Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 2 - Si Tangan Iblis(2)



Kakek tua, kau bicara apa?  
Engkau bocah luar biasa. Mestinya 
orang muda yang bersalah harus 
mengakui kesalahannya, namun engkau 
tidak mau mengaku malah menyalahkan 
orang lain. 
Aku tak bersalah. Mengapa 
sebabnya harus mengaku salah? Kalau 
kakek tidak duduk di tengah jalan, dan 
mau menyingkir pula di saat aku lewat, 
bukankah aku tidak akan menabrak? 
Heh heh heh heh, bocah bandel, 
tabah dan pandai pula berdebat, kakek 
itu memuji sambil memperhatikan  
Sentiko.  Terusnya,  Mengapa sebabnya 
engkau lari setelah membunuh orang? 
Sentiko terbelalak kaget. Kakek 
tahu...? Tentu saja! Malah perempuan 
yang kau rampas uangnya dan kaupukul 
mampus itupun aku tahu. 
Sentiko berjingkrak kaget. 
Engkau... engkau tahu perbuatanku 
terhadap perempuan tadi ? Kalau 
begitu... ahh, siapa dia? Apakah dia 
anakmu..? Dan kau... mau menangkap 
aku? Heh heh heh heh....  
Tetapi aku tidak bersalah. Aku 
tadi tidak bermaksud membunuh dia. Aku 
hanya ingin merampas uangnya saja. 
Heh heh heh heh, merampas milik 
orang lain, kau tidak merasa bersalah? 

Tetapi... tetapi aku melakukannya 
karena butuh. Perutku lapar! Tanpa 
uang aku tak bisa mendapatkan nasi. 
Kalau Kakek mau main paksa, tentu saja 
aku melawan. 
Bagus, heh heh heh heh! Aku ingin 
melihat sampai di manakah kemampuanmu. 
Hemm, agaknya setelah bisa mengalahkan 
gentho itu, engkau menjadi mabuk. Hai, 
Bocah, engkau hanya mempunyai sedikit 
kepandaian. Katakanlah siapa gurumu? 
Aku tidak punya guru, tetapi 
kakekku sendiri yang mendidik. Dan 
kau, huh huh, engkau tentu takut dan 
terkencing-kencing apabila mendengar 
nama kakekku. 
Siapakah kakekmu itu yang dapat 
membuat orang ketakutan dan 
terkencing-kencing? Heh heh heh heh, 
apakah kakekmu yang kau banggakan itu 
sakti mandraguna seperti iblis? 
Apa? Engkau berani menghina 
kakekku? Keparat! Kakekku sakti tanpa 
tanding dan orang menyebutnya Si 
Tangan Iblis. 
Sentiko menduga setelah memper-
kenalkan  nama kakeknya yang 
menyeramkan dan mentereng itu, kakek 
ini tentu menjadi takut. Tetapi 
ternyata dugaannya keliru dan kakek 
ini malah ketawa terkekeh kegelian. 
Sentiko mengerutkan alisnya tidak 
senang. Bentaknya, Apakah sebabnya kau 
tertawa? Huh, jika engkau berhadapan 
dengan kakekku, aku ingin melihat 
apakah engkau berani tertawa seperti 
ini? 
Heh heh heh heh, kau lucu, Bocah! 
Bukankah kakekmu yang bergelar Si 
Tangan Iblis itu nama kecilnya Taruno? 
Hai.... kakek tahu? Sentiko 
terbelalak kaget. 
Hemm, tentu saja! Justru amat 
kebetulan jika engkau cucu dan murid 
Si Tangan Iblis, sekarang kau harus 
ikut aku dan menjadi muridku. 
Apa? Tidak usah ya! Engkau takkan 
bisa menandingi kakekku. Huh, tidak 
sudi! Kakek, pergilah dan jangan 
mengganggu aku lagi. Aku ingin 
secepatnya tiba di Ibukota Majapahit 
dan aku akan mencari Mpu Nala dan 
Gajah Mada! 
Untuk apakah mencari mereka? 
kakek ini heran. 
Akan kubunuh untuk membalaskan 
sakit hati orang tuaku. Mereka harus 
mampus dalam tanganku. 
Heh heh heh heh, ada seekor katak 
ingin mencapai langit. Manakah 
mungkin? Anak, engkau tidak kenal 
tingginya langit dan dalamnya lautan. 
Manakah mungkin hanya dengan bekal 
kepandaianmu ini dapat melawan dua 
tokoh sakti itu? Heh heh heh heh, 
lucu. Lucu sekali! Apakah kakekmu Si 
Tangan Iblis menjadi linglung, sudah 
mengizinkan engkau pergi dan menempuh 
bahaya maut? 
Hai orang tua. Kau jangan lancang 
mulut dan mencaci maki kakekku! teriak 
Sentiko lantang karena mendongkol. Aku 
pergi diam-diam. Tahu? Aku tidak takut 
mati untuk membalaskan sakit hati ayah 
bundaku. 
Itu bagus sekali. Tetapi belum 
waktunya engkau pergi ke Majapahit.  
Tidak! Sekarang juga aku akan 
pergi ke sana. Siapa melarang harus 
berkenalan dengan tombak trisula ini. 
Sambil berkata begitu ia cepat 
melompat dan menyambar senjata yang 
tadi terlepas dan terlempar. Kemudian 
dengan sikapnya yang gagah, bocah ini 
siap menghadapi orang yang berani 
menghalangi maksudnya. 
Heh heh heh heh! kakek itu 
terkekeh. Engkau akan melakukan 
pembunuhan lagi? Apakah kau belum puas 
dengan dua nyawa yang sudah melayang 
oleh tanganmu?  
Tidak peduli! Jika kau 
menghalangi aku, akan kubunuh juga. 
Kakek itu masih berdiri tegak 
sambil mengusap jenggotnya yang putih 
panjang. Kemudian sahutnya halus, Coba 
seranglah aku. Apakah engkau benar-
benar seorang bocah yang tangguh se-
perti omonganmu yang besar? 
Kakek tua! Engkau benar-benar 
mencari perkara dengan Sentiko, huh. 
Sekalipun kecil aku bukan anak 
sembarangan. Awas, rasakah tombak 
trisulaku ini. 
Bocah yang sudah penasaran ini 
tidak peduli lagi kepada siapapun. 
Karena orang tua ini sengaja 
menghalangi kemauannya, kalau perlu 
juga harus dibunuh. Dan sekalipun 
masih kecil, ia bukan bocah tolol. Ia 
sadar kekek ini tentu bukan orang 
sembarangan. Dan paling tidak tentu 
sama dengan si berewok Kreto Jayus 
tadi. Maka begitu bergerak menyerang 
ia sudah memilih jurus ilmunya yang 
paling hebat. 
Hiaaattt...! teriaknya sambil 
menerjang maju melancarkan 
serangannya. 
Akan tetapi pemuda cilik ini 
menjadi kaget ketika melihat kakek itu 
tidak bergerak. Sekalipun demikian ia 
tidak mau mengurangi kecepatannya 
menyerang. 
Cring cring cring...!  
Sentiko kaget sendiri ketika 
semua tikaman dan pukulannya membalik 
dan telapak tangannya amat panas 
seperti dibakar api. 
Heh heh heh heh, kakek itu 
terkekeh. Baru melawan jari tanganku 
saja kau sudah tidak mampu. Manakah 
mungkin engkau bisa membalaskan sakit 
hati orang tuamu? 
Wajah Sentiko merah padam 
mendengar ejekan itu. Sekalipun 
telapak tangannya terasa panas, ia 
kembali melompat dan menerjang lagi. 
Cring cring... aduhhh....! Bocah 
itu memekik kaget ketika lengannya 
mendadak lumpuh dan senjatanya lepas. 
Heh heh heh heh, engkau harus mau 
belajar lebih tekun beberapa tahun 
lagi, Anak. Dan sebagai muridku, 
engkau takkan sulit membunuh Gajah 
Mada maupun Mpu Nala. 
Kakek tua ini makin tertarik 
setelah mengenal watak Sentiko yang 
keras kepala dan tabah. Murid seperti 
bocah inilah yang ia butuhkan, dan 
ditambah lagi yang berbau sesat. Dan 
kakek ini menjadi lebih tertarik lagi 
setelah mendengar pengakuan bocah itu 
sendiri sebagai cucu Si Tangan Iblis. 
Tak sudi! Lebih baik aku mati 
daripada menjadi muridmu. Aku tidak 
sudi berkhianat kepada kakekku 
sendiri.  
Selesai mengucapkan kata-katanya 
ia kembali menyambarkan senjatanya. 
Dan walaupun kelumpuhan lengannya 
belum pulih, ia sudah nekad menyerang 
lagi. Kemudian dengan senjatanya, ia 
kembali menerjang maju. 
Capp! Tombak trisulanya itu 
sekarang menancap ke perut si kakek. 
Sentiko sendiri menjadi kaget. 
Benarkah kakek ini sengaja membunuh 
diri  menerima tikaman senjatanya? 
Namun kalau senjatanya ini benar 
menancap ke perut kakek ini, mengapa 
kakek ini tidak menyerang dan bibirnya 
malah tersenyum-senyum? 
Pada saat dirinya masih heran ini 
tiba-tiba ia merasa seperti didorong 
oleh tenaga tidak tampak. Ia kemudian 
terpental mundur lalu terhuyung. 
Sedang tombak trisulanya masih tetap 
tergenggam dalam tangannya, dan 
aihh.... mengapa tidak ada darah? 
Dan ketika ia memperhatikan perut 
kakek itu, ternyata tidak terluka. 
Kau.... kau menggunakan ilmu 
siluman! teriaknya. 
Heh heh heh heh, siluman apa? 
Dengan cara menjadi muridku, kelak 
engkaupun akan bisa seperti aku. 
Jangan lagi hanya pukulan, sekalipun 
senjata takkan mampu menembus kulitmu. 
Bohong! Aku tidak mau percaya! 
Sudahlah,  aku mau melanjutkan 
perjalanan dan kau jangan  mengganggu 
aku lagi! sambil  berkata  bocah ini 
sudah melompat ke samping lain 
melarikan diri. 
Akan tetapi lagi-lagi kejadian 
berulang. Tahu-tahu Sentiko terguling 
setelah menabrak sesuatu yang lunak. 
