Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 8 - Perjalanan yang Berbahaya(2)


Sesungguhnya Sarwiyah termasuk sebagai gadis 
penyabar. Kalau saja yang mengalami peristiwa seperti 
ini Sarindah yang wataknya keras dan galak, tentu su-
dah marah-marah dan mencaci-maki kalang kabut. 
Namun sekalipun Sarwiyah gadis sabar, kesabaran 
itu juga ada batasnya. Manakah mungkin dirinya bisa 
sabar, kalau harus mengalami keadaan seperti ini? 
Sarwiyah sudah menduga, yang  mencuri pakaian-
nya adalah Mahisa Singkir. Dan sekarang, pemuda ini 
malah datang dan seperti sengaja mengejek dirinya 
yang telanjang. Kalau saja pakaian itu tidak lenyap, ti-
dak usah orang menyuruh pun ia tentu sudah berpa-
kaian. 
Sarwiyah menjadi marah. Bentaknya, “Singkir! Apa-
kah engkau sudah berubah menjadi pemuda mata....” 
Tetapi Sarwiyah cepat menutup mulutnya sendiri 
dan juga menyesal. Dirinya saat sekarang ini masih 
membutuhkan pertolongan pemuda itu guna mengam-
bil pakaiannya di dalam goa. Disamping itu, semakin 
lama dirinya merasa kedinginan, dan apabila terus 
berlangsung seperti ini dirinya akan sakit. Karena itu 
sekalipun amat mendongkol dan penasaran, Sarwiyah 
menyabarkan diri, lalu katanya halus, “Sudahlah, Adi, 
sekarang aku mohon pertolonganmu. Lekas kembalilah 
engkau ke goa dan ambilkan pakaianku. Hemm, pa-
kaianku hilang secara aneh.” 
“Apa? Hilang?!” dalam kagetnya Mahisa Singkir 
menjadi lupa dan membalikkan tubuh, berhadapan 
dengan Sarwiyah. 
Sarwiyah menjerit kecil dan Mahisa Singkir cepat 
membalikkan tubuh lagi, sambil berkata gugup,   
“Mbakyu, maafkanlah aku. Aku lupa engkau seperti 
itu, maka aku sekarang membelakangi engkau lagi. Te-
tapi... katakanlah dahulu, kenapa pakaianmu sampai 
bisa hilang? Dan siapa pula yang sudah datang kemari 
dan berbuat jahat itu?” 
Hampir saja mulut gadis ini membentak dan men-
caci-maki. Untung ia segera sadar, maka rasa marah 
itu ia tekan dan kemudian berkata halus, “Cepatlah 
ambilkan dulu pakaianku di goa. Aku sudah kedingi-
nan, dan semuanya akan dapat kita bicarakan nanti.” 
“Baiklah, Mbakyu.” 
Mahisa Singkir segera melompat lalu ia berlarian 
menuju goa. 
Akan tetapi pada saat Mahisa Singkir masih berla-
rian itu, tiba-tiba saja Sarwiyah terbelalak kaget. Ia 
hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendi-
ri. Ia mengucak-ucak matanya, lalu ia mencubit pa-
hanya sendiri. Sakit! Merupakan bukti dirinya tidak ti-
dur dan tidak pula mimpi. 
Apa yang sudah terjadi? Secara aneh sekali, tanpa 
melihat sesuatu yang bergerak, tidak mendengar pula 
suara langkah orang maupun sambaran angin, tahu-
tahu pakaiannya yang tadi hilang lenyap itu sudah 
kembali ke tempat semula. 
Tanpa setahu Sarwiyah, makhluk aneh yang ben-
tuknya bulat seperti bola tadi, menggunakan kesempa-
tan demikian bagus. Pada saat Sarwiyah dan Mahisa 
Singkir sedang berbicara tadi, tanpa suara sudah 
mengembalikan pakaian yang tadi ia ambil. Kalau ke-
tika datang pertama kali gerakannya meloncat-loncat 
ringan seperti bola yang membal, pada saat mengem-
balikan pakaian ini ia menggelinding perlahan-lahan 
lewat sela-sela batu. 
Untuk beberapa jenak Sarwiyah terpaku keheranan. 
Namun kemudian gadis ini cepat meloncat ke darat 
tanpa mempedulikan lagi keadaannya sendiri yang po-
los. Ia lalu menyambar pakaian itu, lalu berlindung di 
belakang batu, sambil memakai pakaiannya cepat-
cepat. Ia menginginkan dirinya sudah selesai berpa-
kaian sebelum Mahisa Singkir datang. 
Ketika Sarwiyah tinggal memakai baju, telinganya 
menangkap suara gerakan orang yang halus. Ia sudah 
menduga, tentu yang datang ini Mahisa Singkir. 
“Mbakyu... Mbakyu Sarwiyah! Di manakah eng-
kau?!” teriak Mahisa Singkir agak gugup ketika tidak 
melihat Sarwiyah. 
Sarwiyah muncul dari belakang batu, dan sudah se-
lesai berpakaian sambil mengulum senyum manis. 
Dan tiba-tiba gadis ini sudah menubruk Mahisa Sing-
kir lalu memeluk. 
Mahisa Singkir ini kaget sekali. Untuk beberapa je-
nak lamanya pemuda ini terbelalak, jantungnya berde-
gup keras sekali dan kalau boleh sesungguhnya ia in-
gin sekali keadaan seperti ini dapat terus berlangsung. 
Mendadak saja apa yang tadi telah ia lihat, ketika 
Sarwiyah dalam keadaan polos, merendam diri dalam 
air, terbayang jelas dalam matanya. Ia tadi dapat meli-
hat lekuk liku tubuh gadis yang sekarang memeluk di-
rinya ini. 
Kenangan yang amat menarik dan menyedapkan 
mata ini, menyebabkan Mahisa Singkir tanpa sadar, 
lengannya sudah  membalas memeluk gadis ini. Ada 
perasaan yang aneh sekali menyelinap dalam dada 
pemuda ini. Dan kemudian tanpa sesadarnya pula jari 
tangannya sudah mengusap-usap rambut Sarwiyah 
yang hitam dan lebat serta berbau harum itu. 
Untunglah Sarwiyah lekas menjadi  sadar diri. Ia 
melepaskan pelukannya lalu mendorong perlahan. Wa-
jah gadis ini agak merah akibat malu. Ia tadi menu-
bruk dan kemudian memeluk Mahisa Singkir di luar 
kesadarannya, dan terdorong oleh perasaan gembira, 
pakaiannya yang pernah lenyap sudah kembali ke 
tempat semula masih lengkap. Hingga tuduhannya 
dan kecurigaannya kepada pemuda ini sudah terusir 
dari lubuk hati gadis ini. 
Sebagai akibat merasa bersalah karena sudah ter-
buru nafsu menuduh Mahisa Singkir ini, ia menyesal, 
sekalipun tuduhan itu masih dalam batin. Itu pula se-
babnya, ketika Mahisa Singkir sudah muncul, ia lalu 
menubruk dan kemudian memeluknya. 
Akan tetapi sekarang setelah hatinya merasa lega, 
Sarwiyah baru sadar, sesungguhnya ia tidak perlu 
berbuat seperti ini. 
Namun ia sendiri juga tidak tahu, mengapa sebab-
nya ia tadi langsung menubruk dan memeluk pemuda 
itu. Kenyataan sudah terjadi, dan ia tidak dapat me-
mungkiri. 
Mahisa Singkir memandang Sarwiyah dengan dada 
penuh tanda tanya. Dalam hati timbul perasaannya 
yang heran, apa sajakah maksud perbuatan Sarwiyah 
pada pagi ini? Ia tadi mendengar teriakan Sarwiyah. 
Ketika tiba di telaga ini, ternyata ia menyaksikan Sar-
wiyah tidak apa-apa dan masih merendam diri dalam 
air. Sebagai akibatnya dirinya harus melihat gadis ini 
dalam keadaan tanpa pakaian. Dan sekalipun Sar-
wiyah sudah berusaha menutup dada dan tengah pa-
ha, namun apa yang ia lihat tetap saja membuat ha-
tinya tidak karuan rasanya. 
Tadi Sarwiyah juga menegur dirinya dengan benta-
kan tidak senang. Malah kemudian menuduh dirinya 
seorang pemuda  mata keranjang. Lalu Sarwiyah me-
nyuruh dirinya mengambilkan pakaiannya di dalam 
goa sebagai pengganti. Tetapi sekarang setelah dirinya 
kembali sambil membawa pakaian, ternyata Sarwiyah 
sudah berpakaian lengkap, padahal gadis ini tadi me-
ngatakan hilang. 
Lalu ia berusaha ingin dapat memecahkan teka-teki 
yang ia hadapi dan menduga maksud Sarwiyah yang 
sebenarnya. Kemudian timbul pertanyaan dalam ha-
tinya, mungkinkah gadis ini sengaja mengaduk hati 
dan perasaannya, agar dirinya dapat terjebak melihat 
keadaan gadis itu yang bugil? 
Ia menjadi bingung sendiri. Sebab apabila Sarwiyah 
sengaja mengaduk hati dan perasaannya, mengapa se-
telah dirinya datang, Sarwiyah menegur dan menuduh 
dirinya sebagai pemuda mata keranjang? Kalau benar 
gadis ini sengaja mengaduk perasaannya, tentunya se-
sudah dirinya datang lalu menggoda dengan tingkah 
maupun senyumnya yang memikat. 
Saking bingung dan tidak dapat menduga maksud 
Sarwiyah yang sebenarnya, maka pemuda ini lalu ber-
tanya, “Apakah yang terjadi sebenarnya, Mbakyu? Aku 
menjadi bingung menghadapi semua ini.” 
Setelah menghela napas panjang, Sarwiyah lalu 
menebarkan pandang matanya ke sekeliling, karena 
masih terpengaruh oleh perasaan curiga. Adakah 
orang yang sengaja mengacau pada pagi hari ini? 
Tetapi Sarwiyah merasa yakin hal itu tidak pernah 
terjadi. Sebab apabila benar, dirinya tentu dapat meli-
hat pengacau itu. Lalu apakah setan dan iblis? Lebih 
tidak masuk akal lagi. Untuk apakah setan dan iblis 
menyembunyikan pakaiannya? Atau pandang matanya 
sendiri yang kurang teliti? Juga tidak mungkin! Ia tadi 
sudah mencari-cari pakaian itu dan tidak tampak. 
“Adi Singkir,” ujarnya kemudian, “marilah kita 
kembali ke goa. Nanti aku akan segera menceritakan 
semuanya. Hem, aku menghadapi peristiwa yang 
sungguh aneh dan mengherankan.” 
“Lalu pakaianmu ini?” 
“Berikan padaku. Dan mari kita cepat kembali ke 
goa.” 
Mahisa Singkir mengikuti langkah gadis ini. Dan 
pemuda ini sengaja melangkah di belakang. Sebab 
dengan melangkah di belakang ini berarti dirinya dapat 
memandang lekuk lekung gadis itu tanpa  rasa malu. 
