Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 3 - Kobaran Api Asmara(2)



Dua orang gadis ini memang cukup 
tangguh apabila berhadapan dengan 
manusia. Tetapi begitu berhadapan 
dengan puluhan ekor ular besar dan 

kecil yang saling mendesis, menjulur-
kan lidah merah, mereka menjadi ngeri 
dan ketakutan. Tidak tercegah lagi 
niereka mengangkat tangan kiri untuk 
menutup mata dan wajah. Mereka tak 
tahan melihat ular sebanyak itu dan 
sekarang sudah mengurung dari segala 
jurusan. Antara mereka dengan 
Warigagung sekarang telah dipisahkan 
oleh pagar ular hidup. Warigagung 
sudah menyarungkan pedangnya, dan 
sekarang pemuda ini duduk di atas batu 
sambil asyik meniup serulingnya. 
Senang juga hati Warigagung 
melihat lawannya sekarang tidak 
berdaya itu. Kalau saja yang dikurung 
ular itu bukan perempuan, Warigagung 
sudah tentu menurunkan tangan maut. Ia 
bisa menyerang dengan jarum yang 
beracun, atau menggerakkan ular-ular 
itu dengan irama serulingnya untuk 
menyerang. Namun karena perempuan, 
maka dalam hatinya sudah merasa puas 
apabila perempuan ini menjerit-jerit 
minta ampun. 
Tiba-tiba pemuda ini menghentikan 
tiupan serulingnya, gehingga ular-ular 
itu berhenti bergerak. Sejenak 
kemudian terdengar suara Warigagung 
yang tertawa dan berkata, Ha ha ha ha, 
kamu takut ular? Hayo, lekaslah kamu 
minta ampun dan mengaku kalah. Ular-
ular itu akan segera kuusir pergi dan 
engkau takkan diganggu lagi. 
Walaupun ngeri, setelah ular-ular 
itu tidak bergerak, mereka berani 
membuka mata. Namun ketika mendengar 
tuntutan Warigagung supaya menyerah, 
Sarindah yang berangasan menjadi 
marah. 
Huh! bentaknya. Dengan mengandal-
kan ular yang liar itu, kau sudah 
sombong dan lancang mulut? Hayo jika 
engkau memang jantan, singkirkanlah 
ular-ular itu dan kita berkelahi lagi. 
Heh heh heh heh, aku tidak suka 
berkelahi dengan perempuan. Maka biar 
ular-ular itu saja yang mewakili aku 
mengeroyok kamu! sahut Warigagung. 
Walaupun semula mereka takut 
melihat puluhan ular yang datang dan 
menjadi ketakutan, tetapi sekarang 
perasaan itu sudah berkurang. Maka 
mendengar ucapan Warigagung ini mereka 
menjadi salah paham. Mereka mengira 
pemuda itu merendahkan dan menghina. 
Mereka juga mengira diri mereka 
bukanlah lawan yang sepadan. Padahal 
ucapan Warigagung ini sejujurnya, dan 
ia benar-benar merasa tak enak hati 
berkelahi melawan perempuan. Sebab 
setiap berhadapan dengan lawan 
perempuan segera terbayang di depan 
matanya ibunya yang menggeletak mati 
dan mandi darah oleh siksaan ayahnya. 
Karena salah paham Sarindah dan 
Sarwiyah menjadi marah. Lalu 
terdengarah kata Sarindah yang 
lantang, Wiyah! Mari kita bunuh semua 
ular ini. 
Mari! sambut Sarwiyah penuh 
semangat. Kuatkan hatimu dan jangan 
terpengaruh. 
Kakak beradik ini segera bergerak 
dan meloncat menggunakan pedang 
masing-masing untuk mulai membabat 
ular yang mengurung itu. 
Akan tetapi sebaliknya Warigagung 
segera ketawa terkekeh, lalu meniup 
serulingnya dengan nada tinggi. Hingga 
puluhan ular itu bergerak lagi, ada 
yang tiba-tiba berdiri dengan mengang-
kat kepala, sedang ular bandhotan yang 
pendek itu melenting menyambar kakak 
beradik itu. 
Sekalipun hati dua gadis ini 
masih diliputi rasa ngeri dan takut, 
pedangnya segera bergerak juga. 
Beberapa ekor ular segera tertabas 
oleh pedang hingga kelojotan dan mati. 
Dalam waktu singkat dua gadis yang 
setengah ngeri ini sudah membunuh 
banyak ular. Pedangnya sudah dicat 
oleh merahnya darah ular dan di 
sekitar gadis itu sudah digenangi 
darah ular yang berbau amis. Dan 
walaupun mereka berusaha menahan namun 
tidak urung kepala mereka menjadi 
pening, perut mual dan ingin muntah. 
Warigagung tetap saja duduk di 
atas batu dan terus meniup serulingnya 
dengan nada tinggi. Namun demikian ia 
tidak mau mencelakakan kakak beradik 
itu, dan tiupan serulingnya hanya 
menyuruh ular itu menari, dan bukan 
menyerang. Dan celakanya walaupun 
sudah tidak terhitung lagi jumlahnya 
ular yang mati, jumlah itu seperti 
tidak pernah berkurang. Karena tiupan 
seruling itu kuasa mengundang ular 
yang semula masih berdiam diri di 
dalam liang. Malah kalau semula yang 
datang mengurung paling besar hanya 
sebesar ibu jari kaki, sekarang ular 
yang berdatangan lagi ini lebih besar. 
Ada yang sebesar lengan orang dewasa 
dan ada pula yang sebesar betis 
manusia dewasa. 
Darah ular yang anyir membelabar 
di sana sini. Dan bangkai ular telah 
banyak menggeletak memenuhi sekitar 
mereka. Mau tidak mau dua gadis ini 
menjadi ngeri, disamping sudah hampir 
muntah. Saking tak kuasa lagi 
menghadapi keadaan seperti ini, tidak 
tercegah lagi mulut Sarindah sudah 
melengking nyaring. Kemudian disusul 
pula oleh lengkingan Sarwiyah yang 
nyaring tajam untuk memberitahu kepada 
kakeknya, diri mereka berhadapan 
dengan bahaya. 
Tetapi justru kebetulan lengking 
nyaring dua gadis ini mengatasi suara 
seruling. Maka untuk beberapa saat 
ular yang berkerumun itu gerakannya 
kacau tak karuan. Ada yang membalikkan 
diri untuk pergi dan  ada pula yang 
berhenti bergerak. 
Dalam keadaan hampir tidak 
tertahankan lagi ini mendadak 
terdengar bentakan nyaring. Hai, siapa 
berani kurangajar di tempat ini dan 
mengganggu cucuku? 
Bentakan itu disusul dengan 
berkelebatnya bayangan yang cepat. 
Kemudian muncullah Si Tangan Iblis. 
Ketika melihat cucunya dengan wajah 
pucat dan payah dikurung puluhan ular, 
kakek ini menjadi marah. Dua belah 
tangannya bergerak cepat sekali, 
saling susul menyambar ke depan. Angin 
yang amat kuat segera menyambar ke 
arah ular tersebut seperti lesus. Dan 
ular yang terserang ketakutan lalu 
tidak memperdulikan irama seruling 
Warigagung sudah kacau dan pergi. 
Sarindah dan Sarwiyah menjadi 
gembira melihat munculnya sang kakek. 
Dengan berloncatan di sela bangkai 
ular, dua gadis ini segera menghampiri 
Si Tangan Iblis. 
Sebaliknya Warigagung menjadi 
beringas dan marah sekali, melihat 
barisan ularnya bubar berantakan. 
Pemuda ini meloncat berdiri dan dengan 
mata merah serta mendelik sudah 
membentak, Siapa kau, berani mengusir 
ularku? 
Si Tangan Iblis terkekeh, 
jawabnya, Anak, mengapa engkau menjadi 
penasaran? Dan mengapa pula sebabnya 
engkau memusuhi cucuku? Di antara kita 
ini adalah orang sendiri. Apakah 
engkau tidak tahu? 
Mendengar ucapan kakeknya itu 
Sarindah heran, lalu mencela, Kakek, 
pemuda busuk dan liar seperti itu, 
mengapa kau katakan orang sendiri? Dia 
telah memusuhi aku dan akupun belum 
kalah melawan dia! 
Si Tangan Iblis memalingkan 
mukanya, lalu menghardik, Sarindah, 
kau jangan lancang mulut. Dia ini 
bukan orang lain, dia bernama Wari-
gagung murid sahabatku Julung Pujud. 
Kemudian sambil memandang 
Warigagung, kakek ini meneruskan, 
Anak, mana gurumu? 
Mendengar ucapan kakek ini yang 
tepat, Warigagung mengerutkan alis 
tetapi ragu. Benarkah kakek ini 
sahabat gurunya? Tetapi tentu saja pe-
muda ini tak gampang percaya, dan 
malah timbul dugaannya, tentu kakek 
ini berusaha membujuk karena takut 
kepada gurunya. Menduga demikian 
pemuda ini menyahut dingin. 
Hemm, siapa mau percaya kepada 
omonganmu? Hayo katakanlah siapa 
namamu, orang tua? 
Tetapi sikap Warigagung yang agak 
kurang menghormat ini tidak menye-
babkan Si Tangan Iblis marah. Memang 
ada sebabnya. Pertama, berhadapan 
dengan guru pemuda ini kalau sampai 
terjadi perselisihan adalah amat 
berbahaya. Yang kedua, Si Tangan Iblis 
memang mempunyai maksud tertentu. Ia 
ingin mengikat persahabatan dengan 
Julung Pujud kerena tenaga kakek itu 
apabila dapat dibujuk amat penting 
artinya bagi cita-citanya. 
Hemm, orang muda, apakah gurumu 
tidak pernah menyebut nama Si Tangan 
Iblis yang berdiam di Tosari? 
pancingnya. Dalam hati ia menduga 
pasti, bahwa bocah ini sudah pernah 
mendengar namanya. 
Namun ternyata dugaan Si Tangan 
Iblis ini salah. Warigagung mengge-
lengkan kepalanya dan menjawab, Aku 
belum pernah mendengar dan Guru tidak 
pernah menyebut pula. 
Si Tangan Iblis mengerutkan 
alisnya tidak senang. Benarkah Julung 
Pujud tidak pernah menyebut namanya? 
Dan benar pulakah Julung Pujud 
menganggap dirinya rendah, sehingga 
tidak pernah mau menyebut namanya? 
Diam-diam kakek ini penasaran. Ia 
merasa dirinya pilih tanding tetapi 
mengapa diremehkan Julung Pujud? 
Kakek ini lupa akan watak dan 
tabiat Julung Pujud yang aneh, yang 
lain dari yang lain. Sejak mudanya 
Julung Pujud adalah seorang angkuh, 
mau menang sendiri dan merasa tanpa 
tanding. Itulah sebabnya dahulu dia 
dimusuhi banyak tokoh sakti. Karena 
watak dan tabiatnya ini maka barang 
tentu Julung Pujud tak pernah 
memandang sebelah mata kepada orang 
lain. Dan tak aneh pula kalau ia tidak 
pernah menceritakan perihal orang 
sakti kepada muridnya. Dan inilah 
sebabnya Warigagung tidak mengenal Si 
Tangan Iblis. 