Ternyata kakek itu telah duduk bersila 
dan menghadang perjalanannya. 
Sentiko marah sekali dan mencaci 
maki, Iblis tua! Engkau jangan 
menghina aku. Jika engkau benar-benar 
sakti mandraguna datanglah ke Tosari 
dan melawan kakekku. Huh, dalam dua 
gebrakan saja, engkau tentu sudah 
mampus dalam tangan kakekku, dan.... 
Sentiko menghentikan kata-katanya 
yang belum selesai, ia cepat 
membalikkan tubuh karena mendengar 
suara ribut-ribut. Ternyata beberapa 
orang laki-laki dengan senjata aneka 
ragam sudah datang dan mengurung dan 
di antara mereka sudah berteriak 
sambil menuding dirinya. 
Nah, itu dia. Bocah itulah yang 
sudah membunuh! 
Benar! Tentu bocah itu pula yang 
sudah merampas uangnya! 
Dia perampok cilik yang sudah 
membunuh saudaraku! 
Mendengar teriakan orang yang 
ribut itu wajah Sentiko menjadi pucat. 
Pikirnya, Celaka! Agaknya orang-orang 
itu tahu akulah yang sudah membunuh 
perempuan itu dan merampas uangnya. 
Ah, aku harus lari secepatnya! 
Akan tetapi sungguh celaka. Ia 
tak dapat menggerakkan kaki dan 
kakinya seperti berakar didalam tanah. 
Ia menjadi keheranan sendiri, apakah 
sebabnya? 
Ia tidak menyadari sama sekali, 
apa yang terjadi atas dirinya itu 
tidak lain oleh tenaga halus yang 
dikirim oleh kakek itu. Tenaga yang 
tidak tampak lewat injakan kaki 
sehingga Sentiko tidak menyadari. 
Sebagai akibatnya dalam waktu 
singkat ia sudah dikepung belasan 
orang sambil mengacungkan senjata 
dengan sikap marah. 
Hayo, lekaslah menyerah! bentak 
salah seorang dari mereka. Bukankah 
engkau telah merampok uang dan 
membunuh? 
Ti.... dak.... aku tidak.... 
bantahnya gagap. Bocah, kau tak perlu 
mungkir! bujuk yang lain. Ketika 
Sentiko memalingkan mukanya memandang 
orang-orang itu, wajahnya menjadi 
tambah pucat. Sebab di antara mereka 
itu terdapat pemilik warung. 
Dan pemilik warung  itu kemudian 
membujuk, Anak, banyak orang yang 
sudah melihat pundi-pundi uang itu, 
dan yang tadi direbut Kreto Jayus. 
Maka sebaiknya kau menyerah saja Anak, 
kemudian kami bawa menghadap Bapak 
Akuwu. 
Sentiko tak dapat membantah lagi. 
Namun sudah tentu bocah keras kepala 
dan bandel ini takkan begitu saja mau 
menyerah. Ia sudah terlanjur melakukan 
perampasan dan pembunuhan. Karena itu, 
ia sadar dirinya akan celaka jika me-
nyerah. Maka tak ada jalan lain untuk 
menyelamatkan diri dengan melawan. 
Akan tetapi bocah ini memang 
belum ingin mati, dan ia tidak rela 
pula sebelum dapat membalaskan sakit 
hati orang-tuanya. Maka sekalipun 
melawan, kalau ada kesempatan ia akan 
melarikan diri. 
Aku tidak melakukannya! bantahnya 
marah. Benar aku memiliki pundi-pundi 
itu. Akan tetapi pundi-pundi uang itu 
pemberian orang tuaku sebagai bekal 
perjalanan. Huh, apakah sama warnanya 
tidak boleh? 
Jawaban itu ternyata berpengaruh 
juga. Beberapa orang di antara mereka 
bertatap pandang. Siapa tahu kalau 
pundi-pundi itu memang sama warnanya? 
Mereka menjadi ragu, karena tidak 
seorangpun dari mereka menyaksikan 
terjadinya peristiwa itu. 
Tetapi saudara dari perempuan 
yang menjadi korban, mengenal ciri 
pundi-pundi itu. Katanya lantang, 
Jangan mungkir! Jika benar-benar 
pundi-pundi itu pemberian orang tuamu, 
sekarang tunjukkanlah. Aku mengenal 
cirinya, hemm, pada bagian tali sudah 
robek dan pada sudut bawah sudah 
ditambal dengan kain lurik hitam. Jika 
pundi-pundi yang kau miliki berbeda 
dengan ciri itu, kami takkan 
mengganggumu lagi. 
Orang yang lain pun cepat pula 
ikut berusaha agar Sentiko membela 
diri dan menunjukkan bukti. Karena 
sesungguhnya para penduduk desa ini 
merasa sungkan harus berurusan dengan 
bocah cilik ini. 
Akan tetapi manakah mungkin 
Sentiko mau mengeluarkan pundi-pundi 
itu? Ia bukan pemuda tolol. Maka ia 
mencari alasan dan dalih untuk 
mempertahankan diri. Jawabnya, Huh, 
pundi-pundi ini milikku sendiri. 
Mengapa harus aku tunjukkan kepada 
kalian? Pendeknya aku tidak melakukan 
perampasan dan pembunuhan itu. Su-
dahlah, kalian jangan mengganggu lagi. 
Jahanam cilik! Jika engkau keras 
kepala, terpaksa kami gunakan 
kekerasan! bentak seorang laki-laki 
berkumis tebal. 
Siapa takut? balas Sentiko yang 
sudah terpojok. Walaupun sadar dirinya 
dalam bahaya, ia membusungkan dada dan 
siap dengan senjatanya. Huh, siapa 
berani maju senjataku ini akan menjadi 
hakim pencabut nyawa. 
Di antara mereka yang hadir ini, 
justru terdapat pula orang-orang yang 
tadi menyaksikan perkelahian antara 
Sentiko dengan Kreto Jayus. Karena itu 
mereka tidak berani sembarangan, jus-
tru sekalipun kecil dia bocah 
berbahaya. Sebaliknya adik dari 
perempuan yang terbunuh itu tidak 
gentar. Pertama ia merasa bertubuh 
lebih tinggi dan lebih besar. Yang 
kedua, ia pernah belajar ilmu 
kesaktian sekalipun belum tinggi, 
namun ia sudah merasa dirinya cukup 
hebat. 
Biarlah aku yang menangkap bocah 
sombong ini! katanya lantang. 
Dengan golok terhunus ia melompat 
maju. Bagi orang-orang desa lompatan 
pemuda ini sudah cukup cepat dan jauh. 
Tetapi bagi Sentiko,  lompatan itu 
lambat dan pendek saja. Dirinya dapat 
berbuat lebih cepat dari pemuda itu. 
Maka tanpa gentar sedikitpun Sentiko 
segera menyambut golok lawan. 
Wutt.... wutt.,.. Golok orang itu 
menyambar dahsyat, tetapi hanya 
mengenai tempat kosong. Karena terlalu 
bernafsu dalam menyerang, orang itu 
terhuyung ke depan, kehilangan 
keseimbangan Sentiko tertawa mengejek 
sambil melenting tinggi, kemudian ia 
memancing dengan tangan kiri pura-pura 
memukul kepala lawan. Melihat itu 
lawannya gembira dan cepat menyambut 
dengan bacokan golok. 
Wutt.... Aduhhhh....! 
Orang itu berteriak nyaring 
kesakitan, kemudian roboh merintih-
rintih. Ternyata pundak orang itu 
sudah terluka parah dan darah mengucur 
deras dari luka. 
Orang-orang yang mengurung 
terbelalak. Bocah itu dapat bergerak 
cepat sekali. Bagaimanakah mungkin 
dapat menangkap? Di saat orang-orang 
masih diliputi oleh keraguan ini, 
Sentiko sudah membentak nyaring dan 
menerjang ke bagian barat. Orang-orang 
yang diserang kaget dan berlompatan ke 
samping sambil menangkis dengan 
senjata. Tetapi orang-orang itu 
tertipu. Sebab menggunakan kesempatan 
di saat orang sedang  menghindar dan 
menangkis itu, bocah ini sudah 
melompat tinggi  dan keluar dari 
kepungan. Kemudian Sentiko lari 
secepat terbang masuk ke dalam hutan. 
Semua orang berteriak ribut, 
kemudian berusaha mengejar. Namun 
karena mereka hanyalah pada penduduk 
desa yang tidak kenal ilmu kesaktian 
maka mereka ketinggalan jauh. Dalam 
waktu tidak lama bocah itu sudah 
hilang ditelan gelapnya pepohonan. 
Si kakek yang mengikuti semua 
peristiwa itu menggeleng-gelengkan 
kepalanya penuh rasa kagum. Ia semakin 
menjadi tertarik dan suka kepada bocah 
itu. Sebab memang pemuda seperti 
itulah yang selama ini selalu dicari 
dan diharapkan bisa menjadi muridnya. 
Tabah, berani, cerdik, berbakat, licin 
dan yang lebih penting lagi berbau 
sesat. Dan karena  tertarik, kakek 
inipun kemudian pergi dan membayangi 
Sentiko. 
Siapakah sebenarnya kakek yang 
ingin mengambil Sentiko menjadi 
muridnya itu? Tidak seorangpun kenal 
nama si kakek ini yang asli. Orang 
hanya mengenai dengan julukan Giri 
Samodra, dan bertempat  tinggal di 
gunung Wilis. Ia memang bukan orang 
sembarangan. Ia seorang sakti 
mandraguna, bekas teman seperjuangan 
Lembu Sora yang memberontak pada tahun 
1311  kepada Majapahit dan tewas oleh 
jebakan licik yang dipasang Nambi, 
Patih Mangkubumi Majapahit. 
Akan tetapi tewasnya Lembu Sora 
tidak memadamkan hati panas Juru 
Demung, Gajah Biru maupun Giri 
Samodra. Mereka malah menyesal sekali 
mengapa Ronggolawe dan Lembu Sora yang 
besar jasanya kepada Majapahit harus 
mati dengan nama ternoda? Maka dua 
tahun kemudian pada tahun 1313 meletus 
pemberontakan yang dipelopori Juru 
Demung. Pada pemberontakan ini Giri 
Samodra merupakan tangan kanan Juru 
Demung. 