Lalu terbayanglah dalam benak pemuda ini, keadaan 
Sarwiyah yang tadi tidak berpakaian sama sekali. Aki-
batnya tanpa terasa jantungnya berdetak keras dan 
tubuhnya menjadi meriang. Sebagai pemuda yang be-
lum pernah mengenal perempuan, kenangan dan 
bayangan pikiran ini menimbulkan sesuatu yang me-
narik dan nikmat. 
Kenyataannya memang demikianlah, pikiran manu-
sia itu sendiri yang menimbulkan pemisahan antara 
sebutan manusia jahat maupun manusia baik. Sebab 
pikiran itu sendiri yang kemudian mendorong kepada 
nafsu untuk melakukan perbuatan itu. Pikiran manu-
sia membimbing ke arah kemajuan, ke arah perada-
ban. Tetapi juga pikiran manusia sendirilah yang bisa 
menjerumuskan manusia sendiri kembali ke arah ke-
biadaban dan tidak mengenal hukum. Oleh pikiran 
manusia ini pula kemudian timbullah pembunuhan, 
kekejaman, perkelahian, pertentangan dan lain seba-
gainya. 
Seperti halnya apa yang terjadi dengan Mahisa 
Singkir pada pagi ini. Apabila ia hanya menggunakan 
mata melulu, melihat dan menikmati sesuatu yang in-
dah, tentu akan nampak keindahan yang asli dalam 
segala bentuknya. Ia akan dapat menikmati keindahan 
itu seindah-indahnya, tidak ubahnya mata ini melihat 
bunga indah dan berbau wangi. Akan tetapi sebaliknya 
apabila manusia sudah menggunakan pikirannya, 
keindahan itu akan segera ternoda. Karena nafsu akan 
segera muncul dan berada paling depan. Mata yang 
memandang ini kemudian tidak jujur lagi, karena su-
dah terpengaruh oleh pikiran. Sebab kemudian akan 
membayangkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, 
sehingga timbullah tindakan-tindakan manusia yang 
tidak pantas. 
Untung sekali Sarwiyah segera merasa bahwa Mahi-
sa Singkir sedang memperhatikan dirinya dari bela-
kang. Lalu gadis inipun ingat, Mahisa Singkir tadi te-
lah melihat dirinya tanpa pakaian. Mendadak saja ga-
dis ini merasa kikuk disamping malu. Sekalipun diri-
nya sekarang ini dalam keadaan berpakaian lengkap, 
namun ia sendiri seperti tidak berpakaian. 
“Adi,” katanya kemudian dalam usaha menutupi 
kegelisahannya, “apakah sebabnya kau di belakang? 
Aku menjadi sulit untuk bicara.” 
Pemuda ini menjadi sadar dan oleh kehalusan pera-
saannya, ia menjadi malu sendiri. Guna menutupi pe-
rasaannya yang tidak keruan itu, ia meloncat ke de-
pan, lalu melangkah di samping Sarwiyah. 
“Engkau akan bicara apa?” tanyanya. 
Sarwiyah tersenyum. Hatinya merasa senang bahwa 
Mahisa Singkir masih seperti yang dulu. Seorang pe-
muda penurut dan selain memperhatikan apa yang ia 
katakan. 
“Tahukah engkau bahwa aku sekarang ini sedang 
dalam keadaan heran, merasa aneh dan merasa seperti 
mimpi pula?” 
“Kenapa bisa begitu, Mbakyu? Apakah ada hubung-
annya dengan peristiwa tadi?” 
“Kau benar. Sesuatu yang baru, yang sama sekali 
aneh dan menyebabkan aku sendiri bingung.” 
Mahisa Singkir tersenyum. Dalam hati pemuda ini 
ingin sekali agar gadis ini mengatakan, apa yang sudah 
terjadi tadi memang secara sengaja, memanggil dirinya 
agar dapat melihat keadaan dirinya dalam keadaan se-
perti bayi. 
“Ahhh... Adi Singkir, kalau perjalananku ini tidak 
bersama engkau, mungkin saja aku ini menjadi gila 
mendadak.” 
“Ahhh...!” seru Mahisa Singkir kaget. “Apakah se-
babnya kau berkata begitu, Mbakyu?” 
“Hemmm... tentunya kau sudah mengenal watak 
dan tabiatku, bukan? Dan engkau tentu tahu pula, 
aku seorang yang tidak percaya kepada adanya setan 
dan iblis maupun hantu?!” 
“Benar. Aku pun seorang yang tidak percaya kepada 
semua itu. Setan, iblis, hantu dan semacamnya itu ti-
dak lain hanyalah permainan dari pikiran kita sendiri, 
yang kemudian menimbulkan semacam khayal, lalu 
membentuk sesuatu. Setan, iblis, hantu dan seba-
gainya itu merupakan klise atau hafalan saja. Karena 
ayah, ibu, nenek dan sebagainya telah memberikan 
pengertian itu. Hingga kemudian tercetak dalam benak 
manusia tentang makhluk-makhluk itu, sesuai dengan 
gambar yang memberi cerita. Kemudian lalu menim-
bulkan rasa takut dalam hati.” 
Mahisa Singkir berhenti, mengambil napas, dan se-
jenak kemudian meneruskan, “Penggambaran hantu 
maupun siluman, sama pula dengan kita menghadapi 
anak kecil. Anak kecil itu apabila tidak pernah menda-
pat kuliah tentang ketakutan, tidak mungkin menjadi 
takut.  Tetapi sebaliknya apabila yang tua sudah me-
nakut-nakuti dengan segala macam hantu dan silu-
man itu, membuat anak itu menjadi ketakutan. Khayal 
yang menakutkan itu kemudian terkenang seterusnya 
sampai menjadi dewasa. Namun apabila menyadari 
semua itu hanya permainan dari pikiran ini, tentu 
akan menjudi geli sendiri tentang semua itu.” 
“Engkau benar, Adi. Anak kecil yang secara sengaja 
atau tidak menakut-nakuti bocah dengan kucing, anak 
itu akan ketakutan melihat kucing. Namun sesudah 
tahu tidak menakutkan, anak itu kemudian tidak ta-
kut lagi.” 
Mahisa Singkir tersenyum, katanya, “Ya! Apabila 
benar hantu itu ada tentu bentuknya akan sama saja 
di seluruh dunia ini. Seperti manusia ini, di seluruh 
bumi sama saja bentuknya, dan yang berbeda hanya-
lah warna kulit, rambut, tingkah laku, kebudayaan, 
kecerdasan, tinggi tubuh maupun yang lain. Akan te-
tapi dalam keseluruhan si manusia ini adalah sama. 
Akan tetapi anehnya, mengapa dalam menggambarkan 
tentang hantu dan lelembut itu menjadi berbeda-beda? 
Dengan demikian membuktikan semua itu hanyalah 
khayal manusia sendiri. Manusia di setiap tempat, da-
lam mengkhayalkan lelembut tadi berbeda-beda. Jadi, 
sama sekali tidak ada.” 
“Ya, aku pun sependapat dengan kau, Adi.” Sar-
wiyah menghela napas. “Namun yang aku alami pagi 
tadi, menyebabkan aku ini menjadi ragu akan penda-
patku sendiri selama ini.” 
“Apakah sebabnya?” Mahisa Singkir heran. 
Ketika itu mereka justru sudah hampir mencapai 
goa tempat mereka istirahat. Sarwiyah tidak segera 
menjawab, malah mempercepat langkahnya. Setelah 
gadis ini duduk di depan mulut goa, barulah gadis ini 
menghela napas panjang. 
“Duduklah, Adi. Sekarang akan aku ceritakan se-
muanya.” 
Mahisa Singkir yang tertarik dan ingin pula menda-
pat jawaban pertanyaannya, segera pula duduk. Mere-
ka berhadapan dan mata Mahisa Singkir menatap wa-
jah ayu itu penuh perhatian, membuat gadis ini agak 
malu. 
Namun ia tidak mau menegur maupun mencegah. 
Ia hanya menundukkan muka. Agaknya sikap gadis ini 
malah menyadarkan Mahisa Singkir, lalu pemuda ini 
menundukkan muka. 
“Begini, Adi, seperti aku katakan tadi, aku tidak 
percaya kepada segala macam hantu dan lelembut. 
Akan tetapi apa yang aku alami tadi, menyebabkan 
aku menjadi ragu. Dan tentunya engkau tadi kaget ke-
tika aku memanggil, lalu engkau melihat diriku masih 
di dalam telaga.” 
Gadis ini berhenti dan mendadak merasa malu diri-
nya tadi tanpa pakaian terlihat oleh Mahisa Singkir. 
“Ahhh...!” tiba-tiba Mahisa Singkir melompat berdiri 
lalu memandang ke arah telaga. 
“Kau ini mengapa?” Sarwiyah berkata sambil terta-
wa lirih melihat tingkah Mahisa Singkir. 
“Tentu ada manusia yang sengaja kurang agar, te-
lah menggoda dan menyembunyikan pakaianmu.” 
Kalau Mahisa Singkir menduga demikian, hal ini ia 
hubungkan dengan apa yang tadi ia alami sendiri. Ia 
masih tidur pulas kemudian ada benda yang memben-
tur dekat tubuhnya. Baru sesudah ia bangun, ia men-
dengar panggilan Sarwiyah. Dengan demikian jelas, 
memang ada orang yang sengaja mengganggu. Untung 
sekali mulutnya tidak secara gegabah menceritakan, 
sebab hal ini bisa menimbulkan salah duga bagi Sar-
wiyah. Gadis ini bisa saja menuduh Mahisa Singkir te-
lah sengaja menggoda dirinya, menyelenggarakan ker-
jasama dengan orang lain. 
“Aku pun menduga begitu,” sahut Sarwiyah. “Tetapi 
duduklah! Tak enak aku bicara dengan duduk tetapi 
kau berdiri seperti itu.” 
“Marilah kita kembali ke sana melakukan penyelidi-
kan. Siapa tahu orang yang kurang ajar itu masih di 
sana. Huh, kita hajar orang itu...!” 
Gadis ini menggeleng. “Duduklah! Tidak perlu kita 
kembali ke sana, karena tak ada gunanya.” 
Apabila gadis ini berkata demikian memang alasan-
nya cukup kuat. Kalau orang yang sengaja menggang-
gu itu benar bisa mereka temukan, mereka berdua 
takkan mampu menghadapi. Sebab kalau orang itu 
dapat bergerak secepat itu, sehingga tanpa bisa terlihat 
dan terdengar oleh telinganya, jelas bukan orang sem-
barangan. 
Meskipun demikian, timbul pula rasa keraguannya, 
apakah maksud orang itu menyembunyikan pakaian-
nya, kemudian mengembalikan lagi masih dalam kea-
daan utuh? 
“Adi, aku tadi pun menduga seperti itu. Tetapi aku 
sudah meneliti lebih dari cukup. Kuselidiki, namun 
tiada sesuatu yang mencurigakan. Aku tidak menemu-
kan bekas kaki maupun rumput yang roboh. Itulah 
sebabnya ketika engkau datang dan membawa pa-
kaianku, aku sudah selesai berpakaian. Sebab setelah 
engkau pergi, secara tiba-tiba pakaianku telah berada 
di tempat semula. Aku tidak percaya dengan siluman 
dan demit maupun hantu. Namun adakah orang yang 
dapat berbuat seperti itu?” 
