Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 10 - Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru(1)



Serial 10 Dewi Sritanjung 
Karya : Widi Widayat 
Cover & Illustrasi: Arie- 
Penerbit: MELATI Jakarta 
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang 

Anda tanya, saya jawab. 
Anda pasti bertanya, mengapa buku ini 
berjudul seperti itu? Memang ada sebabnya. Be-
gini! 
Dewi  Sritanjung  adalah murid tunggal Ki 
ageng  Tunjung Biru. Selama belasan tahun la-
manya hidup berdua dengan gurunya, Dewi Sri-
tanjung tidak pernah mendapat penjelasan, men-
gapa gurunya hidup seorang diri di dalam hutan. 
Dewi Sritanjung berpisah dengan gurunya, 
karena diutus gurunya bertemu dengan Gajah 
Mada dan sekaligus untuk dapat bertemu dengan 
orang tuanya. Maka harapannya sebesar gunung, 
karena selama ini memang belum pernah tahu 
siapakah orang tuanya, dan belum pula mengenal 
wajah ayah bundanya. 
Namun ternyata kemudian apa yang ke-
mudian apa yang dialami tidak seperti harapan-
nya semula. Ia hanya mendapat kekecewaan dan 
hatinya terasa sakit. Oleh sebab itu malam hari ia 
pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Tujuan-
nya tidak lain hanyalah ingin kembali ke hutan 
dan hidup lagi bersama gurunya. 
Tetapi dalam perjalanan pulang untuk me-
nemui gurunya ini, ia melihat gunung yang men-
geluarkan asap. Ia heran, lalu pergi ke gunung itu 
untuk melihat apa yang terjadi. Namun sungguh 
sayang, dalam perjalanan menuju puncak ini ia 
berhadapan dengan bahaya yang tidak pernah ia 
harapkan. Ia terperosok dalam lubang jebakan. 
Sebagai akibat kurang pengetahuan dis-
amping kurang hati-hati, maka tiba-tiba saja ka-
kinya merasa menginjak tempat kosong. 
Gadis bernama Dewi Sritanjung ini kaget 
dan berusaha melawan luncuran tubuhnya sam-
bil memukulkan kaki dan tangannya ke tepi lu-
bang. Namun sungguh celaka! Tubuhnya terus 
meluncur turun pada lubang yang gelap bukan 
main. Akibatnya sekalipun ia tabah dan penuh 
rasa percaya kepada diri sendiri, Dewi Sritanjung 
menjerit nyaring. 
Tetapi sekalipun demikian ia masih beru-
saha mengurangi kecepatan luncuran tubuh den-
gan jalan mengatur keseimbangan tubuhnya. 
Hanya sayang sekali, lubang ini ternyata dalam 
sekali, sehingga luncuran bukannya berkurang, 
malah semakin menjadi cepat. Saking kaget, ta-
kut dan ngeri, akhirnya gadis ini menjadi pening 
namun masih tetap sadar. 
Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa 
tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali 
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas 
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya 
kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin 
kuat menyambar dari bawah dan tubuhnya mem-
bal kembali. 
Meluncur lalu membal kembali sampai be-
berapa kali ini menyebabkan dirinya seperti diko-
cok dan kepalanya tambah pening. Dan pada ak-
hirnya gadis ini tidak dapat bertahan lagi lalu 
pingsan! 
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini 
ternyata dari dorongan seorang nenek yang sudah 
tua renta, kurus kering dan rambutnya awut-
awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir telan-
jang karena pakaiannya sudah cabik-cabik tidak 
keruan. 
Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang 
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi 
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang 
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh 
dua tangannya yang kurus kering. 
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari 
mahkluk yang berdiam di lubang ini, selamatlah 
nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin sekali 
karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, se-
karang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis 
ini yang terbaring di depannya dan masih dalam 
keadaan pingsan. 
Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya, - Hemm, seorang bocah perem-
puan yang masih muda. Mengapakah sebabnya 
bisa terperosok masuk dalam lubang ini? 
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya, 
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijatan, 
tiba-tiba gadis ini sadar lalu bangkit 
- Ahhhh....... ! gadis ini kaget sekali ketika 
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua 
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang. 
-  Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut! 
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi 
aku adalah manusia seperti engkau juga. 
Mendengar ucapan ini, agak berkurang ra-
sa takutnya. Ia menebarkan pandang matanya ke 
sekeliling. Diam-diam timbullah rasa heran bocah 
ini, mengapa dirinya sekarang berada di tempat 
yang lembab ini? Sebuah jurang yang dalamnya 
sulit diukur dan menyebabkan sinar matahari 
yang terhalang oleh kabut jurang itu tidak begitu 
terang, namun cukup pula menyebabkan jurang 
ini tidak begitu gelap. 
- Siapakah yang telah menolong diriku? 
- Aku! Kenapa? 
Tiba-tiba Dewi Sritanjung berlutut memberi 
hormat. - Terimalah hormat Dewi Sritanjung dan 
terima pulalah ucapan terima kasihku.- 
-  Apa? Terimakasih? Hi hi hik..... mulut 
manusia memang gampang sekali mengucapkan 
terima kasih. Akan tetapi mulut bukanlah hati 
dan sebaliknya hati bukanlah mulut.- 
Dewi Sritanjung keheranan mendengar 
ucapan si nenek yang tidak keruan ujung pang-
kalnya ini. Namun belum juga gadis ini sempat 
membuka mulut untuk bertanya, nenek itu sudah 
berkata lagi. 
- Hi hi hik, engkau tidak perlu heran, Nak, 
karena engkau masih amat muda. Tetapi kelak 
kemudian hari mungkin engkau akan tahu apa 
yang aku katakan tadi. Sebab di dunia ini, tidak 
berkurang jumlahnya manusia yang lain di mulut 
dan lain di hati.- 
-  Tetapi Nenek yang baik, aku mengu-
capkan terima kasih ini secara tulus dari hati.- 
Dewi Sritanjung membela diri. 
- Bocah, apakah engkau tidak takut kepa-
daku?- 
- Kenapa takut? Nenek amat baik dan telah 
menyelamatkan nyawaku. Tentu saja aku tidak 
takut malah amat berterima kasih. Apa yang akan 
terjadi, apabila Nenek tadi tidak menolong diriku? 
Tentu tubuhku sudah hancur berkeping-keping 
jatuh di dasar jurang ini.- 
Memang setelah hatinya kembali tenang, 
Dewi Sritanjung mengerti, lubang jebakan di tem-
pat dirinya terperosok ini, dihubungkan dengan 
jurang ini. Jurang yang amat dalam dan sulit di-
ukur. Maka kalau dirinya selamat seperti seka-
rang, hanya berkat pertolongan Dewata Yang 
Agung saja. 
-  Engkau bilang baik, karena aku sudah 
menolong kau, bukan? Tetapi apa yang engkau 
katakan, apabila engkau berhadapan dengan aku 
tanpa lewat pertolongan? Hemm, aku berani ber-
taruh engkau tentu meludah dan jijik melihat di-
riku yang tengik, jorok serta tua renta tidak ber-
harga ini.- 
- Tidak, Nek, tidak! Aku memandang orang 
bukan bertitik tolak kepada hal-hal yang kasat 
mata. Pakaian maupun keadaan seseorang, me-
nurut pendapatku bukanlah menjadi dasar yang 
menentukan martabat seseorang. Nek, sekalipun 
orang berpakaian mewah, baunya harum, tetapi 
apabila perbuatannya tidak baik, tetap bukan 
manusia yang baik. Lebih berharga seorang pen-
gemis yang pakaiannya compang-camping, karena 
si pengemis makan pemberian orang secara ik-
hlas, tidak memeras maupun memaksa orang. – 
- Hi hi hik, ucapanmu amat menarik, Nak.- 
Tetapi nenek ini tiba-tiba menghentikan ucapan-
nya. Matanya yang bersinar tajam itu terbelalak 
sejenak, kemudian mendadak menyambar pedang 
pusaka gadis ini. 
Dewi Sritanjung kaget  sekali. Akan tetapi 
gerakan nenek ini memang cepat sekali dan pe-
dang telah pindah ke tangan nenek tersebut. 
Setelah pedang dengan sarungnya dalam 
tangan nenek itu, berubahlah wajahnya. Ia mena-
tap tajam kepada Dewi Sritanjung, hardiknya, - 
Dari mana kau peroleh pedang ini?- 
Dewi Sritanjung menjadi agak khawatir 
mendengar pertanyaan ini. Ada apakah dengan 
pedang pusaka Tunggul Wulung ini? Akan tetapi 
bagaimanapun ia tidak mencuri, dan pedang itu 
adalah pemberian Ki ageng Tunjung Biru. Meski-
pun demikian sebelum ia menjawab, terpikirlah 
untuk bertanya, apakah sebabnya nenek ini terta-
rik kepada pedangku itu. 
- Nenek yang baik, mengapa sebabnya Ne-
nek tertarik kepada pedangku ini?- tanyanya. 
- Hemm, aku tertarik karena ada pula se-
babnya. Dan sekarang jawablah secara jujur. Dari 
siapakah engkau peroleh pedang ini?- 
- Dari Guruku.- 
- Ahhh .... lalu siapakah gurumu?- 
- Ki ageng Tunjung Biru.- 
- Ahhh......Ki ageng Tunjung Biru?- 
Dan tiba-tiba saja lengan nenek peyot ini 
gemetaran, wajahnya berubah menjadi pucat, dan 
pedang berikut sarungnya runtuh ke tanah. 
Akan tetapi Dewi Sritanjung tidak berani 
maju untuk mengambil. Sebab ia khawatir kalau 
perbuatannya menyinggung perasaan nenek ini. 
Maka gadis ini berdiam diri. Tetapi sesaat 
kemudian gadis ini kaget, karena tiba-tiba nenek 
ini menangis terisak-isak. Ia menangis benar-
benar, sehingga air mata itu mengucur deras se-
kali. 