Namun ternyata pemberontakan 
tersebut gagal juga dan Juru Demung 
tewas dalam peperangan. Sekalipun 
demikian Giri Samodra tidak juga padam 
semangatnya. Kemudian pada tahun 1314 
bersama Gajah Biru meletuskan 
pemberontakan lagi terhadap Majapahit. 
Tetapi lagi-lagi persiapan Gajah Biru 
dan Giri Samodra kurang tertib. Mereka 
kurang memperhitungkan kekuatan 
Majapahit pada saat Raja Jayanegara 
berkuasa. Dan akibatnya pemberontakan 
inipun gagal lagi. 
Setelah tiga kali pemberontakan 
yang diselenggarakan selalu gagal, 
akhirnya Giri Samodra yang merasa 
tanpa kawan yang bisa dipercaya lagi, 
lalu mengasingkan diri di pinggang 
gunung Wilis, yang kemudian tempat itu 
disebut dengan nama Desa Basuki. Nama 
Basuki ini artinya selamat. Dan desa 
ini menjadi ramai dan selamat dari 
gangguan orang jahat, berkat adanya 
Giri Samodra. 
Berkat perlindungan Giri Samodra 
ini maka oleh para penduduk desa itu, 
ia dijadikan orang yang dituakan 
disamping dihormati. 
Semua penduduk memanggil "Bapa 
Guru" kepada Giri Samodra karena semua 
penduduk desa itu pernah diberi 
pelajaran ilmu tata kelahi. Tetapi 
sekalipun demikian, semua orang tidak 
berhak mengaku sebagai muridnya. 
Apakah sebabnya mereka tidak 
diakui sebagai murid sekalipun pernah 
diberi pelajaran ilmu kesaktian? 
Karena semua penduduk itu tidak cocok 
dengan watak murid yang ia butuhkan. 
Mereka terlalu jujur, berwatak gagah 
dan puas hidup sebagai petani. 
Murid yang diharapkan Giri 
Samodra bukan seperti itu. Tetapi 
seorang pemuda yang berbakat, cerdik, 
licin, licik, kejam dan tidak peduli 
tata kesopanan umum. Nampaknya 
harapannya itu aneh, jika mengingat 
sejarah hidupnya. 
Giri Samodra memang tidak pernah 
mau berpikir bahwa terjadinya 
peristiwa yang menimpa Ronggolawe dan 
lembu Sora itu karena ada seseorang 
yang secara licik menciptakan. Dan 
kakek  ini hanya menduga, semua 
peristiwa itu oleh keserakahan Patih 
Mangkubumi Majapahit yang bernama 
Nambi, dan juga raja sendiri yang 
terpengaruh oleh Nambi. 
Padahal dugaan ini keliru besar. 
Peristiwa ini diciptakan oleh 
seseorang yang bernama Dyah Halayuda 
alias Mahapati. Orang inilah yang 
memfitnah dan mengadu domba, sebingga 
baik Ronggolawe maupun Lembu Sora 
terpancing dan memberontak. 
Memang ada sebabnya Mahapati 
melakukan perbuatan dan mengacau dari 
dalam itu. Mahapati yang berambisi 
untuk dapat menduduki jabatan Patih 
Mangkubumi Majapahit itu, tidak ada 
jalan lain kecuali melakukan fitnah 
dan adu domba. Sebab selama para tokoh 
Majapahit yang dekat dengan raja belum 
tersingkir, selama itu pula cita-
citanya akan mengawang. 
Itulah sebabnya pertama kali 
Ronggolawe yang menjadi korban tingkah 
laku Mahapati. Sebagai alasannya, 
Nambi tidak pantas menduduki jabatan 
Patih Mangkubumi. Dan yang pantas men-
duduki hanyalah Ronggolawe atau Lembu 
Sora karena sudah besar jasanya. 
Oleh hasutan Mahapati ini 
Ronggolawe terbujuk. Kemudian 
Ronggolawe memprotes kepada raja di 
persidangan. Secara blak-blakan 
Ronggolawe mengemukakan kepada raja, 
bahwa Nambi tidak pantas menduduki 
jabatan patih Mangkubumi. Dan yang 
tepat hanya pamannya bernama Lembu 
Sora atau Ronggolawe sendiri. 
Atas protes Ronggolawe ini semula 
pendirian raja goyah. Tetapi kemudian 
Sora berkata, raja tidak seharusnya 
terombang-ambing oleh pendapat 
hambanya. Lembu Sora tidak setuju 
kalau kedudukan Nambi diganti oleh 
dirinya maupun oleh Ronggolawe. Dan 
menurut Sora, mendudukkan Nambi 
sebagai patih mangkubumi sudah tepat. 
Ronggolawe tidak ingin 
bertentangan dengan paman sendiri. 
Maka dari itu kemudian Ronggolawe 
meninggalkan persidangan dengan masih 
penasaran. 
Kebo Anabrang salah seorang 
panglima Singosari yang pernah 
mendudukkan negara Melayu dan pulang 
ke Singosari sambil membawa putri 
boyongan Dara Petak dan Dara Jingga, 
merasa tersinggung dan marah. Ia 
kemudian menantang Ronggolawe untuk 
bertanding kesaktian. Namun tantangan 
itu tidak ditanggapi oleh Ronggolawe. 
Di Balai Bang, Ronggolawe yang 
penasaran melakukan pengrusakan. Dan 
hai ini memancing kemarahan Kebo 
Anabrang serta ingin menghajar 
Ronggolawe. Tetapi maksud ini bisa 
dicegah  Lembu Sora. Kemudian ia 
sendiri yang datang ke Balai Bang 
untuk meredakan kemarahan Ronggolawe. 
Ronggolawe memang hanya tunduk 
kepada seorang raja, ialah Lembu Sora, 
karena merupakan pamannya. Dan atas 
nasihat dan bujukan Lembu Sora ini 
kemudian Ronggolawe pulang ke Tuban. 
Akan tetapi ternyata hasutan 
Mahapatih terlalu jauh mempengaruhi 
batin dan perasaannya. Karena itu 
kemudian ia melakukan pemberontakan. 
Dalam peristiwa ini akhirnya 
Ronggolawe mati terbunuh oleh Kebo 
Anabrang yang menggunakan akal licik. 
Perbuatan licik karena di darat Kebo 
Anabrang tidak akan dapat menandingi 
Ronggolawe. Oleh sebab itu kemudian 
Kebo Anabrang menggunakan akal 
menantang Ronggolawe berkelahi di 
sungai Tambak Beras. 
Padahal Ronggolawe tidak bisa 
berenang, maka tanpa kesulitan Kebo 
Anabrang dapat mengalahkan Ronggolawe 
dan tewas. Dan apa yang terjadi di 
sungai ini diketahui oleh Lembu Sora. 
Ia menjadi marah sekali ketika 
kemenakannya tewas oleh kelicikan 
orang. Dalam marahnya ini kemudian 
Kebo Anabrang ditikam dari belakang. 
Penikaman yang dilakukan Lembu 
Sora kepada Kebo Anabrang inilah 
kemudian yang dijadikan alasan 
Mahapati untuk memfitnah Lembu Sora. 
Ia kemudian membujuk kepada raja 
supaya menghukum Lembu Sora. Dan 
kepada Kebo Taruna, anak Kebo 
Anabrang, ia menghasut agar menuntut 
balas. Disamping itu ia juga menghasut 
Nambi apabila Lembu Sora tidak di-
hukum, bisa menyebabkan negara 
Majapahit kacau. 
Oleh kelicinan dan kelicikan 
Mahapati dalam mempengaruhi dan 
membujuk raja, Kebo Taruna maupun 
Nambi ini akhirnya keputusan raja 
menetapkan Lembu Sora harus dihukum 
buang. 
Akan tetapi Lembu Sora yang sudah 
mengetahui tuduhan kepada dirinya itu, 
menolak keputusan raja, dan ia memilih 
mati di tangan raja daripada harus 
menerima hukuman buang itu. 
Sikap Lembu Sora ini dimanfaatkan 
oleh Mahapati untuk membujuk raja, 
Nambi maupun Kebo Taruna. Ia membujuk 
raja agar tidak be-sedia menerima 
kedatangan Lembu Sora untuk 
menyerahkan jiwa raga. Sebaliknya 
kepada Kebo Taruna maupun kepada 
Nambi, ia mempengaruhi agar memper-
siapkan pasukan rahasia yang kuat 
untuk menjebak Lembu Sora yang 
disebut-sebut akan membunuh raja. Dan 
oleh kelicinan, kelicikan dan tipu 
muslihat Mahapati ini, akhirnya Lembu 
Sora tewas dikeroyok prajurit Nambi. 
Sebagai akibat peristiwa yang 
menyakitkan  hati ini, Giri Samodra 
memusuhi Majapahit. Pendeknya 
peristiwa ini harus terbalas tuntas. 
Sekalipun ia tahu benar, akhirnya 
Nambi sendiri tewas akibat fitnah dan 
hasutan Mahapati kepada raja, dengan 
nama ternoda pula sebagai pemberontak. 
Namun pada akhirnya Mahapati mati 
juga di rumahnya sendiri oleh 
penyerbuan para Dharmaputra Majapahit, 
setelah tahu bahwa Mahapati merupakan 
benalu Kerajaan Majapahit. Dan peris-
tiwa inilah yang kemudian dikenal 
dalam sejarah, pemberontakan Kuti. 
Nah, karena sakit hati ini maka 
murid yang diharapkan Giri Samodra 
agar kemudian hari dapat mengemban 
tugas membalas dendam kepada semua 
tokoh Majapahit. Dan Giri Samodra 
merasa sayang sekali bahwa Mahapati 
sudah mati terbunuh. Kalau saja masih 
hidup, orang itulah sasaran yang 
pertama kalinya. 
Karena Sentiko menolak diambil 
sebagai murid, hai ini semakin 
menambah keinginannya, untuk bisa 
memikat bocah itu. Ia percaya, pada 
saatnya nanti bocah itu tentu bakal 
tunduk dan mau mengangkat dirinya 
sebagai guru. 
