selesai 
mengelu-elukan ketika dirinya tiba, 
tiga perempuan itu seperti tidak 
peduli lagi kepada dirinya. 
Mengapa bisa terjadi demikian? 
Waktu yang belasan tahun tidaklah 
singkat. Namun mengapa baik ibu maupun 
dua kakak perempuannya itu membiarkan 
dirinya tidur dalam sebuah kamar dan 
sendirian pula? Apakah sebabnya 
keluarga itu tidak tampak rindu? Dan 
lagi pula kalau dirinya muncul, bukan 
ibunya yang lebih dahulu menyambut 
kedatangannya, tetapi malah ayahnya? 
Bagaimanapun seorang ibu tentu lebih 
memperhatikan anak yang dilahirkan 
dari rahimnya, dibanding dengan ayah. 
Akan tetapi apakah sebabnya malah 
terjadi sebaliknya? 
Mengapa? Apakah sebabnya? Per-
tanyaan ini terus berkecamuk dalam 
dadanya. Akan tetapi sayangnya ia 
tidak dapat menjawab sendiri. 
“Hanya Ayah seorang yang akan 
dapat menjawab pertanyaan ini,” 
pikirnya sambil bangkit dari 
pembaringan. “Hemm, malam ini juga aku 
harus bertemu dengan Ayah. Aku harus 
mendapat keterangan jelas dan Ayah 
harus sedia membeberkan kenyataan yang 
sebenarnya.” 
Demikianlah, gadis ini kemudian 
keluar dari kamar. Rumah yang besar 
itu sunyi dan tidak melihat seorang 
pun. Lampu besar di tengah ruangan, 
sudah dipadamkan orang, dan ia 
termangu beberapa saat lamanya sambil 
menebarkan pandang matanya. Di manakah 
letak kamar ayahnya? Rumah ini luas 
sekali, tidak gampang mencari letak 
kamar ayahnya. 
“Huh, luas, hi hi hiiiikk,” gadis 
ini ketawa lirih seorang diri. “Aku 
biasa hidup di dalam hutan yang luas 
dan berbahaya. Apakah artinya rumah 
yang hanya seluas ini?” 
Setelah menetapkan hatinya, 
dengan langkah hati-hati ia mulai 
menyelidik. Tetapi mendadak Dewi 
Sritanjung mempertajam pendengarannya, 
ketika mendengar suara perempuan 
sedang bicara perlahan. “Ahh, dari 
kamar besar yang masih menyala 
lampunya itu.” 
Sebagai gadis sakti, ia dapat 
bergerak tanpa suara. Dan kebetulan 
sekali pintu tidak terkunci dan 
sedikit terbuka. Dari celah pintu itu, 
ia melihat di dalam kamar, ibunya 
duduk bersimpuh di meja pendek, sedang 
dua kakak perempuannya duduk di depan 
ibunya. 
Ia mendengar suara kakaknya yang 
bertanya, “Ibu, sebenarnya saya heran 
sekali dengan munculnya seorang gadis 
yang disebut sebagai adikku itu. Ayah 
bilang, dahulu dilarikan oleh pengasuh 
ketika masih kecil. Tetapi ketika aku 
tanyakan kepada hamba tertua, yang 
sudah lebih duapuluh tahun lamanya 
mengabdi di rumah ini, dia malah kehe-
ranan dan bingung. Dan dia menerangkan 
bahwa puteri Ibu hanya tiga orang saja 
dan tidak seorang pun yang hilang. 
Ibu, jelaskanlah. Mana yang benar?” 
Berdebar jantung Dewi Sritanjung 
mendengar ini. Ia menahan napas, ingin 
mendengar jawaban ibunya secara jelas. 
Tetapi ibunya tidak segera memberikan 
jawaban, malah kemudian menghela napas 
berulang-ulang, seperti berat untuk 
membuka mulut. Dan baru sesudah 
didesak berkali-kali oleh anaknya, ibu 
itu menjawab. 
“Sesungguhnya memang demikian, 
Anakku. Memang anakku hanya tiga orang 
saja. Gadis  yang tadi datang, dan 
diakukan sebagai anak bungsu oleh ibu, 
memang bukan anak ibu.” 
