Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 10 - Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru(2)


Dua lengan Sobrah Tulus segera terangkat 
pula. Pada mulanya gerakan ini agak ragu dan 
gemetaran, dalam memegang lengan Widoretno 
itu. Namun ketika perempuan ini tidak mele- 
paskan rabaan tangannya, maka jari tangan So-
brah Tulus bergerak merayap sepanjang lengan 
itu, dan akhirnya sampai di bawah pundak. Ke-
mudian jari tangan pemuda itu bergerak turun 
sampai pinggang. 
- Ihhh ..... kau.....- tiba-tiba saja Widoretno 
tak kuasa menahan hatinya lagi, lalu memeluk 
pemuda ini erat sekali dan langsung menyerang 
bibir si pemuda. 
Widoretno menjadi lupa diri berhadapan 
dengan pemuda tampan dan ganteng ini, masih 
muda pula. Ia tidak ingat lagi bahwa saat seka-
rang ini sebenarnya Sobrah Tulus sedang terluka 
pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hanya oleh 
pengaruh perasaan aneh yang memenuhi da-
danya saja, Sobrah Tulus menjadi lupa kepada 
keadaan tubuhnya yang terluka. 
Akan tetapi setelah mendapat pelukan Wi-
doretno, pundaknya yang terluka terasa sakit 
-  Ahhhh.....!-  terdengar desah dari mulut 
Sobrah Tulus ketika Widoretno melepaskan bibir 
pemuda itu. 
Tubuh Sobrah Tulus menggigil, dan tentu 
pemuda itu sudah roboh apabila tidak cepat dipe-
luk lagi oleh perempuan itu. 
- Aduhhh ..... maafkanlah aku sampai ter-
lupa kau terluka. – 
Sambil berkata demikian Widoretno mem-
bimbing pemuda yang memikat hatinya ini, ke-
mudian mereka duduk di bawah pohon rindang. 
- Biarlah aku yang memeriksa dan mengobati- 
Sobrah Tulus menahan rasa sakit dan pe-
dih pada lukanya. Dan ia membiarkan ketika jari 
tangan Widoretno melepas bajunya yang bernoda 
darah.  
- Ahhh, untung sekali lukamu ringan saja. 
Setelah aku obati dalam waktu singkat tentu su-
dah sembuh kembali!- ujarnya lirih dengan nada 
menghibur. 
Sobrah Tulus mengangguk. Namun ia me-
ringis juga ketika luka yang darahnya sudah 
mengering itu dibersihkan oleh Widoretno. 
Cekatan juga jari tangan Widoretno dalam 
membersihkan dan mengobati luka-luka itu. Sete-
lah membubuhi obat, luka itu kemudian ia balut 
menggunakan kain penutup dadanya yang dibagi-
bagi. Dan pada saat Widoretno melepas kain pe-
nutup dadanya ini, maka Widoretno terpaksa me-
nyingsingkan bajunya ke atas. 
Mereka berhadapan dan dada pemuda ini 
bergetar hebat sekali ketika melihat Widoretno 
melepas kain penutup dada itu, disamping amat 
berterima kasih. 
Aneh juga yang dilakukan perempuan ini. 
Ia mempunyai persediaan ganti pakaian dalam 
bungkusan. Mestinya kalau memerlukan kain pe-
nutup dada, ia bisa mengambil dari bungkusan 
itu. Tetapi mengapa malah melepas yang sudah ia 
pakai? 
Jari tangan Widoretno cekatan sekali keti-
ka melepas kain penutup dada itu. Dan ketika 
kain penutup dada lepas, perempuan ini lalu si-
buk merobek-robek kain ini untuk pembalut 
Saking sibuk, perempuan ini menjadi lupa 
bahwa waktu itu bajunya terbuka ke atas, dan 
dada yang tanpa penutup itu sekarang tampak 
membukit penuh di depan mata Sobrah Tulus. 
Mata pemuda ini silau memandang dada 
membukit penuh tanpa penutup itu, tetapi mata 
itu malah melotot dan menelan ludah. 
Semenjak dirinya menjadi dewasa, baru 
pertama kali ini saja dirinya melihat pemandan-
gan menarik seperti ini. Pandangan asing dan ba-
ru bagi dirinya, bukit kembar yang halus, kuning 
dan montok. 
Untung sekali ketika itu Widoretno segera 
sadar keadaan. Ia menjerit lirih dan secepatnya 
menurunkan ujung baju dan dadanya sekarang 
tertutup kembali. Namun sekalipun sudah tertu-
tup kembali, pemuda ini masih juga memandang 
seakan dapat menembus baju. 
Widoretno tersenyum memikat sekali. Ke-
mudian katanya dengan nada manja, - 
Aihhh.....apakah sejak sekarang, panggilan itu ti-
dak kita ubah menjadi sebaliknya?- 
- Apakah maksudmu?- Sobrah Tulus kehe-
ranan, 
- Hemm, aku adalah perempuan yang suka 
blak-blakan. Sekarang aku bertanya, bagaimana-
kah perasaanmu kepada diriku ?- 
- Perasaan yang mana?- 
-  Hemm, engkau jangan pura-pura tidak 
tahu. Hi hi hik, aku perempuan dan kau laki-laki. 
Katakanlah, apakah engkau tidak tertarik kepa-
daku?- 
- Aku.....aku.....- Sobrah Tulus gelagapan. 
Sebenarnya ia memang amat tertarik kepa-
da perempuan cantik ini. Tetapi ia tidak tahu, 
apakah getaran jantungnya sekarang ini merupa-
kan tanda dirinya sudah jatuh cinta? Namun ke-
nyataannya memang timbul pula rasa suka kepa-
da perempuan ini. Dan kemudian timbul pula ha-
rapannya agar selalu dapat berdekatan dengan 
Widoretno. 
- Hi hi hik ..... aku.....aku apa?- Widoretno 
ketawa lirih setengah mengejek. 
Ketika Sobrah Tulus tidak juga menjawab, 
ia mengulang, - Hi hi hik ..... aku .....aku apa?- 
-  Aku.....aku......ya.....-  Sobrah Tulus sulit 
untuk mengucapkan kata-katanya, sehingga ja-
waban yang keluar dari mulutnya hanya seperti 
itu. 
Namun jawaban ini sudah cukup jelas bagi 
Widoretno. Perempuan ini tahu, Sobrah Tulus la-
ki-laki perjaka yang belum pernah kenal perem-
puan. Terbukti dari sikapnya yang malu-malu 
dan kata-katanya yang setengah takut. Untuk itu 
maka dirinyalah yang harus memimpin dan me-
mulai. 
Manusia di dunia ini, biasanya menjadi 
paling lemah apabila berhadapan dengan nafsu 
birahi. Manusia yang sanggup menghadapi amu-
kan nafsu birahi, hanyalah terbatas jumlahnya, 
sehingga tidak gampang diperkuda oleh nafsu itu, 
karena jiwanya kuat. 
Manusia yang disebut kuat jiwanya bukan-
lah terbawa semenjak dilahirkan, tetapi terbentuk 
oleh pengaruh pendidikan yang dilambari kesada-
ran. Sebab pendidikan takkan dapat menolong 
tanpa adanya kesadaran. Pendidikan menyebab-
kan orang mengerti, tetapi kalau tidak menyadari, 
manakah mungkin bisa terjadi? 
Sebagai manusia mereka adalah sama-
sama memiliki nafsu birahi ini. Maka apabila ma-
nusia tidak mau menyadari bakal menjadi binal 
dan buas. Demikian pula yang terjadi dan berke-
camuk dalam dada Widoretno ini. Dahulu ketika 
dirinya kawin dengan Kebo Sadewo. sesungguh-
nya ia merasa terpaksa. Ia tidak dapat mencintai 
Kebo Sadewo yang umurnya terpaut jauh. Dan 
kalau toh ia kawin dengan Kebo Sadewo tidak lain 
karena sudah kalah janji. 
Pada mulanya melihat sikap suaminya 
yang amat mencintai dirinya secara tulus dan se-
lalu bersikap mengalah, ia selalu berusaha meng-
hibur diri. Ia berusaha untuk mencintai Kebo Sa-
dewo. Namun ternyata kemudian usahanya ini 
bertemu dengan kegagalan, setelah tahu Kebo 
Sadewo seorang laki-laki yang lebih suka menyi-
bukkan diri dengan urusan di luar rumah, di-
banding dengan memperhatikan pembinaan cinta 
kasih sebagai suami isteri. 
Lebih lagi setelah sepuluh tahun kawin be-
lum juga mendapatkan keturunan, menyebabkan 
ia menjadi masygul dan selalu menyalahkan su-
aminya. Widoretno hanya ingin menang saja, tan-
pa mau berpikir bahwa seal anak ini ada bebera-
pa penyebabnya.  
Mungkin Widoretno sendiri yang mandul. 
Mungkin juga Kebo Sadewo yang mandul. Atau 
dua-duanya mempunyai penyakit, sehingga 
menghalangi untuk memperoleh keturunan. Atau 
ada sebab lain, disamping juga sudah menjadi 
kehendak Dewata Yang Agung. 
Sebagai akibat rasa kecewa dan kemasygu-
lannya inilah kemudian mendorong Widoretno in-
gin lepas dari kekangan Kebo Sadewo, setelah ia 
melihat ketampanan dan wajah ganteng pemuda 
bernama Sobrah Tulus. Saking tertarik dan terpi-
kat hatinya inilah maka kemudian Widoretno 
sengaja membuat Kebo Sadewo marah dengan ka-
ta-kata yang menusuk perasaan suami. Dan usa-
hanya ternyata berhasil, maka sekarang seperti 
seekor kuda yang lepas dari kandang, Widoretno 
menjadi banal. Ia merayu Sobrah Tulus baik den-
gan sikap, perbuatan maupun ucapan. 
Jadilah kemudian Widoretno dan Sobrah 
Tulus hidup sebagai suami isteri. Mereka hidup 
amat rukun, sebab sekalipun umurnya lebih tua, 
namun sebagai perempuan sakti mandraguna 
dan berpengalaman, dapat membuat Sobrah Tu-
lus bertekuk lutut 
Akan tetapi benarkah Sobrah Tulus men-
cintai setulus hati? Terbuktilah bahwa Sobrah 
Tulus tidak mencintai Widoretno sepenuh hati. 
Dan kalau toh pemuda ini sedia kawin dengan 
Widoretno, memang ada maksud tersembunyi.  
Dorongan yang terutama bagi Sobrah Tulus 
mengawini Widoretno, adalah ingin bisa mempe-
roleh rahasia ilmu yang dapat merobohkan lawan 
hanya dengan mantra itu, ialah Aji Netra Luyub. 
Pada mulanya Widoretno memang kikir 
dan tidak bersedia membuka rahasia ilmu terse-
but. Namun berkat kecerdikan dan bujuk rayu, 
akhirnya Sobrah Tulus dapat menguasai ilmu ter-
sebut. 
Kemudian apakah yang terjadi? Ternyata 
laki-laki ini curang. Kemudian ia mencampurkan 
obat tidur dengan nasi dan minuman Widoretno. 
Kemudian menggunakan kesempatan pada saat 
Widoretno tertidur ini Sobrah Tulus membuang 
Widoretno ke dalam jurang amat dalam. 