Melihat ini Dewi Sritanjung menjadi tre-
nyuh. Lalu ia memberanikan diri dalam usaha 
menghibur. - Nenek yang baik, sudahlah! Apabila 
Nenek menghendaki pedangku, biarlah dengan 
ikhlas aku berikan kepada Nenek. – 
Nenek itu menghapus air matanya. Tetapi 
mungkin karena hati amat sedih, air mata itu be-
lum juga mau menjadi kering. Dengan mata yang 
basah, nenek ini kemudian menatap tajam kepa-
da Dewi Sritanjung, lalu hardiknya. 
-  Huh! Siapa yang mau mengambil pe-
dangmu? Huh, apakah kiramu aku serakah se-
perti dugaanmu?- 
- Ohhh.....- Dewi Sritanjung menjadi kaget 
berbareng khawatir. -  Maafkanlah aku, Nenek 
yang baik. Aku tidak sengaja menyinggung pera-
saan Nenek. Akan tetapi..... apakah sebabnya Ne-
nek ..... menangis melihat pedang Tunggul Wu-
lung?- 
- Huh huh.....tentu saja ada sebabnya..... - 
sahut nenek ini dan kemudian menghela napas 
panjang, seperti orang sedang menyesal. 
Karena khawatir nenek ini menjadi salah 
paham, maka Dewi Sritanjung berdiam diri. Akan 
tetapi sekalipun demikian dalam dada gadis ini 
penuh pertanyaan, apa sajakah sebabnya nenek 
yang menolong dirinya ini tiba-tiba sikapnya aneh 
- Ambillah pedangmu ..... - perintahnya ti-
ba-tiba. 
Si nenek masih menangis  dan mengucur-
kan air mata. Malah nenek ini tangisnya menjadi-
jadi, seakan seorang yang sedang menyesali sesu-
atu. 
Dewi Sritanjung adalah bocah yang sejak 
kecil tidak pernah merasakan kasih sayang ayah 
bundanya, dan ia dirawat dan dibesarkan oleh Ki 
ageng Tunjung Biru, yang ia akui sebagai kakek-
nya. Dengan kebiasaannya yang hanya berdua 
dengan gurunya itu, menyebabkan gadis ini dapat 
mengenal sifat orang yang sudah berusia lanjut, 
yang memang berbeda dengan orang yang masih 
setengah umur. Orang yang sudah pikun menjadi 
orang yang gampang sekali tersinggung, peka dan 
selalu minta diperhatikan. Sikap, kebiasaan dan 
wataknya hampir mirip dengan bocah kecil yang 
belum berumur sepuluh tahun. 
Berdasar pengalamannya menghadapi Ki 
ageng Tunjung Biru, ia segera tahu apa yang ha-
rus ia lakukan. Katanya kemudian, - Nenek yang 
baik, maafkanlah aku yang muda ini, karena ke-
hadiranku secara tidak sengaja ditempat ini, 
hanya menyebabkan Nenek sedih.- 
Nenek ini mengangkat wajahnya yang ba-
sah air mata, lalu dengan sepasang matanya yang 
basah itu pula menatap Dewi Sritanjung. Kemu-
dian terdengarlah nenek ini menghela napas di 
sela sedunya. 
-  Aduhh ..... Anak muda, mungkinkah 
permohonan ku  selama ini...... kepada Dewata 
Yang Agung..... mendapatkan perhatian? 
-  Aku kurang mengerti apa yang Nenek 
maksudkan.- 
Mendadak nenek ini mendelik lalu mem-
bentak, - Haii! Apakah sangkamu, semenjak aku 
lahir di dunia ini, aku sudah bertempat tinggal di 
tempat terkutuk ini?- 
- Ohhh !- seru Dewi Sritanjung lirih. - Ka-
lau demikian halnya..... apakah.....- 
-  Memang ada orang yang mencelakakan 
diriku ...... - potong nenek ini dengan nada geram. 
- Bangsat! Bedebah! Biadab orang itu! Su-
dah kuberi air susu malah membalas dengan air 
tuba! Tetapi.....ahhh hu hu huuuun..... oh, maaf-
kanlah aku ..... Kakang ..... oh Ki ageng ..... ohh, 
berilah aku ampun .... ya, sekarang aku sudah 
sadar dan insyaf ...... 
Dewi Sritanjung heran disamping agak bin-
gung, mendengar ucapan nenek ini. Apakah mak-
sud yang sebenarnya? Siapakah orang yang dia 
maki bangsat dan biadab itu, dan siapa pulakah 
yang dia sebut Kakang atau Ki ageng itu? Diam-
diam ia sudah dapat menduga mungkin nenek ini 
terpaksa menjadi penghuni tempat terasing dan 
tidak menyenangkan, adalah akibat kecelakaan 
atau dicelakakan orang. 
Apabila dugaannya ini benar, berarti du-
gaannya yang pertama adalah keliru. Ia tadi sete-
lah merasa tertolong oleh nenek ini dari maut, ia 
menduga nenek ini seorang pertapa sakti yang 
sengaja mengasingkan diri dan bertapa di tempat 
aneh ini. 
Tetapi apabila benar orang sudah mencela-
kai nenek ini, lalu siapakah yang bisa melaku-
kannya, justru nenek ini sakti? Sebab apabila 
bukan tokoh sakti, manakah mungkin nenek ini 
dapat menyelamatkan dirinya yang terperosok 
masuk ke dalam jurang yang amat dalam ini? 
Nenek ini sesudah melihat Dewi Sritanjung 
berdiam  diri, agaknya menjadi sadar sudah me-
nyebabkan bocah ini kaget dan takut 
-  Anak, agaknya engkau kaget dan takut 
berhadapan dengan aku ini?- tanyanya. 
- Tidak, Nek,- sahut gadis ini sambil meng-
geleng.  -  Hanya yang menyebabkan aku heran, 
terharu dan sedih, adalah mengapa sebabnya Ne-
nek berada ditempat ini?- 
- Kenapa kau ikut bersedih? Hemm..... bu-
kankah engkau tiada sangkut pautnya dengan 
aku?- 
- Benar. Dulunya memang tidak. Tetapi se-
jak saat ini, aku mempunyai hubungan dengan 
Nenek. Tempat ini adalah terasing dan aku juga 
merasa berutang budi kepada Nenek. – 
-  Hemmm.....-  nenek ini menghela napas 
pendek. 
Agaknya sikap dan ucapan Dewi Sritanjung 
ini mengesan dalam hati si nenek. Maka sesaat 
kemudian ia berkata, - Apakah engkau mengira, 
aku ini seorang nenek berhati baik?- 
-  Ya! Kalau tidak, Nenek tentu tidak sudi 
menolong aku.- 
Tiba-tiba nenek ini terkekeh, sekalipun se-
pasang matanya masih basah air mata. Dan ka-
rena nenek ini masih terisak, maka suara keta-
wanya menjadi aneh dan menakutkan. Kalau saja 
ia mendengar suara ketawa ini belum berhada-
pan, tentu ia menjadi ketakutan karena menjadi 
khawatir apabila nenek ini sudah gila. Adakah 
orang menangis sambil tertawa kalau bukan gila? 
Setelah nenek ini berhenti menangis dan 
tertawa, ia menghardik, -  Apa katamu? Hatiku 
baik? Huh, tahukah kau jika orang yang terpero-
sok ke jurang ini laki-laki? Apakah yang akan aku 
lakukan?- 
- Tentu nenek akan menolongnya pula se-
perti yang sudah Nenek lakukan terhadap diriku. 
– 
-  Jangan ngomong tidak keruan!-  bentak-
nya tiba-tiba.  
Akibatnya Dewi Sritanjung menjadi kaget. 
Diam-diam gadis ini heran. Mengapakah 
sebabnya tiba-tiba nenek ini membentak dan ma-
rah? Lalu, apakah kesalahannya? 
- Huh huh! - nenek ini bersungut-sungut. 
Sejenak kemudian katanya dengan nada geram, - 
Jika ada laki-laki yang terperosok masuk kemari, 
tentu akan aku biarkan mampus terbanting dan 
tubuhnya hancur berantakan.- 
-  Ihhh.....!-  Dewi Sritanjung kaget dan di-
am-diam ngeri. Tanyanya kemudian, - Apakah se-
babnya Nenek berbuat begitu?- 
- Mengapa, ya mengapa? Kau heran? Huh, 
manusia laki-laki di dunia ini kecuali..... seorang 
saja, semuanya jahat. Aku benci jadinya. Dan aku 
benci kepada semua laki-laki! Karena mereka itu 
hanyalah penipu. Penipu! Kau dengar?- 
Walaupun tidak tahu apakah maksud ne-
nek ini. Gadis ini terpaksa mengangguk juga. Te-
tapi anggukan bocah ini telah dapat membuat si 
nenek menjadi senang, karena merasa mendapat 
perhatian. 
- Bagus, hemm! Kau memang seorang anak 
baik. Tidak keliru apabila aku tadi sudah berusa-
ha menyelamatkan engkau. Anak, aku bilang, la-
ki-laki tidak baik, kecuali hanya seorang saja.- 
-  Hemmm...... nenek ini menghela napas 
panjang dan tidak memberi jawaban. Namun be-
berapa jenak kemudian nenek ini bertanya lirih, - 
Apakah gurumu ..... Ki ageng Tunjung Biru tidak 
pernah membicarakan tentang seorang perem-
puan dengan kau?- 
- Perempuan?- Dewi Sritanjung kaget ber-
bareng heran. 
Menurut seingatnya, sekalipun sudah bela-
san tahun lamanya ia hidup bersama dengan Ki 
ageng Tunjung Biru, orang tua itu belum pernah 
membicarakan perempuan. Namun demikian, ia 
masih berusaha mengingat-ingat apa yang sudah 
ia ketahui tentang gurunya. 