Sentiko berlarian cepat sekali 
dalam usaha menghindarkan diri dari 
kejaran orang-orang desa itu. Setelah 
merasa cukup jauh, barulah ia berani 
melangkah seenaknya. Perutnya kembali 
lapar  dan merengek minta isi, 
menyebabkan ia penasaran jika teringat 
peristiwa di warung  tadi. Sebab baru 
beberapa suap nasi masuk dalam perut, 
telah ditambah dengan ludah Kreto 
Jayus. Kalau saja orang itu tidak 
mengganggu, tentu ia tadi sudah makan 
dan perut kenyang. 
Saking lapar dan perut merengek 
terus, kemudian ia menengadahkan 
kepala untuk mencari buah apa saja, 
yang mungkin bisa dipergunakan 
mengurangi rasa lapar. 
Akan tetapi yang dicari belum 
diperoleh, tiba-tiba ia kaget. 
Telinganya yang sudah cukup terlatih, 
menangkap suara geseran daun ilalang 
diterjang sesuatu. Dan ketika ia 
memandang ke arah rumput itu mendadak 
wajahnya pucat. Seekor harimau loreng 
yang amat besar, sudah muncul dari 
dalam semak, dan sepasang mata harimau 
itu memandang dirinya. 
Ahh, celaka! ia mengeluh perlahan 
dengan wajah pucat. 
Kemudian terbayang dalam benak-
nya, tubuhnya akan dikoyak-koyak 
hancur oleh kuku dan taring harimau 
itu. Sebelum dirinya tewas, ia tentu 
mengalami derita hebat sekali. Dan 
terbayang pula betapa sakitnya di saat 
harimau itu menggigit putus lengannya. 
Setelah lengannya habis dimakan, 
kemudian menggigit putus lengannya 
yang sebelah. Ahhh.... ngeri..... 
Tidak! Tidak! Aku tak mau mati 
dengan cara itu. Aku tidak sudi 
menyerah menjadi mangsa harimau. Aku 
harus melawan sedapat-dapatku, ujarnya 
dalam hati. 
Secepat kilat senjata tombak 
trisula sudah siap di tangan kanan, 
untuk menghadapi serangan harimau. 
matanya tidak berkedip, sedang otaknya 
diputar bagaimanakah cara yang tepat 
untuk dapat membunuh harimau itu. 
Dan sebaliknya harimau itu, 
melihat calon korbannya mengeluarkan 
senjata sudah menggeram keras. Kaki 
depan mencakar tanah dan tubuh bagian 
depan merendah. Mulutnya yang lebar 
dan penuh gigi yang kuat itu terbuka 
siap menggigit. 
Sentiko bergidik juga menghadapi 
harimau ini. Karena harimau ini bisa 
mencakar dengan kuku dan menggigit 
dengan gigi tajam. Sebaliknya dirinya 
tidak bisa mencakar dan tidak bisa 
pula menggigit. Maka sekali kepalanya 
masuk ke dalam mulut harimau itu, 
tidak mungkin masih utuh lagi dan 
tentu remuk. Mengingat semua itu maka 
bocah ini makin kuat memegang tombak 
trisulanya. Ia akan sambut dengan 
tikaman apabila harimau itu menyerang 
dirinya. 
Hauw.... hauww....! harimau 
sebesar lembu itu kembali menggeram. 
Lalu dengan lompatan  yang tinggi 
menyambar ke depan. Dengan hati 
berdebar Sentiko melesat ke samping 
sambil menikamkan tombak. Wutt.... 
luput! Sentiko terpelanting sendiri 
tertarik oleh tenaga yang digunakan. 
Haung.... haung.... haung.... 
harimau itu mengaum keras sambil 
membalikkan tubuh. Harimau itu tampak 
marah sekali setelah diserang. Ia 
menubruk kembali dengan kaki depan 
yang kuat dan berkuku runcing dan siap 
merobek tubuh Sentiko. 
Sentiko menyambut lagi dengan 
tombaknya. Namun karena hati risau, 
tikamannya gagal lagi, dan malah kaki 
belakang harimau itu berhasil mencakar 
pundaknya sehingga terluka dan menge-
luarkan darah. 
Karena tidak menduga, Sentiko 
terpelanting roboh di tanah. Bocah ini 
meringis karena sakit namun masih bisa 
menghindar dan segera bergulingan 
ketika harimau itu menyerang lagi. 
Senjatanya yang menyerang dari  bawah 
berhasil menikam paha bagian belakang. 
Walaupun tikaman itu kurang tepat 
namun paha harimau itu robek juga dan 
mengeluarkan darah. 
Hauw.... hauww....! harimau 
sebesar lembu itu kembali menggeram. 
Lalu dengan lompatan yang tinggi 
menyambar ke depan. Dengan hati 
berdebar Sentiko melesat ke samping 
sambil menikamkan tombak. 
Tetapi rasa sakit pada paha yang 
terluka ini justru menyebabkan harimau 
itu marah sekali. Si harimau mengaum 
keras dan menubruk lagi. Serangannya 
hebat dan ganas, menyebabkan Sentiko 
semakin tambah gentar dan kerepotan. 
Beberapa kali tikaman trisulanya 
meleset, sebaliknya kuku tajam itu 
menyerang tidak terduga. 
Setelah berkelahi agak lama dua-
duanya mandi darah. Sentiko terluka 
beberapa bagian tu-buhnya, terasa 
panas dan pedih. Namun justru luka 
yang ia derita ini malah memberi 
semangat baru. Dalam usaha memperta-
hankan nyawa, bocah yang tabah ini 
menjadi nekad. Ia bersedia mati tetapi 
sebaliknya harus dapat membunuh 
harimau itu. 
Harimau yang sudah mandi darah 
itu semakin merasa kesakitan menjadi 
semakin tambah ganas. Hewan ini 
mengaum dan setiap kesempatan 
menyerang dengan kuku yang tajam. 
Akan tetapi bagaimanapun tahannya 
daya tubuh dan nekadnya Sentiko, oleh 
derita lukanya yang terasa sakit, 
pedih dan ditambah oleh darah yang 
terus keluar, menyebabkan tenaga bocah 
ini semakin berkurang. Lagi pula 
pundak kanan sudah terluka, sehingga 
setiap menggerakkan senjata untuk 
menyerang, ia merasakan kesakitan. 
Beberapa saat kemudian Sentiko 
merasakan kepalanya pening dan 
berdenyutan, menyebabkan pandang 
matanya tidak sejelas semula. Ia 
berusaha menguatkan diri dan  terus 
melawan. Dan kemudian pada suatu saat 
tangan kanan mengayunkan trisulanya 
untuk menyerang. 
Crakk...! Mata tombak itu tepat 
mengenai kepala harimau. Namun karena 
tenaga bocah itu hampir habis 
tikamannya meleset. 
Harimau ini mengaum keras setelah 
terluka kepalanya. Mendadak harimau 
besar itu menubruk ke depan, Sentiko 
menyambut serangan itu dengan serangan 
pula, tetapi sayang, lengannya 
dirasakan sakit sekali dan tidak dapat 
dipertahankan lagi. Akibatnya senjata-
nya lepas, disusul tubuh bocah yang 
sudah kepayahan dan mandi darah itu 
roboh di tanah, pingsan. 
Harimau yang sudah terluka pada 
beberapa bagian tubuhnya itu mengaum 
keras. Mulutnya terbuka lebar siap 
mengganyang tubuh Sentiko. Wutt... 
harimau itu menubruk ke depan. Dan 
tentu tubuh bocah yang sudah pingsan 
itu akan segera hancur dicabik-cabik 
oleh kuku dan gigi yang tajam itu. 
Akan tetapi yang terjadi kemudian 
adalah lain. Tiba-tiba harimau yang 
sedang menubruk itu mengaum dahsyat 
lalu roboh tidak bergerak lagi tidak 
jauh dari tempat Sentiko pingsan. 
Ternyata kepala harimau itu sekarang 
sudah berlubang besar, otak bercampur 
darah mengalir membasahi tanah. 
Sejenak kemudian muncullah Giri 
Samodra  sambil bergumam, Luar biasa! 
Kau bocah luar biasa dan kaulah bocah 
yang selama ini aku cari. 
Robohnya  harimau dengan kepala 
berlubang besar itu karena sebutir 
batu yang disambitkan Giri Samodra. 
Tanpa pertolongan kakek ini manakah 
mungkin Sentiko masih bisa hidup lagi? 
Giri Samodra jongkok dan 
memeriksa luka yang diderita bocah 
itu. Dan Sentiko sekarang memang dalam 
keadaan mengerikan. Wajahnya 
berlepotan darah, sedang pakaiannya 
sudah tidak utuh lagi seperti dicuci 
dengan darah. Luka yang diderita bocah 
itu hampir merata di sekujur tubuhnya, 
dan walaupun semua itu hanya luka 
luar, namun kalau bukan bocah  bandel 
tentu sudah sejak beberapa lama ia 
roboh pingsan. 
Engkau hebat, engkau tabah, 
bandel dan keras kepala, heh heh heh 
heh, kata kakek ini seorang diri 
sambil memandang Sentiko yang masih 
menggeletak pingsan. Walaupun engkau 
menolak menjadi muridku, aku tak tega 
membiarkan engkau menjadi santapan 
harimau. Hemm, aku ingin melihat, 
setelah engkau kutolong apakah kau 
masih juga bandel dan menolak? Jika 
kau tetap kokoh dan menolak 
keinginanku, habislah harapanku di 
hari tua ini. 
Sentiko yang masih pingsan segera 
dipondong dan sesaat kemudian sudah 
dibawa lari secepat  terbang 
meninggalkan tempat itu. Tak lama ke-
mudian sampailah di tepi mata air. 
Dengan hati-hati, Giri Samodra mulai 
membersihkan luka di seluruh tubuh 
bocah ini dengan air. Agaknya rasa 
perih  pada luka yang terkena air itu 
menyebabkan Sentiko siuman dan 
langsung merintih. 
Anak yang baik, berilah aku waktu 
untuk membersihkan dan mengobati 
lukamu, ujarnya. 
Sentiko membuka matanya dan 
terbelalak ketika mendapatkan dirinya 
menggeletak di atas batu datar, di 
bawah pohon rindang. Kakek yang belum 
ia kenal itu dengan sikap sayang 
sedang membersihkan lukanya. Teringat-
lah ia kemudian semua yang dialami. Ia 
berkelahi dengan harimau besar dan 
buas, lalu ia roboh pingsan. Agaknya 
di saat dirinya pingsan itu, kakek ini 
datang dan menolong. 