Apa yang ia lakukan ini bukan lain karena 
Sobrah Tulus tidak tega membunuh isteri dan se-
kaligus gurunya itu. Maka menurut pendapatnya, 
dengan jalan ia buang ke jurang, nyawa Widoret-
no tentu melayang. 
Namun Sobrah Tulus tidak menyadari, 
orang bisa mengharapkan tetapi ketentuan di 
tangan Yang Maha Tinggi. Ternyata Widoretno ti-
dak mati dan hanya menderita patah dua kakinya 
dan luka-luka ringan yang lain, hingga akibatnya 
Widoretno menjadi lumpuh. Dan kemudian, 
sungguh merupakan keajaiban yang diciptakan 
oleh Yang Maha Tinggi, Nenek Widoretno masih 
hidup. 
Widoretno menghela napas panjang men-
gambil napas. Kemudian katanya kepada Dewi 
Sritanjung,  -  Anak baik, itulah kisah hidupku 
yang kemudian menyebabkan aku menderita se-
perti ini. Aku amat menyesal sekali dan merasa 
berdosa pula kepada Kakang Kebo Sadewo..... 
yang kemudian berganti nama Ki ageng Tunjung 
Biru itu....... Kalau saja aku tetap menjadi iste-
rinya, tentu aku takkan sampai mengalami nasib 
buruk ini.- 
Nenek Widoretno menyeka air mata yang 
bercucuran dari matanya, menyesali nasib. 
-  Tetapi Nek, kenapa yang kau ceritakan 
kok hanya Sobrah Tulus. Lalu Klinthung Waluh 
itu, siapa?- tanya Dewi Sritanjung. 
-  Hemm.....Sobrah Tulus dan Klinthung 
Waluh itu sama saja orangnya - 
-  Ahhhh.....biadab benar manusia busuk 
itu. Huh, apabila aku cepat membawa Nenek ke-
luar dari tempat ini, akan aku lumatkan kepa-
lanya.- 
-  Heh heh heh heh .....-  Nenek Widoretno 
terkekeh. - Engkau jangan melamun kosong. Ma-
nakah mungkin kita bisa keluar dari tempat ini?- 
-  Tetapi Nek, apabila aku berusaha terus, 
aku percaya Dewata Agung akan mengulurkan 
tangan dan menolong. Entah keajaiban apa yang 
akan terjadi, tetapi aku percaya kelak kemudian 
hari akan dapat keluar dari tempat ini,- 
Mendengar tekad gadis yang penuh seman-
gat ini Widoretno tidak tega untuk membuat tipis 
harapan. Katanya kemudian, - Ya! Akupun berha-
rap agar kau dapat menemukan jalan keluar itu. 
Dan harapanku pula, engkau akan dapat memba-
laskan sakit hatiku.- 
-  Hemm, tentu Nek. Nenek adalah isteri 
Kakekku dan juga Guruku. Manakah mungkin 
aku membiarkan manusia biadab itu hidup enak 
dan terlepas dari hukuman ?- 
Sesungguhnya saja ketika muda, Widoret-
no seorang perempuan angkuh, suka menurutkan 
kemauannya sendiri disamping congkak. Tetapi 
sesudah puluhan tahun lamanya terhukum dan 
tersiksa di tempat terasing ini, jiwa perempuan ini 
kemudian memperoleh kesadaran. Wataknya be-
rubah seperti bumi dengan langit. Maka ketika 
melihat gadis ini secara tidak sengaja terperosok 
masuk ke dalam jurang ini, Widoretno menjadi 
amat kasihan kepada Dewi Sritanjung. 
Lebih-lebih setelah ia mengerti, Dewi Sri-
tanjung merupakan pewaris ilmu kesaktian dari 
suaminya, maka hanya kepada gadis ini sajalah 
yang menjadi tumpuan harapannya, agar kelak 
kemudian hari dapat membalaskan sakit hatinya. 
Tiba-tiba Widoretno teringat sesuatu, lalu 
katanya halus, -  Cucuku, ahhh..... manakah 
mungkin kau sanggup berhadapan dengan Klin-
thung Waluh, justru dia mempunyai Aji Netra 
Luyub?- 
Mendengar ini Dewi Sritanjung lalu teringat 
kepada peristiwa yang sudah ia alami. Kalau tidak 
tertolong oleh Mpu Kepakisan, tentu dirinya su-
dah celaka dalam tangan Klinthung Waluh, seba-
gai akibat terpengaruh oleh Aji Netra Luyub itu. 
Untung sekali gadis bernama Dewi Sritanjung ini 
seorang gadis cerdik. Kalau saja sekarang dirinya 
dapat memiliki Aji Netra Luyub seperti Klinthung 
Waluh, tentunya akan dapat membalas dendam 
kepada orang itu. 
Maka kemudian Dewi Sritanjung menatap 
Widoretno. Ujarnya, -  Nenek yang baik, kalau 
Klinthung Waluh bisa memiliki Aji Netra Luyub 
itu atas ajaran Nenek, apakah aku tidak dapat 
pula memperoleh Ajian tersebut dari Nenek?- 
Widoretno terkekeh mendengar permintaan 
ini. Jawabnya, - Heh heh heh heh, ternyata eng-
kau cucuku yang cerdik. Asalkan kau mau dan 
tekun, mengapa tidak? Tentu saja aku akan dapat 
pula menurunkan ilmu atau aji tersebut untuk 
kepentinganmu.- 
Betapa gembira gadis ini mendengar kese-
diaan Widoretno. Tiba-tiba saja gadis ini berlutut 
sambil membenturkan dahinya ke tanah. 
-  Terima kasih, Nenek, dan sekaligus Gu-
ruku, atas kesediaan Nenek untuk mengajarkan 
Aji Netra Luyub untuk diriku,- katanya mantap. 
- Heh heh heh heh, bangkitlah! Sudah, kau 
tidak perlu berlutut. Sebab sudah sewajarnya pu-
la, jika engkau sebagai murid suamiku, maka 
engkau juga muridku pula.- 
Saking gembira gadis ini sampai tak ingat 
lagi tempatnya sekarang ini terpisah dengan du-
nia ramai. Manakah mungkin Dewi Sritanjung 
dapat memanfaatkan aji kesaktian tersebut apabi-
la selama hidup terus terkurung di tempat ini? 
Bagaimanapun sedih dan sengsara hati 
Dewi Sritanjung yang terperosok ke dalam jurang 
yang buntu ini, kiranya masih lebih enak apabila 
dibandingkan dengan nasib Mahisa Singkir dan 
Sarwiyah. Sebab sekalipun di tempat terasing, te-
tapi Dewi Sritanjung bisa bebas, bisa sesuka hati, 
tidak tertekan perasaannya oleh siapapun. Se-
dangkan Nenek Widoretno sikapnya amat baik 
dan malah mengajarkan Aji Netra Luyub pula. 
Siapakah Mahisa Singkir dan Sarwiyah ini? 
Untuk dapat mengetahui secara rinci, kiranya 
Pembaca perlu membaca buku berjudul "Perjala-
nan Yang Berbahaya" dan "Terkurung Di Perut 
Gunung". Dua orang muda ini sedang dalam per-
jalanan menuju Belambangan untuk mencari tu-
nangannya Warigagung dan guru pemuda itu 
bernama Julungpujud, dengan maksud minta 
bantuan agar dapat membalaskan sakit  hatinya 
kepada Gajah Mada. Tetapi sungguh celaka dalam 
perjalanan ini mereka tertangkap dan kemudian 
tertawan dalam lembah terasing yang penuh ra-
hasia. Pada lembah ini yang berkuasa adalah 
Mpu Galuh, sisa pemberontak Sadeng. 
Memang setelah Mahisa Singkir dan Sar-
wiyah secara paksa harus hidup di dalam kamar 
tahanan, sikap para penjaga memang baik dan 
menghormat. Pelayanannya pun baik, karena se-
mua orang tahu belaka, baik si pemuda maupun 
si gadis merupakan calon-calon menantu Mpu 
Galuh. Akan tetapi walaupun demikian, manakah 
mungkin dua orang muda ini bisa merasakan hi-
dup senang? 
Selama dua hari dalam tahanan di kamar 
ini, Sarwiyah terus menerus menangis dan mogok 
makan. Akibatnya mata yang semula indah itu 
sekarang menjadi merah dan pelupuk matanya 
bengkak. 
Dalam keadaan sedih dan menangis ini 
kemudian ia teringat kepada kakeknya yang su-
dah meninggal maupun kakak perempuannya Sa-
rindah dan adik laki-lakinya yang lenyap bersama 
Sentiko. Lalu di manakah Sentiko sekarang ini? 
Masih hidup ataukah sudah mati? Dan di mana 
pula kakak perempuannya itu, yang setelah ber-
pisah dengan dirinya tidak pernah ia dengar ka-
barnya lagi? 
- Mbakyu ..... ohhh .....- desisnya di tengah 
isak dan tangisnya. - Kalau saja aku dan kau ti-
dak berpisah, kiranya takkan sampai menderita 
seperti ini ...... 
Benar, gadis ini sekarang amat menyesal, 
mengapa ketika itu kakak perempuannya me-
maksa, supaya dirinya pergi seorang diri mencari 
Julung Pujung dan Wariagung. Sedang Sarindah 
kemudian menyatakan ingin mencari juru tenung 
yang pandai untuk menenung Gajah Mada. 
Sekarang timbul pertanyaan dalam hati, 
berhasilkah usaha kakak perempuannya itu? Ka-
lau benar kakak perempuannya itu berhasil 
membunuh Gajah Mada dari tempat jauh, sekali-
pun dirinya sekarang menderita sengsara, ada pe-
rasaan lega juga. Sebab cita-cita kakeknya yang 
ingin dapat membunuh Gajah Mada telah berha-
sil. Akan tetapi sebaliknya apabila usaha kakak 
perempuannya itu sampai gagal, bukankah berar-
ti semua pengorbanan ini hanya sia-sia belaka? 
Karena selama dalam tahanan ini Sarwiyah 
mogok  makan, maka dalam waktu singkat saja, 
gadis ini menjadi pucat dan kurus. Rambutnya 
menjadi kusut dan terurai awut-awutan, pakaian 
kusut tidak mau ganti, sehingga dari gadis muda 
cantik jelita, sekarang berubah menjadi seperti 
perempuan gila. 
Apabila Sarwiyah selalu menangis dan se-
dih, sebaliknya Mahisa Singkir tidak kurang pula 
sedihnya. Namun demikian cara berpikir pemuda 
ini lain dengan Sarwiyah. Sebab Mahisa Singkir 
tidak mogok makan seperti Sarwiyah, melainkan 
semua pemberian jatah makanan itu, ia terima 
dan ia makan dengan lahap. Sebabnya ia bersi-
kap seperti ini karena ia sadar, raganya membu-
tuhkan makanan dan guna menjaga kekuatan 
dan kesehatannya pula. Supaya pada saat perlu, 
dan pada saat berhadapan dengan bahaya, ia bisa 
menggunakan tenaganya. Oleh sebab itu tubuh-
nya masih segar seperti ketika masih bebas, wa-
laupun wajahnya agak pucat. 
Dalam kamar tahanan inipun disamping 
menjaga kekuatan dan kesehatan tubuhnya, ia-
pun tidak pernah lupa untuk melatih diri, sekali-
pun ia tidak mempunyai harapan dapat melo-
loskan diri. 