Akan tetapi kakek ini belum 
percaya. Mungkin Julung Pujud tidak 
menyebut namanya aseli. Karena itu ia 
bertanya lagi, Dan nama Taruno? 
Warigagung menggelengkan kepala-
nya lagi dan menjawab, Tidak pernah. 
Si  Tangan Iblis menjadi amat 
penasaran mendengar jawaban seperti 
ini. Ia termasuk pula seorang yang 
selalu membanggakan diri sebagai ma-
nusia sakti pilih tanding. Baik 
keganasan, kekejaman maupun keane-
hannya tidak terpaut banyak dengan 
Julung Pujud. Maka dengan nada tidak 
senang Si Tangan Iblis berkata. 
Huh, baiklah jika demikian. 
Sekarang katakanlah apa maksudmu 
datang dan mengacau di sini? 
Warigagung menjadi tidak senang 
dituduh mengacau itu. Kenyataan ia 
tidak mengacau, dan dua orang gadis 
itu sendiri yang menyerang dirinya. 
Tetapi dasar Warigagung tidak kalah 
anehnya dengan Julung Pujud. Maka 
pemuda ini mendelik dan membentak 
lantang. Aku mengacau? Aku datang 
kemari tidak mengganggu siapapun. Dan 
kalau tidak ingat dia perempuan, 
apakah mungkin masih bernyawa lagi? 
Jangan mengumbar mulut tanpa 
aturan! balas Sarindah tidak kurang 
galak dan lantangnya. Hayo, jika 
engkau memang jantan, cabut pedangmu 
dan mari kembali berkelahi sampai 
siapa yang mandi darah. 
Warigagung terkekeh. Jawabnya, 
Jika engkau laki-laki, tantanganmu 
akan segera kusambut dengan keras. 
Tetapi karena kau perempuan, aku tak 
melayani. Terserah penilaianmu, kau 
anggap pengccut atau takut terserah! 
Tetapi justru jawaban Warigagung 
yang terus terang ini malah menye-
babkan Sarindah tamhah penasaran 
merasa direndahkan. Maka sambil 
mendelik dan meraba hulu pedangnya 
gadis ini membentak lagi, Bangsat 
busuk! Engkau berani merendahkan aku? 
Sangkamu tiap perempuan lemah dan 
tidak ada harganya melawan kau? Nih, 
makanlah! 
Sarindah sudah melompat maju 
dengan pedang terhunus. Maksudnya akan 
segera menyerang Warigagung yang 
dianggapnya terlalu merendahkan dan 
menghina itu. Namun Si Tangan Iblis 
waspada. Kakek ini bermata tajam dan 
ia tahu cucunya ini bukanlah lawan 
pemuda itu yang seimbang. Bukti sudah 
ada, dengan mengeroyok saja tak dapat 
mengalahkan, apalagi hanya seorang 
diri. Manakah mungkin? Dan hal itu 
malah akan menimbulkan rasa malu saja. 
Indah, jangan lancang! cegah 
kakeknya. Serahkan kepada kakekmu 
untuk mengurus bocah ini. 
Sekalipun Sarindah marah terpaksa 
mundur teratur. Kalau sekarang 
kakeknya sanggup "mengurus" berarti 
akan menyelesaikan bocah kurangajar 
itu. Maka diam-diam ia berharap agar 
kakeknya menangkap pemuda liar itu 
kemudian  ia bisa menghina dan 
menyiksanya. Sebab pemuda ini sombong 
dan merendahkan dirinya. 
Si Tangan Iblis memandang Wari-
gagung penuh perhatian. Kemudian 
dengan nada yang masih sabar ia 
bertanya, Katakanlah. Mana gurumu? 
Sebab tidak pada tempatnya apabila aku 
harus berurusan dengan engkau, orang 
muda. 
Dasar Warigagung seorang pemuda 
aneh. Ia ketawa terkekeh, lalu 
jawabnya, Heh heh heh heh, apakah 
setiap aku pergi harus disertai oleh 
Guru? Huh, huh apakah aku ini bocah 
cilik, sehingga harus diawasi terus 
oleh Guru? Hemm, engkau tadi bilang 
akan menyelesaikan urusanku. Urusan 
apa? Aku tidak mempunyai urusan apa-
apa. Kalau tadi sampai terjadi 
perselisihan, bukan aku yang memulai, 
tetapi malah cucumu itu sendiri. Aku 
tadi tertawa sendiri, mengapa cucumu 
menjadi marah dan menyerang aku? 
Akan tetapi sekalipun cucunya 
yang bersalah, manakah mungkin Si 
Tangan Iblis mau mengerti dan 
menyalahkan cucunya sendiri? Oleh 
sebab itu bentaknya lantang, Hai orang 
muda. Apakah maksudmu keluyuran di 
tempat ini? 
Apakah sebabnya aku harus 
memberitahu kepada engkau? sahut 
Warigagung dengan ketus. Gunung ini 
siapakah pemiliknya? Setiap orang 
mempunyai hak untuk menginjak dan 
menikmati  keindahannya. Aku senang 
melihat pemandangan disini, maka tim-
bullah keinginanku untuk menjelajah. 
Tentu saja menjelajah suatu daerah, 
bermaksud bisa mengetahui keadaan 
sebaik-baiknya. 
Kurangajar! bentak Sarindah yang 
masih panas. Kalau demikian engkau 
datang ke tempat ini mempunyai maksud 
tidak baik. Engkau tentu menyelidik. 
Apa? Menyelidik? Menyelidik apa? 
Warigagung mendelik. Apakah sangkamu 
gunung ini merupakan gunung emas, 
sehingga setiap orang yang kesini akan 
mencuri emas? Heh heh heh heh, lueu!! 
Apakah engkau yang menjadi pemilik, 
sehingga bisa melarang orang datang? 
Di saat mereka saling bantah dan 
merasa diri masing-masing benar ini, 
mendadak terdengarlah suara orang 
menembang, tembang Durma, yang isinya 
menantang kepada Tangan Iblis. 
Heh Taruno, Si Tangan Iblis 
keparat!  
Kowe aja mung ndhelik.  
Yen nyata prawira. Pethukna 
krodhaningwang.  
Iki Mahisa Jaladri.  
Mungsuhmu lawas.  
Sapa Lena ngemasi.  
Suara orang yang menembang itu 
terdengar  jelas, sayup-sayup terbawa 
angin. 
Si Tangan Iblis mengerutkan 
alisnya dan tampak sedang mengingat-
ingat nama Mahisa Jaladri. Tiba-tiba 
saja kakek ini terkekeh nyaring dan 
tajam di udara. 
Hai, manusia busuk Mahisa 
Jaladri, teriaknya. Aku disini dan kau 
jangan asal dapat membuka mulut! 
Suara teriakan Si Tangan Iblis 
itu nyaring sekali dan bisa terdengar 
dari tempat jauh. Dan sesaat kemudian 
terdengar pula suara jawaban dari 
tempat jauh dan jelas. 
Bagus, heh heh heh. Engkau jangan 
menjadi pengecut dan menyembunyikan 
diri sebelum aku datang. 
Jangan sombong. Aku menanti di 
sini! 
Sarindah, Sarwiyah dan Warigagung 
yang mendengar tantang-menantang dari 
tempat jauh itu menjadi tegang dan 
berdebar. Mereka menunggu perkembangan 
lebih lanjut, sehingga melupakan 
urusan sendiri. 
Tak lama kemudian dari tempat 
yang agak jauh dan di bagian bawah, 
tampak seseorang yang gerakannya cepat 
sekali. Walaupun orang itu sedang 
mendaki, namun gerakannya seperti 
terbang saja. Diam-diam tiga orang 
muda ini berdebar. Menilik gerakannya 
yang ringan dan amat cepat itu, dapat 
diduga orang yang menantang itu bukan 
orang sembarangan. Dengan demikian 
akan segera terjadilah perkelahian 
hebat. 
Tiga orang muda ini kemudian 
terbelalak memandang perhatian kepada 
seorang kakek yang baru saja tiba. 
Kakek ini membiarkan rambutnya acak-
acakan tidak disanggul dan tidak 
ditutup dengan ikat kepala. Pakaiannya 
menarik dan aneh sekali, karena 
pakaiannya itu warna-warni seperti 
pakaian bocah kecil. Kumis dan 
jenggotnya seperti buntut tikus. 
Melihat itu sekalipun Warigagung 
sendiri membiarkan rambutnya keriapan, 
menjadi geli dan lalu ketawa ter-
pingkal-pingkal seperti melihat badut 
yang beraksi di atas panggung. 
Mahisa Jaladri tidak senang dan 
tersinggung. Ia mendelik ke arah 
Warigagung dan bentaknya, Kurangajar! 
Engkau berani menertawakan aku? 
Aku tertawa sendiri, siapakah 
yang melarang? Heh heh heh heh, sahut 
pemuda itu tanpa gentar sedikitpun 
Mahisa Jaladri mengalihkan 
pandang matanya ke arah Si Tangan 
Iblis. Kemudian tanyanya, Hai Taruno. 
Muridmukah bocah liar ini? 
Hemm..... siapakah yang sudi 
mempunyai murid seperti itu? sahut Si 
Tangan Iblis dingin. Sudahlah, apa 
maksudmu sesudah engkau berhadapan 
dengan aku? Engkau mengumbar mulut 
tanpa aturan. Apakah kau ingin kugebug 
seperti dulu? 
Mahisa Jaladri ketawa dingin. 
Sahutnya, Heh heh heh heh, sudah lama 
sekali aku mencari kau, tetapi engkau 
menyembunyikan diri seperti bekicot. 
Huh, itulah sebabnya aku menantang 
engkau di sepanjang jalan. 
Kakek ini berhenti sejenak dan 
mengamati Si Tangan Iblis. Setelah 
puas, terusnya, Huh huh, dahulu memang 
benar engkau bisa memukul aku. Tetapi 
sekarang, mari kita tentukan siapakah 
yang lebih unggul. Kalau aku kalah 
biarlah aku mampus. Tetapi sebaliknya 
apabila kau kalah, kaupun harus 
mampus, heh heh heh. 
Sepasang mata Si Tangan Iblis 
memancarkan api saking marahnya. Lalu 
katanya geram, Mahisa Jaladri! Kalau 
saja engkau tidak mengumbar mulut 
disepanjang jalan, mungkin aku masih 
bisa mengampunimu. Tetapi karena kau 
sudah lancang mulut, jangan sesalkan 
aku jika tanganku menjadi kejam dan 
membunuh kau! 
Akan tetapi Mahisa Jaladri 
menyambut ancaman itu dengan ketawanya 
yang terkekeh. Sahutnya tak kalah 
garang, Dan sebaliknya, engkaupun 
harus membayar hutangmu dengan bunga. 
Katakanlah, siapakah dua orang gadis 
itu? Muridmu? 
Hai tua bangka! teriak Sarindah 
marah. Kalau aku cucunya, kau bisa 
apa? Engkau sudah hampir mampus masih 
juga banyak tingkah. 