Sekalipun bandel, ia tahu pula 
budi orang lain. Maka sambil menahan 

rasa pedih, katanya,  
Kakek, terima kasih atas 
pertolonganmu dan kebaikanmu. 
Hemm, biasa, sahut kakek itu 
dingin. Aku melihat engkau hampir 
menjadi santapan harimau. Aku membunuh 
harimau itu dan menyelamatkan kau, 
Nak. Dan nanti setelah selesai aku 
membersihkan lukamu yang ini, aku akan 
segera mengobati. 
Hati bocah ini terharu juga oleh 
sikap kakek ini yang menolong dirinya. 
Tetapi tiba-tiba ia ingat maksud kakek 
ini yang ingin mengambil dirinya 
sebagai murid, dan tiba-tiba saja ia 
khawatir kalau alasan ini dipergunakan 
untuk menekan dirinya. Justru oleh 
kekhawatiran ini tiba-tiba ia bangkit 
dan menahan rasa sakit. 
Giri Samodra kaget. Cegahnya, 
Jangan bangkit! 
Tidak! sahut bocah ini. Aku tak 
mau kalau pertolonganmu ini kau 
jadikan alasan menekan aku untuk 
menjadi muridmu. 
Untuk sejenak Giri Samodra 
terbelalak. Namun kemudian ketawa 
terkekeh, katanya, Kalau benar, kau 
mau apa? 
Giri Samodra mengucapkan kata-
kata itu untuk memancing sikap bocah 
ini. Ia percaya bocah ini akan 
bersikeras menolak. Namun sebaliknya 
ia tidak ingin  menekan dan memaksa. 
Sebab kalau ia memaksa, sikap itu 
takkan menguntungkan. 
Huh, jika demikian tinggalkanlah 
aku! Sentiko tersinggung. Aku masih 
dapat mengurus diri sendiri! 
Heh heh heh heh, Giri Samodra 
terkekeh. Ternyata engkau memang bocah 
bandel dan  keras kepala. Sudahlah, 
berbaringlah dulu. Berilah aku waktu 
untuk membersihkan semua lukamu dan 
mengobati. Sesudah selesai kau boleh 
pergi dan bebas. Siapa yang sudi 
mengambil bocah keras kepala seperti 
engkau ini untuk menjadi murid? 
Mendengar jawaban ini Sentiko 
lega. Namun ia tak juga lekas 
berbaring lagi. Dan atas sikap ini 
kakek itu mengibaskan tangan perlahan 
dan Sentiko merasa tertindih oleh 
kekuatan yang tidak dapat dilawan, 
Karena dadanya sesak, hingga ia 
berbaring kembali. Ia tak dapat 
bergerak  dan hanya matanya memandang 
Giri Samodra tidak berkedip. 
Giri Samodra sibuk dengan 
pekerjaannya, tidak peduli Sentiko 
mengamati dirinya. 
Di saat dirinya berbaring kembali 
di luar kemauannya ini, gagasannya 
melayang kembali ke Tosari. Baru 
teringatlah sekarang betapa bingung 
keluarganya karena dirinya pergi diam-
diam. Tetapi semuanya sudah terlanjur. 
Ia sudah pergi dengan maksud membalas 
dendam. Maka merasa malu kalau tidak 
berhasil dalam tugas ini. 
Tetapi mungkinkah cita-citanya 
bisa terwujud? Gajah Mada dan Mpu Nala 
terkenal sebagai dua tokoh Majapahit 
yang sakti mandraguna. Padahal dirinya 
sekarang ini baru berhadapan dengan 
harimau saja tubuhnya sudah koyak-
koyak dan hampir mati, kalau tidak 
ditolong kakek ini. Bukankah apa yang 
dilakukan seperti kata orang  si 
pungguk ingin meraih bulan? Dan juga 
seperti katak yang ingin menyamai 
lembu? 
Di saat gagasannya sedang 
melayang memikirkan keadaan dirinya 
ini, pekerjaan Giri Samodra sudah 
selesai. Sekarang kakek itu tengah 
menaburkan bubuk obat ke lukanya. Dan 
diam-diam ia merasa heran pula, 
mengapa setelah lukanya diberi bubuk 
obat, rasa pedih itu menjadi hilang? 
Walaupun bocah bandel dan keras 
kepala ia mengerti pula budi dan 
kebaikan orang. Ia terharu atas sikap 
kakek yang belum dikenalnya ini. Jelas 
dengan sikapnya yang ketus, ia menolak 
menjadi murid, berarti kurang 
menghormati orang tua. Namun apakah 
sebabnya kakek ini tidak sakit hati 
dan malah sekarang menolong dirinya 
tanpa mengharapkan balasan jasa? 
Sejak kecil ia banyak mendengar 
cerita kakeknya, orang sakti banyak 
yang bersikap aneh. Bukankah kakek 
yang menolong dirinya sekarang ini 
sikapnya juga aneh? Teringat pula apa 
yang sudah ia lakukan. Kakek ini ia 
tikam dengan senjata. Namun perut 
kakek ini seperti bajak tidak mempan 
oleh senjatanya. Kalau demikian kakek 
ini sakti dan kulitnya kebal senjata. 
Orang seperti kakek ini sulit dicari, 
dan kalau demikian mengapa dirinya 
menyia-nyiakan kesempatan sebaik ini? 
Orang sakti tidak gampang mau 
menerima orang menjadi murid. Padahal 
tanpa diminta kakek ini bersedia 
mengambil dirinya menjadi murid. 
Apakah hai ini bukan suatu keuntungan 
yang sulit dicari? Dan kalau dirinya 
menjadi seorang yang kebal senjata, 
bukankah usahanya membalas dendam 
kepada Mpu Nala dan Gajah Mada akan 
menjadi lebih gampang? 
Tetapi ah... apakah kakekku tidak 
marah, jika mendengar aku berguru 
kepada orang lain? Bukankah seperti 
itu yang di sebut sebagai murid murtad 
? pikiran ini menyebabkan ia ragu kem-
bali. 
Tak lama kemudian selesailah 
pekerjaan Giri Samodra. Kemudian ia 
terkekeh,  lalu katanya, heh heh heh 
heh, selesailah sudah pekerjaanku. 
Sekarang bangkitlah dan selamat 
tinggal! 
Kakek....! Teriak Sentiko kaget 
sambil cepat bangkit 
Akan tetapi kakek itu sudah tak 
tampak lagi bayangannya. Sentiko duduk 
di atas batu sambil menghela napas 
panjang. Luka di seluruh tubuhnya 
hampir tidak terasa lagi seakan sudah 
sembuh. Meskipun demikian ia tidak 
berani bergerak sembarangan, khawatir 
luka baru itu mengeluarkan darah lagi. 
Ia turun dari batu sambil 
meloncat.  Lalu ia  berdiri sambil 
menebarkan pandang matanya, berusaha 
menemukan kembali kakek yang sudah me-
nolong dirinya. Namun ternyata kakek 
itu sudah lenyap seperti masuk bumi. 
Hemm, tentu kakek itu marah, 
gerutunya. Hemm, aku memang bocah 
tidak tahu diri. Bocah yang tak dapat 
membalas budi. Dia telah menolong dan 
menyelamatkan diriku dari mulut hari-
mau. Namun sikapku terlalu kurang 
ajar, sehingga kakek itu marah. 
Ahh.... celaka! Kesempatan baik aku 
sia-siakan. 
Akhirnya Sentiko melangkah perla-
han melanjutkan perjalanan. Namun 
tiba-tiba perutnya kumat kembali dan 
merengek minta diisi. Ia berusaha 
melupakan kakek itu dengan jalan 
memperhatikan sekeliling untuk mencari 
buah yang mungkin bisa menjadi pengisi 
perutnya. 
Untung juga tak lama kemudian ia 
menemukan sebatang pisang batu dan ada 
beberapa buah yang sudah masak. 
Lumayan! katanya seorang diri 
sambil mengunyah pisang yang penuh 
dengan biji itu. Tetapi sungguh 
sayang, pisang semanis dan enak 
seperti ini, wangi pula, mengapa harus 
dipenuhi dengan biji yang keras? Kalau 
pisang ini seperti pisang yang lain, 
tentu merupakan pisang yang paling 
enak di dunia ini. 
Walaupun perut tidak puas hanya 
diisi dengan pisang, sudah lumayan 
juga. Perutnya tidak selapar tadi dan 
ia dapat meneruskan perjalanan lebih 
mantap. 
Akan tetapi setelah lama 
menelusuri hutan perawan ini ia 
menjadi heran berbareng kaget. Ia 
telah merasa berjalan lama sekali, 
matahari sudah rendah di bagian barat, 
dan cuaca dalam hutan sudah mulai 
gelap, karena sinar matahari tak kuasa 
menembus lebatnya damn, namun mengapa 
belum juga dapat keluar dari hutan? 
Sekalipun bocah bandel dan keras 
kepala, berdebar juga hatinya kalau 
harus menginap di dalam hutan. 
Bukankah di hutan banyak bahaya? Tadi 
hanya menghadapi harimau saja hampir 
mampus. Kalau dirinya berhadapan 
dengan bahaya lagi, mungkinkah dirinya 
masih bisa selamat dalam keadaan luka-
luka belum sembuh? 
Teringat bahaya yang mungkin 
timbul ini sesalnya menjadi semakin 
dalam, mengapa ia tadi sudah membuat 
kakek itu marah. Akibatnya kemudian ia 
mencaci maki dirinya sendiri. 
Hai Sentiko! Apakah engkau sudah 
berubah menjadi seorang cengeng dan 
penakut? Engkau  sendiri yang sengaja 
mencari penyakit ini. Kalau saja tidak 
pergi diam-diam, bukankah di Tosari 
kau bisa hidup enak? Berani berbuat 
harus berani bertanggung  jawab dan 
harus berani menanggung akibatnya. 
Bukankah di atas dahan kau dapat tidur 
dengan aman? 
Bocah yang semula diliputi rasa 
ragu ini kemudian ketawa sendiri. 
