Pedang Pusaka Dewi Sri Tanjung 7 - Rahasia Dewa Asmara(2)



Guncangan jiwa gadis ini yang terkuasai oleh rasa 
rindu, menyebabkan Sarindah lekas tersinggung dan 
marah pula. Sebab ia merasa sakit hati, merasa terhi-
na dan merasa pula tertipu. Ia mencintai suami sepe-
nuh hati, namun ternyata suami lain di mulut lain di 
hati. Ia merasa terbujuk oleh mulut manis, sehingga 
dirinya sudah merasa menyerahkan “mahkota” kepe-
rawanannya, tetapi  tidak juga orang mau mengakui 
sebagai istri. 
Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan 
apabila Sarindah menjadi gemas dan penasaran. Den-
gan gerakannya yang gesit, ia menyambar pedang yang 
tadi runtuh di tanah. Lalu dengan pedang terhunus ini 
Sarindah menatap Sinom Pradopo dengan sepasang 
mata menyala. 
“Laki-laki keparat! Laki-laki bermulut palsu!” ben-
taknya lantang. “Setelah engkau menodai diriku, sete-
lah engkau merenggut kegadisanku, sekarang engkau 
menyia-nyiakan diriku dan mengusir aku seperti ter-
hadap anjing. Huh, setan alas! Lebih baik engkau 
mampus daripada aku menyaksikan engkau memeluk 
wanita lain. Huh, mampuslah...!” 
Siut.... cring.... cring.... 
“Aihhh...!” 
Gerakan pedang Sarindah yang seperti kilat dan ce-
pat sekali itu ternyata masih kalah cepat dengan gera-
kan Sinom Pradopo. Sambaran pedang diterima oleh 
jari tangan, lalu disentil. Sentilan jari tangan yang di-
lambari tenaga sakti ini amat kuat sehingga menye-
babkan pedang gadis itu menyeleweng. Dan sebagai 
akibatnya, Sarindah yang kaget sendiri berteriak nyar-
ing. 
Sinom Pradopo memandang Sarindah dengan pan-
dang mata sejuk. Sekalipun hatinya penasaran juga 
namun pemuda ini masih dapat menahan dalam hati. 
“Nona, engkau keliru mengenal orang,” katanya be-
rubah halus karena diam-diam merasa kasihan juga. 
“Sungguh mati, aku bukan Dewa Asmara. Namaku 
semenjak kecil sampai sekarang tidak pernah berubah, 
hanya Sinom Pradopo. Sungguh mati, aku belum per-
nah kenal dengan Nona, apa lagi sebagai kekasih dan 
suamimu.” 
Sarindah berdiri tegak dengan pandang mata berki-
lat tanda amat marah, sedangkan pedang berombak 
seakan mau meletus. 
Dan sejenak kemudian ia mencaci maki lantang, 
“Laki-laki bangsat! Laki-laki bajingan! Engkau tidak 
bertanggung jawab. Engkau laki-laki buaya dan ber-
mulut palsu. Huh, siapakah yang sudah salah men-
genal orang? Engkau adalah Kakang Dewa Asmara.... 
suamiku! Tetapi mengapa sebabnya engkau sekarang 
mungkir dan berganti nama lain? Huh engkau berusa-
ha melarikan diri dari tanggung jawab. Maka lebih baik 
engkau dan aku mati bersama.” 
Selesai menumpahkan kemarahan, Sarindah sudah 
menerjang maju lagi menyerang secara berantai. Cepat 
sekali gerakan pedang gadis ini, sekaligus menyerang 
mata, leher dan dada serta ulu hati. 
Untuk sejenak sepasang mata Sinom Pradopo ber-
sinar marah. Namun dalam waktu singkat, pandang 
matanya kembali menjadi sejuk dan penuh perasaan 
iba. Caci-maki gadis ini sekalipun amat menyakitkan 
hatinya, namun masih dapat ia lawan dan ia usir. Ia 
sama sekali tidak marah maupun gentar menghadapi 
serangan pedang yang cepat itu. Dan Sinom Pradopo 
tidak bergerak dari tempatnya berdiri, dan hanya 
menggunakan jari tangan untuk menyentil. 
Siut.... wutt.... tring.... tring...! 
Serangan Sarindah hebat, namun Sinom Pradopo 
dapat menghalau dengan baik. 
Namun sebaliknya Sarindah yang marah dan pena-
saran, gemas dan sakit hati, sudah seperti kalap. Wa-
laupun lengannya merasa kesemutan dan hampir 
lumpuh, ia terus memaksa diri dan menghujani seran-
gan dengan ganas sekali. 
Betapapun kesabaran ada batasnya. Karena sudah 
merasa bersikap mengalah dan berusaha menyadar-
kan tidak juga gadis ini mau menggubris, pemuda ini 
menjadi tidak telaten lagi. Maka ketika pedang Sarin-
dah kembali menyambar dengan dahsyat, ia tidak lagi 
menangkis dengan sentilan jari tangan. Dengan gesit 
Sinom Pradopo sudah melesat menghindar, lalu me-
mungut ranting bambu berduri yang tadi menjadi alat 
Sarindah menyiksa Kaligis maupun Sangkan. 
Siut.... trang.... plak...! 
Sarindah memekik kaget ketika ranting bambu ber-
duri itu menyabet lengannya, menimbulkan rasa pedas 
dan lengannya hampir lumpuh. 
Akan tetapi Sarindah yang telah kalap dan sakit ha-
ti, manakah mungkin mau berhenti? Sambil memekik 
nyaring ia kembali menghujani serangan kepada Si-
nom Pradopo. 
“Mampus kau.... Huh, laki-laki keparat dan penipu!” 
“Hemm.... ternyata kau ganas, Nona,” sahut Sinom 
Pradopo dengan ucapannya yang tetap halus, tidak 
memperlihatkan kemarahan. 
Pada saat itu pedang Sarindah secara cepat luar bi-
asa sudah menyabet leher dan gerakan itu malah ia te-
ruskan menikam dada. 
Tetapi Sinom Pradopo tidak menghindarkan diri. Ia 
sudah mengambil keputusan, perempuan yang sudah 
salah mengenal dirinya ini harus dapat ia tundukkan. 
Maka Sinom Pradopo lalu menyalurkan hawa sakti pa-
da ranting bambu berduri yang ia pergunakan sebagai 
senjata. Ketika pedang Sarindah menyambar, tiba-tiba 
ranting bambu berduri itu menempel. Dan pada saat 
Sarindah kaget dan berusaha menarik kembali senja-
tanya, Sinom Pradopo secara cerdik sudah memutar 
pergelangan tangannya. 
Mau tak mau pedang di tangan Sarindah ikut pula 
berputar, hingga gadis ini memekik kaget dan berusa-
ha mempertahankan pedang sambil mengerahkan te-
naganya. Tetapi sungguh celaka, putaran ranting 
bambu itu sulit terlawan dan berbareng dengan benta-
kan Sinom Pradopo, “Lepas!”, maka pedang Sarindah 
sudah lepas dari tangan, terlempar beberapa depa 
jauhnya. 
Sarindah terbelalak tetapi sepasang mata itu me-
nyala. Teriaknya, “Kau.... kau...!” 
Hanya itu saja kata-kata yang dapat keluar dari 
mulut gadis ini. Sedangkan Sinom Pradopo dengan 
tersenyum, kembali menyadarkan, “Nona, kenapa aku? 
Sadarlah, Nona, engkau sudah keliru mengenal orang. 
Ketahuilah aku bukan Dewa Asmara dan aku bukan 
kekasihmu. Sekarang, pergilah engkau dari tempat ini, 
aku akan menolong dua orang yang setengah mati oleh 
tanganmu itu.” 
Jiwa Sarindah semakin payah terguncang! Dalam 
benak gadis ini sudah merasa pasti pemuda tampan 
yang ia hadapi sekarang ini adalah Dewa Asmara. Je-
las, laki-laki ini yang amat ia cintai dan dengan ikhlas 
ia sudah menyerahkan segala-galanya. Dan dalam 
rongga telinganya masih terngiang kata-kata lembut 
penuh rayu dan kemesraan dari mulut Dewa Asmara. 
Akan tetapi sekarang ini betapa penasaran, betapa 
sakit hatinya, karena dengan terang-terangan pemuda 
yang sudah ia serahi jiwa raga itu kini malah mungkir. 
Sungguh merupakan sikap pengecut dan menghina, 
yang hanya bisa ditebus dengan nyawa. 
“Kakang.... Kakang Dewa Asmara.... apakah engkau 
tetap mau mungkir dan tak mau mengakui aku seba-
gai kekasihku?” ratap Sarindah dengan air mata ber-
cucuran. 
Sinom Pradopo menatap Sarindah dengan pandang 
mata sejuk. Kemudian ia menerangkan, “Nona, sudah 
aku katakan, aku bukan Dewa Asmara. Karena itu 
Nona harap sadar akan kekeliruan ini.” 
“Aihhh...!” pekik Sarindah sambil membantingkan 
kakinya ke tanah. 
Sebenarnya gadis ini marah sekali, tetapi apakah 
daya? Ia sudah menyerang dengan pedang secara ma-
ti-matian. Namun semua serangannya dengan gam-
pang pemuda itu menghalau. Malah kemudian hanya 
menggunakan ranting bambu, pemuda itu berhasil 
membuat pedangnya lepas. Maka tidak mungkin di-
rinya dapat mengalahkan pemuda yang tampan ini. 
Kemudian yang dapat ia lakukan, hanya membalik-
kan tubuh dan menangis. Lalu ia memekik nyaring 
dan berlari sambil melolong seperti anak kecil. Gun-
cangan jiwa yang parah dalam sanubari Sarindah me-
nyebabkan gadis ini menjadi seperti gila! 
“Nona, tunggu! Ambillah pedangmu!” teriak Sinom 
Pradopo nyaring, ketika tahu pedang Sarindah terting-
gal. 
Akan tetapi panggilannya itu seperti tidak mendapat 
perhatian. Sarindah sekarang memang sudah berubah 
menjadi gadis setengah gila, akibat guncangan batin 
yang parah. Hati gadis ini  terlalu sakit merasa telah 
tertipu. Merasa telah terbujuk oleh kata-kata manis, 
habis manis sepah dibuang. 