-  Jawablah! Pernahkah dia bicara tentang 
seorang perempuan?- 
- Tidak!- ia menggeleng. 
- Aduhhh..... hu hu huuuuu.....apakah dia 
belum juga mau memaafkan aku?- tiba-tiba saja 
nenek ini kembali menangis sambil menutupi wa-
jahnya. 
Dewi Sritanjung makin tidak mengerti 
mengapa sikap nenek ini demikian aneh. Dalam 
pada itu ia menduga pula apakah yang sudah 
pernah terjadi antara perempuan ini dengan gu-
runya? Kalau tadi begitu melihat pedang Tunggul 
Wulung segera mengenalinya, mengenal sebagai 
milik Ki ageng Tunjung Biru, jelas nenek ini bu-
kan orang asing bagi gurunya. 
Disamping ia menduga demikian, iapun 
menjadi heran pula, mengapa perempuan ini 
mengeluh, Ki ageng Tunjung Biru tidak mau me-
maafkan? Lalu apakah salah perempuan ini ter-
hadap gurunya? 
Akan tetapi karena sadar bahwa nenek ini 
sifat dan tabiatnya agak aneh, ia tidak berani ber-
tanya dan mendesak. Karena ia menjadi khawatir 
apabila sampai salah ngomong, bisa menyebab-
kan nenek ini marah lagi. 
- Hemm, Anak baik, aku mengerti jika eng-
kau menjadi heran, mendengar ucapanku yang 
tidak keruan ujung pangkalnya ini,- 
- Ya.- Tetapi sekalipun menjawab gadis ini 
nampak ragu. 
- Hemm, tahukah bahwa diriku ini penuh 
rasa dendam dan penasaran? Dan tahu pulakah 
apa jadinya jika engkau terperosok masuk kema-
ri, sebelum aku mendapat penerangan batin dan 
rasa kesadaran? Hemm, Anak baik, sebelum aku 
bertobat kepada Dewata Agung dan mohon am-
pun atas kesalahan-kesalahanku waktu dulu?- 
Nenek ini berhenti. Sesungguhnya ia ingin 
mengatakan, ia akan membunuh kepada siapa-
pun yang terperosok masuk ke tempat tinggalnya 
sekarang ini. Akan tetapi kata-kata ini kemudian 
ia telan kembali dan tidak jadi ia ucapkan, sebab 
nenek ini khawatir apabila bocah ini menjadi ke-
takutan. 
Entah mengapa sebabnya, setelah mengerti 
bocah ini murid Ki ageng Tunjung Biru, terbit pu-
la rasa yang lain terhadap bocah ini. 
-  Hemm, sudahlah! Yang sudah biarlah 
berlalu! - akhirnya nenek ini berkata. - Tetapi un-
tuk membuat engkau mengerti duduk perkara 
yang sebenarnya, yang menyebabkan aku meng-
huni tempat ini, engkau harus mau mendengar 
kisah hidupku lebih dahulu.- 
Nenek ini berhenti sejenak lagi. Sesudah 
mengambil napas, terusnya, - Anak baik, engkau 
harus tahu, namaku Widoretno.....- 
- Ohhh.....Nenek Widoretno?- gadis ini ter-
belalak. 
-  Ihhh.....agaknya kau kaget? Kenapa? 
Apakah gurumu pernah menyebut namaku?- 
- Ya. Satu kali ...... 
-  Katakan! Lekas katakanlah.....apa kata 
gurumu .....? 
- Ya. Kakek pernah.....- 
Tiba-tiba nenek ini sudah mencengkeram 
leher Dewi Sritanjung dengan tangan kiri, sedang 
jari tangan kanan sudah siap di atas kepala un-
tuk menusuk ubun-ubun. 
Gadis ini kaget sekali oleh serangan si ne-
nek yang mendadak dan amat cepat ini. Hingga 
dirinya tidak sempat untuk menghindarkan diri. 
-  Apa kau  bilang? Dia Kakekmu?-  desis 
Nenek Widoretno penuh ancaman dan geram. - 
Jadi..... jadi..... Ki ageng Tunjung Biru kawin lagi, 
mempunyai anak dan cucu?- 
-  Apakah sebabnya engkau menanyakan 
tentang kawin lagi, mempunyai anak dan cucu?- 
tiba-tiba gadis ini menjadi kurang senang atas 
pertanyaan ini dan menjawab dengan nada ketus. 
- Guruku hanya hidup seorang diri di dalam se-
buah pondok kecil di sebuah hutan. Tidak ada 
orang lain dalam pondok itu, kecuali aku seo-
rang.- 
-  Tetapi dia Kakekmu?-  bentak nenek Wi-
doretno. 
Dewi Sritanjung menggeleng, -  Bukan! 
Akan tetapi aku menganggap Guruku itu sebagai 
Kakekku sendiri. Sebab, Guru merawat diriku 
semenjak aku masih bayi merah.- 
-  Lalu, siapakah orang tuamu? Bukankah 
orang tuamu itu keturunan Ki ageng Tunjung Bi-
ru?- 
- Bukan! Aku adalah anak terbuang!- 
- Ahhh... - nenek Widoretno berseru terta-
han, melepaskan cengkeramannya dan meman-
dang Dewi Sritanjung dengan keheranan. Karena 
tiba-tiba saja bocah ini sudah menangis terisak-
isak. 
Agak heran juga nenek ini melihat peruba-
han itu. Tadi ketika ia cengkeram sedemikian ru-
pa, bocah ini tidak takut sedikitpun. Tetapi men-
gapa sekarang, setelah diajak bicara tentang 
orang tuanya, mendadak saja gadis ini menjadi 
sedih dan menangis? 
- Anak baik.....ohh, Anak baik..... maafkan-
lah aku. Hemm ..... tidak sengaja aku sudah me-
nyebabkan kau sedih.....- ujarnya berubah lembut 
dan menghibur. 
Dewi Sritanjung masih menangis terisak-
isak ketika teringat nasibnya sebagai seorang 
anak terbuang.  
Karena Dewi Sritanjung tidak membuka 
mulut nenek Widoretno bertanya lagi, -  Anak... 
engkau tadi bilang sebagai anak terbuang...... La-
lu siapakah orang tuamu? Dan mengapa pula se-
babnya engkau dirawat dan dibesarkan oleh Ki 
ageng Tunjung Biru?- 
Sejak pergi meninggalkan rumah orang tu-
anya. Ia sudah bertekad untuk tidak mengaku 
sebagai puteri Mpu Nala. Ia tidak menginginkan 
ayahnya celaka. Sebaliknya ia malah ingin menja-
ga nama baik dan kehormatan ayahnya. Oleh se-
bab itu ia tidak ingin membawa nama orang tua-
nya selama dirinya berkelana seorang diri tanpa 
tujuan sekarang ini. Maka lebih aman apabila di-
rinya mengaku ayah bundanya sudah meninggal. 
Mengaku sebagai anak yatim piatu, sebagai gadis 
sebatang kara. 
Sambil menghapus airmatanya yang mem-
basahi wajahnya, Dewi Sritanjung menjawab, - 
Aku tidak tahu lagi, siapakah orang tuaku sebe-
narnya. Menurut cerita Kakek atau Guru yang 
sudah tidak bedanya kakek kandungku sendiri, 
aku dia temukan ketika hanyut di sungai, masih 
sebagai bayi merah. Kemudian dia rawat dan dia 
besarkan. Itulah sebabnya disamping sebagai 
Guru, dia juga aku anggap sebagai Kakekku sen-
diri.-  
- Ahhh..... aku menyesal sekali sudah me-
nyebabkan engkau kaget, Anak baik.- Widoretno 
mengakui kelancangannya. 
- Tetapi ... aku justru malah senang sekali 
apabila Nenek tadi benar-benar membunuh aku... 
- Apakah sebabnya engkau berkata seperti 
itu ?- 
-Aku hidup sebatang kara.....dan mengem-
bara tanpa tujuan ..... Kalau Nenek mau membu-
nuhku bukankah aku jadi terbebas dari derita 
ini.....? 
Widoretno terbelalak. Kemudian secara ti-
ba-tiba tangan nenek ini meraih Dewi Sritanjung, 
lalu dia dekap erat sekali, dan wajahnya dia te-
kankan pada dada yang kerempeng, karena buah 
dadanya sudah kering. 
Dewi Sritanjung kaget sekali dan hampir 
saja melepaskan diri, karena mau muntah meng-
hirup bau yang apek dan tengik dari tubuh dan 
pakaian Widoretno. Agaknya nenek ini tidak per-
nah kenal lagi dengan mandi, dan menyebabkan 
tubuh dan pakaiannya menyebarkan bau tidak 
sedap. 
Dan sesungguhnya saja ia tersiksa sekali 
oleh dekapan ini. Namun untuk tidak menyebab-
kan nenek yang sudah menolong dirinya ini men-
jadi tersinggung dan marah, ia memaksa diri ti-
dak memberontak dan tidak melepaskan diri. 
-  Aku menjadi kasihan kepadamu, Anak 
baik. Engkau jangan menangis...... Sudahlah, ini 
namanya jodoh dan takdir. Engkau sebatang ka-
ra..... sebaliknya aku juga sebatang kara dan ti-
dak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi. Seka-
rang, biarlah akupun berbuat sama seperti apa 
yang pernah dilakukan oleh gurumu kepada eng-
kau. Maka anggaplah aku ini sebagai nenekmu 
sendiri..... – 
- Nenekku? Terima kasih ..... 
Widoretno melepaskan pelukannya, kemu-
dian ia terkekeh senang sekali. Agaknya jawaban 
Dewi Sritanjung yang bersedia menjadi cucunya 
ini menyebabkan nenek ini gembira sekali. 