Sesal dan rasa takutnya hilang lalu 
melangkah dengan mantap menerobos 
hutan belantara. 
Tetapi tiba-tiba ia menghentikan 
langkahnya dan memasang telinga. Ia 
heran, betulkah yang ia dengar? Ia 
menangkap suara orang yang menembang 
(menyanyi). Suara itu nyaring dan 
mengalun, menguak suasana hutan yang 
sepi. Ia tidak tahu, apakah nama 
tembang yang dinyanyikan orang itu. 
Namun demikian ia dapat menangkap 
secara jelas dari bait ke bait. 
Heh Taruno, Si Tangan Iblis 
keparat!  
Kowe aja mung ndhelik.  
Yen nyata prawira.  
Pathukna krodhaningwang.  
Iki Mahisa Jaladri.  
Musuhmu lawas.  
Sapa lena ngemasi.  
Tembang itu bernama Durma. 
Artinya secara bebas demikian : Hai 
Taruno keparat Si Tangan Iblis. Apakah 
sebabnya engkau hanya menyembunyikan 
diri? Jika engkau seorang gagah 
perwira, keluarlah dari persembunyian-
mu dan marilah kita berkelahi. Aku 
Mahisa Jaladri, musuh lama. Siapa 
lengah harus mati! 
Sentiko terkejut sekali dapat 
menangkap arti tembang itu. Ternyata 
orang bernama Mahisa Jaladri menantang 
kakeknya. Benarkah kakeknya di Tosari 
itu bersembunyi karena takut kepada 
musuh lama bernama Mahisa Jaladri? 
Tidak mungkin! bantahnya sendiri. 
Kakekku seorang sakti mandraguna dan 
terkenal dengan  julukan Si Tangan 
Iblis atau Kakek Tangan Iblis. 
Mungkinkah kepada orang itu saja 
menjadi ketakutan? Tidak! Manusia itu 
berani menantang karena tahu kakekku 
di Tosari. Kalau berhadapan muka, 
kiranya Mahisa Jaladri sudah lari 
terkencing-kencing. Huh, kurangajar! 
Sebagai muridnya manakah mungkin aku 
membiarkan orang berani menghina 
kakekku? 
Bocah ini penasaran sekali. Ia 
takkan membiarkan begitu saja orang 
berani menghina dan merendahkan 
kakeknya. 
Aku tidak takut! katanya seorang 
diri. Orang yang berani menghina 
kakekku, lebih dahulu harus berhadapan 
dengan aku! 
Ia cepat menerobos belantara, ke 
arah suara  orang yang menembang dan 
menantang kakeknya itu. Setelah 
menerobos sana menerobos sini beberapa 
lama, lalu tampaklah oleh bocah ini, 
seorang kakek jangkung berdiri di atas 
batu besar dan masih tetap juga 
menembang menantang-nantang. 
Kakek itu belum tua benar, kira-
kira baru enam  puluh tahun. Tetapi 
rambutnya sudah lebih banyak yang 
putih daripada yang hitam, dibiarkan 
keriapan di punggung maupun pundak, 
dan tanpa memakai ikat kepala. 
Pakaiannya aneh, kain panjangnya dari 
lurik warna hijau, sabuknya hitam, 
akan tetapi bajunya kain lurik warna 
kuning. Melihat pakaian yang warna-
warni itu diam-diam ia geli.  
Akan tetapi ia tidak sempat 
menertawakan kakek itu. Hatinya yang 
penasaran mendengar tantangan untuk 
kakeknya mendorong kepada bocah ini 
untuk berteriak lantang,  
Hei kakek busuk! Engkau mengumbar 
mulut tanpa aturan. Apakah maksudmu 
sebenarnya? 
Kakek itu memalingkan muka, 
mulutnya berhenti menembang, kemudian 
mengerutkan alis. Ia tidak senang 
kepada bocah yang lancang mulut. 
Hai bocah! Hati-hatilah membuka 
mulut! 
Sentiko mendelik. Teriaknya, 
Engkaulah yang seharusnya hati-hati 
membuka mulut. Hayo,  kau  menantang 
siapa?! 
Bocah kurangajar! bentak kakek 
itu sambil terjun dan melayang turun 
dari batu setinggi rumah. 
Sentiko kaget setengah mati 
melihat cara bergerak kakek itu yang 
melayang turun dari batu tinggi, 
seperti burung raksasa. Dari 
gerakannya yang amat ringan dan tanpa 
suara itu, sudah membuktikan si kakek 
itu bukan orang sembarangan. Sedangkan 
dirinya tidak mungkin dapat berbuat 
seperti itu. 
Diam-diam bocah ini gentar juga. 
Namun demikian ia bocah bandel dan tak 
takut siapapun. Tangannya bertolak 
pinggang sambil menjawab ketus, Engkau 
sendiri yang kurang  ajar! Apakah 
sebabnya engkau mengumbar mulut tanpa 
aturan dan menantang kakekku Si Tangan 
Iblis? 
Mahisa Jaladri terbelakak kaget. 
Benarkah Si Tangan Ibilis yang ia 
tantang itu sekarang sudah muncul? Dan 
benarkah bocah ini yang dijadikan 
perantara untuk menerima tantangannya? 
Kalau benar tentu saja ia senang 
sekali. 
Karena gembira, Mahisa Jaladri 
tertawa te-bahak-bahak, Ha ha ha ha, 
bagus! Tangan Iblis sekarang muncul. 
Ho ho ho ho belasan tahun lamanya aku 
menantang bertanding, tetapi Si Tangan 
Iblis selalu bersembunyi. Heh heh heh, 
lekaslah kau suruh Si Tangan Iblis 
keluar dan berhadapan dengan aku. 
Tutup mututmu kakek busuk! bentak 
Sentiko. Siapa bilang kakekku di sini? 
Dan siapa pula yang bilang kakekku 
bersembunyi karena takut kepada 
engkau? Huh, tidak perlu kau menantang 
kakekku. Aku sendiri sanggup 
menghadapi kau yang busuk! 
Mahisa Jaladri mengerutkan alis 
makin dalam, kemudian dengan mata 
bersinar marah ia menatap bocah itu. 
Hardiknya, Apa? Bocah lancang mulut. 
Suruhlah kakekmu keluar menghadapi 
tantanganku. 
Kakekku tidak ada di sini. 
Kakekku di Tosari. Huh huh, engkau 
baru dapat berhadapan dengan kakekku, 
setelah kau menang melawan aku! 
Kakek itu hampir tidak percaya 
akan pendengarannya sendiri. Benarkah 
bocah ini sebagai suruhan Si Tangan 
Iblis? Dan benarkah sekalipun 
tampaknya kecil, bocah ini sanggup 
menghadapi dirinya? Tetapi ia tidak 
percaya. 
Bocah lancang! katanya. Engkau 
berani kurangajar di depanku ? Hayo, 
lekas suruhlah kakekmu keluar. Aku 
ingin berkelahi dengan musuh 
bebuyutanku sampai seribu jurus dan 
siapa pula yang harus mampus! 
Kakek lancang! Apakah telingamu 
sudah tuli? Aku sudah bilang kakekku 
di Tosari. Tetapi engkau baru bisa 
berhadapan dengan kakekku, setelah 
engkau menang melawan aku! 
Mahisa Jaladri menjadi geli 
mendengar tantangan bocah ini. 
Ejeknya, Heh heh heh heh, engkau 
ibarat buah mentimun berani menantang 
durian. Ha ha ha ha, Tangan Iblis 
licik dan busuk! Mengapa sebabnya kau 
menyuruh  cucumu yang sinting ini 
menghadapi aku? Hayo... 
Kau sendiri yang sinting! potong 
Sentiko sambil membantingkan kakinya 
ke tanah saking jengkel dan penasaran. 
Tetapi begitu membantingkan 
kakinya, ia meringis kesakitan. 
Kakinya yang terluka tidak mau diajak 
kompromi. 
Namun demikian ia menguatkan diri 
dan m-neruskan, Kakekku tidak pernah 
menyuruh aku. Aku datang dan menantang 
engkau, karena kau mengumbar mulut dan 
menantang kakekku. Hayo sekarang 
lawanlah aku! 
Bocah yang bandel tetapi tidak 
mengukur kemampuan diri ini sudah 
mencabut senjatanya. Dalam penasaran 
dan marahnya, ia menjadi lupa kepada 
luka-lukanya yang belum sembuh. Dengan 
garang bocah ini melintangkan senjata 
di depan dada. Sepasang matanya 
bersinar marah menatap Mahisa Jaladri 
tanpa berkedip. 
Mahisa Jaladri keheranan. 
Benarkah bocah  ini kecil-kecil cabe 
rawit hingga berani menantang dirinya? 
Tetapi hatinya tidak juga mau percaya 
justru paling banter bocah ini berumur 
lima  belas tahun. Manakah mungkin 
sanggup melawan bocah ingusan macam 
itu? Apabila dirinya melayani 
tantangan bocah, tentu dirinya akan di 
tertawakan oleh semua tokoh sakti di 
dunia ini. 
Bocah sinting, heh heh heh, 
Mahisa Jaladri terkekeh lagi. Pergilah 
dan jangan membuka mulut sembarangan. 
Sudahlah, jangan mengganggu aku lagi, 
dan sekarang aku akan pergi ke Tosari.  
Tak mungkin! Makanlah dulu 
senjataku ini! Berbareng ucapannya ia 
sudah melompat dan menerjang. 
Tombaknya berkelebat cepat, sekaligus 
menyerang leher, dada dan pusar. 
Mahisa Jaladri terbelalak kaget. 
Apakah bocah ini sudah  gila?  Baru 
gerakannya saja masih terlalu lambat, 
serangannya masih kaku dan mentah. 
Manakah mungkin bisa melawan dirinya? 
Karena itu kakek ini tidak bergerak 
dari tempatnya berdiri. Kemudian 
tangan kanan menyentil.  
Tring tring tring.... Aduhhh....! 
Semua  serangan Sentiko disentil oleh 
Mahisa Jaladri sehingga gagal total. 
Dan sesudah itu dengan menggunakan 
tenaga yang diperhitungkan agar tidak 
mencelakakan bocah ini, ia mendorong. 
Sentiko memekik nyaring lalu terlempar 
beberapa depa ke belakang dan roboh 
pingsan. Kemudian dari beberapa bagian 
tubuhnya yang terluka, keluar darah 
lagi. 
