Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 9 - Terkurung di Perut Gunung(2)


Makin lama gerak pedang Dewi Sri Tanjung 
memang menjadi semakin cepat. Pedang itu sen-
diri seperti lenyap, dan tinggal sinar biru yang 
bergulung-gulung  tidak pernah putus. Berkali-
kali Damar Seto maupun Guna Praya telah beru-
saha menembus gulungan sinar biru tersebut, te-
tapi ternyata selalu gagal. 
Pada saat mereka sedang saling mengerah-
kan kepandaian  dan tenaga untuk mematahkan 
daya serang lawan ini, tiba-tiba terdengar benta-
kan nyaring. 
— Lepas!—  
Trang trang . . .! 
Dua orang pemuda ini melompat mundur 
dengan wajah pucat dan keringat dingin memban-
jiri tubuh. Apa yang terjadi memang diluar du-
gaan mereka sendiri. Golok itu mendadak menjadi 
ringan dan ternyata yang masih terpegang oleh 
tangan tinggal sepertiga saja, sebab yang dua per-
tiga bagian di ujung sudah menggeletak di tanah. 
Masih untung Dewi Sri Tanjung sejak kecil 
sudah terdidik secara baik oleh gurunya, Ki ageng 
Tunjung Biru. Maka setelah melihat senjata lawan 
terbabat putus oleh ketajaman pedang pusa-
kanya, ia menghentikan serangannya dan berdiri 
sambil  tersenyum. Kalau saja gadis ini mau 
menggunakan kesempatan pada saat lawan kaget, 
apakah mungkin dua pemuda ini masih hidup?  
- Hemm, bagaimana?— tanya gadis ini. — 
Jika kamu memang masih membandel dan tak 
mau mengakui keunggulanku, ambillah senjata-
mu yang lain. Aku, Dewi Sritanjung tidak akan 
gentar berhadapan dengan orang-orang macam 
kamu!— 
Dua orang pemuda ini wajahnya merah 
padam saking merasa terhina oleh ucapan gadis 
ini. Selama ini mereka malang melintang di wi-
layah sekitar Gunung Kelud, dan selalu keluar 
sebagai pemenangnya apabila berhadapan dengan 
lawan. Namun mengapa hari ini mereka harus si-
al dan menderita malu? Tidak sanggup hanya 
berhadapan dengan seorang perempuan? 
Tiba-tiba  Guna Praya membentak lantang, 
-  Huh, jangan sombong dan jangan mengumbar 
mulut besar di depan Guna Praya dan Damar Se-
to! Huh, kau takkan dapat keluar dari wilayah ini 
masih dalam keadaan bernyawa, apabila kau te-
tap membandel dan tidak mau tunduk kepada 
kami. Huh, kami bersikap mengalah, ternyata kau 
malah menjadi sombong.— 
- Hi hi hik, tidak tahu malu!- ejek Dewi Sri-
tanjung. — Bukti sudah ada, engkau masih juga 
bermulut besar.— 
Telinga Damar Seto merah mendengar 
ucapan mengejek dan merendahkan itu. Menda-
dak ia telah mencabut sumpitan yang semula ter-
selip di pinggang. Lalu secepat kilat sumpitan itu 
diisi dengan peluru tanah liat yang beracun. 
Ujung sumpitan itu sudah menyentuh bibir dan 
siap guna membidik gadis ini. 
Sumpitan yang terbuat dari buluh ini ju-
stru lebih berbahaya daripada senjata golok me-
reka. Sebab di samping dengan sumpitan mereka 
akan dapat menyerang lawan dari jarak jauh, pe-
luru itupun berbahaya sekali. Sekalipun peluru 
tersebut tidak menimbulkan luka dan tidak begi-
tu sakit, namun akan dapat menyebabkan nyawa 
melayang karena tanah liat itu beracun. 
Dan racun inipun bekerja amat cepat, se-
hingga dalam waktu setengah hari saja akan te-
was apabila tidak mendapat obat pemunah racun 
dari murid dan guru ini. 
Tetapi karena Dewi Sritanjung belum luas 
pengalaman, maka gadis ini tidak menyadari ba-
haya dari peluru sumpitan ini Ia malah tertawa 
cekikikan dan mengejek. 
- Hi hi hik, siapa yang takut kepada mai-
nan kanak-kanak itu? Huh, tidak lekas enyah da-
ri depanku, apakah kamu masih menunggu aku 
turun tangan lebih keras?—  
Hampir saja Damar Seto sudah membidik-
kan peluru itu. Tetapi untung tiba-tiba terdengar 
bentakan halus, — Damar! Tunggu!— 
Damar Seto urung membidik dan menu-
runkan senjatanya, lalu disusul oleh berkelebat-
nya bayangan orang yang cepat sekali, tahu-tahu 
sudah berdiri di depan mereka. 
Dewi Sritanjung membelalakkan mata keti-
ka melihat munculnya seorang kakek kurus ker-
ing dengan perut buncit, tanpa baju pula.  
Mendadak saja gadis ini terkekeh saking 
geli, karena bentuk tubuh kakek ini memang lucu 
tetapi juga membuat orang merasa iba hati. Kare-
na orang akan segera menduga kakek ini seorang 
penderita penyakit cacing. Tentu kakek ini tinggal 
menunggu saat ajal datang. 
— Hi hi hik, kakek cacingan datang kemari 
mau apa? Yang gagah dan muda saja tak sanggup 
melawan aku, apakah engkau datang untuk men-
cari mampus?— 
Akan tetapi Klinthung Waluh tidak marah 
mendengar ejekan ini dan malah tersenyum, ke-
mudian bertanya, — Bocah, siapakah engkau ini 
dan siapa pula gurumu, berani sembarangan 
membuka mulut dan berkeliaran di tempat ini?— 
—  Hi hi hik, apakah maksudmu bertanya 
nama dan Guruku? Sudahlah, engkau jangan 
ikut campur, Kek. Aku tak sampai hati kepada 
Kakek yang sudah sakit.— 
—  Heh heh heh heh.—  Klinthung Waluh 
terkekeh saking geli, mendengar kesombongan 
bocah ini — Hemm, engkau bocah ingusan yang 
tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan. 
Hemm, baru memiliki kepandaian sedangkal itu 
engkau sudah menjadi congkak, sombong dan tak 
pandai menghargai orang tua.— 
Klinthung Waluh berhenti dan mengamati 
gadis itu. Lanjutnya, —  Bocah, apakah engkau 
tahu bahwa aku ini yang terkenal dengan nama 
Klinthung  Waluh,  penghuni Gunung Kelud 
ini?— 
Celakanya Dewi Sritanjung memang belum 
pernah kenal dan juga belum pernah mendengar 
nama tokoh ini, maka nama besar kakek sakti ini 
tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Gadis ini 
malah ketawa cekikikan dan mengejek lagi. 
— Huh, tidak peduli dengan Klinthung Se-
mangka atau Klintung Timun. Pendeknya orang 
yang berani mengganggu diriku, huh, rasakan ta-
jamnya pedangku ini.— 
Klinthung Waluh mengurut-urut jenggot 
kambingnya dalam usaha menekan amarah da-
lam dada, diejek demikian rupa oleh bocah ingu-
san ini. Ia masih mempunyai harga diri, malu 
apabila harus melayani bocah ini dengan kekera-
san. Oleh sebab itu hatinya segera memutuskan, 
untuk merobohkan gadis ini dengan pengaruh Aji 
"Netra Luyub". 
— Anak baik, sekarang sudah sore. Engkau 
sudah mengantuk, kenapa engkau tidak lekas ti-
dur?- 
Dan kemudian yang terjadi adalah aneh 
sekali. Dewi Sritanjung yang semula penuh se-
mangat dan mengejek itu, tiba-tiba saja menguap 
dan berkata lirih, — Benar, aku sudah mengan-
tuk. Sebaiknya aku lekas tidur saja — 
Setelah berkata demikian Dewi Sritanjung 
segera merebahkan diri untuk tidur di atas tanah 
berdebu. 
Melihat gadis ini sudah terpengaruh oleh 
Aji "Netra Luyub" dari gurunya, Guna Praya dan 
Damar Seto sudah melompat ke depan guna sal-
ing berebut untuk dapat menangkap gadis yang 
tidur diluar sadarnya itu.  
Akan tetapi sebelum dua pemuda itu ber-
hasil menyentuh tubuh Dewi Sritanjung, me-
nyambarlah angin yang halus namun kuat sekali. 
Brukkk...! Tiba-tiba saja kakak-beradik se-
perguruan ini bertubrukan keras. Kepala mereka 
saling beradu, dan akibatnya kepala mereka 
mendadak  pening, pandang mata gelap dan sa-
kitnya bukan main. 
—  Aduhhhh...!—  mereka memekik hampir 
berbareng, kemudian terhuyung sambil mende-
kap kepala masing-masing yang seperti pecah. 
Klinthung Waluh terbelalak kaget berba-
reng keheranan. Tetapi belum juga hilang rasa 
kaget dan herannya, tiba-tiba muncullah di samp-
ing Dewi Sritanjung yang sudah tertidur itu, seo-
rang kakek bertubuh tinggi besar.  
Entah berumur berapakah kakek ini me-
mang sulit ditaksir. Kumis dan jenggotnya sudah 
putih semua seperti perak, membuktikan  me-
mang sudah, amat tua. 
Mungkin umur kakek ini sudah lebih tujuh 
puluh lima tahun. Tetapi sekalipun rambutnya 
sudah putih, tubuh kakek ini masih gagah. Kulit 
tubuhnya masih belum berkeriput, sinar matanya 
menunjukkan wataknya yang sabar, agung dan 
berwibawa. Akan tetapi mata kakek ini, siapapun 
yang bertatap pandang akan cepat mengalihkan 
pandang matanya. Sebab sepasang mata itu ber-
sinar tajam sekali dan mengandung pengaruh 
yang mukjizat. 
—  Siapa kau!—  bentak Klinthung Waluh. 
Matanya mendelik, tetapi ketika bertatap pandang 
dengan kakek itu, Klinthung Waluh menjadi ka-
get. 
—  Hemm, Klinthung Waluh. Tentu saja 
engkau tidak kenal aku tapi sebaliknya aku tetap 
masih mengenal kau. Hal ini tidak mengheran-
kan, karena namamu memang amat termasyur 
dan menggetarkan penjuru jagad!— sahut kakek 
ini dengan nada memuji di samping merendahkan 
diri. 