Berdenyut kepala Dewi Sri 
tanjung, lalu pandang matanya menjadi 
kabur. Bukan anaknya? Kalau demikian, 
aku ini anak siapa? 
“Kalau bukan, mengapa Ibu mau 
mengakui?” 
“Itu hanya menuruti kehendak 
Ayahmu saja. Jelasnya demikian, akan 
tetapi aku minta rahasiakanlah agar 
tidak sampai didengar oleh Sritanjung. 
Dahulu ayahmu mempunyai seorang isteri 
muda, bernama Dewi Anwari. Dari isteri 
muda itu lahirlah Dewi Sritanjung. 
Tetapi malang, ketika melahirkan anak 
pertama itu, Dewi Anwari meninggal.” 
“Horeee....” sorak dua gadis itu. 
“Kamu tidak boleh berkata begitu. 
Tahu? Kamu harus dapat bersikap baik 
dan mencintai dia seperti kepada 
adikmu sendiri. Kalau aku sedia 
berkorban demi kepentingan Ayahmu, 
mengapa kamu tidak? Kamu harus pandai 
menjaga rahasia ini, agar Dewi 
Sritanjung tidak tahu dan Ayahmu tidak 
marah kepadamu, kepada kita. Bagaima-
napun dia seorang anak yang patut 
dikasihani. Sejak kecil dia tidak 
mengenal ayah dan bundanya, dan tidak 
pernah mendapatkan kasih sayang dari 
orang tua maupun saudara-saudaranya.” 
Dua gadis itu berdiam diri 
dibentak ibunya. Namun dari sikapnya, 
Dewi Sritanjung tahu, jelas tidak 
senang. 
Untuk beberapa saat lamanya gadis 
ini berdiri bagai patung. Tetapi dari 
sudut matanya, menitik air mata yang 
bening. Dan dalam dada gadis ini, 
tiba-tiba saja terjadi semacam perang 
batin yang amat hebat. 
Ibuku sudah mati? pekik dalam 
dadanya. Di mana? Ah..., Kakek tentu 
bisa menerangkan tentang Ibu dan 
makamnya. 
Mendadak terdengar suara pekik 
nyaring dan panjang, “Ibuuu...!” 
Disusul suara brakkkk.... 
Penghuni rumah kaget. Laksamana 
Nala dan Surya Lelana yang ketika itu 
belum tidur cepat melompat dan lari ke 
rumah belakang. Sebab mereka mengira, 
telah terjadi sesuatu di dalam rumah 
itu. 
Ketika ayah dan anak ini masuk ke 
dalam rumah, Nala melihat isteri 
anaknya baru saja keluar dari kamar 
dengan wajah pucat karena kaget. 
“Apa yang terjadi?” tanya Nala. 
Tetapi tanpa menunggu jawaban, 
Nala kemudian tertarik perhatiannya 
kepada pecahan kayu di lantai rumah. 
Ketika ia menengadah ternyata baik 
langit-langit maupun atap sudah jebol. 
Nala cepat melompat ke kamar Dewi 
Sritanjung, ternyata puterinya tidak 
ada. 
“Celaka!” pekik Nala. “Surya.... 
aahh, adikmu pergi tiba-tiba. Mari 
kita kejar!” 
Saking gugup dan gelisahnya, 
tanpa menunggu jawaban, Nala sudah 
menjejak lantai, tubuhnya melesat ke 
atas lewat langit-langit dan atap yang 
jebol. Sedang Surya Lelana cepat lari 
ke arah pintu. 
Nala memang sudah dapat menduga, 
Dewi Sritanjung pergi lewat langit-
langit dan atap yang jebol itu. Dan 
pekik panjang yang menyebut ibu tadi, 
tentu pekikan puterinya. Sebab tidak 
mungkin orang luar berani datang dan 
mengganggu rumahnya. 
Nala mengerahkan kepandaiannya 
lari, sambil memanggil nama Dewi 
Sritanjung. Tetapi teriakan Nala itu 
sia-sia belaka, demikian pula usahanya 
mengejar. Gadis itu sudah tidak tampak 
bayangannya dan sudah jauh pergi. 