Setelah terkekeh beberapa lama, nenek ini 
bertanya, - Cucuku, lekaslah ceritakan apa yang 
sudah pernah dia ceritakan kepadamu tentang di-
riku ini?- 
Dewi Sritanjung menatap wajah yang su-
dah peyot itu sejenak. Kemudian ia menjawab, - 
Dahulu, Kakek memang sering berdiam diri dan 
kemudian menghela napas berat. Ketika itu aku 
mendekati, lalu aku bertanya, apakah sebabnya 
Kakek merenung dan tampak sedih?- 
- Pada mulanya Kakek memang tidak mau 
berterus terang dan membuka rahasia itu. Tetapi 
setelah aku desak, pada akhirnya Kakek berterus 
terang.- 
- Hemm, kepada engkau terpaksa aku ber-
terus terang. Tanjung, sebabnya aku sedih karena 
aku teringat kepada seseorang yang sangat aku 
kasihi. - Kakek berkata. 
- Siapa? Kakek teringat kepada seorang la-
ki-laki ataukah perempuan?- desakku. 
-  Hemm.....perempuan yang amat Kakek 
kasihi.....- 
- Ihhh .....!- seru nenek Widoretno tertahan. 
- Benarkah itu? Kau tidak bohong?- 
- Nenek tidak percaya?- tantang Dewi Sri-
tanjung. - Aku berkata apa adanya, dan terserah 
Nenek mau percaya atau tidak. Ketika itu Kakek 
memang bilang seperti itu. Kemudian aku mende-
sak, siapa? Dan Kakek menyebut seorang perem-
puan bernama Widoretno, lalu aku bertanya, sia-
pakah Widoretno?- 
- Widoretno adalah isteriku.- 
- Hemmm.....- Nenek Widoretno mendehem, 
nampaknya nenek ini lega sekali hatinya. 
-  Nenek,-  kata gadis ini, kemudian mene-
ruskan ceritanya. -  Ketika  itu aku heran berba-
reng kaget. Lalu aku bertanya, kenapa Kakek 
berpisah dengan isterimu? Tetapi sungguh aneh 
kakek hanya diam seribu bahasa, tidak mau men-
jawab pertanyaanku, dan malah tidak mau berce-
rita lagi. Sekalipun demikian, keanehan segera 
terjadi ...... 
- Keanehan tentang apa?- desak Widoretno. 
- Aku bilang aneh karena aku melihat Ka-
kek tiba-tiba menangis.....- 
- Benarkah itu? Dia menangis?- Widoretno 
kurang percaya. 
-  Kenapa tidak? Kakek benar-benar me-
nangis. Dan di tengah tangisnya itu kemudian 
aku  mendengar ucapannya yang lirih. Katanya, 
hanya Widoretno seorang saja wanita di dunia ini 
yang aku cintai, Tetapi.....Widoretno ..... – 
Kakek bilang, Widoretno menghilang... me-
nyebabkan aku amat menderita... kemudian aku 
mengasingkan diri di hutan... dan  yang menjadi 
tempat tinggalnya sekarang 
- Aduhhh... hu hu huuuuu.... maafkanlah 
aku Ki ageng... maafkan aku... - tiba-tiba saja Wi-
doretno menangis lagi terisak-isak.    
Beberapa saat kemudian barulah ia men-
gangkat kepalanya sambil bertanya -Dimanakah 
Ki ageng sekarang bertempat tinggi?- 
- Dalam sebuah hutan yang tidak jauh dari 
tempuran (pertemuan sungai)antara  Sungai 
Lengkong dengan Sungai Brantas.- 
-  Ahhh... kalau saja aku bisa ke sana... 
hmmm... tetapi hal itu adalah tidak mungkin... – 
-  Kenapa tidak mungkin? Nek aku bisa 
pergi bersama Nenek ke sana.- 
- Hemmm... kedua kakiku sudah lumpuh- 
-  Ih...! Nenek lumpuh? –  Dewi  Sritanjung 
sejak tadi memang  kurang  memperhatikan kea-
daan nenek ini, karena semenjak tadi nenek ini 
hanya duduk, sehingga tidak menduga sama se-
kali kalau kakinya lumpuh. 
Akan tetapi apabila benar nenek ini ingin 
ke sana, bukankah dirinya bisa menggendong? 
Kalau dirinya dapat membawa Nenek Widoretno 
ini kepada Ki ageng Tunjung Biru, bukankah hal 
ini amat menyenangkan?  
Oleh karena itu setelah menatap wajah 
yang keriput itu sesaat, ia berkata - Nek, aku bisa 
menggendong kau meninggalkan tempat ini ke-
mudian pergi ke tempat tinggal Kakek. – 
-  Apa?  Heh heh heh heh...-  tiba-tiba saja 
nenek ini ketawa terkekeh. -Manakah mungkin 
engkau dapat meninggalkan tempat ini? Hemm, 
bocah, tempat ini adalah terasing dan selama hi-
dupmu akan terkurung seperti aku di sini...- 
Tiba-tiba saja wajah Dewi Sritanjung men-
jadi pucat mendengar keterangan ini. Jika benar 
dirinya akan terasing di tempat ini, apakah arti 
hidupnya ini?  
Namun gadis ini tidak percaya. Gadis ini 
menduga, mungkin nenek ini berkata tak mung-
kin dapat keluar, karena dua belah kakinya su-
dah lumpuh. Oleh Sebab itu nenek ini tidak dapat 
menemukan jalan guna keluar dari tempat ini. 
Ia memang tidak gampang mau percaya ke-
terangan Widoretno. Menurut pikirannya, apabila 
jurang ini tidak mempunyai tembusan, lalu ke 
manakah air yang jatuh ke jurang ini mengalir? 
Maka setelah berpikir sejenak, ia berkata. - 
Nek, apabila benar tempat ini tidak ada jalan 
tembusannya, manakah mungkin jurang ini dapat 
mengalirkan air? Karena itu aku percaya, tentu 
ada tembusannya. Dan karena Nenek sudah lum-
puh, maka Nenek tidak dapat menyelidiki secara 
baik.- 
-  Apa?-  tiba-tiba nenek ini mendelik. - 
Sangkamu setelah kedua kakiku lumpuh, aku ti-
dak dapat bergerak leluasa lagi? Lihatlah!- 
- Ihhhh.....!- tiba-tiba Dewi Sritanjung ber-
seru tertahan saking kaget berbareng kagum, me-
lihat gerakan si nenek lumpuh ini. 
Ternyata sekalipun dua kakinya sudah 
lumpuh dan tidak dapat berjalan, namun nenek 
ini dapat juga bergerak cepat sekali. Nenek ini 
melesat seperti melompat cukup jauh, dan setelah 
turun tubuhnya ditopang dengan dua tangan dan 
kemudian melesat lagi seperti terbang. Gerakan 
Nenek Widoretno secepat ini kiranya tidak kalah 
cepatnya dengan orang yang lari menggunakan 
dua kaki. 
- Nah, engkau sekarang sudah tahu, seka-
lipun aku lumpuh, aku masih dapat bergerak ce-
pat juga? kata nenek ini setelah kembali duduk. 
Dan dada nenek ini tidak nampak tersengal, na-
pasnya biasa saja. 
Diam-diam Dewi Sritanjung menjadi ka-
gum sekali, membuktikan nenek ini memang sak-
ti mandraguna. 
- Cucu, dengan berlompatan seperti katak, 
aku sudah menyelidiki jurang ini, baik ke hulu 
maupun ke hilir. Di hulu sana, jurang ini masuk 
ke dalam tanah yang amat dalam, hingga aku ti-
dak berani masuk. Kemudian di hilir sana, aku-
pun pernah menyelidik, tetapi kemudian terben-
tur dengan jalan buntu. Di sana aku temukan 
semacam sumur yang selalu penuh air dan jernih 
sekali. Dan dari tempat itulah aku mencukupi 
kebutuhan air untuk hidup di tempat terasing 
ini.- 
- Air itu asalnya dari mana, Nek?- Dewi Sri-
tanjung tertarik dan bertanya. 
Gadis ini mempunyai dugaan, tentu air itu 
berasal dari jurang lain. Dan dengan demikian ia 
akan dapat menyusuri jurang itu lalu menyelidik. 
Widoretno menggeleng. Jawabnya, - Entah-
lah, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah ju-
rang itu sampai ke sumur yang selalu penuh air 
dan entah dari mana asal air itu maupun ke ma-
na air itu mengalir. Aku sudah cukup menyelidik, 
tetapi tempat itu memang tidak ada tembusan-
nya.- 
- Ahhh .....!- akhirnya gadis ini mengeluh. 
Apabila benar jurang ini tidak mempunyai 
tembusan, habislah harapannya. Ia kemudian 
menengadah, dan yang tampak hanyalah kabut 
tipis yang menghalangi pemandangan. Untuk 
mendaki tebing jurang yang tinggi tidak terukur 
ini, tidak mungkin ada orang yang sanggup mela-
kukannya, apabila tidak mempunyai sayap. 
Tempat ini sepi sekali, dan tidak terdengar 
suara apapun kecuali suara napas dua orang pe-
rempuan ini. 
Memang amat kasihan dua perempuan ini, 
harus menghuni jurang sepi di luar kemauannya. 
Di dalam jurang ini tidak ada apa-apa yang 
dapat memberi jaminan hidup. Tidak ada pohon 
buah dan tidak ada yang lain. Lalu apakah yang 
dapat digunakan untuk tiang hidup, Widoretno 
selama ini? 
Agaknya Widoretno merasa kasihan meli-
hat gadis ini yang sedih dan habis harapan untuk 
dapat keluar dari jurang ini. 
- Sudahlah, masalah itu bisa kau pikirkan 
kemudian hari. Sebab siapa tahu kalau penyelidi-
kanku kurang teliti dan kau bisa menemukan ja-
lan untuk keluar dari tempat ini? Sekarang du-
duklah yang baik, dan aku akan menceritakan ki-
sah hidupku dikala muda dan kemudian mengan-
tarkan aku hidup di tempat terasing ini -  
Agar tidak membuat nenek ini kecewa dan 
juga guna mengurangi ketegangannya pula, Dewi 
Sritanjung menurut, lalu duduk bersila agar da-
pat mendengarkan dengan baik. 