Sarindah lupa sama sekali dan juga tidak sadar, di-
rinya telah menjadi korban khayalnya sendiri, sebagai 
pengaruh Aji Netra Luyub Kakek Madrim. 
Sinom  Pradopo mengamati ke arah Sarindah yang 
lari, sambil berkali-kali menghela napas dalam. Dalam 
hatinya timbul rasa iba dan kasihan kepada gadis ma-
lang itu, yang sudah menjadi korban kata-kata palsu 
dari mulut pemuda tidak bertanggung jawab. Dan se-
kalipun ia belum kenal sama sekali dengan Sarindah, 
telah timbul tekadnya untuk berusaha menyadarkan 
orang bernama Dewa Asmara itu, apabila kemudian 
hari dapat bertemu. 
Akan tetapi bagaimanapun timbul pula perasaan 
heran dalam hatinya. Mungkin orang bernama Dewa 
Asmara itu sama persis dengan dirinya? Mungkinkah 
ini? Padahal sepanjang pengetahuannya, dirinya tidak 
mempunyai saudara kembar. 
Ia masih mendengar tangis Sarindah yang melolong-
lolong seperti anak kecil dari tempat jauh. Akan tetapi 
pemuda tampan ini kemudian mengerutkan kening. 
Pendengarannya yang tajam, dapat mendengar bahwa 
di sela lolongan ini, terdengar pula suara tertawa. 
Mungkinkah gadis yang menjadi korban cinta itu seka-
rang sudah terganggu jiwanya? 
Namun pikirannya yang tertuju kepada Sarindah ini 
segera ia usir dan sekarang perhatiannya tertuju ke-
pada Kaligis maupun Sangkan yang pingsan oleh sik-
saan Sarindah. Pemuda ini kemudian agak tergesa da-
lam usahanya menolong. Penglihatannya tidak salah 
lagi dua orang pemuda ini keadaannya telah payah, 
karena  lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia lalu 
menghampiri tonggak yang dipergunakan mengikat 
Kaligis dan Sangkan. 
Sungguh menakjubkan apa yang kemudian terjadi. 
Tali yang kuat itu, hanya beberapa kali renggut dengan 
jari tangannya sudah putus semuanya. Kaligis dan 
Sangkan yang sudah setengah mati itu, setelah lepas 
dari ikatan hampir roboh terbanting. Namun sekali 
sambar dua pemuda itu sudah dalam pelukannya. 
Sinom Pradopo tidak mempedulikan bajunya terno-
da oleh darah Kaligis maupun Sangkan. Kemudian 
dengan hati-hati, dua pemuda ini ia rebahkan di atas 
rumput. Sinom Pradopo mengerutkan alis, mengetahui 
keadaan dua pemuda yang ia tolong ini dalam keadaan 
payah. Akan tetapi bagaimanapun ia tidak putus asa 
dan sedapat-dapatnya akan memberi pertolongan. 
Pemuda ini cepat mengambil air bersih dari sumber 
air menggunakan daun pisang. Ia segera mengambil 
obat bubuk dari dalam sakunya, lalu ia aduk dengan 
air. Agak susah ketika ia meminumkan obat ke mulut 
orang yang pingsan itu. Hanya dengan bantuan hawa 
sakti saja obat tersebut berhasil ia dorong masuk ke 
dalam perut. 
Setelah Kaligis dan Sangkan mendapat pengobatan 
dari dalam, mulailah sekarang ia menyibukkan diri 
mengobati luka-luka pada seluruh tubuh Sangkan dan 
Kaligis. 
Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya mengha-
dapi luka-luka bekas duri dan pukulan itu. Ia merasa 
heran sekali, apakah sebabnya perempuan muda can-
tik itu kejam ganas seperti ini? 
Kemudian dalam hati ia menduga, apa sajakah se-
babnya terjadi peristiwa mengharukan seperti ini? Na-
mun karena mengingat keadaan  di tempati ini amat 
sepi, maka tentunya dua orang muda ini sudah mem-
punyai maksud kurang ajar kepada perempuan tadi. 
Tetapi celakanya dua orang muda ini ketanggor ba-
tunya. Mereka dikalahkan lalu disiksa. 
Cukup lama waktu yang harus ia gunakan mengo-
bati luka-luka yang hampir memenuhi tubuh dua 
orang pemuda ini. Kendatipun demikian, pemuda ini 
tidak mengeluh. Ia membiarkan keringat yang memba-
sahi dahi dan lehernya. Semua perhatian tertuju kepa-
da dua orang muda yang ingin ia selamatkan. Dan ia 
merasa wajib menyelamatkan nyawa dua orang muda 
ini sekalipun belum kenal sama sekali. 
Sungguh mulia pribadi pemuda ini. Dan seperti in-
ilah pertolongan yang ikhlas dan suci itu. Ia menolong 
tanpa pamrih untuk kepentingan pribadi. Ia mengu-
lurkan tangan dan memberikan pertolongan, terdorong 
oleh kewajiban sebagai manusia yang harus saling to-
long-menolong dengan manusia lain. 
Setelah semua usahanya membubuhkan obat pada 
seluruh luka itu selesai, tibalah saatnya ia membantu 
kekuatan dengan hawa sakti. Ia segera duduk bersila. 
Telapak tangan kanan ia tempelkan pada punggung 
Kaligis dan telapak tangan kiri ia tempelkan pada 
punggung Sangkan. Hawa sakti dari dalam tubuh ini ia 
salurkan ke punggung Sangkan maupun Kaligis. 
Akan tetapi sesungguhnya pertolongan macam ini 
akan merugikan diri sendiri. Karena dengan banyak-
nya hawa sakti yang ia salurkan untuk dua orang ini, 
berarti dirinya sendiri akan menjadi lemah. 
Siapakah sebenarnya pemuda tampan dan gagah 
berhati emas ini? Dia adalah murid tunggal Ki Untoro 
Digdoyo. Seorang sakti mandraguna yang telah lama 
bertapa dan bermati raga di Gunung Cermai Cirebon. 
Sejak kecil pemuda ini memang sudah digembleng la-
hir dan batinnya tentang kebajikan, tentang kewajiban 
manusia yang harus selalu kasih kepada sesama hi-
dupnya. 
Jadikan sesama hidup sebagai saudara dan saha-
batnya, dan menghindarkan diri dari setiap permusu-
han. Itulah sebabnya sekalipun tadi Sarindah mencaci-
maki sedemikian rupa, ia tetap dapat memberi maaf. 
Saat sekarang ini ia sedang melakukan perjalanan 
pengembaraannya tanpa tujuan tertentu. Sesuai den-
gan perintah gurunya, ia harus memberikan dharma 
bhaktinya untuk kesejahteraan umat manusia. Dan 
dalam pengembaraannya ini Sinom Pradopo mendapat 
nasihat dan petunjuk, agar banyak menjalin persaha-
batan dan sedapat-dapatnya menjauhkan diri dari 
permusuhan, kecuali apabila memang terpaksa, apa 
boleh buat. 
Sesungguhnya ia ingin sekali memberikan jasa dan 
mendapat kedudukan yang cukup tinggi di Majapahit. 
Namun gurunya melarang, katanya, “Anakku, apabila 
engkau mengabdi kepada Kerajaan Majapahit, engkau 
takkan dapat berlaku jujur lagi.” 
“Mengapa bisa terjadi demikian, Bapa?” ia kehera-
nan. 
“Gampang saja jawabannya, Anakku. Engkau ada-
lah seorang hamba raja. Dan engkau mau tak mau ha-
rus menunaikan kewajibanmu, sesuai dengan kepen-
tingan Raja dan Kerajaan Majapahit. Manakah kau da-
pat berlaku jujur lagi? Engkau menjadikan dirimu 
akan selalu memihak, yaitu kepada kepentingan Raja. 
Dan engkau tidak pula dapat melawan perintah Raja, 
sekalipun engkau tahu, sekali waktu perintah itu ber-
lawanan dengan hatimu sendiri.” 
Gurunya berhenti mengambil napas. Sejenak ke-
mudian baru melanjutkan, “Engkau terikat oleh kewa-
jiban yang tidak terbantah. Dan manakah mungkin 
engkau dapat berdiri di atas keyakinanmu sendiri, jika 
engkau hidup atas upah seseorang? Itulah, Anakku, 
maka aku seyogyakan hiduplah engkau secara bebas. 
Hidup tiada ikatan siapa pun, sehingga engkau akan 
dapat mempertahankan kejujuranmu.” 
Ia mengerti dan menyadari nasihat maupun alasan 
yang sudah diucapkan gurunya. Maka dalam peran-
tauannya sekarang ini  ia ibarat seekor burung yang 
terbang bebas. Ia tidak terikat oleh siapa pun, sehingga 
ia dapat menentukan langkah sesuai dengan panggilan 
jiwanya. 
Sekarang ia mengempos hawa sakti dari dalam tu-
buhnya guna membantu meringankan derita Kaligis 
maupun Sangkan. Setelah merasa cukup, ia mele-
paskan telapak tangannya dari punggung dua orang 
itu. Kemudian ia masih harus memejamkan mata guna 
memulihkan tenaganya sendiri yang banyak berkurang 
untuk dua orang itu. 
Pada saat Sinom Pradopo sedang memejamkan ma-
ta untuk memulihkan tenaga ini, muncullah tiga orang 
pemuda di tempat ini. Tiga orang ini kaget ketika meli-
hat Sangkan dan Kaligis menggeletak di atas rumput, 
dan pada pakaian mereka bernoda darah, sedang tak 
jauh dari dua orang itu terdapat seorang pemuda tam-
pan duduk tidak bergerak. 
Memang tidak mengherankan apabila tiga orang 
muda ini kaget, melihat keadaan Sangkan maupun Ka-
ligis. Sebab mereka ini adalah Wastu, Warigalit dan 
Bala Rebo. Mereka merupakan murid-murid si Tangan 
Iblis atau kakek Sarindah, dan merupakan  saudara 
seperguruan Sangkan dan Kaligis. 