Mahisa Jaladri terkekeh gembira 
mendengar dua gadis itu cucu Tangan 
Iblis. Saking dalam dendamnya kepada 
Tangan Iblis, lalu timbullah niat 
kakek ini yang mengerikan. Kalau 
dahulu Si Tangan Iblis yang menghan-
curkan rumah tangganya dengan 
memperkosa isterinya, maka apabila 
berhasil mengalahkan Tangan Iblis, ia 
akan menuntut bunganya. Perempuan muda 
ini akan dibalas untuk dihina dan 
diperkosa. 
Memperoleh pikiran seperti ini, 
Mahisa Jaladri terkekeh seperti iblis. 
Katanya, Heh heh heh heh, bagus 
sekali! Tangan Iblis harus membayar 
bunga yang mahal. Huh, jika kau 
mampus, dua orang cucumu yang cantik 
akan segera aku permainkan seperti 
perlakuanmu waktu itu kepada isteriku. 
Bangsat tua! tiba-tiba Warigagung 
melesat ke depan sambil mencaci. 
Pemuda ini sekarang sudah berdiri di 
depan Mahisa Jaladri dengan mendelik. 
Dampratnya, Apa katamu tadi? Engkau 
akan menghina perempuan? Huh, di 
depanku mana bisa kau berbuat 
sekehendak hatimu sendiri? 
Mahisa Jaladri terbelalak kaget. 
Namun sesaat kemudian ia terkekeh, Heh 
heh heh heh, engkau  mau apa? Dan 
apamukah dua gadis itu? 
Dia bukan apa-apa denganku. Malah 
kenalpun aku belum! Tetapi sekalipun 
belum kenal, dia adalah perempuan 
seperti ibuku yang sudah meninggal. 
Siapapun yang berani menghina perem-
puan, lebih dahulu  harus berhadapan 
dengan aku. 
Si Tangan Iblis maupun dua orang 
cucunya heran mendengar jawaban 
Warigagung itu. Tetapi Sarindah justru 
gadis angkuh. Ia mendelik curiga dan 
cepat salah duga mengapa sebabnya 
pemuda itu tiba-tiba menjadi pembela. 
Ia mengira Warigagung akan menjual 
jasa karena tertarik oleh kecan-
tikannya. Siapakah yang sudi ber-
sahabat dengan pemuda liar seperti 
itu? 
Karena salah duga Sarindah sudah 
membentak, Kurangajar kau! Siapakah 
yang sudi minta bantuanmu? Aku dan 
adikku tidak membutuhkan bantuan 
pemuda macam kau. 
Warigagung memalingkan kepalanya 
ke arah Sarindah dengan alis berkerut. 
Kemudian terdengar jawabannya, Apakah 
sangkamu, aku mengharapkan balas jasa? 
Pendeknya engkau butuh bantuan maupun 
tidak, aku akan membunuh setiap laki-
laki yang berani menghina wanita. 
Tangan Iblis tambah heran 
mendengar ucapan pemuda ini. Sebab 
dari nada ucapan dan sikapnya, jelas 
pemuda ini bicara jujur. Apakah 
sebabnya  murid Julung Pujud ini 
mempunyai pendirian seaneh ini? 
Akan tetapi Si Tangan Iblis 
sekarang ini merasa ditantang Mahisa 
Jaladri hingga tidak telaten lagi 
orang berbantahan. Ia melangkah maju, 
lalu dengan sikap halus ia berkata, 
Anak, terima kasih atas perhatianmu 
kepada cucuku. Namun engkau harap 
mundur dulu. Sebab yang ditantang 
bukan kau tetapi aku. Anak, kalau 
terjadi apa-apa, bukankah gurumu akan 
marah kepadaku? 
Kalau saja Si Tangan Iblis ini 
ucapannya kasar dan mengusir manakah 
mungkin pemuda aneh ini mau tunduk? Ia 
tentu menjadi tersinggung dan marah. 
Namun karena sikap Si Tangan Iblis 
halus dan membujuk, maka tanpa diminta 
untuk dua kalinya, Warigagung sudah 
mengundurkan diri. Lalu pemuda ini 
berdiri agak menjauh, namun seru-
lingnya tetap masih terpegang oleh 
tangan. Ia akan segera mengundang 
barisan ular, apabila dua orang gadis 
itu dalam bahaya dan agar dapat 
melindungi keselamatan gadis itu. 
Mahisa Jaladri yang tidak senang 
akan sikap dan kelancangan Warigagung, 
bertanya kepada Si Tangan Iblis, 
Siapakah bocah kurangajar itu? Huh, 
terangkanlah sebelum kau mampus. 
Si Tangan Iblis terkekeh me-
ngejek, Heh heh heh heh, kalau engkau 
mendengar nama guru bocah itu, kau 
tentu ketakutan setengah mati. De-ngar 
baik-baik, dia bernama Warigagung dan 
murid Julung Pujud. 
Benar juga dugaan Si Tangan 
Iblis. Mendengar disebutnya nama 
Julung Pujud, maka Mahisa Jaladri 
kaget. Namun demikian ia cepat ber-
hasil menekan perasaannya, sehingga 
perubahan wajahnya tidak tampak. 
Bentaknya kemudian, Huh, Taruno! 
Katakanlah sekarang, kau ingin mati 
dengan cara apa? 
Heh heh heh heh, kau takabur! 
sahut Si Tangan Iblis mengejek. Kau 
yang segera akan mampus, masih juga 
banyak mulut. Kita tua sama tua, maka 
kau kupersilakan memilih dengan cara 
apa kita selesaikan urusan lama ini ? 
Huhh huhh, dengan cara apa? Kita 
berkelahi sampai salah seorang mampus. 
Hayo, kita mulai sekarang juga! 
bentaknya. 
Lalu tanpa memberi kesempatan 
kepada lawan, ia sudah menyerang. 
Agaknya Mahisa Jaladri sudah tidak 
sabar lagi dan ingin cepat-cepat dapat 
membalas sakit hatinya. 
Ketika tangan Mahisa Jaladri 
dengan telapak tangan terbuka menampar 
ke depan, angin yang dahsyat segera 
menyambar ke depan. Dan walaupun tidak 
tampak, angin ini tidak boleh 
diremehkan, karena tamparan ini 
mengandung hawa panas  seperti lahar 
gunung berapi. Apabila yang terserang 
angin tamparan ini sebatang pohon, 
maka pohon itu akan segera hangus dan 
tumbang. Dan apabila tamparan itu 
diarahkan kepada batu, maka batu itu 
akan hancur lebur. 
Akan tetapi yang dihadapi 
sekarang ini seorang tokoh sakti yang 
terkenal dengan julukannya Si Tangan 
Iblis. Seorang tokoh sakti pula dan 
terkenal dengan tangannya yang ganas. 
Ia sudah dapat menduga apabila orang 
ini dahulu pernah ia kalahkan, 
sekarang datang dan  menantang. Maka 
walaupun Si Tangan Iblis seorang 
angkuh, ia tidak berani sembrono. 
Cepat-cepat ia menggeser diri ke 
samping sambil mengebut dengan telapak 
tangan untuk memunahkan serangan 
lawan. 
Perkelahian dua orang kakek yang 
dipengaruhi oleh dendam kesumat ini 
dalam waktu singkat terjadi sengit 
sekali. Mereka bergerak cepat, makin 
lama tubuh dua orang itu seakan 
lenyap, tinggal merupakan bayangan 
berkelebat dan segulung warna 
pakaiannya. Angin yang dahsyat dan 
panas menyambar ke sekitarnya, dan mau 
tidak mau tiga orang muda itu terpaksa 
mundur menjauhi. 
Daun-daun dan ranting pohon di 
sekitar gelanggang perkelahian itu 
rontok dan bosah-basih. Rumput yang 
semula menghijau segera layu seperti 
disiram air panas, hingga tiga orang 
muda  yang melihat perkelahian itu 
hatinya tegang sekali. Mereka sadar, 
salah seorang tentu tak bernyawa dalam 
perkelahian ini. 
Hawa di sekitar gelanggang 
perkelahian semakin menjadi panas, 
bertentangan dengan keadaan sehari-
hari, pegunungan ini berhawa dingin. 
Memang tidak aneh apabila sampai 
terjadi keadaan seperti ini. Selama 
puluhan tahun di Tidar, Mahisa Jaladri 
menggembleng diri. Hati yang mendendam 
karena sakit hati mendorong kakek ini 
melatih diri secara tekun dan tidak 
mengenal lelah. Sebagai hasil ke-
tekunan dan keuletannya berlatih ini 
ia mendapat kemajuan pesat sekali. Di 
sekitar desa tempat tinggalnya, ia 
terkenal sebagai kakek sakti yang 
dihormati dan dipuja-puja karena 
terkenal anti kejahatan. 
Sekarang ia telah bertemu dan 
berkelahi dengan orang yang 
menyebabkan hidupnya merana. Sekarang 
hanya satu di antara dua yang harus 
dihadapi. Kalah berkelahi dan mati 
atau menang dan bisa membalas dendam. 
Orang yang dipengaruhi dendam yang 
mendalam tentu saja sepak terjangnya 
setengah nekad. Ia mengerahkan seluruh 
kemampuannya,  dan makin lama 
serangannya semakin menjadi hebat dan 
berbahaya. 
Melihat sepak terjang Mahisa 
Jaladri ini dalam hati Si Tangan Iblis 
tertawa mengejek. Ia justru orang yang 
cerdik dan licin. Ia seorang ganas 
tetapi juga banyak tipu  muslihatnya. 
Padahal pantangan bagi seorang yang 
sedang berkelahi, kalau sudah tidak 
kuasa mengendalikan perasaannya. Sebab 
orang itu akan menjadi seperti kalap, 
sehingga kurang memperhatikan 
penjagaan diri. Maka Si Tangan Iblis 
yang sudah mengetahui kelemahan lawan 
ini, segera menggunakan keadaan ini 
sebaik-baiknya. 
Demikianlah, perkelahian ini 
berlangsung sengit sekali dan duaratus 
jurus sudah dilalui. Namun belum juga 
bisa diketahui mana yang lebih unggul. 
Tidak seorangpun yang kendor serangan 
dan perlawanannya. Sedang hawa panas 
semakin melanda sekitarnya hingga 
rumput kering dan mati. 
Warigagung menjadi tidak telaten 
menonton perkelahian itu. Pemuda ini 
memasang serulingnya di depan mulut, 
lalu berlagu untuk menghibur diri 
sambil melangkah pergi. Melihat itu 
Sarindah yang masih penasaran kepada 
pemuda itu menjadi marah. 
Hai! Mau ke mana kau! bentaknya 
sambil memburu. 
Sarwiyah berusaha mencegah, 
Mbakyu, biarkan dia pergi! 
Tetapi Sarindah tidak peduli dan 
malah menjadi marah. Hardiknya, Wiyah! 
Kau mau menentang aku? Huh, tidak kau 
bantupun aku berani menghadapi dia! 