— Heh heh heh heh, aku tidak membutuh-
kan pujianmu!- hardik Klinthung Waluh. — Lekas 
katakanlah siapa kau dan apa pula maksudmu 
mengganggu urusan kami?— 
Pada saat itu muncullah kemudian dua 
orang muda, seorang laki-laki dan perempuan. 
Mereka ini kemudian berdiri di belakang kakek 
itu, namun mereka seperti tidak peduli kepada 
Klinthung Waluh dan muridnya. Perhatian mere-
ka malah tertuju kepada Dewi Sritanjung. Si gadis 
tak kuasa menahan diri lalu menyentuh kakek itu 
dan berkata. 
— Kakek, bangunkanlah dahulu gadis itu. 
Kasihan dia tidur di tanah dan pakaiannya ko-
tor.— 
Kakek itu tersenyum, jawabnya, — Biarkan 
dulu dia tidur dan mengaso. Hanya jaga sajalah 
agar tidak seorangpun   berani mengganggu.— 
Kemudian kakek ini menatap kembali ke-
pada Klinthung Waluh. Jawabnya, — Hemm, ka-
rena kau mendesak, biarlah sekarang aku mem-
perkenalkan namaku dan juga dua bocah ini. Te-
tapi tentu saja namaku tidak mempunyai arti 
apa-apa bagi dirimu, yang terkenal sakti mandra-
guna. Ya, aku ini hanya seorang petani dari Desa 
Kepakisan, Kediri. Dan kemudian orang menjadi 
terbiasa menyebut diriku ini dengan nama Mpu 
Kepakisan, hingga kemudian nama ini lalu kupa-
kai sampai sekarang. Hemm, adapun dua bocah 
ini yang laki-laki bernama Rangga Pramana. Bo-
cah ini juga tidak mempunyai arti apa-apa pula 
bagi tiap orang. Namun ayahnya, adalah Mahapa-
tih Majapahit bernama Gajah Mada. Sedang bo-
cah perempuan ini tidak lain adalah cucuku sen-
diri bernama Ratih.— 
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu per-
lahan dan jelas. Agaknya mempunyai maksud 
agar sekali menerangkan, sudah cukup. 
Akan tetapi walaupun keterangan ini dibe-
rikan secara perlahan, sudah menyebabkan Klin-
thung Waluh kaget setengah mati seperti disam-
bar oleh petir. Karena nama Mpu Kepakisan amat 
termasyur dan dihormati oleh setiap orang, seba-
gai tokoh sakti pada jaman kini. Dan sekalipun 
rumahnya di Kepakisan Kediri, yang cukup jauh 
dengan Ibukota Majapahit, namun telah dikenal 
orang sebagai salah seorang pembantu Gajah Ma-
da yang setia, dan termasuk pula sebagai seorang 
yang banyak jasanya bagi Majapahit. 
Tetapi sekalipun Klinthung Waluh kaget, ia 
berusaha menutupi perasaannya dengan keta-
wanya yang terkekeh. 
— Heh heh heh heh, sungguh mujur hari 
ini aku dapat berhadapan dengan Mpu Kepakisan 
yang terkenal sakti mandraguna. Maka terimalah 
hormat dari Klinthung Waluh.— 
Dan benar juga. Klinthung Waluh sudah 
ngapurancang (menempatkan dua telapak tangan 
di depan perut) sambil membungkuk seperti la-
zimnya seorang memberi hormat. 
Sekalipun tampaknya Klinthung Waluh 
memberikan hormatnya, tetapi sebenarnya hor-
mat yang ia berikan ini adalah lain, dan hanya 
Mpu Kepakisan sendiri yang tahu dan merasakan. 
Sebab setelah Klinthung Waluh membungkuk, 
segera menyambarlah tenaga yang tidak tampak 
telah menyerang ke arah Mpu Kepakisan. 
Mpu Kepakisan sadar sedang dicoba orang. 
Karena itu iapun cepat berbuat sama, seperti 
memberikan hormat kepada Klinthung Waluh.  
Yang terjadi kemudian menyebabkan orang 
heran berbareng kaget. Sebab tahu-tahu terden-
garlah keluhan Klinthung Waluh sambil ter-
huyung mundur tiga langkah ke belakang. 
Klinthung Waluh sudah berusaha menekan 
darah yang bergolak dalam tubuhnya, namun ti-
dak juga berhasil. Dan tahu-tahu, segumpal da-
rah sudah meloncat dari mulut. Dan dari kenya-
taan ini membuktikan, dalam segebrakan menga-
du tenaga sakti, Klinthung Waluh kalah. Ia sudah 
menderita luka dalam, sekalipun tidak parah 
Namun peristiwa ini tidak menyebabkan 
Klinthung Waluh menjadi gentar maupun khawa-
tir, sebab ia mempunyai Aji "Netra Luyub" yang 
akan dapat mengalahkan lawan dengan gampang. 
Sekarang setelah sadar dirinya berhadapan 
dengan kakek sakti, maka sepasang matanya me-
natap tajam kepada Mpu Kepakisan dan sejenak 
kemudian terdengar suaranya yang halus. 
— Hai Mpu Kepakisan! perjalanan dari Ke-
diri sampai kemari adalah cukup jauh. Hayo se-
karang mengasolah, dan tidur!— 
Ketika itu Rangga Pramana dan Ratih ju-
stru, ikut memandang ke arah Klinthung Waluh. 
Akibatnya dua orang muda ini menjadi terpenga-
ruh. Mendadak saja mereka merasakan kelelahan 
dan menguap serta ingin tidur. 
Namun tiba-tiba pengaruh aneh itu terusir 
lagi ketika terdengar Mpu Kepakisan berkata ha-
lus, - Hemm, Klinthung Waluh! tipu muslihatmu 
hanya permainan bocah ingusan saja. Anak, kau 
bangunlah! Jangan tidur di sembarang tempat.- 
Rangga Pramana dan Ratih hilang rasa 
kantuknya, kembali seperti semula. Adapun Dewi 
Sritanjung yang sejak tadi tidur sudah membuka 
mata, mengucak mata itu dengan punggung tela-
pak tangannya. Kemudian gadis ini nampak kaget 
ketika mendapatkan dirinya berbaring di atas ta-
nah berdebu. Ia cepat melompat bangkit, lalu ia 
menebarkan matanya ke sekeliling. Gadis ini ke-
heranan melihat hadirnya seorang kakek dan dua 
orang muda yang belum ia kenal. 
— Kenapa aku...? — desis Dewi Sritanjung 
seperti ditujukan kepada diri sendiri. 
—  Anak, kau telah ditipu orang,—  sahut 
Mpu Kepakisan sekalipun tidak ditanya. 
Mendengar jawaban kakek yang belum ia 
kenal itu, tetapi ia sadar sudah ditolong dan dis-
elamatkan  jiwanya, sepasang mata gadis ini me-
nyala. Teringatlah kemudian apa yang tadi terjadi. 
Dirinya dihadang dua orang muda dan kemudian   
berkelahi.   Ia   berhasil  mematahkan senjata la-
wan, tetapi segera muncul seorang kakek tanpa 
baju dan menyusul menyuruh dirinya agar tidur  
Teringat semua itu, mendadak saja gadis 
ini marah. Ia memungut pedang pusakanya yang 
menggeletak di tanah yang tadi lepas dari tangan 
di luar kemauannya. 
Setelah pedang di tangan Dewi Sritanjung 
segera melompat dan menerjang ke arah Damar 
Seto dan Guna Praya sambil membentak nyaring,  
— Manusia busuk, mampuslah!— 
— Ayaaa . . . ! — Klinthung Waluh mengge-
rakkan tangannya menampar dengan maksud 
melindungi keselamatan muridnya. 
Akan tetapi tiba-tiba Mpu Kepakisan men-
gangkat tangan pula mendorong ke arah Klin-
thung Waluh sambil berkata halus, —  Biarkan 
yang muda berhadapan dengan yang muda. Apa-
kah kau tidak malu mengganggu orang muda?— 
Dorongan Mpu Kepakisan itu menerbitkan 
angin yang halus tetapi kuat sekali. Klinthung 
Waluh terpaksa harus mengurungkan maksudnya 
melindungi muridnya. Sebab apabila tidak, di-
rinya sendiri dalam bahaya. Maka tamparannya 
kemudian ia alihkan untuk menangkis dorongan 
Mpu Kepakisan.  
- Ahhhhh . . . ! - Klinthung Waluh berteriak 
tertahan lalu mengeluh. 
Disusul oleh tubuhnya yang terhuyung 
mundur tiga langkah. Sedang Mpu Kepakisan 
masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam gebrakan 
mengadu tenaga sakti ini jelas Klinthung Waluh 
masih berada jauh di bawah Mpu Kepakisan. 
Damar Seto dan Guna Praya yang teran-
cam keselamatannya akibat terjangan Dewi Sri-
tanjung telah berlompatan mundur. Kemudian 
mereka  menggunakan senjata sumpitan untuk 
membidikkan peluru tanah liat yang beracun. 
Akan tetapi Dewi Sritanjung waspada. Ia 
sudah memutarkan pedangnya guna melindungi 
diri dari serangan sumpitan itu. Dan akibatnya 
peluru dari sumpitan berjatuhan terbentur ben-
teng pedang. 
Malah kemudian kakak beradik sepergu-
ruan ini harus sibuk berlompatan ke sana dan ke 
mari dalam usaha menghindari sambaran pedang 
si gadis, yang makin lama tambah berbahaya. 
Mereka kemudian menjadi kebingungan 
sendiri karena mereka tidak mendapat kesempa-
tan untuk mengisi peluru sumpitan dan membi-
dik. 
Ketika itu Ratih sudah akan maju dan 
membantu Dewi Sritanjung. Gadis ini penasaran 
dan merasa tidak tega, melihat Dewi Sritanjung 
harus melayani dua orang lawan. Maka ia ber-
maksud untuk membantu menghajar dua pemu-
da itu. Akan tetapi maksudnya ini terhalang, ka-
rena dicegah oleh Mpu Kepakisan. 