Mereka asyik membicarakan peristiwa yang baru 
terjadi di telaga. Matahari sudah agak tinggi dan Mahi-
sa Singkir yang belum mandi segera pamit untuk 
mandi. 
“Mandilah! Dan kita harus segera meneruskan per-
jalanan.” 
Ketika Mahisa Singkir pergi, Sarwiyah segera me-
nyisir rambutnya lagi untuk kemudian ia sanggul lebih 
patut. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya tidak te-
rurus, sekalipun saat ini sedang dalam hutan dan jauh 
dari pergaulan dengan manusia lain. 
Mahisa Singkir bergerak cepat menuju telaga. Dan 
diam-diam pemuda ini penasaran, merasa telah diper-
mainkan orang. Jika orang itu sengaja mencelakai, 
tentu sambitannya tadi akan mengena dirinya. Tetapi 
karena membentur tempat kosong, berarti orang yang 
menyambit maupun orang yang menyembunyikan pa-
kaian Sarwiyah, lalu sengaja membangunkan dirinya 
dan memancing agar dirinya menuju ke telaga. Dengan 
demikian ia dapat menyaksikan keadaan Sarwiyah 
yang polos. 
Ia benar-benar menyesal dan penasaran. Kalau ti-
dak melihat Sarwiyah dalam keadaan seperti itu, diri-
nya tentu tidak menjadi seperti sekarang ini. Hatinya 
menjadi tidak tenang lagi setelah melihat, wajah Sar-
wiyah yang ayu itu. 
Ia menyelidiki ke sekitar telaga. Siapa tahu kalau 
orang kurang ajar itu masih di tempat ini. Namun ter-
nyata usahanya sia-sia belaka. Sepi, sunyi dan tidak 
menemukan seseorang. Dan seperti sudah diterangkan 
Sarwiyah tadi, juga tidak tampak adanya bekas kaki 
maupun rumput yang roboh. 
Akhirnya pemuda ini segera melepaskan pakaian, 
mandi dan berkecimpung di dalam air yang sejuk. Tu-
buhnya menjadi segar dan semua rasa lelah maupun 
penat menjadi hilang. Seakan ia memperoleh semangat 
baru dan Mahisa Singkir menuju kembali ke goa den-
gan wajah berseri serta hati yang gembira. 
Ketika jaraknya tidak jauh lagi dengan goa, hidung-
nya kembang kempis menghirup bau sedap dan gurih. 
Ia cepat bisa menduga, tentu Sarwiyah sedang mem-
bakar daging sisa kemarin guna sarapan pagi. 
Dugaannya ternyata benar, gadis itu sekarang sibuk 
memanggang daging di bekas api unggun kemarin ma-
lam. 
“Adi, makanlah!” kata Sarwiyah dengan bibir terse-
nyum manis. “Sayang aku tidak mempunyai alat un-
tuk merebus air. Kita tidak dapat minum air hangat 
pada pagi ini.” 
“Ahh Mbakyu, aku sudah biasa minum air tawar 
tanpa mengenal waktu,” sahutnya sambil duduk. “Dan 
aku menjadi malu, karena selalu membuat kau repot 
saja.” 
“Bukan kau, tetapi malah akulah yang membuat 
engkau repot. Mestinya kau bebas mengembara, seka-
rang engkau terikat dan harus menemani aku dalam 
perjalanan ini.” 
“Hemm, sudah seharusnya Mbakyu, engkau adalah 
cucu guruku. Apakah artinya yang kulakukan seka-
rang ini apabila dibandingkan dengan pengorbanan 
Guru bagi diriku?” 
“Sudahlah Adi, marilah kita makan. Kemudian se-
cepatnya kita berangkat meneruskan perjalanan, 
mumpung masih pagi!” akhirnya Sarwiyah meng-
alihkan perhatian. 
Hal ini memang disengaja guna mencegah hatinya 
terharu kepada pemuda ini, oleh sikapnya yang selalu 
mengalah dan selalu berusaha merendahkan diri. Ten-
tu pemuda ini akan berusaha menyisihkan kebaikan-
kebaikannya sendiri, ditutup dengan kebaikan yang 
pernah diterima dari kakek, mbakyu maupun dirinya 
sendiri. 
Demikianlah, akhirnya dua orang muda ini mening-
galkan goa ini, lalu meneruskan perjalanan cepat me-
nerobos hutan. Namun diam-diam dalam perjalanan 
ini pikiran dan hati Sarwiyah selalu dibebani oleh kek-
hawatiran, oleh mimpi buruk semalam. 
Akan tetapi memang lumrah bagi manusia yang hi-
dup di dunia ini, selalu berusaha menghibur diri. Biar-
pun hatinya khawatir, ia akan mencari-cari alasan, 
bahwa itu hanyalah impian saja. Sama pula dengan 
orang yang suka main perempuan, ia akan selalu  
menghibur diri dengan mencari kambing hitam, me-
nyalahkan isteri atau lingkungannya. Atau mengata-
kan, beginilah seharusnya seorang laki-laki, berarti 
seorang jantan sejati. 
Manusia laki-laki yang tidak jantan. Laki-laki yang 
tidak tahu harga diri, mau dijajah oleh perempuan. 
Dan anehnya pula, masyarakat tidak akan menuding 
dan mencela manusia laki-laki seperti itu. 
Namun sebaliknya apabila ada perempuan yang 
berbuat semacam ini, akan cepat-cepat mendapat cela, 
dicemooh dan dituduh jalang. Adilkah ini? Kalau wani-
ta dilarang, mengapa laki-laki bebas? Kemudian 
menghibur diri dengan alasan itulah tata kesopanan 
umum. Itulah tradisi! Bukan berarti kalau pria bebas, 
wanita pun harus bebas dan berbuat semau gue. 
Perlu introspeksi, bahwa penyelewengan, dalam 
bentuk apapun dan dengan macam alasan apapun 
adalah tidak benar. Tidak baik. 
Disadari oleh kesadaran  dan tanggung jawab, me-
nyebabkan Mahisa Singkir dan Sarwiyah yang mela-
kukan perjalanan bersama ini dijauhkan dari perbua-
tan yang kurang patut. Padahal apabila mereka mau 
melakukan penyelewengan, apakah sulitnya? Sebab 
mereka jauh dari manusia lain. Mereka laki-laki muda 
dan seorang gadis. Mereka tidak pernah berpisah, ma-
kan bersama-sama dan tidur pun di satu tempat. Pada 
saat yang seorang sedang tidur, yang lain akan dapat 
menatap dan memperhatikan tanpa gangguan. 
*** 
22  
Tanpa terasa mereka bersama-sama telah menem-
puh perjalanan sudah lebih dari satu bulan lamanya. 
Mereka demikian rukun, senasib sepenanggungan. Me-
reka saling bantu dan saling memperhatikan. Seakan 
mereka ini sepasang kekasih yang sama-sama merasa-
kan kesulitan dan kegembiraan. Hati mereka menjadi 
sangat dekat dan saling percaya. 
Sayang sekali usaha dan harapan mereka belum ju-
ga terwujud. Warigagung maupun gurunya belum juga 
dapat mereka temukan dan tidak seorang pun dapat 
memberitahu ke manakah pemuda itu maupun gu-
runya. 
Sering juga Sarwiyah mengeluh, setiap sudah me-
ngaso di suatu tempat. Entah dalam goa, entah di ru-
mah orang atau di dalam penginapan. Dan sering juga 
Sarwiyah turun semangatnya, lalu ingin menghentikan 
usahanya dan ingin pulang saja ke Tosari. 
Akan tetapi Mahisa Singkir yang selalu setia mene-
mani perjalanan ini selalu menghibur, membangkitkan 
semangatnya dan membesarkan hati dan harapan. 
Pemuda ini selalu mengingatkan tanggung jawab Sar-
wiyah kepada Sarindah. Dan betapa memalukan apa-
bila orang sudah melarikan diri dari tanggung jawab. 
Dan kenyataannya memang oleh dorongan Mahisa 
Singkir yang membantu sepenuhnya ini, maka Sar-
wiyah tidak patah semangat di tengah jalan, sekalipun 
harapannya makin lama menjadi semakin tipis. 
Mereka terus menjelajah hutan maupun pedesaan 
dan malah juga kota-kota kecil. Akan tetapi hari ini 
seperti hari kemarin, dan seperti minggu-minggu yang 
lalu. Mereka tidak juga menemukan Warigagung mau-
pun Julung Pujud. Harapannya masih tetap hampa 
dan yang mereka peroleh hanyalah letih, kesengsaraan 
maupun kelaparan. 
Tetapi justru oleh tekad baja Mahisa Singkir ini me-
nyebabkan Sarwiyah mau meneruskan usahanya, se-
kalipun usaha itu belum memberikan tanda keberhasi-
lan sama sekali. Sejak diawali dari perbukitan Ken-
deng, dengan tekad baja pada akhirnya tibalah mereka 
di  wilayah Belambangan. Tetapi Belambangan ini wi-
layahnya luas sekali, sehingga usaha mereka pun tetap 
sulit justru sejak semula Sarwiyah tidak tahu ancar-
ancar di manakah Julung Pujud bertempat tinggal. 
Keadaan ini menyebabkan gadis ini kesulitan dalam 
usaha  mencari tempat tinggal Julung Pujud. Dan se-
tiap orang yang ditanya tidak seorang pun dapat mem-
beri keterangan. 
“Adi,” kata Sarwiyah sambil membantingkan pan-
tatnya di atas tanah lalu menghela napas sedih, “telah 
berbulan lamanya kita mencari, dan telah jauh pula ja-
rak yang kita tempuh, tetapi harapanku belum juga bi-
sa terwujud. Sampai sekarang tidak seorang pun dapat 
menerangkan tempat tinggal Paman Julung Pujud 
yang aneh itu. Apakah tidak sebaiknya kita urungkan 
saja maksud ini, dan kita pulang saja ke Tosari? Siapa 
tahu kita sambil menunggu di sana, guru dan murid 
itu datang sendiri? Atau setidak-tidaknya, kita bisa 
bertemu dengan Mbakyu Sarindah yang mungkin ma-
lah sudah pulang lebih dulu.” 
“Tetapi... Mbakyu,” sahut pemuda ini tampak ragu, 
“engkau sendiri sudah mengatakan, baik engkau mau-
pun Mbakyu Sarindah takut pulang ke Tosari.” 
“Hemm,” Sarwiyah mengeluh. “Aku menjadi bingung 
sendiri, Adi. Lalu apa yang harus kita lakukan selan-
jutnya? Jika terus mencari, aku semakin tidak yakin 
dan harapanku semakin tipis. Tetapi sebaliknya apabi-
la tidak mencari, aku pun khawatir apabila Mbakyu 
Sarindah sampai salah paham dan menjadi marah. 