Surya Lelana juga berlarian cepat 
sekali mengambil arah lain. Pemuda ini 
lari dengan hati tidak keruan, sebab 
ternyata gadis jelita yang ia cintai 
itu adalah adiknya sendiri, sehingga 
hatinya menjadi masygul dan kecewa. 
*** 
Matahari musim kemarau sinarnya 
menyengat kulit. Jalan berdebu dan 
pohon-pohon kecil layu kesulitan 
mendapatkan air. Ladang orang dibiar-
kan kosong tanpa tanaman, dan tanahnya 
yang kering pecah-pecah sedang rumput 
pun sulit bisa hidup. Sawah-sawah yang 
menggantungkan air hujan juga terbeng-
kalai, pak tani terpaksa menganggur, 
karena sawah tidak dapat menghasilkan 
apa-apa. 
Seorang gadis yang hanya berpa-
kaian dari bahan kasar dan sederhana, 
melangkah dengan lesu. Rambutnya yang 
kering itu sudah tidak teratur lagi 
oleh angin nakal. Peluh membasahi 
dahi, pipi, dan lehernya dibiarkan 
menetas. Dan pipi yang kuning halus 
itu oleh sinar matahari berubah men-
jadi merah jambu. Sekalipun demikian 
kejelitaan gadis ini tidak berkurang 
malah bertambah. 
Hanya sayang, sepasang mata 
bintang itu nampak sayu, dan berkali-
kali gadis ini melangkah sambil 
menghela napas panjang. Dan agaknya 
dada gadis ini terasa sesak oleh 
derita batin. 
Kenyataannya memang demikian. 
Batin gadis cantik itu menderita, 
sehingga dunia yang luas ini dirasa 
terlalu sempit. Matahari yang 
menyinarkan cahayanya amat terik itu 
seperti gelap. Segelap hatinya 
sekarang ini! 
Siapakah gadis ini dan ke manakah 
tujuannya hanya seorang diri? Seakan 
ia tidak menyadari bahwa kejelitaannya 
ini bisa menimbulkan bahaya setiap 
waktu. Karena kecantikannya dapat 
menimbulkan rangsangan laki-laki tidak 
bertanggung jawab untuk menggunakan 
kesempatan dan mengganggu. 
Namun sebaliknya gadis ini memang 
tidak merasa khawatir dan takut oleh 
gangguan orang dalam perjalanannya 
sekarang ini. Ia memang bukan gadis 
sembarangan. Laki-laki yang berani 
sembrono salah-salah menderita malu 
dihajar oleh kaki dan tangan yang 
kecil, namun berbahaya. 
Dialah Dewi Sritanjung yang 
menderita pukulan batin hebat, setelah 
tertumbuk oleh peristiwa yang tidak 
sesuai dengan harapannya semula. 
Harapan yang sudah belasan tahun 
lamanya ia tunggu untuk dapat bertemu 
dengan ayah bundanya, tetapi yang 
terjadi malah sebaliknya. 
Tetapi adakah sesuatu yang aneh 
itu di dunia ini? Segalanya bisa 
terjadi yang serba aneh. Demikian pula 
apa yang harus diderita oleh Dewi 
Sritanjung ini. Masih semuda itu, ia 
sudah harus mengalami pukulan batin 
dan harus menempuh perjalanan tanpa 
tujuan, tidak bedanya dengan 
gelandangan. 
Seseorang yang sedang menderita, 
semuanya tidak menyenangkan, dan 
biasanya menjadi kurang waspada akan 
keadaan sekitarnya. Demikian pula 
gadis ini, ia menjadi tidak sadar, 
semenjak tadi telah dibayangi oleh 
sepasang mata dan selalu memperhatikan 
gerak-geriknya. Sepasang mata itu 
mirip sepasang mata seekor kucing yang 
melihat tikus gemuk. Mata yang meli-
hat, tetapi mulut yang mengeluarkan 
air liur. 