-  Ratih, biarkan dia memuaskan penasa-
rannya. Percayalah, sekalipun dikeroyok dua, ga-
dis itu tidak bakal kalah.— 
- Tetapi tanganku terasa gatal, Kek,— ujar 
Ratih 
- Heh heh heh heh, bagian manakah yang 
gatal? Garuklah! Rasa gatal itu pasti hilang.- Mpu 
Kepakisan berkelakar. 
Ratih cemberut oleh godaan Kakeknya ini. 
Namun demikian ia seorang cucu (cucu bagi Mpu 
Kepakisan, sebenarnya adalah murid) yang patuh 
kepada kakeknya (gurunya), maka kemudian ga-
dis ini hanya berdiri. Tetapi sekalipun demikian 
sepasang mata gadis ini tak pernah berkedip me-
mandang mereka yang berkelahi. 
Tadi ketika Damar Seto maupun Guna 
Praya bersenjata saja, mereka tak mampu  me-
layani sambaran pedang gadis ini. Apa pula seka-
rang, mereka hanya tinggal mempunyai senjata 
sumpitan. Maka mereka menjadi sibuk bukan 
main. Mereka tidak sempat membidik lagi, pa-
dahal apabila sumpitan itu sampai terbentur oleh 
pedang akan segera hancur. Karena itu dalam 
usaha mereka menyelamatkan diri, tidak ada ja-
lan lagi kecuali menggunakan kecepatan mereka 
bergerak. 
Makin lama sinar biru dari pedang pusaka 
Tunggul Wuhing bergulung-gulung menguasai 
arena perkelahian. Dan sinar yang bergulung-
gulung itu, menerbitkan angin halus, tetapi kuat 
sekali. 
Sinar biru itu membungkus tubuh Dewi 
Sritanjung di samping mengurung ruang gerak 
lawan. Hal ini membuat kedudukan Guna Praya 
dan Damar Seto semakin menjadi sulit. Dalam 
menghadapi kesulitan dan dalam usaha memper-
tahankan nyawa ini, tiba-tiba saja mereka beru-
bah ganas. 
Tring tring trang trang . . . terdengar suara 
yang nyaring berturut-turut. Sebab Damar Seto 
dan Guna Praya telah membela diri dengan me-
nyumbitkan senjata rahasia, berujud paku bera-
cun. 
Namun sungguh sayang, serangan senjata 
rahasia ini hanya sia-sia belaka. Tidak sebatang 
paku pun yang berhasil menembus benteng pe-
dang, karena semua tertangkis dan runtuh di ta-
nah.  
Bumm... mendadak terdengar suara yang 
tidak demikian keras. Namun ledakan ini mener-
bitkan asap hitam yang amat tebal dan keadaan 
di tempat itu menjadi gelap. Ledakan yang men-
gepulkan asap hitam dan tebal ini, berasal dari 
sebuah benda yang telah dibanting oleh Klinthung 
Waluh. 
- Lindungi diri dan pejamkan mata!— suara 
halus ini, diucapkan oleh Mpu Kepakisan, guna 
memperingatkan kepada  mereka  yang  muda. 
Peringatan Mpu Kepakisan ini memang te-
pat sekali. Asap hitam tersebut mengandung ra-
cun yang dapat membuat mata orang seperti me-
nangis, karena   mengucurkan  air  mata  terus-
menerus.  
Dan bukan hanya itu saja pengaruh asap 
hitam dari ledakan ini, tetapi justru lebih jahat 
lagi. Sebab mata yang sudah kemasukan asap hi-
tam ini, apabila tidak mendapatkan obat pemu-
nahnya, dalam waktu sehari saja akan menjadi 
parah. Air mata yang keluar akan berubah men-
jadi darah, lalu berakibat terjadinya kebutaan dan 
lumpuh. Jadi memang amat ganaslah akibat dari 
racun ini. Orang akan menjadi cacat seumur hi-
dup. 
Mpu Kepakisan tidak hanya tinggal diam 
melihat asap hitam berbahaya itu. Dua tangannya 
kemudian bergerak bergantian dan mendorong. 
Angin yang habis segera menyambar dari telapak 
tangan ke arah asap yang tebal dan hitam itu.  
Akan tetapi setelah asap hitam dan tebal 
itu tersingkir pergi, maka terbelalaklah mata Dewi 
Sritanjung, Rangga Premana maupun Ratih. Se-
dang yang tidak tampak heran hanya Mpu Kepa-
kisan sendiri. Karena secara tiba-tiba Klinthung 
Waluh dan dua orang muridnya itu sekarang te-
lah lenyap tanpa bekas. 
- Itulah perwujudan bahaya yang telah aku 
katakan tadi kepada kamu!-  Mpu  Kepakisan 
berkata halus, ditujukan kepada Ratih dan Rang-
ga Pramana. - Dan itu pula sebabnya aku tak da-
pat membiarkan orang-orang muda yang belum 
kenal bahaya datang ke tempat ini. Dalam hal il-
mu kesaktian, Klinthung Waluh tidak perlu dita-
kuti. Akan tetapi tipu muslihat dan ilmu sihirnya, 
maupun segala  macam racunnya, amat berba-
haya bagi setiap orang. Dan itu pula sebabnya, 
Rangga Pramana, ketika ayahmu mengutus sepa-
sukan prajurit terpilih kemari, menemui kegaga-
lan. Sebab mereka semua tidak kuasa melawan 
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh yang dis-
ebut Aji Netra Luyub itu.— 
Dewi Sritanjung yang sudah menyimpan 
kembali pedangnya, dan mendengar pula penjela-
san kakek itu, tanpa terasa sudah berseru terta-
han. 
— Ohhh . . . kalau demikian aku tadi su-
dah terpengaruh oleh ilmu sihir itu, sehingga aku 
tertidur di luar kehendakku?— 
Mpu Kepakisan ketawa sejuk, jawabnya, - 
Kau benar, Nak, hampir celaka oleh pengaruh il-
mu sihir Klinthung Waluh. Masih untung pada 
saat yang tepat aku tiba di tempat ini sehingga 
kau bisa terhindar dari bahaya.— 
Merasa dirinya sudah diselamatkan orang, 
tiba-tiba saja Dewi Sritanjung menjatuhkan diri 
berlutut memberi hormat. 
Akan tetapi Mpu Kepakisan segera mengge-
rakkan tangannya, menampar perlahan ke depan. 
Angin yang halus menyambar ke arah Dewi Sri-
tanjung; Kemudian di luar kehendak gadis  ini 
sendiri, tubuhnya telah terangkat berdiri. 
- Anak, engkau tidak perlu berlutut macam 
itu di depanku.— 
Dewi Sritanjung menundukkan muka. Ia 
sadar, kakek sederhana ini seorang kakek sakti 
mandraguna. Terbukti kakek ini dapat melawan 
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh dan dapat 
menyelamatkan dirinya dari bahaya. 
—  Kakek, aku yang muda bernama Dewi 
Sritanjung,— katanya dengan sikap menghormat. 
— Atas pertolongan Kakek yang telah me-
nyelamatkan nyawaku, tiada lain aku hanya da-
pat mengucapkan terima kasih.— 
- Heh heh heh heh,- kakek ini ketawa se-
juk. 
— Hanya secara kebetulan saja aku datang 
di tempat ini dan berhasil menyelamatkan engkau 
dari bahaya. Tetapi sebenarnya semua itu adalah 
cermin dari pertolongan Dewata Yang Agung, yang 
melalui diriku.— 
Ia berhenti sejenak, lalu, — Orang menye-
but aku dengan nama Mpu Kepakisan. Adapun 
bocah laki-laki ini, namanya Rangga Pramana dan 
bocah perempuan yang sebaya kau ini adalah cu-
cuku bernama Ratih.— 
Tiga orang muda itu saling mengangguk 
memberi hormat. Tetapi Ratih yang sejak tadi su-
dah ingin bertanya sudah mendahului bertanya 
kepada kakeknya. 
— Kek, aku heran sekali. Kenapa tiba-tiba 
saja tiga orang tadi lenyap tanpa bekas?— 
—  Semua itu takkan menyebabkan orang 
heran, apabila tahu rahasianya,— Mpu Kepakisan 
menerangkan. — Mereka bukannya bisa menghi-
lang, tetapi yang jelas mereka sudah melarikan 
diri lewat jalan rahasia dan dengan demikian pula 
menjadi jelas, di sekitar tempat ini banyak terda-
pat jalan rahasia di bawah tanah. Hemm, justru 
oleh kepandaian Klinthung Waluh seperti ini, se-
babnya Gajah Mada sulit menghancurkannya. Ki-
ta tahu bahwa setiap pemberontakan yang terjadi, 
selalu dapat dibasmi dalam waktu singkat. Tetapi 
sebaliknya Klinthung Waluh mempunyai kekua-
tan luar biasa sekalipun dia tidak punya praju-
rit.— 
— Tetapi kalau aku gampang. — Ratih ber-
pendapat. 
— Gampang?— Rangga Pramana kaget. — 
Apakah yang akan kau lakukan?— 
—  Bakar saja tempat ini! Dan sekalipun 
mereka menyembunyikan diri di dalam tanah, 
mereka tetap akan mampus juga.— 
— Heh heh heh heh ... — Mpu Kepakisan 
terkekeh. —  Itu merupakan tindakan yang tidak 
bijaksana, Ratih. Dan sudah tentu Nak mas Ga-
jah Mada takkan mau berbuat seperti itu. Sebab 
dengan membakar pinggang Kelud ini, berarti 
akan menimbulkan malapetaka yang hebat dan 
akan merugikan negara maupun para kawula Ma-
japahit sendiri.— 
— Apakah sebabnya?- Ratih tertarik 
—  Begini Ratih. Hutan yang rusak, lebih-
lebih terbakar atau dibakar, akan menyebabkan 
tanah di sini menjadi gundul, yang akibatnya 
akan menimbulkan malapetaka hebat. Sebab aki-
batnya pada saat datangnya musim kering akan 
banyak sumber air yang kering dan tidak dapat 
memberikan airnya lagi. Dan dengan begitu para 
golongan petani takkan dapat mengerjakan sawah 
maupun tanahnya yang lain. Dan kemudian akan 
menimbulkan kekurangan hasil bumi dan kebu-
tuhan pokok hidup yang berujud beras maupun 
bahan makanan yang lain. Akibatnya harga akan 
melonjak tinggi. Padahal mahalnya harga kebutu-
han hidup, akan banyak menimbulkan gangguan 
keamanan.— 
Mpu Kepakisan berhenti dan mengambil 
napas. Sejenak kemudian ia baru meneruskan, — 
Cucuku, sebaliknya apabila pada musim penghu-
jan, malapetaka yang timbul tidak kurang ba-
hayanya pula. Sebab air hujan itu takkan dapat 
meresap ke dalam tanah, oleh karena tidak ada 
pohon besar yang dapat menahan air hujan itu. 