-  Ketika muda dan meningkat kedewa-
saanku, aku merupakan seorang gadis cantik jeli-
ta seperti kau. -  Nenek itu memulai ceritanya 
dengan kata-kata yang diucapkan lambat.  
- Karena orang bilang aku ini cantik, maka 
kecantikanku menarik perhatian banyak laki-laki, 
baik perjaka maupun yang telah beristeri dan du-
da. Akan tetapi karena sejak muda aku terkenal 
sebagai dara perkasa, sakti mandraguna, maka 
hal ini menyebabkan laki-laki harus bersikap ha-
ti-hati dan tidak berani sembarangan terhadap di-
riku – 
Dalam mengucapkan "cantik" dan "sakti 
mandraguna" ini nadanya tajam dan mantap dan 
nampaknya Nenek Widoretno menjadi bangga se-
kali. 
Dewi Sritanjung berdiam diri tidak mem-
buka mulut dan mendengarkan penuh perhatian. 
Ucapan Widoretno yang bangga ini me-
mang tidak aneh dan ini bukanlah bualan ko-
song. Sebab kenyataannya memang demikian ke-
tika muda, dan terjadi pada kira-kira 45 tahun 
yang lalu. Sebab tidak terhitung jumlahnya laki-
laki baik yang penjahat maupun yang baik, roboh 
dalam tangannya akibat kalah berkelahi. 
Disamping banyak laki-laki yang bermak-
sud kurang ajar, tidak kurang pula jumlah laki-
laki benar-benar jatuh cinta kepada Widoretno. 
Akan tetapi sungguh sayang sekali, oleh 
pengaruh kecantikannya yang kuasa membuat 
laki-laki tergila-gila itu, ia berubah menjadi seo-
rang gadis yang angkuh, galak dan sombong. Se-
mua laki-laki yang berusaha mendekati dan me-
rayu maupun mengucapkan rasa cintanya tidak 
pernah ia gubris. Kemudian setelah pada setiap 
tempat ia merasa selalu digoda  laki-laki, maka 
kemudian timbullah keputusannya yang takabur. 
Ia mengumumkan, dirinya baru mau menjadi is-
teri orang, apabila laki-laki itu dapat mengalah-
kan dirinya dalam pertandingan secara adil, seo-
rang lawan seorang. Ia tidak menentukan syarat, 
laki-laki berhak memperistri  dirinya apabila bisa 
menang, sekalipun laki-laki itu sudah tua, punya 
isteri maupun duda. 
Akibat dari pengumumannya ini, kemudian 
banyaklah laki-laki yang ingin menyelam sambil 
minum, dari yang masih jejaka sampai laki-laki 
yang sudah mempunyai banyak isteri maupun 
kakek-kakek pethakilan (kakek yang masih suka 
daun muda). 
Mereka semua menggunakan kesempatan 
untuk mencoba mengadu untung. Harapan mere-
ka hanyalah satu, bukan lain apabila dapat men-
galahkan Widoretno yang terkenal sakti mandra-
guna itu, disamping dirinya memperoleh nama 
harum, juga akan memperoleh pula isteri yang 
cantik jelita bagai bidadari. 
Namun ternyata kemudian setiap kali laki-
laki menantang Widoretno, selalu saja Widoretno 
yang muncul sebagai pemenangnya. Sekalipun di 
antara mereka itu sesungguhnya merupakan la-
wan yang memiliki ilmu kesaktian tingkat tinggi. 
Apabila kebetulan pada saat perkelahian 
itu terjadi disaksikan oleh penonton, maka penon-
ton akan menjadi keheranan. Sebab jelas Wido-
retno sudah terdesak dan tak lama lagi tentu 
tunduk karena kalah. Namun apabila mulut Wi-
doretno sudah bergerak-gerak seperti mengu-
capkan sesuatu, maka lawannya menjadi ngawur 
dan kemudian dengan gampang dapat dikalahkan 
oleh Widoretno. 
Peristiwa yang aneh ini kemudian mem-
buat orang menduga, Widoretno mempunyai Ilmu 
siluman. 
Kemudian pada suatu hari, Widoretno ber-
temu dengan seorang laki-laki gagah yang umur-
nya sudah mendekati tiga puluh tahun, tetapi 
masih perjaka. Pemuda inipun seperti laki-laki 
yang lain, menantang Widoretno untuk menga-
lahkannya. Sekalipun demikian mereka yang me-
nonton merasa ragu. Apakah pemuda ini dapat 
mengalahkan Widoretno yang mempunyai ilmu si-
luman itu? Maka diam-diam semua orang menja-
di khawatir apabila laki-laki ini sampai kalah me-
lawan Widoretno. 
Namun pemuda yang sudah bulat tekad-
nya ini sedikitpun tidak gentar. Ia tidak terpenga-
ruh oleh semua pendapat umum yang mengata-
kan, dirinya akan kalah. Maka pemuda ini meng-
hadapi Widoretno dengan tenang dan penuh rasa 
percaya diri. Pendeknya ia rela mati disiksa oleh 
Widoretno, jika dirinya sampai kalah. 
Pemuda ini bernama Kebo Sadewo. Dan ka-
lau laki-laki lain menghadapi Widoretno dengan 
senjata, maka Kebo Sadewo menghadapi gadis itu 
bertangan kosong. Soalnya karena pemuda ini ti-
dak sanggup apabila sampai harus melukai gadis 
yang cantik jelita itu, dan baru berumur duapu-
luh tahun pula. 
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo 
ini malah menyebabkan Widoretno merasa terhi-
na dan merasa direndahkan. Maka setelah Wido-
retno memperingatkan sampai tiga kali supaya 
Kebo Sadewo mencabut senjatanya tidak juga di-
gubris, maka gadis ini kemudian menjadi marah, 
lalu mengancam akan membunuh laki-laki yang 
berani merendahkan dirinya itu. 
Tetapi sekalipun Widoretno mengancam 
akan membunuh, Kebo Sadewo tetap bertangan 
kosong. 
Yang terjadi kemudian memang menyebab-
kan para penonton terbelalak keheranan. Sebab 
sekalipun bertangan kosong, Kebo Sadewo dapat 
melayani sambaran pedang Widoretno dengan 
amat baik. Sambaran pedang Widoretno selalu 
luput, hingga membuat gadis cantik ini semakin 
penasaran dan kemudian menggunakan ilmu si-
lumannya. Widoretno menggerakkan bibirnya 
sambil memandang Kebo Sadewo tidak berkedip. 
Yang sudah pernah terjadi, setiap Widoret-
no berkemak-kemik mengucapkan mantranya, 
maka lawan akan menjadi seperti linglung dan 
berkelahi secara ngawur. Kemudian dengan amat 
gampang, gadis ini mengalahkan lawan. 
Namun sekarang ini yang terjadi adalah di 
luar dugaan dan meleset dari kebiasaan. Ternyata 
Kebo Sadewo dapat melawan balk sekali, malah 
terus dapat mendesak gadis itu, sehingga pada 
akhirnya pedang Widoretno berhasil ia rebut dan 
kuasai. 
Tetapi Widoretno belum juga mau menye-
rah, dan masih tetap melawan sambil mengu-
capkan mantranya yang ampuh itu. Celakanya 
mantra itu tidak mempan, dan yang terjadi ke-
mudian bukanlah Widoretno yang menang, tetapi 
gadis ini malah tidak dapat berontak lagi ketika 
pemuda itu berhasil menangkap dua tangannya. 
Apakah sesungguhnya ilmu yang disebut 
siluman milik Widoretno ini? Sesungguhnya du-
gaan ini keliru. Karena yang benar, apa yang di-
ucapkan oleh Widoretno ini adalah mantra-
mantra gaib semacam ilmu sihir, yang disebut 
dengan nama "Netra Luyub". Maka orang yang 
terpengaruh oleh mantra gaib ini, kemudian akan 
menjadi orang yang linglung, sesuai dengan pe-
rintah Widoretno. 
Akan tetapi celakanya, setelah Widoretno 
berhadapan dengan Kebo Sadewo, ilmu Netra 
Luyub ini tidak dapat mempengaruhi. Sebabnya 
tidak lain karena Kebo Sadewo dapat menolak 
pengaruh ilmu tersebut 
Maka kemudian sesuai dengan janji yang 
sudah terucapkan, kemudian Widoretno mengak-
hiri masa kegadisannya, lalu kawin dengan Kebo 
Sadewo. 
Bahagiakah perkawinan antara Widoretno 
dengan Kebo Sadewo ini?  Pada  mulanya semua 
orang memang tidak tahu. Sebab memang tam-
paknya suami-isteri sakti ini selalu rukun. 
Namun sebenarnya apa yang terjadi, per-
kawinan ini tidak dapat memberikan rasa keba-
hagiaan dalam hati seperti dugaan banyak orang. 
Dan kalau toh nampaknya selalu rukun itu, bu-
kan lain adalah karena sikap Kebo Sadewo yang 
banyak mengalah, sikapnya selalu menjaga den-
gan maksud agar isterinya bahagia. 
Tetapi sekalipun sikap Kebo Sadewo amat 
baik kepada isterinya, namun Widoretno masih 
juga banyak ngambek. Setiap kali mulutnya sela-
lu cemberut dan membentak-bentak apabila su-
aminya mengajak bicara. 
Apabila sikap isterinya sudah demikian, 
maka Kebo Sadewo tidak mengimbangi dan men-
galah, lalu ia menghibur diri dengan cara pergi 
dari rumah guna memberi pertolongan kepada se-
tiap orang yang memerlukan pertolongan. 