Sepasang mata yang bersinar aneh 
itu, adalah mata seorang pemuda 
berumur 22 tahun. Pemuda yang wajahnya 
cukup tampan, tetapi pucat. Gerakan 
pemuda ini gesit dan tidak bersuara, 
seakan mempunyai sayap, sehingga 
seperti terbang. Sambil bergerak gesit 
dan tidak bersuara ini, mulutnya 
berkomat-kamit dan tersenyum  aneh. 
Entah apa saja yang sedang terpikir 
oleh pemuda ini. 
Sungguh sayang, Dewi Sritanjung 
tidak menyadari dirinya ada orang yang 
membayangi. Derita batinnya menyebab-
kan telinga yang biasa peka itu 
menjadi seperti tuli. Ia terus 
melangkah menuju ke barat, tidak 
mempedulikan kulitnya yang kuning 
halus itu tersengat oleh matahari. 
Tak lama kemudian gadis ini malah 
menuju ke tempat yang berjauhan 
letaknya dengan desa. Kemudian ia 
malah masuk ke dalam sebuah hutan yang 
tidak jauh dari Kali Bluwak Julang, 
yang  bermata air dari perbukitan 
Kendeng. 
Melihat air yang jernih, mendadak 
saja ia merasa gerah. Betapa nikmatnya 
setelah sejak pagi terbakar sinar 
matahari yang panas, sekarang dapat 
menyejukkan tubuh dengan menyelam 
dalam air kali ini, mandi dan 
berkecimpung. 
Namun gadis ini tidak segera 
melaksanakan niatnya, dan ia kemudian 
duduk di atas batu di tepi sungai. 
Kaki terasa sejuk setelah menjulur ke 
bawah dan terendam air sungai sampai 
betis. 
Gadis ini duduk berdiam diri. 
Tetapi pada saat ia duduk berdiam diri 
ini, tiba-tiba saja kenangannya 
melayang kembali ke Majapahit, waktu 
bertemu ayahnya pertama kali di ramah 
Gajah Mada. Ia menangis dan ayahnya 
juga menangis. Ketika itu ia merasa 
heran, mengapa ibunya malah tidak 
menitikkan air mata, bertemu pertama 
kali dengan puterinya yang belasan 
tahun lamanya hilang? Semula ia 
menduga tentu ibunya seorang wanita 
tabah, hingga tidak menitikkan air 
mata, sekalipun berhadapan dengan 
peristiwa yang amat mengharukan. 
Namun keheranannya itu kemudian 
terjawab setelah ia berdiam di rumah 
sendiri, rumah Laksamana Nala. 
Ternyata wanita yang mengaku sebagai 
ibunya itu, bukan ibu kandungnya, 
malah ibu tirinya. 
Rahasia itu baru diketahui 
setelah secara tidak sengaja dirinya 
mendengar pembicaraan ibunya dengan 
dua orang kakak perempuannya, bahwa 
dirinya bukan anak hilang, tetapi anak 
tiri. 
Hatinya terpukul kemudian ia lari 
dari rumah gedung yang megah itu. 
Dewi Sritanjung menghela napas 
panjang. Ia kemudian meruntuhkan 
pandang matanya ke air yang mengalir 
dengan tenang itu. Lalu ia membuka 
bajunya dengan maksud akan segera 
merendam tubuh dalam air sungai dan 
mandi. 
Namun baru saja selesai melepas 
baju, tiba-tiba gadis ini kaget dan 
cepat memakai kembali bajunya. Sebab 
pada saat bajunya lepas tadi, ia 
mendengar dengus napas halus orang, 
tidak jauh dari tempatnya duduk. 
Dengan lincah Dewi Sritanjung 
meloncat berdiri. Sepasang mata yang 
semula sayu itu sekarang berubah 
berkilat-kilat, dan dari mulutnya 
kemudian terdengarlah bentakan nya-
ring. 
“Hai! Siapa yang bersembunyi di 
semak itu? Hayo, lekaslah keluar.” 
Pemuda pucat yang sejak tadi 
membayangi gadis ini terkejut. Pemuda 
ini dalam hati mencaci maki dirinya 
sendiri, mengapa sudah mendengus dan 
jantungnya berdegup cepat sekali, 
ketika baru saja melihat kulit tubuh 
yang kuning mulus, sesaat  gadis itu 
melepas baju? Akibatnya si gadis tahu 
dirinya sedang mengintip di dalam 
semak. Padahal apabila tadi dirinya 
kuasa menahan debaran jantungnya, ia 
tentu dapat menyaksikan sesuatu yang 
lebih indah dan menarik, di kala gadis 
itu sudah bugil dan mandi di kali. 