Apakah sebabnya mereka sampai di tempat ini? Se-
perti telah diceritakan dalam buku berjudul “Si Tangan 
Iblis” dan “Persekutuan Dua Iblis”, adik bungsu Sarin-
dah, yaitu Sentiko, pergi dari rumah secara diam-diam. 
Guna mencari Sentiko ini semua murid si Tangan Iblis 
mendapat perintah mencarinya sampai ketemu. 
Akibatnya, tiga orang pemuda ini tidak berani pu-
lang dan terus menjelajah dalam usaha mereka mene-
mukan Sentiko. Karena itu tiga orang murid ini belum 
mendengar, guru mereka tewas dalam tangan Gajah 
Mada, kurang lebih setengah tahun lalu. 
Mereka mengerutkan kening dan curiga melihat 
keadaan itu. Tak jauh dari tempat saudara sepergu-
ruan itu terdapat pula tiga batang pedang yang meng-
geletak. Dan dari keadaan jelas pula telah terjadi per-
kelahian hebat. 
“Celaka!” Wastu berseru tertahan. “Kakang Kaligis 
dan Kakang Sangkan pingsan, dan tentu mereka tadi 
berkelahi melawan orang itu.” 
“Dugaanmu benar!” sambut Bala Rebo. “Aku kha-
watir kalau Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan su-
dah tewas.” 
“Ahhh, orang itu tidak bergerak dan memejamkan 
mata. Mungkin dia terluka dalam setelah berkelahi 
dengan Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan,” Wariga-
lit memberikan pendapatnya. “Huh, Kakang Kaligis 
dan Kakang Sangkan harus kita bela. Hayo, orang itu 
kita keroyok mumpung dalam keadaan tidak berge-
rak.” 
Kalau saja waktu itu Sinom Pradopo tidak tengge-
lam dalam semadinya untuk memulihkan tenaganya 
yang tersedot untuk membantu Kaligis dan Sangkan, 
tentu hadirnya tiga orang ini takkan luput dari penge-
tahuannya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini te-
linga Sinom Pradopo seperti tuli. Maka ia tidak sadar 
sama sekali, ada tiga orang mengancam keselamatan-
nya. 
Tiga orang pemuda ini kemudian saling lirik dan 
saling memberi isyarat. Pedang itu telah siap dalam 
tangan masing-masing. Kemudian hampir berbareng, 
tiga orang ini melompat ke depan menikamkan pe-
dangnya. Dua orang menikam dari arah depan dan 
seorang menyerang dari belakang! 
Siutt wut.... crak crak crak.... 
“Aduhh...!” 
Hampir berbareng tiga orang pemuda itu berteriak 
kesakitan. Lengan mereka mendadak lumpuh, sedang-
kan pedang mereka lepas dari tangan. Untuk sejenak 
mereka saling pandang dengan wajah pucat. Kemudian 
setelah memungut pedang masing-masing, tiga orang 
ini melarikan diri terkencing-kencing. 
Mereka menjadi ketakutan setengah mati, karena 
menyerang orang yang tidak bergerak, tetapi justru 
pedang merekalah yang menjadi runtuh. 
Mereka tidak pernah menyadari bahwa pada saat 
ini, di sekitar tubuh Sinom Pradopo penuh hawa sakti, 
dan hawa sakti ini menjadi semacam benteng baja. 
Maka tidaklah mengherankan apabila pedang itu tidak 
sampai ke sasarannya. 
Masalahnya tingkat kepandaian dan ilmu tiga orang 
pemuda ini memang masih jauh di bawah tingkat Si-
nom Pradopo. Karena itu mereka kalah dalam hal te-
naga sakti dan pada saat menyerang malah celaka 
sendiri. Berbeda apabila tingkat mereka berada di atas 
Sinom Pradopo, tentu Sinom Pradopo yang akan celaka 
dan mungkin saja tewas. 
Adapun Sinom Pradopo sendiri tidak menyadari te-
lah mendapat serangan orang. Maka pemuda ini masih 
saja memejamkan mata dan tenggelam dalam sema-
dinya. Barulah beberapa saat lagi pemuda ini membu-
ka matanya. Kemudian ketika memalingkan muka dan 
melihat Kaligis dan Sangkan, bibirnya menyungging 
senyum gembira. Sebab, sekalipun masih belum sadar, 
tetapi wajah dua pemuda ini sekarang sudah agak me-
rah. 
Sinom Pradopo masih duduk sambil memandang 
Kaligis dan Sangkan. Ia menunggu sampai orang yang 
ia tolong ini sadar dan kemudian ia ingin mendengar 
apakah sebabnya dua pemuda ini menderita sedemi-
kian rupa oleh siksaan perempuan muda bernama Sa-
rindah itu. 
Akan tetapi ketika teringat kepada Sarindah, tanpa 
terasa ia menghela napas panjang. Hatinya merasa iba 
dan kasihan kepada gadis itu. Namun sebaliknya, di-
rinya juga merasa berat apabila harus mengaku seba-
gai Dewa Asmara. 
Tidak terlalu lama Sinom Pradopo menunggu. Kali-
gis dan Sangkan sudah bergerak hampir berbareng. 
Mula-mula dua orang pemuda ini membuka mata, lalu 
mereka berusaha meloncat bangkit. Untung pemuda 
ini cepat menekan dada masing-masing sambil berkata 
halus, “Kalian jangan memaksa diri. Luka kalian cu-
kup parah, maka tetaplah kalian berbaring sambil 
menghimpun tenaga memulihkan kekuatan. Lakukan-
lah dengan tenang, aku akan melindungi ke selamatan 
kalian.” 
Dua orang ini tidak membantah, mereka hanya 
mengangguk lalu meringis. Memang pada kenyataan-
nya ketika mereka tadi akan bergerak, seluruh tubuh 
mereka rasakan sakit sekali. Maka tanpa rewel lagi 
mereka segera memejamkan mata. 
Ketika itu matahari sudah agak rendah di bagian 
barat. Sinarnya agak merah dan lemah, namun dengan 
sabar Sinom Pradopo menunggui mereka. Dalam ha-
tinya berpendapat bahwa dalam menolong sesama hi-
dup tidak boleh tanggung-tanggung. Mereka ini harus 
dapat ia tolong dan ia selamatkan. 
Berapa lama kemudian dua orang muda ini meng-
hentikan usaha mereka menghimpun tenaga. Kemu-
dian mereka bergerak perlahan lalu duduk. Seluruh 
tubuh mereka rasakan sakit dan pedih, namun demi-
kian mereka menahan diri lalu duduk berhadapan. 
Sepasang mata Kaligis mendelik ke arah Sangkan, de-
mikian pula sebaliknya. 
Melihat ini Sinom Pradopo segera dapat menduga. 
Katanya halus, “Kalian jangan saling menyalahkan, 
dan apa yang sudah terjadi, biarlah lewat. Aku tadi 
menemukan kalian pingsan oleh siksaan wanita muda. 
Maka terangkanlah secara jujur, Kisanak, apa sebab-
nya wanita tadi sampai menyiksa kalian demikian ru-
pa? Kalian jangan ragu. Aku Sinom Pradopo, menolong 
kalian tanpa maksud mencari keuntungan untuk diri 
sendiri.” 
Kaligis menundukkan muka, sedang berusaha 
mencari jawaban. Timbul perasaan malunya, apabila 
harus menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. 
Berbeda dengan Sangkan yang memang licin dan 
cerdik. Jawabnya halus, “Terima kasih atas pertolon-
gan Kisanak. Aku bernama Sangkan, dan ini kakang 
seperguruanku, bernama Kaligis. Hemm, apa yang ter-
jadi memang di luar kehendak kami. Persoalannya de-
mikian. Tadi, kami berdua merasa amat haus dan be-
rusaha mencari sumber air. Kebetulan kami melihat 
selokan kecil yang mengalir, dan kemudian kami ikuti 
aliran itu guna menemukan sumbernya. Tetapi Kisa-
nak, ahh.... kalau awak lagi sial memang ada-ada saja 
halangannya. Kami tidak tahu sama sekali, dan tidak 
pernah menduga, pada sumber air itu ternyata terda-
pat seorang wanita muda sedang mandi dalam kea-
daan bugil.” 
Sangkan berhenti, memandang Sinom Pradopo 
mencari kesan. Ketika melihat pemuda penolong ini 
berdiam diri, ia meneruskan, “Dia terkejut dan kami 
pun terkejut. Akan tetapi wanita itu cepat menjadi ma-
rah dan menganggap kami mengintip orang yang se-
dang mandi dan bermaksud kurang ajar. Dia mencaci 
kalang kabut. Ucapan perempuan itu menyebabkan 
kami tersinggung dan marah, dan kemudian terjadilah 
tantang-menantang. Kami kemudian setuju menunggu 
perempuan itu selesai berpakaian.” 
Dalam menuturkan ini Sangkan demikian lancar, 
hingga Sinom Pradopo terjebak dan tidak sadar sudah 
terkibuli oleh dongeng kosong! 
Ia menghela napas panjang, lalu katanya halus, 
“Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, apabila kalian 
cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum dia sele-
sai berpakaian. Bukankah perempuan membutuhkan 
waktu cukup panjang kalau berpakaian?” 
“Tetapi kami sudah tersinggung dan marah. Perem-
puan itu mencaci-maki kami sebagai laki-laki kurang 
ajar dan mata keranjang,” sahut Sangkan bernafsu, 
seakan benar terjadi. “Maka kami menunggu sampai 
perempuan itu selesai berpakaian. Kemudian terjadilah 
perkelahian sengit. Kami maju seorang demi seorang, 
tetapi celaka sekali perempuan itu terlalu kuat bagi 
kami. Akhirnya kami dapat dia robohkan lalu kami dia 
ikat pada tonggak itu dan selanjutnya....” 
“Yang lain aku sudah tahu,” potong Sinom Pradopo. 
“Hemm, lain kali kalian harap bersikap lebih sabar. 
Sekarang sudah hampir petang, padahal kalian masih 
lemah dan menderita luka berat. Maka aku anjurkan 
kalian beristirahat di tempat ini saja sambil menunggu 
esok pagi. Aku pastikan pengaruh obat yang aku bu-
buhkan pada luka Kisanak, rasa sakit itu akan banyak 
berkurang. Esok pagi, basuhlah luka kalian dengan air 
hangat. Tetapi ah, di sini.... mana mungkin kalian bisa 
mendapatkan air panas itu? Sebaiknya begini sajalah. 