Namun walaupun pergi dari rumah, Kebo 
Sadewo yang amat mencintai dan setia pada iste-
rinya itu, tidak pernah mau menggunakan ke-
sempatan guna melakukan perbuatan menyele-
weng dengan perempuan lain. 
Sepuluh tahun lamanya mereka kawin, 
namun ternyata belum juga lahir seorangpun 
anak di tengah keluarga mereka. Inilah sebenar-
nya yang menyebabkan Widoretno lebih sering 
marah, ngambek dan mengajak cekcok. 
Akan tetapi bagaimanapun tanggapan iste-
rinya, Kebo Sadewo selalu mengalah dan meng-
gunakan kebijaksanaannya sebagai seorang sua-
mi yang baik dan setia. Sebab pendirian Kebo Sa-
dewo. Isteri ini pemberian Dewata Agung (Tuhan). 
Seorang saja untuk selama hidup. Seorang sudah 
cukup untuk selama hidup, tetapi sebaliknya ka-
lau dua malah kurang, dan tiga atau empat ma-
lah akan menjadi kurang lagi. 
Orang yang suka main kawin dan banyak 
istri, belum tentu hidupnya menjadi bahagia. Ke-
mungkinan besar malah akan menimbulkan pe-
rang dingin antara perempuan yang dimadu. Ma-
lah sesungguhnya, isteri seorang saja sudah lebih 
dari cukup dan tidak akan habis. Maka yang ti-
dak puas dengan isteri seorang, berarti hanya 
menuruti nafsu. 
Nafsu ini, demikianlah menurut pendirian 
Kebo Sadewo, apabila diumbar, selalu dituruti 
apa kehendaknya, akan menjadi semakin serakah 
dan selalu merasa kurang. Lebih-lebih nafsu main 
perempuan dan main kawin. 
Sebaliknya, nafsu yang selalu dikekang 
dan dikendalikan akibatnya juga buruk. Sebab 
nafsu yang dikekang dan dikendalikan itu, adalah 
ibarat kuda yang tersimpan dalam kandang dan 
selalu terikat. Maka sekali waktu apabila kuda itu 
lepas dari kandang dan tidak terikat, akan men-
jadi binal dan semakin berbahaya. Oleh karena 
itu yang tepat apabila nafsu ini tidak diumbar 
maupun dikekang, tetapi terkuasai sambil menye-
lami dan mengikuti perjalanan sang nafsu itu 
sendiri. Orang yang mau mengikuti perjalanan 
sang nafsu dan menyelami, kalamana sudah sa-
dar benar-benar akan menjadi tersenyum sendiri 
dan menyesali segala perbuatan yang sudah per-
nah ia lakukan. Sebab mengumbar nafsu, hanya-
lah membuang waktu dan tenaga sia-sia. 
Banyak orang yang menganggap pelacur 
adalah sampah masyarakat. Orang yang hina! 
Orang yang rendah martabatnya. 
Lalu sebaliknya, apakah sebutan bagi para 
manusia laki-laki yang suka pelacur itu? Apakah 
dia tidak lebih kotor lagi? Si pelacur sudah jelas 
sengaja menjajakan diri mencari uang, karena ti-
dak mempunyai ketrampilan atau tidak mau be-
kerja berat. Kemudian menggunakan kecantikan-
nya untuk memperoleh duit. Dan dari duit itu un-
tuk hidup! 
Sebaliknya, laki-laki yang main perempuan 
lacur, bukankah dia harus membayar? Kalau be-
nar pelacur itu merupakan manusia hina, men-
gapa sebabnya laki-laki mau juga datang, mem-
bayar dan malah mengotori dirinya sendiri? Lalu 
apakah sebutan laki-laki macam ini? 
Pada suatu ketika Kebo Sadewo dan Wido-
retno melakukan perjalanan bersama seperti bi-
asa mereka lakukan dalam usaha menumpas se-
tiap bentuk kejahatan. Mereka tiba di sebuah de-
sa bernama Lemah Bang, dan perhatian mereka 
menjadi tertarik ketika melihat seorang pemuda 
sedang berkelahi dikeroyok oleh lima orang laki-
laki. Agaknya perkelahian yang tidak seimbang 
itu sudah lama berlangsung. Terbukti pemuda ini 
terdesak hebat sekali dan sudah terluka pada be-
berapa bagian tubuhnya, menyebabkan pakaian 
pemuda itu bernoda darah. Entah apa saja se-
babnya mereka berkelahi dan perkelahian itu ti-
dak seimbang. Keadaan ini menyebabkan Wido-
retno tidak senang lalu timbul niatnya untuk 
membela pemuda yang dikeroyok itu. 
- Kakang, pemuda itu terdesak hebat sekali 
dan tidak lama lagi akan roboh dan tewas!- ujar-
nya.  -  Hemm, lima laki-laki itu tidak tahu malu 
dan sewenang-wenang. Karena itu aku harus tu-
run tangan untuk membela dia.- 
- Jangan!- Kebo Sadewo mencegah. - Sebe-
lum kau bertindak, kau harus menyelidiki lebih 
dahulu tentang sebab-sebabnya. Karena siapa ta-
hu, pemuda itu memang pada pihak yang salah, 
hingga maksud baikmu itu malah akan berbalik, 
menyebabkan kau dituduh orang sewenang-
wenang. – 
-  Hemm,-  Widoretno mendengus dingin. - 
Engkau memang seorang laki-laki lemah dan se-
lalu bertindak terlalu banyak pikir dan pertim-
bangan. Sebaliknya aku, huh, tidak peduli orang 
akan menyebut apa saja kepada diriku. Karena 
yang penting, pengeroyokan terhadap bocah  itu 
sudah menjadi bukti perbuatan sewenang-
wenang. – 
- Retno, hemm, lalu bagaimanakah penda-
patmu jika seumpama pemuda itu seorang penja-
hat, sedang lima orang itu yang berusaha me-
nangkap dia? Apakah tindakanmu itu tidak ber-
salah dan kemudian dituduh orang engkau sudah 
membela penjahat ?- 
- Huh, sudahlah!- bentaknya tidak senang. 
- Jika engkau tidak mau membela bocah itu, biar-
lah aku sendiri yang akan menghajar lima bede-
bah busuk itu. Pendeknya aku mempunyai pen-
dapat, pengeroyokan itu tidak adil. Maka jahat 
dan tidak, adalah urusan belakang. Pendeknya 
aku tidak takut menghadapi tiap orang yang be-
rusaha memusuhi diriku!- 
Sesungguhnya Kebo Sadewo tidak sepen-
dapat dengan isterinya, sebelum menyelidiki lebih 
dahulu tentang sebabnya terjadi perkelahian ini. 
Akan tetapi sikap Kebo Sadewo terhadap isterinya 
selalu mengalah dan selalu menghindari percek-
cokan. Maksudnya, semua itu tidak lain dalam 
usahanya agar antara dirinya dengan isterinya se-
lalu dapat rukun dan bahagia. 
Tetapi celakanya justru sikap Kebo Sadewo 
gang selalu mengalah, dan selalu menuruti ke-
hendak isterinya ini, malah menyebabkan Wido-
retno menjadi isteri yang manja. Maka ia menjadi 
marah apabila suaminya melarang apa yang ia in-
ginkan. 
Guna menghindari hal-hal yang tidak ia in-
ginkan itulah, maka sekarang inipun Kebo Sade-
wo terpaksa mengalah, sekalipun ia tahu keingi-
nan isterinya sekarang ini tidak benar. Melawan 
kesewenangan dan membela orang memang baik, 
tetapi harus tepat pada tempatnya. Hingga tidak 
akan salah langkah sampai membela yang bersa-
lah. 
-  Baiklah Retno, apabila engkau memang 
menginginkannya. Tetapi biarlah aku di tempat 
ini saja dan akan melindungi keselamatanmu, ji-
ka ada orang yang berani lancang  mencampuri 
urusanmu.- 
Kebo Sadewo terpaksa setuju, walaupun 
persetujuan ini bertentangan dengan  hatinya. 
Maka kemudian ia menempatkan diri dan duduk 
di belakang batu. 
Melihat sikap suaminya ini Widoretno ter-
senyum dingin.- Hemm, aku tahu engkau seorang 
laki-laki pengecut, dan takut menghadapi akibat 
dari perbuatanmu sendiri!- 
Sesungguhnya saja, ucapan isterinya ini 
merupakan ucapan yang amat menyakitkan hati. 
Namun demikian semua itu terpaksa ia telan dan 
tidak membuka mulut. Widoretno akan mengata-
kan apapun, ia anggap sebagai angin lalu, masuk 
telinga kanan keluar lewat telinga kiri. Pendeknya 
biar mengatakan apa saja, ia tidak peduli asal sa-
ja isterinya yang manja itu senang dan tidak ma-
rah. 
Demikianlah, tanpa peduli dan tanpa men-
gadakan penyelidikan lebih dahulu, Widoretno 
sudah masuk ke gelanggang perkelahian dalam 
usaha membela pemuda yang dikeroyok lima 
orang itu. 
-  Bangsat busuk! -  bentaknya nyaring 
sambil melompat -  Kamu adalah para pengecut 
dan hanya berani kalau main keroyok!- 
Sambil membentak ini, Widoretno sudah 
menerjang dengan pedang, menangkis serangan 
dua orang yang sedang menyerang pemuda itu 
dari belakang. 
Trang trang.......... 
- Ailihh.......! 
Terjangan Widoretno ini mengejutkan para 
pengeroyok. Sebab bukan saja senjata dua orang 
kawannya itu tertangkis, tetapi juga runtuh di ta-
nah. Lima orang pengeroyok itu kemudian ber-
lompatan mundur dan pemuda yang dikeroyok 
dan sudah terluka tersebut dapat bernapas lega. 
Kemudian pemuda ini memandang Widoretno se-
kilas. 
Mata pemuda ini terbelalak dan lupalah 
untuk sejenak kepada lukanya yang terasa pedih. 