Bukankah engkau pun sudah mengenal watak dan ta-
biat Mbakyu Sarindah yang keras dan pemarah itu?” 
Diingatkan tentang Sarindah yang keras hati dan 
pemarah itu, Mahisa Singkir menjadi khawatir sendiri. 
Khawatir apabila dirinya dipersalahkan, sudah mem-
pengaruhi Sarwiyah menghentikan usaha ini. Walau-
pun kenyataannya ia selain membesarkan hati dan 
mendorong Sarwiyah untuk terus berusaha. 
Tetapi walaupun sudah demikian jauh pengorba-
nannya untuk menemani Sarwiyah dalam perjalanan 
ini, tentu Sarindah yang kasar dan mudah marah itu 
tentu tidak mau tahu. Dan salah-salah dirinya sendiri 
malah dimusuhi. 
“Sekarang begini saja, Mbakyu,” ujar Mahisa Singkir 
kemudian. “Engkau harus mau mendengar pendirian-
ku ini. Biarlah soal ini serahkan saja kepada diriku. 
Akan aku cari dia sampai ketemu, sedang engkau 
kuantar pulang ke Tosari. Sebaiknya engkau menung-
gu saja di rumah dan siapa tahu apabila Mbakyu Sa-
rindah atau saudara yang lain pulang? Kemudian eng-
kau akan dapat minta bantuan saudara-saudara kita 
itu, agar mau ikut mencari. Tetapi untukmu Mbakyu, 
lebih baik kau tidak usah pergi saja dan tetap di Tosa-
ri.” 
Tiba-tiba Sarwiyah merengut lalu bersungut-
sungut. “Engkau anggap aku ini orang apa?” 
Mahisa Singkir kaget dan memandang Sarwiyah. 
Lalu ia bertanya, “Apakah maksudmu?” 
“Engkau berpayah-payah dan saudara yang lain 
bersakit-sakit, sebaliknya aku enak-enak di rumah. 
Huh, apakah aku ini seorang pengecut yang lari dari 
tanggung jawab dan menjadi seorang yang mencari 
enak sendiri?” 
“Ahhh, bukan begitu maksudku, Mbakyu. Semua 
ini dengan maksud agar aku tidak begitu besar me-
ngorbankan kepentinganmu sendiri maupun urusan 
yang lain.” 
“Hi hi hik,” Sarwiyah cekikikan. “Apakah engkau ini 
sudah linglung, Adi, menganggap urusan ini bukan 
urusanku? Sudahlah, pendeknya, kita teruskan saja 
usaha pencarian ini dan terima kasih kuucapkan ke-
padamu.” 
“Mengapa engkau mengucapkan terima kasih?” 
“Mengapa tidak? Engkaulah yang mengorbankan 
kepentingan dan urusanmu sendiri, dalam usahamu 
membantu kepentinganku. Dan sebagai akibatnya se-
lama ini, engkau mengabaikan kepentinganmu sendiri, 
untuk mendapatkan tambahan pelajaran dari kakek 
yang baik hati itu.” 
“Ahhh Mbakyu... engkau jangan membuat aku malu 
saja. Menurut pendapatku, urusanmu juga merupakan 
urusanku juga. Jadi sama sekali aku tidak merasa 
berkorban untuk urusan ini. Sudahlah Mbakyu, apabi-
la engkau memang tidak mau pulang ke Tosari, siapa 
yang memaksa? Marilah kita lanjutkan usaha kita ini. 
Kita wajib berikrar pantang mundur dalam usaha ini. 
Sungguh Mbakyu, walaupun kemudian hari aku harus 
berubah menjadi kakek-kakek, aku akan terus menca-
ri sampai ketemu.” 
Ketawa Sarwiyah meledak mendengar ucapan pe-
muda ini. 
Tetapi Mahisa Singkir sendiri justru keheranan dan 
kemudian bertanya, “Apakah sebabnya kau tertawa?” 
“Tentu saja, hi hi hik, bagaimana aku tidak tertawa? 
Engkau masih muda belia, tetapi kau bilang sampai 
jadi kakek-kakek pun akan terus mencari. Apabila 
engkau berubah menjadi kakek, apakah diriku akan 
masih tetap seperti sekarang ini? Tentu saja aku pun 
akan berubah menjadi nenek-nenek jika engkau men-
jadi kakek. Karena aku justru lebih tua setahun 
umurnya dibanding dengan engkau.” 
Akhirnya Mahisa Singkir juga tertawa setelah me-
nyadari pernyataannya sendiri memang lucu. 
Tetapi diam-diam timbul pertanyaan dalam hatinya, 
apakah hal ini tidak lucu dan menggelikan jadinya? 
Seorang pemuda dan seorang gadis pergi bersama-
sama sampai menjadi kakek dan nenek, namun sela-
ma itu dua orang yang berlainan jenis ini, masing-
masing masih dapat menjaga diri sehingga masih tetap 
sebagai perawan suci dan jejaka thing-thing? 
Maka diam-diam dalam hatinya mengeluh juga dan 
juga timbul kekhawatirannya apabila hal ini sampai 
terjadi juga. 
Setelah rasa lelah berkurang, dua orang muda ini 
melangkah meneruskan perjalanan. Mereka melang-
kah di atas tebing sungai Sanen yang berliku-liku dan 
bertebing curam. 
Pada saat itu memang sedang dalam musim kering 
dan matahari menyinarkan cahayanya yang amat te-
rik. Perbukitan ini banyak gundul dan rumput pun hi-
dup susah dan banyak yang mati. 
Perut mereka merasa lapar, tetapi usaha mereka 
mencari binatang hutan tidak pernah terkabul. Tempat 
yang kering ini, menyebabkan binatang hutan tidak 
kerasan lagi hidup di tempat ini dan berpindah ke hu-
tan lain. 
“Sayang...,” Sarwiyah mengeluh pendek, “seekor ti-
kus pun tidak bisa kita peroleh di tempat ini. Ahh, Adi 
Singkir, aku hanya membuat engkau menderita seng-
sara saja....” 
“Mbakyu, mengapa berkali-kali engkau berkata se-
perti itu? Bagiku, ini kewajiban, Mbakyu. Kewajiban 
sebagai saudara seperguruanmu. Bukankah apabila 
engkau melakukan perjalanan seorang diri, engkau 
akan merasa lebih menderita lagi? Sebab engkau ter-
paksa berdiam diri tanpa seorang pun yang bisa eng-
kau ajak bicara. Tetapi sebaliknya ada aku, setidak-
tidaknya engkau bisa menghibur diri dan berbicara 
dengan aku.” 
Sarwiyah mengeluh. Jawabnya, “Ya, tetapi agaknya 
sekarang ini kita harus berhadapan dengan perut yang 
lapar. Di tempat kering seperti ini, seekor tikus pun ti-
dak ada yang bisa kita temukan.” 
“Tetapi di sungai itu, aku percaya banyak ikan yang 
bisa aku tangkap.” 
Sarwiyah tersenyum masam. Sahutnya, “Apakah 
engkau ini sudah berubah menjadi tolol? Adi Singkir, 
sungai ini berada di perbukitan, air saja sudah hampir 
menjadi kering, banyak batu, lalu adakah ikan yang 
kerasan hidup di sini?” 
Gadis ini berhenti dan menghela napas panjang. Se-
jenak kemudian ia baru meneruskan, “Seperti binatang 
hutan, ikan pun telah mengungsi ke tempat lain yang 
dapat menjamin hidup senang dan tenteram. Dan ka-
lau toh masih ada yang tersisa, yang kita peroleh tak-
kan sesuai dengan kesulitan kita.” 
Mahisa Singkir juga menghela napas. Ia dapat me-
nerima alasan Sarwiyah. Menangkap maupun me-
nyambit ikan dalam air tidak semudah binatang di da-
rat 
“Tetapi kita tidak perlu khawatir, Mbakyu. Di dalam 
hutan ini masih banyak tumbuh-tumbuhan dan umbi-
umbian yang bisa kita jadikan santapan. Dan asal kita 
berusaha, apa yang kita harapkan akan dapat kita pe-
roleh.” 
Akhirnya mereka setuju untuk mencari umbi-
umbian saja guna pengisi perut. 
Namun berbicara memang lebih mudah, sedang apa 
yang harus mereka hadapi adalah lain. Umbi-umbian 
itu sudah lama tunasnya mati dan kering. Maka sulit 
bagi mereka untuk mencari pengisi perut yang mereka 
butuhkan. 
*** 
33  
Pada saat mereka sedang menyelidik untuk bisa 
mendapat pengisi perut ini, tiba-tiba mereka dike-
jutkan oleh bentakan orang. 
“Angkat tanganmu dan serahkan senjatamu!” 
Sarwiyah dan Mahisa Singkir terbelalak kaget. Me-
reka kemudian memandang sekeliling dan ternyata 
mereka sekarang sudah dikurung oleh belasan laki-
laki yang telanjang dada dan hanya berpakaian cawat 
melulu untuk menutupi auratnya. 
Wajah orang itu rata-rata bengis dan tubuhnya 
tampak kuat disamping adanya urat yang menonjol di 
permukaan kulit. Beberapa orang di antara mereka 
memegang busur dan anak panah yang siap dibidik-
kan. Sedangkan yang lain, memegang golok mengkilap, 
membuktikan golok itu tajam luar biasa. Ada pula 
yang bersenjata tombak pendek dan ada pula yang 
bersenjata semacam sabit. 
Mahisa Singkir dan Sarwiyah sadar bahwa saat ini 
berhadapan dengan bahaya maut. Maka secepatnya 
mereka beradu punggung. Karena menghadapi keroyo-
kan seperti ini hanya dengan cara beradu punggung 
sajalah yang menguntungkan. 
Sarwiyah yang belum banyak pengalaman berhada-
pan dengan bahaya diam-diam menjadi khawatir seka-
li. Sebaliknya Mahisa Singkir tampak tenang saja. 
“Apakah maksud kalian ini? Dan apa pula kesala-
han kami?” tanya Mahisa Singkir tanpa gentar. 
“Hemm,” seorang kurus yang bertindak sebagai pe-
mimpin mendengus dingin. Sahutnya, “Kamu masuk 
ke dalam wilayah kami tanpa minta ijin lebih dahulu. 
Huh, tetapi semua ini engkau jangan bertanya kepada 
kami. Karena kami hanya menerima perintah dari 
pimpinan kami. Dan untuk itu menyerahlah kamu un-
tuk segera kami hadapkan kepada pemimpin kami.” 
“Kalau kami tidak mau?!” pancing Sarwiyah. 
“Menyesal sekali, kami akan menggunakan kekera-
san.” 
“Siapakah pemimpinmu itu?” tanya Mahisa Singkir. 
“Hemm, kamu tidak usah perlu tahu siapakah pe-
mimpin kami. Yang penting kamu harus segera menye-
rah secara baik-baik, agar kami tidak usah mengguna-
kan kekerasan. Percayalah Kisanak, pemimpin kami 
akan bertindak adil dan bijaksana. Tetapi jika sampai 
terbukti kalian masuk ke daerah ini tanpa mengan-
dung maksud jahat, tentu saja pemimpin kami akan 
membebaskan kalian. Sebaliknya apabila ternyata ka-
lian memang mengandung maksud tidak baik, kamu 
jangan menanyakan tentang dosa.” 