Ia tidak pernah melupakan pesan kakek 
gemuk yang baik hati dan bernama Mpu Anusa 
Dwipa itu. Kakek yang sudah menyelamatkan 
nyawanya, kemudian malah bersedia menggem-
bleng dirinya, sekalipun tidak diakui sebagai mu-
ridnya. 
-  Bocah,  -  kata Mpu Anusa Dwipa ketika 
itu. - Dalam keadaan yang bagaimanapun, mela-
tih diri sambil mawas diri, adalah penting kau la-
kukan secara rajin. Sebab semua itu akan bergu-
na bagi dirimu sendiri dan dalam usahamu me-
nunaikan tugas.- 
Pesan kakek gendut ini tidak pernah ia ab-
aikan dan ia lupakan. Maka selama dalam taha-
nan di tempat ini, waktu malah ia pergunakan 
sebaik-baiknya. Sebab siapa tahu kemudian hari 
ia memerlukan tenaganya sendiri apabila mempe-
roleh kesempatan lolos? 
Manusia tidak seharusnya lekas patah ha-
rapan dan tanpa berusaha, sekalipun takdir tentu 
berlaku  terhadap semua manusia hidup. Itulah 
sebabnya setiap usai makan, seperti yang terjadi 
pada sore tadi, pemuda ini lalu duduk bersila di 
pembaringan batu guna melatih ilmu ajaran Mpu 
Anusa Dwipa. Ajaran itu adalah mengumpulkan 
hawa sakti dalam tubuh, lalu ia salurkan ke selu-
ruh bagian tubuhnya. 
Karena ia sedang tenggelam dalam melatih 
diri dengan bersamadi ini, Mahisa Singkir sampai 
tidak tahu dan tidak mendengar, pintu kamar ta-
hanannya terbuka. Kemudian seseorang masuk 
ke dalam kamar sambil membawa lentera kecil 
dari minyak kelapa. Mula-mula orang ini menyu-
luhi sekitar kamar. Tetapi kemudian memusatkan 
perhatian kepada Mahisa Singkir yang duduk ti-
dak bergerak. 
- Bangunlah!- tegur orang itu dengan suara 
halus dan merdu, dan sambil berdiri di depan 
Mahisa Singkir. 
Mahisa Singkir geragapan kaget, wajahnya 
tersorot oleh sinar lampu, sedangkan suara yang 
halus merdu itu menyelundup masuk dalam 
rongga telinganya. Untuk sejenak pemuda ini ter-
belalak menatap wajah perempuan yang cantik di 
depannya ini. Wajah yang sebenarnya malah lebih 
cantik apabila dibandingkan dengan Sarwiyah. 
- Ohhhh ..... apakah maksudmu masuk ke 
kamar ini?- tanyanya agak gugup. 
Bibir indah itu tersenyum. Sepasang mata 
yang redup menarik ini memandang  tanpa rasa 
kikuk. Diam-diam tergetar juga jantung Mahisa 
Singkir mendapat tatapan demikian rupa oleh se-
pasang mata gadis itu. Maka cepat-cepat pemuda 
pemalu ini menundukkan muka. Dan karena ga-
dis ini belum juga menjawab, maka dalam usa-
hanya untuk menekan perasaan, Mahisa Singkir 
mengulang pertanyaannya. 
-  Apakah sebabnya engkau masuk kema-
ri?- 
- Apakah tidak boleh?- 
Jawaban Ika Dewi, puteri Mpu Galuh ini 
menyebabkan Mahisa Singkir melengak untuk se-
jenak. Tentu saja sebagai seorang puteri raja di 
wilayah ini, Ika Dewi mempunyai kebebasan pergi 
kemanapun. 
- Ya.....Memang tidak ada yang dapat mela-
rang kau pergi kemana kau suka...- ujar Mahisa 
Singkir seperti menyesali apa yang tadi telah ia 
ucapkan sendiri. - Akan tetapi apakah sebabnya 
kau masuk dalam kamar tahananku ini?- 
Bibir Ika Dewi tersenyum lagi dan manis 
sekali. Dan sebenarnya senyum gadis ini bagi 
pemuda yang masih hijau ini, cukup membuat 
jantungnya bergetar hebat sekali. 
Ika Dewi kemudian meletakkan lampu pe-
nyuluh itu di lantai kamar. Dan bagian tembok 
yang terkena oleh sinar lampu itu menjadi terang. 
Tetapi bagian di mana Mahisa Singkir duduk itu 
agak gelap, sebab sinar lampu teraling oleh papan 
kayu. 
Sesudah meletakkan lampu suluh itu, Ika 
Dewi segera duduk di pembaringan, dan kemu-
dian mereka duduk berhadapan, 
Pemuda yang jujur dan sopan ini kaget dan 
cepat mencegah. 
- Aduhhh ..... jangan! Apakah..... maksud-
mu? Ayahmu bisa marah.....jika tahu kau di da-
lam kamarku ini.....- 
Ika Dewi memandang Mahisa Singkir den-
gan sepasang matanya yang bersinar. Bibir gadis 
ini tersenyum lagi, lalu jawabnya halus. 
-  Engkau tidak perlu takut maupun kha-
watir. Sebab aku datang ke kamarmu ini sudah 
sepengetahuan Ayahku ......-  
-  Untuk apa...? -  Mahisa Singkir kaget 
mendengar jawaban ini dan memandang tajam 
kepada Dewi Ika. 
Gadis ini bersenyum lagi, jawabnya, - Guna 
meninjau kesehatanmu.- 
- Ohhh.....terima kasih ...... – 
-  Ihhh.....-  Ika Dewi berseru tertahan. – 
Apakah sebabnya kau mengucapkan terima ka-
sih?- 
- Karena kau.....baik hati..... dan sudi me-
ninjau keselamatanku.....sebagai tawanan di sini 
...... - 
-  Ohhh! Engkau jangan ..... salah paham 
dan berkata seperti itu, Mahisa Singkir. Sebab ti-
dak ada maksud Ayahku untuk menempatkan 
engkau di kamar ini.- 
- Tetapi buktinya.....- 
- Ya, memang untuk sementara waktu saja. 
Selama kau belum memberi keputusan seperti 
harapan Ayah..... dan harapanku...-  
Mahisa Singkir mengangkat kepala me-
mandang Ika Dewi. Pada saat itu Ika Dewi juga 
sedang memandang Mahisa Singkir, dan dua pa-
sang mata bertaut. Lalu disusul bibir gadis ini 
menyungging senyum manis sekali. 
Diam-diam Mahisa Singkir mengakui gadis 
ini manis dan tak dapat ia cela. Disamping itu ge-
rak-geriknya pun halus, dan ucapannya pun se-
juk dan merdu dalam telinganya. Sikap dan uca-
pan gadis ini sesungguhnya menimbulkan rasa 
hormat dalam hatinya. 
Kalau saja hatinya belum terisi oleh Sar-
wiyah, bisa jadi dirinya akan terpikat oleh manis-
nya wajah gadis ini 
Mahisa Singkir menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Sesungguhnya dalam 
hati timbul pula semacam perasaan yang agak 
menyesal, mengapa dirinya menjadi jatuh cinta 
kepada Sarwiyah? Padahal ia sudah tahu, Sar-
wiyah sudah menjadi calon isteri Warigagung. 
Bukankah sesungguhnya rasa cinta yang timbul 
dalam hatinya bisa dikatakan sesat jalan? 
Banyak gadis yang masih bebas, mengapa 
sebabnya malah mencintai gadis yang sudah ber-
tunangan? Apakah hal ini kemudian hari tidak 
akan menimbulkan hal-hal yang tidak ia ha-
rapkan? 
Lebih-lebih sedikit banyak ia sudah men-
dengar watak Warigagung maupun Julung Pujud 
yang ganas dan kejam. Jika dirinya merebut Sar-
wiyah dari tangan Warigagung, apakah perbua-
tannya itu benar? 
Akan tetapi entah mengapa, rasa kesada-
rannya ini kalah pengaruh dengan keinginan ha-
tinya. Entah mengapa sebabnya, dirinya menjadi 
tergila-gila kepada Sarwiyah. Ia tidak tahu sebab-
nya, namun mungkin sekali, sebabnya ia menjadi 
tertarik adalah oleh peristiwa di luar kesengajan-
nya. Ialah akibat perjalanannya hanya berdua 
dengan Sarwiyah sampai berbulan-bulan, me-
nempuh perjalanan jauh dengan saling penger-
tian. 
Witing trisna jalaran saka kulina (sebabnya 
timbul rasa cinta oleh sebab terbiasa dalam per-
gaulan). Disamping itu mungkin juga oleh penga-
ruh kejadian pada suatu pagi, ketika ia melihat 
Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri 
dalam telaga kecil di tengah hutan waktu itu. Apa 
yang sudah ia saksikan menjadi kenangan dalam 
benaknya, tidak pernah mau diusir dan ia lupa-
kan. 
- Pandanglah aku..... Kakang.....- ujar Ika 
Dewi dengan nada halus, tetapi penuh 
permintaan. 
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya dan 
menatap Ika Dewi. Tetapi hanya sejenak saja, 
kemudian ia kembali menundukkan kepala sam-
bil menghela napas pendek. Ia merasa malu ber-
tatap pandang dengan gadis ini dalam jarak dekat 
sekali. 
- Kenapa kau malu?- tegur Ika Dewi tanpa 
rasa rikuh sedikitpun, 
Tetapi sikap yang terang-terangan ini, se-
benarnya tidak pada tempatnya bagi seorang ga-
dis. 
Namun hal ini juga perlu dimaklumi, kare-
na Ika Dewi hidup di tempat yang terasing dari 
pergaulan masyarakat luas. Maka gadis ini dalam 
menghadapi Mahisa Singkir tidak perlu merasa 
malu untuk berterus terang sesuai dengan ke-
hendak hatinya. 
Karena agak bingung menghadapi gadis 
yang berterus terang seperti ini, menyebabkan 
Mahisa Singkir gelagapan dan bingung. Jawabnya 
tidak lancar, - Ahhh ..... ohhh..... mengapa sebe-
narnya kau ini.....?-  
- Bukankah ayah sudah memberitahu ke-
pada dirimu ?- 
-  Tetapi ah..... tetapi.....aku hanyalah seo-
rang pemuda tidak berharga.....- 
- Hi hi hik,- Ika Dewi ketawa lirih. – Apakah 
sebabnya kau berkata seperti itu? Dan apa pula 
sebabnya kau merendahkan diri macam itu? Yang 
dapat menilai dirimu bukan dirimu sendiri, tetapi 
orang lain, termasuk diriku. Hemmm.....- 
Ika Dewi berhenti dan sejenak kemudian 
gadis ini meneruskan. -  Cinta kasih itu, bagiku 
tidak ditentukan oleh pangkat, kedudukan dan 
martabat seseorang. Kakang..... aku mencintaimu 
dengan sepenuh hati, sejak aku melihat kau per-
tama kali. Apakah engkau tidak merasa...?- 
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan 
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-kata 
ini, Ika Dewi menjadi lega, namun merasa malu 
juga. 