Bocah ini memang lupa dirinya. 
Tadi begitu menyerang dengan mengge-
rakkan tenaga, lengan menjadi lumpuh 
ketika senjatanya disentil oleh Mahisa 
Jaladri. Pundaknya yang terluka 
menjadi sakit dan tidak tertahankan 
lagi dan ia tadi memekik nyaring, 
disusul dadanya sesak dan pandang 
matanya kabur, lalu terlempar dan 
pingsan. 
Mahisa Jaladri kaget sendiri 
melihat darah merah membasahi pakaian 
bocah kurangajar itu. Ia tadi sudah 
memperhitungkan tenaga, tetapi mengapa 
bocah itu roboh dan berdarah? Ia me-
langkah menghampiri dengan maksud 
meneliti keadaan. Namun tiba-tiba ia 
kaget, mendengar orang ketawa 
perlahan. 
Ketika dirinya memalingkan muka, 
tiba-tiba saja wajah kakek ini pucat 
dan segera membungkukkan tubuh memberi 
hormat. 
Ahhh.... Bendara Umbaran.... 
tidak nyana hamba dapat bertemu 
Bendara di tempat ini, katanya 
setengah takut. 
Giri Samodra ketawa perlahan. 
Kakek ini sebelum menggunakan nama 
Giri Samodra, memang bernama Umbaran, 
lengkapnya Kebo Umbaran. Dan mengingat 
Mahisa Jaladri menyebut bendara 
(tuanku), menjadi jelas Giri Samodra 
ini memang seorang bangsawan 
Majapahit. 
Ya, belasan tahun lamanya kita 
berpisah, setelah pemberontakan Gajah 
Biru gagal, ujar Giri Samodra. Hemm, 
di mana saja engkau selama ini? 
Hamba bertempat tinggal di Tidar, 
dalam usaha hamba menggembleng diri 
untuk membalas sakit hati. 
Kepada siapa? Apakah kepada 
Taruno yang terkenal dengan sebutannya 
Si Tangan Iblis yang kautantang itu? 
Bendara Umbaran mendengar pula? 
Ha ha ha ha, tentu saja. Aku 
masih mempunyai telinga, mengapa tidak 
mendengar tantanganmu kepada Tangan 
Iblis yang engkau gubah dalam tembang 
Durma itu? Tetapi hemm, soal apa 
sajakah yang menyebabkan begitu dalam 
dendammu kepada Tangan Iblis? 
Bendara, hamba memang dendam 
kepada keparat itu. Dahulu, lebih 
kurang dua  puluh lima tahun lalu, 
keparat itu hamba beri air susu malah 
membalas dengan air tuba. 
Mahisa Jaladri berhenti, napasnya 
terengah-engah oleh pengaruh rasa 
penasaran. Lalu, Dahulu ia datang ke 
rumah hamba minta perlindungan dari 
kejaran Mpu Nala, sesudah serangannya 
diobrak-abrik. Mengingat hamba pun 
tidak senang kepada Majapahit, hamba 
terima Si Tangan Iblis dengan tangan 
terbuka. Tetapi kemudian pada suatu 
malam ketika hamba pulang menunaikan 
tugas yang Bendara perintahkan, 
terjadilah sesuatu yang tidak pernah 
hamba harapkan. Begini, Bendara.... 
Mahisa Jaladri menghentikan 
ucapannya lagi, menghela napas 
panjang, baru kemudian meneruskan, 
Ketika hamba mendekati rumah, hamba 
menjadi curiga mendengar suara isteri 
hamba tertawa-tawa cekikikan di dalam 
bilik, dan diseling oleh suara laki-
laki. Dan betapa kaget dan panas hati 
hamba setelah dapat mengintip dari 
celah dinding, ternyata isteri hamba 
berzina dengan Tangan Iblis itu... 
Eh... nanti dulu! Bukankah dahulu 
engkau pernah memberi laporan 
kepadaku, isterimu sudah meninggal? 
Bendara, isteri yang hamba maksud 
itu adalah isteri yang kedua, sesudah 
isteri hamba meninggal, dan usianya 
masih muda belum dua puluh tahun. 
Hemm, begitu? Lalu apa yang 
kaulakukan? 
Mengingat hubungan yang baik 
antara hamba dengan Tangan Iblis, maka 
hamba serahkan isteri itu kepada dia 
baik-baik. Tetapi celakanya Tangan 
Iblis tidak bertanggungjawab dan tidak 
mau menerima. Saking marah kemudian 
terjadilah perkelahian dan akhirnya 
hamba kalah.... 
Hemm, tetapi mengapa sebabnya 
sekarang kau muncul dan malah 
menantang Tangan Iblis? 
Hamba sekarang merasa telah jauh 
maju, sesudah menggembleng diri 
puluhan tahun lamanya di Tidar. Hati 
hamba merasa tidak puas sebelum hamba 
berhasil mengalahkan manusia busuk 
berjuluk Tangan Iblis tersebut. 
Hemmm, begitukah ? Jika engkau 
memang penasaran kepada dia, pergilah 
kau ke Tosari. 
Tetapi bocah kurangajar ini 
cucunya. Bocah ini akan hamba tangkap 
sebagai sandra. 
Apakah kau tidak tahu, bocah ini 
muridku? Mahisa Jaladri terbelalak 
kaget dan pucat. Katanya, Ohh, murid 
Bendara? Ohh... maafkanlah hamba yang 
tidak tahu diri. Tetapi mengapa bocah 
ini tadi mengaku sebagai cucu Tangan 
Iblis? Hamba menjadi bingung. Manakah 
yang benar? 
Giri Samodra menghela napas 
pendek. Kemudian ia menjawab, Hemm, 
agaknya Dewata Yang Agung sudah 
menghendaki terjadinya soal ini. 
Sudahlah, sekarang pergilah kau dan 
menyelesaikan urusan pribadimu dengan 
Tangan Iblis. Dan tentang bocah ini 
adalah urusanku sendiri tiada hubungan 
sama sekali dengan urusanmu. 
Mahisa Jaladri mengangguk-angguk, 
sekalipun dalam hati masih kurang 
puas. Ia tidak berani membantah kepada 
bekas junjungan ini, kemudian memberi 
hormat dan minta diri. Sedang Giri 
Samodra melepas kepergian Mahisa 
Jaladri dengan helaan napas pendek. 
Apa harus dikata apabila yang 
terjadi harus begini? gumamnya. Aku 
sudah terlanjur suka kepada bocah ini. 
Dan bagiku tentang keturunan siapapun 
tidaklah soal. Sebab yang penting, me-
mang tidaklah gampang mencari bocah 
yang bandel, tabah, berani dan berbau 
sesat seperti bocah ini. 
Ia membungkuk, kemudian Sentiko 
dipondong ke tempat yang bersih. Kakek 
ini segera bekerja untuk membersihkan 
lukanya yang kotor dan segera 
membubuhkan obat. Sesudah selesai, 
kakek ini kemudian menyingkir kira-
kira lima depa jauhnya, lalu duduk 
berdiam diri. 
Tak lama kemudian bocah ini 
siuman. Bocah ini kaget ketika 
mendapatkan dirinya terbaring di atas 
rumput. Ia mengucak matanya sambil 
mengumpulkan ingatannya. Dan setelah 
ingatannya pulih kembali, terbayanglah 
kemudian semua peristiwa yang sudah 
dialami. Kemudian ketika  memalingkan 
mukanya, ia melihat dengan jelas kakek 
tua yang sudah beberapa kali menolong 
dirinya duduk berdiam diri. Melihat 
kakek itu ia menjadi sadar, tentunya 
dirinya baru saja ditolong lagi oleh 
kakek itu. 
Kemudian teringatlah dalam 
benaknya, dirinya tadi berhadapan 
dengan seorang kakek yang menembang 
dan menantang kakeknya. Tantangan itu 
membuat ia marah dan kemudian 
menantang berkelahi. Tetapi ahh, apa 
yang baru dialami tadi, menimbulkan 
rasa penasaran, karena dirinya tidak 
dapat berbuat banyak melawan kakek 
yang mengaku bernama Mahisa Jaladri 
itu. Kalau melawan orang itu saja 
tidak mampu, manakah mungkin dirinya 
bisa menang melawan Gajah Mada dan Mpu 
Nala? 
Teringat apa yang sudah dialami 
selama meninggalkan Tosari, bagaimana-
pun bandel dan keras kepalanya, 
memberi kesadaran kepada bocah ini. Ia 
bukan bocah tolol dan ia juga 
menyadari apa yang sudah terjadi, 
tidak lain karena dirinya memang belum 
mampu dan tingkat ilmunya masih 
rendah. Sebaliknya kakek yang selalu 
menolong dirinya ini, ingin sekali 
mengambil dirinya sebagai murid. 
Apakah sebabnya kesempatan sebaik ini 
tidak ia pergunakan ? 
Sadar akan dirinya dan sadar akan 
keadaan, maka kemudian tanpa ragu lagi 
ia bangkit dan kemudian menghampiri. 
Di depan Giri Samodra, bocah ini 
kemudian berlutut sambil berkata. 
Sudilah Guru mengampuni kekurang-
ajaran murid. Dan apapun hukuman yang 
harus murid terima, murid takkan 
menyesal. Mau disiksa, silakan! Mau 
dibunuh, silakan! 
Giri Samodra menatap Sentiko tak 
berkedip. Dan sejenak kemudian ia 
terkekeh. 
Luar biasa bocah ini, pikirnya. 
Tadi bersikeras menolak, tahu-tahu 
sekarang sudah berlutut dan mengaku 
sebagai murid. Siapakah yang tidak 
menjadi senang? 
Karena itu dengan senang hati 
Giri Samodra berkata halus, Anak baik, 
bangkitlah! 
Sentiko menurut lalu duduk 
bersila di depan  Kakek itu. Sikap 
bocah ini sekarang berlawanan dengan 
sikapnya siang tadi. Ia sekarang duduk 
sambil menundukkan kepala dan tidak 
berani sembarangan membuka mulut. 
Anak baik, benarkah engkau sudah 
mantap menjadi muridku? Giri Samodra 
bertanya. 