Sesungguhnya ia tadi meren-
canakan, pada saat si gadis ber-
kecimpung dalam air, ia akan 
menggunakan kesempatan dengan jalan 
mencuri dan menyembunyikan pakaian 
gadis itu. Apabila pakaian gadis itu 
sudah ia sembunyikan, dirinya tentu 
akan dapat menekan gadis itu supaya 
menyerah. 
Akan tetapi sekarang semuanya 
sudah terlanjur. Semua harapannya 
sudah buyar, dan mau tidak mau dirinya 
sekarang harus keluar dari tempat 
persembunyiannya. 
Namun ia memang seorang pemuda 
sakti. Karena itu ia tidak gentar 
sedikit pun walau tahu gadis itu 
bersenjata pedang. Memang ia sudah 
menduga, seorang gadis ayu yang berani 
melakukan perjalanan seorang diri, 
tentu bukan gadis sembarangan. 
Pemuda itu meloncat keluar dari 
semak tempatnya bersembunyi sambil 
terkekeh. Lalu mulutnya menyeringai, 
tidak menyembunyikan kekagumannya 
melihat kejelitaan gadis yang baru 
berumur delapan belas tahun itu, 
ibarat bunga yang sedang mekar dan 
menyebarkan bau yang harum semerbak. 
“Heh heh heh heh, Adik Manis, 
apakah sebabnya engkau tidak jadi 
mandi? Silakan engkau mandi dulu untuk 
menyegarkan tubuh. Dan biarkanlah aku 
membantumu dengan menjaga pakaianmu, 
yang sekaligus menjagai keselamatanmu 
pula dari gangguan orang. Dan lebih 
dari itu aku pun dapat melihat dan 
mengamati tubuhmu yang bugil itu.” 
“Keparat mata keranjang!” bentak 
Dewi Sritanjung. “Apa kerjamu memang 
hanya mengintip orang sedang mandi?” 
“Heh heh heh heh, mengapa tidak? 
Aku paling senang mengintip perempuan 
yang mandi di kali. Apalagi jika 
perempuan itu mandi di sungai yang 
airnya jernih seperti ini.” 
“Kurang ajar! Cabul! Jika engkau 
tidak lekas enyah dari tempat ini, 
rasakan jika aku marah!” 
Makin meledak ketawa pemuda itu, 
dan menjadi geli oleh jawaban gadis 
yang ketus itu. Dalam hatinya sudah 
menduga, tentu gadis ini belum 
mengenal dirinya, maka berhadapan 
tidak menjadi gentar. Padahal bagi 
wanita lain yang sudah mengenal 
dirinya, tentu sudah ndheprok  (duduk 
bersimpuh) dan minta ampun sambil 
gemetaran tubuhnya. 
“Heh heh heh heh. Aku ingin 
melihat, apa yang akan engkau lakukan 
terhadap diriku? Apakah engkau bisa 
memaksa dan mengusir aku tanpa aku 
sendiri yang menghendaki?” 
Ejekan itu menyebabkan Dewi 
Sritanjung tambah marah. Sepasang 
matanya yang indah itu sekarang 
menyala. 
Memang tidak mengherankan apabila 
pemuda ini mengejek seperti itu. Ia 
memang bukan pemuda sembarangan, dan 
malah murid seorang tokoh sakti pula. 
Pemuda ini bernama Rudra Sangkala, dan 
gurunya bernama Murti Sari. Hanya 
sungguh sayang, ilmunya yang tinggi 
bukan diperuntukkan berbuat mulia, 
menolong sesama hidup, malah untuk 
perbuatan jahat. Ia memang seorang 
pemuda yang gemar mendekatkan diri 
kepada nafsu berburu perempuan. 