Sarwiyah terpaksa menutup mulut, 
kemudian mengikuti mbakyunya yang 
mengejar Warigagung. 
Oleh bentakan Sarindah itu 
Warigagung membalikkan tubuh, ia 
berhenti meniup seruling dan memandang 
Sarindah yang sudah memegang pedang 
terhunus. Mata pemuda ini berkedip-
kedip, kemudian bertanya, Aku mau 
pergi, apakah sebabnya kau meng-
halangi? 
Urusan kita belum selesai. 
Mengapa kau mau ngacir pergi ? 
Warigagung menjawab dengan nada 
dingin, Hemm, antara aku dan engkau 
tiada urusan apa-apa. Karena itu 
engkau jangan mengganggu aku lagi. 
Huh, enak saja kau membuka mulut. 
Pendeknya aku belum puas sebelum 
engkau mampus di tanganku! 
Warigagung memandang Sarindah 
dengan pandang mata heran. Sepasang 
matanya tiba-tiba menyala kembali, 
sesudah ia ingat yang dihadapi 
sekarang ini perempuan. Ia tidak 
mungkin mau bertengkar dengan 
perempuan. Tetapi sebaliknya iapun 
tidak mau celaka di tangan perempuan. 
Hemm, kalau saja kau laki-laki, 
ucapanmu  yang lancang ini sudah 
kujadikan alasan untuk membunuh kau. 
Tetapi karena engkau perempuan, aku 
tidak mau berkelahi. 
Akan tetapi justru ucapan 
Warigagung ini malah menyebabkan Sa-
rindah tambah marah. Ia merasa diren-
dahkan. Bentaknya lantang, Bangsat 
busuk. Engkau jangan menggunakan 
alasan yang dicari-cari. Dengar, belum 
tentu perempuan kalah dengan laki-
laki. Huh huh, dan jika kau 
beranggapan perempuan itu lemah, baik! 
Sekarang anggaplah aku bukan peremp-
uan. Aku seorang laki-laki yang 
sanggup membunuh kau! 
Sepasang mata Warigagung menyala 
liar. Tantangan ini kuasa membang-
kitkan kemarahannya. Namun sesaat 
kemudian ia ingat kembali bagaimanapun 
yang dihadapi sekarang ini perempuan, 
sekaum  dengan ibunya. Karena itu 
segera terbayang kembali peristiwa 
belasan tahun lalu, ibunya mati di 
tangan ayahnya sendiri. 
Ia menghela napas, lalu jawabnya, 
Tidak! Aku tidak boleh melawan 
perempuan. Ibuku di alam sana akan 
menyumpah menjadi seekor cacing. Ti-
dak! Aku tidak mau berkelahi dengan 
kau! 
Sarwiyah merasa heran. Dan 
sebagai seorang gadis yang perasaannya 
halus, sabar dan teliti, ia segera 
bisa menduga apa yang sudah terjadi 
atas pemuda ini. Agaknya pemuda ini 
ingat pesan ibunya sebelum meninggal, 
tidak boleh bermusuhan dengan 
perempuan. Diam-diam ia menjadi 
terharu kepada Warigagung. Dirinya 
sendiri sudah tidak berayah bunda, dan 
kiranya pemuda inipun demikian pula, 
dan berarti pemuda ini senasib dengan 
dirinya. Dalam pada itu, kalau pemuda 
ini  tidak  mau bermusuhan, mengapa 
kakaknya ingin memaksa? Ia harus bisa 
mencegah. 
Mbakyu, jika dia memang tidak mau 
melawan mengapakah sebabnya kau 
memaksa? Biarkanlah dia pergi dan mari 
kita lihat siapa yang menang antara 
kakek dengan orang itu. 
Tetapi ia malah dibentak oleh 
Sarindah, Kurangajar kau! Apakah 
engkau menerima demikian saja dihina 
dan direndahkan bocah busuk itu? Dia 
begitu sombong, hayo tak usah banyak 
mulut, kita bunuh habis perkara! 
Sarwiyah tidak senang atas sikap 
kakaknya ini. Namun kalau harus 
menentang saudara tuanya juga tidak 
sanggup. Gadis ini memandang Wari-
gagung dengan ragu. Pandang matanya 
demikian sayu dan seakan minta kepada 
pemuda itu agar mau mengalah. 
Warigagung dapat pula menangkap 
sinar mata gadis itu yang lembut, 
berbeda dengan kakaknya, dan seakan 
penuh harap agar mau mengalah kepada 
kakaknya. Walaupun pemuda liar dan 
ganas,  tetapi Warigagung mempunyai 
kelembutan jika berhadapan dengan 
perempuan. Hatinya tergetar dan merasa 
iba pula kepada gadis ini. 
Sudahlah, kata Warigagung. Aku 
mengaku kalah, dan sekarang izinkahlah 
aku pergi meninggalkan tempat ini 
untuk melanjutkan perjalanan. 
Sarwiyah gembira sekali mendengar 
ucapan pemuda itu yang sesuai dengan 
harapannya. Ia berharap agar urusan 
ini selesai sampai di sini. 
Akan tetapi di luar dugaannya, 
Sarindah bukannya menjadi reda oleh 
sikap mengalah pemuda ini, malah 
bentaknya, Huh, enak saja kau mengaku 
kalah. Orang yang merasa kalah harus 
tunduk kepada yang menang. Huh, aku 
baru mau percaya jika kau benar-benar 
merasa kalah, jika engkau mau duduk 
bersila di depanku, kemudian menyembah 
aku tujuh kali. 
Sepasang mata Warigagung kembali 
menyala.  Ia amat tersinggung karena 
perintah itu amat merendahkan. Padahal 
apa yang diucapkan tadi bukan dirinya 
benar-benar kalah, dan ia hanya me-
ngalah saja, karena tak mau berurusan 
dengan perempuan. Bagaimana rasa 
segannya bermusuhan dengan perempuan, 
diam-diam pemuda ini menjadi tidak 
senang. Biarlah untuk hadiah bagi 
perempuan galak dan cerewet dan mau 
menang sendiri ini, perlu dihajar 
sedikit. Namun sebaliknya terhadap 
Sarwiyah yang halus itu bagaimanakah 
mungkin dirinya tega? Gadis itu takkan 
diganggu. 
Hemm, engkau terlalu memaksa aku! 
katanya. Jika demikian hayo kita coba 
lagi, siapa yang menang dan siapa pula 
yang kalah. 
Tanpa banyak mulut lagi, 
mendengar ucapan Warigagung ini, 
Sarindah sudah menerjang ke depan 
dengan pedangnya. Sarwiyah menyesal 
bukan main karena ia tadi sudah 
berusaha mencegah, namun ternyata 
kakaknya sudah memulai. Apa boleh 
buat. Ia tidak tega kepada kakaknya, 
maka iapun segera menghunus pedang dan 
membantu. 
Warigagung jungkir balik ke 
belakang menghindarkan serangan men-
dadak itu. Tiba-tiba pada tangan kanan 
sudah terpegang pedang hitam berhulu 
tiruan kepala ular. 
Trang trang.... pedangnya ber-
hasil menangkis pedang dua gadis itu 
hingga terpental menyeleweng. Secepat 
kilat Warigagung melesat ke samping. 
Sebab ia tahu, pedang gadis yang 
terpental itu masih dapat menyerang 
lagi. 
Sarindah yang amat penasaran ini 
menyerang dengan sengit. Sebaliknya 
Sarwiyah yang agak ragu, serangannya 
hanya sekedar membantu dan tidak 
sungguh-sungguh. Warigagung mengerut-
kan alis atas sikap gadis ini, dan 
diam-diam timbul  rasa terima kasih 
kepada Sarwiyah. 
Akan tetapi Sarindah merasakan 
pula keraguan adiknya. Ia menjadi 
marah, bentaknya, Wiyah! Mengapa se-
babnya kau tidak sungguh-sungguh? Kau 
jangan main sandiwara. 
Sarwiyah terkejut sekali. Ia 
menjadi serba salah. Untuk menyerang 
benar-benar ia tidak sampai hati 
justru pemuda itu tidak bersalah. 
Tetapi sebaliknya kalau tidak sungguh-
sungguh, kakaknya marah. 
Trang trang.......pedangnya 
berhasil menangkis pedang dua gadis 
itu hingga terpental menyeleweng. 
Sementara itu Si Tangan Iblis 
kaget ketika melihat cucunya berkelahi 
lagi dengan murid Julung Pujud. 
Mengapa cucunya itu tidak mau men-
dengar nasihatnya? Kakek ini menjadi 
gelisah dan khawatir, karena ia tahu 
dua orang cucunya itu takkan menang 
melawan Warigagung. Dan bukan saja 
Warigagung bukan lawan yang seimbang. 
tetapi apabila guru bocah itu tiba-
tiba muncul bisa menimbulkan salah 
paham dan merugikan rencananya. Namun 
demikian untuk mencoba mencegah dengan 
teriakan, juga tidak mungkin. 
Jalan satu-satunya ia harus 
selekasnya dapat mengalahkan Mahisa 
Jaladri. Tiba-tiba kakek ini membentak 
nyaring, disusul dari telapak 
tangannya mengepul uap hitam yang 
segera menyerang Mahisa Jaladri. 
Inilah Aji Mega Langking. Apabila 
digunakan  dari telapak tangan segera 
keluar asap hitam. Dan asap hitam ini 
amat berbahaya karena mengandung 
racun. Orang yang terserang segera 
keracunan. 
Mahisa Jaladri juga insyaf akan 
bahayanya asap hitam itu. Ia segera 
mengebut untuk menghalau dan 
membuyarkan asap hitam itu. Tetapi 
celakanya karena harus repot mengebut 
dan mengusir asap hitam ini Mahisa 
Jaladri menderita rugi. Makin lama ia 
semakin terdesak, sedang asap hitam 
yang keluar dari telapak tangan Si 
Tangan Iblis makin lama menjadi tambah 
tebal. 
Tak lama kemudian terdengar jerit 
ngeri dan panjang dari mulut Mahisa 
Jaladri, disusul robohnya tubuh kakek 
itu. Ternyata oleh serangan Aji Mega 
Langking itu, Mahisa Jaladri tidak 
kuasa bertahan. Ia kemudian roboh dan 
nyawa melayang, dalam keadaan 
menyedihkan sekali. Dari lubang 
hidung, mata, telinga dan lubang tubuh 
lain keluar darah hitam. 
Si Tangan Iblis ketawa panjang 
setelah berhasil merobohkan lawannya. 
Sejenak kemudian tubuhnya meluncur 
seperti anak panah, ke arah Warigagung 
yang sedang berkelahi melawan Sarindah 
dan Sarwiyah. Ketika tangan kakek ini 
mengebut, tiga orang muda itu 
terhuyung mundur beberapa langkah ke 
belakang. Si Tangan Iblis berdiri di 
antara mereka dengan sepasang mata 
menyinarkan api saking marah. 
Bocah kurangajar! bentaknya 
kepada Warigagung. Apakah engkau 
menyombongkan kepandaianmu di tempat 
ini ? 
Sebelum Warigagung sempat me-
nyahut, Sarwiyah mendahului, Kakek, 
bukan dia yang salah.... 