“Huh, lebih baik kami mati daripada menyerah ke-
pada manusia biadab seperti kamu ini!” bentak Sar-
wiyah yang sudah mempersiapkan pedangnya. 
Ketika itu Mahisa Singkir juga sudah memper-
siapkan senjatanya. Sebab pemuda ini juga sadar per-
kelahian sudah tidak mungkin dapat dihindari lagi. 
Maka diam-diam ia menjadi mengkhawatirkan kesela-
matan Sarwiyah. 
Bisiknya kemudian, “Mbakyu Sarwiyah, aku akan 
menyerang mereka, dan engkau harus menggunakan 
kesempatan baik guna meloloskan diri.” 
Gadis ini mengerutkan alisnya yang lentik. Ta-
nyanya, “Lalu bagaimanakah dengan dirimu sendiri?” 
“Mbakyu, engkau tidak perlu memikirkan diriku. 
Yang penting adalah  Mbakyu selamat, dan aku akan 
mengamuk. Syukur aku dapat menyelamatkan diri. Te-
tapi apabila tidak, aku akan mati dengan puas, asal 
saja engkau bisa selamat tidak kurang suatu apa.” 
Sarwiyah terharu mendengar ucapan pemuda ini, 
dan kenyataan ini menjadi bukti sampai di mana per-
tanggungjawaban pemuda ini terhadap dirinya. Di 
samping itu membuktikan pula sampai di manakah 
kesetiaan Mahisa Singkir kepada seorang saudara se-
perguruannya. Dia sanggup mengorbankan dirinya 
sendiri untuk kepentingan orang lain. Bukan main! 
Akan tetapi sebaliknya Sarwiyah juga bukan seo-
rang gadis pengecut, dan hanya mementingkan diri 
sendiri melulu. Ia juga memiliki keperwiraan, dan ia 
takkan membiarkan Mahisa Singkir menjadi korban, 
hanya guna melindungi keselamatannya. 
“Adi Singkir, engkau bicara tidak keruan. Huh, eng-
kau terlalu menghina diriku.” 
Mahisa Singkir kaget mendengar ucapan gadis ini. 
“Mbakyu, engkau jangan menjadi salah paham. Mak-
sudku baik, demi tanggung jawabku kepada guru dan 
keluargamu.” 
Sarwiyah tersenyum, namun Mahisa Singkir yang 
membelakangi tidak tahu. Gadis ini memang sengaja 
mengucapkan kata-kata yang memancing agar Mahisa 
Singkir tersinggung. 
“Adi Singkir, jika harus dibicarakan, akulah seha-
rusnya yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. 
Karena akulah yang menyebabkan engkau tiba di tem-
pat ini dan berhadapan dengan bahaya. Sekarang, 
akulah yang akan menyerang dan membuka jalan. Ke-
sempatan baik itu lalu pergunakanlah untuk menye-
lamatkan diri. Engkau jangan mengkhawatirkan diriku 
lagi, Adi. Aku akan mati dengan puas asal saja engkau 
selamat.” 
“Ahh... manakah mungkin bisa terjadi? Engkau se-
dang menunaikan tugas guna kepentingan keluarga-
mu. Dan dalam pada itu, ada pula seseorang yang me-
nunggu engkau. Ahh, betapa sedih orang itu jika eng-
kau sampai celaka. Sudahlah Mbakyu, pendeknya 
engkau harus segera menggunakan kesempatan dan 
aku akan membuka jalan.” 
Gadis ini semakin terharu mendengar pernyataan 
Mahisa Singkir ini. Ahhh, betapa bahagia hati seorang 
gadis apabila memiliki seorang pemuda seperti Mahisa 
Singkir ini. Pemuda yang jujur, bertanggungjawab dan 
sedia mengorbankan dirinya sendiri guna kepentingan 
orang lain tanpa mengharapkan pamrih apapun. 
Akan tetapi saat sekarang ini manakah mungkin di-
rinya mau mengalah? Karena ia tidak dapat mengu-
capkan kata-kata lain, maka gadis ini kemudian hanya 
menirukan apa yang sudah diucapkan Mahisa Singkir, 
“Ahh... mana mungkin? Engkau seorang yang masih 
amat muda. Dan dalam pada itu ada pula seorang ga-
dis yang menunggu dirimu. Ahh, betapa sedih gadis itu 
apabila engkau sampai celaka. Sudahlah, Adi, pendek-
nya engkau harus segera menggunakan kesempatan 
baik ini dan aku akan membuka jalan.” 
Mahisa Singkir ketawa terbahak-bahak mendengar 
kata-kata Sarwiyah ini, yang menirukan ucapannya. 
“Ha ha ha ha, engkau lucu.” 
“Hi hi hik, engkau lucu dan menggelikan!” Sarwiyah 
menirukan sambil ketawa cekikikan. 
Orang-orang yang mengurung rapat itu memandang 
dengan perasaan heran. Apakah sebabnya gadis dan 
pemuda ini bisik-bisik dan kemudian tertawa? Sung-
guh terlalu! Karena mereka salah duga, mereka kemu-
dian menganggap bahwa sepasang muda-mudi ini se-
dang mengucapkan kata-kata rayuan yang asyik ma-
syuk, sekalipun jelas berhadapan dengan bahaya. 
“Hai orang muda!” bentak pemimpin itu marah. 
Apakah kamu membandel dan tidak mau menyerah 
kepada kami?!” 
Mahisa Singkir sudah memperhitungkan, tidak 
mungkin pemanah-pemanah yang sudah memper-
siapkan anak panah itu, berani menyerang. Sebab se-
rangan dalam jarak dekat dan saling berhadapan ini 
akan mencelakai pihaknya sendiri apabila sampai dila-
kukan. Oleh karena itu Mahisa Singkir tenang saja dan 
yang harus diperhitungkan justru orang-orang yang 
sudah siap dengan golok, tombak dan yang lain. 
“Mbakyu,” katanya lagi, “engkau harus mau men-
dengar apa yang aku katakan ini. Apakah engkau mau 
mengerti? Betapa sedih si Warigagung yang menjadi 
tunanganmu itu, apabila dirimu sampai celaka!” 
Wajah Sarwiyah agak merah diingatkan tentang tu-
nangannya itu. Ia tidak dapat menyalahkan apabila 
Mahisa Singkir berkata demikian. Namun justru uca-
pan pemuda ini yang membuat hati gadis ini menjadi 
semakin tidak karuan rasanya. Terharu, sedih dan 
bangga campur aduk dalam dadanya. 
“Hemm, Adi, engkau pun harus mau mendengar 
apa yang kukatakan ini. Adi, engkau tidak boleh mati 
dalam tahanan orang-orang ini. Apakah engkau men-
gerti? Betapa sedih hatiku apabila dirimu sampai cela-
ka. Engkau pemuda yang baik, jujur dan setia. Engkau 
pemuda yang menyenangkan dan harus hidup dan be-
rumur panjang. Agar kemudian hari engkau dapat me-
nikmati hari tuamu dengan isteri dan anak-anakmu, 
dalam suasana tenteram dan damai.” 
Tetapi ucapan Sarwiyah ini justru membuat Mahisa 
Singkir menjadi semakin tidak enak hati. Namun sebe-
lum ia sempat mengucapkan bisikannya, pemimpin 
orang bercawat itu sudah membentak. 
“Hai orang muda, aku sudah memberi kesempatan 
kepada kamu untuk berpikir. Tetapi karena kamu 
membandel, maka jangan menyalahkan aku jika aku 
harus menggunakan kekerasan. Hayo serbu... dan ke-
royok...” 
Orang-orang ini sudah terlatih dalam hal berkelahi 
secara mengeroyok. Mereka yang siap dengan busur 
dan anak panah sudah  berlompatan mundur agak 
menjauh dan menempatkan diri berpencar sedemikian 
rupa. Setiap lawan yang akan lolos, anak panah mere-
ka akan dapat dengan mudah menyerang. Dan anak 
panah yang beracun seperti ini justru sangat berba-
haya. Jangan lagi melukai, baru menyentuh kulit saja 
sudah dapat menimbulkan korban keracunan. 
Yang lain, yang bersenjata tombak, pedang, sabit 
maupun senjata pendek yang lain, secara teratur baik 
sekali sudah mengurung dua orang muda itu dengan 
rapat. Cara mengurung mereka pun tidak ngawur. Me-
reka membentuk lingkaran dalam beberapa tingkat, 
atau berlapis-lapis. 
Pada saat orang-orang ini sedang bergerak mulai 
mengurung, tiba-tiba sang pemimpin melengking nya-
ring. 
Baik Sarwiyah maupun Mahisa Singkir menjadi ka-
get. Sebab belum lenyap suara lengkingan si pemim-
pin, sudah bermunculan puluhan orang laki-laki ben-
gis, yang juga tidak berbaju dan hanya bercawat, su-
dah bergerak cepat dan menambah jumlah manusia 
yang mengurung. 
Barisan terdepan sebanyak delapan orang. Lapis 
kedua enam belas orang, dan lapis ketiga lipat dua 
atau tiga puluh dua. 
Melihat cara mereka bergerak dan mengurung itu, 
Mahisa Singkir sadar orang-orang yang hanya berca-
wat ini, terang mendapat latihan yang amat baik. Mu-
suh seperti ini amat berbahaya dan tidak mudah un-
tuk dapat meloloskan diri. 
Melakukan perlawanan dengan siasat mengadu 
punggung pun tidak memberi keuntungan cukup baik. 
Sebab dengan demikian mereka lebih banyak memper-
tahankan diri. 
Siasat mempertahankan diri dengan beradu pung-
gung adalah baik, apabila yang dihadapi hanya terba-
tas. Tetapi apabila jumlahnya sampai puluhan orang 
seperti ini, mereka akan menjadi kepayahan dalam 
bertahan. Maka diam-diam Mahisa Singkir keheranan, 
siapakah pemimpin orang-orang ini? 
Tidak mereka sadari sama sekali, bahwa sekarang 
ini mereka berhadapan dengan sisa-sisa pemberontak 
Sadeng, yang sudah dihancurkan oleh Gajah Mada ta-
hun 1331. Tetapi walaupun pemberontakan Sadeng ini 
dapat dipadamkan oleh Gajah Mada, namun tidak se-
mua pemimpin Sadeng itu habis terbunuh atau me-
nyerah. Masih ada salah seorang panglima Sadeng 
yang tidak lekas putus asa oleh hancurnya Sadeng ini. 
Sedang panglima Sadeng ini bernama Mpu Galuh. 
Runtuhnya Sadeng menyebabkan Mpu Galuh men-
jadi duda, sebab isterinya hilang tidak diketahui rim-
banya lagi. Entah ditawan prajurit Adityawarman, 
ataukah tewas dalam kekalutan itu. Ia dapat menye-
lamatkan diri bersama pengawalnya dan dua orang 
anaknya. Yang seorang laki-laki bernama Rakit Cen-
dana dan yang perempuan bernama Ika Dewi. 