Karena sesat, maka Rudra Sangkala 
menjadi pemuda liar yang tidak pernah 
melewatkan kesempatan bagus apabila 
berhadapan dengan perempuan. Dan 
sungguh amat sayang pula, gurunya yang 
bernama Murti Sari itupun tidak pernah 
menegur perbuatan muridnya yang sesat. 
Menyebabkan pemuda ini semakin 
menjadi, dan sekarang ia berhadapan 
dengan Dewi Sritanjung, sikapnya 
memandang enteng. 
Sikap ini memancing kemarahan 
Dewi Sritanjung. Bentaknya, “Aku akan 
mengusir engkau seperti anjing, dengan 
pedangku ini!” 
Sring...! 
Rudra Sangkala berjingkrak kaget, 
melihat sebatang pedang yang 
menyinarkan cahaya biru. 
“Pedang bagus, heh heh heh heh!” 
ujarnya. 
Sebagai pemuda yang sudah cukup 
pengalaman, ia segera dapat menerka 
secara tepat pedang si gadis ini bukan 
pedang sembarangan, tetapi malah 
pedang pusaka. Namun demikian ia tidak 
menjadi gentar, malah gembira dan 
kemudian timbullah niatnya untuk 
menaklukkan gadis cantik ini dengan 
jalan apapun. Apabila maksudnya ini 
terkabul, sekali tepuk akan mendapat 
dua sasaran yang berharga. Pertama ia 
akan mempunyai pedang pusaka yang 
menyinarkan cahaya biru dan yang kedua 
ia akan dapat mempunyai gadis ayu ini. 
Dewi Sritanjung mengerutkan alis-
nya yang lentik. Sebentar ia meragu. 
Haruskah ia berselisih dan berkelahi 
dengan pemuda ini? Padahal sesuai 
dengan pesan kakeknya, ia harus 
berusaha menghindari perselisihan 
dengan siapapun. Sebab walaupun memi-
liki sejuta orang sahabat, hidupnya 
tidak juga dapat tentram apabila masih 
mempunyai seorang musuh saja. Dan jika 
ia ingat pesan Kiageng Tunjung Biru 
ini, ia memang tidak ingin berkelahi. 
Tetapi celakanya, pemuda ini sengaja 
mengganggu dirinya dan malah mere-
mehkan. Tidak, bantah hatinya. Apapun 
yang terjadi, pemuda yang kurang ajar 
ini harus engkau lawan dan engkau 
hajar biar menjadi jera. 
“Hemm,” Dewi Sritanjung mendengus 
dingin. “Apakah engkau membandel dan 
tidak lekas enyah dari tempat ini? 
Engkau janganlah menunggu aku marah!” 
Akan tetapi walaupun gadis ini 
sudah memperingatkan, Rudra Sangkala 
malah semakin bersikap meremehkan. 
Matanya bersinar-sinar aneh dan bibir-
nya membentuk senyum mengejek. 
“Heh heh heh heh, aku ingin 
melihat apakah engkau dapat mengusir 
aku? Hemm, Adik Manis, apakah aku 
kurang gagah dan kurang tampan? Huh, 
adakah laki-laki segagah dan setampan 
aku ini? Hem, daripada kita ini 
berselisih, toh lebih menyenangkan 
apabila kita rukun menjadi kekasih.” 
Meledak kemarahan gadis ini, 
mendengar ucapan pemuda itu. 
Bentaknya, “Awas pedang...!” 
Siut... wut.... Auww...! 
Rudra Sangkala memekik tertahan 
saking kagetnya. Mimpi pun tidak, 
gadis cantik ini dapat bergerak 
secepat itu. Begitu membentak, pedang 
yang bersinar biru itu sudah menyambar 
dahsyat sekali. Maka sedikit lambat 
bergerak, dirinya tentu sudah ber-
lubang tubuhnya. Karena itu ia menjadi 
cepat sadar, sekalipun tampaknya lemah 
lembut, gadis ini bukan sembarangan. 
Namun demikian ia juga bukan 
pemuda lemah. Ia merasa sebagai murid 
tunggal wanita sakti Murti Sari. Maka 
sungguh memalukan sekali apabila 
berhadapan dengan perempuan saja 
dirinya harus menyerah kalah. 