Esok pagi kalian pergi mencari desa terdekat dan min-
ta pertolongan orang. Untuk itu, baiklah kalian aku 
beri obat luka untuk perawatan selanjutnya.” 
Sinom Pradopo mengambil obat luka dua bungkus 
besar. Masing-masing ia beri sebungkus sambil berka-
ta, “Kisanak, aku percaya sebelum obat bubuk ini ha-
bis, kalian tentu sudah sembuh. Sekarang selamat 
tinggal, aku akan meneruskan perjalanan.” 
“Ahhh...!” seru Kaligis tiba-tiba. “Saudara mau ke 
mana?” 
Sinom Pradopo menggelengkan kepala, jawabnya, 
“Aku tak tahu. Aku pergi hanya menurutkan langkah 
kakiku tanpa tujuan.” 
“Kalau demikian, lebih baik apabila Kisanak itu isti-
rahat di sini saja,” Kaligis membujuk. 
Biasa bagi manusia di dunia ini, sekalipun orang 
sudah amat memperhatikan dan memberi pertolongan, 
masih juga merasa kurang. Demikian pula Kaligis  ini 
walaupun sudah hampir mati dan mendapat pertolon-
gan orang, rasanya masih kurang saja. 
Namun sesungguhnya Kaligis memang mempunyai 
maksud tertentu. Maksudnya agar Sinom Pradopo ti-
dak pergi, dan dengan demikian di samping keseha-
tannya terjamin, keamanan  jiwanya akan mendapat 
perlindungan pula. Dan kalau pemuda ini dapat men-
gusir Sarindah, menjadi jelas, pemuda ini sakti man-
draguna. 
Akan tetapi Sinom Pradopo menggeleng. Kemudian 
sahutnya dengan nada menyesal, “Maafkanlah saya, 
Kisanak. Aku tak dapat menunda perjalanan ini dan 
biarlah kelak kemudian hari kita dapat bertemu pada 
lain kesempatan.” 
Sangkan yang mempunyai maksud lain dengan Ka-
ligis, cepat menjawab, “Terima kasih sekali lagi saya 
ucapkan kepada Kisanak. Saya yang rendah ini tidak 
berani menahan Kisanak di sini. Selamat jalan Kisa-
nak, dan biarlah kami berdua istirahat di sini malam 
nanti. Saya percaya, esok pagi kami berdua akan dapat 
minta pertolongan kepada penduduk desa yang terde-
kat.” 
Bagi Sinom Pradopo memang tidak ada alasan lagi 
terlalu lama di tempat ini. Sesudah memberi anggukan 
kepala, ia melangkah pergi. Pelahan saja langkahnya 
dalam usaha menutupi kecepatannya bergerak. Baru 
setelah Kaligis dan Sangkan tidak dapat melihat lagi, 
Sinom Pradopo berloncatan cepat sekali seperti ter-
bang. Akan tetapi sekalipun ia bergerak demikian ce-
pat, benaknya masih saja terpenuhi kenangan yang 
baru saja ia alami, ketika Sarindah menubruk lalu 
memeluk pinggangnya dan kemudian menciumi. 
Pemuda ini kemudian meraba baju bagian dadanya. 
Baju itu masih belum kering tersiram oleh air mata 
gadis itu. Dan serasa perutnya masih terasa pula ke-
lembutan dan kelunakan dada Sarindah yang membu-
sung. Dan kemudian teringat pula ia akan pelukan pa-
da leher dan hadiah kecupan mesra kembali oleh gadis 
ayu itu. Bibir yang lembut dan hangat, ketika bertemu 
dengan bibirnya, bergerak-gerak lembut membuat jan-
tungnya seperti mau rontok. 
Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya dalam 
usaha mengusir kenangan itu. Desisnya kemudian, 
“Kurang ajar engkau Sinom Pradopo. Apakah engkau 
sudah berubah menjadi seorang pemuda mata keran-
jang? Benar perempuan tadi cantik dan menarik. Teta-
pi dia istri orang. Engkau jangan sekali-kali mengulang 
peristiwa macam itu, dan menggunakan kesempatan 
orang yang salai mengenal.” 
Namun kemudian ia menghela napas panjang. Ba-
gaimanapun ia tidak merasa bersalah. Tadi yang su-
dah terjadi, ia tidak pernah menduga sama sekali, ka-
lau wanita itu akan menciuminya. Kalau tahu, tentu 
saja ia akan berusaha mencegah dan menghindarkan 
diri. 
*** 
22  
Kaligis dan Sangkan memang terluka cukup berat. 
Untuk bergerak pun sakit, hingga dua orang ini tidak 
berani beringsut dan meninggalkan tempatnya tergele-
tak. Tetapi masih untung, Sinom Pradopo menem-
patkan dua pemuda ini pada tempat terlindung, di ba-
wah batu yang menonjol. Dan dengan demikian mere-
ka dapat terlindung oleh angin maupun embun yang 
turun pada malam hari. 
“Untung sekali kita tertolong orang,” desis Kaligis. 
“Kalau tidak, mungkin kita sudah mampus.” 
“Kau benar, Kakang, dan peristiwa ini baik sekali 
untuk kita jadikan peringatan,” Sangkan menyahut. 
“Karena itu untuk selanjutnya kita harus selalu hidup 
rukun. Kakang, kita harus selalu saling bantu.” 
“Engkau benar, Adi, tetapi lain kali kau jangan me-
mancing kemarahan orang. Apa yang engkau ucapkan 
tadi adalah amat menyakitkan hatiku.” 
Sangkan menyeringai. “Baiklah, Kakang, yang su-
dah lalu tak akan kuulang kembali.” 
“Tetapi Adi, waktu-waktu selanjutnya kita masih 
dalam bahaya. Sebab kalau kita bertemu dengan Sa-
rindah maupun Sarwiyah, nyawa kita tentu terancam.” 
“Hemm, apakah sebabnya engkau takutkan soal itu, 
Kakang? Dunia ini luas sekali. Kalau kita pandai men-
jauhi Sarindah dan Sarwiyah, kita akan dapat hidup 
dengan aman.” 
“Engkau benar. Setelah guru tiada, kita menjadi be-
bas. Kita dapat pergi ke tempat jauh.” Kaligis terme-
nung sejenak, kemudian sambungnya, “Tetapi Adi, ka-
lau dahulu engkau tidak membujuk aku, kiranya tak-
kan sampai terjadi peristiwa-peristiwa semacam ini.” 
“Apakah maksudmu?” 
“Kalau dahulu engkau tidak mendorong Ananto se-
hingga masuk jurang, kemudian kau tidak membujuk 
aku membunuh Kebo Pradah dan Tanu Pada, tentunya 
baik Sarindah maupun Sarwiyah takkan benci kepa-
daku. Begitu pula jika engkau tidak mengajak aku ber-
sekutu untuk meracun Julung Pujud dan guru kita, 
tentu saja kita takkan diuber-uber oleh rasa takut se-
perti sekarang ini.” 
“Ya, sesungguhnya aku pun menyesal,” sahut 
Sangkan sambil menundukkan mukanya, nampak se-
dih. 
“Lalu bagaimanakah jika kita sudah sembuh dari 
luka?” 
“Entahlah!” Sangkan menggeleng. “Aku pun belum 
berpikir sejauh itu. Bagiku yang penting sekarang ini, 
agar bisa terhindar dari gangguan siapa pun. Itu su-
dah cukup. Sedang masalah lain, bisa kita pikirkan 
nanti.” 
“Ya, memang sesungguhnya kita ini merupakan 
orang-orang sial!” desis Kaligis yang kecewa dan pe-
nyesalan. “Coba pikirkanlah, kita sekarang ini terluka 
cukup berat dan jauh dari desa. Perutku sekarang ini 
melilit-lilit minta isi, tetapi apakah yang bisa kita ma-
kan?” 
Sangkan tidak menyahut. Tetapi dalam hati ia ke-
tawa mengejek, “Sungguh terlalu saudara sepergu-
ruannya ini. Hanya tidak makan sehari saja sudah ti-
dak kuasa menahan mulut.” 
Dua orang ini kemudian tidak membuka mulut lagi. 
Agaknya mereka sudah kehabisan bahan untuk bicara. 
Karena tubuh mereka rasakan sakit sekali, maka ke-
mudian Sangkan terpaksa merebahkan diri. 
Angin bertiup keras. Kalau tidak terpaksa, takkan 
sudi harus berbaring di tempat terbuka seperti ini. Se-
telah Sangkan merebahkan diri, Kaligis juga merebah-
kan diri. Agaknya Kaligis ini orang yang gampang seka-
li tidur. Baru saja menggeletak, ia sudah mendengkur 
seperti babi. 
Sangkan memejamkan matanya dan berusaha tidur 
pula. Akan tetapi rasa sakit pada tubuhnya amat 
mengganggu, sehingga sulit untuk bisa tidur. Lagi pula 
telinganya merasa bising dan terganggu oleh dengkur 
Kaligis yang mirip babi itu. Dengkur yang keras itu 
tambah lama menyebabkan Sangkan tidak senang. Ia 
menggerutu, mencaci-maki dan menyumpah-
nyumpah. 
Dalam keadaan tidak senang ini tiba-tiba dalam be-
naknya teringat kembali akan ucapan Kaligis yang tadi 
berusaha mencari selamat sendiri. Kaligis berusaha 
menjerumuskan dirinya. Rasa tidak senang ini kemu-
dian ditambah lagi oleh rasa khawatirnya, jika obat 
penyembuh luka dari Sinom Pradopo sampai tidak cu-
kup untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah dirinya 
akan celaka, dan orang menghina, kalau tubuhnya 
banyak luka dan berbau? 
Mendadak saja menyelinaplah keinginannya yang 
curang dan licik. Pikirnya, “Hemm, hidup berdua den-
gan Kaligis, apakah keuntunganku? Selama ini dia ba-
nyak menggantungkan kepada pikiranku. Apakah se-
karang ini bukan merupakan kesempatan bagus untuk 
menyingkirkan  dia dari sampingku? Hemm, lagi pula 
aku membutuhkan bubuk obat penyembuh luka itu. 