Sebagai akibatnya pula, hujan itu akan menye-
babkan tanah longsor di sana sini dan menye-
babkan timbulnya banjir besar. Akibatnya air 
akan melanda dan merusakkan sawah, desa 
maupun ladang. Timbulnya banjir akan menye-
babkan para kawula semakin menderita pula.— 
Kakek ini berhenti lagi dan mencari kesan. 
Ketika melihat Rangga Pramana maupun Ratih ti-
dak membuka mulut, ia meneruskan, —  Jadi, 
baik pada musim kemarau maupun musim peng-
hujan akan sama akibatnya, kawula menderita. 
Semua itu sebagai akibat rusaknya hutan, gun-
dulnya gunung maupun bukit, akan menimbul-
kan bahaya dan akibat yang merugikan kita se-
mua. Ratih, itulah sebabnya hutan dan pegunun-
gan itu harus dijaga kelestarian nya jangan sam-
pai menjadi rusak.— 
Dua orang muda itu tidak membuka mu-
lut. Dan kesempatan ini digunakan oleh Mpu Ke-
pakisan untuk meneruskan nasihatnya, —  Men-
gingat itu semua, maka Anakmas Gajah Mada se-
lalu bertindak bijaksana. Ia banyak memberikan 
contoh dan banyak pula memberi nasihat kepada 
para kawula. Sedang tujuannya yang utama da-
lam usaha guna membangun Majapahit menjadi 
kerajaan yang kuat dan sentosa.— 
—  Tetapi Kek, dengan lenyapnya mereka 
lewat jalan rahasia, berarti tugas Kakek sekarang 
ini gagal juga.— Ratih menjadi masygul. — Kakek 
tidak bedanya yang lain, belum pula dapat men-
galahkan Klinthung Waluh yang jahat itu.— 
Mpu Kepakisan menghela napas dalam. - 
Ya! Tetapi apa harus dikata, kalau memang harus 
terjadi seperti ini?—    
Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak 
ada yang membuka mulut. Sekarang perhatian 
mereka semua tertuju kepada persoalan Klin-
thung Waluh. 
Namun tiba-tiba Mpu Kepakisan segera te-
ringat kepada Dewi Sritanjung yang tadi hampir 
celaka di tangan Klinthung Waluh. 
Ia kemudian memandang gadis itu sambil 
bertanya, — Anak, apakah sebabnya engkau da-
tang ke tempat ini? Apakah engkau memang be-
lum tahu gunung Kelud ini merupakan wilayah 
berbahaya, oleh sepak terjang Klinthung Waluh 
yang jahat itu? - 
—  Ya. Aku memang belum luas pengala-
man. Dan aku yang muda memang tidak tahu 
tempat ini amat berbahaya. Saya ingin dan terta-
rik untuk melihat dari dekat, tentang gunung 
yang mengeluarkan asap itu. Saya ingin tahu, 
apakah sebabnya gunung itu bisa mengeluarkan 
asap terus-menerus?— 
— Ahhh . . . !— tiga orang ini berseru ter-
tahan hampir bersamaan. 
Tak mengherankan apabila mereka menja-
di kaget, justru apa yang dilakukan gadis ini amat 
berbahaya.  
— Anak, apakah engkau tidak tahu gunung 
yang mengeluarkan asap itu amat berbahaya? se-
bab orang takkan dapat mendekati.— 
— Ahhh, apakah sebabnya?— Dewi Sritan-
jung kaget. 
— Sebab gunung yang mengeluarkan asap 
itu amat panas apabila lubang asapnya didekati. 
Dan bukan hanya itu, mungkin siapapun malah 
takkan tahan oleh bau belerang yang menyengat 
hidung dan orang bisa direnggut maut.- 
— Ihh ... apakah sebabnya? — 
— Karena asap itu di samping panas, juga 
bau  belerang menyengat hidung, menyebabkan 
sesak napas. — 
— Tetapi apakah sebabnya asap itu berbau 
belerang ? - 
— Karena di dalam perut gunung berapi itu 
terdapat banyak belerang, — 
— Ahhh, terima kasih Kek atas petunjuk-
mu. Untung aku belum sampai ke puncak gu-
nung itu.— 
— Apakah engkau hanya seorang diri? — 
— Benar. — 
— Hemm, Nak, engkau bocah perempuan. 
Mengapa sebabnya kau terlalu berani berkelana 
seorang diri? —       
Pertanyaan ini mengingatkan keadaan di-
rinya dan menyebabkan ia mendadak sedih. Ke-
mudian ia teringat kepada nasibnya yang sudah 
tidak mempunyai ibu lagi. 
Namun perasaan ini cepat-cepat ia tekan. 
Ia tidak menginginkan orang tahu akan asal usul 
dan keadaannya. Untuk itu maka kemudian gadis 
ini membohong. 
— Ya, aku memang sengaja berkelana seo-
rang diri untuk, mencari pengalaman. Bahaya-
bahaya yang kuhadapi akan selalu aku hadapi 
dengan senang hati, justru timbulnya bahaya itu 
malah akan memperkaya pengalaman. —  
— Ahh, Adik terlalu berani. — Ratih mem-
berikan pendapatnya. -  Gadis muda lagi cantik 
seperti kau ini, akan memancing dan merangsang 
kepada orang lain untuk berbuat tidak baik. — 
—  Terima kasih atas peringatanmu. Akan 
tetapi aku percaya, Dewata Yang Agung akan se-
lalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah 
dan tidak melakukan perbuatan jahat. Buktinya, 
dalam perjalananku sekarang ini, sekalipun da-
lam keadaan bahaya selalu mendapatkan perto-
longan orang lain sebagai utusan Dewata. — 
- Heh heh heh, — Mpu Kepakisan terkekeh. 
Diam-diam kakek ini kagum akan kekerasan hati 
dan keberaniannya. 
—  Aku kagum akan keberanianmu, Nak. 
Mpu Kepakisan memuji. — Ya, manusia yang hi-
dup di dunia ini memang kesulitan yang dihadapi 
akan menjadi guru dan pengalaman hidup seseo-
rang. Mudah-mudahan pula apa yang engkau ci-
takan ini dikabulkan Dewata Yang Agung. Tetapi 
kalau boleh aku ingin bertanya, siapakah orang 
tuamu, tempat tinggalmu dan juga gurumu? — 
—  Hemm,  —  Dewi Sritanjung menghela 
napas. 
Tidak urung terasa perih juga hatinya, 
mendapat pertanyaan seperti ini. Namun ia sudah 
memutuskan takkan membuka rahasia hidupnya 
kepada sembarang orang. 
— Kakek, — jawabnya. — Aku sudah seba-
tang-kara. Aku tidak berayah dan tidak beribu la-
gi. Sejak kecil kakekku yang memungut dan me-
rawat diriku. Karena itulah aku tidak mempunyai 
Guru, karena sejak kecil Kakek sendirilah yang 
mendidikku. — 
— Apakah Kakekmu itu, si pemilik pedang 
itu? - 
— Benar! Mengapa ? — 
— Ha ha ha ha, Kakek dan Gurumu adalah 
Ki ageng Tunjung Biru, bukan ?— 
Dewi Sritanjung melengak kaget menden-
gar dugaan Mpu Kepakisan yang tepat ini. Maka 
tidak tercegah lagi Dewi Sritanjung mengangguk. 
-  Benar! Tetapi bagaimanakah sebabnya Kakek 
dapat menduga setepat itu?— 
—  Heh heh heh heh, di dunia ini hanya 
seorang saja pemilik pedang pusaka Tunggul Wu-
lung yang sekarang dalam tanganmu itu, Ki ageng 
Tunjung Biru. Sungguh kebetulan sekali perte-
muan yang tidak terduga ini. Nak, karena kau 
orang kita sendiri, maka tahukah engkau akan 
hubungan antara Ki ageng Tunjung Biru dengan 
Mahapatih Gajah Mada?- 
- Saudara seperguruan. – 
- Benar! Sekalipun usia Ki ageng Tunjung 
Biru dengan Mahapatih Gajah Mada terpaut jauh. 
Oleh karena itu antara engkau dan Rangga Pra-
mana ini, masih mempunyai pula hubungan per-
guruan, sebab dia ini adalah putera Mahapatih 
Gajah Mada.— 
—  Ahhh,—  Dewi Sritanjung berseru terta-
han. Ia kemudian memandang Rangga Pramana 
sejenak, kemudian ia menundukkan kepala. 
—  Aku pernah datang ke rumah Paman 
Gajah Mada,—  ujarnya kemudian. —  Tetapi ke-
napa ketika itu Adi Rangga Premana tidak tam-
pak?— 
Panggilan "adi" kepada Rangga Pramana' 
memang tepat, sekali pun umur Rangga Pramana 
lebih tua dibanding dengan Dewi Sritanjung. Ka-
rena Rangga Pramana anak Gajah Mada, sebagai 
adik seperguruan Ki ageng Tunjung Biru. 
- Benar,— sahut Rangga Pramana — Sebab 
sejak beberapa bulan ini aku tidak tinggal di Ma-
japahit, tetapi aku tinggal di Kepakisan.— 
Pada saat Mpu Kepakisan sedang akan bi-
cara, maka menyambarlah sebuah benda yang 
bentuknya bulat, lalu menggelinding. 
Mereka heran berbareng curiga, lebih-lebih 
Dewi Sritanjung justru sebelum dirinya berhada-
pan dengan bahaya, benda bulat semacam ini 
pernah menyambar dirinya, disusul terdengarnya 
suara yang memberi peringatan. 
Orang yang percaya kepada takhayul tentu 
akan beranggapan benda bulat yang dapat berge-
rak itu merupakan suatu keanehan dan keajai-
ban. 
Tetapi Mpu Kepakisan adalah orang tua 
yang sudah kaya pengalaman. Maka kakek ini ti-
dak mungkin bisa tertipu. 