Sring...! Sungguh cepat gerakan 
tangan Rudra Sangkala. Tahu-tahu 
sebatang pedang telah di tangan kanan. 
Seleret sinar kuning menyambar ketika 
pedang itu tercabut dari sarungnya, 
dan inilah pedang pusaka yang bernama 
Wesi Kuning, pedang pusaka pemberian 
gurunya. 
Trang trang.... 
Benturan pedang terdengar amat 
nyaring. Dua-duanya kaget dan melompat 
mundur, karena benturan tadi memang 
hebat. Lengan masing-masing tergetar, 
dan seperti mendapat aba-aba, masing-
masing melihat pedangnya. Namun 
ternyata pedang itu tidak apa-apa, 
sekalipun berbenturan keras. 
Dewi Sritanjung heran dalam hati. 
Mengapa pedang lawan tidak patah 
berbenturan dengan pedangnya? Kalau 
demikian jelas sekali pedang bersinar 
kuning itu pedang pusaka pula. 
Menyadari pedang lawan merupakan 
pedang pusaka, gadis ini amat hati-
hati. 
Seleret sinar panjang yang 
warnanya biru membentuk lingkaran 
membungkus dirinya dengan kecepatan 
yang sulit dilukiskan. Sinar yang 
membentuk lingkaran besar dan kecil 
ini, kadang menggetar dan menyambar ke 
arah lawan secara dahsyat, tetapi 
celakanya pedang ini tidak kuasa 
menembus benteng pedang lawan. 
Sebagai murid Murti Sari, pemuda 
ini sudah termasuk ahli ilmu pedang 
jempolan. Gerakannya  demikian aneh, 
kadang menggetar, hingga pedang yang 
hanya sebatang itu dapat berubah 
seperti belasan banyaknya. Namun 
kadang juga membentuk lingkaran yang 
tidak pernah putus. 
Oleh kecepatan gerak dua orang 
muda ini menggunakan pedang, lenyaplah 
bentuk pedang itu dan yang tampak 
hanyalah sinar kuning dan biru saling 
libat. Seakan dua ekor ular yang 
sedang berkelahi dan saling libat. 
Trang trang.... siutt.... 
wutt.... 
Benturan pedang yang nyaring 
terdengar lagi. Kemudian disusul oleh 
sambaran pedang yang lebih dahsyat. 
Apabila dua orang yang memiliki 
ilmu pedang bertemu dan masing-masing 
menggunakan pedang pusaka, tentu 
terjadi perkelahian yang seru dan 
berbahaya. Maka dalam waktu singkat, 
keadaan di tepi sungai itu menjadi 
bosah-basih  (morat-marit) tidak 
karuan. Semak belukar yang tinggi dan 
subur itu, seakan diserbu oleh puluhan 
penyabit rumput. Dan pohon-pohon 
sekitarnya, seperti diserbu oleh para 
tukang kayu. Pohon-pohon yang kecil 
segera tumbang oleh tajamnya pedang. 
Sedang ranting dan dahan pohon yang 
tidak begitu tinggi, juga menjadi 
berantakan. 
Makin lama perkelahian ini 
bertambah sengit. Mereka adalah dua 
orang muda yang masih berdarah panas 
dan masih bertenaga penuh. Maka 
semakin lama berkelahi, dua batang 
pedang pusaka itu sambarannya menjadi 
semakin cepat dan berbahaya. 
Rudra Sangkala yang pada mulanya 
meremehkan gadis ini sekarang matanya 
baru terbuka. Gadis yang tampaknya 
lemah lembut ini memang tak dapat 
dianggap remeh. Ia juga melihat jelas 
gerakan gadis ini masih agak kaku, 
membuktikan gadis ini  belum memiliki 
pengalaman cukup luas dalam dunia 
perkelahian. Akan tetapi kekurangannya 
itu bisa ditutup oleh kecepatan gadis 
ini bergerak. Dan bukan hanya itu, 
tangan kirinya yang membantu, setiap 
memukul segera menyambar angin pukulan 
dahsyat Diam-diam  ia heran dan 
bertanya dalam hati, siapakah guru 
gadis ini? 