Wiyah! Tutup mulutmu. Apakah 
engkau akan membela lawan? bentak 
Sarindah sambil mendelik. 
Akan tetapi kali ini Sarwiyah 
yang merasa pada pihak yang benar, 
tidak mau mengalah begitu saja. Apa 
yang terjadi justru mbakyunya yang 
terlalu mendesak, dan ia tidak tega 
pemuda yang tidak bersalah itu 
dibentak kakeknya. 
Aku tidak membela siapapun! 
bantahnya. Aku hanya mengatakan 
sebenarnya, toh dia tadi mau pergi 
tetapi kau cegah. Malah dia sudah 
mengaku kalah, tetapi engkau memaksa 
dan malah mengajak berkelahi. 
Huh huh, Sarindah geram, engkau 
anak kecil tahu apa? Kedatangannya ke 
tempat ini amat mencurigakan. Sudah 
tentu dia mengandung maksud yang tidak 
baik. 
Sarindah bukan saja galak tetapi 
juga licin. Ia segera dapat menga-
lihkan persoalan yang dapat 
menyudutkan Sarwiyah, kepada soal lain 
yang cukup beralasan. Dengan demikian 
kakeknya tentu dapat membenarkan 
sikapnya, bahwa apa yang sudah 
dilakukan sudah sesuai dengan 
wewenangnya. 
Ternyata jawaban Sarindah ini 
berpengaruh terhadap kakeknya. Si 
Tangan Iblis menatap Warigagung penuh 
selidik. Kemudian katanya angkuh, Huh 
huh, kalau saja aku tidak memandang 
muka gurumu, hemm, mana bisa aku 
mengampuni kelancanganmu ini? Seka-
rang, lekaslah kau minggat dari tempat 
ini dan lebih dahulu kau harus mohon 
maaf kepadaku! 
Manakah mungkin Warigagung mau 
menerima begitu saja, oleh sikap kasar 
dan bentakan orang? Sepasang mata 
pemuda itu menyala seperti 
mengeluarkan api saking marahnya. 
Tetapi ketika pandang matanya ter-
tumbuk sinar mata Sarwiyah yang redup, 
yang penuh iba dan permohonan, tiba-
tiba saja hati pemuda ini menjadi 
ragu. Hanya saja pengaruh pandang mata 
Sarwiyah itu cuma sekejap. 
Lalu pemuda ini menatap tajam 
kepada Si Tangan Iblis, sahutnya 
ketus, Aku tidak bersalah apa-apa, 
mengapa sebabnya aku harus minta maaf? 
Sudah aku katakan gunung ini tiada 
pemiliknya, dan apabila ada orang yang 
mengaku sebagai pemilik adalah bohong. 
Huh, apabila orang menginjakkan kaki 
di gunung ini lalu dituduh melakukan 
sesuatu, mana mungkin aku bisa 
menerima begitu saja? Pendeknya aku 
bukan anjing. Aku berada di tempat ini 
tidak lain untuk menghibur diri, dan 
kalau aku sudah bosan di sini tanpa 
ada yang menyuruh, aku tentu pergi. 
Tetapi sebaliknya apabila orang 
sewenang-wenang, menggebah aku seperti 
aNJing, aku tidak sudi! 
Sepasang mata Si  Tangan IblIs 
menyala mendengar jawaban ini. Ia 
mendengus kemudian berkata dingin, 
Hemm, aku sudah berlaku murah 
mengingat gurumu. Tetapi jika kau 
membandel, tidak bisa menempatkan 
dirimu sebagai orang muda, huh, jangan 
salahkan aku jika aku terpaksa 
mengusir kau seperti anjing! 
Kalau Warigagung sudah tersing-
gung, sudah marah, tidak takut kepada 
siapapun. Karena sikap kakek itu 
kasar, ia lalu berdiri tegak dan 
membusungkan dada. Sikapnya angkuh, 
sahutnya menantang, Hem, jika engkau 
orang tua mau memaksakan  kehendakmu 
sendiri dan sewenang-wenang, siapa 
takut? 
Warigagung menangkap kilatan mata 
Sarwiyah yang seperti mau menangis. 
Namun pemuda yang sudah marah ini 
tidak peduli lagi. Ia tidak takut 
mati, sebaliknya ia takkan bisa 
menerima orang sengaja menghina 
dirinya. 
Kurangajar! bentak kakek ini. 
Engkau bocah  kemarin sore berani 
menantang aku? 
Aku tidak menantang. Tetapi aku 
tidak takut kepada siapapun yang 
sengaja menghina aku! jawab pemuda ini 
lebih ketus lagi. 
Si Tangan Iblis amat penasaran 
berhadapan dengan pemuda bandel ini. 
Ia menjadi lupa kepada keadaan dirinya 
yang sudah kakek-kakek yang tidak 
sepantasnya melawan orang muda. 
Katanya, Hayo, mulailah! 
Tanpa membuka mulut lagi, pemuda 
itu sudah melompat ke depan meng-
gerakkan pedangnya. SaDar akan dirinya 
sekarang ini berhadapan dengan seorang 
kakek yang tingkatnya jauh lebih 
tinggi, maka serangannya mengarah 
empat bagian tubuh berbahaya. Ialah 
pusar, uluhati, leher dan mata. 
Gerakannya cepat dan bertenaga, gaya 
serangannya juga mantap, dan 
membuktikan pemuda ini sudah menguasai 
ilmu pedangnya secara baik sekali. 
Tring tring tring tring.....  
Heh heh heh heh....! 
Semua serangan dapat dipatahkan 
Si Tangan Iblis. Kakek ini terkekeh 
tetapi diam-diam kaget juga. Mengapa 
sebabnya pedang itu tidak lepas dari 
tangan, padahal sentilan jarinya 
mengandung tenaga yang amat dahsyat? 
Semua muridnya termasuk Sarindah dan 
Sarwiyah takkan kuasa mempertahankan 
pedangnya apabila sudah ia sentil. 
Kenapa pemuda ini tidak? 
Keadaan ini justru menyebabkan Si 
Tangan Iblis penasaran dan iri kepada 
Julung Pujud. Mengapa Julung Pujud 
dapat menggembleng muridnya seperti 
ini, sedang dirinya tidak? Padahal ia 
merasa pasti dalam dalam cara mendidik 
dan menggembleng murid, ia tidak perlu 
kalah. Dan saking penasaran dan iri 
hati ini, kakek ini menjadi lupa. 
Kalau tadi hanya bermaksud mengusir 
saja, sekarang timbul niatnya untuk 
menghajar, agar berkurang kebandelan 
dan kesombongan bocah ini. 
Terpengaruh oleh rasa penasaran 
dan irihati ini maka ketika pedang 
Warigagung tidak lepas dari tangan, ia 
segera menyusuli serangan dengan 
mengebut. Kebutan telapak tangan ini 
perlahan saja, namun sesungguhnya amat 
berbahaya, karena kebutan ini 
mengandung tenaga kuat dan mengandung 
hawa panas pula. 
Warigagung kaget sekali dan cepat 
melesat menghindarkan diri. Sebenarnya 
sebagai akibat tangkisan Si Tangan 
Iblis tadi, lengannya panas sekali 
seperti dibakar oleh api. Meskipun 
demikian ia seorang pemuda yang keras 
hati. Ia menahan rasa sakit untuk 
mempertahankan pedangnya. 
Akan tetapi mendadak ia merasakan 
dadanya  diserang oleh hawa panas dan 
seperti ditindih, hingga sesak! 
Sayang sekali Warigagung seorang 
pemuda bandel dan nekad. Tindihan 
tenaga panas yang menyebabkan dadanya 
sesak itu malah menyebabkan Warigagung 
penasaran. Ia memaksa diri, pedangnya 
bergerak dengan jurus rahasia menye-
rang lawan. Pendeknya sebelum dirinya 
roboh, sedikitnya ia harus dapat 
melukai kakek ini. Jurus simpanan ini 
merupakan jurus aneh, namun apabila 
berhadapan dengan orang sakti tidak 
bisa menolong. 
Tiba-tiba pedangnya bergerak se-
perti mau memancung lehernya sendiri. 
Si Tangan Iblis kaget sekali, 
lengannya dengan jari terbuka dan 
terulur untuk meneengkeram dan merebut 
pedang itu. Tetapi mendadak kakek ini 
kaget sekali dan cepat-cepat menarik 
tangan kanan disusul dengan tangan 
kiri mengebut. 
Hampir saja lengan kanannya 
buntung tertabas pedang Warigagung. 
Tetapi justru gerak tipu yang hampir 
mencelakakan ini menyebabkan Si Tangan 
Iblis  menggeram marah. Ketika pedang 
Warigagung kembali berkelebat menye-
rang, ia tidak bergerak menghindari. 
Namun ketika ujung pedang hampir 
menyentuh bajunya, jari tengah dan 
jari telunjuk kakek ini hampir 
menyentuh  bajunya, jari tengah dan 
jari telunjuk kakek ini sudah menjepit 
batang pedang berbareng membentak, 
sehingga pedang pemuda ini lepas dan 
tubuhnya terhuyung ke belakang. 
Melihat itu Sarwiyah pucat. 
Pemuda itu tidak bersalah aa-apa, 
mengapa kakek dan mbakyunya memusuhi? 
Ia menjadi tidak senang dan marah. 
Akan tetapi sebaliknya untuk mencela 
juga tidak berani. Maka yang bisa 
dilakukan kemudian hanyalah memandang 
penuh rasa khawatir, apabila pemuda 
itu sampai celaka di tangan kakeknya. 
Bagaimanapun ia sudah kenal watak 
kakeknya. Apabila sudah marah 
tangannya menjadi ganas dan bisa 
menurunkan tangan maut. 
Namun sebaliknya Warigagung bu-
kannya tunduk dan menyerah setelah 
pedangnya dirampas orang. Pemuda ini 
malah tambah marah dan kalap. Ia 
pernah mendapat nasihat dari gurunya, 
bahwa senjata ibarat nyawanya sendiri. 
Untuk membela senjatanya itu, maka 
Warigagung tak takut mengorbankan 
nyawa. Karena itu sambil melengking 
nyaring, Warigagung melompat ke depan. 
Tangan kiri membentuk cakar sedang 
tangan kanan meninju dada. 
Hai! Kau belum juga mau menyerah? 
Si Tangan Iblis kaget melihat 
kenekatan pemuda itu. 
Ia berdiri tegak. Pukulan ke arah 
dada diterima dengan dada. Sedang 
tangan kiri yang be-maksud menceng-
keram pusar ia tangkap. Kemudian 
tangan itu dipuntir ke belakang. 
Ketika kakek ini mendorong, 
Warigagung hampir terjerembab mencium 
tanah. Untung pemuda ini cukup 
tangkas. Ia berjungkir balik beberapa 
kali untuk mematahkan tenaga dorongan 
dan kemudian meloncat berdiri. Pemuda 
ini sekarang matanya beringas. 
Huh! Bagiku tidak ada kata 
menyerah. Nyawaku hanya selembar, 
matipun tidak akan penasaran di tangan 
seorang kakek yang bukan tandinganku! 