Pemuda ini seakan mimpi, melihat kecantikan si 
wanita penolongnya. Dan walaupun perempuan 
ini sudah berumur sekitar tiga puluh tahun, na-
mun justru malah menunjukkan kematangannya. 
Saking terpesona, menyebabkan pemuda 
ini lupa mengucapkan terima kasih, nyawanya 
sudah diselamatkan orang. 
Sebaliknya, Widoretno juga terbelalak keti-
ka melihat wajah pemuda ini yang tampan, gan-
teng dan keren. Umur pemuda ini belum dua pu-
luh tahun. Akan tetapi sepasang mata pemuda ini 
bersinar-sinar demikian kuat daya pengaruhnya, 
seperti dapat mengajak dan menjenguk isi da-
danya. 
Tiba-tiba saja jantung Widoretno berdebar 
keras. Ia merasa aneh sekali dan tiba-tiba saji 
Widoretno menjadi amat tertarik dan terpikat ke-
pada pemuda yang belum ia kenal ini. 
Sungguh mati perempuan ini gembira se-
kali dapat menolong pemuda yang ganteng dan 
tampan  ini. Dan betapa akan menyesal hatinya, 
kalau saja ia tadi membiarkan pemuda seperti ini, 
harus tewas di tangan para pengeroyok itu. 
- Huh, siapa kau perempuan, berani men-
campuri urusan kami ini? - bentak salah seorang, 
-  Hemm,-  Widoretno mendengus dingin. - 
Aku adalah aku! Apakah pedulimu? Kamu adalah 
pengecut yang tidak tahu main, huh! Lima orang 
mengeroyok seorang muda!- 
-  Engkau jangan sembarangan membuka 
mulut!- bentak salah seorang. - Tahukah engkau 
akan sebabnya kami mengeroyok bedebah busuk 
dan bajingan tengik ini? Huh, apabila kau men-
dengar persoalannya, engkau akan menyesal ka-
rena lancang mencampuri urusan ini.- 
Salah seorang yang lain menyambung, - 
Huh, pemuda ini telah membunuh salah seorang 
sahabat kami yang tidak berdosa. Maka sudah 
sepantasnya pula apabila kami mengeroyok un-
tuk menagih hutang nyawa itu!- 
- Bangsat busuk! Kamu jangan memfitnah 
orang!-  teriak si pemuda dengan lantang. -  Aku 
tadi sudah membantah, bukan aku yang melaku-
kan pembunuhan itu. Tetapi kamu mendesak dan 
memaksa aku, mengandalkan jumlah dan menge-
royok sewenang-wenang. – 
-  Setan alas. Kau jangan mungkir!-  teriak 
seorang yang lain lebih keras. - Hayo bangunlah! 
Hayo bantahlah! Ketika terjadi pembunuhan itu, 
bukankah hanya engkau seorang yang berada di 
dekat korban? Jika bukan kau pembunuhnya, 
apa perlunya kau mendekati korban?- 
- Hemm benar, saat itu aku berada di dekat 
korban. Tetapi aku bukan pembunuhnya dan aku 
mendekati justru dalam usahaku untuk meno-
long. Sungguh sayang sekali, korban itu sudah 
tewas sehingga tidak mungkin dapat kusela-
matkan lagi. Huh! Tetapi kamu tanpa bertanya 
lebih dahulu sudah menuduh aku secara mem-
babi buta. Walaupun aku sudah membantah dan 
menerangkan bukan aku yang membunuh dia. 
Manakah mungkin aku dapat menerima fitnah 
dan tuduhanmu yang tanpa dasar itu?- 
Mendengar ini Widoretno yang merasa be-
nar pendiriannya sudah membentak lantang. 
- Bajingan pengecut tidak tahu malu! Ter-
nyata kamu telah bertindak sewenang-wenang, 
mengeroyok orang tak bersalah. Huh! Aku takkan 
dapat berpangku tangan melihat perbuatan kamu 
yang tidak adil ini. Jika kamu tidak cepat enyah 
dari tempat ini, jangan salahkan aku jika aku 
menurunkan tangan maut!- 
Betapa marah lima orang ini mendengar 
ucapan Widoretno yang terang-terangan membela 
pemuda itu dan secara membabi buta pula. Lima 
orang ini merasa yakin, pemuda inilah yang telah 
membunuh sahabat mereka. Dan apa yang mere-
ka lakukan sekarang ini, sudah sesuai pula den-
gan tugas dan kewajiban untuk membela orang 
tak bersalah. Oleh karena itu, mereka tidak mun-
dur. 
- Huh, perempuan hina!- bentak salah seo-
rang! - Jika engkau nekad membela pemuda bu-
suk itu, engkau akan menyesal seumur hidup-
mu!- 
-  Cerewet! Makanlah pedangku ini!-  balas 
Widoretno sambil melesat ke depan, menyerang 
dengan pedang. 
Gerakan Widoretno ini amat cepat dan 
kuat. Sambaran angin pedangnya mendahului se-
rangan pedang itu sendiri. 
Trang trang..........! 
Benturan senjata terdengar nyaring, tetapi 
kemudian dua orang ini berubah menjadi pucat 
dan cepat-cepat melompat mundur. Karena pe-
dang mereka telah lepas dari tangan dan terbang 
agak jauh. 
Tetapi gerakan pedang Widoretno tidak 
berhenti sampai di situ. Setelah berhasil merun-
tuhkan dua batang senjata lawan, gerakan itu ia 
teruskan untuk menikam salah seorang yang pal-
ing dekat. Untung sekali orang itu cukup waspa-
da, sehingga sambaran pedang itu luput. Namun 
celakanya justru luputnya serangan ini, menye-
babkan Widoretno tambah marah. 
- Huh, robohlah!- dalam membentak Wido-
retno sudah mengetrapkan ilmunya yang amat 
berbahaya, bernama Aji Netra Luyub. 
Akibatnya adalah hebat. Lima orang itu 
mendadak saja menjadi roboh seperti pingsan 
mendadak. 
Melihat apa yang terjadi, pemuda yang di-
bela Widoretno terbelalak kagum. Diam-diam pe-
muda ini merasa heran sekali, mengapa tiba-tiba 
lima orang itu roboh tak bergerak seperti pingsan. 
Tetapi justru pada saat itu, ia mendengar 
perintah Widoretno. - Potong sebelah tangan me-
reka sebatas siku!- 
Tanpa sesadarnya, pemuda ini sudah me-
lompat dan menggerakkan pedangnya. 
Namun sebelum pedang itu berhasil mem-
babat lengan menjadi buntung, tiba-tiba  terden-
garlah bentakan nyaring sekali dan berpengaruh. 
- Jangan!- 
Yang membentak ini bukan lain adalah Ke-
bo Sadewo, yang menjadi tidak senang melihat is-
terinya akan melakukan kekejaman yang tidak 
kenal kemanusiaan itu. 
Justru sikap Kebo Sadewo ini menyebab-
kan Widoretno tidak senang dan marah, - Kakang! 
Engkau jangan ngacau! Apakah maksudmu mela-
rang ia membuntungi lengan lima bajingan itu?- 
- Retno, aku minta engkau jangan melaku-
kan perbuatan biadab seperti itu.-  Kebo Sadewo 
memberi nasihat dengan nada sabar dan halus. - 
Sadarlah engkau, Retno. Karena perbuatan ma-
cam itu dengan alasan apapun, tidak pantas di 
lakukan oleh seorang yang mengenal jiwa ksatria 
dan kemanusiaan.- 
Widoretno tersinggung dan menjadi marah. 
Ia ketawa dingin lalu katanya ketus, - Huh, apa-
kah sangkamu hanya kau seorang yang kenal ji-
wa ksatrya dan kemanusiaan? Hemm, bagus! 
Engkau sudah menghina aku, menghina isterimu 
sendiri! Huh, engkau munafik dan ucapanmu itu 
amat menyakitkan hatiku.- 
Ia berhenti sejenak sambil mendelik. Tak 
lama kemudian ia meneruskan, - Huh, selama ini 
antara aku dan engkau tidak pernah mendapat 
persesuaian paham. Ibarat air dengan minyak. 
Muak aku melihatmu! Huh, Kebo Sadewo, keta-
huilah bahwa hinaan mu  kepada diriku hari ini 
tidak lagi dapat aku maafkan. Sudahlah! Dari pa-
da antara kita selalu bertentangan terus dan ti-
dak pernah bisa rukun, lebih baik sejak sekarang 
ini kita berpisah. Mulai saat ini lebih tepat apabila 
kita membebaskan diri dari ikatan dan kita men-
gambil jalan masing-masing.- 
- Retno! Apakah sebabnya engkau berkata 
seperti itu?-  Dalam mengucapkan kata-katanya 
ini, nadanya gemetar terpengaruh oleh kemara-
han. Sebab bagaimanapun sabarnya menghadapi 
isterinya, Kebo Sadewo menjadi tersinggung oleh 
ucapan Widoretno ini. Harga dirinya sebagai seo-
rang suami tentu saja tidak mau direndahkan se-
perti itu, yang seakan-akan dihina terang-
terangan di depan orang. 
- Sudahlah, tidak perlu cerewet! Pendeknya 
sejak sekarang ini aku dan engkau berselisih ja-
lan. Maka sebaiknya kita akhiri saja hubungan 
kita!- bentak Widoretno kasar. 
-  Hemm, baiklah! Memang sebaiknya aku 
dan engkau mengambil jalan masing-masing.- 
Kebo Sadewo menerima tantangan isterinya. 
Tetapi walaupun demikian, dalam mengu-
capkan kata-katanya ini, nadanya mengandung 
getaran jiwa yang amat sedih. Bagaimanapun ia 
amat sayang dan kasih kepada isterinya, dan ia-
pun mencintai dengan segenap jiwanya. 