Pada saat tidurnya mendengkur seperti babi ini bu-
kankah mudah sekali bagiku untuk membunuh dia 
dan merebut bubuk obat itu?” 
Ia melirik ke arah Kaligis. Ia melihat pemuda itu ti-
dur telentang dengan mulut setengah terbuka, hingga 
dengkur semacam babi itu semakin keras ia dengar. 
Melihat kawannya tidur pulas ini, ia menggerakkan 
tubuh pelahan dan hati-hati. 
Akan tetapi, aduhhh.... hampir saja ia menjerit. Se-
bab ketika menggerakkan tubuh, seluruh tubuhnya 
menjadi nyeri dan cekot-cekot. Seakan sendi-sendi tu-
langnya mau copot dan kumpulan rasa sakit itu me-
nyebabkan kepalanya seperti mau pecah. 
Ia menghentikan gerakannya guna mengurangi rasa 
sakit. Setelah rasa itu berkurang, barulah ia berani 
merangkak lagi. 
Walaupun kesulitan, akhirnya Sangkan berhasil ju-
ga mendekati Kaligis, dan pemuda yang tidur pulas ini 
tidak sadar jiwanya terancam oleh pengkhianatan ka-
wan sendiri.... 
Kaligis baru kaget dan berusaha memberontak, ke-
tika lehernya merasa terjepit sesuatu yang menyebab-
kan sulit bernapas. Ia berusaha melepaskan sesuatu 
yang mencekik lehernya dengan dua tangan, sedang 
tubuhnya ia gerakkan untuk membantu meronta guna 
melepaskan diri. 
Tetapi justru gerakan tubuhnya ini yang membuat 
Kaligis kesakitan setengah mati. Luka-luka yang semu-
la tertutup oleh obat itu, sekarang lepas dan darah 
kembali mengalir dari luka. Dan dalam keadaan tubuh 
sakit dan sulit bernapas ini menyebabkan Kaligis cepat 
kehilangan kekuatan. Dan akhirnya Kaligis menghem-
buskan napas yang terakhir oleh cekikan tangan 
Sangkan. 
Sangkan yang tadi terpaksa harus mengerahkan 
kekuatan untuk mempertahankan cekikan itu, seka-
rang menggeletak lemas dengan napas memburu. Pen-
gerahan kekuatan tadi, menyebabkan tubuhnya lemas 
dan sakit-sakit. Akan tetapi sekalipun demikian tan-
gannya tidak mau berhenti dan gerayangan mencari 
saku Kaligis untuk mengambil obat. 
Untung juga, tak lama kemudian obat yang ia bu-
tuhkan itu ketemu, lalu ia masukkan dalam saku ba-
junya sendiri. Akan tetapi hampir berbareng dengan 
rasa puas yang memenuhi dada itu, ia lalu pingsan. 
Demikianlah kebiasaan yang terjadi di dalam per-
gaulan manusia hidup yang belum memiliki kesadaran 
hidup yang sebenarnya. Hingga manusia dapat dengan 
gampang berbuat keganasan dan kekejaman melebihi 
binatang buas. Dapat membunuh kawan sendiri dan 
sampai hati pula menohok kawan seiring. 
Apakah sumber dari segala perbuatan manusia se-
perti ini? Tidak lain adalah pamrih untuk kepentingan 
diri sendirilah yang menjerumuskan manusia kepada 
perbuatan sesat dan jahat seperti ini. 
Entah itu uang, pangkat, pekerjaan, entah pula ja-
batan dan kekuasaan. Manusia dengan gampang men-
celakakan orang lain. Terjadinya peperangan antar ne-
gara dan bangsa, bukankah sumbernya oleh pamrih 
itu sendiri? Beberapa gelintir manusia yang kebetulan 
berkuasa, berdalih membela bangsa dan negara, mem-
bakar semangat rakyatnya untuk mengangkat senjata 
dan berperang. Untuk saling bunuh dengan manusia 
lain yang dianggap musuh. Kemudian kekejaman, ke-
ganasan yang mendirikan bulu roma berlangsung se-
perti hukum sudah tidak ada lagi. 
Selama manusia tidak mau mawas diri, tidak mau 
mengamati apa yang berlangsung dalam diri, di luar 
diri, di lingkungan maupun tempat hidup, dengan 
keinginan akan kekuasaan, keuntungan, kedudukan, 
kekayaan, nama besar dan lain sebagainya, selama itu 
pula kebencian, pertentangan keganasan dan saling 
bunuh akan terus berlangsung. 
Kekejaman, keganasan, fitnah dan lain sebagainya 
itu sebenarnya adalah perwujudan dari rasa takut. 
Hingga kemudian berusaha melarikan diri dengan ja-
lan yang licik dan licin, menyingkirkan orang lain, baik 
dengan cara curang, pengecut maupun terang-
terangan. 
Selama manusia dihinggapi oleh rasa iba diri dan 
ketakutan ini, selama itu pula di dunia ini takkan ter-
jadi perdamaian manusia itu sendiri. Yang kemudian 
semua tindak dan perbuatan, berlandaskan “sadar di-
ri” yang ikhlas. Bukan sadar diri yang pura-pura oleh 
pengaruh-pengaruh keuntungan pribadi. 
Bukankah apa yang sudah dilakukan oleh Sangkan 
terhadap Kaligis sekarang ini, karena takut dan iba 
akan diri sendiri itu? Dengan jalan licik kemudian ia 
menohok kawan seiring, hingga Kaligis mati. Kawan 
akan cepat berubah menjadi lawan dan keluarga akan 
cepat berubah menjadi musuh. 
*** 
33  
“Ke mana aku harus pergi mencari dia?” keluhnya 
sepanjang jalan, karena Sarwiyah merasa bingung un-
tuk menuju agar bisa bertemu dengan tunangannya 
itu, Warigagung. 
Memang tidaklah mengherankan apabila Sarwiyah 
harus berpikir rangkap dalam usaha mencari Wariga-
gung. Ia sudah mengenal watak Warigagung maupun 
Julung Pujud. Guru dan murid itu sama anehnya. Jika 
mencari akan sulit, tetapi kalau tidak mencari malah 
datang sendiri. 
Guru dan murid itu memang gemar berkelana me-
nurutkan langkah kaki dan kemauan. Dan sesung-
guhnya ia merasa ngeri pula, jika teringat kegemaran 
Warigagung yang selalu bermain-main dengan bina-
tang berbisa itu. 
Bukankah waktu itu, pertemuannya yang pertama 
kali dengan Warigagung juga tidak sengaja? Dan per-
kenalannya yang pertama kali itu terjadi dengan 
adanya perkelahian antara Sarindah dengan Wariga-
gung.  Untung sekali Warigagung mempunyai watak 
aneh. Ia amat menghormati wanita, sehingga pemuda 
itu terhadap wanita tidak sampai hati untuk melukai 
maupun mencelakai. (Baca buku berjudul “Perseku-
tuan Dua Iblis”) 
Sekalipun demikian Warigagung bukanlah seorang 
pemuda baik hati. Ia bisa berbuat ganas dan kejam 
apabila berhadapan dengan laki-laki. Hal ini terbukti 
dengan serangannya yang menggunakan jarum bera-
cun terhadap lima orang murid kakeknya, seperti yang 
sudah pernah diceritakan oleh Mahisa Singkir kepada 
Sarindah. 
Karena ragu, kemudian Sarwiyah mengaso dan du-
duk di atas akar pohon yang rindang. Ia menyeka pe-
luh yang membasahi dahi dan leher. Dan diam-diam 
gadis ini kemudian terkenang kepada pemuda pertama 
yang ia serahi hatinya, Kebo Pradah. Kalau saja Kebo 
Pradah yang juga merupakan salah seorang murid ka-
keknya itu masih hidup, kiranya ia takkan harus men-
galami seperti ini. Setelah kakeknya tewas, bagaima-
napun ia masih bisa membangun rumah tangga baha-
gia dengan Kebo Pradah. Namun sayangnya pemuda 
itu sekarang sudah mati. Semua sudah berlalu, dan ti-
dak dapat ia sesalkan lagi. 
“Hemm, Mbakyu Sarindah terlalu keras hati,” ia 
kembali mengeluh. “Mengapa permusuhan yang tidak 
menguntungkan ini harus terus berlangsung? Dan bu-
kankah baik ayah maupun kakek itu mati menebus 
hasil perbuatannya sendiri?” 
Sarwiyah menghela napas panjang. Ia merenung-
renung memikirkan nasib dan jalan hidupnya seka-
rang ini. 
Namun mendadak ia mengangkat kepalanya. Telin-
ganya yang sudah terlatih menangkap suara mencuri-
gakan. Suara orang-orang yang melangkah dengan ha-
ti-hati. 
Ternyata kemudian dugaannya benar belaka. Ia se-
karang sudah terkurung oleh delapan laki-laki, sedang 
mulut mereka menyeringai seperti iblis. Diam-diam 
Sarwiyah berdebar juga, dan kemudian lebih berdebar 
lagi ketika pandang matanya tertumbuk pada pandang 
mata laki-laki tinggi besar dan berewok. Sepasang ma-
ta si berewok itu seperti mata seekor anjing yang meli-
hat daging dijemur. 
“Heh heh heh heh,” Si berewok terkekeh. “Ternyata 
engkau cantik juga, Denok. Tetapi apakah sebabnya 
engkau seorang diri di dalam hutan ini dan tampaknya 
kau sedih pula? Denok, siapakah namamu, sayang?” 
Walaupun ucapan si berewok ini cukup halus, teta-
pi Sarwiyah mengerutkan alis. Ucapan dan sikap si be-
rewok ini tidak sesuai. Ucapannya cukup halus akan 
tetapi pandang matanya itu seperti kucing melihat ti-
kus gemuk. 
Naluri seorang gadis memberi tahu bahwa delapan 
orang ini bukan orang baik-baik. Tentu mereka ini me-
rupakan perampok yang mengganas kepada setiap 
orang. 