Sedang Mahisa Singkir menghela napas la-
gi, ujarnya, - Hem.....sudilah engkau memaafkan 
aku. Karena..... karena.....- 
Tiba-tiba gadis ini mengangkat kepalanya, 
menatap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu ter-
dengar ucapannya bernada sengit -  Karena kau 
sudah mencintai gadis lain, bukan ...?!- 
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangguk 
sambil menghela napas. 
- Gadis yang bersama kau itukah.....?- ma-
ta Ika Dewi berbinar, dan tiba-tiba saja bibir yang 
semula menyungging senyum itu sekarang le-
nyap. 
Mahisa Singkir menggelengkan kepalanya, 
- Manakah mungkin aku berani mencintai dia?- 
-  Jangan bohong!-  bentak Ika Dewi tiba-
tiba.  -  Huh..... tentu kau mencintai dia. Kalau 
demikian huh! Dia akan kubunuh.....!- 
-  Jangan.....!  -  teriak Mahisa Singkir yang 
menjadi amat khawatir. -  Bukan dia! Manakah 
mungkin aku berani mencintai gadis yang sudah 
menjadi calon isteri orang lain? Dia itu ..... dia itu 
calon isteri Warigagung dan calon menantu tokoh 
sakti Julung Pujud.- 
Memang tidak biasa Mahisa Singkir mem-
bohong seperti ini. Tetapi ia sadar, apabila dirinya 
berterus terang, tentu akan memancing kemara-
han Ika Dewi nan bisa jadi ancaman akan mem-
bunuh ini benar-benar dia lakukan. 
- Hemm, kau bohong.....!- hardik Ika Dewi 
dingin. 
- Tidak!- Mahisa Singkir menggeleng.    
- Jika kau tidak saling cinta dengan dia..... 
mengapa ketika kamu berdua menghadap Ayah-
ku, engkau dengan dia saling genggam jari .....?- 
- Ohh ..... itu.....itu ...... – 
- Huh! Kau dusta!- bentak Ika Dewi marah. 
- Engkau sudah saling cinta dengan gadis itu!- 
- Tidak! Oh ..... aku tidak dusta .....!- Mahi-
sa Singkir yang gelagapan membela diri. Lalu ce-
pat-cepat menekan perasaan agar hatinya tidak 
berdebaran.  -  Engkau jangan menuduh yang ti-
dak-tidak. Engkau menuduh orang ngawur bela-
ka..... – 
-  Huh! Siapa yang menuduh secara nga-
wur?- 
- Itu dalam usahaku mencegah agar dia ti-
dak bersikap kurang ajar terhadap ayahmu!- 
- Huh! Dapat berbuat apakah dia andaika-
ta berani kurang ajar di sini?- 
-  Itulah sebabnya aku melarang dia agar 
tunduk!- 
Untuk sejenak mereka berdiam diri. Kamar 
ini menjadi hening. Yang terdengar hanyalah he-
laan napas mereka berdua. 
Ika Dewi tanpa malu menatap Mahisa 
Singkir. Sebaliknya pemuda ini malah menun-
dukkan kepalanya. 
Diam-diam pemuda ini menjadi bingung 
disamping khawatir menghadapi gadis ini, yang 
sudah terang-terangan mengucapkan cintanya, 
dan malah sekarang berani berkunjung ke ka-
marnya. Kejujuran hatinya sebenarnya membe-
rontak harus berbohong. Tetapi sebaliknya iapun 
sadar, Sarwiyah dalam bahaya apabila ia berte-
rus-terang. 
- Kakang Mahisa Singkir.....- Ika Dewi me-
mecah kesepian kamar.  -  Katakanlah terus te-
rang! Siapakah gadis yang engkau cintai itu?- 
Sungguh, merupakan pertanyaan yang ter-
lalu berani bagi seorang gadis. Akan tetapi sejak 
kecil Ika Dewi memang terpisah dari masyarakat 
luas, sehingga sopan santun kurang ia ketahui. 
Gadis  ini tidak tahu, tabu bagi seorang gadis 
mengejar laki-laki, karena hal itu hanya akan 
menurunkan derajatnya atau martabatnya sendiri 
sebagai seorang gadis. 
Sebaliknya Mahisa Singkir tidak cepat da-
pat menjawab. Ia menjadi bingung sendiri dalam 
usahanya untuk memberi jawaban. 
- Lekas katakanlah. Siapa dia?- desak ga-
dis ini yang tidak sabar. 
Desakan ini menyebabkan Mahisa Singkir 
gugup. Jawabnya, - Ahhh..... anu..... anu.....gadis 
tetanggaku sendiri.....- 
- Dari desa mana?- 
- Desa Koripan.....- 
- Siapakah namanya?- 
- Suripah.....- 
- Hemm.....cantikkah.....?- 
Mahisa Singkir mengangkat kepala dan 
menatap gadis itu sejenak. Tetapi ketika bertatap 
pandang dengan Ika Dewi, maka pemuda ini le-
kas-lekas menundukkan kepalanya lagi. 
- Entahlah.....- sahutnya tanpa pikir. 
- Engkau ini aneh. Mengapa mencintai pe-
rempuan tidak dapat menyebut cantik atau ti-
dak?- 
-  Hemm.....aku tak tahu gadis itu cantik 
atau tidak. Tetapi yang jelas aku suka.....- 
- Sekarang katakan. Lebih cantik mana dia 
dengan aku?- 
Mahisa Singkir kembali terbelalak dan 
memandang wajah manis Ika Dewi sejenak. 
- Engkau .... jauh lebih cantik .....!- Tetapi 
setelah mengucapkan jawaban ini diam-diam ia 
kaget sendiri. 
-  Hi hi hik, terima kasih,- sahut Ika Dewi 
sambil ketawa senang sekali. - Apabila demikian 
jelas  di dalam segala hal, aku lebih menang di-
banding gadismu itu, bukan?- 
- Benar ...... – 
-  Dan kau akan lebih beruntung menjadi 
suamiku ...... – 
Mahisa Singkir menjadi kaget setengah ma-
ti ketika secara tiba-tiba Ika Dewi sudah menu-
bruk dan memeluk. 
Untung sekali Mahisa Singkir dalam kea-
daan sadar sepenuhnya. Bagaimanapun ia tidak 
mencintai gadis ini, sekalipun sekarang dirinya 
dalam kekuasaan ayah Ika Dewi. Maka dengan 
halus ia sudah melepaskan pelukan Ika Dewi 
sambil mendorong halus. 
- Jangan! ..... Jangan kau lakukan ..... - ce-
gahnya. 
Ika Dewi menjadi kecewa dan tidak senang 
oleh sikap pemuda ini. Maka gadis ini mendelik 
marah, lalu bentaknya, -  Huh! Engkau pemuda 
tidak tahu di untung.....! Engkau berani menolak 
aku? Huh! Apakah aku kurang cantik dan kurang 
berharga?- 
Tetapi setelah membentak, tiba-tiba saja 
gadis ini terisak-isak. Agaknya hati gadis ini men-
jadi kecewa dan marah. Sebagai gadis ia sudah 
mendahului dan berterus terang menyatakan cin-
ta kasihnya, tetapi pemuda tolol ini tidak juga 
mau tahu! 
Mahisa Singkir menjadi semakin kebingun-
gan menghadapi Ika Dewi ini. Menghadapi gadis 
yang berani dan tidak tahu malu. Karena bin-
gung, pemuda ini tidak dapat menemukan jawa-
ban yang tepat. Dan akibatnya pula pemuda ini 
hanya berdiam diri. 
-  Mahisa Singkir!-  hardik  gadis ini sengit 
dan menjadi tidak senang. - Katakanlah. Apakah 
engkau tetap menolak aku.....? – 
- Aku.....aku ...... – 
- Yang jelas! - 
Bentakan Ika Dewi ini, yang pada mulanya 
membuat Mahisa Singkir kebingungan, tiba-tiba 
menyadarkan dirinya. Sekalipun dirinya sekarang 
ini sebagai tawanan, tetapi dirinya tidak bisa di-
hina dan direndahkan orang. Lebih baik dirinya 
mati terbunuh, daripada dirinya tidak mendapat 
penghargaan sewajarnya sebagai manusia. 
- Huh! Engkau jangan menghina aku!- ben-
tak Mahisa Singkir  tiba-tiba, setelah menda-
patkan kesadarannya kembali. 
Bentakan ini menyebabkan Ika Dewi kaget 
dan terbelalak. Kemudian wajahnya merah pa-
dam. 
-  Huh! Mahisa Singkir. Boleh dibunuh te-
tapi tidak boleh dihina. Tahu?- hardiknya. - Pen-
deknya aku tidak mencintai kau! Huh, kau wanita 
tidak tahu malu! Kau gadis rendah, dan lekaslah 
enyah dari kamar ini.- 
- Kau ..... kau.....! – 
Sekarang giliran Ika Dewi yang gelagapan. 
Wajah gadis ini sekarang pucat dan ma-
tanya terbelalak. Hingga yang bisa ia ucapkan 
hanyalah seperti itu. 
- Jangan cerewet! Lekas pergi atau tidak? - 
hardiknya lagi. 
Tiba-tiba saja Ika Dewi menangis. Bibirnya 
gemetaran seperti mau mengucapkan kata-kata, 
tetapi tiada ucapan yang bisa terdengar. Dan 
mendadak gadis ini berdiri lalu ...plak plak! 
Tanpa terduga sama sekali telapak tangan 
Ika Dewi yang lumar dan halus itu sudah bersa-
rang ke pipi Mahisa Singkir. Sejenak kemudian 
gadis ini menjerit lirih lalu keluar dari kamar 
sambil berlarian. Dan gadis ini sampai lupa tidak 
membawa keluar lentera yang tadi ia bawa. 
Sebenarnya saja apabila ia mau, tidak sulit 
bagi Mahisa Singkir untuk menghindari tamparan 
gadis itu. Tetapi pemuda ini sengaja tidak mau 
menghindar, dan pipinya ia pergunakan menang-
kis tamparan dua kali itu, hingga terasa panas. 
Meskipun demikian pemuda ini tersenyum, lebih 
baik ia memberikan pipinya mendapat tamparan 
daripada gadis itu terus berusaha merayu dan 
membujuk. 
Hatinya terasa sebal dan rasa gandrungnya 
(cintanya) kepada Sarwiyah menjadi semakin 
mendalam. Perbedaan antara Sarwiyah dengan 
Ika  Dewi ibarat bumi dengan langit. Sarwiyah 
adalah gadis yang halus, sebaliknya, Ika Dewi be-
randalan. Ya, hanya sebutan berandalan ini saja 
yang tepat bagi gadis yang baru saja meninggal-
kan kamarnya itu. Sebab jika bukan gadis beran-
dalan, manakah sanggup mengucapkan cinta, 
mendahului pihak pria? Sebab bagi gadis timur 
yang tahu sopan santun, bagaimanapun akan 
menahan diri untuk tidak mendahului pihak pria. 
Setelah Ika Dewi meninggalkan kamar ta-

hanannya, Mahisa Singkir hanya menghela napas 
saja dan masih tetap duduk di pembaringan. 
Mahisa Singkir menghela napas pendek. 