Kakek ini sudah dapat menduga, tentu da-
lam benda bulat itu yang tampaknya seperti ka-
rung, terdapat manusia sakti mandraguna. Hing-
ga sekalipun di dalam karung dapat bergerak me-
nurut kemauannya.  
Karena itu kakek ini menjadi curiga, apabi-
la dalam benda bulat itu berisi salah seorang 
pembantu Klinthung Waluh. Maka ketika Rangga 
Pramana sudah bergerak mau mengejar, ia men-
cegah. 
— Jangan! Biarlah aku sendiri yang men-
gurus. —  
Benda itu masih menggelinding cepat seka-
li dan tiba-tiba terdengar suara yang dalam bula-
tan tersebut, tetapi jelas. 
-  Hai Mpu Kepakisan. Kenapa engkau se-
karang menjadi tolol? Heh heh heh heh, apakah 
engkau tidak sadar sudah terancam oleh bahaya? 
Nah, tidak cepat pergi mengikuti aku, celakalah 
kalian.— 
Mpu Kepakisan terbelalak. Tetapi ia sadar 
peringatan yang ia dengar dari dalam benda bulat 
itu tidak boleh ia abaikan. Sebab memang tidak 
mustahil apabila Klinthung Waluh bermain cu-
rang, menyembunyikan diri dalam jalan rahasia. 
di bawah tanah. Sadar akan bahaya kakek ini 
dengan gugup berkata,  
— Anakku semua, lekas ikut aku!— 
Rangga Pramana maupun Ratih segera me-
lompat dan mengikuti Mpu Kepakisan. Sedang 
arah gerak mereka mengikuti gerakan benda bu-
lat yang aneh dan menggelinding itu. 
Tetapi sebaliknya Dewi Sritanjung agak ra-
gu. Ia mempunyai pendapat lain dan kurang per-
caya peringatan itu. Oleh sebab itu sekalipun ber-
gerak gadis ini mengambil arah lain dan berten-
tangan dengan gerakan Mpu Kepakisan. 
Bum ... ! 
Belum jauh orang-orang itu meninggalkan 
tempat mereka tadi tahu-tahu tanah itu amblong 
dan debu mengepul tinggi. 
Mpu Kepakisan, Rangga Pramana dan Ra-
tih menghentikan langkah lalu membalikkan tu-
buh. Mereka terkejut dan terbelalak, melihat ter-
jadinya tanah longsor itu. 
- Ahh, manakah bocah itu tadi?— seru ka-
kek ini kaget sekali dan wajahnya menjadi pucat. 
- Ahhh, celaka! Dia tentu terjebak!— 
- Mari cepat kita tolong!— Ratih gugup dan 
mengajak. 
Dari wajahnya yang pucat tampak sekali 
gadis ini mengkhawatirkan Dewi Sritanjung. 
- Tidak! Jangan! — Mpu Kepakisan mence-
gah. 
- Kenapa?- Rangga Pramana heran. 
-  Hemm,—  kakek ini menghela napas da-
lam.  -  Kita sudah melihat sendiri, wilayah Klin-
thung Waluh ini penuh dengan jebakan berba-
haya. Ahhh, apakah yang akan terjadi apabila ti-
dak muncul tokoh aneh yang menyembunyikan 
diri dalam karung tadi? Hemm, kita semua tentu 
sudah masuk dalam perangkap Klinthung Waluh. 
Maka jelaslah bagi kita, tokoh aneh itu sudah 
menyelamatkan nyawa kita dari bahaya maut.— 
Kakek ini berhenti. Setelah menghela na-
pas lagi, terusnya,  —  Hemm, terus terang aku 
sendiri pun tidak mengenal tempat ini secara 
baik. Padahal keberanian tanpa perhitungan akan 
menimbulkan korban jiwa sia-sia. Sesungguhnya 
akupun tidak tega kepada Dewi Sritanjung. Akan, 
tetapi apakah daya kita? Apakah nyawa dia seo-
rang itu harus kita tambah dengan tiga nyawa la-
gi?— 
Mendengar jawaban dan penjelasan Mpu 
Kepakisan dua orang muda ini terbungkam. Me-
reka tidak dapat membantah kebenaran ucapan 
kakek ini. Daerah yang penuh dengan jebakan 
rahasia ini memang amat berbahaya bagi orang 
luar. 
Akibatnya dua orang muda ini hanya dapat 
menghela napas dalam sambil memandang tem-
pat yang tadi mereka tempati untuk berdiri. Tem-
pat itu sekarang sudah amblong, maka mereka 
kemudian menduga, Dewi Sritanjung sudah ter-
perosok masuk ke dalam lubang jebakan itu.  
Untuk beberapa saat lamanya Mpu Kepaki-
san juga tidak membuka mulut. Ia mengamati ta-
nah yang amblong itu sambil mengurut-urut 
jenggotnya yang putih, dalam usahanya mengu-
rangi rasa sedih yang memenuhi dalam dadanya. 
Kakek ini menyesal sekali, mengapa Dewi Sritan-
jung tidak mau percaya peringatan benda aneh 
yang dapat menggelinding dan berbicara itu. 
Tiba-tiba suasana yang hening itu dipecah-
kan oleh pertanyaan Ratih, — Kek, dapatkah Ka-
kek menduga, siapakah kira-kira tokoh sakti yang 
bersembunyi dalam karung dan telah menyela-
matkan kita tadi?- 
—  Entahlah, aku belum bisa menduga. 
Namun jelas sekali tokoh itu membantu kita dan 
akupun percaya, dia tokoh aneh tetapi berhati 
emas. Ahhh . .. mungkinkah dia?— 
— Siapakah dia, Kek? 
— Orang yang dapat bersembunyi di dalam 
karung, bentuknya menjadi bulat dan dapat ber-
gerak seperti itu, siapa lagi kalau bukan Mpu 
Anusa Dwipa? Heh heh heh heh. — 
Mendadak terdengar suara orang ketawa 
terkekeh nyaring. 
—  Sobat, engkau memang tajam rasa di 
samping cerdik. Sebenarnya aku tadi enggan ke-
luar dari kantung wasiatku ini. Tetapi karena 
engkau telah menyebut  namaku,  maka  tidak 
enak rasanya apabila aku terus bersembunyi da-
lam kantungi wasiat. — 
Mpu Anusa Dwipa dan Mpu Kepakisan 
memang merupakan sahabat lama. Maka perte-
muan tidak terduga ini menyebabkan mereka 
gembira sekali. 
Namun ketika tidak melihat Dewi Sritan-
jung  kakek gemuk ini membelalakkan mata dan 
menggumam, — Aneh! Di manakah bocah perem-
puan tadi?- 
Ratih yang tadi khawatir dan menganjur-
kan kakeknya (gurunya) supaya menolong gadis 
itu sudah berteriak, —  Dia terjebak. Tolonglah 
dia!-  
— Ya! Nampaknya dia memang sudah ter-
jebak, Saudara Dwipa,—  ujar Mpu Kepakisan 
dengan nada sedih. —  Coba usahakanlah perto-
longan, dan aku percaya engkau telah mengenal 
secara baik wilayah ini.— 
— Hemm . . . anak nakal itu memang sela-
lu membuat orang repot saja!— desis Mpu Anusa 
Dwipa.  —  Ahh, celaka! Gara-gara si nakal, aku 
harus berurusan dengan Klinthung Waluh lagi. 
Hemm baiklah! Aku akan berusaha menolong bo-
cah itu. Tetapi,  Saudara Kepakisan, sebaiknya 
engkau dengarkan permintaanku ini.... — 
— Tentang apa? — 
—  Sekarang pergilah secepatnya kau ke 
Kotaraja Majapahit. Menghadaplah kau kepada 
Mahapatih Gajah Mada, dan beritahukanlah 
pemberontak Sadeng yang sudah pernah dihan-
curkan itu, ternyata masih terdapat sisanya yang 
berbahaya.— 
— Ah, kau tahu? Lalu di manakah sisa-sisa 
itu sekarang bertempat tinggal? - Mpu Kepakisan 
kaget sekali. 
— Di sana! Di sebelah selatan Gunung Ma-
lang. Mereka bersembunyi dalam suatu lembah 
tidak jauh dari mata air Kali Sanen. Maka minta-
lah kau kepada Mpu Mada, agar segera menge-
rahkan pasukan terpilih, berani dan tangkas. Dan 
sebaiknya, malah engkau pula yang memimpin 
pasukan itu. Hemm, mungkin kau bertanya, apa-
kah sebabnya? Sebabnya adalah karena daerah 
itu merupakan daerah terasing dan mereka 
menggunakan jalan rahasia di bawah tanah.— 
—  Ahhh ... —  tak urung Mpu Kepakisan 
berseru tertahan. —  Bagaimanakah mungkin 
orang bisa masuk ke sana tanpa pengetahuan 
lengkap jalan rahasia itu?— 
Mpu Anusa Dwipa terkekeh.  —  Heh heh 
heh heh heh, tentu saja aku dapat membantu 
kau. — 
Mpu Anusa Dwipa segera mengambil se-
lembar kain sutera dari dalam saku jubahnya. 
Lembaran kain sutera putih ini, kemudian ia ben-
tangkan di tanah. Kemudian ternyata pada kain 
sutera ini sudah terlukis semacam peta.  
— Nah, dengan petunjuk ini engkau dapat 
dengan mudah datang ke sana. Sekarang kita 
berpisah dan membagi tugas. — 
Tanpa menunggu jawaban, Mpu Anusa 
Dwipa sudah melangkah pergi seenaknya. Namun 
karena tubuhnya pendek gemuk seperti gentong 
maka kakek sakti ini jalannya seperti menthog 
dan migag-migug, hingga semua bagian tubuhnya 
bergerak-gerak. 
Mpu Kepakisan memandang ke arah Mpu 
Anusa Dwipa pergi. Ia menghela napas pendek, 
terharu dan amat berterima kasih kepada kakek 
gemuk itu. Tetapi karena ia sudah mengenal wa-
tak dan tabiat Mpu Anusa Dwipa yang memang 
aneh, maka kakek ini tidak berusaha mencegah 
kepergiannya. 