“Siapakah kalian ini?” tanya Sarwiyah sambil mene-
liti satu persatu. 
Si berewok terkekeh. Ia membusungkan dada, lalu 
jawabnya sombong, “Denok, ketahuilah aku ini adalah 
penguasa hutan. Akulah pemimpinnya, sedang mereka 
ini anak buahku. Sebagai raja dalam hutan ini, aku 
sudah menetapkan peraturan, siapa pun yang berani 
menginjakkan kaki di hutan ini, harus membayar pa-
jak.” 
“Pajak?” Sarwiyah keheranan. “Mengapa harus 
membayar pajak? Raja sendiri tidak pernah membuat 
peraturan semacam itu. Mengapa kau malah lancang 
membuat aturan begini?” 
“Heh heh heh heh,” si berewok terkekeh, dan gi-
ginya yang besar dan kuning itu tampak di sela-sela 
bibirnya yang hitam. “Sekalipun Raja Majapahit sendiri 
apabila masuk dalam wilayahku ini terkena peraturan 
pula dan harus membayar pajak.” 
“Bagaimanakah bentuk pajak itu?” pancingnya. 
Mendengar pertanyaan ini tujuh orang yang kedu-
dukannya sebagai anak buah tertawa riuh. Agaknya 
mereka menjadi geli oleh pertanyaan itu. Sedang yang 
kedudukannya sebagai pemimpin terkekeh pula. 
“Heh heh heh heh, pajak itu harus dibayar dengan 
seluruh milik orang yang masuk ke wilayahku ini.” 
“Kalau tidak punya apa-apa?” 
Makin riuh anak buah itu menertawakan Sarwiyah. 
Namun gadis yang memang mempunyai tabiat halus 
dan penyabar ini, hanya mengerutkan alis, sekalipun 
dalam hati marah. 
“Huh ha ha hah,” pemimpin rampok itu ketawa ter-
bahak-bahak. Lalu sambil beraksi menggidik-gidikkan 
kepala, ia menjawab, “Denok, dengarlah! Namaku Joyo 
Brewu. Sesuai dengan namaku, maka sekalipun aku 
raja di hutan ini, aku adalah kaya raya. Semua anak 
buahku cukup terjamin, tidak kurang suatu apa. Me-
reka dapat hidup dengan tenang, melebihi kehidupan 
para bupati di Majapahit.” 
Joyo Brewu berhenti dan menatap Sarwiyah, men-
cari kesan. Sejenak kemudian sesudah ia memilin ku-
misnya yang tebal itu, meneruskan, “Sebagai seorang 
raja di dalam rimba ini, aku bertindak cukup bijaksana 
dan adil. Mereka yang lewat di rimba ini tetapi tidak 
memiliki apa-apa terdapat pula peraturan yang berla-
ku. Jika orang yang tidak membayar itu laki-laki, ma-
ka orang itu harus kami tangkap dan kami penjara. 
Tetapi apabila yang tidak dapat membayar pajak itu 
perempuan, apalagi seorang gadis muda seperti Denok 
yang cantik ini, ha ha ha ha, tentu saja kami tidak 
sampai hati untuk menghukum. Engkau malah akan 
memperoleh kesempatan menikmati hidup mulia dan 
bahagia di istanaku. Sebab engkau akan menjadi salah 
seorang istri si raja hutan ini. Ya, menjadi salah seo-
rang selirku, ha ha ha ha.” 
“Hemm,” dengus Sarwiyah yang mulai marah. 
“Enak saja kau membuka mulut. Siapakah yang sudi 
hidup di dalam hutan ini kumpul dengan kalian yang 
jelas merupakan perampok hina? Huh!” 
Para anak buah perampok itu menjadi riuh lagi 
mendengar jawaban Sarwiyah yang demikian berani. 
Adapun Joyo Brewu juga ketawa geli, hingga perutnya 
yang gendut itu bergerak-gerak seperti dalam perutnya 
terdapat seekor ular hidup. 
“Heh heh heh heh, siapa pun tidak dapat melawan 
peraturan yang berlaku di sini. Denok, engkau jangan 
menunggu aku marah. Lebih baik engkau menyerah 
saja, kemudian aku boyong dan hidup sebagai ratu da-
lam istanaku. Engkau tahu, Denok, engkau berusaha 
melawan pun tak ada gunanya.” 
Ucapan ini menyebabkan Sarwiyah merasa terhina 
dan direndahkan. Mendadak dengan kecepatan luar 
biasa, seleret sinar putih menyambar ke depan, ke 
arah leher Joyo Brewu. 
“Hayaaa...!” kaget juga Joyo Brewu oleh serangan 
yang tidak terduga ini. Namun ia seorang pemimpin 
perampok yang berilmu tinggi. Serangan tidak terduga 
ini dapat ia hindari dengan berlompatan. 
Memang cepat juga gerakan Sarwiyah, dari meng-
hunus pedang dan terus menyerang, hanya memerlu-
kan waktu beberapa kejap. Ia sekarang berdiri tegak 
sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Sepa-
sang mata yang bening itu seperti menyala mengamati 
mereka. Ia sadar sekali bahwa menghadapi delapan 
orang lawan ini memang tidak ringan. 
Namun demikian ia sudah memutuskan, lebih baik 
dirinya melawan sampai titik darah penghabisan, dari-
pada harus menjadi tawanan para perampok ganas ini. 
Adapun Joyo Brewu yang sudah berdiri tegak di ta-
nah, matanya menyala marah. Bentaknya menggele-
dek, “Hai Denok! Apakah engkau bandel dan berusaha 
melawan kami? Engkau perempuan dan hanya seorang 
diri pula, maka takkan mampu melawan kami. Denok, 
hemm, sungguh sayang juga apabila aku harus meng-
gunakan kekerasan. Sayang pula kalau kulitmu yang 
halus lumar itu sampai lecet, dan sayang juga kalau 
dadamu yang membusung dan lembut itu sampai ber-
lubang. Ah, Denok, dadamu demikian membukit pe-
nuh betapa sedap dipandang mata, kalamana kau su-
dah melepaskan kain penutup dada itu.” 
Ucapan pemimpin perampok yang mulai tidak se-
nonoh ini disambut secara riuh oleh anak buahnya. 
Merekapun kemudian meniru pemimpin mereka, mulai 
berani mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh 
dan cabul. 
Ucapan mereka ini menyebabkan Sarwiyah merah 
wajahnya, malu berbareng marah sekali. Mendadak 
gadis ini sudah melengking nyaring, kemudian mener-
jang dengan pedangnya. 
Joyo Brewu cepat menghindar diri sambil berteriak, 
“Mundur kamu semua! Kurung saja jangan sampai lo-
los. Biarlah aku sendiri yang akan menangkap dia. 
Heh heh heh heh, aku ingin mencoba, sampai di ma-
nakah kepandaian Denok kuning ini.” 
Tujuh orang anak buah itu pun sudah mundur se-
cara patuh. Kemudian sambil mempersiapkan senjata 
masing-masing, mereka berdiri dalam keadaan siap 
siaga. Joyo Brewu dan Sarwiyah sudah saling berha-
dapan. Sarwiyah dengan pedang tipis, sedang Joyo 
Brewu menghadapi bertangan kosong. Masalahnya 
Joyo Brewu merasa cukup percaya akan kemampuan 
diri, di samping pula timbul rasa sayang apabila sam-
pai melukai gadis ayu ini. 
“Hemm, jika engkau terlalu memaksa, jangan sa-
lahkan aku apabila pedang ini melubangi dadamu!” 
bentak Sarwiyah. 
Bentakan ini disambut oleh suara ketawa Joyo Bre-
wu yang terkekeh. Jawabnya, “Denok, mengapa eng-
kau keras kepala dan berusaha melawan aku? Per-
cayalah engkau tidak bakal menang melawan aku. 
Oleh sebab itu lebih baik engkau menyerah saja baik-
baik, dan engkau akan aku angkat sebagai istri yang 
terkasih.” 
Ia berhenti mencari kesan. Sejenak kemudian ia 
terkekeh, lalu sambungnya, “Heh heh heh heh, engkau 
akan menjadi ratu. Denok, aku berjanji, akan selalu 
membahagiakan dirimu.” 
“Keparat! Setan alas!” lengking Sarwiyah yang su-
dah marah sekali. “Mulutmu kotor dan cabul. Huh, 
engkau harus mampus dalam tanganku hari ini.” 
Siut wut.... 
“Hayaaaa...!” 
Sambaran pedang gadis ini yang cepat sekali dan 
berantai, mengejutkan Joyo Brewu. Karena sekali se-
rang, gadis ini sudah menyerang mata, pelipis, leher, 
dada dan ulu hati. 
Untung juga Joyo Brewu cukup waspada. Ia dapat 
menggagalkan semua serangan gadis ini. Dan diam-
diam ia menjadi amat khawatir, apabila dirinya sampai 
kalah, apabila tetap mempertahankan diri dengan tan-
gan kosong. 
Sebagai seorang kasar dan selalu bergelimang den-
gan kejahatan sejak masih muda, apabila keselama-
tannya terancam, ia akan kembali menjadi buas dan 
ganas. Dan jika perlu, walaupun pada mulanya ia me-
rasa tertarik oleh kemudaan dan wajah ayu Sarwiyah, 
tidak segan lagi untuk membunuhnya demi keselama-
tan diri. 
Siutt.... wutt.... trang trang.... 
Ternyata gerakan Joyo Brewu cepat juga, ketika 
mencabut golok kemudian menangkis sambaran pe-
dang Sarwiyah yang mengancam dada dan pundaknya. 
Akibat dari benturan senjata itu, dua-duanya ter-
huyung mundur. Bedanya kalau Joyo Brewu hanya se-
langkah ke belakang, tetapi Sarwiyah sampai tiga 
langkah ke belakang. Dari kenyataan ini terbuktilah 
dalam hal tenaga, Joyo Brewu memang di atas lawan. 
Sesungguhnya Joyo Brewu ini memang bukan sem-
barangan. Sebelum menjadi perampok di wilayah ini, 
ia pernah ikut beberapa kali pemberontakan. 