Sebenarnya, sesuai dengan wataknya yang jujur 
dan sederhana, ia merasa kasihan juga kepada 
Ika Dewi yang terpaksa harus ia tolak mentah-
mentah pernyataan cintanya. Sebagai seorang 
pemuda, sebenarnya ia mengakui baik wajah 
maupun bentuk tubuh, Ika Dewi lebih menonjol 
dibanding dengan Sarwiyah. Maka kalau saja ha-
tinya belum terisi oleh Sarwiyah, mungkin dirinya 
bisa membalas cinta gadis itu. Tetapi karena da-
lam hatinya sudah terisi oleh Sarwiyah, maka ia 
memutuskan akan tetap setia kepada cintanya 
yang pertama. Apapun dan bagaimanapun yang 
akan  terjadi, hanya Sarwiyah saja yang pantas 
menjadi kekasih dan isterinya. 
-  Ahhhh .... tetapi dia calon isteri Wariga-
gung Apakah dengan perbuatanku ini tidak berar-
ti aku merebut calon isteri lain orang ? Lalu, apa-
kah yang akan terjadi kalau Warigagung sampai 
marah?- 
Terpikir demikian, mau tak mau pemuda 
ini menghela napas dan agak khawatir pula. Apa-
kah tidak memalukan apabila dirinya harus ber-
kelahi dengan Warigagung hanya karena persoa-
lan wanita saja? 
- Ahhh .....tidak boleh!- bentaknya sendiri. 
-  Ini tidak benar! Sarwiyah harus tetap 
menjadi isteri Warigagung!- 
- Akan tetapi aku.....lalu bagaimana?- bisik 
hatinya.  -  Apakah aku harus menderita akibat 
gagal mencintai wanita?- 
Mahisa Singkir menghela napas dalam lagi. 
Ketika itu seorang penjaga kamar tahanan 
masuk untuk mengambil lentera yang tadi dibawa 
Ika Dewi. Sambil memegang lentera itu, penjaga 
mendelik dan menghardik. 
- Huh! Kau berani menghina puteri junjun-
ganku? Kau akan celaka apabila penghinaanmu 
ini sampai dia laporkan kepada Gusti Mpu Ga-
luh.- 
Mahisa Singkir mengangkat kepalanya, 
memandang orang itu sejenak. Tetapi kemudian 
ia menundukkan kepalanya lagi dan bersikap 
acuh tak acuh. Sebab tidak ada gunanya ia men-
jawab maupun berbantahan dengan penjaga itu. 
Kalau toh Mpu Galuh marah, ia takkan dapat 
berbuat apa-apa. Sebab seluruh nasibnya seka-
rang ini telah ia serahkan bulat-bulat kepada De-
wata Yang Agung. 
Kalau saja ia mau, menyerang dan mero-
bohkan penjaga yang masuk kamarnya ini tidak-
lah sulit. 
Kemudian menggunakan kamar yang ter-
buka ia dapat meloloskan diri. 
Tetapi untuk apa lolos, jika Sarwiyah tetap 
menjadi tawanan di tempat ini? Tidak urung di-
rinya akan menderita dan penuh penyesalan apa-
bila gadis itu sampai celaka dalam tahanan ini. 
Bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab. Ka-
rena Sarwiyah tertawan di tempat ini tidak lain 
sedang melakukan perjalanan bersama dengan 
dirinya. Jika dirinya membiarkan Sarwiyah men-
derita, apakah yang ia lakukan ini bukan perbua-
tan pengecut? Betapa rasa sesal gadis itu, apabila 
tahu adik seperguruannya dapat lolos tanpa mau 
memberi pertolongan. 
Mahisa Singkir kembali menghela napas 
panjang. Kemudian ia teringat, lembah ini meru-
pakan lembah terasing dan hanya bisa keluar dan 
masuk lewat jalan rahasia. Manakah mungkin di-
rinya bisa lolos dengan selamat dari tempat ini? 
Guna menentramkan hatinya, ia kemudian 
kembali samadi di pembaringan untuk mene-
ruskan melatih hawa sakti. Tetapi walaupun ia te-
lah berusaha menenteramkan hati, ia gagal. Ha-
tinya tidak enak dan tidak tenteram, karena tim-
bul kekhawatiran dalam hatinya, Sarwiyah yang 
ditahan di kamar lain itu, malam ini mendapat 
kunjungan Rakit Cendana dan berusaha membu-
juk. 
Apabila yang perempuan saja, Ika Dewi ti-
dak mengenal tata santun, manakah mungkin 
pemuda itu mengenal sopan santun? 
Dugaan Mahisa Singkir memang tidak keli-
ru. 
Sebab tidak bedanya dengan Ika Dewi, ma-
ka Rakit Cendana juga telah membuka kamar 
Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Selama dua hari 
setelah Sarwiyah berhasil tertawan, pemuda ini 
menjadi tidak bisa tidur. Sebab wajah ayu Sar-
wiyah selalu menggoda dan terbayang dalam be-
naknya, menyebabkan pemuda ini amat rindu 
dan ingin menjumpainya. 
Ia merasa tidak kuasa lagi menahan hati. 
Ia ingin bertemu, ingin bercakap, ingin merayu 
dan ingin pula memeluk gadis itu. 
Akan tetapi ketika Rakit Cendana membu-
ka pintu kamar, pemuda ini menjadi kaget, meli-
hat Sarwiyah rambutnya awut-awutan, wajahnya 
pucat dan kurus. 
Mula-mula pemuda ini keheranan, kenapa 
hanya dalam waktu dua hari saja, sudah terjadi 
perubahan atas diri gadis ini? Namun setelah 
berbisik dan bertanya kepada penjaga, pemuda 
ini menjadi tahu sebabnya. Perubahan ini terjadi 
tidak lain karena selama dua hari, gadis ini mo-
gok makan. 
Gerakan Rakit Cendana yang masuk dalam 
kamar ini memang perlahan dan berhati-hati se-
kali. Menyebabkan Sarwiyah yang ketika itu se-
dang duduk di pembaringan dan memejamkan 
mata kurang perhatian, karena memang tidak 
pernah menduga malam ini Rakit Cendana akan 
datang berkunjung. Tahu-tahu si pemuda sudah 
masuk ke dalam kamar, dan menyebabkan gadis 
ini kaget dan terbelalak. 
- Kau ..... kau.....!- hanya itu sajalah yang 
keluar dari mulut Sarwiyah. 
- Ya, aku! Adik yang manis. malam ini aku 
berkunjung kepadamu,-  sahut Rakit Cendana 
sambil bersenyum, dalam usahanya untuk memi-
kat perhatian. 
- Kau.....kau.....apakah maksudmu? – 
Sarwiyah cepat melompat turun dari pem-
baringan ketika melihat Rakit Cendana meng-
hampiri. 
Memang sekarang ini wajah Sarwiyah tam-
pak pucat pasi. Pakaiannya tidak terurus, justru 
selama dua hari Sarwiyah tidak sempat mengurus 
diri dan terus saja menangis. Oleh karena itu, se-
pasang matanya merah dan agak bengkak. 
Hanya dalam waktu dua hari saja, keadaan 
gadis ini sudah jauh berbeda. Dari seorang gadis 
yang cantik dan menarik, tubuhnya padat berisi 
sekarang  menjadi  kurus. Akan tetapi sekalipun 
demikian, dalam pandangan Rakit Cendana gadis 
ini tetap cantik dan menarik. Amat memikat dis-
amping mempesona. Justru selama dua hari ini 
wajah Sarwiyah selalu terbayang dan menggoda 
benaknya dan menyebabkan pemuda ini tidak 
dapat tidur. 
- Sarwiyah, Adikku yang cantik......- 
-  Aku bukan adikmu!-  bentak Sarwiyah 
sengit, tanpa memberi waktu kepada Rakit Cen-
dana selesai mengucapkan kata-katanya. 
- Heh heh heh heh,- Rakit Cendana tertawa 
terkekeh.  Kemudian katanya, -  Ya, aku  keliru! 
Engkau bukan adikku, tetapi adalah calon isteri-
ku.....- 
- Jangan sembarangan membuka mulut! - 
Saking marahnya Sarwiyah membentak nyaring, 
sepasang matanya menyala dan dua belah tan-
gannya bertolak pinggang. 
-  Eh.....ehh..... apakah sebabnya engkau 
menjadi marah, Manisku?- 
- Sudahlah lekas enyah dari kamar ini. Aku 
tidak sudi bicara dengan engkau !- 
Sesungguhnya tidak biasa bagi Sarwiyah 
menjadi pemarah seperti ini. Karena ia adalah 
seorang gadis yang sabar, perasaannya halus dan 
tidak mudah marah. 
Perubahan dalam waktu singkat yang ter-
jadi atas diri gadis ini, tak lain adalah karena ga-
dis ini menjadi sedih berbareng penasaran, kare-
na telah ditawan dalam kamar yang sempit ini. 
Disamping itu ia telah mendengar pula, pemuda 
ini menginginkan dirinya untuk dipaksa menjadi 
isteri. 
Akan tetapi Rakit Cendana seperti tidak 
mendengar apa yang sudah diucapkan oleh Sar-
wiyah. Pemuda ini sudah duduk di pembaringan 
batu. Namun demikian perhatiannya tidak pernah 
lepas kepada Sarwiyah yang ia gandrungi itu. Wa-
jah gadis ini pucat dan tubuhnya agak kurus. 
Namun demikian tidak mengurangi kecantikan 
dan rasa terpikatnya. 
Sebaliknya Sarwiyah berdiri dengan berto-
lak pinggang, sepasang matanya yang merah itu 
bertambah merah lagi seperti mengeluarkan api. 
- Hemmm ..... engkau tak segera enyah dari 
tempat ini?- 
-  Sarwiyah, kenapa engkau aku kunjungi 
malah marah-marah seperti ini? Aku.....- 
-  Cerewet!-  potong Sarwiyah tanpa me-
nunggu selesainya ucapan Rakit Cendana. - Aku 
tidak butuh kunjunganmu. Huh, aku tahu di ba-
lik kunjungan mu ini, di balik sikapmu yang ha-
lus, engkau bermaksud kurang baik. Lagi pula 
apakah kesalahanku harus kau lawan di kamar 
yang sempit dan jorok ini? - 
- Sabarlah dahulu, dan berilah kesempatan 
aku bicara. Sarwiyah, aku akan menerangkan 
supaya kau tidak salah mengerti. Begini.....- 
Lagi-lagi Sarwiyah yang penasaran ini me-
motong ucapan Rakit Cendana yang belum sele-
sai,  -  Huh! Aku sudah tahu! Sudah, tidak perlu 
kau banyak mulut!- 
Karena ucapannya selalu dipotong Sar-
wiyah sebelum selesai, maka Rakit Cendana yang 
biasa dihormati dan dimanja ini, menjadi dongkol 
dan marah. Di tempat ini, dirinya merupakan 
anak "raja". Dirinya merupakan orang kedua sete-
lah ayahnya. Oleh karena itu biasanya orang 
akan selalu tunduk, selalu patuh dan tidak berani 
membantah, lebih-lebih  memotong kata-katanya 
yang belum selesai seperti ini, dan malah mem-
bentak. Mengapa sekarang ia tidak mendapat 
penghormatan di depan "tawanannya" ini? Padah-
al ibaratnya sekarang ini ia bisa menghitam pu-
tihkan Sarwiyah. Dirinya dapat berbuat apa saja, 
bisa menyiksa maupun membunuh. 