Terbayang kemudian dalam benak-
nya, betapa hebat apabila dirinya dan 
gadis itu dapat menjadi kekasih. Tentu 
akan menggemparkan jagad ini, dengan 
munculnya sepasang jago pedang. Akan 
tetapi celakanya gadis ini sulit 
dibujuk dengan ucapan, dan sulit pula 
ditundukkan dengan kekerasan. Hal ini 
menyebabkan Rudra Sangkala penasaran. 
Kalau pada mulanya ia masih berharap 
dapat menundukkan gadis ini, makin 
lama berkelahi menjadi semakin tipis 
harapannya. Dalam keadaan seperti ini 
lalu timbul kekhawatirannya, kalau 
dirinya sampai kalah. Karena timbul 
kekhawatirannya ini, akibatnya 
membangkitkan watak asli Rudra 
Sangkala. Watak yang sesat! 
“Hiaaaattt...!” 
Rudra Sangkala kaget sekali dan 
cepat membuang diri ke belakang, 
berjungkir balik dalam usaha menye-
lamatkan diri. 
Sambaran pedang yang bersinar 
biru itu memang tidak terduga-duga. 
Sedikit saja lambat, dirinya tentu 
akan roboh. 
Tetapi justru oleh serangan ini, 
Rudra Sangkala semakin penasaran. 
Kalau tidak dapat  menundukkan gadis 
ini masih dalam keadaan hidup, 
pendeknya ia harus menang. Meskipun 
demikian ia masih berteriak sambil 
melawan. 
“Adik ayu, apakah engkau masih 
membandel juga?” 
“Mampuslah!” jawaban Dewi Sritan-
jung disusul oleh sambaran pedangnya 
yang dahsyat, dibantu oleh pukulan 
tangan kiri yang melancarkan pukulan 
dari ilmu tangan kosong, Sindung 
Riwut. 
Semua ini menyebabkan Rudra 
Sangkala tambah marah. Hampir saja ia 
mengambil pisau kecil untuk menyerang 
gadis bandel ini. Tetapi niatnya ini 
segera urung, dan ia berpendapat lebih 
baik menundukkan dengan racun wangi. 
Bukankah dengan racun ini, ia dapat 
membuat gadis ayu ini terpengaruh dan 
kemudian pingsan? 
Dalam keadaan gadis ini pingsan, 
dirinya akan dapat menawan. Dan kalau 
sudah dapat menawan, ia akan  dapat 
merayu dan membujuk. Namun sebaliknya 
apabila gadis ini tetap membandel, ia 
akan menggunakan kekerasan. Pendeknya 
sudah timbul keputusan dalam hatinya, 
apabila tidak dapat mendapatkan kasih 
cinta, ia harus dapat memiliki 
tubuhnya. 
Memperoleh keputusan demikian, 
tiba-tiba saja Rudra Sangkala ter-
kekeh. Pedangnya yang bersinar kuning 
itu segera menyambar lagi dengan 
dahsyat 
Trang trang.... siut.... sring 
trang.... 
Beberapa kali terjadi benturan 
pedang yang keras dan nyaring. Pada 
saat pedang berbenturan ini, Rudra 
Sangkala sudah menyebarkan racun wangi 
yang jahat itu. 
Dasar Dewi Sritanjung belum 
berpengalaman menghadapi lawan yang 
biasa berbuat curang, maka ia hanya 
keheranan, ketika tiba-tiba hidungnya 
menghirup bau yang semerbak wangi. 
Karena polos dan tidak curiga, maka 
gadis ini menduga tentu tak jauh dari 
tempat ini terdapat rumpun pohon bunga 
yang menyebarkan bau harum itu. Maka 
gadis ini tidak curiga sedikit pun, 
bahwa bau wangi ini adalah hasil 
perbuatan dari lawan. 

Dewi Sritanjung baru menjadi 
kaget setelah tiba-tiba kepalanya 
pening dan matanya kabur. Merasakan 
keadaan ini ia baru menyadari lawan 
sudah menggunakan racun. Saking 
marahnya, ia membentak nyaring sambil 
menyerang dahsyat sambil mencaci. 
“Jahanam busuk! Engkau curang 
menyebar racun!”