Di dalam buku “Jasa Susu Harimau”, sudah pernah 
pula Joyo Brewu ini berhadapan dengan Dewi Sritan-
jung. Dan hampir saja Dewi Sritanjung celaka oleh ja-
rum beracun yang dilepaskan apabila tidak ditolong 
oleh Kiageng Tunjung Biru, gurunya. 
Sarwiyah menjadi kaget juga ketika lengannya tera-
sa kesemutan, ketika pedangnya berbenturan dengan 
golok lawan. Namun demikian gadis ini tidak menjadi 
takut, dan ia kembali menerjang ke depan dengan pe-
dangnya. 
Trang trang trang...! 
Terjadi lagi benturan senjata dan kembali mereka 
saling terhuyung ke belakang. Para anak buah yang 
menonton di pinggir mengamati penuh perhatian. Te-
tapi mereka percaya, pada akhirnya pemimpin mereka-
lah yang bakal menang. 
Pendapat mereka ini ternyata benar. Setelah dua 
puluh lima jurus berlalu, Joyo Brewu mulai menam-
pakkan keunggulannya. Pedang Sarwiyah yang semula 
bergerak cepat itu, makin lama ruang geraknya menja-
di semakin sempit dan seakan-akan medan perkela-
hian dipenuhi oleh sambaran golok Joyo Brewu yang 
tajam. 
Masih untung bagi Sarwiyah, setelah Joyo Brewu 
dapat menekan lawan, seleranya untuk memiliki gadis 
muda dan ayu ini kembali menguasai dadanya. Seran-
gan-serangannya kemudian selalu berusaha untuk 
meruntuhkan pedang lawan, dan menghindarkan ga-
dis ini jangan sampai terluka dan celaka di tangannya. 
Diam-diam Sarwiyah mengeluh juga menghadapi 
kenyataan ini. Ternyata pemimpin perampok ini il-
munya cukup tinggi. Walaupun ia sudah mengerahkan 
kepandaiannya, ia belum juga dapat mengatasi, malah 
sebaliknya ia terkuasai oleh lawan. Dalam keadaan 
demikian ini, Sarwiyah menjadi nekat. Ia tak mungkin 
menyerah, sebelum nyawa lepas dari raga. 
“Hiaaaattttt...!” lengking Sarwiyah dalam usahanya 
menambah semangatnya, sambil menyambarkan pe-
dangnya ke dada lawan, lalu ia teruskan untuk mem-
babat pinggang. 
“Lepas!” tiba-tiba terdengar teriakan Joyo Brewu 
yang nyaring disusul menyambarnya golok. 
Trang.... 
“Aihhh...!” 
Benturan yang kuat sekali menyebabkan Sarwiyah 
tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya. Berba-
reng dengan teriakan gadis ini yang nyaring, pedang 
itu sudah terbang, lalu disambar oleh salah seorang 
anak buah Joyo Brewu. 
“Heh heh heh heh, apakah engkau masih tetap 
membandel, Denok ayu?!” ejeknya bangga, sambil me-
nyarungkan goloknya. 
Wajah Sarwiyah sebentar merah sebentar pucat. 
Hatinya menjadi khawatir sekali disamping bingung. 
Dirinya tidak mempunyai senjata yang lain, padahal 
melawan dengan senjata saja dirinya tidak mampu. 
Apalagi sekarang tanpa senjata, manakah mungkin bi-
sa menang? 
Akan tetapi ia sadar apabila terus melawan sampai 
nyawanya lepas dari raganya justru lebih mengun-
tungkan dirinya dibanding menyerah. Karena jika 
sampai menyerah, nasibnya akan lebih celaka lagi. 
Pendeknya, sekalipun hanya menggunakan kaki dan 
tangan, ia harus melawan terus. 
“Heh heh heh heh, Denok, apakah keuntungan kita 
terus berkelahi seperti ini? Lebih baik antara engkau 
dan aku saling peluk dan berciuman. Ha ha ha ha, 
bukankah asyiiikkk?” 
“Jahanam. Mulutmu kotor!” teriak Sarwiyah marah 
berbareng malu. “Huh, engkau bisa menjamah diriku, 
sesudah aku tak bernyawa lagi!” 
Lalu dengan nekat Sarwiyah sudah menerjang maju 
menggunakan tangan dan kaki untuk menyerang. 
Tangan kanan terkepal meninju dada, sedang tangan 
kiri dengan jari terbuka setengah melengkung siap un-
tuk mencengkeram leher. 
Tetapi atas serangan ini Joyo Brewu hanya terkekeh 
mengejek. Pemimpin perampok ini dalam hal tenaga 
justru jauh lebih kuat. Maka atas serangan ini Joyo 
Brewu tidak berusaha mengelak, malah ia menyambut 
serangan itu dengan maksud menangkap. 
Tak! 
“Aduhhh...!” 
Joyo Brewu terhuyung mundur dan berjingkrak 
sambil berkaok-kaok, kemudian meringis seperti kera 
makan terasi. Ternyata lawan sudah menggunakan ke-
cerdikannya dengan menendang tengah selakangan 
Joyo Brewu. 
Masih untung bagi Joyo Brewu, tendangan itu tidak 
mengena secara tepat. Namun demikian tengah sela-
kang yang amat perasa dan ringkih itu, terkena oleh 
tendangan, menyebabkan Joyo Brewu merasa kesaki-
tan setengah mati. Rasanya cekot-cekot  sampai ke 
ubun-ubun, campur dengan rasa panas, kliyeng-
kliyeng dan pandang matanya menjadi kabur. 
Sarwiyah tidak memberi kesempatan lawan berna-
pas dan terus mengejar dengan serangan-serangannya. 
Akan tetapi karena kemudian Joyo Brewu sudah me-
mutarkan goloknya yang tajam, menyebabkan gadis ini 
tidak berani sembrono. 
Joyo Brewu yang menderita kesakitan setengah ma-
ti itu menjadi penasaran. Maka sambil menyelamatkan 
nyawanya ia berteriak, “Maju! Keroyok! Kalau perlu 
bunuhlah gadis setan ini!” 
Sekali saja sudah cukup perintah yang ia berikan 
itu. Tujuh laki-laki kasar ini segera menerjang maju 
saling mendahului. Tetapi mengingat Sarwiyah seka-
rang sudah tidak bersenjata lagi, maka merekapun 
menyerang tanpa senjata pula. Dan dalam keadaan 
seperti ini masing-masing ingin lebih dahulu dapat 
menangkap, dan kalau perlu akan diajak bergumul. 
Dengan mata menyinarkan api gadis ini mengamuk. 
Dua orang yang menerjang dari depan ia sambut den-
gan sambaran kaki dan tangan kanan. Tetapi bersa-
maan dengan itu, ia merasakan sambaran dari bela-
kang, kiri maupun kanan. Ia melengking nyaring dan 
menjejakkan kakinya, melenting agak tinggi di udara. 
Usahanya ini berhasil menghindarkan diri dari se-
rangan lawan. Tetapi setelah berada di udara, ia men-
jadi kaget sendiri. Baginya tidak mungkin dapat men-
gapung di udara terus-menerus. Padahal di bawah te-
lah menunggu tujuh lelaki liar, mulut mereka menye-
ringai, siap untuk menangkap. Diam-diam ngeri juga 
kalau dirinya sampai dapat tertangkap oleh mereka, 
sebab laki-laki kasar itu akan dapat berbuat liar dan 
melebihi batas. 
Akan tetapi Sarwiyah memang bukan gadis tolol. 
Pada saat tubuhnya melayang kembali ke bawah, ia 
menggunakan kecerdikannya. Mendadak ia mengambil 
salah sebuah tusuk konde yang mengancing sanggul-
nya. Tusuk konde itu kemudian ia patahkan menjadi 
dua potong. Lalu potongan tusuk konde itu ia sam-
bitkan sebagai senjata rahasia. 
Cap.... cap.... 
“Aduhhh...!” 
Plak.... bukk.... 
“Aduhhh...!” 
Serangan tidak terduga ini menyebabkan empat 
orang perampok gulung koming  kesakitan. Yang dua 
orang terluka oleh tusuk konde pada pipi dan dahi, se-
dang yang dua orang lagi terjerembab oleh pukulan 
tangan yang mengenai ubun-ubun, sedang yang seo-
rang oleh tendangan yang mengenai tengkuk. 
Akan tetapi sekalipun sekaligus ia cepat meroboh-
kan empat lawan, dirinya menderita rugi juga. Salah 
satu pukulan dari perampok mengenai betis, menye-
babkan ketika dirinya menginjakkan kaki ke bumi 
agak sempoyongan. 
Saat itu seorang perampok menerjang dengan cara 
menyerang kaki. Dan celakanya dari belakang menu-
bruk perampok yang lain. Guna menyelamatkan diri ia 
melempar diri ke samping. Tetapi.... 
Bret.... bajunya robek lebar oleh cengkeraman pe-
rampok. 
“Aihh...!” teriak gadis ini yang kaget, dan wajahnya 
menjadi pucat. 
Koyaknya baju ini menyebabkan dadanya terbuka. 
Kendati dada itu masih dilindungi oleh kain penutup 
dada, namun gadis ini merasa malu sekali. Guna me-
nutup dadanya yang membusung ini terpaksa ia harus 
menggunakan tangan kiri, memegang pinggir baju. 
Karena luka yang diderita para perampok itu hanya 
ringan dan menderita agak berat hanya seorang yang 
terpukul ubun-ubunnya, maka dengan kemarahan 
yang meluap-luap para perampok yang terluka ini 
hampir berbareng sudah menghunus senjata lalu me-
nerjang. 
Tadi pemimpin sudah memerintahkan, kalau perlu 
harus dibunuh. Maka apabila perempuan ini harus 
terbunuh mati, mereka takkan dipersalahkan oleh 
sang pemimpin. 
Joyo Brewu juga sudah berkurang rasa sakitnya. 
Dengan wajah beringas pemimpin perampok ini sudah 
melompat maju pula. Bentaknya kemudian, “Mundur-
lah kalian! Aku sendiri yang akan menyelesaikan gadis 
liar ini!” 
Perintah ini segera diturut pula oleh anak buahnya. 
Mereka saling berloncatan mundur, tetapi senjata ma-
sih tetap siaga. 