Teringat kedudukannya sebagai orang yang 
selalu dihormati itu, mata pemuda ini tiba-tiba 
mendelik. Mulutnya hampir saja menyemprot dan 
mencaci maki tawanannya ini. 
Akan tetapi sebelum membuka mulut un-
tuk menyemprot, tiba-tiba ia ingat kepada kepen-
tingannya terhadap gadis ini. Kalau dirinya dapat 
membujuk dan merayu, mengapa tidak melaku-
kannya, agar gadis ini mau tunduk secara halus?! 
Teringat hal ini ia kemudian menekan perasaan-
nya dan menyabarkan diri. 
- Sarwiyah, hemm, kenapa engkau menjadi 
begini dan juga tidak mau mengerti?- katanya ha-
lus.  -  Baik aku maupun Ayah tidak bermaksud 
menyulitkan kau. Sebab tujuan Ayah maupun 
aku adalah sebaliknya, dengan maksud akan 
membahagiakan kau. Sarwiyah, hem ..... engkau 
harus mau tahu bahwa di daerah ini Ayahlah 
yang berkuasa tidak bedanya seorang raja. Jika 
kau bersedia mendengar apa yang aku katakan 
ini, percayalah kau akan hidup bahagia dan seka-
lian penduduk daerah ini akan menghormati. - 
Karena Sarwiyah tidak memotong kata-
katanya, maka Rakit Cendana gembira. Setelah 
menatap sejenak, terusnya, -  Sarwiyah, dengar-
lah! Hanya kau seorang sajalah  wanita di dunia 
ini yang kucintai dan kukasihi. Maka ketika meli-
hat engkau, aku sudah tak dapat melupakan lagi 
dan jatuh cinta. Ohhhh..... Sarwiyah, dunia ini 
akan menjadi sepi tanpa engkau berada di sam-
pingku. Hidupku ini akan menjadi tidak berarti, 
dan aku akan selalu dalam kegelapan tanpa kerl-
ing mata dan senyum bibirmu. Oleh sebab itu, 
Adikku yang cantik, dengarlah jerit hatiku dan 
dengar pula detak jantungku yang selalu mengha-
rapkan.....- 
-  Sudah! Tutup mulutmu!-  bentak Sar-
wiyah tiba-tiba memotong ucapan Rakit Cendana 
yang sesungguhnya masih banyak lagi. -  Aku 
muak..... tahu? Muak melihat tampangmu dan ti-
dak sudi mendengar bujuk rayumu yang beracun. 
Hayo, kau lekas enyah dari kamar ini apa tidak? 
Huh, tidak tahu malu!- 
Wajah Rakit Cendana merah padam men-
dapat bentakan seperti itu dan sekaligus merasa 
terhina. Rasa penasaran dan mendongkol yang 
semula dapat ia tekan itu, tiba-tiba memberontak 
dan meledak. Kalau tadi apa yang ia ucapkan na-
danya halus, sekarang menjadi berubah kasar la-
gi. 
- Huh! Apa katamu? Engkau berani meng-
hina aku? Huh, sundal busuk! Sundal keparat! 
Apakah kau tidak menyadari sudah dalam kekua-
saanku dan aku bisa berbuat apa saja terhadap 
kau?- 
Pemuda ini menatap Sarwiyah dengan se-
pasang mata menyala. Tetapi Sarwiyah tidak 
menjadi gentar maupun takut. Ia masih tetap ber-
tolak pinggang, sedang mata gadis itupun mena-
tap tajam seperti mengeluarkan api. Tantangnya 
kemudian. 
- Huh! Siapa takut akan ancamanmu? Aku 
tahu baik engkau maupun ayahmu adalah manu-
sia busuk !- 
- Bedebah! Setan alas! Engkau jangan bica-
ra sembarangan!-  teriak Rakit Cendana yang ti-
dak kuasa lagi menahan ledakan kemarahannya. 
- Siapa yang dapat melarang aku membuka 
mulut? Hayo, mau bunuh silakan bunuh! Apakah 
sangkamu aku takut mati?- 
Tiba-tiba saja Rakit Cendana ketawa terke-
keh, - Heh heh heh heh, terlalu enak bagimu jika 
kubunuh begitu saja!- 
Mata gadis ini terbelalak sejenak menden-
gar ancaman itu. Bagi orang-orang seperti pemu-
da ini, ayahnya maupun para pembantunya, Sar-
wiyah sadar dan bisa menduga, akan sanggup 
melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan. 
Karena itu ia cukup maklum akan arti 
ucapan Rakit Cendana tadi, ucapan yang bisa ia 
artikan sebagai ancaman yang mengerikan. Ia sa-
dar pemuda ini akan sampai hati untuk menyiksa 
orang. 
Tetapi walaupun sadar dirinya sekarang ini 
sulit bisa lolos maupun menyelamatkan diri, ia ti-
dak mau mundur dan menyerah. Ia malu apabila 
orang menganggap takut ancaman. Maka katanya 
dingin. 
-  Hemm.....siapa takut ancamanmu? Aku 
tidak takut mati. Huh, makanlah ini!- 
Tanpa memberi kesempatan lagi, Sarwiyah 
sudah menerjang ke depan dan melancarkan pu-
kulan dan tendangan kakinya. 
Dengan gesit Rakit Cendana melompat ke 
samping menghindarkan diri. Kalau saja menu-
rutkan amarahnya, inginlah ia mencabut guna 
membalas serangan tawanannya ini. Akan tetapi 
sayang sekali, hatinya yang sudah tergila-gila ke-
pada gadis ini mencegah, sedapat-dapatnya harus 
menahan diri dan menahan tangannya dan jan-
gan sampai mencelakai gadis ini. 
Plak.....! sambaran pukulan Sarwiyah ia 
tangkis dengan tangan kiri, sedang tangan kanan 
secepat kilat sudah berusaha mencengkeram 
pundak guna menangkap. Tetapi sayang sekali 
dengan gesit, Sarwiyah sudah menghindarkan di-
ri. 
Rakit Cendana kaget dan terhuyung oleh 
cengkeramannya yang luput, sedangkan lengan 
kirinya tergetar hebat. 
Ternyata sekalipun hanya perempuan, 
Sarwiyah bukan perempuan lemah, malah tan-
gannya cukup kuat. Untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang bisa terjadi, dengan wajah me-
rah padam pemuda ini sudah siap siaga dengan 
kuda-kuda kokoh. 
Apabila diam-diam Rakit Cendana menjadi 
kaget, maka Sarwiyah menjadi lebih kaget lagi. 
Belum juga lama bergerak, tiba-tiba saja tubuh-
nya terasa lemas dan tenaganya seperti habis. 
Merasakan perubahan tubuhnya ini, baru-
lah gadis ini ingat selama dua hari perutnya ko-
song tidak terisi oleh makanan. Maka diam-diam 
timbullah rasa sesal dalam hatinya, mengapa se-
lama dua hari dirinya hanya menurutkan hati 
mendongkol dan penasaran dan menyebabkan di-
rinya mogok makan. Kalau saja dalam dua hari ia 
tidak mogok makan, tentu tenaganya tidak seperti 
sekarang ini. 
Dan celakanya lagi, disamping tubuhnya 
sekarang terasa lemas, perutnya pun tiba-tiba 
melilit-lilit minta isi. Apabila dirinya memaksa, ti-
dak urung dirinya sendiri akan roboh kehabisan 
tenaga. Apabila sampai terjadi demikian akan ce-
lakalah dirinya dalam kekuasaan pemuda yang 
sudah marah dan pada dasarnya berwatak jahat 
itu. 
Sadar akan keadaan, Sarwiyah tidak segera 
menerjang lagi melanjutkan serangannya. Sedang 
Rakit Cendana sendiri juga tidak bergerak, masih 
menunggu serangan gadis itu. 
Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri 
saling pandang dalam keadaan siaga penuh. 
Agaknya pemuda ini merasa ragu untuk membu-
ka serangannya membalas terjangan Sarwiyah 
Setiap orang yang berhadapan dengan ba-
haya tentu akan menggunakan akal dan kepan-
daiannya guna mencari daya. Demikian pula Sar-
wiyah sekarang ini sambil berdiri memutar otak-
nya guna mencari daya guna menyelamatkan diri. 
Sebenarnya apabila sama-sama dalam 
keadaan segar dan sehat, bagaimanapun ilmu ke-
saktian Sarwiyah masih di atas Rakit Cendana. 
Mana tidak mungkin pemuda ini sanggup mena-
han amukan gadis ini? Namun sekarang Sarwiyah 
dalam keadaan perut kosong, tubuhnya lemas. 
Keadaan menjadi berbalik. Apabila diteruskan, 
tentu gadis ini sendiri yang akan kalah. 
- Rakit Cendana. Apakah kau akan meng-
gunakan kekerasan dan kesewenangan terhadap 
diriku?- tanya gadis ini setelah beberapa saat la-
manya menatap pemuda itu. 
Rakit Cendana tersenyum mendengar nada 
suara Sarwiyah sudah berubah, tidak seperti tadi. 
Ia cepat bisa menduga terjadinya perubahan pada 
gadis ini. Bagi dirinya, dalam usaha menunduk-
kan gadis ini memang tidak menginginkan lewat 
kekerasan, karena sadar jalan itu tidak baik. 
Hanya kalau Sarwiyah tetap membandel, apa bo-
leh buat! Kekerasan akan ia lakukan juga, guna 
mencegah maksudnya sampai gagal memperistri 
gadis ini. 
- Adikku Sarwiyah yang ayu, apakah yang 
engkau kehendaki?- tanya Rakit Cendana dengan 
wajah yang dibuat semanis mungkin. 
-  Jawablah sejujurnya.  Engkau benar-
benar mencintai diriku ini, ataukah hanya terdo-
rong oleh nafsu kebinatanganmu?- 
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau masih belum mau percaya, Adikku manis? 
Sungguh mati, hanya Kau seorang sajalah yang 
pantas menjadi isteriku. Adikku, hanya kau seo-
rang sajalah yang dapat mengisi hidupku ini. 
Tanpa kau, hidupku selanjutnya takkan  ada ar-
tinya lagi. Hemm, apa yang kuucapkan ini meru-
pakan pencerminan hatiku yang tulus, Sarwiyah.- 
Diam-diam Rakit Cendana gembira sekali, 
lalu kakinya sudah bergeser maju untuk mende-
kati gadis itu. Sekalipun gadis ini sekarang awut-
awutan  dan wajahnya pucat, namun pengaruh 
rasa gandrungnya kepada gadis ini menyebabkan 
dalam pandang matanya semakin menarik dan 
menggiurkan. Ia merasa tidak kuat lagi menahan 
hati, dan  sekarang juga ia ingin dapat memeluk 
dan menciumi bibir indah itu. 
- Berhenti!- bentak Sarwiyah tiba-tiba. 
Dan sungguh aneh, pemuda yang biasanya 
selalu minta perhatian dan manja itu, secara tiba-
tiba menghentikan langkahnya. 
- Hemm..... tak gampang kau mencintai di-
riku - Sarwiyah berkata tandas. - Dan tidak gam-
pang pula aku percaya ucapanmu, sebelum aku 
mendapat pembuktian.- 
-  Engkau ingin bukti? Apakah kau ingin 
kubuktikan sekarang juga?-  sahut pemuda itu. 