Sekalipun demikian sebagai seorang laki-
laki, ia tidak dapat menerima begitu saja, apabila 
isterinya selalu menentang nasihat-nasihatnya, 
sehingga melakukan perbuatan-perbuatan yang 
bertentangan dengan jiwanya. Seperti yang dila-
kukan Widoretno sekarang ini, terang-terangan 
amat menusuk perasaannya. 
Sungguh, ia tidak habis mengerti mengapa 
isteri yang amat ia cintai itu sampai hati mencaci 
maki dirinya di depan orang lain? Malah sekarang 
ini isterinya membela seorang pemuda yang sama 
sekali belum ia kenal watak dan tabiatnya dan be-
lum tentu pada pihak yang benar. 
Setelah berhenti sejenak untuk menekan 
perasaan marah dalam dadanya, ia meneruskan, 
- Apa yang kau lakukan sekarang ini bertentan-
gan dengan jiwa dan nuraniku. Hemm, engkau 
sudah memilih pada pihak yang salah dan karena 
itu semua perbuatanmu tak ada hubungannya 
dengan aku dan semua akibatnya menjadi tang-
gung jawabmu sendiri. 
Widoretno terkekeh sejenak. - Heh heh heh 
heh, aku bilang kau cerewet seperti burung beo 
belajar bicara. Huh, apakah engkau tidak lekas 
enyah dari tempat ini?- 
Sepasang mata Kebo Sadewo menyala sak-
ing marah mendengar pengusiran isterinya ini. 
Akan tetapi mata yang menyala itu hanya seben-
tar saja, kemudian kembali seperti biasa, setelah 
ia berhasil menekan perasaan. 
- Hemm, baiklah aku pergi sekarang juga! 
Tetapi ingatlah baik-baik, aku bukanlah seorang 
laki-laki rendah budi seperti dugaanmu. Demi 
sayang dan kasihku kepada engkau, aku tidak 
bakal berdekatan lagi dengan perempuan.- 
Kemudian laki-laki ini melompat, dan me-
langkah cepat tanpa berpaling. Namun demikian 
di luar tahu Widoretno, dari sudut mata laki-laki 
ini berloncatanlah air mata. 
Benar! Sekarang ini Kebo Sadewo memang 
menangis, karena diusir oleh isteri. tercinta dan 
terpaksa harus berpisah dengan Widoretno. Me-
mang benar-benar menyakitkan sekali sikap dan 
perbuatan perempuan seperti ini, yang selalu me-
rasa menang sendiri dan benar sendiri. 
Kebo Sadewo menghela napas berkali-kali, 
karena ia amat menyesal, mengapa apa yang ter-
jadi justru tidak sesuai dengan harapannya. Ia 
sudah selalu bersikap mengalah, dan apapun 
yang ia lakukan dalam usaha membahagiakan is-
terinya. Namun yang terjadi sekarang, isteri yang 
ia cintai itu malah tidak segan-segan mengusir di-
rinya dan disaksikan pula orang lain. 
- Hemm, tetapi memang sebaiknya begini, 
dari pada setiap saat pendirianku selalu berten-
tangan dengan pendiriannya!-  desisnya sambil 
melangkah cepat, dengan maksud agar secepat-
nya dapat melupakan Widoretno. 
Sulit terlukiskan betapa gembira hati Wido-
retno, setelah ia berhasil mengusir suaminya yang 
amat setia itu. Terus terang saja hati perempuan 
ini menjadi tertarik dan jatuh cinta pada pandan-
gan pertamanya terhadap pemuda tampan dan 
masih muda ini. Dan ia sudah membayangkan 
betapa bahagia hatinya kemudian hari, jika di-
rinya dapat hidup sebagai suami isteri dengan 
pemuda ganteng ini. 
Oleh sebab itu setelah Kebo Sadewo pergi, 
ia sekarang mengerling penuh arti kepada pemu-
da di sampingnya ini, lalu berkata merdu, - Seka-
rang sudah tiada penghalang lagi. Maka lakukan 
hukuman potong tangan itu, agar semua orang 
tidak berani gegabah lagi terhadap kita.- 
Berdebar hati pemuda ini menangkap kerl-
ing mata Widoretno yang penuh daya tarik itu. 
Kemudian seperti seorang hamba yang patuh se-
kali kepada tuannya, pemuda ini sudah men-
gangkat pedang dan kemudian membuntungi len-
gan lima orang lawan itu, satu persatu disaksikan 
oleh Widoretno dengan bibir tersenyum manis. 
- Bagus!- pujinya. - Dan marilah sekarang 
ikut aku. Engkau terluka, biarlah aku yang men-
gobati dan menyembuhkan lukamu.- 
Tanpa rasa main, kikuk dan sungkan lagi, 
Widoretno sudah menyambar lengan pemuda 
yang memikat hatinya itu, kemudian ia melang-
kah pergi meninggalkan lima orang korbannya 
yang menderita. 
Setelah Widoretno pergi meninggalkan me-
reka, maka lima laki-laki yang tadi terpengaruh 
oleh Aji Netra Luyub menjadi buyar dan hampir. 
berbareng mereka mengeluh dan membuka mata. 
Mereka kaget sekali dan merintih kesaki-
tan, kemudian terbelalak kaget ketika melihat 
lengan  kanan telah buntung sebatas siku. Pada 
mulanya mereka merasa heran, tetapi setelah in-
gatan mereka terkumpul kembali, teringatlah me-
reka apa yang sudah terjadi. 
Mereka tadi mengeroyok seorang pemuda 
yang sudah membunuh salah seorang sahabat 
mereka. Pada saat pemuda itu hampir dapat me-
reka kalahkan, datang perempuan yang menolong 
dan merobohkan mereka. 
Semenjak peristiwa itu terjadi, Kebo Sade-
wo tidak pernah terdengar lagi namanya. Dan se-
menjak itu pula telah mengganti namanya dengan 
Tunjung Biru. Yang pada akhirnya kemudian ha-
ri, setiap orang mengenal dirinya dengan nama Ki 
ageng  Tunjung Biru sebagai kakak seperguruan 
Gajah Mada. 
Adapun Widoretno dengan jantung berde-
baran, menggandeng pemuda itu masuk ke dalam 
sebuah hutan. 
Kalau jantung perempuan ini tidak keruan, 
lebih-lebih pemuda yang masih hijau ini, jan-
tungnya melonjak-lonjak seperti mau copot. 
Sambil melangkah perlahan setengah dipa-
pah, terasalah telapak tangan dan jari-jari tangan 
yang halus ini memegang tangannya. Dan dis-
amping itu sengaja atau tidak, lengan itu sering 
didesak oleh benda yang lunak lembut pada dada 
perempuan itu, 
- Siapakah namamu, Adik yang baik?- ta-
nyanya halus dan terdengar amat merdu masuk 
dalam rongga telinga pemuda itu. 
-  Aku.....aku Sobrah Tulus.....-  sahut pe-
muda ini tidak lancar, saking dadanya terasa 
amat tegang dan berdebaran. -  Dan...... dan..... 
Mbakyu, siapa? 
- Hi hi hik, aku Widoretno.- 
- Widoretno? Ahhh.....namamu bagus seka-
li.. menarik seperti, - 
-  Seperti siapa? Katakanlah terus terang.- 
Widoretno mendesak dan matanya mengerling 
penuh arti dibarengi dengan bibir menyungging 
senyum manis sekali. 
Dan karena masih melangkah berdampin-
gan, lengan Sobrah Tulus masih dipegang oleh 
Widoretno, maka kembali benda yang lunak lem-
but itu menekan lengan si pemuda. 
- Seperti.....ah ..... aku takut- 
- Kenapa takut? Takut kepada siapa?- Wi-
doretno pura-pura tidak tahu. 
-  Takut kepada Mbakyu. Khawatir.....kau 
tersinggung ...... - 
- Katakanlah, Adik yang baik, jangan ragu-
ragu. Bukankah aku tidak menakutkan? Atau 
kau memang tidak suka berkenalan dengan aku? 
–  
-  Ahhh.....Mbakyu..... aku lebih dari su-
ka.....karena .... karena kau amat can.....- 
- Can apa? Canthoka? Berarti aku ini ka-
tak?-  namun  dalam  mengucapkan kata-katanya 
ini, bibir Widoretno tersenyum, sama sekali tidak 
tampak marah. 
-  Ahhhh, manakah ada katak seperti 
Mbakyu? Jika Mbakyu katak, lalu apakah aku 
ini? Ha ha ha ha, yang benar Mbakyu adalah seo-
rang wanita yang amat cantik ...... – 
Sobrah Tulus yang pada mulanya takut-
takut itu, setelah melihat sikap dan mendengar-
kan kata-katanya, sekarang hilang rasa takutnya 
dan malah sudah berani tertawa. 
Mendengar pemuda ini tertawa, maka Wi-
doretno juga lalu tertawa, suaranya merdu sekali 
terdengar dalam telinga Sobrah Tulus. Seakan 
suara tawa yang merdu itu, masuk ke dalam te-
linganya lalu menyelinap ke dalam kalbu. 
- Ahhh, kau bohong - ucap Widoretno yang 
berusaha memancing perhatian Sobrah Tulus, te-
tapi hati perempuan ini terasa bahagia sekali. 
Tiba-tiba Sobrah Tulus menghentikan 
langkahnya, lalu memutar tubuh menghadapi 
Widoretno. Mereka kemudian berdiri berhadapan 
dalam jarak dekat sekali. Dua pasang mata ber-
taut, dan dari mata dua pasang ini memancarlah 
sinar kasih yang menyebabkan jantung mereka 
berdua makin berdenyutan lebih keras. Dan ke-
mudian seperti terpengaruh oleh kekuatan yang 
tidak  terlawan lagi, tangan Widoretno terulur ke 
depan. 
Lengan perempuan ini memegang pundak 
Sobrah Tulus. Dan pemuda ini yang pada mu-
lanya takut-takut, menjadi bangkit keberaniannya 
setelah perempuan cantik ini memegang pundak-
nya.