Kemudian ia melambaikan tangan kepada 
Rangga Pramana dan Ratih. Ia lalu mengajak dua 
orang muda ini secepatnya meninggalkan Gunung 
Kelud. Mereka bergerak cepat tanpa bicara. Dan 
benak Mpu Kepakisan agak tegang, setelah men-
dengar tentang masih terdapatnya sisa pemberon-
tak Sadeng itu. 
Menurut pendapatnya, sisa pemberontak 
itu apabila tidak selekasnya dibasmi, akan sema-
kin sulit dihancurkan apabila sisa pemberontak 
Sadeng ini semakin kuat. Oleh karena itu terpikir 
oleh kakek ini untuk segera memberikan laporan 
kepada Mahapatih Gajah Mada. 
Tidaklah mengherankan apabila kakek ini 
menjadi tegang. Sebab ketika membasmi pembe-
rontak Sadeng itu, dirinya ikut terjun dan mem-
bantu Adityawarman sebagai panglima. Ketika itu 
dirinya melawan Mpu Sadeng. Sebab Mpu Sadeng 
seorang sakti dan mempunyai ilmu sihir yang 
berbahaya bagi lawan. Dan berkat perlawanannya 
waktu itu, ia dapat mengalahkan Mpu Sadeng. 
Hingga pemberontak Sadeng itu kemudian ter-
basmi.  
Mpu Anusa Dwipa melangkah tanpa ragu 
menuju ke arah daerah berbahaya yang penuh 
oleh jebakan itu. Kemudian sepasang alis kakek 
gendut ini berkerut, ketika melihat lubang jeba-
kan yang terbuka dan hampir mencelakakan Mpu 
Kepakisan maupun yang lain. Kakek ini kemu-
dian agak membungkuk lalu mengadakan penye-
lidikan. 
Tidak lama. Beberapa jenak kemudian ka-
kek ini dengan gerak ringan sekali, sudah berlon-
catan ke arah puncak gunung. 
Gerakan kakek ini sungguh menakjubkan. 
Sekalipun tubuhnya gendut seperti gentong, na-
mun gerakannya cepat sekali seperti dapat ter-
bang. 
Tak lama kemudian Mpu Anusa Dwipa su-
dah tiba pada daerah yang penuh dengan batu-
batu besar. Batu tersebut ada pula yang sebesar 
rumah dan  ada pula yang lebih tinggi dan lebih 
besar dibanding rumah.  
Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu 
tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-
bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-
mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang 
terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling 
seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak 
nyaring. 
— Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-
luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-
gan kau!— 
Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali 
dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan 
batu ke batu. Tak lama kemudian seperti iblis 
dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang 
muridnya sudah muncul. 
Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh 
yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan 
dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua 
muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-
mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-
danya amat menghormat. 
— Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-
luan Mpu, hingga perlu memanggil saya? — 
— Heh heh heh heh, bangkitlah!— perintah 
Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-
tu itu. 
Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-
la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini seka-
lipun  berdiri,  kepalanya menunduk, dan  tidak 
seorangpun berani mengangkat kepalanya me-
mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap me-
reka amat menghormat, seakan berhadapan den-
gan guru.  
Memang sekalipun bukan guru langsung, 
Klinthung Waluh termasuk pula orang yang be-
runtung, karena pernah memperoleh suatu ilmu 
kesaktian dari Mpu Anusa Dwipa. Dan berkat il-
mu kesaktian pemberian dari kakek gendut ini, 
maka kesaktian Klinthung Waluh menanjak ting-
gi. 
Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa yang 
terkenal sebagai tokoh sakti yang -banyak meno-
long orang, sudi memberi ilmu kesaktian kepada 
Klinthung Waluh, yang terkenal merupakan seo-
rang tokoh sesat dan jahat itu? 
Inilah salah satu keanehan Mpu Anusa 
Dwipa. Karena memang terkenal mempunyai wa-
tak aneh dan berhati emas, maka menjadi kege-
maran dari kakek ini, menyembunyikan diri da-
lam karung, menekuk tubuh dan berloncatan se-
perti bola, dan karung itu sendiri ia sebut sebagai 
'kantung wasiat'. 
Orang banyak memang menganggap Klin-
thung Waluh seorang sesat dan jahat. Tetapi Mpu 
Anusa Dwipa tidak memandang demikian. Menu-
rut pendapat kakek gemuk ini, Klinthung Waluh 
ini sama dengan orang yang lain. Sebagai manu-
sia  biasa yang kedudukannya dan keadaannya 
sama dengan manusia yang lain. Manusia yang 
tidak serba sempurna, tetapi mempunyai kelema-
han dan kekurangan. Yang disebut sesat dan ja-
hat bukanlah si manusia itu sendiri, melainkan 
adalah tindak dan perbuatannya. 
Mpu Anusa Dwipa menatap ke arah Klin-
thung Wakih penuh perhatian. Sejenak kemudian 
ia berkata, — Hai Klinthung Waluh! Engkau apa-
kan bocah perempuan yang masuk dalam jeba-
kanmu tadi?- 
- Bocah yang mana?- Klinthung Waluh ma-
lah bertanya. Ia mengangkat kepala sebentar 
memandang Mpu Anusa Dwipa. Namun cepat-
cepat ia menundukkan kepala lagi dengan sikap 
yang tetap menghormat. 
- Heh heh heh heh, siapa lagi kalau bukan 
bocah perempuan yang tadi tertidur oleh ilmu su-
lapmu itu? — 
- Mpu . . ehh . . .Guru ... ehh ... Mpu, tidak 
ada . . . sungguh tidak ada... dan kami berani... 
bersumpah.... – 
Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis, ben-
taknya,  -  Klinthung Waluh! Kau berani menipu 
aku?-       
- Ohhh..... tidak ...! - tubuh Klinthung Wa-
luh mendadak gemetaran saking ketakutan. - 
Guru . . . sungguh mati. . . tidak ada. Manakah 
mungkin saya berani... menipu Bapa? 
-  Hayo angkatlah mukamu dan sekarang 
semua memandang kepadaku!- 
Guru dan murid itupun tanpa berani 
membantah lagi sudah mengangkat muka mas-
ing-masing, lalu memandang ke arah Mpu Anusa 
Dwipa. 
Kakek aneh dan berhati emas ini dengan 
memandang sinar mata orang, akan segera tahu 
orang itu berdusta ataukah jujur. Maka setelah 
mengamati sinar mata guru dan murid ini, Mpu 
Anusa Dwipa menjadi percaya, mereka sudah 
memberi keterangan sejujurnya. 
— Heh heh heh heh, — ia terkekeh. – Aku 
percaya kepada kamu. Sudahlah, sekarang aku 
mau pergi.— 
— Bapa . . . ! — tiba-tiba Klinthung Waluh 
berseru. 
— Engkau perlu apa lagi? — 
— Bapa . . . besar harapan saya... agar Ba-
pa sudi membimbing diri saya ini, agar bisa men-
dapatkan ilmu kesaktian yang lebih hebat lagi.— 
— Heh heh heh, ha ha ha ha,— Mpu Anusa 
Dwipa bergelak-gelak mendengar permintaan 
Klinthung Waluh ini, lalu  bertanya, — Kemudian 
setelah engkau bisa mendapatkan ilmu kesaktian 
yang lebih tinggi lagi, apakah tujuanmu? — 
— Bukan lain agar saya menjelma sebagai 
manusia paling sakti di dunia ini. — 
— Ha ha ha ha! — makin bergelak kakek 
gendut ini mendengar maksud Klinthung Waluh. 
— Hai Klinthung Waluh, dengarlah baik-baik apa 
yang aku katakan ini. Ketahuilah bahwa Gunung 
Kelud ini orang bilang sudah tinggi. Akan tetapi 
tinggi manakah dengan awan yang bergerak, di 
angkasa itu? Tetapi nyatanya awan yang tinggi itu 
masih kalah tinggi lagi dengan langit. Hemm, bu-
lan di angkasa lebih tinggi lagi, tetapi masih kalah 
tinggi dengan matahari. Sedang matahari masih 
kalah tinggi lagi dengan bintang. Ha ha ha ha, 
hanya lamunan kosong saja orang yang bercita-
cita ingin menjadi orang tersakti, orang terpandai 
dan orang tertinggi? Yang sakti masih ada yang 
lebih sakti. Yang pandai masih ada yang lebih 
pandai lagi. Dan yang merasa berkedudukan ting-
gi masih ada yang lebih tinggi, dan yang merasa 
kuasapun masih ada pula yang lebih kuasa la-
gi.— Mpu Anusa Dwipa berhenti dan mengambil 
napas. Sejenak kemudian ia meneruskan,  — 
Orang bercita-cita memang baik. Akan tetapi 
orang melamun akan menjadi sahabat setan dan 
iblis. Lebih berabe lagi jika manusia sudah mela-
munkan agar dirinya bisa serba tahu, serba kua-
sa, serba menang dan ingin menyamai kekuasaan 
Dewata Yang Agung. Orang yang demikian itu 
akan tersesat jalan karena bersahabat dengan se-
tan dan iblis. Hai Klinthung Waluh. Tahukah 
engkau tentang setan dan iblis itu?— 
— Setan dan iblis adalah penggoda manu-
sia.— 
— Heh heh heh heh, engkau seperti burung 
beo yang menirukan orang bicara. Ketahuilah se-
tan dan iblis itu, menghuni dalam tiap-tiap ma-
nusia.— 
— Ahhh ... kalau begitu . . . saya ... — 
— Benar! Dalam tubuhmu pun setan mau-
pun iblis menghuninya, heh heh heh heh, engkau 
kaget? Itulah tanda engkau selama ini tidak per-
nah  mau mawas diri, sebagai akibat engkau 
hanya selalu menurutkan nafsu dan pikiran ja-
hatmu. Dengarlah hai Klinthung Waluh, para cer-
dik pandai sudah bilang, setan maupun iblis akan 
menggoda setiap manusia, yang tidak mau me-
nyadari hidupnya sebagai makhluk Dewata 
Agung. Tidak mau sadar sebagai makhluk yang 
lemah. Manusia yang mau mawas diri dan sadar 
diri, dalam hidupnya ini tanpa penilaian dan per-
bandingan. Dan apabila kau sudah bisa seperti 
ini, niscaya dalam sanubarimu takkan ada lagi 
yang disebut "aku" dan selalu minta tempat paling 
depan. Sebab si aku itulah sesungguhnya nafsu 
manusia yang selalu ingin memperoleh, dan bu-
kan yang lain. — 
Kakek ini berhenti, mengambil napas, lalu 
terusnya, - Nah, kegiatan dan keinginan si aku ini 
yang kemudian menimbulkan nafsu yang tidak 
pada tempatnya. Dan itulah  sebenarnya setan 
dan iblis. Itulah yang selalu mengganggu hidup-
mu menjadi tidak tenteram. Maka orang berkata, 
si Anu sedang menurutkan nafsu yang merusak, 
yang tidak baik, sedang menuruti godaan setan 
dan si iblis. Heh heh heh heh, Klinthung Waluh, 
godaan setan dan iblis akan selalu berlangsung 
terus selama hidupmu, jika engkau tak mau ma-
was diri. Jika engkau selalu membandingkan dan 
jika engkau selalu menilai. Karena dalam dadamu 
akan selalu berkecamuk rasa iri hati dan selalu 
mengumandang jeritan mengapa orang itu bisa 
hidup kaya raya, tetapi aku melarat?- 
Mpu Anusa Dwipa tidak peduli, Klinthung 
Waluh mau mendengar nasihatnya ini atau tidak. 