Dan sesudah berkata ia melangkah maju sambil 
mengembangkan dua tangannya. 
- Ehhh.....tunggu! Berhenti di situ!- 
Sarwiyah menjadi kaget sekali maka seda-
pat bisa ia mencegah sambil mundur. - Bukan itu 
yang aku maksudkan. Tetapi jika benar kau men-
cintai diriku, kau harus berani bersumpah.- 
- Sumpah? Sumpah yang bagaimana?- 
-  Sumpah ya sumpah. Nanti akulah yang 
akan menuntun kau mengucapkan kata-kata 
sumpah yang harus kau ucapkan.- 
- Bagaimana     bunyi     sumpah     itu?- 
- Bagaimana bunyi sumpah itu?- 
-  Sudahlah, pendeknya kau bersedia ber-
sumpah ataukah tidak? Jika kau tidak mau ber-
sumpah dan menuruti apa yang aku inginkan, 
hemm, jangan harap kau dapat memiliki aku da-
lam keadaan masih hidup. Sebab bagiku, jika 
engkau tidak mau menurut, lebih baik aku mati 
daripada harus melayani kau sebagai suami. Ka-
renanya tanya kau lain di mulut dan lain di hati.- 
Untuk beberapa jenak lamanya Rakit Cen-
dana tidak membuka mulut dan menjawab. Se-
bab ia harus berpikir lebih dahulu sebelum men-
jawab, karena ia khawatir sampai tertipu. 
Ia justru seorang licik. Karena itu ia men-
dengus dingin, ujarnya, -  Huh, engkau jangan 
mencoba menipu aku.- 
-  Siapakah yang akan menipu kau? Huh, 
aku menginginkan agar kau bersumpah, bukan 
menipu! Tetapi ..... sudahlah! Tak mau bersum-
pah, silakan! Hanya saja kau jangan mengha-
rapkan lagi dapat memiliki diriku dan masih da-
lam keadaan hidup!- 
Sarwiyah kemudian membalikkan tubuh. 
Namun diam-diam selalu siap siaga menghadapi 
serangan Rakit Cendana yang tidak terduga. 
Melihat Sarwiyah menjadi ngambek, Rakit 
Cendana menjadi khawatir. Ia sudah terlanjur ja-
tuh hati kepada gadis ini, Apakah salahnya untuk 
memikat perhatian Sarwiyah dengan cara menga-
lah sedikit? 
-  Baiklah! Aku setuju dengan syaratmu,- 
akhirnya pemuda ini menyetujui, kemudian me-
langkah maju guna mendekati gadis ini. 
Sarwiyah melompat ke samping, hardiknya, 
- Rakit Cendana! Jika engkau benar-benar men-
cintai diriku, kau harus tunduk kepadaku. Berdiri 
di situ dan jangan mendekati sebelum kau men-
gucapkan sumpahmu! – 
Rakit Cendana meringis dan terpaksa men-
galah.  -  Baiklah, lekas katakanlah sumpah itu 
dan akan ku tirukan.- 
- Tetapi kau benar bersedia?- 
- Lekas katakanlah!- 
-  Aku bersumpah, demi Dewata Yang 
Agung, yang menguasai bumi dan langit ini.....- 
Dan seperti beo belajar bicara, Rakit Cen-
dana menirukan. 
-  Aku bersumpah, demi Dewata Yang 
Agung, yang menguasai bumi dan langit.....- 
- Demi cinta kasihku kepada seorang gadis 
bernama Sarwiyah, maka sebagai pembuktian 
cinta itu, aku harus selalu mendengar dan mema-
tuhi apa yang dikatakan oleh gadis itu.....- 
- Ehhhh.....mengapa begitu?- Rakit Cenda-
na tidak segera menirukan tetapi membantah. - 
Aku tidak sudi menirukan kata-katamu sebagai 
sumpah, apabila kau akan menjerumuskan diriku 
kepada kesulitan. Bukankah dengan selalu men-
dengar dan mematuhi apa yang kau katakan, 
engkau dapat menyalahgunakan sumpah itu?- 
Sarwiyah mendelik tidak senang. Hardik-
nya, - Huh! Sangkamu aku ini orang macam apa 
hingga engkau berani menduga seperti itu? Huh! 
Aku tidak akan memaksa kau. Dan kau tidak 
mau bersumpah, itu adalah hakmu dan aku tidak 
dapat memaksa. Tetapi sekarang cepatlah kau 
meninggalkan kamar ini!- 
-  Ohhhh.....ehhh.....mengapa kau menjadi 
begitu dan cepat marah?- 
- Hemm, siapakah yang tidak menjadi ma-
rah jika kau mencurigai aku yang tidak-tidak? 
Huh! Jika kau tidak mau, akupun tidak akan 
memaksa.- 
- Tetapi bagaimanakah jika kau menyalah-
gunakan sumpah itu, apakah tebusanmu?- 
- Hemm, dengarkan baik-baik. Apabila aku 
sampai menyalahgunakan sumpah ini, mudah-
mudahan Dewata Yang Agung akan menghukum 
dan mengutuk diriku. Dan setelah aku mati, akan 
menjadi setan gentayangan. Nah, bukankah sum-
pahku ini juga berat? Sebaliknya sumpah ini pun 
akan berlaku pula bagi kau. Apabila kau berani 
melanggar sumpahmu, kau akan mendapat kutu-
kan Dewata Yang Agung, dan setelah kau mati 
akan menjadi setan gentayangan. – 
-  Baik, baik! Aku setuju  sekarang!-  sahut 
Rakit Cendana dengan wajah berseri dan bibir 
bersenyum. Kemudian ia sedia menirukan apa 
yang tadi sudah diucapkan oleh Sarwiyah 
Dan Sarwiyah menjadi gembira sekali 
mendengar sumpah pemuda ini. Lalu berlindung 
kepada sumpah yang telah diucapkan Rakit Cen-
dana sendiri, sekarang dirinya akan dapat men-
gusir Rakit Cendana dari kamar ini secara halus. 
-  Terima kasih Rakit Cendana, ternyata 
kau memang pemuda baik.- 
-  Tentu saja,-  katanya bangga. -  Aku me-
mang pemuda baik. Maka engkau akan menjadi 
isteriku dan kita akan hidup bahagia.- 
Sambil berkata pemuda ini yang gembira, 
segera melangkah maju, ingin sekali bisa meme-
luk dan menciumi pipi dan bibir merekah gadis 
itu. 
Sarwiyah cepat memperingatkan, -  Demi 
sumpahmu, kau jangan maju mendekati aku.- 
Rakit Cendana terbelalak, tetapi kakinya 
berhenti melangkah juga, karena takut kepada 
sumpah yang sudah ia ucapkan. Sudah tentu ia 
tidak ingin setelah mati dirinya menjadi setan 
gentayangan. 
Dan Sarwiyah mulai menggunakan penga-
ruh sumpah itu. Namun sesuai dengan watak dan 
tabiatnya yang halus, dalam mengucapkan kata-
katanya inipun, nadanya halus dan enak terden-
gar. 
- Kakang Rakit Cendana!- gadis ini sengaja 
sudah menggunakan "Kakang". Hal ini dengan 
maksud agar pemuda ini tidak menjadi curiga 
dan ia dapat menyelamatkan diri dari tindak ke-
kerasan. 
Dan ternyata pancingannya ini berhasil 
baik sekali karena pemuda ini menjadi senang 
sekali, lalu terkekeh gembira. 
-  Kakang Rakit Cendana, karena engkau 
ternyata seorang pria yang baik dan suka menu-
ruti apa yang aku inginkan, maka terus terang 
aku katakan pada dirimu, bahwa sebenarnya 
akupun .....cinta kepada dirimu.....-  
Dalam mengucapkan "cinta" ini, sesung-
guhnya bibir Sarwiyah hampir mogok tidak mau 
bergerak. Tetapi demi keselamatan dan dalam 
usaha menghindarkan diri dari kekerasan, ter-
paksa ia menghibur diri. 
-  Aduh biyung..... aduh biyung.....heh heh 
heh heh, terima kasih ..... Adikku yang manis ...... 
–  
Saking hatinya gembira, pemuda ini ber-
jingkrakan lalu bermaksud menubruk Sarwiyah. 
- Ihhh! Dengar dulu!- Sarwiyah cepat men-
cegah sambil menghindar, 
-  Kenapa? Bukankah kau mencintai aku 
juga? Heh heh heh heh.....- ujarnya. 
- Benar. Tetapi dengar dulu!- 
- Marilah Sarwiyah, kita buktikan cinta ka-
sih kita bersama. Aku akan memeluk kau dan 
aku akan memberi hadiah ciuman mesra.....- 
Wajah Sarwiyah menjadi merah mendengar 
ucapan Rakit Cendana ini. Akan tetapi ia cukup 
sadar apabila dirinya sampai lupa dan bersikap 
kasar sedikit saja, pemuda ini akan curiga, se-
hingga usahanya yang sudah hampir berhasil bi-
sa gagal total. 
-  Ingatlah Kakang Rakit Cendana, engkau 
harus menurut dan mau mendengar peringatan-
ku,- ia memperingatkan tetapi ucapannya halus. - 
Kakang, kau harus mau mengerti takkan lari gu-
nung dikejar. Secara terus terang tadi sudah aku 
katakan, akupun mencintaimu  sepenuh hatiku. 
Lambat atau cepat, aku dan kau akan menjadi 
suami isteri! Tetapi apakah sebabnya kau menjadi 
kurang sabar? Cinta yang suci tidak boleh terko-
tori oleh dorongan nafsu yang merusak. Apakah 
engkau bisa mengerti, Kakang?- 
Walaupun sebenarnya Rakit Cendana me-
rasa kecewa, ia terpaksa mengangguk setuju. Se-
bab ia sudah kalah janji, seperti sumpah yang 
sudah ia ucapkan sendiri. 
- Nah, memang tidak salah dugaanku eng-
kau memang pemuda baik hati dan baik budi. 
Engkau memang pemuda yang pantas menjadi pi-
lihan  setiap wanita, karena ternyata kau pandai 
memegang sumpahmu sendiri. Sekarang dengar-
lah kataku, dan kata-kataku ini tidak boleh kau 
bantah maupun kau langgar. Jika kau sampai be-
rani melanggar, engkau bakal dikutuk oleh Dewa-
ta Yang Agung dan kau akan menjadi setan gen-
tayangan – 
-  Ya.....ya.....aku tak ingin jadi setan gen-
tayangan.-  Rakit Cendana menjawab sambil 
menghela napas pendek. 
- Bagus!- puji Sarwiyah untuk menggembi-
rakan pemuda ini. -  Sungguh gembira hatiku, 
Kakang, kau mau mengerti. Sekarang aku minta 
kepada kau agar mau bersabar, menunggu sete-
lah tiba saatnya kita kawin. Katakanlah kepada 
ayahmu, aku setuju kawin dengan kau, sebulan 
lagi. - 
- Ihhh! Apakah sebabnya begitu lama? Se-
baiknya esok hari saja perkawinan itu kita laku-
kan.- 
- Sebulan lagi, Kakang. Dengar kataku, se-
bulan lagi! Apakah engkau akan melanggar sum-
pahmu sendiri, dengan membantah kehendak-
ku?- 
-  Ahhh, tetapi sebulan itu terlalu lama, 
Adikku,- ratapnya. - Kalau begitu, sebaiknya satu 
minggu lagi saja.- 
- Aku bilang satu bulan, tidak bisa kurang. 