Sentiko menyahut dengan sungguh-
sungguh, Murid sudah mantap dan akan 
patuh kepada Guru. 
Sekalipun aku perintahkan 
menerjang lautan api, engkau sedia 
melakukannya?  
Jangan lagi menerjang lautan api, 
sekalipun murid harus mati, murid akan 
melaksanakan perintah Guru. Dan  jika 
Guru tidak percaya, murid bersedia 
pula bersumpah. 
Sudahlah, tidak usah. Dan 
sekarang, marilah kita pergi. 
Giri Samodra bangkit berdiri, dan 
sekali melompat kakek itu sudah 
lenyap. Hanya dalam waktu singkat, 
Sentiko mendengar suara kakek itu dari 
tempat yang sudah agak jauh. 
Hai muridku yang baik, Sentiko. 
Ambillah arah ke barat dan aku 
menunggu engkau di tepi hutan. Sudah 
hampir malam, tidaklah baik apabila 
kita harus menginap di dalam hutan 
ini. 
Sentiko terkesiap. Mengapakah 
sebabnya gurunya itu tiba-tiba 
meninggalkan dirinya di hutan ini? Dan 
apakah sebabnya guru baru itu berbuat 
aneh seperti sekarang ini? Padahal 
sekarang ini cuaca sudah gelap. 
Seorang diri menerobos hutan apakah 
tidak berbahaya? 
Akan tetapi sejenak kemudian 
bocah ini sadar akan diri. Ia dapat 
menduga tentang sebabnya kakek itu 
berbuat seaneh ini. Kiranya kakek itu 
sedang menguji kesetiaannya sebagai 
murid. Sadar akan maksud kakek itu, ia 
kemudian melangkah tanpa ragu lagi, 
menuju ke arah matahari terbenam. 
Sampai di sini, cerita ini 
berakhir. Sekalipun demikian cerita 
ini belum tamat. Masih mengganjal 
dalam benak kita, lalu bagaimanakah 
dengan bocah kecil bernama Sentiko? 
Setelah menjadi murid Giri Samodra, 
benarkah bocah ini dapat menandingi 
Gajah Mada dan Mpu Nala? Pertanyaan 
ini baru bisa terjawab apabila Anda 
membaca buku Seri Dewi Sritanjung yang 
berjudul KOBARAN API ASMARA. 
Pada buku berjudul KOBARAN API 
ASMARA ini, anda akan bertemu kembali 
dengan para tokoh Si Tangan Iblis, 
Dewi Sritanjung, Sarindah, Sarwiyah, 
Kaligis, tokoh licik Sangkan, dan akan 
berkenalan pula dengan tokoh aneh 
bernama Warigagung dan Julung Pujud. 
Kita cukilkan sedikit adegan yang 
bakal Anda temui dalam buku KOBARAN 
API ASMARA. 
.....Kaligis dan Sangkan seperti 
terkunci mulutnya, tak bisa membuka 
mulut. Apalagi ketika si pemuda 
menghentikan tiupan serulingnya, ular-
ular tersebut berhenti menari. 
Kemudian aneka macam ular itu bergerak 
menyebar kesana dan kemari, menuju 
tempat sembunyi masing-masing. Yang 
lebih  mengerikan lagi adalah cara 
bergerak ular warna hitam, yang 
panjangnya hanya lebih kurang satu 
kaki. Ular hitam dan pendek itu 
disebut orang dengan nama ular 
Bandotan. Ular  tersebut bukannya 
melata, tetapi menekuk tubuhnya, 
kemudian  melenting sekitar dua atau 
tiga depa jauhnya.... 
..... Heh heh heh heh, Warigagung 
terkekeh lalu ujarnya sombong, Rasakan 
jarumku. Sebelum mampus kamu akan 
menderita siksaan hebat! 
Tanpa memperdulikan lima orang 
saudara seperguraan yang menderita, 
Warigagung melangkahkan kaki masih 
sambil terkekeh. Tak lama kemudian 
sayup-sayup terdengar sending yang 
ditiup oleh Warigagung.... 
.... trang .... benturan pedang 
terdengar nyaring. 
Sarindah memekik tertahan dan 
tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke 
belakang. Sebaliknya Warigagung hanya 
mundur dua langkah ke belakang. 
Bangsat busuk. Bentak Sarindah 
lantang. Engkau jangan menggunakan 
alasan yang dicari-cari. Sekarang 
anggaplah aku bukan perempuan. Aku 
seorang laki-laki yang akan membunuh 
kau! 
Sepasang mata Warigagung menyala 
liar. Tantangan itu membangkitkan 
kemarahannya. Namun demikian ia segera 
ingat kembali bahwa bagaimanapun yang 
dihadapi sekarang ini perempuan, 
sekaum dengan ibunya. Jawabnya 
kemudian, Tidak! Aku tidak boleh 
melawan perempuan. Ibuku di alam baqa 
akan marah dan menyesal, jika aku 
melanggarnya. Mungkin  ibuku akan 
menyumpah aku menjadi seekor caring. 
Tidak! Aku tak mau melawan kau. 
Sarwiyah berusaha mencegah 
Sarindah, katanya, Mbakyu, kalau dia 
memang tidak mau melawan, mengapa kau 
memaksa? Biarkan dia pergi, dan mari 
kita lihat siapakah yang akan menang 
antara kakek dengan orang itu. 
Sarwiyah memandang Warigagung 
dengan ragu. Pandang matanya demikian 
sayu, dan seakan minta kepada pemuda 
itu agar mau mengalah. 
Warigagung dapat pula menangkap 
sinar mata gadis itu yang lembut, yang 
berbeda dengan saudaranya, dan seakan 
penuh harap agar mau mengalah. 
Walaupun pemuda liar dan ganas, tetapi 
Warigagung punya kelembutan jika 
berhadapan dengan perempuan. Hatinya 
tergetar dan iba pula kepada gadis 
itu.... 
.....Ayaaa .... bocah-bocah ini, 
mengapa bergulingan dan merintih-
rintih? Kakek gendut ini menggumam 
sambil memperhatikan sekeliling. 
Kemudian ia menekap lubang hidungnya 
sendiri tak tahan menghirup bau darah 
ular yang anyir dan amis, sambil 
berjingkrakan seperti telapak kakinya 
tertusuk duri. Racun... bisa... ahh, 
nyawa  bocah-bocah   ini   diancam   
maut.   Hemm.... kasihan.... 
Mendadak kakinya bergerak menen-
dang mereka yang sedang tersiksa dan 
merintih-rintih. Ahhh, mengapa kakek 
ini sampai hati menambah derita para 
korban racun Warigagung ini? Tidak 
menolong malah ditendangi. 
Akan tetapi tubuh yang ditendangi 
tidak  terbanting keras. Melainkan 
melayang perlahan dan kemudian 
menggeletak di tanah tak bersuara. 
Empat kali kaki menendang, dan 
berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu 
Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir. 
Jatuhnya sungguh aneh. Dapat berjajar 
seperti diatur. Kakek gendut ini 
kemudian melangkah perlahan 
menghampiri. Tetapi tiba-tiba telinga-
nya yang tajam mendengar gerakan dalam 
selokan. 
Kakek ini mengamati sejenak, 
kemudian katanya, Ahh, masih ada satu 
lagi. 
Setelah mencabut jarum yang 
menancap pada tubuh lima bocah itu, 
kemudian kakek gendut bernama Mpu 
Anusa Dwipa ini mengeluarkan lima 
butir obat kering warna merah. Satu 
persatu obat dihancurkan dengan air. 
Kemudian diminumkan kepada para 
korban. Yang terjadi kemudian sungguh 
mengherankan. Semua korban itu seka-
rang bergerak. Dan kira-kira tengah 
malam, lima  orang murid Si Tangan 
Iblis sadar hampir berbareng. Kemudian 
mereka meloncat bangun hampir 
berbareng merasa kaget.... 
Mpu Anusa Dwipa memang seorang 
sakti berhati emas. Suka menolong tiap 
orang, tidak membedakan orang baik 
atau jahat.... 
......Heh heh heh heh, Julung 
Pujud terkekeh. 
Mengapa engkau menjadi tolol? 
Muridku masih jejaka tulen. Dan cucumu 
juga masih gadis. Sekarang juga aku 
melamar cucumu yang muda itu, untuk 
menjadi isteri muridku Warigagung. 
Setuju tidak? 
Sarwiyah hatinya tidak karuan. 
Sebab walaupun belum terang-terangan, 
sesungguhnya hatinya sudah terisi oleh 
Kebo Pradah. Ia tidak benci kepada 
Warigagung, sekalipun tadi baru saja 
berkelahi. Tetapi cinta? Ahh, rasa 
cintanya sampai sekarang ini hanya 
tertuju kepada Kebo Pradah seorang. 
Namun sebaliknya kalau dirinya me-
nolak, terus terang ia tidak berani. 
Sebab kakeknya, Si Tangan Iblis bisa 
marah besar dan salah-salah dirinya 
bisa dibunuh mati...... 
......Hemm, apakah sebabnya kau 
repot? Letakkan saja dua mayat ini di 
tepi desa. Esok pagi tentu akan 
dirawat orang. Mari cepat, kemudian 
selekasnya kita pergi dari sini. 
Sangkan sudah mendahului 
menyambar mayat Tanu Pada. Mau tak mau 
Kaligis segera menyambar mayat Kebo 
Pradah. Kemudian dua orang muda ini 
berlarian menuju desa. 
Mahisa Singkir tak kuasa menahan 
air mata. Ia lari cepat ke jurusan 
lain. Kemudian ia duduk di atas sebuah 
batu, lalu terisak-isak. Hati pemuda 
ini sedih sekali. Mengapa antara 
saudara seperguraan terjadi persa-
ingan, dan mengakibatkan saling bunuh? 
Apakah kalau begitu, cinta itu jahat? 
Cinta, apakah mendorong kepada manusia 
melakukan perbuatan-perbuatan 
terkutuk? Ia menjadi ngeri sendiri.... 
Demikian antara lain beberapa 
adegan yang akan Anda temui di dalam 
buku  KOBARAN API  ASMARA. Lebih 
menarik, tegang tetapi juga 
mengasyikkan!!! 
Sala, Medio Pebruari 1987. 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
onvert txt : http://www.mardias.mywapblog.com