Waktu dibawa menyelamatkan diri pada tahun 
1331, dua orang anaknya ini masih kanak-kanak. Te-
tapi sekarang Rakit Cendana sudah berumur lebih ku-
rang 22 tahun dan Ika Dewi seorang gadis berumur 19 
tahun. 
Mpu Galuh memang bercita-cita membangun keku-
atan kembali dan bersembunyi pada perbukitan seki-
tar aliran sungai Sanen, di sebelah selatan Gunung 
Malang ini. 
Guna mencukupi kebutuhan anak buahnya yang 
ratusan banyaknya itu, dari hasil cocok tanam dan 
berburu binatang hutan. Tetapi kalau perlu juga me-
ngirimkan Hesti Pawana dan Gajah Agni, untuk me-
mimpin belasan orang, mengadakan perampokan-
perampokan ke desa yang jauh dan makmur. 
Disamping merampok, mereka apabila pulang bu-
kan saja membawa harta rampasan, tetapi bagi mereka 
yang masih bujangan dan juga duda, diperbolehkan 
menculik gadis atau perempuan yang disukainya, lalu 
dijadikan isterinya. Dengan cara seperti ini maka di 
tengah hutan belantara itu sekarang berhasil dibangun 
perkampungan dan apabila sudah kuat akan meng-
gempur penguasa sekitarnya dan seterusnya akan 
menggempur Majapahit. 
Ini pulalah sebabnya tadi, Mahisa Singkir maupun 
Sarwiyah tidak melihat seekor tikus sekalipun ketika 
berburu. Binatang hutan ini makin lama makin men-
jadi habis, ditangkap anak buah Mpu Galuh atau juga 
mengungsi ke tempat lain. 
Sekarang setelah dikurung secara rapat dan berla-
pis tiga, kemudian masih ada lagi pasukan pemanah 
yang menjaga di lapis keempat, Mahisa Singkir terpak-
sa mempertimbangkan lagi sikapnya. Maka kemudian 
ia berbisik lagi kepada Sarwiyah. 
“Mbakyu, sekali lagi aku mohon pengertianmu. Mu-
suh ini selain jumlahnya banyak, agaknya sudah amat 
terlatih. Maka bagi kita sekarang ini sulit untuk bisa 
menanggulangi dan keluar sebagai pemenangnya. Oleh 
karena itu tidak benar apabila kita berkeras hati, dan 
tidak benar apabila kita harus nekad. Salah seorang di 
antara kita harus masih hidup. Dan aku memutuskan 
kaulah orangnya yang harus hidup itu. Kenapa harus 
begitu? Karena engkau akan masih dapat memba-
laskan kematianku di tangan orang-orang ini oleh ban-
tuan calon suamimu Warigagung dan gurunya. Maka 
sekarang kau bersiaplah untuk dapat lolos dan aku 
yang akan melindungi keselamatanmu.” 
Sarwiyah terharu sekali mendengar pernyataan pe-
muda ini. Sungguh mulia sekali watak dan tabiat Ma-
hisa Singkir ini. Sikap yang demikian ini, disamping 
membuat Sarwiyah trenyuh, juga kuasa mengaduk ha-
ti dan perasaannya. Setelah lebih tiga bulan lamanya 
mereka melakukan perjalanan bersama, selama ini si-
kap Mahisa Singkir terlalu sopan, hati-hati dan selalu 
berusaha melindungi keselamatannya. Hal ini kemu-
dian menimbulkan penilaian gadis ini, tidaklah gam-
pang ia mencari pemuda seperti ini. Ahhh, betapa ba-
hagia hatinya, kalau saja ia mempunyai calon suami 
seperti pemuda ini. 
Dalam bahaya ini tiba-tiba saja inginlah ia menge-
mukakan isi hatinya ini kepada Mahisa Singkir. Agar 
pemuda ini menjadi tahu akan sikapnya dan tidak se-
lalu menganjurkan kepada dirinya supaya menyela-
matkan diri. 
Tetapi meskipun hati ingin, tetapi mulut tidak mau 
bicara. Kehalusan pribadinya dan kesetiaannya kepada 
kakeknya, tidak sanggup dirinya harus mengemuka-
kan perasaannya itu. Biarlah rasa cinta kepada pemu-
da ini ia simpan dan ia rahasiakan dalam hati sampai 
nyawa meninggalkan tubuhnya. 
Akhirnya sahut gadis ini, “Adi, engkau jangan 
hanya mencari menang sendiri dan selalu memaksa 
orang lain. Jika engkau sendiri tidak mau lari, kenapa 
harus lari? Pendeknya begini, Adi, dengar baik-baik. 
Aku takkan mau hidup lagi tanpa kau. Jika kau mati 
dalam perlawanan ini, maka biarlah kita mati bersama. 
Adi... engkau tidak tahu....” 
Terdengar kemudian tarikan napas panjang dan 
isak tangis gadis ini perlahan. Mahisa Singkir kaget 
berbareng heran. Benarkah apa yang ia dengar tadi? 
Sekalipun apa yang sudah terucapkan oleh Sarwiyah 
ini samar-samar, namun ia sudah dapat menangkap 
maksudnya. 
Akan tetapi segera timbul pula rasa bimbang dan 
ragunya. Manakah mungkin Sarwiyah mencintai diri-
nya? Gadis ini sudah bertunangan dan telah mendapat 
persetujuan dua belah pihak. Karena itu ia mengge-
lengkan kepalanya dan kemudian hatinya berteriak, 
“Tidak! Tidak boleh hal ini sampai terjadi.” 
Tiba-tiba saja ia merasa berdosa kepada guru mau-
pun Warigagung. Sebab sekalipun diam-diam ia terta-
rik pula kepada pribadi Sarwiyah, akan tetapi ia tidak 
ingin merebut milik orang lain. 
Guna mengusir perasaan yang mengaduk hatinya 
ini, kemudian ia berkata dengan nada sungguh-
sungguh, “Mbakyu, aku sudah memberi jalan, namun 
engkau selalu menolak. Baiklah, mari kita lawan me-
reka, sampai titik darah penghabisan. Walaupun hal 
ini tidak mungkin terjadi, namun aku akan bahagia 
sekali dapat mati bersama dengan kau!” 
Mendengar ucapan pemuda ini Sarwiyah pun kaget. 
Ahh, ternyata perasaan hatinya sama dengan perasaan 
Mahisa Singkir. Ternyata Mahisa Singkir diam-diam 
juga mencintai dirinya. Namun demikian selama ini, 
perasaan pemuda ini selalu ditutup dan disembunyi-
kan. 
Tiba-tiba saja rasa bahagia memenuhi dada gadis 
ini. Lebih lagi apabila dirinya ingat, Mahisa Singkirlah 
satu-satunya lelaki yang pernah menyaksikan dirinya 
dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Maka te-
patlah kiranya kalau pemuda ini yang kemudian hari 
harus menjadi suaminya, sekalipun umurnya sendiri 
lebih tua satu tahun dibanding Mahisa Singkir. 
“Marilah Adi, kita gempur mereka sampai kita mati 
bersama!” sambut Sarwiyah dengan nada yang mantap 
dan bahagia. 
Dua orang muda yang sudah beradu punggung ini 
kemudian menebarkan pandang mata menyelidik ke 
depan, ke kiri dan kanan dalam keadaan siap siaga. 
Mereka sadar, setelah sang pemimpin memberi aba-
aba menyerbu, puluhan orang ini akan segera menge-
royok. Dan mereka juga sadar, tidak ada jalan lolos la-
gi. 
Namun demikian dalam dada mereka dipenuhi rasa 
bahagia apabila dalam perkelahian ini harus mati ber-
sama-sama. 
Pada saat keadaan sudah amat gawat ini, tiba-tiba 
terdengar suara lengkingan nyaring, mirip dengan sua-
ra burung hantu, yang kemudian kuasa menimbulkan 
perubahan. Orang-orang yang hanya bercawat itu 
mendadak menjatuhkan diri berlutut ke arah asal sua-
ra. 
Mahisa Singkir dan Sarwiyah keheranan. Kalau tadi 
mereka beradu punggung, sekarang sudah tidak lagi. 
Mereka sudah berdampingan dan mengawasi ke arah 
orang-orang itu berlutut. 
Dalam keadaan semula tegang itu, kemudian mere-
ka memperoleh kesempatan berdiri berdampingan, 
tanpa terasa jari tangan Mahisa Singkir sudah me-
nyambar jari tangan Sarwiyah. Yang terjadi kemudian, 
sekalipun mata mereka memandang tak berkedip ke 
arah dua orang kakek yang baru datang, namun jari 
tangan mereka sekarang bicara sendiri. Jari tangan itu 
sekarang saling pijit, saling remas, berkejar-kejaran 
dan terasa darah panas mengalir, menimbulkan pera-
saan debar aneh dalam dada masing-masing. 
Dua orang kakek itu gerakannya amat cepat seperti 
bisa terbang. Yang seorang kurus kering dan tinggi 
semampai. Sedang yang seorang pendek tetapi kuat 
dan gagah, sekalipun kumis dan jenggotnya semuanya 
sudah putih. 
Mereka inilah pembantu setia Mpu Galuh, bernama 
Hesti Pawana dan Gajah Agni. 
Dalam waktu singkat dua kakek ini sudah saling 
berhadapan dengan Mahisa Singkir maupun Sarwiyah 
yang masih meremas jari tangan penuh perasaan ba-
hagia. Agaknya mereka ini ingin mengatakan rasa ka-
sih dan cintanya, pada saat mereka hampir mati ber-
sama-sama. 
“Mundur semua!” perintah Hesti Pawana. 
Semua orang bercawat itupun tanpa membantah te-
lah bergerak mundur, kemudian mereka mengurung 
dalam lingkaran lebar. 
Dua orang kakek inipun seperti puluhan orang itu, 
yang tidak memakai baju. Hanya bedanya, jika orang 
yang mengurung itu tidak memakai kain panjang dan 
ikat kepala, dua orang ini berkain panjang dan berikat 
kepala pula. 
Tetapi caranya memakai kain panjang berlainan 
dengan cara Mahisa Singkir berpakaian. Kain panjang 
dua kakek ini hanya ditalikan pada pinggang dan 
ujungnya menjulur ke depan dan ke belakang. 
Pada pinggang Hesti Pawana tampak melingkar ran-
tai baja sebesar ibu jari kaki, dan itulah senjata yang 
amat ia andalkan, sebagai cambuk rantai. Sebaliknya 
pada pinggang Gajah Agni bergantung sebatang tom-
bak trisula pendek. Dan di belakang punggung, ber-
gantung pada leher, sebuah perisai. 
Dua orang kakek ini mengamati Mahisa Singkir dan 
Sarwiyah penuh perhatian seperti menyelidik. Sekali-
pun demikian sikap dua kakek ini jauh berlainan den-
gan orang-orang bercawat itu. Mereka tidak kasar, ter-
bukti dengan suara yang keluar dari mulut Hesti Pa-
wana. 