– 
- Setengah bulan saja ah.....setuju kan, se-
tengah bulan? Adikku yang manis, aku minta se-
tengah bulan lagi.- 
Rakit Cendana masih berusaha membujuk 
dan setengah meratap. 
-  Tidak! Harus satu bulan lagi!-  Sarwiyah 
kokoh pada pendiriannya. 
-  Ahhh, kenapa kau ini? Adikku, apakah 
kau belum pernah pergi dan berbelanja ke pasar? 
Di pasar banyak kali terjadi tawar-menawar. Satu 
pihak menurunkan harga yang diminta semula 
sedang pihak lain  menaikkan tawarannya. Ehh, 
Sarwiyah, dari satu hari, kemudian satu minggu 
dan sekarang naik setengah bulan, teta-
pi.....kenapa kau tidak juga mau turun? Aku min-
ta belas kasihanmu, Adikku, hendaknya kau mau 
mengurangi lagi, jangan sebulan ...... – 
Geli tetapi juga mendongkol hati gadis ini 
mendengar ucapan Rakit Cendana ini. Kenapa da-
lam persoalan ini Rakit Cendana menggunakan 
contoh orang yang jual beli di pasar? Akan tetapi 
ia juga bukan orang tolol. Ia tahu pasti, apabila 
dirinya tetap pada pendirian salah-salah bisa me-
nimbulkan kecurigaan. Untuk ini sekalipun tera-
sa berat, akhirnya ia mengurangi juga. 
- Baiklah! Sekarang aku kurangi satu hari.! 
Jadi, duapuluh sembilan hari lagi.- 
-  Ahhh, kenapa kau pelit? Jangan hanya 
sehari ahh, aku minta kurangilah sepuluh hari. 
Jadi, kita kawin dua puluh hari lagi? – 
- Hemm, pendeknya kau mau menurut aku 
apa tidak? Dalam hal perkawinan, pihak pria ha-
rus mau menuruti kemauan pihak wanita. Seka-
rang inipun demikian pula, kau harus mau mene-
rima. Dan apabila kau tidak mau menerima, apa-
kah engkau akan melanggar sumpahmu sendiri? 
Bukankah waktu yang hanya sebulan kurang se-
hari Itu tidak lama?- 
Rakit Cendana tidak cepat membuka mu-
lut. Pemuda ini menundukkan kepala beberapa 
saat lamanya. Dan ketika mengangkat kepalanya 
ia menghela napas panjang. 
- Bagaimana?- 
Rakit Cendana tergagap. Kemudian ia 
mengangguk sambil menjawab, - Hemm, baiklah! 
Aku terpaksa setuju permintaanmu. Tetapi..... – 
- Tetapi apa .....?- 
- Jika aku menuruti apa yang kau katakan, 
maka sekarang akupun minta agar kau sudi me-
nuruti apa yang kuminta.- 
- Tidak mungkin! Kau harus ingat, kau te-
rikat sumpah, sebaliknya aku tidak!- 
-  Tetapi aku mohon.....Sarwiyah, aku mo-
hon - 
Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri ber-
lutut di depan Sarwiyah. Lalu dengan sepasang 
matanya yang tak berkedip, ia meneruskan, - Aku 
mohon, untuk mengobati kerinduanku padamu, 
izinkanlah aku memeluk dan menciummu.- 
- Ihhhh.....! - 
Kaget juga gadis ini mendengar permintaan 
itu. Sebagai seorang gadis yang masih suci murni, 
ia menjadi malu dan pipinya berubah kemerahan. 
Namun Sarwiyah takkan sedia menuruti 
permintaan ini.  Permintaan duapuluh sembilan 
hari lagi bukan lain dalam usahanya mengulur 
waktu dan bukannya mencintai pemuda ini. Da-
lam hati ia berharap agar dalam waktu yang cu-
kup panjang itu datanglah pertolongan hingga 
dapat membebaskan dirinya dari tempat yang ti-
dak menyenangkan ini. 
Dan sesungguhnya saja mendengar per-
mintaan Rakit Cendana ini, Sarwiyah menjadi 
marah dan ingin sekali menampar mulut lancang 
ini. Namun perasaannya ini ia tekan, kemudian 
katanya halus. 
-  Kakang, kenapa engkau menjadi tidak 
sabaran seperti ini? Engkau adalah pemuda tam-
pan, pemuda berbudi dan hanya kau seorang saja 
yang aku cintai. Apakah kau ingin membuat hati-
ku menjadi kecewa?- 
- Ahhh ..... ahhh .....sudahlah, jika kau ti-
dak mau, tidaklah mengapa .....-  jawab pemuda 
ini gugup, khawatir jika gadis pujaan kati ini 
menjadi kurang senang hatinya. -  Ya, duapuluh 
sembilan hari lagi. Tetapi.....setelah kita kawin, 
tentunya kau tidak menolak lagi, bukan?- 
- Hemm, sudahlah! Kita telah cukup! Seka-
rang kau harus meninggalkan kamar ini agar aku 
dapat mengaso.- 
-  Tetapi..... tetapi aku akan minta kepada 
Ayah, agar kau mau pindah kamar. Kau harus 
aku tempatkan di kamar yang sepadan sebagai 
calon pengantin wanita yang terhormat.- 
- Sudahlah, hal itu tak perlu lagi kau pikir-
kan. Aku sudah kerasan di dalam kamar ini, ka-
rena memang lebih cocok. Yang penting sekarang 
keluarlah dari kamar ini, aku sudah mengantuk 
dan ingin tidur.- 
- Jika kau memang mengantuk, silakan ti-
dur. Aku akan menjagamu agar tidak ada lalat 
maupun nyamuk yang mengganggu dirimu.- 
- Hush! Sekalipun tidak kau jaga, nyamuk 
dan lalat tidak dapat masuk ke dalam kamar ini. 
Sudahlah, sekarang kau harus pergi. – 
Rakit Cendana masih berusaha mencari 
alasan lagi, supaya dapat lebih lama dalam kamar 
ini. Bujuknya, - Aku sudah menurut dan menye-
tujui waktu duapuluh sembilan hari seperti yang 
kau minta. Tetapi kenapa kau demikian pelit dan 
tidak bersedia memberi kesempatan kepada diri-
ku untuk lebih lama dalam kamar ini?- 
Agak kewalahan juga Sarwiyah menghada-
pi Rakit Cendana yang keras kepala ini. Namun ia 
tidak kekurangan akal, sahutnya, -  Bukannya 
aku pelit, Kakang. Tetapi semua ini dalam usaha 
menjaga nama baik masing-masing. Kau putra 
mahkota raja yang berkuasa di daerah ini dan se-
baliknya aku seorang gadis yang masih suci. Ma-
nusia di dunia ini ada yang dengki dan ada yang 
baik. Nah kalau yang melihat kau masuk kamar 
ini, yang dengki dia bisa memfitnah kita dengan 
tuduhan buruk. Bagaimanakah kita akan me-
nangkis, kalau ada tuduhan kita telah berbuat ti-
dak senonoh di kamar ini? Tidak urung kau dan 
aku sendiri yang menjadi malu, bukan?- 
- Siapakah yang berani berbuat seperti itu? 
- Rakit Cendana membelalakkan matanya. - Jika 
orang itu masih kepengin hidup, takkan mungkin 
berani menuduh aku dan dirimu berbuat tidak 
senonoh. Nah, karena itu kau tidak perlu khawa-
tir dan takut, Adikku.- 
- Tidak!- Sarwiyah membentak. - Pokoknya 
sekarang juga kau harus meninggalkan kamar 
ini. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur. 
Hemm, masih banyak waktu untuk kita gunakan 
bertemu.-Akhirnya Rakit Cendana terpaksa men-
galah. Namun demikian hatinya sudah mene-
tapkan, esok malam ia akan menggunakan cara 
lain agar Sarwiyah dapat ia tundukkan dengan 
mudah. Ia sudah tidak kuasa lagi menahan ha-
tinya yang gandrung. 
Apa yang akan terjadi? Rakit Cendana 
akan mencampur obat yang selalu berhasil me-
nundukkan siapapun, yang menjadi andalan ke-
rajaan terasing ini. Ia merasa pasti Sarwiyah men-
jadi lupa daratan dan menyerah. 
Pikiran Rakit Cendana ini sejalan dengan 
pikiran Ika Dewi yang juga tidak kuasa menahan 
hatinya lagi kepada Mahisa Singkir. Ia takkan 
puas sebelum dapat menundukkan pemuda itu. 
Benarkah rencana kakak beradik ini ber-
hasil? Ikutilah buku baru yang akan terbit, berju-
dul "JANGAN KAU SIKSA HATIKU". Percayalah 
buku baru ini takkan mengecewakan hati Anda, 
karena cerita dalam buku baru ini lebih menarik 
dan mengesankan. Antara lain akan anda jumpai 
adegan seperti di bawah ini. 
..... Mpu Galuh mengerutkan alis dan me-
natap tajam kepada anaknya, - Apa katamu?- 
Ika Dewi langsung menubruk dan memeluk 
ayahnya. Gadis ini tidak peduli kepada orang lain, 
lalu berkata tidak lancar. 
- Ayah ..... aku sudah mencampurkan obat 
racun.....Kemudian dia.....dan aku sudah menjadi 
suami-isteri.....Ayah ... tetapi ahh, aku tadi terti-
dur.....Ketika aku terjaga.....Kakang Mahisa Sing-
kir sudah tidak ada lagi...... 
Mpu  Galuh mendorong pundak Ika Dewi 
secara kasar. Ika Dewi terhuyung kemudian jatuh 
terduduk. 
- Ayah... kenapa kau.....?- protes Ika Dewi 
sambil melompat bangkit. Wajah yang sudah pu-
cat itu tampak lebih pucat lagi. - Ayah.....kau..... 
kau tega kepada anakmu sendiri .....? Aku kehi-
langan suamiku ..... Ayah tidak menghibur..... te-
tapi malah marah-marah...... 
..... Julung Pujud terbelalak untuk sejenak 
kemudian terkekeh dan berkata, -  Heh heh heh 
heh, apakah yang akan kau lakukan di sana?- 
- Jika Guru berhadapan dengan Gajah Ma-
da, apakah murid tidak dapat berhadapan dengan 
yang lain? Hemm, biarlah Guru tahu, murid bu-
kan seorang penakut. Murid akan memilih salah 
seorang pembantu Gajah Mada yang paling sakti!- 
-  Jika kau sampai tak mampu melawan, 
apakah jadinya?- 
- Bukankah taruhannya hanya mati? Apabila toh 
murid tewas dalam perkelahian itu, bu-
kankah murid akan mati dengan puas? Murid 
mati membela nama baik Kakek mertua, dan da-
lam usaha membalaskan sakit hati keluarga ...... 
Nah para Pembaca Yang Baik, silakan 

mengikuti cerita baru berjudul "JANGAN KAU 
SIKSA HATIKU", segar, mengesankan dan mena-
rik. 
  
s e l e s a i 
Sala, pertengahan Mei 1987 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com