Si Tangan Iblis merasa disindir. 
Wajahnya menjadi merah padam, lalu 
dengusnya dingin, Hemm, engkau sendiri 
yang mencari penyakit. Kalau saja aku 
tidak memandang muka gurumu, apakah 
aku masih dapat bersikap seperti ini? 
Karena berkali-kali nama gurunya 
disebut, Warigagung tambah penasaran. 
Bantahnya, Huh! Berkali-kali kau 
menyebut Guruku. Jika saat ini Guruku 
ada, apakah engkau berani menghina aku 
seperti ini? 
Wajah kakek ini tambah merah 
padam saking merah berbareng malu. 
Sebenarnya memang demikian, apabila 
Julung Pujud sekarang ini hadir, kakek 
ini takkan berani gegabah. Bagai-
manapun kakek ini masih akan hitung-
hitung kekuatannya lebih dahulu, jika 
Julung Pujud sampai marah. 
Akan tetapi karena sejak tadi 
guru pemuda ini tidak juga muncul, 
maka keangkuhan kakek ini tidak 
berkurang. Jawabnya dingin, Huh huh, 
sangkamu jika gurumu hadir aku takut? 
Engkau sendiri yang bandel dan tidak 
pandai menghormati orang tua. Tentu 
saja gurumupun tidak senang dengan 
sikapmu yang kurangajar ini. 
Kakek ini mengucapkan kata-kata 
seperti itu bukan lain karena malu, di 
depan murid dan cucunya dianggap takut 
kepada orang lain. Namun demikian 
karena sesungguhnya ia gentar apabila 
berhadapan dengan Julung Pujud, maka 
ucapannya miring. Ia menekankan bahwa 
dalam persoalan ini Warigagung yang 
bersalah. Hingga ia ingin menyalahkan 
orang dan menempatkan dirinya pada 
pihak yang benar. 
Warigagung ketawa terkekeh saking 
penasaran. Katanya, Heh heh heh heh, 
engkau orang tua menjadi sombong dapat 
merebut pedangku. Tetapi sekarang, 
rasakan jarumku! 
Hampir berbareng dengan ucapannya 
dari tangan Warigagung sudah menyambar 
puluhan bintik hitam. Saking marah dan 
penasaran, Warigagung menyerang dengan 
jarum beracun dalam jumlah banyak. 
Pemuda ini justru amat terlatih 
dalam hal menyambitkan senjata rahasia 
jarum. Maka ketika tangan bergerak, 
jarum-jarum itu segera menyambar ke 
arah bagian tubuh yang berbahaya. 
Walaupun sejak tadi kakek ini 
sudah menduga, tidak urung terkejut 
juga melihat menyambitnya jarum 
beracun yang kecil itu, sebab 
menyambarnya jarum itu amat cepat dan 
di luar dugaannya. 
Akan tetapi Si Tangan Iblis 
seorang tokoh sakti. Sekalipun jarum 
itu kecil, ia dapat melihat 
menyambarnya jarum itu. 
Kakek ini tidak menjadi gugup. Ia 
melepas ikat kepalanya dipergunakan 
mengebut. Angin yang amat kuat segera 
menyambar dan jarum-jarum beracun itu 
segera menyeleweng atau runtuh ke 
tanah. Tidak sebatangpun jarum yang 
dapat menyentuh tubuh kakek itu. 
Tetapi gerakan tangan yang 
memutarkan ikat kepala itu tidak ber-
henti untuk mengebut jarum. Gerakannya 
diteruskan untuk membalas menyerang 
Warigagung. Tampaknya memang hanya 
selembar kain ikat kepala dan hanya 
benda yang lemas dan tipis. Akan 
tetapi di tangan seorang sakti, benda 
lemas ini dapat berubah menjadi 
senjata berbahaya. 
Gerakan kakek ini cepat tidak 
terduga. Warigagung yang sudah menyia-
pkan jarum beracun  untuk menyerang 
lagi, tidak sempat melepaskan. Dan 
tiba-tiba saja lengan pemuda ini 
menjadi lumpuh, hingga jarum yang 
digenggam runtuh ke tanah. Sebelum 
pemuda ini dapat membela diri sudah 
jatuh terduduk oleh sabetan ikat 
kepala yang menyambar kaki. 
Si Tangan Iblis yang amat 
penasaran atas kekurangajaran Wari-
gagung sudah menggerakkan tangan untuk 
mencengkeram pundak bocah itu dengan 
maksud agar sambungan tulang pundaknya 
lepas. 
Akan tetapi mendadak gerakan 
kakek ini berhenti dan kaget sekali 
ketika mendengar jerit Sarindah yang 
nyaring. Jerit itu kemudian disusul 
oleh bentakan Sarwiyah. 
Si Tangan Iblis berpaling dan 
mendadak wajahnya pucat. Ternyata 
cucunya, Sarindah, sekarang sudah 
tidak bisa berkutik lagi, dikepit oleh 
Kakek Kerdil. Sedang Sarwiyah menggu-
nakan pedang masih terus menghujani 
serangan kepada kakek itu, tetapi 
serangannya  tidak pernah berhasil 
seperti menyerang bayangan. 
Kakek ini terbelalak disamping 
amat kagum. Ia tidak mendengar gerakan 
orang itu, tetapi tahu-tahu Julung 
Pujud sudah berhasil menawan Sarindah. 
Karena khawatir, Si Tangan Iblis 
sudah membentak, Hai Julung  Pujud. 
Engkau curang! Apakah sebabnya kau 
menawan cucuku yang tak bersalah? 
Heh heh heh heh, siapakah yang 
curang? sahut kakek kerdil ini yang 
tidak lain memang Julung Pujud. Huh, 
engkau tak tahu malu dan akan 
mencelakakan muridku. Apakah sebabnya 
aku  tidak boleh membalas dengan cara 
menawan cucumu? Hayo, lekas 
lakukanlah! Jika engkau berani men-
celakakan muridku, maka cucumu inipun 
mati dalam tanganku! 
Wajah Si Tangan Iblis merah 
padam. Ia sadar, keadaan amat 
berbahaya. Julung Pujud terkenal 
sebagai orang liar dan ganas. Anca-
mannya akah dibuktikan apabila dirinya 
bersikeras. Namun demikian tentu saja 
ia tidak mau mengalah begitu saja. Ia 
harus mengejek dulu. 
Ha ha ha ha, Julung Pujud, 
engkaulah yang tidak tahu malu. Sejak 
tadi kau menyembunyikan diri,  tahu-
tahu kau menggunakan kesempatan secara 
curang. 
Julung Pujud terkekeh, Heh heh 
heh heh, yang curang dan tak tahu malu 
itu sesungguhnya siapa? Hayo, katakan 
siapa? Engkau jangan hanya  mencari 
menang sendiri dan merasa benar. Aku 
bertanya, apakah kesalahan muridku? 
Dia tidak mengganggu siapapun, dan 
malah bersikap mengalah pula kepada 
dua orang cucumu ini. Kalau muridku 
mau berkelahi, huh huh, aku berani 
bertaruh dengan potong jari, dua orang 
cucumu ini sekalipun mengeroyok tak 
mungkin menang melawan muridku. Huh, 
aku tahu dengan mata kepala sendiri. 
Ketika engkau sedang sibuk mengadu 
tulang dengan Mahisa Jaladri, muridku 
meniup seruling dengan maksud pergi. 
Tetapi cucumu perempuan yang galak ini 
malah menghina dan merendahkan 
muridku. Huh, terimalah! 
Julung Pujud melemparkan Sarindah 
ke arah Si Tangan Iblis. Sebagai 
seorang yang sudah banyak makan garam 
tentu saja Julung Pujud tidak sekadar 
melemparkannya. Maka diam-diam Si 
Tangan Iblis mengerahkan tenaga sakti 
ke arah kaki agar berat badannya 
bertambah. Dengan kuda-kuda yang kuat 
ini kemudian ia menyambut tubuh 
Sarindah yang melayang ke arahnya. 
Akan tetapi ahhh.... Si Tangan 
Iblis menjadi kaget. Sekalipun ia 
sudah mengerahkan tenaga dalam 
menyambut, tidak urung kuda-kudanya 
masih tergempur. Nyatalah  bahwa 
sekalipun tubuhnya kerdil, Julung 
Pujud tidak dapat diremehkan tentang 
kekuatan tenaganya. 
Julung Pujud sudah melompat dan 
menolong muridnya. Kemudian sambil 
menatap tajam kepada Si Tangan Iblis, 
hardiknya, Cucumu yang galak itulah 
yang menjadi gara-gara. Jika tidak 
percaya engkau bisa bertanya kepada 
cucumu yang muda. Muridku tidak mau 
melayani dan malah mengalah, tetapi 
cucumu yang galak itu masih memaksa. 
Tentu saja muridku terpaksa melayani 
sekalipun tidak bersungguh-sungguh. 
Digerutu oleh hardikan ini untuk 
sejenak Si Tangan Iblis bungkam. Sebab 
apa yang sudah terjadi memang benar, 
Sarindah yang menimbulkan gara-gara. 
Akan tetapi manakah mungkin Si Tangan 
Iblis mau saja pihaknya dipersalahkan. 
Ia terkekeh lalu jawabnya. 
Heh heh heh heh, engkau mencari 
enak sendiri tanpa mau mawas diri. 
Kalau saja muridmu tidak keluyuran 
sampai di daerah ini, mana mungkin 
sampai terjadi peristiwa ini? Dengan 
begitu jelaslah muridmu yang bersalah. 
Ha ha ha ha, ho ho ho ho, engkau 
mencari-cari alasan dalam usahamu 
membela diri. Siapakah yang bisa 
melarang muridku mendaki gunung ini? 
ejek Julung Pujud. Sudahlah, tiada 
gunanya saling bantah dan memper-
salahkan mana yang salah dan mana yang 
benar. Yang jelas kau orang tua yang 
tidak tahu malu. Engkau sudah memaksa 
dan menghina muridku, dan sekarang 
engkau harus bertanggung jawab. 
Apakah maksudmu? Apa yang harus 
aku pertanggungjawabkan ? 
Engkau harus melawan aku 
sekarang, tua sama tua, barulah ramai 
dan menyenangkan. Jika perlu malah 
bisa ditambah pula yang muda dengan 
muda. Suruhlah cucumu mengeroyok mu-
ridku. 
Kalau saja menurutkan watak dan 
keangkuhannya, seharusnya Si Tangan 
Iblis harus menerima tantangan ini. 
Tetapi kakek ini bukan seorang tolol. 
Bukan seorang yang hanya menurutkan 
perasaannya. Ia dapat memperhitungkan 
tentang untung ruginya bermusuhan 
dengan Julung Pujud. Ia justru 
mempunyai rencana dan cita-cita yang 
sangat tinggi. Makin banyak sekutu dan 
sahabat, justru akan sangat 
menguntungkan. Maka ia harus dapat 
menarik Julung Pujud sebagai kawan 
seperjuangan, untuk membunuh Mahapatih 
Gajah Mada dan Mpu Nala. 