“Anak muda, siapakah kalian ini? Aku yang tua 
bernama Hesti Pawana. Sedangkan dia ini adalah Ga-
jah Agni, merupakan pembantu pemimpin kami yang 
bergelar Mpu Galuh.” 
Karena sikap kakek ini demikian rupa dan kata-
katanya juga halus, maka Mahisa Singkir menjawab 
dengan halus pula, “Saya yang muda bernama Mahisa 
Singkir, sedangkan dia ini saudara seperguruanku 
bernama Sarwiyah. Kami berdua sedang melakukan 
perjalanan dan tanpa terasa sudah tiba di tempat ini. 
Akan tetapi sungguh membuat kami heran, kenapa 
tanpa sebab kami sudah dikurung oleh mereka dan si-
kap mereka mengancam pula?” 
“Hemm, anak muda, engkah jangan salah paham. 
Mereka ini hanya patuh kepada perintah atasan mere-
ka atau pemimpin kami. Ketahuilah, Anak muda, ka-
mu telah masuk ke wilayah kekuasaan kami tanpa izin 
dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Oleh sebab itu 
pemimpin kami mengundang kalian untuk menghadap 
ke sana.” 
Hesti Pawana berhenti sejenak mengambil napas, 
lalu terusnya, “Ketahuilah Anak muda, pemimpin kami 
adalah amat bijaksana. Apabila ternyata kamu masuk 
ke wilayah kami ini tidak mengandung maksud yang 
kurang baik, tentu saja tiada alasan bagi kami untuk 
menahannya. Malah percayalah kalian akan kami ang-
gap sebagai tamu yang terhormat.” 
Bibir Mahisa Singkir sudah bergerak untuk menja-
wab. Tetapi pemuda ini mengurungkan maksudnya, 
ketika merasa jari tangannya dipijit oleh Sarwiyah. Ke-
tika ia menoleh, Sarwiyah mengedipkan matanya. Ma-
hisa Singkir dapat menangkap isyarat itu, gadis ini in-
gin bicara. Karena itu ia mengalah dan tidak jadi bica-
ra. 
Kalau Sarwiyah mencegah Mahisa Singkir membu-
ka mulut memang bukannya tanpa maksud. Ia sudah 
mengenal watak pemuda ini yang jujur. Ia menjadi 
khawatir kalau pemuda ini terpengaruh oleh kata-kata 
yang halus dan sopan itu. Kemudian setuju untuk da-
tang menghadap pemimpin orang-orang ini sebagai 
tamu. 
“Kami tidak tahu wilayah ini merupakan wilayah 
pemimpin kalian,” kata gadis ini halus pula. “Dan kami 
baru tahu setelah Kakek memberi tahu. Untuk adilnya 
sekarang begini saja. Kalian telah tahu bahwa kami 
tersesat jalan. Maka kami sekarang memberitahu, se-
lekasnya kami akan meninggalkan tempat ini guna 
meneruskan perjalanan. Menyesal sekali kami tidak 
mempunyai waktu untuk memenuhi undangan pe-
mimpin kalian. Untuk itu kami mohon maaf sebesar-
besarnya. Nanti apabila urusan kami selesai, percaya-
lah kami akan datang memenuhi undangan pemimpin 
kalian.” 
Mendadak kakek pendek Gajah Agni ketawa terba-
hak-bahak. “Ha ha ha ha, enak saja engkau bicara. 
Kamu sudah melanggar wilayah kami, namun kamu 
menolak atas panggilan pemimpin kami. Huh, orang 
muda, yang tidak tahu tingginya langit dan dalamnya 
lautan, berani bersikap merendahkan dan menghina 
pemimpin kami. Apakah kalian memang ingin meng-
hadap pemimpin kami seperti tawanan, dan bukannya 
datang sebagai tamu terhormat? Huh, jika kamu me-
mang menghendaki jalan itu, kami terpaksa akan ber-
tindak selaras dengan wewenang kami.” 
Nyata sekali adanya perbedaan watak antara Hesti 
Pawana dengan Gajah Agni. Kalau Hesti Pawana sikap 
dan tutur bahasanya halus, sebaliknya Gajah Agni si-
kap dan tutur katanya kasar. 
Sebenarnya Mahisa Singkir ingin membuka mulut. 
Tetapi ia khawatir kalau Sarwiyah yang sudah mulai 
memperhatikan dirinya itu menjadi marah. Karena itu 
ia berdiam diri dan menyerahkan persoalan ini kepada 
Sarwiyah. Apapun keputusan gadis ini ia akan setuju 
dan penuh tanggung jawab. Pendeknya ia rela mati as-
al tidak terpisahkan lagi dengan Sarwiyah. 
“Hi hi hik,” Sarwiyah ketawa mengejek. “Manakah 
ada peraturan seperti itu? Mengundang orang boleh 
saja, tetapi tidak boleh secara paksa.” Sarwiyah ber-
henti dan mencari kesan. Sejenak kemudian ia melan-
jutkan, “Ketahuilah bahwa kami mempunyai keperluan 
yang tidak dapat ditunda-tunda sekalipun sehari saja. 
Maka amat menyesal sekali, dan maafkanlah kami, ha-
ri ini juga kami akan meneruskan perjalanan. Apabila 
kalian sengaja menghalangi dan sengaja memusuhi, 
bukanlah salah kami. Kalau kalian menggunakan ke-
kerasan, kamipun dapat berbuat sama. Kami sudah 
bertekad mati bersama-sama daripada harus menuruti 
perintah pemimpinmu yang tidak tahu aturan.” 
Gajah Agni mendelik marah. Sebaliknya Hesti Pa-
wana sikapnya masih tetap sabar, lalu katanya, “Anak 
muda, engkau jangan cepat menjadi salah paham. Ke-
tahuilah, sudah menjadi peraturan di sini, baik senga-
ja maupun tidak, orang yang masuk dalam wilayah ini, 
harus menghadap kepada pemimpin kami. Percayalah 
pemimpin kami cukup bijaksana. Apabila kalian tidak 
bermaksud jahat, pemimpin kami akan menerima ka-
lian sebagai tamu terhormat. Karena itu anak muda, 
aku seyogyakan kalian menerima undangan pemimpin 
kami ini, agar kami yang tua ini terhindar dari tudu-
han main paksa kepada orang yang lebih muda.” 
“Ha ha ha ha, wujudnya saja kau laki-laki, Kakang, 
tetapi sikapmu tidak berbeda  dengan perempuan ba-
wel,” sindir Gajah Agni. “Sudahlah Kakang, hayo kita 
tangkap saja orang-orang muda yang sikapnya som-
bong dan menghina ini. Tanganku sudah gatal, dan 
perintahkanlah aku segera bertindak.” 
“Sabar Adi,” bujuk Hesti Pawana dengan sikap yang 
masih tetap sabar. “Ingatlah kita ini orang tua. Betapa 
kita akan ditertawakan oleh dunia, apabila kita harus 
melawan orang muda.” 
“Heh heh heh heh, kita ini sedang bertugas, Ka-
kang. Dalam bertugas tidak ada lagi perbedaan umur. 
Mereka adalah musuh, harus  kita gunakan kekera-
san.” 
Sambil mengucap kata-katanya ini, Gajah Agni su-
dah melompat ke depan. Dua tangannya menyambar, 
sepuluh jarinya terbuka membentuk seperti cakar bu-
rung. 
Sebaliknya Sarwiyah melengking nyaring, sudah 
mendahului Mahisa Singkir, menyambut dengan pe-
dangnya. 
Cring cring.... Haya...! 
Gajah Agni berhasil menangkis sambaran pedang 
gadis ini dengan sentilan jari. Namun kemudian kakek 
ini menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bela-
kang, ketika hampir saja pinggangnya termakan oleh 
ujung pedang, sambil berteriak kaget. 
Ternyata dalam kemarahannya dan sadar pula ber-
hadapan dengan lawan tangguh, Sarwiyah tidak tang-
gung-tanggung lagi dalam serangannya. Sentilan jari 
tangan yang membuat pedangnya mental menyeleweng 
dan membuat lengannya kesemutan ini, masih dite-
ruskan dengan tikaman ke arah pinggang. Sebagai 
akibatnya Gajah Agni yang tidak pernah menduga, ter-
paksa harus melempar diri ke belakang. 
Mahisa Singkir juga sadar, kekerasan tidak dapat 
lagi dihindari lagi. Maka ia tidak mau tinggal diam lalu 
dengan membentak ia sudah menerjang ke depan dan 
menyerang Hesti Pawana. 
“Hayaaa...!” Hesti Pawana berseru tertahan sambil 
membuang diri ke samping. 
Di luar dugaannya sama sekali, gerakan pemuda ini 
jauh lebih cepat dibanding dengan si gadis. 
Gerakannya demikian aneh. Sekalipun ia seorang 
kakek yang telah luas pengalaman, hampir saja dirinya 
tertipu. Pedang yang nampaknya mengarah ke kanan 
itu, mendadak menukik ke arah kiri, dan ternyata ba-
gian kirilah yang diincar. Agak repot juga Hesti Pawana 
dalam melayani hujan serangan pedang ini. Ia tidak 
berani menggunakan jari tangannya untuk menyentil. 
Sebab salah-salah jari tangannya dapat terpapas pu-
tus. Karena itu ia menggunakan kecepatannya berge-
rak menghindar, disamping itu ia menampar atau me-
mukul untuk dapat membuat pedang lawan terpental 
atau menyeleweng. 
Mahisa Singkir amat penasaran sekali pedangnya 
tidak pernah berhasil menyentuh tubuh lawan. Rasa 
penasaran ini kemudian bercampur dengan rasa kha-
watir, ketika mendapat kesempatan untuk melirik ke 
arah Sarwiyah. Karena Sarwiyah benar-benar berha-
dapan dengan bahaya dalam melawan kakek pendek 
ini. 
Sarwiyah seperti seekor tikus kecil berhadapan de-
ngan kucing bangkotan. Berkali-kali terdengar denting 
batang pedang yang disentil dan berkali-kali pula ter-
dengar pekik lirih oleh gadis ini. Mahisa Singkir dapat 
menduga apa yang terjadi. Agaknya setiap sentilan jari 
tangan kakek itu, menyebabkan tangan Sarwiyah ke-
semutan. 
Hati pemuda ini tersiksa oleh kenyataan yang diha-
dapi Sarwiyah. Ia ingin sekali membela dan melindungi 
gadis ini, tetapi dirinya sendiri berhadapan dengan 
musuh, hingga tidaklah mungkin terwujud. 
Dirinya sendiri melawan Hesti Pawana yang berta-
ngan kosong saja belum juga berhasil menyentuh 
ujung bajunya. Sambaran angin tamparan maupun 
pukulan kakek ini kuat sekali. Walaupun ia telah 
mengerahkan tenaganya, namun pedangnya selalu 
menyeleweng, dan dadanya pun terasa menjadi sesak. 
Baru melawan orang yang bertangan kosong saja diri-
nya tidak mampu, apalagi apabila kakek ini sudah 
menggunakan senjatanya, pasti dirinya takkan mampu 
menandingi. 