Maka ia terus nyerocos saja. 
- Engkau jangan memandang apa yang kau 
sebut melarat itu dari kacamata lahiriah. Sebab, 
yang tidak pernah menipu itu hanyalah dari ka-
camata kejiwaan. Orang yang berkedudukan ting-
gi, kaya raya, akan tetapi dari sudut kejiwaan bi-
sa disebut melarat, apabila orang itu hanya selalu 
memikirkan kepentingan diri pribadi sambil me-
rugikan orang lain. Dia seorang melarat dari ka-
sih, melarat dari kebijaksanaan, keadilan, kesa-
daran, kebaikan, keluhuran, aih .. . heh heh heh 
heh .. .— 
Mpu Anusa Dwipa tiba-tiba menghentikan 
pidatonya, ketika melihat Klinthung Waluh dan 
muridnya sudah tidak tampak lagi. Agaknya Klin-
thung Waluh dan muridnya sudah lenyap lewat 
pintu rahasia, sehingga gerakan mereka tidak ter-
tangkap oleh telinga Mpu Anusa Dwipa. 
Mpu Anusa Dwipa kemudian terkekeh-
kekeh sendiri, menertawakan diri sendiri, bicara 
tanpa ada yang mendengarkan. 
Tetapi sekalipun demikian ia tidak marah 
maupun masygul, Klinthung Waluh maupun mu-
ridnya tidak mau mendengar nasihat baiknya. 
Sebab semua orang akan memetik buah tana-
mannya sendiri. Kalau memang Klinthung Waluh 
memilih menanam pohon yang beracun dan akan 
teracuni diri sendiri, siapakah yang dapat mence-
gah? Biarlah Klinthung Waluh hidup dengan garis 
dan takdir yang sudah ditentukan Dewata Yang 
Agung. 
Mpu Anusa Dwipa meniup turun dari batu 
besar itu. Lalu kening kakek ini berkerut, ketika 
teringat lagi kepada Dewi Sritanjung yang tiba-
tiba lenyap itu. 
Sesungguhnya saja ia tadi sudah 
mengkhawatirkan apabila gadis tersebut sudah 
tertangkap oleh Klinthung Waluh lalu menjadi 
tawanan. Akan tetapi karena Klinthung Waluh 
mengatakan tidak tahu menahu, maka kakek ini 
menduga, Dewi Sritanjung sudah pergi menggu-
nakan jalan lain. 
Tak lama kemudian kakek ini sudah berla-
rian meninggalkan pinggang Kelud. Namun belum 
jauh ia menuruni pinggang gunung ini, ia berhen-
ti. Ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling, 
seperti sedang mencari sesuatu. Tetapi di sekeli-
lingnya tidak terdapat seorangpun. 
Mpu Anusa Dwipa menghela napas pan-
jang. Desisnya, -  Hemm, apakah sebabnya aku 
sampai, terlupa kepada bocah itu? Lebih tiga bu-
lan lamanya aku tidak ketemu . . . hemm, ke ma-
nakah dia sekarang? Jangan-jangan .... — 
Ia berhenti dan berdiam diri. Ada firasat 
dalam sanubarinya, sesuatu yang tidak beres 
dengan bocah yang ia maksud. 
Lalu siapakah bocah itu? Hemm, siapa lagi 
kalau bukan Mahisa Singkir yang amat ia sayang 
itu? Memang aneh sekali, kepada Mahisa Singkir 
ia makin lama menjadi semakin terpikat, sayang 
dan suka sekali. Sebab bukan saja Mahisa Sing-
kir seorang pemuda cerdik dan berbakat, tetapi 
juga jujur, sederhana dan setia. Kesetiaan Mahisa 
Singkir ini sudah pernah ia coba. Pada suatu ha-
ri, ia menguji kesetiaan Mahisa Singkir dengan 
cara memerintahkan supaya memanjat pohon 
yang tinggi kemudian ia memerintahkan agar me-
loncat turun. 
Pada mulanya ia menduga tentu Mahisa 
Singkir akan menolak perintah ini dan mengemu-
kakan alasan, apabila dirinya melaksanakan pe-
rintah dirinya akan mati terbanting di tanah dan 
mati. 
Namun ternyata dugaannya ini keliru. 
Tanpa membantah sepatahpun, Mahisa Singkir 
sudah memanjat pohon yang tinggi itu sampai 
puncak. 
Mpu Anusa Dwipa masih tidak percaya, 
Mahisa Singkir akan benar-benar melompat turun 
dari dahan itu. Sebab walaupun Mahisa Singkir 
mempunyai kepandaian yang sepuluh kali lipat 
dari keadaannya sekarang, tentu akan tewas se-
ketika jika terjun bebas dari tempat yang tinggi 
itu. Namun ternyata dugaannya salah lagi, dan 
tanpa ragu sedikitpun bocah itu sudah melompat 
turun. 
Melihat melompatnya Mahisa Singkir dari 
tempat yang tinggi, Mpu Anusa Dwipa sendiri 
yang kemudian menjadi kelabakan. Ia ingin men-
cegah akan tetapi sudah terlanjur. Kakek ini 
menggeleng-gelengkan kepala, tetapi juga kagum 
menemukan bocah yang setia seperti ini. 
Guna menolong Mahisa Singkir, tiada jalan 
lain kecuali ia melompat ke bawah Mahisa Singkir 
yang sedang meluncur turun dengan cepat. Kakek 
ini kemudian menggerakkan tangan mendorong 
ke atas bergantian. Angin yang halus tetapi kuat 
sekali menyambut ke arah Mahisa Singkir. Dan 
oleh dorongan angin dari bawah itu, mendadak 
membal kembali ke atas beberapa kali. 
Justru oleh dorongan dari bawah ini, sete-
lah tubuh Mahisa Singkir kembali meluncur tu-
run kecepatannya menjadi berkurang. Dan sete-
lah kakek ini berkali-kali mendorong ke atas, ma-
ka kemudian tubuh Mahisa Singkir dapat diteri-
ma oleh Mpu Anusa Dwipa dengan selamat.  
Tetapi mungkin saking merasa ngeri dan 
juga oleh pengaruh dari luncuran yang cepat se-
kali, Mahisa Singkir menjadi pingsan. Sambil ter-
kekeh Mpu Anusa Dwipa memondong Mahisa 
Singkir ke tempat rindang, lalu ia baringkan di 
atas rumput. Setelah ia pijit dan urut beberapa 
lamanya; Mahisa Singkir bergerak lalu sadar. 
—  Apakah aku sudah mati? —  Mahisa 
Singkir mengucapkan kata-katanya seperti itu, 
ketika ia membuka mata pertama kali setelah 
pingsan. 
— Heh heh heh heh, siapakah yang mati? 
Hemm, Anak, mengapakah sebabnya engkau mau 
saja aku suruh terjun dari pohon  yang tinggi 
itu?— 
—  Bagi saya tiada alasan membantah pe-
rintah Kakek. – 
—  Sekalipun sadar perintah itu bisa me-
nyebabkan kematianmu sendiri?— 
-Ya.- 
— Kenapa? — 
—  Karena Kakek demikian baik kepada 
saya, dan karena saya sudah banyak berutang 
budi yang tidak mungkin dapat aku balas dengan 
nyawa sekalipun.— 
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa terkekeh. — 
Heh heh heh heh, engkau seperti yang lain, ikut-
ikutan menganggap "budi" bisa  diperutangkan. 
Budi bukanlah uang dan barang. Kalau uang dan 
barang orang bisa menjualbelikan maupun mem-
perutangkan. Tetapi budi tidak bisa.— 
—  Kenapa Kek? Bukankah semua orang 
mengakui hutang budi itu memang ada? — 
—  Bukan semua orang! Tetapi masih ada 
beberapa orang dan juga aku sendiri yang ber-
pendapat, budi itu tidak bisa diperutangkan. — 
— Ahhh . . . Kakek aneh! Kakek menyendi-
ri. Apakah baik apabila orang menyendiri dan ti-
dak mau mengakui pendapat yang sudah umum 
itu?— 
— Terserah orang menganggap diriku aneh. 