Akan tetapi sebaliknya ia juga 
tahu tentang watak Julung Pujud yang 
aneh. Tanpa siasat tidaklah mungkin 
Julung Pujud dapat menerima ajakannya. 
Oleh karena itu Si Tangan Iblis 
tertawa terkekeh. 
Heh heh heh  heh, tidak lucu! 
Tidak lucu! 
Hai, apanya yang lucu? Aku 
bukanlah badut dan tentu saja tidak 
lucu! bentak Julung Pujud. 
Heh heh heh heh, yang aku maksud 
tidak lucu itu, adalah apabila antara 
aku dan engkau saling jotos dan 
mengadu tulang keropos ini, sahut  Si 
Tangan Iblis. Engkau disebut orang, 
dari golongan sesat sebaliknya akupun 
disebut orang sesat pula. Kalau 
menggunakan nama agak mentereng, aku 
dan engkau disebut orang dengan nama 
golongan hitam. Nah, manakah bisa 
terjadi antara golongan sendiri saling 
hantam dan saling pukul? Tidak urung 
dunia ini akan menertawakan kita. Kau 
harus sadar bahwa musuh golongan hitam 
adalah orang yang menyebut dirinya 
dari aliran putih atau lurus bersih. 
Nah, itu baru tepat! Coba sekarang 
pikirkanlah, apa yang aku katakan ini 
salah? 
Julung Pujud mendengus dingin, 
Hemm, engkau berputar lidah tidak 
karuan. Katakan saja engkau tidak 
berani melawan aku, habis perkara! 
Huh, apakah sebabnya engkau harus 
berputar-putar haluan menggunakan 
alasan golongan hitam dan dan lurus 
bersih!?? 
Julung Pujud berhenti dan 
menebarkan pandang mata ke sekeliling. 
Kemudian ia tersenyum dan meneruskan, 
Heh heh heh heh, tetapi jika aku 
rasakan, benar juga alasanmu. Antara 
golongan sendiri tidak merugikan kita 
sendiri dan sebaliknya golongan sana 
yang bakal bersorak kegirangan. 
Julung Pujud berhenti lagi, 
kemudian, Hemm, tetapi tidak gampang 
engkau mau bersahabat dengan aku. 
Kecuali apabila engkau sendiri 
memenuhi persyaratan yang aku ajukan. 
Diam-diam Si Tangan Iblis gembira 
sekali mendengar ucapan Julung Pujud 
ini. Sekalipun demikian kakek ini 
pura-pura mendelik dan marah, 
Kurangajar kau! Syarat macam apa saja 
yang engkau maksudkan itu? 
Ha ha ha ha, syaratnya tidak 
berat. Namun demikian pasti, dan 
engkau tidak boleh menolak. Sebab 
apabila engkau menolak berarti terang-
terangan engkau menghina Julung Pujud, 
dan sudah tentu hinaan itu baru bisa 
impas dengan mengalirnya darah. Hai 
Tangan Iblis!  Antara kita sekarang 
harus dijalin hubungan batin. Hubungan 
keluarga! Dengan begitu, antara kita 
ini tidak bisa digoyahkan lagi. 
Si Tangan Iblis melongo heran. 
Tanyanya dalam hati, hubungan 
keluarga? Lalu hubungan yang bagai-
mana? Karena tidak mengerti maksud 
Julung Pujud, lalu ia bertanya, Apakah 
maksudmu dengan hubungan keluarga ini? 
Heh heh heh heh, apakah sebabnya 
kau men  jadi tolol? Muridku masih 
jejaka tulen, ting ting! Sebaliknya 
cucumu juga masih perawan suci! Maka 
sekarang juga aku malamar cucumu yang 
muda itu, untuk menjadi isteri 
muridku. Ha ha ha ha, setuju atau 
tidak setuju? 
Guru......! Warigagung yang tidak 
pernah  mimpi gurunya meminang gadis 
dan dijodohkan dengan dirinya, menjadi 
kaget. Maksudnya akan membantah tetapi 
Julung Pujud sudah memberi isyarat 
dengan gerakan tangan, hingga bocah 
ini tidak berani membuka mulut lagi.  
Sekalipun demikian sepasang 
matanya segera memandang ke arah 
sarwiyah. Sebagai seorang pemuda ia 
memang tertarik juga oleh sikap gadis 
yang halus itu, justru disamping juga 
cantik. Tetapi sekalipun demikian ia 
tidak tahu apakah dirinya suka kepada 
gadis  itu, karena yang dirasakan 
sekarang ini hanyalah, gadis bernama 
Sarwiyah itu menimbulkan kesan sejuk 
dalam hatinya. Tetapi benarkah 
perasaan ini merupakan tanda dirinya 
jatuh cinta? 
Sarwiyah tidak berbeda, juga 
menjadi kaget dan hatinya tidak 
karuan. Soalnya walaupun belum terang-
terangan, hatinya sudah terlanjur 
terisi oleh Kebo Pradah. Ia tidak 
membenci pemuda itu dan malah tertarik 
oleh sikapnya yang amat menghargai dan 
menghormati wanita. Akan tetapi cinta? 
Ahh, dirinya tidak tahu, karena sudah 
tertambat oleh Kebo Pradah. Namun 
sebaliknya kalau harus menolak, ia 
tidak berani. Karena disamping Si 
Tangan Iblis sebagai kakeknya juga 
sebagai gurunya. Tentu saja sebagai 
kakek dan pengganti orang tuanya, 
mempunyai wewenang dalam soal 
perjodoan ini. 
Disamping semua itu, Sarwiyah 
juga dapat berpikir jauh. Ia tahu 
tentang cita-cita kakeknya yang akan 
membalas dendam. Padahal musuh 
kakeknya adalah Mahapatih Gajah Mada 
dan Mpu Nala. Mereka merupakan dua 
tokoh sakti mandraguna jaman ini, 
disamping amat tinggi kedudukannya. 
Tentu saja kakeknya membutuhkan kawan 
seperjuangan yang juga sakti man-
draguna. 
Padahal kakek kerdil ini sedia 
bekerjasama asalkan saja dirinya mau 
diperistri oleh Warigagung. Dirinya 
amat kecil dan tidak berarti apabila 
dibandingkan dengan cita-cita kakeknya 
yang amat tinggi itu. Dan lebih dari 
itu justru cita-cita kakeknya adalah 
untuk membalas dendam kematian ayah 
bundanya. Maka dirinya dituntut darma 
baktinya sebagai anak kepada orang 
tuanya. Betapa marah ayah bundanya di 
alam sana, apabila dirinya tidak dapat 
membantu kakeknya membalas dendam. 
Mengingat semua itu gadis ini diam-
diam memutuskan takkan menentang 
keputusan kakeknya. 
Si Tangan Iblis memandang 
Sarwiyah dan Warigagung bergantian. 
Lalu katanya, Hemm.... Julung Pujud, 
engkau jangan menghina diriku. 
Siapa yang menghina ? Julung 
Pujud mendelik. Aku berkata sebenarnya 
dan aku mewakili muridku untuk 
meminang cucumu yang muda itu. Ehh... 
siapa namanya? 
Namanya Sarwiyah, sahut Si Tangan 
Iblis. Tetapi apakah sopan jika engkau 
mengajukan pinangan di jalan seperti 
ini? 
Ho,ho  heh heh heh, engkau ini 
seorang dungu ataukah memang tolol? 
Aku dan kau bertemu di sini dan bukan 
di rumahmu. Julung Pujud mengejek. 
Karena kita ketemu di sini tentu saja 
di sini pula aku meminang. 
Jika engkau memang berbicara 
sungguh-sungguh, engkau tentu bersedia 
datang ke rumahku. 
Mengapa tidak? Tetapi eh, lebih 
dahulu engkau harus memberi kepastian. 
Engkau terima atau kau tolak 
pinanganku ini? Jika engkau berani me-
nolak, huh huh! Engkau dan aku harus 
berkelahi dan salah seorang harus 
mampus. 
Heh heh heh heh, manakah ada 
orang tua yang tidak menjadi gembira, 
mempunyai besan seperti engkau ini? 
Pendeknya, pinanganmu aku terima. 
Tentang kapan pernikahan dilangsung-
kan,  kemudian hari kita rundingkan. 
Hayolah, sekarang kita pulang. 
Nanti dulu! Julung Pujud 
mencegah. Engkau sudah membunuh Mahisa 
Jaladri. Karena itu tidak baik jika 
engkau biarkan menggeletak di sini dan 
bakal menjadi busuk menjijikkan. Maka 
lebih baik kalau kita buang saja ke 
jurang. 
Selesai berkata, kaki Julung 
Pujud bergerak menendang. Kakinya 
hanya kecil dan pendek, sesuai dengan 
tubuhnya yang kerdil. Namun akibat 
dari tendangannya membuat orang 
terbelalak kagum. Sebab begitu di-
tendang, tubuh Mahisa Jaladri sudah 
terbang tinggi. Julung Pujud segera 
memburu. Ketika tubuh Mahisa Jaladri 
hampir jatuh ke tanah, kaki Julung 
Pujud bergerak lagi menendang. Hanya 
empat kali Julung Pujud menendang, 
tubuh Mahisa Jaladri sudah terlempar 
ke dalam jurang amat dalam. 
Mereka memang orang-orang aneh 
dan sudah memaklumkan diri dari 
golongan hitam. Tentu saja cara 
berpikirnyapun lain. Bagi mereka, 
perbuatan yang kejam dan ganas 
merupakan lambang kejan-tanan dan 
kebanggaan. Itulah sebabnya  mereka 
tidak perlu menyempurnakan jenazah 
Mahisa Jaladri dengan dikubur atau 
dibakar, melainkan hanya dibuang saja 
ke jurang. Dengan demikian mereka 
membiarkan jenazah manusia itu menjadi 
mangsa binatang buas. 
Dalam perjalanan pulang ini hati 
Sarwiyah sama dengan perasaan 
Warigagung. Rasanya tidak karuan, 
campur aduk antara gelisah, berdebar 
gembira dan bimbang. Mereka tidak tahu 
apa yang harus dilakukan. Antara 
mereka tidak memulai dengan cinta, 
tetapi terpaksa harus tunduk dan tidak 
berani membantah. 
Memang sesungguhnya bagi Sar-
wiyah, rasa cintanya pertama kali 
jatuh kepada Kebo Pradah. Namun 
demikian ia sudah mengenal watak 
kakeknya. Kalau dirinya menentang dan 
mengemukakan alasan sudah terlanjur 
memilih Kebo Pradah, kakeknya akan 
marah dan bahayanya, Kebo Pradah bisa 
dianggap sebagai penghalang dan dibu-
nuh, Ia takkan rela kalau pemuda itu 
harus menjadi korban karena cinta. Dan 
ia akan memberi nasihat kepada pemuda 
itu agar melupakan dirinya. Semua itu 
demi keselamatan masing-masing. 
Sebaliknya diam-diam Sarindah 
marah dan penasaran kepada adiknya. 