Rasa gelisah melihat Sarwiyah di bawah angin ini, 
menimbulkan kemarahan yang meluap-luap dalam 
dada pemuda ini. Ia menjadi nekad, dan serangannya 
menjadi lebih cepat dan berbahaya. 
Akan tetapi justru kemarahannya itu pula yang se-
benarnya merupakan pantangan orang yang sedang 
berkelahi. Sebab akan menjadi kurang pengamatan di-
ri. 
Sarwiyah sendiri yang sudah bertekad lebih baik 
mati bersama Mahisa Singkir, serangannya menjadi le-
bih ganas dan nekad pula. Gajah Agni mengejek de-
ngan ketawanya yang terkekeh dan tentu saja sikap 
yang menghina dan mengejek ini menambah penasa-
ran bagi gadis ini. 
Siut... wut... cring cring...! 
Lagi-lagi serangan Sarwiyah dapat ditangkis dengan 
sentilan jari tangan Gajah Agni. 
Perkelahian yang tidak seimbang ini ditonton oleh 
orang-orang yang hanya bercawat itu sambil seringkali 
bersorak dan mengejek. Sarwiyah seperti mau me-
nangis menghadapi keadaan seperti ini. Ia ingin meng-
amuk tetapi apakah daya? Berhadapan dengan Gajah 
Agni yang bertangan kosong saja, dirinya tidak mampu 
berbuat apa-apa. 
Untung sekali di dalam penasaran ini, kemudian 
Mahisa Singkir kembali dapat menekan perasaan dan 
kemarahannya. Ia memancing Hesti Pawana untuk bi-
sa mendekati Sarwiyah. Maksudnya jelas sekalipun di-
rinya sendiri sedang berhadapan dengan bahaya, teta-
pi ia ingin menolong gadis itu dan ingin mengorbankan 
diri. 
Akan tetapi celakanya, Hesti Pawana seorang kakek 
yang cerdik pula. Melihat gelagat ini ia cepat dapat 
menduga maksud lawan. Karena itu ia mengebutkan 
telapak tangannya, sehingga oleh sambaran angin ini 
pedang Mahisa Singkir menyeleweng, kemudian meng-
gunakan kesempatan ini Hesti Pawana sudah melom-
pat jauh dan menghadang Mahisa Singkir. Maka aki-
batnya usahanya mendekati Sarwiyah terhalang dan 
tidak mungkin lagi. 
Pedang Mahisa Singkir kembali berkelebat dengan 
cepat melakukan serangan berantai. Namun lagi-lagi 
serangan itu dengan gampang telah dapat dihalau oleh 
tamparan tangan maupun pukulan Hesti Pawana. 
Pada saat dirinya sedang sibuk menyerang sambil 
menghalau balasan lawan ini, tiba-tiba ia mendengar 
Sarwiyah memekik tertahan. Sebabnya adalah karena 
pedang gadis ini sekarang sudah dijepit oleh jari ta-
ngan Gajah Agni dan sesaat kemudian gadis inipun 
sudah dapat ditangkap lalu ditawan. 
Melihat Sarwiyah sudah dapat ditawan ini, Mahisa 
Singkir marah sekali tetapi diam-diam juga mengeluh. 
Baginya tidaklah mungkin dirinya dapat menolong ga-
dis itu, justru Hesti Pawana lebih tangguh dan ting-
katnya jauh di atas dirinya. 
Sekalipun demikian semangat pemuda ini belum ju-
ga padam. Teriaknya sambil sibuk menghujani se-
rangan kepada Hesti Pawana, “Lepaskan dia! Be-
baskanlah dan jangan diganggu. Biarlah aku menye-
rah, asal saja dia dibebaskan.” 
“Bagus!” sambut Hesti Pawana. “Lepaskan pedang-
mu dan menyerahlah. Setelah benar-benar engkau 
membuktikan ucapanmu, gadis itu akan segera kami 
bebaskan.” 
“Tidak...! Jangan!” teriak Sarwiyah yang berusaha 
mencegah. 
“Bebaskan dia lebih dahulu dan jangan kamu gang-
gu lagi. Dan atas kebaikanmu Kek, aku akan menye-
rah secara tulus!” teriak Mahisa Singkir. 
“Aku kagum akan pribadi kalian, orang muda,” Hes-
ti Pawana memuji secara jujur. “Tetapi kami adalah pe-
tugas yang melaksanakan perintah pemimpin kami. 
Oleh pemimpin kami telah diperintahkan mengundang 
kalian secara hormat. Akan tetapi sebaliknya apabila 
kalian membandel, kami terpaksa akan menggunakan 
kekerasan.” 
“Aku menyerah!” seru Mahisa Singkir sambil mem-
buang pedangnya. 
“Adi?! Apakah yang kau lakukan?” Sarwiyah kaget 
sekali. 
“Tak ada gunanya aku bersikeras melawan, setelah 
engkau ditawan, Mbakyu. Karena engkau ditawan, bi-
arlah aku juga menjadi tawanan pula.” 
Sarwiyah terbelalak. Dalam dada gadis ini kemu-
dian terdengar isak lirih, tetapi tidak keluar air mata. 
Maka sadarlah gadis ini, Mahisa Singkir amat mencin-
tai dirinya, sehingga sampai berbuat senekad itu. Jelas 
sekali pemuda itu menyerah dengan maksud agar ti-
dak berpisah dengan dirinya. 
Dugaan gadis ini memang tepat. Semangat Mahisa 
Singkir segera padam setelah Sarwiyah tidak dapat 
berdaya lagi dan menjadi tawanan. Memang Mahisa 
Singkir amat mengkhawatirkan keselamatan dan nasib 
gadis ini dalam tawanan orang-orang ini. Karena itu 
Mahisa Singkir lebih suka menyerah agar dalam tawa-
nan nanti masih dapat berusaha melindungi keselama-
tan Sarwiyah yang diam-diam sudah mencuri hatinya 
itu. 
Demikianlah, akhirnya dua orang muda ini dibawa 
pulang sebagai tawanan. Dalam perjalanan menuju sa-
rang mereka ini, diam-diam Mahisa Singkir heran ber-
bareng kagum. 
Dalam menuju ke sarang ini mereka tidak lewat ja-
lan biasa. Membuktikan gerombolan ini diatur sedemi-
kian rupa guna melindungi keselamatan mereka. De-
ngan demikian orang yang berani masuk ke dalam wi-
layah gerombolan ini, sulit dapat keluar lagi disamping 
tidak gampang dapat menuju ke sarang mereka. 
Hanya beberapa puluh depa dari tempat perkela-
hian tadi. terdapat jurang yang cukup dalam. Hesti 
Pawana menggerakkan batu yang bentuknya bundar di 
tepi jurang. Sesaat kemudian terdengar suara geme-
risik lalu muncullah semacam lubang yang mempunyai 
tangga batu. Dirinya dibawa masuk dalam lubang ini, 
yang sempit dan  gelap sekali setelah alat rahasia itu 
digerakkan dari dalam lubang dan menutup kembali. 
Beberapa saat kemudian muncullah mereka di da-
sar jurang. Dan jurang ini merupakan jalan rahasia 
guna menuju ke sarang mereka. Cukup lama mereka 
menyusuri jurang yang kering ini, lalu tibalah pada se-
buah batu yang menonjol. Ketika batu itu digerakkan 
oleh alat rahasia yang terletak di dekatnya, batu yang 
menonjol tadi bergeser. Dan kemudian muncullah se-
buah lubang seperti goa. 
Masuklah Hesti Pawana ke goa ini, diikuti oleh Ga-
jah Agni yang mengepit Sarwiyah sebagai tawanan. 
Goa yang sesungguhnya merupakan jalan rahasia di 
bawah tanah ini amat gelap. Dan bagi mereka yang ti-
dak biasa, kalau tidak menggunakan penerangan tentu 
harus meraba-raba khawatir apabila terantuk batu. 
Hanya pada beberapa tempat saja terdapat sinar 
matahari yang menerobos masuk jalan rahasia ini dari 
lubang-lubang yang dibuat, guna menjamin kebutuhan 
hawa bersih dalam jalan rahasia ini. 
Entah berapa lama Sarwiyah dan Mahisa Singkir 
yang menjadi tawanan dibawa menyusuri jalan rahasia 
di bawah tanah ini. Setelah tiba pada ujung jalan ra-
hasia ini, Hesti Pawana menggerakkan alat rahasia la-
gi, kemudian terbukalah pintu rahasia dari batu. 
Mata Mahisa Singkir menjadi agak silau oleh sinar 
matahari setelah beberapa lama di dalam jalan rahasia 
yang gelap. Ketika mereka telah tiba di luar pintu dan 
Hesti Pawana kembali menutup pintu, mulut Mahisa 
Singkir ternganga karena kagum disamping menjadi 
lebih khawatir lagi. Ia menjadi sadar bahwa tanpa sei-
zin tuan rumah, sulit dirinya dapat melarikan diri dari 
tempat seperti ini. Karena daerah ini merupakan dae-
rah terasing yang hanya dihubungkan oleh jalan raha-
sia di bawah tanah. 
Ternyata sarang mereka ini terletak di suatu lembah 
yang terkurung oleh tebing terjal yang langka dapat di-
panjat maupun dituruni. Sebab lain tebing itu licin, 
pohon-pohon yang tumbuh di tebing itu hanya sema-
cam lumut dan tidak mungkin dapat dipergunakan 
oleh orang untuk berpegangan. 
Dalam pada itu yang berbahaya bagi para penye-
lundup, setiap orang di tebing akan dengan gampang 
dapat diawasi orang dari bawah. Hingga orang yang 
sengaja datang untuk mengacau, sebelum maksudnya 
terwujud, sudah akan mati terpanggang oleh anak pa-
nah beracun yang dilepaskan orang. 
Melihat keadaan sarang gerombolan ini, diam-diam 
Mahisa Singkir menghela napas sedih. Sebab dalam 
hidup dirinya takkan mungkin dapat keluar dari lem-
bah ini, kalau toh dirinya belum dibunuh oleh mereka. 
Lain halnya apabila dirinya mempunyai sayap, dirinya 
akan dapat terbang dengan enaknya turun dan naik 
tebing tinggi yang licin seperti ini. 
Perumahan bagi para anggota gerombolan ini ber-
wujud rumah-rumah batu yang berderet memanjang. 
Seakan merupakan benteng yang memisahkan sarang 
itu dengan tebing. Ia tidak tahu, dari bahan apakah 
yang mereka pergunakan sebagai atap. Akan tetapi 
tampaknya seperti kayu yang di bagian luarnya ditu-
tup oleh batu yang kemudian dibuat menjadi tipis. 
*** 
Mohon maaf, sampai di sini cerita ini putus dahulu, 
untuk kemudian akan muncul cerita baru berjudul 
“TERKURUNG DALAM PERUT GUNUNG”. Siapakah 
yang terkurung ini? Silakan baca dan Anda ikuti. Anda 
akan tahu jawabannya. 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Clickers
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com