Menghadapi ancaman bahaya ini, terpikir oleh Sar-
wiyah antuk melarikan diri. Akan tetapi hal ini juga ti-
dak mudah ia lakukan, sebab disamping anak buah 
perampok ini mengurung dengan senjata, kakinya pun 
masih terasa sakit sekali. 
Sementara itu Joyo Brewu yang beringas sudah 
menghampiri dengan golok besar yang siap dalam tan-
gan. Sepasang mata pemimpin perampok ini mendelik 
dan menyala, mengerikan sekali. Kemudian dari mu-
lutnya terdengar desisnya, “Kubunuh kau! Kucincang 
tubuhmu!” 
Diam-diam Sarwiyah gentar juga. Apakah yang ha-
rus ia lakukan sekarang? Namun tiba-tiba dari dalam 
hatinya timbul keputusan, “Huh, lebih baik mati!” 
Setelah memutuskan lebih baik mati, mendadak sa-
ja hatinya menjadi mantap. Ia berdiri dengan mata ti-
dak berkedip, menjaga segala kemungkinan. Untung-
untungan, kalau Joyo Brewu menyerang dengan go-
loknya, ia akan berusaha menghindar sambil melom-
pat, kemudian ia akan berusaha merebut golok lawan. 
Setelah jarak antara Sarwiyah dengan Joyo Brewu 
tinggal dua depa lagi, Joyo Brewu berhenti. 
“Mampuslah kau!” bentaknya menggeledek. 
Hampir berbareng dengan bentakannya, tubuh yang 
tinggi besar itu sudah melompat ke depan sambil 
membabatkan goloknya. 
Trang.... 
“Aihh...!” 
Pekik tertahan itu keluar dari mulut Sarwiyah mau-
pun Joyo Brewu. 
Sarwiyah tadi hanya merasakan sambaran angin 
yang halus. Kemudian ia mendengar suara senjata 
berbenturan. Dan ketika gadis ini memperhatikan, 
berseru gugup, “Oh.... kau...!” 
“Benar,” sahut pemuda bersenjata pedang itu, dan 
sekarang sudah berdiri di dekat Sarwiyah. 
Hadirnya pemuda itu secara tiba-tiba dan telah da-
pat menangkis golok Joyo Brewu ini, menimbulkan ke-
gemparan. Para anak buah perampok itu kaget. Dan 
lebih kaget lagi malah Joyo Brewu sendiri. Sebab tang-
kisan pedang pemuda itu dapat menyebabkan golok-
nya terpental dan ia merasakan pula lengannya kese-
mutan dan telapak tangannya panas. Joyo Brewu amat 
penasaran, namun demikian ia tidak berani semba-
rangan. 
“Mbakyu, mana pedangmu?” tanya pemuda itu 
sambil menatap Sarwiyah. 
Gadis ini agak malu juga mendengar pertanyaan ini. 
Sahutnya lirih, “Pedangku.... telah dirampas oleh jaha-
nam itu....” 
“Apakah sebabnya engkau sampai dikeroyok?” 
“Mereka adalah perampok-perampok ganas yang be-
rusaha merampok keselamatanku.” 
“Hemm, kalau demikian gunakanlah pedangku ini 
untuk melindungi keselamatanmu.” 
“Apa?” Sarwiyah terbelalak kaget. “Kau.... apakah 
mempunyai senjata lain?” 
“Terimalah dahulu. Hayolah, gunakanlah pedangku 
ini.” 
Sarwiyah menerima juga pedang dari pemuda itu. 
Tetapi ketika melihat pemuda yang menolong ini tidak 
bersenjata lagi, kaget, “Adi.... mana senjatamu?” 
“Engkau tidak perlu khawatir, Mbakyu. Aku masih 
sanggup menghadapi manusia busuk ini dengan tan-
gan dan kakiku. Kewajibanmu sekarang, pergunakan-
lah pedang itu untuk membabat anak buahnya.” 
“Tidak!” bantah Sarwiyah dan berusaha mengemba-
likan pedang itu. 
“Mbakyu, tidak banyak waktu untuk berbicara. Se-
karang gunakan pedang itu guna melawan para pe-
rampok itu, dan pemimpin itu serahkanlah padaku.” 
Sarwiyah masih akan berkata lagi, tetapi pemuda 
penolongnya ini sudah melompat maju dan menerjang 
Joyo Brewu hanya bertangan kosong. 
Sarwiyah menjadi amat gelisah. Namun demikian ia 
sudah tidak mempunyai waktu lagi, karena para pe-
rampok itu sudah bergerak maju dan mengurung. 
Trang.... trang.... cring.... plakk...! 
Sambaran pedang pinjaman di tangan Sarwiyah 
disambut oleh senjata para perampok yang menge-
royok. Lengan Sarwiyah merasa tergetar juga oleh 
tangkisan senjata lawan. Akan tetapi dengan adanya 
pedang di tangannya sekarang ini, ibarat seekor hari-
mau tumbuh tanduk. Sarwiyah mengamuk dengan he-
batnya, sedangkan pedang itu dalam waktu singkat 
sudah bernoda darah, sebagai hasil melukai pundak 
seorang perampok. 
Di pihak lain Joyo Brewu menggeram keras. Kema-
rahannya meluap-luap, maka pemimpin perampok ini 
menjadi amat buas. Goloknya menyambar dengan 
dahsyat. Angin sambaran golok itu cukup kuat, dan 
baru sambaran angin goloknya saja sudah bisa mem-
buat dada sesak. 
Tetapi Joyo Brewu sekarang ini ibarat menyerang 
bayangan. Gerakan pemuda ini terlalu cepat, sehingga 
diam-diam Joyo Brewu menjadi kaget berbareng heran. 
Maka sambil membentak nyaring, ia menyabatkan go-
loknya lagi secara berantai. Arah sasarannya pundak, 
dada dan pinggang. 
Siut.... wutt... 
“Ahhhhh...!” 
Tetapi lagi-lagi sambaran golok itu luput, malah 
Joyo Brewu berseru kaget saking heran. Sebab tahu-
tahu pemuda yang ia hujani serangan itu sudah le-
nyap. Pada saat ia bingung ini, tiba-tiba terdengar sua-
ra orang tertawa di belakangnya. Joyo Brewu cepat 
membalikkan tubuh sambil menyabatkan goloknya. 
Tetapi lagi-lagi mengenai angin, karena goloknya kalah 
cepat dengan gerakan pemuda itu. 
Dadanya seperti meledak, melawan seorang pemuda 
bertangan kosong saja kesulitan. Tetapi bukanlah Joyo 
Brewu kalau tidak cerdik dan pandai mengenal gela-
gat. Ia sadar, tingkat pemuda ini masih di atas dirinya. 
Maka tidaklah mungkin dirinya bisa menang. Ingat 
akan keadaan ini, mendadak saja timbullah keingi-
nannya dapat hidup lebih lama lagi. 
Wutt.... wutt.... 
Ia kembali menyerang dengan ganas, namun kemu-
dian segera melompat dan melarikan diri. 
Pemuda ini tidak mengejar. Ia hanya memungut ba-
tu. Tangannya lalu bergerak menyambit. 
Wutt..., batu tersebut menyambar dengan kecepa-
tan luar biasa. 
Tak.... 
“Aduuhhh...!” 
Jerit nyaring terdengar dari mulut Joyo Brewu, ke-
mudian pemimpin perampok ini roboh dengan kepala 
pecah. Sebagai akibatnya pemimpin perampok yang 
ingin menyelamatkan diri ini malah tewas. 
Melihat pemimpin mereka sudah melarikan diri, 
kemudian roboh dalam tangan pemuda itu, kuncuplah 
nyali mereka. Tiba-tiba mereka berteriak, lalu lari 
tunggang-langgang mencari selamat. 
“Huh, mau lari ke mana kamu?!” bentak Sarwiyah 
sambil akan mengejar. 
“Jangan!” cegah pemuda itu sambil melompat dan 
menghadang di depan Sarwiyah. 
Hadangan itu tiba-tiba dan di luar dugaan Sar-
wiyah. Sudah tentu gadis ini sulit untuk menahan 
langkah, sehingga terpaksa menubruk pemuda itu. 
Untung ketika itu pedangnya di sebelah kanan tubuh. 
Kalau pedang itu di depan, mungkin pedang itu bisa 
makan tuan. 
Pemuda yang menolong itu kaget sendiri dan cepat 
menggunakan tangannya untuk memeluk, menahan 
Sarwiyah agar tidak terpelanting jatuh. Sebaliknya 
Sarwiyah tanpa sesadarnya pula sudah memeluk pe-
muda itu, sedang pedangnya terlepas jatuh. 
Pemuda ini memang terlalu dekat dalam usaha 
menghadang. Maka tak mengherankan apabila beraki-
bat mereka harus bertubrukan dan berpelukan. 
“Ahhh...!” terdengar pekik Sarwiyah yang tertahan. 
“Mbakyu, maafkanlah aku,” pinta pemuda ini sam-
bil melepaskan pelukannya. 
Akan tetapi ketika lengan yang semula memeluk itu 
lepas, tiba-tiba mata pemuda ini terbelalak. Baju ba-
gian depan gadis ini terbuka. Dan walaupun dada itu 
masih tertutup oleh kain penutup dada, namun yang 
membusung itu tampak nyata dan kulit yang kuning 
ini menyebabkan jantung pemuda ini bergetar hebat. 
*** 
TAMAT 
Sala, Minggu Akhir Maret 1987 
Maafkan penulis, sampai di sini dahulu cerita ini ki-
ta akhiri, tetapi bukan berarti tamat. Masih menggan-
jal dalam dada kita, siapakah sebenarnya pemuda 
yang menolong Sarwiyah itu? Nama belum disebut dan 
celakanya jantung pemuda ini bergetar hebat ketika 
melihat payudara Sarwiyah yang membukit penuh. 
Nah, pada lanjutan cerita ini yang berjudul 
“PERJALANAN YANG BERBAHAYA”, anda akan tahu. 
Siapakah yang melakukan perjalanan berbahaya 
ini? Anda akan menemukan jawabannya dalam buku 
tersebut di atas. 
   
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Clickers 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com