Dalam hati ia mencaci maki, mengapa 
Sarwiyah tidak setia dan khianat 
kepada Kebo Pradah. Buktinya bertemu 
dengan pemuda lain sudah berpaling dan 
melupakan saudara seperguruan sendiri. 
Kurangajar! Pantas dia tadi 
membela bocah itu! cacinya dalam hati 
yang ditujukan kepada Sarwiyah. Pantas 
perempuan tidak setia dan mata 
keranjang itu membela, tetapi apa sih 
pemuda itu yang pantas dibanggakan? 
Sudah wajahnya tidak tampan, rambutnya 
riap-riapan seperti gendruwo dan liar 
pula. Apanya yang harus dipilih? 
Apakah pemuda itu berilmu tinggi ? 
Ia menatap Sarwiyah dengan mata 
bersinar marah. Untung ketika itu 
Sarwiyah melangkah sambil menundukkan 
muka, sehingga tidak melihat kakeknya, 
perempuan ini tentu sudah mengerocok 
adiknya dengan kata-kata tajam dan 
kalau perlu dengan pukulan sebagai 
hajaran dengan pukulan sebagai 
hajaran. 
Akan tetapi karena takut, yang 
bisa dilakukan hanya mengumpat saja 
dalam hati, Perempuan tidak tahu malu. 
Huh, kapan Kebo Pradah pulang, aku 
akan membeberkan semuanya. Sundal 
busuk! Engkau perlu kuhajar babar 
belur! 
Saat sekarang ini orang yang 
paling gembira dan bahagia adalah Si 
Tangan Iblis. Ia seperti mimpi 
kejatuhan bulan. Bukan saja ia 
berhasil menarik Julung Pujud sebagai 
kawan dan sekutu, tetapi malah 
merupakan besan. Tentu saja sebagai 
besan dalam membela kepentingannya, 
Julung Pujud tidak akan tanggung-
tanggung. Dalam pada itu Warigagung 
juga sudah tampak bakat dan k-
pandaiannya. Sebagai calon menantu, 
Warigagung  dituntut oleh tugas dan 
kewajiban membalaskan sakit hati 
mertuanya. 
Demikianlah, setelah tiba di 
rumah, para murid Si Tangan Iblis 
heran dan bertanya-tanya ketika 
gurunya pulang bersama kakek kerdil 
dan seorang pemuda riap-riapan. Hanya 
Kaligis dan Sangkan saja yang menjadi 
kaget setengah mati. Pemuda itulah 
yang hampir membunuh mereka beberapa 
bulan lalu. Diam-diam dua orang muda 
ini menjadi penasaran dan ingin 
membalas dendam. Tetapi manakah 
mungkin bisa? Ketika itu sudah 
mengeroyok tetapi hasilnya malah 
hampir mati. 
Benci, dendam dan penasaran dalam 
hati Sangkan semakin bertambah memun-
cak, ketika mendengar Sarwiyah atas 
kehendak gurunya telah dipertunangkan 
dengan pemuda liar yang berkawan 
dengan ular itu. Dengan demikian 
tertutuplah kemungkinan untuk bisa 
mendapat perhatian dari Sarwiyah. 
Kaligis juga marah dan penasaran. 
Ia mengajak Sangkan menyingkir di 
tempat yang jauh, lalu bisiknya, Adi 
Sangkan, ah, mengapa bisa terjadi se-
perti ini ? Huh, Guru tidak adil. 
Mengapa justru mempunyai banyak murid 
laki-laki, tetapi malah menjodohkan 
Sarwiyah dengan orang lain? Disamping 
itu mengapa malah adiknya lebih dahulu 
yang dipertunangkan? 
Sangkan tidak lekas menyahut. Ia 
menghela napas sedih, kemudian Kaligis 
berkata lagi, Adi Sangkan, kita harus 
berusaha menggagalkan semua ini. Ahh, 
sungguh kebetulan sekali. Bukankah hai 
ini malah memberi jalan kepada kita 
untuk melemparkan fitnah, bahwa Kakang 
Tanu Pada dan Kakang Kebo Pradah sudah 
mati terbunuh oleh pemuda liar itu? 
Dengan demikian Guru kita akan menjadi 
marah, lalu pertunangan dibatalkan. 
Hemm, engkau ini bagaimana? 
Sangkan mencela. Apakah engkau sengaja 
menjebak dirimu sendiri ke dalam 
perangkap? 
Apa? Apa maksudmu? 
Bukankah arah tugas kita ber-
lainan? Mengapa kita bisa tahu Tanu 
Pada dan Kebo Pradah mati, terbunuh 
oleh bocah liar itu? Hemm, tak urung 
rahasia kita malah terbongkar dan kita 
celaka. Tahu? Belum lagi kecurigaan 
Sarindah kepada kita tentang Ananto. 
Huh, kita tentu dihukum mati oleh 
Guru. 
Kaligis menghela napas pendek. 
Sebenarnya bagi dirinya memang tidak 
mempunyai kepentingan langsung tentang 
pertunangan Sarwiyah. Akan tetapi ia 
tidak tega kepada Sangkan, yang 
tertutup harapannya mencintai Sar-
wiyah. Kegagalan pemuda ini akan 
berpengaruh juga terhadap  dirinya. 
Karena Sangkan mengetahui rahasia 
dirinya. Karena bingung akhirnya 
Kaligis hanya dapat bertanya, Lalu, 
bagaimanakah menurut pendapatmu? 
Sangkan menghela napas juga. Ia 
masih belum tahu apa yang harus 
dilakukan. Otaknya menjadi bebal dan 
tak bisa berpikir. Tetapi sesaat kemu-
dian pemuda licin dan cerdik ini 
tersenyum. Katanya, Hemm, mengapa 
susah? Aku sudah menemukan cara yang 
tepat. 
Apa yang akan kaulakukan? 
Sangkan berbisik di dekat telinga 
Kaligis. Atas bisikan ini Kaligis 
mengangguk-angguk tanda setuju. Bagus! 
Itu cara yang bagus. 
Kalau dua orang pemuda  ini pena-
saran, Sarindah lebih mendongkol dan 
penasaran lagi. Bukan hanya penasaran 
memikirkan Sarwiyah saja, tetapi juga 
gelisah memikirkan Tanu Pada yang 
belum juga pulang kembali. 
Tiba-tiba saja timbullah niatnya 
untuk pergi diam-diam dan mencari Tanu 
Pada. Dalam hatinya timbul rasa 
khawatir, jangan-jangan rombongan Tanu 
Pada dalam perjalanan mendapat bahaya. 
Hemm, benar! gumamnya. Kakang 
Tanu Pada seorang murid setia dan 
selalu patuh kepada Kakek. Tak mungkin 
dia berani mengabaikan perintah Kakek 
tanpa alasan yang dapat dipertanggung-
jawabkan. Ah, jangan-jangan memang 
berhadapan dengan bahaya di 
perjalanan, hingga terhalang pulang. 
Khawatir keselamatan Tanu Pada 
ini hatinya tambah gelisah dan 
tekadnya untuk menyusul menjadi 
semakin kuat secepatnya ia  mengambil 
beberapa lembar pakaiannya lalu 
dibungkus. Kemudian dengan hati-hati 
ia meninggalkan rumah tanpa diketahui 
seorangpun. 
*** 
Sampai di sini cerita ini 
selesai, namun demikian cerita belum 
tamat dan para pembaca yang budiman 
silakan mengikuti cerita yang lebih 
menarik dengan judul "PERSEKUTUAN DUA 
IBLIS". Menarik, karena "Persekutuan 
Dua Iblis" ini terdiri dari dua orang 
tokoh sakti Julung Pujud dan Si Tangan 
Iblis. Persekutuan dengan maksud 
melawan Gajah Mada dan Mpu Nala. 
Berhasilkah usaha dua iblis ini? Ikuti 
saja kutipan serba ringkas antara 
lain: 
.....Heh heh heh heh, Rudra 
Sangkala terkekeh. Engkau jangan 
bandel dan keras kepala Adik manis. 
Percayalah aku benar-benar jatuh cinta 
kepadamu! 
Tetapi Sarindah terus menghujani 
serangan berbahaya tanpa membuka 
mulut. Sebab ia sudah menduga pemuda 
ini tentu seorang bejat moral. Pemuda 
yang suka mempermainkan perempuan dan 
seorang pemuda yang hanya mengumbar 
nafsu. 
Tetapi mendadak Sarindah merasa 
kepalanya berdenyutan pening sekali. 
Pandang matanya kabur. Sekalipun 
demikian Sarindah masih terus 
menyerang. 
Trang......! Aihhh.......! pedang 
Sarindah terpental terbang, terpukul 
oleh Rudra Sangkala. Pemuda ini 
terkekeh gembira, kemudian melompat ke 
depan dan menyambar tubuh gadis yang 
sudah limbung hampir roboh. 
Heh heh heh heh kau takkan dapat 
lepas lagi dari tanganku, katanya 
sambil memondong Sarindah dan hujan 
ciuman bertubi mendarat di pipi halus, 
maupun serbuan pada bibir...... 
.......Julung Pujud mengancam, 
Karena sudah  meracun diriku, cucumu 
Sarindah harus kau serahkan kepadaku 
untuk menerima hukumannya. Tak perlu 
khawatir, aku akan menghukum dia 
dengan racun pula! 
Terpikir kemudian oleh Tangan 
Iblis untuk mencari dan memberi 
hukuman sendiri. Lalu bersama Sarwiyah 
mencari jejak Sarindah untuk  memberi 
hukuman.... 
...... Saputangan kecil warna 
hijau itu memang amat berbahaya. Di 
sapu tangan inilah tersimpan "racun 
wangi" yang dapat menyebabkan orang 
pusing, mabuk dan tidak sadarkan diri. 
Dan berkat keampuhan racun inilah yang 
membantu nama Murtisari terkenal 
sebagai wanita sakti, hingga ditakuti 
banyak orang. 
Adityawarman cepat menutup 
pernapasan, sehingga tidak menghirup 
racun wangi itu berkat pengalamannya 
ketika ia berhadapan dengan Rudra 
Sangkala. Hingga Adityawarman tidak 
terpengaruh oleh racun itu. 
.....Dewi Sritanjung (tokoh 
kita), adalah gadis  lugu, jujur dan 
tidak mengenal tipu  muslihat maupun 
berbohong, karena sejak kecil hidup 
terasing di hutan. 
Sebagai gadis yang belum mengenal 
corak manusia hidup di dalam 
masyarakat luas ini, maka Dewi 
Sritanjung tidak menyadari, di dunia 
ini tidak sedikit orang yang tidak 
segan melakukan penipuan menggunakan 
akal untuk memperoleh keuntungan 
pribadi. 
Nah, karena Dewi Sritanjung lugu, 
jujur dan tidak kenal arti bohong ini, 
dalam perjalanan ke kota Majapahit 
mencari ayah kandungnya, tertipu oleh 
dua orang laki-laki yang terpesona 
oleh kejelitaan wajahnya. Ia tidak 
menyadari, dirinya di bawa ke dalam 
hutan..... dan gadis ini.....ahh.... 
T a m a t 
Sala, akhir Pebruari 1987 
Scan/E-Book: Abi Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com