Tetapi aku tidak setuju kepada pendapat umum 
itu, jika orang dapat mengadakan hutang-piutang 
tentang budi. Anak, budi tidak dapat dihutang-
kan. Maka kalau ada orang yang merasa mengu-
tangkan budi kepada seseorang, itu jelas muna-
fik. Berarti apa yang ia berikan, apa yang ia se-
rahkan kepada orang lain itu tidak ikhlas. Karena 
orang itu mengharapkan sesuatu di balik pembe-
rian dan bantuannya." - 
Ia berhenti dan mengambil napas. Sejenak 
kemudian ia meneruskan, —  Anak, kalau ada 
orang bilang rela dan ikhlas memberikan sesuatu 
tetapi masih ada harapan tersembunyi di balik 
bantuan itu, apa lagi sebutannya kalau sesung-
guhnya orang itu hanya pura-pura saja? Jadi apa 
yang ia lakukan hanya merupakan pura-pura saja 
agar orang menyebut dirinya baik. Agar orang 
menyebut dirinya seorang dermawan, budiman 
dan sebutan, yang lain lagi. Tetapi pada kenya-
taannya, apa yang ia lakukan bukanlah dilandasi 
oleh rasa kesadaran yang tulus. — 
- Hemm, Anak, apa yang sudah aku beri-
kan kepadamu, tidak lain karena aku ingin mem-
beri. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kau 
maupun orang lain yang aku beri. Maka terserah 
penilaianmu sendiri, tetapi aku tidak merasa 
mengutangkan budi itu. Sebab apa yang aku la-
kukan adalah sudah wajar, sesuai dengan kea-
daanku. Kalau aku tidak punya, bagaimanakah 
mungkin aku dapat memberi? Heh heh heh heh, 
karena kau butuh dan sebaliknya aku punya, 
maka terjadilah pemberian itu. Dan itu pula se-
babnya aku tidak pernah mempunyai murid dan 
menolak pula ketika engkau menyatakan ingin 
menjadi muridku. Hubungan guru dan murid 
akan menimbulkan ikatan, hingga aku tidak bisa 
bebas lagi dan sebaliknya engkau pun tidak be-
bas. — 
Teringat kepada bocah bernama Mahisa 
Singkir itu, dalam hatinya lalu timbul pertanyaan. 
Ke manakah bocah itu? Dalam sanubarinya tera-
sa ada getaran yang memberi firasat adanya se-
suatu yang tidak beres. Tetapi apakah itu? Ia 
sendiri tidak tahu. Maka kemudian kakek ini me-
ninggalkan Gunung Kelud, menuju ke timur. 
Mpu Anusa Dwipa memang tidak tahu sa-
ma sekali, Mahisa Singkir sekarang ini menjadi 
tawanan Mpu Galuh, bersama teman  seperjala-
nannya bernama Sarwiyah. 
Biarlah Mpu Anusa Dwipa sekarang ini 
bingung memikirkan Mahisa Singkir yang amat ia 
sayangi itu. 
Yang menjadi pertanyaan sekarang, ke 
manakah Dewi Sritanjung yang tiba-tiba lenyap 
itu? Apakah Dewi Sritanjung terjebak oleh pe-
rangkap Klinthung Waluh yang jahat itu? Dan 
mengapa pula sebabnya sekalipun Mpu Anusa 
Dwipa sudah berusaha dengan bertanya kepada 
Klinthung Waluh, tetapi orang ini menyatakan ti-
dak tahu? Benarkah keterangan Klinthung Waluh 
apabila ia tidak tahu ke mana Dewi Sritanjung 
pergi? 
Yang sudah terjadi memang di luar dugaan 
semua orang. Sebagai seorang gadis yang masih 
hijau dan picik pengalaman, sekali pun ia sudah 
mendapat pemberitahuan, lereng Kelud ini ba-
nyak jebakan dan jalan rahasia, ia masih juga ku-
rang percaya. Ia tidak mau berkaca kepada pen-
galaman yang baru saja ia alami, menjadi roboh 
pingsan oleh Klinthung Waluh. Sebagai akibat ra-
sa kurang percaya akan petunjuk orang ini, maka 
ia tidak mau mengikuti Mpu Kepakisan, dan ma-
lah mencari jalan yang lain. 
Sebagai akibat kurang pengertian dan pen-
getahuannya, di samping juga kurang hati-hati, 
maka belum sepuluh langkah ia meninggalkan 
tempat, tiba-tiba saja kakinya merasa menginjak 
tempat kosong. 
Gadis ini kaget dan berusaha melawan 
luncuran tubuhnya, sambil memukulkan kaki 
dan tangannya ke tepi lubang. Namun sungguh 
celaka! tubuhnya terus meluncur turun pada lu-
bang yang gelap bukan main. Akibatnya sekali-
pun ia tabah dan penuh rasa percaya kepada diri 
sendiri, dari mulutnya meluncur jerit nyaring. 
Tetapi sekalipun demikian, Dewi Sritanjung 
masih berusaha mengurangi kecepatan luncuran 
tubuhnya dengan jalan mengatur keseimbangan 
tubuhnya. Hanya sayang sekali, lubang ini ter-
nyata dalam sekali, sehingga luncurannya bu-
kannya berkurang, malah semakin menjadi cepat. 
Saking kaget, takut dan ngeri, akhirnya gadis ini 
pening, namun masih tetap sadar. 
Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa 
tubuhnya tertahan oleh angin yang kuat sekali 
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas 
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya 
kembali meluncur turun. Lalu terasa lagi angin 
kuat menyambar dari bawah, dan tubuhnya 
membal kembali. Meluncur lalu membal kembali 
sampai beberapa kali ini menyebabkan dirinya 
seperti dikocok dan kepalanya tambah pening. 
Dan pada, akhirnya gadis  ini tidak dapat berta-
han lagi lalu pingsan! 
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini 
ternyata dari dorongan tangan seorang nenek 
yang tua renta, kurus kering dan rambutnya 
awut-awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir 
telanjang karena pakaiannya sudah cabik tidak 
keruan. 
Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang 
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi 
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang 
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh 
dua tangannya yang kurus kering. 
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari 
makhluk yang berdiam di dalam lubang ini, sela-
matlah nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin 
sekali karena terlalu banyak mengeluarkan tena-
ga sekarang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis 
ini yang terbaring di depannya dan dalam kea-
daan pingsan. 
Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya,  —  Hemm, seorang bocah pe-
rempuan yang masih muda. Mengapakah sebab-
nya bisa terperosok masuk dalam lubang ini? — 
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya, 
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijitan 
ini tiba-tiba gadis itu sadar lalu bangkit.  
- Ahhhh ... ! — gadis ini kaget sekali ketika 
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua 
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang. 
-  Hi hi hik, engkau kaget? Jangan takut! 
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi 
aku adalah manusia seperti engkau juga.— 
Nah, Saudara Pembaca, hanya sampai di 
sini cerita berakhir. Lho, kok berakhir, lalu ba-
gaimanakah nasib Dewi Sritanjung yang sekarang 
terperosok dalam lubang jebakan dan terkurung 
dalam perut Gunung? Pertanyaan ini akan terja-
wab dalam cerita berjudul "RAHASIA KIAGENG 
TUNJUNG BIRU". 
Memang ternyata Ki ageng  Tunjung Biru, 
yang menjadi kakek dan sekaligus gurunya itu 
mempunyai rahasia yang belum pernah terung-
kap. Tampaknya Ki ageng Tunjung Biru demikian 
rapat menyembunyikan rahasia itu, walaupun 
kepada cucu dan sekaligus muridnya yang amat 
terkasih. Lalu, rahasia tentang apa? Rahasia ma-
salah perempuan. Justru adanya masalah perem-
puan ini kemudian Ki ageng Tunjung Biru men-
gasingkan diri di dalam hutan hanya seorang diri. 
Hingga hidupnya hanya seorang diri dan baru  
mempunyai keluarga, setelah menemukan dan 
merawat Dewi Sritanjung sampai dewasa. 
Dan justru adanya rahasia ini pula, maka 
Ki ageng  Tunjung Biru menolak tawaran Gajah 
Mada agar sedia membantu di Kotaraja Majapa-
hit. Dan ia lebih suka hidup bersunyi diri di da-
lam hutan yang jauh dari manusia lain 
Kalau demikian halnya, apakah yang bakal 
diceritakan dalam buku berjudul "RAHASIA 
KIAGENG TUNJUNG BIRU", itu melulu masalah 
yang menyangkut dia seorang? 
O, jelas tidak! Cerita dalam buku tersebut 
akan lebih memikat Anda, baik sebagai hiburan di 
kala senggang maupun dalam usaha menguak se-
jarah Majapahit. Dalam buku tersebut kita juga 
bakal bertemu kembali dengan Mahisa Singkir, 
dan juga Sarwiyah. 
... — Cinta kasih itu bagiku tidak ditentukan oleh 
pangkat, kedudukan dan martabat. Kakang, aku 
mencintaimu dengan sepenuh hati, sejak aku me-
lihatmu yang pertama kali. Apakah engkau tidak 
merasakan .... ? 
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan 
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-
katanya, gadis ini menjadi lega, namun juga me-
rasa malu. 
Mahisa Singkir menghela napas lagi. Ujar-
nya, — Hemm...mmm... sudilah engkau memaaf-
kan aku. Karena . . . karena ...... 
Tiba-tiba Ika Dewi mengangkat kepalanya, mena-
tap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu terdengar 
ucapannya yang bernada sengit, —  Karena eng-
kau sudah mencintai gadis lain, bukan . . . ?— 
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangkat 
kepala, memandang gadis ini sambil menghela 
napas dan mengangguk. 
— Gadis mana ?-  
Mahisa Singkir berdiam diri... 
...—  Jika kau mengantuk, silakan tidur. 
Aku akan menjagamu, agar tidak ada lalat mau-
pun nyamuk yang mengganggu.— 
—  Hemm, sekalipun tidak engkau jaga, 
nyamuk dan lalat tidak dapat masuk ke dalam 
kamar ini. Sudahlah, sekarang engkau harus per-
gi. Bagaimanakah kita akan menangkis kalau ada 
tuduhan kita sudah berbuat tidak senonoh di 
kamar ini? — 
—Siapa yang berani berbuat seperti itu? – 
Rakit Cendana membelalakkan matanya. 
—  Jika orang itu masih kepengin hidup, takkan 
mungkin berani menuduh aku dan dirimu seperti 
itu. Maka Adikku, engkau jangan khawatir.— 
—  Tidak!—  Sarwiyah membentak. —  Po-
koknya sekarang juga kau harus meninggalkan 
kamar ini. — 
Dengan perasaan kecewa sekali pemuda ini 
pergi juga meninggalkan kamar. Namun diam-
diam pemuda ini sudah memutuskan, ia akan 
menggunakan ramuan obat yang bisa menimbul-
kan rangsangan birahi. 
— Huh huh . . . !— desisnya. — Aku ingin 
melihat. Apakah kau masih sanggup bertahan la-
gi, apabila dalam nasi sudah aku campur dengan 
obat? Huh, kau akan segera menyerah dalam pe-
lukanku.. ... heh heh heh heh!— 
= s e l e s a i = 
Sala, Minggu kedua Mei 1987. 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
http://duniaabukeisel.blogspot.com 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com